97
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI SOSIAL TERHADAP GAYA DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR YURIS APRILIA STIAWAN DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI SOSIAL TERHADAP GAYA … · hubungan kecerdasan emosi – sosial terhadap gaya dan praktik kepemimpinan . ketua lembaga kemahasiswaan . institut pertanian

Embed Size (px)

Citation preview

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI – SOSIAL TERHADAP

GAYA DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN

KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

YURIS APRILIA STIAWAN

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan

Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua

Lembaga Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor adalah karya saya dengan

arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Yuris Aprilia Stiawan

NIM. I24080046

ABSTRACT

Relationships between Emotional-Social Intelligence with Leadership Styles and

Practice among Student Organization Chairmen at Bogor Agricultural University.

Supervised by DIAH KRISNATUTI.

This study was aimed to determine the correlation between emotional-

social intelligence with leadership styles and practices. The research was

conducted at IPB during June 2012, involved 94 student’s during the period of

2011-2012 that chose using census technique (however 2 students could not joint

the research). Data was analyzed using descriptive and inference statistics such as

Pearson correlation and Chi-Square analysis. Results showed that emotional-

social intelligence of chairmen were in high category. Styles of leadership were

relatively democratic style, while the dominant leadership practice were in high

category. Pearson correlation test result showed a positive relationship existed

significantly between emotional-social intelligence and leadership practices. In the

other hand, emotional intelligence (emotional awareness, emotion management,

and total emotional intelligence) and social intelligence (social awareness, social

facilities, and total social intelligence) was negatively correlated with laissez faire

style of leadership.

Keywords: early adulthood, emotional awareness, motivation, social facilities

ABSTRAK

YURIS APRILIA STIAWAN. Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap

Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut

Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosi-

sosial terhadap gaya dan praktik kepemimpinan. Lokasi penelitian dilakukan di

kampus IPB pada bulan Juni 2012. Teknik penarikan mahasiswa dari populasi

dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih seluruh mahasiswa dengan sengaja

sebanyak 94 orang pada periode 2011-2012. Pada saat penelitian berlangsung

mahasiswa yang dapat diambil sebanyak 92 orang. Analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis deskripstif dan inferensia yaitu analisis

korelasi Chi-Square dan Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi dan sosial mahasiswa tergolong kategori tinggi. Pada gaya

kepemimpinan terdapat kecenderungan memiliki gaya demokrasi dan pada praktik

kepemimpinan termasuk kategori tinggi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan

terdapat hubungan positif signikan antara kecerdasan emosi, kecerdasan sosial,

dan praktik kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan negatif signifikan antara

kecerdasan emosi (kesadaran emosi, pengelolaan emosi, dan total kecerdasan

emosi) dan kecerdasan sosial (kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total

kecerdasan sosial) dengan gaya kepemimpinan laissez faire.

Kata kunci : dewasa awal, fasilitas sosial, kesadaran emosi, motivasi

RINGKASAN

YURIS APRILIA STIAWAN. Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap

Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut

Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Mahasiswa merupakan bagian dari keberadaan dan gerakan pemuda di

Indonesia saat ini. Dari waktu ke waktu mahasiswa terkenal sebagai agent of

change yang berperan aktif dalam perubahan sejarah. Penelitian ini secara umum

bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi-sosial terhadap gaya dan

praktik kepemimpinan. Adapun secara khusus bertujuan untuk: (1)

Mengidentifikasi kecerdasan emosi, sosial, gaya, dan praktek kepemimpinan, (2)

Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa dengan

kecerdasan emosi dan sosial, (3) Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa

dan keluarga mahasiswa dengan gaya dan praktik kepemimpinan, (4) Menganlisis

hubungan kecerdasan emosi dengan gaya dan praktik kepemimpinan, dan (5)

Menganalisis hubungan kecerdasan sosial dengan gaya dan praktik

kepemimpinan.

Lokasi penelitian dilakukan di kampus IPB pada bulan Juni 2012. Teknik

penarikan mahasiswa dari populasi dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih

seluruh mahasiswa dengan sengaja sebanyak 94 lembaga kemahasiswaan yang

terdiri atas ketua 94 orang pada perode 2011-2012. Pada saat penelitian

berlangsung mahasiswa yang dapat diambil sebanyak 92 orang. Analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskripstif dan inferensia

yaitu analisis korelasi Chi-Square dan Pearson.

Hampir seluruh mahasiswa (95,7%) laki-laki dan sisanya perempuan. Usia

mahasiswa pada penelitian ini berkisar 19-23 tahun dengan rataan usia 20,6 tahun.

Hampir seperempat (22,8%) mahasiswa berasal dari Fakultas Teknik Pertanian

(FATETA). Hampir separuh mahasiswa (45,7%) berasal dari suku Sunda dan

lebih dari seperempat mahasiswa (27,2%) berasal dari suku Jawa. Indeks Prestasi

Kumulatif (IPK) mahasiswa berada kisaran 2.14 sampai 3,82. Lebih dari separuh

mahasiswa mempunyai nilai akademik dalam kategori baik(68,5%) dan memiliki

pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan (67,4%). Lebih dari sepertiga

mahasiswa (34.8%) memiliki dua orang saudara dan lebih dari sepertiga

mahasiswa (40,2%) merupakan anak sulung. Pada jumlah organisasi hampir

separuh mahasiswa (45,6%) termasuk dalam kategori sedang (4-8 organisasi),

sementara lama organisasi berada pada kategori sedang (4,4-6,6 tahun). Hampir

sepertiga ayah (30.4%) dan lebih dari sepertiga ibu (33,7%) telah menempuh

pendidikan selama 18 tahun tahun atau setara dengan sarjana (S1). Seperempat

ayah (25%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan hampir separuh ibu

(47,8%) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Besar keluarga mahasiswa

berkisar antara 3 sampai 12 orang, lebih dari separuh keluarga mahasiswa (59,8%)

memiliki jumlah anggota keluarga dengan kategori sedang yaitu antara 5-7 orang.

Kecerdasan emosi dan sosial ketua lembaga termasuk dalam kategori

tinggi dengan gaya kepemimpinan lebih dari dua pertiga berupa gaya demokratis

dan praktik kepemimpinan berada pada kategori tinggi. Terdapat hubungan antara

jenis kelamin laki-laki dengan dimensi kecerdasan emosi yaitu pengelolaan emosi

dan hubungan positif signifikan antara jumlah organisasi dengan dimensi

pengelolaan emosi, sementara itu terdapat hubungan positif signifikan lama

pendidikan ibu dengan kesadaran emosi. Terdapat hubungan positif signifikan

antara jumlah organisasi dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan

sosial total.

Hasil uji Pearson menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara

IPK dengan gaya kepemimpinan demokratis dan terdapat hubungan positif

signifikan antara lama pendidikan ayah dengan gaya kepemimpinan otoriter. IPK

berhubungan positif signifikan dengan dimensi manjadi mahasiswa panutan pada

praktik kepemimpinan.

Terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan

emosi, motivasi emosi, dan total kecerdasan emosi terhadap gaya kepemimpinan

otoriter. Kesadaran emosi, motivasi diri, dan total kecerdasan emosi berhubungan

positif signifikan dengan gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan kesadaran

emosi, pengelolaan emosi, dan total kecerdasan emosi berhubungan negatif

signifikan dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Hasil uji korelasi Pearson

menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi diri dan

kecerdasaan emosi total terhadap dimensi tantangan proses dalam praktik

kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran

emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap

dimensi inspirasi visi. Terdapat hubungan positif signifikan terdapat antara

pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total terhadap dimensi

mengajak orang lain bertindak. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan

antara kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi

total terhadap dimensi menjadi mahasiswa panutan pada praktik kepemimpinan.

Motivasi diri dan kecerdasan emosi total menunjukkan hubungan positif

signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain. Sedangkan kesadaran emosi,

pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total memiliki hubungan

positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan.

Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan

negatif signifikan dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Kesadaran sosial,

fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan

dimensi tantangan proses, inspirasi visi, mengajak orang lain bertindak, menjadi

panutan mahasiswa, memotivasi orang lain, dan total praktik kepemimpinan.

Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah organisasi mempunyai peranan penting

dalam mengembangkan kecerdasan sosial sehingga diperlukan pengenalan

organisasi sejak dini pada generasi muda. IPK dapat menjadikan seorang

pemimpin panutan bagi anggotanya sehingga setiap pemimpin dapat terus

mengembangkan organisasi tanpa perlu menyampingkan akademik. Kampus

sebagai institusi pendidikan memiliki peranan penting sebagai tempat

pengembangan softskill kepemimpinan bagi mahasiswa.

Kata kunci : kesadaran emosi, fasilitas sosial, motivasi, dewasa awal

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI – SOSIAL TERHADAP

GAYA DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN

KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

YURIS APRILIA STIAWAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi : Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan

Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan

Institut Pertanian Bogor

Nama : Yuris Aprilia Stiawan

NRP : I24080046

Disetujui,

Diketahui,

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Tanggal Lulus :

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS.

Dosen Pembimbing I

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya serta pertolongannya dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul

Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan Praktik Kepemimpinan

Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor ini. Pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan,

doa, dan arahan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

2. Dr. Istilaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pemandu seminar serta Dr.

Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ir. M.D. Djamaludin, M.Sc selaku dosen

penguji atas saran dan masukannya untuk menyempurnakan skripsi ini.

3. Ir. Ratnaningsih, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan nasehat dan bimbingan sejak memasuki departemen.

4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu , Lusiana, dan Titi atas doa dan dukungannya

yang tidak pernah berhenti.

5. Teman seperjuangan Amania, Rafida, Dela, Neng, Arin, Ifah, Kiki dan

semua teman-teman IKK 45.

6. Sahabat seperjuangan: Yogi, Davi, Indra, Hibatus, dan keluarga besar

HIMASURYA PLUS

7. Dr. Abdul Munif, Nazrul SE, Sobari SP, dan para pendekar PPSDMS

“The next future leaders” Regional V Bogor

8. Keluarga besar DPM FEMA yang memberikan pengalaman luar biasa

9. Kosan De Netto: Bang Agus, Bang Zul, dan Bang Heri

10. Ketua LK IPB tahun 2011-2012 yang telah membantu dalam kesuksesan

pengambilan data.

11. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, dan

kerjasama selama pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu.

Bogor, Januari 2013

Yuris Aprilia Stiawan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvii

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

Latar Belakang .......................................................................................... 1

Perumusan Masalah .................................................................................. 4

Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 7

Gaya Kepemimpinan ................................................................................ 7

Praktik Kepemimpinan ............................................................................. 9

Kecerdasan Emosi .................................................................................... 10

Kecerdasan Sosial ..................................................................................... 13

Mahasiswa ................................................................................................ 14

KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 17

METODE PENELITIAN ............................................................................. 19

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .................................................... 19

Mahasiswa dan Teknik Penarikan Mahasiswa ......................................... 19

Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel .............. 19

Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 21

Definisi Operasional ................................................................................. 24

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 27

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 27

Karakteristik Mahasiswa .......................................................................... 28

Karakteristik Keluarga Mahasiswa ........................................................... 33

Kecerdasan Emosi .................................................................................... 35

Kecerdasan Sosial ..................................................................................... 39

Gaya Kepemimpinan ................................................................................ 43

Praktik Kepemimpinan ............................................................................. 46

Hubungan Antar Variabel ......................................................................... 51

Pembahasan .............................................................................................. 60

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 65

Simpulan ................................................................................................... 65

Saran ......................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 69

LAMPIRAN ................................................................................................. 73

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan cara pengumpulan data ................................................... 20

2 Cara pengkategorian variabel ........................................................ 22

3 Sebaran mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan umur ............. 29

4 Sebaran mahasiswa berdasarkan asal fakultas, suku, dan IPK ...... 30

5 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran ............................... 31

6 Sebaran mahasiswa berdasarkan jumlah saudara, urutan kelahiran,

jumlah, dan lama organisasi ........................................................... 32

7 Sebaran mahasiswa berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua 34

8 Sebaran mahasiswa berdasarkan besar keluarga ............................ 35

9 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecerdasan emosi ...................... 36

10 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran emosi ........................ 36

11 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengelolan emosi ....................... 37

12 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi diri .............................. 39

13 Sebaran mahasiswa berdasakan kecerdasan sosial ........................ 40

14 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran sosial ......................... 41

15 Sebaran mahasiswa berdasarkan fasilitas sosial ............................ 42

16 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan gaya

kepemimpinan total ........................................................................ 43

17 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya otoriter .............................. 44

18 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya demokratis ........................ 45

19 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya laissez faire ....................... 46

20 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan praktik

kepemimpinan total ........................................................................ 47

21 Sebaran mahasiswa berdasarkan tantangan proses ........................ 47

22 Sebaran mahasiswa berdasarkan inspirasi visi .............................. 48

23 Sebaran mahasiswa berdasarkan mengajak bertindak ................... 49

24 Sebaran mahasiswa berdasarkan mahasiswa panutan .................... 50

25 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi ..................................... 51

26 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi ..... 52

27 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan

emosi .............................................................................................. 53

28 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan sosial ...... 53

xvii

29 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan

sosial ............................................................................................... 54

30 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan gaya kepemimpinan .. 54

31 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan gaya

kepemimpinan ................................................................................ 55

32 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan praktik kepemimpinan 55

33 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan praktik

kepemimpinan ................................................................................ 56

34 Hubungan antara kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan . 57

35 Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan ........ 58

36 Hubungan kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan ............ 58

37 Hubungan kecerdasan sosial dengan praktik kepemimpinan ........ 59

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gaya kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB ............ 75

2 Praktik Kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB ........ 77

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 2012, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat telah menetapkan

bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa1. Pertumbuhan jumlah

penduduk Indonesia berimplikasi terhadap peningkatan jumlah pemuda sebagai

populasi terbesar dari penduduk Indonesia. Menurut data Susenas jumlah pemuda

Indonesia pada tahun 2006 sebesar 80,82 juta jiwa2, sedangkan berdasarkan angka

proyeksi BPS pada tahun 2009 sebesar 62,91 juta jiwa (Bappenas 2009).

Perbedaan jumlah pemuda dari data Susenas dan BPS disebabkan oleh

perubahan kategori umur pemuda yang disahkan oleh Undang-undang No. 40

Tahun 2009, semula dari usia 15-35 tahun menjadi 16-30 tahun3. Walaupun

terjadi penurunan tetapi dengan jumlah yang cukup besar, pemuda memiliki

potensi yang strategis bagi bangsa Indonesia, terutama adanya jiwa kepemimpinan

dalam pemuda. Sejarah dunia dan khususnya Indonesia mencatat bahwa pemuda

berperan penting dalam perubahan, sebagai mahasiswa pada tahun 1928 pemuda

Indonesia mengguncang dunia dengan adanya “Sumpah Pemuda”. Pada tahun

1998 pemuda Indonesia melakukan reformasi untuk menggulingkan pemerintahan

orde baru yang bersifat otoriter. Selain itu perwujudan proklamasi Indonesia juga

didasarkan atas desakan kaum pemuda.

Menurut Hasibuan (2008) keberadaan potensi dan kualitas pemuda dalam

berbagai fase sejarah selalu mendapatkan perhatian penting. Pada perspektif

sosiologis, biologis, politik, demografis, dan historis memiliki makna yang

signifikan. Pertama pada perspektif sosiologis mempunyai peranan dan posisi

yang penting yaitu sebagai penghubung antargenerasi, baik generasi yang lebih

muda serta generasi tua. Kedua pada perspektif biologis, fase pertumbuhan dan

perkembangan pemuda sangat menentukan kualitas Human Development Index

(HDI) pada masa yang akan datang. Pada perspektif biologis juga dapat dilihat

suatu kaum muda tumbuh menjadi generasi cemerlang (rising generation) atau

menjadi generasi yang hilang (loosing generation). Ketiga pada perspektif politik,

1 www.sindonews.com 2 http://kppo.bappenas.go.id/preview/232 3 kppo.bappenas.go.id/files/-1-Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf

2

pemuda memiliki pemikiran yang dinamis, responsif, dan sensitivitas yang kuat

pada setiap perubahan politik. Saat potensi politik dikembangkan secara maksimal

maka kaum pemuda akan menjadi political capital yang luar biasa dalam

membangun negara. Keempat perspektif demografis, populasi pemuda yang

terbesar pada jumlah penduduk memiliki keunggulan tersendiri. Penyebaran

pemuda di berbagai wilayah Indonesia baik di perkotaan atau di pedesaan

membawa potensi tersendiri. Kelima perspektif histori, berbagai kejadian sejarah

di Indonesia selalu mempunyai hubungan dengan peran pemuda. Peran pemuda

baik sebagai pendukung kebijakan pemerintah atau sebagai pihak oposisi terhadap

kebijakan pemerintah.

Mahasiswa merupakan bagian dari keberadaan dan gerakan pemuda di

Indonesia saat ini. Dari waktu ke waktu mahasiswa terkenal sebagai agent of

change yang berperan aktif dalam perubahan sejarah. Mahasiswa mempunyai

peranan penting dalam gerakan pembaruan negara terutama pada gerakan

pembangunan. Para aktivis mahasiswa berperan penting sebagai motor penggerak

kekuatan sosial, moral, dan politik. Pembinaan kepemimpinan di kalangan

mahasiswa sangat diperlukan dan sesuai dengan minat keilmuan serta aspirasi

kepemudaan. Pembinaan juga harus searah dengan kondisi sosial, ekonomi, dan

politik yang ada di tengah masyarakat. Dengan begitu diharapkan adanya

peningkatan prestasi ilmiah, dedikasi sosial, dan partisipasi aktif mahasiswa

dalam masa pembangunan (Kartono 2011).

Para pemimpin besar sering kali menggunakan kata-kata yang

menginspirasi dan membakar semangat hidup seseorang (Goleman 2007). Sebagai

salah satu presiden Indonesia, Bung Karno sangat mengagumi peranan pemuda

dalam melakukan perubahan bahkan untuk melakukan perubahan dunia (Krishna

2010). Pemimpin selalu memainkan peran emosi yang primordial (utama). Para

pemimpin yang orisinal mendapatkan kedudukan karena kemampuan yang dapat

menggerakkan emosi. Dalam sejarah dan budaya manapun, pemimpin kelompok

manusia adalah seorang yang menjadi tumpuan dalam mencari kepastian dan

kejelasan ketika menghadapi ketidakpastian, ancaman atau ketika ada suatu tugas

yang harus dilakukan. Pemimpin bertindak sebagai pembimbing emosi kelompok

(Goleman 2007).

3

Goleman menyebutkan bahwa keterampilan dasar kecerdasan emosional

menjadi semakin penting untuk kerja tim, bekerjasama, menolong orang agar bisa

bekerja secara efektif (Goleman 2002). Psikolog Thorndike dalam Goleman

(2006) membuat rumusan orisinal tentang kecerdasaan sosial yaitu kemampuan

memahami dan mengelola orang lain serta kemampuan yang dibutuhkan setiap

orang untuk hidup dengan baik di dunia.

Tead menyatakan dalam Sholehuddin (2008) bahwa “leader is the activity

influencing people to cooperate toward some goal which they come to find

desirable” yang mempunyai arti kepemimpinan adalah suatu kegiatan

mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu yang

diinginkan. Singkatnya, dalam pengertian yag sederhana kepemimpinan adalah

kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain. Kriteria seorang pemimpin

haruslah cerdas. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang pemimpin harus mampu

dalam memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah yang

dihadapi kelompok.

Kartono (2011) menyebutkan diantara kelompok mahasiswa sebagai suatu

unit dengan pemimpin selalu terdapat kaitan yang erat sehingga setiap kelompok

akan memilih tipe pemimpin yang cocok dengan ambisi atau visi kelompok.

Sebaliknya pribadi pemimpin menentukan semangat kelompok yang dipimpin.

Dalam sifat kepemimpinan, seorang pemimpin memiliki sifat otoriter (kekuasan

mutlak ditangan pemimpin), demokratis (adanya interaksi kerjasama pemimpin

dan anggota), dan laissez faire (tidak ada arahan dari pemimpin). Sementara itu,

dalam praktik kepemimpinan seorang pemimpin diharuskan mengubah nilai-nilai

menjadi sebuah tindakan, mewujudkan visi kedepan, individual menjadi

kerjasama, dan resiko menjadi sebuah peluang, sehingga kepemimpinan dapat

menjadikan seseorang untuk mengambil peluang dan mengubahnya menjadi

sebuah kesuksesan (Kouzes dan Posner 2007).

Adanya keinginan mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan

persamaan visi maka terbentuklah Lembaga Kemahasiswaan yang selanjutnya

disebut dengan LK. Lembaga Kemahasiswaan IPB mempunyai peranan sebagai

wadah untuk menyalurkan minat dan bakat mahasiswa (softskill) sehingga

mahasiswa dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal. Selain itu,

4

peranan LK juga sebagai bentuk interaksi yang saling memahami dan mempunyai

perbedaan latar belakang budaya, kepribadian, serta karakteristik lainnya.

Pengembangan potensi diri secara langsung berfokus pada pengembangan

kecerdasan emosi serta interaksi sesama yang dilakukan berfokus pada kecerdasan

sosial. Pengembangan emosi dan sosial tentu memiliki peranan yang penting

dalam menentukan gaya dan praktik kepemimpinan seseorang. Berdasarkan latar

belakang tersebut, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh

kecerdasaan emosi dan kecerdasan sosial terhadap gaya dan praktik

kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Perumusan Masalah

Dalam kosakata Bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan

generasi muda dan kaum muda yang memiliki terminologi beragam. Untuk

menyebut pemuda digunakan istilah young human resources sebagai salah satu

sumber pembangunan. Pemuda adalah generasi yang ditempatkan sebagai subjek

pemberdayaan yang memiliki kualifikasi efektif dengan kemampuan dan

keterampilan. Pemberdayaan yang didukung penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi dapat maju serta berdiri dalam keterlibatan secara aktif bersama

kekuatan efektif lainnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi

bangsa.

Mahasiswa sebagai objek pemberdayaan masih memerlukan bantuan,

dukungan, dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan

efektif ke tingkat yang optimal untuk dapat bersikap mandiri dan melibatkan diri

secara fungsional. Pengembangan kepemimpinan pada mahasiswa diperlukan

guna menghadapi persaingan global tentu merupakan suatu kendala yang sulit

dihindari. Penurunan kepemimpan pada mahasiswa diduga dikarenakan adanya

kecerdasaan emosi dan sosial yang menurun dari waktu ke waktu. Pasal 16

Undang-undang kepemudaan Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemuda berperan

aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala

aspek pembangunan nasional.

Banyak sekali peran dan tindakan positif mahasiswa dalam pembangunan

bangsa, pada masa kolonial banyak organisasi kepemudaan yang didirikan oleh

mahasiswa untuk mempersatukan pemuda dalam menghadapi penjajah sehingga

5

sangat wajar harapan kaum tua terhadap kaum muda (mahasiswa) sebagai

pengganti pemimpin bangsa (Hasibuan 2008). Pada saat ini, tindakan negatif juga

sering dilakukan oleh mahasiswa khususya dalam pengajuan aspirasi, bentrokan

mahasiswa, pembakaran-pembakaran sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan,

bahkan pemakaian narkoba yang saat ini marak terjadi. Keadaan negatif

mahasiswa yang tidak sesuai harapan tentu dapat dipengaruhi oleh keadaan emosi

diri sendiri dan hubungan sosial dengan lingkungan. Bagi mahasiswa,

kepemimpinan menjadi perhatian serius karena dipundaknya harapan kemajuan

bangsa digantungkan, sehingga menjadi seorang pemimpin tidak hanya

memerlukan kecerdasan intelektual tetapi yang paling terpenting memiliki

kecerdasan emosi dan sosial.

Gerungan diacu dalam Sholehuddin (2008) mengungkapkan bahwa

kepemimpinan bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak melainkan keseluruhan dari

keterampilan (skill) dan sikap (attitude) yang diperlukan oleh pemimpin.

Keterampilan yang dibutuhkan pemimpin dibagi atas dua hal yaitu keterampilan

emosional dan keterampilan sosial. Keterampilan (kecerdasan) emosional bagi

pemimpin adalah mengelola emosi yaitu menyadari apa yang ada di balik suatu

perasaan dan mempelajari cara untuk menangani kecemasan, amarah, dan

kesedihan. Selain itu, kecerdasan emosi akan sangat dibutuhkan dalam memikul

tanggung jawab bagi keputusan dan tindakan serta menindaklanjuti kesepakatan.

Keterampilan sosial atau lebih dikenal sebagai kecerdasan sosial terbagi atas

kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kecerdasan sosial berbeda dengan kecerdasan

emosional yaitu lebih difokuskan pada memelihara hubungan secara baik sesama

anggota kelompok.

Keberadaan Lembaga Kemahasiswaan (LK) di Institut Pertanian Bogor

adalah sebuah tempat untuk dapat mengembangkan keterampilan baik secara

emosional dan sosial. Para pimpinan LK yang berasal dari berbagai daerah tentu

memiliki karakteristik kepemimpinan yang berbeda. Karakter yang berbeda tentu

akan mempunyai peranan dalam pengembangan kecerdasan yang berbeda baik

secara emosi dan sosial. Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat pertanyaan

yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu:

6

1. Bagaimana hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa

pada gaya dan praktik kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?

2. Bagaimana hubungan kecerdasan emosi mahasiswa pada gaya dan praktik

kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?

3. Bagaimana hubungan kecerdasan sosial mahasiswa pada gaya dan praktik

kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kecerdasan emosi - sosial terhadap gaya dan praktik

kepemimpinan pada ketua lembaga kemahasiswaan IPB

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan karakteristik keluarga

mahasiswa

2. Mengidentifikasi kecerdasan emosi-sosial, gaya, dan praktek

kepemimpinan pada mahasiswa

3. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa

dengan kecerdasan emosi dan sosial mahasiswa

4. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa

dengan gaya dan praktik kepemimpinan mahasiswa

5. Menganlisis hubungan kecerdasan emosi dan sosial dengan gaya dan

praktik kepemimpinan mahasiswa

Manfaat Penelitian

Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk mengetahui

fenomena di masyarakat sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat

dibangku kuliah agar dapat bermanfaat bagi orang lain. Bagi institusi, penelitian

ini diharapkan dapat menjadi referensi kajian ilmu dengan topik praktik

kepemimpinan dan kecerdasan emosi dan sosial para aktivis kampus. Bagi

masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan

dengan praktik kepemimpinan dan kecerdasan emosi dan sosial. Bagi aktivis

mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat sebagai landasan mempelajari

kecerdasan emosi dan sosial sebagai dasar menjadi kepemimpinan di kampus.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Gaya Kepemimpinan

Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh

bentuk kepemimpinan dari pemimpin. Kotter (1997) diacu dalam Saleh (2009)

menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan proses gerakan suatu kelompok

dalam arah yang sama. Selain itu, kepemimpinan yang baik menggerakkan orang

pada satu arah yang sama dan merupakan minat jangka panjang organisasi

tersebut.

Gerugan diacu dalam Sholehudin (2008) mengungkapkan bahwa pada

umumnya tugas pemimpin adalah mengusahakan supaya kelompok yang

dipimpinnya dapat merealisasikan tujuannya dengan sebaik-baiknya dalam kerja

sama yang produktif dalam kelompok dan membagi menjadi : Structuring the

situation adalah pemimpin yang memberikan struktur dengan jelas mengenai

situasi-situasi rumit yang dihadapi kelompok. Dalam hal ini seorang pemimpin

harus mampu memberikan gambaran secara holistik tentang berbagai situasi yang

dihadapi. Selain itu, dalam menjelaskan situasi-situasi sulit pemimpin tetap

dituntut untuk mampu membuat skala prioritas yang dihadapi oraganisasi. Skala

prioritas inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan organisasi. Controling group

behavior adalah pemimpin yang mengawasi dan menyalurkan tingkah laku

kelompok. Pemimpin dalam hal ini mengawasi berbagai perilaku anggota dan

menyalurkan aktivitas-aktivitas anggota sesuai peraturan-peraturan yang telah

disepakati. Spokesman of the group adalah pemimpin yang menjadi juru bicara

bagi kelompok sehingga harus mampu menjelaskan tentang keorganisasian yang

dipimpin kepada berbagi pihak. Penjelasan ini meliputi keanggotaan, visi dan misi

organisasi, tujuan, dan rencana startegis.

Thoha (1991) diacu dalam Saleh (2009) menjelaskan bahwa gaya

kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang saat

mempengaruhi perilaku orang lain. Terdapat dua gaya kepemimpinan yang

ekstrim, yaitu: gaya kepemimpinan otoriter dan gaya kepemimpinan demokratis.

Gaya kepemimpinan otoriter dipandang sebagai dasar atas kekuatan posisi dan

penggunaan kekuasaan. Sementara itu gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan

8

dengan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan

masalah dan pengambilan keputusan.

Menurut Terry dalam Siswanto (2009) terdapat enam tipe kepemimpinan,

yaitu: Kepemimpinan pribadi (personal leadership) adalah kepemimpinan yang

dilakukan dengan cara kontak pribadi dan instruksi disampaikan secara oral atau

langsung pada anggota. Gaya kepemimpinan ini sering dianut oleh organisasi

kerena kompleksitas bawahan maupun kegiatan sangatlah kecil, sehingga dalam

pelaksanaan selain mudah juga sangat efektif dilakukan tanpa mengalami

prosedural yang berbelit-belit. Kepemimpinan nonpribadi (nonpersonal

leadership) adalah kepemimpinan yang mengacu pada segala peraturan dan

kebijakan yang berlaku pada organisasi dengan menggunakan media nonpribadi

untuk melaksanakan instruksi dan program yang ada sehingga pendelegasian

kekuasaan sangat berperan penting. Kepemimpinan otoriter (authoritarian

leadership) adalah pemimpin yang bertipe otoriter, bekerja secara sungguh-

sungguh, teliti, cermat, dan sesuai kebijakan yang ada. Meskipun sedikit kaku,

segala instruksi harus dipatuhi oleh para anggotanya, para anggota tidak berhak

untuk mengomentari karena pemimpin beranggapan bertindak sebagai orang yang

akan bertanggung jawab atas segala kompleksitas organisasi.

Kepemimpinan demokratis (democratif leadership) adalah kepemimpinan

yang beranggapan bahwa setiap anggota organisasi adalah sama dan secara

bersama-sama bertanggung jawab pada organisasi. Agar tanggung jawab tersebut

dirasakan oleh setiap anggota maka setiap anggota berpartisipasi dalam setiap

kegiatan perencanaan, pelaksanan, dan pengevaluasian agar mencapai tujuan yang

diinginkan bersama. Kepemimpinan paternalistik (paternalistic leadership) adalah

kepemimpinan yang dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kekerabatan

dalam hubungan antara pemimpin dengan organisasi dan bertujuan untuk

melindungi dan memberikan arahan, tindakan, dan perilaku. Kepemimpinan bakat

(indigenous leadership) merupakan kepemimpinan yang biasanya muncul dari

kelompok informal yang didapatkan dari pelatihan meskipun tidak langsung atau

diperoleh melalui keturunan.

Mouton (1964) diacu dalam Siswanto (2009) membagi lima gaya

kepemimpinan, yaitu: Tandus (improverished) adalah gaya kepemimpinan yang

9

memakai usaha seminim mungkin untuk menyelesaikan suatu masalah guna

mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Perkumpulan (country club)

adalah gaya kepemimpinan yang menumpahkan perhatian kepada anggota untuk

memuaskan hubungan yang menggairahkan baik secara hubungan sesama anggota

dan tempat kerja serta suasana organisasi yang bersahabat. Tugas (task) adalah

gaya kepemimpinan yang mengefisiensikan hasil kerja yang diperoleh dari

kondisi kerja yang tersusun dengan mengurangi campur tangan elemen manusia

sampai pada tingkat minimum. Jalan tengah (middle of road) adalah gaya

kepemimpinan yang menggunakan kecakapan organisasi yang memadai dimana

usaha dan memungkinkan membuat keseimbangan di antara kerja yang dilakukan

sambil memperhatikan semangat anggota pada tingkat memuaskan. Tim (team)

adalah gaya kepemimpinan yang diperoleh dari persetujuan (commited) anggota

yang saling bergantung pada pegangan umum (common stake) dan sesuai dengan

tujuan organisasi sehingga menjurus pada hubungan keyakinan dan penghargaan.

Pada mahasiswa setiap kelompok akan memilih tipe pemimpinnya sendiri

yang cocok dengan ambisi-ambisi kelompok. Sebaliknya, pribadi pemimpin akan

menentukan semangat kelompok yang dipimpinnya. Menurut Kartono (2011) tipe

pemimpin mahasiswa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: otoriter atau

otoritatif, demokratis, dan laissez faire. Otoriter adalah kepemimpinan yang

bersifat keras, tidak boleh disanggah, dan mengharuskan. Kekuasaan berlangsung

lewat kekuatan dan penekanan kepada anggotanya. Komunikasi berlangsung satu

arah, yaitu dari atasan kepada bawahan. Demokratis adalah kepemimpinan yang

berdasarkan interaksi dan kerjasama, kebebasan yang teratur, pemberian

kesempatan kepada semua anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif dan

menyumbangkan ide-ide yang konstruktif. Semua keputusan direncanakan dan

ditentukan bersama-sama. Laissez faire adalah Kepemimpinan yang membiarkan

semua anggota bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak

memberikan perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing

anggota bergerak sendiri-sendiri.

Praktik Kepemimpinan

Kouzes dan Posner (2005) menjelaskan seorang pemimpin akan

melakukan satu hal yaitu mewujudkan keinginan anggota dengan menghubungkan

10

melalui ekspektasi yang ada. Kepemimpinan merupakan proses antara pemimpin

dan anggota sehingga setiap keputusan selalu berdasarkan hubungan tersebut.

Pemimpin perlu menjalankan kepemimpinan dengan baik dalam sebuah praktik

kepemimpinan dan membagi praktik kepemimpinan menjadi lima dimensi yaitu:

Tantangan dalam menjalankan proses adalah kemampuan seorang pemimpin

untuk mencari dan mengidentifikasi peluang untuk berubah dan untuk

bereksperimen dan mengambil risiko untuk membawa perubahan. Para pemimpin

juga menciptakan lingkungan yang baik serta menghasilkan dan mendukung

inovasi dalam diri sendiri dan organisasi. Kemampuan menginspirasi visi

adalah kemampuan seorang pemimpin, bersama-sama untuk membayangkan masa

depan yang membangkitkan semangat yang lebih baik bagi dia atau organisasi.

Selain itu, kapasitas seorang pemimpin untuk mendorong, memotivasi, dan

menghasilkan kegembiraan pada orang lain tentang tujuan tertentu atau masa

depan organisasi.

Mengajak orang lain untuk bertindak adalah kemampuan pemimpin

untuk menghasilkan suasana saling percaya dan menghormati dalam organisasi.

Selain itu, kemampuan seorang pemimpin untuk menciptakan lingkungan tim

yang terasa seperti keluarga sehingga anggota merasa menjadi bagian dari

organisasi. Mahasiswa sebagai panutan adalah kemampuan pemimpin sebagai

panutan seperangkat prinsip dan nilai-nilai, serta mendorong individu dalam

organisasi untuk menerima prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada pada anggota

organisasi. Selain itu, pernyataan ini berhubungan dengan kemampuan seorang

pemimpin untuk merencanakan prestasi tambahan yang mengatur tempat untuk

kesuksesan masa depan dan pencapaian tujuan. Memotivasi adalah kemampuan

pemimpin untuk mengakui kontribusi individu dan menunjukkan kebanggaan

pada prestasi tim. Memotivasi ditandai dengan petunjuk ringkas, dorongan yang

cukup besar, perhatian pribadi, dan membangun umpan balik

Kecerdasan Emosi

Kecerdasan akademis atau kognitif tidak menawarkan persiapan untuk

menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang

tinggi juga tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, dan kebahagiaan hidup. Sekolah

11

dan kebudayaan saat ini lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis,

mengabaikan kecerdasaan emosional yaitu serangkaian ciri-ciri karakter yang juga

mempunyai pengaruh besar pada nasib manusia. Menurut Salovey dan Mayer

diacu dalam Papalia et al. (2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan perasaan

orang lain. Seorang peneliti bernama Gardner dalam Goleman (2002)

menyebutkan tentang adanya kecerdasan pribadi. Menurut Gardner kecerdasan

pribadi dibagi menjadi kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi.

Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain.

Sedangkan untuk kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang saling

berhubungan, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan intrapribadi dimaksudkan

mencari jati diri dan menggunakan jati diri tersebut sebagai alat untuk menempuh

hidup dengan efektif.

Hatch dan Gardner dalam Goleman (2002) menyebutkan bahwa dalam

kecerdasan antarpribadi tersusun atas komponen dasar, yaitu: mengorganisir

kelompok, merundingkan pemecahan, hubungan pribadi, dan analisis sosial.

Mengorganisasi kelompok adalah keterampilan dasar seorang pemimpin yang

dapat mengoordinasikan pergerakan seseorang. Merundingkan pemecahan

adalah kamampuan seseorang untuk mencegah konflik dan menyelesaikan konflik

yang terjadi. Hubungan pribadi adalah kemampuan yang dapat mengenali serta

merespon dengan tepat perasaan dan keprihatinan orang lain. Analisis sosial

adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi perasaan, motif, dan keprihatinan

seseorang. Komponen antarpribadi dibangun atas kecerdasan emosional sehingga

seseorang dapat menggunakan keterampilan lain, termasuk intelektual yang belum

terasah. Emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovero yang berarti bergerak

menjauh dan semua emosi pada dasarnya berupa dorongan untuk bertindak.

Thorndike diacu dalam Goleman (2002) menyebutkan bahwa salah satu

aspek kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan “sosial” adalah kemampuan untuk

memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.

Hal ini menunjukkan dalam kesuksesan hidup seseorang memerlukan adanya

kecerdasan emosi dan sosial yang saling berdampingan. Goleman (2002)

membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian utama, yaitu:

12

1. Kesadaran emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan

atau emosi diri sendiri serta dapat memantau perasaan dari waktu ke waktu

dan merupakan dasar kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati

perasaan diri sendiri yang sesungguhnya membuat seseorang berada dalam

kekuasaan perasaan. Seseorang yang memiliki keyakinan lebih mengenai

perasaan diri dapat memiliki kepekaan akan emosi diri. Selain itu, mengenali

emosi diri sangat berperan dalam pengambilan keputusan masalah pribadi dan

orang lain (Goleman 2002).

2. Mengelola emosi merupakan penanganan perasaan agar dapat terungkap

dengan tepat dan sangat tergantung pada kesadaran emosi. Kemampuan ini

meliputi cara menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan dan kemurungan.

Seseorang yang tidak mampu mengelola emosi akan terus berada pada

perasaan murung, sedangkan bagi yang mampu akan dapat bangkit dari

keterpurukan dalam menjalani kehidupan. Pengelolaan emosi diri juga mampu

menahan diri pada kepuasan yang berlebihan dan dapat mengendalikan

dorongan hati (Goleman 2002).

3. Memotivasi diri adalah alat yang sangat penting dan berkaitan dengan

memberikan perhatian, memotivasi dan menguasai diri sendiri serta berkreasi.

Selain itu, penempatan emosi dapat menjadi landasan keberhasilan dalam

berbagai bidang. Memotivasi juga mampu menyesuaikan diri melalui kinerja

yang tinggi dalam segala bidang. Seseorang yang memiliki keterampilan ini

cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun (Goleman 2002).

4. Mengenali emosi orang lain (empati) adalah kemampuan untuk mengetahui

perasaan orang lain. Goleman (200) menyebutkan empati dibangun

berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang pada emosi diri maka

semakin terampil membaca perasaan. Pada masa remaja rasa empati menjadi

dasar dorongan keyakinan moral untuk melawan ketidakadilan. Setiap

hubungan kepedulian berasal dari perasaan emosional yaitu berempati. Empati

berbeda dengan simpati, Goleman (2002) menyebutkan bahwa berempati

merupakan penempatan diri pada perasaan orang lain dan ikut merasakannya.

Seseorang yang berempatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang

13

tersembunyi dan mengisyaratkan sesuatu yang dibutuhkan atau dikehendaki

orang lain (Goleman 2002).

5. Membina hubungan merupakan kemampuan menangani emosi orang lain.

Dasar membina hubungan berasal dari pengungkapan dan pengendalian emosi

diri. Membina hubungan merupakan keterampilan yang diperlukan untuk

menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi

sehingga mampu menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina

hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi serta membuat orang lain merasa

nyaman (Goleman 2002).

Kecerdasan Sosial

Kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan

memahami orang lain sehingga memunculkan sikap kepedulian pada orang lain

(Buzan 2002). Goleman (2007) berpendapat bahwa kecerdasan sosial terbagi atas

dua bagian, yaitu: kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kecerdasan sosial merujuk

pada sesuatu yang merentang secara langsung sehingga dapat merasakan keadaan

batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikiran dalam situasi sosial

yang rumit.

Kesadaran sosial meliputi empat hal yaitu empati, penyelarasan, ketepatan

empatik, dan kognisi sosial. Empati merupakan bagian dari kecerdasan emosi.

Empati dasar yaitu kemampuan merasakan emosi orang lain serta dapat

merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal. Dalam sebuah penelitian dijelaskan

bahwa perempuan cenderung lebih baik pada dimensi empati daripada laki-laki.

Selain itu, empati dapat terasah oleh keadaan hidup dari waktu ke waktu.

Penyelarasan adalah keadaan sesaat setelah empati yang berguna untuk

memperlancar hubungan baik dengan orang lain. Ketepatan empatik adalah

kecakapan paling esensial dari kecerdasan sosial. William Ickes dalam Goleman

(2002) menyatakan bahwa ketepatan empatik dibangun diatas empati dasar namun

dapat merasakan dan memikirkan perasaan orang lain. Kognisi sosial adalah

pengetahun seseorang untuk dapat memahami lingkungan sosial bekerja.

Fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial

sehingga memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Fasiltas sosial meliputi

empat hal, yaitu: sikronisasi, presentasi diri, pengaruh, dan kepedulian.

14

Sikronisasi adalah sutau bentuk interaksi secara mulus pada tingkat nonverbal.

Sebagai landasan fasilitas sosial, sikronisasi adalah batu pondasi yang menjadi

landasan dibangunnya apsek-aspek lain. Presentasi diri adalah mempresentasikan

diri seseorang secara efektif. Salah satu aspek dari mempresentasikan diri adalah

adanya karisma. Karisma seseorang pemimpin yang hebat terletak pada

kemampuan untuk menyalakan emosi dalam diri sendiri dan orang lain.

Pengaruh adalah hasil dari interaksi sosial yang memadukan pengendalian diri

dengan empati (merasakan perasaan orang lain) dan kognisi sosial (mengetahui

norma-norma yang berlaku dalam suatu situasi). Kepedulian adalah perasaan

peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal

tersebut.

Mahasiswa

Mahasiswa adalah sebutan seseorang yang sedang mengikuti pendidikan

tinggi setelah lulus pada pendidikan sekolah menengah atas. Menurut Sarwono

(2010) mendefinisikan mahasiswa secara umum adalah suatu kelompok dalam

masyarakat yang memperoleh status selalu berkaitan dengan perguruan tinggi.

Selain itu menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) menjelaskan seseorang memasuki

usia mahasiswa pada usia 18 tahun dan termasuk dalam tahapan remaja lanjut.

Pada mahasiswa tidak ada batasan usia karena seseorang yang menjalani

pendidikan pada program ekstensi ataupun pascasarjana yang sebagian besar

termasuk dalam tahapan usia dewasa juga disebut mahasiswa.

Mahasiswa merupakan bagian dari fase dewasa awal. Dewasa berasal dari

bahasa latin yaitu adultus yang mempunyai arti telah menjadi dewasa. Dewasa

awal dimulai pada umur 18-40 tahun dan mulai menunjukkan adanya perubahan

fisik dan psikologis (Hurlock 1980). Pada fase dewasa awal banyak sekali

perubahan yang dialami seseorang, antara lain perubahan emosi dan sosial. Pada

perubahan emosi seseorang yang memasuki tahap dewasa awal terutama saat

menjadi mahasiswa lebih cenderung memiliki sifak sebagai pemberontak dan

ingin menjadikan hal ideal menurutnya. Perubahan sosial yang dialami seseorang

pada fase dewasa awal adalah lebih banyak kelompok sosial yang dimiliki. Pada

saat remaja seseorang memiliki kelompok tersendiri dan adanya faktor

keterbukaan maka pada fase dewasa awal akan lebih banyak (Hurlock 1980).

15

Menurut Erikson diacu dalam Santrock (2003) menjelaskan bahwa fase

dewasa merupakan fase intimasi versus isolasi, yaitu fase seseorang yang

memiliki tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang

lain. Saat seseorang tidak bisa menemukan jati diri maka sebagai akibatnya adalah

isolasi diri yang menyebabkan kehilangan jati diri pada orang lain.

16

17

KERANGKA PEMIKIRAN

Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang.

Gaya kepemimpinan merupakan sifat seseorang yang cenderung dugunakan untuk

mempengaruhi seseorang. Dalam pelaksanaan organisasi terdapat berbagai

macam gaya yang sering kali melandasi kepemimpinan pimpinan lembaga

kemahasiswaan. Gaya kepemimpinan pada mahasiswa secara umum dibagi atas

tiga gaya yaitu: gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan laissez faire.

Selain memiliki gaya kepemimpinan, seseorang juga memiliki praktik

kepemimpinan yang berbeda dalam menjalankan sebuah organisasi. Praktik

kepemimpinan terbagi menjadi lima dimensi, antara lain: tantangan dalam

menjalankan proses, kemampuan menginspirasi visi, mengajak orang lain untuk

bertindak, mahasiswa sebagai panutan, dan motivasi. Ada banyak faktor yang

mempengaruhi praktik kepemimpinan, diantaranya kecerdasan emosional-sosial

pada diri seseorang.

Kecerdasan emosional sangat berpengaruh dalam pengembangan

hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi terbagi atas lima bagian yaitu

mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali

emosi orang lain (kesadaran sosial), dan membina hubungan dengan orang lain

(fasilitas sosial).

Perkembangan kecerdasan emosi-sosial pada ketua kelembagaan dapat

dipengaruhi oleh diri sendiri dan lingkungan luar. pada faktor diri sendiri

dipengaruhi oleh jenis kelamin, pengetahuan (IPK), asal suku, usia, jumlah dan

lama organisasi, pengeluaran mahasiswa, jumlah saudara, dan urutan kelahiran.

Pada lingkungan luar dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua dan

pekerjaan orang tua.

18

KERANGKA PEMIKIRAN

Kesadaran sosial

Fasilitas sosial

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Karakteristik mahasiswa

Usia

Jenis kelamin

IPK

Suku

Jumlah organisasi

Lama organisasi

Pengeluaran

Mahasiswa

Jumlah Saudara

Urutan Kelahiran

Karakteristik keluarga

mahasiswa

Tingkat pendidikan

orangtua

Pekerjaan orangtua

Besar keluarga

Kecerdasan emosi :

Kesadaran Emosi

Pengelolaan Emosi

Motivasi

Kesadaran sosial

Fasilitas sosial

Praktik Kepemimpinan:

1. Tantangan dalam

menjalankan

proses

2. Kemampuan

menginspirasi visi

3. Mengajak orang

lain untuk

bertindak

4. Mahasiswa

sebagai panutan

5. Motivasi orang

lain

Gaya Kepemimpinan

1. Otoriter

2. Demokratis

3. Laissez faire

18

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Cross-Sectional Study yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cepat, lengkap serta dalam satu waktu dan tidak

berkelanjutan (Arikunto 2010). Lokasi penelitian dilakukan di Kampus Institut

Pertanian Bogor, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dipilih secara

sengaja (purposive) dengan pertimbangan IPB merupakan salah satu perguruan

tinggi negeri terbaik dan memiliki berbagai prestasi di bidang non-akademik.

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni 2012 berupa pengambilan data.

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah para pemimpin lembaga mahasisiwa

S1 kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor. Ketua diambil sebagai contoh

dikarenakan tugas ketua sebagai penentu kebijakan dan keputusan pada sebuah

organisasi. Populasi diperoleh dari daftar lembaga kemahasiswaan yang dimiliki

Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM). Teknik

penarikan contoh dari populasi dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih

seluruh contoh dengan sengaja sebanyak 94 lembaga kemahasiswaan yang terdiri

atas ketua 94 orang pada perode 2011-2012. Pada saat penelitian berlangsung

contoh yang dapat diambil sebanyak 92 ketua. Dua lembaga yang lainnya tidak

dapat diambil dikarenakan satu lembaga sudah tidak aktif dan satu lembaga tidak

mengembalikan kuesioner yang sudah dikirim sampai batas kesepakatan.

Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer

diperoleh dari hasil penggalian informasi dari mahasiswa yang dilakukan melalui

penyebaran kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner

dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berbagai penelitian terdahulu yang

serupa dan melalui konsep teoritis. Data sekunder adalah gambaran umum lokasi

penelitian dan data mengenai mahasiswa yang diperoleh dari literatur. Cara

pengumpulan data dilakukan melalui self report oleh mahasiswa secara langsung.

20

Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1 dengan menggunakan

kuesioner.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis Data Variabel Skala Data Sumber

Primer Karakteristik Mahasiswa

Usia Rasio

Jenis kelamin Nominal

IPK Rasio

Jurusan Nominal

Suku Nominal

Primer Karakteristik Keluarga Mahasiswa

Lama pendidikan orangtua Rasio

Pekerjaan orangtua Nominal

Urutan kelahiran Nominal

Besar keluarga Rasio

Primer Kecerdasan Emosi Dikembangkan

dari Latifah

(2009)

Kesadaran emosi Ordinal

Pengelolaan emosi Ordinal

Motivasi diri Ordinal

Primer Kecerdasan Sosial Dikembangkan

oleh Wulandari

(2011)

Kesadaran sosial Ordinal

Fasilitas sosial Ordinal

Primer Praktik Kepemimpinan

Dikembangkan

dari Kouzes &

Posner (2005)

Tantangan proses Ordinal

Inspirasi visi Ordinal

Mengajak bertindak Ordinal

Mahasiswa panutan Ordinal

Motivasi Ordinal

Primer Gaya Kepemimpinan Dikembangkan

dari Dubrin

(2002)

Otoriter Ordinal

Demokratis Ordinal

Laissez faire Ordinal

Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran

kecerdasan emosi remaja yang dikembangkan oleh Latifah (2009), yang terdiri

dari lima subskala, yaitu kesadaran emosi diri, pengelolaan emosi diri, motivasi

diri, empati, dan seni membina hubungan. Pada penelitian ini hanya menggunakan

tiga subskala yaitu kesadaran emosi diri yang terdiri atas 12 pertanyaan (enam

pertanyaan positif dan enam pertanyaan negatif), pengelolaan emosi diri yang

terdiri atas 12 pertanyaan (enam pertanyaan positif dan enam pertanyaan negatif) ,

dan motivasi diri terdiri atas 12 pertanyaan (delapan pertanyaan positif dan empat

pertanyaan negatif). Kecerdasan sosial diukur dengan menggunakan alat ukur

21

yang diadaptasi dari instrumen pengukuran kecerdasan sosial yang dikembangkan

oleh Wulandari (2009), terdiri atas 20 item pernyataan yang termasuk ke dalam

unsur kesadaran sosial ( delapan penyataan negatif dan 13 pernyataan positif) dan

23 item pernyataan yang termasuk ke dalam unsur fasilitas sosial (enam

penyataan negatif dan 17 pernyataan positif). Alat ukur praktik kepemimpinan

yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen S-LPI ( Student

Leadership Practices Inventory) yang diciptakan oleh Kouzes dan Posner (2005)

yang dimodifikasi, terdiri atas 30 pernyataan positif.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scorring, entry,

cleaning, dan analyzing. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

program Microsoft Excell dan SPSS. Data pengukuran dianalisis secara deskriptif

dan inferensia dengan menggunakan uji korelasi. Analisis deskriptif digunakan

untuk mengetahui sebaran usia, jenis kelamin, IPK, suku, usia keluarga, pekerjaan

anggota keluarga, pendapatan keluarga, besar keluarga mahasiswa . Uji Crosstabs

(untuk data nominal) dan uji korelasi Pearson (untuk data rasio) digunakan untuk

melihat hubungan antara karakteristik responden dan keluarga dengan skor total

kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial. Selain itu, uji korelasi akan digunakan

untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi-sosial terhadap gaya dan

praktik kepemimpinan mahasiswa.

Sebelum penggunaan kuesioner dilakukan uji coba kuesioner untuk

mengetahui reliabilitas kuesioner. Pengukuran reliabilitas dilihat dari nilai Alpha

Cronbach. Pada hasil reliabilitas kuesioner didapatkan hasil sebagai berikut, dari

nilai Alpha Cronbach untuk alat ukur kecerdasan emosi sebesar 0,835, dari nilai

Alpha Cronbach untuk alat ukur kecerdasaan sosial sebesar 0,866, dari nilai Alpha

Cronbach untuk alat ukur praktik kepemimpinan atau inventori kepemimpinan

sebesar 0,883, dan dari nilai Alpha Cronbach untuk alat ukur gaya kepemimpinan

sebesar 0,627.

Kecerdasaan emosi terdapat lima bagian, yaitu: kesadaran emosi diri,

pengelolaan emosi diri, motivasi diri, empati, dan seni membina hubungan. Pada

penelitian ini bagian yang digunakan adalah kesadaran emosi diri, pengelolaan

emosi diri, dan motivasi diri. Sedangkan empati dan seni membina hubungan

22

telah tergabung pada kecerdasan sosial berupa kesadaran sosial dan fasilitas

sosial. Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan jawaban yang

dikelompokkan menjadi sangat setuju (skor 5), setuju (skor 4), ragu-ragu (skor3),

setuju (skor2), dan sangat tidak setuju (skor 1). Kecerdasan sosial diukur dengan

menggunakan jawaban yang dikelompokkan menjadi tidak pernah (skor 1),

hampir tidak pernah (skor 2), kadanga-kadang (skor 3), sering (skor 4) , dan

sangat sering (skor 5).

Pada gaya kepemimpinaan terbagi atas empat jawaban, yaitu : tidak

pernah (skor 1), jarang (skor 2), sering (skor 3), dan sangat sering (skor 4). Praktik

kepemimpinan terbagi menjadi lima jawaban, yaitu: Jarang (skor 1), sesekali (skor

2), kadang-kadang (skor 3), sering (skor 4), dan sangat sering (skor 5). Pada setiap

pengkategorian (interval) setiap variabel dilakukan dengan membagi manjadi tiga

kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan interval kategori tersebut

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Selanjutnya, pembagian kategori adalah sebagai berikut:

a. Rendah: skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK

b. Sedang: skor minimum + IK ≤ x ≤ skor minimum + 2 IK

c. Tinggi: skor minimum + 2 IK ≤ x ≤ skor maksimum

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel

Variabel Kategori

Karakteristik Mahasiswa

Jenis Kelamin 1=laki-laki

2=perempuan

Usia (tahun) 1=remaja akhir (19-20th)

2=dewasa awal (≥21th)

Fakultas 0=TPB

1=FAPERTA

2=FKH

3=FPIK

4=FAPET

5=FAHUTAN

6=FATETA

7=MIPA

8=FEM

9=FEMA

23

Variabel Kategori

Suku 1=sunda

2=jawa

3=batak

4=Bugis

5=aceh

6=lainnya

Indeks Prestasi Komulatif - kurang (≤2,50)

- cukup (2,51-2,75)

- baik (2,76-3,50)

- sangat baik (≥3,51)

Pengeluaran (Rp.) - rendah (Rp 400.000 – 933.333)

- sedang (Rp 933.333– 1.466.666)

- tinggi (Rp 1.466.666-2.000.000)

Jumlah organisasi - rendah (1-4,6)

- sedang (4,7-8,2)

- tinggi (8,3-12)

Lama organisasi (tahun) - rendah (2-4,3)

- sedang (4,4-6,6)

- tinggi (6,7-9)

Karakteristik Keluarga Mahasiswa

Pendidikan Orangtua (tahun) - rendah (≤6thn)

- sedang (7-12th)

- tinggi (>12th)

Pekerjaan Orangtua 1=PNS/IRT

2=karyawan

3=wiraswasta

4=guru

5=dosen

6=petani

7=buruh

8=pensiunan

9=lainnya

Besar keluarga - kecil (≤4 orang)

- sedang (5-7 orang)

- besar (>7 orang)

Urutan kelahiran -1=sulung

-2=tengah

-3=bungsu

-4=tunggal

Kecerdasan Emosi - rendah (36-84)

- sedang (85-133)

- tinggi (134-180)

Kecerdasan Sosial - rendah (43-100)

- sedang (101-158)

- tinggi (159-215)

Praktik Kepemimpinan - rendah (30-70)

- sedang (71-110)

- tinggi (111-150)

24

Definisi Operasional

Mahasiswa adalah seseorang usia 17-21 tahun yang berada minimal pada

semester satu dan menduduki jabatan sebagai ketua lembaga

kemahasiswaan

Usia adalah usia mahasiswa pada saat pengambilan data ketika penelitian

dilakukan (dalam tahun)

Jenis Kelamin adalah identitas biologi yang membedakan tiap individu (laki-laki

atau perempuan)

Indeks Prestasi Akademik (IPK) adalah gambaran mengenai penguasaan

mahasiswa terhadap materi kuliah yang diberikan. Prestasi akademik

diukur dengan meggunakan Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa hingga

semester terakhir dengan skor 1-4. Semakin tinggi nilai maka semakin

baik prestasi akademik mahasiswa.

Lembaga kemahasiswaan adalah organisasi mahawasiswa S1 yang resmi diakui

oleh IPB sebanyak 94 organisasi.

Jumlah saudara adalah banyaknya anak dalam satu keluarga inti.

Jumlah organisasi adalah banyaknya organisasi yang pernah diikuti oleh

pimpinan kelembagaan sejak SMP sampai dengan perguruan tinggi.

Lama organisasi adalah lama (tahun) para pimpinan kelembagaan pernah

berkecipung dalam suatu organisasi.

Urutan kelahiran adalah susunan anak lahir hidup dalam keluarga mahasiswa.

Tingkat pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang

pernah diikuti oleh ayah dan ibu mahasiswa.

Pengeluaran mahasiswa adalah jumlah pengeluaran mahasiswa tiap bulan yang

digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup selama kuliah.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah

yang terdiri atas ayah, ibu dan anak.

Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengetahui dan menangani perasaan

sendiri dengan baik serta yang mampu membaca dan menghadapi perasaan

25

orang lain dengan efektif. Goleman (2002) membagi kecerdasan emosi

dalam lima wilayah yaitu:

Kesadaran emosi diri adalah kesadaran diri dalam mengenali perasaan

sewaktu perasaan itu terjadi.

Pengelolaan emosi diri dalah kemampuan individu dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, dimana hal ini

sangat bergantung pada kesadaran diri.

Motivasi diri adalah menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Empati adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain.

Seni membina hubungan adalah keterampilan mengelola emosi orang

lain.

Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana

bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda. Unsur kecerdasan sosial

meliputi kesadaran sosial dan fasilitas sosial.

Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat merasakan keadaan

batiniah seseorang sampai memahami perasaan dan pikirannya.

Fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial

untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif.

Praktik kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan segala kelebihan

dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan segala sesuatu sesuai

dengan visi misinya dengan perasaan tidak terpaksa. Kouzes dan Posner

(2007) membagi praktik kepemimpinan menjadi lima subskala yaitu

mahasiswa panutan, membangun motivasi, mengajak orang lain bertindak,

menginspirasi visi, dan tantangan dalam menjalankan proses.

Gaya Kepemimpinan adalah norma perilaku yang digunakan oleh seseorang

pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.

Kartono (2011) membagi gaya kepemimpinan menjadi tiga yaitu :

Otoriter adalah kepemimpinan yang bersifat keras, tidak boleh disanggah,

dan mengharuskan.

26

Demokratis adalah kepemimpinan yang berdasarkan intraksi dan

kerjasama, kebebasan yang teratur, pemberian kesempatan kepada semua

anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif dan menyumbangkan

ide-ide yang konstruktif.

Laissez faire adalah kepemimpinan yang membiarkan semua anggota

bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak memberikan

perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing anggota

bergerak sendiri-sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kampus IPB Dramaga mempunyai luas 267 hektar yang digunakan

sebagai kantor rektorat dan pusat kegiatan belajar-mengajar S1, S2, dan S3.

Kampus IPB Baranangsiang Bogor dengan luas 11,5 hektar digunakan sebagai

pusat kegiatan penelitian dan pemberdayaan masyarakat serta pendidikan

pascasarjana eksekutif. Kampus IPB Gunung Gede Bogor (14,5 ha) digunakan

sebagai pusat kegiatan pendidikan manajemen dan bisnis yang akan dilengkapi

dengan techno-park. Kampus IPB Cilibende Bogor (3,2 ha) sebagai pusat kegiatan

pendidikan vokasional diploma dan kampus IPB Taman Kencana Bogor (3,4 ha)

direncanakan untuk pendirian rumah sakit internasional.

IPB juga menyediakan student dormitory sebagai bentuk perhatiaan

kepada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dengan kapasitas 3.500

orang. Mahasiswa selain TPB disediakan asrama dengan kapasitas mencapai 500

orang. Selain itu, IPB mempunyai fasilitas penunjang lainnya yaitu bus kampus,

sepeda, sarana ibadah, gedung olahraga (Gymnasium), Pusat Kegiatan Mahasiswa

(Student Centre), Plaza Akademik, peralatan kesenian, poliklinik, serta terdapat

beberapa Bank, ATM, dan Kantor Pos yang terletak di sekitar kampus IPB.

IPB selain memberikan perhatian pada mahasiswa TPB juga menyediakan

sarana pengembangan diri bagi mahasiswa secara keseluruhan. Pembentukan

organisasi sesuai minat bertujuan untuk memberikan pembekalan keterampilan

softskill guna menunjang keberadaan keterampilan hardskill yang didapat pada

saat kuliah. Pada Tahun 1998 di Cisarua Bogor terjadi kongres mahasiswa IPB

yang menghasilkan sistem pemerintahan mahasiswa yang dikenal sebagai

Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (KM IPB). Undang-undang Dasar

Keluarga Mahasiswa IPB (UUD KM IPB) menyebutkan bahwa KM IPB

merupakan wadah mahasiswa di tingkat perguruan tinggi dan merupakan

kelengkapan non-struktural pada perguruan tinggi yang berhubungan secara

kemitraan dengan institusi. Dalam pembentukan KM IPB sistem pemerintahan

mahasiswa tidak menganut secara penuh sistem trias politica yaitu legislatif,

eksekutif, dan yudikatif (MPM KM IPB 2012).

28

Saat ini untuk mahasiswa S1, IPB memiliki 94 lembaga kemahasiswaan

yang terdiri dari 12 lembaga legislatif yaitu satu Majelis Permusyawaratan

Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (MPM KM IPB), satu Dewan Perwakilan

Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (DPM KM IPB), dan 10 DPM yang berada

di fakultas dan TPB. Sebelas lembaga eksekutif atau BEM yang terdiri dari satu

BEM KM IPB dan sepuluh BEM yang berada di fakultas dan TPB. Tiga puluh

tiga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang terbagi atas keagamaan, bela diri,

kesenian, olahraga, dan bidang khusus. Tiga puluh delapan Himpunan Profesi

(Himpro) berada pada setiap jurusan di semua fakultas yang digunakan untuk

menyalurkan minat serta profesi mahasiswa.

Karakteristik Mahasiswa

Jenis Kelamin

Hampir seluruh mahasiswa (95,7%) berjenis kelamin laki-laki dan sisanya

(4,3%) berjenis kelamin perempuan. Tabel 3 menunjukkan mahasiswa laki-laki

masih mendominasi dan dipercaya untuk memegang kursi kepemimpinan. Hal ini

diduga karena ketua kelembagaan cocok dipegang oleh seorang laki-laki daripada

perempuan. Menurut Santrock (2003), perempuan sering distereotipekan kurang

berkompeten daripada laki-laki. Selain itu, banyak perempuan yang lebih

disosialisasikan dengan peran mengurus keluarga dibandingkan dengan peran

yang berhubungan dengan prestasi atau karir. Hurlock (1980) menyebutkan

bahwa kurangnya rasa percaya diri, tidak adanya motivasi yang kuat untuk

menjadi pemimpin menyebabkan lebih sedikit pemimpin perempuan pada setiap

bidang kehidupan orang dewasa.

Usia

Rentang umur mahasiswa berkisar 19 sampai 23 tahun. Tabel 3

menunjukkan hampir duapertiga mahasiswa (60,9%) memiliki umur lebih dari

sama dengan 21 tahun atau memasuki fase dewasa awal sedangkan lebih dari

sepertiga mahasiswa (39,2%) berada pada fase remaja akhir dengan kisaran umur

antara 19-20 tahun. Banyak ahli perkembangan menyatakan bahwa kisaran umur

tersebut merupakan fase remaja akhir atau late adolescence (18-22 tahun) menuju

fase dewasa awal atau early adulthood (20-30 tahun). Fase perubahan tersebut

membawa dampak dalam pembentukan kemandirian pribadi sehingga

29

perkembangan karir menjadi lebih penting daripada waktu remaja (Santrock

2003). Menurut Mappiare (1983), dewasa awal merupakan fase yang memiliki

minat dan keinginan untuk lebih berarti dan berguna bagi lingkungan masyarakat

sehingga pada fase tersebut sering kali memiliki peranan sebagai pemimpin,

pengatur, atau sebagai anggota dalam sebuah organisasi.

Tabel 3 Sebaran mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan umur

Variabel Jumlah

n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 88 95,7

Perempuan 4 4,3

Total 92 100,0

Umur (tahun)

Remaja akhir (19-20) 36 39,2

Dewasa awal (≥21) 56 60,9

Total 92 100,0

Min-Maks (tahun) 19-23

Rata-rata±SD (tahun) 20,6±0,85

Asal Fakultas

Fakultas menurut kamus bahasa Indonesia adalah bagian perguruan tinggi

yang mempelajari suatu bidang ilmu yang terdiri atas beberapa jurusan. Hampir

seperempat (22,8%) mahasiswa berasal dari Fakultas Teknik Pertanian

(FATETA) sedangkan persentase terendah (2,2%) berasal dari TPB. Sebaran

mahasiswa berdasarkan asal fakultas dapat dilihat pada Tabel 4.

Suku

Persentase terbesar suku bangsa mahasiswa yang mendominasi adalah

suku Sunda dan Jawa. Hampir separuh mahasiswa (45,7%) berasal dari suku

Sunda dan lebih dari seperempat mahasiswa (27,2%) berasal dari suku Jawa. Hal

ini dikarenakan keberadaan kampus IPB di wilayah Jawa Barat yang mayoritas

bersuku Sunda. Sebaran mahasiswa berdasarkan suku dapat dilihat pada Tabel 4.

30

Tabel 4 Sebaran mahasiswa berdasarkan asal fakultas, suku, dan IPK

Variabel Jumlah

n %

Asal Fakultas

TPB 2 2,2

FAPERTA 9 9,8

FKH 7 7,6

FPIK 10 10,9

FAPET 6 6,5

FAHUTAN 8 8,7

FATETA 21 22,8

FMIPA 10 10,9

FEM 13 14,1

FEMA 6 6,5

Total 92 100,0

Suku

Sunda 42 45,7

Jawa 25 27,2

Batak 4 4,3

Bugis 4 4,3

Aceh 4 4,3

Lainnya 13 14,1

Total 92 100,0

Indeks Prestasi Komulatif (IPK)

Kurang (≤2,50) 7 7,6

Cukup (2,51-2,75) 11 12,0

Baik (2,76-3,50) 63 68,5

Sangat baik (≥3,51) 11 12,0

Total 92 100,0

Min-Maks 2,14-3,82

Rata-rata±SD 2,85±0,73

Indeks Prestasi

Abdullah (2008) diacu dalam Nurhayati (2011) menjelaskan bahwa

prestasi akademik adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang

dapat memberikan kepuasan emosional dan dapat diukur dengan alat atau tes

tertentu. Selain itu, Santrock (2003) menjelaskan bahwa tes prestasi adalah tes

yang memperlihatkan keterampilan yang sudah dipelajari atau dikuasai seseorang.

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah salah satu alat ukur untuk mengetahui

prestasi seseorang. IPK merupakan salah satu bentuk hasil penilaian belajar yang

diperoleh mahasiswa dalam kurun waktu dan mata kuliah tertentu berdasarkan

huruf serta angka selama perkuliahan di kampus IPB (Nurhayati 2011)

31

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa berada kisaran 2.14 sampai

3,82. Lebih dari separuh mahasiswa (68,5%) mempunyai nilai akademik dalam

kategori baik, sedangkan persentase terendah (7,6%) mahasiswa mempunyai IPK

yang berada pada kategori kurang. Hal ini diduga karena waktu antara organisasi

dan akademik yang sering berbenturan. Menurut Santrock (2003) bahwa minat

sosial sering kali menyita waktu pada kegiatan akademik atau ambisi pada bidang

tertentu dalam menghadapi pencapaian prestasi di bidang lain. Sebaran mahasiswa

menurut IPK dapat dilihat pada Tabel 4 di atas.

Pengeluaran

Pengeluaran mahasiswa diasumsikan dari total pengeluaran pada setiap

bulan yang besarnya berkisar antara Rp400.000 sampai Rp2.000.000. Biaya

pengeluaran mahasiswa berasal dari orangtua dan beasiswa. Lebih dari dua pertiga

mahasiswa (67,4%) memiliki pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan, hanya

sebagian kecil mahasiswa (3,3%) memiliki pengeluaran lebih dari Rp

1.500.000/bulan. Persentase pengeluaran mahasiswa diduga berhubungan dengan

pekerjaan ayah sebagai pensiunan dan ibu sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).

Pengeluaran mahasiswa sebagian digunakan untuk pangan dan kebutuhan

perkuliahan (foto copy dan ATK). Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran

mahasiswa perbulan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran

Pengeluaran n %

Rendah (Rp 400.000 – Rp.933.333) 62 67,4

Sedang (Rp 933.333 – Rp 1.466.666) 27 29,3

Tinggi (Rp 1.466.666 – Rp 2.000.000) 3 3,3

Total 92 100,0

Min-Maks (Rp/bulan) 400.000-2.000.000

Rata-rata±SD (Rp/bulan) 786739±274146,46

Jumlah Saudara

Lebih dari sepertiga mahasiswa (34.8%) memiliki dua orang saudara.

Sementara itu, lebih dari seperempat mahasiswa (29,3%) memiliki satu saudara

yang termasuk keluarga kecil dan 2,2 % mahasiswa menjadi anak tunggal.

Sebaran jumlah saudara mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 6.

32

Urutan Kelahiran

Berdasarkan urutan kelahiran, mahasiswa dikategorikan menjadi empat

kategori, yaitu anak tunggal, anak sulung (anak pertama), anak tengah (anak yang

lahir diantara anak pertama dan anak terakhir), anak bungsu (anak terakhir). Lebih

dari sepertiga mahasiswa (40,2%) merupakan anak sulung. Posisi anak sulung

merupakan panutan bagi saudara kandung yang lain. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Santrock (2003) yang menyatakan bahwa individu yang lahir terlebih

dahulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas,

mampu mengendalikan diri daripada saudara kandung yang lain. Tuntutan

orangtua dan standar yang tinggi dan diterapkan bagi anak sulung dapat membuat

anak sulung meraih prestasi yang lebih baik daripada saudara kandung lain.

Sebaran mahasiswa berdasarkan urutan kelahiran dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran mahasiswa berdasarkan jumlah saudara, urutan kelahiran,

jumlah, dan lama organisasi

Variabel Jumlah

n %

Jumlah Saudara

0 2 2.2

1 27 29.3

2 32 34.8

≥3 31 31.7

Total 92 100.0

Urutan Kelahiran

Sulung 37 40.2

Tengah 34 37

Bungsu 19 20.7

Tunggal 2 2.2

Total 92 100.0

Jumlah Organisasi Rendah (1-4,6) 41 44,7

Sedang (4,7-8,2) 42 45,6

Tinggi (8,3-12) 9 9,7

Total 92 100,0

Min-Maks 1-12

Rata-rata±SD 5,12±2,39

Lama Organisasi Rendah (2-4,3) 29 31,5

Sedang (4,4-6,6) 42 45,7

Tinggi (6,7-9) 21 22,8

Total 92 100,0

Min-Maks (tahun) 2-9 Rata-rata±SD (tahun) 5,24±1,7

33

Jumlah dan Lama Organisasi

Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa jumlah organisasi yanng pernah diikuti

sejak SMP, hampir separuh mahasiswa (45,6%) termasuk dalam kategori sedang

dan 44,7 persen mahasiswa termasuk dalam kategori rendah. Sementara itu, hanya

9,7 persen mahasiswa termasuk dalam kategori tinggi. Lama organisasi yang

pernah diikuti mahasiswa berkisar antara 2 sampai 9 tahun. Hampir separuh

mahasiswa (45,7%) berada pada kategori sedang, namun hampir seperempat

mahasiswa (22,8%) berada pada kategori tinggi. Mappiare (1983) menyebutkan

bahwa perkembangan jabatan (kepemimpinan) akan seirama dengan terjadinya

perkembangan dalam diri manusia.

Karakteristik Keluarga Mahasiswa

Pendidikan Orangtua

Tabel 7 menunjukkan pendidikan orangtua mahasiswa berkisar dari tidak

sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Hampir sepertiga ayah mahasiswa

(30.4%) telah menempuh pendidikan selama 18 tahun atau setara dengan sarjana

(S1) dan 1,1% ayah mahasiswa tidak bersekolah. Lebih dari sepertiga (33,7%) ibu

mahasiswa berlatar belakang sarjana (S1) atau menempuh pendidikan selama 8

tahun. Sementara itu, hampir seperempat ibu mahasiswa (23,9%) berlatar

belakang SMA dan 1,1% tidak tamat SD.

Pendidikan ayah dan ibu paling tinggi berada pada jenjang S3 dengan

kisaran lama pendidikan adalah 20 tahun. Pada jenjang pendidikan ayah terendah

adalah tidak sekolah dan jenjang pendidikan ibu terendah adalah tidak tamat SD

dengan lama pendidikan empat tahun. Pendidikan ayah mahasiswa memiliki

persentase yang sama antara pendidikan tamat SD dengan SMA sebesar 18,5

persen. Sedangkan pada pendidikan ibu persentase tersebar antara pendidikan

SMP sampai sarjana sehingga pendidikan ibu lebih baik daripada pendidikan ayah

tetapi untuk jenjang pendidikan lanjut S2 dan S3 lebih besar diperoleh ayah

mahasiswa daripada ibu mahasiswa. Lebih dari separuh ayah dan ibu mahasiswa

memiliki lama pendidikan dalam kategori tinggi.

Gunarsa & Gunarsa (2008) menyatakan tingkat pendidikan yang dicapai

seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berpikir

persepsi, pemahaman, dan kepribadian. Tingkat pendidikan secara langsung dan

34

tidak langsung akan menentukan kualitas komunikasi dalam keluarga. Orangtua

yang berpendidikan tinggi akan lebih mampu mengikuti perkembangan

masyarakat dan informasi daripada orangtua yang berpendidikan rendah. Selain

itu, orangtua dengan pendidikan yang tinggi mampu memberikan kualitas

pengasuhan yang baik sehingga berkembangan dengan baik.

Pekerjaan Orangtua

Seperempat ayah mahasiswa (25%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS), sedangkan lebih dari sepertiga ayah mahasiswa (37%) bekerja sebagai

karyawan dan wiraswasta. Hampir separuh ibu mahasiswa (47,8%) bekerja

sebagai ibu rumah tangga, sedangkan hampir sepertiga ibu mahasiswa (32,6%)

bekerja sebagai PNS dan wiraswasta. Sebaran pekerjaan orangtua disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran mahasiswa berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua

Variabel Ayah Ibu

n % n %

Pendidikan Orangtua

Tidak sekolah / Lulus 1 1.1 1 1.1

SD 17 18.5 8 8.7

SMP 7 7.6 10 10.9

SMA 17 18.5 22 23.9

Diploma 7 7.6 13 14.1

S1 28 30.4 31 33.7

S2 10 10.9 6 6.5

S3 5 5.4 1 1.1

Total 92 100.0 92 100.0

Pekerjaan Orangtua

PNS 23 25,0 20 21,7

Karyawan 16 17.4 5 5,4

Wiraswasta 18 19.6 10 10,9

Guru 4 4.3 9 9,8

Dosen 2 2.2 0 0,0

Petani 3 3.3 1 1,1

Buruh 5 5.4 0 0,0

Pensiunan 13 14.1 0 0,0

IRT 0 0,0 44 47,8

Lainnya 8 8.7 3 3,3

Total 92 100.0 92 100,0

Besar Keluarga

Menurut Burgess dan Locke (1960) diacu dalam Guhardja et al. (1992)

menyebutkan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang

35

terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan melalui darah, pernikahan, dan

adopsi. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,

dan anak. Berdasarkan BKKBN (1998) besar keluarga dikategorikan menjadi tiga

kategori yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau

sama dengan empat orang, keluarga sedang dengan anggota keluarga antara lima

sampai tujuh orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari

tujuh orang.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa besar keluarga mahasiswa

berkisar antara 3 sampai 12 orang. Lebih dari separuh keluarga mahasiswa

(59,8%) memiliki keluarga dengan kategori sedang, hampir sepertiga mahasiswa

(31,5%) pada keluarga kecil, dan sisanya (8,7%) berada pada keluarga dengan

kategori besar. Sebaran besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran mahasiswa berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga Jumlah

n %

Keluarga Kecil (≤4 orang) 29 31.5

Keluarga Sedang (5 s/d 7 orang) 55 59.8

Keluarga Besar (>7 orang) 8 8.7

Total 92 100.0

Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang individu dalam

mengenali emosi , mengelola emosi , memotivasi diri , mengenali emosi orang

lain, dan membina hubungan (Goleman 2002). Konsep dasar kecerdasan emosi

adalah kesuksesan dan kesenangan lebih dari kecerdasan intelektual. Cherniss

(1998) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbangkan 20

persen faktor keberhasilan dalam menjalankan kehidupan. Bradberry dan Greaves

(2009) dalam Ingram dan Cangemi (2012) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi

merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemampuan dalam hal pekerjaan

dan sekitar 58 persen kemampuan kerja di seluruh dunia dipengaruhi oleh

kecerdasan emosi. Tabel 9 memperlihatkan lebih dari dua pertiga mahasiswa

(68,5%) memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, sedangkan kurang dari

seperempat mahasiswa memiliki kecerdasan emosi dalam kategori sedang

(31,5%). Hal ini berbeda dengan penelitian Nurhayati (2011) yang menyatakan

36

bahwa sebagian besar mahasiswa (penerima beasiswa dan reguler) berada pada

ketegori sedang.

Tabel 9 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi total Jumlah

n %

Rendah (36-84) 0 0,0

Sedang (85-133) 29 31,5

Tinggi (134-180) 63 68,5

Total 92 100,0

Mean±SD 139,73±12,12

Kesadaran emosi

Kesadaran diri adalah perhatian terus menerus terhadap keadaan batin

seseorang. Dalam kesadaran diri, seseorang dapat mengamati dan menggali

pengalaman termasuk emosi. Kesadaran diri akan emosi merupakan kecakapan

emosional dasar yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain.

Kepekaan akan kesadaran emosi diri akan memudahkan seseorang dalam

mengambil keputusan. Seseorang dengan kesadaran emosi diri dapat

mengungkapkan emosi yang sedang terjadi sehingga dapat melakukan tindakan

untuk mengungkapkan emosi tersebut (Goleman 2002).

Tabel 10 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran emosi

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Mengetahui penyebab sedih yang dirasakan 23,9 21,7 3,3

2 Mengungkapkan perasaan sedih/marah 45,7 21,7 32,6

3 Menyadari kekurangan dan kelebihan 92,4 5,4 2,2

4 Mempunyai harga diri walaupun tidak selalu

berprestasi 92,4 3,2 4,4

5 Mengungkapkan rasa takut yang dialami 44,6 27,2 28,2

6 Mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab rasa

bosan pada diri sendiri 77,2 19,6 3,3

7 Mengetahui penyebab kekesalan yang dirasakan 62 16,3 21,7

8 Percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki 76,1 17,4 6,5

9 Dapat mengungkapkan rasa bahagia yang dialami 69,6 17,4 13,1

10 Menyadari sifat jelek yang dimiliki 52,2 22,8 25

11 Mudah merasa putus asa 5,4 21,7 72,8

12 Sulit mencari kata-kata untuk menjelaskan

perasaan yang sedang dirasakan 32,6 23,9 43,5

Tabel 10 diatas menunjukkan hampir seluruh pimpinan kelembagaan

(92,4%) setuju untuk menyadari kekurangan dan kelebihan serta mempunyai

37

harga diri walaupun tidak berprestasi. Lebih dari tiga perempat mahasiswa

mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab rasa bosan pada diri sendiri dan

percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki.

Pengelolaan Emosi

Pengelolaan emosi merupakan kemampuan untuk menghadapi badai

emosional. Tujuan utama dari pengelolan emosi adalah membentuk keseimbangan

emosi bukan menekan emosi sehingga setiap perasaan yang terjadi dapat

menimbulkan nilai dan makna. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap

terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi (Goleman 2002).

Tabel 11 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengelolan emosi

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1. Ingin terlarut dalam kesedihan untuk waktu lama

walau memiliki banyak masalah 3,3 4,3 92,4

2. Dapat mengatasi kesedihan yang dialami tanpa

melampiaskannya pada hal-hal negatif 75,0 18,5 6,5

3. Membuat perencanaan setiap kegiatan 75,0 20,7 4,4

4. Menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan

amarah muncul ketika sedang bad mood 83,7 12,0 2,2

5. Jika melakukan kesalahan, akan menerima

hukuman yang diberikan dengan lapang dada 91,3 7,6 1,1

6. Ketika sedang sedih, akan mencari kesibukan lain

untuk mengalihkan perhatian dan berusaha

menghibur diri 89,2 9,8 1,1

7. Membalas jika ada teman yang menyakiti 5,4 20,7 73,9

8. Merasa sangat putus asa apabila gagal dalam

memimpin organisasi 31,5 15,2 53,2

9. Berteriak/merengek/menangis/marah setiap kali

permintaan tidak terpenuhi 2,2 6,5 91,3

10. Sangat kesal jika teman yang telah membuat janji

tiba-tiba membatalkan janjinya 52,2 28,3 19,6

11. Dapat menerima perubahan yang terjadi pada diri

sendiri ketika menginjak dewasa 85,9 12,0 2,2

12. Jika sedang sedih, seringkali diperlihatkan

kesedihan yang sebenarnya di depan umum

10,9

18,5

70,6

Tabel 11 menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa tidak mau

terlarut lama dalam kesedihan walau memiliki banyak masalah (92,4%), tidak

setuju untuk berteriak/menangis/merengek/marah setiap permintaan tidak

terpenuhi (91,3%) dan jika melakukan kesalahan, akan menerima hukuman yang

diberikan dengan lapang dada (91,3%). Sebagian besar mahasiswa menghindari

38

hal-hal yang dapat menimbulkan amarah muncul ketika sedang bad mood

(83,7%), ketika sedang sedih, akan mencari kesibukan lain untuk mengalihkan

perhatian dan berusaha menghibur diri (89,2%), dan dapat menerima perubahan

yang terjadi pada diri sendiri ketika menginjak dewasa (85,9%). Tiga perempat

mahasiswa (75%) dapat mengatasi kesedihan yang dialami tanpa

melampiaskannya pada hal-hal negatif dan membuat perencanaan setiap kegiatan.

Motivasi diri

Motivasi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan menata emosi

guna mencapai tujuan. Pada banyak penelitian menyebutkan bahwa keberadaan

emosi mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau prestasi

seseorang. Keberhasilan ini dikarenakan adanya motivasi positif yaitu kumpulan

perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri. Keberadaan etos diri

diterjemahkan sebagai bentuk motivasi diri yang lebih tinggi, semangat, dan

ketekunan sehingga menjadikan seseorang unggul dalam kecerdasan emosi

(Goleman 2002).

Tabel 12 memperlihatkan bahwa hampir seluruh mahasiswa menyatakan

bahwa akan mendampingi dan berpartisipasi dalam setiap program yang ada di

organisasi (99,0%), meskipun pekerjaan tersebut sulit akan terus berusaha

menyelesaikannya dengan tekun (91,3%), anggota yang berprestasi adalah

dorongan dan semangat untuk memimpin lebih baik lagi (97,8%), dan

menemukan solusi suatu masalah maka akan berdiskusi dengan teman untuk

mencari solusi (97,8%). Sebagian besar mahasiswa memberikan arahan di lapang

walaupun sedang sakit (82,6%) dan menciptakan organisasi yang baik, maka akan

mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi (86,9%).

Lebih dari tiga perempat mahasiswa tidak setuju akan pesimis dalam menghadapi

segala persoalan, baik di perkuliahan maupun di organisasi (79,4) dan patah

semangat apabila mendapatkan kritikan pedas (78,3%). Nurhayati (2011)

menyatakan bahwa mahasiswa penerima beasiswa berprestasi dan reguler berada

pada kategori sedang, sedangkan pada uji beda T-test tidak menunjukkan adanya

perbedaan yang nyata (p≥0,05) antara mahasiwa penerima beasiswa dan reguler

dalam memotivasi diri.

39

Tabel 12 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi diri

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Memberikan arahan di lapang walaupun sedang

sakit. 82,6 14,1 3,3

2 Memiliki jadwal/agenda harian yang akan

dilakukan setiap hari 72,8 14,1 13,1

3 Meskipun pekerjaan tersebut sulit, akan terus

berusaha menyelesaikannya dengan tekun 91,3 8,7 0,0

4 Menciptakan organisasi yang baik, maka akan

mendahulukan kepentingan organisasi daripada

kepentingan pribadi 86,9 12,0 1,1

5 Bekerja sama pada setiap orang meskipun pada

orang yang tidak disukai 68,5 27,2 4,3

6 Anggota yang berprestasi adalah dorongan dan

semangat untuk memimpin lebih baik lagi 97,8 1,1 1,1

7 Setiap kali ada program /kegiatan organisasi ,

akan berpartisipasi untuk mengawasi dan

mendampingi agar kegiatan tersebut sukses 99,0 0,0 1,1

8 Menemukan solusi suatu masalah maka akan

berdiskusi dengan teman untuk mencari solusi 97,8 2,2 0,0

9 Organisasi lebih penting daripada kuliah 12 34,8 53,2

10 Pesimis dalam menghadapi segala persoalan, baik

di perkuliahan maupun di organisasi 3,3 17,4 79,4

11 Patah semangat, apabila mendapatkan kritikan

pedas 5,4 16,3 78,3

12 Berusaha untuk memimpin dengan lebih baik jika

orang lain memuji saya 58,7 13,0 28,3

Kecerdasan Sosial

Hatch dan Gardner diacu dalam Goleman (2002) menjelaskan bahwa

komponen-komponen kecerdasan sosial antara lain : mengorganisir kelompok,

merundingkan pemecahan, mempunyai hubungan pribadi, dan analisis sosial.

Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan sosial yang baik dapat menjalin

hubungan dengan orang lain cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan,

mempu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang

muncul dalam sebuah organisasi. Selain itu, Thorndike (1920) dalam Shields

(2008) menjelaskan definisi kecerdasaan sosial sebegai kemampuan untuk

memahami dan mengelola pria dan wanita, laki-laki dan perempuan dalam

aktivitas hubungan manusia. Tabel 13 memperlihatkan lebih dari dua pertiga

mahasiswa (71,7%) memiliki tingkat kecerdasan sosial yang tinggi. Sedangkan

40

kurang dari seperempat mahasiswa memiliki kecerdasan sosial masuk dalam

ketegori sedang (28,3%).

Tabel 13 Sebaran mahasiswa berdasakan kecerdasan sosial

Kecerdasan sosial Jumlah

n %

Rendah (43-100) 0 0,0

Sedang (101-158) 26 28,3

Tinggi (159-215) 66 71,7

Total 92 100,0

Mean±SD 167,17±12,67

Gunarsa dan Gunarsa (2008) menyebutkan bahwa pergaulan adalah suatu

kebutuhan untuk memperkembangkan aspek sosial anak. seorang anak melalui

hubungan dengan lingkungan sosial secara langsung atau tidak langsung akan

mempengaruhi kepribadian anak.

Kesadaran sosial

Kesadaran sosial adalah keadaan seseorang yang dapat merasakan

perasaan orang lain. Kesadaran sosial ini terbagi atas empati dasar, kemampuan

mendengarkan, ketepatan empatik, dan pengertian sosial. Kemampuan-

kemampuan kesadaran sosial saling berinteraksi satu sama lain: ketepatan empatik

bertumpu pada kemampuan mendengarkan dan empati dasar sehingga secara

bersama-sama ketiga bagian tersebut meningkatkan kognisi sosial atau pengertian

sosial. Eisenberg dan Fabes (1992) diacu dalam Rotenberg (1995) menyatakan

bahwa empati merupakan respon emosional yang didasarkan atas kondisi emosi

seseorang. Tabel 14 menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa setuju bahwa

setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda (98,9%), senang bisa menjadi

tempat “curhat” teman (92,4%), suka berteman dengan siapa saja (90,2%), merasa

senang apabila mempunyai teman baru (93,5%), dan merasa senang jika melihat

kegembiraan orang lain (92,4%). Menurut Goleman, Boyatzis, dan Mckee (2007)

menyebutkan bahwa pemimpin yang terbaik adalah seseorang yang bisa

dipercaya, empatik, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, dan bagi

anggota dapat merasakan ketenangan, dihargai, serta terinspirasi.

41

Tabel 14 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran sosial

No Pernyataan

Kategori (%)

Sering Ragu-

ragu

Tidak

pernah

1. Sulit menerima dan memahami pandangan teman

yang berbeda 5,4 48,9 45,6

2. Menerima suatu kesepakatan rapat, walaupun

tidak sesuai dengan keinginan 68,5 28,3 3,3

3. Senang bisa menjadi tempat “curhat” teman 92,4 6,5 1,1

4. Menyimpan rahasia teman 88,0 12,0 0,0

5. Suka berteman dengan siapa saja 90,2 8,7 1,1

6. Mempunyai banyak teman 89,1 8,7 2,2

7. Teman-teman terlihat nyaman 83,7 13,0 3,3

8 Dapat berteman dengan siapa saja 85,9 12,0 2,2

9 Dapat mengorbankan kepentingan pribadi demi

orang lain 54,4 32,6 13,1

10 Merasa gengsi untuk meminta maaf jika

melakukan kesalahan 2,2 27,2 70,6

11 Merasa senang apabila mempunyai teman baru 93,5 6,5 0,0

12 Lebih suka menyendiri daripada berada di tengah

orang banyak 18,4 51,1 30,4

13 Keinginan pribadi ingin diikuti oleh teman-teman 26,1 42,4 31,5

14 Merasa senang jika melihat kegembiraan orang

lain 92,4 6,5 1,1

15 Merasa senang terlibat dalam suatu pergaulan

dengan siapa saja 87,0 10,9 2,2

16 Bersama teman adalah saat-saat yang

menyenangkan 84,8 14,1 1,1

17 Yang terpenting adalah kenyamanan diri sendiri 19,5 31,5 48,9

18 Suka melakukan hal-hal yang disenangi 77,2 17,4 5,4

19 Suka dibantah 50,0 39,1 10,9

20 Memahami bahwa setiap orang memiliki karakter

yang berbeda-beda 98,9 1,1 0,0

Fasilitas Sosial

Kesadaran sosial merupakan landasan bagi fasilitas sosial. Fasilitas sosial

merupakan kemampuan untuk melakukan interaksi yang mulus pada tingkat

nonverbal, menampilkan diri secara efektif sehingga seseorang dapat membentuk

interaksi sosial melalui pengaruh diri sehingga membuat orang nyaman dan peduli

terhadap kebutuhan orang lain. Tabel 15 menunjukkan bahwa hampir seluruh

mahasiswa setuju berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain (96,8%),

bersedia mendengarkan keluh kesah teman (93,5%), berusaha membantu teman

yang sedang mengalami kesulitan (94,5%), mengucapkan salam (permisi) ketika

lewat didepan orang lain (91,3%), tersenyum ketika bertemu dengan orang yang

42

dikenal (90,2%), berupaya memahami orang lain (90,3%), dan siap membantu

ketika teman membutuhkan bantuan (93,4%).

Tabel 15 Sebaran mahasiswa berdasarkan fasilitas sosial

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Bersedia mendengarkan keluh kesah teman 93,5 6,5 0,0

2 Berusaha membantu teman yang sedang

mengalami kesulitan 94,5 5,4 0,0

3 Seringkali tidak menyadari ketika teman

mengalami kesulitan 16,3 52,2 31,5

4 Senang berada dalam situasi sosial 82,6 15,2 2,2

5 Mampu menyelesaikan perselisihan antar teman

dengan adil 64,1 32,6 3,3

6 Mudah untuk memulai suatu pembicaraan dengan

orang dewasa 62,0 29,3 8,7

7 Di lingkungan baru, tidak dapat beradaptasi

dengan cepat 16,3 35,9 47,9

8 Bila teman murung, segera bertanya 61,9 32,6 5,4

9 Mengucapkan salam (permisi) ketika lewat

didepan orang lain 91,3 6,5 2,2

10 Menyapa ketika bertemu dengan orang yang

dikenal di jalan 89,1 9,8 1,1

11 Merasa mudah untuk bekerjasama dengan orang

lain 78,3 20,7 1,1

12 Tersenyum ketika bertemu dengan orang yang

dikenal 90,2 9,8 0,0

13 Sulit bersikap ramah dengan orang yang baru

ditemui 13,1 27,2 59,8

14 Sering merasa sendiri di tengah kerumunan orang

banyak 9,8 37,0 53,3

15 Berusaha menjaga hubungan baik dengan orang

lain 96,8 2,2 1,1

16 Sering mendamaikan teman yang sedang

bermusuhan 56,5 35,9 7,6

17 Berupaya memahami orang lain 90,3 8,7 1,1

18 Berbagi makanan dengan teman saya 73,9 21,7 4,3

19 Siap membantu ketika teman membutuhkan

bantuan 93,4 6,5 0,0

20 Selalu manjaga perasaan teman 88,0 10,9 1,1

21 Merasa bersalah jika menyakiti hati orang lain 89,1 10,9 0,0

22 Termasuk orang yang sulit untuk memulai

pembicaraan dengan orang yang baru dikenal 20,7 29,3 50

23 Orang yang sulit meminta maaf 2,2 23,9 74

43

Gaya Kepemimpinan

Thoha (1991) diacu dalam Saleh (2009) menjelaskan gaya kepemimpinan

merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang

tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Sedangkan menurut

Pasolong (2008) dalam Bahri (2010) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan

adalah suatu cara yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dalam

mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan mengendalikan bawahannya

dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Tabel 16

menunjukkan bahwa dari dua pertiga dari mahasiswa memiliki kecenderungan

gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan sisanya memiliki gaya kepemimpinan

otoriter. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di kelembagaan IPB tidak

hanya berpusat dari ketua tetapi adanya partisipasi aktif yang terjalin antara ketua

dan anggota. Kecenderungan gaya kepemimpinan disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 16 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan gaya kepemimpinan

total

Gaya kepemimpinan total Jumlah

n %

Otoriter 31 33,70

Demokratis 60 65,21

Laissez faire 0 0

Campuran 1 1,09

Total 92 100,0

Otoriter

Gaya kepemimpinan otoriter dipandang sebagai dasar atas kekuatan posisi

dan penggunaan kekuasaan. Pada dasarnya gaya kepemimpinan otoriter terbagi

atas dua jenis, yaitu positif dan negatif. Gaya otoriter yang positif merupakan gaya

kepemimpinan bersifat tegas, teliti, dan tanggap dalam menghadapi segala

keadaan terutama dalam membuat keputusan. Kecenderungan gaya otoriter yang

negatif merupakan gaya kepemimpinan yang bersifat sewenang-wenang dalam

menjalankan kepemimpinan. Tabel 17 memperlihatkan bahwa sebagian besar

ketua (86,9%) sering memberi perintah kepada anggota kelompok dengan metode

yang harus dipakai untuk menyelesaikan tugas, sedangkan seluruh mahasiswa

(100%) menolak untuk tidak mendengarkan pendapat ketua divisi. Sementar itu,

hampir seluruh ketua (98,9%) menyatakan bahwa tidak marah jika ada anggota

44

yang memberikan usulan yang bertentangan dengan padangan pribadi ketua dan

akan menerima kritikan anggota (97,9%).

Tabel 17 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya otoriter

No Pernyataan Kategori (%)

Sering Tidak Pernah

1 Menangani sendiri tugas yang berdampak besar

pada organisasi daripada menyerahkan kepada

orang lain

60,8 39,2

2 Tidak mendengarkan pendapat ketua divisi karena

ketua organisasi 0,0 100,0

3 Memberi perintah kepada anggota kelompok

bagaimana atau metode yang harus mereka pakai

untuk menyelesaikan tugas 86,9 13,0

4 Sebagai seorang ketua, tidak menerima kritikan dari

anggota 2,2 97,9

5 Sangat marah jika ada anggota yang memberikan

usulan yang bertentangan dengan pandangan

pribadi

1,1 98,9

6 Setiap perintah yang diberikan harus segera

dikerjakan 75,0 25,0

7 Organisasi adalah tempat atasan dan bawahan tanpa

adanya jalinan keluarga 2,2 97,8

8 Suka jika ada anggota yang menentang pandangan

mengenai suatu permasalahan 96,7 3,3

9 Lebih suka aspek analitik (mengamati) sebagai

tugas ketua daripada bekerja langsung bersama

anggota kelompok

14,1 85,9

10 Pemimpin tetap menjaga jarak dengan kelompok,

sehingga bisa membuat keputusan yang tegas saat

dibutuhkan tanpa adanya intervensi

32,6 67,4

Demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis beranggapan bahwa setiap anggota

organisasi adalah sama dan secara bersama-sama bertanggung jawab pada

organisasi. Agar tanggung jawab tersebut dirasakan oleh setiap anggota maka

setiap anggota berpartisipasi dalam setiap kegiatan perencanaan, pelaksanan, dan

pengevaluasian agar mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tabel 18

menyatakan bahwa hampir seluruh mahasiswa saat anggota kelompok membawa

persoalan, maka cenderung ingin membantunya dengan menawarkan solusi

(96,7%), mengutarakan masalah pada anggota dan mengambil usulan solusi yang

terbaik (95,6%), dan mendapatkan masukan dari kelompok sebelum mengambil

keputusan, bahkan pada masalah-masalah yang sudah jelas sekalipun (90,2%).

Sebagian besar mahasiswa menyatakan mengubah keputusan jika beberapa

45

anggota kelompok memberi bukti bahwa keputusan yang diambil keliru (89,2%),

perbedaan opini didalam kelompok kerja (87,0%), dan beberapa ide terbaik

mungkin berasal dari anggota kelompok daripada ketua (88,1%).

Tabel 18 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya demokratis

No Pernyataan Kategori (%)

Sering Tidak Pernah

1 Mengutarakan masalah pada anggota dan

mengambil usulan solusi yang terbaik 95,6 4,3

2 Mendapatkan masukan dari kelompok sebelum

mengambil keputusan, bahkan pada masalah-

masalah yang sudah jelas sekalipun. 90,2 9,8

3 Mengubah keputusan jika beberapa anggota

kelompok memberi bukti bahwa keputusan yang

diambil keliru. 89,2 10,9

4 Perbedaan opini didalam kelompok kerja 87,0 13,1

5 Aktivitas membangun spirit tim seperti berolahraga

pagi adalah investasi waktu yang baik 72,9 27,2

6 Jika merekrut anggota baru, maka calon tersebut

diwawancarai oleh semua anggota 22,8 77,1

7 Jika mengadakan acara makan-makan, maka akan

mencari masukan dari masing-masing anggota soal

makanan yang akan dipilih

78,3 21,7

8 Tanpa arahan, sebagian tugas penting di organisasi

akan tetap diselesaikan 51,0 48,9

9 Pendelegasian adalah sesuatu yang kadang-kadang

menyulitkan anggota 42,4 57,6

10 Ketika anggota kelompok membawa persoalan,

maka cenderung ingin membantunya dengan

menawarkan solusi 96,7 3,3

11 Bagian penting dari pendekatan dalam mengelola

suatu kelompok adalah membuat anggota setiap

hari selalu mendapatkan informasi yang

berpengaruh pada pekerjaan mereka.

76,1 23,9

12 Beberapa ide terbaik mungkin berasal dari anggota

kelompok daripada ketua 88,1 12,0

13 menanyakan“ Apa solusi alternatif yang kamu

pikirkan sejauh ini?” pada anggota kelompok yang

membawa persoalan

79,3 20,7

Laissez faire

Gaya kepemimpinan laissez faire adalah gaya kepemimpinan yang

membiarkan semua anggota bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin

tidak memberikan perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing

anggota bergerak sendiri-sendiri. Hampir seluruh mahasiswa pernah menegur jika

ada anggota yang salah (92,4%), tidak berdiam diri saat rapat (92,3%), tidak

46

membiarkan masalah organisasi berlarut-larut (97,8%), dan pemimpin tidak hanya

bentuk formalitas tanpa mempunyai pengaruh (95,7%). Sebagian besar mahasiswa

tidak jarang memberikan motivasi pada anggotanya (88,1%), tidak banyak terjadi

persaingan antar divisi dalam organisasi (81,5%), dan sebagai pemimpin tidak

jarang berani mengambil keputusan meskipun itu keputusan yang berpengaruh

pada organisasi (88,1%). Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya kepemimpinan

laissez faire dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya laissez faire

No Pernyataan Kategori (%)

Sering Tidak Pernah

1 Pada saat rapat sering berdiam diri 7,6 92,3

2 Membebaskan anggota untuk bekerja tanpa

memberi pengarahan kerja terlebih dahulu 26,0 73,9

3 Pernah menegur jika ada anggota yang salah 92,4 7,6

4 Jarang memberikan motivasi pada anggota saya 12,0 88,1

5 Membiarkan masalah organisasi berlarut-larut 2,2 97,8

6 Pemimpin hanya bentuk formalitas tanpa

mempunyai pengaruh 4,4 95,7

7 Kebanyakan progran kerja pada organisasi tidak

tepat waktu 29,3 70,7

8 Banyak terjadi persaingan antar divisi dalam

organisasi 18,5 81,5

9 Sebagai pemimpin jarang berani mengambil

keputusan meskipun itu keputusan yang

berpengaruh pada organisasi

12,0 88,1

10 Lebih suka membiarkan organisasi saya berjalan

apa adanya 26,1 73,9

Praktik Kepemimpinan

Kouzes dan Posner (2005) menjelaskan seorang pemimpin akan

melakukan satu hal yaitu menghubungkan keinginan anggota dengan ekspektasi

yang ada. Kepemimpinan merupakan proses antara pemimpin dan anggota

sehingga setiap keputusan selalu berdasarkan hubungan tersebut. Pemimpin perlu

menjalankan kepemimpinan dengan baik dalam sebuah praktik kepemimpinan.

Tabel 20 memperlihatkan bahwa lebih dari dua pertiga mahasiswa (83,7%)

memiliki total praktik kepemimpinan pada kategori tinggi sedangkan sisanya

berada pada ketegori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar ketua

kelembagaan mampu menerapkan setiap dimensi pada praktik kepemimpinan

47

dengan baik serta menyampaikan pada para anggota organisasi. Praktik

kepemimpinan ditunjukkan pada Lampiran 2.

Tabel 20 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan praktik kepemimpinan

total

Praktik Kepemimpinan Total Jumlah

n %

Rendah 0 0,0

Sedang 15 16,3

Tinggi 77 83,7

Total 92 100,0

Tantangan proses

Setiap pemimpin yang hebat selalu berani mengambil tantangan.

Tantangan tersebut dapat berupa inovasi produk baru, adanya keputusan, dan

pelayanan. Tantangan sendiri merupakan perubahan keadaan pada status aman.

Pada setiap pemimpin yang hebat tidak selalu menunggu adanya keberuntungan

pada waktu dan tempat yang tepat tetapi bagaimana sikap berani dalam

mengambil tantangan yang ada. Pemimpin merupakan pioner dalam melakukan

langkah untuk mencari kesempatan dalam mengembangkan inovasi,

menumbuhkan, dan mengembangkannya.

Tabel 21 Sebaran mahasiswa berdasarkan tantangan proses

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Selalu tertantang untuk mengembangkan

keterampilan dan kemampuan diri 76,1 17,4 6,5

2 Mencari cara agar anggota dapat menemukan

metode baru dalam hal melakukan tugas

organisasi

73,9 19,6 6,5

3 Sebagai seorang ketua, terus mengikuti acara dan

kegiatan luar yang mungkin berpengaruh pada

organisasi. 82,6 13 4,4

4 Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang

diharapkan, maka akan bertanya, "Apa yang bisa

kita pelajari dari pengalaman ini? "

68,5 18,5 13,1

5 Bahwa anggota menetapkan tujuan dan membuat

rencana khusus untuk program yang akan

dilakukan 77,2 21,7 1,1

6 Mengambil inisiatif langkah kerja dalam

melakukan suatu hal dalam organisasi. 94,5 4,3 1,1

48

Pada tabel 21 menunjukkan lebih dari tiga perempat mahasiswa setuju

selalu tertantang untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan diri

(76,1%) dan anggota menetapkan tujuan dan membuat rencana khusus untuk

program yang akan dilakukan (77,2%). Sebagian besar mahasiswa setuju sebagai

seorang ketua, terus mengikuti acara dan kegiatan luar yang mungkin berpengaruh

pada organisasi (82,6%) dan hampir seluruh mahasiswa (94,5%) setuju untuk

mengambil inisiatif langkah kerja dalam melakukan suatu hal dalam organisasi.

Inspirasi visi

Setiap organisasi berawal dari sebuah mimpi. Mimpi atau pada saat ini

sering dikatakan visi merupakan bentuk investasi pada masa depan. Kouzes dan

Posner (2007) menyatakan bahwa seorang pemimpin harus bisa menginspirasi

visi. Adanya visi membuat pemimpin memiliki rasa percaya diri pada kemampuan

yang dimiliki sehingga memotivasi agar visi tersebut terwujud. Seseorang tanpa

memiliki pegangan bukanlah seorang pemimpin dan orang lain tidak akan

menjadi pengikut sampai adanya penerimaan visi sebagai jalan kedepan.

Tabel 22 Sebaran mahasiswa berdasarkan inspirasi visi

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Memandang ke depan (visi) dan

mengomunikasikannya tentang apa visi ke masa

depan.

76,1 18,5 5,4

2 Menjelaskan kepada anggota tentang apa yang

seharusnya tujuan yang akan diwujudkan. 78,3 17,4 4,3

3 Memberikan penjelasan pada anggota mengenai

visi organisasi yang ingin dicapai. 85,9 13 1,1

4 Berbicara dengan para anggota mengenai

bagaimana pentingnya para anggota bekerja sama

menuju tujuan bersama

84,8 13 2,2

5 Optimis dan berpikir positif tentang cita-cita yang

ingin organisasi dapat capai. 65,2 28,3 6,5

6 Berbicara dengan keyakinan yang tinggi tentang

tujuan dan memaknai apa yang kita lakukan 87 10,9 2,2

Tabel 22 menunjukkan sebagian besar mahasiswa setuju untuk berbicara

dengan keyakinan yang tinggi tentang tujuan dan memaknai apa yang kita

lakukan (87%), memberikan penjelasan pada anggota mengenai visi organisasi

49

yang ingin dicapai (85,9%), dan berbicara dengan keyakinan yang tinggi tentang

tujuan dan memaknai apa yang kita lakukan (87,0%). Lebih dari tiga perempat

mahasiswa setuju untuk memandang ke depan (visi) dan mengomunikasikannya

tentang apa visi ke masa depan (76,1%) dan menjelaskan kepada anggota tentang

tujuan yang akan diwujudkan (78,3%).

Mengajak bertindak

Kouzes dan Posner (2007) menyatakan bahwa mimpi besar tidak akan

menjadi kenyataan tanpa adanya aksi nyata setiap orang. Dalam melakukan

tindakan diperlukan adanya kerjasama tim, kepercayaan yang tinggi, hubungan

emosi dan sosial yang kuat, kompetensi yang baik serta adanya kolaborasi antar

anggota. Untuk mewujudkan seluruh tindakan tersebut dalam sebuah organisasi

maka diperlukan pemimpin yang mengajak sesama dalam bertindak. Tabel 23

menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa (100%) setuju memberikan orang lain

banyak kebebasan dan pilihan dalam memutuskan bagaimana melakukan

pekerjaan mereka, hampir seluruh memperlakukan anggota dengan bermartabat

dan hormat (91,3%), dan lebih dari tiga perempat mendukung keputusan yang

diusulkan anggota dan disepakati bersama di organisasi (77,2%).

Tabel 23 Sebaran mahasiswa berdasarkan mengajak bertindak

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Menumbuhkan semangat kooperatif bukan

kompetitif pada orang-orang yang bekerja sama 72,8 21,7 5,4

2 Terbuka untuk mendengarkan sudut pandang yang

berbeda. 70,6 21,7 7,6

3 Memperlakukan anggota dengan bermartabat dan

hormat. 91,3 7,6 1,1

4 Mendukung keputusan yang diusulkan anggota

dan disepakati bersama di organisasi 77,2 21,7 1,1

5 Memberikan orang lain banyak kebebasan dan

pilihan dalam memutuskan bagaimana melakukan

pekerjaan mereka.

100,0 0,0 0,0

6 Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk

memimpin rapat jika berhalangan hadir. 66,3 23,9 9,8

50

Mahasiswa panutan

Seorang pemimpin harus mengetahui bahwa untuk memiliki komitmen

dan penghargaan dengan kualitas tertinggi, maka diperlukan mahasiswa panutan

dalam berperilaku pada sebuah organisasi. Model berperilaku dapat lebih efektif

jika pemimpin menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasar berupa nilai-nilai yang

dijunjung pemimpin. Pada sebuah organisasi seorang pemimpin juga menjadi

aktor utama dalam organisasi yang dipimpin. Tabel 24 menunjukkan hampir

seluruh mahasiswa setuju untuk menindaklanjuti janji-janji dan komitmen yang

dibuat dalam organisasi ini (94,5%), menemukan cara agar tindakan berpengaruh

pada kinerja anggota (94,5%) dan berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip

yang menuntun tindakan (91,3%). Sebagian besar mahasiswa memberi mahasiswa

pribadi dari apa yang diharapkan pada orang lain (81,6%) dan menghabiskan

waktu dan energi untuk memastikan bahwa setiap anggota organisasi mematuhi

prinsip-prinsip dan standar yang telah disepakati (89,2%), selain itu tiga perempat

mahasiswa membangun suatu nilai-nilai yang disepakati organisasi (75,0%).

Tabel 24 Sebaran mahasiswa berdasarkan mahasiswa panutan

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Memberi contoh pribadi dari apa yang diharapkan

pada orang lain. 81,6 14,1 4,3

2 Menghabiskan waktu dan energi untuk

memastikan bahwa setiap anggota organisasi

mematuhi prinsip-prinsip dan standar yang telah

disepakati.

89,2 9,8 1,1

3 Menindaklanjuti janji-janji dan komitmen yang

dibuat dalam organisasi ini 94,5 4,3 1,1

4 Menemukan cara agar tindakan berpengaruh pada

kinerja anggota. 94,5 4,3 1,1

5 Membangun suatu nilai-nilai yang disepakati

organisasi 75,0 22,8 2,2

6 Berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip

yang menuntun tindakan. 91,3 5,4 3,3

Motivasi

Motivasi adalah cara yang tepat untuk melindungi dan menjaga semangat

para anggota organisasi. Penyampaian motivasi bisa pada personal atau kepada

51

seluruh anggota dalam waktu yang bersamaan. Motivasi dapat disampaikan

melalui gerakan gestur atau aksi sederhana yang ditunjukkan kepada anggota.

salah satu bagian dari pemberian empati adalah dengan merayakan keberhasilan

kontribusi anggota malalui memberikan apresiasi yang layak. Tabel 25

menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa setuju untuk memberikan

dukungan pada anggota organisasi dan mengekspresikan penghargaan atas

kontribusi anggota (97,8%) dan menemukan cara untuk mengapresiasikan prestasi

baik secara perorangan atau kelompok dalam organisasi (95,7%). Sebagian besar

mahasiswa mendorong (memberikan semangat) pada anggota dalam melakukan

program dan kegiatan organisasi (88,0%) dan lebih dari tiga perempat memuji

seseorang untuk tugas yang dikerjakan dengan baik (78,2%).

Tabel 25 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi

No Pernyataan

Kategori (%)

Setuju Ragu-

ragu

Tidak

Setuju

1 Memuji seseorang untuk tugas yang dikerjakan

dengan baik 78,2 12,0 9,8

2 Mendorong (memberikan semangat) pada anggota

dalam melakukan program dan kegiatan

organisasi.

88,0 9,8 2,2

3 Memberikan dukungan pada anggota organisasi

dan mengekspresikan penghargaan atas kontribusi

anggota

97,8 2,2 0,0

4 Berempati terhadap orang yang menunjukkan

komitmen terhadap nilai-nilai yang disepakati 48,9 37 14,1

5 Menemukan cara untuk mengapresiasikan prestasi

baik secara perorangan atau kelompok dalam

organisasi.

95,7 3,3 1,1

6 Semua anggota dalam organisasi secara kreatif

diakui atas kontribusi mereka. 72,9 21,7 5,4

Hubungan Antar Variabel

Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Kecerdasan

Emosi

Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,

IPK, suku, lama organisasi, dan besar biaya hidup) dengan antar dimensi dan total

52

kecerdasan emosi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dimensi

kecerdasan emosi yaitu pengelolaan emosi dengan jenis kelamin dan jumlah

organisasi. Pada jenis kelamin laki-laki lebih mampu mengelola emosi daripada

perempuan, hal ini sesuai dengan pernyataan Brown dkk (1993) dalam Santrock

(2003) bahwa pemahaman emosi pada perbedaan jenis kelamin sering kali muncul

pada peran sosial dan suatu hubungan. Sedangkan pada jumlah organisasi, hal ini

diduga bahwa semakin banyak organisasi yang diikuti maka semakin banyak

interaksi dengan orang lain sehingga membawa dampak yang baik pada

pengelolaan emosi. Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi

dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi

Karakteristik

Mahasiswa

Kecerdasan Emosi

Kesadaran emosi Pengelolaan emosi Motivasi diri Total

Jenis Kelamin

(kategori) 0,545 0,010** 0,087 0,643

Usia -0,103 -0,002 0,041 -0,032

IPK 0,055 -0,144 -0,023 -0,044

Suku (kategori) 0,402 0,180 0,409 0,719

Jumlah organisasi 0,153 0,210* 0,064 0,175

Lama organisasi 0,080 0,104 -0,009 0,075

Biaya hidup 0,106 -0,052 -0,005 0,023

Jumlah saudara 0,044 -0,025 0,002 -0,005

Urutan kelahiran -0,009 0,004 -0,016 -0,016

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan ayah, besar

keluarga, jumlah saudara, dan urutan kelahiran) dengan tiap dimensi kecerdasan

emosi dan kecerdasan emosi total. Namun pada lama pendidikan ibu

memperlihatkan adanya hubungan positif signifikan dengan kesadaran emosi. Hal

ini menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan ibu maka semakin baik

kesadaran emosi pada seorang pemimpin. Hubungan karakteristik keluarga

mahasiswa dengan kecerdasan emosi dapat dilihat pada Tabel 27.

53

Tabel 27 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan emosi

Karakteristik

keluarga

Kecerdasaan emosi

Kesadaran emosi Pengelolaan

emosi Motivasi diri Total

Pendidikan ayah 0,068 -0,054 -0,019 -0,005

Pendidikan ibu 0,213* 0,115 0,056 0,150

Besar keluarga 0,044 -0,025 0,002 -0,005

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Kecerdasan

Sosial

Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,

IPK, suku, lama organisasi, dan besar biaya hidup) dengan tiap dimensi

kecerdasan sosial dan kecerdasan sosial total. Sedangkan pada jumlah organisasi

terdapat hubungan postif signifikan dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan

kecerdasan sosial total. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak organisasi

yang diikuti maka semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan

sosial total. Hal sesuai dengan hasil penelitian Wulandari (2009) yang

menyebutkan bahwa semakin banyak organisasi yang diikuti oleh mahasiswa

maka semakin baik kecerdasan sosial yang dimiliki. Hubungan karakteristik

mahasiswa dengan kecerdasan emosi dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan sosial

Karakteristik

Mahasiswa

Kecerdasan Sosial

Kesadaran Sosial Fasilitas Sosial Total

Jenis Kelamin 0,919 0,614 0,913

Usia 0,000 -0,027 -0,017

IPK 0,048 -0,032 0,003

Suku 0,720 0,972 0,728

Jumlah organisasi 0,210* 0,214* 0,231*

Lama organisasi 0,111 0,120 0,127

Biaya hidup 0,047 0,087 0,076

Jumlah saudara -0,054 0,040 0,000

Urutan kelahiran -0,074 0,030 -0,014

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

54

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan orangtua dan

besar keluarga) dengan tiap dimensi kecerdasan sosial dan kecerdasan sosial total.

Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan sosial dapat

dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan sosial

Karakteristik keluarga Kecerdasan sosial

Kesadaran sosial Fasilitas sosial Total

Pendidikan ayah -0,052 -0,154 -0,104

Pendidikan ibu -0,021 -0,174 -0,108

Besar keluarga -o,054 0,040 0,000

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Gaya

Kepemimpinan

Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa

terdapat hubungan positif signifikan antara IPK dengan tipe gaya kepemimpinan

demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IPK seorang pemimpin

maka semakin tinggi gaya kepemimpinan demokratis. Hubungan karakteristik

mahasiswa dengan gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan gaya kepemimpinan

Karakteristik

Mahasiswa

Gaya Kepemimpinan

Otoriter Demokratis Laissez faire

Jenis Kelamin 0,877 0,423 0,498

Usia -0,152 -0,086 0,103

IPK 0,068 0,228* -0,003

Suku 0,628 0,431 0,527

Jumlah organisasi 0,101 -0,091 -0,141

Lama organisasi 0,040 0,037 0,099

Biaya hidup 0,003 0,016 -0,193

Jumlah saudara 0,017 0,041 0,044

Urutan kelahiran 0,913 0,927 0,908

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

signifikan antara lama pendidikan ayah dengan gaya kepemimpinan otoriter. Hal

ini menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan yang ayah tempuh maka

55

semakin tinggi gaya kepemimpinan otoriter seseorang. Hubungan karakteristik

keluarga mahasiswa dengan gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan gaya kepemimpinan

Karakteristik Keluarga

Mahasiswa

Gaya Kepemimpinan

Otoriter Demokratis Laissez faire Total

Pendidikan ayah 0,232* 0,026 0,078 0,134

Pendidikan ibu 0,138 0,102 0,024 0,117

Besar keluarga 0,017 0,041 0,044 0,056

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Praktik

Kepemimpinan

Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,

suku, lama organisasi, jumlah organisasi, dan besar biaya hidup) dengan tiap

dimensi praktik kepemimpinan dan paraktik kepemimpinan total. Sedangkan pada

IPK terdapat hubungan positif signifikan dengan dimensi mahasiswa panutan

pada praktik kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IPK

yang diperoleh seorang pemimpin maka akan memberikan mahasiswa panutan

yang semakin baik pada anggotanya. Hubungan karakteristik mahasiswa dengan

praktik kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan praktik kepemimpinan

Karakteristik

Mahasiswa

Praktik Kepemimpinan

Tantangan

proses

Inspirasi

visi

Mengajak

bertindak

Mahasiswa

panutan

Motivasi

Orang lain

Total

praktik

Jenis Kelamin 0,783 0,437 0,455 0,194 0,345 0,493

Usia 0,021 0,088 0,082 0,153 0,063 0,104

IPK 0,035 0,027 0,148 0,219* 0,054 0,113

Suku 0,706 0,628 0,086 0,652 0,085 0,234

Jumlah

organisasi 0,038 0,115 0,008 0,035 0,027 0,050

Lama

organisasi 0,034 0,081 0,133 -0,015 -0,051 0,037

Biaya hidup 0,131 0,152 0,061 0,157 0,112 0,152

Jumlah

saudara 0,105 -0,031 -0,064 -0,041 -0,068 -0,011

Urutan

kelahiran -0,015 -0,053 0,068 0,073 0,071 0,048

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

56

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan orangtua, besar

keluarga, jumlah saudara, dan urutan kelahiran) dengan tiap dimensi praktik

kepemimpinan dan praktik kepemimpinan total. Hubungan karakteristik keluarga

mahasiswa dengan kecerdasan sosial dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 33 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan praktik

kepemimpinan

Karakteristik

Keluarga

Mahasiswa

Praktik Kepemimpinan

Tantangan

proses

Inspirasi

visi

Mengajak

bertindak

Mahasiswa

panutan

Memotivasi

orang lain

Total

praktik

Pendidikan

ayah -0,274 -0,210 -0,308 -0,237 -0,145 -0,286

Pendidikan

ibu -0,215 -0,126 -0,166 -0,155 -0,192 -0,200

Besar

keluarga 0,105 -0,031 -0,064 -0,041 -0,068 -0,011

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Kecerdasaan Emosi dengan Gaya dan Praktik Kepemimpinan

Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara

seluruh dimensi kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan otoriter. Hal ini

berarti semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi gaya kepemimpinan

otoriter. Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan

dengan gaya kepemimpinan demokratis. Hal ini berarti semakin tinggi kesadaran

emosi, motivasi diri, dan total kecerdasan emosi maka semakin tinggi gaya

kepimimpinan demokratis. Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi

berhubungan negatif signifikan dengan gaya laissez faire. Hal ini menunjukkan

bahwa semakin tinggi kesadaran emosi maka semakin rendah kepemimpinan

laissez faire.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

signifikan antara motivasi diri dan kecerdasaan emosi total terhadap tantangan

proses dalam praktik kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tingginya motivasi diri dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi tantangan

dalam menjalankan proses kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan positif

signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan

kecerdasaan emosi total terhadap inspirasi visi. Hal ini menunjukkan bahwa

57

semakin tinggi kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan

kecerdasaan emosi total maka semakin tinggi pemimpin menujukkan visi

kedepan.

Tabel 34 Hubungan antara kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan

Variabel Otoriter Demokratis Laissez Faire

Kesadaran Emosi 0,237* 0,262* -0,276**

Pengelolaan Emosi 0,240* 0,078 -0,211*

Motivasi Diri 0,268** 0,294** -0,193

Total Emosi 0,292** 0,243* -0,272**

Keterangan:

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Sementara itu, pada uji yang sama menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif signifikan terdapat antara pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan

emosi total terhadap mengajak orang lain bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total

pemimpin maka semakin tinggi pemimpin mengajak orang lain bertindak. Selain

itu, terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan

emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap sebagai mahasiswa

panutan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran emosi,

pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total maka semakin

tinggi pemimpin sebagai mahasiswa panutan.

Motivasi diri dan kecerdasan emosi total menunjukkan hubungan positif

signifikan dengan rasa empati. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

motivasi diri dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi empati. Sedangkan

kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total

memiliki hubungan positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran emosi, pengelolaan emosi,

motivasi diri, dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi pula total praktik

kepemimpinan seseorang. Menjadi seorang pemimpin dalam fase dewasa awal

timbul dari dorongan untuk mendapatkan prestise sosial, pengembangan citra diri,

pengembangan rasa percaya diri yang berarti untuk lingkungan masyarakat

(Mappiare 1983). Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan

dapat dilihat pada Tabel 35.

58

Tabel 35 Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan

Variabel

Tantanga

n Proses

Inspirasi

Visi

Mengajak

Orang Lain

Bertindak

Mahasis

wa

Panutan

Memoti

vasi

orang

lain

Total Praktik

Kesadaran

Emosi 0,133 0,211* 0,144 0,323** 0,158 0,218*

Pengelolaan

Emosi 0,187 0,313** 0,224* 0,321** 0,189 0,282**

Motivasi

Diri 0,306** 0,367** 0,270** 0,459** 0,362** 0,409**

Total

Emosi 0,237* 0,344** 0,245* 0,426** 0,267* 0,348**

Keterangan:

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Kecerdasan Sosial dengan Gaya dan Praktik Kepemimpinan

Pada uji Pearson menunjukkan hubungan negatif signifikan antara

kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial dengan gaya

kepemimpinan laissez faire. Hal ini menujukkan semakin tinggi kesadaran sosial,

fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin rendah gaya

kepemimpinan laissez faire pada pemimpin. Hubungan kecerdasan sosial dengan

gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Hubungan kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan

Variabel Otoriter Demokratis Laissez Faire

Kesadaran Sosial 0,121 0,196 -0,283**

Fasilitas Sosial 0,091 0,171 -0,318**

Total Sosial 0,114 0,199 -0,330**

*. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Pada hasil uji Pearson, menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

signifikan antara kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial

dengan tantangan proses. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran

sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka akan semakin tinggi

tantangan proses dalam menjalankan kepemimpinan. Selain itu, kesadaran sosial,

fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial juga menunjukkan hubungan positif

signifikan dengan inspirasi visi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi

pemimpin menginspirasi visi kepada anggota.

59

Fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan

dengan mengajak orang lain bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi kemampuan

pemimpin untuk mengajak anggota bertindak. Sementara itu, kesadaran sosial,

fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial menunjukkan hubungan positif

signifikan terhadap mahasiswa panutan. Hal ini berarti, semakin tinggi kesadaran

sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi pula

pemimpin menunjukkan cocok sebagai mahasiswa panutan.

Tabel 37 Hubungan kecerdasan sosial dengan praktik kepemimpinan

Variabel Tantangan

Proses

Inspirasi

Visi

Mengajak

Orang Lain

Bertindak

Mahasiswa

Panutan

Motivasi

Orang

Lain

Total

Praktik

Kesadaran

Sosial 0,207* 0,284** 0,143 0,494** 0,213* 0,302**

Fasilitas

Sosial 0,347** 0,403** 0,365** 0,556** 0,346** 0,464**

Total

Sosial 0,313** 0,384** 0,294** 0,578** 0,316** 0,431**

Keterangan:

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Pada penelitian yang sama kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total

kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan rasa memotivasi. Hal ini

menunjukkan semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total

kecerdasan sosial maka semakin tinggi rasa memotivasi yang ditunjukkan oleh

pemimpin. Tabel 37 menunjukkan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total

kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan total praktik

kepemimpinan. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas

sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi praktik kepemimpinan

pada seorang pemimpin. Hal ini sesuai dengan penelitian Havighurst (1957)

dalam Mappiare (1983) yang menyebutkan bahwa kemampuan memimpin yang

hebat tampak dari aktivitas sosial pemimpin yang aktif dalam menjalin hubungan

dan memainkan peranan sebagai seorang pemimpin dalam sebuah organisasi atau

kegiatan sosial.

60

Pembahasan

Bronfenbrenner diacu dalam Goleman (2002) menjelaskan keluarga saat

ini tidak lagi berfungsi dengan baik untuk meletakkan anak pada landasan yang

kuat bagi kehidupan dimasa depan. Ketidakberfungsian keluarga memiliki

dampak tertentu dalam mekanika kecerdasan emosi dan sosial. Keberadaan

keluarga memiliki peran yang penting dan mendasar dalam membangun

keterampilan emosi anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis

kelamin dengan pengelolaan emosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gilligan

dalam Goleman (2002) yang menyebutkan bahwa laki-laki bangga karena

kemandirian dan kemerdekaan dalam berpikir ulet sementara perempuan melihat

dirinya sebagai bagian dari jaringan suatu hubungan. Goleman (2002)

menyebutkan bahwa perbedaan pendidikan emosi pada setiap anak menghasilkan

keterampilan emosi yang berbeda. Laki-laki lebih pandai dalam meredam emosi

yang berkaitan dengan rasa salah, takut, dan sakit. Perempuan lebih pandai dalam

membaca sinyal verbal dan nonverbal serta mengungkapkan dan

mengkomunikasikan perasaan-perasaan yang dialami.

Jumlah organisasi berpengaruh positif signifikan dengan kesadaran sosial,

fasilitas sosial, dan kecerdasan sosial secara keseluruhan. Hal ini selaras dengan

penelitian Nurhayati (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

signifikan antara kematangan sosial dengan jumlah organisasi yang diikuti.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa pada fase dewasa awal memiliki kesempatan

untuk melibatkan diri pada berbagai kegiatan organisasi baik secara sosial atau

agama.

Terdapat hubungan positif signifikan antara IPK dengan dimensi menjadi

panutan pada praktik kepemimpinan. Menurut Hurlock (1980) menyebutkan

bahwa pemimpin mempunyai peranan penting dalam mewakili kelompok dalam

masyarakat. Pemimpin terpilih seseorang yang memiliki kemampuan tinggi yang

akan dihormati dan dikagumi oleh anggota kelompok. Pada fase dewasa awal

seorang pemimpin dipilih karena memiliki kualitas kemampuan dan pengalaman

yang beragam, selain itu tingkat intelegensi dan kematangan pemimpin diatas

rata-rata serta memiliki prestasi akademik yang baik. Pada penelitian ini

61

didapatkan hubungan positif signifikan antara IPK dengan tipe gaya

kepemimpinan demokratis. Hal ini berbeda dengan penelitian Adebayo, Olayide,

dan Saheed (2012) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan nyata

signifikan antara IPK dengan gaya kepemimpinan tranformasi (gaya

kepemimpinan demokratis).

Terdapat hubungan positif signifikan pendidikan ibu dengan dimensi

kesadaran emosi pada kecerdasan emosi. Pada penelitian Harrod dan Scheer

(2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara

kecerdasaan emosi dengan pendidikan ibu. Goleman (2002) menjelaskan bahwa

anak perempuan lebih banyak mendapat informasi tentang emosi daripada anak

laki-laki. Pada bayi perempuan seorang ibu lebih memperlihatkan rangkaian

emosi yang lebih luas serta membahas keadaan emosi lebih detail dari pada bayi

laki-laki. Hasil berbeda dihasilkan pada penelitian Nurhayati (2011) bahwa tidak

ada hubungan antara dimensi kesadaran emosi pada kecerdasan emosi dengan

tingkat pendidikan ibu. Alegre dan Benson (2010) menyebutkan bahwa seorang

anak akan mengalami perkembangan emosional yang rendah jika orangtua

mengasuh tanpa memperdulikan perasaan anak.

Pada pendidikan ayah terdapat hubungan positif signifikan dengan gaya

kepemimpinan otoriter. Goleman (2002) menyebutkan bahwa orangtua memiliki

peranan penting dalam menanamkan kebiasaan emosional pada anak. kebiasaan

dalam membangun emosi melalui pengasuhan otoriter akan membuat anak

tumbuh menjadi seorang yang memiliki karakter otoriter. Artinya bahwa sosok

ayah dalam keluarga sering kali memiliki peran yang tegas dan bersifat otoriter

dibandingkan ibu. Hal ini didukung pernyataan Gunarsa & Gunarsa (2008)

menyatakan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan

membentuk cara, pola, kerangka berpikir persepsi, pemahaman, dan kepribadian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan

antara total kecerdasan emosi dengan total praktik kepemimpinan. Hasil penelitian

Cavins (2005) menyatakan bahwa kecerdasan intrapersonal berhubungan positif

signifikan dengan menjadi mahasiswa panutan, memberikan inspirasi visi,

mengajak orang lain bertindak, dan proses menjadikan tantangan. Lebih lanjut

Cavins (2005) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi-sosial bagian dari hubungan

62

kompetensi emosi dan sosial, kemampuan, dan fasilitas untuk memahami

perasaan diri sendiri dan orang lain, menjalin hubungan serta dapat bertahan

dalam setiap keadaan yang sulit. Kouzes dan Posner (2007) menjelaskan bahwa

dalam praktik kepemimpinan seseorang diperlukan adanya kecerdasan emosi

karena dengan adanya kecerdasan emosi seorang pemimpin dapat menjelaskan

dan mengekspresikan maksud dan tujuan pada anggotanya. Goleman, Boyatzis, &

Mckee (2007) menyebutkan bahwa pemimpin selalu memainkan peran emosi

yang primordial yaitu menggerakkan emosi kolektif ke arah positif artinya banwa

seorang pemimpin mampu menjadi pengendali emosi diri sendiri dan orang lain

serta mengarahkan emosi tersebut untuk mampu mencapai visi organisasi. Harris

(2004) menjelaskan bahwa adanya perasaan percaya diri dan pemahaman emosi

merupakan dasar kebutuhan untuk merasakan orang sekitar.

Total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan total

praktik kepemimpinan. Artinya kecerdasan sosial mempunyai peran yang penting

untuk menentukan tindakan seorang pemimpin dalam menjalankan

kepemimpinan. Elias, et all (2006) menyebutkan bahwa bentuk kepemimpinan

memiliki peranan penting untuk membentuk kecerdasan emosi-sosial. Hal ini

didukung pernyataan Goleman (2007) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan

pada dasarnya adalah ragkaian pertukaran sosial dimana sang pemimpin bisa

menggerakkan emosi-emosi orang lain ke dalam keadaan lebih baik atau lebih

buruk. Pada kepemimpinan yang bermutu tinggi, anggota merasakan perhatian,

empati, dukungan, dan sikap positif dari pemimpin. Pada kepemimpinan yang

bermutu rendah, anggota merasakan terisolasi dan terancam.

Dimensi motivasi diri berhubungan positif signifikan dengan gaya

kepemimpinan demokratis. Pada penelitian Siligman menunjukkan optimisme

(salah satu bagian dari motivasi diri) merupakan sikap cerdas secara emosional.

Pada kecerdasan emosional mempunyai motivasi diri merupakan hal yang sangat

penting. Tingkat emosi pada kecerdasan emosi mampu menghambat dan

menaikkan kemampuan seseorang untuk berpikir dan merencanakan, mengerjakan

berbagai latihan demi sasaran jangka panjang, menyelesaikan berbagai

permasalahan. Adanya berbagai motivasi membuat seseorang termotivasi pada

berbagai keadaan untuk berprestasi. Hal ini membuat dimensi motivasi pada

63

kecerdasan emosi menjadi prioritas utama untuk mempengaruhi kemampuan

lainnya (Goleman 2007). Menurut Siddique et al (2011) seorang pemimpin tidak

harus memiliki semua kualitas kepemimpinan tapi pemimpin yang efektif adalah

pemimpin dapat membuat keputusan yang tepat pada waktu yang tepat. Seorang

pemimpin dapat memotivasi anggota melalui penghargaan dan keuntungan

berdasarkan nilai-nilai yang telah disepakati bersama pada sebuag organisasi.

Selain gaya kepemimpinan pada pemimpin, motivasi anggota juga memiliki

peranan penting untuk menciptakan keefektifan organisasi. Goleman, Boyatzis, &

Mckee (2007) menjelaskan bahwa jika seorang pemimpin yang kuat, gaya

demokratis akan sangat bermanfaat untuk memancing ide-ide tentang cara terbaik

menerapkan visi tersebut.

Kecerdasaan emosi secara keseluruhan berhubungan positif signifikan

dengan dimensi otoriter pada gaya kepemimpinan. Goleman, Boyatzis, & Mckee

(2007) menyatakan bahwa pemimpin yang cerdas secara emosi akan membangun

hubungan dengan mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan perasaan orang

lain serta membimbing kearah yang benar. Lebih lanjut Goleman membagi

kepemimpinan menjadi enam jenis, salah satunya adalah kepemimpinan otoriter.

Goleman berpendapat bahwa kepemimpinan otoriter membangun keselarasan

dengan menenangkan rasa takut dengan memberi arah yang jelas di dalam

keadaan darurat. Pada sisi emosi sering kali membawa dampak negatif dan dalam

menggunaan yang tepat dapat digunakan pada saat kritis atau melakukan

perubahan arah jika dalam masalah.

Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan

dengan gaya kepemimpinan demokratis. Goleman (2002) menjelaskan bahwa

kecerdasan emosi dapat membawa dampak positif terhadap keberlangsungan

organisasi. Seorang pemimpin dengan kecerdasan emosi yang lengkap akan lebih

efektif dan fleksibel untuk menghadapi berbagai jenis tuntutan dalam mengelola

organisasi. Gaya demokratis akan sangat bermafaat untuk memancing ide-ide

untuk menerapkan visi yang telah disusun pada sebuah organisasi. Harris (2004)

menjelaskan banwa aspek dasar keberhasilan perubahan adalah perkembangan

optimal dalam interpersonal dan energi emotional.

64

Kesadaran emosi berhubungan negatif signifikan dengan dimensi

kepemimpinan laissez faire. Mayer dalam Goleman (2002) menjelaskan bahwa

kesadaran diri merupakan kepekaan suasana hati dan dapat dimengerti oleh orang

sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Kejernihan emosi manjadi landasan

kepribadian yang lain. Pemimpin seperti ini akan mandiri, sadar akan batas-batas

kehidupan yang dibangun, memiliki kesehatan jiwa yang bagus, cenderung

berpikir positif, dan saat suasana hati sedang buruk maka akan mampu

mengendalikan dengan cepat.

Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan sosial secara keseluruhan

memiliki hubungan negatif signifikan dengan dimensi kepemimpinan laissez

faire. Artinya seorang pemimpin melalui kecerdasan sosial akan memimpin

anggotanya dengan sangat peduli. Goleman (2007) menjelaskan bahwa pemimpin

yang baik adalah seseorang yang bisa dipercaya, empatik, punya hubungan baik

dengan orang lain sehingga dapat menciptakan suasana tenang, diharga, dan

menginspirasi bagi anggota. Furtner, Rauthman, & Sachse (2010) menjelaskan

bahwa seorang pemimpin yang kuat diharuskan memiliki kemampuan sosial-

emosi khususnya kepekaan sosial dan ekspresi emosi untuk mengejar kebutuhan

dan tujuan dalam lingkungan sosial (organisasi).

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak melihat adanya hubungan antara

gaya kepemimpinan dengan praktik kepemimpinan. Disarankan untuk penelitian

selanjutnya melihat hubungan gaya kepemimpinan seseorang dengan paraktik

kepemimpinan yang digunakan. Selain itu, penelitian berikutnya dapat lebih

mengembangakan kuisoner secara spesifik terutama pada gaya kepemimpinan.

Pengembangan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan nilai validitas data

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hampir seluruh ketua lembaga kemahasiswaan berjenis kelamin laki-laki

berumur 21 tahun dan merupakan anak sulung dengan mayoritas suku sunda.

Lebih dari separuh mahasiswa mempunyai nilai akademik dalam kategori baik,

dengan pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan. Sepertiga ayah mahasiswa

berpendidikan selama 18 tahun atau setara dengan sarjana (S1) dan sepertiga ibu

mahasiswa berlatar belakang sarjana (S1) serta lebih dari separuh keluarga

mahasiswa memiliki besar keluarga dengan kategori sedang (≤ 4 orang).

Lebih dari dua pertiga mahasiswa mempunyai kategori kecerdasan emosi

dan sosial tinggi. Kurang dari dua pertiga mahasiswa mempunyai kecenderungan

gaya kepemimpinan demokratis dan praktik kepemimpinan termasuk dalam

kategori tinggi. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan jenis kelamin laki-

laki dengan pengelolaan emosi serta hubungan positif signifikan antara jumlah

organisasi dengan dimensi pengelolaan emosi, sedangkan lama pendidikan ibu

berhubungan positif signifikan dengan kesadaran emosi. Jumlah organisasi

berhubungan positif signifikan dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan

kecerdasan sosial total.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPK berhubungan positif signifikan

dengan tipe gaya kepemimpinan demokratis dan lama pendidikan ayah

berhubungan positif signifikan dengan gaya kepemimpinan otoriter, selain itu IPK

berhubungan positif signifikan dengan dimensi mahasiswa panutan pada praktik

kepemimpinan. Pada setiap dimensi kecerdasan emosi (kesadaran emosi,

pengelolaan emosi, motivasi emosi) berhubungan positif signifikan dengan

seluruh dimensi kecerdasan sosial (kesadaran sosial dan fasilitas sosial).

Seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan dengan

gaya kepemimpinan otoriter dan hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi

berhubungan positif signifikan dengan gaya kepemimpinan demokratis. Hampir

seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan negatif signifikan dengan gaya

laissez faire dan terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi diri dan

kecerdasaan emosi total terhadap dimensi tantangan proses dalam praktik

kepemimpinan. Terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi,

66

pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap dimensi

inspirasi visi serta terdapat hubungan positif signifikan terdapat antara

pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total terhadap dimensi

mengajak orang lain bertindak. Kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi

diri, dan kecerdasaan emosi total berhubungan positif signifikan dengan dimensi

mahasiswa panutan sedangkan motivasi diri dan kecerdasan emosi total

menunjukkan hubungan positif signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain.

Kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total

memiliki hubungan positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan.

Terdapat hubungan negatif signifikan antara kesadaran sosial, fasilitas

sosial, dan total kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Selain

itu, kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan

positif signifikan dengan dimensi tantangan proses. Kesadaran sosial, fasilitas

sosial, dan total kecerdasan sosial juga menunjukkan hubungan positif signifikan

dengan dimensi inspirasi visi. Fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial

berhubungan positif signifikan dengan dimensi mengajak orang lain bertindak.

Sementara itu, kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial

menunjukkan hubungan positif signifikan terhadap dimensi mahasiswa panutan.

Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan positif

signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain pada praktik kepemimpinan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian diketahui jumlah organisasi mempunyai

peranan penting dalam mengembangkan kecerdasan sosial sehingga diperlukan

pengenalan organisasi sejak dini pada generasi muda. IPK dapat menjadikan

seorang pemimpin panutan bagi anggotanya sehingga setiap pemimpin dapat terus

mengembangkan organisasi tanpa perlu menyampingkan akademik. Pengasuhan

orangtua yang berkualitas memiliki peranan penting dalam pengembangan

kecerdasan emosi dan gaya kepemimpinan. Pengasuhan yang baik dapat dimiliki

oleh setiap orangtua melalui pendidikan dan menambah wawasan. Orang tua yang

berpendidikan rendah harus terus belajar melalui berbagai media sehingga

pengetahun mengenai pengasuhan akan bertambah.

67

Kecerdasaan emosi dan kecerdasan sosial berhubungan dengan praktik

kepemimpinan dan juga memiliki peranan penting untuk meminimalis adanya

gaya kepemimpinan laissez faire dalam sebuah kepempimpinan. Setiap orang

yang ingin menjadi pemimpin wajib memiliki kecerdasan emosi-sosial dan

mengikuti berbagai organisasi yang sesuai dengan minat dan keinginan sehingga

dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial. Sementara itu,

kampus sebagai institusi pendidikan memiliki peranan penting sebagai tempat

pengembangan softskill kepemimpinan bagi mahasiswa. Pengembangan softskill

dapat berupa pelatihan kepemimpinan yang diadakan setiap tahun pada regenerasi

ketua kelembagaan kemahasiswaan.

.

.

DAFTAR PUSTAKA

Adebayo JY, Olayide R, Saheed O. 2012. Influence of Leadership Styles and

Emotional Intelligence in Job Performance of Local Goverment Workers

in Osum State Nigeria. Journal of Alternative in the Social Science, 3(4).

Alegre A, Benson MJ. 2010. Parental Behaviour and Adolescent Adjusment:

Mediation via Adolescent Trait Emotional Intelligence. Journal of

Individual Differences Research, 8(2),83-96.

Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Bahri S. 2011. Hubungan gaya kepemimpinan dengan kinerja pegawai pemerintah

(kasus suku dinas peternakan, perikanan, dan kelautan kota admiistrasi

Jakarta Utara) [skripsi]. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009a. Proyeksi

Jumlah Pemuda [internet]. [13 Maret 2012]. Tersedia dari:

http://kppo.bappenas.go.id/preview/232

___________________________________________________. 2009b. Jumlah

Pemuda Menurut Propinsi dan Jenis Kelamin [internet]. [13 Maret 2012].

Tersedia dari: kppo.bappenas.go.id/files/-1-

Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf.

Buzan T. 2002. The Power of Social Intelligence: 10 Ways to Tap Into Your

Social Genius. New York: Harper Collins Publisher Inc.

Cavins BJ. 2005. The relationship between emotional-social intelligence and

leadership practices among collage student leaders [disertasi]. Ohio:

Bowling Green State University.

Cherniss C. 1998. Social and emotional learning for leaders. Association for

Supervision and Curriculum Development.

Dubrin AJ. 2006. The Complete Ideal’s Guides: Leadership 2nd Edition. Jakarta:

Prenada Media

Elias MJ, O’Brien MU, Weissberg RP. 2006. Transformative Leadership for

Social-Emotional learning. Student services.

Furtner MR, Rauthmann JF, Sachse P. 2010. The Socioemotionally intelligent

self-leader: examining relations between self-leadership and

socioemotional intelligence. Social Behavior and Personality,

38(9),1191-1196.doi: 10.2224/sbp.2010.38.9.1191

Goleman D. 2002. Kecerdasan Emosional:Mengapa EI Lebih Penting dari IQ.

Hermaya T, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan

dari: Emotional Intelligence.

__________. 2006. The Socially Intelligence. E-journal of Educational Leadership

70

__________. 2007. Kecerdasan Sosial: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar-

Manusia. Imam HS, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Terjemahan dari: Social Intelligence.

Goleman D, Boyatzis R, Mckee A. 2007. Primal Leadership: Kepemimpinan

Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Purwoko S, penerjemah. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Primal Leadership:

Realizing the Power of Emotional Intelligence.

Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1993. Petunjuk Laboratorium

Manajemen Sumberdaya Keluarga [diktat]. Bogor: IPB

Gunarsa S, Gunarsa YS. 2008. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Harris B. 2004. Leading by Heart. School Leadeership & Management, Vol 24,4.

doi: : 10.1080/13632430410001316507

Harrod NR, Scheer SD. 2005. An exploration of adolescent emotional intelligence

in relation to demographic characteristics. E-journal of Adolescence.

Vol(40), 503-512.

Hasibuan MUS. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Hidayat K , Widjanarko P. 2008. Reinventing Indonesia. Jakarta: Mizan.

Hurlock EB. 1980. Psikologi perkembangan anak: suatu pendekatan sepanjang

rentang kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Silabat RM,

editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psycology: A

Life Span Approach.

Ingram J, Cangemi J. 2012. Emotions, emotional intelligence and leadership: a

brief, pragmatic perspective. E-journal of Education. Vol.132 No 4, 771-

778.

[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2008. Panduan Program Sarjana Edisi 2008.

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kartono K. 2011. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Krishna A. 2010. Youth Challenges and Empowerment. Jakarta: Gramedia.

Kouzes JM, Posner BZ. 2007. The Leadership Challenge. Callifornia: Jossey-

Bass Publishing Company.

Latifah M. 2009. Instrumen Pengukuran Kecerdasan Emosional Remaja. Bogor:

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.

Mappiare A. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.

[MPM KM IPB] Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa

Institut Pertanian Bogor. 2012. Laporan kegiatan akhir tahun. Bogor:

MPM KM IPB.

Nurhayati S. 2011. Analisis kecerdasan emosional, kematangan sosial, self-

esteem, dan prestasi akademik pada mahasiswa penerima program

beasiswa santri berprestasi (PBSB) IPB [skripsi]. Bogor: Departemen

71

Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor.

Papalia DE, Old SW. 2008. Psikologi Perkembangan Ed.9. Jakarta: Kencana

Rotenberg KJ. 1995. Disclosure Processes in Children And adolescents. New

York: Cambridge University Press.

Sarwono SW. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press

Santrock JW. 2003. Perkembangan Remaja, Adelar SB, Saragih S, penerjemah;

Kristiaji WC, Sumiharti Y, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:

Adolescence.

Saleh R.2009. Hubungan gaya kepemimpinan dan pola komunikasi organisasi

dengan pembentukan modal sosial (kasus organisasi kemahasiswaan

BEM IPB) [skripsi]. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor.

Shields D. 2008. Leaders emotional intelligence and discipline of personal

mastery: a mixed methods analysis [disertasi]. Wisconsin: College of

Education and Leadership, Cardinal Stritch University.

Sholehuddin. 2008. Kepemimpinan Pemuda dalam Berbagai Perspektif. Jakarta:

Intimedia Ciptanusantara.

Siddique A, Aslam HD, Khan M, Fatima U. 2011. Impact of academic leadership

on faculty’s motivation and organizational effectiveness in higher

education system. International Journal of Academic Research. Vol (3),

No 4.

Siswanto HB. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.

Wulandari A. 2009. Analisis persepsi gaya pengasuhan orang tua, keterampilan

sosia, prestasi akademik, dan self-esteem mahasiswa tingkat persiapan

bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen

Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor.

72

LAMPIRAN

74

Lampiran 1 Gaya kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB

Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan

Gaya

1 80 65,00 65,38 50,00 2

2 92 75,00 76,92 55,00 2

3 80 75,00 61,54 45,00 1

4 84 67,50 71,15 50,00 2

5 92 72,50 76,92 57,50 2

6 83 70,00 73,08 42,50 2

7 75 72,50 59,62 37,50 1

8 83 67,50 65,38 55,00 1

9 85 72,50 73,08 45,00 2

10 87 75,00 73,08 47,50 1

11 84 75,00 71,15 42,50 1

12 91 67,50 84,62 50,00 2

13 84 67,50 65,38 57,50 1

14 81 72,50 69,23 40,00 1

15 86 67,50 75,00 50,00 2

16 76 72,50 65,38 32,50 1

17 80 70,00 67,31 42,50 1

18 83 70,00 59,62 60,00 1

19 86 70,00 71,15 52,50 2

20 84 75,00 73,08 40,00 1

21 76 70,00 63,46 37,50 1

22 79 70,00 73,08 32,50 2

23 86 72,50 73,08 47,50 2

24 82 62,50 67,31 55,00 2

25 84 77,50 63,46 50,00 1

26 89 70,00 71,15 60,00 2

27 92 70,00 78,85 57,50 2

28 88 70,00 86,54 37,50 2

29 85 67,50 71,15 52,50 2

30 79 60,00 82,69 30,00 2

31 82 67,50 71,15 45,00 2

32 90 70,00 76,92 55,00 2

33 82 70,00 69,23 45,00 1

34 87 77,50 67,31 52,50 1

35 118 87,50 92,31 87,50 2

36 89 75,00 78,85 45,00 2

37 87 70,00 78,85 45,00 2

38 83 65,00 65,38 57,50 2

76

Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan

Gaya

39 86 72,50 69,23 52,50 1

40 87 67,50 73,08 55,00 2

41 81 70,00 69,23 42,50 1

42 81 70,00 65,38 47,50 1

43 85 77,50 78,85 32,50 2

44 79 67,50 61,54 50,00 1

45 84 67,50 73,08 47,50 2

46 90 75,00 76,92 50,00 2

47 85 67,50 73,08 50,00 2

48 86 72,50 82,69 35,00 2

49 89 75,00 73,08 52,50 1

50 74 67,50 65,38 32,50 1

51 87 82,50 80,77 30,00 1

52 83 77,50 67,31 42,50 1

53 84 75,00 76,92 35,00 2

54 76 70,00 63,46 37,50 1

55 77 67,50 69,23 35,00 2

56 87 67,50 73,08 55,00 2

57 87 70,00 76,92 47,50 2

58 86 67,50 71,15 55,00 2

59 82 70,00 73,08 40,00 2

60 82 70,00 80,77 30,00 2

61 89 67,50 75,00 57,50 2

62 79 62,50 65,38 50,00 2

63 85 75,00 67,31 50,00 1

64 79 62,50 75,00 37,50 2

65 80 70,00 76,92 30,00 2

66 79 67,50 76,92 30,00 2

67 77 65,00 73,08 32,50 2

68 83 70,00 71,15 45,00 2

69 84 67,50 76,92 42,50 2

70 81 72,50 63,46 47,50 1

71 81 65,00 67,31 50,00 2

72 78 75,00 65,38 35,00 1

73 89 70,00 78,85 50,00 2

74 88 70,00 78,85 47,50 2

75 95 80,00 82,69 50,00 2

76 93 77,50 75,00 57,50 1

77 77 75,00 65,38 32,50 1

77

Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan

Gaya

78 79 67,50 67,31 42,50 1

79 88 70,00 76,92 50,00 2

80 89 70,00 82,69 45,00 2

81 92 77,50 78,85 50,00 2

82 97 75,00 92,31 47,50 2

83 86 70,00 76,92 45,00 2

84 86 67,50 73,08 52,50 2

85 85 75,00 75,00 40,00 4

86 74 70,00 61,54 35,00 1

87 79 65,00 67,31 45,00 2

88 88 72,50 73,08 52,50 2

89 92 77,50 80,77 47,50 2

90 85 72,50 75,00 42,50 2

91 73 57,50 73,08 30,00 2

92 88 67,50 84,62 42,50 2

Keterangan Gaya Kepemimpinan

1 = Otoriter

2 = Demokratis

3 = Leissez Faire

Lampiran 2 Praktik Kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB

Nores skor tot Kategori

1 89 2

2 138 3

3 117 3

4 125 3

5 134 3

6 122 3

7 107 2

8 109 2

9 114 3

10 104 2

11 122 3

12 129 3

13 117 3

14 141 3

15 117 3

Nores skor tot Kategori

16 135 3

17 127 3

18 118 3

19 106 2

20 139 3

21 124 3

22 119 3

23 116 3

24 133 3

25 120 3

26 117 3

27 105 2

28 129 3

29 118 3

30 124 3

78

Nores skor tot Kategori

31 116 3

32 109 2

33 120 3

34 122 3

35 133 3

36 139 3

37 115 3

38 120 3

39 104 2

40 129 3

41 125 3

42 117 3

43 134 3

44 105 2

45 112 3

46 140 3

47 111 3

48 132 3

49 121 3

50 121 3

51 117 3

52 96 2

53 135 3

54 122 3

55 122 3

56 119 3

57 121 3

58 123 3

59 127 3

60 120 3

61 124 3

62 118 3

63 130 3

64 116 3

Nores skor tot Kategori

65 139 3

66 121 3

67 127 3

68 134 3

69 124 3

70 104 2

71 122 3

72 125 3

73 147 3

74 137 3

75 109 2

76 124 3

77 116 3

78 124 3

79 124 3

80 132 3

81 129 3

82 124 3

83 120 3

84 120 3

85 117 3

86 110 2

87 131 3

88 107 2

89 109 2

90 132 3

91 135 3

92 126 3

Keterangan : 1. Rendah (30-70) 2. Sedang (71-110) 3. Tinggi (111-150)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 16

April 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua

bersaudara pasangan Rachman dan Siti Ngaisah. Penulis

menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar

Negeri Wates 6 pada tahun 2002, kemudian melanjutkan

pendidikan di SMPN 1 Mojokerto dan lulus pada tahun

2005. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan sekolah

menengah atas di SMAN 1 Puri Mojokerto dan pada tahun yang sama penulis diterima

di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan. Pada tahun kedua di IPB

penulis masuk ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di OMDA (Organisasi Mahasiswa

Daerah Asal) HIMASURYA Plus, ketua Badan Pelaksana (BP) MPM KM IPB yang

membawahi UKM pada periode 2009-2010, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)

FEMA sebagai ketua periode 2010-2011, serta menjadi ketua angkatan 45 di

departemen IKK. Penulis merupakan penerima Program Beasiswa PPSDMS (Program

Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis) Nurul Fikri pada tahun 2010-2012.

Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat dan membentuk

komunitas Sanggar Juara.