Upload
truonghanh
View
256
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI – SOSIAL TERHADAP
GAYA DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN
KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
YURIS APRILIA STIAWAN
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan
Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua
Lembaga Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor adalah karya saya dengan
arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Yuris Aprilia Stiawan
NIM. I24080046
ABSTRACT
Relationships between Emotional-Social Intelligence with Leadership Styles and
Practice among Student Organization Chairmen at Bogor Agricultural University.
Supervised by DIAH KRISNATUTI.
This study was aimed to determine the correlation between emotional-
social intelligence with leadership styles and practices. The research was
conducted at IPB during June 2012, involved 94 student’s during the period of
2011-2012 that chose using census technique (however 2 students could not joint
the research). Data was analyzed using descriptive and inference statistics such as
Pearson correlation and Chi-Square analysis. Results showed that emotional-
social intelligence of chairmen were in high category. Styles of leadership were
relatively democratic style, while the dominant leadership practice were in high
category. Pearson correlation test result showed a positive relationship existed
significantly between emotional-social intelligence and leadership practices. In the
other hand, emotional intelligence (emotional awareness, emotion management,
and total emotional intelligence) and social intelligence (social awareness, social
facilities, and total social intelligence) was negatively correlated with laissez faire
style of leadership.
Keywords: early adulthood, emotional awareness, motivation, social facilities
ABSTRAK
YURIS APRILIA STIAWAN. Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap
Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut
Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosi-
sosial terhadap gaya dan praktik kepemimpinan. Lokasi penelitian dilakukan di
kampus IPB pada bulan Juni 2012. Teknik penarikan mahasiswa dari populasi
dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih seluruh mahasiswa dengan sengaja
sebanyak 94 orang pada periode 2011-2012. Pada saat penelitian berlangsung
mahasiswa yang dapat diambil sebanyak 92 orang. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis deskripstif dan inferensia yaitu analisis
korelasi Chi-Square dan Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kecerdasan emosi dan sosial mahasiswa tergolong kategori tinggi. Pada gaya
kepemimpinan terdapat kecenderungan memiliki gaya demokrasi dan pada praktik
kepemimpinan termasuk kategori tinggi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan
terdapat hubungan positif signikan antara kecerdasan emosi, kecerdasan sosial,
dan praktik kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan negatif signifikan antara
kecerdasan emosi (kesadaran emosi, pengelolaan emosi, dan total kecerdasan
emosi) dan kecerdasan sosial (kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total
kecerdasan sosial) dengan gaya kepemimpinan laissez faire.
Kata kunci : dewasa awal, fasilitas sosial, kesadaran emosi, motivasi
RINGKASAN
YURIS APRILIA STIAWAN. Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap
Gaya dan Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut
Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.
Mahasiswa merupakan bagian dari keberadaan dan gerakan pemuda di
Indonesia saat ini. Dari waktu ke waktu mahasiswa terkenal sebagai agent of
change yang berperan aktif dalam perubahan sejarah. Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi-sosial terhadap gaya dan
praktik kepemimpinan. Adapun secara khusus bertujuan untuk: (1)
Mengidentifikasi kecerdasan emosi, sosial, gaya, dan praktek kepemimpinan, (2)
Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa dengan
kecerdasan emosi dan sosial, (3) Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa
dan keluarga mahasiswa dengan gaya dan praktik kepemimpinan, (4) Menganlisis
hubungan kecerdasan emosi dengan gaya dan praktik kepemimpinan, dan (5)
Menganalisis hubungan kecerdasan sosial dengan gaya dan praktik
kepemimpinan.
Lokasi penelitian dilakukan di kampus IPB pada bulan Juni 2012. Teknik
penarikan mahasiswa dari populasi dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih
seluruh mahasiswa dengan sengaja sebanyak 94 lembaga kemahasiswaan yang
terdiri atas ketua 94 orang pada perode 2011-2012. Pada saat penelitian
berlangsung mahasiswa yang dapat diambil sebanyak 92 orang. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskripstif dan inferensia
yaitu analisis korelasi Chi-Square dan Pearson.
Hampir seluruh mahasiswa (95,7%) laki-laki dan sisanya perempuan. Usia
mahasiswa pada penelitian ini berkisar 19-23 tahun dengan rataan usia 20,6 tahun.
Hampir seperempat (22,8%) mahasiswa berasal dari Fakultas Teknik Pertanian
(FATETA). Hampir separuh mahasiswa (45,7%) berasal dari suku Sunda dan
lebih dari seperempat mahasiswa (27,2%) berasal dari suku Jawa. Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) mahasiswa berada kisaran 2.14 sampai 3,82. Lebih dari separuh
mahasiswa mempunyai nilai akademik dalam kategori baik(68,5%) dan memiliki
pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan (67,4%). Lebih dari sepertiga
mahasiswa (34.8%) memiliki dua orang saudara dan lebih dari sepertiga
mahasiswa (40,2%) merupakan anak sulung. Pada jumlah organisasi hampir
separuh mahasiswa (45,6%) termasuk dalam kategori sedang (4-8 organisasi),
sementara lama organisasi berada pada kategori sedang (4,4-6,6 tahun). Hampir
sepertiga ayah (30.4%) dan lebih dari sepertiga ibu (33,7%) telah menempuh
pendidikan selama 18 tahun tahun atau setara dengan sarjana (S1). Seperempat
ayah (25%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan hampir separuh ibu
(47,8%) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Besar keluarga mahasiswa
berkisar antara 3 sampai 12 orang, lebih dari separuh keluarga mahasiswa (59,8%)
memiliki jumlah anggota keluarga dengan kategori sedang yaitu antara 5-7 orang.
Kecerdasan emosi dan sosial ketua lembaga termasuk dalam kategori
tinggi dengan gaya kepemimpinan lebih dari dua pertiga berupa gaya demokratis
dan praktik kepemimpinan berada pada kategori tinggi. Terdapat hubungan antara
jenis kelamin laki-laki dengan dimensi kecerdasan emosi yaitu pengelolaan emosi
dan hubungan positif signifikan antara jumlah organisasi dengan dimensi
pengelolaan emosi, sementara itu terdapat hubungan positif signifikan lama
pendidikan ibu dengan kesadaran emosi. Terdapat hubungan positif signifikan
antara jumlah organisasi dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan
sosial total.
Hasil uji Pearson menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara
IPK dengan gaya kepemimpinan demokratis dan terdapat hubungan positif
signifikan antara lama pendidikan ayah dengan gaya kepemimpinan otoriter. IPK
berhubungan positif signifikan dengan dimensi manjadi mahasiswa panutan pada
praktik kepemimpinan.
Terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan
emosi, motivasi emosi, dan total kecerdasan emosi terhadap gaya kepemimpinan
otoriter. Kesadaran emosi, motivasi diri, dan total kecerdasan emosi berhubungan
positif signifikan dengan gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan kesadaran
emosi, pengelolaan emosi, dan total kecerdasan emosi berhubungan negatif
signifikan dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Hasil uji korelasi Pearson
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi diri dan
kecerdasaan emosi total terhadap dimensi tantangan proses dalam praktik
kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran
emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap
dimensi inspirasi visi. Terdapat hubungan positif signifikan terdapat antara
pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total terhadap dimensi
mengajak orang lain bertindak. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan
antara kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi
total terhadap dimensi menjadi mahasiswa panutan pada praktik kepemimpinan.
Motivasi diri dan kecerdasan emosi total menunjukkan hubungan positif
signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain. Sedangkan kesadaran emosi,
pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total memiliki hubungan
positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan.
Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan
negatif signifikan dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Kesadaran sosial,
fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan
dimensi tantangan proses, inspirasi visi, mengajak orang lain bertindak, menjadi
panutan mahasiswa, memotivasi orang lain, dan total praktik kepemimpinan.
Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah organisasi mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan kecerdasan sosial sehingga diperlukan pengenalan
organisasi sejak dini pada generasi muda. IPK dapat menjadikan seorang
pemimpin panutan bagi anggotanya sehingga setiap pemimpin dapat terus
mengembangkan organisasi tanpa perlu menyampingkan akademik. Kampus
sebagai institusi pendidikan memiliki peranan penting sebagai tempat
pengembangan softskill kepemimpinan bagi mahasiswa.
Kata kunci : kesadaran emosi, fasilitas sosial, motivasi, dewasa awal
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI – SOSIAL TERHADAP
GAYA DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN
KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
YURIS APRILIA STIAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan
Praktik Kepemimpinan Ketua Lembaga Kemahasiswaan
Institut Pertanian Bogor
Nama : Yuris Aprilia Stiawan
NRP : I24080046
Disetujui,
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus :
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS.
Dosen Pembimbing I
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya serta pertolongannya dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul
Hubungan Kecerdasan Emosi – Sosial Terhadap Gaya dan Praktik Kepemimpinan
Ketua Lembaga Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor ini. Pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan,
doa, dan arahan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
2. Dr. Istilaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pemandu seminar serta Dr.
Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ir. M.D. Djamaludin, M.Sc selaku dosen
penguji atas saran dan masukannya untuk menyempurnakan skripsi ini.
3. Ir. Ratnaningsih, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan nasehat dan bimbingan sejak memasuki departemen.
4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu , Lusiana, dan Titi atas doa dan dukungannya
yang tidak pernah berhenti.
5. Teman seperjuangan Amania, Rafida, Dela, Neng, Arin, Ifah, Kiki dan
semua teman-teman IKK 45.
6. Sahabat seperjuangan: Yogi, Davi, Indra, Hibatus, dan keluarga besar
HIMASURYA PLUS
7. Dr. Abdul Munif, Nazrul SE, Sobari SP, dan para pendekar PPSDMS
“The next future leaders” Regional V Bogor
8. Keluarga besar DPM FEMA yang memberikan pengalaman luar biasa
9. Kosan De Netto: Bang Agus, Bang Zul, dan Bang Heri
10. Ketua LK IPB tahun 2011-2012 yang telah membantu dalam kesuksesan
pengambilan data.
11. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, dan
kerjasama selama pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
Bogor, Januari 2013
Yuris Aprilia Stiawan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Perumusan Masalah .................................................................................. 4
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 7
Gaya Kepemimpinan ................................................................................ 7
Praktik Kepemimpinan ............................................................................. 9
Kecerdasan Emosi .................................................................................... 10
Kecerdasan Sosial ..................................................................................... 13
Mahasiswa ................................................................................................ 14
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 17
METODE PENELITIAN ............................................................................. 19
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .................................................... 19
Mahasiswa dan Teknik Penarikan Mahasiswa ......................................... 19
Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel .............. 19
Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 21
Definisi Operasional ................................................................................. 24
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 27
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 27
Karakteristik Mahasiswa .......................................................................... 28
Karakteristik Keluarga Mahasiswa ........................................................... 33
Kecerdasan Emosi .................................................................................... 35
Kecerdasan Sosial ..................................................................................... 39
Gaya Kepemimpinan ................................................................................ 43
Praktik Kepemimpinan ............................................................................. 46
Hubungan Antar Variabel ......................................................................... 51
Pembahasan .............................................................................................. 60
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 65
Simpulan ................................................................................................... 65
Saran ......................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 69
LAMPIRAN ................................................................................................. 73
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis dan cara pengumpulan data ................................................... 20
2 Cara pengkategorian variabel ........................................................ 22
3 Sebaran mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan umur ............. 29
4 Sebaran mahasiswa berdasarkan asal fakultas, suku, dan IPK ...... 30
5 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran ............................... 31
6 Sebaran mahasiswa berdasarkan jumlah saudara, urutan kelahiran,
jumlah, dan lama organisasi ........................................................... 32
7 Sebaran mahasiswa berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua 34
8 Sebaran mahasiswa berdasarkan besar keluarga ............................ 35
9 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecerdasan emosi ...................... 36
10 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran emosi ........................ 36
11 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengelolan emosi ....................... 37
12 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi diri .............................. 39
13 Sebaran mahasiswa berdasakan kecerdasan sosial ........................ 40
14 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran sosial ......................... 41
15 Sebaran mahasiswa berdasarkan fasilitas sosial ............................ 42
16 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan gaya
kepemimpinan total ........................................................................ 43
17 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya otoriter .............................. 44
18 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya demokratis ........................ 45
19 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya laissez faire ....................... 46
20 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan praktik
kepemimpinan total ........................................................................ 47
21 Sebaran mahasiswa berdasarkan tantangan proses ........................ 47
22 Sebaran mahasiswa berdasarkan inspirasi visi .............................. 48
23 Sebaran mahasiswa berdasarkan mengajak bertindak ................... 49
24 Sebaran mahasiswa berdasarkan mahasiswa panutan .................... 50
25 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi ..................................... 51
26 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi ..... 52
27 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan
emosi .............................................................................................. 53
28 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan sosial ...... 53
xvii
29 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan
sosial ............................................................................................... 54
30 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan gaya kepemimpinan .. 54
31 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan gaya
kepemimpinan ................................................................................ 55
32 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan praktik kepemimpinan 55
33 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan praktik
kepemimpinan ................................................................................ 56
34 Hubungan antara kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan . 57
35 Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan ........ 58
36 Hubungan kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan ............ 58
37 Hubungan kecerdasan sosial dengan praktik kepemimpinan ........ 59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gaya kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB ............ 75
2 Praktik Kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB ........ 77
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada tahun 2012, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat telah menetapkan
bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa1. Pertumbuhan jumlah
penduduk Indonesia berimplikasi terhadap peningkatan jumlah pemuda sebagai
populasi terbesar dari penduduk Indonesia. Menurut data Susenas jumlah pemuda
Indonesia pada tahun 2006 sebesar 80,82 juta jiwa2, sedangkan berdasarkan angka
proyeksi BPS pada tahun 2009 sebesar 62,91 juta jiwa (Bappenas 2009).
Perbedaan jumlah pemuda dari data Susenas dan BPS disebabkan oleh
perubahan kategori umur pemuda yang disahkan oleh Undang-undang No. 40
Tahun 2009, semula dari usia 15-35 tahun menjadi 16-30 tahun3. Walaupun
terjadi penurunan tetapi dengan jumlah yang cukup besar, pemuda memiliki
potensi yang strategis bagi bangsa Indonesia, terutama adanya jiwa kepemimpinan
dalam pemuda. Sejarah dunia dan khususnya Indonesia mencatat bahwa pemuda
berperan penting dalam perubahan, sebagai mahasiswa pada tahun 1928 pemuda
Indonesia mengguncang dunia dengan adanya “Sumpah Pemuda”. Pada tahun
1998 pemuda Indonesia melakukan reformasi untuk menggulingkan pemerintahan
orde baru yang bersifat otoriter. Selain itu perwujudan proklamasi Indonesia juga
didasarkan atas desakan kaum pemuda.
Menurut Hasibuan (2008) keberadaan potensi dan kualitas pemuda dalam
berbagai fase sejarah selalu mendapatkan perhatian penting. Pada perspektif
sosiologis, biologis, politik, demografis, dan historis memiliki makna yang
signifikan. Pertama pada perspektif sosiologis mempunyai peranan dan posisi
yang penting yaitu sebagai penghubung antargenerasi, baik generasi yang lebih
muda serta generasi tua. Kedua pada perspektif biologis, fase pertumbuhan dan
perkembangan pemuda sangat menentukan kualitas Human Development Index
(HDI) pada masa yang akan datang. Pada perspektif biologis juga dapat dilihat
suatu kaum muda tumbuh menjadi generasi cemerlang (rising generation) atau
menjadi generasi yang hilang (loosing generation). Ketiga pada perspektif politik,
1 www.sindonews.com 2 http://kppo.bappenas.go.id/preview/232 3 kppo.bappenas.go.id/files/-1-Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf
2
pemuda memiliki pemikiran yang dinamis, responsif, dan sensitivitas yang kuat
pada setiap perubahan politik. Saat potensi politik dikembangkan secara maksimal
maka kaum pemuda akan menjadi political capital yang luar biasa dalam
membangun negara. Keempat perspektif demografis, populasi pemuda yang
terbesar pada jumlah penduduk memiliki keunggulan tersendiri. Penyebaran
pemuda di berbagai wilayah Indonesia baik di perkotaan atau di pedesaan
membawa potensi tersendiri. Kelima perspektif histori, berbagai kejadian sejarah
di Indonesia selalu mempunyai hubungan dengan peran pemuda. Peran pemuda
baik sebagai pendukung kebijakan pemerintah atau sebagai pihak oposisi terhadap
kebijakan pemerintah.
Mahasiswa merupakan bagian dari keberadaan dan gerakan pemuda di
Indonesia saat ini. Dari waktu ke waktu mahasiswa terkenal sebagai agent of
change yang berperan aktif dalam perubahan sejarah. Mahasiswa mempunyai
peranan penting dalam gerakan pembaruan negara terutama pada gerakan
pembangunan. Para aktivis mahasiswa berperan penting sebagai motor penggerak
kekuatan sosial, moral, dan politik. Pembinaan kepemimpinan di kalangan
mahasiswa sangat diperlukan dan sesuai dengan minat keilmuan serta aspirasi
kepemudaan. Pembinaan juga harus searah dengan kondisi sosial, ekonomi, dan
politik yang ada di tengah masyarakat. Dengan begitu diharapkan adanya
peningkatan prestasi ilmiah, dedikasi sosial, dan partisipasi aktif mahasiswa
dalam masa pembangunan (Kartono 2011).
Para pemimpin besar sering kali menggunakan kata-kata yang
menginspirasi dan membakar semangat hidup seseorang (Goleman 2007). Sebagai
salah satu presiden Indonesia, Bung Karno sangat mengagumi peranan pemuda
dalam melakukan perubahan bahkan untuk melakukan perubahan dunia (Krishna
2010). Pemimpin selalu memainkan peran emosi yang primordial (utama). Para
pemimpin yang orisinal mendapatkan kedudukan karena kemampuan yang dapat
menggerakkan emosi. Dalam sejarah dan budaya manapun, pemimpin kelompok
manusia adalah seorang yang menjadi tumpuan dalam mencari kepastian dan
kejelasan ketika menghadapi ketidakpastian, ancaman atau ketika ada suatu tugas
yang harus dilakukan. Pemimpin bertindak sebagai pembimbing emosi kelompok
(Goleman 2007).
3
Goleman menyebutkan bahwa keterampilan dasar kecerdasan emosional
menjadi semakin penting untuk kerja tim, bekerjasama, menolong orang agar bisa
bekerja secara efektif (Goleman 2002). Psikolog Thorndike dalam Goleman
(2006) membuat rumusan orisinal tentang kecerdasaan sosial yaitu kemampuan
memahami dan mengelola orang lain serta kemampuan yang dibutuhkan setiap
orang untuk hidup dengan baik di dunia.
Tead menyatakan dalam Sholehuddin (2008) bahwa “leader is the activity
influencing people to cooperate toward some goal which they come to find
desirable” yang mempunyai arti kepemimpinan adalah suatu kegiatan
mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu yang
diinginkan. Singkatnya, dalam pengertian yag sederhana kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain. Kriteria seorang pemimpin
haruslah cerdas. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang pemimpin harus mampu
dalam memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi kelompok.
Kartono (2011) menyebutkan diantara kelompok mahasiswa sebagai suatu
unit dengan pemimpin selalu terdapat kaitan yang erat sehingga setiap kelompok
akan memilih tipe pemimpin yang cocok dengan ambisi atau visi kelompok.
Sebaliknya pribadi pemimpin menentukan semangat kelompok yang dipimpin.
Dalam sifat kepemimpinan, seorang pemimpin memiliki sifat otoriter (kekuasan
mutlak ditangan pemimpin), demokratis (adanya interaksi kerjasama pemimpin
dan anggota), dan laissez faire (tidak ada arahan dari pemimpin). Sementara itu,
dalam praktik kepemimpinan seorang pemimpin diharuskan mengubah nilai-nilai
menjadi sebuah tindakan, mewujudkan visi kedepan, individual menjadi
kerjasama, dan resiko menjadi sebuah peluang, sehingga kepemimpinan dapat
menjadikan seseorang untuk mengambil peluang dan mengubahnya menjadi
sebuah kesuksesan (Kouzes dan Posner 2007).
Adanya keinginan mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan
persamaan visi maka terbentuklah Lembaga Kemahasiswaan yang selanjutnya
disebut dengan LK. Lembaga Kemahasiswaan IPB mempunyai peranan sebagai
wadah untuk menyalurkan minat dan bakat mahasiswa (softskill) sehingga
mahasiswa dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal. Selain itu,
4
peranan LK juga sebagai bentuk interaksi yang saling memahami dan mempunyai
perbedaan latar belakang budaya, kepribadian, serta karakteristik lainnya.
Pengembangan potensi diri secara langsung berfokus pada pengembangan
kecerdasan emosi serta interaksi sesama yang dilakukan berfokus pada kecerdasan
sosial. Pengembangan emosi dan sosial tentu memiliki peranan yang penting
dalam menentukan gaya dan praktik kepemimpinan seseorang. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh
kecerdasaan emosi dan kecerdasan sosial terhadap gaya dan praktik
kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.
Perumusan Masalah
Dalam kosakata Bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan
generasi muda dan kaum muda yang memiliki terminologi beragam. Untuk
menyebut pemuda digunakan istilah young human resources sebagai salah satu
sumber pembangunan. Pemuda adalah generasi yang ditempatkan sebagai subjek
pemberdayaan yang memiliki kualifikasi efektif dengan kemampuan dan
keterampilan. Pemberdayaan yang didukung penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat maju serta berdiri dalam keterlibatan secara aktif bersama
kekuatan efektif lainnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
bangsa.
Mahasiswa sebagai objek pemberdayaan masih memerlukan bantuan,
dukungan, dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan
efektif ke tingkat yang optimal untuk dapat bersikap mandiri dan melibatkan diri
secara fungsional. Pengembangan kepemimpinan pada mahasiswa diperlukan
guna menghadapi persaingan global tentu merupakan suatu kendala yang sulit
dihindari. Penurunan kepemimpan pada mahasiswa diduga dikarenakan adanya
kecerdasaan emosi dan sosial yang menurun dari waktu ke waktu. Pasal 16
Undang-undang kepemudaan Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemuda berperan
aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala
aspek pembangunan nasional.
Banyak sekali peran dan tindakan positif mahasiswa dalam pembangunan
bangsa, pada masa kolonial banyak organisasi kepemudaan yang didirikan oleh
mahasiswa untuk mempersatukan pemuda dalam menghadapi penjajah sehingga
5
sangat wajar harapan kaum tua terhadap kaum muda (mahasiswa) sebagai
pengganti pemimpin bangsa (Hasibuan 2008). Pada saat ini, tindakan negatif juga
sering dilakukan oleh mahasiswa khususya dalam pengajuan aspirasi, bentrokan
mahasiswa, pembakaran-pembakaran sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan,
bahkan pemakaian narkoba yang saat ini marak terjadi. Keadaan negatif
mahasiswa yang tidak sesuai harapan tentu dapat dipengaruhi oleh keadaan emosi
diri sendiri dan hubungan sosial dengan lingkungan. Bagi mahasiswa,
kepemimpinan menjadi perhatian serius karena dipundaknya harapan kemajuan
bangsa digantungkan, sehingga menjadi seorang pemimpin tidak hanya
memerlukan kecerdasan intelektual tetapi yang paling terpenting memiliki
kecerdasan emosi dan sosial.
Gerungan diacu dalam Sholehuddin (2008) mengungkapkan bahwa
kepemimpinan bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak melainkan keseluruhan dari
keterampilan (skill) dan sikap (attitude) yang diperlukan oleh pemimpin.
Keterampilan yang dibutuhkan pemimpin dibagi atas dua hal yaitu keterampilan
emosional dan keterampilan sosial. Keterampilan (kecerdasan) emosional bagi
pemimpin adalah mengelola emosi yaitu menyadari apa yang ada di balik suatu
perasaan dan mempelajari cara untuk menangani kecemasan, amarah, dan
kesedihan. Selain itu, kecerdasan emosi akan sangat dibutuhkan dalam memikul
tanggung jawab bagi keputusan dan tindakan serta menindaklanjuti kesepakatan.
Keterampilan sosial atau lebih dikenal sebagai kecerdasan sosial terbagi atas
kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kecerdasan sosial berbeda dengan kecerdasan
emosional yaitu lebih difokuskan pada memelihara hubungan secara baik sesama
anggota kelompok.
Keberadaan Lembaga Kemahasiswaan (LK) di Institut Pertanian Bogor
adalah sebuah tempat untuk dapat mengembangkan keterampilan baik secara
emosional dan sosial. Para pimpinan LK yang berasal dari berbagai daerah tentu
memiliki karakteristik kepemimpinan yang berbeda. Karakter yang berbeda tentu
akan mempunyai peranan dalam pengembangan kecerdasan yang berbeda baik
secara emosi dan sosial. Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat pertanyaan
yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
6
1. Bagaimana hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa
pada gaya dan praktik kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?
2. Bagaimana hubungan kecerdasan emosi mahasiswa pada gaya dan praktik
kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?
3. Bagaimana hubungan kecerdasan sosial mahasiswa pada gaya dan praktik
kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kecerdasan emosi - sosial terhadap gaya dan praktik
kepemimpinan pada ketua lembaga kemahasiswaan IPB
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan karakteristik keluarga
mahasiswa
2. Mengidentifikasi kecerdasan emosi-sosial, gaya, dan praktek
kepemimpinan pada mahasiswa
3. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa
dengan kecerdasan emosi dan sosial mahasiswa
4. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa dan keluarga mahasiswa
dengan gaya dan praktik kepemimpinan mahasiswa
5. Menganlisis hubungan kecerdasan emosi dan sosial dengan gaya dan
praktik kepemimpinan mahasiswa
Manfaat Penelitian
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk mengetahui
fenomena di masyarakat sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat
dibangku kuliah agar dapat bermanfaat bagi orang lain. Bagi institusi, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi referensi kajian ilmu dengan topik praktik
kepemimpinan dan kecerdasan emosi dan sosial para aktivis kampus. Bagi
masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan
dengan praktik kepemimpinan dan kecerdasan emosi dan sosial. Bagi aktivis
mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat sebagai landasan mempelajari
kecerdasan emosi dan sosial sebagai dasar menjadi kepemimpinan di kampus.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Gaya Kepemimpinan
Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh
bentuk kepemimpinan dari pemimpin. Kotter (1997) diacu dalam Saleh (2009)
menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan proses gerakan suatu kelompok
dalam arah yang sama. Selain itu, kepemimpinan yang baik menggerakkan orang
pada satu arah yang sama dan merupakan minat jangka panjang organisasi
tersebut.
Gerugan diacu dalam Sholehudin (2008) mengungkapkan bahwa pada
umumnya tugas pemimpin adalah mengusahakan supaya kelompok yang
dipimpinnya dapat merealisasikan tujuannya dengan sebaik-baiknya dalam kerja
sama yang produktif dalam kelompok dan membagi menjadi : Structuring the
situation adalah pemimpin yang memberikan struktur dengan jelas mengenai
situasi-situasi rumit yang dihadapi kelompok. Dalam hal ini seorang pemimpin
harus mampu memberikan gambaran secara holistik tentang berbagai situasi yang
dihadapi. Selain itu, dalam menjelaskan situasi-situasi sulit pemimpin tetap
dituntut untuk mampu membuat skala prioritas yang dihadapi oraganisasi. Skala
prioritas inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan organisasi. Controling group
behavior adalah pemimpin yang mengawasi dan menyalurkan tingkah laku
kelompok. Pemimpin dalam hal ini mengawasi berbagai perilaku anggota dan
menyalurkan aktivitas-aktivitas anggota sesuai peraturan-peraturan yang telah
disepakati. Spokesman of the group adalah pemimpin yang menjadi juru bicara
bagi kelompok sehingga harus mampu menjelaskan tentang keorganisasian yang
dipimpin kepada berbagi pihak. Penjelasan ini meliputi keanggotaan, visi dan misi
organisasi, tujuan, dan rencana startegis.
Thoha (1991) diacu dalam Saleh (2009) menjelaskan bahwa gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang saat
mempengaruhi perilaku orang lain. Terdapat dua gaya kepemimpinan yang
ekstrim, yaitu: gaya kepemimpinan otoriter dan gaya kepemimpinan demokratis.
Gaya kepemimpinan otoriter dipandang sebagai dasar atas kekuatan posisi dan
penggunaan kekuasaan. Sementara itu gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan
8
dengan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
Menurut Terry dalam Siswanto (2009) terdapat enam tipe kepemimpinan,
yaitu: Kepemimpinan pribadi (personal leadership) adalah kepemimpinan yang
dilakukan dengan cara kontak pribadi dan instruksi disampaikan secara oral atau
langsung pada anggota. Gaya kepemimpinan ini sering dianut oleh organisasi
kerena kompleksitas bawahan maupun kegiatan sangatlah kecil, sehingga dalam
pelaksanaan selain mudah juga sangat efektif dilakukan tanpa mengalami
prosedural yang berbelit-belit. Kepemimpinan nonpribadi (nonpersonal
leadership) adalah kepemimpinan yang mengacu pada segala peraturan dan
kebijakan yang berlaku pada organisasi dengan menggunakan media nonpribadi
untuk melaksanakan instruksi dan program yang ada sehingga pendelegasian
kekuasaan sangat berperan penting. Kepemimpinan otoriter (authoritarian
leadership) adalah pemimpin yang bertipe otoriter, bekerja secara sungguh-
sungguh, teliti, cermat, dan sesuai kebijakan yang ada. Meskipun sedikit kaku,
segala instruksi harus dipatuhi oleh para anggotanya, para anggota tidak berhak
untuk mengomentari karena pemimpin beranggapan bertindak sebagai orang yang
akan bertanggung jawab atas segala kompleksitas organisasi.
Kepemimpinan demokratis (democratif leadership) adalah kepemimpinan
yang beranggapan bahwa setiap anggota organisasi adalah sama dan secara
bersama-sama bertanggung jawab pada organisasi. Agar tanggung jawab tersebut
dirasakan oleh setiap anggota maka setiap anggota berpartisipasi dalam setiap
kegiatan perencanaan, pelaksanan, dan pengevaluasian agar mencapai tujuan yang
diinginkan bersama. Kepemimpinan paternalistik (paternalistic leadership) adalah
kepemimpinan yang dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kekerabatan
dalam hubungan antara pemimpin dengan organisasi dan bertujuan untuk
melindungi dan memberikan arahan, tindakan, dan perilaku. Kepemimpinan bakat
(indigenous leadership) merupakan kepemimpinan yang biasanya muncul dari
kelompok informal yang didapatkan dari pelatihan meskipun tidak langsung atau
diperoleh melalui keturunan.
Mouton (1964) diacu dalam Siswanto (2009) membagi lima gaya
kepemimpinan, yaitu: Tandus (improverished) adalah gaya kepemimpinan yang
9
memakai usaha seminim mungkin untuk menyelesaikan suatu masalah guna
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Perkumpulan (country club)
adalah gaya kepemimpinan yang menumpahkan perhatian kepada anggota untuk
memuaskan hubungan yang menggairahkan baik secara hubungan sesama anggota
dan tempat kerja serta suasana organisasi yang bersahabat. Tugas (task) adalah
gaya kepemimpinan yang mengefisiensikan hasil kerja yang diperoleh dari
kondisi kerja yang tersusun dengan mengurangi campur tangan elemen manusia
sampai pada tingkat minimum. Jalan tengah (middle of road) adalah gaya
kepemimpinan yang menggunakan kecakapan organisasi yang memadai dimana
usaha dan memungkinkan membuat keseimbangan di antara kerja yang dilakukan
sambil memperhatikan semangat anggota pada tingkat memuaskan. Tim (team)
adalah gaya kepemimpinan yang diperoleh dari persetujuan (commited) anggota
yang saling bergantung pada pegangan umum (common stake) dan sesuai dengan
tujuan organisasi sehingga menjurus pada hubungan keyakinan dan penghargaan.
Pada mahasiswa setiap kelompok akan memilih tipe pemimpinnya sendiri
yang cocok dengan ambisi-ambisi kelompok. Sebaliknya, pribadi pemimpin akan
menentukan semangat kelompok yang dipimpinnya. Menurut Kartono (2011) tipe
pemimpin mahasiswa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: otoriter atau
otoritatif, demokratis, dan laissez faire. Otoriter adalah kepemimpinan yang
bersifat keras, tidak boleh disanggah, dan mengharuskan. Kekuasaan berlangsung
lewat kekuatan dan penekanan kepada anggotanya. Komunikasi berlangsung satu
arah, yaitu dari atasan kepada bawahan. Demokratis adalah kepemimpinan yang
berdasarkan interaksi dan kerjasama, kebebasan yang teratur, pemberian
kesempatan kepada semua anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif dan
menyumbangkan ide-ide yang konstruktif. Semua keputusan direncanakan dan
ditentukan bersama-sama. Laissez faire adalah Kepemimpinan yang membiarkan
semua anggota bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak
memberikan perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing
anggota bergerak sendiri-sendiri.
Praktik Kepemimpinan
Kouzes dan Posner (2005) menjelaskan seorang pemimpin akan
melakukan satu hal yaitu mewujudkan keinginan anggota dengan menghubungkan
10
melalui ekspektasi yang ada. Kepemimpinan merupakan proses antara pemimpin
dan anggota sehingga setiap keputusan selalu berdasarkan hubungan tersebut.
Pemimpin perlu menjalankan kepemimpinan dengan baik dalam sebuah praktik
kepemimpinan dan membagi praktik kepemimpinan menjadi lima dimensi yaitu:
Tantangan dalam menjalankan proses adalah kemampuan seorang pemimpin
untuk mencari dan mengidentifikasi peluang untuk berubah dan untuk
bereksperimen dan mengambil risiko untuk membawa perubahan. Para pemimpin
juga menciptakan lingkungan yang baik serta menghasilkan dan mendukung
inovasi dalam diri sendiri dan organisasi. Kemampuan menginspirasi visi
adalah kemampuan seorang pemimpin, bersama-sama untuk membayangkan masa
depan yang membangkitkan semangat yang lebih baik bagi dia atau organisasi.
Selain itu, kapasitas seorang pemimpin untuk mendorong, memotivasi, dan
menghasilkan kegembiraan pada orang lain tentang tujuan tertentu atau masa
depan organisasi.
Mengajak orang lain untuk bertindak adalah kemampuan pemimpin
untuk menghasilkan suasana saling percaya dan menghormati dalam organisasi.
Selain itu, kemampuan seorang pemimpin untuk menciptakan lingkungan tim
yang terasa seperti keluarga sehingga anggota merasa menjadi bagian dari
organisasi. Mahasiswa sebagai panutan adalah kemampuan pemimpin sebagai
panutan seperangkat prinsip dan nilai-nilai, serta mendorong individu dalam
organisasi untuk menerima prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada pada anggota
organisasi. Selain itu, pernyataan ini berhubungan dengan kemampuan seorang
pemimpin untuk merencanakan prestasi tambahan yang mengatur tempat untuk
kesuksesan masa depan dan pencapaian tujuan. Memotivasi adalah kemampuan
pemimpin untuk mengakui kontribusi individu dan menunjukkan kebanggaan
pada prestasi tim. Memotivasi ditandai dengan petunjuk ringkas, dorongan yang
cukup besar, perhatian pribadi, dan membangun umpan balik
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan akademis atau kognitif tidak menawarkan persiapan untuk
menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang
tinggi juga tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, dan kebahagiaan hidup. Sekolah
11
dan kebudayaan saat ini lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis,
mengabaikan kecerdasaan emosional yaitu serangkaian ciri-ciri karakter yang juga
mempunyai pengaruh besar pada nasib manusia. Menurut Salovey dan Mayer
diacu dalam Papalia et al. (2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan perasaan
orang lain. Seorang peneliti bernama Gardner dalam Goleman (2002)
menyebutkan tentang adanya kecerdasan pribadi. Menurut Gardner kecerdasan
pribadi dibagi menjadi kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi.
Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain.
Sedangkan untuk kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang saling
berhubungan, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan intrapribadi dimaksudkan
mencari jati diri dan menggunakan jati diri tersebut sebagai alat untuk menempuh
hidup dengan efektif.
Hatch dan Gardner dalam Goleman (2002) menyebutkan bahwa dalam
kecerdasan antarpribadi tersusun atas komponen dasar, yaitu: mengorganisir
kelompok, merundingkan pemecahan, hubungan pribadi, dan analisis sosial.
Mengorganisasi kelompok adalah keterampilan dasar seorang pemimpin yang
dapat mengoordinasikan pergerakan seseorang. Merundingkan pemecahan
adalah kamampuan seseorang untuk mencegah konflik dan menyelesaikan konflik
yang terjadi. Hubungan pribadi adalah kemampuan yang dapat mengenali serta
merespon dengan tepat perasaan dan keprihatinan orang lain. Analisis sosial
adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi perasaan, motif, dan keprihatinan
seseorang. Komponen antarpribadi dibangun atas kecerdasan emosional sehingga
seseorang dapat menggunakan keterampilan lain, termasuk intelektual yang belum
terasah. Emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovero yang berarti bergerak
menjauh dan semua emosi pada dasarnya berupa dorongan untuk bertindak.
Thorndike diacu dalam Goleman (2002) menyebutkan bahwa salah satu
aspek kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan “sosial” adalah kemampuan untuk
memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
Hal ini menunjukkan dalam kesuksesan hidup seseorang memerlukan adanya
kecerdasan emosi dan sosial yang saling berdampingan. Goleman (2002)
membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian utama, yaitu:
12
1. Kesadaran emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan
atau emosi diri sendiri serta dapat memantau perasaan dari waktu ke waktu
dan merupakan dasar kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati
perasaan diri sendiri yang sesungguhnya membuat seseorang berada dalam
kekuasaan perasaan. Seseorang yang memiliki keyakinan lebih mengenai
perasaan diri dapat memiliki kepekaan akan emosi diri. Selain itu, mengenali
emosi diri sangat berperan dalam pengambilan keputusan masalah pribadi dan
orang lain (Goleman 2002).
2. Mengelola emosi merupakan penanganan perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat dan sangat tergantung pada kesadaran emosi. Kemampuan ini
meliputi cara menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan dan kemurungan.
Seseorang yang tidak mampu mengelola emosi akan terus berada pada
perasaan murung, sedangkan bagi yang mampu akan dapat bangkit dari
keterpurukan dalam menjalani kehidupan. Pengelolaan emosi diri juga mampu
menahan diri pada kepuasan yang berlebihan dan dapat mengendalikan
dorongan hati (Goleman 2002).
3. Memotivasi diri adalah alat yang sangat penting dan berkaitan dengan
memberikan perhatian, memotivasi dan menguasai diri sendiri serta berkreasi.
Selain itu, penempatan emosi dapat menjadi landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang. Memotivasi juga mampu menyesuaikan diri melalui kinerja
yang tinggi dalam segala bidang. Seseorang yang memiliki keterampilan ini
cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun (Goleman 2002).
4. Mengenali emosi orang lain (empati) adalah kemampuan untuk mengetahui
perasaan orang lain. Goleman (200) menyebutkan empati dibangun
berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang pada emosi diri maka
semakin terampil membaca perasaan. Pada masa remaja rasa empati menjadi
dasar dorongan keyakinan moral untuk melawan ketidakadilan. Setiap
hubungan kepedulian berasal dari perasaan emosional yaitu berempati. Empati
berbeda dengan simpati, Goleman (2002) menyebutkan bahwa berempati
merupakan penempatan diri pada perasaan orang lain dan ikut merasakannya.
Seseorang yang berempatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
13
tersembunyi dan mengisyaratkan sesuatu yang dibutuhkan atau dikehendaki
orang lain (Goleman 2002).
5. Membina hubungan merupakan kemampuan menangani emosi orang lain.
Dasar membina hubungan berasal dari pengungkapan dan pengendalian emosi
diri. Membina hubungan merupakan keterampilan yang diperlukan untuk
menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi
sehingga mampu menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina
hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi serta membuat orang lain merasa
nyaman (Goleman 2002).
Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan
memahami orang lain sehingga memunculkan sikap kepedulian pada orang lain
(Buzan 2002). Goleman (2007) berpendapat bahwa kecerdasan sosial terbagi atas
dua bagian, yaitu: kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kecerdasan sosial merujuk
pada sesuatu yang merentang secara langsung sehingga dapat merasakan keadaan
batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikiran dalam situasi sosial
yang rumit.
Kesadaran sosial meliputi empat hal yaitu empati, penyelarasan, ketepatan
empatik, dan kognisi sosial. Empati merupakan bagian dari kecerdasan emosi.
Empati dasar yaitu kemampuan merasakan emosi orang lain serta dapat
merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal. Dalam sebuah penelitian dijelaskan
bahwa perempuan cenderung lebih baik pada dimensi empati daripada laki-laki.
Selain itu, empati dapat terasah oleh keadaan hidup dari waktu ke waktu.
Penyelarasan adalah keadaan sesaat setelah empati yang berguna untuk
memperlancar hubungan baik dengan orang lain. Ketepatan empatik adalah
kecakapan paling esensial dari kecerdasan sosial. William Ickes dalam Goleman
(2002) menyatakan bahwa ketepatan empatik dibangun diatas empati dasar namun
dapat merasakan dan memikirkan perasaan orang lain. Kognisi sosial adalah
pengetahun seseorang untuk dapat memahami lingkungan sosial bekerja.
Fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial
sehingga memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Fasiltas sosial meliputi
empat hal, yaitu: sikronisasi, presentasi diri, pengaruh, dan kepedulian.
14
Sikronisasi adalah sutau bentuk interaksi secara mulus pada tingkat nonverbal.
Sebagai landasan fasilitas sosial, sikronisasi adalah batu pondasi yang menjadi
landasan dibangunnya apsek-aspek lain. Presentasi diri adalah mempresentasikan
diri seseorang secara efektif. Salah satu aspek dari mempresentasikan diri adalah
adanya karisma. Karisma seseorang pemimpin yang hebat terletak pada
kemampuan untuk menyalakan emosi dalam diri sendiri dan orang lain.
Pengaruh adalah hasil dari interaksi sosial yang memadukan pengendalian diri
dengan empati (merasakan perasaan orang lain) dan kognisi sosial (mengetahui
norma-norma yang berlaku dalam suatu situasi). Kepedulian adalah perasaan
peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal
tersebut.
Mahasiswa
Mahasiswa adalah sebutan seseorang yang sedang mengikuti pendidikan
tinggi setelah lulus pada pendidikan sekolah menengah atas. Menurut Sarwono
(2010) mendefinisikan mahasiswa secara umum adalah suatu kelompok dalam
masyarakat yang memperoleh status selalu berkaitan dengan perguruan tinggi.
Selain itu menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) menjelaskan seseorang memasuki
usia mahasiswa pada usia 18 tahun dan termasuk dalam tahapan remaja lanjut.
Pada mahasiswa tidak ada batasan usia karena seseorang yang menjalani
pendidikan pada program ekstensi ataupun pascasarjana yang sebagian besar
termasuk dalam tahapan usia dewasa juga disebut mahasiswa.
Mahasiswa merupakan bagian dari fase dewasa awal. Dewasa berasal dari
bahasa latin yaitu adultus yang mempunyai arti telah menjadi dewasa. Dewasa
awal dimulai pada umur 18-40 tahun dan mulai menunjukkan adanya perubahan
fisik dan psikologis (Hurlock 1980). Pada fase dewasa awal banyak sekali
perubahan yang dialami seseorang, antara lain perubahan emosi dan sosial. Pada
perubahan emosi seseorang yang memasuki tahap dewasa awal terutama saat
menjadi mahasiswa lebih cenderung memiliki sifak sebagai pemberontak dan
ingin menjadikan hal ideal menurutnya. Perubahan sosial yang dialami seseorang
pada fase dewasa awal adalah lebih banyak kelompok sosial yang dimiliki. Pada
saat remaja seseorang memiliki kelompok tersendiri dan adanya faktor
keterbukaan maka pada fase dewasa awal akan lebih banyak (Hurlock 1980).
15
Menurut Erikson diacu dalam Santrock (2003) menjelaskan bahwa fase
dewasa merupakan fase intimasi versus isolasi, yaitu fase seseorang yang
memiliki tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang
lain. Saat seseorang tidak bisa menemukan jati diri maka sebagai akibatnya adalah
isolasi diri yang menyebabkan kehilangan jati diri pada orang lain.
17
KERANGKA PEMIKIRAN
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang.
Gaya kepemimpinan merupakan sifat seseorang yang cenderung dugunakan untuk
mempengaruhi seseorang. Dalam pelaksanaan organisasi terdapat berbagai
macam gaya yang sering kali melandasi kepemimpinan pimpinan lembaga
kemahasiswaan. Gaya kepemimpinan pada mahasiswa secara umum dibagi atas
tiga gaya yaitu: gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan laissez faire.
Selain memiliki gaya kepemimpinan, seseorang juga memiliki praktik
kepemimpinan yang berbeda dalam menjalankan sebuah organisasi. Praktik
kepemimpinan terbagi menjadi lima dimensi, antara lain: tantangan dalam
menjalankan proses, kemampuan menginspirasi visi, mengajak orang lain untuk
bertindak, mahasiswa sebagai panutan, dan motivasi. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi praktik kepemimpinan, diantaranya kecerdasan emosional-sosial
pada diri seseorang.
Kecerdasan emosional sangat berpengaruh dalam pengembangan
hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi terbagi atas lima bagian yaitu
mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain (kesadaran sosial), dan membina hubungan dengan orang lain
(fasilitas sosial).
Perkembangan kecerdasan emosi-sosial pada ketua kelembagaan dapat
dipengaruhi oleh diri sendiri dan lingkungan luar. pada faktor diri sendiri
dipengaruhi oleh jenis kelamin, pengetahuan (IPK), asal suku, usia, jumlah dan
lama organisasi, pengeluaran mahasiswa, jumlah saudara, dan urutan kelahiran.
Pada lingkungan luar dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua dan
pekerjaan orang tua.
18
KERANGKA PEMIKIRAN
Kesadaran sosial
Fasilitas sosial
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Karakteristik mahasiswa
Usia
Jenis kelamin
IPK
Suku
Jumlah organisasi
Lama organisasi
Pengeluaran
Mahasiswa
Jumlah Saudara
Urutan Kelahiran
Karakteristik keluarga
mahasiswa
Tingkat pendidikan
orangtua
Pekerjaan orangtua
Besar keluarga
Kecerdasan emosi :
Kesadaran Emosi
Pengelolaan Emosi
Motivasi
Kesadaran sosial
Fasilitas sosial
Praktik Kepemimpinan:
1. Tantangan dalam
menjalankan
proses
2. Kemampuan
menginspirasi visi
3. Mengajak orang
lain untuk
bertindak
4. Mahasiswa
sebagai panutan
5. Motivasi orang
lain
Gaya Kepemimpinan
1. Otoriter
2. Demokratis
3. Laissez faire
18
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Cross-Sectional Study yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cepat, lengkap serta dalam satu waktu dan tidak
berkelanjutan (Arikunto 2010). Lokasi penelitian dilakukan di Kampus Institut
Pertanian Bogor, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dipilih secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan IPB merupakan salah satu perguruan
tinggi negeri terbaik dan memiliki berbagai prestasi di bidang non-akademik.
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni 2012 berupa pengambilan data.
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah para pemimpin lembaga mahasisiwa
S1 kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor. Ketua diambil sebagai contoh
dikarenakan tugas ketua sebagai penentu kebijakan dan keputusan pada sebuah
organisasi. Populasi diperoleh dari daftar lembaga kemahasiswaan yang dimiliki
Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM). Teknik
penarikan contoh dari populasi dilakukan dengan cara sensus yaitu memilih
seluruh contoh dengan sengaja sebanyak 94 lembaga kemahasiswaan yang terdiri
atas ketua 94 orang pada perode 2011-2012. Pada saat penelitian berlangsung
contoh yang dapat diambil sebanyak 92 ketua. Dua lembaga yang lainnya tidak
dapat diambil dikarenakan satu lembaga sudah tidak aktif dan satu lembaga tidak
mengembalikan kuesioner yang sudah dikirim sampai batas kesepakatan.
Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil penggalian informasi dari mahasiswa yang dilakukan melalui
penyebaran kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berbagai penelitian terdahulu yang
serupa dan melalui konsep teoritis. Data sekunder adalah gambaran umum lokasi
penelitian dan data mengenai mahasiswa yang diperoleh dari literatur. Cara
pengumpulan data dilakukan melalui self report oleh mahasiswa secara langsung.
20
Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1 dengan menggunakan
kuesioner.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Jenis Data Variabel Skala Data Sumber
Primer Karakteristik Mahasiswa
Usia Rasio
Jenis kelamin Nominal
IPK Rasio
Jurusan Nominal
Suku Nominal
Primer Karakteristik Keluarga Mahasiswa
Lama pendidikan orangtua Rasio
Pekerjaan orangtua Nominal
Urutan kelahiran Nominal
Besar keluarga Rasio
Primer Kecerdasan Emosi Dikembangkan
dari Latifah
(2009)
Kesadaran emosi Ordinal
Pengelolaan emosi Ordinal
Motivasi diri Ordinal
Primer Kecerdasan Sosial Dikembangkan
oleh Wulandari
(2011)
Kesadaran sosial Ordinal
Fasilitas sosial Ordinal
Primer Praktik Kepemimpinan
Dikembangkan
dari Kouzes &
Posner (2005)
Tantangan proses Ordinal
Inspirasi visi Ordinal
Mengajak bertindak Ordinal
Mahasiswa panutan Ordinal
Motivasi Ordinal
Primer Gaya Kepemimpinan Dikembangkan
dari Dubrin
(2002)
Otoriter Ordinal
Demokratis Ordinal
Laissez faire Ordinal
Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran
kecerdasan emosi remaja yang dikembangkan oleh Latifah (2009), yang terdiri
dari lima subskala, yaitu kesadaran emosi diri, pengelolaan emosi diri, motivasi
diri, empati, dan seni membina hubungan. Pada penelitian ini hanya menggunakan
tiga subskala yaitu kesadaran emosi diri yang terdiri atas 12 pertanyaan (enam
pertanyaan positif dan enam pertanyaan negatif), pengelolaan emosi diri yang
terdiri atas 12 pertanyaan (enam pertanyaan positif dan enam pertanyaan negatif) ,
dan motivasi diri terdiri atas 12 pertanyaan (delapan pertanyaan positif dan empat
pertanyaan negatif). Kecerdasan sosial diukur dengan menggunakan alat ukur
21
yang diadaptasi dari instrumen pengukuran kecerdasan sosial yang dikembangkan
oleh Wulandari (2009), terdiri atas 20 item pernyataan yang termasuk ke dalam
unsur kesadaran sosial ( delapan penyataan negatif dan 13 pernyataan positif) dan
23 item pernyataan yang termasuk ke dalam unsur fasilitas sosial (enam
penyataan negatif dan 17 pernyataan positif). Alat ukur praktik kepemimpinan
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen S-LPI ( Student
Leadership Practices Inventory) yang diciptakan oleh Kouzes dan Posner (2005)
yang dimodifikasi, terdiri atas 30 pernyataan positif.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scorring, entry,
cleaning, dan analyzing. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
program Microsoft Excell dan SPSS. Data pengukuran dianalisis secara deskriptif
dan inferensia dengan menggunakan uji korelasi. Analisis deskriptif digunakan
untuk mengetahui sebaran usia, jenis kelamin, IPK, suku, usia keluarga, pekerjaan
anggota keluarga, pendapatan keluarga, besar keluarga mahasiswa . Uji Crosstabs
(untuk data nominal) dan uji korelasi Pearson (untuk data rasio) digunakan untuk
melihat hubungan antara karakteristik responden dan keluarga dengan skor total
kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial. Selain itu, uji korelasi akan digunakan
untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi-sosial terhadap gaya dan
praktik kepemimpinan mahasiswa.
Sebelum penggunaan kuesioner dilakukan uji coba kuesioner untuk
mengetahui reliabilitas kuesioner. Pengukuran reliabilitas dilihat dari nilai Alpha
Cronbach. Pada hasil reliabilitas kuesioner didapatkan hasil sebagai berikut, dari
nilai Alpha Cronbach untuk alat ukur kecerdasan emosi sebesar 0,835, dari nilai
Alpha Cronbach untuk alat ukur kecerdasaan sosial sebesar 0,866, dari nilai Alpha
Cronbach untuk alat ukur praktik kepemimpinan atau inventori kepemimpinan
sebesar 0,883, dan dari nilai Alpha Cronbach untuk alat ukur gaya kepemimpinan
sebesar 0,627.
Kecerdasaan emosi terdapat lima bagian, yaitu: kesadaran emosi diri,
pengelolaan emosi diri, motivasi diri, empati, dan seni membina hubungan. Pada
penelitian ini bagian yang digunakan adalah kesadaran emosi diri, pengelolaan
emosi diri, dan motivasi diri. Sedangkan empati dan seni membina hubungan
22
telah tergabung pada kecerdasan sosial berupa kesadaran sosial dan fasilitas
sosial. Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan jawaban yang
dikelompokkan menjadi sangat setuju (skor 5), setuju (skor 4), ragu-ragu (skor3),
setuju (skor2), dan sangat tidak setuju (skor 1). Kecerdasan sosial diukur dengan
menggunakan jawaban yang dikelompokkan menjadi tidak pernah (skor 1),
hampir tidak pernah (skor 2), kadanga-kadang (skor 3), sering (skor 4) , dan
sangat sering (skor 5).
Pada gaya kepemimpinaan terbagi atas empat jawaban, yaitu : tidak
pernah (skor 1), jarang (skor 2), sering (skor 3), dan sangat sering (skor 4). Praktik
kepemimpinan terbagi menjadi lima jawaban, yaitu: Jarang (skor 1), sesekali (skor
2), kadang-kadang (skor 3), sering (skor 4), dan sangat sering (skor 5). Pada setiap
pengkategorian (interval) setiap variabel dilakukan dengan membagi manjadi tiga
kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan interval kategori tersebut
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Selanjutnya, pembagian kategori adalah sebagai berikut:
a. Rendah: skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK
b. Sedang: skor minimum + IK ≤ x ≤ skor minimum + 2 IK
c. Tinggi: skor minimum + 2 IK ≤ x ≤ skor maksimum
Tabel 2 Cara pengkategorian variabel
Variabel Kategori
Karakteristik Mahasiswa
Jenis Kelamin 1=laki-laki
2=perempuan
Usia (tahun) 1=remaja akhir (19-20th)
2=dewasa awal (≥21th)
Fakultas 0=TPB
1=FAPERTA
2=FKH
3=FPIK
4=FAPET
5=FAHUTAN
6=FATETA
7=MIPA
8=FEM
9=FEMA
23
Variabel Kategori
Suku 1=sunda
2=jawa
3=batak
4=Bugis
5=aceh
6=lainnya
Indeks Prestasi Komulatif - kurang (≤2,50)
- cukup (2,51-2,75)
- baik (2,76-3,50)
- sangat baik (≥3,51)
Pengeluaran (Rp.) - rendah (Rp 400.000 – 933.333)
- sedang (Rp 933.333– 1.466.666)
- tinggi (Rp 1.466.666-2.000.000)
Jumlah organisasi - rendah (1-4,6)
- sedang (4,7-8,2)
- tinggi (8,3-12)
Lama organisasi (tahun) - rendah (2-4,3)
- sedang (4,4-6,6)
- tinggi (6,7-9)
Karakteristik Keluarga Mahasiswa
Pendidikan Orangtua (tahun) - rendah (≤6thn)
- sedang (7-12th)
- tinggi (>12th)
Pekerjaan Orangtua 1=PNS/IRT
2=karyawan
3=wiraswasta
4=guru
5=dosen
6=petani
7=buruh
8=pensiunan
9=lainnya
Besar keluarga - kecil (≤4 orang)
- sedang (5-7 orang)
- besar (>7 orang)
Urutan kelahiran -1=sulung
-2=tengah
-3=bungsu
-4=tunggal
Kecerdasan Emosi - rendah (36-84)
- sedang (85-133)
- tinggi (134-180)
Kecerdasan Sosial - rendah (43-100)
- sedang (101-158)
- tinggi (159-215)
Praktik Kepemimpinan - rendah (30-70)
- sedang (71-110)
- tinggi (111-150)
24
Definisi Operasional
Mahasiswa adalah seseorang usia 17-21 tahun yang berada minimal pada
semester satu dan menduduki jabatan sebagai ketua lembaga
kemahasiswaan
Usia adalah usia mahasiswa pada saat pengambilan data ketika penelitian
dilakukan (dalam tahun)
Jenis Kelamin adalah identitas biologi yang membedakan tiap individu (laki-laki
atau perempuan)
Indeks Prestasi Akademik (IPK) adalah gambaran mengenai penguasaan
mahasiswa terhadap materi kuliah yang diberikan. Prestasi akademik
diukur dengan meggunakan Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa hingga
semester terakhir dengan skor 1-4. Semakin tinggi nilai maka semakin
baik prestasi akademik mahasiswa.
Lembaga kemahasiswaan adalah organisasi mahawasiswa S1 yang resmi diakui
oleh IPB sebanyak 94 organisasi.
Jumlah saudara adalah banyaknya anak dalam satu keluarga inti.
Jumlah organisasi adalah banyaknya organisasi yang pernah diikuti oleh
pimpinan kelembagaan sejak SMP sampai dengan perguruan tinggi.
Lama organisasi adalah lama (tahun) para pimpinan kelembagaan pernah
berkecipung dalam suatu organisasi.
Urutan kelahiran adalah susunan anak lahir hidup dalam keluarga mahasiswa.
Tingkat pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang
pernah diikuti oleh ayah dan ibu mahasiswa.
Pengeluaran mahasiswa adalah jumlah pengeluaran mahasiswa tiap bulan yang
digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup selama kuliah.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
yang terdiri atas ayah, ibu dan anak.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengetahui dan menangani perasaan
sendiri dengan baik serta yang mampu membaca dan menghadapi perasaan
25
orang lain dengan efektif. Goleman (2002) membagi kecerdasan emosi
dalam lima wilayah yaitu:
Kesadaran emosi diri adalah kesadaran diri dalam mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi.
Pengelolaan emosi diri dalah kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, dimana hal ini
sangat bergantung pada kesadaran diri.
Motivasi diri adalah menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Empati adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain.
Seni membina hubungan adalah keterampilan mengelola emosi orang
lain.
Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana
bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda. Unsur kecerdasan sosial
meliputi kesadaran sosial dan fasilitas sosial.
Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat merasakan keadaan
batiniah seseorang sampai memahami perasaan dan pikirannya.
Fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial
untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif.
Praktik kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan segala kelebihan
dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan segala sesuatu sesuai
dengan visi misinya dengan perasaan tidak terpaksa. Kouzes dan Posner
(2007) membagi praktik kepemimpinan menjadi lima subskala yaitu
mahasiswa panutan, membangun motivasi, mengajak orang lain bertindak,
menginspirasi visi, dan tantangan dalam menjalankan proses.
Gaya Kepemimpinan adalah norma perilaku yang digunakan oleh seseorang
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.
Kartono (2011) membagi gaya kepemimpinan menjadi tiga yaitu :
Otoriter adalah kepemimpinan yang bersifat keras, tidak boleh disanggah,
dan mengharuskan.
26
Demokratis adalah kepemimpinan yang berdasarkan intraksi dan
kerjasama, kebebasan yang teratur, pemberian kesempatan kepada semua
anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif dan menyumbangkan
ide-ide yang konstruktif.
Laissez faire adalah kepemimpinan yang membiarkan semua anggota
bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak memberikan
perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing anggota
bergerak sendiri-sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kampus IPB Dramaga mempunyai luas 267 hektar yang digunakan
sebagai kantor rektorat dan pusat kegiatan belajar-mengajar S1, S2, dan S3.
Kampus IPB Baranangsiang Bogor dengan luas 11,5 hektar digunakan sebagai
pusat kegiatan penelitian dan pemberdayaan masyarakat serta pendidikan
pascasarjana eksekutif. Kampus IPB Gunung Gede Bogor (14,5 ha) digunakan
sebagai pusat kegiatan pendidikan manajemen dan bisnis yang akan dilengkapi
dengan techno-park. Kampus IPB Cilibende Bogor (3,2 ha) sebagai pusat kegiatan
pendidikan vokasional diploma dan kampus IPB Taman Kencana Bogor (3,4 ha)
direncanakan untuk pendirian rumah sakit internasional.
IPB juga menyediakan student dormitory sebagai bentuk perhatiaan
kepada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dengan kapasitas 3.500
orang. Mahasiswa selain TPB disediakan asrama dengan kapasitas mencapai 500
orang. Selain itu, IPB mempunyai fasilitas penunjang lainnya yaitu bus kampus,
sepeda, sarana ibadah, gedung olahraga (Gymnasium), Pusat Kegiatan Mahasiswa
(Student Centre), Plaza Akademik, peralatan kesenian, poliklinik, serta terdapat
beberapa Bank, ATM, dan Kantor Pos yang terletak di sekitar kampus IPB.
IPB selain memberikan perhatian pada mahasiswa TPB juga menyediakan
sarana pengembangan diri bagi mahasiswa secara keseluruhan. Pembentukan
organisasi sesuai minat bertujuan untuk memberikan pembekalan keterampilan
softskill guna menunjang keberadaan keterampilan hardskill yang didapat pada
saat kuliah. Pada Tahun 1998 di Cisarua Bogor terjadi kongres mahasiswa IPB
yang menghasilkan sistem pemerintahan mahasiswa yang dikenal sebagai
Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (KM IPB). Undang-undang Dasar
Keluarga Mahasiswa IPB (UUD KM IPB) menyebutkan bahwa KM IPB
merupakan wadah mahasiswa di tingkat perguruan tinggi dan merupakan
kelengkapan non-struktural pada perguruan tinggi yang berhubungan secara
kemitraan dengan institusi. Dalam pembentukan KM IPB sistem pemerintahan
mahasiswa tidak menganut secara penuh sistem trias politica yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif (MPM KM IPB 2012).
28
Saat ini untuk mahasiswa S1, IPB memiliki 94 lembaga kemahasiswaan
yang terdiri dari 12 lembaga legislatif yaitu satu Majelis Permusyawaratan
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (MPM KM IPB), satu Dewan Perwakilan
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (DPM KM IPB), dan 10 DPM yang berada
di fakultas dan TPB. Sebelas lembaga eksekutif atau BEM yang terdiri dari satu
BEM KM IPB dan sepuluh BEM yang berada di fakultas dan TPB. Tiga puluh
tiga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang terbagi atas keagamaan, bela diri,
kesenian, olahraga, dan bidang khusus. Tiga puluh delapan Himpunan Profesi
(Himpro) berada pada setiap jurusan di semua fakultas yang digunakan untuk
menyalurkan minat serta profesi mahasiswa.
Karakteristik Mahasiswa
Jenis Kelamin
Hampir seluruh mahasiswa (95,7%) berjenis kelamin laki-laki dan sisanya
(4,3%) berjenis kelamin perempuan. Tabel 3 menunjukkan mahasiswa laki-laki
masih mendominasi dan dipercaya untuk memegang kursi kepemimpinan. Hal ini
diduga karena ketua kelembagaan cocok dipegang oleh seorang laki-laki daripada
perempuan. Menurut Santrock (2003), perempuan sering distereotipekan kurang
berkompeten daripada laki-laki. Selain itu, banyak perempuan yang lebih
disosialisasikan dengan peran mengurus keluarga dibandingkan dengan peran
yang berhubungan dengan prestasi atau karir. Hurlock (1980) menyebutkan
bahwa kurangnya rasa percaya diri, tidak adanya motivasi yang kuat untuk
menjadi pemimpin menyebabkan lebih sedikit pemimpin perempuan pada setiap
bidang kehidupan orang dewasa.
Usia
Rentang umur mahasiswa berkisar 19 sampai 23 tahun. Tabel 3
menunjukkan hampir duapertiga mahasiswa (60,9%) memiliki umur lebih dari
sama dengan 21 tahun atau memasuki fase dewasa awal sedangkan lebih dari
sepertiga mahasiswa (39,2%) berada pada fase remaja akhir dengan kisaran umur
antara 19-20 tahun. Banyak ahli perkembangan menyatakan bahwa kisaran umur
tersebut merupakan fase remaja akhir atau late adolescence (18-22 tahun) menuju
fase dewasa awal atau early adulthood (20-30 tahun). Fase perubahan tersebut
membawa dampak dalam pembentukan kemandirian pribadi sehingga
29
perkembangan karir menjadi lebih penting daripada waktu remaja (Santrock
2003). Menurut Mappiare (1983), dewasa awal merupakan fase yang memiliki
minat dan keinginan untuk lebih berarti dan berguna bagi lingkungan masyarakat
sehingga pada fase tersebut sering kali memiliki peranan sebagai pemimpin,
pengatur, atau sebagai anggota dalam sebuah organisasi.
Tabel 3 Sebaran mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan umur
Variabel Jumlah
n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 88 95,7
Perempuan 4 4,3
Total 92 100,0
Umur (tahun)
Remaja akhir (19-20) 36 39,2
Dewasa awal (≥21) 56 60,9
Total 92 100,0
Min-Maks (tahun) 19-23
Rata-rata±SD (tahun) 20,6±0,85
Asal Fakultas
Fakultas menurut kamus bahasa Indonesia adalah bagian perguruan tinggi
yang mempelajari suatu bidang ilmu yang terdiri atas beberapa jurusan. Hampir
seperempat (22,8%) mahasiswa berasal dari Fakultas Teknik Pertanian
(FATETA) sedangkan persentase terendah (2,2%) berasal dari TPB. Sebaran
mahasiswa berdasarkan asal fakultas dapat dilihat pada Tabel 4.
Suku
Persentase terbesar suku bangsa mahasiswa yang mendominasi adalah
suku Sunda dan Jawa. Hampir separuh mahasiswa (45,7%) berasal dari suku
Sunda dan lebih dari seperempat mahasiswa (27,2%) berasal dari suku Jawa. Hal
ini dikarenakan keberadaan kampus IPB di wilayah Jawa Barat yang mayoritas
bersuku Sunda. Sebaran mahasiswa berdasarkan suku dapat dilihat pada Tabel 4.
30
Tabel 4 Sebaran mahasiswa berdasarkan asal fakultas, suku, dan IPK
Variabel Jumlah
n %
Asal Fakultas
TPB 2 2,2
FAPERTA 9 9,8
FKH 7 7,6
FPIK 10 10,9
FAPET 6 6,5
FAHUTAN 8 8,7
FATETA 21 22,8
FMIPA 10 10,9
FEM 13 14,1
FEMA 6 6,5
Total 92 100,0
Suku
Sunda 42 45,7
Jawa 25 27,2
Batak 4 4,3
Bugis 4 4,3
Aceh 4 4,3
Lainnya 13 14,1
Total 92 100,0
Indeks Prestasi Komulatif (IPK)
Kurang (≤2,50) 7 7,6
Cukup (2,51-2,75) 11 12,0
Baik (2,76-3,50) 63 68,5
Sangat baik (≥3,51) 11 12,0
Total 92 100,0
Min-Maks 2,14-3,82
Rata-rata±SD 2,85±0,73
Indeks Prestasi
Abdullah (2008) diacu dalam Nurhayati (2011) menjelaskan bahwa
prestasi akademik adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang
dapat memberikan kepuasan emosional dan dapat diukur dengan alat atau tes
tertentu. Selain itu, Santrock (2003) menjelaskan bahwa tes prestasi adalah tes
yang memperlihatkan keterampilan yang sudah dipelajari atau dikuasai seseorang.
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah salah satu alat ukur untuk mengetahui
prestasi seseorang. IPK merupakan salah satu bentuk hasil penilaian belajar yang
diperoleh mahasiswa dalam kurun waktu dan mata kuliah tertentu berdasarkan
huruf serta angka selama perkuliahan di kampus IPB (Nurhayati 2011)
31
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa berada kisaran 2.14 sampai
3,82. Lebih dari separuh mahasiswa (68,5%) mempunyai nilai akademik dalam
kategori baik, sedangkan persentase terendah (7,6%) mahasiswa mempunyai IPK
yang berada pada kategori kurang. Hal ini diduga karena waktu antara organisasi
dan akademik yang sering berbenturan. Menurut Santrock (2003) bahwa minat
sosial sering kali menyita waktu pada kegiatan akademik atau ambisi pada bidang
tertentu dalam menghadapi pencapaian prestasi di bidang lain. Sebaran mahasiswa
menurut IPK dapat dilihat pada Tabel 4 di atas.
Pengeluaran
Pengeluaran mahasiswa diasumsikan dari total pengeluaran pada setiap
bulan yang besarnya berkisar antara Rp400.000 sampai Rp2.000.000. Biaya
pengeluaran mahasiswa berasal dari orangtua dan beasiswa. Lebih dari dua pertiga
mahasiswa (67,4%) memiliki pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan, hanya
sebagian kecil mahasiswa (3,3%) memiliki pengeluaran lebih dari Rp
1.500.000/bulan. Persentase pengeluaran mahasiswa diduga berhubungan dengan
pekerjaan ayah sebagai pensiunan dan ibu sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).
Pengeluaran mahasiswa sebagian digunakan untuk pangan dan kebutuhan
perkuliahan (foto copy dan ATK). Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran
mahasiswa perbulan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengeluaran
Pengeluaran n %
Rendah (Rp 400.000 – Rp.933.333) 62 67,4
Sedang (Rp 933.333 – Rp 1.466.666) 27 29,3
Tinggi (Rp 1.466.666 – Rp 2.000.000) 3 3,3
Total 92 100,0
Min-Maks (Rp/bulan) 400.000-2.000.000
Rata-rata±SD (Rp/bulan) 786739±274146,46
Jumlah Saudara
Lebih dari sepertiga mahasiswa (34.8%) memiliki dua orang saudara.
Sementara itu, lebih dari seperempat mahasiswa (29,3%) memiliki satu saudara
yang termasuk keluarga kecil dan 2,2 % mahasiswa menjadi anak tunggal.
Sebaran jumlah saudara mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 6.
32
Urutan Kelahiran
Berdasarkan urutan kelahiran, mahasiswa dikategorikan menjadi empat
kategori, yaitu anak tunggal, anak sulung (anak pertama), anak tengah (anak yang
lahir diantara anak pertama dan anak terakhir), anak bungsu (anak terakhir). Lebih
dari sepertiga mahasiswa (40,2%) merupakan anak sulung. Posisi anak sulung
merupakan panutan bagi saudara kandung yang lain. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Santrock (2003) yang menyatakan bahwa individu yang lahir terlebih
dahulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas,
mampu mengendalikan diri daripada saudara kandung yang lain. Tuntutan
orangtua dan standar yang tinggi dan diterapkan bagi anak sulung dapat membuat
anak sulung meraih prestasi yang lebih baik daripada saudara kandung lain.
Sebaran mahasiswa berdasarkan urutan kelahiran dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran mahasiswa berdasarkan jumlah saudara, urutan kelahiran,
jumlah, dan lama organisasi
Variabel Jumlah
n %
Jumlah Saudara
0 2 2.2
1 27 29.3
2 32 34.8
≥3 31 31.7
Total 92 100.0
Urutan Kelahiran
Sulung 37 40.2
Tengah 34 37
Bungsu 19 20.7
Tunggal 2 2.2
Total 92 100.0
Jumlah Organisasi Rendah (1-4,6) 41 44,7
Sedang (4,7-8,2) 42 45,6
Tinggi (8,3-12) 9 9,7
Total 92 100,0
Min-Maks 1-12
Rata-rata±SD 5,12±2,39
Lama Organisasi Rendah (2-4,3) 29 31,5
Sedang (4,4-6,6) 42 45,7
Tinggi (6,7-9) 21 22,8
Total 92 100,0
Min-Maks (tahun) 2-9 Rata-rata±SD (tahun) 5,24±1,7
33
Jumlah dan Lama Organisasi
Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa jumlah organisasi yanng pernah diikuti
sejak SMP, hampir separuh mahasiswa (45,6%) termasuk dalam kategori sedang
dan 44,7 persen mahasiswa termasuk dalam kategori rendah. Sementara itu, hanya
9,7 persen mahasiswa termasuk dalam kategori tinggi. Lama organisasi yang
pernah diikuti mahasiswa berkisar antara 2 sampai 9 tahun. Hampir separuh
mahasiswa (45,7%) berada pada kategori sedang, namun hampir seperempat
mahasiswa (22,8%) berada pada kategori tinggi. Mappiare (1983) menyebutkan
bahwa perkembangan jabatan (kepemimpinan) akan seirama dengan terjadinya
perkembangan dalam diri manusia.
Karakteristik Keluarga Mahasiswa
Pendidikan Orangtua
Tabel 7 menunjukkan pendidikan orangtua mahasiswa berkisar dari tidak
sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Hampir sepertiga ayah mahasiswa
(30.4%) telah menempuh pendidikan selama 18 tahun atau setara dengan sarjana
(S1) dan 1,1% ayah mahasiswa tidak bersekolah. Lebih dari sepertiga (33,7%) ibu
mahasiswa berlatar belakang sarjana (S1) atau menempuh pendidikan selama 8
tahun. Sementara itu, hampir seperempat ibu mahasiswa (23,9%) berlatar
belakang SMA dan 1,1% tidak tamat SD.
Pendidikan ayah dan ibu paling tinggi berada pada jenjang S3 dengan
kisaran lama pendidikan adalah 20 tahun. Pada jenjang pendidikan ayah terendah
adalah tidak sekolah dan jenjang pendidikan ibu terendah adalah tidak tamat SD
dengan lama pendidikan empat tahun. Pendidikan ayah mahasiswa memiliki
persentase yang sama antara pendidikan tamat SD dengan SMA sebesar 18,5
persen. Sedangkan pada pendidikan ibu persentase tersebar antara pendidikan
SMP sampai sarjana sehingga pendidikan ibu lebih baik daripada pendidikan ayah
tetapi untuk jenjang pendidikan lanjut S2 dan S3 lebih besar diperoleh ayah
mahasiswa daripada ibu mahasiswa. Lebih dari separuh ayah dan ibu mahasiswa
memiliki lama pendidikan dalam kategori tinggi.
Gunarsa & Gunarsa (2008) menyatakan tingkat pendidikan yang dicapai
seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berpikir
persepsi, pemahaman, dan kepribadian. Tingkat pendidikan secara langsung dan
34
tidak langsung akan menentukan kualitas komunikasi dalam keluarga. Orangtua
yang berpendidikan tinggi akan lebih mampu mengikuti perkembangan
masyarakat dan informasi daripada orangtua yang berpendidikan rendah. Selain
itu, orangtua dengan pendidikan yang tinggi mampu memberikan kualitas
pengasuhan yang baik sehingga berkembangan dengan baik.
Pekerjaan Orangtua
Seperempat ayah mahasiswa (25%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS), sedangkan lebih dari sepertiga ayah mahasiswa (37%) bekerja sebagai
karyawan dan wiraswasta. Hampir separuh ibu mahasiswa (47,8%) bekerja
sebagai ibu rumah tangga, sedangkan hampir sepertiga ibu mahasiswa (32,6%)
bekerja sebagai PNS dan wiraswasta. Sebaran pekerjaan orangtua disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran mahasiswa berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua
Variabel Ayah Ibu
n % n %
Pendidikan Orangtua
Tidak sekolah / Lulus 1 1.1 1 1.1
SD 17 18.5 8 8.7
SMP 7 7.6 10 10.9
SMA 17 18.5 22 23.9
Diploma 7 7.6 13 14.1
S1 28 30.4 31 33.7
S2 10 10.9 6 6.5
S3 5 5.4 1 1.1
Total 92 100.0 92 100.0
Pekerjaan Orangtua
PNS 23 25,0 20 21,7
Karyawan 16 17.4 5 5,4
Wiraswasta 18 19.6 10 10,9
Guru 4 4.3 9 9,8
Dosen 2 2.2 0 0,0
Petani 3 3.3 1 1,1
Buruh 5 5.4 0 0,0
Pensiunan 13 14.1 0 0,0
IRT 0 0,0 44 47,8
Lainnya 8 8.7 3 3,3
Total 92 100.0 92 100,0
Besar Keluarga
Menurut Burgess dan Locke (1960) diacu dalam Guhardja et al. (1992)
menyebutkan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang
35
terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan melalui darah, pernikahan, dan
adopsi. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak. Berdasarkan BKKBN (1998) besar keluarga dikategorikan menjadi tiga
kategori yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau
sama dengan empat orang, keluarga sedang dengan anggota keluarga antara lima
sampai tujuh orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari
tujuh orang.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa besar keluarga mahasiswa
berkisar antara 3 sampai 12 orang. Lebih dari separuh keluarga mahasiswa
(59,8%) memiliki keluarga dengan kategori sedang, hampir sepertiga mahasiswa
(31,5%) pada keluarga kecil, dan sisanya (8,7%) berada pada keluarga dengan
kategori besar. Sebaran besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran mahasiswa berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga Jumlah
n %
Keluarga Kecil (≤4 orang) 29 31.5
Keluarga Sedang (5 s/d 7 orang) 55 59.8
Keluarga Besar (>7 orang) 8 8.7
Total 92 100.0
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang individu dalam
mengenali emosi , mengelola emosi , memotivasi diri , mengenali emosi orang
lain, dan membina hubungan (Goleman 2002). Konsep dasar kecerdasan emosi
adalah kesuksesan dan kesenangan lebih dari kecerdasan intelektual. Cherniss
(1998) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbangkan 20
persen faktor keberhasilan dalam menjalankan kehidupan. Bradberry dan Greaves
(2009) dalam Ingram dan Cangemi (2012) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemampuan dalam hal pekerjaan
dan sekitar 58 persen kemampuan kerja di seluruh dunia dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi. Tabel 9 memperlihatkan lebih dari dua pertiga mahasiswa
(68,5%) memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, sedangkan kurang dari
seperempat mahasiswa memiliki kecerdasan emosi dalam kategori sedang
(31,5%). Hal ini berbeda dengan penelitian Nurhayati (2011) yang menyatakan
36
bahwa sebagian besar mahasiswa (penerima beasiswa dan reguler) berada pada
ketegori sedang.
Tabel 9 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi total Jumlah
n %
Rendah (36-84) 0 0,0
Sedang (85-133) 29 31,5
Tinggi (134-180) 63 68,5
Total 92 100,0
Mean±SD 139,73±12,12
Kesadaran emosi
Kesadaran diri adalah perhatian terus menerus terhadap keadaan batin
seseorang. Dalam kesadaran diri, seseorang dapat mengamati dan menggali
pengalaman termasuk emosi. Kesadaran diri akan emosi merupakan kecakapan
emosional dasar yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain.
Kepekaan akan kesadaran emosi diri akan memudahkan seseorang dalam
mengambil keputusan. Seseorang dengan kesadaran emosi diri dapat
mengungkapkan emosi yang sedang terjadi sehingga dapat melakukan tindakan
untuk mengungkapkan emosi tersebut (Goleman 2002).
Tabel 10 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran emosi
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Mengetahui penyebab sedih yang dirasakan 23,9 21,7 3,3
2 Mengungkapkan perasaan sedih/marah 45,7 21,7 32,6
3 Menyadari kekurangan dan kelebihan 92,4 5,4 2,2
4 Mempunyai harga diri walaupun tidak selalu
berprestasi 92,4 3,2 4,4
5 Mengungkapkan rasa takut yang dialami 44,6 27,2 28,2
6 Mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab rasa
bosan pada diri sendiri 77,2 19,6 3,3
7 Mengetahui penyebab kekesalan yang dirasakan 62 16,3 21,7
8 Percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki 76,1 17,4 6,5
9 Dapat mengungkapkan rasa bahagia yang dialami 69,6 17,4 13,1
10 Menyadari sifat jelek yang dimiliki 52,2 22,8 25
11 Mudah merasa putus asa 5,4 21,7 72,8
12 Sulit mencari kata-kata untuk menjelaskan
perasaan yang sedang dirasakan 32,6 23,9 43,5
Tabel 10 diatas menunjukkan hampir seluruh pimpinan kelembagaan
(92,4%) setuju untuk menyadari kekurangan dan kelebihan serta mempunyai
37
harga diri walaupun tidak berprestasi. Lebih dari tiga perempat mahasiswa
mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab rasa bosan pada diri sendiri dan
percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki.
Pengelolaan Emosi
Pengelolaan emosi merupakan kemampuan untuk menghadapi badai
emosional. Tujuan utama dari pengelolan emosi adalah membentuk keseimbangan
emosi bukan menekan emosi sehingga setiap perasaan yang terjadi dapat
menimbulkan nilai dan makna. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi (Goleman 2002).
Tabel 11 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengelolan emosi
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1. Ingin terlarut dalam kesedihan untuk waktu lama
walau memiliki banyak masalah 3,3 4,3 92,4
2. Dapat mengatasi kesedihan yang dialami tanpa
melampiaskannya pada hal-hal negatif 75,0 18,5 6,5
3. Membuat perencanaan setiap kegiatan 75,0 20,7 4,4
4. Menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan
amarah muncul ketika sedang bad mood 83,7 12,0 2,2
5. Jika melakukan kesalahan, akan menerima
hukuman yang diberikan dengan lapang dada 91,3 7,6 1,1
6. Ketika sedang sedih, akan mencari kesibukan lain
untuk mengalihkan perhatian dan berusaha
menghibur diri 89,2 9,8 1,1
7. Membalas jika ada teman yang menyakiti 5,4 20,7 73,9
8. Merasa sangat putus asa apabila gagal dalam
memimpin organisasi 31,5 15,2 53,2
9. Berteriak/merengek/menangis/marah setiap kali
permintaan tidak terpenuhi 2,2 6,5 91,3
10. Sangat kesal jika teman yang telah membuat janji
tiba-tiba membatalkan janjinya 52,2 28,3 19,6
11. Dapat menerima perubahan yang terjadi pada diri
sendiri ketika menginjak dewasa 85,9 12,0 2,2
12. Jika sedang sedih, seringkali diperlihatkan
kesedihan yang sebenarnya di depan umum
10,9
18,5
70,6
Tabel 11 menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa tidak mau
terlarut lama dalam kesedihan walau memiliki banyak masalah (92,4%), tidak
setuju untuk berteriak/menangis/merengek/marah setiap permintaan tidak
terpenuhi (91,3%) dan jika melakukan kesalahan, akan menerima hukuman yang
diberikan dengan lapang dada (91,3%). Sebagian besar mahasiswa menghindari
38
hal-hal yang dapat menimbulkan amarah muncul ketika sedang bad mood
(83,7%), ketika sedang sedih, akan mencari kesibukan lain untuk mengalihkan
perhatian dan berusaha menghibur diri (89,2%), dan dapat menerima perubahan
yang terjadi pada diri sendiri ketika menginjak dewasa (85,9%). Tiga perempat
mahasiswa (75%) dapat mengatasi kesedihan yang dialami tanpa
melampiaskannya pada hal-hal negatif dan membuat perencanaan setiap kegiatan.
Motivasi diri
Motivasi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan menata emosi
guna mencapai tujuan. Pada banyak penelitian menyebutkan bahwa keberadaan
emosi mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau prestasi
seseorang. Keberhasilan ini dikarenakan adanya motivasi positif yaitu kumpulan
perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri. Keberadaan etos diri
diterjemahkan sebagai bentuk motivasi diri yang lebih tinggi, semangat, dan
ketekunan sehingga menjadikan seseorang unggul dalam kecerdasan emosi
(Goleman 2002).
Tabel 12 memperlihatkan bahwa hampir seluruh mahasiswa menyatakan
bahwa akan mendampingi dan berpartisipasi dalam setiap program yang ada di
organisasi (99,0%), meskipun pekerjaan tersebut sulit akan terus berusaha
menyelesaikannya dengan tekun (91,3%), anggota yang berprestasi adalah
dorongan dan semangat untuk memimpin lebih baik lagi (97,8%), dan
menemukan solusi suatu masalah maka akan berdiskusi dengan teman untuk
mencari solusi (97,8%). Sebagian besar mahasiswa memberikan arahan di lapang
walaupun sedang sakit (82,6%) dan menciptakan organisasi yang baik, maka akan
mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi (86,9%).
Lebih dari tiga perempat mahasiswa tidak setuju akan pesimis dalam menghadapi
segala persoalan, baik di perkuliahan maupun di organisasi (79,4) dan patah
semangat apabila mendapatkan kritikan pedas (78,3%). Nurhayati (2011)
menyatakan bahwa mahasiswa penerima beasiswa berprestasi dan reguler berada
pada kategori sedang, sedangkan pada uji beda T-test tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (p≥0,05) antara mahasiwa penerima beasiswa dan reguler
dalam memotivasi diri.
39
Tabel 12 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi diri
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Memberikan arahan di lapang walaupun sedang
sakit. 82,6 14,1 3,3
2 Memiliki jadwal/agenda harian yang akan
dilakukan setiap hari 72,8 14,1 13,1
3 Meskipun pekerjaan tersebut sulit, akan terus
berusaha menyelesaikannya dengan tekun 91,3 8,7 0,0
4 Menciptakan organisasi yang baik, maka akan
mendahulukan kepentingan organisasi daripada
kepentingan pribadi 86,9 12,0 1,1
5 Bekerja sama pada setiap orang meskipun pada
orang yang tidak disukai 68,5 27,2 4,3
6 Anggota yang berprestasi adalah dorongan dan
semangat untuk memimpin lebih baik lagi 97,8 1,1 1,1
7 Setiap kali ada program /kegiatan organisasi ,
akan berpartisipasi untuk mengawasi dan
mendampingi agar kegiatan tersebut sukses 99,0 0,0 1,1
8 Menemukan solusi suatu masalah maka akan
berdiskusi dengan teman untuk mencari solusi 97,8 2,2 0,0
9 Organisasi lebih penting daripada kuliah 12 34,8 53,2
10 Pesimis dalam menghadapi segala persoalan, baik
di perkuliahan maupun di organisasi 3,3 17,4 79,4
11 Patah semangat, apabila mendapatkan kritikan
pedas 5,4 16,3 78,3
12 Berusaha untuk memimpin dengan lebih baik jika
orang lain memuji saya 58,7 13,0 28,3
Kecerdasan Sosial
Hatch dan Gardner diacu dalam Goleman (2002) menjelaskan bahwa
komponen-komponen kecerdasan sosial antara lain : mengorganisir kelompok,
merundingkan pemecahan, mempunyai hubungan pribadi, dan analisis sosial.
Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan sosial yang baik dapat menjalin
hubungan dengan orang lain cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan,
mempu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang
muncul dalam sebuah organisasi. Selain itu, Thorndike (1920) dalam Shields
(2008) menjelaskan definisi kecerdasaan sosial sebegai kemampuan untuk
memahami dan mengelola pria dan wanita, laki-laki dan perempuan dalam
aktivitas hubungan manusia. Tabel 13 memperlihatkan lebih dari dua pertiga
mahasiswa (71,7%) memiliki tingkat kecerdasan sosial yang tinggi. Sedangkan
40
kurang dari seperempat mahasiswa memiliki kecerdasan sosial masuk dalam
ketegori sedang (28,3%).
Tabel 13 Sebaran mahasiswa berdasakan kecerdasan sosial
Kecerdasan sosial Jumlah
n %
Rendah (43-100) 0 0,0
Sedang (101-158) 26 28,3
Tinggi (159-215) 66 71,7
Total 92 100,0
Mean±SD 167,17±12,67
Gunarsa dan Gunarsa (2008) menyebutkan bahwa pergaulan adalah suatu
kebutuhan untuk memperkembangkan aspek sosial anak. seorang anak melalui
hubungan dengan lingkungan sosial secara langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi kepribadian anak.
Kesadaran sosial
Kesadaran sosial adalah keadaan seseorang yang dapat merasakan
perasaan orang lain. Kesadaran sosial ini terbagi atas empati dasar, kemampuan
mendengarkan, ketepatan empatik, dan pengertian sosial. Kemampuan-
kemampuan kesadaran sosial saling berinteraksi satu sama lain: ketepatan empatik
bertumpu pada kemampuan mendengarkan dan empati dasar sehingga secara
bersama-sama ketiga bagian tersebut meningkatkan kognisi sosial atau pengertian
sosial. Eisenberg dan Fabes (1992) diacu dalam Rotenberg (1995) menyatakan
bahwa empati merupakan respon emosional yang didasarkan atas kondisi emosi
seseorang. Tabel 14 menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa setuju bahwa
setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda (98,9%), senang bisa menjadi
tempat “curhat” teman (92,4%), suka berteman dengan siapa saja (90,2%), merasa
senang apabila mempunyai teman baru (93,5%), dan merasa senang jika melihat
kegembiraan orang lain (92,4%). Menurut Goleman, Boyatzis, dan Mckee (2007)
menyebutkan bahwa pemimpin yang terbaik adalah seseorang yang bisa
dipercaya, empatik, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, dan bagi
anggota dapat merasakan ketenangan, dihargai, serta terinspirasi.
41
Tabel 14 Sebaran mahasiswa berdasarkan kesadaran sosial
No Pernyataan
Kategori (%)
Sering Ragu-
ragu
Tidak
pernah
1. Sulit menerima dan memahami pandangan teman
yang berbeda 5,4 48,9 45,6
2. Menerima suatu kesepakatan rapat, walaupun
tidak sesuai dengan keinginan 68,5 28,3 3,3
3. Senang bisa menjadi tempat “curhat” teman 92,4 6,5 1,1
4. Menyimpan rahasia teman 88,0 12,0 0,0
5. Suka berteman dengan siapa saja 90,2 8,7 1,1
6. Mempunyai banyak teman 89,1 8,7 2,2
7. Teman-teman terlihat nyaman 83,7 13,0 3,3
8 Dapat berteman dengan siapa saja 85,9 12,0 2,2
9 Dapat mengorbankan kepentingan pribadi demi
orang lain 54,4 32,6 13,1
10 Merasa gengsi untuk meminta maaf jika
melakukan kesalahan 2,2 27,2 70,6
11 Merasa senang apabila mempunyai teman baru 93,5 6,5 0,0
12 Lebih suka menyendiri daripada berada di tengah
orang banyak 18,4 51,1 30,4
13 Keinginan pribadi ingin diikuti oleh teman-teman 26,1 42,4 31,5
14 Merasa senang jika melihat kegembiraan orang
lain 92,4 6,5 1,1
15 Merasa senang terlibat dalam suatu pergaulan
dengan siapa saja 87,0 10,9 2,2
16 Bersama teman adalah saat-saat yang
menyenangkan 84,8 14,1 1,1
17 Yang terpenting adalah kenyamanan diri sendiri 19,5 31,5 48,9
18 Suka melakukan hal-hal yang disenangi 77,2 17,4 5,4
19 Suka dibantah 50,0 39,1 10,9
20 Memahami bahwa setiap orang memiliki karakter
yang berbeda-beda 98,9 1,1 0,0
Fasilitas Sosial
Kesadaran sosial merupakan landasan bagi fasilitas sosial. Fasilitas sosial
merupakan kemampuan untuk melakukan interaksi yang mulus pada tingkat
nonverbal, menampilkan diri secara efektif sehingga seseorang dapat membentuk
interaksi sosial melalui pengaruh diri sehingga membuat orang nyaman dan peduli
terhadap kebutuhan orang lain. Tabel 15 menunjukkan bahwa hampir seluruh
mahasiswa setuju berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain (96,8%),
bersedia mendengarkan keluh kesah teman (93,5%), berusaha membantu teman
yang sedang mengalami kesulitan (94,5%), mengucapkan salam (permisi) ketika
lewat didepan orang lain (91,3%), tersenyum ketika bertemu dengan orang yang
42
dikenal (90,2%), berupaya memahami orang lain (90,3%), dan siap membantu
ketika teman membutuhkan bantuan (93,4%).
Tabel 15 Sebaran mahasiswa berdasarkan fasilitas sosial
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Bersedia mendengarkan keluh kesah teman 93,5 6,5 0,0
2 Berusaha membantu teman yang sedang
mengalami kesulitan 94,5 5,4 0,0
3 Seringkali tidak menyadari ketika teman
mengalami kesulitan 16,3 52,2 31,5
4 Senang berada dalam situasi sosial 82,6 15,2 2,2
5 Mampu menyelesaikan perselisihan antar teman
dengan adil 64,1 32,6 3,3
6 Mudah untuk memulai suatu pembicaraan dengan
orang dewasa 62,0 29,3 8,7
7 Di lingkungan baru, tidak dapat beradaptasi
dengan cepat 16,3 35,9 47,9
8 Bila teman murung, segera bertanya 61,9 32,6 5,4
9 Mengucapkan salam (permisi) ketika lewat
didepan orang lain 91,3 6,5 2,2
10 Menyapa ketika bertemu dengan orang yang
dikenal di jalan 89,1 9,8 1,1
11 Merasa mudah untuk bekerjasama dengan orang
lain 78,3 20,7 1,1
12 Tersenyum ketika bertemu dengan orang yang
dikenal 90,2 9,8 0,0
13 Sulit bersikap ramah dengan orang yang baru
ditemui 13,1 27,2 59,8
14 Sering merasa sendiri di tengah kerumunan orang
banyak 9,8 37,0 53,3
15 Berusaha menjaga hubungan baik dengan orang
lain 96,8 2,2 1,1
16 Sering mendamaikan teman yang sedang
bermusuhan 56,5 35,9 7,6
17 Berupaya memahami orang lain 90,3 8,7 1,1
18 Berbagi makanan dengan teman saya 73,9 21,7 4,3
19 Siap membantu ketika teman membutuhkan
bantuan 93,4 6,5 0,0
20 Selalu manjaga perasaan teman 88,0 10,9 1,1
21 Merasa bersalah jika menyakiti hati orang lain 89,1 10,9 0,0
22 Termasuk orang yang sulit untuk memulai
pembicaraan dengan orang yang baru dikenal 20,7 29,3 50
23 Orang yang sulit meminta maaf 2,2 23,9 74
43
Gaya Kepemimpinan
Thoha (1991) diacu dalam Saleh (2009) menjelaskan gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Sedangkan menurut
Pasolong (2008) dalam Bahri (2010) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan
adalah suatu cara yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan mengendalikan bawahannya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Tabel 16
menunjukkan bahwa dari dua pertiga dari mahasiswa memiliki kecenderungan
gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan sisanya memiliki gaya kepemimpinan
otoriter. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di kelembagaan IPB tidak
hanya berpusat dari ketua tetapi adanya partisipasi aktif yang terjalin antara ketua
dan anggota. Kecenderungan gaya kepemimpinan disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 16 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan gaya kepemimpinan
total
Gaya kepemimpinan total Jumlah
n %
Otoriter 31 33,70
Demokratis 60 65,21
Laissez faire 0 0
Campuran 1 1,09
Total 92 100,0
Otoriter
Gaya kepemimpinan otoriter dipandang sebagai dasar atas kekuatan posisi
dan penggunaan kekuasaan. Pada dasarnya gaya kepemimpinan otoriter terbagi
atas dua jenis, yaitu positif dan negatif. Gaya otoriter yang positif merupakan gaya
kepemimpinan bersifat tegas, teliti, dan tanggap dalam menghadapi segala
keadaan terutama dalam membuat keputusan. Kecenderungan gaya otoriter yang
negatif merupakan gaya kepemimpinan yang bersifat sewenang-wenang dalam
menjalankan kepemimpinan. Tabel 17 memperlihatkan bahwa sebagian besar
ketua (86,9%) sering memberi perintah kepada anggota kelompok dengan metode
yang harus dipakai untuk menyelesaikan tugas, sedangkan seluruh mahasiswa
(100%) menolak untuk tidak mendengarkan pendapat ketua divisi. Sementar itu,
hampir seluruh ketua (98,9%) menyatakan bahwa tidak marah jika ada anggota
44
yang memberikan usulan yang bertentangan dengan padangan pribadi ketua dan
akan menerima kritikan anggota (97,9%).
Tabel 17 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya otoriter
No Pernyataan Kategori (%)
Sering Tidak Pernah
1 Menangani sendiri tugas yang berdampak besar
pada organisasi daripada menyerahkan kepada
orang lain
60,8 39,2
2 Tidak mendengarkan pendapat ketua divisi karena
ketua organisasi 0,0 100,0
3 Memberi perintah kepada anggota kelompok
bagaimana atau metode yang harus mereka pakai
untuk menyelesaikan tugas 86,9 13,0
4 Sebagai seorang ketua, tidak menerima kritikan dari
anggota 2,2 97,9
5 Sangat marah jika ada anggota yang memberikan
usulan yang bertentangan dengan pandangan
pribadi
1,1 98,9
6 Setiap perintah yang diberikan harus segera
dikerjakan 75,0 25,0
7 Organisasi adalah tempat atasan dan bawahan tanpa
adanya jalinan keluarga 2,2 97,8
8 Suka jika ada anggota yang menentang pandangan
mengenai suatu permasalahan 96,7 3,3
9 Lebih suka aspek analitik (mengamati) sebagai
tugas ketua daripada bekerja langsung bersama
anggota kelompok
14,1 85,9
10 Pemimpin tetap menjaga jarak dengan kelompok,
sehingga bisa membuat keputusan yang tegas saat
dibutuhkan tanpa adanya intervensi
32,6 67,4
Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis beranggapan bahwa setiap anggota
organisasi adalah sama dan secara bersama-sama bertanggung jawab pada
organisasi. Agar tanggung jawab tersebut dirasakan oleh setiap anggota maka
setiap anggota berpartisipasi dalam setiap kegiatan perencanaan, pelaksanan, dan
pengevaluasian agar mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tabel 18
menyatakan bahwa hampir seluruh mahasiswa saat anggota kelompok membawa
persoalan, maka cenderung ingin membantunya dengan menawarkan solusi
(96,7%), mengutarakan masalah pada anggota dan mengambil usulan solusi yang
terbaik (95,6%), dan mendapatkan masukan dari kelompok sebelum mengambil
keputusan, bahkan pada masalah-masalah yang sudah jelas sekalipun (90,2%).
Sebagian besar mahasiswa menyatakan mengubah keputusan jika beberapa
45
anggota kelompok memberi bukti bahwa keputusan yang diambil keliru (89,2%),
perbedaan opini didalam kelompok kerja (87,0%), dan beberapa ide terbaik
mungkin berasal dari anggota kelompok daripada ketua (88,1%).
Tabel 18 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya demokratis
No Pernyataan Kategori (%)
Sering Tidak Pernah
1 Mengutarakan masalah pada anggota dan
mengambil usulan solusi yang terbaik 95,6 4,3
2 Mendapatkan masukan dari kelompok sebelum
mengambil keputusan, bahkan pada masalah-
masalah yang sudah jelas sekalipun. 90,2 9,8
3 Mengubah keputusan jika beberapa anggota
kelompok memberi bukti bahwa keputusan yang
diambil keliru. 89,2 10,9
4 Perbedaan opini didalam kelompok kerja 87,0 13,1
5 Aktivitas membangun spirit tim seperti berolahraga
pagi adalah investasi waktu yang baik 72,9 27,2
6 Jika merekrut anggota baru, maka calon tersebut
diwawancarai oleh semua anggota 22,8 77,1
7 Jika mengadakan acara makan-makan, maka akan
mencari masukan dari masing-masing anggota soal
makanan yang akan dipilih
78,3 21,7
8 Tanpa arahan, sebagian tugas penting di organisasi
akan tetap diselesaikan 51,0 48,9
9 Pendelegasian adalah sesuatu yang kadang-kadang
menyulitkan anggota 42,4 57,6
10 Ketika anggota kelompok membawa persoalan,
maka cenderung ingin membantunya dengan
menawarkan solusi 96,7 3,3
11 Bagian penting dari pendekatan dalam mengelola
suatu kelompok adalah membuat anggota setiap
hari selalu mendapatkan informasi yang
berpengaruh pada pekerjaan mereka.
76,1 23,9
12 Beberapa ide terbaik mungkin berasal dari anggota
kelompok daripada ketua 88,1 12,0
13 menanyakan“ Apa solusi alternatif yang kamu
pikirkan sejauh ini?” pada anggota kelompok yang
membawa persoalan
79,3 20,7
Laissez faire
Gaya kepemimpinan laissez faire adalah gaya kepemimpinan yang
membiarkan semua anggota bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin
tidak memberikan perintah, pengarahan, atau bimbingan sehingga masing-masing
anggota bergerak sendiri-sendiri. Hampir seluruh mahasiswa pernah menegur jika
ada anggota yang salah (92,4%), tidak berdiam diri saat rapat (92,3%), tidak
46
membiarkan masalah organisasi berlarut-larut (97,8%), dan pemimpin tidak hanya
bentuk formalitas tanpa mempunyai pengaruh (95,7%). Sebagian besar mahasiswa
tidak jarang memberikan motivasi pada anggotanya (88,1%), tidak banyak terjadi
persaingan antar divisi dalam organisasi (81,5%), dan sebagai pemimpin tidak
jarang berani mengambil keputusan meskipun itu keputusan yang berpengaruh
pada organisasi (88,1%). Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya kepemimpinan
laissez faire dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran mahasiswa berdasarkan gaya laissez faire
No Pernyataan Kategori (%)
Sering Tidak Pernah
1 Pada saat rapat sering berdiam diri 7,6 92,3
2 Membebaskan anggota untuk bekerja tanpa
memberi pengarahan kerja terlebih dahulu 26,0 73,9
3 Pernah menegur jika ada anggota yang salah 92,4 7,6
4 Jarang memberikan motivasi pada anggota saya 12,0 88,1
5 Membiarkan masalah organisasi berlarut-larut 2,2 97,8
6 Pemimpin hanya bentuk formalitas tanpa
mempunyai pengaruh 4,4 95,7
7 Kebanyakan progran kerja pada organisasi tidak
tepat waktu 29,3 70,7
8 Banyak terjadi persaingan antar divisi dalam
organisasi 18,5 81,5
9 Sebagai pemimpin jarang berani mengambil
keputusan meskipun itu keputusan yang
berpengaruh pada organisasi
12,0 88,1
10 Lebih suka membiarkan organisasi saya berjalan
apa adanya 26,1 73,9
Praktik Kepemimpinan
Kouzes dan Posner (2005) menjelaskan seorang pemimpin akan
melakukan satu hal yaitu menghubungkan keinginan anggota dengan ekspektasi
yang ada. Kepemimpinan merupakan proses antara pemimpin dan anggota
sehingga setiap keputusan selalu berdasarkan hubungan tersebut. Pemimpin perlu
menjalankan kepemimpinan dengan baik dalam sebuah praktik kepemimpinan.
Tabel 20 memperlihatkan bahwa lebih dari dua pertiga mahasiswa (83,7%)
memiliki total praktik kepemimpinan pada kategori tinggi sedangkan sisanya
berada pada ketegori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar ketua
kelembagaan mampu menerapkan setiap dimensi pada praktik kepemimpinan
47
dengan baik serta menyampaikan pada para anggota organisasi. Praktik
kepemimpinan ditunjukkan pada Lampiran 2.
Tabel 20 Sebaran mahasiswa berdasarkan kecenderungan praktik kepemimpinan
total
Praktik Kepemimpinan Total Jumlah
n %
Rendah 0 0,0
Sedang 15 16,3
Tinggi 77 83,7
Total 92 100,0
Tantangan proses
Setiap pemimpin yang hebat selalu berani mengambil tantangan.
Tantangan tersebut dapat berupa inovasi produk baru, adanya keputusan, dan
pelayanan. Tantangan sendiri merupakan perubahan keadaan pada status aman.
Pada setiap pemimpin yang hebat tidak selalu menunggu adanya keberuntungan
pada waktu dan tempat yang tepat tetapi bagaimana sikap berani dalam
mengambil tantangan yang ada. Pemimpin merupakan pioner dalam melakukan
langkah untuk mencari kesempatan dalam mengembangkan inovasi,
menumbuhkan, dan mengembangkannya.
Tabel 21 Sebaran mahasiswa berdasarkan tantangan proses
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Selalu tertantang untuk mengembangkan
keterampilan dan kemampuan diri 76,1 17,4 6,5
2 Mencari cara agar anggota dapat menemukan
metode baru dalam hal melakukan tugas
organisasi
73,9 19,6 6,5
3 Sebagai seorang ketua, terus mengikuti acara dan
kegiatan luar yang mungkin berpengaruh pada
organisasi. 82,6 13 4,4
4 Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang
diharapkan, maka akan bertanya, "Apa yang bisa
kita pelajari dari pengalaman ini? "
68,5 18,5 13,1
5 Bahwa anggota menetapkan tujuan dan membuat
rencana khusus untuk program yang akan
dilakukan 77,2 21,7 1,1
6 Mengambil inisiatif langkah kerja dalam
melakukan suatu hal dalam organisasi. 94,5 4,3 1,1
48
Pada tabel 21 menunjukkan lebih dari tiga perempat mahasiswa setuju
selalu tertantang untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan diri
(76,1%) dan anggota menetapkan tujuan dan membuat rencana khusus untuk
program yang akan dilakukan (77,2%). Sebagian besar mahasiswa setuju sebagai
seorang ketua, terus mengikuti acara dan kegiatan luar yang mungkin berpengaruh
pada organisasi (82,6%) dan hampir seluruh mahasiswa (94,5%) setuju untuk
mengambil inisiatif langkah kerja dalam melakukan suatu hal dalam organisasi.
Inspirasi visi
Setiap organisasi berawal dari sebuah mimpi. Mimpi atau pada saat ini
sering dikatakan visi merupakan bentuk investasi pada masa depan. Kouzes dan
Posner (2007) menyatakan bahwa seorang pemimpin harus bisa menginspirasi
visi. Adanya visi membuat pemimpin memiliki rasa percaya diri pada kemampuan
yang dimiliki sehingga memotivasi agar visi tersebut terwujud. Seseorang tanpa
memiliki pegangan bukanlah seorang pemimpin dan orang lain tidak akan
menjadi pengikut sampai adanya penerimaan visi sebagai jalan kedepan.
Tabel 22 Sebaran mahasiswa berdasarkan inspirasi visi
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Memandang ke depan (visi) dan
mengomunikasikannya tentang apa visi ke masa
depan.
76,1 18,5 5,4
2 Menjelaskan kepada anggota tentang apa yang
seharusnya tujuan yang akan diwujudkan. 78,3 17,4 4,3
3 Memberikan penjelasan pada anggota mengenai
visi organisasi yang ingin dicapai. 85,9 13 1,1
4 Berbicara dengan para anggota mengenai
bagaimana pentingnya para anggota bekerja sama
menuju tujuan bersama
84,8 13 2,2
5 Optimis dan berpikir positif tentang cita-cita yang
ingin organisasi dapat capai. 65,2 28,3 6,5
6 Berbicara dengan keyakinan yang tinggi tentang
tujuan dan memaknai apa yang kita lakukan 87 10,9 2,2
Tabel 22 menunjukkan sebagian besar mahasiswa setuju untuk berbicara
dengan keyakinan yang tinggi tentang tujuan dan memaknai apa yang kita
lakukan (87%), memberikan penjelasan pada anggota mengenai visi organisasi
49
yang ingin dicapai (85,9%), dan berbicara dengan keyakinan yang tinggi tentang
tujuan dan memaknai apa yang kita lakukan (87,0%). Lebih dari tiga perempat
mahasiswa setuju untuk memandang ke depan (visi) dan mengomunikasikannya
tentang apa visi ke masa depan (76,1%) dan menjelaskan kepada anggota tentang
tujuan yang akan diwujudkan (78,3%).
Mengajak bertindak
Kouzes dan Posner (2007) menyatakan bahwa mimpi besar tidak akan
menjadi kenyataan tanpa adanya aksi nyata setiap orang. Dalam melakukan
tindakan diperlukan adanya kerjasama tim, kepercayaan yang tinggi, hubungan
emosi dan sosial yang kuat, kompetensi yang baik serta adanya kolaborasi antar
anggota. Untuk mewujudkan seluruh tindakan tersebut dalam sebuah organisasi
maka diperlukan pemimpin yang mengajak sesama dalam bertindak. Tabel 23
menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa (100%) setuju memberikan orang lain
banyak kebebasan dan pilihan dalam memutuskan bagaimana melakukan
pekerjaan mereka, hampir seluruh memperlakukan anggota dengan bermartabat
dan hormat (91,3%), dan lebih dari tiga perempat mendukung keputusan yang
diusulkan anggota dan disepakati bersama di organisasi (77,2%).
Tabel 23 Sebaran mahasiswa berdasarkan mengajak bertindak
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Menumbuhkan semangat kooperatif bukan
kompetitif pada orang-orang yang bekerja sama 72,8 21,7 5,4
2 Terbuka untuk mendengarkan sudut pandang yang
berbeda. 70,6 21,7 7,6
3 Memperlakukan anggota dengan bermartabat dan
hormat. 91,3 7,6 1,1
4 Mendukung keputusan yang diusulkan anggota
dan disepakati bersama di organisasi 77,2 21,7 1,1
5 Memberikan orang lain banyak kebebasan dan
pilihan dalam memutuskan bagaimana melakukan
pekerjaan mereka.
100,0 0,0 0,0
6 Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk
memimpin rapat jika berhalangan hadir. 66,3 23,9 9,8
50
Mahasiswa panutan
Seorang pemimpin harus mengetahui bahwa untuk memiliki komitmen
dan penghargaan dengan kualitas tertinggi, maka diperlukan mahasiswa panutan
dalam berperilaku pada sebuah organisasi. Model berperilaku dapat lebih efektif
jika pemimpin menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasar berupa nilai-nilai yang
dijunjung pemimpin. Pada sebuah organisasi seorang pemimpin juga menjadi
aktor utama dalam organisasi yang dipimpin. Tabel 24 menunjukkan hampir
seluruh mahasiswa setuju untuk menindaklanjuti janji-janji dan komitmen yang
dibuat dalam organisasi ini (94,5%), menemukan cara agar tindakan berpengaruh
pada kinerja anggota (94,5%) dan berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang menuntun tindakan (91,3%). Sebagian besar mahasiswa memberi mahasiswa
pribadi dari apa yang diharapkan pada orang lain (81,6%) dan menghabiskan
waktu dan energi untuk memastikan bahwa setiap anggota organisasi mematuhi
prinsip-prinsip dan standar yang telah disepakati (89,2%), selain itu tiga perempat
mahasiswa membangun suatu nilai-nilai yang disepakati organisasi (75,0%).
Tabel 24 Sebaran mahasiswa berdasarkan mahasiswa panutan
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Memberi contoh pribadi dari apa yang diharapkan
pada orang lain. 81,6 14,1 4,3
2 Menghabiskan waktu dan energi untuk
memastikan bahwa setiap anggota organisasi
mematuhi prinsip-prinsip dan standar yang telah
disepakati.
89,2 9,8 1,1
3 Menindaklanjuti janji-janji dan komitmen yang
dibuat dalam organisasi ini 94,5 4,3 1,1
4 Menemukan cara agar tindakan berpengaruh pada
kinerja anggota. 94,5 4,3 1,1
5 Membangun suatu nilai-nilai yang disepakati
organisasi 75,0 22,8 2,2
6 Berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang menuntun tindakan. 91,3 5,4 3,3
Motivasi
Motivasi adalah cara yang tepat untuk melindungi dan menjaga semangat
para anggota organisasi. Penyampaian motivasi bisa pada personal atau kepada
51
seluruh anggota dalam waktu yang bersamaan. Motivasi dapat disampaikan
melalui gerakan gestur atau aksi sederhana yang ditunjukkan kepada anggota.
salah satu bagian dari pemberian empati adalah dengan merayakan keberhasilan
kontribusi anggota malalui memberikan apresiasi yang layak. Tabel 25
menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa setuju untuk memberikan
dukungan pada anggota organisasi dan mengekspresikan penghargaan atas
kontribusi anggota (97,8%) dan menemukan cara untuk mengapresiasikan prestasi
baik secara perorangan atau kelompok dalam organisasi (95,7%). Sebagian besar
mahasiswa mendorong (memberikan semangat) pada anggota dalam melakukan
program dan kegiatan organisasi (88,0%) dan lebih dari tiga perempat memuji
seseorang untuk tugas yang dikerjakan dengan baik (78,2%).
Tabel 25 Sebaran mahasiswa berdasarkan motivasi
No Pernyataan
Kategori (%)
Setuju Ragu-
ragu
Tidak
Setuju
1 Memuji seseorang untuk tugas yang dikerjakan
dengan baik 78,2 12,0 9,8
2 Mendorong (memberikan semangat) pada anggota
dalam melakukan program dan kegiatan
organisasi.
88,0 9,8 2,2
3 Memberikan dukungan pada anggota organisasi
dan mengekspresikan penghargaan atas kontribusi
anggota
97,8 2,2 0,0
4 Berempati terhadap orang yang menunjukkan
komitmen terhadap nilai-nilai yang disepakati 48,9 37 14,1
5 Menemukan cara untuk mengapresiasikan prestasi
baik secara perorangan atau kelompok dalam
organisasi.
95,7 3,3 1,1
6 Semua anggota dalam organisasi secara kreatif
diakui atas kontribusi mereka. 72,9 21,7 5,4
Hubungan Antar Variabel
Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Kecerdasan
Emosi
Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,
IPK, suku, lama organisasi, dan besar biaya hidup) dengan antar dimensi dan total
52
kecerdasan emosi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dimensi
kecerdasan emosi yaitu pengelolaan emosi dengan jenis kelamin dan jumlah
organisasi. Pada jenis kelamin laki-laki lebih mampu mengelola emosi daripada
perempuan, hal ini sesuai dengan pernyataan Brown dkk (1993) dalam Santrock
(2003) bahwa pemahaman emosi pada perbedaan jenis kelamin sering kali muncul
pada peran sosial dan suatu hubungan. Sedangkan pada jumlah organisasi, hal ini
diduga bahwa semakin banyak organisasi yang diikuti maka semakin banyak
interaksi dengan orang lain sehingga membawa dampak yang baik pada
pengelolaan emosi. Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi
dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan emosi
Karakteristik
Mahasiswa
Kecerdasan Emosi
Kesadaran emosi Pengelolaan emosi Motivasi diri Total
Jenis Kelamin
(kategori) 0,545 0,010** 0,087 0,643
Usia -0,103 -0,002 0,041 -0,032
IPK 0,055 -0,144 -0,023 -0,044
Suku (kategori) 0,402 0,180 0,409 0,719
Jumlah organisasi 0,153 0,210* 0,064 0,175
Lama organisasi 0,080 0,104 -0,009 0,075
Biaya hidup 0,106 -0,052 -0,005 0,023
Jumlah saudara 0,044 -0,025 0,002 -0,005
Urutan kelahiran -0,009 0,004 -0,016 -0,016
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan ayah, besar
keluarga, jumlah saudara, dan urutan kelahiran) dengan tiap dimensi kecerdasan
emosi dan kecerdasan emosi total. Namun pada lama pendidikan ibu
memperlihatkan adanya hubungan positif signifikan dengan kesadaran emosi. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan ibu maka semakin baik
kesadaran emosi pada seorang pemimpin. Hubungan karakteristik keluarga
mahasiswa dengan kecerdasan emosi dapat dilihat pada Tabel 27.
53
Tabel 27 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan emosi
Karakteristik
keluarga
Kecerdasaan emosi
Kesadaran emosi Pengelolaan
emosi Motivasi diri Total
Pendidikan ayah 0,068 -0,054 -0,019 -0,005
Pendidikan ibu 0,213* 0,115 0,056 0,150
Besar keluarga 0,044 -0,025 0,002 -0,005
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Kecerdasan
Sosial
Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,
IPK, suku, lama organisasi, dan besar biaya hidup) dengan tiap dimensi
kecerdasan sosial dan kecerdasan sosial total. Sedangkan pada jumlah organisasi
terdapat hubungan postif signifikan dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan
kecerdasan sosial total. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak organisasi
yang diikuti maka semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan
sosial total. Hal sesuai dengan hasil penelitian Wulandari (2009) yang
menyebutkan bahwa semakin banyak organisasi yang diikuti oleh mahasiswa
maka semakin baik kecerdasan sosial yang dimiliki. Hubungan karakteristik
mahasiswa dengan kecerdasan emosi dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan kecerdasan sosial
Karakteristik
Mahasiswa
Kecerdasan Sosial
Kesadaran Sosial Fasilitas Sosial Total
Jenis Kelamin 0,919 0,614 0,913
Usia 0,000 -0,027 -0,017
IPK 0,048 -0,032 0,003
Suku 0,720 0,972 0,728
Jumlah organisasi 0,210* 0,214* 0,231*
Lama organisasi 0,111 0,120 0,127
Biaya hidup 0,047 0,087 0,076
Jumlah saudara -0,054 0,040 0,000
Urutan kelahiran -0,074 0,030 -0,014
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
54
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan orangtua dan
besar keluarga) dengan tiap dimensi kecerdasan sosial dan kecerdasan sosial total.
Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan sosial dapat
dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan kecerdasan sosial
Karakteristik keluarga Kecerdasan sosial
Kesadaran sosial Fasilitas sosial Total
Pendidikan ayah -0,052 -0,154 -0,104
Pendidikan ibu -0,021 -0,174 -0,108
Besar keluarga -o,054 0,040 0,000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Gaya
Kepemimpinan
Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif signifikan antara IPK dengan tipe gaya kepemimpinan
demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IPK seorang pemimpin
maka semakin tinggi gaya kepemimpinan demokratis. Hubungan karakteristik
mahasiswa dengan gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan gaya kepemimpinan
Karakteristik
Mahasiswa
Gaya Kepemimpinan
Otoriter Demokratis Laissez faire
Jenis Kelamin 0,877 0,423 0,498
Usia -0,152 -0,086 0,103
IPK 0,068 0,228* -0,003
Suku 0,628 0,431 0,527
Jumlah organisasi 0,101 -0,091 -0,141
Lama organisasi 0,040 0,037 0,099
Biaya hidup 0,003 0,016 -0,193
Jumlah saudara 0,017 0,041 0,044
Urutan kelahiran 0,913 0,927 0,908
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara lama pendidikan ayah dengan gaya kepemimpinan otoriter. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan yang ayah tempuh maka
55
semakin tinggi gaya kepemimpinan otoriter seseorang. Hubungan karakteristik
keluarga mahasiswa dengan gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan gaya kepemimpinan
Karakteristik Keluarga
Mahasiswa
Gaya Kepemimpinan
Otoriter Demokratis Laissez faire Total
Pendidikan ayah 0,232* 0,026 0,078 0,134
Pendidikan ibu 0,138 0,102 0,024 0,117
Besar keluarga 0,017 0,041 0,044 0,056
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Karakteristik Mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa Terhadap Praktik
Kepemimpinan
Hasil uji korelasi Pearson dan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang nyata antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin, usia,
suku, lama organisasi, jumlah organisasi, dan besar biaya hidup) dengan tiap
dimensi praktik kepemimpinan dan paraktik kepemimpinan total. Sedangkan pada
IPK terdapat hubungan positif signifikan dengan dimensi mahasiswa panutan
pada praktik kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IPK
yang diperoleh seorang pemimpin maka akan memberikan mahasiswa panutan
yang semakin baik pada anggotanya. Hubungan karakteristik mahasiswa dengan
praktik kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Hubungan karakteristik mahasiswa dengan praktik kepemimpinan
Karakteristik
Mahasiswa
Praktik Kepemimpinan
Tantangan
proses
Inspirasi
visi
Mengajak
bertindak
Mahasiswa
panutan
Motivasi
Orang lain
Total
praktik
Jenis Kelamin 0,783 0,437 0,455 0,194 0,345 0,493
Usia 0,021 0,088 0,082 0,153 0,063 0,104
IPK 0,035 0,027 0,148 0,219* 0,054 0,113
Suku 0,706 0,628 0,086 0,652 0,085 0,234
Jumlah
organisasi 0,038 0,115 0,008 0,035 0,027 0,050
Lama
organisasi 0,034 0,081 0,133 -0,015 -0,051 0,037
Biaya hidup 0,131 0,152 0,061 0,157 0,112 0,152
Jumlah
saudara 0,105 -0,031 -0,064 -0,041 -0,068 -0,011
Urutan
kelahiran -0,015 -0,053 0,068 0,073 0,071 0,048
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
56
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara karakteristik keluarga mahasiswa (lama pendidikan orangtua, besar
keluarga, jumlah saudara, dan urutan kelahiran) dengan tiap dimensi praktik
kepemimpinan dan praktik kepemimpinan total. Hubungan karakteristik keluarga
mahasiswa dengan kecerdasan sosial dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Hubungan karakteristik keluarga mahasiswa dengan praktik
kepemimpinan
Karakteristik
Keluarga
Mahasiswa
Praktik Kepemimpinan
Tantangan
proses
Inspirasi
visi
Mengajak
bertindak
Mahasiswa
panutan
Memotivasi
orang lain
Total
praktik
Pendidikan
ayah -0,274 -0,210 -0,308 -0,237 -0,145 -0,286
Pendidikan
ibu -0,215 -0,126 -0,166 -0,155 -0,192 -0,200
Besar
keluarga 0,105 -0,031 -0,064 -0,041 -0,068 -0,011
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Kecerdasaan Emosi dengan Gaya dan Praktik Kepemimpinan
Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara
seluruh dimensi kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan otoriter. Hal ini
berarti semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi gaya kepemimpinan
otoriter. Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan
dengan gaya kepemimpinan demokratis. Hal ini berarti semakin tinggi kesadaran
emosi, motivasi diri, dan total kecerdasan emosi maka semakin tinggi gaya
kepimimpinan demokratis. Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi
berhubungan negatif signifikan dengan gaya laissez faire. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi kesadaran emosi maka semakin rendah kepemimpinan
laissez faire.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara motivasi diri dan kecerdasaan emosi total terhadap tantangan
proses dalam praktik kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tingginya motivasi diri dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi tantangan
dalam menjalankan proses kepemimpinan. Selain itu, terdapat hubungan positif
signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan
kecerdasaan emosi total terhadap inspirasi visi. Hal ini menunjukkan bahwa
57
semakin tinggi kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan
kecerdasaan emosi total maka semakin tinggi pemimpin menujukkan visi
kedepan.
Tabel 34 Hubungan antara kecerdasan emosi dengan gaya kepemimpinan
Variabel Otoriter Demokratis Laissez Faire
Kesadaran Emosi 0,237* 0,262* -0,276**
Pengelolaan Emosi 0,240* 0,078 -0,211*
Motivasi Diri 0,268** 0,294** -0,193
Total Emosi 0,292** 0,243* -0,272**
Keterangan:
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Sementara itu, pada uji yang sama menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif signifikan terdapat antara pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan
emosi total terhadap mengajak orang lain bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total
pemimpin maka semakin tinggi pemimpin mengajak orang lain bertindak. Selain
itu, terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi, pengelolaan
emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap sebagai mahasiswa
panutan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran emosi,
pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total maka semakin
tinggi pemimpin sebagai mahasiswa panutan.
Motivasi diri dan kecerdasan emosi total menunjukkan hubungan positif
signifikan dengan rasa empati. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
motivasi diri dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi empati. Sedangkan
kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total
memiliki hubungan positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran emosi, pengelolaan emosi,
motivasi diri, dan kecerdasan emosi total maka semakin tinggi pula total praktik
kepemimpinan seseorang. Menjadi seorang pemimpin dalam fase dewasa awal
timbul dari dorongan untuk mendapatkan prestise sosial, pengembangan citra diri,
pengembangan rasa percaya diri yang berarti untuk lingkungan masyarakat
(Mappiare 1983). Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan
dapat dilihat pada Tabel 35.
58
Tabel 35 Hubungan kecerdasan emosi dengan praktik kepemimpinan
Variabel
Tantanga
n Proses
Inspirasi
Visi
Mengajak
Orang Lain
Bertindak
Mahasis
wa
Panutan
Memoti
vasi
orang
lain
Total Praktik
Kesadaran
Emosi 0,133 0,211* 0,144 0,323** 0,158 0,218*
Pengelolaan
Emosi 0,187 0,313** 0,224* 0,321** 0,189 0,282**
Motivasi
Diri 0,306** 0,367** 0,270** 0,459** 0,362** 0,409**
Total
Emosi 0,237* 0,344** 0,245* 0,426** 0,267* 0,348**
Keterangan:
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Kecerdasan Sosial dengan Gaya dan Praktik Kepemimpinan
Pada uji Pearson menunjukkan hubungan negatif signifikan antara
kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial dengan gaya
kepemimpinan laissez faire. Hal ini menujukkan semakin tinggi kesadaran sosial,
fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin rendah gaya
kepemimpinan laissez faire pada pemimpin. Hubungan kecerdasan sosial dengan
gaya kepemimpinan dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36 Hubungan kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan
Variabel Otoriter Demokratis Laissez Faire
Kesadaran Sosial 0,121 0,196 -0,283**
Fasilitas Sosial 0,091 0,171 -0,318**
Total Sosial 0,114 0,199 -0,330**
*. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Pada hasil uji Pearson, menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial
dengan tantangan proses. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran
sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka akan semakin tinggi
tantangan proses dalam menjalankan kepemimpinan. Selain itu, kesadaran sosial,
fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial juga menunjukkan hubungan positif
signifikan dengan inspirasi visi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi
pemimpin menginspirasi visi kepada anggota.
59
Fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan
dengan mengajak orang lain bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi kemampuan
pemimpin untuk mengajak anggota bertindak. Sementara itu, kesadaran sosial,
fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial menunjukkan hubungan positif
signifikan terhadap mahasiswa panutan. Hal ini berarti, semakin tinggi kesadaran
sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi pula
pemimpin menunjukkan cocok sebagai mahasiswa panutan.
Tabel 37 Hubungan kecerdasan sosial dengan praktik kepemimpinan
Variabel Tantangan
Proses
Inspirasi
Visi
Mengajak
Orang Lain
Bertindak
Mahasiswa
Panutan
Motivasi
Orang
Lain
Total
Praktik
Kesadaran
Sosial 0,207* 0,284** 0,143 0,494** 0,213* 0,302**
Fasilitas
Sosial 0,347** 0,403** 0,365** 0,556** 0,346** 0,464**
Total
Sosial 0,313** 0,384** 0,294** 0,578** 0,316** 0,431**
Keterangan:
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Pada penelitian yang sama kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total
kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan rasa memotivasi. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total
kecerdasan sosial maka semakin tinggi rasa memotivasi yang ditunjukkan oleh
pemimpin. Tabel 37 menunjukkan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total
kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan total praktik
kepemimpinan. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi kesadaran sosial, fasilitas
sosial, dan total kecerdasan sosial maka semakin tinggi praktik kepemimpinan
pada seorang pemimpin. Hal ini sesuai dengan penelitian Havighurst (1957)
dalam Mappiare (1983) yang menyebutkan bahwa kemampuan memimpin yang
hebat tampak dari aktivitas sosial pemimpin yang aktif dalam menjalin hubungan
dan memainkan peranan sebagai seorang pemimpin dalam sebuah organisasi atau
kegiatan sosial.
60
Pembahasan
Bronfenbrenner diacu dalam Goleman (2002) menjelaskan keluarga saat
ini tidak lagi berfungsi dengan baik untuk meletakkan anak pada landasan yang
kuat bagi kehidupan dimasa depan. Ketidakberfungsian keluarga memiliki
dampak tertentu dalam mekanika kecerdasan emosi dan sosial. Keberadaan
keluarga memiliki peran yang penting dan mendasar dalam membangun
keterampilan emosi anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis
kelamin dengan pengelolaan emosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gilligan
dalam Goleman (2002) yang menyebutkan bahwa laki-laki bangga karena
kemandirian dan kemerdekaan dalam berpikir ulet sementara perempuan melihat
dirinya sebagai bagian dari jaringan suatu hubungan. Goleman (2002)
menyebutkan bahwa perbedaan pendidikan emosi pada setiap anak menghasilkan
keterampilan emosi yang berbeda. Laki-laki lebih pandai dalam meredam emosi
yang berkaitan dengan rasa salah, takut, dan sakit. Perempuan lebih pandai dalam
membaca sinyal verbal dan nonverbal serta mengungkapkan dan
mengkomunikasikan perasaan-perasaan yang dialami.
Jumlah organisasi berpengaruh positif signifikan dengan kesadaran sosial,
fasilitas sosial, dan kecerdasan sosial secara keseluruhan. Hal ini selaras dengan
penelitian Nurhayati (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara kematangan sosial dengan jumlah organisasi yang diikuti.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa pada fase dewasa awal memiliki kesempatan
untuk melibatkan diri pada berbagai kegiatan organisasi baik secara sosial atau
agama.
Terdapat hubungan positif signifikan antara IPK dengan dimensi menjadi
panutan pada praktik kepemimpinan. Menurut Hurlock (1980) menyebutkan
bahwa pemimpin mempunyai peranan penting dalam mewakili kelompok dalam
masyarakat. Pemimpin terpilih seseorang yang memiliki kemampuan tinggi yang
akan dihormati dan dikagumi oleh anggota kelompok. Pada fase dewasa awal
seorang pemimpin dipilih karena memiliki kualitas kemampuan dan pengalaman
yang beragam, selain itu tingkat intelegensi dan kematangan pemimpin diatas
rata-rata serta memiliki prestasi akademik yang baik. Pada penelitian ini
61
didapatkan hubungan positif signifikan antara IPK dengan tipe gaya
kepemimpinan demokratis. Hal ini berbeda dengan penelitian Adebayo, Olayide,
dan Saheed (2012) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan nyata
signifikan antara IPK dengan gaya kepemimpinan tranformasi (gaya
kepemimpinan demokratis).
Terdapat hubungan positif signifikan pendidikan ibu dengan dimensi
kesadaran emosi pada kecerdasan emosi. Pada penelitian Harrod dan Scheer
(2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara
kecerdasaan emosi dengan pendidikan ibu. Goleman (2002) menjelaskan bahwa
anak perempuan lebih banyak mendapat informasi tentang emosi daripada anak
laki-laki. Pada bayi perempuan seorang ibu lebih memperlihatkan rangkaian
emosi yang lebih luas serta membahas keadaan emosi lebih detail dari pada bayi
laki-laki. Hasil berbeda dihasilkan pada penelitian Nurhayati (2011) bahwa tidak
ada hubungan antara dimensi kesadaran emosi pada kecerdasan emosi dengan
tingkat pendidikan ibu. Alegre dan Benson (2010) menyebutkan bahwa seorang
anak akan mengalami perkembangan emosional yang rendah jika orangtua
mengasuh tanpa memperdulikan perasaan anak.
Pada pendidikan ayah terdapat hubungan positif signifikan dengan gaya
kepemimpinan otoriter. Goleman (2002) menyebutkan bahwa orangtua memiliki
peranan penting dalam menanamkan kebiasaan emosional pada anak. kebiasaan
dalam membangun emosi melalui pengasuhan otoriter akan membuat anak
tumbuh menjadi seorang yang memiliki karakter otoriter. Artinya bahwa sosok
ayah dalam keluarga sering kali memiliki peran yang tegas dan bersifat otoriter
dibandingkan ibu. Hal ini didukung pernyataan Gunarsa & Gunarsa (2008)
menyatakan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan
membentuk cara, pola, kerangka berpikir persepsi, pemahaman, dan kepribadian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan
antara total kecerdasan emosi dengan total praktik kepemimpinan. Hasil penelitian
Cavins (2005) menyatakan bahwa kecerdasan intrapersonal berhubungan positif
signifikan dengan menjadi mahasiswa panutan, memberikan inspirasi visi,
mengajak orang lain bertindak, dan proses menjadikan tantangan. Lebih lanjut
Cavins (2005) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi-sosial bagian dari hubungan
62
kompetensi emosi dan sosial, kemampuan, dan fasilitas untuk memahami
perasaan diri sendiri dan orang lain, menjalin hubungan serta dapat bertahan
dalam setiap keadaan yang sulit. Kouzes dan Posner (2007) menjelaskan bahwa
dalam praktik kepemimpinan seseorang diperlukan adanya kecerdasan emosi
karena dengan adanya kecerdasan emosi seorang pemimpin dapat menjelaskan
dan mengekspresikan maksud dan tujuan pada anggotanya. Goleman, Boyatzis, &
Mckee (2007) menyebutkan bahwa pemimpin selalu memainkan peran emosi
yang primordial yaitu menggerakkan emosi kolektif ke arah positif artinya banwa
seorang pemimpin mampu menjadi pengendali emosi diri sendiri dan orang lain
serta mengarahkan emosi tersebut untuk mampu mencapai visi organisasi. Harris
(2004) menjelaskan bahwa adanya perasaan percaya diri dan pemahaman emosi
merupakan dasar kebutuhan untuk merasakan orang sekitar.
Total kecerdasan sosial berhubungan positif signifikan dengan total
praktik kepemimpinan. Artinya kecerdasan sosial mempunyai peran yang penting
untuk menentukan tindakan seorang pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinan. Elias, et all (2006) menyebutkan bahwa bentuk kepemimpinan
memiliki peranan penting untuk membentuk kecerdasan emosi-sosial. Hal ini
didukung pernyataan Goleman (2007) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan
pada dasarnya adalah ragkaian pertukaran sosial dimana sang pemimpin bisa
menggerakkan emosi-emosi orang lain ke dalam keadaan lebih baik atau lebih
buruk. Pada kepemimpinan yang bermutu tinggi, anggota merasakan perhatian,
empati, dukungan, dan sikap positif dari pemimpin. Pada kepemimpinan yang
bermutu rendah, anggota merasakan terisolasi dan terancam.
Dimensi motivasi diri berhubungan positif signifikan dengan gaya
kepemimpinan demokratis. Pada penelitian Siligman menunjukkan optimisme
(salah satu bagian dari motivasi diri) merupakan sikap cerdas secara emosional.
Pada kecerdasan emosional mempunyai motivasi diri merupakan hal yang sangat
penting. Tingkat emosi pada kecerdasan emosi mampu menghambat dan
menaikkan kemampuan seseorang untuk berpikir dan merencanakan, mengerjakan
berbagai latihan demi sasaran jangka panjang, menyelesaikan berbagai
permasalahan. Adanya berbagai motivasi membuat seseorang termotivasi pada
berbagai keadaan untuk berprestasi. Hal ini membuat dimensi motivasi pada
63
kecerdasan emosi menjadi prioritas utama untuk mempengaruhi kemampuan
lainnya (Goleman 2007). Menurut Siddique et al (2011) seorang pemimpin tidak
harus memiliki semua kualitas kepemimpinan tapi pemimpin yang efektif adalah
pemimpin dapat membuat keputusan yang tepat pada waktu yang tepat. Seorang
pemimpin dapat memotivasi anggota melalui penghargaan dan keuntungan
berdasarkan nilai-nilai yang telah disepakati bersama pada sebuag organisasi.
Selain gaya kepemimpinan pada pemimpin, motivasi anggota juga memiliki
peranan penting untuk menciptakan keefektifan organisasi. Goleman, Boyatzis, &
Mckee (2007) menjelaskan bahwa jika seorang pemimpin yang kuat, gaya
demokratis akan sangat bermanfaat untuk memancing ide-ide tentang cara terbaik
menerapkan visi tersebut.
Kecerdasaan emosi secara keseluruhan berhubungan positif signifikan
dengan dimensi otoriter pada gaya kepemimpinan. Goleman, Boyatzis, & Mckee
(2007) menyatakan bahwa pemimpin yang cerdas secara emosi akan membangun
hubungan dengan mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan perasaan orang
lain serta membimbing kearah yang benar. Lebih lanjut Goleman membagi
kepemimpinan menjadi enam jenis, salah satunya adalah kepemimpinan otoriter.
Goleman berpendapat bahwa kepemimpinan otoriter membangun keselarasan
dengan menenangkan rasa takut dengan memberi arah yang jelas di dalam
keadaan darurat. Pada sisi emosi sering kali membawa dampak negatif dan dalam
menggunaan yang tepat dapat digunakan pada saat kritis atau melakukan
perubahan arah jika dalam masalah.
Hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan
dengan gaya kepemimpinan demokratis. Goleman (2002) menjelaskan bahwa
kecerdasan emosi dapat membawa dampak positif terhadap keberlangsungan
organisasi. Seorang pemimpin dengan kecerdasan emosi yang lengkap akan lebih
efektif dan fleksibel untuk menghadapi berbagai jenis tuntutan dalam mengelola
organisasi. Gaya demokratis akan sangat bermafaat untuk memancing ide-ide
untuk menerapkan visi yang telah disusun pada sebuah organisasi. Harris (2004)
menjelaskan banwa aspek dasar keberhasilan perubahan adalah perkembangan
optimal dalam interpersonal dan energi emotional.
64
Kesadaran emosi berhubungan negatif signifikan dengan dimensi
kepemimpinan laissez faire. Mayer dalam Goleman (2002) menjelaskan bahwa
kesadaran diri merupakan kepekaan suasana hati dan dapat dimengerti oleh orang
sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Kejernihan emosi manjadi landasan
kepribadian yang lain. Pemimpin seperti ini akan mandiri, sadar akan batas-batas
kehidupan yang dibangun, memiliki kesehatan jiwa yang bagus, cenderung
berpikir positif, dan saat suasana hati sedang buruk maka akan mampu
mengendalikan dengan cepat.
Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan kecerdasan sosial secara keseluruhan
memiliki hubungan negatif signifikan dengan dimensi kepemimpinan laissez
faire. Artinya seorang pemimpin melalui kecerdasan sosial akan memimpin
anggotanya dengan sangat peduli. Goleman (2007) menjelaskan bahwa pemimpin
yang baik adalah seseorang yang bisa dipercaya, empatik, punya hubungan baik
dengan orang lain sehingga dapat menciptakan suasana tenang, diharga, dan
menginspirasi bagi anggota. Furtner, Rauthman, & Sachse (2010) menjelaskan
bahwa seorang pemimpin yang kuat diharuskan memiliki kemampuan sosial-
emosi khususnya kepekaan sosial dan ekspresi emosi untuk mengejar kebutuhan
dan tujuan dalam lingkungan sosial (organisasi).
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak melihat adanya hubungan antara
gaya kepemimpinan dengan praktik kepemimpinan. Disarankan untuk penelitian
selanjutnya melihat hubungan gaya kepemimpinan seseorang dengan paraktik
kepemimpinan yang digunakan. Selain itu, penelitian berikutnya dapat lebih
mengembangakan kuisoner secara spesifik terutama pada gaya kepemimpinan.
Pengembangan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan nilai validitas data
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hampir seluruh ketua lembaga kemahasiswaan berjenis kelamin laki-laki
berumur 21 tahun dan merupakan anak sulung dengan mayoritas suku sunda.
Lebih dari separuh mahasiswa mempunyai nilai akademik dalam kategori baik,
dengan pengeluaran kurang dari Rp 1.000.000/bulan. Sepertiga ayah mahasiswa
berpendidikan selama 18 tahun atau setara dengan sarjana (S1) dan sepertiga ibu
mahasiswa berlatar belakang sarjana (S1) serta lebih dari separuh keluarga
mahasiswa memiliki besar keluarga dengan kategori sedang (≤ 4 orang).
Lebih dari dua pertiga mahasiswa mempunyai kategori kecerdasan emosi
dan sosial tinggi. Kurang dari dua pertiga mahasiswa mempunyai kecenderungan
gaya kepemimpinan demokratis dan praktik kepemimpinan termasuk dalam
kategori tinggi. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan jenis kelamin laki-
laki dengan pengelolaan emosi serta hubungan positif signifikan antara jumlah
organisasi dengan dimensi pengelolaan emosi, sedangkan lama pendidikan ibu
berhubungan positif signifikan dengan kesadaran emosi. Jumlah organisasi
berhubungan positif signifikan dengan kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan
kecerdasan sosial total.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPK berhubungan positif signifikan
dengan tipe gaya kepemimpinan demokratis dan lama pendidikan ayah
berhubungan positif signifikan dengan gaya kepemimpinan otoriter, selain itu IPK
berhubungan positif signifikan dengan dimensi mahasiswa panutan pada praktik
kepemimpinan. Pada setiap dimensi kecerdasan emosi (kesadaran emosi,
pengelolaan emosi, motivasi emosi) berhubungan positif signifikan dengan
seluruh dimensi kecerdasan sosial (kesadaran sosial dan fasilitas sosial).
Seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan positif signifikan dengan
gaya kepemimpinan otoriter dan hampir seluruh dimensi kecerdasan emosi
berhubungan positif signifikan dengan gaya kepemimpinan demokratis. Hampir
seluruh dimensi kecerdasan emosi berhubungan negatif signifikan dengan gaya
laissez faire dan terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi diri dan
kecerdasaan emosi total terhadap dimensi tantangan proses dalam praktik
kepemimpinan. Terdapat hubungan positif signifikan antara kesadaran emosi,
66
pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasaan emosi total terhadap dimensi
inspirasi visi serta terdapat hubungan positif signifikan terdapat antara
pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total terhadap dimensi
mengajak orang lain bertindak. Kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi
diri, dan kecerdasaan emosi total berhubungan positif signifikan dengan dimensi
mahasiswa panutan sedangkan motivasi diri dan kecerdasan emosi total
menunjukkan hubungan positif signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain.
Kesadaran emosi, pengelolaan emosi, motivasi diri, dan kecerdasan emosi total
memiliki hubungan positif signifikan dengan total pratik kepemimpinan.
Terdapat hubungan negatif signifikan antara kesadaran sosial, fasilitas
sosial, dan total kecerdasan sosial dengan gaya kepemimpinan laissez faire. Selain
itu, kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan
positif signifikan dengan dimensi tantangan proses. Kesadaran sosial, fasilitas
sosial, dan total kecerdasan sosial juga menunjukkan hubungan positif signifikan
dengan dimensi inspirasi visi. Fasilitas sosial dan total kecerdasan sosial
berhubungan positif signifikan dengan dimensi mengajak orang lain bertindak.
Sementara itu, kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial
menunjukkan hubungan positif signifikan terhadap dimensi mahasiswa panutan.
Kesadaran sosial, fasilitas sosial, dan total kecerdasan sosial berhubungan positif
signifikan dengan dimensi memotivasi orang lain pada praktik kepemimpinan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diketahui jumlah organisasi mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan kecerdasan sosial sehingga diperlukan
pengenalan organisasi sejak dini pada generasi muda. IPK dapat menjadikan
seorang pemimpin panutan bagi anggotanya sehingga setiap pemimpin dapat terus
mengembangkan organisasi tanpa perlu menyampingkan akademik. Pengasuhan
orangtua yang berkualitas memiliki peranan penting dalam pengembangan
kecerdasan emosi dan gaya kepemimpinan. Pengasuhan yang baik dapat dimiliki
oleh setiap orangtua melalui pendidikan dan menambah wawasan. Orang tua yang
berpendidikan rendah harus terus belajar melalui berbagai media sehingga
pengetahun mengenai pengasuhan akan bertambah.
67
Kecerdasaan emosi dan kecerdasan sosial berhubungan dengan praktik
kepemimpinan dan juga memiliki peranan penting untuk meminimalis adanya
gaya kepemimpinan laissez faire dalam sebuah kepempimpinan. Setiap orang
yang ingin menjadi pemimpin wajib memiliki kecerdasan emosi-sosial dan
mengikuti berbagai organisasi yang sesuai dengan minat dan keinginan sehingga
dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial. Sementara itu,
kampus sebagai institusi pendidikan memiliki peranan penting sebagai tempat
pengembangan softskill kepemimpinan bagi mahasiswa. Pengembangan softskill
dapat berupa pelatihan kepemimpinan yang diadakan setiap tahun pada regenerasi
ketua kelembagaan kemahasiswaan.
.
.
DAFTAR PUSTAKA
Adebayo JY, Olayide R, Saheed O. 2012. Influence of Leadership Styles and
Emotional Intelligence in Job Performance of Local Goverment Workers
in Osum State Nigeria. Journal of Alternative in the Social Science, 3(4).
Alegre A, Benson MJ. 2010. Parental Behaviour and Adolescent Adjusment:
Mediation via Adolescent Trait Emotional Intelligence. Journal of
Individual Differences Research, 8(2),83-96.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bahri S. 2011. Hubungan gaya kepemimpinan dengan kinerja pegawai pemerintah
(kasus suku dinas peternakan, perikanan, dan kelautan kota admiistrasi
Jakarta Utara) [skripsi]. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009a. Proyeksi
Jumlah Pemuda [internet]. [13 Maret 2012]. Tersedia dari:
http://kppo.bappenas.go.id/preview/232
___________________________________________________. 2009b. Jumlah
Pemuda Menurut Propinsi dan Jenis Kelamin [internet]. [13 Maret 2012].
Tersedia dari: kppo.bappenas.go.id/files/-1-
Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdf.
Buzan T. 2002. The Power of Social Intelligence: 10 Ways to Tap Into Your
Social Genius. New York: Harper Collins Publisher Inc.
Cavins BJ. 2005. The relationship between emotional-social intelligence and
leadership practices among collage student leaders [disertasi]. Ohio:
Bowling Green State University.
Cherniss C. 1998. Social and emotional learning for leaders. Association for
Supervision and Curriculum Development.
Dubrin AJ. 2006. The Complete Ideal’s Guides: Leadership 2nd Edition. Jakarta:
Prenada Media
Elias MJ, O’Brien MU, Weissberg RP. 2006. Transformative Leadership for
Social-Emotional learning. Student services.
Furtner MR, Rauthmann JF, Sachse P. 2010. The Socioemotionally intelligent
self-leader: examining relations between self-leadership and
socioemotional intelligence. Social Behavior and Personality,
38(9),1191-1196.doi: 10.2224/sbp.2010.38.9.1191
Goleman D. 2002. Kecerdasan Emosional:Mengapa EI Lebih Penting dari IQ.
Hermaya T, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan
dari: Emotional Intelligence.
__________. 2006. The Socially Intelligence. E-journal of Educational Leadership
70
__________. 2007. Kecerdasan Sosial: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar-
Manusia. Imam HS, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Terjemahan dari: Social Intelligence.
Goleman D, Boyatzis R, Mckee A. 2007. Primal Leadership: Kepemimpinan
Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Purwoko S, penerjemah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Primal Leadership:
Realizing the Power of Emotional Intelligence.
Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1993. Petunjuk Laboratorium
Manajemen Sumberdaya Keluarga [diktat]. Bogor: IPB
Gunarsa S, Gunarsa YS. 2008. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Harris B. 2004. Leading by Heart. School Leadeership & Management, Vol 24,4.
doi: : 10.1080/13632430410001316507
Harrod NR, Scheer SD. 2005. An exploration of adolescent emotional intelligence
in relation to demographic characteristics. E-journal of Adolescence.
Vol(40), 503-512.
Hasibuan MUS. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Hidayat K , Widjanarko P. 2008. Reinventing Indonesia. Jakarta: Mizan.
Hurlock EB. 1980. Psikologi perkembangan anak: suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Silabat RM,
editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psycology: A
Life Span Approach.
Ingram J, Cangemi J. 2012. Emotions, emotional intelligence and leadership: a
brief, pragmatic perspective. E-journal of Education. Vol.132 No 4, 771-
778.
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2008. Panduan Program Sarjana Edisi 2008.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kartono K. 2011. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Krishna A. 2010. Youth Challenges and Empowerment. Jakarta: Gramedia.
Kouzes JM, Posner BZ. 2007. The Leadership Challenge. Callifornia: Jossey-
Bass Publishing Company.
Latifah M. 2009. Instrumen Pengukuran Kecerdasan Emosional Remaja. Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.
Mappiare A. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.
[MPM KM IPB] Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor. 2012. Laporan kegiatan akhir tahun. Bogor:
MPM KM IPB.
Nurhayati S. 2011. Analisis kecerdasan emosional, kematangan sosial, self-
esteem, dan prestasi akademik pada mahasiswa penerima program
beasiswa santri berprestasi (PBSB) IPB [skripsi]. Bogor: Departemen
71
Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Papalia DE, Old SW. 2008. Psikologi Perkembangan Ed.9. Jakarta: Kencana
Rotenberg KJ. 1995. Disclosure Processes in Children And adolescents. New
York: Cambridge University Press.
Sarwono SW. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press
Santrock JW. 2003. Perkembangan Remaja, Adelar SB, Saragih S, penerjemah;
Kristiaji WC, Sumiharti Y, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
Adolescence.
Saleh R.2009. Hubungan gaya kepemimpinan dan pola komunikasi organisasi
dengan pembentukan modal sosial (kasus organisasi kemahasiswaan
BEM IPB) [skripsi]. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Shields D. 2008. Leaders emotional intelligence and discipline of personal
mastery: a mixed methods analysis [disertasi]. Wisconsin: College of
Education and Leadership, Cardinal Stritch University.
Sholehuddin. 2008. Kepemimpinan Pemuda dalam Berbagai Perspektif. Jakarta:
Intimedia Ciptanusantara.
Siddique A, Aslam HD, Khan M, Fatima U. 2011. Impact of academic leadership
on faculty’s motivation and organizational effectiveness in higher
education system. International Journal of Academic Research. Vol (3),
No 4.
Siswanto HB. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
Wulandari A. 2009. Analisis persepsi gaya pengasuhan orang tua, keterampilan
sosia, prestasi akademik, dan self-esteem mahasiswa tingkat persiapan
bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen
Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Gaya kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB
Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan
Gaya
1 80 65,00 65,38 50,00 2
2 92 75,00 76,92 55,00 2
3 80 75,00 61,54 45,00 1
4 84 67,50 71,15 50,00 2
5 92 72,50 76,92 57,50 2
6 83 70,00 73,08 42,50 2
7 75 72,50 59,62 37,50 1
8 83 67,50 65,38 55,00 1
9 85 72,50 73,08 45,00 2
10 87 75,00 73,08 47,50 1
11 84 75,00 71,15 42,50 1
12 91 67,50 84,62 50,00 2
13 84 67,50 65,38 57,50 1
14 81 72,50 69,23 40,00 1
15 86 67,50 75,00 50,00 2
16 76 72,50 65,38 32,50 1
17 80 70,00 67,31 42,50 1
18 83 70,00 59,62 60,00 1
19 86 70,00 71,15 52,50 2
20 84 75,00 73,08 40,00 1
21 76 70,00 63,46 37,50 1
22 79 70,00 73,08 32,50 2
23 86 72,50 73,08 47,50 2
24 82 62,50 67,31 55,00 2
25 84 77,50 63,46 50,00 1
26 89 70,00 71,15 60,00 2
27 92 70,00 78,85 57,50 2
28 88 70,00 86,54 37,50 2
29 85 67,50 71,15 52,50 2
30 79 60,00 82,69 30,00 2
31 82 67,50 71,15 45,00 2
32 90 70,00 76,92 55,00 2
33 82 70,00 69,23 45,00 1
34 87 77,50 67,31 52,50 1
35 118 87,50 92,31 87,50 2
36 89 75,00 78,85 45,00 2
37 87 70,00 78,85 45,00 2
38 83 65,00 65,38 57,50 2
76
Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan
Gaya
39 86 72,50 69,23 52,50 1
40 87 67,50 73,08 55,00 2
41 81 70,00 69,23 42,50 1
42 81 70,00 65,38 47,50 1
43 85 77,50 78,85 32,50 2
44 79 67,50 61,54 50,00 1
45 84 67,50 73,08 47,50 2
46 90 75,00 76,92 50,00 2
47 85 67,50 73,08 50,00 2
48 86 72,50 82,69 35,00 2
49 89 75,00 73,08 52,50 1
50 74 67,50 65,38 32,50 1
51 87 82,50 80,77 30,00 1
52 83 77,50 67,31 42,50 1
53 84 75,00 76,92 35,00 2
54 76 70,00 63,46 37,50 1
55 77 67,50 69,23 35,00 2
56 87 67,50 73,08 55,00 2
57 87 70,00 76,92 47,50 2
58 86 67,50 71,15 55,00 2
59 82 70,00 73,08 40,00 2
60 82 70,00 80,77 30,00 2
61 89 67,50 75,00 57,50 2
62 79 62,50 65,38 50,00 2
63 85 75,00 67,31 50,00 1
64 79 62,50 75,00 37,50 2
65 80 70,00 76,92 30,00 2
66 79 67,50 76,92 30,00 2
67 77 65,00 73,08 32,50 2
68 83 70,00 71,15 45,00 2
69 84 67,50 76,92 42,50 2
70 81 72,50 63,46 47,50 1
71 81 65,00 67,31 50,00 2
72 78 75,00 65,38 35,00 1
73 89 70,00 78,85 50,00 2
74 88 70,00 78,85 47,50 2
75 95 80,00 82,69 50,00 2
76 93 77,50 75,00 57,50 1
77 77 75,00 65,38 32,50 1
77
Nores skor tot Otoriter (%) Demokratis (%) Laissez faire (%) Kecenderungan
Gaya
78 79 67,50 67,31 42,50 1
79 88 70,00 76,92 50,00 2
80 89 70,00 82,69 45,00 2
81 92 77,50 78,85 50,00 2
82 97 75,00 92,31 47,50 2
83 86 70,00 76,92 45,00 2
84 86 67,50 73,08 52,50 2
85 85 75,00 75,00 40,00 4
86 74 70,00 61,54 35,00 1
87 79 65,00 67,31 45,00 2
88 88 72,50 73,08 52,50 2
89 92 77,50 80,77 47,50 2
90 85 72,50 75,00 42,50 2
91 73 57,50 73,08 30,00 2
92 88 67,50 84,62 42,50 2
Keterangan Gaya Kepemimpinan
1 = Otoriter
2 = Demokratis
3 = Leissez Faire
Lampiran 2 Praktik Kepemimpinan ketua lembaga kemahasiswaan IPB
Nores skor tot Kategori
1 89 2
2 138 3
3 117 3
4 125 3
5 134 3
6 122 3
7 107 2
8 109 2
9 114 3
10 104 2
11 122 3
12 129 3
13 117 3
14 141 3
15 117 3
Nores skor tot Kategori
16 135 3
17 127 3
18 118 3
19 106 2
20 139 3
21 124 3
22 119 3
23 116 3
24 133 3
25 120 3
26 117 3
27 105 2
28 129 3
29 118 3
30 124 3
78
Nores skor tot Kategori
31 116 3
32 109 2
33 120 3
34 122 3
35 133 3
36 139 3
37 115 3
38 120 3
39 104 2
40 129 3
41 125 3
42 117 3
43 134 3
44 105 2
45 112 3
46 140 3
47 111 3
48 132 3
49 121 3
50 121 3
51 117 3
52 96 2
53 135 3
54 122 3
55 122 3
56 119 3
57 121 3
58 123 3
59 127 3
60 120 3
61 124 3
62 118 3
63 130 3
64 116 3
Nores skor tot Kategori
65 139 3
66 121 3
67 127 3
68 134 3
69 124 3
70 104 2
71 122 3
72 125 3
73 147 3
74 137 3
75 109 2
76 124 3
77 116 3
78 124 3
79 124 3
80 132 3
81 129 3
82 124 3
83 120 3
84 120 3
85 117 3
86 110 2
87 131 3
88 107 2
89 109 2
90 132 3
91 135 3
92 126 3
Keterangan : 1. Rendah (30-70) 2. Sedang (71-110) 3. Tinggi (111-150)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 16
April 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara pasangan Rachman dan Siti Ngaisah. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri Wates 6 pada tahun 2002, kemudian melanjutkan
pendidikan di SMPN 1 Mojokerto dan lulus pada tahun
2005. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan sekolah
menengah atas di SMAN 1 Puri Mojokerto dan pada tahun yang sama penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan. Pada tahun kedua di IPB
penulis masuk ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif di OMDA (Organisasi Mahasiswa
Daerah Asal) HIMASURYA Plus, ketua Badan Pelaksana (BP) MPM KM IPB yang
membawahi UKM pada periode 2009-2010, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)
FEMA sebagai ketua periode 2010-2011, serta menjadi ketua angkatan 45 di
departemen IKK. Penulis merupakan penerima Program Beasiswa PPSDMS (Program
Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis) Nurul Fikri pada tahun 2010-2012.
Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat dan membentuk
komunitas Sanggar Juara.