72
HUBUNGAN ANTARA UKURAN PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN TINGKAT MASTITIS SUBKLINIS DI BEBERAPA TINGKAT LAKTASI SKRIPSI Oleh: Ryan Himawan Wibowo NIM.135050107111002 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

HUBUNGAN ANTARA UKURAN PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN TINGKAT MASTITIS …repository.ub.ac.id/5490/1/Ryan Himawan Wibowo.pdf · 2020. 5. 7. · HUBUNGAN ANTARA UKURAN PUTING SAPI PERAH

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • HUBUNGAN ANTARA UKURAN

    PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN

    TINGKAT MASTITIS SUBKLINIS DI

    BEBERAPA TINGKAT LAKTASI

    SKRIPSI

    Oleh:

    Ryan Himawan Wibowo

    NIM.135050107111002

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • HUBUNGAN ANTARA UKURAN

    PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN

    TINGKAT MASTITIS SUBKLINIS DI

    BEBERAPA TINGKAT LAKTASI

    SKRIPSI

    Oleh:

    Ryan Himawan Wibowo

    NIM.135050107111002

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

    Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • i

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 16 Oktober

    1995 sebagai putra pertama dari Bapak Eko Suko Wibowo dan

    Ibu Endang Wijayanti serta memiliki seorang adik laki-laki

    bernama Henry Hilmawan Wibowo. Pendidikan formal yang

    ditempuh penulis adalah TK Tunas Rimba II (1999-2001), SD

    Muhammadiyah 1 Samarinda (2001-2007), SMPN 1

    Samarinda (2007-2010), dan SMAN 1 Samarinda (2010-

    2013). Penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas

    Brawijaya pada tahun 2013 melalui jalur mandiri (SPMK).

    Penulis aktif mengikuti kegiatan akademik dan non

    akademik yang berada di Fakultas Peternakan Brawijaya

    seperti menjadi bagian dari tim asisten praktikum

    Epidemiologi 2017, Homeband sebagai anggota Divisi

    Management Event 2013-2014, Barisan Orang Sukses (BOS)

    sebagai anggota Divisi Animal Product Club (APC) 2014-

    2016, dan komunitas sosial Youth on Charity (YOC) sebagai

    anggota. Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan

    di Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung, Malang selama 1

    bulan dengan judul laporan “Manajemen Produksi Yoghurt di

    Koperasi Agro Niaga Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang”.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis

    panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah

    melimpahkan rahmat dan hidayah–Nya sehingga penyusunan

    skripsi yang berjudul “Hubungan antara Ukuran Puting

    Sapi Perah PFH dengan Tingkat Mastitis Subklinis di

    Beberapa Tingkat Laktasi” ini dapat diselesaikan dengan

    baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata

    satu (S-1) Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan

    Universitas Brawijaya.

    Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan

    skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

    telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi

    ini, terutama kepada:

    1. Bapak Eko Suko Wibowo, Ibu Endang Wijayanti, Henry

    Hilmawan Wibowo, dan keluarga besar atas doa dan

    dukungannya baik secara moriil maupun materiil.

    2. Prof. Dr. Pratiwi Trisunuwati, drh., MS. ,selaku

    Pembimbing Utama dan Ir. Endang Setyowati, MS.,

    selaku Pemimbing Pendamping yang telah meluangkan

    waktu untuk memberikan pengarahan, koreksi, saran, serta

    bimbingan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

    3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas

    Peternakan Universitas Brawijaya.

    4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP., selaku Ketua Jurusan dan Dr. Ir.

    Imam Thohari, MP., selaku Sekertaris Jurusan yang telah

    membantu dalam kelancaran proses studi.

  • iii

    5. Dr. Agus Susilo, S. Pt, MP selaku Ketua Program Studi

    Peternakan yang telah banyak membina kelancaran proses

    studi.

    6. Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP., Dr. Ir. Imam Thohari, MP.,

    dan Dr. Ir. Irfan H. Djuanidi, M.Sc. selaku penguji atas

    masukan dan saran selama Ujian Sarjana.

    7. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pengurus

    KPSP “Setia Kawan” Nongkojajar, Bapak Jon, Bapak

    Kodir, Bapak Sutrikno, serta Bella dan Bahar yang telah

    menyediakan tempat tinggal, membimbing, mengarahkan,

    dan mendampingi sebagai tempat bertukar pikiran selama

    kegiatan penelitian yang dilakukan di Nongkojajar,

    Pasuruan. Kemudian sahabat GK Family dan Kelas E

    2013 yang telah berjuang bersama, memberikan semangat,

    pengalaman berharga, membantu jalannya penelitian, dan

    penulisan skripsi.

    Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

    penulis dan khususnya para pembaca.

    Malang, Juli 2017

    Penulis,

  • iv

    CORRELATION BETWEEN TEAT SIZE OF FH

    CROSSBRED DAIRY COWS WITH

    SUBCLINICAL MASTITIS LEVEL IN SOME

    LACTATION STAGE

    Ryan Himawan Wibowo1), Pratiwi Trisunuwati2), Endang

    Setyowati2)

    1)Student of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University 2)Lecturer of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University

    E-mail : [email protected])

    ABSTRACT

    The objective of this study was to determine the

    relationship between teat measurements (teat length, diameter,

    and height from the floor) with subclinical mastitis (SCM)

    level using California Mastitis Test (CMT). This study used

    364 teats from 91 Friesian Holstein crossbred dairy cows

    (PFH) in 1st- 4th lactation from 24 local farmers in Gunung

    Sari village at Nongkojajar District, Pasuruan, East Java,

    Indonesia. Teat length and diameter were measured using

    calliper while teat height using measuring tape. Data were

    analyzed using linear regression and correlation. The result

    showed that teat mastitis incident percentage in 1st- 4th

    lactation are 31.52%, 30.68%, 33.70%, and 45.65%. The

    relationship between front and rear teat size with subclincal

    mastitis level in 1st - 4th lactation were ranged from 0.17-0.480

  • v

    means that the correlation between teat size with subclinical

    mastitis are not strong enough (r

  • vi

    HUBUNGAN ANTARA UKURAN PUTING SAPI

    PERAH PFH DENGAN TINGKAT MASTITIS

    SUBKLINIS DI BEBERAPA TINGKAT LAKTASI

    Ryan Himawan Wibowo1, Pratiwi Trisunuwati2, Endang

    Setyowati2

    1Mahasiswa Fakultas Peternakan Univeritas Brawijaya 2Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

    RINGKASAN

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

    hubungan antara ukuran puting (panjang, diameter middle

    point, dan jarak dari ujung puting hingga dasar lantai kandang)

    sapi perah peranakan Friesian Holstein (PFH) dengan tingkat

    mastitis subklinis menggunakan California Mastitis Test

    (CMT) pada beberapa tingkat laktasi. Tingkat mastitis yang

    dimaksud adalah interpretasi dari skor CMT berdasarkan

    metode penilaian Ruegg (2005) yaitu skor CMT negatif (-),

    Trace, 1, 2, dan 3 yang diinterpretasikan menjadi tingkat

    mastitis 0, 1, 2, 3, dan 4. Penelitian dilakukan di peternakan

    sapi perah rakyat Desa Gunung Sari yang berada dalam

    wilayah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan

    Nongkojajar, Pasuruan, tepatnya di Desa Gunungsari, Jl.

    Gunungsari, Kalipucang, Tutur, Pasuruan, Jawa Timur dan

    berjarak ±5 km dari KPSP “Setia Kawan” yang beralamatkan

    di Jalan Raya Nongkojajar No. 38, Wonosari, Tutur, Pasuruan,

  • vii

    Jawa Timur. Pengambilan data di lapang dilakukan mulai

    tanggal 16 Desember 2016 hingga 21 Januari 2017.

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi

    perah PFH milik 24 peternakan rakyat kelompok "Gunung

    Sari" yang terdaftar sebagai anggota KPSP "Setia Kawan"

    Nongkojajar sebanyak 91 ekor (23 ekor pada laktasi 1, 3, dan

    4, serta 22 ekor pada laktasi 2). Metode penelitian ini adalah

    studi kasus dengan melakukan observasi dan wawancara

    dengan kriteria sampel purposive sampling, yaitu sapi perah

    PFH yang berada diatas bulan laktasi ke-5. Panjang dan

    diameter puting diukur dengan menggunakan jangka sorong

    dengan ketelitian 0,05 cm dan jarak puting dari lantai kandang

    diukur dengan menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1

    cm. Data dianalisa dengan regresi dan korelasi sederhana

    untuk mengetahui keeratan hubungan (Koefisien korelasi= r)

    antara panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang

    pada puting kuartir depan dan belakang dengan tingkat

    mastitis subklinis.

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kejadian

    mastitis subklinis pada puting di tingkat laktasi 1, 2, 3, dan 4

    adalah 31,53%, 30,68%, 33,70%, and 45,63%. Hasil analisa

    data regresi linear menjelaskan bahwa koefisien korelasi (r)

    antara panjang, diameter,dan jarak puting dari lantai kandang

    bervariasi antara 0,017-0,480 yang tergolong tidak erat

    kaitannya dengan tingkat mastitis (r

  • viii

    DAFTAR ISI

    ISI Halaman

    RIWAYAT HIDUP ............................................... i

    KATA PENGANTAR ........................................... ii

    ABSTRACT ........................................................... iv

    RINGKASAN ........................................................ vi

    DAFTAR ISI .......................................................... viii

    DAFTAR TABEL.................................................. xii

    DAFTAR GAMBAR ............................................. xiii

    DAFTAR LAMPIRAN ......................................... xiv

    DAFTAR SINGKATAN ....................................... xvii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. ......................................................... Latar

    Belakang .............................................. 1

    1.2. ......................................................... Rumusan

    Masalah ................................................ 3

    1.3. ......................................................... Tujuan

    Penelitian.............................................. 3

    1.4. ......................................................... Manfaat

    Penelitian.............................................. 3

    1.5. ......................................................... Kerangka

    Pikir Penelitian ..................................... 3

    1.6. ......................................................... Hipotesis ......................................... 5

  • ix

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Friesian Holstein (FH) ....................... 6

    2.1.1. Peranakan Friesian

    Holstein (PFH) di Indonesia ............ 7

    2.2. Ambing Sapi Perah .............................. 8

    2.3. Mastitis ................................................ 10

    2.3.1. Infeksi oleh Streptococcus ........ 13

    2.3.2. Infeksi oleh Staphylococcus ...... 13

    2.4. Faktor Penyebab Infeksi

    Mastitis Subklinis ............................... 14

    2.4.1. Sanitasi dan Prosedur

    Pemerahan ................................ 14

    2.4.2. Bahan Alas Kandang ................. 16

    2.4.3. Kondisi Laktasi Sapi Perah ....... 16

    2.4.3.1. Tingkat Laktasi ............ 16

    2.4.3.2. Masa Kering

    (Dry off Period) ........... 17

    2.4.3.3. Bulan Laktasi ............... 17

    2.4.4. Bentuk Ambing dan Puting ...... 18

    2.5. Uji California Mastitis Test

    (CMT) ................................................. 21

    BAB III MATERI DAN METODE

  • x

    PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............ 24

    3.2. Materi Penelitian .............................. 24

    3.2.1. Bahan ........................................ 24

    3.2.2. Alat ........................................... 24

    3.3. Metode Penelitian ................................ 25

    3.3.1. Prosedur Pengambilan

    Sampel ..................................... 26

    3.3.2. Prosedur Pegukuran Puting ...... 26

    3.3.2.1. Panjang Puting ............. 26

    3.3.2.2. Diameter Puting ........... 27

    3.3.2.3. Jarak Puting dari

    Lantai Kandang ........... 27

    3.3.3. Prosedur CMT ........................... 28

    3.4. Variabel yang diamati.......................... 29

    3.5. Analisa Data ........................................ 29

    3.6. Batasan Istilah ..................................... 29

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Gambaran Umum Lokasi

    Penelitian ........................................... 31

    4.2. Rata-rata Ukuran Puting

    di Berbagai tingkat laktasi .................. 32

    4.3. Tingkat Kejadian Mastitis

  • xi

    Subklinis ............................................. 34

    4.4. Hubungan antara Skor CMT

    dengan Ukuran Puting ....................... 36

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan .......................................... 40

    5.2. Saran .................................................... 40

    DAFTAR PUSTAKA ............................................ 41

    LAMPIRAN ........................................................... 50

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. ............................................................................................................................. E

    stimasi jumlah sel somatik/ ml

    susu CMT ..................................................... 22

    2. ............................................................................................................................. R

    ata-rata ukuran puting pada berbagai

    tingkat laktasi ............................................... 33

    3. ............................................................................................................................. K

    oefisien korelasi (r) antara ukuran

    puting dengan tingkat mastitis....................... 37

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. ................................................................... Diagram

    kerangka pikir .......................................... 5

    2. ............................................................................................................................ I

    lustrasi sayatan melintang dan

    membujur ambing sapi perah ................... 9

    3. ............................................................................................................................ S

    kor ambing dan puting

    berdasar kekuatannya ............................... 19

    4. ................................................................... Panjang

    puting ....................................................... 27

  • xiv

    5. ................................................................... Diameter

    puting ....................................................... 27

    6. ................................................................... Jarak

    puting dari lantai kandang ........................ 28

    7. ............................................................................................................................ J

    arak antara kpsp “setia kawan”

    dengan lokasi penelitian .......................... 32

    8. ............................................................................................................................ T

    ingkat mastitis pada puting

    di berbagai tingkat laktasi ........................ 35

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. ................................................................... Data hasil

    penelitian ................................................. 50

  • xv

    2. ................................................................... Persentasi

    kejadian mastitis subklinis ....................... 56

    3. ................................................................... Data

    kepemilikan ternak ................................... 59

    4. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 60

    5. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 63

    6. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 66

    7. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ..... 69

    8. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 72

    9. ............................................................................................................................ H

    ubungan panjang puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 75

    10. .......................................................................................................................... H

    ubungan panjang puting belakang

  • xvi

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 78

    11. .......................................................................................................................... H

    ubungan panjang puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 81

    12. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 84

    13. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 87

    14. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ..... 90

    15. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting depan

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 93

    16. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 96

    17. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 99

  • xvii

    18. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 102

    19. .......................................................................................................................... H

    ubungan diameter puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 105

    20. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting depan dengan

    tingkat mastitis pada laktasi 1 .................. 108

    21. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting depan dengan

    tingkat mastitis pada laktasi 2 .................. 111

    22. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting depan dengan

    tingkat mastitis pada laktasi 3 .................. 114

    23. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting depan dengan

    tingkat mastitis pada laktasi 4 .................. 117

    24. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 120

    25. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting belakang

  • xviii

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 123

    26. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 126

    27. .......................................................................................................................... H

    ubungan jarak puting belakang

    dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 129

    28. ................................................................. Dokument

    asi Penelitian ........................................... 132

    DAFTAR SINGKATAN

  • xix

    0C : Derajat Celcius

    Cm : Centimeter

    CMT : California Mastitis Test

    FH : Friesian Holstein

    IU : International Unit

    Kg : Kilogram

    Mdpl : Meter diatas Permukaan Laut

    MSK : Mastitis Sub Klinis

    PFH : Peranakan Friesian Holstein

    SCC : Somatic Cell Count

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Mastitis merupakan penyakit radang pada kelenjar ambing

    ternak betina yang disebabkan oleh serangan dari

    mikroorganisme patogen (Trisunuwati, 2011). Mastitis terbagi

    menjadi 2 jenis, yaitu mastitis subklinis yang tidak dapat

    diamati bentuk fisiknya namun menyebabkan berkurangnya

    total produksi susu dan mastitis klinis yang ditandai dengan

    gejala fisik berupa ambing yang membengkak, kemerahan,

    panas, dan sakit pada saat diperah. Susu yang berasal dari

    ambing mastitis akan mengalami perubahan warna putih susu

    menjadi kebiruan, rasa agak manis berubah menjadi agak asin,

    bau susu berubah menjadi asam, konsistensi menjadi encer,

    penurunan jumlah kasein, protein, dan laktosa, serta terjadi

    penggumpalan bila diuji dengan alkohol berkadar 72%

    (Subronto, 2003). Sutarti, Budiharta, dan Sumarto (2005)

    menyatakan bahwa kurangnya kebersihan lantai kandang dan

    ambing menjadi faktor utama penyebab munculnya infeksi

    mastitis dari segi manajemen. Kandang yang selalu terjaga

    kebersihannya dapat meminimalisir tingkat kejadian mastitis

    dan meningkatkan kualitas susu yang akan diproduksi (Utami,

    Radiati, dan Surjowardojo, 2014).

    Utami (2014) menyatakan bahwa prevalensi mastitis

    subklinis dapat mencapai 42,5% dari jumlah populasi ternak

    yang ada. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab

    rendahnya produksi susu/ ekor sapi di Indonesia. Salah satu

    upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran

    mastitis adalah dengan memilih ternak yang tidak rentan

  • 2

    terhadap infeksi mastitis baik klinis maupun subklinis.

    Penelitian yang dilakukan oleh Bardakcioglu, Sekkin, and

    Toplu (2011) mengungkapkan bahwa beberapa pengukuran

    puting diduga memiliki hubungan yang nyata dengan kejadian

    mastitis. Pengukuran tersebut berupa panjang, diameter, dan

    jarak ujung puting dari lantai kandang yang ditemukan

    berbeda nyata dimana sapi yang terinfeksi cenderung memiliki

    lebar diameter middle point yang lebih lebar dan jarak ujung

    puting dari lantai kandang yang lebih rendah, sementara

    panjang puting tidak berbeda nyata. Zwertvaegher, De

    Vliegher, Verbist, Van Nuffel, Baert, and Van Weyenberg

    (2013) menambahkan bahwa pada sapi yang lebar diameter

    putingnya memiliki jumlah sel somatik pada susu yang

    cenderung lebih tinggi. Puting yang pendek akan menyulitkan

    proses pemerahan (Subronto, 2003). Ambing yang besar

    memiliki jarak ujung puting yang lebih dekat dengan tanah

    dan memiliki produksi susu yang tinggi. Hal ini dapat

    menyebabkan membukanya streak canal dan lubang sphincter

    yang lebih lama sehingga bakteri penyebab mastitis mudah

    menyerang.

    Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian

    mengenai seberapa erat hubungan antara ukuran puting, yaitu

    panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang dengan

    tingkat keparahan mastitis berdasarkan uji estimasi jumlah sel

    somatik menggunakan larutan CMT (California Mastitis Test).

    Bila ditemukan korelasi yang erat, maka dapat digunakan

    sebagai dasar dalam memilih ukuran puting yang sesuai dan

    menekan kemungkinan terjadi dan menyebarnya infeksi

    mastitis subklinis di dalam suatu farm.

  • 3

    1.2. Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah

    ukuran panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang

    memiliki hubungan yang erat dengan tingkat mastitis

    berdasarkan CMT pada sapi perah PFH

    1.3. Tujuan

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

    hubungan antara panjang, diameter, dan jarak puting dari

    lantai kandang dengan tingkat mastitis berdasarkan CMT pada

    sapi perah PFH.

    1.4. Manfaat

    Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam

    mengetahui hubungan antara ukuran puting, yaitu panjang,

    diameter, dan jarak puting dari lantai kandang dengan tingkat

    mastitis subklinis untuk mengetahui ukuran puting yang lebih

    rentan terhadap infeksi mastitis subklinis sehingga dapat

    dilakukan tindakan pencegahan dan penanganan lebih dari

    awal.

    1.5. Kerangka Pikir

    Mastitis sangat sering terjadi dalam peternakan sapi perah

    hingga >40% populasi sebagai akibat dari kurangnya

    kebersihan kandang dan ambing (Sutarti dkk., 2005; Utami

    dkk., 2014). Tingginya prevalensi mastitis di lapang

    merupakan ancaman bagi para pelaku usaha peternakan sapi

    perah. Adanya mastitis akan menyebabkan stress dan

  • 4

    berkurangnya jumlah produksi susu yang akan berimbas

    kepada kerugian. Infeksi ini dapat diobati dengan beberapa

    jenis antibiotik seperti penicillin, namun bakteri penyebab

    infeksi mastitis sangat banyak jenisnya dan menghilangkan

    mastitis secara keseluruhan adalah hal yang sulit. Adapun

    antibiotik sendiri menghasilkan residu yang mengaruskan susu

    dibuang hingga waktu tertentu. Hal ini mempertegas bahwa

    mencegah lebih baik daripada mengobati dalam hal

    penanganan mastitis.

    Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi

    tingkat kejadian mastitis adalah dengan memilih ternak yang

    cenderung lebih tahan terhadap mastitis. Bardakcioglu et al.,

    (2011) menyatakan bahwa ukuran puting, yaitu panjang,

    diameter, dan jarak ujung puting dari lantai kandang memiliki

    hubungan dengan tingkat mastitis. Hasil penelitian tersebut

    menjelaskan bahwa puting yang terinfeksi mastitis subklinis

    cenderung menunjukkan ukuran diameter yang lebih lebar dan

    jarak ujung puting yang rendah dari lantai kandang. Oleh

    karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

    seberapa erat hubungan panjang, diameter, dan jarak ujung

    puting dari lantai kandang dengan tingkat mastitis.

    Pengukuran panjang dan diameter puting sapi perah dapat

    diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian

    0,05cm dan jarak puting dari lantai kandang diukur dengan

    menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1 cm (Coban,

    Sabuncuoglu, and Tuzemen, 2009). Proses pengukuran

    dilakukan dengan cara manual dan langsung di lapang

    sebelum proses pemerahan. Tingkat mastitis diukur dengan

    menggunakan uji California Mastitis Test (CMT) berdasarkan

    tingkat kekentalan (Ruegg, 2005). Hasil akhir korelasi antara

  • 5

    ukuran puting dan tingkat mastitis kemudian dihitung sehingga

    dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui ukuran

    puting yang rentan terhadap mastitis. Diagram kerangka pikir

    dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Diagram kerangka pikir

    1.6. Hipotesis

    Panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang

    diduga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat mastitis

    berdasarkan CMT pada sapi perah PFH di berbagai tingkat

    laktasi.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Friesian Holstein (FH)

    Sapi FH adalah breed sapi perah yang berasal dari Eropa

    dan dikembangkan di Belanda. Sapi Fries Holland adalah

    julukan nama sapi ini di Belanda. Sapi FH dikenal di dunia

    sebagai ternak perah dengan produksi susu tinggi dan paling

    banyak dibudidayakan pada industri peternakan sapi perah.

    Ciri khas dari sapi ini adalah corak hitam dan putih. Secara

    taksonomi sapi perah FH masuk kedalam kingdom Animalia,

    filum Chordata, kelas Mammalian, ordo Artiodactylia, sub

    ordo Ruminansia, famili Boviadae, genus Bos, dan spesies Bos

    taurus. Sapi perah FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos

    Taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk

    (Yuliyarto dan Putra, 2014). Ukuran badan, kecepatan

    pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus membuat sapi FH

    disukai dan dibudidayakan tidak hanya untuk produksi susu

    saja tapi juga untuk produksi daging.

    Secara garis besar karakteristik sapi FH, yaitu bercorak

    hitam belang putih pada tubuhnya dengan pembatas yang

    jelas, terdapat warna putih berbentuk segi tiga di dahi, kepala

    panjang, sebagian kecil saja berwarna putih atau hitam

    seluruhnya rambut ekor berwarna putih, dan saat dewasa bobot

    badannya bisa mencapai ±700 kg. Sapi perah FH merupakan

    bangsa sapi perah berbadan besar dengan produksi susu tinggi

    dibandingkan bangsa sapi perah lainnya. Produksi susu sapi

    perah FH di negara asalnya dapat mencapai ±6.335 liter/laktasi

    sementara sapi perah di Indonesia memiliki rata-rata

    kemampuan produksi hanya ±3.660 liter/laktasi dengan kadar

  • 7

    lemak 3,7%. Produksi susu sapi perah FH di Amerika Serikat

    rata-rata ±7.245 kg/laktasi sedangkan produksi rata-rata di

    Indonesia adalah ±10 liter/ekor/hari atau ±3.050 kg/laktasi

    (Susilorini, Sawitri, dan Muharlien, 2008).

    2.1.1. Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Indonesia

    Sapi perah PFH adalah sapi perah yang ada Indonesia yang

    merupakan hasil keturunan dari induk sapi FH Indonesia yang

    dikawinkan secara alami maupun melalui IB (Inseminasi

    Buatan) dengan straw semen sapi FH murni. Adinata dan

    Sumanddidan (2009) menyatakan bahwa kondisi iklim

    subtropis Eropa sangat berbeda dengan iklim tropis Indonesia,

    sehingga penampilan produksi sapi perah di Indonesia kurang

    maksimal. Keunggulan dari sapi perah PFH dibandingkan sapi

    FH murni adalah lebih tahan panas dan lebih mudah

    beradaptasi pada iklim tropis dengan tidak mengurangi

    produksi susunya. Sapi perah PFH merupakan sapi yang

    paling cocok untuk dibudidayakan di Indonesia (Ratnawati,

    Rasyid, dan Affandhy, 2008).

    Sistem usaha peternakan sapi perah di Indonesia

    diklasifikasikan berdasarkan skala usaha yang terdiri atas

    perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah

    rakyat. Usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha

    peternakan yang memiliki total sapi perah di bawah 20 ekor

    dalam pemeliharaanya, sedangkan perusahaan peternakan sapi

    perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20

    ekor sapi perah dalam pemeliharaanya. Kelemahan dari sistem

    usaha peternakan sapi perah rakyat adalah penerapan

    manajemen pemeliharaan sapi perah yang belum sesuai dan

    harus dilakukan perbaikan pada aspek teknis atau tata laksana

  • 8

    pemeliharaan, terutama pengetahuan dan pencegahan penyakit

    pada aspek kesehatan hewan, serta seleksi pada aspek

    pembibitan dan reproduksi. Kurangnya penerapan prosedur

    pemerahan yang baik pada pra, saat, dan pasca pemerahan

    menyebabkan ternak yang dibudidayakan di skala rumah

    tangga umumnya memiliki jumlah produksi susu yang rendah

    sehingga penampilan produksi sapi perah PFH Indonesia

    tidak maksimal bila dibandingkan dengan potensinya

    (Simamora, Fuah, Attabany, dan Burhanuddin, 2015).

    Sapi perah PFH menunjukkan produksi terbaik pada suhu

    lingkungan 18,30 C dengan kelembaban 55%. Suhu lebih dari

    270 C akan menyebabkan stress sehingga sapi perah PFH akan

    banyak minum dan konsumsi pakan akan berkurang sehingga

    produksi susu yang dihasilkan tidak akan maksimal (Yani dan

    Purwanto, 2006). Usmiati dan Abu (2009) melaporkan bahwa

    usaha peternakan sapi perah PFH di Indonesia pada umumnya

    dilakukan di ketinggian lebih dari 800 mdpl yang bertujuan

    untuk penyesuaian lingkungan yang sesuai untuk

    memaksimalkan produksi.

    2.2. Ambing Sapi Perah

    Ambing sapi terdiri atas 4 perempatan atau kuartir.

    Nickerson and Akers (2002) menyatakan bahwa pada sapi

    perah PFH, ambing dibagi menjadi 2 belahan yang nyata, yaitu

    ambing kanan dan kiri yang dipisahkan oleh median

    suspensory ligament yang merupakan penahan agar ambing

    tetap menempel kuat pada dinding tubuh ventral. Serat dari

    lateral ligament akan bersinambung dengan median

    suspensory ligament , tetapi tersebar di kedua sisi ambing

    sehingga terlihat menggantung dan ditahan dengan jaringan

  • 9

    ikat (connective tissue). Ilustrasi bentuk ambing melintang

    dan membujur dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Ilustrasi sayatan melintang (a) dan membujur (b)

    ambing sapi perah (Nickerson and Akers, 2002)

    Kenaikkan kemampuan menampung cairan pada ambing

    berbeda pada tiap tingkat laktasi, namun ambing paling kuat

    adalah ambing pada tingkat laktasi pertama dan kedua

    dikarenakan ambing masih baru berkembang pada tingkat

    laktasi ini. Pada umur 6-8 tahun perkembangan ukuran ambing

    akan berhenti. Soeharsono (2008) menyatakan bahwa produksi

    (a)

    (b)

  • 10

    susu sapi perah akan terus meningkat hingga tahap dewasa,

    yaitu pada usia 6-8 tahun. Pada umur 2 tahun sapi perah baru

    mencapai 70% dari total produksi susunya saat dewasa, 80%

    pada umur 3 tahun, 90% pada umur 4 tahun, dan 95% pada

    umur 5 tahun.

    Ciri ambing yang baik, yaitu menempel rapat dengan

    dinding tubuh dan tidak molor yang dibuktikan dengan

    suspensory ligament yang kuat. Ciri puting yang baik, yaitu

    tegak lurus dibawah masing-masing kuartir dan sejajar

    simetris posisinya dari sisi samping maupun dari bawah antara

    satu sama lainnya, berbentuk silindris, tidak terlalu pendek (±3

    cm) dan tidak terlalu panjang (±8 cm). Menurut Holstein

    Foundation (2016), panjang ukuran puting normal sapi FH

    adalah 5-5,7 cm dimana puting kuartir depan lebih panjang

    dibandingkan puting kuartir belakang. Puting dari kuartir

    depan memilki standar panjang 6 cm sementara puting dari

    kuartir belakang adalah 5 cm.

    2.3. Mastitis

    Mastitis merupakan penyakit radang pada kelenjar mamae

    hewan betina yang disebabkan oleh mikroorganisme. Faktor

    penyebab kerentanan terhadap mastitis, yaitu umur ternak,

    tingkat laktasi, dan pemerahan yang tidak tuntas (Trisunuwati,

    2011). Mastitis menyebabkan perubahan kualitas fisik dan

    kimia susu yang dihasilkan. Perubahan fisik meliputi

    perubahan warna yang biasanya putih kekuningan berubah

    menjadi putih pucat agak kebiruan, rasa yang agak manis

    berubah menjadi agak asin, bau khas susu berubah menjadi

    agak asam, konsistensi menjadi lebih cair dibanding

    sebelumya dan akan menggumpal bila diuji dengan

  • 11

    menggunakan alkohol kadar 72%. Perubahan kimiawi meliputi

    penurunan jumlah kasein, protein, laktosa, dan kalori

    (Subronto, 2003).

    Mastitis disebut juga sebagai penyakit ekonomis karena

    mastitis menurunkan produksi air susu, ongkos perawatan dan

    pengobatan, menambah biaya replacement stock sapi untuk

    kelangsungan produksi, serta mengurangi pemasukan akibat

    air susu yang harus dibuang karena tidak memenuhi

    persyaratan. Infeksi mastitis terdiri atas mastitis klinis dan

    mastitis subklinis. Mastitis klinis merubah komposisi dan

    bentuk susu, mengurangi produksi susu, dan menunjukkan

    tanda peradangan yang nyata (sakit, panas, bengkak, dan

    kemerahan) yang dapat diamati dengan jelas, sedangkan

    mastitis subklinis tidak dapat dilihat karena tidak

    menunjukkan tanda wujud yang nyata.

    Produksi susu yang meningkat berbanding lurus dengan

    peningkatan tingkat kejadian mastitis subklinis. Berdasarkan

    survei yang telah dilakukan, diketahui bahwa mastitis

    subklinis lebih tinggi tingkat penyebarannya dibandingkan

    dengan mastitis klinis di berbagai negara. Berdasarkan

    berbagai studi, diketahui bahwa mastitis subklinis 15 sampai

    40 kali lebih menyebar dibanding mastitis klinis dan bertahan

    dalam durasi yang lama, sulit dideteksi, dan juga

    mempengaruhi produksi susu secara kualitas dan kuantitas.

    Ambing sapi perah yang terinfeksi mastitis subklinis ini

    mengandung banyak sekali mikroorganisme patogen penyebab

    mastitis subklinis yang dapat menular kepada ambing sapi

    perah lain yang sehat (NAAS, 2013). Sharif, Umer, and

    Muhammad (2009) menyatakan bahwa mastitis seringkali

    muncul segera setelah sapi melahirkan dan aktif memproduksi

  • 12

    susu. Pemberian antibiotik pada saat periode kering dan

    perlakuan dipping pasca pemerahan akan menurunkan

    kemungkinan terjadinya infeksi mastitis.

    Hogeveen, Pyorala, Waller, Hogan, Lam, Oliver,

    Schukken, Barkema, and Hillerton (2011) menyatakan bahwa

    infeksi mastitis subklinis dapat diamati dengan pemeriksaan

    bakteriologi Somatic Cell Count (SCC) yang diterima sebagai

    cara terbaik untuk memprediksi infeksi pada ambing sapi

    semenjak tahun 1960. Sedangkan penentuan SCC di lapang

    dapat dilakukan dengan menggunakan uji CMT yang

    digunakan sebagai metode estimasi jumlah bakteri yang lebih

    mudah, murah, dan cepat prosesnya (FAO, 2014).

    Mastitis disebabkan oleh bakteri yang memasuki kelenjar

    mammary melalui puting. Pencegahan mastitis dilakukan

    dengan didasarkan 2 hal, yaitu meminimalkan adanya bakteri

    di ujung puting dan meningkatkan ketahanan sapi terhadap

    bakteri tersebut. Salah satu usaha pertama yang berhasil dalam

    manajemen mastitis terdapat 5 poin, yaitu:

    a. Perlakuan khusus pada sapi dalam masa kering

    b. Perlakuan opimal terhadap sapi yang terinfeksi mastitis

    subklinis

    c. Melakukan culling pada sapi yang terinfeksi mastitis kronis

    d. Mengoptimalkan pemerahan dan mesin pemerahan sampai

    habis

    e. Melakukan pembersihan pra-pemerahan dan desinfeksi

    post-pemerahan

    Hal tersebut dilakukan untuk mencegah serangan dari

    bakteri patogen pada ambing yang paling sering ditemukan

    saat kasus mastitis, yaitu Streptococcus agalactiae dan

    Staphylococcus aureus yang menyebar dari sapi satu ke

  • 13

    lainnya melalui proses pemerahan. Sedangkan patogen pada

    lingkungan yang sering ditemukan adalah Eshericia coli dan

    Streptococcus uberis. Supar dan Ariyanti (2005) menyatakan

    bahwa jenis bakteri yang dapat diisolasi dari sapi perah

    penderita MSK adalah Streptococcus agalactia,

    Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus epidermidis yang

    mendominasi (91,5%), sedangkan Streptococcus

    dysagalactiae, Streptococcus uberis, Coliform dan lain-lain

    bersifat minoritas (8,5%). Pengendalian MSK secara dry cow

    therapy, disertai dengan manajemen pemerahan yang baik

    dapat menekan kejadian MSK dan menaikkan produksi susu.

    2.3.1. Infeksi oleh Streptococcus

    Bakteri Streptococcus agalactiae merupakan penyebab

    radang ambing yang mengakibatkan kerugian besar hingga

    25% dari susu normal. Bakteri dapat diobati dengan

    menggunakan penicillin 100.000 IU dan dapat dicegah dengan

    selalu menerapkan sanitasi, isolasi pada sapi yang baru masuk,

    dan mencegah orang asing bebas keluar masuk. Infeksi

    ambing oleh Streptococcus uberis dapat berlangsung lama dan

    sulit untuk disembuhkan meski radang yang ditimbulkan

    bersifat ringan dan tidak menular. Streptococcus dysgalactiae

    menyebabkan infkesi ringan, sementara, dan juga tidak

    menulatdari sapi yang terinfeksi ke sapi lainnya (Subronto,

    2003).

    2.3.2. Infeksi oleh Staphylococcus

    Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering

    ditemukan dan mengakibatkan kerusakan yang parah bila

    dibandingkan dengan Staphylococcus epidermidis yang hanya

  • 14

    menginfeksi secara ringan saja. Staphylococcus aureus adalah

    bakteri yang mampu memproduksi enzim koagulase dan

    toksin hemolisin alfa dan beta yang menyebabkan rusaknya

    jaringan dan air susu yang lebih berat. Keberadaan

    Staphylococcus aureus akan meningkat seiring dengan

    bertambahnya usia sapi, hal ini diakibatkan oleh berkurangnya

    fungsi streak canal dan lubang sphincter sebagai penolak

    infeksi pada puting ambing sapi perah yang tua. Bagian tubuh

    sasaran yang sering terinfeksi adalah kelenjar susu, terutama

    bila sanitasi tidak terjaga dengan baik akan menyebabkan

    menyebarnya menularnya mastitis subklinis di kuartir ambing

    dan menular pada sapi perah lain. Pengobatan untuk infeksi

    yang disebabkan bakteri ini sangat sulit untuk dilakukan

    karena memiliki resistensi yang tinggi terhadap antibiotik.

    Infeksi yang terlalu parah harus diberi perlakuan amputasi atau

    dilakukan culling agar tidak menular ke sapi perah lain yang

    sehat (Subronto, 2003).

    2.4. Faktor Penyebab Infeksi Mastitis Subklinis

    2.4.1. Sanitasi dan Prosedur Pemerahan

    Sanitasi kandang adalah hal yang vital dalam manajemen

    pencegahan penyakit. Lingkungan kandang yang kotor

    memiliki risiko terkena mastitis 1,68 kali lebih besar

    dibandingkan dengan lingkungan kandang yang bersih,

    penggunaan air sungai untuk pemeliharaan ternak mempunyai

    risiko 1,27 kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan

    air ledeng, lantai kandang yang bersih mempunyai risiko 0,59

    kali lebih kecil dibandingkan dengan lantai kandang yang

    kotor, sapi yang ambingnya dibersihkan sebelum dilakukan

  • 15

    pemerahan memiliki risiko 0,32 kali lebih kecil jika

    dibandingkan dengan sapi yang ambingnya tidak dibersihkan,

    serta tubuh sapi yang bersih memiliki risiko terkena mastitis

    0,18 kali lebih kecil dibandingkan dengan sapi yang kotor

    (Sutarti, Budiharta, dan Sumarto, 2003).

    Konsumen mengharapkan produk yang minim akan

    kontaminasi dari aktivitas mikroba, perubahan fisik, dan

    kimia. Prosedur pemerahan perlu diperhatikan untuk menjaga

    sanitasi dan kualitas susu yang diproduksi sehingga terbebas

    dan dapat dicegah dari kemungkinan infeksi mikroorganisme

    patogen penyebab mastitis. Abubakar, Sunarko, Sutrasno,

    Siwi, Kumalajati, Supriadi, Marsudi, dan Budiningsih (2009)

    menyatakan bahwa usaha untuk melakukan pencegahan

    mastitis dapat dilakukan dengan melaksanakan 3 metode

    pemerahan, yaitu:

    a. Fase persiapan pemerahan, yaitu pembersihan kandang,

    pecucian ambing, dan puting, menenangkan sapi, persiapan

    alat pemerahan oleh petugas kandang seperti milk can,

    saringan, dan strip cup

    b. Fase pemerahan, yaitu rangsangan pada ambing dan proses

    pemerahan

    c. Fase pasca pemerahan, yaitu pencucian ambing dan puting,

    penanganan susu hasil produksi, pencucian alat, dan

    memandikan sapi

    Pengetahuan di lapang mengenai milking hygiene dalam

    prosedur pemerahan sapi perah masih kurang diterapkan,

    sehingga cara pemerahan yang salah sering kali ditemukan

    pada petugas kandang (Simammora dkk., 2015). Kondisi

    petugas saat melakukan pemerahan juga memberikan

    pengaruh terhadap tingkat kejadian mastitis pada peternakan

  • 16

    sapi perah. Peternakan rakyat di Indonesia umumnya

    melakukan pemerahan secara manual sebanyak 2 kali dalam

    sehari. Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa

    tangan pemerah ternyata dapat berperan sebagai sumber

    kontaminan dengan ditemukannya Staphylococcus aureus

    rata-rata sebanyak 1,4x10 CFU/ml koliform sebanyak 3,7x104

    CFU/ml di tangan pemerah meski jumlah mikroba tersebut

    masih dalam ambang normal, yaitu dibawah 1x106 CFU/ml.

    Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mencuci tangan

    dengan sabun merupakan sebuah keharusan dalam langkah

    menjaga sterilitas ambing sapi perah, karena dapat menjadi

    media penularan bakteri seperti Staphylococcus aureus dari

    sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

    2.4.2. Bahan Alas Kandang

    Bahan alas kandang dapat mempengaruhi tingkat kejadian

    mastitis pada sapi perah karena sapi menghabiskan waktunya

    sebesar 50%-60% untuk bersandar dar tidur di lantai. Ada 3

    jenis bahan alas kandang yang umum digunakan pada

    peternakan sapi perah rakyat yaitu kayu, bambu, dan karet.

    Aziz, Surjowardojo, dan Sarwiyono (2013) menyatakan bahwa

    hubungan antara bahan lantai kandang dengan tingkat kejadian

    mastitis tertinggi berada pada sapi perah yang menggunakan

    lantai kandang berbahan kayu, kemudian diikuti oleh tingkat

    kejadian mastitis pada bahan bambu kemudian bahan karet,

    lalu bahan karet yang lebih rendah tingkat kejadian

    mastitisnya karena bahan karet bersifat mudah dibersihkan,

    rata, awet, kuat, dan tidak menyerap air.

    2.4.3. Kondisi Laktasi Sapi Perah

  • 17

    2.4.3.1. Tingkat Laktasi

    Tingkat laktasi adalah masa produksi susu berdasar

    banyaknya jumlah kelahiran. Semakin tua umur sapi, semakin

    meningkat pula tingkat kejadian mastitis subklinis. Sapi perah

    yang berada dalam laktasi pertama dengan estimasi umur 2,5-3

    tahun memiliki tingkat kejadian mastitis subklinis yang rendah

    yang kemudian akan terus meningkat seiring bertambahnya

    masa laktasi (Pisestiyani, Lelana, dan Septiani, 2016). Umur

    5-8 tahun diestimasikan berada pada tingkat laktasi ke-3 dan 4

    adalah umur yang rentan terhadap infeksi mastitis subklinis

    dimana tingkat penyebarannya adalah 40,9% pada sapi perah

    persilangan dan 54,1% tingkat penyebarannya pada sapi yang

    memproduksi susu diatas 10 liter (Islam and Rahman, 2011;

    Tripura, Sarker, Roy, Parvin, Rahman, and Islam, 2014).

    2.4.3.2. Masa Kering (Dry off Period)

    Masa ideal produksi susu sapi perah adalah 305 hari lalu

    ditambahkan dengan masa kering yang berguna untuk

    mengiistirahatkan sapi dan mengembalikan sel-sel yang rusak.

    Masa pengeringan pada umumnya adalah 8 minggu (Collier,

    Dawson, and Pezeshki 2011). Tingkat kejadian mastitis paling

    besar terjadi pada saat periode kering/ masa kering. Periode

    kering awal (minggu 1 atau 2) adalah waktu dengan tingkat

    kejadian tertinggi dari mastitis subklinis. Beberapa faktor yang

    menyebabkan kerentanan pada periode kering awal adalah:

    susu tidak lagi dikelurkan secara periodik, akumulasi produksi

    susu yang tidak di perah di dalam ambing, lesi dari puting,

    tidak dilakukannya desinfeksi pada ujung puting (Hurley,

    2010). Pantoja, Hulland, and Ruegg (2009) menyatakan

    bahwa kejadian mastitis subklinis sebelum periode kering

  • 18

    dapat meningkat hingga 2,7 dan berpotensi menjadi mastitis

    klinis pasca periode kering.

    2.4.3.3. Bulan Laktasi

    Bulan laktasi adalah masa dimana sapi perah aktif dalam

    memproduksi susu segar. Menurut manajemen sapi perah yang

    benar, standar lamanya sapi perah laktasi aktif memproduksi

    susu adalah 305 hari (10 bulan) kemudian dilakukan masa

    kering dimana sapi tidak diperah selama 60 hari (2 bulan) dan

    memiliki jarak beranak (calving interval) 360-365 hari (12

    bulan). Puncak produksi susu sapi perah berawal dari 30-60

    hari (bulan 1-2). Meierhover, Muller, Mittman, Demba,

    Entorf, Hoffman, Ammon, Rudovsky, and Brunsch (2013)

    menyatakan bahwa dari beranak, sapi perah akan mencapai

    puncak laktasi pada bulan ke 2-3 pasca beranak dan akan

    mengalami persistensi hingga periode kering dilakukan.

    Semakin banyak produksi susu, semakin lama streak canal

    dan sphincter terbuka. Sehingga mikroorganisme patogen

    penyebab mastitis akan lebih mudah menyerang.

    2.4.4. Bentuk Ambing dan Puting

    Bentuk ambing dan puting sapi perah dapat mempengaruhi

    tingkat kejadian mastitis subklinis pada sapi perah.

    Bertambahnya usia sapi perah dan tingginya produksi susu

    dapat mengurangi kapasitas kemampuan ligamentum

    suspensorium lateral sebagai pelindung dan penyangga utama

    ambing, sehingga ambing menjadi pendulous (molor) seiring

    lamanya waktu sapi tersebut diperah. Hal ini dapat

    menyebabkan kesulitan dalam proses pemerahan dan dapat

    menyebabkan luka pada puting yang meningkatkan risiko

  • 19

    infeksi mastitis. Faktor lain penyebab kerentanan terhadap

    mastitis subklinis, yaitu bentuk ambing yang pendulous atau

    ambing dengan lubang sphincter yang terlalu lebar (Nickerson

    dan Akers, 2002).

    Rasio produksi susu antara sepasang puting bagian depan

    dan belakang adalah 40:60. Ambing dapat diindikasi

    mengidap infeksi mastitis subklinis apabila produksi antara

    kuartir depan dan belakang terdapat perbedaan lebih dari 10-

    15% dari perbandingan tersebut dan waktu pemerahan antar

    kuartir yang melebihi 1 menit (Nickerson dan Akers, 2002).

    Bentuk dan ukuran puting serta struktur ambing pada sapi

    perah tidak hanya penting untuk mengambarkan karakter

    morfologi tetapi juga penting dalam menggambarkan banyak

    sedikitnya produksi susu yang akan dihasilkan (Tilki, Inal,

    Colak, and Garip, 2005). Sori, Zerihun, and Abdicho (2005)

    menyatakan bahwa tingkat kejadian mastitis pada puting

    pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non

    pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan

    prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting

    normal sebesar 47,74%. Skor ambing dan puting berdasar

    bentuk dan kekuatannya dapat dilihat pada Gambar 3.

  • 20

    Gambar 3. Skor ambing dan puting berdasar kekuatannya(1)

    sangat kuat, (2) kuat, (3) sedang, (4) Lemah (5)

    sangat lemah (pendulous) (Rasby, 2014)

    Puting tidak diselimuti oleh rambut. Umumnya puting

    bagian depan lebih panjang dibanding puting bagian belakang,

    namun kapasitas dari kuartir bagian belakang lebih banyak

    dibanding bagian depan. Puting yang baik adalah puting yang

    tepat terletak dibawah setiap kuartir ambing, tegak lurus, dan

    berjarak seimbang. Bentuk puting yang tidak sehat pada sapi

    perah dapat menjadi faktor predisposisi mastitis (Holstein

    Foundation, 2016). Subronto (2003) menyatakan bahwa

    disamping faktor-faktor mikroorganisme yang meliputi

    berbagai jenis jumlah dan penyebarannya, faktor ternak dan

    lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi

    radang ambing dalam suatu peternakan. Hasil penelitian

    Pisestiyani (2016) menjelaskan bahwa puting yang memiliki

    panjang 6,5 cm memiliki peluang yang lebih tinggi untuk

    terinfeksi mastitis. Sama halnya dengan puting yang terlalu

    panjang, puting yang terlalu pendek juga menjadi faktor

    predisposisi mastitis, dikarenakan peternak akan mengalami

    kesulitan saat pemerahan sehingga pemerahan tidak sempurna

    dan dapat menyebabkan mastitis.

  • 21

    Prinsip dasar pengendalian mastitis adalah menurunkan

    kemungkinan exposure puting terhadap agen patogen melalui

    peningkatan daya tahan ternak terhadap kemungkinan

    terjadinya infeksi. Ambing sejak awal telah dilengkapi dengan

    perangkat pertahanan untuk menjaga agar air susu tetap dalam

    keadaan steril dan tidak tercemar oleh bakteri patogen, yaitu

    lubang sphincter yang dapat menutup rapat pasca pemerahan

    dan streak canal yang didalamnya terdapat keratin dengan

    sifat bacteriostatic (FAO, 2014). Bacteriostatic adalah sifat

    yang dapat menekan pertumbuhan bakteri (Bernatova, Samek,

    Pilat, Sery, Jezek, Jakl, Siler, Krzyzanek, Zemanek, Hola,

    Dvorackova, and Ruzicka, 2013). Subronto (2003)

    menyatakan bahwa tingkat pertahanan ambing mencapai titik

    terendah pada saat sesudah dilakukan pemerahan, karena

    spinchter puting masih terbuka sekitar 2-3 jam, sel darah putih

    jumlahnya sangat minim, sementara antibodi dan enzim juga

    habis ikut terperah.

    2.5. Uji California Mastitis Test (CMT)

    Infeksi mastitis adalah salah satu gangguan utama yang

    mempengaruhi produksi susu selama masa laktasi. Metode

    penentuan tingkat mastitis yang paling umum digunakan di

    lapang adalah dengan reagen CMT karena mudah, murah, dan

    cepat. CMT juga dikenal sebagai metode tidak langsung dalam

    menentukan tingkat kejadian mastitis subklinis. Prinsip dari

    CMT adalah penggunaan deterjen yang bekerja pada membran

    terluar sel (membran lipoprotein) dengan membongkar DNA

    yang berbentuk sepeti gel dan hasilnya adalah semakin tinggi

    konsistensi larutan semakin banyak jumlah sel somatik

    didalam sampel tersebut (Pradiee, 2012). Hal ini didukung

  • 22

    pula oleh pendapat Campbell and Marshall (2016), bahwa

    CMT sangat sensitif terhadap sel somatik di dalam susu.

    Reagen CMT (3% alkyl aryl sulfonate, yaitu deterjen anion)

    dengan indikator pH (bromocresol purple, 1:10.000) melisis

    dinding sel dan bereaksi dengan deoxy ribonucleic acid

    (DNA) dari sel somatik yang kemudian akan terjadi reaksi

    ikatan antar molekul membentuk gel.

    Uji tingkat kejadian mastitis dilakukan dengan CMT yaitu

    dengan mengambil susu dari hasil pemerahan setiap kuartir

    sapi perah yang dilakukan pada sore hari. Pengujian

    keberadaan mastitis subklinis dilakukan dengan mengambil 2

    ml susu yang ditempatkan di paddle lalu direaksikan dengan

    reagen CMT sebanyak 2 ml, kemudian campuran tersebut

    dihomogenkan membentuk lingkaran selama 10-15 detik.

    Pembacaan hasil reaksi dilakukan sekitar 20 detik di tempat

    yang terang. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya

    perubahan pada kekentalan susu. Hasil pengujian ditentukan

    berdasarkan scoring CMT, yaitu negatif (-), trace (T), positif

    1 (+), positif 2 (++) dan positif 3 (+++). Sampel yang tidak

    menunjukkan terjadinya pengendapan atau terjadi tapi sangat

    tipis (trace) maka sapi dinyatakan tidak mengalami mastitis

    subklinis. Tabel estimasi jumlah sel/ ml Susu berdasarkan uji

    CMT dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Estimasi Jumlah Sel somatik/ ml Susu CMT

    Simbol Arti Reaksi Estimasi Jumlah

    Sel per ml Susu

    - Negatif Larutan tidak

    mengental (Tidak

    infeksi)

  • 23

    T Trace sedikit mengental

    (kemungkinan ada

    infeksi)

    150.000-500.000

    1 Positif

    Lemah

    Terdapat perbedaan

    kekentalan pada

    larutan (infeksi

    ringan)

    400.000-1.500.000

    2 Positif

    Nyata

    Terbentuk gel cairan

    kental dengan

    sedikit formasi gel

    800.000-5.000.000

    3 Positif

    Kuat

    Terbentuk gel cairan

    kental sangat nyata

    >5.000.000

    4 + Warna ungu gelap Aktivitas kelenjar

    susu berkurang

    5 - Warna kuning Susu bersifat asam

    Sumber : Ruegg (2005)

    Tingkat kekentalan ditentukan dari jumlah sel somatik

    yang terkandung dalam susu. Trace menunjukkan terjadinya

    sedikit endapan, positif 1 (+) endapan terlihat jelas, positif 2

    (++) campuran langsung mengental dan endapan bergerak ke

    tengah paddle dan positif 3 (+++) banyak terbentuk endapan

    dan menyebabkan permukaan menjadi cembung (Setiawan,

    Maheswari, dan Purwanto, 2013). Gambaran tingkat

    kekentalan hasil uji CMT dapat dilihat pada Gambar 4 dan

    Gambar 5 di Lampiran 28.

  • 24

    BAB III

    MATERI DAN METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 –

    Januari 2017 di peternakan sapi perah rakyat yang berada di

    desa Gunung Sari, Nongkojajar, Kecamatan tutur, Kabupaten

    Pasuruan, Jawa Timur.

    3.2. Materi Penelitian

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 364

    puting dari 91 ekor sapi perah PFH pada tingkat laktasi 1, 2, 3,

    dan 4. Pada laktasi 1, 3, dan 4 masing-masing terdapat 23 ekor

    sapi perah PFH, sedangkan pada laktasi 2 terdapat 22 ekor sapi

    perah PFH. Materi yang diukur adalah panjang, diameter, dan

    jarak puting dari lantai kandang pada puting kuartir depan dan

    belakang serta tingkat mastitis pada masing-masing kuartir.

    3.2.1. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

    1. Reagen CMT: digunakan untuk menentukan skor mastitis

    melalui kekentalan susu akibat reaksi penggumpalan dari

    DNA sel somatik

    2. Air: digunakan untuk membilas sisa susu pada paddle dan

    kotoran yang ada pada ambing dan puting

    3.2.2. Alat

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

    1. Jangka sorong (Callipers) : digunakan untuk mengukur

    panjang dan diameter puting dengan ketelitian 0,005 cm

  • 25

    2. Meteran: digunakan untuk mengukur jarak puting dari

    lantai kandang dengan ketelitian 0,1 cm

    3. Paddle: digunakan sebagai wadah melakukan uji CMT

    dengan menggunakan sampel susu dan reagen CMT

    4. Botol air minum: digunakan sebagai tempat penyimpanan

    air untuk membilas sisa susu pada paddle dan kotoran yang

    ada pada ambing dan puting

    5. Tisu: digunakan untuk membasuh sisa air bilas yang ada

    pada paddle setelah penggunaan

    3.3. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

    kasus yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara

    dengan mengamati hubungan antara panjang, diameter, dan

    jarak ujung puting dari lantai kandang dengan tingkat mastitis

    berdasarkan CMT di berbagai tingkat laktasi. Penentuan

    sampel ditentukan secara purposive sampling, yaitu

    pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan kriteria

    sampel yang telah ditentukan. Kriteria yang dimaksud adalah

    sapi perah PFH dengan proses pemeliharaan secara intensif

    dengan bentuk dan kemiringan lantai kandang yang relatif

    sama, pemerahan secara manual, tidak diberi perlakuan teat

    dipping pasca pemerahan, dan berada pada bulan laktasi >5.

    Pemilihan bulan laktasi ini dikarenakan infeksi mastitis

    subklinis pada bulan ini adalah perkembangan dari infeksi

    mastitis subklinis sebelumnya, yaitu pada bulan laktasi awal

    dan puncak laktasi serta tinggi rendahnya tingkat mastitis tidak

    dipengaruhi oleh puncak laktasi.

  • 26

    3.3.1. Prosedur Pengambilan Sampel

    Sampel didapatkan melalui observasi di lapang dengan

    mencari sapi perah PFH dengan proses pemeliharaan secara

    intensif dengan bentuk dan kemiringan lantai kandang yang

    relatif sama, pemerahan secara manual, tidak dilakukan teat

    dipping pasca pemerahan, dan berada pada bulan laktasi >5.

    Identitas seperti tingkat laktasi dan bulan laktasi diketahui

    melalui wawancara dan recording. Puting sapi perah PFH

    kemudian diukur panjang, diameter, serta jarak puting dari

    lantai kandang sebelum pemerahan serta diambil sampel susu

    perputing sebanyak 2 ml setelah membuang 2-3 pancaran

    pertama.

    3.3.2. Prosedur Pengukuran Puting

    3.3.2.1. Panjang Puting

    Panjang puting adalah salah satu pengukuran puting yang

    diperoleh dengan cara mengukur dari pangkal hingga ke ujung

    puting. Panjang puting diukur dengan menggunakan jangka

    sorong dengan ketelitian 0,005 cm. Pengukuran ini dilakukan

    sebelum dilakukan pemerahan. Panjang puting yang diukur

    dapat dilihat pada Gambar 4.

  • 27

    Gambar 4. Panjang puting

    3.3.2.2. Diameter Puting

    Diameter puting yang diukur adalah diameter puting bagian

    tengah (middle point) yang dapat diukur dengan menggunakan

    jangka sorong dengan ketelitian 0,005 cm. Pengukuran ini

    dilakukan sebelum dilakukan pemerahan. Pengukuran

    diameter puting dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5. Diameter puting

    3.3.2.3. Jarak Puting dari Lantai Kandang

  • 28

    Jarak puting dari lantai kandang atau tinggi puting adalah

    jarak yang dihitung dari ujung puting dari setiap puting sampai

    dengan dasar lantai kandang yang dilakukan sebelum

    pemerahan dan diukur dengan menggunakan meteran dengan

    ketelitian 0,1 cm. Jarak puting dari lantai kandang dapat dilihat

    pada Gambar 6.

    Gambar 6. Jarak puting dari lantai kandang

    3.3.3. Prosedur CMT

    1. Ambing dan puting dibersihkan dari kotoran yang masih

    menempel dengan cara dibilas menggunakan air bersih

    2. Sampel susu dari setiap puting diambil sebanyak 2 ml

    setelah membuang 2-3 pancaran pertama dan diletakkan di

    paddle sesuai dengan kode letak puting

    3. Reagen CMT ditambahkan sebanyak 2 ml (1:1) kedalam

    paddle

    4. Selama 10-15 detik campuran larutan tersebut

    dihomogenkan dengan pola lingkaran

    5. Hasil uji CMT dibaca pada detik ke-20 (Ruegg, 2005)

  • 29

    Hasi uji CMT adalah skor CMT yang terdiri atas negatif (-

    ), Trace, 1, 2, dan 3 yang akan diintepretasikan dalam

    penelitian ini menjadi tingkat mastitis 0, 1, 2, 3, dan 4.

    3.4. Variabel yang diamati

    Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

    Ukuran panjang puting, diameter puting, dan jarak puting

    dari lantai kandang

    Tingkat mastitis berdasarkan CMT dari setiap puting sapi

    perah PFH.

    3.5. Analisa Data

    Data dianalisa dengan analisis regresi linear dan korelasi.

    Analisis regresi adalah suatu analisis untuk mengetahui

    seberapa jauh hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel

    terikat (Y), adapun analisis regresi memiliki bentuk

    persamaan:

    Y = a + bX

    Y = an + bX

    Sedangkan analisis korelasi adalah suatu analisis untuk

    mengetahui kuat tidaknya hubungan yang terjadi antara

    variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y). Kuat tidaknya

    hubungan tersebut diberi simbol (r). Rumusnya yaitu:

    r =

    (Sunyoto, 2003)

    3.6. Batasan Istilah

  • 30

    Mastitis: Radang ambing pada sapi perah

    Mastitis subklinis: Gejala radang ambing yang ditandai

    dengan peningkatan jumlah sel somatik >200.000 sel/ml

    California Mastitis Test: Metode untuk mendeteksi adanya

    infeksi mastitis pada setiap puting sapi perah dengan

    estimasi jumlah sel somatik berdasarkan tingkat kekentalan

    Tingkat kejadian: Jumlah peneyebaran penderita (%) dalam

    suatu populasi, penyebaran, dan keseriusan yang

    diakibatkan

    Tingkat Mastitis : Tingkat berdasarkan interpretasi CMT

    (tingkat 0, 1, 2, 3, dan 4)

    Skor CMT : Tingkat keparahan mastitis subklinis (Negatif

    (-), Trace, 1, 2, 3)

    Bulan laktasi: Bulan laktasi adalah bulan dimana sapi perah

    aktif dalam memproduksi susu segar

    Tingkat laktasi : Tingkat laktasi adalah masa produksi susu

    berdasarkan banyaknya jumlah kelahiran (Paritas).

    Masa kering: periode atau lamanya sapi berhenti diperah

    hingga sapi beranak, 2 bulan sebelum kelahiran.

    Kuartir ambing: 4 kelenjar susu (mammary gland).

    Panjang puting : Ukuran panjang dari pangkal puting dekat

    ambing hingga ke ujung puting

    Diameter puting : Ukuran lebar puting bagian tengah

    (middle point) dari sisi kiri ke kanan

    Jarak ujung puting dari lantai kandang : Jarak ukuran yang

    diukur dari ujung puting hingga lantai kandang sapi

    berpijak

  • 31

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Kegiatan penelitian ini dilakukan di peternakan sapi perah

    rakyat Desa Gunung Sari yang berada dalam wilayah Koperasi

    Peternakan Sapi Perah (KPSP) Nongkojajar, Pasuruan. Desa

    Gunungsari beralamatkan di Jl. Gunungsari, Kalipucang,

    Tutur, Pasuruan, Jawa Timur dan berjarak ±5 km dari KPSP

    “Setia Kawan” yang beralamatkan di Jalan Raya Nongkojajar

    No. 38, Wonosari, Tutur, Pasuruan, Jawa Timur. Koperasi ini

    terletak di lereng sebelah barat pegunungan Tengger pada

    ketinggian tempat 400-2000 m di atas permukaan laut dengan

    suhu udara berkisar 16ºC sampai 25ºC, kelembaban udara rata-

    rata 80%, dan curah hujan rata-rata 3650 mm/tahun

    (Anonimus, 2009). Populasi sapi perah di Nongkojajar tercatat

    pada tahun 2011 adalah 17.461 ekor yang terdiri atas ±7.900

    ekor induk laktasi dan sisanya adalah induk kering, pedet dan

    jantan dewasa, pedet betina, dan dara bunting. Produksi susu

    segar di KPSP “Setia Kawan” adalah ±82.000 liter/hari

    (KPSP, 2011). Jarak antara lokasi penelitian dengan KPSP

    “Setia Kawan” dapat dilihat pada Gambar 7.

  • 32

    Gambar 7. Jarak antara KPSP “Setia Kawan” dengan lokasi

    penelitian

    4.2. Rata-rata Ukuran Puting di Berbagai tingkat laktasi

    Subronto (2003) menyatakan bahwa ukuran dan kapasitas

    ambing berkembang pesat pada awal laktasi. Awal laktasi

    pada sapi, yaitu tingkat laktasi 1 dan 2 diestimasikan terjadi

    pada sapi berumur 3-4 tahun. Pada saat dewasa ambing akan

    mulai berhenti berkembang. Dewasa pada sapi dikategorikan

    pada umur 5-6 tahun yang diestimasikan berada pada tingkat

    laktasi 3 dan 4. Produksi susu sapi perah akan mulai menurun

    setelah sapi berumur 8 tahun. Guarin and Ruegg (2017)

    menyatakan bahwa ukuran puting juga akan bertambah

    panjang dan lebar seiring dengan pertambahan tingkat laktasi.

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang, diameter,

    dan jarak ujung puting dari lantai kandang antara individu sapi

    berbeda antara satu dengan yang lainnya. Rata-rata ukuran

    panjang dan diameter puting bagian depan dan belakang pada

    tingkat laktasi 1-4 menunjukkan perubahan ukuran yang tidak

  • 33

    konstan, namun cenderung menunjukkan bahwa ukuran puting

    lebih panjang dan lebar di tingkat laktasi yang lebih tua

    dibandingkan awal laktasi. Sedangkan jarak ujung puting dari

    lantai kandang akan semakin rendah sejalan dengan semakin

    bertambahya tingkat laktasi. Perubahan rata-rata ukuran puting

    tidak konstan antara tingkat laktasi ini dikarenakan

    pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada sapi perah

    yang berbeda sehingga perkembangan panjang puting awal

    sapi perah PFH berbeda dan variatif meski berada di tingkat

    laktasi yang sama,. Data hasil penelitian dapat dilihat pada

    Lampiran 1. Rata-rata ukuran panjang, diameter, dan jarak

    puting dari lantai kandang pada tingkat laktasi 1-4 dapat

    dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Rata-rata ukuran puting pada berbagai tingkat laktasi

    Data pada Tabel 2 menjelaskan ukuran rata-rata dari

    panjang, diameter, dan jarak ujung puting dari lantai kandang

    di tingkat laktasi 1-4. Pada laktasi 1, 3, dan 4 terdiri atas

    sampel ukuran dari 23 ekor sapi yang masing-masing terdiri

    atas 46 puting kuartir depan dan 46 puting kuartir belakang,

    sementara pada laktasi 2 terdapat 22 ekor yang terdiri atas 44

    puting kuartir depan dan 44 puting kuartir belakang.

  • 34

    Ukuran panjang dan diameter puting di laktasi 4 lebih

    panjang dan lebar dibandingkan laktasi 1. Hal ini dikarenakan

    telah terjadi perkembangan ukuran dan kapasitas ambing pada

    sapi perah PFH di berbagai tingkat laktasi. Rendahnya jarak

    puting dari lantai kandang menggambarkan ambing yang

    bertambah besar ukuran dan kapasitasnya seiring dengan

    pertambahan tingkat laktasi (Subronto, 2003). Tilki et al.

    (2005) menyatakan bahwa produksi susu akan meningkat

    dengan semakin rendahnya jarak ambing dan juga puting dari

    lantai kandang. Oleh karena itu, besar kecilnya ambing pada

    sapi dapat menggambarkan kapasitas ambing dalam

    melakukan produksi susu. Pisestiyani et al. (2016) menyatakan

    bahwa pada sistem pemerahan manual dengan metode strippen

    dapat menyebabkan lemahnya ligamen sehingga pangkal

    puting menjadi longgar.

    4.2. Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis

    Tingkat kejadian mastitis subklinis digambarkan dengan

    banyaknya jumlah puting yang terinfeksi mastitis subklinis di

    dalam sebuah populasi (prevalensi). Ambing dinyatakan

    terinfeksi mastitis subklinis bila susu yang diproduksi

    memiliki jumlah sel somatik diatas normal, yaitu 200.000

    sel/ml. Tingginya jumlah sel somatik dalam susu dapat diamati

    dengan menggunakan CMT yang ditunjukkan dengan

    bertambahnya konsistensi campuran larutan CMT- susu.

    Mastitis subklinis tidak dapat diamati secara fisik, namun

    menyebabkan penurunan produksi susu. Surjowardojo dkk.

    (2008) menyatakan bahwa infeksi mastitis akan menurunkan

    produksi susu mulai 4,4 hingga 8,3 liter/hari/ekor. Semakin

    tinggi kejadian mastitis subklinis, semakin besar kerugian

  • 35

    yang diterima oleh peternak. Mastitis subklinis yang dibiarkan

    akan berkembang menjadi mastitis klinis yang dapat

    mematikan fungsi puting. Adapun kenaikkan jumlah sel

    somatik sampai pada skor CMT tertinggi yang diestimasikan

    jumlah sel somatik >5.000.000 sel/ml akan menyebabkan

    rusaknya kualitas susu secara nyata (Firmansyah, Trisnuwuti,

    dan Winarso, 2012).

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kejadian

    mastitis subklinis meningkat seiring dengan pertambahan

    tingkat laktasi yang berarti juga bertambahnya umur sapi

    perah PFH (Gambar 8). Hal ini dikarenakan kemampuan

    ambing dan puting untuk menahan mikroorganisme patogen

    penyebab infeksi mastitis semakin berkurang seiring dengan

    bertambahnya tingkat laktasi.

    Gambar 8. Tingkat kejadian mastitis pada puting di beberapa

    tingkat laktasi

    Gambar 8 adalah gambaran seberapa tinggi persentase

    kejadian mastitis subklinis di lapang pada penelitian ini.

    Adapun total persentase jumlah puting yang terinfeksi mastitis

    0,00%

    5,00%

    10,00%

    15,00%

    20,00%

    25,00%

    Laktasi

    ke-1

    Laktasi

    ke-2

    Laktasi

    ke-3

    Laktasi

    ke-4

    Tingkat mastitis 1

    Tingkat mastitis 2

    Tingkat mastitis 3

    Tingkat mastitis 4

  • 36

    subklinis pada tingkat laktasi 1-4 berturut- turut adalah

    31,53%, 30,58%, 33,70%, dan 46,63% (Lampiran 2).

    Meningkatnya tingkat kejadian mastitis subklinis pada setiap

    tingkat laktasi adalah akibat dari semakin melemahnya

    pertahanan ambing siring dengan pertambahan tingkat laktasi..

    Paulrud and Rasmussen (2004) menyatakan bahwa teat

    canal adalah saluran terluar pada puting yang memiliki barisan

    keratin yang berfungsi untuk memerangkap bakteri yang

    masuk diantara proses pemerahan dan dapat membuka serta

    menutup untuk mencegah masuknya bakteri. Asam lemak

    keratin bersifat bacteriacidal dan bacteriastatic serta memiliki

    protein yang mengikat dan melisis dinding sel bakteri gram

    positif, namun tidak berpengaruh pada mastitis yang

    disebabkan oleh lingkungan seperti Eschericia coli dan

    Streptococcus uberis (Hogan, Smith, Todhunter, and

    Schoenberger, 1988). Pertahanan lainnya adalah otot sphincter

    yang akan membuka bila terdapat rangsangan dan akan

    menutup lagi setelahnya dan gerak peristaltik halus pada teat

    canal yang mendorong keluarnya bakteri. Gerak peristaltik

    akan berhenti selama 2-4 jam pasca pemerahan. Hal ini

    menyebabkan puting sangat rentan oleh invasi bakteri pasca

    pemerahan dan sanitasi pra, saat, dan pasca pemerahan yang

    kurang akan memperparah tingkat kejadian mastitis subklinis.

    Kemampuan pertahanan puting ini akan semakin melemah

    seiring dengan pertambahan umur ternak serta akibat

    seringnya melakukan infusi intramammary seperti injeksi

    antibiotik. Infusi intramammary ini dapat mengakibatikan

    kerusakan susunan keratin sehingga keratin membutuhkan

    waktu sekitar 2-4 minggu untuk pulih kembali.

  • 37

    4.3. Hubungan antara Tingkat Mastitis dengan Ukuran

    Puting

    Salah satu masalah utama pada industri sapi perah adalah

    mastitis. Tilki et al. (2005) menyatakan bahwa bentuk dan

    ukuran mammary berhubungan erat dengan produksi susu

    yang dihasilkan, serta diduga berkaitan pula dengan tingkat

    mastitis pada sapi perah. Bardakcioglu et al. (2011)

    menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada

    beberapa bagian pengukuran panjang, diameter, dan jarak

    puting dari lantai kandang. Hasil penelitian tersebut

    menyatakan bahwa ukuran diameter puting belakang dan jarak

    puting dari lantai kandang lebih lebar dan rendah pada ternak

    yang terinfeksi mastitis subklinis dibandingkan dengan ternak

    yang sehat. Guarin, Paixio, and Ruegg (2016) menyatakan

    bahwa mastitis timbul ketika bakteri berhasil melewati

    pertahanan puting dan bentuk puting merupakan faktor yang

    berpotensi menyebabkan infeksi. Adapun hasil analisa data

    regresi dan korelasi sederhana antara ukuran puting (panjang,

    diameter, dan jarak dari lantai kandang) sapi perah PFH

    dengan tingkat mastitis berdasarkan CMT dapat dilihat pada

    Lampiran 4 - 27 dan tabel korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Koefisien korelasi (r) antara ukuran puting dengan

    tingkat mastitis

  • 38

    Hasil analisa data menggunakan regresi linear pada

    Lampiran 4 – 27 dan pada Tabel 3 menjelaskan bahwa

    panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang pada

    puting kuartir depan dan belakang dengan tingkat mastitis di

    tingkat laktasi 1, 2, 3, dan 4 memiliki keeratan hubungan yang

    dinyatakan dalam tabel koefisien korelasi (r) berkisar antara

    0,001-0,480 yang menjelaskan bahwa ukuran puting tidak

    berhubungan erat dengan tingkat mastitis (r < 0,50). Korelasi

    paling tinggi ditemukan pada panjang puting kuartir belakang

    dan diameter puting kuartir depan pada laktasi 1, yaitu 0,480

    dan 0,452. Breen, Green, and Bradley (2009) menyatakan

    bahwa faktor yang lebih besar pengaruhnya terhadap tingkat

    mastitis adalah tingkat laktasi, bulan laktasi awal, ambing

    yang kotor, dan penyakit pada puting.

    Ambing memiliki sistem pertahanan alami untuk menahan

    mikroorganisme patogen penyebab mastitis, yaitu otot

    sphincter dan keratin pada streak canal yang akan semakin

    melemah seiring dengan bertambahnya tingkat laktasi

    (Subronto, 2003). Breen et al. (2009) menyatakan bahwa awal

    bulan laktasi berhubungan dengan tingkat kejadian mastitis

    dimana susu yang mengandung >199.000 sel somatik/ml dan

    kadar protein

  • 39

    terhadap mikroorganisme patogen penyebab mastitis. Saputra

    (2017) dan Mitev, Gergovska, and Miteva (2012) menyatakan

    bahwa adanya hiperkeratosis yang umumnya mulai muncul

    pada laktasi 3 dan lesi akan menjadi media tempat

    menumpuknya mikroorganisme patogen penyebab mastitis

    yang dibuktikan dengan bertambahnya jumlah sel somatik

    seiring dengan keparahannya. Faktor-faktor ini akan menjadi

    faktor pendukung yang menyebabkan semakin parahnya

    tingkat kejadian mastitis subklinis yang akan ditemukan

    seiring dengan pertambahan tingkat laktasi.

    Hasil analisa data menjelaskan bahwa panjang puting

    depan dan belakang laktasi 1 memiliki korelasi yang negatif

    dengan tingkat mastitis dimana semakin pendek ukuran puting

    akan semakin tinggi tingkat mastitis (Lampiran 4 dan 8).

    Subronto (2003) dan Hussain, khan, Javed, and Rizvi (2012)

    menyatakan bahwa puting yang pendek akan menyulitkan

    proses pemerahan sehingga memungkinkan adanya susu yang

    tersisa (residual milk) didalam ambing yang dapat

    menyebabkan mastitis subklinis sehingga puting yang pendek

    dapat mejadi faktor yang berhubungan dengan tingkat mastitis.

    Hasil analisa data berikutnya menjelaskan bahwa diameter

    puting laktasi 1 memiliki korelasi yang positif dengan tingkat

    mastitis dimana semakin lebar diameter puting akan semakin

    tinggi tingkat mastitis (Lampiran 12 dan 16). Guarin and

    Ruegg (2016) dan Bharti, Bhakat, Pankaj, Bhat, Prakash, Thul,

    and Japheth (2015) menyatakan bahwa diameter puting yang

    lebar berhubungan dengan banyaknya jumlah sel somatik yang

    ditemukan pada susu yang diproduksi. Hal ini dikarenakan

    pada puting yang lebar dan pendek diduga memilik teat canal

    yang lebih pendek dan lebih lebar, puting jenis ini memiliki

  • 40

    produksi yang lebih dengan milking speed yang baik namun

    lebih rentan terhadap infeksi mastitis subklinis karena

    membutuhkan waktu lama agar pertahanan puting kembali

    menutup sempurna.

  • 40

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    1.1 Kesimpulan

    Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu ukuran panjang,

    diameter, dan jarak puting dari lantai kandang tidak

    berhubungan erat dengan tingkat mastitis subklinis dan belum

    dapat dijadikan untuk mengetahui tingkat kerentanan terhadap

    mastitis subklinis.

    1.2 Saran

    Dari hasil penelitian ini disarankan untuk lebih

    memperhatikan manajemen pemeliharaan, terutama sanitasi

    dan higienitas pada pra, saat, dan pasca pemerahan serta

    mengidentifikasi faktor-faktor lain yang memiliki hubungan

    lebih erat dengan tingkat mastitis subklinis.

  • 41

    DAFTAR PUSTAKA

    Abubakar, C., B. Sunarko, Sutrasno, S. Siwi, A. Kumalajati,

    H. Supriadi, A. Marsudi, dan Budiningsih. 2009. Petunjuk

    Pemeliharaan Bibit Sapi Perah. Departemen Pertanian.

    Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah,

    Baturraden.

    Adinata, Y. dan Sumadidan. 2009. Sebaran Populasi Sapi

    Friesian Holstein di Beberapa Kabupaten Provinsi Jawa

    Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin

    Peternakan. 33(3):129-142.

    Anonimus. 2009. Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia

    Kawan Nongkojajar. Pasuruan.

    Aziz, A. S., P. Surjowardojo, dan Sarwiyono. 2013. Hubungan

    Bahan dan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Terhadap

    Kejadian Mastitis Melalui Uji California Mastitis Test

    (CMT) di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Jurnal

    Ternak Tropika. 14 (2): 72-81.

    Bardakcioglu, H. E., S. Sekkin, and H. D. O. Toplu. 2011.

    Relationship Between Some Teat and Body Measurement

    of Holstein Cown and Sub-clinical Mastitis and Milk

    Yield. Journal of Animal and Veterinary Advances. 10

    (13): 1735-1737.

  • 42

    Bernatova, S., O. Samek, Z. Pilat, M. Sery, J. Jezek, P. Jakl,

    M. Siler, V. Krzyzanek, P. Zemanek, V. Hola, M.

    Dvorackova, and F. Ruzicka. 2013. Following the

    Mechanisms of Bacteriostatic Versus Bactericidal Action

    Using Raman Spectroscopy. Molecules. 18: 13188-13199.

    Bharti, P., C. Bhakat, P. K. Pankaj, S. A. Bhat, M. A. Prakash,

    M. R. Thul, and K. P. Japheth. 2015. Relationship of Udder

    and Teat Conformation with Intra-Mammary Infection in

    Crossbreed Cows Under Hot-Humid Climate.

    www.veterinaryworld.org/Vol.8/July-2015/14.pdf :898-901.

    Diakses pada tanggal 3 maret 2017.

    Breen, J. E., M. J. Green, and A. J. Bradley. 2009. Quarter and

    Cow Risk Factor with the Occurence of Clinical Mastitis in

    Dairy Cows in the United Kingdom. Journal of the

    American Dairy Science Association. 92 (6): 2551-2561.

    Campbell, J. R. and R. T. Marshall. 2016. Dairy Production

    and Processing: The Science of Milk and Milk Products.

    Waveland Press, Inc. Long Grove, Illinois.

    Coban, O., N. Sabuncuoglu, and N. Tuzemen. 2009. A Study

    on Relationships Between Somatic Cell Count (SCC) and

    Some Udder Traits in Dairy Cows. Journal of Animal and

    Veterinary Advances. 8 (1): 134-138.

    Collier, R. J., E. L. A. Dawson, and A. Pezeshki. 2011. Effect

    of Contionous Lactation and Short Dry Periods on

    Mammary Function and Animal Health. Animal. 6 (3):

    403-414.

    http://www.veterinaryworld.org/Vol.8/July-2015/14.pdf

  • 43

    FAO. 2014. Impact of Mastitis in Small Scale Dairy

    Production System. Animal Production and Health

    Working Paper. No. 13. Rome.

    Firmansyah, D., P. Trisunuwati, dan D. Winarso. 2012.

    Pengaruh Tingkat Mastitis Subklinis Terhadap Kualitas

    Susu Sapi Perah PFH pada Berbagai Bulan Laktasi.

    fkh.ub.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/0811310015-

    Diki-Firmansyah.pdf . Diakses pada Tanggal 21 Januari

    2017.

    Guarin, J. F. and P. L. Ruegg. 2016. Short Communication:

    Pre-and Post Milking Anatomical Characteristic of Teats

    and Their Associations with Risk of Clinical Mastitis in

    Dairy Cows. Journal of Dairy Science. 99 (10): 8323-8329.

    Guarin, J. F., M. G. Paixio, and P. L. Ruegg. 2016.

    Association of Anatomical Characteristics of Teats with

    Quarter-Level Somatic Cell Count. Journal of Dairy

    Science. 100: 643-652.

    Handayani, K. S. dan M. Purwanti. 2010. Kesehatan Ambing

    dan Higienen Pemerahan di Peternakan Sapi Perah Desa

    Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan

    Pertanian. 5 (1): 47-54.

    Hogan, J. S., K. L. Smith, D. A. Todhunter, and P. S.

    Schoenberger. 1988. Growth Response of Enviromental

    Mastitis Pathogens to Long-Chain Fatty Acid. Journal of

    Dairy Scinece. 71 (1): 245-249.

  • 44

    Hogeveen, H., S. Pyorala, K. P. Waller, J. S. Hogan, T. J. G.

    M. Lam, S. P. Oliver, Y. H. Schukken, H. W. Barkema,

    dan J. E. Hillerton. 2011. Current Status and Future

    Challenges in Mastitis Research. NMC Annual Meeting

    Proceedings.

    Holstein Foundation. 2016. Dairy Judging: Volume 3.

    Holstein Foundation Inc. Brattleboro, Vermont.

    Hussain, R., A. Khan, M. T. Javed, and F. Rizvi. 2012.

    Possible Risk Factors Associated with Mastitis in

    Indigenous Cattle in Punjab, Pakistan. Pakistan Veterinary

    Jurnal. 30 (10): 1-5.

    Islam, M. A., M. Z. Islam, M. A. Islam, M. S. Rahman, M. T.

    Islam. 2011. Prevalence of Subclinical Mastitis in Dairy

    Cows in Selected Areas of Bangladesh. Journal Veterinary

    Medicine. 9:73-78.

    KPSP Setia Kawan. 2011. Profil Peternakan Sapi Perah

    Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan.

    http://www.kpsp-setiakawan.com/. Diakses pada tanggal 2

    Maret 2017.

    Manzi, M. P., D. B. Nobrega, P. Y. Faccioli, M. P. Troncarelli,

    B. D. Menozzi, dan H. Langoni. 2012. Relationship

    Between Teat End Condition, Udder Cleanliness, and

    Bovine Subclinical Mastitis. Research in Veterinary

    Science. 93 (1): 430-434.

    http://www.kpsp-setiakawan.com/

  • 45

    Meierhover, S. R., A. B. Muller, L. Mittman, S. Demba, A.

    Entorf, G. Hoffmann, C. Ammon, H. J. Rudovsky, and R.

    Brunsch. Effects of Quarter Individual and Conventional

    Milking Systems on Teat Condition. Preventive Veterinary

    Medicine. 113: 556–564.

    Mitev, J. E., Zh. I. Gergovska, and M. Miteva. 2012. Effect of

    Teat End Hyperkeratosis on Milk Somatic Cell Counts in

    Bulgarian Black and White Dairy Cattle. Bulgarian Journal

    of Agricultural Science. 18 (3): 451-454.

    NAAS. 2013. Mastitis Management in Dairy Animals. Policy

    Paper No. 61, National Academy of Agricultural Sciences,

    New Delhi:12 p.

    Nickerson, S. C. and R. M. Akers. 2002. Anatomy of

    Mammary Gland. Elsevier Science. 1680-1688.

    Pantoja, J. C. F., C. Hulland, and P. L. Ruegg. 2009.

    Dynamics of Somatic Cell Count and Intramammary

    Infections Across the Dry Period. Preventive Veterinary

    Medicine. 90 (2): 43-54.

    Paulrud, C. O. and M. D. Rasmussen. 2004. How Teat Canal

    Keratin Depends on the Length and Diameter of the Teat

    Canal in Dairy Cows. Journal of Dairy Research. Vol 71

    (2): 253-255.

    Pisestiyani, H., R. P. A. Lelana, Y. N. Septiani. 2016. Teat

    Length and Lactation Period as a Predisposition Factor of

  • 46

    Subclinical Mastitis in Dairy Cattle in Bandung, Indonesia.