5
Artikel Penelitian J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012 386 Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal Rizalya Dewi,* Rinawati Rohsiswatmo** *Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Pekanbaru **Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstrak Pendahuluan: Kadar kalsium serum relatif masih tinggi pada saat kelahiran, tetapi menurun dengan cepat dan mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Berbagai keadaan seperti kelahiran prematur, asfiksia, ibu diabetes melitus, asidosis, alkalosis, serta pemakaian obat- obatan pada ibu dapat mempercepat proses ini. Gejala yang sering ditemukan pada hipokalsemia neonatorum adalah kejang dan dapat pula disertai gejala lain seperti kembung, hipotonia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian hipokalsemia pada neonatus risiko tinggi di ruang perawatan neonatal khusus maupun intensif, serta mencari berbagai faktor yang memengaruhinya. Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melihat rekam medis neonatus yang dirawat di RSIA Eria Bunda Pekanbaru selama tahun 2011. Hasil: Ditemukan hipokalsemia sebesar 36% dari total 97 neonatus yang diperiksa dalam 24 jam pertama. Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan antara kejang, asfiksia, berat lahir, dan infeksi dengan kadar kalsium serum. J Indon Med Assoc. 2012;62:386-90. Kata kunci: hipokalsemia, neonatus, ruang rawat Korespondensi: Rizalya Dewi, Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Pekanbaru

hipokalsemi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hipokalsemi

Citation preview

Page 1: hipokalsemi

Artikel Penelitian

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012386

Faktor yang MemengaruhiAngka Kejadian Hipokalsemia di

Ruang Rawat Neonatal

Rizalya Dewi,* Rinawati Rohsiswatmo**

*Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Pekanbaru

**Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak

Pendahuluan: Kadar kalsium serum relatif masih tinggi pada saat kelahiran, tetapi menurun

dengan cepat dan mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Berbagai keadaan seperti

kelahiran prematur, asfiksia, ibu diabetes melitus, asidosis, alkalosis, serta pemakaian obat-

obatan pada ibu dapat mempercepat proses ini. Gejala yang sering ditemukan pada hipokalsemia

neonatorum adalah kejang dan dapat pula disertai gejala lain seperti kembung, hipotonia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian hipokalsemia pada neonatus

risiko tinggi di ruang perawatan neonatal khusus maupun intensif, serta mencari berbagai

faktor yang memengaruhinya.

Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melihat rekam medis neonatus yang dirawat

di RSIA Eria Bunda Pekanbaru selama tahun 2011.

Hasil: Ditemukan hipokalsemia sebesar 36% dari total 97 neonatus yang diperiksa dalam 24

jam pertama.

Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan antara kejang, asfiksia, berat lahir, dan infeksi dengan

kadar kalsium serum. J Indon Med Assoc. 2012;62:386-90.

Kata kunci: hipokalsemia, neonatus, ruang rawat

Korespondensi: Rizalya Dewi,

Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda,

Pekanbaru

Page 2: hipokalsemi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012 387

Factors Associated with Hypocalcemia in Neonatal Ward

Rizalya Dewi*, Rinawati Rohsiswatmo**

*Neonatology Subdivision, Eria Bunda Mother and Child Hospital, Pekanbaru

**Neonatology Subdivision, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/

Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract

Introduction: Calcium concentration is relatively high at the time of birth, but it abruptly de-

creases in 24 to 48 hours of life. Many conditions may affect this process, such as preterm birth,

perinatal asphyxia, infant of diabetic mother, acidosis, alkalosis, and maternal use of certain

drugs. The most frequent sign of hypocalcaemia is general seizure, accompanied with other non

specific symptoms such as abdominal distention and hypotonia. The aim of this study are to find

the incidence of hypocalcaemia in the neonatal ward and to find any relationships with factors that

might influence the incidence.

Methods: This is a retrospective study. Data were taken from medical records of all newborn

hospitalized in Eria Bunda Mother and Children Hospital of Pekanbaru in 2011.

Results: Out of 97 neonates that were examined in the first 24 hour, 36% were hypocalcemia.

Conclusion: There are no correlation between disease severity and serum calcium concentra-

tion. J Indon Med Assoc. 2012;62:386-90.

Keywords: hypocalcemia, neonatus, neonatal ward

Pendahuluan

Kalsium merupakan salah satu mineral penting yang

berguna untuk pembentukan tulang serta berbagai proses

fisiologis, seperti transportasi antar membran sel, aktivasi

dan inhibisi beberapa enzim, regulasi metabolik intraseluler,

sekresi dan aktivasi hormon, proses pembekuan darah,

kontraktilitas otot dan konduksi sistem syaraf. Sembilan

puluh persen kalsium tubuh berada di dalam tulang, sedikit

diantaranya terdapat di ruangan intra dan ekstra seluler.

Homeostasis kalsium merupakan proses kompleks yang

membutuhkan berbagai hal, antara lain suplai adekuat, proses

absorbsi yang memadai di usus, serta bantuan beberapa

hormon seperti paratiroid, vitamin D dan kalsitonin.1-3

Selama masa kehamilan, kalsium didapatkan fetus dari

plasenta. Dari analisis fetus didapatkan bahwa pada trimes-

ter terakhir, fetus menerima 120 mg kalsium/kgBB per hari.

Pada saat kelahiran, neonatus cukup bulan mempunyai

kurang lebih 30 gram kalsium di dalam tubuhnya.1,3

Kalsium serum merupakan satu persen dari kalsium

tubuh total, terdapat di dalam cairan ekstraseluler dan jaringan

lunak. Kalsium serum terdiri dari komponen ion (50%), terikat

dengan protein (40%), terutama albumin, serta sebagian kecil

(8-10%) terikat dengan asam organik dan inorganik seperti

sitrat, laktat, bikarbonat dan sulfat. Dalam keadaan normal,

kadar kalsium serum diatur oleh hormon paratiroid (PTH)

dan kalsitriol (1,25-dihydroxy vitamin D3; 1,25[OH]

2D

3) yang

berfungsi untuk meningkatkan kadar kalsium serum, serta

kalsitonin untuk menurunkan kadar kalsium serum.1,5

Kadar kalsium serum relatif tinggi pada saat kelahiran,

tetapi menurun dengan cepat pada jam-jam pertama, sehingga

mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Penurunan ini

terjadi karena terputusnya suplai kalsium plasenta serta

meningkatnya kadar hormon kalsitonin di dalam darah

neonatus. Hal ini direspon oleh bayi dengan meningkatnya

kadar PTH (PTH surge) dan sintesis vitamin D3 setelah

hari

kedua. Respon tersebut bahkan dapat lebih lama pada bayi

prematur, sehingga terjadi peningkatan kadar kalsium pada

akhir minggu pertama. Berbagai keadaan bisa mempengaruhi

proses homeostasis ini seperti kelahiran prematur, asfiksia,

ibu diabetes, asidosis, alkalosis, serta pemakaian obat pada

ibu terutama glukokortikoid, fenitoin, dan fenobarbital.1-4

Hipokalsemia didefinisikan dengan berbagai batasan,

antara lain sebagai kadar kalsium yang kurang dari 8 mg/dL

(2 mmol/L), 7,48 mg/dL (1,87 mmol/L) atau 7 mg/dL (1,75 mmol/

L). Definisi yang lebih tepat didasarkan pada kadar kalsium

ion, tetapi pada kadar asam-basa dan albumin yang normal,

nilai ini mempunyai korelasi linier dengan kadar kalsium se-

rum, sehingga pengukuran kadar kalsium serum bisa

digunakan sebagai skrining pertama. Pengukuran kadar

Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal

Page 3: hipokalsemi

Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012388

kalsium serum sebaiknya dilakukan setiap hari pada bayi-

bayi dengan risiko hipokalsemia. Pada kejang neonatal, peme-

riksaan kadar kalsium serum merupakan salah satu peme-

riksaan yang harus dilakukan, di samping pemeriksaan sep-

tic work up, kadar glukosa, magnesium dan elektrolit.1,5-7

Manifestasi klinis hipokalsemia sangat mirip dengan

beberapa gangguan lain pada masa neonatal, diantaranya

hipoglikemia, sepsis, meningitis, asfiksia, perdarahan

intrakranial dan sindrom withdrawal. Hipokalsemia pada

neonatus dapat terjadi tanpa gejala (asimptomatik). Semakin

imatur, semakin samar dan bervariasi gejalanya. Pada

neonatus, gejala utama hipokalsemia adalah jitteriness

(peningkatan aktifitas dan iritabilitas neuromuskuler) dan

kejang umum, walaupun kejang fokal juga pernah dilaporkan.

Hal itu terjadi karena hipokalsemia meningkatkan permea-

bilitas ion natrium dan meningkatkan eksitabilitas membran

sel.5-7 Gejala lainnya tidak spesifik, antara lain letargi, tidak

mau menyusu, muntah, apnoe, stridor (laringospasme),

hiperrefleksia dan distensi abdomen.7,8 Derajat timbulnya

gejala tidak berhubungan dengan kadar kalsium yang

ditemukan. Diagnosis hipokalsemia ditegakkan dengan

mengukur kadar kalsium ion atau kalsium serum. Pengukuran

hormon pengatur kalsium tidak lazim dilakukan, kecuali jika

hipokalsemia berlangsung lama, sukar dikoreksi (refractory)

atau berulang (recurrent).1-4

Untuk koreksi dan terapi pada keadaan hipokalsemia,

diberikan berbagai preparat kalsium. Kalsium glukonas 10%

merupakan cairan yang sering digunakan, terdiri dari 9mg

kalsium elemental setiap mililiter. Pemberian kalsium intravena

harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat menimbulkan

bradikardia serta nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi.

Hati-hati juga dengan pemberian kalsium melalui vena

umbilikal, karena konsentrasi kalsium yang tinggi dapat

menyebabkan nekrosis hati.1,5-7

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian

hipokalsemia di ruang rawat neonatus RSIA Eria Bunda

Pekanbaru, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,

sehingga bisa dijadikan acuan untuk pemeriksaan rutin di

unit neonatologi selanjutnya. Hasil pemeriksaan kalsium ini

nantinya dihubungkan dengan kadar C-reactive protein

(CRP) yang diambil pada saat bersamaan, untuk mengetahui

apakah kadar kalsium mempunyai korelasi dengan kadar CRP

sebagai penanda inflamasi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kadar kalsium

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan di masa perinatal, seperti

prematuritas, asfiksia, sepsis dan berbagai hal lain. Kami

mempunyai hipotesis bahwa (1) kadar kalsium akan rendah

pada neonatus risiko tinggi dengan keadaan-keadaan di atas;

(2) sebagian besar keadaan-keadaan tersebut juga menim-

bulkan reaksi inflamasi sistemik yang bisa meningkatkan

kadar CRP, karena CRP adalah protein fase akut yang mening-

kat pada reaksi peradangan dan nekrosis jaringan. Kadar

CRP juga meningkat pada berbagai infeksi serta inflamasi

seperti asfiksia9; (3) penurunan kalsium yang terjadi, akan

berhubungan dengan peningkatan kadar CRP pada neonatus.

Metode

Penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melihat rekam

medis neonatus yang dirawat di ruang neonatus di RSIA Eria

Bunda Pekanbaru. Semua rekam medis bayi yang dirawat

selama tahun 2011 dilihat dan dicatat data dasar seperti jenis

kelamin, cara kelahiran, serta tempat lahir (di rumah sakit atau

kiriman dari tempat lain). Data lain yang dicatat adalah diag-

nosis, terapi oksigen yang digunakan, kadar C-reactive pro-

tein (CRP) dan kalsium serum. Data kalsium serum yang

diambil adalah data dalam 24 jam pertama kelahiran. Data

yang didapatkan dianalisis secara bivariat dan multivariat

dengan program SPSS. Definisi hipokalsemia yang dipakai

pada penelitian ini adalah jika kadar kalsium berada di bawah

7 mg/dL.

Hasil

Selama tahun 2011, sebanyak 189 bayi dirawat di ruang

rawat/unit intensif neonatus di RSIA Eria Bunda Pekanbaru,

rata-rata 15,7 bayi per-bulan. Pemeriksaan kalsium serum

dalam 24 jam pertama dilakukan terhadap sembilan puluh tujuh

orang.

Rerata kadar kalsium pada pemeriksaan masih berada

dalam batas normal, yaitu 9,1 mg/dL. Kadar kalsium terendah

Tabel 1. Karakteristik bayi dan rerata kadar kalsium serum

Jumlah bayi Rerata kadar

kalsium (mg/dL)

Jumlah bayi (n) 97 9,1+2,3

Hipokalsemia (n;%) 35 (36) 6,6 + 0,65

Jenis Kelamin (n;%)

Laki-laki 61 (62,9) 9 + 2,37

Perempuan 36 (37,1) 9,28 + 2,28

Tempat lahir: (n;%)

Di dalam rumah sakit 41 (42,3) 9,5 + 2,19

Dari luar rumah sakit 56 (57,7) 8,8 + 2,4

Kelahiran: (n;%)

Spontan 45 (46) 9 + 2,39

Operasi Sesar 51 (52,3) 9,5 + 2,25

Ekstraksi vakum 1 (1) 7,9

Masalah : (n;%)

BBLR : 47 (47,7) 9,3 + 2,27

o Prematur 30 (64,5) 9 + 2,24

o Dismatur 17 (35,5) 9,9 + 2,35

Gawat napas 51 (52,3) 9,4 + 2,28

Infeksi 23 (23,1) 8,9 +2,69

Asfiksia 20 (20,1) 9,4 + 2,36

Kejang neonatus 23 (23,1) 9,8 + 2,38

Kelainan bawaan 7 (7,2) 10,2 + 2,51

Terapi oksigen: (n;%)

Tidak ada1 7 (17,5) 9,5 + 2,37

Nasal kanul 30 (30,1) 9 + 2,02

CPAP 32 (33,3) 9,8 + 2,19

Ventilasi mekanik 18 (19) 8,8 + 2,92

CRP

< 6 75 (77,3) 9,1 + 2,18

> 6 22 (22,7) 8,9 + 2,85

Page 4: hipokalsemi

Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012 389

ditemukan pada neonatus dengan hernia diafragma (4,4 mg/

dL) dan kadar tertinggi (15 mg/dL) pada bayi berat lahir

rendah (BBLR) 2100 gr dengan sindrom gawat napas.

Pada semua karakteristik yang diuji, tidak ditemukan

perbedaan yang bermakna pada kadar kalsium serum. Kadar

kalsium tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, cara kelahiran,

diagnosis dan terapi oksigen yang diberikan. Bayi yang

berasal dari luar rumah sakit, mempunyai rata-rata kalsium

yang lebih rendah (8,8 mg/dL) daripada bayi yang lahir di

rumah sakit (9,5 mg/dL), tetapi setelah diuji, nilai P yang

ditemukan tidak bermakna (0,213).

Berdasarkan cara kelahiran, bayi dengan ekstraksi

vakum mempunyai kadar kalsium serum rendah (7,9 mg/dL),

tetapi persalinan ini hanya terjadi pada satu bayi sehingga

tidak bisa dibandingkan dengan cara kelahiran lain (persalinan

spontan dan operasi).

Perbedaan kadar kalsium serum ternyata juga tidak

bermakna antara bayi dengan CRP positif (nilai CRP lebih

dari enam) dan CRP negatif (nilai kurang atau sama dengan

enam). Saat dilakukan uji korelasi antara kadar CRP dengan

nilai kalsium serum, didapatkan koefisien korelasi -0,023,

artinya tidak terdapat hubungan antara nilai CRP dengan

kadar kalsium serum.

Dari 97 orang bayi, 35 (36%) di antaranya mengalami

hipokalsemia, dengan kadar kalsium rata-rata 6,6 mg/dL. Bayi-

bayi yang menderita hipokalsemia, terdiri dari berbagai diag-

nosis, antara lain prematuritas, asfiksia/HIE, sindrom gawat

napas (HMD dan pneumonia), hernia diafragma serta

kemungkinan spinal muscular distrophy (SMD). Tujuh bayi

diantaranya adalah BBLR (3 orang prematur dan 4 orang

dismatur) dengan berat badan berkisar antara 1900-2400 gram,

tidak ditemukan bayi BBLSR dan BBLASR yang menderita

hipokalsemia pada hari pertama.

Kasus hipokalsemia lainnya adalah kelainan bawaan

yang didiagnosis sebagai kemungkinan SMD, dengan kadar

kalsium serum 6 mg/dL; serta satu kasus hernia diafragma

kongenital, dengan kadar kalsium 4,4 mg/dL. Pada kasus ini,

hipokalsemia yang ditemukan berulang sampai selesai

operasi, refrakter dengan koreksi kalsium, baru kembali nor-

mal setelah satu minggu dan diberikan koreksi kalsium dua

kali per hari. Hipokalsemia juga didapatkan pada masing-

masing satu kasus neonatal sepsis awitan dini, asfiksia dan

transient tachypnoe of the newborn (TTN) dengan kalsium

serum berturut-turut enam, tujuh dan 5,6 mg/dL.

Diskusi

Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa kadar

kalsium serum relatif tinggi pada saat kelahiran, kemudian

menurun dengan cepat pada jam-jam pertama, sehingga

mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Penurunan ini

terjadi karena terputusnya suplai kalsium plasenta serta

meningkatnya kadar hormon kalsitonin di dalam darah

neonatus. Berbagai kondisi pada neonatus bisa memper-

buruk keadaan ini seperti kelahiran prematur, asfiksia, ibu

diabetes, asidosis, dan alkalosis, serta pemakaian obat-

obatan pada ibu terutama glukokortikoid, fenitoin dan

fenobarbital.1-5

Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada sebagian

besar kasus, kadar kalsium serum berada dalam batas normal

dengan rerata 9,1+2,3 mg/dL. Nilai ini hampir sama dengan

yang didapatkan oleh Specker BL, et al8 dalam penelitiannya

terhadap bayi sehat, yaitu 9,73+0,06 mg/dL. Angka kejadian

hipokalsemia yang ditemukan cukup tinggi, yakni 36%,

dengan rerata kadar kalsium 6,6+0,65 mg/dL. Hasil ini

menunjukkan bahwa hipokalsemia cukup sering ditemukan

dan pemeriksaan kalsium sebaiknya termasuk dalam peme-

riksaan yang pertama dilakukan di unit neonatus, karena

hipokalsemia dapat menyebabkan kejang, disertai dengan

gejala-gejala sistemik non spesifik lainnya.1,4-7

Hasil ini juga menunjukkan bahwa suplementasi kalsium

ke dalam cairan intravena sebaiknya telah diberikan sejak

hari pertama pada bayi-bayi risiko tinggi. Pemberian suple-

mentasi kalsium telah dianjurkan diberbagai kepustakaan,

berupa penambahan kalsium glukonas 10%, ke dalam cairan

intravena pada bayi dengan risiko tinggi, seperti bayi

prematur, sindrom gawat napas, asfiksia, sepsis dan persis-

tent pulmonary hypertension (PPHN). Hal ini dilakukan untuk

mempertahankan kadar kalsium serum dalam batas normal

(8-10 mg/dL).1,4-7 Dosis yang dianjurkan adalah 40-50 mg

kalsium elemental /kgBB/hari.5

Pada hipokalsemia asimptomatik terdapat berbagai

pendapat. Beberapa peneliti tidak melakukan koreksi karena

dapat terjadi perbaikan spontan setelah beberapa waktu.

Pendapat lain menganjurkan untuk melakukan koreksi jika

kadar kalsium serum kurang dari 6 mg/dL atau kalsium ion

kurang dari 4,4 mg/dL (1,2 mmol/L) karena hipokalsemia

potensial menyebabkan gangguan pada sistem kardio-

vaskuler dan sistem saraf pusat.1,6

Hipokalsemia dikoreksi dengan pemberian kalsium

glukonas 2 ml/kgBB yang dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 24 -75mg/kgBB kalsium elemental perhari jika

terjadi kejang. Koreksi kalsium pada kejang neonatus bahkan

dapat diberikan sebelum hasil laboratorium didapatkan.1,3-6

Pada penelitian ini kadar kalsium pada bayi dengan

asfiksia dan kejang tidak terlalu rendah. Rata-rata kadar

kalsium serum pada keadaan ini berturut-turut adalah 9,4+2,36

dan 9,8+2,38 mg/dL. Hanya dua dari 20 orang bayi dengan

asfiksia dan empat dari 23 bayi dengan kejang yang mengalami

hipokalsemia. Koreksi kalsium untuk mengatasi kejang

mungkin dapat dipertimbangkan lagi, mengingat efek yang

mungkin terjadi pada pemberian bolus kalsium seperti

bradikardia, nekrosis jaringan karena ekstravasasi bahkan

nekrosis hati jika diberikan di vena umbilikal. Belum semua

unit neonatus di Indonesia mempunyai monitor untuk

memantau denyut jantung selama pemberian bolus kalsium

dan juga mungkin masih banyak unit neonatus yang masih

kesulitan untuk mendapatkan jalur intravena pada neonatus.

Kejadian nekrosis pasca bolus kalsium cukup sering

Page 5: hipokalsemi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012

Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal

390

dilaporkan.1,5,7,11

Hipotesis awal bahwa nilai kalsium yang ditemukan

mungkin berhubungan dengan diagnosis penyakit dan

derajat inflamasi tidak terbukti. Tingkat prematuritas tidak

mempengaruhi nilai kalsium serum, demikian juga dengan

derajat asfiksia serta beratnya penyakit secara umum. Jadi,

tidak bisa dikatakan bahwa semakin prematur bayi atau

semakin berat derajat penyakitnya, akan semakin rendah

kadar kalsium serum.

Tidak ada hubungan antara nilai CRP dengan kadar

kalsium serum sehingga tidak bisa dijadikan prediktor

terhadap beratnya proses infeksi atau inflamasi yang terjadi.

Hipokalsemia refrakter terjadi pada bayi yang sakit berat

seperti kasus hernia diafragma, perdarahan intrakranial dan

SMD. Pada kasus hernia diafragma yang menjalani operasi

hernioplasti, bayi masuk dengan kadar kalsium sangat rendah

(4,4 mg/dL) dan tidak ada perbaikan walaupun sudah

dilakukan koreksi kalsium, sampai lebih kurang satu minggu.

Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak

bisa diperiksa, seperti kadar hormon PTH dan kalsitonin,

fosfat dan magnesium.

Kelemahan pada penelitian ini adalah kadar kalsium

yang digunakan adalah kadar kalsium serum karena di tempat

penelitian masih belum tersedia pemeriksaan kalsium ion.

Kelemahan lain adalah semua bayi yang diteliti telah dipasang

cairan intravena hari pertama, yaitu D10% ditambah dengan

kalsium gluconas 1 ml/50 ml, tetapi penambahan ini masih

dibawah dosis yang dianjurkan, yaitu 40-50 mg kalsium el-

emental/kgBB/hari, setara dengan penambahan kalsium

gluconas 2-4 ml/50 ml. Kami tidak menambahkan sampai

jumlah tersebut karena kekhawatiran terhadap ekstravasasi

cairan intravena.

Kesimpulan

Kejadian hipokalsemia cukup sering ditemukan pada

neonatus tetapi tidak berhubungan dengan derajat penyakit.

Pemeriksaan kalsium serum perlu dilakukan pada semua bayi

risiko tinggi yang dirawat di ruang perinatologi/unit intensif

neonatus, tidak hanya pada bayi-bayi yang sakit berat.

Pemberian suplementasi kalsium pada cairan intravena

sebaiknya dimulai sejak hari pertama untuk mencegah

terjadinya hipokalsemia pada bayi-bayi sakit, karena

hipokalsemia bisa menyebabkan kejang dan berbagai gejala

sistemik nonspesifik lainnya.

Pemberian bolus kalsium glukonas untuk koreksi kejang

pada neonatus sebaiknya dipertimbangkan kembali karena

ternyata tidak banyak bayi dengan kejang yang menderita

hipokalsemia.

Daftar Pustaka

1. Rigo J, Mohamed MW, De Curtis M. Disorders of calcium, phos-

phorus and magnesium metabolism. In: Martin RJ, Fanaroff AA,

Walsh MC, editors. Fanaroff and Martin’s neonatal-perinatal

medicine, diseases of the fetus and infant. 9th Ed. St. Louis-

Missouri: Elsevier Mosby; 2011. p. 1523–56.

2. Thomas T, Smith JM, White PC, Adhikari S. Transient neonatal

hypocalcemia: presentation and outcomes. Pediatrics. 2012;

129:e1461-7.

3. David L, Anast CS. Calcium metabolism in newborn infants; the

interrelationship of parathyroid function and calcium, magne-

sium and phosphorus metabolism in normal, “sick”, and hypoc-

alcemic newborns. J Clin Invest. 1974;54:287-96.

4. Pitkin RM, Cruikshank DP, Schauberger CW, Reynolds WA,

Williams A, Hargis GK. Fetal calcitropic hormones and neonatal

calcium hemostasis. Pediatrics. 1980;66:77–82.

5. Kliegman R. Problems in metabolic adaptation: glucose, calcium,

and magnesium. In: Klaus MH, Fanaroff AA. Care of the high-

risk neonate. 5th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001.

p. 301-23.

6. Abrams SA. Abnormalities of serum calcium and magnesium. In:

Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neo-

natal care. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott Willian & Wilkins;

2008. p. 550-5.

7. Koo W. Hypocalcemia. In: Polin R, Lorenz J, editors. Pocket

clinician – Neonatology. Cambridge: Cambridge University Press;

2008. p. 438-42.

8. Mizrahi EM, Kellaway P. Diagnosis and management of neona-

tal seizures. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1998.

9. Puopolo K. Bacterial and fungal infections. In: Cloherty JP,

Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6th

Ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. p. 275-

300.

10. Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C, Tsang RC.

Calcium regulating hormones and minerals from birth to 18

months of age: a cross sectional study. Effects of sex, race, age,

season and diet on serum minerals, parathyroid hormone and

calcitonin. Pediatrics. 1986;77:891-6.

11. Salsbury DJ, Brown DR. Effect of parenteral calcium treatment

on blood pressure and heart rate in neonatal hypocalcemia. Pedi-

atrics. 1982;69:605-9.