Upload
sarinah-ryna
View
58
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hipokalsemi
Citation preview
Artikel Penelitian
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012386
Faktor yang MemengaruhiAngka Kejadian Hipokalsemia di
Ruang Rawat Neonatal
Rizalya Dewi,* Rinawati Rohsiswatmo**
*Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Pekanbaru
**Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak
Pendahuluan: Kadar kalsium serum relatif masih tinggi pada saat kelahiran, tetapi menurun
dengan cepat dan mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Berbagai keadaan seperti
kelahiran prematur, asfiksia, ibu diabetes melitus, asidosis, alkalosis, serta pemakaian obat-
obatan pada ibu dapat mempercepat proses ini. Gejala yang sering ditemukan pada hipokalsemia
neonatorum adalah kejang dan dapat pula disertai gejala lain seperti kembung, hipotonia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian hipokalsemia pada neonatus
risiko tinggi di ruang perawatan neonatal khusus maupun intensif, serta mencari berbagai
faktor yang memengaruhinya.
Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melihat rekam medis neonatus yang dirawat
di RSIA Eria Bunda Pekanbaru selama tahun 2011.
Hasil: Ditemukan hipokalsemia sebesar 36% dari total 97 neonatus yang diperiksa dalam 24
jam pertama.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan antara kejang, asfiksia, berat lahir, dan infeksi dengan
kadar kalsium serum. J Indon Med Assoc. 2012;62:386-90.
Kata kunci: hipokalsemia, neonatus, ruang rawat
Korespondensi: Rizalya Dewi,
Subbagian Neonatologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda,
Pekanbaru
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012 387
Factors Associated with Hypocalcemia in Neonatal Ward
Rizalya Dewi*, Rinawati Rohsiswatmo**
*Neonatology Subdivision, Eria Bunda Mother and Child Hospital, Pekanbaru
**Neonatology Subdivision, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract
Introduction: Calcium concentration is relatively high at the time of birth, but it abruptly de-
creases in 24 to 48 hours of life. Many conditions may affect this process, such as preterm birth,
perinatal asphyxia, infant of diabetic mother, acidosis, alkalosis, and maternal use of certain
drugs. The most frequent sign of hypocalcaemia is general seizure, accompanied with other non
specific symptoms such as abdominal distention and hypotonia. The aim of this study are to find
the incidence of hypocalcaemia in the neonatal ward and to find any relationships with factors that
might influence the incidence.
Methods: This is a retrospective study. Data were taken from medical records of all newborn
hospitalized in Eria Bunda Mother and Children Hospital of Pekanbaru in 2011.
Results: Out of 97 neonates that were examined in the first 24 hour, 36% were hypocalcemia.
Conclusion: There are no correlation between disease severity and serum calcium concentra-
tion. J Indon Med Assoc. 2012;62:386-90.
Keywords: hypocalcemia, neonatus, neonatal ward
Pendahuluan
Kalsium merupakan salah satu mineral penting yang
berguna untuk pembentukan tulang serta berbagai proses
fisiologis, seperti transportasi antar membran sel, aktivasi
dan inhibisi beberapa enzim, regulasi metabolik intraseluler,
sekresi dan aktivasi hormon, proses pembekuan darah,
kontraktilitas otot dan konduksi sistem syaraf. Sembilan
puluh persen kalsium tubuh berada di dalam tulang, sedikit
diantaranya terdapat di ruangan intra dan ekstra seluler.
Homeostasis kalsium merupakan proses kompleks yang
membutuhkan berbagai hal, antara lain suplai adekuat, proses
absorbsi yang memadai di usus, serta bantuan beberapa
hormon seperti paratiroid, vitamin D dan kalsitonin.1-3
Selama masa kehamilan, kalsium didapatkan fetus dari
plasenta. Dari analisis fetus didapatkan bahwa pada trimes-
ter terakhir, fetus menerima 120 mg kalsium/kgBB per hari.
Pada saat kelahiran, neonatus cukup bulan mempunyai
kurang lebih 30 gram kalsium di dalam tubuhnya.1,3
Kalsium serum merupakan satu persen dari kalsium
tubuh total, terdapat di dalam cairan ekstraseluler dan jaringan
lunak. Kalsium serum terdiri dari komponen ion (50%), terikat
dengan protein (40%), terutama albumin, serta sebagian kecil
(8-10%) terikat dengan asam organik dan inorganik seperti
sitrat, laktat, bikarbonat dan sulfat. Dalam keadaan normal,
kadar kalsium serum diatur oleh hormon paratiroid (PTH)
dan kalsitriol (1,25-dihydroxy vitamin D3; 1,25[OH]
2D
3) yang
berfungsi untuk meningkatkan kadar kalsium serum, serta
kalsitonin untuk menurunkan kadar kalsium serum.1,5
Kadar kalsium serum relatif tinggi pada saat kelahiran,
tetapi menurun dengan cepat pada jam-jam pertama, sehingga
mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Penurunan ini
terjadi karena terputusnya suplai kalsium plasenta serta
meningkatnya kadar hormon kalsitonin di dalam darah
neonatus. Hal ini direspon oleh bayi dengan meningkatnya
kadar PTH (PTH surge) dan sintesis vitamin D3 setelah
hari
kedua. Respon tersebut bahkan dapat lebih lama pada bayi
prematur, sehingga terjadi peningkatan kadar kalsium pada
akhir minggu pertama. Berbagai keadaan bisa mempengaruhi
proses homeostasis ini seperti kelahiran prematur, asfiksia,
ibu diabetes, asidosis, alkalosis, serta pemakaian obat pada
ibu terutama glukokortikoid, fenitoin, dan fenobarbital.1-4
Hipokalsemia didefinisikan dengan berbagai batasan,
antara lain sebagai kadar kalsium yang kurang dari 8 mg/dL
(2 mmol/L), 7,48 mg/dL (1,87 mmol/L) atau 7 mg/dL (1,75 mmol/
L). Definisi yang lebih tepat didasarkan pada kadar kalsium
ion, tetapi pada kadar asam-basa dan albumin yang normal,
nilai ini mempunyai korelasi linier dengan kadar kalsium se-
rum, sehingga pengukuran kadar kalsium serum bisa
digunakan sebagai skrining pertama. Pengukuran kadar
Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal
Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012388
kalsium serum sebaiknya dilakukan setiap hari pada bayi-
bayi dengan risiko hipokalsemia. Pada kejang neonatal, peme-
riksaan kadar kalsium serum merupakan salah satu peme-
riksaan yang harus dilakukan, di samping pemeriksaan sep-
tic work up, kadar glukosa, magnesium dan elektrolit.1,5-7
Manifestasi klinis hipokalsemia sangat mirip dengan
beberapa gangguan lain pada masa neonatal, diantaranya
hipoglikemia, sepsis, meningitis, asfiksia, perdarahan
intrakranial dan sindrom withdrawal. Hipokalsemia pada
neonatus dapat terjadi tanpa gejala (asimptomatik). Semakin
imatur, semakin samar dan bervariasi gejalanya. Pada
neonatus, gejala utama hipokalsemia adalah jitteriness
(peningkatan aktifitas dan iritabilitas neuromuskuler) dan
kejang umum, walaupun kejang fokal juga pernah dilaporkan.
Hal itu terjadi karena hipokalsemia meningkatkan permea-
bilitas ion natrium dan meningkatkan eksitabilitas membran
sel.5-7 Gejala lainnya tidak spesifik, antara lain letargi, tidak
mau menyusu, muntah, apnoe, stridor (laringospasme),
hiperrefleksia dan distensi abdomen.7,8 Derajat timbulnya
gejala tidak berhubungan dengan kadar kalsium yang
ditemukan. Diagnosis hipokalsemia ditegakkan dengan
mengukur kadar kalsium ion atau kalsium serum. Pengukuran
hormon pengatur kalsium tidak lazim dilakukan, kecuali jika
hipokalsemia berlangsung lama, sukar dikoreksi (refractory)
atau berulang (recurrent).1-4
Untuk koreksi dan terapi pada keadaan hipokalsemia,
diberikan berbagai preparat kalsium. Kalsium glukonas 10%
merupakan cairan yang sering digunakan, terdiri dari 9mg
kalsium elemental setiap mililiter. Pemberian kalsium intravena
harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat menimbulkan
bradikardia serta nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi.
Hati-hati juga dengan pemberian kalsium melalui vena
umbilikal, karena konsentrasi kalsium yang tinggi dapat
menyebabkan nekrosis hati.1,5-7
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian
hipokalsemia di ruang rawat neonatus RSIA Eria Bunda
Pekanbaru, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,
sehingga bisa dijadikan acuan untuk pemeriksaan rutin di
unit neonatologi selanjutnya. Hasil pemeriksaan kalsium ini
nantinya dihubungkan dengan kadar C-reactive protein
(CRP) yang diambil pada saat bersamaan, untuk mengetahui
apakah kadar kalsium mempunyai korelasi dengan kadar CRP
sebagai penanda inflamasi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kadar kalsium
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan di masa perinatal, seperti
prematuritas, asfiksia, sepsis dan berbagai hal lain. Kami
mempunyai hipotesis bahwa (1) kadar kalsium akan rendah
pada neonatus risiko tinggi dengan keadaan-keadaan di atas;
(2) sebagian besar keadaan-keadaan tersebut juga menim-
bulkan reaksi inflamasi sistemik yang bisa meningkatkan
kadar CRP, karena CRP adalah protein fase akut yang mening-
kat pada reaksi peradangan dan nekrosis jaringan. Kadar
CRP juga meningkat pada berbagai infeksi serta inflamasi
seperti asfiksia9; (3) penurunan kalsium yang terjadi, akan
berhubungan dengan peningkatan kadar CRP pada neonatus.
Metode
Penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melihat rekam
medis neonatus yang dirawat di ruang neonatus di RSIA Eria
Bunda Pekanbaru. Semua rekam medis bayi yang dirawat
selama tahun 2011 dilihat dan dicatat data dasar seperti jenis
kelamin, cara kelahiran, serta tempat lahir (di rumah sakit atau
kiriman dari tempat lain). Data lain yang dicatat adalah diag-
nosis, terapi oksigen yang digunakan, kadar C-reactive pro-
tein (CRP) dan kalsium serum. Data kalsium serum yang
diambil adalah data dalam 24 jam pertama kelahiran. Data
yang didapatkan dianalisis secara bivariat dan multivariat
dengan program SPSS. Definisi hipokalsemia yang dipakai
pada penelitian ini adalah jika kadar kalsium berada di bawah
7 mg/dL.
Hasil
Selama tahun 2011, sebanyak 189 bayi dirawat di ruang
rawat/unit intensif neonatus di RSIA Eria Bunda Pekanbaru,
rata-rata 15,7 bayi per-bulan. Pemeriksaan kalsium serum
dalam 24 jam pertama dilakukan terhadap sembilan puluh tujuh
orang.
Rerata kadar kalsium pada pemeriksaan masih berada
dalam batas normal, yaitu 9,1 mg/dL. Kadar kalsium terendah
Tabel 1. Karakteristik bayi dan rerata kadar kalsium serum
Jumlah bayi Rerata kadar
kalsium (mg/dL)
Jumlah bayi (n) 97 9,1+2,3
Hipokalsemia (n;%) 35 (36) 6,6 + 0,65
Jenis Kelamin (n;%)
Laki-laki 61 (62,9) 9 + 2,37
Perempuan 36 (37,1) 9,28 + 2,28
Tempat lahir: (n;%)
Di dalam rumah sakit 41 (42,3) 9,5 + 2,19
Dari luar rumah sakit 56 (57,7) 8,8 + 2,4
Kelahiran: (n;%)
Spontan 45 (46) 9 + 2,39
Operasi Sesar 51 (52,3) 9,5 + 2,25
Ekstraksi vakum 1 (1) 7,9
Masalah : (n;%)
BBLR : 47 (47,7) 9,3 + 2,27
o Prematur 30 (64,5) 9 + 2,24
o Dismatur 17 (35,5) 9,9 + 2,35
Gawat napas 51 (52,3) 9,4 + 2,28
Infeksi 23 (23,1) 8,9 +2,69
Asfiksia 20 (20,1) 9,4 + 2,36
Kejang neonatus 23 (23,1) 9,8 + 2,38
Kelainan bawaan 7 (7,2) 10,2 + 2,51
Terapi oksigen: (n;%)
Tidak ada1 7 (17,5) 9,5 + 2,37
Nasal kanul 30 (30,1) 9 + 2,02
CPAP 32 (33,3) 9,8 + 2,19
Ventilasi mekanik 18 (19) 8,8 + 2,92
CRP
< 6 75 (77,3) 9,1 + 2,18
> 6 22 (22,7) 8,9 + 2,85
Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012 389
ditemukan pada neonatus dengan hernia diafragma (4,4 mg/
dL) dan kadar tertinggi (15 mg/dL) pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) 2100 gr dengan sindrom gawat napas.
Pada semua karakteristik yang diuji, tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna pada kadar kalsium serum. Kadar
kalsium tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, cara kelahiran,
diagnosis dan terapi oksigen yang diberikan. Bayi yang
berasal dari luar rumah sakit, mempunyai rata-rata kalsium
yang lebih rendah (8,8 mg/dL) daripada bayi yang lahir di
rumah sakit (9,5 mg/dL), tetapi setelah diuji, nilai P yang
ditemukan tidak bermakna (0,213).
Berdasarkan cara kelahiran, bayi dengan ekstraksi
vakum mempunyai kadar kalsium serum rendah (7,9 mg/dL),
tetapi persalinan ini hanya terjadi pada satu bayi sehingga
tidak bisa dibandingkan dengan cara kelahiran lain (persalinan
spontan dan operasi).
Perbedaan kadar kalsium serum ternyata juga tidak
bermakna antara bayi dengan CRP positif (nilai CRP lebih
dari enam) dan CRP negatif (nilai kurang atau sama dengan
enam). Saat dilakukan uji korelasi antara kadar CRP dengan
nilai kalsium serum, didapatkan koefisien korelasi -0,023,
artinya tidak terdapat hubungan antara nilai CRP dengan
kadar kalsium serum.
Dari 97 orang bayi, 35 (36%) di antaranya mengalami
hipokalsemia, dengan kadar kalsium rata-rata 6,6 mg/dL. Bayi-
bayi yang menderita hipokalsemia, terdiri dari berbagai diag-
nosis, antara lain prematuritas, asfiksia/HIE, sindrom gawat
napas (HMD dan pneumonia), hernia diafragma serta
kemungkinan spinal muscular distrophy (SMD). Tujuh bayi
diantaranya adalah BBLR (3 orang prematur dan 4 orang
dismatur) dengan berat badan berkisar antara 1900-2400 gram,
tidak ditemukan bayi BBLSR dan BBLASR yang menderita
hipokalsemia pada hari pertama.
Kasus hipokalsemia lainnya adalah kelainan bawaan
yang didiagnosis sebagai kemungkinan SMD, dengan kadar
kalsium serum 6 mg/dL; serta satu kasus hernia diafragma
kongenital, dengan kadar kalsium 4,4 mg/dL. Pada kasus ini,
hipokalsemia yang ditemukan berulang sampai selesai
operasi, refrakter dengan koreksi kalsium, baru kembali nor-
mal setelah satu minggu dan diberikan koreksi kalsium dua
kali per hari. Hipokalsemia juga didapatkan pada masing-
masing satu kasus neonatal sepsis awitan dini, asfiksia dan
transient tachypnoe of the newborn (TTN) dengan kalsium
serum berturut-turut enam, tujuh dan 5,6 mg/dL.
Diskusi
Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa kadar
kalsium serum relatif tinggi pada saat kelahiran, kemudian
menurun dengan cepat pada jam-jam pertama, sehingga
mencapai titik terendah pada usia 24-48 jam. Penurunan ini
terjadi karena terputusnya suplai kalsium plasenta serta
meningkatnya kadar hormon kalsitonin di dalam darah
neonatus. Berbagai kondisi pada neonatus bisa memper-
buruk keadaan ini seperti kelahiran prematur, asfiksia, ibu
diabetes, asidosis, dan alkalosis, serta pemakaian obat-
obatan pada ibu terutama glukokortikoid, fenitoin dan
fenobarbital.1-5
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada sebagian
besar kasus, kadar kalsium serum berada dalam batas normal
dengan rerata 9,1+2,3 mg/dL. Nilai ini hampir sama dengan
yang didapatkan oleh Specker BL, et al8 dalam penelitiannya
terhadap bayi sehat, yaitu 9,73+0,06 mg/dL. Angka kejadian
hipokalsemia yang ditemukan cukup tinggi, yakni 36%,
dengan rerata kadar kalsium 6,6+0,65 mg/dL. Hasil ini
menunjukkan bahwa hipokalsemia cukup sering ditemukan
dan pemeriksaan kalsium sebaiknya termasuk dalam peme-
riksaan yang pertama dilakukan di unit neonatus, karena
hipokalsemia dapat menyebabkan kejang, disertai dengan
gejala-gejala sistemik non spesifik lainnya.1,4-7
Hasil ini juga menunjukkan bahwa suplementasi kalsium
ke dalam cairan intravena sebaiknya telah diberikan sejak
hari pertama pada bayi-bayi risiko tinggi. Pemberian suple-
mentasi kalsium telah dianjurkan diberbagai kepustakaan,
berupa penambahan kalsium glukonas 10%, ke dalam cairan
intravena pada bayi dengan risiko tinggi, seperti bayi
prematur, sindrom gawat napas, asfiksia, sepsis dan persis-
tent pulmonary hypertension (PPHN). Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan kadar kalsium serum dalam batas normal
(8-10 mg/dL).1,4-7 Dosis yang dianjurkan adalah 40-50 mg
kalsium elemental /kgBB/hari.5
Pada hipokalsemia asimptomatik terdapat berbagai
pendapat. Beberapa peneliti tidak melakukan koreksi karena
dapat terjadi perbaikan spontan setelah beberapa waktu.
Pendapat lain menganjurkan untuk melakukan koreksi jika
kadar kalsium serum kurang dari 6 mg/dL atau kalsium ion
kurang dari 4,4 mg/dL (1,2 mmol/L) karena hipokalsemia
potensial menyebabkan gangguan pada sistem kardio-
vaskuler dan sistem saraf pusat.1,6
Hipokalsemia dikoreksi dengan pemberian kalsium
glukonas 2 ml/kgBB yang dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 24 -75mg/kgBB kalsium elemental perhari jika
terjadi kejang. Koreksi kalsium pada kejang neonatus bahkan
dapat diberikan sebelum hasil laboratorium didapatkan.1,3-6
Pada penelitian ini kadar kalsium pada bayi dengan
asfiksia dan kejang tidak terlalu rendah. Rata-rata kadar
kalsium serum pada keadaan ini berturut-turut adalah 9,4+2,36
dan 9,8+2,38 mg/dL. Hanya dua dari 20 orang bayi dengan
asfiksia dan empat dari 23 bayi dengan kejang yang mengalami
hipokalsemia. Koreksi kalsium untuk mengatasi kejang
mungkin dapat dipertimbangkan lagi, mengingat efek yang
mungkin terjadi pada pemberian bolus kalsium seperti
bradikardia, nekrosis jaringan karena ekstravasasi bahkan
nekrosis hati jika diberikan di vena umbilikal. Belum semua
unit neonatus di Indonesia mempunyai monitor untuk
memantau denyut jantung selama pemberian bolus kalsium
dan juga mungkin masih banyak unit neonatus yang masih
kesulitan untuk mendapatkan jalur intravena pada neonatus.
Kejadian nekrosis pasca bolus kalsium cukup sering
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 10, Oktober 2012
Faktor yang Memengaruhi Angka Kejadian Hipokalsemia di Ruang Rawat Neonatal
390
dilaporkan.1,5,7,11
Hipotesis awal bahwa nilai kalsium yang ditemukan
mungkin berhubungan dengan diagnosis penyakit dan
derajat inflamasi tidak terbukti. Tingkat prematuritas tidak
mempengaruhi nilai kalsium serum, demikian juga dengan
derajat asfiksia serta beratnya penyakit secara umum. Jadi,
tidak bisa dikatakan bahwa semakin prematur bayi atau
semakin berat derajat penyakitnya, akan semakin rendah
kadar kalsium serum.
Tidak ada hubungan antara nilai CRP dengan kadar
kalsium serum sehingga tidak bisa dijadikan prediktor
terhadap beratnya proses infeksi atau inflamasi yang terjadi.
Hipokalsemia refrakter terjadi pada bayi yang sakit berat
seperti kasus hernia diafragma, perdarahan intrakranial dan
SMD. Pada kasus hernia diafragma yang menjalani operasi
hernioplasti, bayi masuk dengan kadar kalsium sangat rendah
(4,4 mg/dL) dan tidak ada perbaikan walaupun sudah
dilakukan koreksi kalsium, sampai lebih kurang satu minggu.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak
bisa diperiksa, seperti kadar hormon PTH dan kalsitonin,
fosfat dan magnesium.
Kelemahan pada penelitian ini adalah kadar kalsium
yang digunakan adalah kadar kalsium serum karena di tempat
penelitian masih belum tersedia pemeriksaan kalsium ion.
Kelemahan lain adalah semua bayi yang diteliti telah dipasang
cairan intravena hari pertama, yaitu D10% ditambah dengan
kalsium gluconas 1 ml/50 ml, tetapi penambahan ini masih
dibawah dosis yang dianjurkan, yaitu 40-50 mg kalsium el-
emental/kgBB/hari, setara dengan penambahan kalsium
gluconas 2-4 ml/50 ml. Kami tidak menambahkan sampai
jumlah tersebut karena kekhawatiran terhadap ekstravasasi
cairan intravena.
Kesimpulan
Kejadian hipokalsemia cukup sering ditemukan pada
neonatus tetapi tidak berhubungan dengan derajat penyakit.
Pemeriksaan kalsium serum perlu dilakukan pada semua bayi
risiko tinggi yang dirawat di ruang perinatologi/unit intensif
neonatus, tidak hanya pada bayi-bayi yang sakit berat.
Pemberian suplementasi kalsium pada cairan intravena
sebaiknya dimulai sejak hari pertama untuk mencegah
terjadinya hipokalsemia pada bayi-bayi sakit, karena
hipokalsemia bisa menyebabkan kejang dan berbagai gejala
sistemik nonspesifik lainnya.
Pemberian bolus kalsium glukonas untuk koreksi kejang
pada neonatus sebaiknya dipertimbangkan kembali karena
ternyata tidak banyak bayi dengan kejang yang menderita
hipokalsemia.
Daftar Pustaka
1. Rigo J, Mohamed MW, De Curtis M. Disorders of calcium, phos-
phorus and magnesium metabolism. In: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, editors. Fanaroff and Martin’s neonatal-perinatal
medicine, diseases of the fetus and infant. 9th Ed. St. Louis-
Missouri: Elsevier Mosby; 2011. p. 1523–56.
2. Thomas T, Smith JM, White PC, Adhikari S. Transient neonatal
hypocalcemia: presentation and outcomes. Pediatrics. 2012;
129:e1461-7.
3. David L, Anast CS. Calcium metabolism in newborn infants; the
interrelationship of parathyroid function and calcium, magne-
sium and phosphorus metabolism in normal, “sick”, and hypoc-
alcemic newborns. J Clin Invest. 1974;54:287-96.
4. Pitkin RM, Cruikshank DP, Schauberger CW, Reynolds WA,
Williams A, Hargis GK. Fetal calcitropic hormones and neonatal
calcium hemostasis. Pediatrics. 1980;66:77–82.
5. Kliegman R. Problems in metabolic adaptation: glucose, calcium,
and magnesium. In: Klaus MH, Fanaroff AA. Care of the high-
risk neonate. 5th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001.
p. 301-23.
6. Abrams SA. Abnormalities of serum calcium and magnesium. In:
Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neo-
natal care. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott Willian & Wilkins;
2008. p. 550-5.
7. Koo W. Hypocalcemia. In: Polin R, Lorenz J, editors. Pocket
clinician – Neonatology. Cambridge: Cambridge University Press;
2008. p. 438-42.
8. Mizrahi EM, Kellaway P. Diagnosis and management of neona-
tal seizures. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1998.
9. Puopolo K. Bacterial and fungal infections. In: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6th
Ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. p. 275-
300.
10. Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C, Tsang RC.
Calcium regulating hormones and minerals from birth to 18
months of age: a cross sectional study. Effects of sex, race, age,
season and diet on serum minerals, parathyroid hormone and
calcitonin. Pediatrics. 1986;77:891-6.
11. Salsbury DJ, Brown DR. Effect of parenteral calcium treatment
on blood pressure and heart rate in neonatal hypocalcemia. Pedi-
atrics. 1982;69:605-9.