Upload
vuongmien
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Program Lifeskill Wanita Pra dan Usia Lanjut di Bogor
Program Lifeskills Wanita Pra dan Usia Lanjut (WULAN) adalah suatu
program pemberdayaan usia lanjut yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan
Nasional dan bekerjasama dengan Yayasan Aspirasi Muslimah Indonesia
(YASMINA), dan Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Program
tersebut diikuti oleh wanita pra usia lanjut dan usia lanjut yang berumur 45-85
tahun.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh program pemberdayaan
usia lanjut ini yaitu:
1. Perawatan usia lanjut, kegiatan ini mendidik usia lanjut untuk merawat diri
sendiri di usianya sekarang meliputi pengetahuan tentang makanan, gizi
seimbang dan olahraga yang baik untuk menjaga kesehatan usia lanjut.
2. Kemandirian sosial, kegiatan ini meliputi penyuluhan tentang cara
berkomunikasi yang baik kepada orang lain dan membuat social group
seperti kelompok pengajian agar para usia lanjut dapat berkomunikasi
dan menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang-orang sekitarnya.
3. Kemandirian ekonomi, dalam kegiatan ini usia lanjut diajarkan untuk
berkreatifitas seperti menyulam dan mendaur ulang sampah plastik.
Tujuan umum dari program pemberdayaan usia lanjut ini adalah
meningkatkan kemandirian sosial ekonomi dari usia lanjut, sedangkan tujuan
khususnya adalah: meningkatkan kesehatan usia lanjut; memperbaiki pola hidup
yang baik; meningkatkan status gizi; dan meningkatkan keterampilan untuk
menunjang perekonomian. Keluaran dari program pemberdayaan usia lanjut
tersebut adalah meningkatkan pendapatan peserta program.
Peserta program terdiri dari kelompok pengajian ibu-ibu Agrianita dan
kelompok pengajian ibu-ibu Desa Babakan. Kedua kelompok pengajian ini
berada dalam binaan Agrianita Institut Pertanian Bogor. Kelompok pengajian ibu-
ibu Agrianita terdiri dari istri pensiunan, dosen ataupun pegawai IPB. Sebagian
besar anggota kelompok pengajian Agrianita bertempat tinggal di Perumahan
Dosen dalam komplek lingkar kampus IPB. Ada juga ibu-ibu kelompok pengajian
Agrianita yang tinggal di daerah Kota Bogor. Ibu-ibu kelompok pengajian Desa
Babakan bertempat tinggal di daerah Babakan Raya yang tersebar antara RT 01,
02, 03, 04, dan 07.
38
Kedua kelompok pengajian ini mengadakan pengajian bersama setiap
satu bulan sekali yang biasanya dilakukan pada hari rabu minggu kedua atau
ketiga setiap bulannya. Tempat dilaksanakannya pengajian adalah Wisma Land
Huis lingkar kampus IPB. Setiap acara pengajian juga diisi dengan beberapa
kegiatan seperti pemeriksaan klinis, edukasi gizi dan lain sebagainya.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Pendidikan. Sebagian besar populasi menempuh pendidikan formal
sampai tingkat sekolah dasar (SD), yaitu sebesar 45.2%. Sisanya menempuh
pendidikan hingga perguruan tinggi sebanyak 25.8%, SMA 19.4%, dan SMP
sebanyak 3.2%. Terdapat dua orang populasi yang tidak menamatkan
pendidikannya di sekolah dasar. Populasi tersebut berusia 80 tahun ke atas.
Penyebab dari populasi tidak bersekolah adalah karena kesulitan mendapatkan
akses untuk sekolah. Populasi yang tamat SD dan tidak tamat SD digolongkan
sebagai tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 51.6%. Populasi yang
menamatkan sekolah hingga SMP dan SMA digolongkan dalam tingkat
pendidikan sedang, yaitu sebesar 22.6%. Populasi yang digolongkan dalam
tingkat pendidikan tinggi adalah yang menamatkan pendidikan hingga perguruan
tinggi, yaitu sebesar 25.8%.
Hasil uji korelasi Spearman’s rho menunjukkan bahwa pendidikan
berhubungan sangat nyata dengan pendapatan keluarga (r = 0.767, p < 0.01),
dan besar keluarga (r = -0.458, p < 0.05). Hal tersebut berarti bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pendapatan keluarga dan semakin
sedikit jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi memungkinkan seseorang mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih baik juga. Jumlah
anggota keluarga yang besar menyebabkan beban perkapita yang besar.
Pendapatan. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata
penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga (Susanti dalam
Mutingatun 2006). Tingkat pendapatan populasi ditentukan berdasarkan
pendapatan keluarga perkapita. Rata-rata pendapatan perkapita populasi adalah
Rp 887 741 ± 598 769. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya
hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan pendapatan keluarga (r = -
0.507, p < 0.05). Mayoritas populasi adalah ibu rumah tangga (83.9%). Sekitar
39
14.1% populasi masih bekerja. Pekerjaan yang dilakukan populasi meliputi
bidang jasa (bibi cuci dan tukang pijat) dan PNS.
Mutingatun (2006) menyatakan bahwa usia lanjut di Indonesia masih
banyak bergantung pada orang lain terutama anak. Ketergantungan pada anak
lebih banyak diderita oleh wanita usia lanjut dan persentasenya naik dengan
bertambahnya usia. Banyak faktor yang menentukan status ekonomi usia lanjut.
Hal ini dapat disebabkan oleh produktivitas usia lanjut yang semakin berkurang
dengan bertambahnya usia sehingga pendapatan yang didapat tidak murni hasil
kerja usia lanjut.
Ada beberapa kondisi yang membatasi kesempatan kerja bagi pekerja
usia lanjut: (1) Wajib pensiun, pemerintah dan sebagian besar
industri/perusahaan mewajibkan pekerja pada usia tertentu untuk pensiun.
Mereka tidak mau lagi merekrut pekerja yang mendekati usia wajib pensiun,
karena waktu, tenaga dan biaya untuk melatih mereka sebelum bekerja relatif
mahal; (2) Jika personalia perusahaan dijabat orang yang lebih muda, maka para
usia lanjut sulit mendapatkan pekerjaan; (3) Sikap sosial. Kepercayaan bahwa
pekerja yang sudah tua mudah terkena kecelakaan, karena kerja lamban, perlu
dilatih agar menggunakan teknik-teknik modern merupakan penghalang utama
bagi perusahaan untuk mempekerjakan orang usia lanjut; (4) Fluktuasi dalam
daur usaha. Jika kondisi usaha suram maka usia lanjut adalah yang pertama kali
harus diberhentikan dan kemudian digantikan orang yang lebih muda apabila
kondisi usaha sudah membaik (Hurlock dalam Marga 2007).
Besar Keluarga. Besar keluarga menurut BKKBN (1998) dibagi menjadi
keluarga kecil jika anggota keluarga ≤4 orang, sedang jika terdiri dari 5-6 orang
dan besar jika ≥7 orang dalam satu keluarga. Populasi yang tergolong keluarga
kecil sejumlah 61.3%. Populasi yang tergolong keluarga sedang sebanyak 38.7%
dan tidak ada populasi yang tergolong keluarga besar. Populasi dengan besar
keluarga sedang biasanya tinggal bersama anak, menantu dan cucu. Mayoritas
(61.3%) populasi tinggal terpisah dari anak dan hanya berdua dengan suami.
Sebagian besar populasi masih terikat perkawinan, yaitu sebanyak 48.4%.
Populasi yang bercerai sejumlah 6.5% sedangkan populasi yang merupakan
janda meninggal sebanyak 45.2%. Sebagian besar populasi yang suaminya telah
meninggal, berusia lebih dari 65 tahun.
Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah akan
mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang disediakan dalam keluarga.
40
Menurut Puspita (2010), semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin
mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga. Tabel 12
menunjukkan sebaran populasi menurut usia, status perkawinan, besar keluarga,
tingkat pendidikan, dan pendapatan.
Tabel 12 Sebaran populasi menurut karakteristik individu
Variabel
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
Status Perkawinan Kawin 11 57.9 4 33.3 15 48.4
Cerai 2 10.5 0 0 2 6.4
Cerai mati 6 31.6 8 66.7 14 45.2
Total 19 100.0 12 100.0 31 100.0
Besar Keluarga ≤4 (kecil) 10 52.6 9 75 19 61.3
5-7 (sedang) 9 47.4 3 25 12 38.7
>7 (besar) 0 0 0 0 0 0
Total 19 100.0 12 100.0 31 100.0
Pendidikan Rendah 9 47.4 7 58.3 16 51.6
Sedang 5 26.3 2 16.7 7 22.6
Tinggi 5 26.3 3 25.0 8 25.8
Total 19 100.0 12 100.0 31 100.0
Pendapatan ≤ Rp 500.000 2 10.5 4 33.3 6 19.4
Rp 500.000-Rp 1.000.000 7 36.8 3 25.0 10 32.2
Rp 1.000.000-3.000.000 10 52.6 5 41.7 15 48.4
Total 19 100.0 12 100.0 31 100.0
Karakteristik Individu
Usia
Peserta Program Lifeskill Wanita dan Usia Lanjut di Bogor berusia 55-85
tahun, yaitu sejumlah 39 orang. Peserta program yang dapat diambil seluruhnya
sebagai populasi dalam penelitian adalah sejumlah 31 orang, yaitu sekitar
44.6%. Jumlah tersebut didapat setelah dikenai kriteria inklusi dan eksklusi.
Menurut Departemen Kesehatan (1991), pengelompokan usia lanjut dini yaitu
kelompok dalam masa prasenium adalah 55-64 tahun dan kelompok usia lanjut
dalam masa senium berusia 65 tahun ke atas. Populasi yang berusia 55-64
tahun sekitar 61.3% dari seluruh populasi yang diambil, sedangkan yang berusia
65 tahun ke atas sejumlah 38.7%. Populasi tertua dalam penelitian ini berusia 85
tahun. Rataan usia populasi dalam penelitian ini adalah 64.5 ± 9.0 tahun.
Sebaran populasi menurut usia dapat dilihat pada tabel 13.
41
Tabel 13 Sebaran populasi menurut usia
Usia (tahun) Rataan Jumlah
n %
55-64 58.6±3.4 19 61,3
≥65 73.8±6.6 12 38,7
Total 31 100
Usia Menarche
Menarche merupakan saat wanita mengeluarkan haid yang pertama. Usia
terjadinya haid yang pertama pada umumnya sekitar 11-13 tahun (Oswari 1997).
Usia menarche populasi pada penelitian ini tersebar antara usia 11 tahun hingga
17 tahun. Rata-rata usia menarche populasi adalah 13.42 ± 1.78 tahun. Hal ini
sejalan dengan WHO (1995) dalam Lusiana (2008) bahwa rata-rata usia
menarche wanita yang dilahirkan sekitar tahun 1940 adalah 13.3 tahun. Sebaran
populasi menurut usia menarche dapat dilihat pada tabel 14.
Tabel 14 Sebaran populasi menurut usia menarche
Usia Menarche
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
<11 tahun 0 0 0 0 0 0
11 tahun 3 15.8 2 16.7 5 16.1
12 tahun 1 5.3 2 16.7 3 9.7
13 tahun 4 21.1 3 25.0 7 22.6
>13 tahun 11 57.9 5 41.7 16 51.6
Total 19 100 12 100 31 100
Menurut penelitian yang dilakukan Bagga dan Kulkarni (2000), usia
menarche terbagi dalam kategori: cepat (<11 tahun), Ideal (11-13 tahun),
terlambat (>13 tahun). Menurut Jones et al. (1996), rata-rata usia wanita ketika
pertama kali menstruasi yaitu ketika berusia 13 tahun. Sebagian besar populasi
menarche pada usia ideal, yaitu sebesar 58.1% dan populasi mengalami
menarche yang terlambat sebesar 41.9%. Menurut Vandeloo (2007) faktor-faktor
yang mempengaruhi menarche cepat antara lain: Indeks Massa Tubuh (IMT),
kebiasaan minum minuman bersoda (soft drink), tingkat pendidikan orang tua,
konsumsi daging, dan aktifitas fisik. Pada orang dengan aktivitas tinggi umumnya
menarche datang terlambat.
Berdasarkan hasil Riskesdas (2010) persentase usia menarche di
Provinsi Jawa Barat terjadi pada usia 13-14 tahun, yaitu sebesar 38.1%; usia
42
menarche 6-8 tahun sudah terjadi sebanyak 0.1% anak-anak baik di perkotaan
dan perdesaan. Untuk usia menarche 9-10 tahun, 11-12 tahun, serta 13-14 tahun
terjadi lebih banyak pada anak-anak di perkotaan dibanding perdesaan;
sebaliknya pada usia menarche 15-16 tahun ke atas lebih banyak terjadi di
perdesaan dibanding perkotaan. Berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat
pengeluaran terlihat kecenderungan persentase umur menarche 13-14 tahun
cenderung lebih rendah pada tingkat pendidikan/status ekonomi terendah
dibanding tingkat pendidikan/status ekonomi teratas.
Pengetahuan Gizi dan Menopause
Pengetahuan gizi dan menopause adalah pengetahuan menopause yang
dikaitkan dengan gizi tentang bagaimana menopause dan penanganannya.
Rata-rata populasi memiliki pengetahuan gizi cukup. Populasi yang memiliki
pengetahuan gizi menopause baik berjumlah 3 orang (9.7%) dan semuanya
menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Sebagian besar populasi
memiliki pengetahuan gizi menopause cukup, yaitu sebesar 71%. Populasi yang
memiliki pengetahuan gizi menopause kurang sebesar 19.3%. Pengetahuan itu
diperoleh dari beberapa hal seperti pengalaman, pendidikan yang diperoleh,
ataupun dari lingkungan.
Tabel 15 Sebaran populasi menurut pengetahuan gizi menopause dan pendidikan
Pendidikan
Kategori Pengetahuan Gizi Menopause
Baik >80 Cukup 60-80 Kurang <60 Total
n % n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Rendah 0 0 7 50.0 2 66.7 9 45.0
Sedang 0 0 4 28.6 1 33.3 5 25.0
Tinggi 3 100.0 3 21.4 0 0 6 30.0
Jumlah 3 100.0 14 100.0 3 100.0 20 100.0
Usia 65-85 tahun
Rendah 0 0 5 62.5 2 66.7 7 63.6
Sedang 0 0 1 12.5 1 33.3 2 18.2
Tinggi 0 0 2 25.0 0 0 2 18.2
Jumlah 0 0 8 100.0 3 100.0 11 100.0
Total
Rendah 0 0 12 54.6 4 66.7 16 51.6
Sedang 0 0 5 22.7 2 33.3 7 22.6
Tinggi 3 100.0 5 22.7 0 0 8 25.8
Total 3 100.0 22 100.0 6 100.0 31 100.0
43
Data diatas menunjukkan bahwa pendidikan formal terbanyak populasi
adalah sampai tingkat SD (51.6%). Hal ini berarti tingkat pengetahuan populasi
melalui pendidikan formal tidak terlalu baik yang dapat berpengaruh terhadap
wawasan pengetahuan populasi. Populasi lebih banyak menjawab pertanyaan
berdasarkan pengalaman pribadi dan informasi yang didapat secara informal
melalui kegiatan-kegiatan sosial. Hasil uji korelasi Spearman’s rho menunjukkan
adanya hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan mengenai gizi dan
menopause dengan tingkat pendidikan (r = 0.714, p < 0.01). Hal tersebut berarti
bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi menjadikan pengetahuan gizi dan
menopause lebih baik.
Seluruh populasi (100%) mengetahui pengertian menopause walaupun
ada beberapa populasi yang tidak biasa dengan kata menopause. Pengajuan
pertanyaan tentang pengertian menopause, diterjemahkan dalam bahasa daerah
setempat (baqi) sehingga populasi dapat menjawab dengan baik. Hampir seluruh
populasi (96.8%) mengetahui usia awal seorang wanita biasanya mengalami
menopause. Populasi menjawab pertanyaan tentang usia menopause
berdasarkan pengalaman populasi mendapat menopause. Pengetahuan
populasi tentang gejala menopause sebesar 93.5%. Populasi jarang
memeperhatikan gejala yang timbul sebelum ataupun saat menopause.
Beberapa gejala yang tampak mencolok saja yang diketahui populasi, seperti
haid yang menjadi jarang dan akhirnya berhenti. Sebesar 58% populasi
mengetahui penyebab menopause. Keluhan menopause yang timbul jarang
disadari oleh populasi. Sebanyak 51.6% populasi mengetahui tentang keluhan-
keluhan yang terjadi saat menopause. Populasi menjawab pertanyaan tesebut
lebih banyak berdasarkan pengalaman pribadi dan informasi dari orang lain.
Hanya sebagian kecil populasi (35.5%) mengetahui hormon yang
berperan terhadap menopause. Ketidaktahuan disebabkan oleh tidak adanya
atau kurangnya informasi yang diterima terutama pada saat jenjang pendidikan
formal. Regulasi menopause diatur oleh beberapa hormon wanita. Dalam
kuesioner pengetahuan gizi menopause hanya menyorot tentang estrogen.
Hormon estrogen merupakan hormon utama dalam regulasi menopause. Ada
hormon lain yang berperan terhadap regulasi menopause, seperti progesteron.
Pengetahuan responden tentang makanan yang baik untuk menopause
hanya 16.1% populasi yang menjawab pertanyaan dengan benar. Hal ini
dikarenakan populasi kurang menerima informasi mengenai makanan-makanan
44
yang baik untuk wanita menopause. Kesibukan populasi seperti mengurusi
rumah tangga juga menyebabkan populasi kurang menggali informasi mengenai
makanan yang baik untuk wanita menopause. begitu juga dengan pengetahuan
mengenai makanan yang dapat mempercepat datangnya menopause. Sebanyak
12.9% populasi yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar.
Seluruh populasi (100%) tidak dapat menjawab dengan benar mengenai
zat gizi makanan yang berperan dalam menopause. hal ini dikarenakan populasi
tidak begitu memperhatikan zat gizi dalam pemilihan makanan terutama zat gizi
yang baik untuk wanita menopause. ketidaktahuan populasi dapat juga
disebabkan oleh tidak adanya atau kurangnya informasi tentang zat gizi
makanan. Sebesar 38.7% populasi mampu menjawab dengan benar tentang
cara yang tepat menanggulangi keluhan menopause. Populasi menjawab
pertanyaan berdasarkan pengalaman pribadi dan informasi yang telah didapat
sebelumnya.
Karakteristik Fisik
Berat Badan. Berat badan adalah jumlah seluruh unsur tubuh dan
merupakan ukuran kasar simpanan jumlah energi tubuh (Shahar et al. 2007).
Oleh karena itu, perubahan berat badan umumnya selaras dengan
keseimbangan energi dan protein (WHO 1995). Rata-rata berat badan populasi
adalah 58.6 kg dengan standar deviasi sebesar 10.15 kg. Data ukuran berat
badan penting digunakan dalam menilai Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai
gambaran status gizi.
Wanita yang berat badannya lebih besar biasanya memasuki masa
menopause lebih lambat daripada wanita dengan berat badan lebih kecil. Hal ini
terjadi karena wanita dengan berat badan lebih besar memiliki sel-sel lemak lebih
banyak daripada wanita dengan berat badan yang lebih kecil. Sel-sel lemak ini
memproduksi estrogen (Wirakusumah 2004).
Tabel 16 Rataan pengukuran fisik populasi menurut usia
Variabel
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n=19 n=12 n=31
Berat badan (kg) 61.6±9.9 53.7±8.9 58.6±10.1
Tinggi badan (cm) 150.7±4.7 145.3±6.4 148.6±5.9
LLA (cm)
29.5±3.7 27.2±3.6 28.6±3.8
Lingkar betis (cm) 34.4±3.0 31.3±2.9 33.2±3.3
Lingkar pinggang (cm) 92.9±12.1 92.6±7.5 92.8±10.4
45
Tinggi Badan. Tinggi badan usia lanjut umumnya sulit untuk diukur. Oleh
karena itu, dalam pengambilan populasi, dikenai kriteria eksklusi yaitu bungkuk
dan kriteria inklusi dapat berdiri tegak. Tinggi badan populasi rata-rata sebesar
148.6 ± 5.9 cm. Secara umum, telah diterima bahwa seseorang akan kehilangan
tinggi badan kurang lebih 1 cm setiap dekade setelah berumur 20 tahun yang
disebabkan oleh penyempitan ruang invertebrae disk (Lipschitz dalam Shahar et
al. 2007). Chumlea et al. (1988) menemukan bahwa usia lanjut kulit putih yang
berusia 60-80 tahun akan kehilangan sekitar 0.5 cm setiap tahun. Penemuan
yang sama dikemukakan oleh Dey et al. (1999) yang menemukan bahwa tinggi
badan turun sebanyak 4 cm dan 4.9 cm masing-masing pada laki-laki dan wanita
yang berusia antara 70-95 tahun.
Lingkar Lengan Atas (LLA). LLA adalah ukuran lemak subkutan dan
otot lengan. Perubahan nilai LLA menunjukkan penumpukan atau kehilangan
otot. Menurut James et al. (1994), ukuran LLA merupakan indeks atrofi jaringan
terhadap berat badan yang lebih sensitif. Penurunan nilai LLA menunjukkan
kehilangan berat badan sewaktu termasuk jaringan lemak dan massa tubuh
tanpa lemak. Kriteria penilaian penyusutan periferi dengan menggunakan LLA
berdasarkan nilai rujukan Ferro-Luzzi dan James (1996). Hampir seluruh
populasi (96.8%) memiliki nilai LLA yang cukup, yaitu lebih dari 22 cm untuk
wanita.
Hasil uji regresi linier menunjukkan bahwa asupan energi berpengaruh
secara nyata terhadap LLA dengan persamaan
y = 22.968 + 0.004x (R2 = 0.130, p <0.05)
Dimana: y = LLA (cm)
X = asupan energi (kkal)
Asupan energi yang berlebihan dapat meningkatkan berat badan dan
berimplikasi terhadap penambahan ukuran LLA.
Lingkar Betis. Penilaian status gizi yang juga umum dilakukan adalah
pengukuran lingkar betis. Pengukuran lingkar betis relatif mudah dan dapat
digunakan untuk menilai status gizi seseorang. Titik penentu lingkar betis untuk
mengetahui usia lanjut beresiko malnutrisi adalah lebih dari 31.0 cm (Guigoz,
Vella & Garry 1996). Namun, hal tersebut kurang cocok dilakukan bagi populasi
Asia sehingga digunakan titik penentu lingkar betis >30.0 cm bagi laki-laki dan
>27.5 cm bagi wanita. Hampir seluruh populasi (96.8%) memiliki lingkar betis
>27.5 cm yang menunjukkan status gizi normal. Lingkar betis juga merupakan
46
indikator kemerosotan otot. Pada usia lanjut terjadi penurunan massa otot. Salah
satu penyebab kemorosotan otot adalah berkurangnya aktivitas yang melibatkan
otot. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
nyata antara aktivitas fisik dengan lingkar betis (r = 0.368, p < 0.05). Berdasarkan
data tidak terlihat adanya kemerosotan otot yang terjadi.
Lingkar Pinggang. Rata-rata populasi tergolong obesitas abdominal
(Tabel 17). Pengukuran lingkar pinggang tepat digunakan untuk mengetahui
penumpukan lemak pada bagian abdomen. Pengukuran ini merupakan indeks
antara pinggang dan pinggul (Shahar et al. 2007). Lemak abdominal erat
kaitannya dengan resiko berbagai macam penyakit degeneratif. deposisi lemak
pada bagian tengah tubuh sekitar pinggang dan perut dinamakan deposisi lemak
android (Laquatra dalam Mahan 2000).
Status Gizi. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan penggunaan (utilisasi)
zat gizi makanan. Status gizi diukur menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh),
klasifikasi LLA, lingkar betis, dan lingkar pinggang. Kategori status gizi populasi
digolongkan menurut klasifikasi IMT WHO 2005 dan juga resiko penyakit. Hasil
studi mengenai IMT menunjukkan bahwa banyak populasi Asia yang memiliki
proporsi lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kaukasoid pada
usia, jenis kelamin, dan IMT yang sama. Berdasarkan hasil studi tersebut juga
menunjukkan bahwa orang Asia resiko terkena penyakit kardiovaskular dan
diabetes melitus meningkat pada level IMT yang relatif rendah menurut klasifikasi
IMT WHO 1998. Oleh karena itu, WHO merevisi standar IMT untuk populasi Asia
dimana IMT 23 kg/m2 atau lebih memiliki resiko penyakit sedang, dan IMT diatas
27.5 kg/m2 mepresentasikan resiko kesehatan tinggi. Sebaran populasi menurut
IMT WHO 2005 untuk orang Asia dapat dilihat pada tabel 16.
Tsukamoto dan Sano (1990) dalam Shahar et al. (2007) melaporkan
bahwa seseorang yang mengalami kelebihan berat badan mempunyai usia yang
cenderung panjang. Namun, masalah obesitas yang merupakan keadaan profil
lemak dalam tubuh yang berlebihan sering dikaitkan dengan resiko hipertensi,
penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus. Menurut Perissinotto et al. (2002),
keadaan ini lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Menurut Satoto (2004) dalam Mutingatun (2007), status gizi merupakan
hasil konsumsi pangan ke dalam tubuh dengan berbagai perubahan kesehatan
dalam bentuk ukuran dan struktur tubuh manusia yang biasanya diukur dengan
47
antropometri. Tidak hanya dengan IMT, penilaian status gizi juga dapat
ditentukan dengan LLA (Lingkar Lengan Atas) (Ferro-Luzzi & James 1996),
lingkar betis (Sakinah et al. 2004), dan lingkar pinggang (Scott et al. 2004). Tabel
18 menunjukkan sebaran populasi menurut IMT WHO 2005 untuk orang Asia,
Lingkar Lengan Atas (LLA), lingkar betis, dan lingkar pinggang.
Tabel 17 Sebaran populasi menurut status gizi
Penilaian Status Gizi Kategori Standar
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
IMT WHO 2005 Normal 18.5-22.9 4 21.1 2 16.7 6 19.3
Gemuk 23.0-27.5 7 36.8 7 58.3 14 45.2
Obesitas 27.6-40.0 8 42.1 3 25 11 35.5
Total
19 100 12 100 31 100
LLA Normal >22.0 cm 19 100 11 91.7 30 96.8
Kurus <22.0 cm 0 0 1 8.3 1 3.2
sangat kurus <19.0 cm 0 0 0 0 0 0
Total 19 100 12 100 31 100
Lingkar Betis Kurus ≤27.5 cm 0 0 1 8.3 1 3.2
Normal >27.5 cm 19 100 11 91.7 30 96.8
Total 19 100 12 100 31 100
Lingkar Pinggang Gemuk >80.0 cm 16 84.2 12 100 28 90.3
Normal ≤80.0 cm 3 15.8 0 0 3 9.7
Total 19 100 12 100 31 100
Penilaian status gizi menurut IMT WHO 2005, LLA, dan lingkar pinggang
menunjukkan populasi memiliki status gizi normal dan cenderung gemuk bahkan
obesitas. Penilaian status gizi berdasarkan lingkar betis menunjukkan adanya
populasi yang mengalami status gizi kurang. hal itu diduga terjadi karena
aktivitas fisik yang melibatkan kaki berkurang sehingga terjadi penyusutan massa
otot betis. Otot-otot yang tidak terlatih (jarang digerakkan) akan mengalami atrofi
(pengecilan) dan melemah (Giriwijoyo 2005).
Rendahnya aktivitas fisik juga mengakibatkan penumpukan meningkatkan
massa lemak tubuh. menurut Forbes (1987) dalam Ferro-Luzzi (1996),
kehilangan massa otot berbanding terbalik dengan proporsi lemak dalam tubuh.
Lemak tubuh yang meningkat akan disimpan terutama dalam jaringan lemak
bagian abdominal. Hampir seluruh populasi (93.5%) menunjukkan status gemuk
abdominal (WHO/IASO/IOTF 2000). Menurut Manual of Medical Nutritional
Therapy (2011), kelebihan jaringan lemak abdominal merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya penyakit. Lingkar pinggang lebih dari 80 cm untuk wanita
48
merupakan faktor resiko bagi penyakit diabetes, dislipidemia, hipertensi, dan
jantung. Resiko kesehatan tersebut dapat meningkat apabila individu berusia 55
tahun ke atas bagi wanita dan 45 tahun ke atas bagi laki-laki.
Penurunan faktor resiko untuk mencegah penyakit degeneratif, yaitu
dengan menurunkan berat badan. pengelolaan penurunan berat badan untuk
menurunkan resiko penyakit menurut Manual of Medical Nutritional Therapy
(2011) dapat dilakukan dengan terapi diet, peningkatan aktivitas fisik, modifikasi
perilaku, dan farmakoterapi. Bagi individu dengan IMT lebih dari 27 dapat
dilakukan penurunan berat badan dengan farmakoterapi, atau individu dengan
IMT 35 atau 40 ke atas dapat dilakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan
lemak yang menumpuk. Penggunaan obat harus dilakukan sebagai bagian dari
program komprehensif bersama dengan pengaturan diet, terapi modifikasi
perilaku dan aktivitas fisik. Apabila upaya tersebut gagal, maka dapat dilakukan
pembedahan tentunya dengan mempertimbangkan aspek psikologis.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas individu dalam satu
hari dan kebiasaan olahraga. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh dalam
mengeluarkan energi. Aktivitas fisik sangat dipengaruhi oleh jenis, frekuensi, dan
waktu melakukan aktivitas. Semakin aktif seseorang melakukan aktivitas fisik,
energi yang dibutuhkan semakin banyak. Pola aktivitas wanita usia lanjut dapat
dilihat dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara
rutin dan berulang-ulang (FAO/WHO/UNU 2001). Rata-rata populasi memiliki
aktivitas yang tergolong ringan dengan nilai tingkat aktivitas sebesar 1.69. Tabel
18 memperlihatkan sebaran populasi menurut tingkat aktivitas.
Tabel 18 Sebaran populasi menurut tingkat aktivitas
Tingkat Aktivitas Fisik
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
Sangat ringan (1.20-1.40) 0 0 0 0 0 0
Ringan (1.40-1.69) 7 36.8 7 58.3 14 45.2
Sedang (1.70-1.99) 12 63.2 5 41.7 17 54.8
Total 19 100 12 100 31 100.0
Menurut teori aktivitas, usia lanjut dapat memperoleh kebahagiaan dan
kepuasan hanya dengan terus melakukan aktivitas. Seseorang yang tidak
dibutuhkan lagi dalam kehidupan sosial, merasa tidak memiliki fungsi lagi maka
49
tidak akan merasa puas dan bahagia. Laki-laki dan wanita usia lanjut cenderung
untuk tetap tertarik pada kegiatan yang sifatnya rekreasi yang biasa dinikmati
pada usia mudanya. Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh golongan usia
lanjut adalah membaca, menulis, mendengarkan radio, menonton televisi,
menyulam, menjahit, piknik, jalan-jalan dan turut serta dalam kegiatan
keagamaan dan kemasyarakatan (Hurlock dalam Mutingatun 2007).
Sebagian besar aktivitas fisik populasi adalah melakukan aktivitas santai
dan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah.
Sebanyak 67.7% populasi memiliki kebiasaan berolahraga setiap harinya.
Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa berolahraga membuat badan
menjadi lebih bugar. Beberapa orang menyatakan merasa senang ketika
melakukan olahraga. Tabel 19 berikut adalah sebaran populasi yang memiliki
kebiasaan berolahraga menurut jenis olahraga yang dilakukan.
Tabel 19 Sebaran populasi terbiasa berolahraga menurut jenis olahraga
Jenis Olahraga
Kelompok Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
Jalan kaki 6 42.8 5 71.4 11 52.4
senam 1 7.1 0 0 1 4.8
tenis 1 7.1 1 14.3 2 9.5
Jalan kaki & senam 6 42.8 1 14.3 7 33.3
Total 14 100 7 100 21 100.0
Sebagian besar populasi memiliki kebiasaan olahraga jalan kaki (52.4%).
Olahraga jalan kaki memang olahraga yang memiliki tingkat cedera paling
rendah sehingga cocok untuk para wanita usia lanjut. Rata-rata populasi
melakukan olahraga jalan kaki selama 1 jam setiap hari dan dilakukan pada pagi
hari. Pada masa menopause disarankan memilih olahraga yang tidak terlalu
berat, seperti jalan kaki, yang dilakukan secara teratur dan kontinu
(Wirakusumah 2004).
Olahraga selain dapat membuat badan menjadi sehat juga memiliki fungsi
rekreasional. Menurut Giriwijoyo (2005), olahraga terbagi menjadi 4 berdasarkan
sifat atau tujuannya, yaitu: olahraga prestasi, olahraga rekreasi, olahraga
kesehatan, dan olahraga pendidikan. Biasanya olahraga jenis game memiliki
fungsi rekreasional seperti tenis.
Olahraga juga dapat meningkatkan kadar endorfin dalam darah. Endorfin
adalah salah satu jenis neurotransmitter yang berfungsi mempengaruhi persepsi
50
rasa nyeri, suhu tubuh, tekanan darah, pernapasan, nafsu makan, ingatan, serta
tingkah laku seksual. Endorfin sangat responsif terhadap fluktuasi kadar estrogen
dan progesteron.
Populasi yang tidak memiliki kebiasaan berolahraga sejumlah 32.3%.
Alasan populasi tidak terbiasa melakukan olahraga adalah karena tidak ada
waktu, merasa lelah dengan kegiatan rumah tangga, dan malas untuk
berolahraga.
Tabel 20 Sebaran populasi menurut alasan tidak rutin olahraga
Alasan Tidak Olahraga
Kelompok Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
Lelah 2 40 4 80 6 60.0
Sibuk 2 40 0 0 2 20.0
Malas 1 20 1 20 2 20.0
Total 5 100 5 100 10 100
Proses penuaan menyebabkan perubahan komposisi tubuh. hal ini
ditandai dengan penurunan 2%-3% massa tubuh tanpa lemak per dekade.
Kondisi ini akan membatasi aktivitas yang menuntut ketangkasan fisik
(Wirakusumah 2001). Bagi wanita menopause, olahraga sangat banyak
manfaatnya karena bukan hanya akan meningkatkan kesehatan tubuh secara
keseluruhan tapi juga untuk mengontrol berat badan, mencegah osteoporosis,
menghilangkan depresi, rasa cemas, insomnia, dan memperbaiki rasa percaya
diri (Wirakusumah 2004).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan meliputi jenis, frekuensi, dan jumlah asupan makanan.
Perilaku konsumsi pangan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap,
kepercayaan, dan pemilihan pangan (Suhardjo et al. 1988). Kelebihan atau
kekurangan zat gizi dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk
terhadap kesehatan (Almatsier 2006).
Jenis dan Frekuensi Konsumsi Pangan. Jenis konsumsi pangan
dihitung berdasarkan golongan makanan yang paling sering dikonsumsi populasi.
Golongan makanan terdiri atas pangan sumber karbohidrat, protein hewani,
kacang-kacangan, sayur dan buah serta air. Frekuensi makan diambil dari
frekuensi makan terbanyak dari setiap jenis makanan yang paling sering
51
dikonsumsi. Jenis dan frekuensi makan dikelompokkan berdasarkan golongan
makanan.
Pangan sumber karbohidrat dianjurkan memenuhi 50% kecukupan
energi. Pangan sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi adalah nasi.
Nasi merupakan makanan pokok. Roti tawar dikonsumsi oleh populasi sebagai
pengganti nasi untuk sarapan. Kentang sering dikonsumsi sebagai kondimen
dalam sup ataupun dalam jenis masakan lainnya. Ubi jalar dan singkong
dikonsumsi sebagai camilan. Pengolahan yang biasa dilakukan terhadap ubi jalar
dan singkong adalah direbus dan digoreng. Dalam hal ini terlihat bahwa kurang
beragamnya jenis pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi populasi sebagai
makanan utama. Pangan yang sering dikonsumsi populasi dari golongan
makanan pokok dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21 Frekuensi makan sumber karbohidrat
Jenis pangan
Rataan Frekuensi Konsumsi (kali/minggu)
Usia (tahun)
55-64 (n=19) 65-85 (n=12) Total (n=31)
Makanan Pokok
Nasi 20.6±1.6 20.4±2.0 20.5±1.7
14;21 14;21 14;21
roti 6.1±1.4 5.5±1.9 5.9±1.6
3;7 2;7 2;7
kentang 1.8±1.1 2.7±1.4 2.2±1.3
1;5 1;5 1;5
Ubi jalar 2.2±1.1 1.7±0.9 2.0±1.0
1;4 1;4 1;4
Singkong 1.6±0.9 1.6±1.0 1.6±0.9
1;4 1;4 1;4
Protein hewani yang paling sering dikonsumsi adalah susu, yaitu rata-rata
dikonsumsi 5 kali dalam seminggu. Protein hewani yang sering dijadikan sebagai
lauk adalah telur dengan rataan frekuensi per minggu sebanyak 3.6 ± 3.4 kali.
Konsumsi ikan populasi rata-rata adalah sekitar 2 kali per minggu. Jenis ikan
segar yang biasa dikonsumsi adalah ikan mas (24.5%), ikan kembung (20.8%),
ikan mujaer (15.1%), ikan tongkol (11.3%), dan ikan lainnya yang dikonsumsi
mencapai 28.3%. Daging ayam merupakan jenis protein hewani yang juga sering
dikonsumsi populasi karena enak juga harganya relatif murah. Biasanya populasi
mengolahnya dengan cara digoreng. Protein hewani yang jarang dikonsumsi
populasi adalah daging sapi jarang dikonsumsi oleh populasi. Hal tersebut
52
diduga karena faktor ekonomi, yaitu harga daging sapi lebih mahal dibandingkan
harga protein hewani lainnya.
Tabel 22 Frekuensi makan protein hewani
Jenis pangan
Rataan Frekuensi Konsumsi (kali/minggu)
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
Protein Hewani
Susu 5.2±5.0 5.5±5.9 5.3±5.2
0;14 0;14 0;14
telur 3.5±3.7 3.7±3.1 3.6±3.4
0;14 0;7 0;14
Ikan asin 3.5±3.5 2.0±3.1 2.3±3.3
0;14 0;7 0;14
Ikan 2.4±2.3 1.2±1.3 1.9±2.0
0;7 0;3 0;7
ayam 2.1±2.0 3.7±3.1 1.9±1.8
0;7 0;7 0;7
Daging sapi 1.1±1.7 0.8±1.1 0.9±1.5
0;7 0;3 0;7
Kacang-kacangan disajikan sebagai lauk nabati. Lauk nabati seperti tahu
dan tempe biasa dikonsumsi populasi setiap hari namun berselang-seling antara
tahu dan tempe. Frekuensi konsumsi tahu yang lebih sering, yaitu sekitar 4-5 kali
dalam seminggu sedangkan tempe sekitar 4 kali dalam seminggu. Tahu dan
tempe biasanya diolah dengan cara digoreng, disemur ataupun dijadikan
kondimen dalam tumisan. Oncom tidak begitu diminati oleh populasi. Hal ini
terlihat dari frekuensi konsumsi oncom populasi 1 kali seminggu. Jenis pangan
kacang-kacangan lain yang juga dikonsumsi populasi adalah taucho, kacang
tanah, dan kacang hijau dengan frekuensi kurang dari 3 kali sebulan.
Tabel 23 Frekuensi makan kacang-kacangan
Jenis pangan
Rataan Frekuensi Konsumsi (kali/minggu)
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
Kacang-kacangan
Tahu 4.6±1.5 4.8±1.8 4.7±1.6
3;7 1;6 1;7
Tempe 4.1±1.5 4.3±1.0 4.2±1.3
0;7 3;5 0;7
Oncom 1.5±1.5 0.8±1.3 1.2±1.5
0;5 0;3 0;5
53
Mentimun merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi sebanyak 8.1 kali
dalam seminggu dan merupakan yang paling sering dikonsumsi. Hal ini berarti
mentimun rata-rata dikonsumsi setiap hari oleh populasi sebanyak 1 kali.
Mentimun biasanya dikonsumsi sebagai lalapan. Mentimun mengandung
fitoestrogen dan boron serta banyak mengandung air. Kulitnya mengandung
beberapa mineral penting sehingga menjadikan mentimun baik untuk dikonsumsi
olah wanita usia lanjut (Wirakusumah 2004). Wortel, bayam, buncis, dan
kangkung rata-rata dikonsumsi 2 kali dalam seminggu. Populasi biasanya
mengonsumsi sayuran secara berselang-seling dalam seminggu. Wortel, buncis,
dan kangkung biasanya diolah menjadi tumisan.
Tabel 24 Frekuensi makan sayur dan buah
Jenis pangan
Rataan Frekuensi kali/minggu
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
Sayur dan Buah
Wortel 2.4±1.2 2.2±1.2 2.3±1.2
1;4 1;4 1;4
Bayam 2.2±1.1 2.2±1.1 2.4±1.1
1;4 1;4 1;4
Buncis 2.2±1.3 1.8±1.0 2.0±1.2
1;4 1;4 1;4
Mentimun 8.8±5.2 7.0±4.5 8.1±5.0
2;14 2;14 2;14
Kangkung 2.4±1.2 2.8±1.0 2.5±1.1
1;4 1;4 1;4
Pisang 1.8±1.0 2.3±1.1 2.0±1.0
1;4 1;4 1;4
Jeruk 1.9±1.0 2.5±1.3 2.2±1.2
1;4 1;4 1;4
Pepaya 2.4±1.1 2.9±2.2 2.6±1.6
1;4 1;7 1;7
Melon 1.9±1.1 1.9±0.9 1.9±1.0
1;4 1;3 1;4
Jambu air 1.8±1.0 1.3±0.7 1.6±0.9
1;4 1;3 1;4
Hampir seluruh populasi mengonsumsi buah hampir setiap hari. Jenis
buah yang sering dikonsumsi adalah pepaya, pisang, dan jeruk. Pisang yang
dikonsumsi paling sering adalah pisang ambon yang dapat langsung dimakan,
tetapi terdapat juga populasi yang sering mengonsumsi pisang yang diolah
54
terlebih dahulu seperti direbus. Pepaya, melon, dan semangka biasanya
dikonsumsi dalam bentuk buah potong.
Menurut Judith Wurtman, Ph.D dari Massachusetts Institut of Technology,
dalam Gittleman (1998), sekitar 65% hingga 75% wanita mengalami kenaikan
berat badan selama menopause. Kenaikan berat badan tersebut diduga
diakibatkan oleh kurangnya hormon progesteron dan dominasi estrogen. Kadar
estrogen yang tidak seimbang terhadap progesteron dapat mengakibatkan
kenaikan berat badan. Penyebab lain dari kenaikan berat badan adalah selama
10 hari pertama atau 2 minggu dalam siklus menstruasi, tubuh wanita
menghasilkan beberapa substansial kalori dalam proses ovulasi. Ketika sudah
berhenti berovulasi (memasuki masa menopause) tubuh akan meninggalkan sisa
kalori hingga 300 kkal perhari dan tidak dimetabolisme. Sisa kalori ini kemudian
menumpuk dan menyebabkan kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan
selama menopause juga merupakan hasil dari perilaku negatif tentang penuaan
dan kehilangan daya tarik seksualitas.
Jumlah Konsumsi Pangan. Konsumsi pangan sangat erat kaitannya
dengan aspek gizi dan kesehatan. Konsumsi pangan adalah informasi tentang
jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada
waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Energi dibutuhkan oleh tubuh
untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar
60%-70% dari kebutuhan energi total.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan energi dengan status gizi menurut IMT (r = 0.170, p >
0.05). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Mutingatun (2006) dimana
sebanyak 66.7% populasi memiliki status gizi normal, sebagian (11.1%) kurus,
9.1% kurus sekali, dan 4.5% gemuk sekali dengan rata-rata Indeks Massa Tubuh
(IMT) 20.9. Uji korelasi dalam penelitian tersebut, menunjukkan adanya
hubungan yang nyata antara status gizi dan konsumsi energi.
Tingkat kecukupan energi dihitung berdasarkan proses estimasi Angka
Kecukupan Energi (AKE) pada WNPG VIII bagi orang dewasa yang dihitung
dengan menggunakan Oxford Equation berdasarkan Energi Basal Metabolisme
(EMB). Kecukupan energi populasi rata-rata per hari adalah 1663 kkal. Jumlah
pangan yang dikonsumsi populasi rata-rata memenuhi 90.6% dari rata-rata
kecukupan energi populasi per hari. Rata-rata konsumsi protein populasi 46.4
gram/hari. Tingkat kecukupan protein populasi rata-rata sebesar 94.1%.
55
Tabel 25 Rataan asupan serta kecukupan energi dan zat gizi populasi dalam sehari
Variabel Usia (tahun)
55-64 (n=19)
65-85 (n=12)
Total (n=31)
Asupan energi (kkal) 1517±319 1496±222 1509±282
(1073;2371) (1081;1874) (1073;2371)
Angka Kecukupan Energi (kkal/hari) 1739±105 1542±134 1663±150
(1409;1979) (1239;1600) (1239;1979)
Tingkat Kecukupan Energi (%) 86.6±18.7 96.9±10.6 90.6±16.6
(61.3-135.5) (84.4-117.1) (61.3-135.5)
Asupan protein (g) 47.5±15.1 44.7±10.6 46.4±13.4
(26.2;81.9) (20.9;67.8) (20.9;81.9)
Angka Kecukupan Protein (g/hari) 49.7±2.9 48.2±4.2 49.1±3.5
(40.3;56.5) (38.7;50.0) (38.7;56.5)
Tingkat Kecukupan Protein (%) 95.0±29.8 92.7±21.8 94.1±26.7
(52.4-163.8) (52.6-135.6) (52.4-163.8)
Asupan lemak (g)* 60.1±20.5 62.1±22.0 60.9±20.8
(28.9;109.1) (23.6;102) (23.6;109.1)
Asupan karbohidrat (g)* 201.8±54.0 194.1±43.9 198.8±49.4
(132.7;350.9) (140.9;301) (132.7;350.9)
Asupan kalsium (mg) 340.3±53.9 393.9±266.4 361.0±216.9
(108.4;743.3) (79.3;901.1) (79.3;901.1)
Angka Kecukupan Kalsium (mg/hari) 800 800 800
Tingkat Kecukupan Kalsium (%) 42.5±23 49.2±33.3 45.1±26.7
(13.6-92.9) (9.9-112.6) (9.9-112.6)
*) Angka kecukupan tidak tercantum dalam WNPG VIII
Tingkat kecukupan zat gizi merupakan perbandingan antara konsumsi zat
gizi dengan angka kecukupan gizi populasi. Klasifikasikan tingkat kecukupan
energi dan protein menurut Depkes tahun 1996 (halaman 33). Tingkat kecukupan
energi populasi rata-rata tergolong normal, yaitu sebesar 90.6%. Populasi yang
berusia 55-64 tahun memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit
tingkat ringan yaitu sebesar 86.6%. Sedangkan populasi yang berusia 65 tahun
keatas, tingkat kecukupan energinya tergolong normal, yaitu 96.9%. Rataan
tingkat kecukupan protein populasi tergolong normal, yaitu sebesar 94.1%.
Rataan tingkat kecukupan protein populasi baik yang berusia 55-64 tahun
ataupun 65 tahun keatas, tergolong normal yaitu sebesar 95% dan 92.7%.
Rataan tingkat kecukupan energi total masih kurang jika dibandingkan
dengan rataan tingkat kecukupan energi nasional berdasarkan Depkes 2003,
yaitu sebesar 90.26% (Tanziha 2005). Pada populasi yang berusia 65-85 tahun,
rataan tingkat kecukupan energi sudah berada diatas rataan tingkat kecukupan
56
energi nasional. Tingkat kecukupan protein rata-rata harian populasi adalah
sebesar 94.1%. Jumlah tersebut masih kurang bila dibandingkan dengan rataan
tingkat kecukupan protein nasional yaitu sebesar 108.84%.
Asupan kalsium populasi hanya memenuhi 45.1% dari kecukupannya.
Jumlah tersebut tergolong kurang untuk memenuhi kebutuhan kalsium menurut
Hardinsyah et al. (2002) dimana asupan mineral kurang dari 65% tergolong
kurang. Asupan kalsium yang memadai dapat mencegah naiknya tekanan darah
sebagai efek dari keberadaan natrium. Penelitian di University of Texas Health
Science Centre menunjukkan bahwa asupan 800 mg kalsium perhari dapat
menurunkan tekanan darah sebanyak 20% populasi, yaitu sekitar 20-30 poin
(Wirakusumah 2001). Pemenuhan kecukupan kalsium per hari dapat diperoleh
dari satu cangkir susu rendah lemak dan satu potong ukuran besar tahu murni.
Penyerapan kalsium dari makan sekitar 30%-50%. Oleh karena itu, diperlukan
sumber zat gizi lain yang dapat meningkatkan daya serap kalsium (seperti
vitamin D, laktosa, magnesium) (Wirakusumah 2001).
Konsumsi Air. Tubuh manusia mengandung 60%-70% air dari seluruh
berat badan sehingga bila tubuh kehilangan 20% saja dapat menyebabkan
kematian. Fungsi air dalam tubuh adalah melancarkan transportasi zat gizi,
mengatur keseimbangan cairan dan garam mineral dalam tubuh, mengatur suhu
tubuh, dna mengeluarkan sisa metaboisme dari tubuh (Hardinsyah et al. 2002).
Kehilangan air karena kekeringan, buang air, dan keringat harus segera
digantikan. Oleh karena itu disarankan agar kita mengonsumsi air minimal setara
dengan 8 gelas atau 2 L air sehari (Whitmire dalam Mahan 2000).
Mayoritas populasi mengonsumsi air lebih dari 7 gelas sehari. Kebutuhan
air bagi usia lanjut adalah 1500 ml atau berkisar 8 gelas/hari (Proboprastowo &
Dwiriani 2004). Konsumsi 5-7 gelas perhari bagi usia lanjut sudah tergolong baik,
namun akan lebih baik lagi jika konsumsi sesuai dengan anjuran, yaitu sekitar 8
gelas.
Sebanyak 16.1% populasi mengaku berusaha mengurangi minum dan
menghindari makanan berkadar air tinggi agar tidak sering buang air kecil. Pada
wanita menopause, dapat terjadi atrofi pada saluran kemih bagian bawah,
sehingga otot penyangga uretra dan kandung kemih menjadi lemah. Hilangnya
tonus otot uretra karena menurunnya kadar estrogen. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya gangguan penutupan uretra dan perubahan pola aliran
urine menjadi tidak normal sehingga fungsi kandung kemih tidak dapat
57
dikendalikan (inkontinensia urine). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi
pada saluran kemih bagian bawah (Kasdu 2004).
Tabel 26 Sebaran populasi menurut konsumsi air dan kelompok usia
Konsumsi air/hari
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
<5 gelas 0 0 2 16,7 2 6,5
5-7 gelas 9 47,4 4 33,3 13 41,9
>7 gelas 10 52,6 6 50 16 51,6
Total 19 100 12 100 31 100
Kebutuhan cairan tiap individu akan sangat bervariasi tergantung pada
aktivitas fisik, kelompok umur, berat badan, iklim atau suhu (ekologi) serta diet.
Penurunan total air tubuh akan mengurangi volume cairan intraseluler maupun
ekstraseluler. Berdasarkan Manual of Medical Nutrition Theraphy (2011),
kebutuhan cairan untuk seseorang yang berusia 55-65 tahun adalah 30-35 ml/kg
sedangkan untuk yang berusia diatas 65 tahun sebesar 30 ml/kg. Secara
keseluruhan, rataan kebutuhan cairan populasi adalah sebesar 1.9 liter. Rata-
rata kebutuhan cairan populasi yang berusia 55-64 tahun adalah 2.2 liter
sedangkan populasi yang berusia 65 tahun keatas sebesar 1.6 liter.
Secara umum, 1 gelas air kira-kira berisi 250 ml. Sebagian besar asupan
air populasi lebih dari 7 gelas per hari sehingga sebagian besar populasi telah
memenuhi kebutuhan cairan dalam sehari. Menurut Wiseman (2000),
peningkatan usia dapat menurunkan rasa haus sehingga terjadi penurunan
asupan air. Selain itu, pada usia lanjut terjadi penurunan bertahap kemampuan
ginjal untuk mengkonsentratkan urin sehingga volume urin meningkat dan
meningkatkan kehilangan air. Bagi usia lanjut sangatlah penting untuk
memastikan konsumsi air yang cukup sehingga dapat memenuhi kebutuhan air.
Kebiasaan Konsumsi Kedelai dan Produk Turunannya
Penilaian konsumsi pangan kedelai dan produk turunannya dilakukan
secara kualitatif dengan menggunakan Food Frequency Questionaires (FFQ).
Menurut Supariasa (2001), metode ini untuk mengetahui frekuensi pangan,
frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan dan menggali informasi tentang
kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi dapat dipakai untuk mengukur asupan
pangan dan gizi jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk
58
menentukan perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam
waktu lama (Spark 2007).
Produk kedelai yang sering dikonsumsi oleh populasi adalah tahu, tempe,
oncom, taucho, dan susu kedelai. Kedelai dalam bentuk utuh jarang dikonsumsi
sehari-hari. Diantara makanan kedelai dan produk turunannya, makanan yang
sering dikonsumsi populasi adalah tahu, tempe, oncom, dan taucho. Tahu dan
tempe biasanya dikonsumsi setiap hari berselang-seling. Mayoritas (53.3%)
populasi mengonsumsi tahu dengan frekuensi 2-5 kali per minggu. Sebanyak
54.8% populasi mengonsumsi tempe dengan frekuensi 2-5 kali per minggu.
Tabel 27 Sebaran populasi berdasarkan frekuensi konsumsi produk kedelai dan usia
Frekuensi konsumsi kedelai dan produk turunannya
Usia (tahun)
55-64 65-85 Total
n % n % n %
Tinggi 2 10,5 1 8,3 3 9,7
Sedang 13 68.4 9 75.0 22 71.0
Rendah 4 21.1 2 16.7 6 19.4
Total 19 100 12 100 31 100
Rata-rata asupan isoflavon kedelai yang dikonsumsi oleh populasi adalah
20.0 ± 6.0 mg/hari. Jumlah tersebut memenuhi 25% dari kecukupan isoflavon
yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan (Mulyati et al. 2009) untuk wanita
usia lanjut yaitu sebesar 80 mg/hari. Sumber asupan isoflavon populasi yang lain
adalah mentimun dan wortel. Mentimun dan wortel kaya akan isoflavon yang
diduga dapat memenuhi asupan isoflavon populasi dalam sehari. Pemenuhan
isoflavon juga dapat berasal dari jenis pangan lain yang tidak tercatat dalam
penelitian ini.
Asupan isoflavon yang aman untuk mencegah dan mengurangi sindrom
menopause dan penyakit kardiovaskular menurut Han et al. (2002) adalah 100
mg/hari. Berdasarkan hal tersebut, populasi mendapatkan isoflavon dari
konsumsi kedelai hanya memenuhi 20.1% untuk dapat mencegah dan mengobati
sindrom menopause serta mencegah panyakit kardiovaskular. Indikator
pencegahan penyakit kardiovaskular dalam penelitian Han et al. (2002) adalah
penurunan kadar total kolesterol, kolesterol LDL, kolesterol VLDL, dan
peningkatan kadar kolesterol HDL serum.
Jumlah asupan isoflavon populasi yang terendah adalah 8.0 mg/hari dan
jumlah asupan isoflavon tertinggi adalah sebesar 38.3 mg per hari. Berbagai
kajian isoflavon dalam mencegah sindrom menopause menganjurkan asupan 50-
59
200 mg isoflavon per hari. Asupan isoflavon 100 mg/hari efektif meringankan
keluhan vasomotor menopause seperti hot flush. Jumlah tersebut juga terbukti
efektif untuk menurunkan beberapa keluhan subjektif dengan penggunaan
kurang dari 50 mg genistein dan daidzein (Han et al. 2002).
Isoflavon merupakan senyawa mirip estrogen dan sering juga disebut
sebagai fitoestrogen karena berasal dari bahan nabati (fito; nabati). Fitoestrogen
berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh. Pada masa menopause
dimana kadar estrogen sangat rendah, asupan fitoestrogen mampu berfungsi
sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom menopause dan
osteoporosis (Wirakusumah 2004). Isoflavon adalah komponen biologis aktif
yang memiliki efek estrogenik ataupun antiestrogenik sesuai dengan jaringan
target. Isoflavon yang terdapat pada kedelai merupakan golongan glikon, yaitu
isoflavon yang masi tersalut dengan glukosa. Isoflavon aglikon merupakan
isoflavon yang memiliki aktivitas biologis paling baik di dalam tubuh. Aktivitas
mikroorganisme dapat mengubah bentuk isoflavon dari glikon menjadi aglikon
yang lebih mudah diserap oleh tubuh.
Pangan sumber isoflavon lainnya adalah apel, anggur, bawang putih,
brokoli, cabe, kol, strawberry, ketimun, tomat, serta wortel. Dari beberapa pangan
sumber isoflavon, kacang kedelai merupakan bahan makanan yang paling dekat
dengan masyarakat Indonesia. Hasil studi mengenai kedelai menyebutkan
bahwa wanita Jepang dan Indonesia mengalami sindrom menopause lebih
sedikit dibanding wanita dari negara lain. Hal ini disebabkan makanan tradisional
mereka banyak mengandung fitoestrogen yang berasal dari kedelai.
Selain sebagai sumber fitoestrogen atau isoflavon, menurut Mark
Messina, Ph. D, menyatakan bahwa ditemukan tujuh komponen dalam kacang
kedelai yang dapat melindungi tubuh dari kanker, yaitu inhibitor protease yang
menghambat kegiatan sel yang berhubungan dengan kanker kolon, paru-paru,
pankreas, dan payudara; fitat yang berperan sebagai antioksidan menghambat
kanker kolon dan payudara; fitosterol yang melindungi usus besar dari gangguan
asam empedu dan dapat menurunkan resiko kanker kolon sebanyak 50%;
saponin dan asam fenolat yang mencegah terjadinya mutasi sel; lesitin yang
dapat menurunkan resiko tumor paru-paru pada tikus percobaan; dan
fitoestrogen (Wirakusumah 2004).
Tahu dan tempe sebagai produk olahan kacang kedelai juga merupakan
sumber kalsium (124 mg/100 g tahu dan 129 mg/100 g tempe). Hal ini
60
memberikan efek positif karena tahu dan tempe juga merupakan sumber
fitoestrogen yang dapat membantu mencegah osteoporosis. Peningkatan asupan
kalsium tidak akan berpengaruh terhadap terapi osteoporosis apabila tidak
diimbangi dengan peningkatan asupan estrogen. Minimnya estrogen dapat
menyebabkan hilangnya massa tulang pada wanita menopause (Wirakusumah
2004). Kedelai memiliki kandungan asam amino bersulfur yang rendah. Asam
amino bersulfur dapat menghambat resorpsi kalsium oleh ginjal yang
menyebabkan lebih banyak kehilangan kalsium dalam urine (Koswara 2006).
Sebuah studi meta-analisis dari 38 studi mengenai pengaruh kedelai
terhadap profil lipid darah menunjukkan bahwa konsumsi protein kedelai 25-50
gram sehari dapat menurunkan kadar kolesterol LDL darah hingga 10% pada
mereka yang terkena hiperkolesterolemia (Anderson et al. dalam Mahan 2000).
Protein kedelai membantu menurunkan penyerapan kolesterol dan garam
empedu pada usus halus demi menginduksi peningkatan ekskresi fekal asam
empedu dan steroid. Hal ini mengakibatkan hati lebih banyak merubah kolesterol
dalam tubuh menjadi empedu yang akibatnya dapat menurunkan kolesterol dan
meningkatkan aktivitas reseptor kolesterol LDL sehingga terjadi peningkatan laju
penurunan kolesterol (Koswara 2006).
Protein kedelai juga kaya akan asam amino glisin dan arginin yang
mempunyai kecenderungan dapat menurunkan asam insulin darah yang diikuti
dengan penurunan sintesa kolesterol. Jenis protein terbesar dalam kedelai
adalah dua jenis globulin yang diberi nama 115 dan 75. Kedua jenis globulin ini
terutama 75 telah terbukti dapat menstimulir tingginya afinitas reseptor kolesterol
LDL dalam hati manusia yang akna menyebabkan penurunan kolesterol darah
(Koswara 2006). Penurunan kadar kolesterol darah dapat mengakibatkan
penurunan resiko penyakit kardiovaskular. Aktivitas antioksidan isoflavon kedelai
juga dapat berkontribusi terhadap penurunan oksidasi lemak.
Sindrom Menopause
Usia Menopause
Menopause terjadi pada saat menstruasi yang paling akhir hingga tidak
lagi mendapat menstruasi selama satu tahun. Memasuki masa menopause
seringkali ditandai dengan menstruasi yang berkurang secara bertahap dan
kemudian akan berhenti total. Usia memasuki masa menopause berbeda-beda
pada setiap orang. Pada umumnya, menopause dapat terjadi pada usia 35-55
61
tahun (Wirakusumah 2004). Menurut Oswari (1997), menopause biasanya terjadi
pada usia 40-45 tahun.
Sebagian besar populasi mengalami menopause pada usia kurang dari
50 tahun (61.3%). Sebesar 38.7% populasi mengalami menopause pada usia
lebih dari 50 tahun. Usia memasuki menopause dapat berbeda-beda pada setiap
wanita. Setelah menopause, wanita akan mengalami masa Senile, yaitu masa
dimana terjadi keseimbangan hormonal sehingga tidak ada lagi gangguan psikis
maupun fisiologis.
Menurut hasil studi berbasis komunitas di Alexandria oleh Hidayet et al.
(1999), rataan usia awal menopause yang terjadi secara alamiah adalah 46.7 ±
5.4 tahun (kurang dari 50 tahun). Hasil observasi di Thailand menunjukkan
bahwa rataan usia awal menopause yang lebih tinggi pada tahun 1993, yaitu
49.5 tahun dan 50.1 tahun pada tahun 1997. Menopause yang lebih dini terjadi
pada wanita yang tinggal di daerah semiurban, menjanda, wanita dengan
pendidikan rendah, dan wanita yang menikah ataupun hamil di usia muda.
Cepat lambatnya awal menstruasi turut mempengaruhi usia menopause.
Wanita yang terlambat menstruasi, misalnya pada usia 16 atau 17 tahun, akan
mengalami menopause lebih awal. Sedangkan wanita yang cepat mendapat
menstruasi, cenderung lebih lambat memasuki menopause. Populasi yang
mengalami menopause pada usia ≤50 tahun rata-rata mengalami menstruasi
usia 13.9 ± 1.8 tahun. Sedangkan wanita yang mengalami menopause pada usia
di atas 50 tahun rata-rata mendapatkan menstruasi pertama pada usia 13.1 ± 1.5
tahun.
Usia menopause dapat diperkirakan dari usia menopause ibu karena
hereditas merupakan faktor pengaruh yang paling signifikan. Menopause dini
umumnya dialami oleh wanita yang kurang gizi, atlet wanita, dan wanita yang
mengalami anoreksia karena kurangnya kandungan lemak tubuh dan kolesterol.
wanita dengan status sosial ekonomi yang rendah, juga dapat mengalami
menopause lebih awal dibanding dengan wanita berstatus ekonomi lebih tinggi.
Wanita yang melahirkan anak setelah usia 40 tahun, sering mengalami
keterlambatan menopause. Faktor lain yang mempengaruhi menopause dini
adalah tidak pernah melahirkan, kelebihan berat badan, dan masa pubertas yang
terlambat (Gittleman 1998).
Berdasarkan data, populasi dengan pendidikan lebih rendah cenderung
mengalami menopause lebih awal. Hasil uji korelasi Spearman’s rho
62
menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan (r = 0.370, p < 0.05)
antara pendidikan dengan usia awal menopause. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memungkinkan seseorang mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak.
Data penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat berhubungan
dengan pengetahuan gizi populasi mengenai menopause (Tabel 15).
pengetahuan gizi tentang menopause yang baik menjadikan seseorang dapat
mengatur pola makan sehingga dapat mengalami usia menopause yang lebih
lama. Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Hidayet et al. (1999)
bahwa tingkat pendidikan (r = 0.19, p < 0.01) berkorelasi positif terhadap usia
awal menopause.
Tabel 28 Sebaran populasi menurut usia awal menopause dan pendidikan
Pendidikan
Usia Awal Menopause
<50 tahun >50 tahun Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Rendah 6 66.7 3 30.0 9 47.4
Sedang 2 22.2 3 30.0 5 26.3
Tinggi 1 11.1 4 40.0 5 26.3
Jumlah 9 100.0 10 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
Rendah 4 80.0 3 42.9 7 58.3
Sedang 1 20.0 1 14.3 2 16.7
Tinggi 0 0.0 3 42.9 3 25.0
Jumlah 5 100.0 7 100.0 12 100.0
Total Rendah 10 71.4 6 35.3 16 51.6
Sedang 3 21.4 4 23.5 7 22.6
Tinggi 1 7.1 7 41.2 8 25.8
Jumlah 14 100.0 17 100.0 31 100.0
Keluhan Menopause
Menopause menjadikan banyak perubahan terhadap tubuh baik secara
hormonal maupun fisiologis. Ketidakseimbangan hormonal, menyebabkan
berbagai rasa tidak nyaman yang sering dikeluhkan ketika menopause. Keluhan
menopause bersifat sangat individual dan tidak setiap wanita mengalami hal
yang sama. Hal tersebut bergantung pada kondisi kesehatan, emosi (daya tahan
terhadap stres), asupan makanan, dan aktivitas fisik seseorang (Wirakusumah
2004). Jenis keluhan yang paling banyak dialami adalah berkeringat 54.8%, sulit
63
tidur 45.2%, sakit kepala 45.2%, kelelahan 38.7%, mudah tersinggung 32.3%,
hot flush 32.3%, rasa dingin 25.8%, kurang bersemangat 22.6%, dan depresi
12.9%. Jenis keluhan dan sebarannya menurut usia dapat dilihat pada tabel 29.
Hot flush biasanya berlangsung 2-5 tahun sebelum menopause, pada saat
menopause, dan akan menghilang sekitar 4-5 tahun setelah menopause (Kasdu
2004).
Jenis keluhan lain pada saat menopause adalah badan menjadi gemuk,
sakit ketika berhubungan, merasa tidak diperhatikan, dan pusing. Selain
perubahan fisik, perubahan psikologis juga sangat mempengaruhi kualitas hidup
seorang wanita dalam menjalani masa menopause. Perubahan yang terjadi pada
wanita menopause adalah perubahan mood, irritabilitas, kecemasan, labilitas
emosi, merasa tidak berdaya, gangguan ingatan, konsentrasi berkurang, sulit
mengambil keputusan, merasa tidak berharga (Gebbie & Glasier 2005).
Tabel 29 Sebaran populasi menurut usia dan jenis keluhan menopause
Jenis Keluhan
Usia (tahun)
55-64 (n=19) 65-85 (n=12) Total (n=31)
n % n % n %
Mudah tersinggung 7 36.8 3 25.0 10 32.3
Sulit tidur 10 52.6 4 33.3 14 45.2
Hot flush 8 42.1 2 16.7 10 32.3
Depresi 3 15.8 1 8.3 4 12.9
Kelelahan 7 36.8 5 41.7 12 38.7
Kurang bersemangat 6 31.6 1 8.3 7 22.6
Berkeringat 11 57.9 6 50.0 17 54.8
Rasa dingin 5 26.3 3 25.0 8 25.8
Sakit kepala 8 42.1 6 50.0 14 45.2
Menurut hasil penelitian Departemen Obsetri dan Ginekologi di Sumatera,
keluhan masalah kesehatan yang dihadapi oleh perempuan menopause terkait
dengan rendahnya kadar estrogen atau androgen di dalam sirkulasi darah,
sehingga muncul keluhan nyeri senggama (93,33 %), keluhan pendarahan pasca
senggama (84,44 %), vagina kering (93,33 %), dan keputihan (75,55 %), keluhan
gatal pada vagina (88,88%), perasaan panas pada vagina (84,44 %), nyeri
berkemih (77,77 %), inkontenensia urin (68,88 %) (Marga 2007).
Gambaran Diri
Stres kehidupan setengah baya dapat memperburuk keadaan
menopause. Keadaan stres tersebut terkait gambaran diri seseorang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa wanita yang memiliki gambaran diri menerima
64
adalah sebesar 96.8% sedangkan yang memiliki gambaran diri menolak sebesar
3.2%. Populasi yang menopause pada usia diatas 50 tahun, cenderung memiliki
gambaran diri menerima. Hasil uji korelasi Spearman’s rho menunjukkan tidak
adanya korelasi yang signifikan (r = -0.075, p > 0.05) antara usia awal
menopause dengan gambaran diri. Semakin awal usia menopause, semakin
lama populasi menjalani masa menopause sehingga semakin menerima
keadaan diri pada saat menopause.
Tabel 30 Sebaran populasi menurut gambaran diri dan usia menopause
Usia Menopause
Gambaran Diri Total
Menolak Menerima
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
≤50 tahun 1 100.0 8 44.4 9 47.4
>50 tahun 0 0 10 55.6 10 52.6
Jumlah 1 100.0 18 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
≤50 tahun 0 0 5 41.7 5 41.7
>50 tahun 0 0 7 58.3 7 58.3
Jumlah 0 0 12 100.0 12 100.0
Total
≤50 tahun 1 100 13 43.3 14 45.2
>50 tahun 0 0 17 56.7 17 54.8
Jumlah 1 100 30 100.0 31 100.0
Mayoritas populasi memiliki gambaran diri menerima karena kebanyakan
populasi telah mengalami menopause lebih dari 2 tahun. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Purwita (2003) bahwa semakin lama wanita mengalami
menopause, maka semakin berkurang keluhan-keluhan psikologisnya karena
sudah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan
data, terdapat kecenderungan positif antara usia awal menopause dengan
gambaran diri.
Berdasarkan data mayoritas (53.3%) populasi yang memiliki gambaran
diri menerima adalah populasi dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hasil uji
korelasi Spearman’s rho menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan (r = -0.341, p > 0.05) antara tingkat pendidikan dengan gambaran.
Populasi dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung lebih menerima
keadaan menopause dikarenakan pengetahuan yang diperoleh populasi juga
terbatas. Sebaran gambaran diri populasi dengan tingkat pendidikan dapat
dilihat dalam tabel 31.
65
Tabel 31 Sebaran populasi menurut gambaran diri dan pendidikan
Pendidikan
Gambaran Diri
Menolak Menerima Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Rendah 0 0 9 50.0 9 47.4
Sedang 0 0 5 27.8 5 26.3
Tinggi 1 100.0 4 22.2 5 26.3
Jumlah 1 100.0 18 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
Rendah 0 0 7 58.3 7 58.3
Sedang 0 0 2 16.7 2 16.7
Tinggi 0 0 3 25.0 3 25.0
Jumlah 0 0 12 100.0 12 100.0
Total
Rendah 0 0 16 53.3 16 51.6
Sedang 0 0 7 23.3 7 22.6
Tinggi 1 100.0 7 23.3 8 25.8
Jumlah 1 100.0 30 100.0 31 100.0
Kecemasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 93.5% populasi
mengalami tingkat kecemasan ringan dan 6.5% populasi mengalami tingkat
kecemasan sedang. Terdapat kecenderungan bahwa sebagian besar populasi
yang memiliki tingkat kecemasan ringan mengalami menopause pada usia lebih
dari 50 tahun. Usia menopause yang lebih matang diduga membuat populasi
merasa lebih siap menghadapi sindrom menopause sehingga tingkat kecemasan
menjadi lebih ringan.
Kecemasan ringan sebagian besar (58.6%) dialami wanita yang
menopause pada usia di atas 50 tahun. Hasil uji korelasi Spearman’s rho
menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara usia awal menopause
dengan kecemasan (r = -0.335, p > 0.05). Hal tersebut diduga karena pada usia
menopause di atas 50 tahun, keluhan menopause jarang terjadi dan wanita usia
di atas 50 tahun sudah dapat menerima keadaan dirinya yang akan mengalami
menopause.
66
Tabel 32 Sebaran populasi menurut usia menopause dan tingkat kecemasan
USIA menopause
Tingkat Kecemasan Total
Ringan Sedang
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
≤50 8 44.4 1 100.0 9 47.4
>50 10 55.6 0 0 10 52.6
Jumlah 18 100.0 1 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
≤50 4 36.4 1 100.0 5 41.7
>50 7 63.6 0 0 7 58.3
Jumlah 11 100.0 1 100.0 12 100.0
Total
≤50 12 41.4 2 100 14 45.2
>50 17 58.6 0 0 17 54.8
Jumlah 29 100 2 100 31 100.0
Hasil uji korelasi Spearman’s rho menunjukkan tidak adanya hubungan
yang signifikan antara pendidikan dan tingkat kecemasan (r = -0.344, p > 0.05).
Berdasarkan data, terlihat bahwa tingkat kecemasan sedang cenderung dialami
oleh populasi dengan pendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang lebih rendah
mengakibatkan lebih sedikit informasi dan pengetahuan yang diterima secara
formal dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Tabel 33 Sebaran populasi menurut pendidikan dan tingkat kecemasan
Pendidikan
Kecemasan
Ringan Sedang Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Rendah 8 44.4 1 100.0 9 47.4
Sedang 5 27.8 0 0 5 26.3
Tinggi 5 27.8 0 0 5 26.3
Jumlah 18 100.0 1 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
Rendah 6 54.5 1 100.0 7 58.3
Sedang 2 18.2 0 0 2 16.7
Tinggi 3 27.3 0 0 3 25
Jumlah 11 100.0 1 100.0 12 100.0
Rendah 14 48.3 2 100.0 16 51.6
Sedang 7 24.1 0 0 7 22.6
Tinggi 8 27.6 0 0 8 25.8
Total 29 100.0 2 100.0 31 100.0
67
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwita (2007) dalam Marga (2007)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan terhadap
keluhan-keluhan psikologis pada saat menopause. Wanita yang mengalami
keluhan psikologis berat sebagian besar adalah wanita dengan pendidikan
rendah (60%). Menjadi cemas pada tahap tertentu dapat dianggap sebagai
bagian dari respon normal untuk mengatasi masalah sehari-hari. Bila kecemasan
berlebihan dan tidak sebanding dengan situasi, hal tersebut dianggap sebagai
hambatan dan dikenal sebagai masalah klinis (Anwar 2007).
Hubungan Antar Variabel
IMT, LLA, Lingkar Betis, dan Lingkar Pinggang
Penilaian status gizi juga dapat ditentukan dengan melihat besar LLA
(Lingkar Lengan Atas), lingkar betis, dan lingkar pinggang. Hasil uji korelasi
Pearson menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan IMT berhubungan secara
signifikan dengan LLA (r = 0.842, p = 0.000), lingkar betis (r = 0.675, p = 0.000),
dan lingkar pinggang (r = 0.730, p = 0.000). Tabel korelasi Pearson dapat dilihat
pada lampiran 1. Penilaian status gizi dengan IMT menunjukkan hubungan
positif yang kuat dengan penilaian status gizi menggunakan LLA, lingkar betis,
dan lingkar pinggang. IMT dan LLA menunjukkan korelasi yang paling erat. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ferro-Luzzi & James (1996) bahwa
dalam penilaian status gizi dapat menggunakan hubungan antara IMT dan LLA.
Sesuai dengan penelitian Ferro-Luzzi & James (1996) yang menyatakan
bahwa penilaian status gizi dengan menggunakan LLA sebagai substitusi atau
tambahan pada penilaian IMT sebagai dasar, tidak hanya menunjukkan
hubungan epidemiologis namun juga berhubungan dengan observasi klinis dan
psikologis yang terkait dengan deplesi cadangan energi tubuh.
LLA berkorelasi positif secara signifikan terhadap status gizi (r = 0.842, p
= 0.000), lingkar betis (r = 0.685, p = 0.000), dan lingkar pinggang (r = 0.691, p =
0.000). Lingkar betis berkorelasi secara signifikan terhadap status gizi (r = 0.675,
p = 0.000) dan LLA (r = 0.685, p = 0.000) dan tidak berkorelasi secara signifikan
terhadap lingkar pinggang (r = 0.339, p > 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
massa tubuh yang meningkat dapat terlihat dari peningkatan LLA, lingkar betis,
dan lingkar pinggang.
Berdasarkan penelitian Shahar et al. (2007), analisis hubungan antara
IMT, SGA (Subjective Global Assessment) dan LLA, semua subjek yang
68
dikategorikan normal menurut penggolongan SGA juga berada dalam kategori
normal menurut kriteria IMT dan LLA. Sebaliknya, semua subjek yang
dikategorikan mengalami malnutrisi menurut IMT juga dikategorikan mengalami
malnutrisi menurut SGA. Namun, 68.4% dan 24.2% subjek yang dikategorikan
IMT normal dan obesitas dikategorikan mengalami malnutrisi ringan menurut
SGA. Hal ini diduga karena subjek mengalami penurunan berat badan sebanyak
5%, kurang nafsu makan atau mengalami gejala gastrousus dalam jangka waktu
tertentu. Penemuan ini menunjukkan bahwa subjek mengalami kehilangan lemak
subkutan atau kehilangan otot yang hanya dapat dideteksi melalui penilaian SGA
tetapi tidak ditemukan pada penilaian IMT.
Aktivitas Fisik dengan Status Gizi
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
antara aktivitas fisik terhadap status gizi berdasarkan IMT (r = 0.142, p > 0.05),
LLA (r = 0.231, p > 0.05), dan lingkar pinggang (r = 0.003, p > 0.05). Tetapi, hasil
korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara
aktivitas fisik dan lingkar betis (r = 0.368, p < 0.05). Hal tersebut berarti bahwa
semakin tinggi tingkat aktivitas berhubungan dengan perbesaran otot betis. Kaki
merupakan bagian tubuh yang menumpu seluruh beban tubuh. Otot-otot daerah
kaki, termasuk otot betis, menjadi tumpuan tubuh saat berjalan atau beraktivitas.
Aktivitas fisik juga dapat berpengaruh terhadap lingkar betis. Hasil uji
regresi linier menunjukkan bahwa aktivitas fisik berpengaruh secara signifikan
sebesar 13% terhadap lingkar betis. Persamaan regresi linier yang diperoleh
adalah
y = 4.712 + 16.846x (R2 = 0.135, p < 0.05)
Dimana: y = lingkar betis
X = aktivitas fisik
Sebagian besar populasi memiliki kebiasaan olahraga jalan kaki (Tabel
18). Saat berjalan kaki, seluruh otot betis bergerak aktif untuk menopang bobot
tubuh. Aktivitas fisik yang tinggi seperti berolahraga dapat menyebabkan otot
membesar. Perbesaran terjadi karena bertambahnya unsur kontraktil di dalam
serabut otot yang menyebabkan meningkatnya kekuatan kontraksi otot,
menebalnya sarcolema dan bertambahnya jaringan ikat di antara serabut-serabut
otot yang menyebabkan meningkatnya kekuatan pasif otot (Giriwijoyo 2005).
69
Gambaran diri dengan Keluhan Menopause
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara gambaran diri dan keluhan menopause (r = -0.058, p > 0.05).
Berdasarkan data, populasi yang memiliki gambaran diri menerima cenderung
memiliki keluhan menopause yang lebih ringan bahkan tidak mengalami keluhan
menopause (Tabel 34). Berat dan ringannya keluhan menopause yang dialami
populasi tidak berhubungan dengan penerimaan populasi terhadap kondisi diri.
Keluhan menopause hadir sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormonal yaitu
penurunan kadar estrogen dan progesteron yang mempengaruhi metabolisme.
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi dari
tubuhnya dan menerima stimulus dari orang lain. Kemudian mulai memanipulasi
lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri
berhubungan erat dengan kepribadian. Keluhan menopause umumnya keluhan
yang terjadi secara fisik akibat perubahan fisiologis dan hormonal wanita
menopause.
Tabel 34 Sebaran populasi menurut keluhan menopause dan gambaran diri
Keluhan Menopause
Gambaran Diri
Menolak Menerima Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Tidak ada 0 0 1 5,6 1 5,3
Ringan 1 100,0 14 77,8 15 78,9
Sedang 0 0 3 16,7 3 15,8
Jumlah 1 100,0 18 100,0 19 100,0
Usia 65-85 tahun
Tidak ada 0 0 1 8,3 1 8,3
Ringan 0 0 9 75,0 9 75,0
Sedang 0 0 2 16,7 2 16,7
Jumlah 0 0 12 100,0 12 100,0
Total
Tidak ada 0 0 2 6,7 2 6,5
Ringan 1 100,0 23 76,7 24 77,4
Sedang 0 0 5 16,7 5 16,1
Jumlah 1 100,0 30 100,0 31 100,0
Gambaran Diri dan Kecemasan
Hasil uji secara deskriptif menggambarkan bahwa sebagian besar
(96.6%) wanita menopause yang memiliki gambaran diri menerima memiliki
tingkat kecemasan ringan. Tingkat kecemasan sedang yang dialami oleh
70
sebagian kecil populasi (6.5%) memiliki gambaran diri menerima. Berdasarkan
penelitian Marga (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara
konsep diri dengan derajat stres pada wanita menopause. Apabila konsep diri
meningkat, derajat stres akan turun. Penurunan derajat stres dapat memperbaiki
kondisi kecemasan.
Tabel 35 Hubungan gambaran diri dengan tingkat kecemasan
Gambaran Diri
Tingkat Kecemasan
Ringan Sedang Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Menolak 1 5.6 0 0 1 5.3
Menerima 17 94.4 1 100.0 18 94.7
Jumlah 18 100.0 1 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
Menolak 0 0 0 0 0 0
Menerima 11 100.0 1 100.0 12 100.0
Jumlah 11 100.0 1 100.0 12 100.0
Total
Menolak 1 3.4 0 0 1 3.2
Menerima 28 96.6 2 100.0 30 96.8
Jumlah 29 100.0 2 100.0 31 100.0
Terdapat kecenderungan bahwa pada populasi yang menerima kondisi
menopause cenderung memiliki tingkat stres yang lebih ringan. Hasil uji korelasi
Pearson gambaran diri menunjukkan hubungan yang tidak signifikan terhadap
kecemasan (r = 0.186, p > 0.05). Pada masa menopause, kecemasan
ditimbulkan oleh ancaman integritas fisik karena penurunan kadar estrogen dan
progesteron yang mengakibatkan penurunan fungsi beberapa organ tubuh.
Menurut Stuart (2001), kecemasan pada wanita menopause dapat
mengakibatkan ancaman terhadap sistem diri oleh karena menurunnya harga diri
akibat perubahan-perubahan fisik yang terjadi yang menyebabkan perubahan
gambaran diri. Dengan kata lain, menurut Stuart (2001), gambaran diri dapat
berhubungan dengan kecemasan.
Hasil penelitian Marga (2007) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif
dengan interpretasi sedang yang signifikan antara gambaran diri dengan
kecemasan (r = 0.39, p < 0.05). Kuntjoro (2007) mengemukakan bahwa
kecemasan pada wanita menopause umumnya bersifat relatif. Artinya, ada orang
yang cemas dan dapat kembali tenang setelah mendapat dukungan dari orang
lain. Namun, ada juga orang yang terus-menerus cemas walaupun sudah
71
mendapat banyak dukungan dan semangat dari orang-orang disekitarnya. Akan
tetapi, banyak juga wanita menopause yang tidak mengalami perubahan yang
berarti dalam kehidupannya.
Keluhan Menopause dengan Kecemasan
Berdasarkan data, terlihat bahwa populasi yang mengalami keluhan
menopause ringan atau bahkan tidak ada, cenderung memiliki tingkat stres yang
ringan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan positif dengan
interpretasi sedang yang signifikan (r = 0.473, p < 0.01) antara keluhan
menopause dengan kecemasan. Semakin tinggi keluhan menopause berupa
gangguan fisik dan psikologis yang dialami wanita menopause, semakin tinggi
pula tingkat kecemasan yang dialami.
Tabel 36 Sebaran populasi menurut tingkat kecemasan dan keluhan menopause
Keluhan Menopause
Tingkat Kecemasan
Ringan Sedang Total
n % n % n %
Usia 55-64 tahun
Tidak ada 1 5.6 0 0 1 5.3
Ringan 15 83.3 0 0 15 78.9
Sedang 2 11.1 1 100.0 3 15.8
Jumlah 18 100.0 1 100.0 19 100.0
Usia 65-85 tahun
Tidak ada 1 9.1 0 0 1 8.3
Ringan 9 81.8 0 0 9 75.0
Sedang 1 9.1 1 100.0 2 16.7
Jumlah 11 100.0 1 100.0 12 100.0
Total
Tidak ada 2 6.9 0 0 2 6.5
Ringan 24 82.8 0 0 24 77.4
Sedang 3 10.3 2 100.0 3 9.7
Jumlah 29 100.0 2 100.0 31 93.5
Tingkat kecemasan ringan yang dialami populasi menurut Stuart (2001)
berhubungan dengan ketegangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari
sebagai dampak dari penurunan fungsi-fungsi tubuh yang mengakibatkan
keluhan/gangguan pada masa menopause. Berdasarkan data hasil penetian
didapatkan bahwa sebagian besar populasi dengan tingkat kecemasan ringan
merupakan wanita yang menopause pada usia diatas 50 tahun. Keluhan
menopause menimbulkan rasa yang tidak nyaman sehingga dapat
72
mempengaruhi persepsi psikologis. Persepsi psikologis negatif memunculkan
rasa cemas.
Menurut Stuart (2001), respon terhadap kecemasan meliputi respon
fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif. Keluhan menopause terjadi sebagai
akibat dari adanya perubahan fisiologis seperti sering berkemih, kulit menjadi
kendur, hot flush, berkeringat. Respon fisiologis akibat perubahan neuromuskular
seperti mudah terkejut, reflek meningkat, dan gelisah. Respon pada perilaku
meliputi gelisah, ketegangan fisik, terkejut, kurang koordinasi, dan cenderung
menarik diri dari lingkungan. Respon pada kognitif mencakup sulit
berkonsentrasi, hambatan berpikir, produktivitas menurun, mudah bingung,
ketakutan pada gambaran visual. Respon pada afekti adalah tidak sabar, gelisah,
tegang, kekhawatiran, kecemasan, dan malu.
Status Gizi (IMT), Aktivitas Fisik, Konsumsi Kedelai dan Sindrom Menopause
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara status gizi (IMT) dengan gambaran diri (r = -0.287, p > 0.05),
keluhan menopause (r = -0.299, p > 0.05), ataupun dengan kecemasan (r = -
0.38, p > 0.05). Aktifitas fisik berhubungan nyata dengan gambaran diri (r = -
0.454, p < 0.05). Hal tersebut berarti bahwa semakin ringan aktivitas fisik,
populasi semakin menerima kondisi dirinya. Aktivitas fisik yang ringan
menjadikan populasi tidak terlalu merasakan keluhan ataupun ketidaknyamanan
saat menopause. Konsumsi kedelai berhubungan negatif secara nyata terhadap
tingkat kecemasan populasi (r = -0.445, p < 0.05). Semakin tinggi konsumsi
kedelai, semakin rendah tingkat kecemasan populasi. Kedelai merupakan salah
satu pangan sumber protein yang dapat membantu mengatasi kecemasan
(Wirakusumah 2004).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sindrom Menopause
Penilaian sindrom menopause dengan menggunakan data gambaran diri,
tingkat kecemasan, dan keluhan menopause. Faktor-faktor yang diduga
berpengaruh terhadap sindrom menopause adalah aktivitas fisik (x1), status gizi
menurut IMT (x2), dan konsumsi isoflavon kedelai (x3).
Gambaran Diri. Hasil uji Regresi Linier Berganda antara pengaruh
aktivitas fisik, konsumsi kedelai, dan status gizi terhadap gambaran diri. Faktor
73
yang berpengaruh secara signifikan terhadap gambaran diri adalah aktivitas fisik
dengan persamaan sebagai:
(1) y = 17.465 – 7.060x1 (R2 =0.206, p < 0.05)
Dimana: y = gambaran diri
x1 = aktivitas fisik
Faktor aktivitas fisik memiliki pengaruh sebesar 20.6% terhadap
gambaran diri. Aktivitas fisik yang tinggi menuntut performa tubuh yang baik.
Wanita usia lanjut tidak lagi dapat beraktivitas selayaknya wanita dengan usia
yang lebih muda. Oleh sebab itu, aktivitas fisik yang tinggi semakin menjadikan
wanita usia lanjut menyadari akan kondisi dirinya yang telah menua. Para wanita
usia lanjut mulai membatasi aktivitas sesuai dengan kemampuan.
Kecemasan. Uji regresi linier berganda antara faktor-faktor yang diduga
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan. Hasil uji menunjukkan bahwa
konsumsi isoflavon kedelai berpengaruh secara nyata terhadap tingkat
kecemasan populasi dengan persamaan:
(2) y = 13.011 – 0.308x3 (R2 = 0.198, p < 0.05)
Dimana: y = tingkat kecemasan
X3 = konsumsi isoflavon kedelai
Konsumsi isoflavon kedelai berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
kecemasan sebesar 19.8%. Tingkat kecemasan cenderung lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mungkin tidak terukur dalam penelitian.
Kecemasan lebih sebagai gangguan alam perasaan (Marga 2007) yang bersifat
sangat intrapersonal.
Keluhan Menopause. Faktor-faktor keluhan menopause didapat
persamaan
(3) y = 21.448 – 0.388x2 – 0.246x3 (R2 = 0.238, p < 0.05)
Dimana: y = keluhan menopause
x2 = status gizi menurut IMT
x3 = konsumsi isoflavon kedelai
Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon kedelai dan
status gizi berpengaruh terhadap keluhan menopause yang dialami populasi.
Faktor status gizi menurut IMT dan konsumsi isoflavon kedelai memiliki pengaruh
sebesar 23.8% terhadap keluhan menopause. Ketika faktor status gizi atau
konsumsi isoflavon kedelai diuji secara mandiri dengan menggunakan regresi
74
linier, tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keluhan
menopause.
Berdasarkan hasil uji regresi linier tersebut, gambaran diri dipengaruhi
secara signifikan oleh faktor aktivitas. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh
konsumsi kedelai secara nyata. Keluhan menopause dipengaruhi secara nyata
oleh konsumsi kedelai dan status gizi apabila digabung dengan faktor aktivitas
fisik.
Kedelai merupakan salah satu pangan sumber fitoestrogen/isoflavon
yang dapat berfungsi sebagai pengganti estrogen dalam tubuh. wanita
menopause, memiliki kadar estrogen yang rendah yang dapat berhubungan
dengan neurotransmiter. Neurotransmiter, diantaranya endorfin, serotonin, dan
dopamin, merupakan sistem kimia otak yang berfungsi membawa pesan dari
organ dan kelenjar menuju otak dan sebaliknya. Endorfin sangat responsif
terhadap kadar estrogen dan progesteron. Pada saat menopause, saat sangat
dibutuhkan, kadar endorfin turun. Kadar endorfin dapat ditingkatkan dengan
berolahraga. Fungsi neurotransmiter endorfin adalah mempengaruhi persepsi
rasa nyeri, pernapasan, nafsu makan, tekanan darah, ingatan, serta tingkah laku
seksual (Wirakusumah 2004). Olahraga mencerminkan tingkat aktivitas yang
tinggi dapat mempengaruhi persepsi penerimaan gambaran diri wanita
menopause.
Kecemasan adalah gangguan perasaan alam, ketakutan, atau
kekhawatiran yang mendalam dan dapat menyebabkan depresi. Neurotransmiter
serotonin sangat berpengaruh terhadap suasana hati dan aktivitas tidur. Kadar
serotonin yang yang menurun, akan menyebabkan seseorang sulit tidur dan
mengalami depresi. Kadar serotonin berhubungan dengan endorfin, yaitu apabila
kadar endorfin rendah, kadar serotonin pun rendah. Neurotransmiter dopamin
mempengaruhi emosi, sistem kekebalan tubuh, motivasi, dan perilaku seksual
(Wirakusumah 2004). Keluhan meopause dapat berupa gangguan secara fisik
ataupun psikologis. Emosi yang tidak terkendali, motivasi yang menurun dan
perubahan perilaku seksual akibat keluhan menopause dapat dikarenakan kadar
dopamin dalam tubuh menurun. Kadar dopamin sangat dipengaruhi estrogen.
Makanan tinggi protein, seperti kedelai, dapat meningkatkan produksi dopamin.
Gambaran diri, kecemasan, dan keluhan menopause yang digabungkan
menjadi satu dapat digunakan untuk menilai sindrom menopause secara
75
keseluruhan baik dari aspek fisik maupun psikologis. Hasil regresi linier berganda
didapatkan persamaan
(4) y = 24.525 – 0.495x3 (R2 = 0.190, p < 0.05)
Dimana: y = skor komposit
x3 = konsumsi isoflavon kedelai
Faktor konsumsi isoflavon kedelai berpengaruh secara signifikan
terhadap skor keseluruhan dari sindrom menopause. Berdasarkan uji regresi
tersebut aktivitas fisik dan status gizi tidak berpengaruh secara nyata terhadap
sindrom menopause. Konsumsi isoflavon kedelai berpengaruh sebesar 19%
terhadap sindrom menopause. Sindrom menopause terdiri dari berbagai macam
keluhan dan gangguan baik secara fisik maupun psikologis.
Banyak kajian yang menyebutkan manfaat kedelai bagi wanita
menopause. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak berpengaruh
secara nyata terhadap sindrom menopause. Kandungan isoflavon pada kedelai
berupa fitoestrogen bersifat esterogenik dalam tubuh. Hasil penelitian Han et al.
(2002) ditemukan bahwa aktivitas fitoestrogen kedelai yang paling utama adalah
daidzein dan genistein. Target utama fitoestrogen pada jaringan tubuh yang
pertama adalah sistem reproduksi karena pada organ tersebut jumlah estrogen
reseptor cukup tinggi. Pada fase menstruasi efek fitoestrogen memperpanjang
fase luteal. Sedangkan pada fase premenopause fitoestrogen menimbulkan efek
estrogenik yang bermanfaat mencegah kanker payudara. pada fase menopause
fitoestrogen terbukti dapat mengurangi gejolak panas. Berdasarkan penelitian
terhadap 58 wanita menopause yang diberi tepung kedelai dan tepung terigu
selama 12 minggu gejolak panas berkurang secara signifikan sebesar 40% dan
25%.
Sebuah studi ginekoligis oleh Han et al. (2002) menunjukkan bahwa
terdapat penurunan sindrom menopause yang signifikan pada wanita
menopause yang mengonsumsi 100 mg isoflavon kedelai per hari selama 4
bulan. Skor sindrom menopause wanita yang mengonsumsi kedelai 40% lebih
rendah dibandingkan wanita yang tidak mengonsumsi kedelai. Penelitian
tersebut juga menunjukkan adanya penurunan kolesterol LDL dan VLDL secara
signifikan serta meningkatnya kadar HDL dalam darah. Berdasarkan American
Journal of Obstetrics and Gynecology, studi terhadap dua kelompok wanita
postmenopause obesitas yang diberikan minuman berbasis susu sapi dan susu
kedelai 2-3 kali sehari selama satu bulan. Hasil studi menunjukkan bahwa
76
terdapat penurunan 7.5% lemak abdominal pada kelompok wanita yang
mengonsumsi susu kedelai dan sebaliknya terdapat peningkatan sebesar 8.8%
lemak abdominal pada wanita yang mengonsumsi susu sapi (Williams 2010).
Terapi pengganti hormon (HRT: Hormon Replacement Therapy)
digunakan untuk mengobati sindrom menopause. terapi hormon adalah
pemberian hormon estrogen dan progesteron sebagai pengganti kedua hormon
yang berkurang jumlahnya dalam tubuh. Terapi ini mungkin meningkatkan resiko
terjadinya kanker payudara. Resiko lain penggunaan HRT adalah meningkatnya
berat badan, sakit kepala, rasa mual, perut kembung, dan bahkan mengalami
menstruasi kembali. Isoflavon kedelai dapat digunakan sebagai alternatif terapi
pengganti hormon yang aman dan efektif bagi wanita menopause. isoflavon
adalah fitoestrogen yang berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh
(Wirakusumah 2004).