7
HARTA PARPANTANGAN; Sebuah Akomodasi Hukum Waris Islam atas Budaya Relasi Gender dalam Masyarakat Banjar Oleh: Irfan Noor, M.Hum Diskursus tentang ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan, selalu menjadi tema paling menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Dari berbagai gugatan yang pernah ada dalam sejarah terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat suatu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender, yang fokus operasional kajiannya adalah ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak dan kewajiban masing-masing pihak. Mengapa model analisis seperti bisa mendapat sambutan yang antusias akhir-akhir ini ? Jawabnya tidak lain karena melalui analisis ini kita bisa melihat akar marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, karena begitu populernya analisis ini saat sekarang, maka tidak heran jika akhir-akhir ini gender menjadi kata kunci bagi setiap upaya mendorong proses transformasi posisi kaum perempuan. Salah satu bentuk studi gender yang saat ini berkembang di Indonesia adalah studi reaktualisasi khazanah sosial-keagamaan lokal yang berperspektif gender. Studi tersebut mencakup studi khazanah intelektual berupa naskah-naskah keagamaan atau budaya lokal, juga pandangan hidup yang berkembang di masyarakat lokal. Dalam arus perkembangan studi yang mempersoalkan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin ini, pembahasan tentang konsep harta perpantangan dalam hukum fara'idh yang pernah dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pada abad ke-17 sungguh sangat menarik. Daya tariknya adalah nilai-nilai kesetaraan gender yang sangat kental dalam pemikiran Syeikh yang hidup jauh sebelum wacana ini berkembang dengan baik. Di tangan Syeikh Arsyad, fiqh Fara'idh yang selama ini sangat bias laki-laki, justru mampu memperlihatkan semangat egalitarianismenya. Keegalitarianan pemikiran Syeikh ini dalam menetapkan hukum Fara'idh tersebut sesungguhnya disinyalir 1

Harta Perpantangan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Harta Perpantangan

HARTA PARPANTANGAN;Sebuah Akomodasi Hukum Waris Islam atas Budaya

Relasi Gender dalam Masyarakat Banjar

Oleh: Irfan Noor, M.Hum

Diskursus tentang ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan, selalu

menjadi tema paling menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran

dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Dari berbagai gugatan yang

pernah ada dalam sejarah terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat suatu analisis yang

mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Analisis

yang dimaksud adalah analisis gender, yang fokus operasional kajiannya adalah

ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak dan kewajiban

masing-masing pihak.

Mengapa model analisis seperti bisa mendapat sambutan yang antusias akhir-akhir

ini ? Jawabnya tidak lain karena melalui analisis ini kita bisa melihat akar marjinalisasi,

proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan kaum perempuan di

tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, karena begitu populernya analisis ini saat

sekarang, maka tidak heran jika akhir-akhir ini gender menjadi kata kunci bagi setiap upaya

mendorong proses transformasi posisi kaum perempuan. Salah satu bentuk studi gender

yang saat ini berkembang di Indonesia adalah studi reaktualisasi khazanah sosial-keagamaan

lokal yang berperspektif gender. Studi tersebut mencakup studi khazanah intelektual berupa

naskah-naskah keagamaan atau budaya lokal, juga pandangan hidup yang berkembang di

masyarakat lokal.

Dalam arus perkembangan studi yang mempersoalkan ketidakadilan sosial dari

aspek hubungan antara jenis kelamin ini, pembahasan tentang konsep harta perpantangan

dalam hukum fara'idh yang pernah dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

pada abad ke-17 sungguh sangat menarik. Daya tariknya adalah nilai-nilai kesetaraan gender

yang sangat kental dalam pemikiran Syeikh yang hidup jauh sebelum wacana ini

berkembang dengan baik. Di tangan Syeikh Arsyad, fiqh Fara'idh yang selama ini sangat

bias laki-laki, justru mampu memperlihatkan semangat egalitarianismenya. Keegalitarianan

pemikiran Syeikh ini dalam menetapkan hukum Fara'idh tersebut sesungguhnya disinyalir

1

Page 2: Harta Perpantangan

oleh banyak pihak sebagai bentuk dari salah satu sikapnya yang sangat akomodatif terhadap

budaya lokal.

Dengan demikian, studi ini secara eksplisit ingin menempatkan posisi perempuan

dalam dialektika agama dan budaya. Menempatkan posisi perempuan dalam kerangka

demikian sama halnya dengan menelaah suatu proses interpretasi yang terus berlangsung,

dimana wacana agama diperkaya dengan berbagai dinamika kontekstual lokal. Oleh karena

itu, sebelum bahasan ini masuk ke inti persoalan yang akan didiskusikan, alangkah baiknya

kita memulainya dengan mengemukakan gambaran awal tentang perkembangan Islam di

Kalimantan Selatan. Menurut Asywadie Syukur, sebagai titik tolak gambaran ini adalah

masa Kerajaan Islam Banjar dimana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjalankan

peran keulamaannya. Namun demikian, tegas Asywadie Syukur, sebelum berbicara tentang

keberadaan Islam di masa Kerajaan Islam Banjar, perlulah untuk ditegaskan bahwa sebelum

Pangeran Samudera, yang merupakan Sultan Pertamanya, memeluk agama Islam ada

indikasi bahwa di daerah ini telah ada penganut agama Islam. Indikasi Pertama, adalah

adanya hubungan antara Raden Sekar Sungsang yang kemudian menjadi pendiri Nagara

Daha yang bergelar Maharaja Sari Kaburtungan (1530-1555) dengan Sunan Giri dari

Gresik. Sunan Giri diundang ke Nagara Daha untuk menyaksikan kemajuan negaranya

terutama dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Aria Trenggano (Marabahan).

Indikasi kedua, adanya sepucuk surat yang dikirim Pangeran Samudera yang dibawa Patih

Balit ke Demak untuk memohon bantuan untuk memerangi Pangeran Temanggung

(1588-1595) yang menggunakan huruf Arab Melayu yang biasanya hanya dipergunakan oleh

masyarakat muslim.

Namun demikian, sebagaimana yang diakui oleh banyak ahli, momentum intensitas

penyebaran Islam di daerah ini baru terjadi pada abad ke-16 ketika Sultan Demak

membantu Pangeran Samudera dalam menundukkan pamannya, Pangeran Tumenggung,

dalam perebutan kekuasaan yang terjadi. Bentuk Bantuan itu berupa pengiriman tenaga

prajurit bersama tokoh Islam yang bernama Khatib Dayyan. Atas bantuan Demak ini,

Pangeran Samudera berhasil menaklukkan Kesultanan Negara Daha yang dikuasai oleh

Pangeran Tumenggung dan, berdasarkan perjanjian, Pangeran Samudera masuk Islam. Pada

momentum peralihan kekuasaan dari Pangeran Tumenggung kepada Pangeran Samudera

yang kemudian berganti gelar menjadi Sultan Suriansyah inilah yang menandai berdirinya

sebuah Kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526. Sejak itulah, Islam menjadi agama resmi

Kerajaan dan masyarakat Banjar menggantikan agama Hindu. Pusat pemerintahannya

2

Page 3: Harta Perpantangan

kemudian dipindahkan ke Kuin, dan di daerah baru itu dibangun keraton dan sebuah

mesjid yang dikenal dengan Mesjid Suriansyah.

Adapun Khatib Dayan yang ditugaskan oleh Sultan Demak untuk mengislamkan

Pangeran Samudera dan seluruh pejabat negara, juga bertugas membimbing masyarakat dan

mendampingi Sultan sampai akhir hayatnya. Namun sayangnya, sesudah Khatib Dayan

meninggal, tidak terdengar lagi berita tentang kegiatan penyebaran Islam di Kalimantan

Selatan, baik dari para Sultan maupun masyarakat. Hanya diceritakan bahwa pada akhir

abad 17 dan awal abad 18 ada dua orang Datuk yang berusaha menyebarkan Islam,

sekalipun dengan pengetahuan Keislaman yang sangat minim. Beberapa sumber tersebut

menyebutkan bahwa kedua orang Datuk tersebut dikenal dengan sebutan Datuk Kandang

Aji (H. Abdul Rasyid) dan Datuk Sanggul (H.M. Thaher).

Adapun Datuk Kandang Aji, yang makamnya ada di dekat mesjid yang dibangunya

di Paringin kab. Balangan, ini dikenal karena kiprahnya dalam mengajarkan masyarakat

membaca al-Qur’an dan menghidupkan kembali shalat Jum’at. Sedangkan Datuk Sanggul,

yang juga dikenal dengan julukan Datuk Muning, ini dikenal karena menyebarkan agama

Islam di bagian Selatan wilayah Kalimantan Selatan. Kuburannya terletak di desa Tatakan,

Kabupaten Tapin.

Oleh karena minimnya berita penyebaran Islam pasca meninggalnya Khatib Dayan

di Kalimantan Selatan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa proses peningkatan

pengetahuan keislaman secara lebih intensif di masyarakat Banjar itu sendiri baru terjadi

ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari kembali dari Mekkah. Tepatnya ketika Syeikh

ini pada tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I,

pulang ke tanah Banjar setelah 30 tahun lamanya belajar di sana.

Konon kepulangan Syeikh Arsyad dari Mekkah disambut penuh antusias oleh pihak

kesultanan dan warga Kerajaan Banjar. Sultan Tamjidillah I (1745-1778) sangat

menghormatinya dan mengawinkannya dengan salah seorang kerabat dekatnya, Ratu

Aminah, anak dari Pangeran Thaha, saudara sepupu Sultan. Selain itu juga, Sultan

menghadiahkan sebidang tanah perbatasan + 5 km dari Martapura, tempat kedudukan

Keraton pada saat itu.

Tanah pemberian itu kemudian dibangun oleh Syeikh Arsyad sebagai wilayah

pemukiman dan tempat diselenggarakannya pengajian-pengajian agama yang beliau asuh.

Tempat diselenggarakannya pengajian itu pada waktu itu dinamakan "mandarasah", dan

belakangan dikenal dengan nama kampung "Dalam Pagar". Dilihat dari sudut proses

3

Page 4: Harta Perpantangan

belajar-mengajar pada masa itu, bentuk pengajian di dalam satu komplek yang ada

musholla, tempat belajar dan asrama untuk para santri merupakan suatu tradisi yang baru

bagi model belajar-mengajar di daerah ini. Hal ini karena, sebelumnya, pengajian-pengajian

dilaksanakan di rumah, musholla, atau istana saja. Pola pembelajaran yang dikembangkan

oleh Syeikh Arsyad inilah yang nantinya sebagai cikal-bakal pendidikan formal Islam di

daerah ini pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Di tempat itu, Syeikh Arsyad dan murid-muridnya yang datang dari berbagai

pelosok daerah Kerajaan Banjar belajar membaca dan menulis huruf Arab Melayu,

memperdalam ilmu-ilmu keislaman, dan praktek-praktek peribadatan dalam Islam. Di

samping itu, semua kebutuhan hidup juga mereka penuhi bersama, seperti: mencari ikan

dan bersawah. Setelah cukup memperoleh ilmu-ilmu keislaman, mereka pulang ke

kampung halaman masing-masing, dan mendirikan lagi mandarasah untuk mengajarkan

ilmu-ilmu keislaman yang mereka dapatkan dari Syeikh Arsyad tadi. Melalui mandarasah

inilah, pengetahuan keislaman berkembang dan meningkat di tengah-tengah masyarakat

Kesultanan Banjar.

Demikian demikian, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama

besar pada masanya di kawasan Kesultanan Banjar. Bahkan melalui karya tulisnya, nama

dan pemikiranya dikenal di seluruh Asia Tenggara. Karya tulis Syeikh Muhammad Arsyad

al-Banjari tersebut cukup banyak, yakni ada 14 buah, baik dalam bentuk risalah maupun

kitab. Karya-karya itu ditulis dengan baik ke dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab. Karya

tulisnya mencakup tiga bidang ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang ilmu tauhid, terdapat

empat buah karya, yaitu : (1) Ushuluddin; (2) Tuhfatu al-Ragibin fi Bayani Haqiqati Imani al-Mu

minin wa ma Yufsiduhu min Riddati al-Murtadidin; (3) Al-Qaulu al-Mukhtasahar fi Alamati al-

Mahdi al-Muntazar; dan (4) Mazhab Ahlu al-Sunnah, Jabariah dan Qadariah. Sementara dalam

bidang ilmu Fikih terdapat delapan buah karya, yaitu: (1) Parukunan Basar ;(2) Luqtatu al-

Ajlan; (3) Sabilal Muhtadin li al-Tafaquhi fi al Din; (4) Kitab al-Nikah; (5) Kitab al-Faraidh; (6)

Syarah Fathi al-Jawad; (7) Fatwa Syekh Athaillah fan; (8) Ilmu Falak. Adapun dalam bidang

ilmu tasawuf sendiri terdapat dua buah karya, yakni: (1) Fathu al-Rahman al Waliyi al Ruslan

dan (2) Kanz al-Ma’rifah.

Dari berbagai buku tersebut, ada satu karya yang sering dibicarakan di tengah-

tengah masyarakat Banjar, yakni "Kitab al-Faraidh" yang berbicara tentang hukum kewarisan.

Namun sayangnya, sampai saat ini naskah asli maupun salinannya atau yang sudah dicetak

belum ditemukan. Ada yang mengatakan bahwa naskah aslinya berada di tangan salah

4

Page 5: Harta Perpantangan

seorang keturunan Syeikh Arsyad yang bernama KH. Abdurahman Sidik yang pernah

menjabat Mufti di Kesultanan Siak Inderagiri (Sapat) Riau. Boleh jadi, menurut Guru Irsyad

Zein, kitab ini aslinya berupa risalah ringkas yang merupakan cikal bakal pengembangan

dari Kitab Sabil al-Muhtadin yang pada dasarnya belum selesai dalam membahas perkara fiqh

Islam secara utuh. Asumsi ini dikemukakan dengan melihat kenyataan adanya risalah lain

seperti Luqtatu al-Ajlan dan Kitab al-Nikah. Namun demikian, walau tidak ditemukan,

pemikiran Syeikh Arsyad yang tertuang dalam Kitab tersebut tentang Harta Perpantangan

dan Ishlah telah mengakar dalam masyarakat Banjar. Tradisi hidup (living tradition) hasil buah

pemikiran Syeikh ini mampu menjadi ketentuan berabad-abad masyarakat Banjar dalam

pembagian harta warisan.

Ada dua hal yang dikemukakan dalam kitab itu, yang berbeda dengan ketentuan

yang berlaku dalam fikih konvensional. Pertama, sebagaimana juga yang ditegaskan oleh

Guru Irsyad Zein, istilah harta perpantangan (harta bersama) ini lahir sebagai buah pemikiran

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam melihat perbedaan kehidupan keluarga di

kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar. Di kalangan masyarakat Arab,

memang perempuan sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu, kalau

suaminya meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan

dari harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri

menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan al-Qur’an.

Namun dalam masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami.

Oleh karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta

perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal, maka yang masih hidup

lebih dahulu mengambil 50 % dari harta perpantangan, dan sisanya baru dibagi sesuai

dengan ketentuan di atas. Adanya harta perpantangan ini dikiaskan dengan hukum Syirkatul

Abdan (perkongsian). Kedua, istilah fikih Islam yang berkembang dalam masyarakat Banjar

sampai hari ini dalam membagi harta warisan adalah melalui ishlah. Ishlah artinya

permufakatan antara ahli-ahli waris untuk menyerahkan sebagian yang semestinya diterima

oleh ahli waris yang menerima lebih kecil berdasarkan hukum faraidh. Contohnya satu

orang saudara lelaki dengan dua orang saudara perempuan. Kalau jumlah harta warisan

tersebut Rp. 1.000.000,- maka bagian saudara perempuan masing-masing adalah Rp.

250.000,-, sementara bagian saudara lelaki adalah Rp. 500.000,-. Setelah masing-masing

pihak mengetahui bagiannya sesuai dengan hukum faraidh, lalu mereka bersepakat bahwa

saudara lelaki memberikan sebagian dari yang diterimanya kepada kedua orang saudara

5

Page 6: Harta Perpantangan

perempuan sehingga jumlah yang mereka terima sama. Dalam hal ini, Syeikh Muhammad

Arsyad al-Banjari membolehkan tindakan ketiga orang bersaudara yang mengadakan ishlah

tersebut. Jumlah tambahan yang diterima saudara perempuan bukan merupakan bagian dari

harta warisan tetapi hanya merupakan pemberian dari saudara lelaki untuk mengadakan

ishlah karena jumlah itu hanya merupakan pemberian dengan secara suka rela.

Dalam perkembangannya, dua buah pemikiran Syeikh Muhammad Arsyad al-

Banjari tentang pembagian harta warisan ini telah menjadi bagian dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) di Indonesia. Ketentuan tentang harta perpantangan (Harta Bersama) dimuat

dalam pasal 96 ayat (1) yang berbunyi "Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup dari pasangan yang mati mendahuluinya".

Adapun ketentuan tentang Ishlah dimuat dalam pasal 183 yang berbunyi "Para ahli waris

dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-

masing menyadari bagiannya".

Menarik memang, produk ijtihad Syeikh Arsyad dalam bidang fiqh waris ini bila

dilihat dalam perspektif gender. Jika selama ini struktur "ketidakadilan" dalam masyarakat

sering ditimbulkan oleh "peran gender" dan "perbedaan gender", maka Syeikh Arsyad

justru mampu melampaui kecenderungan bias gender itu dalam wilayah tafsir agama atas

dasar keunikan budaya lokal yang dipahaminya secara baik. Letak pentingnya pemecahan

ini adalah pada bentuk terobosan dan pengakuannya akan perbedaan model rumah tanggal

sebagai dasar argumentasi hukumnya. Oleh karena itu, Syeikh Arsyad dalam perspektif

gender bisa dikatakan sebagai tokoh yang mampu mencegah proses terjadinya marjinalisasi

(pemiskinan ekonomi) kaum perempuan dari wilayah agama.

Memang jika melihat Q.S. An-Nisa': 11, perempuan mendapatkan waris setengah

bagian laki-laki, namun perlullah digarisbawahi bahwa ketika al-Qur'an berbicara tentang

perbedaan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak mengacu pada konteks sosial pada

masa al-Qur'an diturunkan. Padahal, sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan moral

al-Qur'an, tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan

perempuan atau yang lebih memprioritaskan yang satu dan merendahkan yang lain. Dengan

merujuk pada Q.S. al-Hujurat: 13, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan kecuali

kualitas taqwanya; Q.S. al-Tawbah: 71 yang menegaskan hubungan laki-laki dan perempuan

sebagai kemitraan; juga Q.S. al-Baqarah: 187, yang menegaskan hubungan suami-istri yang

setara. Ditambah dengan ayat-ayat lain, semisal Q.S. al-Nisa: 124, Q.S. Ali 'Imran: 195, dan

Q.S. al-Nahl: 97, yang menegaskan kesetaraan ganjaran atas amal sholeh yang dikerjakan

6

Page 7: Harta Perpantangan

oleh laki-laki maupun perempuan, maka jelaslah bahwa kedudukan, hak, dan tanggung

jawab mereka sebagai manusia bobotnya sama di hadapan Allah, di antara sesama manusia,

maupun di dalam keluarga. Dengan demikian kesetaraan merupakan pesan moral al-Qur'an

yang paling fundamental yang selalu harus ditegaskan []

7