Upload
irfan-noor-mhum
View
511
Download
19
Embed Size (px)
Citation preview
HARTA PARPANTANGAN;Sebuah Akomodasi Hukum Waris Islam atas Budaya
Relasi Gender dalam Masyarakat Banjar
Oleh: Irfan Noor, M.Hum
Diskursus tentang ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan, selalu
menjadi tema paling menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran
dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Dari berbagai gugatan yang
pernah ada dalam sejarah terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat suatu analisis yang
mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Analisis
yang dimaksud adalah analisis gender, yang fokus operasional kajiannya adalah
ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Mengapa model analisis seperti bisa mendapat sambutan yang antusias akhir-akhir
ini ? Jawabnya tidak lain karena melalui analisis ini kita bisa melihat akar marjinalisasi,
proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan kaum perempuan di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, karena begitu populernya analisis ini saat
sekarang, maka tidak heran jika akhir-akhir ini gender menjadi kata kunci bagi setiap upaya
mendorong proses transformasi posisi kaum perempuan. Salah satu bentuk studi gender
yang saat ini berkembang di Indonesia adalah studi reaktualisasi khazanah sosial-keagamaan
lokal yang berperspektif gender. Studi tersebut mencakup studi khazanah intelektual berupa
naskah-naskah keagamaan atau budaya lokal, juga pandangan hidup yang berkembang di
masyarakat lokal.
Dalam arus perkembangan studi yang mempersoalkan ketidakadilan sosial dari
aspek hubungan antara jenis kelamin ini, pembahasan tentang konsep harta perpantangan
dalam hukum fara'idh yang pernah dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
pada abad ke-17 sungguh sangat menarik. Daya tariknya adalah nilai-nilai kesetaraan gender
yang sangat kental dalam pemikiran Syeikh yang hidup jauh sebelum wacana ini
berkembang dengan baik. Di tangan Syeikh Arsyad, fiqh Fara'idh yang selama ini sangat
bias laki-laki, justru mampu memperlihatkan semangat egalitarianismenya. Keegalitarianan
pemikiran Syeikh ini dalam menetapkan hukum Fara'idh tersebut sesungguhnya disinyalir
1
oleh banyak pihak sebagai bentuk dari salah satu sikapnya yang sangat akomodatif terhadap
budaya lokal.
Dengan demikian, studi ini secara eksplisit ingin menempatkan posisi perempuan
dalam dialektika agama dan budaya. Menempatkan posisi perempuan dalam kerangka
demikian sama halnya dengan menelaah suatu proses interpretasi yang terus berlangsung,
dimana wacana agama diperkaya dengan berbagai dinamika kontekstual lokal. Oleh karena
itu, sebelum bahasan ini masuk ke inti persoalan yang akan didiskusikan, alangkah baiknya
kita memulainya dengan mengemukakan gambaran awal tentang perkembangan Islam di
Kalimantan Selatan. Menurut Asywadie Syukur, sebagai titik tolak gambaran ini adalah
masa Kerajaan Islam Banjar dimana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjalankan
peran keulamaannya. Namun demikian, tegas Asywadie Syukur, sebelum berbicara tentang
keberadaan Islam di masa Kerajaan Islam Banjar, perlulah untuk ditegaskan bahwa sebelum
Pangeran Samudera, yang merupakan Sultan Pertamanya, memeluk agama Islam ada
indikasi bahwa di daerah ini telah ada penganut agama Islam. Indikasi Pertama, adalah
adanya hubungan antara Raden Sekar Sungsang yang kemudian menjadi pendiri Nagara
Daha yang bergelar Maharaja Sari Kaburtungan (1530-1555) dengan Sunan Giri dari
Gresik. Sunan Giri diundang ke Nagara Daha untuk menyaksikan kemajuan negaranya
terutama dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Aria Trenggano (Marabahan).
Indikasi kedua, adanya sepucuk surat yang dikirim Pangeran Samudera yang dibawa Patih
Balit ke Demak untuk memohon bantuan untuk memerangi Pangeran Temanggung
(1588-1595) yang menggunakan huruf Arab Melayu yang biasanya hanya dipergunakan oleh
masyarakat muslim.
Namun demikian, sebagaimana yang diakui oleh banyak ahli, momentum intensitas
penyebaran Islam di daerah ini baru terjadi pada abad ke-16 ketika Sultan Demak
membantu Pangeran Samudera dalam menundukkan pamannya, Pangeran Tumenggung,
dalam perebutan kekuasaan yang terjadi. Bentuk Bantuan itu berupa pengiriman tenaga
prajurit bersama tokoh Islam yang bernama Khatib Dayyan. Atas bantuan Demak ini,
Pangeran Samudera berhasil menaklukkan Kesultanan Negara Daha yang dikuasai oleh
Pangeran Tumenggung dan, berdasarkan perjanjian, Pangeran Samudera masuk Islam. Pada
momentum peralihan kekuasaan dari Pangeran Tumenggung kepada Pangeran Samudera
yang kemudian berganti gelar menjadi Sultan Suriansyah inilah yang menandai berdirinya
sebuah Kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526. Sejak itulah, Islam menjadi agama resmi
Kerajaan dan masyarakat Banjar menggantikan agama Hindu. Pusat pemerintahannya
2
kemudian dipindahkan ke Kuin, dan di daerah baru itu dibangun keraton dan sebuah
mesjid yang dikenal dengan Mesjid Suriansyah.
Adapun Khatib Dayan yang ditugaskan oleh Sultan Demak untuk mengislamkan
Pangeran Samudera dan seluruh pejabat negara, juga bertugas membimbing masyarakat dan
mendampingi Sultan sampai akhir hayatnya. Namun sayangnya, sesudah Khatib Dayan
meninggal, tidak terdengar lagi berita tentang kegiatan penyebaran Islam di Kalimantan
Selatan, baik dari para Sultan maupun masyarakat. Hanya diceritakan bahwa pada akhir
abad 17 dan awal abad 18 ada dua orang Datuk yang berusaha menyebarkan Islam,
sekalipun dengan pengetahuan Keislaman yang sangat minim. Beberapa sumber tersebut
menyebutkan bahwa kedua orang Datuk tersebut dikenal dengan sebutan Datuk Kandang
Aji (H. Abdul Rasyid) dan Datuk Sanggul (H.M. Thaher).
Adapun Datuk Kandang Aji, yang makamnya ada di dekat mesjid yang dibangunya
di Paringin kab. Balangan, ini dikenal karena kiprahnya dalam mengajarkan masyarakat
membaca al-Qur’an dan menghidupkan kembali shalat Jum’at. Sedangkan Datuk Sanggul,
yang juga dikenal dengan julukan Datuk Muning, ini dikenal karena menyebarkan agama
Islam di bagian Selatan wilayah Kalimantan Selatan. Kuburannya terletak di desa Tatakan,
Kabupaten Tapin.
Oleh karena minimnya berita penyebaran Islam pasca meninggalnya Khatib Dayan
di Kalimantan Selatan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa proses peningkatan
pengetahuan keislaman secara lebih intensif di masyarakat Banjar itu sendiri baru terjadi
ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari kembali dari Mekkah. Tepatnya ketika Syeikh
ini pada tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I,
pulang ke tanah Banjar setelah 30 tahun lamanya belajar di sana.
Konon kepulangan Syeikh Arsyad dari Mekkah disambut penuh antusias oleh pihak
kesultanan dan warga Kerajaan Banjar. Sultan Tamjidillah I (1745-1778) sangat
menghormatinya dan mengawinkannya dengan salah seorang kerabat dekatnya, Ratu
Aminah, anak dari Pangeran Thaha, saudara sepupu Sultan. Selain itu juga, Sultan
menghadiahkan sebidang tanah perbatasan + 5 km dari Martapura, tempat kedudukan
Keraton pada saat itu.
Tanah pemberian itu kemudian dibangun oleh Syeikh Arsyad sebagai wilayah
pemukiman dan tempat diselenggarakannya pengajian-pengajian agama yang beliau asuh.
Tempat diselenggarakannya pengajian itu pada waktu itu dinamakan "mandarasah", dan
belakangan dikenal dengan nama kampung "Dalam Pagar". Dilihat dari sudut proses
3
belajar-mengajar pada masa itu, bentuk pengajian di dalam satu komplek yang ada
musholla, tempat belajar dan asrama untuk para santri merupakan suatu tradisi yang baru
bagi model belajar-mengajar di daerah ini. Hal ini karena, sebelumnya, pengajian-pengajian
dilaksanakan di rumah, musholla, atau istana saja. Pola pembelajaran yang dikembangkan
oleh Syeikh Arsyad inilah yang nantinya sebagai cikal-bakal pendidikan formal Islam di
daerah ini pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Di tempat itu, Syeikh Arsyad dan murid-muridnya yang datang dari berbagai
pelosok daerah Kerajaan Banjar belajar membaca dan menulis huruf Arab Melayu,
memperdalam ilmu-ilmu keislaman, dan praktek-praktek peribadatan dalam Islam. Di
samping itu, semua kebutuhan hidup juga mereka penuhi bersama, seperti: mencari ikan
dan bersawah. Setelah cukup memperoleh ilmu-ilmu keislaman, mereka pulang ke
kampung halaman masing-masing, dan mendirikan lagi mandarasah untuk mengajarkan
ilmu-ilmu keislaman yang mereka dapatkan dari Syeikh Arsyad tadi. Melalui mandarasah
inilah, pengetahuan keislaman berkembang dan meningkat di tengah-tengah masyarakat
Kesultanan Banjar.
Demikian demikian, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama
besar pada masanya di kawasan Kesultanan Banjar. Bahkan melalui karya tulisnya, nama
dan pemikiranya dikenal di seluruh Asia Tenggara. Karya tulis Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari tersebut cukup banyak, yakni ada 14 buah, baik dalam bentuk risalah maupun
kitab. Karya-karya itu ditulis dengan baik ke dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab. Karya
tulisnya mencakup tiga bidang ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang ilmu tauhid, terdapat
empat buah karya, yaitu : (1) Ushuluddin; (2) Tuhfatu al-Ragibin fi Bayani Haqiqati Imani al-Mu
minin wa ma Yufsiduhu min Riddati al-Murtadidin; (3) Al-Qaulu al-Mukhtasahar fi Alamati al-
Mahdi al-Muntazar; dan (4) Mazhab Ahlu al-Sunnah, Jabariah dan Qadariah. Sementara dalam
bidang ilmu Fikih terdapat delapan buah karya, yaitu: (1) Parukunan Basar ;(2) Luqtatu al-
Ajlan; (3) Sabilal Muhtadin li al-Tafaquhi fi al Din; (4) Kitab al-Nikah; (5) Kitab al-Faraidh; (6)
Syarah Fathi al-Jawad; (7) Fatwa Syekh Athaillah fan; (8) Ilmu Falak. Adapun dalam bidang
ilmu tasawuf sendiri terdapat dua buah karya, yakni: (1) Fathu al-Rahman al Waliyi al Ruslan
dan (2) Kanz al-Ma’rifah.
Dari berbagai buku tersebut, ada satu karya yang sering dibicarakan di tengah-
tengah masyarakat Banjar, yakni "Kitab al-Faraidh" yang berbicara tentang hukum kewarisan.
Namun sayangnya, sampai saat ini naskah asli maupun salinannya atau yang sudah dicetak
belum ditemukan. Ada yang mengatakan bahwa naskah aslinya berada di tangan salah
4
seorang keturunan Syeikh Arsyad yang bernama KH. Abdurahman Sidik yang pernah
menjabat Mufti di Kesultanan Siak Inderagiri (Sapat) Riau. Boleh jadi, menurut Guru Irsyad
Zein, kitab ini aslinya berupa risalah ringkas yang merupakan cikal bakal pengembangan
dari Kitab Sabil al-Muhtadin yang pada dasarnya belum selesai dalam membahas perkara fiqh
Islam secara utuh. Asumsi ini dikemukakan dengan melihat kenyataan adanya risalah lain
seperti Luqtatu al-Ajlan dan Kitab al-Nikah. Namun demikian, walau tidak ditemukan,
pemikiran Syeikh Arsyad yang tertuang dalam Kitab tersebut tentang Harta Perpantangan
dan Ishlah telah mengakar dalam masyarakat Banjar. Tradisi hidup (living tradition) hasil buah
pemikiran Syeikh ini mampu menjadi ketentuan berabad-abad masyarakat Banjar dalam
pembagian harta warisan.
Ada dua hal yang dikemukakan dalam kitab itu, yang berbeda dengan ketentuan
yang berlaku dalam fikih konvensional. Pertama, sebagaimana juga yang ditegaskan oleh
Guru Irsyad Zein, istilah harta perpantangan (harta bersama) ini lahir sebagai buah pemikiran
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam melihat perbedaan kehidupan keluarga di
kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar. Di kalangan masyarakat Arab,
memang perempuan sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu, kalau
suaminya meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan
dari harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri
menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan al-Qur’an.
Namun dalam masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami.
Oleh karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta
perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal, maka yang masih hidup
lebih dahulu mengambil 50 % dari harta perpantangan, dan sisanya baru dibagi sesuai
dengan ketentuan di atas. Adanya harta perpantangan ini dikiaskan dengan hukum Syirkatul
Abdan (perkongsian). Kedua, istilah fikih Islam yang berkembang dalam masyarakat Banjar
sampai hari ini dalam membagi harta warisan adalah melalui ishlah. Ishlah artinya
permufakatan antara ahli-ahli waris untuk menyerahkan sebagian yang semestinya diterima
oleh ahli waris yang menerima lebih kecil berdasarkan hukum faraidh. Contohnya satu
orang saudara lelaki dengan dua orang saudara perempuan. Kalau jumlah harta warisan
tersebut Rp. 1.000.000,- maka bagian saudara perempuan masing-masing adalah Rp.
250.000,-, sementara bagian saudara lelaki adalah Rp. 500.000,-. Setelah masing-masing
pihak mengetahui bagiannya sesuai dengan hukum faraidh, lalu mereka bersepakat bahwa
saudara lelaki memberikan sebagian dari yang diterimanya kepada kedua orang saudara
5
perempuan sehingga jumlah yang mereka terima sama. Dalam hal ini, Syeikh Muhammad
Arsyad al-Banjari membolehkan tindakan ketiga orang bersaudara yang mengadakan ishlah
tersebut. Jumlah tambahan yang diterima saudara perempuan bukan merupakan bagian dari
harta warisan tetapi hanya merupakan pemberian dari saudara lelaki untuk mengadakan
ishlah karena jumlah itu hanya merupakan pemberian dengan secara suka rela.
Dalam perkembangannya, dua buah pemikiran Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari tentang pembagian harta warisan ini telah menjadi bagian dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) di Indonesia. Ketentuan tentang harta perpantangan (Harta Bersama) dimuat
dalam pasal 96 ayat (1) yang berbunyi "Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup dari pasangan yang mati mendahuluinya".
Adapun ketentuan tentang Ishlah dimuat dalam pasal 183 yang berbunyi "Para ahli waris
dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-
masing menyadari bagiannya".
Menarik memang, produk ijtihad Syeikh Arsyad dalam bidang fiqh waris ini bila
dilihat dalam perspektif gender. Jika selama ini struktur "ketidakadilan" dalam masyarakat
sering ditimbulkan oleh "peran gender" dan "perbedaan gender", maka Syeikh Arsyad
justru mampu melampaui kecenderungan bias gender itu dalam wilayah tafsir agama atas
dasar keunikan budaya lokal yang dipahaminya secara baik. Letak pentingnya pemecahan
ini adalah pada bentuk terobosan dan pengakuannya akan perbedaan model rumah tanggal
sebagai dasar argumentasi hukumnya. Oleh karena itu, Syeikh Arsyad dalam perspektif
gender bisa dikatakan sebagai tokoh yang mampu mencegah proses terjadinya marjinalisasi
(pemiskinan ekonomi) kaum perempuan dari wilayah agama.
Memang jika melihat Q.S. An-Nisa': 11, perempuan mendapatkan waris setengah
bagian laki-laki, namun perlullah digarisbawahi bahwa ketika al-Qur'an berbicara tentang
perbedaan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak mengacu pada konteks sosial pada
masa al-Qur'an diturunkan. Padahal, sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan moral
al-Qur'an, tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan
perempuan atau yang lebih memprioritaskan yang satu dan merendahkan yang lain. Dengan
merujuk pada Q.S. al-Hujurat: 13, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan kecuali
kualitas taqwanya; Q.S. al-Tawbah: 71 yang menegaskan hubungan laki-laki dan perempuan
sebagai kemitraan; juga Q.S. al-Baqarah: 187, yang menegaskan hubungan suami-istri yang
setara. Ditambah dengan ayat-ayat lain, semisal Q.S. al-Nisa: 124, Q.S. Ali 'Imran: 195, dan
Q.S. al-Nahl: 97, yang menegaskan kesetaraan ganjaran atas amal sholeh yang dikerjakan
6
oleh laki-laki maupun perempuan, maka jelaslah bahwa kedudukan, hak, dan tanggung
jawab mereka sebagai manusia bobotnya sama di hadapan Allah, di antara sesama manusia,
maupun di dalam keluarga. Dengan demikian kesetaraan merupakan pesan moral al-Qur'an
yang paling fundamental yang selalu harus ditegaskan []
7