35
BAB PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid, dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi struma toksik (perubahan fungsi fisiologis kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik (eutiroid). Struma toksik sendiri dibagi menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan struma nodusa toksik (Plummer’s disease). Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain (Jasalim umar, 2011) Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapi menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun (Hermawan, A. G. 2000).

Grave Semoga Membantu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga membantu

Citation preview

Page 1: Grave Semoga Membantu

BAB

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena

pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid, dapat berupa gangguan fungsi atau

perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi

struma toksik (perubahan fungsi fisiologis kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik

(eutiroid). Struma toksik sendiri dibagi menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan

struma nodusa toksik (Plummer’s disease). Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada

perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain

(Jasalim umar, 2011)

Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian

Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin

dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai klinik. Perbandingan wanita

dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1,

di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di

RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapi menurut

beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun (Hermawan, A. G. 2000).

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999 diperkirakan 200 juta,

12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari

beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% – 48,93% dari seluruh penderita dengan

penyakit kelenjar gondok. Di AS diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering

pada usia di bawah 40 tahun (Hermawan, A. G. 2000).

Penyakit Graves saat ini dianggap sebagai penyakit autoimun idiopatik. Terdapat

kecenderungan yang kuat pada penyakit ini untuk diturunkan secara genetik pada keturunan

penderita. Penyakit ini dapat dicetuskan oleh beberapa faktor diantaranya stres, merokok,

infeksi, asupan iodin yang tinggi, dan masa nifas (Greenspan FS,2004).

Penyakit ini disebabkan karena adanya antibodi yang kerjanya menyerupai Thyroid

Stimulating Hormone (TSH) yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi tersebut kemudian

merangsang Reseptor TSH yang berada di kelenjar tiroid, sehingga terjadi peningkatan

produksi hormon tiroid. Penyebab timbulnya penyakit grave’s masih belum diketahui secara

Page 2: Grave Semoga Membantu

pasti (Ginsberg J, 2003). Gejala penyakit ini sangat khas, yang meliputi gejala dermatologis,

dan gejala opthalmologis yang disertai gejala-gejala yang muncul akibat terjadinya

tirotoksikosis, seperti misalnya penurunan berat badan, sulit tidur, tremor, serta pada keadaan

yang berat dapat terjadi krisis tiroid (Meconu F,2014) (Ginsberg J, 2003).

Diagnosis penyakit Graves kadang dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pembesaran tiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa

opthalmofati dan dermofati biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Uji TSH

dikombinasikan dengan uji FT4 biasanya merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang

dikerjakan pada pasien ini. Hasil yang sesuai dengan diagnosis penyakit ini adalah kadar TSH

yang rendah dan kadar FT4 yang normal atau meningkat. Karena kombinasi dari kadar TSH

yang rendah serta FT4 yang tinggi dapat terjadi pada gangguan tiroid lainnya, kita dapat

melakukan pemeriksaan Radioactive Iodine Uptake (RAIU) test atau Thyroid Scan untuk

memastikan diagnosis. (Weetman AP,2000).

Page 3: Grave Semoga Membantu

BAB

PEMBAHASAN

3.1 DEFINISI

Graves disease (GD) adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan

jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang

dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan

kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat

terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri

dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus),

dermopathy (pretibial myxedema) (Shahab A, 2002).

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun

demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum

diketahui secara pasti - meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri

penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain

dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone –

Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Davies TF,2000)(Weetman

AP,2000).

3.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

GD merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang

menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara

tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid

(TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis

dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan gondok membesar difus).Saat ini

diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada penderita GD

yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid yang menginduksi sintesa

dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan 

oleh multifaktor antara genetik, endogen dan faktor lingkungan (Shahab A, 2002).

Terdapat beberapa faktor predisposisi:

A. Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk

terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3)

Page 4: Grave Semoga Membantu

ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA

terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T

terhadap reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat

antigen.Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk

antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-

β) mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat

membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk

antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun.

B. Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh

estrogen.Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan

fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.

C. Status gizi

Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya

penyakit autoantibodi tiroid.

D. Stress

Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur

neuroendokrin.

E. Merokok

Merokok dapat menyebabkan pembentukan tiroid menjadi aktif

F. Defisiensi Iodium

Pada daerah yang terdefisiensi iodium juga menjadi predisposisi dari penyakit ini

G. Infeksi

Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai

protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler

kelenjar tiroid diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada

penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus

dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar

tiroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi

menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit

ini.

H. Periode post partum

Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.

Page 5: Grave Semoga Membantu

I. Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)

Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral theraphy

(HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah dan fungsi

CD4 sel T (Shahab A, 2002).

Pasien ini memiliki 3 faktor predileksi.

1. Genetik Orangtua dari pasien pernah didiagnosa kelainan tiroid dan mendapat

pengobatan

2. Jenis kelaim pasien perenpuan yang menurut study epidemologi lebih sering

menderita sakit tiroid

3. Stress pasien sekolah di asrama dimana pasien sebelumnya tak terbiassa tinggal di

asrama. sehingga terkadang memicu stress

3.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi

hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan 

untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-

iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon

paratiroid (Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan

fosfat.Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel.Sel-Sel ini

memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang (Sitorus, M. S. 2004).

Page 6: Grave Semoga Membantu

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Diambil dari (Sitorus, 2004)4

Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang

mensintesis kalsitonin.T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme.T3

selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan

perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin

di dalam koloid dari folikel, prealbuminpengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit

T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah (Sitorus, M. S. 2004)

Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating hormone)

dan adenohipofisis.Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing

hormone) dari hipothalamus.TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada

kelenjar tiroid.TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi

oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons

adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun

dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga

dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga melalui

pengaruh persarafan(Hidayat, 2009).

Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid

Page 7: Grave Semoga Membantu

Diambil dari (Hidayat, 2009)5

Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon TSH

(Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hopofisis. Sekresi TSH diatur

oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh

Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi

akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun.

Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga

meningkatkan produksi T3 dan T4 (Hidayat, 2009)

Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa langkah,

yaitu: (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006)

3.3.1 Iodide  trapping

Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan berhubungan dengan

Na,K,ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah kedalamnya (20 kali lebih

kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug yodida

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3.3.2 Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)

Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke yodium yang

kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal dari residu tirosil,

dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT)

dan diiodothyrosine (DIT).

3.3.3 Coupling

Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT  sehingga terbentuk T3 dan T4 yang

terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan dari pada T3 meskipun

efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam

koloid.

3.3.4 Sekresi

Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas dari

tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah dengan

perbandingan T3:T4 = 1:5.  Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan hormon

diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu

tirosil. Hanya sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah

(normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3%

Page 8: Grave Semoga Membantu

dan 0,02% dari total hormon keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7

hari (T4).

Gambar 3. Produksi dan Regulasi Hormon Tiroid

Diambil dari (Price and Lorraine, 2006)6

Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa

hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada metabolisme karbohidrat,

protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat

dengan fungsi katekolamin dalam tubuh (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006).

3.3.5 Pembentukan kalori

Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada hampir semua

jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior,

limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan

tubuh akan semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses

termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti

memperbanyak pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan

bertambahnya curah jantung.

3.3.6 Metabolisme karbohidrat

Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan

efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan

Page 9: Grave Semoga Membantu

hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme

yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu

pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa

oral yang sangat khas.

3.3.7 Metabolisme protein

Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik

berupa sintesis  RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar yang

berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan

nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling

pada proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas

bertambah.

3.3.8 Metabolisme lemak dan kolesterol

Tiroksin akan merangsang proses lipolisis  dan pelepasan asam lemak bebas dari

jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk

metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar kholesterol

disebabkan oleh proses metabolisme  melebihi proses sintesisnya.

3.3.9 Pertumbuhan

Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya

terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

3.3.10 Sistem saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang

meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif.

Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh

lebih cepat daripada normal.

3.4 PATOFISIOLOGI

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari

hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).Didapatkan pula peningkatan

produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan

perifer.Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan,

proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini

berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino

Page 10: Grave Semoga Membantu

dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel

dan peningkatan proses-proses intraseluler.

Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan, sintesa protein dan

lain-lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya palpitasi,

takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan yang meningkat, berat

badan yang menurun. Kadang - kadang gejala klinis yang ada hanya berupa penurunan berat

badan, payah jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui

sebabnya.Patogenesis GD masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar hormon

tiroid ini disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar

timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi terhadap reseptor TSH, sehingga disebut

sebagai antibodi reseptor TSH.Antibodi ini sering juga disebut sebagai thyroid stimulating

immunoglobulin (TSI).Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita

GD(Hermawan, A. G. 2000).

Selain itu pada GD sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan anti

mikrosom.Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini mempunyai peranan

dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi mikrosom ini bisa ditemukan hampir

pada 60 -70% penderita PG, bahkan dengan pemeriksaan radioassay bisa ditemukan pada

hampir semua penderita, sedangkan antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50% penderita.

Terbentuknya autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol immunologik

(immunoregulation), defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA dan faktor

lingkungan seperti infeksi atau stress(Toft AD, 2001)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penyakit Grave memiliki 4 gejala utama yaitu

tirotoksikosis, goiter, opthalmopati, dan dhermopati. Adapun patogenesis dari masing-masing

gejala sebagai berikut: (Paulev and Zubieta, )

3.4.1. Tirotoksikosis

Hampir semua patogenesis penyakit ini melibatkan faktor immunologi.Hiperaktivitas

terjadi karena tersensitasinya T-helper. Tersensitasinya T-helper ini akan berespon terhadap

antigen yang terdapat pada tiroid, yang selanjutnya memacu sel B untuk membentuk

antibodi:

TSI (Thyroid-stimulating immunoglobulin) yang menurut hipotesis para ahli dapat

meningkat cAMP sehingga memacu terjadinya tirotoksikosis.

TgAb (thyroglobulin antibody) yang dapat meningkatkan tiroglobulin.

Ab (Thyroperoksidase antibody) yang dapat memacu kerja enzim peroksidase.

3.4.2 Opthalmopati

Page 11: Grave Semoga Membantu

Patogenesis opthalmopati melibatkan Tcytotoxicity.Ini terjadi karena tersensitasinya

Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot orbita dan jaringan

tiroid.Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para ahli belum mengetahui secara

pasti. Selanjutnya Tc akan menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan:

Inflamasi pada fibroblast orbita

Orbital myositis

Diplopia

Proptosis

3.4.3 Dhermopati. Patogenesis dhermopati umurnya sama seperti opthalmologi hanya saja

daerah yang terkena pada daerah pretibia, subperiosteal pada phalanges tangan dan

kaki.

3.4.4 Patogenesis takikardi, anxietas, berkeringat disebabkan karena hormon thyroid

merangsang medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin. Jumlah epinefrine

normal tetapi ada peningkatan pada norepinefrine yang bekerja pada sistem saraf

simpatik. Terangsangnya sistem saraf simpatik ternyata memberikan efek

perangsangan pada daerah hipotalamus dan ganglia basalis. Seperti yang diketahui

bahwa hipotalamus berfungsi sebagai regulator vegetatif (detak jantung, pernafasan,

sekresi kelenjar, berkeringat, dll) pada tubuh dan ganglia basalis (sebagai pusat emosi

dan pusat nafsu makan).

3.5 KRITERIA DIAGNOSIS

3.5.1 Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit

dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena

timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa

salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada

sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu: (Hermawan, A. G. 2000)

− Nervositas

− Kelelahan atau kelemahan otot-otot

− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik

− Diare atau sering buang air besar

− Intoleransi terhadap udara panas

− Keringat berlebihan

− Perubahan pola menstruasi

− Tremor

Page 12: Grave Semoga Membantu

− Berdebar-debar

− Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa

tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari

penyakitnya.Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang

penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata,

telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang

cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar

tanda-tanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat

ditegakkan(Hermawan, A. G. 2000).

Pasien ini memiliki gejala klinis yang muncul pada pada hipertiroid seperti gelisah,

penurunan nafsu yang baik, lebih suka udara dingin daripada pans, keringat yang berlebihan,

tremor, dan terkadang berdebar-debar

3.5.2 Inspeksi

Inspeksi dimulai dari mata, dilihat apakah ada eksotalmus. Dilanjutkan pemeriksaan

tiroid demgan meminta pasien duduk dan meminta ekstensi, Di inspeksi tiroidnya

yang berada pada depan cartialgo chricoid. Dilihat pembesarannya difuse atau

nodule.Pasien diminta untuk menelan untuk melihat tumor nya ikut naik atau tidak

ketika menelan. Pada kelenjar tiroid maka akan gerakan ke supior ketika pasien

menelan

Pada pasien ini tidak ada exoltalmus. Terdapat pembesaran pada kelenjar tiroid yang

difuse dan terlihat bergerak ketika pasien menelan

3.5.3 Palpasi

Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang

pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang

perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

1. Perluasan dan tepi, Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba

atau tidak dapat diraba trakea dan kelenjarnya

2. Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

3. Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari

musculus ini)

4. Limfonodi dan jaringan sekitarnya

Page 13: Grave Semoga Membantu

Pada pasien ini didapatkan nodul multinodusa dengan konsistensi kenyal

mobil dan tidak nyeri

3.5.4 Auskultasi

“Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid.Apakah ada peningkatan detak

jantung dan aritmia.

Gambar 6. Goiter pada Penderita Graves Disease

Diambil dari (Toft, 2001)7

Tidak ditemukan suara bruit pada tiroid tetapi ditemukan adanya suara jantung yang

meningkat

3.5.5 Tes Khusus

1. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah. Yang

biasa terjadi pada superior venacava syndrome (SVC)

2. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan

meletakkan sehelai kertas di atas tangan

3. Oftalmopati

Pada pasien ini ditemukan adanya tremor sign , tidak ada ogtalmopati dan

pumberton’s sign

Page 14: Grave Semoga Membantu

Gambar 7. Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease

Diambil dari (Toft, 2001)7

Tabel 1. Pemeriksaan Oftalmopati

Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid

Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan dahi

Von Stelwag Mata jarang berkedip

Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak dapat

mengikuti bulbus okuli sehingga antara palpebra

superior dan cornea terlihat jelas sklera bahagian

atas

Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika mata

tertutup

Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata pasien

di medial, pasien sukar mengadakan dan

mempertahankan konvergensi

Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar

Diambil dari (Hermawan, 2000)2

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid tak

dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat membantu

menegakkan diagnosis hipertiroid.Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila basil BMR > ±

30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.

Tabel 2. Indeks Wayne

Page 15: Grave Semoga Membantu

Diambil dari (Shahab, 2002)3

Tabel 3. Indeks New Castle

Page 16: Grave Semoga Membantu

Diambil dari (Shahab, 2002)3

Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid function

test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41). Adapun

pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan

antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH

serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan

sidikan tiroid (thyroid scanning) Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan

diagnosis GD, yakni : adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau

mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada penderita

didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan

antibodi tiroid(Shahab, 2002).

Tes khusus yang positif pada pasien ini pada pemeriksaan opthalmiopati ditemukan

rosenbarch dan moebius sign positif. Pasien juga memenuhi index wayne >20 dengan nilai

32. Dengan yang positif Kelelahan, Berdebar, Suka udara dingin, Keringat berlebihan,

Gugup, Nafsu makan naik, Berat badan turun,Tyroid teraba, Hyperkinetic, tremor jari,

Tangan basah,nadi. Pada new castle index pasien ini dihitung doubfull dengan nilai 35 yang

posotif nadi >90 , adanya tremor, peningkatan nafsu makan dan adanya gaoiter.

3.5.6 Pemeriksaan Penunjang

3.5.6.1 Pemeriksaan laboratorium

Page 17: Grave Semoga Membantu

Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis)

Gambar 8. Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme

Diambil dari (Shahab, 2002)3

1. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave

disease.

2. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antitiroid

seperti thioamides.

3. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat memperberat

diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang meningkat dalam darah

4. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang sedang

aktif.

3.5.6.2 Pemeriksaan Radiologi

Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea,

dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.

Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium

berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.

USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada

pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium

Page 18: Grave Semoga Membantu

CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari

tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada penyempitan,

deviasi dan invasi).

MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)

Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai

terapi(Shahab, 2002).

Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan TSH dan T4 yang menyimpulkan adanya

hipertiroidsm.Dengan adanya penurunan TSH dan peningkatan T4.Pada pasien ini tidak

dilakukan pemeriksaan iodine uptake tidak dilakukan, diakrenakan alat ini tidak ada di

RSSA.Tidak dilakukan pemeriksaan ECG karena pada pemeriksaan fisik pasien tidak

ditemukan aritmia ataupun kelainan pada jantung selain peningkatan pada detak jantung.USG

MRI tidak dilakukan karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan lab sudah terlihat adanya

kelainan.

3.6 Penatalaksanaan

Pada dasarnya penanganan primer pada grave disease yang kita pakai sekarang dibagi

menjadi 3 :1) menggunakan radioaktif, 2) membloking sinteteis dari hormon tiroid dan 3)

melalui operasi.

3.6.1 Pengobatan Radioaktif

Radioaktif iodine (I-131) yang biasa disebut RAI merupakan bengobatan yang sering

digunakan untuk jinak maupun ganas dari 1940.Terapi ini mengobati hipertiroid dengan

menghancurkan sel tiroid sehingga terjadi eutiroid ataupun hipotiroid.Radiokatikf ini bekerja

selama kurang lebih 8 hari.

Mekanisme kerja dari RAI ini dengan menggunakan radioaktif dari iodin. Iodin yang

merupakan prekusor dari tiroksin akan ditangkap oleh sel tiroid seperti halnya iodin.

Radioaktif ini akan menghancurkan jumlah mauoun volume dari sel folikel tiroksin sehingga

terjadi pengurangan fungsi dari kelenjar.

Indikasi dari terapi ini ada 2 hipertiroid ( grave disease, torix multinodular giotre atau

hiperfunctioning thyroid nodules), non toksik multinodular goiter dan kangker tiroid.

Hipertiroid .Tidak semua kelainan goiter atau strom dapat diobati dengan RA-I.

Kontrainidikasi dari pengobatan ini ada 3 kehamilan, menyusui dan thyrotoxicosis berat

yang tidak terkontrol

3.6.2 Pengobatan dengan Obat

Page 19: Grave Semoga Membantu

3.6.2.1 Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.

Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran balk

di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah

Sakit.

3.6.2.2 Diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena

terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan

kalsium yang negatif.

3.6.2.3 Obat penenang

Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat

diberikan.Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.

3.6.2.4 Obat antitiroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium, perchlorat

dan thiocyanat.Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide adalah propylthiouracyl

(PTU), 1 - methyl – 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole.Obat

ini bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan

menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta

menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif.PTU juga

menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga

pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh

pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma.MMI

dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya

satu persepuluhnya.

Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg

per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal

setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole

dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.Secara farmakologi terdapat perbedaan

antara PTU dengan MMI/CBZ, antara lain adalah :

1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama dibanding PTU di

clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam.

2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding PTU.

Page 20: Grave Semoga Membantu

3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada albumin

serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta dan air susu sehingga

untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan

dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan

cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan,

maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak

teratur minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya

atau dosis kurang).

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat

ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis

yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan

kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita

umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi

berupa arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,

limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.

3.6.2.5 Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3

minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang

bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi

penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala

hipertiroidi menghebat.Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek

yang cepat seperti pada krisis tiroid atau untuk persiapan operasi.Sebagai persiapan operasi,

biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi.Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari

dengan dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.Marigold

dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari

yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi.

3.6.2.6 Penyekat Beta (Beta Blocker)

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas

pada sistim simpatis.Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat

Page 21: Grave Semoga Membantu

meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin. Penggunaan obat-obatan golongan

simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan

penyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih digunakan.Berbeda dengan

reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat.

Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat

propranolol:

penurunan denyut jantung permenit

penurunan cardiac output

perpanjangan waktu refleks Achilles

pengurangan nervositas

pengurangan produksi keringat

pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi

T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam

hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan dosis

tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu

operasi. Penggunaan propranolol antara lain sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau

pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid (Hermawan, A.

G. 2000).

3.6.3 Pengobatan Operasi

Operasi dapat menjadi pilihan terapi dengan indikasi-indikasi tertentu.Pengobatan ini

dilakukan dengan pengambilan sebagian atau sepenuhnya dari tiroid.Indikasi operasi ini

dibagi menjadi 2 relatif dan absolut. Untuk indikasi absolut meliputi goiter yang besar yang

toksik dengan kelainan yang komprehensif, hamil atau berencana hamil, umur dibawah 5

tahun, relap setelah pengobatan, optalmopati berat, curiga keganasan dan keinginan pasien.

Sedangkan indikasi relative meliputi pasien yang tidak patuh dengan pengobatan, tidak cocok

dengan obat yang dipakai dan adanya pengambilan iodin yang rendah

Pada pasien ini dipilih pengobatan dengan obat dikarenakan tidak adanya fasilitas

untuk melakukan pemeriksaan iodine uptake maupun pengobatan dengan RAI. Pengobatan

dengan operasi pun tidak dipilih karena tidak adanya indikasi relative dan absolut pada pasien

ini untuk dilakukan operasi

Page 22: Grave Semoga Membantu

Pada pasien ini diberikan pebobatan khusus untuk mengontrol produksi homron tiroid

dan gejala dengan pemberian beta beloker dan PTU. Beta bloker berfungsi sebagai pengatur

gejala dan PTU untuk menurunkan jumlah hormone tiroid. Pasien ini akan direncanakan

evaluasi 1 bulan untuk melihat pegontrolan pada gejala dan jumlah hormone.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: Grave Semoga Membantu

Meconu F, Marcocci C, Marino M. 2014. Diagnosis and classification of Graves'

disease. Autoimmunity Reviews;13:398–402.

Ginsberg J. 2003. Diagnosis and management of Grave’s disease. CMAJ;168(5):575-85.

Greenspan FS. 2004. The Thyroid Gland. Dalam: Greenspan FS, Gardner

DG,penyunting. Basic & Clinical Endocrinology. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;

h.248-258.

Brent G. 2008. Grave’s Disease. N Engl J Med;358:2594-605.

Lin S, Huang C. 2012. Mechanism of Thyrotoxic Periodic Paralysis. J Am Soc

Nephrol;23:985–988.

Weetman AP. 2000. Graves Disease: Medical Progress. The New England Journal of

Medicine; 343(17):1236-1248.

Jameson JL, Weetman AP. 2005. The Disorders of Thyroid Gland. Dalam: Braunwald

E,Fauci A, Kasper D, Hoster S, Longo D, Jameson J, penyunting. Harrison’s Principle of

Internal Medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw Hill.

Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.

Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas

Sebelas Maret. Surakarta.

Davies TF. 2000. Graves’ disease. In: Lewis E. Braverman dan Robert D. Utiger

(editor). Werner & Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins:p. 518-55.

Weetman AP. 2000. Graves’ disease. N Engl J Med ;343(17):1236-48.

Cooper DS. 2000. Treatment of thyrotoxicosis. In: Lewis E. Braverman dan Robert

D. Utiger (editor). Werner & Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed.

Page 24: Grave Semoga Membantu

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,p. 691-715.

Woeber KA. 2000. Update on the management of hyperthyroidism and

hypothyroidism. Arch Intern Med.;160:1067-71.

Singer PA., Cooper DS., Levy EG, et al. 1995 Treatment guideline for patients with

hyperthyroidism and hypothyroidism. JAMA.5;273:808-12.

Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.

Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,

PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18

Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid.FK USU. Medan.

Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 13agustus 2015 available from

http://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistem-hormon-hormon-adalah-zat-kimia.html

Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006.Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.EGC. Jakarta.

Toft AD. 2001. Subclinical hyperthyroidism [Clinical Practice], N. Engl. J. Med.

345:512-516,

Paulev and Zubieta.Tanggal 13 agustus 2015Thyroid Hormones and

Disorders.available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html