Ghulul, Risywah dan Korupsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

The paper is written as the writer efforted in searched on the nash (Al-Qur’an text), hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception of ghulul (betrayal) and risywah (bribe) concerned with corruption.Results of the research, finally, can give the positive contribution as the sharing information hopefully to Indonesian muslim people, specially to suggest and recommendation and giving support for Indonesian goverment agencies concerned with against corruption doing their obligation and duty.

Citation preview

  • Abstrak

    PERSPEKTIF ISLAM TENTANGGHULUL DAN RISYWAH TERKAIT KORUPSI

    By Wahyono Saputro, M. Pd. I.

    Makalah ini ditulis sebagai sebuah usaha penulis dalam menelusuri nash baik yang berupa ayat Al-Quran maupun Hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi. Temuan yang didapati dalam penelusuran ini pada akhirnya diharapkan dapat memberi kontribusi positif berupa informasi tentang ghulul dan risywah untuk disosialisaikan kepada ummat Islam Indonesia khususnya, saran dan rekomendasi serta memberikan dukungan terhadap upaya aparat pemberantas korupsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

    Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan kajian literatur, baik literatur umum maupun khusus terkait dengan korupsi. Kajian literatur umum meliputi perundangan dan peraturan pemerintah Indonesia terkait dengan korupsi. Kajian literatur umum dimaksudkan untuk memberikan wawasan umum mengenai korupsi. Adapaun kajian literatur khusus, yaitu yang meliputi ayat Al-Quran, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan riswah terkait korupsi dan bagian inilah yang akan mendapatkan porsi lebih pada penulisan makalah ini.

    Pada bagian pembahasan dalam makalah ini, penulis mendeskripsikan ghulul dan risywah secara bahasa, dilanjutkan pendeskripsian ayat Al-Quran, hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ayat Al-Quran berdasar teks hadits Nabi Muhammad Saw dan juga pendapat para ulama muslim agar diperoleh gambaran yang jelas tentang ghulul dan risywah.

    Pada bagian kesimpulan dalam makalah ini, penulis menyimpulkan hasil analisa pada bagian pembahasan. Kesimpulan itu berupa pernyataan hukum tentang dengan ghulul dan risywah, saran sosialisasi untuk ummat Islam terkait ghulul dan risywah dan bahan pertimbangan bagi para aparat pemberantas korupsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

    Kata kunci: Korupsi, ghulul dan riswah.

    1

  • Abstract

    ISLAMIC PERSPECTIVE ABOUT GHULUL AND RISYWAH CORNCERNED WITH CORRUPTION

    By Wahyono Saputro, M. Pd. I.

    The paper wrote as the writer efforted in searched on the nash (Al-Quran text), hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception of ghulul (betrayal) and risywah (bribe) concerned with corruption.Results of the research, finally, can give the positive contribution as the sharing information hopefully to Indonesian muslim people, specially to suggest and recommendation and giving support for Indonesian goverment agencies concerned with against corruption doing their obligation and duty.

    In this paper, writer using the specific and general literatur concerned with collecting corruption data. The genaral literatur covered the rule and law of Indonesian goverment concerned with corruption. And the specific literatur are the nash (Al-Quran text), hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe), so this part is given more portion in this paper

    On the core of paper, writer described ghulul (betrayal) and risywah (bribe) on etimology perspective then described the nash (Al-Quran text), hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe). So that, founded clear description about ghulul (betrayal) and risywah (bribe).

    Finally, on the conclusion part of paper, writer concluded results of analitics. The conclusion were law statement, suggest of sharing to muslim people concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe) and recommendation for Indonesian corruption agencies doing their obligation and duty.

    Keywords: Corruption, ghulul dan riswah.

    2

  • PENDAHULUAN

    Strategi nasional (Stranas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)

    memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-

    2025) adalah terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan

    didukung nilai budaya yang berintegritas. Adapun visi jangka menengahnya

    (2012-2014) yaitu terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi

    dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang

    berintegritas.1 Kedua visi baik menengah dan jangka panjang diusahakan

    pencapaiannya melalui serangkaian misi strategi nasional PPK. Salah satu dari

    kelima misi strategi nasional PPK tersebut ialah membangun dan

    menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata kepemerintahan dan

    masyarakat. Untuk mewujudkannya, maka pada tahap implementasi strategi,

    rumusan yang sejalan dengan strategi nasional tersebut, yaitu meningkatkan

    upaya pendidikan dan budaya anti korupsi. Strategi implementasi meningkatkan

    upaya pendidikan dan budaya anti korupsi ini merupakan usaha dalam menjawab

    satu dari tiga tantangan, yaitu absennya strategi komunikasi dalam pendidikan

    budaya anti korupsi yang ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun

    penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada masyarakat.2 Untuk

    1 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta, hlm. 12.

    2 Dua tantangan lain terkait dengan pendidikan dan budaya anti korupsi yaitu masih adanya sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor; sanksi sosial bagi pelaku tipikor perlu diperkuat untuk menghasilkan efek deteren. Sikap permisif tersebut juga seringkali ditunjukkan dengan pasifnya individu dalam menghadapi adanya tindakan koruptif dari individu lain di dalam lingkungannya, dan belum terintergrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi. Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta, hlm. 40.

    3

  • merealisasikan hal tersebut secara efisien, fokus jangka menengah (2012-2014)

    strategi nasional PPK terkait dengan strategi pendidikan dan budaya antikorupsi

    yaitu memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan

    korupsi dengan melaksanakan diseminasi antikorupsi oleh masyarakat. Fokus

    jangka menengah (2012-2014) ini merupakan penjabaran dari strategi pendidikan

    dan budaya antikorupsi fokus jangka panjang (2012-2025) .

    Ummat Islam merupakan bagian dari masyarakat Indonesia secara

    keseluruhan, juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan

    korupsi dengan melaksankan diseminasi antikorupsi seperti dijabarkan pada fokus

    jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-2014) di atas. Hak

    berpartisipasi ini bisa dimengerti karena ummat Islam memiliki nilai-nilai

    universal yang dianut terkait persoalan substansial korupsi dimana Al-Quran dan

    Hadits merupakan sumber nilai-nilai universal tersebut dan sumber hukum juga

    tentunya.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang diajukan pada tulisan ini

    adalah bagaimana perspektif Islam tentang ghulul dan risywah terkait dengan

    korupsi?

    Tujuan Penulisan

    Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan perspektif

    Islam tentang ghulul dan riswah terkait dengan korupsi.

    4

  • Kegunaan Penulisan

    Melalui penelusuran nash baik yang berupa ayat Al-Quran maupun Hadits Nabi

    Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah

    terkait korupsi, diharapkan adanya gambaran yang jelas tentang ghulul dan riswah

    terkait dengan korupsi. Kegunaan tulisan ini dapat dirinci sebagai berikut:

    Pertama, hasil yang diperoleh dari penulisan makalah ini akan dapat

    berguna bagi penulis untuk memperkaya wawasan pengetahuan perspektif Islam

    tentang ghulul dan risywah terkait korupsi,

    Kedua, secara teoritis penulisan makalah ini dapat memberikan masukan

    dan memperkaya referensi para pembaca pada kajian perspektif Islam tentang

    ghulul dan risywah terkait korupsi

    PEMBAHASAN

    Pengertian Korupsi

    Secara bahasa pengertian korupsi dapat ditemukan disejumlah literatur, seperti

    tertulis dalam Websters integrated dictionary an Thesaurus. Dalam kamus ini

    korupsi memiliki beberapa arti antara lain decomposition (kebusukan), immunity

    (kekebalan), bribery (suapan, sogok), perversion (perbuatan tidak wajar),

    contamination (pencemaran, pengotoran), degeneration (kemerosotan), distortion

    (penyimpangan dari kenyataan, pemutar-balikan), dishonesty (ketidakjujuran),

    depravity (kerusakan, bejad moral) , deterioration (kemunduran) and infection

    5

  • (infeksi, menular).3 Transparency International mendefinisikan korupsi dengan

    the abuse of entrusted power for private gain (penyalahgunaan kekuasaan untuk

    kepentingan pribadi).

    Korupsi merupakan perbuatan yang dikategorikan Malum in se

    (jamaknya mala in se) yang merupakan istilah latin yang artinya salah atau jahat

    yang bersumber dalam dirinya sendiri. Frasa malum in se digunakan untuk

    mengacu pada tingkah laku yang dinilai sebagai sebuah dosa atau kesalahan tak

    terpisahkan pada dasarnya. Ini dibedakan dari malum prohibitum, yang mana

    sebuah kesalahan hanya dikarenakan ia dilarang (Malum in se is a Latin

    phrase meaning wrong or evil in itself. The phrase is used to refer to conduct

    assessed as sinful or inherently wrong by nature, independent of regulations

    governing the conduct4 It is distinguished from malum prohibitum, which is wrong

    only because it is prohibited). Contohnya seperti pembunuhan dan pencurian.

    Secara umum masyarakat di Indonesia memahami korupsi sebagai sesuatu

    yang merugikan keuangan negara. Namun berdasarkan deskripsi yang terdapat

    pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20

    Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijumpai 30 jenis

    tindak pidana korupsi. Secara garis besar ketiga puluh jenis tindak pidana korupsi

    tersebut intinya dikelompokkan menjadi tujuh yaitu; 1) kerugian keuangan negara,

    3 Abdulmajeed Hassan Bello, Corruption and Democratic Governance in Nigeria: An Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced Research in Management and Social Sciences, , Department of Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM, State Nigeria, 2013, Vol. 2, No. 1, hlm. 305.

    4 John A. Yogis, Canadian Law Dictionary, Barrons, 2003 dalam http://en.wikipwedia.org/wiki/Mallum in se

    6

  • 2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan

    curang, 6) benturan kepentingan dalam jabatan, dan 7) gratifikasi.5 Untuk jenis

    yang ketujuh yaitu gratifikasi diatur dalam pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang

    dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,

    yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa

    bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

    Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Garatifikasi tersebut baik yang diterima di

    dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan

    sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Deskripsi mengenai gratifikasi

    tersebut bila dicermati masih umum dan mutlak, ada yang netral (boleh) dan yang

    terlarang. Dan supaya jelas kapan sebuah gratifikasi itu dianggap menjadi

    kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu setiap

    gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

    pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan

    dengan kewajiban atau tugasnya6

    Deskripsi mengenai ketujuh jenis korupsi dan tambahan mengenai

    pengertian gratifikasi sebagaimana di atas diharapkan akan membantu memahami

    bagaimana konsep korupsi terkait dengan pembahasan lebih lanjut tentang ghulul

    dan risywah.

    5 Doni Muhardiansyah, et.al., Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. iii.

    6 Ibid, hlm. 10

    7

  • Istilah atau term korupsi secara eksplisit tidak terdapat dalam Islam (Al-

    Quran-Hadits atau Syari). Namun demikian, Islam mengemukakan istilah dan

    konsep lain yang mirip dan identik dengan istilah korupsi. Terdapat dua istilah

    yang sering diangkat terkait dengan istilah korupsi, yaitu istilah ghulul dan

    risywah. Pada uraian selanjutnya akan dideskripsikan mengenai kedua istilah

    tersebut.

    Ghulul

    Secara bahasa ghulul berasal dari bahasa Arab yakni, ghalla- yaghullu- ghuluulan

    yang salah satu maknanya berarti khianat.7

    Lawan dari sifat ghulul (khianat) adalah amanah.8 Dan salah satu bentuk

    amanah adalah tidak menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Ilyas, jabatan

    merupakan amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan

    untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili, atau kelompoknya termasuk

    perbuatan tercela yang melanggar amanah. Ia mencontohkan seperti hadiah dan

    komisi.9

    Terkait tentang ghulul, sejumlah pakar memberikan pendapatnya. Menurut

    As-Sady, ghulul adalah al-kitmaan minal ghaniimah (penyembunyian ghanimah).

    7 Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- Alaam, Maktabah Syarqiyyah, Beirut, Libanon, 1987, hlm. 556. Lihat juga Ibnu Jazierah dalam Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997, No. 330, hlm. 28.

    8 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2002, hlm. 89.

    9 Ibid, hlm. 93.

    8

  • Selain berkaitan dengan ghanimah (harta rampasan perang), ghulul juga dapat

    bermakna khianat dalam segala hal yang dikelola oleh manusia (al-khiyaanatu fii

    kulli maa yatawallahu al- insaan).10 Menurut Ibnu Jazierah mendefinisikan ghulul

    yaitu mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara yang tidak sah

    dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang untuk pekerjaan

    itu sudah mendapatkan bayaran atau gaji.11

    Dalam Al-Quran penunjukkan istilah ghulul secara eksplisit pada surah

    Ali Imran (3) ayat 161:

    Artinya: tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Q.S. Ali Imran (3): 161.

    Dalam sebuah asbabun nuzuul, Ayat ke- 161 dari QS. Ali Imran tersebut

    diduga berkaitan dengan hilangnya permadani berwarna merah pada perang

    Badar. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. Ayat ini turun berkenaan dengan

    hilangnya permadani merah pada perang Badar. Kata sebagian orang, Mungkin

    Rasulullah saw. telah mengambilnya. Oleh karena itu turunlah ayat ini (Hadits

    10 Al-Quran beserta tafsir, Tafsir As-Sady (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com

    11 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997, No. 330, hlm. 28.

    9

  • hasan lighairih, riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Thabrani).12 Pendapat Ibnu

    Abbas ra. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ubaid, bahwa

    ungkapan ghulul pada ayat tersebut di atas secara khusus tertuju pada harta

    rampasan perang. Terungkapnya peristiwa ghulul pada ayat ke 161 surah Ali

    Imran menyiratkan dugaan adanya konflik kepentingan.13 Dugaan adanya konflik

    kepentingan tersebut diidentifikasi dari peristiwa hilangnya permadani merah

    pada perang Badar sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan

    Thabrani yang bersumber pada Ibnu Abbas r.a. di atas. Para pakar tafsir seperti

    Ibnu Katsir, Qurthubi dan Shihab sepakat bahwa ayat ke 161 surah Ali Imran

    tersebut berbicara tentang ghulul (khianat). Ungkapan ghulul pada ayat tersebut

    disebut tiga kali. Pertama dengan ungkapan an yaghulla pada kalimat maa kaana

    linabiyyin an yaghulla. Bila ungkapan an yaghulla diartikan berkhianat berarti

    merujuk kepada makna fiil mudlari (kata kerja bentuk sekarang). Bila ungkapan

    an yaghulla diartikan khianat berarti merujuk kepada makna masdar (kata

    12 Ahmad Hatta et. al., The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al-Quran, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2013, Jilid. 1, hlm. 296. Riwayat yang bersumber dari shahabat Ibnu Abbas terkait dengan asbabun nuzul QS. Ali Imran (3): 161 tersebut juga terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir (Al-Quran beserta tafsir, tafsir Ibnu Katsir (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com) sebagai berikut:

    : } : { } { }

    :

    13Dari sudut pandang organisasi, konflik yang timbul terkait asbabun nuzul Q.S. Ali Imran (3): 161 merupakan jenis konflik dalam diri individu, di mana setiap individu mempunyai keinginan, cita-cita dan harapan, namun tidak semua keinginan dan cita-cita dapat dipenuhi sehingga menimbulkan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (Prof, Dr. Khomsahrial Romli, M. SI., Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta, thn. 2011, hlm.121).

    10

  • benda/sifat).14 Kata benda atau kata sifat ini bila disandang oleh pelakunya

    mengindikasikan bahwa pelakunya memiliki potensi sifat atau bahkan menjadi

    karakteristik bagi pelakunya. Namun kedua kemungkinan tersebut yaitu arti

    berkhianat dan khianat ini digugurkan oleh kalimat maa15 kaana linabiyyin (tidak

    mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Dengan

    demikian penggalan ayat tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan

    harta rampasan perang menghilangkan dugaan dan anggapan bahwa Nabi

    Muhammad Saw akan melakukan tindakan berkhianat apalagi memiliki sifat

    khianat. Kedua dengan ungkapan yaghlul pada kalimat wa man yaghlul

    (Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu). Kata man

    (huruf syarat) yang mendahului yaghlul berarti bila perbuatan yaghlul yang

    diiyaratkan itu benar-benar terjadi (ketika itu) dan akan terjadi lagi setelahnya,

    maka konsekwensi yang timbul adalah akibat yang akan ditanggung oleh sipelaku

    khianat sebagaimana yang dijelaskan pada ungkapan ketiga, yakni ghalla (fiil

    14 Huruf an/ yang mendahului fiil (kata kerja) yaghulla disebut huruf masdariyah, nashab dan istiqbal/mendatang. Disebut huruf masdariyah karena an/ menjadikan fiil (kata kerja) sesudahnya dalam pengertian masdar. Disebut huruf nashab karena menashabkan (memfathahkan) fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang), dan disebut huruf istiqbal/mendatang dikarenakan an/ tersebut menjadikan fiil mudhari menerima makna mendatang (Musthafa Al- Ghalayayni, Jamiiu Ad-Duruus Al-Arabiyyah, Maktabah Ashriyyah, Beirut, 1987, hlm. 168).

    15 Lafadz maa/ menafikan (meniadakan) sesuatu pada masa lampau secara umum. Contoh penggunaan lafadz maa/ antara lain terdapat pada QS. Maryam (19): 28:

    } ...ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", Potongan ayat di atas merupakan ungkapan keheranan dengan kelahriran putrra Maryam (Isa As). Mereka, yakni anggota masyarakat Maryam tersebut, menggunakan kata maa/ , karena mereka tidak dapat menjangkau keadaan ibu Maryam secara rinci sejak awal hingga pengucapan kalimat mereka itu. Mereka hanya dapat menafikan secara umum atau tidak terperinci. Demikian menurut Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Quran, Lentera Hati, Tangerang, 2013, hlm. 89-90.

    11

  • maadli/kata kerja lampau) pada kalimat yati bimaa ghalla yaumal qiyaamah

    (Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu).

    Hukum Tindakan atau Perbuatan Ghulul

    Nabi Muhammad Saw menjatuhkan sanksi atau hukuman moral kepada pelaku

    tindakan atau perbuatan ghulul setelah benar-benar didapati bukti bahwa pelaku

    telah melakukannya. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw yaitu

    berupa tidak ikut sertanya Nabi Muhammad Saw untuk menyolati pelaku tindakan

    atau perbuatan ghulul. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw

    terhadap pelaku tindakan atau perbuatan ghulul tersebut terekam dalam sebuah

    riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad yang bersumber pada

    sahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani sebagai berikut:

    Artinya: Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwa seorang laki-laki dari kaum muslimin mati di Khaibar. Mereka (sahabat) memberitahu hal itu kepada Rasulullah Saw, lalu ia bersabda: Shalatlah kalian untuk temanmu! Karena itu berubahlah wajah-wajah para shahabat. Ketika ia (Rasulullah Saw) melihat apa yang ada pada mereka, ia (Rasulullah Saw) bersabda: Sesungguhnya temanmu ini telah ghulul (khianat) di jalan Allah. Maka kami (Shahabat) periksa barang-barangnya, lalu kami dapati mutiara milik orang Yahudi senilai dua dirham (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad).

    Sayyid Sabiq dalam fiqh as-Sunnah, mengharamkan perbuatan atau

    tindakan ghulul yang benar-benar terbukti secara meyakinkan. Pendapat tentang

    haramnya tindakan ghulul tersebut didasarkan pada penunjukan QS. Ali Imran

    (3) ayat 161 tepatnya pada penggalan ayat tidak mungkin seorang Nabi

    berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat

    12

  • dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang

    membawa apa yang dikhianatkannya itu.16

    Selain ghulul pada harta rampasan perang, terdapat bentuk lain dari ghulul

    yaitu menerima hadiah bagi orang yang telah diangkat pegawai ketika

    menjalankan tugasnya. Ghulul jenis ini terekam dalam sebuah riwayat Abu Daud

    dalam Musnadnya dan Muslim dalam shahihnya yang bersumber dari shahabat

    Abu Hamid As-Saa-idy:

    } } }

    } : ) :

    Artinya: Dari Abu Hamid As-Saa-idy, bahwa Nabi Muhammad Saw mempekerjakan seseorang yang berasal dari Azad yang dikenal dengan Ibnu Al-Lutbiyyah (Ibnu Al-Atbiyyah menurut pendapat Ibnu As-Sarh) atas tugas memungut shadaqah (Zakat), kemudian ia kembali dari tugasnya lalu berkata: Ini (zakat) untukmu (Muhammad Saw) dan hadiah ini untukku. Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah Swt dan bersabda:Apa kehendak seorang pegawai, kami mengutusnya lalu ia (pegawai) kembali seraya melapor:Ini (zakat) untukmu (Nabi Muhammad Saw) dan ini hadiah yang diberikan untukku. Tidakkah ia duduk-duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu lihatlah apakah ia mendapat hadiah atau tidak. (HR. Muslim dan Abu Daud).17

    Riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid As-

    Saa-idy di atas memberikan arahan bagi seseorang yang telah diangkat menjadi

    16 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Muamalaat, Darul al-Fikr, Beirut, 1983, jilid ke- 3, hlm. 83

    17Al-Quran beserta tafsir, Tafsir Qurthuby (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com

    13

  • pegawai melaksanakan tugas yang diembannya dengan cara sebaik-baiknya dan

    berakhlak. Hal ini secara implisit difahami dari pujian dan sanjungan kepada

    Allah: Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar, lalu memuji dan

    menyanjung Allah Swt, ketika hendak memberikan penjelasannya. Karena bila

    tugas yang telah diembankan pada pegawai tersebut tidak dilakukannya secara

    baik dan berakhlak, maka tentunya akan mencemarkan dan memalukan pegawai

    itu sendiri atau bahkan atasannya langsung. Oleh karenanya ghulul kategori ini

    juga disebut al-fadliihah oleh Qurthuby dalam tafsirnya ketika mengawali

    komentarnya terkait penjelasan dari QS. Ali Imran (3) ayat 161. Demikian pula

    menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa ghulul ini dinamai al-Faadlihah, yakni

    sesuatu yang mencemarkan dan memalukan.18 Hal ini dapat difahami karena orang

    atau oknum yang telah melakukan ghulul kategori ini telah membuat cemar dan

    membuat malu nama baik dan wibawa dirinya sebagai pegawai maupun

    atasannya. Riwayat di atas juga menegaskan kecaman Nabi Muhammad Saw

    terhadap seseorang yang telah dipekerjakan atau dijadikan pegawai yang dalam

    melaksanakan tugas yang diembannya ia menerima hadiah. Kecaman tersebut

    merupakan sebuah bentuk hukuman moral terhadap pegawai yang telah terbukti

    menerima hadiah berdasarkan laporannya sendiri. Hadiah yang diterima oleh

    seorang pegawai ketika menjalankan tugasnya dikategorikan sebagai ghulul.

    Pengertian ghulul jenis ini sejalan dengan apa yang dideskripsikan oleh Nabi

    Muhammad Saw dalam sebuah riwayat berikut:

    18 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Lentera Hati, Tangerang, 2010, Vol. 2, hlm. 321

    14

  • Artinya: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gajinya, maka apa yang ia ambil (terima) selain dari gaji itu adalah Ghullul (HR. Abu Daud).

    Deskripsi yang dipaparkan pada riwayat di atas secara jelas menyebutkan

    dan menguatkan riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid

    As-Saaidy bahwa apa saja yang diambil (terima) selain gaji oleh seorang setelah

    diangkat pengawai, maka ia telah melakukan tindakan atau perbuatan ghulul.

    Selain sanksi di dunia berupa tidak dishalati secara langsung oleh Nabi

    Saw terhadap jenazah pelaku tindakan atau perbuatan ghulul dalam konteks

    ghanimah (harta rampasan perang) seperti riwayat Abu Daud, Ibnu Majah,

    Tirmidzi dan Ahmad dari Zaid bin Khalid Al-Juhani dan kecaman terhadap pelaku

    tindakan atau perbuatan ghulul seperti riwayat Riwayat Muslim dan Abu Daud

    yang bersumber dari Abu Hamid As-Saa-idy di atas, terdapat sanksi hukuman

    akhirat juga atas pelaku tindakan atau perbuatan ghulul seperti deskripsi riwayat

    berikut:

    15

  • Artinya: Dari Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian ghulul; karena ghulul itu (perbuatan yang membawa ke) neraka dan (perbuatan) tercela di dunia dan akhirat atas pelakunya (HR. Ahmad dan Nasai).

    Pada riwayat di atas secara jelas dideskripsikan pelarangan ghulul yang

    diikuti penyebutan hukuman neraka atas pelakunya dan tercelanya pelaku baik di

    dunia maupun di akhirat. Secara implisit (tersirat) pendahuluan penyebutan

    hukuman atau sanksi akhirat ini mengindikasikan bahwa ghulul merupakan

    persoalan serius dan ancaman sanksi atau hukuman atas pelakunya sangat berat.

    Risywah

    Rusywah, rasywah atau risywah, artinya (uang) suap, sogok. Risywah adalah apa-

    apa yang diberikan untuk membatalkan atau menggugurkan (yang hak) atau

    berusaha untuk memiliki (sesuatu) dengan cara yang batil, tidak benar.19

    Pengertian umum risywah ialah pemberian atau penerimaan guna memperoleh

    atau memberi sesuatu yang tidak sah.20 Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengomentari

    pengertian umum risywah tersebut dengan mengajukan sebuah pertanyaan

    Apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan

    dengan dengan demikian dapat dibenarkan? Pada pengertian risywah secara

    umum tersebut Shihab menyamakan pengertian risywah dengan sogok-menyogok.

    Ia juga memperluas batas pengertian riswah atau sogok-menyogok tidak hanya

    19 Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- Alaam, Maktabah Syarqiyyah, Beirut, Libanon, 1987, hlm. 262.

    20 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera Hati, Tangerang, 2008, hlm. 242.

    16

  • pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak

    sah saja tetapi pemberian atau penerimaan guna memperolah hak yang sah juga

    termasuk risywah atau sogok menyogok. Penegertian ini bisa diperoleh dengan

    memahami pertanyaan bernada keberatan yang dikemukakannya Apakah

    memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan

    dengan demikian dapat dibenarkan? Pengertian lain tentang risywah

    dikemukakan oleh Syamsuddin Adz-Dzahabi yang menyamakan pengertian

    riswah dengan suap dalam deskripsinya tentang riswah yaitu memberikan sesuatu,

    baik berupa uang maupun yang lain, kepada penegak hukum agar ia dalam

    menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari

    ancaman hukuman.21 Pengertian yang dikemukakan tersebut Adz-Dzahabi lebih

    khusus dan hanya menekankan nilai pemberian dan tidak menyertakan kata-kata

    menerima, tepatnya pemberian uang atau barang lain kepada penegak hukum

    dengan tujuan mendapat keistimewaan atau terbebas dari ancaman hukuman.

    Pengertian lain tentang risywah dikemukakan oleh Ibnu Jazierah yaitu suatu

    tindakan, baik memberi maupun menerima uang atau lainnya dengan tujuan

    mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar

    disalahkan.22 Pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Jazierah ini lebih terfokus

    pada mengubah hukum dari semula halal menjadi haram atau sebaliknya

    21 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony), Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196.

    22 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997, No. 330, hlm. 27.

    17

  • meskipun juga menyebutkan pemberian atau penerimaan uang atau lainnya

    tersebut dimaksudkan untuk mengubah hukum atau undang-undang secara umum.

    Berdasarkan sejumlah pengertian tentang risywah yang telah dikemukan

    para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa risywah atau suap adalah menerima

    (bagi penegak hukum) atau memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu

    baik berupa uang, barang ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud

    atau tujuan yaitu pertama mengubah hukum atau undang-undang, yang haram

    menjadi halal atau yang benar disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam

    menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari

    ancaman hukuman.

    Hukum Tindakan atau Perbuatan Risywah atau Suap

    Sejumlah pakar seperti Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan

    atau perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan

    salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya tersebut pada nash

    Al-Quran berikut:

    Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. QS. Al-Baqarah (2): 188.

    18

  • Selain berdasar pada Ayat 188 surah Al-Baqarah si atas, Adz-Dzahabi23 juga

    berdalil dengan hadits riwayat berikut:

    Artinya: dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Laknat Allah terhadap orang yang menyuap dan orang yang menerima suap. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

    Pendapat lain mengenai hukum terlarangnya risywah atau suap

    dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam)

    dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar) seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish

    Shihab. Namun keduanya membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh

    hak yang sah. Sementara pendapat Shihab sendiri terkait risywah sejalan dengan

    Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak memperkenankan pemberian sesuatu

    untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa dan dalam mengetahui

    bahwa pelakunya sebenarnya tidak berhak.24 Berbeda dengan pendapat yang

    dikemukakan oleh Al-Kahlani dan Al-Syaukani yang membolehkan pemberian

    dalam rangka memperoleh hak yang sah, Shihab menolak pendapat Al-Kahlani

    dan Al-Syaukani dalam pernyataanya Bukankah dengan memberi-walau dengan

    dalih meraih hak yang sah- seseorang telah membantu sipenerima melakukan

    23 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony), Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196-198.

    24 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Lentera Hati, Tangerang, 2010, Vol. 1, hlm. 499

    19

  • sesuatu yang haram dan terkutuk dan dengan demikian ia memperoleh pula-

    sedikit atau banyak-sanksi keharaman dan kutukan itu?25

    KESIMPULAN

    Berdasarkan pembahasan dan analisa atas penelusuran pada nash baik yang

    berupa ayat Al-Quran, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama

    pakar muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi dapat disimpulkan

    sebagai berikut:

    Ghulul

    Pertama, ghulul ialah mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara

    yang tidak shah dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang

    untuk pekerjaan itu sudah mendapat pembayaran atau gaji.

    Kedua, secara fiqih (hukum), ghulul merupakan tindak/perbuatan buruk

    yang dilarang oleh Islam apabila benar-benar terbukti secara shah dan

    meyakinkan. Terlarangnya tindakan atau perbuatan ghulul ini didasarkan pada

    zahir QS. Ali Imran (3) ayat 161 dan beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang

    tersebut pada sub bahasan ghulul.

    Ketiga, terdapat dua jenis tindakan ghulul. Yakni ghulul dalam hal harta

    rampasan perang (ghanuimah) dan ghulul menerima hadiah bagi orang yang telah

    diangkat pegawai ketika menjalankan tugasnya. Kedua-duanya terlarang dan

    dikenakan sanksi bbagi para pelakunya.

    25 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera Hati, Tangerang, 2008, hlm. 243.

    20

  • Risywah

    Pertama, risywah atau suap adalah menerima (bagi penegak hukum) atau

    memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu baik berupa uang, barang

    ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud atau tujuan yaitu pertama

    mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar

    disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam menyelesaikan masalah hukum

    mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari ancaman hukuman.

    Kedua, Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan atau

    perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan

    salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya berdasarkan

    pengertian zahir dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 188. Pendapat lain mengenai

    hukum terlarangnya risywah atau suap dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail

    Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam) dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar)

    seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Namun keduanya membolehkan

    pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Sementara pendapat Shihab

    sendiri terkait risywah sejalan dengan Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak

    memperkenankan pemberian sesuatu untuk mengambil hak orang lain dengan

    melakukan dosa dan dalam mengetahui bahwa pelakunya sebenarnya tidak

    berhak.

    SARAN

    Berdasarkan kesimpulan mengenai ghulul dan risywah, maka disarankan:

    21

  • Pertama, kepada stake holder (pemilik kepentingan) yaitu Pemerintah (KPK,

    BPK, Kejaksaan, POLRI, Kehakiman) melibatkan ummat Islam dalam

    merumuskan setiap perundangan, peraturan maupun kebijakan terkait dengan

    pemberantasan tindak pidana korupsi agar terdapat kesamaan persepsi dan visi.

    Kedua, kepada pihak penyelenggara seminar agar mensosialisasikan hasil dari

    penelitian ini kepada masyarakat luas.

    22

  • DAFTAR PUSTAKA

    A. Rifai, Rusdy, 2004. Manajemen, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Palembang.

    Abu Zahrah, Muhammad, 1994. Ushul Fiqih, terj. Oleh Saefullah Mashum, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.

    Al-Dzahabi, Syamsuddin, 1992. Al-Kabair/75 Dosa Besar, (terj. Oleh M. Ladzi Safrony), Media Idaman Press, Surabaya.

    Al- Ghalayayni, Musthafa, 1987. Jamiiu Ad-Duruus Al-Arabiyyah, Maktabah Ashriyyah, Beirut.

    Al- Qardhawi, Yusuf, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (II), Era Intermedia, Solo.

    Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Depok.

    Hatta, Ahmad, et. al., 2013. The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al-Quran, Maghfirah Pustaka, Jakarta.

    Ilyas, Yunahar, 2002. Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta.

    Ismail bin Umar bin Katsir, Abu Al-Fida, Tafsir Ibnu Katsir, (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com

    Mukantardjo, Rudy Satriyo, 2010. Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah Perkembangannya, Materi Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) MA- RI, Bogor.

    Romli, Khomsahrial, 2011. Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta.

    Rosadisastra, Andi, 2012. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, Amzah, Jakarta.

    Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Muamalaat, Darul al-Fikr, Beirut.

    Shihab, M. Quraish, 2013. Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Quran, Lentera Hati, Tangerang.

    23

  • --------------------------, 2010. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol. 1 dan 2, Lentera Hati, Jakarta.

    --------------------------, 2008. Lentera Al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Penerbit Mizan, Bandung.

    --------------------------, 2007. Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung.

    -------------------------, 2006. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asmaa Al-Husnaa dalam Perspektif Al-Quran, Lentera Hati, Jakarta Selatan.

    Syafei, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.

    Majalah Al-Muslimun. Siklus Korupsi, Kikis Habis! Bangil, Edisi September 1997, No. 330.

    Majalah SAKSI. Menakar Ancaman. Jakarta, Edisi April 2002, No. 15, tahun IV.

    Sumber Internet

    Al-Quran beserta tafsir (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com

    Abuarqub, Mamoun, 2009. Islamic Imperatives to Curb Corruption and Promote Sustainable Development, Islamic Relief Worldwide, Birmingham, United Kingdom. www.islamic-relief.com

    Arafa, Mohamed A, 2012. Corruption and Bribery in Islamic Law; Are Islamic Ideals being Met in Practice, Annual Survey of Intl and Comp. Law, Vol. XVIII. http://ssm.com/abstract=2148127.

    Hassan Bello, Abdulmajeed, 2013. Corruption and Democratic Governance in Nigeria: An Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced Research in Management and Social Sciences, Vol. 2, No. 1, Department of Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM, State Nigeria.

    Muhardiansyah, Doni, et. al., 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Jakarta.

    Klitgaard, Robert, 1998. International Cooperation Against Corruption, Jurnal Finance and Development.

    Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta.

    24