Upload
others
View
18
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
FORMULASI TEPUNG KACANG HIJAU DAN TEPUNG TAPIOKATERHADAP SIFAT SENSORI NUGGET IKAN SWANGGI
(Priacanthus tayenus)
(Skripsi)
Oleh
Sella Putri Utami
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
i
ABSTRACT
FORMULATION OF MUNG BEAN FLOUR AND TAPIOCA FLOUR ONSENSORY SWANGGI FISH (Priacanthus tayenus) NUGGET
Oleh
SELLA PUTRI UTAMI
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the formulation of mung been flour and
tapioca flour in swanggi fish nugget which has sensory as characteristic SNI
7755:2013. The research was arranged in a Randomized Complete Block Design
(RCBD) with one factor and four replications. Comporison of tapioca flour and
mung been flour which consisted of six levels of treatment namely P1 (100:0),
P2 (90:10), P3 (80:20), P4 (70:30), P5 (60:40), and P6 (50:50). Data analyzed
were similarity tested by the Barllet test and addition by the Tuckey test. Data
were analyzed for variance to get error estimation and significance test to assess
the effect between the treatments. To find out the differences between the
treatments, data then were further analyzed by the least significant difference test
(LSD) at the 5% level. The results showed that the best formulation in SNI
7758:2013 was mung been flour 30% and tapioca flour 70% (P4) that had raw
ii
nugget texture with characteristic score of 7.07 (dense and compact), cooked
nugget texture with score 6,56 (approached dense and compact), flavor with score
of 6.70 (typical of fish), raw nugget aroma with score of 6.84 (likes) and cooked
nugget aroma with score of 7,26 (likes), color with score 7,58 ( approached
yellowish white), and overall acceptance with score of 7,92 (likes). Water content
analysis of swanggi nugget at the best treatment (P4) 50,02%, ash content of 2,98
%, protein content of 9,83%, and fat content of 4,17%.
Keywords : nugget, swanggi fish, mung been flour, tapioca flour.
iii
ABSTRAK
FORMULASI TEPUNG KACANG HIJAU DAN TEPUNG TAPIOKATERHADAP SIFAT SENSORI NUGGET IKAN SWANGGI
(Priacanthus tayenus)
Oleh
SELLA PUTRI UTAMI
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan formulasi tepung kacang hijau dan
tepung tapioka nugget ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dengan sifat sensori
sesuai SNI-7758-2013. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) dengan satu faktor dan empat ulangan. Perlakuan
perbandingan tepung tapioka dan tepung kacang hijau sebanyak 6 taraf, yaitu
P1(100:0), P2 (90:10), P3 (80:20), P4 (70:30), P5 (60:40), P6 (50:50). Data
dianalisis kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji
dengan uji Tuckey. Data dianalisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga
ragam galat dan uji signifikasi untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan.
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, Data dianalisis lebih lanjut
menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nugget ikan swanggi terbaik yang sesuai dengan SNI
7758:2013 adalah perlakuan penambahan tepung kacang hijau sebesar 30% dan
iv
tepung tapioka sebesar 70% (P4) menghasilkan tekstur nugget setengah matang
dengan skor 7,07 (padat dan kompak) dan tekstur nugget matang dengan skor 6,56
(agak padat dan kompak), rasa dengan skor 6,70 (khas ikan), aroma nugget
setengah matang dengan skor 6,84 (suka) dan nugget matang dengan skor 7,26
(suka), warna dengan skor 7,58 (putih kekuningan) dan penerimaan keseluruhan
dengan skor 7,92 (suka). Hasil analisis kimia kadar air nugget ikan swanggi
perlakuan terbaik (P4) sebesar 50,02%, kadar abu sebesar 2,98%, kadar protein
sebesar 9,83%, dan kadar lemak sebesar 4,17%.
Kata kunci : nugget, ikan swanggi, tepung kacang hijau , tepung tapioka.
FORMULASI TEPUNG KACANG HIJAU DAN TEPUNG TAPIOKATERHADAP SIFAT SENSORI NUGGET IKAN SWANGGI
(Priacanthus tayenus)
Oleh
SELLA PUTRI UTAMI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil PertanianFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pagaralam, Sumatera Selatan pada tanggal 30 Juni 1997
sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sutarjo dan Ibu
Nilusni. Penulis memiliki satu orang kakak bernama Taufiq Suni Pratama.
Penulis mengawali pendidikan di TK Aisyiyah 1 kota Pagaralam, selesai pada
tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SD
Muhammadyah 01 Kota Pagaralam dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Kota Pagaralam dan lulus pada
tahun 2012, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kota
Pagaralam dan lulus pada tahun 2015. Penulis diterima sebagai mahasiswa
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada
tahun 2015 melalui jalur tes tertulis Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN).
Pada bulan Januari - Februari 2019, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Lampung
Utara dengan tema “ Membangun dan Meningkatkan Kemandirian Desa”. Pada
bulan Juli - Agustus 2018, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT.
Indofood Sukses Makmur Tbk, Bogasari Baking Center , Palembang, Sumatera
Selatan dan menyelesaikan laporan PU yang berjudul “Mempelajari Proses
Pembentukan Wirausaha Baru Produksi Cake di Bogasari Baking Center Cabang
x
Palembang Sumatera Selatan ”. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam
kegiatan kemahasiswaan sebagai Anggota Bidang Pendidikan dan Penalaran
Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Lampung (HMJ THP FP Unila) periode 2015/2016.
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dorongan baik itu langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung .
3. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama dan dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bantuan dan
pengarahan, bimbingan, kritik, saran, nasihat, dan motivasi selama
pelaksanaan perkuliahan.
4. Ibu Novita Herdiana, S.Pi., M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah
banyak memberikan saran, bimbingan, motivasi, pengarahan, nasihat dan
kritikan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Dewi Sartika, S.T.P., M.Si., selaku pembahas yang telah memberikan
saran, kritik, dan evaluasinya terhadap skripsi ini.
xii
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf administrasi dan laboratorium yang
telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, wawasan, dan bantuan kepada
penulis selama menjadi mahasiswi di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Kedua orang tuaku Ayah Sutarjo, Ibu Nilusni, kakakku Taufiq Suni Pratama
dan seseorang tercinta terima kasih telah memberikan dukungan moral,
spiritual, material, motivasi, dan doa yang selalu menyertai penulis selama
ini.
8. Sahabat-sahabat perkuliahan terbaik Hayyin, Fernanda, Intan, Rara, Tria,
Nova, Fevi, Eka zumar, Aulia, Anin, Reva, Gunawan, Rio, Gustava, teman-
teman kkn dan Kakak angkatan 2014 yang telah memberi dukungan, bantuan,
saran, dan semangat kepada penulis.
9. Keluarga THP angkatan 2015 serta teman-teman seperjuangan saat penelitian,
terima kasih atas segala bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya
selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan bagi pihak-pihak
tersebut dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
bagi pembaca. Aamiin.
Bandar Lampung, 11 Desember 2019Penulis
Sella Putri Utami
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) .............................................................. 10
2. Nugget ............................................................................................................. 13
3. Tepung Kacang hijau ...................................................................................... 15
4. Granula pati kacang hijau................................................................................ 18
5. Tepung tapioka................................................................................................ 20
6. Granula pati tapioka ........................................................................................ 21
7. Struktur amilosa .............................................................................................. 22
8. Struktur amilopektin ....................................................................................... 23
9. Struktur kimia allicin ...................................................................................... 27
10. Struktur kimia sukrosa .................................................................................... 28
11. Mekanisme pembentukan gelatinisasi............................................................. 33
12. Reaksi Maillard ............................................................................................... 35
13. Diagram alir persiapan daging giling ikan swanggi........................................ 38
14. Diagram alir pembuatan nugget ikan swanggi yang dimodifikasi.................. 40
15. Daging fillet ikan swanggi beku ..................................................................... 90
16. Penggilingan ikan swanggi beku..................................................................... 90
17. Surimi ikan swanggi........................................................................................ 90
18. Persiapan bahan-bahan.................................................................................... 90
19. Pencampuran adonan ...................................................................................... 90
20. Pengukusan ..................................................................................................... 90
21. Pemotongan nugget ikan ................................................................................. 91
22. Pelapisan nugget ikan...................................................................................... 91
23. Nugget ikan swanggi setengah matang beku .................................................. 91
24. Penggorengan.................................................................................................. 91
25. Nugget ikan swanggi matang .......................................................................... 91
26. Persiapan uji sensori........................................................................................ 91
27. Pengujian sensori nugget ikan......................................................................... 92
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian....................................................................................... 5
1.3 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 5
1.4 Hipotesis .................................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 9
2.1 Ikan Swanggi ............................................................................................. 9
2.2 Nugget ....................................................................................................... 12
2.3 Bahan Pengisi ............................................................................................ 14
2.3.1 Tepung Kacang Hijau....................................................................... 15
2.3.2 Tepung Tapioka................................................................................ 19
2.4 Bumbu-Bumbu dalam Pembuatan Nugget ................................................ 26
2.5 Proses Pembuatan Nugget Ikan Swanggi .................................................. 30
III. METODE PENELITIAN.................................................................................. 36
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian................................................................... 36
3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................... 36
3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 37
3.4 Pelaksanan Penelitian................................................................................ 38
3.3.1 Persiapan Daging Giling Ikan Swanggi .......................................... 38
3.3.2 Pembuatan Nugget Ikan Swanggi ................................................... 38
3.5 Pengamatan ............................................................................................... 41
3.5.1 Kadar Air ......................................................................................... 41
3.5.2 Kadar Abu ....................................................................................... 42
3.5.3 Kadar Lemak................................................................................... 43
3.5.4 Kadar Protein .................................................................................. 44
3.5.5 Uji Sensori ...................................................................................... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 49
4.1 Sifat Sensori Nugget Swanggi ............................................................... 49
4.1.1 Tekstur........................................................................................... 49
4.1.1.1 Tekstur Nugget Setengah Matang ................................... 49
4.1.1.2 Tekstur Nugget Matang................................................... 52
4.1.2 Rasa ............................................................................................... 56
4.1.3 Aroma Nugget Ikan Swanggi Setengah Matang dan Matang ....... 58
4.1.4 Warna ............................................................................................ 61
4.1.5 Penerimaan Keseluruhan ............................................................... 63
4.2 Penentuan Perlakuan Terbaik ................................................................. 64
4.3 Analisis Kimia Perlakuan Terbaik .......................................................... 67
4.3.1 Kadar Air .................................................................................... 67
4.3.2 Kadar Abu................................................................................... 68
4.3.3 Kadar Protein .............................................................................. 68
4.3.4 Kadar Lemak............................................................................... 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 71
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 71
5.2 Saran ....................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
LAMPIRAN.......................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan gizi ikan swanggi ......................................................................... 11
2. Syarat mutu nugget ikan SNI No. 7758-2013................................................. 14
3. Komposisi tepung kacang hijau ..................................................................... 16
4. Komposisi asam amino tepung kacang hijau .................................................. 17
5. Standar mutu tepung kacang hijau SNI 01-3728-1995 ................................... 19
6. Standar mutu tepung tapioka SNI 3451-2011................................................. 26
7. Perbandingan tepung tapioka dan tepung kacang hijau dalam
pembuatan nugget .......................................................................................... 37
8. Formulasi pembuatan nugget ikan swanggi dengan penambahan
tepung kacang hijau dan tepung tapioka ........................................................ 41
9. Skala penilaian uji sensori............................................................................... 46
10. Tekstur nugget ikan swanggi setengah matang............................................... 50
11. Tekstur nugget ikan swanggi matang.............................................................. 53
12. Rasa nugget ikan swanggi............................................................................... 57
13. Aroma nugget ikan swanggi setengah matang dan matang ............................ 59
14. Warna nugget ikan swanggi ............................................................................ 62
15. Penerimaan keseluruhan.................................................................................. 63
16. Rekapitulasi penentuan perlakuan terbaik sesuai SNI 7758:2013 .................. 65
17. Hasil analisis proksimat perlakuan terbaik (*)................................................ 67
18. Hasil pengamatan tekstur ikan swanggi setengah matang .............................. 79
19. Uji Bartlett tekstur nugget ikan swanggi setengah matang............................. 79
20. Analisis sidik ragam tekstur nugget ikan swanggi setengah matang .............. 80
21. Uji lanjut BNT tekstur nugget ikan swanggi setengah matang....................... 80
22. Hasil pengamatan tekstur nugget ikan swanggi matang ................................. 80
23. Uji Bartlett tekstur nugget ikan swanggi matang............................................ 81
24. Analisis sidik ragam tekstur nugget ikan swanggi matang ............................. 81
25. Uji lanjut BNT tekstur nugget ikan swanggi matang...................................... 82
26. Hasil pengamatan rasa nugget ikan swanggi ................................................. 82
27. Uji Bartlett rasa ikan swanggi ........................................................................ 82
28. Analisis sidik ragam rasa nugget ikan swanggi .............................................. 83
29. Hasil pengamatan aroma ikan swanggi setengah matang ............................... 83
30. Uji Bartlett aroma nugget ikan swanggi setengah matang.............................. 84
31. Analisis sidik ragam aroma nugget ikan swanggi setengah matang ............... 84
32. Uji lanjut BNT aroma nugget ikan swanggi setengah matang........................ 85
33. Hasil pengamatan aroma ikan swanggi matang .............................................. 85
34. Uji Bartlett aroma nugget ikan swanggi matang............................................. 85
35. Analisis sidik ragam aroma nugget ikan swanggi matang .............................. 86
36. Uji lanjut BNT aroma nugget ikan swanggi matang....................................... 86
37. Hasil pengamatan warna ikan swanggi ........................................................... 87
38. Uji Bartlett warna nugget ikan swanggi.......................................................... 87
39. Analisis sidik ragam warna nugget ikan swanggi .......................................... 88
40. Hasil pengamatan penerimaan keseluruhan ikan swanggi.............................. 88
41. Uji Bartlett penerimaan keseluruhan nugget ikan swanggi............................. 88
42. Analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan nugget ikan swanggi.............. 89
43. Uji lanjut BNT penerimaan keseluruhan nugget ikan swanggi ...................... 89
I. PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi yang
cukup besar di berbagai sektor. Salah satu sektor yang menunjang pembangunan
di Indonesia yakni sektor pertanian. Subsektor yang berperan penting dalam
menunjang sektor pertanian di Indonesia adalah sektor perikanan, baik sektor
perikanan darat, pantai maupun laut. Menurut pusat data statistik dan informasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi perikanan tangkap di
Indonesia pada tahun 2017 mencapai 7,67 juta ton. Lampung merupakan salah
satu provinsi yang unggul dalam usaha sektor perikanan. Provinsi Lampung
menyumbang total produksi perikanan tangkap sebesar 304.795,4 ton.
Berdasarkan data tersebut, sektor perikanan di indonesia sangat berpotensi untuk
dikembangkan dan dieksplorasi (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2017).
Meningkatnya sektor perikanan Indonesia akan sejalan dengan peningkatan
konsumsi ikan. Tetapi, di Indonesia konsumsi ikan masih rendah. Berdasarkan
data BPS (2017) dalam Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2018)
konsumsi ikan masyarakat di Indonesia rata-rata pada 2017 sebesar 47,12
kg/kapita/tahun dan ditargetkan pada tahun 2018 sebesar 50,65 kg/kapita/tahun.
2
Hal ini disebabkan masyarakat kurang memahami nilai gizi ikan dan pentingnya
ikan bagi kesehatan manusia, terbatasnya produk yang disenangi masyarakat serta
anggapan sebagian sekelompok masyarakat bahwa konsumsi ikan dapat
menimbulkan alergi ( Sahubawa, 2003).
Ikan merupakan hasil perikanan yang memiliki sifat mudah rusak (perishable)
apabila tidak segera ditangani. Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu
upaya untuk memperbaiki mutu bahan pangan, memberikan kemudahan dalam
penanganan, memperbaiki cita rasa dan aroma, memenuhi gizi masyarakat dan
meningkatkan nilai tambah ikan yang memiliki sifat mudah rusak (perishable).
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan swanggi
yaitu diversifikasi olahan ikan menjadi produk nugget. Nugget merupakan
produk campuran daging ikan tanpa duri dari berbagai jenis ikan yang
ditambahkan bumbu, dicampur bahan pengikat, kemudian dicetak dengan bentuk
tertentu, dikukus, dipotong dan dilumuri perekat tepung (batter) dan diselimuti
tepung roti (breading). Nugget digoreng setengah matang dan dibekukan untuk
mempertahankan mutunya selama penyimpanan (Astawan, 2007). Nugget
sebagai produk hasil olahan ikan banyak digemari oleh anak-anak. Pada
umumnya, nugget dapat diolah dari berbagai jenis ikan (Wibowo, 2006). Salah
satu jenis ikan yang dapat diolah menjadi nugget adalah ikan swanggi
( Priacanthus tayenus). Selama ini, pemanfaatan ikan swangi dikalangan
masyarakat belum maksimal. Ikan swanggi hanya sebatas dikonsumsi dalam
bentuk segar atau diolah menjadi otak-otak.
3
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) atau ikan raja gantang merupakan salah satu
jenis ikan yang sangat digemari oleh masyarakat karena memiliki daging
berwarna putih, rasa yang gurih, tinggi protein sebesar 19,16% dan rendah lemak
0,54% (Astuti et al. 2014). Menurut BPPMHP (2005), kandungan gizi ikan
swanggi yaitu kadar air sebesar 78,63%, kadar abu sebesar 1,16%, kabohidrat
sebesar 0,51 %, dan kadar protein yang cukup tinggi sebesar 19,16%. Harga ikan
swanggi di pasaran berkisar antara Rp. 25.000, – Rp. 40.000,- kg.
Umumnya, dalam pembuatan nugget diperlukan bahan pengikat. Bahan pengikat
adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk mengikat air yang terdapat
dalam adonan. Menurut Erawaty (2001), proses pembuatan nugget ikan
memerlukan bahan yang mengandung karbohidrat sebagai bahan pengikat agar
bahan satu sama lain saling terikat dalam satu adonan untuk memperbaiki tekstur.
Salah satu bahan pengikat dalam makanan adalah tepung. Bahan pengikat
berfungsi untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat
pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk,
membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Umumnya jenis
bahan pengikat yang sering digunakan adalah tepung tapioka, maizena, terigu,
beras, tepung terigu, dan sagu (Widrial, 2005). Salah satu bahan pengikat yang
dapat digunakan pada pembuatan nugget yaitu tepung kacang hijau dan tepung
tapioka.
Tepung kacang hijau merupakan salah satu tepung yang bebas gluten yang berasal
dari biji kacang hijau tanpa kulit yang digiling hingga halus lalu diayak. Menurut
4
Eka dan Isworo (2014), tepung kacang hijau memiliki komposisi kimia kadar air
sebesar 9,01%, kadar abu sebesar 3,02%, lemak sebesar 2,61%, protein sebesar
23,25 %, karbohidrat sebesar 62,11%, dan serat kasar sebesar 2,79%. Menurut
Winarno (2002), tepung kacang hijau mengandung sejumlah asam amino
essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia sehingga sangat cocok digunakan
sebagai alternatif untuk meningkatkan kandungan gizi pada suatu produk. Tepung
kacang hijau memiliki kandungan amilosa yang tinggi yaitu sebesar 28,8% dan
amilopektin sebesar 72,1 % (Muchtadi, 2010). Menurut Suprapto dan Sutarman
(2002), tepung kacang hijau dapat digunakan sebagai bahan pengikat seperti mie,
bakso, nugget dan lain-lain.
Tepung tapioka merupakan jenis bahan pangan yang terbuat dari granula pati
umbi ketela pohon yang kaya akan karbohidrat. Kandungan gizi tepung tapioka
per 100 g sampel adalah 362 Kal, protein sebesar 0,59%, lemak sebesar 3,39%,
kadar air sebesar 12,9% dan karbohidrat sebesar 6,99% (Sediaoetomo, 2004).
Oleh karena itu, tepung kacang hijau dan tepung tapioka dapat digunakan sebagai
bahan pengikat dalam proses pengolahan bahan pangan. Sejauh ini, belum ada
informasi penambahan tepung kacang hijau dan tepung tapioka pada pembuatan
nugget ikan swanggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui formulasi tepung kacang hijau dan tepung tapioka yang dapat
menghasilkan nugget ikan swanggi dengan sifat sensori sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia SNI 7758-2013.
5
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan formulasi tepung kacang hijau dan
tepung tapioka nugget ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dengan sifat sensori
sesuai SNI-7758-2013.
1.3 Kerangka Pemikiran
Nugget ikan merupakan suatu bentuk olahan dari daging ikan yang digiling halus
dan dicampur dengan bahan pengikat, serta diberi bumbu-bumbu dan dikukus
yang kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu. Nugget diselimuti dengan batter
(adonan encer dari air dan bumbu-bumbu) dan dilapisi dengan tepung roti,
kemudian digoreng atau disimpan terlebih dahulu dalam ruang pembeku (freezer)
sebelum digoreng (Wellyalina, 2013).
Bahan pengikat pada pembuatan nugget dapat berupa tepung yang mengandung
pati tinggi dan rendah protein. Tepung kacang hijau merupakan hasil proses
penggilingan kacang hijau menjadi partikel-partikel lebih kecil. Tepung kacang
hijau mengandung pati yang terdiri dari amilosa sebesar 28,8% dan amilopektin
sebesar 71,2% dengan ukuran granula pati 6×12 – 16×33µm dan suhu gelatinisasi
71,3 -71,7oC (Muchtadi, 2010). Tepung kacang hijau memiliki viskositas pasta
yang tinggi pada saat pendinginan, tingkat kekerasan yang tinggi, gel yang kurang
lengket, dan stabilitas pasta panas yang tinggi (Thao dan Noomhorm, 2011).
6
Tepung tapioka adalah granula pati umbi ketela pohon yang kaya karbohidrat.
Tepung tapioka mempunyai kandungan amilopektin yang tinggi sehingga
mempunyai sifat tidak mudah menggumpal, mempunyai daya lekat yang tinggi,
tidak mudah pecah atau rusak dan suhu gelatinisasinya relatif rendah antara 52-
640C (Tjokroadikoesomo, 1993). Menurut Murphy (2000), tepung tapioka
mengandung fraksi amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83%. Granula
tepung tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 μm dengan
bentuk bulat dan oval. Tapioka dengan kandungan amilopektin yang tinggi yaitu
akan menghasilkan gel yang tidak kaku. Gel yang lunak akan memudahkan
penyerapan air sehingga pada saat pemasakan proses gelatinisasi akan berjalan
sempurna.
Penggunaan bahan pengikat bertujuan untuk membantu proses gelatinisasi,
sehingga menghasilkan produk dengan nilai yang baik dan dapat mempengaruhi
komposisi gizi nugget yang dihasilkan. Pembengkakan pati dipengaruhi oleh suhu
pemanasan. Proses pemanasan menyebabkan hilangnya struktur kristal pati dan
terjadi pemutusan struktur ikatan-ikatan amilosa dan amilopektin, sehingga
amilosa berdifusi keluar granula dan amilopektin terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel yang bersifat irreversible. Saat terjadi penurunan suhu,
amilosa yang keluar dari granula pati akan terikat kembali atau terjadi proses
kristalisasi kembali (Luna et al., 2014).
Hasil penelitian Eka (2016) menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan
kacang hijau dengan proporsi yang berbeda terhadap kadar protein nugget ikan
7
lele. Perlakuan terbaik dari uji sensori rasa nugget adalah ikan lele dengan
proporsi kacang hijau 80 % : 20 %. Menurut Malindo (2017), penambahan
tepung kacang hijau 40% pada pembuatan bakso ikan lele dumbo menunjukkan
warna kekuningan, rasa bakso gurih, aroma daging ikan, serta tekstur yang kenyal
dan padat. Berdasarkan penelitian Utafiani (2018), perbandingan tepung kacang
hijau dan terigu pada pembuatan bakso analog berpengaruh terhadap kadar protein,
kadar abu, kadar lemak, kadar serat kasar, uji tingkat kenyalan (tekstur), warna,
rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan. Bakso analog dengan karakteristik
terbaik adalah perbandingan tepung kacang hijau dan terigu sebesar 30 : 70
dengan kadar air sebesar 59,66%, kadar abu sebesar 1,34%, kadar protein sebesar
6,88%, kadar lemak sebesar 1,77%, kadar serat kasar sebesar 1,77%, tekstur
kenyal, rasa dan penerimaan disuka panelis.
Berdasarkan hasil trial and error dalam pembuatan nugget ikan swanggi,
penggunaan tepung kacang hijau dan tepung tapioka sebesar 0 : 100 % dari berat
daging giling ikan menghasilkan nugget matang yang kurang kenyal, lembek,
aroma khas ikan yang sangat tajam. Penggunaan tepung kacang hijau dan tepung
tapioka sebesar 30 : 70% menghasilkan tekstur nugget matang yang lebih kenyal,
agak padat dan kompak, elastis, aroma khas ikan. Sedangkan penggunaan tepung
kacang hijau dan tepung tapioka 50 : 50% menghasilkan nugget matang yang
padat, kompak, kurang elastis, aroma tidak khas ikan. Berdasarkan hasil trial and
error tersebut, pada penelitian ini ditetapkan penggunaan tepung kacang hijau dan
tepung tapioka sebagai bahan pengikat dengan konsentrasi 0 : 100%, 10 : 90%,
20 :80%, 30 : 70 %, 40 : 60% dan 50 : 50% dari berat daging giling ikan swanggi.
8
Diharapkan dalam penelitian ini diperoleh konsentrasi bahan pengikat tepung
kacang hijau dan tepung tapioka yang menghasilkan nugget ikan swanggi dengan
sifat sensori dan kimia sesuai syarat mutu nugget ikan SNI 7758 : 2013.
1.4 Hipotesis
Terdapat formulasi tepung kacang hijau dan tepung tapioka yang menghasilkan
nugget dengan sifat sensori sesuai SNI-7758-2013.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus)
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) atau yang dikenal dengan nama bigeye
bullseye merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki potensi besar
dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut FAO (1999), ikan
swanggi memiliki ciri utama yang membedakan dengan jenis Priacanthus lainnya
yaitu pada sirip perut terdapat bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran
dengan satu atau dua titik besar yang berada di dekat perut. Klasifikasi ikan
swanggi menurut Richardson (1984) dalam FAO (1999) sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub-ordo : Percoidei
Famili : Priacanthidae
Genus : Priacanthus
Spesies : Priacanthus tayenus
Nama FAO : Purple-spotted bigeye
Nama lokal ikan swanggi di berbagai daerah berbeda yaitu, ikan raja gantang
(Banten), swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan
10
Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN
Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS
Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi) (Wangsadinata
2009).
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan predator epibenthic yang
hidup di perairan pantai diantara bebatuan karang dan area terbuka pada
kedalaman 20-200 m. Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang terdapat di
wilayah perairan Selat Sunda. Distribusi ikan swanggi di dunia meliputi wilayah
pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur serta wilayah
Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai
Provinsi Taiwan di China (FAO,1999). Ikan swanggi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan swanggi (Priacanthus tayenus)Sumber : Rahayu (2016)
Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dari famili Priacanthidae.
Karakteristik ikan swanggi adalah memiliki mata besar dengan lapisan pemantul
cahaya, sisik kasar, badan agak tinggi, memanjang dan tipis secara lateral, gigi
kecil dan panjang total maksimum mencapai 35 cm. Ikan swanggi memiliki
tulang saring insang pada lengkung insang pertama berjumlah 21-24. Duri sirip
punggung terdiri dari 10 jari-jari keras dan 11-13 jari-jari lemah. Duri sirip ekor
terdiri dari 3 jari-jari keras dan 12-14 jari-jari lemah. Jari sirip dada berjumlah 17-
11
19 jari-jari lemah. Warna tubuh, kepala dan iris mata adalah putih kemerah-
merahan atau putih keperak-perakan, sirip berwarna merah muda, sedangkan ciri
utama yang menjadi pembeda terhadap jenis Priacanthus lainnya adalah memiliki
sirip perut dengan bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membrane dengan 1
atau 2 titik besar yang berada di dekat perut (FAO, 1999).
Secara umum struktur tubuh ikan terdiri dari kulit, organ bagian dalam, tulang,
dan daging. Ikan memiliki masing-masing bagian struktur tubuh bervariasi
tergantung dari jenis atau spesies ikan. Bagian tubuh ikan swanggi yang
memiliki rendemen tertinggi yaitu bagian daging ikan. Ikan swanggi memiliki
kandungan gizi yang tinggi, sehingga sangat cocok dikonsumsi masyarakat.
Selama ini, ikan swanggi sebagai salah satu ikan yang banyak dikonsumsi dalam
bentuk segar dan belum banyak dimanfaatkan menjadi produk cepat saji, namun
ikan swanggi dapat digunakan sebagai bahan utama pembuatan surimi, pempek,
nugget, bakso dan beberapa produk olahan ikan lain. Kandungan gizi ikan
swanggi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan swanggi
Kandungan gizi Jumlah (%)Protein 19,16
Lemak 0,54
Karbohidrat 0,51
Kadar air 78,63
Kadar abu 1,16Sumber : BPPMHP (2005)
12
2.2. Nugget
Nugget merupakan makanan siap saji yang pertama kali dipopulerkan di Amerika
Serikat sehingga jenis makanan ini banyak diminati oleh masyarakat. Nugget
dibuat dari daging giling yang diberi bumbu, dicampur bahan pengikat, kemudian
dicetak membentuk tertentu, dikukus, dipotong dan dilumuri perekat tepung
(batter) dan diselimuti tepung roti (breading). Nugget digoreng setengah matang
dan dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan (Astawan,
2007).
Nugget adalah jenis produk beku siap saji yaitu produk yang telah mengalami
pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian dibekukan. Produk
beku siap saji ini hanya memerlukan waktu penggorengan selama satu menit pada
suhu 150oC. Ketika digoreng nugget beku setengah matang akan berubah menjadi
kekuning-kuningan dan kering. Tekstur nugget tergantung dari bahan dasarnya.
Nugget sudah dikenal masyarakat secara luas, nugget memiliki cita rasa yang khas
dan dapat diterima oleh semua orang. Umumnya nugget terbuat dari bahan baku
daging sapi maupun daging ayam. Tetapi, seiring berkembangnya waktu
masyarakat mengganti bahan utama daging sapi maupun daging ayam dengan
menggunakan ikan, hal ini merupakan salah satu diversifikasi pangan untuk
meningkatkan konsumsi ikan dimasyarakat yang masih rendah, serta
meningkatkan nilai ekonomis ikan menjadi tinggi. Di samping itu, juga
memperpanjang umur simpan dari bahan tersebut menjadi lebih lama. Nugget
adalah jenis produk makanan yang berbahan daging dan memiliki umur simpan
yang relatif lama karena perlakuan penyimpanan pada suhu beku. Diversifikasi
13
produk nugget ini biasanya dikonsumsi bukan sebagai makanan utama melainkan
sebagai makanan selingan ataupun sebagai lauk-pauk yang umumnya dikonsumsi
dalam jumlah sedikit (Astawan, 2007).
Fish nugget (nugget ikan) adalah salah satu jenis produk olahan ikan yang terdiri
atas campuran daging ikan, tepung panir, dan bumbu yang kemudian dilapisi oleh
adonan battermix dan breadcrumb. Setelah proses pengemasan, produk disimpan
dalam suhu beku kurang lebih ± 1800C. Untuk penyajiannya, produk dikeluarkan
dari freezer, digoreng dengan minyak panas hingga berubah warna menjadi
kekuningan, tekstur nugget ikan renyah di bagian luarnya dan kenyal di bagian
dalam (Amalia, 2012). Nugget ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Nugget
Nugget ikan dikatakan baik apabila memenuhi mutu dan kualitas yang ditetapkan
SNI 7758:2013 dan disukai oleh konsumen. SNI 7758:2013 mendefinisikan
nugget ikan sebagai suatu produk olahan yang terdiri dari campuran lumatan
daging ikan minimum 30% dengan tepung dan bahan-bahan lainnya. Menurut
SNI 7758-2013 syarat mutu nugget ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Syarat mutu nugget ikan (SNI 7758-2013)
Parameter Uji Satuan Persyaratan
Sensori - Min 7( skor 3-9)Kimia:
AirAbuProteinLemak
b/bb/bb/bb/b
Maks. 60Maks. 2,5Min. 5,0Maks. 15,0
Cemaran mikroba:ALTEscherichia coliSalmonnellaVibrio cholera*Staphylococcusaureus*
Koloni/gAPM/g
--
Koloni/g
Maks 5 x 104
< 3Negatif/25 gNegatif/25 gMaks 1 x 102
Cemaran logam:Kadmium (Cd)Merkuri (Hg)Timbal (Pb)Arsen (As)Timah (sn)
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks. 0,1Maks. 0,5Maks. 0,3Maks. 1,0Maks 40,0
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2013)
2.3. Bahan Pengisi
Bahan pengisi atau pengikat merupakan bahan yang digunakan dalam makanan
untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat untuk
memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan,
memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur
yang padat, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi
dan menarik air dari adonan. Jenis bahan pengikat yang biasa ditambahkan pada
proses pembuatan nugget adalah tepung berpati, misalnya tepung tapioka,
maizena, terigu, beras, dan sagu, tepung kacang hijau (Erawaty, 2001).
15
Menurut Gumilar (2011), bahan yang bisa digunakan sebagai pengisi berupa
tepung yang memiliki pati yang tinggi. Pati berfungsi untuk menaikkan daya ikat
air, dengan demikian pati dapat menahan air selama proses pemanasan dan
pengolahan berlangsung, sehingga granula pati akan mengembang ketika
dipanaskan dan daya tarik menarik antar molekul pati dalam granula pati tidak
dapat bergerak bebas lagi. Peristiwa ini disebut dengan gelatinisasi, yaitu
mengembangnya granula pati dan tidak dapat kembali ke keadaan semula. Hal
tersebut penting untuk produk emulsi karena dengan adanya daya ikat air yang
tinggi akan mengurangi nilai susut masak dan dan kehilangan air serta nutrisi
sehingga akan menghasilkan nilai kekenyalan yang tinggi.
2.3.1 Tepung Kacang Hijau
Tepung kacang hijau adalah hasil proses penggilingan kacang hijau menjadi
ukuran partikel-partikel dengan cara diremuk yaitu bahan ditekan dengan gaya
mekanis. Tepung kacang hijau proses pembuatannya relatif mudah yaitu kacang
hijau disortir kemudian dicuci lalu rendam, dikukus lalu didinginkan, kemudian
dikeringkan dalam oven. Setelah pengeringan, digiling dan diblender, selanjutnya
diayak sehingga diperoleh tepung kacang hijau yang halus dan homogen
(Astawan, 2009). Tepung kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tepung kacang hijauSumber: Astawan (2009)
16
Tepung kacang hijau terbuat dari kacang hijau tanpa kulit, mengandung protein
yang tinggi (22,2%) dan kaya asam amino lisin sehingga dapat melengkapi
kandungan nilai gizi kacang hijau (Suprapto dan Sutarman, 1982). Komposisi
tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi tepung kacang hijau
Komposisi Jumlah (%)
Kadar air 9,01
Kadar protein 23,25
Kadar lemak 2,61
Kadar abu 3,02
Kadar karbohidrat 62,11
Sumber: Ekafitri dan Isworo (2014)
Menurut Marzuki dan Suprapto (2005), tepung kacang hijau merupakan bahan
yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino esensial tepung
kacang hijau terdapat dalam jumlah yang tinggi. Menurut Winarno (2002), Asam
amino merupakan senyawa organik yang memiliki gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan amina (-NH2). Tepung kacang hijau mengandung sejumlah asam
amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Asam amino esensial adalah
asam amino yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh, sehingga harus didapat
dari konsumsi makanan. Jenis-jenis Asam amino esensial yaitu :Isoleusin, Leusin,
Lysin, Metionin, Fenilalanin, Treonin, Triftofan, Valin. Asam amino pembatas
merupakan asam amino yang sesuai dengan ambang batas standar . Asam amino
pembatas tepung kacang hijau adalah metionin dan sistein. Sedangkan kandungan
asam amino lain sudah memenuhi standar terutama kandungan lisinnya.
Keseimbangan asam amino pada tepung kacang hijau mirip dan sebanding dengan
17
kedelai (Astawan, 2009). Komposisi asam amino tepung kacang hijau dapat
dilihat dari Tabel 4
Tabel 4. Komposisi asam amino tepung kacang hijau
Asam AminoTepung KacangHijau (mg/g.N)
StandarFAO/WHO
1973 (mg/g.N)
Skor AsamAmino EssensialTepung Kacang
HijauIsoleusin 35 40 88
Leusin 73 70 100
Lisin 74 55 100
Metionin dan sistein 17 35 68
Fenilanin dan tirosin 60 60 100
Threonin 36 40 90
Triptofan 11 10 100
Valin 41 50 82
Sumber : Astawan (2009)
Menurut Ladamay dan Yuwono (2015), tepung kacang hijau merupakan salah
satu tepung yang bebas gluten yang berasal dari biji kacang hijau. Tepung kacang
hijau dapat digunakan sebagai produk mie yang kaya akan kandungan kalsium,
magnesium dan phosphor. Penambahan tepung kacang hijau memiliki manfaat
untuk meningkatkan kandungan gizi protein karena adanya efek saling
melengkapi kekurangan pada masing-masing bahan (Astawan 2009 dalam
Yuwono 2015). Granula pati kacang hijau berbentuk elips seperti ginjal dan
mempunyai permukaan halus dengan ukuran granula yaitu diameter atau lebar (L)
9,05 – 21,08 μm dan panjang (P) 12,67 – 31,07 μm (Wenhao-Li, 2011) dengan
suhu gelatinisasi 71,3 -71,7oC. Selain pati, dalam tepung kacang hijau ditemukan
juga sukrosa (1,2-1,8%), rafinosa (0.3-1.1%), stakiosa (1,65-2.50%) dan
18
verbakosa (2,10-3,80%) (Muchtadi et al, 2010). Granula pati kacang hijau
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Granula pati kacang hijauSumber: Mucthadi (2010)
Kacang hijau memiliki kandungan karbohidrat, protein dan serat yang baik.
Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar yang terdapat pada kacang
hijau yaitu sebesar 62-63%. Kacang hijau mengandung kadar amilosa yang tinggi
sebesar 40% (Tan et al, 2006). Kacang hijau mengandung protein yang tinggi
sebesar 22% dan memiliki kualitas protein yang baik sehingga dapat menjadi
sumber protein. Tepung kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 adalah bahan
makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Vigna radiata) yang
sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung. Syarat mutu tepung
kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 dapat dilihat pada Tabel 5.
19
Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995)
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
BauRasaWarna
---
NormalNormalNormal
Benda-benda asing: - Tidak boleh adaSerangga dalam bentukpotong-potongan
- Tidak boleh ada
Jenis pati selain patikacang hijau
- Tidak boleh ada
Kehalusan:Lolos ayakan 60 meshLolos ayakan 80 mesh
b/bb/b
Min 95Min100
Air b/b Maks. 10Silikat b/b Maks. 0,1Serat kasar b/b Maks 3,0Derajat asam ml N. NaOH/100 g Maks 2,0Protein b/b Min 23Bahan tambahan makanan:bahan pengawet
- Sesuai SNI 01-0222-1995
Cemaran logam :Timbal (Pb)Tembaga (Cu)Seng (Zn)Raksa (Hg)
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks 1,0Maks 10,0Maks 40,0Maks 0,05
Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0,5Cemaran mikroba:
Angka lempeng totalE. coliKapang
Koloni/gAPM/g
Koloni/g
Maks. 106Maks. 10Maks. 104
Sumber: Standar Nasional Indonesia (1995)
2.3.2 Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan suatu jenis bahan pangan yang dibuat dari ubi kayu.
Bahan pangan tersebut merupakan pati yang diekstrak dengan air dari umbi
singkong (ketela pohon) , kemudian disaring, cairan hasil saringan kemudian
diendapkan. Bagian yang mengendap tersebut selanjutnya dikeringkan dan
digiling hingga diperoleh butiran - butiran pati halus berwarna putih yang disebut
20
tapioka. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong,
Tepung tapioka dimanfaatkan sebagai bahan baku pengental, penstabil,
pembentuk tekstur, pengikat lemak dan air, dan sebagai pembentuk emulsi.
Komposisi zat gizi tepung tapioka lebih baik bila dibandingkan dengan tepung
jagung, kentang, dan gandum atau terigu, tapioka juga dapat digunakan sebagai
bahan bantu pewarna putih ( Luthana, 2004). Tepung tapioka dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Tepung tapiokaSumber: Luthana (2004)
Tepung tapioka merupakan bahan pengikat yang relative murah, mempunyai daya
ikat air yang tinggi dan membentuk tekstur adonan yang kuat tapioka kaya
karbohidrat dan energi. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan alfa
glikosidik. Tepung tapioka mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin
sebesar 83%. Rasio antara amilosa dan amilopektin yang menyusun molekul pati
akan mempengaruhi pola gelatinisasi, dan kadar amilopektin akan memberikan
sifat mudah membentuk gel. Tepung tapioka mempunyai kandungan amilopektin
yang tinggi sehingga mempunyai sifat tidak mudah menggumpal, mempunyai
daya lekat yang tinggi, tidak mudah pecah atau rusak dan suhu gelatinisasinya
relatif rendah antara 52- 640C (Tjokroadikoesomo, 1993).
21
Menurut Murphy (2000), granula tepung tapioka menunjukan variasi yang besar
yaitu sekitar 5-40 μm dengan bentuk bulat dan oval. Tapioka dengan kandungan
amilopektin yang tinggi yaitu 83 % akan menghasilkan gel yang tidak kaku. Gel
yang lunak akan memudahkan penyerapan air sehingga pada pemasakan proses
gelatinisasi akan berjalan sempurna. Gelatinisasi merupakan salah satu proses
pembengkakan granula pati dalam air pada suhu 54oC sampai dengan 64oC
sehingga pati tidak dapat kembali pada kondisi semula (Rohayati, 2003). Granula
tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Granula tepung tapiokaSumber: Rohayati (2003)
Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan oleh air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa maupun
amilopektin disusun oleh monomer yang berikatan satu sama lain melalui ikatan
glikosidik (Winarno, 2004). Amilosa merupakan polimer lurus yang dihubungkan
oleh ikatan -1,4 -glikosidik dengan struktur cincin piranosa. Berat molekul
ikatan amilosa berkisar antara 105-106 dengan derajat polimerisasi yang
mencapai kisaran 500 – 6000. Banyaknya gugus hidroksil yang terdapat dalam
senyawa polimer glukosa tersebut menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik.
Struktur molekul amilosa dapat dilihat pada Gambar 7.
22
Gambar 7. Struktur molekul amilosaSumber : Hustiany (2006)
Kandungan amilosa memiliki pengaruh terhadap retrogradasi pati dan sifat tekstur.
Peningkatan suhu pemanasan pati mengakibatkan penurunan kadar amilosa dan
kejernihan pasta pati namun meningkatkan kelarutan dan swelling power. Kadar
amilosa menurun disebabkan oleh peningkatan suhu dan proses gelatinisasi yang
terlalu lama. Hal ini mengakibatkan molekul amilosa mengalami penguraian dan
membentuk ikatan hidrogen dengan air sehingga amilosa memiliki bobot molekul
rendah dan molekul amilosa yang dihasilkan lebih sederhana, yaitu terdapat rantai
lurus yang pendek sehingga sangat mudah larut dalam air (Herawati et al., 2014).
Amilopektin merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer α-glukosa.
Ikatan pada rantai utama adalah ikatan α-1,6-D-glukosidik dimana setiap cabang
mengandung 20-25 unit glukosa. Ikatan pada titik cabang adalah ikatan
amilopektin yang mempunyai ukuran molekul sangat besar dengan berat molekul
mencapai 107-109 dan Derajat polimerisasi amilopektin juga lebih tinggi
dibandingkan amilosa yaitu antara 105 sampai 3x106 unit glukosa (Hustiany,
2006). Struktur molekul amilopektin ditunjukkan pada Gambar 8.
23
Gambar 8. Struktur molekul amilopektinSumber: Hustiany (2006)
Fraksi amilopektin bertanggung jawab atas kekentalan gel. Semakin besar
kandungan amilopektin bahan yang digunakan maka semakin lekat produk
olahannya. Pati tapioka mengandung amilosa dan amilopektin yang dapat
mempengaruhi daya larut dan suhu gelatinisasi. Kadar amilosa pati tinggi dalam
bentuk pasta, maka pati akan bersifat kering, cenderung lebih kuat dan kurang
lengket, karena amilosa bersifat mengikat. Kandungan amilosa pati akan
memberikan kekuatan tekstur yang padat dan kompak pada produk. Sedangkan
amilopektin akan memberikan tekstur produk yang kental dan lebih lengket
(Kusnandar, 2010).
Suryono et al. (2013) menyatakan kadar amilopektin yang tinggi menghasilkan
gel transparan yang memberikan efek terang atau cerah pada produk dan kadar
amilosa yang tinggi menghasilkan warna yang buram. Kekuatan gel pada pati
dijelaskan melalui proses swelling (pembengkakan) dan pengikatan air selama
gelatinisasi oleh panas. Pati sagu dan tapioka mempunyai pengaruh paling baik
24
untuk menguatkan gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat
sejumlah besar air (Wibowo, 2006).
Granula-granula pati jika tercampur dengan air dingin akan mengalami hidrasi
reversible, namun jika dipanaskan akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi pati
berjalan dengan optimal apabila fraksi amilosa meluruh keluar dari granula pati
dan terjadi pembengkakan pati yang menyebabkan pecahnya granula pati.
Semakin tinggi suhu, semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula
pati. Saat terjadi penurunan suhu, molekul-molekul amilosa yang telah pecah
keluar dari granula pati akan terikat kembali. Maka terjadi proses kristalisasi
kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi atau dikenal sebagai proses
retrogradasi (Luna et al., 2014).
Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi. Pada kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir
yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin,
energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-
molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan
kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-
pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggabungkan butir-butir pati
yang bengkak tersebut menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal
dan mengendap. Retrogradasi pasta pati memiliki beberapa efek yaitu
peningkatan viskositas, terbentuknya kekeruhan, terbentuknya lapisan tidak larut
dalam pasta panas, terbentuknya gel, dan terjadinya sinersis pada pasta pati
(Whistler dan BeMiller, 2009).
25
Ariyani (2010), menyatakan kandungan pati yang tinggi akan menyebabkan gel
yang terbentuk pada saat pemanasan semakin banyak dan kuat sehingga dapat
meningkatkan tekstur produk semakin keras. Menurut Anggraini et al. (2016),
tekstur produk dipengaruhi oleh jumlah penambahan air dan jumlah bahan pengisi
yang digunakan. Semakin banyak penambahan air maka kekenyalan produk
semakin berkurang. Hal tersebut terjadi peningkatan kadar air menyebabkan
tekstur menjadi lembek. Peningkatan konsentrasi bahan pengisi akan
meningkatkan kandungan pati dan menyerap air dalam produk, sehingga
dihasilkan produk bertekstur kompak dan kenyal. Peningkatan nilai tekstur (keras)
seiring dengan peningkatan konsentrasi bahan pengisi. Semakin banyak
kandungan pati dalam produk akan menghasilkan tekstur yang keras.
Pada pembuatan nugget ikan, tepung tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi dan
pengikat. Tepung tapioka berfungsi sebagai pengental, penstabil, pembentuk
tekstur, pengikat lemak dan air, dan sebagai pembentuk emulsi. Tepung dapat
mengabsorpsi air 2-3 kali lipat dari berat semula. Oleh karena sifat tersebut, maka
adonan akan menjadi lebih besar. Tepung pati dapat meningkatkan daya
mengikat air karena kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan
pemanasan (Yuanita dan Silitonga, 2014). Syarat mutu tepung tapioka dapat
dilihat pada Tabel 6.
26
Tabel 6. Syarat mutu tepung tapioka (SNI 3451-2011)
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bentuk - serbuk halusBau - NormalWarna - putih, khas tapiokaKadar air (b/b) % maks. 14Abu (b/b) % maks. 0,5Serat kasar (b/b) % maks. 0,4Kadar pati (b/b) % min. 75Derajat putih (MgO=100) - min. 91Derajat asam mL NaOH 1 N / 100 g maks. 4Cemaran Logam:
Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,25Timah (Sn) mg/kg maks. 40Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,05Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5
Cemaran mikroba:Angka Lempeng Total(35oC, 48 jam)
koloni/g maks. 1x106
Escherichia coli APM/g maks. 10Bacillus cereus koloni/g < 1x104
Kapang koloni/g maks. 1x104
Sumber: Standar Nasional Indonesia (2011)
2.4. Bumbu-bumbu dalam Pembuatan Nugget dan Fungsinya
2.4.1. Bawang Putih (Allium sativum)
Bawang putih merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibutuhkan
di dunia karena manfaatnya sebagai bahan penambah rasa sedap atau wangi pada
beberapa jenis makanan yang akan membuat masakan menjadi beraroma dan
mengandung selera. Dalam umbi bawang putih terdapat sejenis minyak atsiri
yaitu allicin. Allicin merupakan zat aktif yang mempunyai daya bunuh terhadap
27
bakteri sehingga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet (bersifat fungistatik dan
fungisidal). Bau khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang
mengandung komponen sulfur (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Struktur kimia
allicin dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur kimia allicinSumber: Wiryowidagdo (2000)
2.4.2. Garam
Garam dapur merupakan natrium klorida yang memiliki senyawa kimia dengan
rumus molekul NaCl. Garam dapur mengandung 91,62 % NaCl, dan sisanya
adalah Ca, Mg, dan Fe dalam bentuk garam klorida. Garam mempunyai sifat
higroskopis sehingga dapat menyebabkan plasmolisis dan dehidrasi pada sel
bakteri, menghambat kerja enzim proteolitik, mengurangi daya larut oksigen serta
menurunkan daya aktivitas air. Garam yang digunakan dalam proses pengawetan
membutuhkan konsentrasi garam sebesar lebih dari 15%. Garam dapur (NaCl)
digunakan sebagai salah satu bahan pengawet yang sering dikombinasikan dalam
proses pengasapan dan pengeringan. Penambahan garam dapur berfungsi untuk
memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas
pasta, serta mengikat air. Selain itu, garam dapur juga dapat menghambat
aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan
tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2006).
28
2.4.3. Gula
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi. Fungsi
penambahan gula untuk memperbaiki rasa dan membentuk aroma yang khas,
Aroma wangi gula terbentuk dari proses karamelisasi selama pembakaran.
Bersamaan dengan proses karamelisasi, akan terbentuk reaksi browning atau
reaksi kuning kecoklatan. Gula dalam konsentrasi yang tinggi dapat mencegah
pertumbuhan mikroba sehingga dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet
(Winarno, 2008). Struktur kimia sukrosa dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Struktur kimia sukrosaSumber: Winarno (2008)
2.4.4. Merica/Lada
Merica merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang mengandung senyawa
alkaloid piperin yang memberikan rasa pedas. Fungsi penambahan lada sebagai
penyedap masakan dan memperpanjang daya awet makanan. Lada memiliki
kandungan minyak atsiri, yaitu filandren membuat bau pedasnya menyengat,
selain itu rasa pedas disebabkan karena lada memiliki kandungan zat piperin dan
piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan
alkaloida (Soeparno, 2005).
29
2.4.5. Telur
Salah satu bahan tambahan yang dapat meningkatkan kualitas nugget adalah telur.
telur mengandung protein dan dapat berperan sebagai binding agent yakni
mengikat bahan-bahan lain sehingga menyatu yang diharapkan dapat memperoleh
nugget dengan kualitas yang lebih baik. Semakin meningkatnya telur yang
ditambahkan maka struktur gel yang terbentuk akan semakin banyak. Telur itu
mempunyai sifat sebagai binding agent (emulsifier) yaitu mengikat bahan-bahan
lain hingga menyatu. Kuning telur yang dapat mempertahankan emulsi adalah
fosfolipida, diantaranya yang terpenting adalah lesitin dalam bentuk kompleks
sebagai lesitin-protein. Gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang
bersifat sebagai emulsifier. Penambahan telur yang meningkat akan
meningkatkan elastisitas nugget. Semakin besar kadar protein nugget dengan
adanya penambahan telur yang semakin besar, semakin tinggi nilai elastisitas
yang dihasilkan. Putih telur yang ditambahkan akan mengikat bahan-bahan lain.
Ikatan antara partikel yang lebih kuat pada sistem gel akan membentuk ikatan
matrik yang kuat dan lebih elastis (Sudaryani, 2003).
2.4.6 Tepung Roti (panir)
Tepung roti merupakan bahan tambahan pada pembuatan nugget yang berfungsi
untuk membentuk nugget renyah dan baik untuk digoreng. Penambahan tepung
roti pada pembuatan nugget berfungsi untuk memberikan warna pada nugget,
membentuk kerak pada permukaan nugget setelah digoreng, memberikan
30
penampakkan goreng (fried), selain itu tepung roti ini akan membuat cita rasa
nugget menjadi lebih enak (Rahmadani, 2010).
2.4.7. Air Es
Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan.
Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk melarutkan garam,
memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, dan
mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan. Adanya air es pada pembuatan produk olahan daging
misalnya nugget, sosis atau bakso adalah untuk mempertahankan suhu daging
agar tetap rendah selama penggilingan daging dan pembuatan adonan. Selain itu,
suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi
akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein dapat berjalan dengan baik.
Apabila protein terdenaturasi akibat suhu adonan yang terlalu tinggi, protein tidak
bisa bersifat sebagai pengemulsi. Penambahan es juga meningkatkan rendemen
produk sehingga digunakan es sebanyak 10 sampai 30% dari berat daging (Widya
dan Murtini, 2006).
2.5. Proses Pembuatan Nugget ikan
Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu
bahan pangan, baik dari nilai gizi maupun daya cerna, memberikan kemudahan
dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma,
31
penganekaragaman produk dan memperpanjang masa simpan. Tahap pembuatan
nugget dapat dijelaskan sebagai berikut :
2.5.1. Penggilingan
Proses penggilingan pada pembuatan nugget dimulai dari membersihkan daging
kemudian dihaluskan menggunakan alat penggiling dan ditambahkan air es untuk
mencegah kerusakan pada saat penghalusan. Penggilingan yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya pemecahan emulsi. Hal ini disebabkan diameter partikel
lemak semakin kecil dan luas permukaan lemak semakin besar sehingga protein
tidak cukup untuk menyelubungi semua partikel lemak, sehingga lemak akan
keluar dari emulsi yang menyebabkan terbentuknya kantong lemak ( Alamsyah,
2008).
2.5.2. Pembuatan Adonan
Tahap pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat penting. Pembuatan
adonan nugget yaitu daging yang telah dihaluskan dicampur semua bahan dan
diaduk sampai homogen dan dimasukan kedalam loyang. Bahan pengikat dan
bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan pada nugget.
Bahan-bahan ini ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi,
memperbaiki kapasitas pengikat air, pembentukan cita rasa dan mengurangi
penyusutan selama pemasakan dan mengurangi biaya produksi (Forrest, et al.,
1975).
32
2.5.3. Pengukusan
Pengukusan merupakan proses pemasakan yang dilakukan melalui media uap
panas dengan suhu pemanasan. Selama proses pengukusan panas dipindahkan ke
produk melalui konveksi. Pengukusan merupakan tahap penting karena pada
tahap ini terjadi proses gelatinisasi pati yang berkaitan erat dengan tekstur nugget
saat digoreng. Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan
menonaktifkan enzim yang akan merubah warna, cita rasa dan nilai gizi.
pengukusan dapat menyebabkan terjadinya pengembangan granula-granula pati
yang biasa disebut gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan peristiwa pengembangan
granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali seperti keadaan semula.
Mekanisme gelatinisasi oleh granula pati akan menyerap air yang akan memecah
kristal amilosa yang memutuskan ikatan-ikatan struktur heliks dari molekul
tersebut. Penambahan air dan pemanasan akan menyebabkan amilosa berdifusi
keluar granula, sedangkan granula amilopektin akan tertahan dalam matriks
sehingga akan pecah membentuk suatu gel (Kusnandar, 2010). Pengukusan yang
terlalu lama akan menyebabkan air yang terperangkap oleh gel pati terlalu banyak
sehingga adonan akan menjadi pecah . Adonan yang setengah matang
menyebabkan pati tidak tergelatinisasi dengan sempurna dan akan mempengaruhi
testur pada nugget menjadi keras. Adonan yang telah masak ditandai dengan
seluruh bagian berwarna putih kekuning serta teksturnya kenyal. Mekanisme
pembentukan gelatinisasi dapat dilhat pada Gambar 11.
33
Gambar 11. Mekanisme pembentukan gelatinisasiSumber: Kusnandar (2010)
2.5.4. Pendinginan
Nugget yang sudah dikukus kemudian dilakukan pendinginan sebelum dilakukan
pemotongan. Pendinginan dilakukan dengan membiarkan nugget diudara terbuka
sampai uap panas menguap dan adonan menjadi dingin . Pendinginan ini
bertujuan supaya nugget mudah untuk dipotong (Lavlinesia,1995).
2.5.5. Pemotongan dan pelapisan dengan tepung roti
Nugget yang telah didinginkan selanjutnya dilakukan pemotongan dengan ukuran
3 cm x 2 cm x 1 cm . pemotongan ini bertujuan untuk mempermudah proses
penggorengan. Setelah itu dilakukan pelapisan dengan menggunakan tepung roti
hal ini bertujuan untuk memperbaiki cita rasa dan warna dari nugget (Rahmadani,
2010).
34
2.5.6. Pembekuan
Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24oC.
Pembekuan yang cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24 sampai -40oC.
Penyimpanan produk beku bisa selama sebulan atau kadang-kadang beberapa
tahun. Ada dua pengaruh pendinginan terhadap makanan yaitu : 1) penurunan
suhu akan mengakibatkan penurunan proses kimia mikrobiologi dan biokimia
yang berhubungan dengan kelayuan (senescene), kerusakan (decay), dan
pembusukan, 2) pada suhu dibawah 0OC air akan membeku dan terpisah dari
larutan pembekuan es, yang mirip dalam hal air yang diuapkan pada pengeringan.
Pengawetan pangan dalam pembekuan melibatkan dua metode pengendalian
pertumbuhan mikroorganisme : 1) laju reaksi mikroorganisme dikurangi oleh
suhu rendah, juga laju pertumbuhan kimia yang tidak dikehendaki, berkurang
pada suhu rendah. 2) sejumlah besar air bebas dalam pangan diubah menjadi es,
sehingga tidak dapat dipergunakan oleh mikroorganisme (Gaman dan Sherrington,
1994).
2.6.7. Penggorengan
Penggorengan merupakan suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan
menggunakan lemak atau minyak pangan. Minyak goreng berfungsi sebagai
medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori
bahan pangan. Kecukupan suhu dan waktu penggorengan berbeda untuk setiap
bahan, kondisi dan perlakuan (Ketaren, 1986). Pada pembuatan nugget,
penggorengan pada suhu 150oC selama 2 menit menghasilkan nugget yang telah
matang ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada nugget yaitu berwarna
35
kuning keemasan. Bahan pangan yang digoreng mempunyai permukaan luar
berwarna coklat keemasan. Warna yang muncul disebabkan karena reaksi
pencoklatan (Maillard). Reaksi Mailard merupakan reaksi non enzimatis yaitu
pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan reaksi antara gula reduksi dan
asam amino protein membentuk warna coklat. Pembentukan warna coklat pada
tahap awal yaitu kondensasi karbonil amino dan perubahan amadori belum
menyebabkan perubahan warna pada produk. Tahapan kondensasi karbonil
amino yaitu reaksi antara gugus karbonil gula reduksi dengan gugus amino
protein membentuk adosamin dan glikosilamin, sedangkan tahapan amadori yaitu
perubahan lebih lanjut menjadi ketosamin dan fruktosamin. Pembentukan pigmen
warna produk menjadi coklat terjadi pada tahapan dehidrasi ketosamin (Sugiyono,
2004).
Gambar 12. Reaksi Maillard
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Nutrisi dan Pangan Jurusan
Peternakan Universitas Lampung pada bulan Mei – Juli 2019.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan pada pembuatan nugget adalah ikan swanggi
(Priacanthus tayenus) yang diperoleh dari pedagang ikan di pasar Gudang Lelang
Teluk Betung Bandar Lampung, tepung tapioka merk Pak Tani Cap Gunung, dan
tepung kacang hijau merk Fit’s yang diproduksi oleh PT. Fit’s Mandiri kompleks
IPB Science Park . Bahan tambahan yang digunakan antara lain telur, garam,
merica, gula, bawang putih, tepung roti, dan minyak goreng yang dibeli dari pasar
swalayan Chandra di Bandar Lampung. Bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis kimia adalah larutan H2SO4 pekat, HCl 0,02N, aquades, NaOH 50%,
alkohol, NaOH-Na2S2O3, K2SO4, HgO, indicator PP, H3BO3.
Alat yang digunakan dalam pembuatan nugget adalah baskom, panci pengukus,
loyang, blender, pisau, gelas ukur, sendok, spatula, talenan, dan timbangan. Alat
37
yang digunakan untuk analisis adalah batu didih, penjepit cawan, cawan porselin,
oven, desikator, indikator phenolphthalein, alat destilasi, buret, neraca analitik,
alat ekstraksi Soxhlet, kertas saring, tanur listrik, labu Kjeldahl, dan alat-alat gelas
serta seperangkat alat uji sensori.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan
satu faktor dan empat ulangan. Perlakuan perbandingan tepung tapioka dan
tepung kacang hijau sebanyak 6 taraf, yaitu P1 (100:0), P2 (90:10), P3 (80:20),
P4 (70:30), P5 (60:40), P6 (50:50) dari total bahan baku. Perbandingan tepung
tapioka dan tepung kacang hijau dalam pembuatan nugget ikan disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan tepung tapioka dan tepung kacang hijau dalam pembuatannugget ikan swanggi
Perlakuan Tepung Tapioka (%) Tepung Kacang Hijau (%)P1 100 0P2 90 10P3 80 20P4 70 30P5 60 40P6 50 50
Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan
uji Tuckey. Data dianalisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat
dan uji signifikasi untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan, data dianalisis lebih lanjut menggunakan
uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
38
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persiapan Daging Giling Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus)
Persiapan daging ikan swanggi mengacu pada metode Setyaji et al. (2012).Daging ikan swanggi fillet beku sebanyak 200 g digiling dengan food processor.Persiapan daging giling ikan swanggi dapat dilihat pada Gambar 13 .
Gambar 13. Diagram alir persiapan daging giling ikan swanggiSumber : Setyaji et al. (2012)
3.4.2. Pembuatan Nugget Ikan Swanggi
Pembuatan nugget ikan swanggi mengacu pada prosedur Afrisanti (2010). Bahan
baku utama yang digunakan dalam pembuatan nugget yaitu tepung tapioka,
tepung kacang hijau dan daging giling ikan swanggi. Formulasi perbandingan
tepung tapioka dan tepung kacang hijau adalah P1 (100:0), P2 (90:10), P3
(80:20), P4 (70:30), P5 (60:40), P6 (50:50). Proses pembuatan produk nugget
ikan swanggi sebagai berikut: Daging ikan swanggi digiling sebanyak 200 g
(berat basah), kemudian dicampur dengan bahan pengikat (tepung tapioka dan
tepung kacang hijau ) sesuai perlakuan P1 (100:0), P2 (90:10), P3 (80:20), P4
(70:30), P5 (60:40), P6 (50:50). Untuk setiap perlakuan dalam pembuatan nugget
Daging Ikan Swanggi Fillet Beku(200 g)
Penggilingan dengan food processor
Daging Giling Ikan Swanggi
39
ikan swanggi ditambahkan telur 25 % , bumbu-bumbu yang terdiri dari gula pasir
2 %, bawang putih 6 %, merica bubuk 1 %, garam 5 %, kemudian semua bahan
diaduk rata. Setelah semua tercampur dan menjadi homogen, dilakukan
pengukusan pada suhu 100o C selama 30 menit, didinginkan kemudian dipotong
bentuk persegi panjang 3 cm x 2 cm x 1 cm. Potongan nugget ikan swanggi
dimasukkan ke dalam campuran yang berisi 50 g telur, dan garam 1 g kemudian
dicelupkan ke dalam tepung roti. Selanjutnya dilakukan pembekuan pada suhu
-12oC selama 24 jam, setelah itu dilakukan pendinginan pada suhu ruang selama
10 menit dan penggorengan dengan menggunakan minyak goreng pada suhu 150o
C selama 3 menit sampai nugget menjadi berwarna kekuning-kuningan. Produk
nugget ikan swanggi setengah matang dilakukan uji sensori tekstur, aroma dan
pengamatan perlakuan terbaik kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar
protein. Produk nugget ikan swanggi matang sudah digoreng dilakukan uji sensori
tekstur, rasa, aroma, warna dan penerimaan keseluruhan. Diagram alir pembuatan
nugget ikan swanggi dapat dilihat pada Gambar 14.
40
Gambar 14. Diagram alir pembuatan nugget ikan swanggiSumber : Afrisanti (2010) yang dimodifikasi
Pencetakan dalam loyang
Pemotongan p x l x t = 3 x 2 x 1 cm
Pelapisan nugget ikan swanggi
Pelumuran tepung roti
Penggorengan ( T 150oC, t 3 menit)
Nugget Ikan Swanggiyang sudah digoreng
Pengukusan adonan (T 100oC, t 30 menit), suhu dijaga stabil
Pencampuran
Gula pasir 2 %,Telur 25%,Bawang Putih 6 %,Merica 1% ,Garam 5 %
Pengadonan
Pendinginan
Nugget Ikan Swanggisetengah matang
Uji Sensori :- Tekstur- Rasa- Aroma- Warna- Penerimaan
Keseluruhan
Telur ayam50 g dan
garam 1 g
Daging Giling Ikan Swanggi(200g)
Tepung Tapioka : Tepung Kacang Hijau100% : 0%90% : 10%80% : 20%70% : 30%60% : 40%50% : 50%
Uji Sensori-Tekstur
-Aroma
PerlakuanTerbaik :-Kadar Air-Kadar Abu-Kadar Lemak-Kadar Protein
Pendinginan suhu ruang (t 10 menit)
Pembekuan ( T -12 oC, t 24 jam)
41
Adapun pembuatan nugget ikan dengan formulasi tepung tapioka dan tepung
kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Formulasi pembuatan nugget ikan swanggi dengan penambahantepung kacang hijau dan tepung tapioka
Formulasi P1 P2 P3 P4 P5 P6Ikan Swanggi (g) 200 200 200 200 200 200Tepung tapioka (g) 200 180 160 140 120 100Tepung kacang hijau (g) 0 20 40 60 80 100Bawang putih (g) 12 12 12 12 12 12
Garam (g) 10 10 10 10 10 10Gula pasir (g) 4 4 4 4 4 4
Merica (g) 2 2 2 2 2 2Telur (g) 50 50 50 50 50 50
3.5. Pengamatan
Pengamatan sifat sensori nugget ikan swanggi dengan formulasi tepung kacang
hijau dan tepung tapioka pada nugget yang belum digoreng adalah tekstur
menggunakan uji skoring, sedangkan parameter terhadap nugget yang sudah
digoreng meliputi tekstur, rasa dan warna (Setyaningsih, 2010) menggunakan uji
skoring, serta aroma dan penerimaan keseluruhan menggunakan uji hedonik.
Pengamatan sifat kimia terhadap perlakuan terbaik pada nugget setengah matang
meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein (AOAC, 2005).
3.5.1. Kadar Air
Pengujian kadar air nugget ikan swanggi dilakukan dengan metode gravimetri
(AOAC, 2005). Cawan porselen dikeringkan pada oven 1000C kurang lebih 1 jam,
didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit kemudian ditimbang. Sampel
42
yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1-2 g dalam cawan porselen yang telah
diketahui berat konstannya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven pada
suhu 1050C selama 3 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang,
perlakuan ini diulang sampai dicapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-
turut kurang dari 0,001 g). Pengukuran kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar Air (%) = × 100%Keterangan :
A : Berat cawan + sampel sebelum pengeringan (g)
B : Berat cawan + sampel setelah pengeringan (g)
C : Berat sampel (g)
3.5.2. Kadar Abu
Pengujian kadar abu nugget ikan swanggi dilakukan dengan metode gravimetri
(AOAC, 2005). Cawan porselen dikeringkan pada oven 1000C kurang lebih 1 jam,
didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit kemudian ditimbang. Sebanyak
2-3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya
sampel dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap lagi, kemudian
dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 0C selama
4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian
didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi
hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan
menggunakan rumus :
43
Kadar Abu (%) = × 100%Keterangan :
A : Berat sampel (g)
B : Berat cawan + abu (g)
C : Berat cawan (g)
3.5.3 Kadar Lemak
Penentuan kadar lemak nugget ikan swanggi dilakukan dengan metode ekstrasi
Soxhlet (AOAC, 2005). Prinsipnya adalah lemak yang terdapat dalam sampel
diekstrak dengan menggunakan pelarut non polar. Labu lemak yang akan
digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100 -105ºC. Labu lemak
didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A).
Sampel ditimbang sebanyak 2 g (B), kemudian dibungkus dengan kertas saring,
ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam sokhlet yang telah
dihubungkan dengan labu lemak. Sampel sebelumnya telah dioven dan diketahui
bobotnya. Pelarut heksan dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan
refluks atau ektraksi selama 5-6 jam atau sampai palarut lemak yang turun ke labu
lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling, dan
ditampung. Ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven
bersuhu 100-105ºC selama 1 jam. Labu lemak didinginkan dalam desikator dan
ditimbang (C). Tahap pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot
yang konstan. Penentuan kadar lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut:
44
Lemak total (%) = × 100%Keterangan :
A : berat labu alas bulat kosong (g)
B : berat sampel (g)
C : berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi (g)
3.5.4. Kadar Protein
Analisis kadar protein pada nugget ikan swanggi yang dilakukan menggunakan
metode semi mikro Kjeldhal (AOAC, 2005) yaitu oksidasi bahan-bahan
berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat, selanjutnya
amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk ammonium sulfat.
Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan
NaOH. Amonia yang diuapkan akan diikat dengan asam borat. Nitrogen yang
terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya dengan titrasi menggunakan
larutan baku asam.
Prosedur analisis kadar protein yaitu sampel ditimbang sebanyak 0,1-0,5 g,
dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 100 ml, kemudian ditambahkan 50 mg HgO,
2 mg K2SO4 dan 2 ml H2SO4, batu didih, dan di didihkan selama 1,5 jam sampai
cairan menjadi jernih. Setelah itu larutan didinginkan dan diencerkan dengan
aquades. Sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-
Na2S2O3 (dibuat dengan campuran: 50 g NaOH + 50 ml H2O + 12.5
Na2S2O35H2O). Hasil destilasi ditampung dalam Erlemeyer yang telah berisi 5
ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator PP (campuran 2 bagian metil merah 0,2%
45
dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0,2% dalam alkohol). Destilat yang
diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan
warna dari hijau menjadi abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko.
Hasil yang diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor
konversi 6,25.
Kadar Protein (%) =( ) , , × 100%
Keterangan :
VA : ml HCl untuk titrasi sampel
VB : ml HCl untuk titrasi blanko
N : normalitas HCl standar yang digunakan 14,007; faktor koreksi 6,25
W : berat sampel (g)
3.5.5. Uji Sensori
Uji sensori nugget ikan swanggi dengan penambahan tepung kacang hijau dan
tepung tapioka dilakukan terhadap tekstur, rasa, aroma, warna, dan penerimaan
keseluruhan oleh 25 orang panelis menggunakan metode Setyaningsih et al.
(2010). Pengujian sensori menggunakan uji skoring untuk parameter tekstur, rasa,
dan warna, sedangkan aroma dan parameter penerimaan keseluruhan
menggunakan uji hedonik. Skala penilaian uji sensori nugget ikan swanggi
dengan penambahan tepung kacang hijau dan tepung tapioka dilihat pada Tabel 9.
46
Tabel 9. Skala penilaian uji sensori nugget ikan swanggi
Parameter Kriteria Skor
Tekstur Padat kompak 9
Agak padat dan kompak 7Agak lembek 5Lembek 3
Rasa Sangat khas ikan 9Khas ikan 7Tidak khas ikan 5Sangat tidak khas ikan 3
Aroma Sangat suka 9Suka 7Tidak suka 5Sangat tidak suka 3
Warna Kuning keemasan 9Putih kekuningan 7Kuning kecoklatan 5Kecoklatan 3
Penerimaan keseluruhan Sangat suka 9Suka 7Tidak suka 5Sangat tidak suka 3
47
Nama :
Tanggal :
Dihadapan saudara disajikan 6 buah sampel nugget ikan yang sudah digoreng.Saudara diminta untuk memberikan tanggapan terhadap tekstur, rasa, danwarna nugget dengan menuliskan skor (uji skoring) serta aroma dankeseluruhan (uji hedonik) dengan memberikan skor penilaian 3 sampai 9. Kodesampel sesuai kriteria:
Parameter Kode Sampel
234 425 653 765 373 583
Tekstur
Rasa
AromaWarna
Penerimaankeseluruhan
Catatan: Pengamatan tekstur dilakukan dengan cara menekan sampel denganjari telunjuk dan ibu jari.
Keterangan :
Tekstur Aroma
9. Padat dan kompak 9. Sangat suka
7. Agak padat dan kompak 7. Suka
5. Agak lembek 5. Tidak suka
3. Lembek 3. Sangat tidak suka
Rasa Warna
9. Sangat khas ikan 9. Kuning keemasan
7. Khas ikan 7. Putih kekuningan
5. Tidak khas ikan 5. Kuning kecoklatan
3. Sangat tidak khas ikan 3. Kecoklatan
Penerimaan Keseluruhan
9. Sangat suka
7. Suka
5. Tidak suka
3. Sangat tidak suka
48
Nama :
Tanggal :
Dihadapan saudara disajikan 6 buah sampel nugget ikan setengah matang(sebelum digoreng). Saudara diminta untuk memberikan tanggapanterhadap tekstur (uji skoring) dan aroma nugget dengan menuliskan skor(uji hedonik) dengan memberikan skor penilaian 3 sampai 9. Kodesampel sesuai kriteria:
Parameter Kode Sampel
234 425 653 765 373 583
Tekstur
AromaCatatan: Pengamatan tekstur dilakukan dengan cara menekan sampel
dengan jari telunjuk dan ibu jari.
Keterangan :
Tekstur Aroma
9. Padat dan kompak 9. Sangat suka
7. Agak padat dan kompak 7. Suka
5. Agak lembek 5. Tidak suka
3. Lembek 3. Sangat tidak suka
71
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah nugget ikan
swanggi dengan penambahan tepung kacang hijau sebesar 30% dan tepung
tapioka sebesar 70% (P4) sesuai dengan SNI 7758:2013 yang menghasilkan
tekstur nugget setengah matang dengan skor 7,07 (padat dan kompak) dan tekstur
nugget matang dengan skor 6,56 (agak padat dan kompak), rasa dengan skor 6,70
(khas ikan), aroma nugget setengah matang dengan skor 6,84 (suka) dan nugget
matang dengan skor 7,26 (suka), warna dengan skor 7,58 (putih kekuningan) dan
penerimaan keseluruhan dengan skor 7,92 (suka). Hasil analisis kimia kadar air
nugget ikan swanggi perlakuan terbaik (P4) sebesar 50,02%, kadar abu sebesar
2,98%, kadar protein sebesar 9,83%, dan kadar lemak sebesar 4,17%.
5.2. Saran
1. Pengamatan uji sensori nugget setengah matang sebaiknya dilakukan sesudah
proses pembekuan.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lama penyimpanan
nugget ikan swanggi (priacanthus tayenus).
DAFTAR PUSTAKA
Afrisanti, D.W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelincidengan Penambahan Tepung Tempe. (Skripsi). Program Studi Peternakan.Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Alamsyah, Y. 2008. Nugget. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Amalia, U. 2012. Pendugaan Umur Simpan Produk Nugget Ikan dengan MerekDagang Fish Nugget “So Lite” . (Skripsi) . Program Studi Teknologi HasilPerikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Anggraini, D.R., Tejasari, dan Praptiningsih, Y.S. 2016. Karakteristik Fisik,Nilai Gizi dan Mutu Sensori Sosis Lele Dumbo (Clarias gariepinus)dengan Variasi Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengisi. JurnalAgroteknologi. 10(1):25-35.
AOAC. 2005. Official Methods of Analisis. Association of Official AnalitycalChemist. AOAC. Washington DC. USA.
Astawan, M. 2006. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. PenebarSwadaya. Jakarta.
Astawan, M. 2007. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. C.V.Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. PenebarSwadaya. Jakarta.
Astuti, R.T., Darmanto, Y.S. dan Wijayanti, I. 2014. Pengaruh PenambahanIsolat Protein Kedelai terhadap Karakteristik Bakso dari Surimi IkanSwanggi (Priacanthus tayenus). Jurnal Pengolahan dan BioteknologiHasil Perikanan. 3(3):47-54.
Ariyani, N. 2010. Formulasi Tepung Campuran Siap Pakai Berbahan DasarTapioka-Mocaf dengan Penambahan Maltodekstrin serta Aplikasinyasebagai Tepung Pelapis Keripik Bayam. (Skripsi). Fakultas PertanianUniversitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
73
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan [BPPMHP]. 2005.Laporan Analisa Komposisi Kimia Ikan. Departemen Kelautan danPerikanan. Jakarta.
Breemer, R., Polnaya, F. J., and Rumahrupute, C. 2010. Pengaruh KonsentrasiTepung Tapioka terhadap Mutu Nugget Ikan. Jurnal BudidayaPerikanan. 6(1):17-20.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 1995. SNI 01-3728-1995 Tentang SyaratMutu Tepung Kacang Hijau . Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2011. SNI 3451-2011 Tentang Syarat MutuTepung Tapioka. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2013. SNI 7758-2013 Tentang Syarat MutuNugget Ikan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Chen, G., Song, H. dan Ma, Ch. 2009. Aroma-active Compounds of Beijing RoastDuck. Journal Flavour and Fragrance. 24(4):186-191.
Ekafitri, R dan Isworo, R. 2014. Pemanfaatan Kacang-Kacangan sebagai BahanBaku Sumber Protein untuk Pangan Darurat. Jurnal Pangan. 23(2):134–145
Eliasson, A. C. 2006. Starch In Food. Woodhead Publishing Limited. Cambridge.England.
El-Moniem, Abd. 1999. Sensory Evaluation and In Vitro Protein Digestibility ofMung Bean as Affected by Cooking Time. Journal of the Science of Foodand Agriculture. 79: 2025-2028.
Erawaty, W. R. 2001. Pengaruh Bahan Pengikat, Waktu Penggorengan dan DayaSimpan terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Produk Nugget Ikan Sapu–Sapu (Hyposascus pardalis). (Skripsi). Program Studi Teknologi HasilPerikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut PertanianBogor. Bogor.
FAO. 1999. The Living Marine Resources od Western Central Pasific. FAOSpecies Identification Guide for Fishery Purpose. Department ofBiological Sciences Old Dominion University Norfolk. Virginia. USA.
Farahita, Yuliana, Junianto dan Kurniawati, N. (2012) Karakteristik Kimia CaviarNilem dalam Perendaman Campuran Larutan Asam Asetat dengan LarutanGaram Selama Penyimpanan Suhu Dingin (5-100C). Jurnal Perikanan danKelautan. 3(4): 165-170.
Forrest, J. D.. Aberle, E.D. Hendrick, H.B. Judge, M.D. and Merke, R.A. 1975.Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.
74
Gaman, P.M. dan Sherrington K.B . 1994. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu PanganNutrisi dan Mikrobiologi. UGM Press. Yogyakarta.
Garcon, J.S., Leis, J.M., Newman, S.J., and Harvey, E.S. 2014. PresettlementSchooling Behavior of a Priacanthid, the Purple Spotted BigeyePriacanthus tayenus (Priacanthidae: Teleostei). Environmental Biology ofFishes. 97:277-283.
Genisa., J., N. K. Sukendar, J. Langkong dan N. Abdullah. 2015. Analog BaksoSehat dari Protein Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L). JurnalAgriTechno. 8(1): 1-9.
Gumilar, J., Rachmawan, O., dan Nurdiyanti, W. 2011. Kualitas FisikokimiaNaget Ayam yang Menggunakan Filer Tepung Umbi Suweg(Amorphophallus campanulatus B1). Jurnal Fakultas Peternakan. 2(1):1-5.
Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagaiBahan Enkapsulasi Komponen Flavor. (Disertasi). Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Illene, F. 2014. Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Nugget Ikan Tuna denganProporsi Maizena dan Tepung Menjes. (Skripsi). Teknologi PertanianUniversitas Katolik Widya Mandala. Surabaya.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2017. Analisis Data Pokok Kelautan danPerikanan 2017. Pusat Data Statistik dan Informasi. Jakarta.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak. UI-Press. Jakarta.
Kusnandar. F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. PT. Dian Rakyat.Jakarta.
Ladamay, N. A. dan Yuwono, S. S.. 2014. Pemanfaatan Bahan Lokal dalamPembuatan Foodbars (Kajian Rasio Tapioka : Tepung Kacang Hijau danProporsi CMC). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(1):67-78.
Lavlinesia. 1995. Kajian Beberapa Faktor Pengembangan Volumetrik danKerenyahan Kerupuk Ikan. (Tesis). Program Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Lekahena, V.N.J. 2016. Pengaruh Penambahan Konsentrasi Tepung Tapiokaterhadap Komposisi Gizi dan Evaluasi Sensori Nugget Daging Merah IkanMadidihang. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 9(1): 1-8.
Luthana, Y. K. 2004. Maltodekstrin. http://www.yongkikastanyaluthana.Wordpress. com. Diakses 13 November 2018.
Luna, P., Herawati, H., Widowati S., dan Prianto, A.B. 2014. PengaruhKandungan Amilosa terhadap Karakteristik Fisik dan Organoleptik NasiInstan. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian. 12(1) : 1-10.
75
Malindo, R., Edison, dan Sari, N.I. 2017. Pengaruh Penambahan TepungKacang Hijau (Vigna radiata) terhadap Mutu Bakso Ikan Lele Dumbo(Clarias gariepins). (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Kelautan.Universitas Riau. Riau.
Marzuki, R dan Suprapto H. S. 2005. Bertanam Kacang Hijau. PenebarSwadaya. Jakarta.
Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB Press. Bogor.
Muchtadi, T. R. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Alfabeta. Bandung.
Murphy, P. 2000. Starch. In G. O. Phillips & P. A. Williams (Eds.). Handbookof Food Hydrocolloids. Cambridge: Woodhead Publishing.
Nurhidayah. 2011. Pengaruh Penggunaan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)terhadap Mutu Fisikokimia dan Organoleptik Nugget Patin sebagaiMakanan Sumber Protein dan Tinggi Kalsium. Departemen GiziMasyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
Putri, E. 2016. Pengaruh Penambahan Kacang Hijau dengan Proporsi yangBerbeda terhadap Kadar Protein Nugget Ikan Lele. (Skripsi). AkademiGizi Surabaya. Surabaya.
Putri, K.S. 2016. Kajian Jenis Bahan Pengisi dan Lama Pengukusan terhadapKarakteristik Nugget Ikan Nila. Jurnal Teknologi Pangan. 2(2):16-25.
Ramadhani. 2010. Nugget Ikan. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan.Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin.Makassar.
Rohayati, I. 2003. Pengaruh Suhu dan Hidrolisis Enzimatis pada ProsesDeboning terhadap Sifat-Sifat Nugget Ikan. (Skripsi). Fakultas TeknologiPertanian. Universitas Jember. Jember.
Richardson. 1984. Classification of Priacanthus tayenus. http://www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php.
Sahubawa, L. 2003. Tingkat Preference Konsumen terhadap Ikan sebagaiSumber Protein Hewani Berkualitas. Bahan kuliah Teknologi HasilPerikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM. Yogyakarta.
Setyaji, H., Suwita, V., dan Rahimsyah, A. 2012. Sifat Kimia dan FisikaKerupuk Opak dengan Penambahan Daging Ikan Gabus (Ophiocephalusstriatus). Jurnal Penelitian Universitas Jambi. 14(1) : 17-22.
Setyaningsih, D., Apriyanto, A., dan Puspita, M. 2010. Analisis Sensori untukIndustri Pangan dan Agro. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
76
Simbolon, M. V. T., Pato, U., dan Restuhadi, F. 2016. Kajian Pembuatan Nuggetdari Jantung Pisang dan Tepung Kedelai dengan Penambahan Ikan Gabus(Opiocephalus Striatus). JOM Faperta 3(1): 1-15.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta.
Soediaoetomo, A. J. 2004. Ilmu Gizi dan Profesi untuk Mahasiswa. PT. DianRakyat. Jakarta.
Sudarmadji, S., Haryono, B dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk BahanMakanan dan Pertanian. Yogyakarta.
Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugiyono. 2004. Kimia Pangan. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Suprapto dan Supratman. 2002. Kandungan Gizi Tepung Kacang Hijau.Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Suprapto, D. 2018. Pengaruh Perbedaan Metode Penggorengan terhadap KualitasFisik, Kimia dan Organoleptik Chicken Nugget. Jurnal Ilmiah FiliaCendikia. 3(1). 4-5.
Surawan, F.E.D. 2007. Penggunaan Tepung Terigu, Tepung Beras, TepungTapioka dan Tepung Maizena terhadap Tekstur dan Sifat Sensori FishNugget Ikan Tuna. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2(2):78-84.
Suryono, M., Harijono, dan Yunianta. 2013. Pemanfatan Ikan Tuna (YellowfinTuna), Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dan Sagu (Metroxylon sago Sp) dalamPembuatan Kamaboko. Jurnal Teknologi Pertanian. 14(1):9-20.
Syamsiah, I. S dan Tajudin. 2003. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih.Agromedia Pustaka. Jakarta.
Tan, H. Z., Tan B., Gao. H., and Gu, W. Y. 2006. Rheological Behaviour ofMung Bean Starch Dough. Food Science and Technology Resistent. 13(2) :103-110.
Thao, H. M and Noomhorm A. 2011. Physiochemical Properties of Sweet Potatoand Mung Bean Starch and Their Blends for Noodle Production. JournalFood Process Technology. 2(1) : 1-9.
Tjokroadikusumo, P. S. 1993. HFS dan Industri Ubi Kayu. PT. Gramedia.Jakarta.
Utafiyani, Yusasrini, N. L. A., dan Ekawati, I. G. A. 2018. PengaruhPerbandingan Tepung Kacang Hijau (Vigna radiata) dan Terigu terhadapKarakteristik Bakso Analog. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 7(1) : 12-22.
77
Wangsadinata, V. 2009. Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthusmacracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhan ratu,Sukabumi. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Wellyalina, Azima, F., dan Aisman. 2013. Pengaruh Perbandingan Tetelan MerahTuna dan Tepung Maizena terhadap Mutu Nugget. Jurnal TeknologiPangan 2(1) : 9- 17
Wenhao Li , Chang, S., Zhang, P., and Shen, Q. 2011. Properties of StarchSeparated from Ten Mung Bean Varieties and Seeds ProcessingCharacteristics. Journal Food Bioprocess Technology. 4: 814-821.
Whistler, R. and Be Miller, J. 2009. Starch: Chemistry and Technology 3rd ed.Academy press. USA. 315 pp.
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya.Jakarta.
Widrial, R. 2005. Pengaruh Penambahan Konsentrasi Tepung Maizena terhadapMutu Nugget Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). (Skripsi). FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Bung Hatta. Padang.
Widyaningsih, T.D., dan Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalinpada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Wieser, H. 2003. Determination of Gliadin and Gluten in Wheat Strach by Meansof Alcohol Extraction Ang Gel Permentation Chromatography. In Stern.M.ed. Proceedings of the 17th Meeting of the Working Group on ProlaminAnalysis and Toxicity. Zwickau Verlag Wissenschaftliche Sripten. P. 53-57.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.
Wiryowidagdo, S. 2000. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. UniversitasIndonesia. Jakarta
Yuanita, I dan Silitonga, L. 2014. Sifat Kimia dan Palatabilitas Nugget AyamMenggunakan Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengisi yang Berbeda. Journalof Tropical Animal Science. 3(1) : 1-5.