Upload
nguyenquynh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU
KEMUNDURAN?
(PHENOMENON OF CYBER LITERATURE:
A PROGRESS OR REGRESS?)1
Hilda Septriani
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
E-mail: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini ingin menyajikan perkembangan karya sastra yang dapat dianalisis
dari berbagai aspek, salah satunya melalui medium penyebarannya. Karya sastra
dikenal sebagai sebagai produk budaya yang telah melewati setiap zaman
perkembangan umat manusia, dari zaman lisan (ketika cerita dan mitos
disampaikan dari mulut ke mulut), zaman tulisan, tradisi cetak, dan saat ini di era
informasi berbasis teknologi digital. Kemajuan teknologi yang begitu pesat
memengaruhi perkembangan sastra untuk ikut menyesuaikan diri dengan
perubahan masyarakat yang bergerak ke arah yang lebih modern. Kemunculan
sastra cyber (ada juga yang menyebutnya sastra siber) di tahun 1990-an mampu
membawa angin segar karena memungkinkan terbukanya informasi secara luas
dan bebas. Sebagai media publikasi dan sarana berkreasi para penggiat sastra,
keberadaan sastra cyber juga dianggap bersifat demokratis, ada yang menilainya
sebagai kemajuan, namun juga tidak sedikit yang menganggapnya kemunduran.
Adapun penelitian ini akan menggunakan studi kualitatif dengan menerapkan
metode analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan
sastra cyber tidak terlepas dari refleksi dan cerminan dinamika sosial yang terjadi
di masyarakat.
Kata kunci : sastra cyber, teknologi, kemajuan, kemunduran
Abstract
This writing would like to present the development of literature that can be
analyzed from various aspects, one of them through the medium of dissemination.
Work of literature is known as a cultural product that has passed through every
era of human development, from the time of spoken (when the stories and myths
1 Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tanggal 10-11 Oktober 2016.
2
passed from mouth to mouth), the time of writing, printing, and now in the era of
information based digital technology. Rapid technological advances that affect
the development of literature to adjust the changes in society that are moving
towards a modern one. The appearance of cyber literature (some people called
Siber Literature) in the 1990s were able to bring fresh air because it allows
accessible information widely and freely. As a media for publications and place
for literary scholars, the existence of cyber literature is also considered to be
democratic, there is a vote as progress, but also not a few who consider it as a
regress. This study will use a qualitative study applying the method of descriptive
analysis. These results indicate that the presence of cyber literature can not be
separated from the reflection and it represents social dynamics that occur in the
society.
Keywords: cyber literature, technology, progress, regress
Pendahuluan
Karya sastra mengandung esensi dasar komunikasi yaitu penyampaian pesan (dari
sender ke receiver). Secara garis besar komunikasi tersebut dilakukan melalui: a)
interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan c) mekanisme
teknologi (Ratna, 2007). Selain itu, karya sastra juga memungkinkan terjadinya
dialog kultural yang merupakan persemaian dari munculnya bentuk-bentuk
kebudayaan baru. Karya sastra sebagai sebuah seni (bermedium bahasa)
mempunyai kapasitas untuk menerobos tembok pemisah antarmanusia dan karya
sastra sebagai seni komunikasi yang memiliki kapasitas lebih besar untuk
memengaruhi manusia dan kebudayaannya.
Karya sastra berkaitan dengan kedudukannya sebagai produk kebudayaan
juga telah melewati setiap zaman perkembangan umat manusia, dari zaman lisan
(ketika cerita dan mitos disampaikan dari mulut ke mulut), zaman tulisan, tradisi
cetak, dan saat ini di era informasi berbasis teknologi digital yang sudah sangat
maju. Teknologi digital pun erat kaitannya dengan penyebaran laju internet yang
semakin berkembang pesat. Searah dengan perkembangan teknologi tersebut,
penulisan karya sastra pun mulai merambah ke dunia maya di mana ruang batas
teks menjadi bias karena sulit untuk dilacak lagi permulaannya.
3
Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang
lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi perkembangan
kesusastraan di Indonesia. Tidak hanya itu, keberadaan sastra cyber sendiri
dipercaya sebagai refleksi realitas dinamika masyarakat yang ada saat ini.
Masyarakat yang senantiasa bergerak ke arah yang lebih modern ikut memberikan
kontribusi bagi kemunculan sastra cyber dengan mengikuti pesatnya
perkembangan teknologi komputer dan internet yang ada. Namun yang perlu
digaris bawahi ialah ternyata tidak dapat dipungkiri keberadaan sastra cyber di
Indonesia menimbulkan polemik tersendiri yang cukup kompleks untuk dapat
dipertimbangkan bagi semua elemen masyarakat.
PEMBAHASAN
Istilah sastra cyber mulai populer memang baru beberapa dekade terakhir. Lebih
tepatnya pada saat budaya internet tumbuh berkecamuk di Indonesia. Endraswara
(2013: 182-183) memaparkan definisi sastra cyber bermula dari kata cybersastra
yang dapat dirunut dari asal katanya yakni cyber, yang dalam bahasa Inggris tidak
bisa berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kata lain seperti cyberspace,
cybernate dan cybernetics. Cyberspace berarti ruang (berkomputer) yang saling
terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate berarti pengendalian
proses menggunakan komputer. Cybernetics yakni mengacu pada sistem kendali
otomatis, baik dalam sistem komputer (elektronik) maupun jaringan syaraf. Dari
pengertian ini, dapat dikemukakan bahwa cybersastra atau sastra cyber adalah
aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet.
Neuage dalam bukunya yang berjudul Influence of the World Wide Web on
Literature (1997) menyebutkan bahwa sastra cyber diperkirakan lahir untuk
pertama kalinya pada tahun 1990, namun baru semenjak tahun 1998 mulai
mencapai popularitasnya. Setelah itu, komunitas-komunitas sastra cyber banyak
bermunculan dengan memanfaatkan teknologi seperti situs, mailing list (milis),
forum, dan kini juga blog. Tidak hanya itu, berbagai macam situs dan fitur
jejaring sosial yang menawarkan publik mengembangkan kreativitas juga
memfasilitasinya melalui Wattpad, FanFiction, Twitlonger (perkembangan dari
4
Twitter), fitur catatan di Facebook, dan sebagainya. Internet seolah memberikan
iklim kebebasan yang hakiki, tanpa sensor. Semua boleh memajang karyanya dan
semua orang juga boleh mengapresiasinya dari berbagai penjuru di dunia.
Kebutuhan besar para penggiat sastra untuk berkarya dan memublikasikan
karyanya menemukan titik terang dengan adanya internet sebagai ruang sosialisasi
tanpa batas.
Selanjutnya perkembangan sastra cyber di Indonesia mulai dikenal oleh
khalayak di akhir tahun 1990-an dan ditandai dengan peluncuran buku antologi
puisi cyber berjudul Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001 di Puri Jaya,
Hotel Sahid, Jakarta yang digawangi oleh Sutan Ikwan Soekri Munaf, Nanang
Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka
tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
Kemunculan buku tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat yang
bergelut di bidang sastra, bahkan peluncuran antologi ini sempat mengundang
kritikan, baik terhadap wujud bukunya maupun terhadap kualitas puisinya.
Namun hal itu tidak membuat Usman K.J Suharjo (2001) urung mengusulkan agar
hari peluncuran buku antologi puisi cyber tersebut diperingati sebagai hari Sastra
Cyber Indonesia.
Sebenarnya selain rilisnya buku tersebut, telah terbit pula Cyber Graffiti
(2001) yakni kumpulan esai dari para kritikus sastra yang direvisi menjadi Cyber
Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), kumpulan cerita pendek Graffiti Imaji
(2002). Kemudian ada juga menerbitkan dalam format CD Antologi Puisi Digital
Cyberpuitika (2002). Antologi Puisi Digital Cyberpuitika ini merupakan terbitan
Yayasan Multimedia Sastra juga yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 3
Agustus 2002 di Lembaga Indoonesia-Perancis, Yogyakarta yang berisi 169 puisi
dari 55 penyair. Penerbitan antologi puisi dalam bentuk CD ditujukan sebagai
tanggapan atas protes penerbitan buku, demo alternatif media sastra, untuk
pengembangan sastra Indonesia dan pemersatu berbagai bidang seni dan seniman.
5
Alasan Penulis Tertarik pada Sastra Cyber
Sejak munculnya keberagaman bentuk-bentuk sastra cyber yang semakin
menjamur, anggapan sastra cyber dalam kancah kesusastraan Indonesia pun
ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Ada yang menanggapi secara
positif, namun juga tidak jarang yang melontarkan pendapat negatif. Selain
paparan yang telah disebutkan di atas, sejatinya ada beberapa alasan lain yang
membuat para penulis tertarik untuk terjun ke dunia sastra cyber. Pertama,
disinyalir penulis-penulis ingin mencari model baru kreativitas dan ingin
meninggalkan tradisi lama yang menjenuhkan. Mereka menganggap bahwa sastra
cyber adalah ladang baru yang menjanjikan. Kedua, di antara penulis tersebut ada
yang segera ingin mencari popularitas. Lewat dunia sastra cyber yang terbatas
komunitasnya, sebaliknya diri pengarang dapat mudah tersebar ke seluruh penjuru
dunia, nama mereka tak perlu harus melewati wisuda khusus karena dapat
terangkat dan segera terkenal ke seluruh jaringan cyber.
Ketiga, ada di antara mereka yang sekadar iseng bermain internet dan
ingin meloloskan diri dari penjara sastra koran. Mereka beranggapan bahwa sastra
koran dan buku terlalu hegemonik. Masing-masing penerbit memiliki strategi, ada
model KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di dalamnya sehingga tak semua
karya penulis pemula bisa dimuat. Berangkat dari alasan tersebutlah, maka dunia
sastra cyber menjadi tawaran yang menarik (Endraswara, 2013: 183). Keempat,
latar belakang yang mendorong maraknya sastra cyber juga disebabkan sulitnya
menerobos dunia penerbitan di tengah persaingan ketat yang memenjarakan ide
kreatif para penulis pemula. Dengan menayangkan karya-karya tulis ke sebuah
situs sastra atau jejaring sosial, para penulis tersebut berharap mendapatkan
tanggapan positif dari masyarakat tanpa menunggu keputusan editor yang terlalu
lama. Selain itu pemanfaatan kemajuan teknologi juga menjadi faktor pendorong
tersendiri. Oleh karenanya, jika ditilik lebih jauh lagi, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan implikasinya terhadap sastra cyber sebenarnya
juga turut berkontribusi dalam merefleksikan perubahan kondisi sosial yang
terjadi di masyarakat ke arah yang lebih modern dari sebelumnya.
6
Kendati begitu, tidak sedikit pula pandangan dan komentar yang
dilontarkan para pemerhati sastra terhadap kehadiran sastra cyber di Indonesia
kala itu. Seperti yang dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran
Republika) dalam salah satu artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul
”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”. Dalam artikel tersebut, Ahmadun
mengatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media cyber cenderung
hanyalah sebagai ”tong sampah.” Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra
cyber merupakan karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media
sastra cetak (Situmorang, 2001). Padahal sebenarnya lolos tidaknya sebuah karya
sastra dari tangan editor tidak menjamin bahwa sebuah karya memang berkualitas
dan sukses. Dan sebaliknya, tidak lolosnya sebuah karya bukan berarti karya itu
tidak berkualitas. Hal ini sudah dibuktikan oleh suksesnya buku Chicken Soup for
the Soul (CSFTS). Naskah buku CSFTS pernah ditolak oleh lebih dari 40 penerbit
besar, yang artinya juga lebih dari 40 editor menilai naskah itu tidak layak terbit.
Nyatanya, buku CSFTS menjadi international bestseller justru setelah diterbitkan
oleh penerbit kecil. Kisah tersebut menunjukkan bahwa karya yang tidak lolos
dari editor media cetak, bukan berarti bahwa karya itu hanya pantas masuk tong
sampah. Ihwal ini membuktikan bahwa yang membuat sebuah buku menjadi
karya sastra adalah pembacanya, bukan kritikus, editor atau profesor. Lalu siapa
yang membuat seorang penulis menjadi sastrawan? Jawabannya adalah pembaca.
Selama karya sastra penulis masih dinikmati, dibaca, didiskusikan dari waktu ke
waktu, maka karya sastra itu telah menjadi karya sastra dan penulisnya menjadi
sastrawan. Yang perlu disadari adalah bahwa karya sastra yang diciptakan oleh
sastrawan sejatinya berasal dari proses interaksi sosial antara pegiat sastra dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, keberadaan sastra cyber juga
akan melibatkan konstruksi masyarakat yang tengah terjadi beserta isu
permasalahan yang melengkapinya.
Pendapat lain mengenai sastra cyber juga pernah dikemukakan oleh Asep
Sambodja (Situmorang, 2004: 239) yang menyatakan bahwa meskipun sastra
cyber dicap sebagai ”Anak Haram”, ataupun ”Tong Sampah” dalam sastra
Indonesia, sastra cyber tetap memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya.
7
Seperti kata pepatah “without parents, a child can grow up”. Dikatakan demikian
karena kehidupan sastra Indonesia nyatanya masih terbelenggu dalam kanonisasi,
masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Pemegang otoritas sastra
Indonesia pertama di Indonesia adalah pemerintah kolonial Belanda yang pada
awalnya membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian diubah namanya
menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka sebagai milik Belanda dan sebagai
pemegang otoritas berjalan dalam kurun yang cukup lama yaitu hampir satu abad
sejak tahun 1900. Beliau juga mengatakan bahwa apa yang terjadi pada masa
Balai Pustaka kini dialami oleh sastrawan generasi cyber. Karya-karya mereka
yang dimuat melalui internet hanya dianggap sebagai karya yang instan.
Perdebatan-perdebatan seperti itu memang tidak dapat dipungkiri karena
kehadiran sastra cyber yang seperti dua sisi mata pisau yang bergantung dari
perspektif mana kita akan menilainya.
Meskipun seperti itu, peran sastra cyber dalam khasanah kesusastraan
Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata yakni sebagai media publikasi dan
sarana berkreasi untuk mampu melahirkan karya sesuai dengan perubahan
masyarakat pada saat itu, bahkan terkadang peranan ini menjadi karakteristik
tersendiri yang tidak dimiliki oleh sastra dalam bentuk media cetak. Dinamika
sosial yang berkembang di masyarakat disinyalir memengaruhi laju sastra cyber
dengan cukup pesat. Walaupun begitu tidak dapat diingkari perbandingan–
perbandingan antara sastra cyber dengan sastra yang diterbitkan melalui media
cetak juga mendapat sorotan yang cukup signifikan. Sastra yang diterbitkan
melalui media cetak (sastra koran/majalah) dikatakan lebih bermutu daripada
sastra yang diterbitkan melalui media elektronik (sastra cyber). Hal ini disebabkan
sastra koran hadir di hadapan pembaca melalui prosedur dan seleksi yang ketat,
sedangkan sastra cyber sebaliknya. Sastra cyber hadir tanpa prosedur yang ketat.
Oleh karena itu, siapa pun dapat memublikasikan karya-karyanya secara leluasa
untuk dinikmati oleh siapa saja dari belahan dunia mana pun tanpa memandang
apakah dia seorang yang sudah dikenal atau seseorang yang namanya belum
dikenal. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kegeraman bagi sebagian sastrawan
yang sudah senior dan mapan, namun sebenarnya kegeraman mereka tidak perlu
8
terjadi jika mereka bisa bersikap bijaksana dan merangkul para penulis sastra
cyber. Hal ini disebabkan karena perkembangan teknologi pun tidak bisa
dihindari, begitu juga sastra cyber yang lahir melaluinya. Ia sudah terlanjur lahir,
meskipun kelahirannya tidak disambut gembira oleh sebagian pelaku dan
pemerhati sastra.
Namun, sastra cyber juga memiliki kekhasan tersendiri di sisi lain yakni
reproduksi teks sastra di internet yang tidak dapat dikendalikan oleh kekuasaan
manapun. Tidak pula dihegemoni oleh kepentingan-kepentingan ekonomis
maupun politis yang ditetapkan oleh pihak penerbit yang menetapkan kriteria-
kriteria suatu karya yang layak cetak. Model sastra cyber juga sudah menjebol
sistem hegemoni “penguasa sastra koran” sehingga patut diperhitungkan
keberadaannya. Selain itu, karya sastra cyber tidak lagi menghadapi kendala
seperti jurang pemisah antara penulis dengan pembacanya yang dikuasai oleh
pihak penerbit sudah tidak ada lagi. Penulis dan pembaca hanya dipisahkan per
mouse click oleh layar komputer. Pembaca juga dapat secara langsung
mengomentari karya tersebut dan penulis mendapatkan masukan saat itu juga.
Tidak hanya itu, keunggulan sastra cyber dibandingkan dengan media lain juga
sebenarnya sudah disadari oleh beberapa peneliti sastra, seperti Melani Budianta,
dkk (2002: 24) yang menyatakan bahwa semua pihak yang terkait dengan
reproduksi dan produksi sastra akan sangat menentukan perkembangan sastra.
Terutama, jika lembaga penerbit sastra cetak yang mengayomi sastra akan
berpengaruh terhadap kondisi kesastraan. Pihak-pihak seperti penerbit, jelas dapat
membuat hambatan untuk mengekang atau menyensor karya sastra yang dianggap
kurang bagus dan tidak sesuai dengan norma yang dianut masyarakat tertentu
(ideologi). Atas dasar ini, dunia sastra cyber sangat mungkin menjadi sebuah
terobosan baru bagi para penulis agar tidak terbebani oleh sistem dalam berkarya.
Hal ini berdasar karena karya sastra pada hakikatnya bukan saja milik individu
penciptanya, akan tetapi juga milik masyarakat yang menjadi refleksi di
dalamnya.
Dilihat dari sisi lain, persaingan ketat dalam dunia cyber sebenarnya juga
tidak dapat terelakkan. Semakin banyak publik yang menikmati teknologi dan
9
internet, semakin banyak pula peminat sastra cyber. Seperti di media lain, dalam
dunia cyber juga terdapat seleksi alam di mana hanya karya berkualitas yang
dapat bertahan lama, sementara sisanya akan terbuang ke jurang. Perkelahian
yang teramat anggun di dunia cyber itu tidak mudah karena setiap saat orang bisa
memuji maupun memaki. Bila pada media cetak sebuah karya disaring oleh
seorang redaktur, maka pada dunia cyber pembaca dari berbagai pelosok dunia
akan menjadi redaktur yang menilai kualitas sebuah karya tersebut.
Dari sudut logika maupun estetika, sastra cyber sebenarnya sungguh
berbeda dengan sastra di media lain. Contohnya di media cetak, sebuah karya
dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya
sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai. Logika dalam dunia cyber
menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak, selera
pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa
yang akan dimuat), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan
seleranya. Di dunia cyber pembaca dari seluruh pelosok negeri benar-benar
memiliki kekuatan dan kebebasan mutlak untuk memilih dan menilai suatu karya
sastra yang ada di dunia cyber kapanpun dan di manapun.
Tidak hanya kebebasan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa
jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan
sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya
bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan
Indonesia, maka untuk media cyber jarak tidak lagi menjadi hambatan dan
rintangan. Oleh karena itu, proses komunikasi dan interaksi sosial yang terjalin
juga semakin luas. Kondisi suatu masyarakat di tempat tertentu yang
direpresentasikan dalam karya sastra dapat diketahui oleh individu-individu lain
meskipun terbentang jarak sangat jauh.
Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian
memikat para penggiat sastra untuk memanfaatkan dunia cyber sebagai media
ekspresif. Akan tetapi, sastra cyber juga mempunyai sisi kekurangan tersendiri
jika dibandingkan dengan laju perkembangan dunia cyber di negara lain seperti
Amerika yang sudah mengalami kemajuan dengan pesat. Dunia cyber di
10
Indonesia, khususnya sastra memang tertinggal cukup jauh. Ketertinggalan itu tak
lepas dari faktor penguasaan teknologi di Indonesia yang masih rendah. Jaringan
internet belum menjangkau seluruh pelosok negeri, bahkan komputer pun menjadi
peranti yang belum dikuasai oleh semua elemen masyarakat sehingga ada pula
keterbatasan dari sisi penggunanya untuk mengakses kemajuan teknologi yang
sudah sangat berkembang seperti sekarang ini. Berkaca dari hal tersebut, bentuk
sastra apapun medianya selayaknya perlu mendapat perlakuan yang sama dari
pemerhati dan kritikus sastra. Tidak perlu lagi ada ”penganaktirian” terhadap
karya sastra karena hal ini hanya akan menimbulkan polemik yang
berkepanjangan. Tindakan yang perlu dilakukan saat ini adalah sejatinya
memperlakukan jenis karya sastra apapun secara adil. Hal ini didasari karena
setiap karya sastra memiliki penikmat yang mempunyai selera berbeda-beda.
Kolaborasi menjadi sesuatu yang tampaknya tidak dapat dihindari di era
digital seperti sekarang ini, termasuk mengombinasikan sastra konvensional
dengan teknologi sehingga muncul varian sastra yang baru seperti sastra cyber
saat ini. Kemudian akan dipaparkan secara garis besar mengenai apa yang
dianggap kelemahan dan kelebihan yang selama ini melekat pada sastra cyber itu
sendiri.
Yang Dianggap Lemah
Kehadiran sastra cyber di Indonesia memang dapat dikatakan tergolong
muda, hal ini tentu saja dipengaruhi oleh maraknya penggunaan teknologi internet
yang saat itu tengah menjamur. Fenomena itu pun terkait juga dengan beberapa
faktor pemantik yang mendasarinya seperti sulitnya mendapatkan pengakuan
sebagai seorang penulis jika karyanya belum pernah terbit di koran atau bahkan
belum pernah menulis sebuah buku yang dilirik oleh penerbit manapun. Faruk
(2001) dalam esainya yang berjudul Cybersastra: Penjelajahan Awal terhadap
Sastra di Internet menyatakan terdapat semacam anggapan bahwa sastra di
internet dapat disebut sebagai sastra yang masih prematur, belum selesai, belum
final dan belum menjadi satu kesatuan. Eksistensinya baru final, sempurna dan
11
utuh setelah terbentuk menjadi buku: kumpulan puisi, kumpulan cerpen,
kumpulan episode dalam cerita bersambung dan sebagainya. Selain itu, ada juga
dugaan yang menggeneralisasikan bahwa seorang penulis harus menulis di media
cetak (koran), padahal dominasi sastra koran menimbulkan suatu permasalahan
tersendiri karena dikuasai oleh redaktur, kritikus dan sastrawan senior. Sastrawan
konvensional seolah tak mau berbagi singgasananya di media cetak dengan para
penulis baru karena dianggap tidak sebanding dengan mereka dan menganggap
sastra cyber adalah pelariannya.
Sutardji Calzoum Bachri adalah orang yang cukup keras mengkritik
kemunculan sastra cyber dengan mempertanyakan mutu sastra cyber dan
legitimasi sastrawan cyber karena belum jelas produktivitas mereka. Kualitas
karya sastrawan cyber menjadi pertanyaan karena tidak adanya sistem seleksi
ketat di internet, sebagaimana dilakukan oleh para editor sastra di media cetak
sehingga seolah-olah dunia cyber hanya menjadi semacam “tong sampah” (istilah
Ahmadun Y Herfanda). Selain itu, ada juga kekhwatiran akan anarkisme puitik
sastra internet sebab karya dari yang paling sufi hingga yang paling vulgar
sekalipun bisa hadir dengan bebas. Padahal jika saja sastrawan yang sibuk
mengeksistensikan dirinya tersebut menyadari bahwa di media cyber, sastrawan
mengomunikasikan karyanya langsung kepada pembaca dan pembaca diberi
kepercayaan penuh untuk menilai tanpa perantara. Apakah pembaca lebih tertarik
untuk membaca sebuah karya sastra yang sufi atau vulgar sekalipun adalah
haknya untuk menilai dan memutuskan mana yang layak ia baca atau ia ingin
lewati. Hal ini merupakan implikasi dalam menikmati sebuah karya sastra adalah
sesuatu yang bersifat personal, tidak bisa diwakili oleh seorang redaktur atau
bahkan seorang kritikus sastra. Hak pembaca ini telah lama direbut oleh redaktur
sastra konvensional (media cetak). Padahal kehidupan yang terus bergerak ke arah
yang lebih maju akan mengonstruksikan pemikiran manusianya untuk semakin
kritis dalam memilih bahan bacaannya masing-masing.
Selain itu, anggapan sisi kelemahan lain yang dimiliki oleh sastra cyber
yaitu karena karya sastra Indonesia nantinya akan semakin menjamur sehingga
karya sastra semakin miskin kritik. Pada akhirnya karya sastra Indonesia hanya
12
untuk diciptakan, tetapi sulit untuk menunjukkan capaian-capaiannya sebagai
representasi dari realitas sosial. Hal ini telah mengarah pada indikasi
ketidakjelasan pertanggungjawaban sastrawan. Perihal dugaan kelemahan lain
yang juga terdengar adalah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-
Fayyadi (2001: 170) bahwa penulis yang berkecimpung dalam sastra cyber adalah
penulis yang sedang main-main dan coba-coba dan menjadikan sastra cyber
sebagai modus operandi karena sulitnya menghalau tembok sastra koran atau
penerbitan. Ia juga berpendapat keberadaan sastra cyber hanya mereduksi sastra
sebatas pada hiburan dan entertainment belaka. Padahal sastra dipandang sebagai
hidden message yang membawa sekaligus menyiratkan pesan substansi untuk
memajukan peradaban umat manusia. Selain itu, permasalahan mengenai “hak
cipta” dan “massalisasi” juga memudahkan lahirnya plagiator dengan sistem
copy-paste yang bukan hanya pengikut atau terpengaruh paham tertentu.
Sastra cyber di sisi lain juga sebenarnya tidak bebas dari keterbatasan
sebagai akibat ketergantungannya pada jasa internet dan tersedianya komputer.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, internet dan komputer masih merupakan
barang mewah karena tidak semua daerah dapat mengaksesnya dengan leluasa.
Kondisi ini yang menyebabkan sastra cyber dapat menjadi elitis, yang mungkin
akan membatasi perkembangan sastra cyber di Indonesia. Tidak semua orang
yang berasal dari daerah-daerah di pedalaman mampu mengaksesnya dengan
mudah. Perkembangan sastra cyber juga harus mengalami keterbatasan karena
tidak meratanya kemajuan teknologi dan kemampuan individu yang bersangkutan
dalam suatu kumpulan masyarakat tertentu. Pada akhirnya, keadaan sosial dan
tolak ukur kemajuan masyarakat dapat juga memengaruhi laju sastra cyber secara
signifikan.
Yang Dianggap Lebih
Dengan keberadaan sastra cyber, rasa pesimis dan putus asa yang
menyelimuti diri para penulis yang namanya belum dikokohkan dalam buku sastra
terbitan manapun lambat laun memudar sebab dunia maya mampu menjadi wadah
13
untuk terus menghasilkan karya yang merupakan hasil dari kreativitas para
penggiat sastra seperti mereka. Hal-hal serupa nyatanya membuat keberadaan
sastra cyber semakin diakui dan tidak dipandang sebelah mata lagi jika
disandingkan dengan sastra cetak karena sebenarnya keduanya adalah medium
yang berbeda. Terkait dengan medianya, sastra cyber sejatinya memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki oleh sastra cetak.
Pertama, dalam sastra cyber, sebuah karya dapat menyebar ke berbagai
penjuru dunia hanya dalam hitungan detik dan sastra cyber menjadi ajang
publikasi yang murah dan mudah. Biaya yang dikeluarkan juga relatif terjangkau.
Kedua, seorang penulis yang memiliki homepage pribadi dapat memajang
karyanya kapan saja ia kehendaki, tanpa menunggu persetujuan editor
sebagaimana dialami sastra cetak. Oleh karenanya, sastra cyber bersifat
demokratis dan secara tidak langsung, sastra cyber juga telah berperan melahirkan
penulis-penulis baru. Ketiga, media cyber membuka ruang yang luas bagi
tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap
estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra
cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreativitas, bahkan
yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di
rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sastra karena keterbatasan
waktu dan ruang yang dimiliki oleh media cetak.
Keempat, selain menyediakan ruang terbuka bagi kebebasan estetik dan
tematik, media cyber juga membuka berbagai alternatif penyajian karya sastra.
Misalnya, tayangan puisi yang dapat diiringi oleh latar suara, musik dan grafis
yang indah. Hal ini akan membuat karya sastra dapat tersaji secara menarik,
atraktif dan sensasional yang disertai dengan kesediaan untuk memberi ruang
bebas bagi kreativitas dan dapat menjadi langkah awal bagi perkembangan tradisi
sastra cyber tersebut.
Kelima, kemunculan sastra cyber juga ikut menunjang pelestarian
lingkungan hidup. Membaca karangan sastra dari media cetak, berarti ikut
mengonsumsi kertas. Hadirnya kertas itu adalah hasil penebangan kayu dari
hutan. Makin banyak kertas dikonsumsi, makin banyak kayu ditebangi dari hutan
14
dan semakin gundul pula hutan tersebut. Lain halnya dengan media yang
dimanfaatkan oleh sastra cyber yakni komputer, hard disk, flash disk, email dan
sebagainya. Semuanya itu dalam bentuk elektronik sehingga dapat menekan
drastis penggunaan kertas. Keenam, sastra cyber dipercaya akan tumbuh menjadi
industri raksasa sebagaimana sastra cetak saat ini. Sebab, bisnis sastra cyber
menguntungkan semua pihak yang terlibat yakni mulai dari penulis, pembaca dan
penyandang dana (penerbit) yang semuanya mendapatkan kemudahan.
SIMPULAN
Kehadiran sastra cyber memang membawa keunikan tersendiri dalam khazanah
kesusastraan Indonesia maupun dunia karena melalui mediumnya yang dianggap
baru, ia tumbuh sebagai implikasi dari perkembangan zaman yang semakin
modern. Selain itu, sastra cyber juga dianggap menjadi jalan untuk merespons
dinamika kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat dengan segenap isu dan
permasalahan yang melingkupinya. Kemunculan sastra cyber di tengah-tengah
perkembangan dunia sastra memang menimbulkan pendapat yang tidak homogen
karena pada realitasnya ada beragam penilaian yang menanggapi fenomena sastra
cyber tersebut. Namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya
sastra cyber, para penulis pemula dan tentu saja pembaca diberikan kebebasan
yang seluas-luasnya untuk menulis dan membaca karya sastra yang mereka sukai.
Oleh karena itu, perselisihan antara sastrawan senior yang mempertanyakan mutu
sastra cyber seharusnya dapat dijawab dengan kemauan untuk merangkul dan
mengayomi para penggiat sastra cyber tersebut secara adil dan bijaksana.
15
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra
untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Tera.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model,
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing
Service).
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2004. “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” dalam
Situmorang, Saut (Ed) Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi
Revisi. Yogyakarta: Jendela.
Loekito, Medy. 2004. “”Cyber Puitika” dan sekitarnya” dalam Situmorang, Saut
(Ed). Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta:
Jendela.
Neuage, Terrel. 1997. Influence of the World Wide Web on literature. Victoria:
Deakin University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sambodja, Asep. 2004. “Orang Tua sebagai Sisyphus: Kasus Pelecehan terhadap
Sastrawan Generasi Cyber” dalam Situmorang, Saut (Ed) Cyber Graffiti:
Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta: Jendela.
Situmorang, Saut (Ed.). 2001. Cyber Graffiti (Kumpulan Esei). Bandung: Penerbit
Angkasa Bandung.