of 78 /78
1 FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODA MAKASSAR Oleh: Made Agus Dwianthara Sueta Pembimbing: Mappincara Warsinggih Burhanuddin Bahar PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUB SPESIALIS BEDAH DIGESTIF DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK UH/RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR 2014

FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. …

  • Author
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. …

Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODA MAKASSAR
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK UH/RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR
2014
2
FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODA MAKASSAR
Oleh:
MAKASSAR
2014
3
FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODA MAKASSAR
Oleh:
Menyetujui
Pembimbing:
DR. Dr. Burhanuddin Bahar, MSc
Ketua Divisi Bedah Digestif FK UH/
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
4
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
karya akhir ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini berjudul: FAKTOR - FAKTOR TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODA MAKASSAR, merupakan prasyarat dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Sub
Spesialis Bedah Digestif, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. DR. Dr. Abdul Kadir, Ph.D, Sp. THT-KL (K), MARS, sebagai
Direktur Utama Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, atas
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan
keahlian di rumah sakit yang beliau pimpin.
2. Prof. DR. Dr. Andi Asadul Islam, Sp. BS, sebagai Ketua Departemen Ilmu
Bedah FK UH, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan sejak
awal sampai pada akhir pendidikan saya.
3. DR. Dr. Ronald E. Lusikooy, Sp. B-KBD, sebagai Ketua Divisi Bedah Digestif
Departemen Ilmu Bedah FK UH/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, yang
banyak memberikan bantuan, bimbingan dan arahan untuk pelaksanaan
penelitian ini.
4. Dr. Mappincara, Sp. B-KBD, DR. Dr. Warsinggih, Sp.B-KBD dan DR. Dr.
Burhanuddin Bahar, MSc, sebagai pembimbing yang dengan tulus
membimbing, memberi arahan, memberi motifasi dari awal sampai karya akhir
ini selesai.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Bedah dan Divisi Bedah
Digestif beserta seluruh karyawan di lingkungan Departemen Ilmu Bedah
FK UH/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo atas bimbingan dan bantuan
yang tidak ternilai.
5
6. Teman-teman sejawat PPDS I Ilmu Bedah FK UH/RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat
berjalan, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
7. Seluruh penderita dan keluarganya atas kesediaan dan partisipasinya
untuk ikut dalam penelitian ini
8. Ayahda dr. I Nyoman Sueta dan ibunda Ni Made Suartini yang telah
memberikan dorongan dan restu dalam mengikuti pendidikan ini.
9. Adik terkasih Nyoman Triprasetyawan Sueta Putra, SE. (Alm), semasih
hidupnya selalu memberi dorongan dan motifasi untuk terus berusaha.
10. Istri tercinta Luh Wayan Khrisna Devi Suarya, SE, Ananda Putu Savitri
Sueta, Made Anindya Sueta, Nyoman Tanessa Sueta dan Ketut
Uddhava Sueta atas segala pengertian, kesabaran dan pengorbanannya
serta dorongan semangat yang tiada henti selama saya menjalani
pendidikan ini.
11. Semua pihak yang telah membantu yang belum tercantum namanya
disini
Kami menyadari karya akhir ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan
saran untuk perbaikan karya akhir ini sangat kami harapkan. Akhir kata semoga karya
akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, Mei 2014
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
1.4.1 Manfaat Ilmiah .................................................................... 4
1.4.2 Manfaat Klinis ..................................................................... 5
2.1 Definisi ........................................................................................ 6
2.3 Fisiologi ....................................................................................... 10
2.4 Epidemiologi .............................................................................. 16
2.6.1 Patofisiologi Batu Empedu ................................................. 19
2.6.2 Klasifikasi Kolelitiasis ......................................................... 20
2.7 Manifestasi Klinis ....................................................................... 23
2.8 Penatalaksanaan ........................................................................ 27
3.1 Kerangka Konsep ....................................................................... 32
3.2 Hipotesis Penelitian .................................................................... 32
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................... 33
4.3 Populasi ..................................................................................... 33
4.4 Sampel ....................................................................................... 33
4.9 Cara Kerja ................................................................................. 37
5.1 Subyek Penelitian ………………………………………….. ...... 40
5.3 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Batu Empedu ……… ....... 42
5.4 Hubungan Penderita DM dengan Batu Empedu ……… ........ . 43
5.5 Hubungan Obesitas dengan Batu Empedu ……………......... 43
5.6 Hubungan Kadar Trigliserida dengan Batu Empedu …. ........ 44
5.7 Hubungan Kadar Kolesterol dengan Batu Empedu …........... 45
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………. ......... 46
7.1 Simpulan …………………………………………………... ........ 53
7.2 Saran ………………………………………………………. ........ 54
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………............ 55
5.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Batu Empedu…………………. 42
5.4 Hubungan Penderita DM dengan Batu Empedu…………………. 43
5.5 Hubungan Obesitas dengan Batu Empedu………………………… 44
5.6 Hubungan Kadar Trigliserida dengan Batu Empedu…………….... 44
5.7 Hubungan Kadar Kolesterol dengan Batu Empedu…………….... 45
9
2.2 Gambaran Anatomi Kandung Empedu ….……………...................... 9
2.3 Kontraksi sfingter Oddi dan Pengisian Empedu ke Kandung Empedu. 12
2.4 Perbandingan Kolestrol, Lesithin, dan Garam Empedu dalam
hal Kelarutan.................. .................................................................................... 21
2.6 Kolesistektomi Laparaskopi ………………………………...……… 28 2.7 Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) ….....…………………. 30 2.8 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) ………. 31
3.1 Kerangka Konsep ………………………………………….….…………. 32
ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
HDL : High Density Lipoprotein
11
12
Batu empedu terjadi pada 10-20 % populasi dewasa di Negara
berkembang, di Amerika Serikat lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ini
dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap tahunnya. Di Inggris lebih dari 5,5 juta
orang menderita batu empedu dengan lebih dari 50 ribu orang yang menjalani
cholesistektomi setiap tahunnya (Maryan, 2008). Batu empedu dengan
berbagai komplikasinya (cholesistitis, pankreatitis, dan cholangitis) merupakan
penyebab utama morbiditas penyakit gastrointestinal yang menyebabkan
penderita dirawat di rumah sakit (Kumar, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian di Cina, Taiwan, Jepang,dan di Korea
penderita batu empedu 5–10% dari populasi dewasa. Secara klinis, insiden dari
batu empedu mengalami peningkatan pada beberapa dekade terakhir ini,
seiring dengan peningkatan konsumsi dari makanan tinggi kalori, makanan
berlemak, dan penurunan asupan makanan berserat pada populasi Asia.
Berdasarkan penelitian di Taiwan terjadi peningkatan penderita batu empedu
pada kelompok umur 20-39 tahun baik pada pria ataupun wanita, keadaan ini
menunjukan adanya perubahan resiko tinggi dari kelompok umur pada kejadian
batu empedu (Park, 2009).
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko
tinggi yang disebut ”5 Fs”: female, fertile, fat, fair dan forty. Di Amerika 10-
20 % laki-laki dewasa menderita batu empedu, di Italia 20 % wanita dan 14 %
laki-laki, sementara di Indonesia, kebanyakan lebih dari 80% gejala batu
empedu tidak nampak (Sjamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006).
Menurut Trank (2003), hiperglisemia, resistensi terhadap insulin,
hiperlipidemia, dan obesitas pada tikus merupakan faktor yang berhubungan
dengan pembentukan batu empedu. Hiperlipidemia memberikan banyak
konstribusi pada kejadian batu empedu disamping obesitas, gender wanita, dan
penyakit DM yang lama (Olokoba, 2007). Pada penelitian Rupali (2005),
didapatkan peningkatan prevalensi batu empedu pada pasien DM tipe 2.
Pembentukan batu empedu dipengaruhi oleh beberapa faktor, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya batu empedu. Faktor resiko yang mempengaruhi terbentuknya
batu empedu antara lain: jenis kelamin, usia lebih dari 40 tahun, obesitas,
hiperlipidemia, genetik, aktivitas fisik, kehamilan (resiko meningkat pada
kehamilan), diet tinggi lemak, pengosongan lambung yang memanjang, nutrisi
parenteral yang lama, dismotilitas dari kandung empedu, obat-obatan
antihiperlipidemia (clofibrate), dan penyakit lain (fibrosis sistik, diabetes mellitus,
sirosis hati, pankreatitis, kanker kandung empedu) (Maryan, 2008; Clinic staff,
2008)
Negara Barat sedangkan di Indonesia kejadian batu empedu terus meningkat
terutama pada usia muda, dan baru mendapat perhatian secara klinis,
14
faktor yang terkait dengan batu empedu. Penelitian ini merupakan penelitian
pendahuluan dan hasilnya diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian-
penelitian sejenis selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian batu
empedu ?
2. Apakah terdapat hubungan antara usia dengan kejadian batu empedu ?
3. Apakah terdapat hubungan antara kencing manis dengan kejadian batu
empedu ?
empedu ?
empedu ?
Mengetahui hubungan beberapa faktor yang terkait dengan batu empedu
pada penderita batu empedu yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat
Wahidin Sudirohusodo Makassar.
empedu.
empedu.
5. Mengetahui hubungan antara hiperlipidemia dengan kejadian batu
empedu.
1. Menambah wawasan ilmiah dan memberikan informasi baru insiden dan
faktor resiko yang berpengaruh pada terbentuknya batu empedu.
2. Sebagai data dasar penelitian - penelitian tentang batu empedu
selanjutnya.
tinggi terbentuknya batu empedu, sehingga dapat dirancang suatu
strategi pencegahan terbentuknya batu empedu.
16
membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau
pada kedua-duanya (Sjamsuhidayat, 2005; Davide F, 2008)
Gambar 2.1. Gambaran batu dalam kandung empedu.
17
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari
kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu (Hunter, 2007; Tank,
2009).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus (Price, 1995; Tank, 2009).
Sistem biliaris disebut juga sistem empedu, sistem biliaris dan hati
tumbuh bersama berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana
tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari
divertikulum akan menjadi gaallbladder (kandung empedu), ductus cysticus,
ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi
hati dan ductus hepaticus biliaris (Sjamsuhidayat, 2005).
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus
umumnya menonjol sedikit keluar ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga
kanan, di tepi lateral muskulus rectus abdominis. Sebagian korpus besar korpus
menempel dan tertanam di dalam jaringan hati. Kandung empedu seluruhnya
diliputi oleh peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat
18
Hartmann). Secara anatomis, kandung empedu terbagi menjadi : fundus
(ujung), corpus, infundibulum dan leher yang berhubungan dengan ductus
cysticus (Hunter, 2007).
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya
1-2 cm, diameter 2-3 mm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang
banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of
Heister, yang mengatur pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan
alirannya dari kandung empedu. Ductus cysticus bergabung dengan ductus
hepaticus communis menjadi ductus biliaris communis (ductus choledochus)
(Doherty, 2010).
hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya
distal papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke
saluran yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan
curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak
muara duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari
sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial
dari duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan
bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke
duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan
19
choledochus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction.
Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung distalnya dikelilingi oleh
sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum (Tank, 2009;
Doherty, 2010).
20
waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu,
dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung
empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium
(Doherty, 2010). Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein
berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi
menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga dapat
mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu diatur oleh
tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan
tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi
akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum
(Sjamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006).
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor
dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga
dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem
saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu
pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan
kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung
empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat
dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2004; Heuman, 2011)
Gambar 2.3 a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2.3 b. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu
22
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan
berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan
balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan
(Sjamsuhidayat, 2005; Hunter, 2007).
2.3.2 Pengosongan kandung empedu
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah,
menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos
yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.
Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi
lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak
(Klingensmith, 2008)
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon
ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
23
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal
akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada
keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan
tetap keluar walaupun sedikit.
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu (Tjandra,
2006)
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
24
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi
partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90
%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa
usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk
lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium.
Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena
radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu (Townsend,
2004; Klingensmith, 2008).
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma
terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain
(konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah
merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat
25
antara 600-1200 ml/hari (Guyton, 1997 ). Kandung empedu mampu
menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk
sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan
sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu
dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat
terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan
mengurangi volumenya 80-90% (Garden, 2007; Clinic staff, 2008)
2.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian
di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(Syamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006). Peningkatan insiden batu empedu
dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female (wanita),
fertile (subur)khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair (kulit putih), dan
forty (empat puluh tahun) (Reeves, 2001).
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun,
semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis (Sarr, 1996; Clinic Staff, 2008; Heuman, 2011).
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk
batu empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu.
26
Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit
hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan
Swedia (Bateson M, 1996; Kasper, 2005).
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat
sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu
dengan semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk
mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya
adalah satu dari tiga orang (Latchieet, 1996; Henry, 2005) .
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. (Garden, 2007).
4. Beberapa faktor lain
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:
obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi parenteral yang
lama (Bhangu, 2007; Garden, 2007).
2.5 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
27
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan
batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus
(Silbernagl, 2000).
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak
sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa
tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton, 1997;
Townsend, 2004).
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
28
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
(Sjamsuhidayat, 2005).
2.6 Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali
batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh
mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol
yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu
pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,
fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2007; Garden, 2007).
29
di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Bateson, 1991; Lesmana, 2006;
Bhangu, 2007).
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007).
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol
bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian
besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung
paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah
fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol
dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga
kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat
dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase
konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2007).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
b. Pembentukan nidus.
senyawa lain yang membentuk matriks batu.
Gambar 2.4. Perbandingan kolestrol, lesithin, dan garam empedu dalam hal kelarutan
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang
mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi
infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
31
menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri
dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi
(Townsend, 2004; Alina, 2008).
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi (Lesmana,
2006). Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan
pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu
yang steril (Doherty, 2010).
50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung
kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari
batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu
kolesterol (Garden, 2007).
2.7 Manifestasi Klinis
1. Asimtomatik
nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra,
2007). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu
kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik.
Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi
rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik (Hunter, 2007).
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris,
33
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam
dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik
biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris
(Beat, 2008)
3. Komplikasi
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung
empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam
dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh
rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah
saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke
ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu
makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai
tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik
”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan).
Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan
pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik
(Garden, 2007; Beat, 2008).
atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada
abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke
34
punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan
berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri
dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang (Doherty,
2010).
nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia,
intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah
terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu
dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan
obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat
bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat
menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat,
sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung
empedu (Alina, 2008).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium
dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila
terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai
obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan
menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya
berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold,
35
berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau
penurunan kesadaran sampai koma (Rachel, 2006; Alina, 2008).
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu
duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta
dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode
parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu
kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus
koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu
empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan
ikterus obstruktif (Garden, 2007).
Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2005)
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (Sjamsuhidayat,
2005; Rachel, 2006; Alina, 2008)
Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2005; Rachel,
2006; Alina, 2008; Doherty, 2010) :
36
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang
dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk
operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-
paru Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah
dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan,
pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
37
kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007).
Gambar 2.6. Kolesistektomi laparaskopi
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang
dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu
empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu
yang dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya
harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol
diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu
baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2007).
38
kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan
batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5
tahun) (Garden, 2007).
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-
manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas
pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani
terapi ini (Garden, 2007; Alina, 2008).
Gambar 2.7. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
39
di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang
bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak
masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter
oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu
empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP
dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4
dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan
perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran
empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat
(Hunter, 2007; Heuman, 2011)
(ERCP)
40
3.1 Kerangka Konsep
dibuat kerangka penelitian sebagai berikut :
Gambar 3.1 Kerangka konsep
empedu.
Batu empedu
Jenis kelamin
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Wahidin
Sudirohusodo Makassar dari bulan Januari - Desember 2013
4.3 Populasi
Semua pasien yang dirawat di ruang bedah di Rumah Sakit Umum Pusat
Wahidin Sudirohusodo Makassar
Semua pasien yang dirawat diruang bedah di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dari tahun Januari –
Desember 2013
lengkap.
pemilihan jumlah sampel sesuai dengan rumus (dikutip dari Bambang Madiono,
2002).
p : proporsi batu empedu ( 15 %)
d : tingkat ketepatan relatif yang diinginkan (5 %)
n : ( 1,96 )2 x 0,15 x 0,85
(0,05)2
kelamin, DM,.usia, obesitas, hiperlipidemia,
4.7 Definisi Operasional Variabel
1. Batu empedu adalah : merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu
empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,
bentuk dan komposisi yang bervariasi (Dorland, 2005). Pada penelitian ini
penderita dengan batu empedu diketahui dari hasil operasi ditemukan batu
pada kandung empedu.
2. Usia pasien berdasarkan pada KTP atau usia yang tercantum pada rekam
medik pasien.
3. Jenis kelamin berdasarkan KTP atau jenis kelamin yang tertera pada rekam
medik pasien.
4. Obesitas menurut WHO tahun 2000 adalah keadaan seseorang yang
memiliki nilai BMI (Body Mass Index) lebih dari 25 kg/m2 pada penduduk
asia dewasa.
yaitu trigliserida atau kolesterol total dalam plasma atau keduanya, dengan
nilai trigliserida > 2,1 mmol/l (1 mmol/l = 88,57 mg/dl), sedangkan nilai
kolesterol total > 6,5 mmol/l (1 mmol/l = 38,67 mg/dl) ( Katzung, 2002)
44
6. Kriteria DM menurut PERKENI 2006 atau yang dianjurkan ADA (American
Diabetes Association ) yaitu bila terdapat salah satu atau lebih hasil
pemeriksaan gula darah dibawah ini:
• Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) lebih atau sama dengan 200
mg/dl
• Kadar gula darah puasa (plasma vena) lebih atau sama dengan 126
mg/dl
• Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gr pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)
4.8 Hubungan Antar Variabel
Variabel Bebas: Jenis kelamin, Penderita DM.
Usia Obesitas,
pada pasien yang dirawat diruang bedah di Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo Makassar bulan Januari sampai dengan Desember 2013, sampel
diambil secara konsekutif berurutan sebesar jumlah sampel yang dibutuhkan.
Dari catatan medis dilakukan pencatatan data penderita yang meliputi
identitas, jenis kelamin, usia, BMI, hiperlipidemia dan DM. Data pasien yang
kurang lengkap akan dilengkapi melalui wawancara langsung ke pasien baik
melalui telepon maupun home visite, bila data pasien masih tidak lengkap maka
akan dieksklusikan.
Batu Empedu
Ya Tida
Kriteria ekslusi
Dari data yang terkumpul, selanjutnya diolah secara deskriptif, data
diolah dengan memakai SPSS 17.0 for Windows, uji statistik untuk mengetahui
hubungan faktor resiko dengan kejadian batu empedu dan untuk menilai
hubungan masing-masing variabel bebas (nominal) terhadap variabel
tergantung (nominal) akan dilakukan analisa Chi square test tabel 2x2 dan rasio
prevalensi, sedangkan untuk melihat kekuatan hubungan masing-masing faktor
resiko dilakukan analisa multivariat regresi logistik. Kemaknaan ditentukan
berdasarkan nilai p<0,05 dengan konfiden interval 95 %.
48
Sebanyak 196 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada
penelitian ini. Dari 196 orang tersebut sebanyak 114 (58,5 %) orang dengan
batu empedu, 101 orang perempuan (51.5 %) dan 95 orang laki-laki (48.5 %).
Usia termuda pada penelitian ini 22 tahun dan usia tertua 58 tahun dimana
rata-rata usia 38.7 tahun dengan dengan standar deviasi 7.1.
Setelah dibagi menjadi dua kelompok terdapat 86 (75.4 %) penderita
dengan batu empedu yang berusia dibawah 40 tahun dan 28 (24.6 %)
penderita berusia lebih dari 40 tahun. Berdasarkan jenis kelamin terdapat 26
(22.8 %) penderita laki – laki dengan batu empedu dan sebanyak 88 (77.2 %)
perempuan dengan batu empedu.
Sebanyak 97 (85.1 %) pasien dengan obesitas yang menderita batu empedu,
88 (77.2%) penderita dengan kadar trigliserida yang meningkat dengan batu
empedu, dan sebanyak 95 (83.3 %) pasien dengan kadar kolesterol yang
meningkat dengan batu empedu.
Umur (tahun) Jenis kelamin Laki-laki, n(%) Perempuan, n(%) Diabetes Mellitus, n(%) BMI, (kg/m2) Trigliserida, (mmol/l) Kholesterol,(mmol/l)
38.71 ± 7.1 82 (41,8 %) 114 (58,2 %) 103 (90.4 %) 25,34 ± 1.97 167.8 ± 39.1 257.3 ± 36.96
5.2 Hubungan Umur dengan Batu Empedu
Dilihat dari hubungan antara umur dengan kejadian batu empedu (tabel
5.2), setelah dilakukan uji statistik menggunakan chi-square didapatkan
hubungan yang bermakna (p= 0,001) antara umur kurang dari 40 tahun
dengan kejadian batu empedu dimana nilai rasio prevalensi 2,05. Ini berarti
bahwa umur kurang dari 40 tahun merupakan resiko potensial untuk terjadinya
batu empedu, dimana umur kurang dari 40 tahun mempunyai resiko potensial
menderita batu empedu 2 kali lebih besar dari orang yang berumur diatas 40
tahun.
50
Batu Empedu TOTAL
139
TOTAL
5.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Batu Empedu
Tabel 5.3 menunjukan hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
batu empedu, pada uji statistik menggunakan chi-square didapatkan hubungan
yang bermakna (p= 0,001) antara jenis kelamin perempuan dengan kejadian
batu empedu dimana nilai rasio prevalensi 3.38, ini berarti jenis kelamin
perempuan merupakan resiko potensial untuk terjadinya batu empedu, dimana
perempuan mempunyai resiko potensial menderita batu empedu 3 kali lebih
besar daripada laki-laki.
Batu Empedu TOTAL
51
Pada penelitian ini, dengan uji statistik menggunakan chi-square
didapatkan hubungan yang bermakna (p= 0,001) antara penderita DM dengan
kejadian batu empedu ( tabel 5.4 ), dimana nilai rasio prevalensi 5.81, hal ini
menunjukan bahwa penderita DM merupakan resiko potensial untuk terjadinya
batu empedu, dimana penderita DM mempunyai resiko potensial menderita
batu empedu 5 kali lebih besar dari orang yang tidak menderita DM.
Tabel 5.4 Hubungan Penderita DM dengan Batu Empedu
Batu Empedu TOTAL
Setelah dilakukan uji statistik menggunakan chi-square didapatkan
hubungan yang bermakna (p= 0,001) pada tabel 5.5 antara penderita dengan
obesitas dengan kejadian batu empedu dimana nilai rasio prevalensi 4.02, ini
berarti obesitas merupakan resiko potensial untuk terjadinya batu empedu,
dimana orang dengan obesitas mempunyai resiko potensial menderita batu
empedu 4 kali lebih besar dari orang yang tidak obesitas.
52
Batu Empedu TOTAL
5.6 Hubungan Kadar Trigliserida dengan Batu Empedu
Pada uji statistik menggunakan chi-square didapatkan hubungan yang
bermakna (p= 0,001) antara kadar trigliserida yang meningkat dengan kejadian
batu empedu (tabel 5.6), dimana nilai rasio prevalensi 2,14, ini berarti
peningkatan kadar trigliserida merupakan resiko potensial untuk terjadinya batu
empedu, dimana orang yang memiliki peningkatan kadar trigliserida mempunyai
resiko potensial menderita batu empedu 2 kali lebih besar dari orang yang
kadar trigliseridanya normal.
Batu Empedu TOTAL
53
Pada penelitian ini, setelah uji statistik menggunakan chi-square
didapatkan hubungan yang bermakna (p= 0,001) kenaikan kadar kolesterol
dengan kejadian batu empedu ( tabel 5.7 ), dimana nilai rasio prevalensi 2.05,
ini berarti bahwa peningkatan kadar kolesterol merupakan resiko potensial
untuk terjadinya batu empedu, dimana orang yang memiliki peningkatan kadar
kolesterol mempunyai resiko potensial menderita batu empedu 2 kali lebih
besar dari orang yang kadar kolesterol normal.
Tabel 5.7 Hubungan Kadar Kolesterol dengan Batu Empedu
Batu Empedu TOTAL
54
Berdasarkan hasil penelitian di Cina, Taiwan, Jepang,dan di Korea
penderita batu empedu 5–10% dari populasi dewasa. Secara klinis, insiden dari
batu empedu mengalami peningkatan pada beberapa dekade terakhir ini,
seiring dengan peningkatan konsumsi dari makanan tinggi kalori, makanan
berlemak, dan penurunan asupan makanan berserat pada populasi Asia (Park,
2009).
Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara umur dengan kejadian
batu empedu, dimana umur kurang dari 40 tahun memiliki hubungan bermakna
dengan kejadian batu empedu, hasil yang sama dilaporkan pada penelitian di
Taiwan terjadi peningkatan penderita batu empedu pada kelompok umur 20-39
tahun baik pada pria ataupun wanita, keadaan ini menunjukan adanya
perubahan resiko tinggi dari kelompok umur pada kejadian batu empedu (Park,
2009), sedangkan beberapa penelitian lain di Jerman dan Amerika
mendapatkan umur lebih dari 40 tahun lebih bermakna dengan kejadian batu
empedu. Abu (2007), menyimpulkan bahwa umur tidak bermakna dengan
kejadian batu empedu pada populasi di Arab Saudi. Peningkatan kejadian batu
empedu pada usia kurang dari 40 tahun pada penelitian ini kemungkinan
disebabkan interaksi dari berapa faktor yang lain yang mempengaruhi kejadian
55
batu empedu seperti wanita atau laki-laki pada usia dibawah 40 tahun juga
memiliki penyakit penyerta DM, dengan obesitas dan hiperlipidemia.
Pada kelompok jenis kelamin, insidensi perempuan lebih tinggi dibanding
laki-laki dan menunjukan hubungan jenis kelamin perempuan dengan kejadian
batu empedu bermakna pada penelitian ini. Berdasarkan penelitian otopsi
terhadap pasien kolelitiasis di Amerika menunjukkan hasil 20% wanita dan 6%
laki-laki di atas usia 40 tahun mempunyai batu empedu. Penelitian tersebut
dilakukan terhadap 20 juta pasien kolelitiasis dengan 1 juta kasus baru terjadi
setiap tahunnya. Penelitian dari Mittal juga mengatakan sekitar 10-15% dewasa
di Amerika memiliki batu empedu dan pada Negara Amerika Latin, prevalensi
batu empedu meningkat hingga 50% pada wanita ( Heuman, 2011).
Pengaruh hormon pada wanita merupakan salah satu faktor predisposisi
meningkatnya jumlah pasien wanita dibanding laki-laki. Estrogen diduga
berperan penting pada wanita dengan kolelitiasis dimana estrogen dapat
menstimulasi reseptor lipoprotein hepar dan meningkatkan pembentukan
kolesterol empedu serta meningkatkan diet kolesterol. Estrogen alamiah dan
kontrasepsi oral dapat menurunkan sekresi garam empedu dan menurunkan
perubahan kolesterol menjadi kolesterol ester (Henry, 2005).
Kakar dari Amerika mewawancarai 102 wanita berusia 41-74 tahun yang
terdiagnosa kolelitiasis dalam kurun waktu Januari 1979 dan September 1980
dengan kontrol wanita sehat 98 orang. Hasil penelitian menunjukkan resiko
batu empedu pada wanita yang menggunakan estrogen minimal satu tahun
sebelum terdiagnosa batu empedu adalah 1,18 (95% CI: 0,65-2,13).
56
kontrasepsi steroid yang mengandung estrogen dan progesterone
mempengaruhi pembentukan batu empedu pada pasien wanita dengan usia
20-44 tahun.
kejadian batu empedu, dimana DM merupakan faktor yang paling berpengaruh
untuk resiko terjadinya batu empedu dibandingkan dengan umur, jenis kelamin,
hiperlipidemia, dan obesitas. Hal serupa didapatkan pada beberapa penelitian
di Amerika, dan Canada. Penelitian di Nigeria dengan jumlah sampel 100 orang
didapatkan insiden batu empedu meningkat pada penderita DM tipe 2 dengan
puncak insidennya pada dekade 70 (Olokoba,2007). Di Iran dengan jumlah
sampel 599 yang masuk kriteria inklusi, sebanyak 12 orang (2%) pasien DM
dan 4 orang dari mereka (33.3%) dengan batu empedu, pada penelitian ini
didapatkan hubungan bermakna antara DM dengan kejadian batu empedu
(95% CI: 6,85-100,02; p<0,001) ( Farrokh, 2011). Penelitian di India sebanyak
50 sampel menunjukkan hubungan erat antara diabetes mellitus dan penyakit
batu empedu. Pada penelitian otopsi beberapa pasien di India menunjukkan
hubungan antara diabetes mellitus dan penyakit batu empedu ( Rupali, 2005)
Diabetes mellitus telah terbukti berkaitan erat dengan penyakit batu
empedu dalam analisis univariat faktor risiko individu pada kedua jenis kelamin.
Patogenesis penyakit batu empedu dengan diabetes mellitus dapat terjadi
melalui mekanisme berikut: cairan empedu orang dengan diabetes mellitus
mudah jenuh dengan kolesterol, volume kandung empedu pada keadaan puasa
lebih besar pada pasien dengan DM, ejeksi fraksi kandung empedu berkurang
57
pada kasus diabetes, serta terdapat faktor yang memodifikasi nukleasi kristal
dan sekresi lendir dari kandung empedu yang dapat membentuk batu empedu (
Rupali, 2005).
Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara obesitas
dengan kejadian batu empedu dimana pasien dengan obesitas memiliki
kemungkinan 3 kali lebih banyak menderita batu empedu daripada orang tanpa
obesitas. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh beberapa penelitian
di Asia, Amerika, dan Inggris, dimana terjadi peningkatan prevalensi dari batu
empedu pada orang dengan obesitas (Xiao, 2004).
Penelitian di propinsi Liaoning ( China ) tahun 2004 terhadap 90 ribu
wanita di dapatkan korelasi antara peingkatan BMI dengan kejadian batu
empedu dimana BMI yang meningkat akan meningkatkan juga resiko
terbentuknya batu empedu. Perempuan dengan BMI lebih dari 32 memiliki
kemungkinan menderita batu empedu 3 kali lebih besar dibandingkan dengan
perempuan dengan BMI 24 atau 25, dan perempuan dengan BMI lebih dari 45
kemungkinannya menderita batu empedu 7 kali lebih besar daripada
perempuan dengan BMI normal (Xiao, 2004)
Yekelar (2010), mengemukakan terjadinya peningkatan kejadian batu
empedu pada orang yang obesitas disebabkan oleh peningkatan kadar
kolesterol supersaturasi. Pada obesitas terjadi gangguan metabolisme lemak
dan hormonal yang mengakibatkan penurunan motilitas dari kandung empedu
sehingga meningkatkan terbentuknya batu empedu.
Shaffer (2005), mengemukakan kegemukan merupakan faktor resiko
yang penting untuk penyakit batu empedu, terutama pada perempuan.
58
HMGCoA.
Pada penelitian ini menemukan adanya korelasi antara hiperlipidemia
dengan kejadian batu empedu, hal yang sama didapatkan pada penelitian di
China selama 1 tahun dari bulan januari- desember 2007, melibatkan 3573
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimana 384 pasien dengan batu, dari
384 tersebut sebanyak 142 orang (37 %) dengan hiperlipidemia (Huang, 2007).
Penelitian Henry (2005) di Jerman dengan jumlah sampel 4000 orang, 900
orang yang memenuhi kriteria inklusi, 154 (17.4%) dengan hiperlipidemia
menunjukan hasil yang bemakna hubungan hiperlipidemia dengan kejadian
batu empedu ( 95% CI=5,9 – 81,25; p <0,05). Penelitian Halldestam di Inggris
(2009), menyimpulkan hubungan bermakna peningkatan LDL-kolesterol dengan
kejadian batu empedu.
secara statistik pada trigliserida serum dan empedu. Ada peningkatan signifikan
pada kedua density lipoprotein serum yang tinggi (HDL) dan low density
lipoprotein (LDL) jika dibandingkan dengan kontrol (p <0,01). Kolesterol bilier (p
<0,01), HDL (p <0,01) dan LDL (p <0,01) secara signifikan ketika dibandingkan
dengan sampel serum. Pada pasien cholelithiasis laki-laki, hanya kolesterol
total empedu (p <0,05) dan HDL kolesterol (p <0,001) menunjukkan kenaikan
yang signifikan. Di antara perempuan, cholelithiasis pasien ≤ 40 tahun
menunjukkan tingkat yang sangat signifikan HDL (p<0,001) dan LDL (p <0,001)
dalam serum, dan kolesterol total (p <0,001), HDL (p<0,001) dan LDL (p
59
<0,001) dalam empedu. Di antara perempuan, cholelithiasis pasien berusia> 40
tahun, kolesterol empedu (p <0,001) dan HDL (p <0,001) menunjukkan elevasi
yang signifikan secara statistik tetapi ini tidak terjadi dengan LDL empedu (p
<0,05). Seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini, ada hubungan antara
profil lipid serum dan empedu dalam menyebabkan batu empedu pada populasi
Libya. (Peela, 2011)
empedu pada orang-orang dengan hiperlipidemia, masing-masing proses
dipengaruhi oleh faktor genetik dan atau lingkungan. Proses pertama dalam
pembentukan batu empedu adalah sekresi empedu jenuh dengan kolesterol
oleh hati. Langkah kedua dalam pembentukan batu empedu adalah kristalisasi.
pengendapan kristal kolesterol memulai pembentukan batu empedu. Ketika
empedu pada kandung empedu menjadi jenuh dengan kolesterol, maka terjadi
nukleasi, flokulasi dan pengendapan kristal kolesterol, keadaan ini
menyebabkan inisiasi pembentukan batu empedu. Terdapatnya promotor
kristalisasi yang berlebihan dan kekurangan relatif dari inhibitor kristalisasi juga
penting dalam inisiasi dan pembentukan nukleasi kristal batu empedu.
Promotor dan inhibitor sebagian besar berupa protein seperti glikoprotein lender
(Chang, 2011.).
empedu jenuh yang tinggi pada kandung empedunya meskipun pasien tersebut
kurus, hal ini mungkin merupakan salah satu penyebab meningkatnya kejadian
batu empedu pada pasien dengan hipertrigliserida (Chang, 2011 )
60
Meskipun pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna
antara umur kurang dari 40 tahun, jenis kelamin perempuan, obesitas, DM, dan
hiperlipidemia, dengan kejadian batu empedu, tetapi masih terdapat beberapa
kelemahan pada penelitian ini terutama dalam jumlah sampel. Dimana jumlah
sampel yang ikut dalam penelitian ini masih kecil, masih memungkinkan adanya
interaksi antara beberapa faktor resiko untuk terjadinya batu empedu, dan
untuk menentukan hubungan faktor resiko yang lebih bermakna diperlukan
penelitian kohort.
empedu dengan resiko 3,38 kali.
2. Usia dibawah 40 tahun merupakan faktor resiko terjadinya batu
empedu dengan resiko 2,05 kali.
3. Penderita kencing manis merupaka faktor resiko terjadinya batu
empedu dengan resiko 5,81 kali.
4. Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya batu empedu dengan
resiko 4,02 kali.
2,05 kali).
(kohort) untuk mengetahui hubungan antara beberapa faktor resiko dengan
kejadian batu empedu dengan sampel yang lebih besar dan variabel yang lebih
banyak sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih menggambarkan
populasi sebenarnya, diharapkan hasil penelitian hubungan faktor resiko
dengan kejadian batu empedu sebagai bahan acuan para klinisi untuk
mengetahui kelompok resiko tinggi terbentuknya batu empedu, sehingga dapat
dirancang suatu strategi pencegahan terbentuknya batu empedu .
63
DAFTAR PUSTAKA
Abu, E.2007. Prevalence and Risk Factor of Gallstone Disease in a High Altitude Saudi Population.Mediterranee orientale.13:4.
Acalovschi,M. 2001. Cholesterol gallstones: from epidemiology to Prevention. Postgrad Med J.77:221–229. Alina ,D., Hobart ,W, H.,et al. 2008. Biliary System. In:Norton,J.A.,Barie, P.S., Bollinger, R., Chang, A.E., Lowry, S.F., Mulvihill, S.J., Pass,H.I., Thompson, R.W., editors. Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 2nd. Ed. New York: McGraw Hill.p. 911-925. Artikel Bedah.2011. Kolelithiasis, Batu Empedu.(serial online), Oct.-Des.,(cited 2011 Oct.25). Available from: URL: http://ilmubedah.info/kolelithiasis-batu- empedu-makalah-20110207.htm. Artikel Bedah.2011. Batu Empedu, Cholelithiasis, Patofisiologi.(serial online), Oct.-Des.,(cited 2011 Oct.25). Available from: URL: http://ilmubedah.info/kolelithiasis-batu-empedu-makalah-20110207.htm. Bateson, M. 1991. Batu Empedu. In: Bateson, M., editor. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan.p. 35-41. Beat, M., et al. 2008. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts Diagnosis and Treatment.In: Beat, M., editor. Clinical Surgery. New York : McGraw Hill.p. 219- 230 Beckingham, J.J. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone Disease. British Medical Journal Vol 13., 322(7278): 91–94. Bhangu, A.A. 2007. Cholelitiasis and Cholesistitis. In: Bhangu, A.A., editor. Flesh and Bones of Surgery. China: Elseiver.p.123-128. Chang,S.H.,Kuang,F.L.2011. Risk factors associated with symptomatic cholelithiasis in Taiwan: a population-based study. BMC Gastroenterol.11:111 ClinicStaff.2008.Gallstones.(serialonline), Mei.-Jun.,(cited 2008 Oct.5). Available from: URL: http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Davide,F., Ada,D., Simona, C., Ommaso ,S. 2008. Incidence of gallstone disease in Italy: Results from a multicenter, population-based Italian study (the MICOL project). World J. Gastroenterol., 14(34): 5282–5289. Doherty, G.M. 2010. Biliary Tract. In : Doherty, G.M., editor. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 13 th. Ed. New York: McGraw-Hill.p. 544-55
Hansen, J.T., Lambert, D.R.2005. Galbledder.In: Hansen, J.T., Lambert, D.R. editors. Netter’s Clinical Anatomy. USA: MediMedia.p. 200-204. Henry,V. 2005. Independent Risk Factors for Gallstone Formation in a Region with High Cholelithiasis Prevalence. Digestion. 71:97–105. Heuman, D.M. 2011. Cholelithiasis. (serial online), Jan.-Mar.,(cited 2011 Jun.5) Available from: URL: http://emedicine.medscape. com/article/175667- overview.htm.
Huang, S,R., Yuan,A.S. 2009. Nationwide Epidemiological Study of Severe Gallstone Disease in Taiwan. BMC Gastroenterology., 10.1186/1471-230X-9-63
Hunter, J.G. 2007.Gallstones Diseases. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary System. In : Brunicardi, F.C., editor. Schwart’s Principles of Surgery. 8 th.Ed. New York: McGraw-Hill.p.578-598
Latchie, M.1996. Cholelitiasis. In: Latchie, M., editor. Oxford Handbook of Clinical Surgery. Oxford University.p. 162-182. Lesmana, L. 2006. Batu Empedu. In: Sudoyo,A.W., Setiyohadi, B.,Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar Penyakit Dalam. 4th.Ed. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.p.380-384. Markus, M. L. 2001. Cholesterol gallstones. from epidemiology to prevention Postgrad Med J., 77:221–229..
65
Maryan, L.F., Chiang W. 2010. Cholelithiasis. (serial online), Mar.-Apr., ( cited 2010Jun.8).Avaliablefrom:URL:http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestin al/ topic97.htm. Nealon, T.F. 1996. Kolesistektomi Laparoskopi. In: Nealon, T.F. editor. Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.p. 394-396 Olokoba,A.B.,Bojuwoye,B.J.2007. Pevalence of Gall Stone Disease (GSD) Among Nigerian with Type 2 Diabetes Mellitus. BMJ.20:110-114 Park, Y.H., Park, S.J., Jang, J.Y. 2009. Changing Patterns of Gallstone Disease in Korea. World J Gastroenterol.,10.3748/wjg.14.5282.
Peela,J.R.,Abdalla,J.2012. Lipid Profile in Bile and Serum of Cholelithiasis Patients– A Comparative Study. Journal of Basic Medical and Allied Sciences 1:2. Price, S.A., Wilson, L.M. 1995. Kolelitiasis dan Kolesistisis. In: Prince, S.A., editor. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th. Ed. Jakarta: EGC. p. 430- 444. Reeves, C.J. 2001. Penyakit Kandung. In: Reeves, C.J., editor. Keperawatan Medika Bedah. Jakarta: Salemba Medika.p.149-151. Sarr, M.G., Cameron, J.L. 1996. Sistem empedu. In: Cameron, J.L., editor. Esentials of Surgery. 2nd. Ed. Jakarta: EGC.p.121-123.
Silbernagl,S., Lang, F. 2000. Gallstones Diseases. In: Silbernagl,S., editor. Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme. p. 164-167. Shaffer,A.E.2005. Epidemiology and Risk Factors for Gallstone Disease: Has the Paradigm Changed in the 21st Century.Gastroenterology.2:132-140. Sjamsuhidayat,R., de Jong, W. 2005. Kolelitiasis..In: Sjamsuhidayat,R., de Jong, W., editors. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd. Ed. Jakarta: EGC.p. 767-773.
Rupali, S. 2005. Gallbladder Disorder in Type 2 Diabetes Mellitus Cases. J. Hum. Ecol., 18(3): 169-171. Tank, P. W., Gest, T. R.. 2009.The Abdomen. In: Tank, P,W., Gest,T.R., editors. Atlas of Anatomy. New York: Lippincott Williams & Wilkins. p.653-661 Tjandra, J. J., Gordon, A.J.2006. Cholelitiasis. In: Gordon, A.J., editor. Textbook Of Surgery. 3 th. Ed. New Delhi:Blackwell.p.206-230. Townsend, C.M., Beauchamp, R.D., Evers. B,M., Mattox, K.L. 2004. Biliary Tract. In: Townsend, C.M., editor. Sabiston Textbook of Surgery.17th. Ed. New York: Elsevier. p.300-3010.
Xiao,O.S.2004. BMI, Physical Activity and Risk of Gallstone Disease in Chinese Women. Annals of Epidemiology.14:604-605.
Yekeler, E., Akyol, Y. 2010. Cholelithiasis. New England Journal of Medicine. Avaliable at: http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Nama :……………………….
Menikah : ya: tidak :
Alamat : -------------------------------------------------------------
Berat badan : ………………..
Tinggi badan : ………………..
Pola makan : Tinggi serat:: 1. Ya 2. Tidak
Tinggi lemak: 1. Ya 2. Tidak
Rendah serat: 1. Ya 2. Tudak
Penyakit penyerta : ------------------------------------------------------------
Jika ya berapa banyak perhari:
LAMPIRAN
68
0 g >0–20 g >20–60 g >60 g
Konsumsi kopi : 1. Ya: 2. Tidak:
Jika ya berapa banyak perhari:
1–2 gelas: 3–4 gelas:
Jenis kopi :
Jika ya jenis:
Pemakaian obat kontarasepsi: 1. Ya: 2. Tidak:
Jika ya jenisnya:
JenisKelamin * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
JenisKelamin * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 22.8% 84.1% 48.5%
Perempuan Count 88 13 101
% within BatuGB 77.2% 15.9% 51.5%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Pearson Chi-Square 71.847a 1 .000
Continuity Correctionb 69.412 1 .000
Likelihood Ratio 77.402 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 71.480 1 .000
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 39.74.
b. Computed only for a 2x2 table
70
N of Valid Cases 196
Crosstabs
klasifikasi umur * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
klasifikasi umur * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 75.4% 79.3% 77.0%
>40 Count 28 17 45
% within BatuGB 24.6% 20.7% 23.0%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
71
Pearson Chi-Square .395a 1 .529
Continuity Correctionb .209 1 .648
Likelihood Ratio .398 1 .528
Fisher's Exact Test .607 .326
Linear-by-Linear Association .393 1 .530
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.83.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
(<40 / >40)
N of Valid Cases 196 Crosstabs
Case Processing Summary
JenisKelamin * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
JenisKelamin * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 22.8% 84.1% 48.5%
Perempuan Count 88 13 101
% within BatuGB 77.2% 15.9% 51.5%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Pearson Chi-Square 71.847a 1 .000
Continuity Correctionb 69.412 1 .000
Likelihood Ratio 77.402 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 71.480 1 .000
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 39.74.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
N of Valid Cases 196
73
Crosstabs
Klasifikasi BMI * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
Klasifikasi BMI * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 85.1% 22.0% 58.7%
Normal Count 17 64 81
% within BatuGB 14.9% 78.0% 41.3%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Pearson Chi-Square 78.407a 1 .000
Continuity Correctionb 75.824 1 .000
Likelihood Ratio 83.444 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 78.007 1 .000
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33.89.
b. Computed only for a 2x2 table
74
(Obesitas / Normal)
N of Valid Cases 196
Crosstabs
Klasifikasi TG * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
Klasifikasi TG * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 77.2% 39.0% 61.2%
Normal Count 26 50 76
% within BatuGB 22.8% 61.0% 38.8%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square 29.268a 1 .000
Continuity Correctionb 27.682 1 .000
Likelihood Ratio 29.638 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 29.119 1 .000
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
(Meningkat / Normal)
N of Valid Cases 196
Crosstabs
Klasifikasi Kolesterol * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
76
% within BatuGB 83.3% 78.0% 81.1%
Normal Count 19 18 37
% within BatuGB 16.7% 22.0% 18.9%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Pearson Chi-Square .870a 1 .351
Continuity Correctionb .559 1 .455
Likelihood Ratio .862 1 .353
Fisher's Exact Test .361 .227
Linear-by-Linear Association .865 1 .352
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.48.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
N of Valid Cases 196
77
Crosstabs
Klasifikasi GDP * BatuGB 196 100.0% 0 .0% 196 100.0%
Klasifikasi GDP * BatuGB Crosstabulation
% within BatuGB 90.4% 22.0% 61.7%
normal Count 11 64 75
% within BatuGB 9.6% 78.0% 38.3%
Total Count 114 82 196
% within BatuGB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Pearson Chi-Square 94.457a 1 .000
Continuity Correctionb 91.584 1 .000
Likelihood Ratio 102.160 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 93.975 1 .000
N of Valid Cases 196
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.38.
b. Computed only for a 2x2 table
78
(Tinggi / normal)
N of Valid Cases 196