Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN HEPATITIS B KRONIS DI
INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 2005-2007
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Florencia Abon Wenge
NIM: 058114151
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN HEPATITIS B KRONIS DI
INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 2005-2007
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Florencia Abon Wenge
NIM: 058114151
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
iii
tanggal 8 Januari 2009
iv
v
Jesus is able to do more than we
expect when we believe and act in
faith, ‘cos impossible is totally
nothing in HIM, keep moving forward
^^v
Dedicated for :
God Almighty Jesus Christ,
Beloved Babe and Emak,
Neetnot and kakak Yanti
All members of Wenge Clan in
Nusantara
Those who I cherish deeply in
my heart
My future patients
‘n all my lovely friends
“But the LORD said to Moses, “Now you shall see what I will do t Pharoah; for with a strong
hand he will send them out, and with a strong hand he will drive them out of his land”.
‡Exodus 5:24‡
vi
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, karena atas
mukjizat dan cintaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Evaluasi Peresepan Pada Pasien Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007” sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi,
Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan semangat, motivasi, dorongan, kritik dan saran sampai
terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
penyusunan skripsi terutama selalu meyakinkan penulis agar cepat
menyelesaikan skripsi.
2. Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen penguji dan dosen matakuliah
Farmakoterapi III yang telah memberikan ilham dan pencerahan dalam
penyusunan skripsi kepada penulis terutama saat kuliah mngenai hepatitis.
3. dr. Fenty, MKes, Sp.PK. selaku dosen penguji serta telah memberikan saran,
masukan dan kritik dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Para dosen di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
telah memberikan bekal kepada penulis untuk praktik kefarmasiannya kelak.
viii
5. Keluarga besar, Babe dan Mak Nyak, terima kasih untuk cinta, motivasi, dan
dukungannya. Kalian adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan dalam
hidupku. Terima kasih telah membuat hidupku sangat berwarna. I luv u both.
6. Nita dan Kak Yanti, terima kasih ya buat doa dan motivasinya buat aku lulus
cepat. Terutama terima kasih buat dukungan dananya.
7. Keluarga besar di Flores, Kakek dan Nenek, Tante Nela, para sepupuku,
terutama buat Memi, Edo, Ina, para keponakanku. Terima kasih untuk doa,
dan liburan yang menyenangkan. Kalian adalah salah satu motivasiku.
8. Keluarga besar di Tanah Betawi, para sepupuku, Ketua Suku, Kak Polin, Fina,
Kak Lia, Kak Ima, Franz, akhirnya selesai juga ya, jalan-jalan dan harus
traktir aku lagi lho, kali ini tenang saja, aku tidak akan bawa skripsiku lagi.
9. Komsel dan area STTNas, DenQ, NgelQ, YunQ, Ita, TiaQ, Ratna, Lina, FloQ,
Qla, kak Nad, mbak Pie, kak Dewi, para brothers terima kasih untuk doa dan
kebersamaan selama ini. Tidak ada tempat ternyaman selain bersama kalian.
10. Sahabat-sahabatku diJogja, FanQ, SarQ, Sephin, Aline. Terima kasih untuk
kebersamaan kalian selama ini. Terima kasih sudah belajar menerima diriku
apa adanya. Ayo berjuang untuk menjadi apoteker yang luar biasa!
11. Teman-teman kosku, Maria, Ti2k, Mon2, Tia, Noni, Ratna, Kak Alya, Irin,
Indy, Jenny, Kak Vini, Kak Agar, Kak Ganda, Kak Dewi, Fira. Terima kasih
telah membuat kos serasa rumah dan senantiasa menyemangatiku. Semangat!!
12. Yoppi, yang selalu memberikan motivasi, doa dan semangat serta selalu
meyakinkanku untuk tidak stres dalam membuat skripsi. Hidup adalah pilihan!
ix
13. Sahabat-sahabatku dari TK-SMA, Zee, Said, Cyndi, Fanny, Mega, Mitha,
Heri, Nina, Lili, Sanoy. Tetangga terbaikku Dewi sekeluarga. Miss u all!
14. Teman-temanku kelas C dan kelas FKK’05, PitQ, Ticha, Suster, Presty, Ina,
Lia, Shinta, terimakasih ya buat setiap proses yang kita lalui selama ini.
15. Mbak Tisom, Sella, K Ita, Dr. Hendra dan para rekan sejawat selama
pengambilan data di ICM, ayo selesaikan datanya!! Reunian ya di ICM?!
16. Aswatiku : Monchu dan Corry, aku tetap ketuanya kan? “keluargaku di
Farmasi”: Papa Ronz, Om DonQ, Uncle E, Bibi Wisly, Putih, Bombay dan
Cucu. Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu.
17. Kak ivon, Tami, Bamby, Widdy, dan semua teman seperjuanganku selama
pembuatan skripsi. Terimakasih ya buat dukungan dan motivasinya, percaya
kalau tidak ada yang mustahil bersamaNya. Semangat!!!!bisa…bisa….bisa…..
18. Radio Impact, 100,5 FM, radio yang selalu menemani dan memotivasiku
apalagi saat begadang mengerjakan tugas, terima kasih telah mengisi hari-
hariku dengan lagu-lagu pemotivasimu. Impact FM, im more than winner!!!
19. Semua orang yang telah membuat hidupku begitu berwarna, terima kasih telah
membuat hidup ini menjadi lebih hidup dan menarik setiap harinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi
lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat menambah ilmu
pengetahuan.
Penulis
x
xi
INTISARI
Menurut World Health Organization, Indonesia merupakan negara dengantingkat endemisitas virus hepatitis B yang tergolong tinggi. Penyakit hepatitis Bdapat menjadi kronis sehingga berkembang menjadi sirosis dan kanker hati yanglazimnya berakhir pada kematian. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untukmengetahui karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, komplikasiterjadinya sirosis, dan pola pengobatan, serta mengevaluasi kerasionalanperesepan pada pasien hepatitis B kronis dengan mengacu pada keenam parameterdalam Drug Therapy Problems yaitu terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahanterapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction dandosis terlalu tinggi yang merupakan masalah-masalah yang dapat timbul selamapasien diberi terapi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental denganrancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Instrumen penelitianyang digunakan adalah lembar rekam medis pasien hepatitis B kronis.
Jumlah kasus yang dianalisis sebanyak 21 kasus. Kasus terbanyak adalahpasien yang berumur ≥30 tahun (95,2%), dengan jenis kelamin terbanyak adalahlaki-laki (81,0%) di mana sudah mengalami komplikasi sirosis hati dekompensata(47,6%). Pada penelitian ini digunakan 11 kelas terapi obat di mana tiga kelasterapi terbanyak adalah obat gizi dan darah (100%), obat saluran cerna (69,6%),dan obat infeksi (66,7%). Jenis Drug Therapy Problems yang terjadi yaitu terapiobat tanpa indikasi sebanyak 2 kasus (9,5%), perlunya tambahan terapi obatsebanyak 18 kasus (85,7%), obat yang tidak efektif sebanyak 4 kasus (19,0%),dosis terlalu rendah sebanyak 5 kasus (23,8%), adverse drug reaction sebanyak11 kasus (52,4%) dan dosis terlalu tinggi sebanyak 7 kasus (33,3%).
Kata kunci : Hepatitis B kronis, evaluasi kerasionalan resep, Drug TherapyProblems, SOAP
xii
ABSTRACT
According to WHO, Indonesia is classified as a country with highendemicity of hepatitis B virus. Hepatitis B can be chronic and become tocirrhosis that eventually will lead to hepatocellular carcinoma which may lead todeath. The goals of this study are to identify the characteristic of the patients suchas the age, the gender, the complication of cirrhosis, to determine medical pattern,and to evaluate the prescribing rationality to chronic hepatitis B in relevance to sixcategories in drug therapy problems such as unnecessary drug therapy, needsadditional drug therapy, ineffective drug, dosage too low, adverse drug reactionand dosage too high which are the problems occured as the patients is beingtreated at the instalation ward of the RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta period 2005-2007.
This study is done in a non experimental way research plan descriptiveevaluative research which have retrospective characteristic. The instrument ofthis study is medical record of hepatitis B.
All case which analized is 21 cases. The most frequency case patientsthan 30 years old (95,2%), the most gender is male (81,0%), which is patientswith cirrhosis liver decompensata (47,6%). This study used 11 drug class therapywhich is three most drug class therapy are nutrition and blood medicine (100%),gastrointestinal system disorder medicine (69,6%), and infection medicine(66,7%). The type of drug therapy problems that happened which is unnecessarydrug therapy are 2 cases (9,5%), needs additional drug therapy are 18 cases(85,7%), ineffective drug are 4 cases (19,0%), dosage too low are 5 cases(23,8%), adverse drug reaction are 11 cases (52,4%) and dosage too high are 7cases (33,3%).
Key word : chronic hepatitis B, evaluation rationality of the prescribing, DrugTherapy Problems, SOAP
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………..…………………..………………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………..…………………………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………..……………………..…… v
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................................... vi
PRAKATA………………..……………………..………………………… vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………..………………….. x
INTISARI………………..……………………..………………………….. xi
ABSTRACT………………..……………………..………………………… xii
DAFTAR ISI………………..……………………..………………………. xiii
DAFTAR TABEL………………..……………………..…………………. xvii
DAFTAR GAMBAR………………..……………………..……………… xxi
ABBREVIATIONS…………………………………………………………..xxii
BAB I. PENGANTAR………….…………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………….1
1. Perumusan masalah…………………………………………………2
2. Keaslian penelitian………………………………………………… 3
3. Manfaat penelitian…………………………………………………. 3
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 4
1. Tujuan umum……………………………………………………….4
2. Tujuan khusus……………………………………………………… 4
xiv
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA……………………………………... 5
A. Anatomi dan Fisiologi Hati……………………………………………..5
B. Hepatitis B……………………………………………………………... 6
1. Definisi…………………………………………………………….. 6
2. Etiologi…………………………………………………………….. 6
3. Perjalanan alamiah penyakit……………………………………….. 7
4. Epidemiologi……………….……………………………………….9
5. Cara penularan……………………………………………………... 10
6. Patogenesis………………………………………………………….11
7. Penampakan klinis hepatitis B kronis…….. ……………………….12
8. Diagnosis…………………………………………………………... 13
9. Pencegahan………………………………………………………… 15
C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis…………………………… 15
1. Tujuan terapi………………………………………………………. 15
2. Sasaran terapi……………………………………………………… 16
3. Outcome…………………………………………………………… 16
4. Algoritma terapi…………………………………………………… 16
5. Strategi terapi………………………………………………………. 18
6. Informasi kelas obat……………………………………………….. 19
D. Drug Therapy Problems……………………………………………….. 21
1. Peresepan yang tidak rasional………………………………………21
2. Terminologi Drug Therapy Problems …………………………….. 22
xv
3. Kategori dan penyebab umum Drug Therapy Problems…………... 23
E. Keterangan Empiris……………………………………………………. 24
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………... 25
A. Jenis dan Rancangan Penelitian………………………………………...25
B. Definisi Operasional…………………………………………………… 25
C. Subyek Penelitian……………………………………………………….28
D. Bahan Penelitian……………………………………………………….. 28
E. Lokasi Penelitian………………………………………………………..29
F. Tata Cara Penelitian…………………………………………………….29
1. Tahap perencanaan…….……………………………………………29
2. Tahap pengambilan data………………………………………….... 29
3. Tahap penyelesaian data……………………………………………30
G. Tata Cara Analisis Hasil……………………………………………….. 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………. 34
A. Karakteristik Pasien Hepatitis B Kronis………………………………. 34
1. Berdasarkan kelompok usia……………………………………….. 35
2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin……………………………… 36
3. Berdasarkan terjadinya komplikasi……………………………….. 36
B. Pola Pengobatan Pasien Hepatitis B Kronis…………………………… 36
1. Obat yang bekerja pada saluran cerna…………………………….. 38
2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler.. 39
3. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan………………. 40
4. Obat yang bekerja pada system saraf pusat………………………... 41
xvi
5. Obat yang bekerja sebagai analgesik……………………………….41
6. Obat-obat hormonal…………………….………………………….. 42
7. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi……………............43
8. Antineoplastik dan imunomodulator……..…………………………44
9. Obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi…………………….44
10. Obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah…..………………… 45
11. Obat system hepatobilier……………………………………………46
C. Kajian Drug Therapy Problems (DTPs)………………………………..47
1. Dosis terlalu rendah ……………………………………………….. 69
2. Obat yang tidak efektif ……………………………………………..70
3. Dosis terlalu tinggi……………………………………………….....70
4. Terapi obat tanpa indikasi…………………………………………..70
5. Adverse Drug Reaction…………………………………………......71
6. Perlu tambahan terapi obat………………………………………….72
D. Rangkuman Pembahasan………………………………………………. 72
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... 75
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 75
B. Saran…………………………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 77
BIOGRAFI PENULIS……………………………………………………... 79
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel I Kategori Drug Therapy Problems................................... 23Tabel II Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronis
berdasarkan Kelompok Usia di Instalasi Rawat InapRSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode2005-2007……………………………………… ……... 35
Tabel III Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronisberdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat InapRSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode2005-2007……………………………………………… 36
Tabel IV Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronisberdasarkan Komplikasi Sirosis di Instalasi Rawat InapRSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode2005-2007………………………………………............ 36
Tabel V Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Hepatitis B Kronisyang Dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP.Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007................... 37
Tabel VI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yangBekerja pada Sistem Saluran Cerna yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode2005-2007........................................................................ 38
Tabel VII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yangBekerja pada Sistem Kardiovaskuler yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronidi Instalasi RawatInap RSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................39
Tabel VIII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yangBekerja pada Sistem Saluran Pernapasan yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi RawatInap RSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................40
Tabel IX Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yangBekerja pada Sistem Saraf Pusat yang Digunakan padaTerapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat InapRSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007.......................................................... 41
Tabel X Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Analgesikyang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis BKronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.SardjitoYogyakarta Periode 2005-2007....................................... 41
Tabel XI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Infeksiyang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis
xviii
di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. SardjitoYogyakarta Periode 2005-2007....................................... 42
Tabel XII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis ObatHormonal yang Digunakan pada Terapi KasusHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007................... 43
Tabel XIII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Gizi danDarah yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis BKronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. SardjitoYogyakarta Periode 2005-2007............................... 44
Tabel XIV Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat OtotSkelet dan Sendi yang Digunakan pada Terapi KasusHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007................... 44
Tabel XV Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yangBekerja pada Sistem Hepatobilier yang Digunakan padaTerapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi RawatInap RSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007.......................................................... 45
Tabel XVI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis ObatAntineoplastik dan Imunomodulator yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................46
Tabel XVII Kajian DTPs Kasus 1 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................48
Tabel XVIII Kajian DTPs Kasus 2 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................49
Tabel XIX Kajian DTPs Kasus 3 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................50
Tabel XX Kajian DTPs Kasus 4 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................51
Tabel XXI Kajian DTPs Kasus 5 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................52
Tabel XXII Kajian DTPs Kasus 6 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................53
Tabel XXIII Kajian DTPs Kasus 7 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................54
Tabel XXIV Kajian DTPs Kasus 8 Hepatitis B Kronis di Instalasi
xix
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................55
Tabel XXV Kajian DTPs Kasus 9 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................56
Tabel XXVI Kajian DTPs Kasus 10 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................57
Tabel XXVII Kajian DTPs Kasus 11 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................58
Tabel XXVIII Kajian DTPs Kasus 12 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................59
Tabel XXIX Kajian DTPs Kasus 13 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................60
Tabel XXX Kajian DTPs Kasus 14 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................61
Tabel XXXI Kajian DTPs Kasus 15 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................62
Tabel XXXII Kajian DTPs Kasus 16 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................63
Tabel XXXIII Kajian DTPs Kasus 17 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................64
Tabel XXXIV Kajian DTPs Kasus 18 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................65
Tabel XXXV Kajian DTPs Kasus 19 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................66
Tabel XXXVI Kajian DTPs Kasus 20 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................67
Tabel XXXVII Kajian DTPs Kasus 21 Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................68
Tabel XXXVIII Kasus DTPs Dosis Terlalu Rendah padaHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat InapRSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................69
xx
Tabel XXXIX Kasus DTPs Obat Yang Tidak Efektif padaHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat InapRSUP Dr. Sardjito YogyakartaPeriode 2005-2007...........................................................70
Tabel XXXX Kasus DTPs Dosis Terlalu Tinggi padaHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007................... 70
Tabel XXXXI Kasus DTPs Terapi Obat Tanpa Indikasi padaHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007................... 70
Tabel XXXXII Kasus DTPs Adverse Drug Reaction padaHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat InapRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007........ 71
Tabel XXXXIII Kasus DTPs Perlu Tambahan Terapi ObatHepatitis B Kronis di Instalasi Rawat InapRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007........ 72
xxi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Hepar....................................................................... 5
Gambar 2 Virus Hepatitis B.................................................... 7
Gambar 3 Grafik Petanda Serologi Hepatitis B Kronis........ 14
Gambar 4 Algoritma Terapi Hepatitis B Kronis................... 17
xxii
ABBREVIATIONS
1. ADR : adverse drug reaction2. AFP : alfa fetoprotein3. ALP : fosfatase alkalis4. ALT : alanine transamonase5. anti HBc : antibodi HbcAg6. anti Hbe : antibodi HbeAg7. anti HBs : antibodi HbsAg8. APTT : activated partial thromboplastine time9. ARF : acute renal failure10. AST : aspartate transaminase11. BAB : buang air besar12. BAK : buang air kecil13. BANN : batas atas nilai normal14. Bil. : bilirubin15. BP : blood pressure16. CaCO3 : kalsium karbonat17. dbn : dalam batas normal18. CKD : chronic kidney disease19. CM : compos mentis20. DL : diagnosa lain21. DNA : deoxyribose nucleid acid22. DTPs : drug therapy problems23. DU : diagnosa lain24. e o 2dd u e ODS : eye ointment 2 de die usus externa optic dextra sinistra25. ec : et causa26. EPS : enteral protein susu27. FDA : food and drug association28. GGT : gama glutamil transferase29. GNC : glomerulonephritis chronic30. HBcAg : hepatitis B core antigen31. HBeAg : hepatitis B envelope antigen32. HBIg : hepatitis B imunoglobulin33. HBsAg : hepatitis B surface antigen34. HMRS : hari masuk rumah sakit35. HSMRS : hari sebelum masuk rumah sakit36. Inf. : infus37. Inj. : injeksi38. MSMRS : minggu sebelum masuk rumah sakit39. Prot. : protein40. PTT : prothrombin partial time41. RKH : rendah karbohidrat42. RM : rekam medis43. RPD : riwayat penyakit dahuli
xxiii
44. RPK : riwayat penyakit keluarga45. RR : respiration rate46. RSUP : rumah sakit umum pemerintah47. SOAP : subjectif, objectif, assessment, plan48. SGOT : serum glutamik oksaloasetik transaminase49. SGPT : serum glutamik pyruvik transaminase50. t.a.k : tidak ada kelainan51. TKTP : tinggi kalori tinggi protein52. Unconj. : unconjugated53. VHA : virus hepatitis A54. VHB : virus hepatitis B55. VHC : virus hepatitis C56. VHD : virus hepatitis D57. VHE : virus hepatitis E
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat endemisitas virus hepatitis B
yang tergolong tinggi menurut pembagian World Health Organization (Anonim,
2002). Penyakit hepatitis B dapat menjadi kronis sehingga berkembang menjadi
sirosis dan kanker hati yang lazimnya berakhir pada kematian (Soemoharjo, 2008).
Hati merupakan organ metabolisme utama, maka gangguan faal hati akan
menyebabkan menurunnya kemampuan eliminasi obat-obat yang mengalami
metabolisme hepatal sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis (Anonim, 2008 e).
Dalam peresepan bagi pasien hepatitis B kronis diperlukan kerasionalan peresepan
yang meliputi kriteria menurut Cipolle dan Strand (2004) antara lain adanya terapi
obat tanpa indikasi, indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, ketidakefektifan
pemilihan obat, dosis yang kurang, terjadinya adverse drug reaction, dan dosis yang
berlebih dalam penggunaan obat di RSUP Dr. Sardjito pada periode 2005-2007.
Penanganan penderita hepatitis B kronis harus dilakukan dengan benar untuk
meminimalkan berkembangnya penyakit tersebut menjadi sirosis dan kanker hati
(Anonim, 2002).
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan dan dibanyak negara pada berbagai tingkat pelayanan
kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh
dari keadaan optimal dan rasional (Anonim, 2008 a).
2
Di Indonesia juga marak ditemukan penggunaan obat yang tidak rasional
seperti pemakaian beberapa obat sekaligus yang memiliki indikasi yang sama dan
pemakaian obat yang sebenarnya tidak diperlukan (Sabrina, 2008).
Adapun pemilihan RSUP Dr. Sardjito sebagai tempat penelitian
dikarenakan lebih banyak kasus hepatitis B kronis dibanding di rumah sakit lain
karena RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit rujukan bagi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah bagian Selatan, selain itu RSUP Dr. Sardjito
merupakan rumah sakit umum pendidikan kelas A yang sudah menyediakan
pelayanan kesehatan spesialistis dan sub spesialistis (Anonim, 2008 d).
1. Perumusan masalah
Masalah yang dapat dirumuskan mengenai kerasionalan peresepan pada
pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah :
a. bagaimana karakteristik kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 yang meliputi usia,
jenis kelamin dan terjadinya komplikasi sirosis?
b. bagaimana pola pengobatan kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat
Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007?
c. bagaimana Kajian Drug Therapy Problems yang terjadi pada kasus
hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode 2005-2007, yang meliputi:
1) apakah ada terapi obat tanpa indikasi?
2) apakah ada indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi?
3) adakah pemakaian obat yang tidak efektif?
3
4) apakah dosis yang diterima pasien kurang?
5) apakah terjadi adverse drug reaction?
6) apakah dosis yang diterima pasien berlebih?
2. Keaslian penelitian
Berdasarkan penelusuran penulis, penelitian mengenai hepatitis B sudah
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut:
a. Kajian Drug Related Problems (DRPs) pada Kasus Hepatitis B Non Komplikasi
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-
Juni 2007 (Primawati, 2008).
b. Faktor Resiko Seropositif HBsAg Pada Tenaga Kesehatan di RSUP Dr. Sardjito
(Gugun, 2007).
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Primawati berbeda dalam
hal subjek dan lokasi penelitian sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gugun berbeda dalam hal subjek dan rancangan penelitian.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan masukan untuk
meningkatkan mutu pengobatan pada pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
b. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kerasionalan
peresepan pada pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
4
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.
2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khususnya yaitu :
a. mengetahui karakteristik kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 meliputi usia, jenis
kelamin dan komplikasi terjadinya sirosis.
b. mengetahui pola pengobatan kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat
Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.
c. mengetahui Kajian Drug Therapy Problems yang terjadi pada kasus
hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode 2005-2007, yang meliputi:
1) mengetahui adanya terapi obat tanpa indikasi
2) mengetahui adanya indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi
3) mengetahui adanya ketidakefektifan dalam pemilihan obat.
4) mengetahui adanya dosis yang kurang.
5) mengetahui terjadinya adverse drug reaction.
6) mengetahui adanya dosis berlebih.
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar 1500 gram,
atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Permukaan superior hati
berbentuk cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian
kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap ginjal kanan,
lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki 2 lobus utama, kanan dan kiri (Price dan
Wilson, 1994). Permukaannya dilintasi oleh berbagai pembuluh darah yang masuk-
keluar hati. Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui
arteri hepatika dan yang melalui vena porta (Pearce, 2008).
Gambar 1. Hepar (Anonim, 2008 b)
6
Pembuluh darah pada hati adalah arteri hepatika, yang keluar dari aorta dan
memberikan seperlima darahnya kepada hati. Vena porta yang terbentuk dari vena
lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan empat perlima darahnya ke
hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70% sebab beberapa O2 telah
diambil oleh limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat
makanan yang telah diabsorpsi oleh mukosa usus halus. Vena hepatika
mengembalikan darah dari hati ke vena kava inferior. Di dalam vena hepatika tidak
terdapat katup. Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang menjelajahi
seluruh hati, dua yang masuk, yaitu arteri hepatika dari vena porta dan dua yang
keluar, yaitu vena hepatika dan saluran empedu (Pearce, 2008).
B. Hepatitis B
1. Definisi
Hepatitis merupakan istilah yang secara umum menunjukkan adanya
inflamasi pada hati (Anonim, 2002). Hepatitis secara klinis digolongkan menjadi
Hepatitis A (VHA), Hepatitis B (VHB), delta Hepatitis (VHD), Hepatitis C (VHC),
dan Hepatitis E (VHE). Virus hepatitis G juga telah diuraikan, walaupun perannya
secara klinis masih belum jelas (DiPiro et al., 2005). Hepatitis B kronik adalah
adanya persistensi virus hepatitis B lebih dari 6 bulan yang masih disertai dengan
viremia (Soemoharjo, 2008).
2. Etiologi
Virus hepatitis B (VHB), merupakan hepadnavirus, yang berdiameter 42
nm yang sebagian merupakan virus double stranded, tersusun oleh inti nukleokapsid
27 nm (HBcAg), yang dilapisi oleh lapisan luar lipoprotein (yang disebut envelope)
7
mengandung antigen permukaan (HBsAg) (Anonim, 2002). Dalam nukleokapsid
didapatkan kode genetik virus hepatitis B yang terdiri dari DNA untai ganda dengan
panjang 3200 nukleotida (Soemoharjo, 2008). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri
atas lipoprotein dan menurut sifat imunologik proteinnya VHB dibagi menjadi 4
subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting,
karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam penyebarannya. Virus
hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari (Siregar,
2008).
Gambar 2. Virus Hepatitis B (Anonim, 2008 c)
3. Perjalanan alamiah penyakit
Infeksi hepatitis mempunyai manifestasi klinik yang berbeda tergantung
usia pasien saat terinfeksi, status imun dan tingkat keparahan saat penyakit
didiagnosis. Selama fase inkubasi (6 sampai 24 minggu), pasien akan merasakan
sakit disertai gejala nausea, vomitus, diare, anoreksia dan sakit kepala. Sebagian
8
besar pasien dewasa dapat sembuh seutuhnya dari infeksi VHB, tetapi sekitar 5-10%
tidak dapat sembuh dan berkembang menjadi carrier asimptomatik atau berkembang
menjadi hepatitis kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis dan/atau kanker hati
(Anonim, 2002). Ada 4 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik,
yaitu :
a. fase imunotoleransi (immune tolerance)
Ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar VHB DNA yang tinggi, kadar
ALT yang normal dan gambaran histologi hati yang normal atau perubahan
minimal.
b. fase imunoaktif /fase hepatitis kronik HBeAg positif (immune clearance)
Ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar VHB DNA yang tinggi atau
berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histologi jaringan
hati yang menunjukkan peradangan yang aktif. Outcome dari fase ini adalah
terjadinya serokonversi HBeAg menjadi anti HBeAg.
c. fase inactive carrier
Ditandai dengan HBeAg yang negatif, anti-HBe positif, kadar VHB DNA
yang rendah atau tidak terdeteksi (<100.000 IU/mL), gambaran histologi
hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau hepatitis yang ringan.
d. fase reaktivasi/fase hepatitis kronik HBeAg negatif
Ditandai dengan HBeAg negatif, anti-HBe positif, kadar VHB DNA yang
positif atau dapat dideteksi, kadar ALT yang meningkat serta gambaran
histologi hati menunjukkan proses nekroinflamasi yang aktif (Lesmana,
2006).
9
4. Epidemiologi
Virus Hepatitis B berjangkit di seluruh dunia. Tingkat carrier HBsAg
tertinggi berada di negara berkembang yang masih primitif atau negara dengan
fasilitas medis yang masih minim. Menurut tingginya prevalensi infeksi VHB, WHO
membagi dunia menjadi 3 macam daerah yaitu :
a. daerah endemisitas tinggi
Penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas
terendah frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%. Daerah
endemisitas tinggi meliputi Afrika, negara Asia sebelah timur India
termasuk Cina, pulau-pulau di Lautan Pasifik, Lembah Amazon, daerah
pesisir Artik, sebagian negara Timur Tengah, Asia Kecil dan Kepulauan
Karibia serta Asia Tenggara termasuk Indonesia.
b. daerah endemisitas sedang
Didaerah endemisitas sedang penularan yang terjadi pada masa perinatal
dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar
2-10%. Daerah endemisitas sedang meliputi Eropa Selatan, Eropa Timur,
sebagian Rusia, sebagian negara Timur Tengah, Asia Barat, India, Jepang,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan
c. daerah endemisitas rendah
Penularan utama terjadi pada masa dewasa. Penularan pada masa perinatal
dan kanak-kanak sangat jarang. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar
kurang 2%. Daerah endemisitas rendah meliputi Amerika Utara dan Eropa
10
Barat, sebagian Rusia, dan sebagian Afrika Selatan, Australia dan Selandia
Baru (Soemoharjo, 2008).
Di Indonesia, tingkat endemisitas daerah Indonesia bagian Timur lebih
tinggi dibandingkan dengan Indonesia bagian Barat dimana subtipe yang banyak
didapatkan adalah subtipe adw (Soemoharjo, 2008).
5. Cara penularan
Ada 2 jenis cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horisontal dan vertikal.
a. Penularan horisontal
1) penularan melalui kulit
Terbagi menjadi 2 yaitu penularan melalui kulit melalui yang
disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral) misalnya melalui
suntikan, transfusi darah atau pemberian produk yang berasal dari darah
dan tato. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan
yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau
abrasi kulit, dan radang kulit.
2) penularan melalui selaput lendir
Selaput lendir yang dapat menjadi tempat masuk infeksi VHB adalah
selaput lendir mulut, mata hidung, saluran makanan bagian bawah dan
selaput lendir genitalia.
b. Penularan vertikal
Penularan infeksi VHB dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya yang
dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran (prenatal), selama persalinan
(perinatal) dan setelah persalinan (postnatal) (Soemoharjo, 2008).
11
6. Patogenesis
Pada manusia, hati merupakan target organ bagi HVB. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian
mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB
melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan
keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi;
pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan sel hati untuk
membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru
(Siregar, 2008). Jadi, sebenarnya virus yang ada di dalam tubuh penderita ini dibuat
sendiri oleh hepatosit penderita yang bersangkutan dengan genom VHB yang
pertama sebagai cetak biru (Soemoharjo, 2008).
Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan
hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi
(Siregar, 2008). Pada kasus-kasus hepatitis B akut respon imun tersebut berhasil
mengeliminasi sel-sel hepar yang terkena infeksi VHB sehingga terjadi nekrosis sel-
sel yang mengandung VHB dan terjadi gejala klinik yang diikuti dengan
kesembuhan. Pada sebagian penderita respon imun tersebut tidak berhasil
menghancurkan sel-sel yang terinfeksi sehingga VHB tersebut tetap mengalami
replikasi (Soemoharjo, 2008).
Pada kasus-kasus dengan hepatitis B kronik, respon imun tersebut ada, tetapi
tidak sempurna sehingga hanya terjadi nekrosis pada sebagian sel hati yang
mengandung VHB dan masih tetap ada sel hati yang terinfeksi yang tidak mengalami
12
nekrosis sehingga infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya. Pada pengidap HBsAg
asimtomatik respon imun tersebut sama sekali tidak efektif sehingga tidak ada
nekrosis sel hati yang terinfeksi dan virus tetap mengadakan replikasi tanpa adanya
gejala klinik (Soemoharjo, 2008). Infeksi VHB dapat menjadi hepatitis kronis
kemudian berkembang menjadi sirosis, dan akhirnya menjadi kanker hati, yang
biasanya terjadi setelah jangka waktu 30 sampai 50 tahun (Anonim, 2002).
7. Penampakan klinis hepatitis B kronis
a. Tanda dan gejala
1) mudah letih, ansietas, anoreksia, dan malaise
2) asites, jaundis, pendarahan variseal, dan ensefalopatik hepatik yang
merupakan manifestasi dari sirosis dekompensasi
3) ensefalopati hepatik yang berhubungan dengan hipereksitabilitas,
gangguan mental, bingung, obtudansi (kesadaran berkabut), yang pada
akhirnya koma
4) muntah dan kejang
b. Pemeriksaan fisik
1) sklera ikterik, kulit dan sekresi
2) menurunnya bowel sounds, meningkatnya lingkar abdominal dan
terdeteksinya gelombang cairan
3) asterixis (gangguan motorik)
4) angiomata spider (vaskular spider)
c. Pemeriksaan laboratorium
1) adanya HBsAg lebih dari 6 bulan
13
2) peningkatan intermitent transaminase hepatik (ALT dan AST) dan DNA
VHB>105 kopi/ml
3) biopsi hati untuk mengklasifikasikan menjadi hepatitis kronis persisten,
hepatitis kronis aktif dan sirosis
Hepatitis B kronik dapat terjadi walaupun tanpa penampakan tanda dan
gejala, serta pemeriksaan fisik seperti diatas (DiPiro et al., 2005).
8. Diagnosis
Diagnosis pasti hepatitis B dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan
laboratorium seperti dibawah ini:
a. HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen) yaitu suatu protein yang merupakan
selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada
saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB (Soemoharjo, 2008).
Bila HBsAg menetap setelah lebih dari 6 bulan artinya hepatitis telah
berkembang menjadi kronis (Sari, 2008).
b. Anti-HBs merupakan antibodi terhadap HBsAg. Anti-HBs yang positif
menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap
infeksi VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami ataupun
setelah dilakukan imunisasi hepatitis B (Soemoharjo, 2008).
c. HBeAg merupakan suatu protein nonstruktural dari VHB yang disekresikan
kedalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core
(Soemoharjo, 2008). Bila positif berarti virus sedang replikasi dan infeksi
terus berlanjut. Apabila hasil positif menetap sampai 10 minggu akan
berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Individu yang positif HBeAg dalam
14
keadaan infeksius dapat menularkan penyakitnya baik terhadap orang lain,
maupun ibu ke janinnya (Sari, 2008).
d. Anti-HBe (antibodi HBeAg) Positifnya anti-HBe menunjukkan bahwa
VHB ada dalam fase nonreplikatif (Soemoharjo, 2008).
e. HBcAg (antigen core hepatitis B) merupakan antigen core (inti) VHB yang
berupa protein dan dibuat dalam inti sel hati yang terinfeksi VHB. HBcAg
positif menunjukkan keberadaan protein dari inti VHB (Sari, 2008).
f. Anti-HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B). Antibodi ini ada 2
tipe yaitu IgM anti-HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti-HBc tinggi artinya
infeksi akut, IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc yang negatif
menunjukkan infeksi kronis atau pernah terinfeksi VHB (Sari, 2008).
Gambar 3. Grafik Petanda Serologi Hepatitis B Kronis (Anonim, 2008 f)
9. Pencegahan
a. Imunisasi pasif
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dibuat dari plasma yang mengandung
anti-HBs titer tinggi (>105 IU/ml) sehingga dapat memberikan proteksi
15
secara cepat meskipun hanya untuk jangka waktu yang terbatas (3-6 bulan).
Pada orang dewasa, HBIg diberikan dalam waktu 48 jam pasca paparan
VHB. Pada bayi dari ibu pengidap VHB, HBIg diberikan seyogyanya
bersamaan dengan vaksin VHB disisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam
setelah lahir. Bila HBsAg ibu baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg
dapat diberikan bila usia bayi ≤7 hari. HBIg tidak dianjurkan untuk
diberikan sebagai upaya pencegahan pra-paparan namun hanya diberikan
pada kondisi pasca paparan (profilaksis pasca paparan).
b. Imunisasi aktif
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi
bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular VHB. Tujuan akhirnya
adalah menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun, menurunkan
risiko karsinoma hepatoseluler, dan eradikasi virus (Lesmana, 2006).
C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis
1. Tujuan terapi
a. Tujuan utama
Untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB sehingga akan
mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau
mengurangi nekroinflamasi (Lesmana, 2006).
b. Tujuan jangka pendek
1) Mengurangi inflamasi hati
2) Mencegah terjadinya dekompensasi hati
16
3) Menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe
pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12
bulan setelah akhir pengobatan (Lesmana, 2006).
c. Tujuan jangka panjang
1) Mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan
dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau hepatoselular
karsinoma, dan pada akhirnya memperpanjang usia (Lesmana, 2006).
2. Sasaran terapi
Sasaran terapi hepatitis B kronis adalah virus hepatitis B, VHB-DNA,
serokonversi HBeAg ke anti-HBe (pada pasien HBeAg positif), normalisasi ALT
(Lesmana, 2006).
3. Outcome
a. Mengembalikan pasien seperti keadaan awal
b. Mencegah perkembangan menjadi infeksi kronis
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
d. Memperkecil penularan infeksi
e. Menormalkan kadar aminotransferase
f. Menghentikan replikasi virus pada host
g. Membasmi virus (DiPiro et al., 2005).
4. Algoritma terapi
a. Pasien VHB kronis dengan HBeAg positif : ALT>2 kali diatas BANN atau
pada biopsi memperlihatkan hepatitis sedang sampai berat maka
pengobatan dapat diinisiasi dengan lamivudin atau interferon α-2β. ALT>2
17
kali BANN: terapi dengan lamivudin atau interferon α-2βterbatas pada
pasien dengan nekroinflamasi signifikan pada biopsi hepar. Pasien
sebaiknya memantau kadar ALT setiap 3-6 bulan.
Gambar 4. Algoritma Terapi Hepatitis B Kronis (DiPiro et al., 2005).
b. Pasien VHB kronis dengan HBeAg negatif: hanya pada pasien dengan
ALT>2 kali BANN, VHB DNA>105 kopi/ml, atau pada biopsi
memperlihatkan hepatitis yang sedang sampai berat sebaiknya diterapi
dengan lamivudin atau interferon α-2β.
18
c. Pasien yang memberikan respon yang gagal pada pemberian interferon α-2β
dan memiliki ALT>2 kali BANN, VHB DNA>105 kopi/ml, atau pada
biopsi memperlihatkan hepatitis yang sedang sampai berat dapat diterapi
dengan lamivudin.
d. Pasien yang telah mengalami sirosis dekompensata: interferon α-2β
seharusnya tidak digunakan dan penggunaan lamivudin dapat
dipertimbangkan.
e. Pasien dengan status HBsAg carrier inaktif : tidak ada indikasi terapi
(DiPiro et al., 2005).
5. Strategi terapi
a. Terapi non farmakologis
Obat herbal digunakan sebagai terapi umum dibanyak belahan dunia dan
telah dipelajari secara mendalam di China. Pada percobaan metaanalisis
telah diidentifikasikan bahwa bufotoxin dan kurorinone dihubungkan
dengan peningkatan serokonversi HBeAg dan pembersihan VHB DNA.
Evaluasi lebih lanjut terhadap senyawa aktif ini sebagai terapi alternatif
masih diperlukan, namun senyawa aktif tersebut tidak langsung
direkomendasikan untuk penggunaan rutin (DiPiro et al., 2005).
b. Terapi farmakologis
Terapi lini pertama yaitu antara interferon-α2b dan lamivudin, tergantung
kategorisasi spesifik populasi pasien dengan melihat HBeAg yang positif
dan kadar ALT. Faktor-faktor seperti keparahan panyakit, sejarah
kekambuhan, fungsi hepar, biaya dan efek samping obat serta pilihan pasien
19
merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan obat pada pasien (DiPiro
et al., 2005).
6. Informasi kelas obat
a. Interferon
Interferon-α2b merupakan interferon yang telah diterima penggunaannya
oleh FDA sebagai terapi penanganan pada VHB kronis (DiPiro, 2005).
Beberapa khasiat interferon adalah khasiat antiviral, imunomodulator,
antiproliferatif, dan antifibrotik. Interferon tidak memiliki khasiat antiviral
langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor
yang mempunyai khasiat antiviral (Soemoharjo, 2008). Interferon-α2b
sebaiknya diberikan secara injeksi subkutan sebanyak 5 juta unit/hari atau
10 juta unit 3x/minggu pada dewasa. Pada anak-anak, dosisnya sebesar 6
juta unit/m2 3x seminggu secara injeksi subkutan dan direkomendasikan
sampai maksimum 10 juta unit per dosis. Pada pasien VHB dengan HBeAg
positif sebaiknya diterapi selama 16 minggu, sedangkan pada pasien
dengan HBeAg negatif diterapi selama 12 bulan (DiPiro et al., 2005).
b. Lamivudin
Lamivudin (Epivir-VHB, 3TC) merupakan analog nukleosida (DiPiro et al.,
2005). Lamivudin bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase
yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi
dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah terjadinya infeksi infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi,
tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi (Soemoharjo, 2008).
20
Lamivudin mempunyai efek samping yang rendah dibandingkan interferon-
α2b. Efek samping yang umumnya terjadi seperti fatigue, nausea, dan
vomiting, sakit kepala, batuk, dan diare. Lamivudin digunakan dalam tablet
atau suspensi per oral pada dosis 100 mg sehari sekali (DiPiro et al., 2005).
Strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang karena
khasiatnya meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang.
Namun, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus
yang kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD. Bila
terjadi kekebalan terhadap lamivudin, analog nukleosid yang lain masih
dapat digunakan misalnya adefovir dan entecavir (Soemoharjo, 2008).
c. Adefovir dipivoxil
Adefovir dipivoxil adalah suatu analog nukleotida oral yang merupakan
analog adenosin monofosfat yang menghambat enzim reverse
transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir dipivoxil hampir sama dengan
lamivudin. Pada saat ini, adefovir dipivoxil baru digunakan pada kasus-
kasus yang kebal terhadap lamivudin. (Soemoharjo, 2008). Dosis yang
dianjurkan adalah sebesar 10 mg/hari. Efek samping penggunaan adefovir
dipivoxil jika digunakan pada dosis tinggi yaitu 30 mg/hari atau lebih dapat
mengakibatkan gagal ginjal (DiPiro et al., 2005). Keuntungan penggunaan
adefovir adalah lebih jarang terjadi kekebalan dan kekebalan terjadi setelah
pemakaian yang lebih lama dibandingkan dengan lamivudin. Kerugiannya
adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat
21
dan keamanan penggunaan dalam jangka waktu yang sangat panjang
(Soemoharjo, 2008).
d. Entecavir
Entecavir adalah suatu analog nukleosida guanosin yang berkhasiat
menghambat ketiga langkah transkripsi balik pregenom RNA oleh enzim
DNA polimerase, yaitu priming, sintesis untai DNA negatif dan sintesis
untai DNA positif. Entecavir telah terbukti efektif untuk hepatitis B kronik
baik pada HBeAg positif maupun pada HBeAg negatif serta penderita yang
terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin. Dosis entecavir yang
dianjurkan pada penderita dewasa baru adalah 0,5 mg sehari sedangkan
untuk penderita yang pernah mendapakan lamivudin tetapi tetap mengalami
viremia selama minum obat, atau yang memang telah terbukti mengalami
kekebalan terhadap lamivudin, dosis yang dianjurkan adalah sebesar 1 mg
setiap hari (Soemoharjo, 2008).
D. Drug Therapy Problems
1. Peresepan yang tidak rasional
Proses pengobatan menggambarkan suatu proses normal atau “fisiologik”
dari pengobatan, di mana diperlukan pengetahuan, keahlian sekaligus berbagai
pertimbangan dalam setiap tahap sebelum membuat suatu keputusan. Kenyataannya
dalam praktik, sering dijumpai kebiasaan pengobatan (peresepan, prescribing habit)
yang tidak berdasarkan proses dan tahap ilmiah tersebut. Hal ini sering menimbulkan
suatu keadaan “patologis” atau tidak normal dalam peresepan dengan berbagai
22
dampaknya yang merugikan. Secara umum patologi peresepan ini lebih dikenal
sebagai peresepan yang tidak rasional (irrational prescribing) atau peresepan yang
tidak benar (in appropriate prescribing) (Anonim, 2008 a).
2. Terminologi Drug Therapy Problems
Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu permasalahan atau kejadian
yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi obat, yang secara
sehingga mengganggu tujuan terapi. Drug Therapy Problems dapat muncul pada
setiap tahap proses pengobatan. Setiap praktisi tenaga kesehatan bertanggungjawab
untuk membantu pasien dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan
masalah yang dialami pasien. Drug Therapy Problems merupakan tanggungjawab
utama dari seorang praktisi farmasi.
Praktisi pharmaceutical care menggunakan istilah problem untuk
menunjukkan peristiwa yang berhubungan atau disebabkan oleh terapi obat yang
mempengaruhi pemeriksaan, pengobatan, atau pencegahan. Drug Therapy Problems
merupakan masalah klinis, dan harus dapat diidentifikasi dan diatasi dengan cara
yang serupa terhadap masalah-masalah klinis lainnya. Drug Therapy Problems hanya
istilah yang digunakan pada pasien, bukan pada obat ataupun praktisi medis.
Ketika terjadi Drug Therapy Problems, maka prioritaskan masalah dan
mulai pecahkan pada masalah yang terpenting dan kritis bagi kesehatan pasien.
Sehingga harus ditegaskan bahwa peran praktisi pharmaceutical care yang paling
utama adalah untuk mencegah terjadinya Drug Therapy Problems. Hal ini tentu saja
merupakan pelayanan yang paling berharga yang dapat dilakukan seorang praktisi
kesehatan terhadap pasien (Cipolle dan Strand, 2004).
23
3. Kategori dan penyebab umum Drug Therapy Problems
Seperti kebanyakan masalah klinis yang biasa terjadi, DTPs tidak dapat
dipecahkan atau dicegah apabila penyebab dari masalah tersebut tidak diketahui. Hal
ini penting untuk diidentifikasikan dan dikategorikan tidak hanya pada DTPs, tetapi
juga penyebab lain yang serupa. Praktisi dapat memecahkan atau mencegah
terjadinya DTPs. Penyebab umum terjadinya DTPs dirangkum pada tabel I (Cipolle
dan Strand, 2004).
Tabel I. Kategori Drug Therapy Problems (Cipolle dan Strand, 2004).
DTPs Penyebab Umum
Terapi obattanpaindikasi
Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu,banyaknya pemakaian banyak obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukanterapi obat tunggal, kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obatdigunakan untuk menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatanlain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkanmasalah.
Perlutambahanterapi obat
Kondisi terapi yang memerlukan terapi inisiasi obat, pencegahan terapi obat diperlukanuntuk mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yangmemerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif.
Obat yangtidakefektif
Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif terhadap masalah medis yangdialami, kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat tidak sesuai,obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami.
Dosisterlalurendah
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, interval dosis terlalurendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat menurunkanjumlah zat aktif yang tersedia, durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan responyang diinginkan.
AdverseDrugReaction
Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan denganbesarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko, interaksi obatmenyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnyadosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi, obatkontraindikasi terhadap faktor resiko.
Dosisterlalutinggi
Dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang,interaksi obat terjadi karena hasil dari reaksi toksik dari obat, dosis obat diberikan terlalucepat.
Kepatuhanpasien
Pasien tidak mengerti instruksi pemakaian, pasien memilih untuk tidak memakai obat,pasien lupa untuk memakai obat, harga obat yang terlalu mahal bagi pasien, pasien tidakdapat menelan atau memakai sendiri obat secara tepat, obat tidak tersedia bagi pasien.
24
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi peresepan pada pasien
hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito periode Yogyakarta periode 2005-2007 yang
terkait dengan Drug Therapy Problems yaitu merupakan masalah-masalah yang
dapat timbul selama pasien diberi terapi, yaitu adanya terapi obat tanpa indikasi,
adanya indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, ketidakefektifan pemilihan
obat, dosis yang kurang, terjadinya adverse drug reaction dan dosis yang berlebih.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien hepatitis B kronis di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 merupakan jenis
penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat
retrospektif. Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya
dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa adanya (in
nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001).
Penelitian merupakan rancangan deskriptif evaluatif dikarenakan data yang diperoleh
dari lembar rekam medis kemudian dievaluasi berdasarkan studi pustaka, dan
dideskripsikan dengan memaparkan fenomena yang terjadi, yang kemudian
ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang
digunakan diambil dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu
yaitu berupa rekam medis pasien hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP.
Dr. Sardjito periode 2005-2007.
B. Definisi Operasional
1. Pasien hepatitis B kronis adalah pasien yang telah terdiagnosis hepatitis B kronis
yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode 2005-2007.
26
2. Kasus adalah banyaknya perawatan yang dilakukan oleh pasien hepatitis B kronis
di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.
3. Resep adalah kumpulan permintaan tertulis dari dokter kepada Apoteker
Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita
hepatitis B kronis dalam satu kali periode perawatan di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007
4. Lembar rekam medis adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang
memuat data mengenai karakteristik pasien meliputi identitas, diagonosis,
anamnesis, pemeriksaan jasmani, hasil laboratorium, daftar pemberian obat,
rencana pengelolaan dan catatan perkembangan, rekam catatan keperawatan serta
ringkasan pemeriksaan pada kasus hepatitis B kronis yang dirawat di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.
5. Karakteristik pasien hepatitis B kronis adalah penggolongan pasien yang telah
terdiagnosis hepatitis B kronis berdasarkan umur, jenis kelamin dan komplikasi
sirosis pada saat pasien dirawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-
2007.
6. Pola pengobatan pasien hepatitis B kronis adalah penggolongan obat yang
digunakan pasien hepatitis B kronis menjadi beberapa kelas terapi berdasarkan
buku acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia
Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008.
7. Jenis obat adalah nama dagang maupun nama generik yang diberikan kepada
pasien hepatitis B kronis dalam satu kali periode perawatan di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007
27
8. Peresepan obat tidak rasional adalah peresepan yang tidak sesuai dengan
parameter yang mengacu pada Drug Therapy Problems yang meliputi kriteria
yaitu adanya terapi obat tanpa indikasi, indikasi penyakit yang tidak diberikan
terapi, ketidakefektifan pemilihan obat, dosis yang kurang, terjadinya adverse
drug reaction, dosis yang berlebih, dan kepatuhan pasien dalam penggunaan
obat.
9. Terapi obat tanpa indikasi, meliputi tidak adanya indikasi medis yang valid
untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat
untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi
medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk
menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain,
penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan
masalah.
10. Indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, meliputi kondisi terapi yang
memerlukan terapi inisiasi obat, pencegahan terapi obat diperlukan untuk
mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang
memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek
adiktif.
11. Ketidakefektifan pemilihan obat, meliputi obat yang digunakan bukan obat yang
paling efektif terhadap masalah medis yang dialami, kondisi medis terbiaskan
dengan adanya obat, bentuk sediaan obat tidak sesuai dan obat tidak efektif
terhadap indikasi yang dialami.
28
12. Dosis yang kurang, meliputi dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon
yang diinginkan, interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon
yang diinginkan, interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia dan
durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
13. Adverse drug reaction, meliputi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan
yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan
terhadap faktor resiko, interaksi obat menyebakan reaksi yang tidak diinginkan
yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau
berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi dan obat kontraindikasi terhadap
faktor resiko.
14. Dosis yang berlebih, meliputi dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat
terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil dari
reaksi toksik dari obat dan dosis obat diberikan terlalu cepat.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah kasus yang dirawat di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007. Jumlah kasus dalam penelitian
ini sebanyak 21 kasus.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medis pasien
hepatitis B kronis di RSUP Sardjito Yogyakarta periode tahun 2005-2007.
29
E. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito, Jalan
Kesehatan No. 1 Sekip Yogyakarta
F. Tata Cara Penelitian
Jalannya penelitian meliputi tiga tahap yaitu tahap perencanaan, tahap
pengambilan data dan tahap penyelesaian data.
1. Tahap perencanaan
Dimulai dengan penentuan dan analisis masalah yang akan dijadikan bahan
penelitian kemudian mengurus perijinan untuk melihat lembar rekam medis pasien
hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.
2. Tahap pengambilan data
Pada tahap pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan penelusuran data di
Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta kemudian didapatkan data
print out mengenai jumlah pasien, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, alamat,
lama perawatan, unit perawatan, diagnosis utama, diagnosis lain ataupun komplikasi
yang dialami pasien. Dari data print out didapatkan 20 pasien dengan jumlah kasus
sebesar 27 kasus, namun dalam analisis yang dilakukan oleh penulis hanya
digunakan data lembar rekam medis pasien sebesar 14 pasien dengan jumlah kasus
sebesar 21 kasus dengan menghitung banyaknya rawat inap pasien yang terjadi
dalam periode 2005-2007. Pengurangan jumlah pasien yang diteliti dalam penelitian
ini disebabkan karena 5 pasien ternyata tidak terdiagnosis tegak sebagai pasien
hepatitis B kronis dan 1 pasien lagi tidak ditemukan rekam medisnya.
30
Dari keduapuluh satu kasus hepatitis B kronis tersebut kemudian data rekam
medis masing-masing kasus ditulis ke dalam lembar pencatatan. Data yang
dikumpulkan meliputi identititas, diagnosis, anamnesis, pemeriksaan jasmani, hasil
laboratorium, daftar pemberian obat, rencana pengelolaan dan catatan
perkembangan, rekam catatan keperawatan dan ringkasan pemeriksaan.
3. Tahap penyelesaian data
a. Pengolahan data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel kemudian dideskripsikan.
Tabel data berisi mengenai karakteristik pasien yang dikelompokkan
berdasarkan usia, jenis kelamin dan komplikasi sirosis, pola pengobatan
yang menampilkan distribusi kelas terapi, dan kajian mengenai Drug
Therapy Problems yang dijabarkan menggunakan metode SOAP
(Subjective, Objective, Assessment, Plan).
b. Evaluasi data
Pengelompokkan kelas terapi yang digunakan pada analisa kasus
berdasarkan pustaka acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000
dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008. Pembahasan
Drug Therapy Problems dalam analisis dalam penelitan ini menggunakan
pustaka Drug Information Handbook 14th edition, Informasi Spesialite Obat
Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000,
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi edisi 7 2007/2008, Clinical
Pharmacy and Therapeutics 2nd Edition, Jurnal Treatment of Cirrhosis
Ascites dan Jurnal Beta-Blockers for Prevention of Growth of Small
31
Esophageal Varices In Cirrhosis: An Randomized Controlled Trial (RCT).
Evaluasi yang dilakukan secara kasus per kasus.
G. Tata Cara Analisis Hasil
Analisis data dilakukan dengan melihat karakteristik pasien berdasarkan
usia, jenis kelamin dan komplikasi sirosis. Pola pengobatan pasien hepatitis B kronis
dibagi menjadi 11 kelas terapi, kemudian terbagi ke dalam masing-masing golongan
obat, kelompok obat, nama zat aktif dan jenis obat. Kajian Drug Therapy Problems
menggunakan metode SOAP pada masing-masing kasus, kemudian dibuat
rangkuman pembahasan Drug Therapy Problems, di mana pada tabel tersebut
dijabarkan nomor kasus, jenis obat, penilaian, dan rekomendasi terhadap Drug
Therapy Problems yang terjadi. Pada analisa kerasionalan pada penelitian ini
parameter Drug Therapy Problems yang digunakan hanya sebesar 6 parameter tanpa
mengikutsertakan kepatuhan pasien hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan
dalam penelitian sehingga hanya mampu mengamati keenam parameter lainnya yang
termasuk dalam kategori Drug Therapy Problems. Untuk tata cara analisa hasil
dilakukan sebagai berikut :
1. Karakteristik pasien
a. Persentase umur kasus dikelompokkan menjadi 2 kelompok usia, yaitu <30
tahun dan ≥30 tahun, yang dihitung dengan cara membagi jumlah kasus
pada tiap kelompok usia dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian
dikalikan 100%.
32
b. Persentase jenis kelamin dikelompokkan menjadi kasus dengan jenis
kelamin laki-laki dan wanita, dihitung dengan cara membagi antara jumlah
kasus pada tiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah keseluruhan kasus
kemudian dikalikan 100%.
c. Persentase terjadinya komplikasi sirosis dikelompokkan menjadi kasus
dengan sirosis dan belum sirosis, dihitung dengan cara membagi antara
jumlah kasus pada tiap kelompok dengan jumlah keseluruhan kasus
kemudian dikalikan 100%.
2. Persentase kelas terapi obat pada masing-masing tahun dikelompokkan menjadi
11 kelas terapi, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap
kelas terapi per tahun dengan jumlah keseluruhan kasus pada tahun tersebut
kemudian dikalikan 100%. Persentase total kelas terapi dihitung dengan cara
membagi antara jumlah kasus pada tiap kelompok kelas terapi dengan jumlah
keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
3. Persentase total jenis zat aktif yang digunakan pada masing-masing kelas terapi
dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap jenis zat aktif
dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
4. Kajian Drug Therapy Problems dijabarkan dengan metode SOAP. Pada bagian
Subjective dijabarkan mengenai jenis kelamin, usia, diagnosis, keluhan utama,
perjalanan penyakit, kondisi umum, dan keadaan pulang pasien. Bagian
Objective digambarkan dengan tabel mengenai data laboratorium maupun tanda
vital yang dilengkapi dengan pemberian terapi selama perawatan. Sedangkan
33
Drug Therapy Problems akan dijabarkan pada Assessment yang kemudian akan
dipecahkan melalui Plan.
5. Kajian Drug Therapy Problems kemudian dirangkum, yaitu dengan
mengelompokkan kasus yang terjadi pada keenam parameter Drug Therapy
Problems beserta jenis obat dan zat aktifnya disertai penilaian dan rekomendasi
terhadap terjadinya Drug Therapy Problems.
H. Kesulitan Penelitian
Dalam pengambilan data pada penelitian ini penulis menemui beberapa
kesulitan, antara lain sulitnya membaca tulisan dokter atau perawat yang ada di
lembar rekam medis mengenai perawatan yang diterima pasien dan tulisan nama
jenis obat yang diterima pasien. Penggunaan istilah medis yang tidak lazim
digunakan juga sulit dimengerti oleh penulis karena tidak sesuai dengan istilah yang
berlaku didunia internasional. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bertanya
kepada dokter pembimbing medis, dosen pembimbing skripsi, dosen farmasi Sanata
Dharma maupun rekan sejawat yang bersama penulis juga sedang meneliti di
Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Penulis juga mengalami kesulitan pada saat melakukan evaluasi data karena
ada data pasien yang tidak lengkap pada lembar rekam medis, contohnya seperti
diagnosis pasien. Kesulitan lainnya yang juga merupakan keterbatasan dalam
penelitian ini yaitu sulit untuk menganalisa kepatuhan pasien karena penulis tidak
dapat mengamati terjadinya penyebab umum timbulnya ketidakpatuhan pasien.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis di
RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 dilakukan dengan menelusuri kasus pasien
rawat inap yang terdiagnosis penderita hepatitis B kronis, baik yang didiagnosis
dalam diagnosis utama maupun diagnosis lain. Kasus hepatitis B kronis pada
penelitian ini yang tergolong dalam diagnosis utama sebanyak 4 kasus sedangkan
dengan diagnosis lain sebanyak 17 kasus.
Hasil penelitian mengenai kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis
di RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 dibagi menjadi 3 bagian yaitu karakteristik
pasien hepatitis B kronis, pola pengobatan pasien hepatitis B kronis, dan kajian Drug
Therapy Problems (DTPs) dan kemudian akan dirangkum pada akhir pembahasan.
Karakteristik kasus hepatitis B meliputi kelompok usia, jenis kelamin dan terjadinya
komplikasi sirosis. Pola pengobatan kasus hepatitis B kronis meliputi kelas terapi
beserta golongan obat pasien selama dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr.
Sardjito periode 2005-2007 dan kajian keenam parameter Drug Therapy Problems
(DTPs) dijabarkan melalui metode SOAP serta dirangkum dalam bentuk tabel
berdasarkan kategori DTPs yang terjadi pada masing-masing kasus.
A. Karakteristik Kasus Hepatitis B Kronis
Distribusi berdasarkan kelompok usia dimaksudkan untuk mengetahui
perbandingan jumlah pasien pada kelompok-kelompok usia tertentu, sedangkan
35
distribusi berdasarkan kelompok jenis kelamin dimaksudkan untuk mengetahui
perbandingan jumlah pasien laki-laki dan wanita yang menderita hepatitis B kronis
di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007.
Berdasarkan kelompok umur, kasus hepatitis B kronis digolongkan
menjadi 2 kelompok usia, yaitu kelompok <30 tahun dan ≥30 tahun.
1. Berdasarkan kelompok usia
Tabel II. Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronis berdasarkan Kelompok Usia diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Periode 2005-2007
Jumlah KasusKelompok Usia
(tahun) 2005(n=7)
2006(n=2)
2007(n=12)
% total
<30 - 1 - 4,8
≥30 7 1 12 95,2
Penggolongan ini didasarkan bahwa jangka waktu mulai munculnya gejala
dan tanda hepatitis B kronis pada pasien akan terlihat sesudah 30-50 tahun setelah
infeksi. Pada tabel II terlihat bahwa persentase pada kelompok usia <30 tahun hanya
sebesar 4,8% yaitu yang terjadi pada kasus nomor lima. Pasien diketahui terdiagonis
hepatitis B kronis bukan karena pasien menunjukkan gejala dan tanda hepatitis B
kronis, namun akibat pemeriksaan kesehatan menyeluruh atau pemeriksaan akibat
adanya penyakit lain. Tidak munculnya gejala dan tanda pada pasien disebabkan
karena perjalanan penyakit hepatitis B kronis bersifat asimptomatik Seringkali gejala
dan tanda yang muncul baru terlihat apabila pasien hepatitis B kronis telah
mengalami komplikasi seperti sirosis hati dekompensata di mana pada pasien telah
mengalami gejala yang jelas, yaitu keluhan asites, ikterus atau muntah darah.
36
2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, kasus hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito
pada tahun 2005-2007 lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 81,0%
sedangkan pada wanita sebesar 19,0%.
Tabel III. Distribusi Kasus Hepatitis B Kronis Berdasarkan Jenis Kelamin di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Jumlah KasusJenis Kelamin 2005
(n=7)2006(n=2)
2007(n=12)
% total
Wanita 3 ─ 1 19,0Laki-laki 4 2 11 81,0
3. Berdasarkan terjadinya komplikasi sirosis
Tabel IV. Distribusi Kasus Hepatitis B Kronis Berdasarkan Jenis Kelamin di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Jumlah KasusKomplikasi 2005
(n=7)2006(n=2)
2007(n=12)
% total
Sirosis dekompensata 3 - 7 47,6Belum sirosis 4 2 5 52,4
Komplikasi yang dialami pasien adalah sirosis dekompensata di mana
gejala dan tanda yang muncul lebih jelas, seperti keluhan asites, ikterus atau muntah
darah. Pasien biasanya baru diketahui menderita hepatitis B kronis setelah muncul
gejala dan tanda tersebut.
B. Pola Pengobatan Pasien Hepatitis B Kronis
Obat-obat yang digunakan oleh pasien hepatitis B kronis di instalasi rawat
inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2005-2007 dibagi menjadi beberapa kelas
terapi. Pada penelitian ini kelas terapi yang digunakan pada kasus sebanyak 11 kelas
terapi, yang kemudian terbagi kedalam masing-masing golongan obat, kelompok
37
obat, nama zat aktif dan jenis obat. Pembagian kelas terapi dalam penelitian ini
berdasarkan pustaka acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS
Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008, yang disajikan pada tabel V.
Tabel V. Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Hepatitis B Kronis yang Dirawat diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Jumlah Kasus Persentase (%) tiaptahunNo. Kelas Terapi 2005
(n=7)2006(n=2)
2007(n=12) 2005 2006 2007
% total
1 Obat saluran cerna 4 2 10 57,1 100,0 83,3 76,22 Obat kardiovaskuler 5 - 6 71,4 - 50,0 52,43 Obat saluran pernapasan 5 1 5 71,4 50,0 41,7 52,44 Obat sistem saraf pusat 2 - 3 28,6 - 25,0 23,85 Obat analgesik 2 2 6 28,6 100,0 50,0 47,66 Obat infeksi 4 2 8 57,1 100,0 66,7 66,77 Obat-obat hormonal 1 - 7 14,3 - 58,3 38,18 Obat gizi dan darah 7 2 12 100,0 100,0 100,0 100,09 Obat otot skelet dan sendi - - 1 - - 8,3 4,810 Obat sistem hepatobilier 2 2 7 28,6 100,0 58,3 52,4
11 Antineoplastik danimunomodulator - 1 - - 50,0 - 4,8
Kelas terapi terbanyak yang digunakan oleh pasien adalah obat gizi dan
darah, yaitu sebesar 100%. Obat gizi dan darah merupakan obat yang digunakan
untuk salah satu tindakan suportif yang merupakan pengobatan umum yang
diberikan kepada pasien hepatitis B kronis. Kelas terapi terbanyak kedua adalah obat
saluran cerna, yang digunakan untuk mengatasi gangguan yang terjadi di saluran
cerna seperti mual, muntah, nyeri pada lambung dan gangguan pencernaan bila
produksi enzim berkurang. Obat antiinfeksi menempati kedudukan ketiga sebagai
kelas terapi terbanyak yang digunakan setelah obat gizi dan darah serta obat saluran
cerna., dimana penggunaan obat antiinfeksi pada kasus hepatitis B kronis disebabkan
karena pada sebagian besar kasus menderita infeksi, baik pada diagnosis utama
maupun pada diagosis lain.
38
1. Obat yang bekerja pada saluran cerna
Tabel VI. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada SistemSaluran Cerna yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
% Total
Dexanta® 1 - -aluminiumhidroksida Farmacrol® - 1 -
9,5
rebamipide Mucosta® - - 1 4,8Antasida
esomeprazole Nexium® - - 2 9,5ranitidin 1 - 4Acran® 1 - -Radin® 1 2 -Ant. reseptor H2 ranitidin
Rantin® - - 1
47,6
Ulsidex® - - 2Khelator dansenyawa kompleks sukralfat
Inpepsa® - - 114,3
pantoprazol Pantozol® - 1 1 9,5omeprazole - 1
Antitukak
PPIomeprazol
OMZ® 1 1 14,3
AntidiareAdsorben danobat pembentukmassa
atapulgitaktif
NewDiatab® 1 - - 4,8
Pelunak tinjaPhenolphthalein,liq paraffin,glycerin
Laxadin® - - 1 4,8
Duphalac® 2 - 1Pencahar
Pencahar osmotik laktulosaPralax® - - 1
19,0
Obat saluran cerna yang paling banyak dipakai adalah golongan antitukak
kelompok antagonis reseptor H2 dengan zat aktif ranitidin. Tukak lambung adalah
suatu kondisi patologis pada lambung, duodenum, esofagus bagian bawah, dan
stoma gastroenterostomi. Tujuan terapi tukak lambung adalah meringankan atau
menghilangkan gejala, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi yang
serius (hemoragi, perforasi, obstruksi), dan mencegah kekambuhan. Dimana pada
kelompok antagonis reseptor H2, penyembuhan tukak lambung dan duodenum
dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat hambatan reseptor H2
(Anonim, 2000). Golongan kedua terbesar adalah pencahar dari kelompok pencahar
osmotik. Pencahar adalah obat yang digunakan untuk memudahkan pelintasan dan
39
pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Pencahar osmotik bekerja dengan cara
menahan cairan dalam usus secara osmosis atau dengan mengubah penyebaran air
dalam tinja. Laktulosa adalah disakarida semisintetik tidak diabsorpsi dari saluran
cerna. Senyawa ini menyebabkan diare osmotik dengan pH tinja yang rendah, dan
mengurangi proliferasi organisme penghasil amonia (Anonim, 2000).
2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler
Tabel VII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada SistemKardiovaskuler yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%Total
Alfa bloker terazosin Hytrin® 1 - - 4,8irbesartan irbesartan 1 - - 4,8valsartan Aprovel® - - 1 4,8
Antagonisreseptorangiotensin II telmisartan telmisartan - - 1 4,8
Obat antihipertensi
ACEI lisinopril Noperten® - - 1 4,8Golongan nitrat isosorbid mononitrat ISMN - - 1 4,8
nifedipin Adalat oros® 1 - - 4,8Golonganantagonis kalsium amlodipin Tensivask® 1 - - 4,8
propranolol propranolol 1 - 5 28,6bisoprolol 1 - -
Obatantiangina
Golongan βblokerbisoprolol
Maintate® - - 1 9,5
Diuretika kuat furosemid Lasix® 4 - 1 23,8Aldacton® 1 -spironolactone 1 - 3Carpiaton® - - 2
Diuretika Diuretika hematkalium spironolakton
Letonal® - - 1
38,1
Antiplatelet Clopidogrel Plavix® - - 1 4,8Ditranex® - - 1Transamin® - - 1
Obat sistemkoagulasidarah
Hemostatik danantifibrinolitik asam traneksamat
Kalnex® 1 - 119,0
Obatgangguansirkulasidarah
vasodilatorserebral
Citocoline Brainact®
- - 1 4,8
Zat aktif yang banyak digunakan pada sistem kardiovaskuler adalah
spironolakton dan propranolol. Spironolakton merupakan diuretika hemat kalium
yang bermanfaat pada terapi edema dengan sirosis hati (Anonim, 2000).
Spironolacton merupakan diuretika pilihan untuk terapi asites yang bekerja dengan
40
cara memblok reabsorbsi sodium pada tubulus kolektivus (Walker dan Edwards,
2001). Indikasi propranolol adalah untuk terapi hipertensi yang efektif walaupun
mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti (Anonim, 2000). Obat
antihipertensi golongan β-bloker dapat mengurangi curah jantung, mengubah
kepekaan refleks baroreseptor, dan memblok adrenoreseptor perifer. Selain itu,
propranolol dapat digunakan untuk pencegahan pendarahan varises esofageal dan
pendarahan gastrik pada hipertensi portal (Anonim, 2000).
3. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan
Tabel VIII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat pada Sistem SaluranPernapasan yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
% total
Antiasma danbronkodilator
Bronkodilatorantimuskarinik
ipratropium bromida Atrovent® - - 1 4,8
Kortikosteroid - budenosid Pulmicort® - - 1 4,8Oksigen - oksigen oksigen 4 - 3 33,3
- asetilsistein Fluimucil® - 1 2 14,3Mukolitik- ambroxol ambroxol 1 - 1 9,5
levodropropizine Levopront® - 1 - 4,8Antitusif danekspektoran Antitusif
dekstrometorfan dekstromethorfan 1 - 2 14,3
Tiga jenis zat aktif yang paling banyak digunakan secara adalah oksigen,
asetilsistein dan dekstrometorfan. Oksigen diresepkan pada pasien hipoksemia untuk
meningkatkan tekanan oksigen alveolar, dan mengurangi kerja pernapasan yang
dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan oksigen arterial, dimana kadar
pemberiannya tergantung pada kondisi pasien yang diterapi. Tujuan pemberian dosis
secukupnya tersebut adalah untuk mengatasi hiposemia tanpa memperburuk retensi
CO2 dan asidosis respiratorius (Anonim, 2000). Asetilsistein berfungsi sebagai
mukolitik untuk mempercepat ekspektorasi dengan mengurangi viskositas sputum.
41
Dekstrometorfan merupakan antitusif untuk menekan rangsang batuk yang tidak
produktif.
4. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
Tabel IX. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada SistemSaraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%total
Motilium® - - 1domperidon
Vometa® 1 - 1 14,3
ondansetron Invomit® - - 1 4,8Obat mual dan vertigo -
metoklopramid Sotatic® 1 - - 4,8
Golongan yang digunakan pada sistem saluran pernapasan adalah golongan
obat mual dan vertigo dengan zat aktif yang terbanyak digunakan adalah
domperidon. Domperidon dapat mengatasi gejala mual dan muntah yang sebagian
besar dialami oleh pasien hepatitis B kronis. Domperidon tidak mudah melewati
sawar darah otak sehingga tidak menimbulkan reaksi distonia dan sedasi (Anonim,
2000).
5. Obat yang bekerja sebagai analgesik
Tabel X. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Analgesik yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
% total
parasetamol dan n-acetylcysteine Sistenol® 2 2 2 28,6
parasetamol parasetamol - 1 1 9,5asam mefenamat 1 - -
asam mefenamat Mefinal® - - 1 9,5
Analgesik non-opioid -
metamizole natrium Novalgin® 1 - - 4,8Antimigren Profilaksi migren flunarizin Frego® 1 - 1 9,5
42
Dua golongan obat yang digunakan sebagai analgesik pada terapi pasien
hepatitis B kronis adalah golongan analgesik non-opioid dan golongan antimigren.
Pada golongan analgesik non-opioid, zat aktif terbanyak yang digunakan adalah
kombinasi antara parasetamol dan n-acetylcysteine yang memiliki indikasi untuk
meringankan batuk berdahak dan menurunkan demam pada flu, sakit kepala dan
nyeri. N-acetylcysteine telah digunakan selama beberapa dekade dan telah terbukti
berfungsi sebagai antidot pilihan pada terapi yang menggunakan parasetamol
(acetaminophen) yang menginduksi terjadinya hepatotoksistas (Algren, 2008). Asam
mefenamat merupakan analgesik kelompok AINS namun sifat antiinflamasinya
rendah. Pada kelompok profilaksi migren, zat aktif yang digunakan adalah flunarizin
yang berfungsi sebagai profilaksis migren, pengobatan gangguan serebral dan
vestibular perifer (Anonim, 2000).
6. Obat-obat hormonal
Tabel XI. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Hormonal yang Digunakanpada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%total
Antidiabetik Insulin suspensi netralisophane
Insulatard®- - 3 14,3
Somerol® - - 1metil prednisolon
metilprednisolon - - 214,3
Kortikosteroid Antiinflamasisistemik
prednison prednison 1 - - 4,8Hormon lain - oktreotid Sandostatin® - - 1 4,8
Golongan kedua terbanyak yang digunakan adalah golongan kortikosteroid
dan golongan antidiabetik. Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan
protein reseptor yang spesifik di organ target (Anonim, 2000). Pada golongan
kortikosteroid kelompok antiinflamasi sistemik, zat aktif yang paling banyak
43
digunakan adalah metil prednisolon. Pada golongan antidiabetik kelompok obat
yang paling banyak digunakan adalah insulin sebagai terapi pada pasien diabetes
melitus tipe I (tipe diabetes melitus yang tergantung insulin). Insulatard® merupakan
jenis insulin yang mula kerjanya dalan waktu singkat (1/2 jam) dan durasinya sedang
yaitu sebesar 24 jam. Komposisi Insulatard® adalah berupa suspensi netral isophane
dari monokomponen insulin manusia dan merupakan rekombinan DNA asli.
7. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi
Tabel XII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Infeksi yang Digunakan padaTerapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%total
amoksisilin amoxicillin 2 - - 9,5
Penisillin Amoksisilindan asamklavulanat
Augmentin® - - 1 4,8
sefotaksim cefotaxime 2 - 2 19,0Biotriax® - - 1ceftriaxone 2 - 4Triject® - - 1
seftriakson
Tricefin® - 1 -
42,9
imipenem Pelastin® - - 1 4,8
Sefalosporin danantibiotik βlaktamlainnya
seftazidim ceftazidime 1 - - 4,8Aminoglikosida gentamisin Garamycin® 1 - - 4,8Makrolid azitromisin azitromicin - - 3 14,3Antibiotik lain kolistin Colistine® 1 - 1 9,5
siprofloksasin ciprofloksasin - 1 - 4,8
Antibiotik/antimikroba
Kuinolongatifloksasin gatifloksasin 1 - - 4,8
rifampisin rifampisin - - 1 4,8isoniazid INH - - 1 4,8Antimikobakteri Tuberkulostatiketambutol etambutol - - 1 4,8
Antijamur - Ketokonazol ketokonazol - - 1 4,8
Antivirus - entecavir Baraclude® - - 1 4,8
Golongan obat terbesar yang digunakan adalah golongan antibiotik dengan
zat aktif yang terbanyak digunakan adalah seftriakson dan sefotaksim dimana
44
keduanya berasal dari kelompok sefalosporin dan antibiotik βlaktam lainnya.
Sefalosporin termasuk antibiotik βlaktam yang bekerja dengan cara menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Baik seftriakson maupun sefotaksim, keduanya
merupakan sefalosporin generasi ketiga, yang umumnya kurang aktif terhadap kokus
gram positif dibanding dengan generasi pertama, tetapi jauh lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase (Anonim, 2000).
8. Antineoplastik dan imunomodulator
Tabel XXIII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Antineoplastik danImunomodulator yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
% total
Imunomodulator - - Imreg® - 1 - 4,8
Jenis obat yang digunakan adalah Imreg®, yang berfungsi sebagai
imunomodulator yang dapat meningkatkan sistem daya tahan tubuh pasien
khususnya pasien yang mengalami infeksi.
9. Obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi
Tabel XIV. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Otot Skelet dan Sendi yangDigunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%total
Obat reumatikdan gout Obat gout alopurinol allopurinol - 1 4,8
Kelompok obat yang paling banyak digunakan adalah obat gout dengan
jenis obat yang digunakan adalah alopurinol. Indikasi alopurinol adalah untuk
profilaksis gout dan batu asam urat dan kalsium oksalat di ginjal (Anonim, 2000).
45
10. Obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah
Tabel XV. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Gizi dan Darah yangDigunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005n=7
2006n=2
2007n=12
%total
Anemia defisiensi besi fero sulfat tablet besi 1 - - 4,8Anemiadankelainandarahlainnya
Anemia megaloblastik asam folat asam folat 2 - - 9,5
Pemberian oral asamaminoesensial Ketosteril® 1 - - 4,8
normal salin normal salin - - 1 4,8Ca, K, Na, Cl,asetat asering® 1 - 1 9,5
Na, Cl, glukosa KaEN 1B® 1 - - 4,8
natrium laktat Ringer Laktat® 2 1 2 23,8
dekstrosa 5% 3 1 3glukosa
dekstrosa 10% 2 - 147,6
natrium klorida NaCL 0,9% 1 1 7 42,9
Pemberian intravena
eritrosit PRC 4 - 3 33,3
Cairan danelektrolit
Plasma danpengganti plasma albumin albumin 1 - 1 9,5
Nutrisiintravena -
Na, Cl, danasam-asamamino
Aminoleban® 2 - 1 14,3
Fosfor kalsiumkarbonat
kalsiumkarbonat 2 - - 9,5
MineralKalium kalium L-
aspartat Aspar-K® 1 - - 4,8
Kelompok vitamin B vitamin B6 vitamin B6 - - 1 4,8Vitamin
Vitamin K vitamin K vitamin K 2 - 7 42,9Kelainanmetabolisme
Porfiria akut pirazinamida pirazinamida - - 1 4,8
46
Golongan obat yang paling banyak digunakan adalah golongan cairan dan
elektrolit dan vitamin. Pada golongan cairan dan elektrolit kelompok pemberian
glukosa secara intavena berupa pemberian dekstrosa 5% dan dekstrosa 10%
merupakan jenis obat terbanyak yang digunakan. Pemberian keduanya bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan normal atau untuk menggantikan kekurangan cairan
yang cukup besar atau adanya kehilangan cairan yang berkelanjutan (Anonim,
2000). Golongan kedua terbesar adalah vitamin K yang diperlukan untuk faktor
pembekuan darah untuk mencegah dan mengobati perdarahan. Karena vitamin K
larut lemak, penderita dengan malabsorpsi lemak, khususnya pada penyakit hati,
bisa menjadi defisien sehingga diberikan vitamin K. Golongan kedua besar lainnya
adalah natrium klorida yang diindikasikan pada keadaan kehilangan natrium dan
biasanya perlu diberikan secara intravena (Anonim, 2000).
11. Obat sistem hepatobilier
Tabel XVI. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Sistem Hepatobilier Sendiyang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Jumlah Kasus
Golongan
Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005
n=72006n=2
2007n=12
%total
- Schizandrin C derivat Hp Pro® l 2 4 33,3
- ursodeoxycholic acid Urdafalk® - - 4 19,0
-
silymarin, oleumxanthorrhizae, ekstrakcurcuma, echinacea
Hepasil®
- - l 4,8
-lecithin, vit B1, vit B2, vit B12,nicotinamide, vit E
Lesichol®- - l 4,8
-lecithin, vit B1, vit B2, vit B12,nicotinamide, vit E, βcarotene
Lesifit®l - - 4,8
-lecithin, vit B1, vit B2, vit B6,vit E
Cholesvit® l - - 4,8
Hepatikprotektor
rhizoma curcuma Curcuma® - - 2 9,5
47
Hepatoprotektor adalah obat digunakan untuk melindungi fungsi hati dari
kerusakan yang lebih berat akibat adanya inflamasi hati dan kondisi lain.
Hepatoprotektor dapat memberikan perlindungan terhadap virus, kuman atau toksin.
Jenis obat yang banyak digunakan adalah Hp Pro® dan Urdafalk®. HpPro® berfungsi
untuk mengurangi peradangan hati dan normalisasi fungsi hati, sedangkan Urdafalk®
digunakan untuk terapi hepatitis kolestatis dan hepatitis aktif kronik, kandungan
ursodeoxycholic acid dapat memperbaiki kolestasis terkait sepsis dengan cara
menurunkan asam empedu di dalam darah (Anonim, 2008 g).
Lecithin dalam tubuh berupa fosfolipid. Hati secara alami memproduksi
lecithin namun dengan adanya kerusakan hati maka produksinya akan berkurang.
Dengan adanya kandungan lecithin pada berbagai jenis obat hepatoprotektor dapat
memenuhi kebutuhan fosfolipid sel-sel hati yang mengalami kerusakan sehingga
dapat memperbaiki dan mengembalikan fungsi hati. Kandungan vitamin B1 juga
sangat membantu perbaikan sel-sel hati sehingga proses tersebut berlangsung lebih
efektif dan dapat berfungsi menyusun kembali sel-sel hati yang rusak. Vitamin B2,
B6 dan B12 berfungsi untuk membantu pembentukan eritrosit.
C. Kajian Drug Therapy Problems (DTPs)
Berikut adalah pembahasan Drug Therapy Problems (DTPs) pada
keduapuluh satu kasus, di mana pada masing-masing kasus tersebut akan dianalisis
dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment and Plan).
48
Tabel XVII. Kajian DTPs Kasus 1 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 1. No. RM 01.18.89.91 (04/06/05-13/06/05)SubjectiveLaki-laki/62 tahun. DU: Sirosis Hepatis Child C. DL: Hepatitis B Kronis, Suspect SpontaneousBacterial Peritonitis. Keluhan utama : perut membesar dan sebah. Keadaan umum : terlihat lemah, CM,gizi kurang dan tampak pucat. Enam HSMRS pasien muntah darah dan BAB hitam, perut membesardan sebah namun badan tidak kuning. HMRS pasien merasa kembung, perut semakin membesar, mual,muntah darah, demam dan BAB tidak berdarah. Keadaan pulang : membaikObjective
Tanggal periksa (Juni2005)Parameter
4 9Nilai normal
SGOT 65,8 ↑ 71,1↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 49↑ 44,8↑ 10,0-40,0 IU/LAlbumin 1,88↓ - 3,50-5,00 g/dlAFP 115,80↑ - 1-15 ng/mlPTT 21,2↑ 18↑ 10,8-14,3 detik
HBsAg : positifSuhu (°C) : 37Nadi (kali/menit) : 92BP (mmHg) : 140/60 mmHgRR (kali/menit) : 28
PenatalaksanaanTanggal (Juni 2005)Nama Obat 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Diet Hepar √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Infus D 5% lini D5%:NaCl 0,9% 1:114 tpmx √ √ x
Infus D10%:aminoleban=1:1 lini √ √ √ √ √ √ √O2 4-5 liter/menit √ √ √ √Inj vit K II A/12 jam II A/24 jamx √ √ √ √ x x x xInj vit. K I A/8 jam vit K 3x100 mgx √ xInj Lasix® I A/24 jam √ √ √ √ √Lasix® 1x40 mg √ √ √ √ √Aldacton® 1x100mg 2x50mgx √ √ x √ √ √ √ √ √ √Aspar K® 1x300 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Duphalac® 1 x CII 3xCIIx √ √ √ √ √ x x x x xInj cefotaxime 1 g/8 jam √ √ √ √ √ √ √Transfusi PRC √ √ √ √ √ √ √Transfusi albumin √Radin® IA/12 jamranitidin 2x150 mgx √ √ √ √ √ √ √ √ xpropranolol 2x20 mg √ √ √amoxicillin 3x500 mg √ √
Assessment1. Dosis injeksi vitamin K terlalu besar.
DTPs : dosis terlalu besar.2. Pemberian kalium (Aspar-K®) tidak boleh diberikan bersama spironolakton. DTPs : ADR.3. Laktulosa (Duphalac®) tidak terbukti bermanfaat dalam terapi ensefalopatia hepatik.
DTPs : obat tidak efektif.4. Perlu tambahan lamivudin tablet/suspensi oral 1x100mg untuk terapi hepatitis B kronis yang telah
mengalami sirosis dekompensata. DTPs : perlu tambahan terapi obat.Plan1. Dosis terapi vitamin K sebesar 10 mg/hari sehingga dosis injeksi vitamin K dikurangi menjadi I
A/24 jam.2. Hentikan penggunaan kalium (Aspar-K®).3. Hentikan penggunaan laktulosa (Duphalac®), dan ganti dengan neomisin dosis 500-2000 mg setiap
6-8 jam.4. Tambahkan terapi lamivudin tablet/suspensi oral 1x100 mg.
49
Tabel XVIII. Kajian DTPs Kasus 2 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 2. No. RM 01.18.89.91 (10/09/05-20/09/05)
SubjectiveLaki-laki/62 tahun.DU : Sirosis Hepatis Child C Degenerasi Maligna.DL : Hepatitis B Kronis.Komplikasi : Ensefalopati Hepatik Grade I.Keluhan utama : BAB hitam. Pasien adalah penderita Sirosis Hepatis Child C tegak sejak bulan Juni2005 dan selanjutnya kontrol ke poliklinik gastro.Keluhan yang dialami saat masuk rumah sakit adalah perut semakin besar, tidak muntah darah.Riwayat penyakit dalam keluarga bapak sakit kuning (25 tahun yang lalu) dan adik sakit kuning (15tahun yang lalu).RPD : tidak ada riwayat sakit kuning.Kondisi umum pasien terlihat lemah, CM dan gizi cukup.Keadaan pulang : membaikObjective
Tanggal (September2005)Parameter
10 16Nilai normal
SGOT 153↑ - 15,0-46,0 U/LSGPT 84↑ - 11,0-66,0 U/L
Albumin 1,64↓ 1,50↓ 3,50-5,00 g/dlGlobulin 3,4 - 2,4-3,5 g/dl
Protein Total 5,03↓ 5,90↓ 6,30-8,20 g/dlGGT 105↑ - 8,0-78,0 U/LAFP 115,80↑ - 1-15 ng/ml
APTT 33,2 - 23,9-36,2 detik
HBsAg : positifSuhu (°C) : 36,5Nadi (kali/menit) : 112BP (mmHg) : 110/70RR (kali/menit) : 24
PenatalaksanaanTanggal ( belasan September 2005)Nama Obat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0NGT Diet Hepar √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √O2 3 liter/menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Inf D10% : Aminoleban 2:1 20 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Transfusi PRC √ √ √ √ √ √ √ √Inj cefotaxime 1g/8 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Inj vit K I A/8 jam II A/8 jamx √ √ √ √ √ √ √ x xColistin® 3x2 250.000 IU √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √Duphalac® 3xCII √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √spironolactone 1x100mg √ √ √ √ √ √ √spironolactone 2x100mg √ √ √ √Inj Acran® 1A/12 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √Lasix® 1x40 mg √ √ √ √ √ √ √ √
Assessment1. Dosis injeksi vitamin K terlalu besar. DTPs : dosis terlalu besar.2. Laktulosa (Duphalac®) tidak terbukti bermanfaat dalam terapi ensefalopatia hepatik.
DTPs : obat tidak efektif.3. Perlunya tambahan lamivudin tablet/suspensi oral 1x100mg untuk terapi hepatitis B kronis yang
telah mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlu tambahan terapi obat.
Plan1. Dosis terapi vitamin K sebesar 10 mg/hari sehingga dosis injeksi vitamin K dikurangi menjadi I
A/24 jam.2. Hentikan penggunaan laktulosa (duphalac®), untuk terapi ensefalopati hepatik dapat digunakan
neomisin dengan dosis 500-2000 mg setiap 6-8 jam.3. Tambahkan terapi lamivudin tablet/suspensi oral 1x100 mg.
50
Tabel XIX. Kajian DTPs Kasus 3 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 3. No. RM 01.29.06.73 (06/04/07-11/04/07)
SubjectiveLaki-laki/45 tahun.DU : Hepatititis B kronis.DL : Gastritis kronik ringan.Keluhan utama : mual. Dua MSMRS pasien mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan tidakmenurun, demam (kadang-kadang jika demam menggigil), BAB/BAK tidak ada kelainan.Satu HSMRS pasien mengeluh perut mual, tidak muntah, demam, tidak batuk, BAB/BAK tidak adakelainan dan sklera tidak kuning. Hari saat masuk rumah sakit keluhan menetap sehingga pasienperiksa ke RSUP Dr. Sardjito.RPD : tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi namun memiliki riwayatpenyakit malaria.RPK : jantung.Kondisi umum sedang, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.Objective
Tanggal periksa(April 2007)Parameter5 6
Nilai normal
SGOT 89↑ - <37 U/L
SGPT 101↑ - <41 U/LAlbumin - 3,5 3,50-5,00 g/dlALP - 77,0 38,0-126,0 U/L
Bilirubin Total 2,24 ↑ - ≤1 mg/dlProtein Total - 8,1 6,3-8,2 g/dlGGT - 112↑ 8,0-78,0 U/L
HBsAg : positifUSG abdomen : splenomegali dansuspect cholelitiasis kronisSuhu (°C) : 36Nadi (kali/menit) : 100BP (mmHg) : 110/80RR (kali/menit) : 18
PenatalaksanaanTanggal (April 2007)Nama Obat
6 7 8 9 10 11Diet Hepar √ √ √ √ √ √Hp Pro® 3x1 √ √ √ √ √ √Motilium® 3x1 10 mg AC √ √ √Urdafalk® 2x1 250 mg √ √ √Nexium® 1 vial/12 jam √ √ √Nexium® 1 A/24 jam √ √ √Biotriax® 1 A/12 jam √ √ceftriaxone 1 gram/12 jam √ √ √Infus Ringer laktat® √Infus dekstrosa 5% √ √Infus NaCl 0,9% √ √ √ √
Assessment1. Efek samping ceftriaxone (Biotriax®) salah satunya dapat meningkatkan nilai SGOT dan SGPT dan
menimbulkan gangguan fungsi heparDTPs : ADR.
2. Perlunya tambahan terapi interferon α-2βuntuk terapi hepatitis B kronis karena pasien belummengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat .
Plan1. Pantau nilai SGOT dan SGPT pasien secara berkala dan batasi penggunaan ceftriaxone (Biotriax®).2. Tambahkan terapi interferon α-2βsebanyak 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
51
Tabel XX. Kajian DTPs Kasus 4 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 4. No. RM 01.29.06.73 (29/09/07-08/10/07)
SubjectiveLaki-laki/45 tahun.DU : Suspect Non Hodgkin-limfom.DL : Hepatitis B kronis persisten.Keluhan utama : nyeri dada dan demam.Empat HSMRS pasien mengeluh nyeri di dada dan didaerah benjolan (daerah kelenjar di wajah, pipikanan), makan-minum biasa, mual, muntah, tidak sesak, dan tidak keringat dingin. Satu HSMRSpasien memeriksakan diri ke dokter X namun sampai HMRS keluhan yang dialami pasien menetapsehingga pasien dibawa ke UGD RSUP Dr. Sardjito kemudian dirawat bangsal.RPD : Hepatitis B Kronik.Kondisi umum : lemah dan CM.Keadaan pulang: belum sembuh.
ObjectiveTanggal (September-Oktober
2007)Parameter29/09 30/09 04/10 07/10
Nilai normal
SGOT 33,0 42,0 - 35,0 15,0-46,0 U/LSGPT 21,3 29,0 - 20,0 11,0-66,0 U/LALP - - 176,0↑ - 38,0-126,0 U/LBil. total - - 2,3↑ 0,8 0,2-1,3 mg/dlAlbumin 2,96↓ - - - 3,50-5,00 g/dlGlobulin 4,35↑ - - - 2,30-3,50 g/dlProtein total 7,31 - - - 6,40-8,30 g/dl
HBsAg : positifSuhu (°C) : 36Nadi (kali/menit) : 100BP (mmHg) : 110/80RR (kali/menit) : 18
PenatalaksanaanDiet TKTP (29/09/07-08/10/07)Infus RL:D10% = 1:1 16 tpmHp Pro 2x1 (29/09/07-05/10/07)Hp Pro 3x1 (06/10/07-08/10/07)Mucosta 2x100 mg (29/09/07-08/10/07)Rifampisin 1x450 mg (29/09/07-05/10/07)INH 1x300 mg (29/09/07-05/10/07)B6 1x10 mg (30/09/07-05/10/07)PZA 3x500 mg (29/09/07-05/10/07)Transfusi PRC (29/09/07)
Etambutol 3x250 mg (29/09/07-05/10/07)Urdafalk 2x250 mg(06/10/07-08/10/07)Injeksi Triject 1 g/12 jam (29/09/07-03/10/07)Injeksi Pelastin 250 mg/6 jam (03/10/07-08/10/07)Inj Invomit 4 mg/24 jam (03/10/07-06/10/07)Inj Somerol 1vial/12 jam (05/10/07-07/10/07)Sistenol 3x1 k/p (02/10/07-03/10/07, 05/10/07)Lasix k/p IA pre transfusi 29/09/07Lasix ½A pretransfusi 04/10/07
Assessment1. Efek samping etambutol pada hepar dapat menyebabkan hepatotoksisitas.
DTPs : ADR.2. Metil prednisolon (Somerol®) kontraindikasi terhadap penyakit hati.
DTPs : ADR.3. Pada tanggal 2 Oktober 2007 pasien tidak demam sehingga pemberian Sistenol® tidak
diperlukan.DTPs : terapi obat tanpa indikasi.
4. Tambahkan interferon α-2βuntuk terapi hepatitis B kronis.DTPs : perlu tambahan terapi obat .
Plan1. Batasi penggunaan etambutol.2. Hentikan penggunaan metil prednisolon (Somerol®).3. Hentikan penggunaan Sistenol® (kombinasi parasetamol dan n-acetylcystein).4. Tambahkan terapi interferon 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
52
Tabel XXI. Kajian DTPs Kasus 5 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 5. No. RM 01.26.95.61 (18/11/06-27/11/06)
SubjectiveLaki-laki/23 tahun.DU : Kolesistisis kronik.DL : Hepatitis B kronik.Keluhan utama : demam. Pasien demam tinggi saat menjelang tidur malam, batuk tidak berdahak, mual,tidak muntah. BAK tidak ada kelainan, BAB sedikit-dikit : tidak ada manifestasi pendarahan.Kondisi umum lemah, gizi cukup, CM.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (November 2006)Parameter
18 19 21 25Nilai Normal
SGOT 138↑ 133↑ - 106↑ 15-46 U/LSGPT 180↑ 192↑ - 111↑ 11-66 U/LALP - - 137↑ - 38,0-126,0 U/LBil. total - - 0,8 - 0,2-1,3 mg/dlAlbumin - - 3,1↓ - 3,5-5,0 g/dlProtein Total - - 6,8 - 6,3-8,2 g/dlGGT - - 263↑ - 8,0-78,0 U/L
HBsAg : positifHBeAg : negatifAnti HBc IgM : negatifSuhu (°C) : 38,7Nadi (kali/menit) : 100BP (mmHg) : 120/70RR (kali/menit) : 20
PenatalaksanaanTanggal (November 2007)Nama Obat
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27Diet TKTP √ √ √ √Diet TKTP DH IIx √ √ √ √ √ √Infus RL® 30 tpm √ √ √Infus D5% lini √ √ √parasetamol 3x100 mg √ √ √Sistenol® 3x1 √ √ √ √ √ √Radin® 2x150 mg √ √ √ √Fluimucyl® 3xC1 √ √ √ √ √Hp Pro® 3x1 √ √ √ √ √ √ √Imreg® 2x1 √ √ √ √ √Farmacrol® syr 3x1c √ √ √ √Levopront® syr 3x1C √ √ √ √Inj.Tricefin® 2g/24 j √ √ √ √ √ √ √Inj Pantosal® 1x1 √ √ √ √ √
Assessment1. Levodropropizine (Levopront®) kontraindikasi terhadap terbatasnya fungsi hati.
DTPS : ADR.2. Pantoprazol (Pantosol®) kontraindikasi terhadap kerusakan fungsi hati.
DTPs : ADR.3. Perlunya tambahan terapi interferon α-2βuntuk mengatasi hepatitis B kronik yang belum
mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Hentikan pemakaian levodropropizine (Levopront®) dan ganti dengan antitusif seperti benzonatate
100 mg 3x/hari.2. Hentikan penggunaan pantoprazol (Pantosol®).3. Tambahkan terapi interferon α-2βsebesar 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
53
Tabel XXII. Kajian DTPs Kasus 6 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 6. No. RM 01.28.72.96 (15/03/07-10/04/07)
SubjectiveLaki-laki/41 tahun, DU : Hematemesis melena et causa Ruptur Varises Esophagus. DL : SirosisHepastis B Child B; Hepatitis B kronis. Satu HSMRS pasien tiba-tiba muntah darah kehitaman,mual, BAK seperti teh, tinja berwarna ter. RPD : Riwayat hemel sebelumnya ±2 tahun yang lalu ± 2gelas, BAB juga hitam seperti petis namun pasien hanya rawat jalan. Riwayat minum obat dan jamupegal linu ±2 tahun sebanyak 2-3x /minggu. Tidak ada riwayat sakit kuning. Kondisi umum :lemah,CM, gizi cukup. Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (Maret-April 2007)
Parameter 15 26 05 09 Nilai normal
SGOT 107 70,9 108,5 66,1 10,0-42,0 IU/LSGPT 113 47,8 64,5 42,1 10,0-10,0 IU/LBil.total 1,49↑ - - 0,85 0,2-1 mg/dlAlbumin 1,71↓ 1,94↓ 1,85↓ 1,27↓ 3,50-5,00 mg/dlGlobulin 4,0↑ - - - 2,4-3,5 g/dlAPTT - 41↑ - - 23,9-36,2 dtk
HBsAg : positifEndoskopi : varisesesofagus grade IIdengan gastropatihipertensi portaPemeriksaan abdomen :asitesNadi (kali/menit) : 104BP(mmHg) : 120/75
PenatalaksanaanNGT spooling DH I (15/03/07-20/03/07)DH III (21/04/07-27/04/07)DH II RGR (28/03/07-10/04/07)Inj Transamin® IA/8jam (15/03/07-16/03/07)Inj vit K IA/8 jam (15/03/07-25/03/07)vit K 3x100mg (26/03/07-10/04/07)Pralax® 3xC1 (16/03/07)spironolactone 1x25mg (21/03/07, 03/04/07spironolactone 2x25mg (22,23/03/07; 30/03/07-01,02/04/07;,04/04/07-10/04/07)spironolactone 2x50mg (24/03/07-29/03/07)Inj cefotaxime 1g/8jam(26,28,29/03/07);(07-10/04/07)
Transf PRC s/d Hb ≥9 (15/03/07-16/03/07)Inj cefotaxime 1g/12 jam (30/03/07-06/04/07)
Collistin®3x250.000IU(16,20/03/07-05/04/07)Inj OMZ® IA/24 jam (16/03/07-20/03/07)Duphalac® 3x2C (16/03/07)ranitidin 2x150mg(17/03/07-10/04/07)Laxadin® 3xC1 (17/03/07-10/04/07)Sistenol® k/p (17/03/07-19/03/07)Inf D10%:Aminoleban®=2:1(17-21/03/07)Infus D5% 16 tpm (22/03/07 - 10/04/07)propranolol 2x10mg (21/03/07-23/03/07)propranolol 3x10mg (24/03/07-29/03/07)propranolol 2x20mg (30/03/07-04/04/07)propranolol 3x20mg ( 05/04/07-10/04/07)Ulsidex® 3x500 mg (09/04/07-10/04/07)Inj Nexium® IA/24 jam (15/03/07-19/03/07)Inj Sandostatin® IA(15/03/07-16/03/07)
Assessment1.Dosis injeksi vitamin K tanggal 15-25 Maret 2007 terlalu besar. DTPs : dosis terlalu tinggi.2.Laktulosa (Pralax®,Duphalac®) tidak efektif untuk ensefalopatia hepatik. DTPs : obat tidak efektif.3.Omeprazole (OMZ®) tidak efektif terhadap pendarahan variseal. DTPs : obat tidak efektif.4.Pada tanggal 2-5 dan 7-8 April 2007 pasien demam namun tidak diberikan antipiretik.
DTPs : perlu tambahan terapi obat.5.Dosis spironolactone untuk terapi asites yang dialami pasien selama perawatan (kecuali tanggal 24-
29 Maret 2007) dibawah dosis terapi. DTPs : dosis terlalu rendah.6.Perlu tambahan lamivudin karena pasien sudah mengalami sirosis dekompensata.
DTPs : perlu tambahan terapi obat .
Plan1. Dosis terapi vitamin K sebesar 10 mg/hari sehingga dosis injeksi vitamin K dikurangi menjadi I
A/24 jam.2.Hentikan penggunaan laktulosa dan ganti dengan neomisin dosis 500-2000 mg setiap 6-8 jam.3.Hentikan omeprazole (OMZ®) dan diganti dengan oktreotid selama 5 hari dengan pemberian iv
bolus 25-50 mcg diikuti dengan iv infusi kontinue 25-50 mcg/jam.4.Berikan antipiretik yaitu dapat diberikan Sistenol® untuk mengatasi demam pada 2-5,7-8/04/07.5.Tingkatkan dosis spironolactone dengan pemberian sebesar 100-400 mg sehari.6.Tambahkan pemberian lamivudin tablet atau suspensi dengan dosis 100 mg sehari sekali.
54
Tabel XXIII. Kajian DTPs Kasus 7 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 7. No. RM : 01.28.72.96 (03/05/07-08/05/07)SubjectiveLaki-laki/41 tahun.DU : Sirosis Hepatitis Child B Post Endoskopi dan Ligasi Varises Esofagus II.DL : Hepatitis B kronis.Keluhan utama pro ligasi ke II varises esofagus pada sirosis hepatis child B.Pasien adalah penderita hepatitis B dengan Sirosis Hepatis Child B dengan riwayat hemel et causa
suspect varises esophagus yang tegak sejak Maret 2007.Tidak ada riwayat diabetes melitus, tidak ada riwayat minum alkohol, dan tidak ada riwayathipertensi .Riwayat minum obat dan jamu pegal linu ±2 tahun sebanyak 2-3x per minggu.Kondisi umum : baik, CM, gizi kurang.Keadaan pulang : membaik.
Objective
Tanggal (Mei 2007)Parameter
3 7Nilai normal
SGOT 137,7↑ 148,1↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 103,2↑ 106,3↑ 10,0-40,0 IU/LBil. total 1,23↑ 1,47↑ 0,2-1 mg/dlBilirubin direct 0,30 0,32↑ 0,00-0,32 mg/dlAlbumin 2,45↓ 2,14↓ 3,50-5,00 mg/dlGlobulin - 4,9↑ 2,4-3,5 g/dlProtein Total 7,35 7,09 6,40-8,30 g/dlGGT - 41,0 7,0-64 IU/LAPTT 35,9↑ - 23,9-36,2 detikPPT 18,5↑ - 10,8-14,3 detikHBsAg positifNadi (kali/menit) 70,82,84,-,68,60BP (mmHg) 110/70, 120/80, 100/70, -, 110/60, 100/90RR (kali/menit) 18Tinggi badan 162 cmBerat badan 54 kg
PenatalaksanaanTanggal (Mei 2007)
Nama Obat 3 4 5 6 7 8DH III √ √ √ √ √ √Infus NaCl 0,9% lini √ √propranolol 3x20 mg √ √ √ √ √ √spironolactone 2x25 mg √ √ √ √ √ √Ulsidex® tablet 3x1000 mg (kunyah) √ √ √ √ √ √vitamin K 3x100mg √ √ √ √ √ √
Assessment1. Dosis spironolactone untuk terapi asites terlalu rendah.
DTPs : dosis terlalu rendah.2. Perlunya penambahan terapi lamivudin untuk terapi hepatitis B kronis dimana pasien telah
mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Tingkatkan pemberian spironolactone menjadi sebesar 100-400 mg/hari..2. Tambahkan pemberian lamivudin tablet atau suspensi oral dengan dosis 100 mg sehari sekali.
55
Tabel XXIV. Kajian DTPs Kasus 8 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007Kasus 8. No.RM 01.28.72.96 (29/05/07-02/06/07)
SubjectiveLaki-laki/41 tahun.DU : Post Ligasi III pada Sirosis Hepatis Child B.DL : Hepatitis B kronis.Pasien mau menjalani ligasi ke III.Pasien memilki riwayat hemel dan telah dilakukan ligasi I dan II dengan selang 1 bulan.Pasien tidak memiliki riwayat sakit kuning namun memiliki riwayat minum minum obat dan jamupegal linu ±2 tahun sebanyak 2-3x per minggu.Saat HMRS pasien kontrol ke poliklinik gastro kemudian pasien dirawat untuk menjalani ligasi III.Pada bulan Maret pasien telah terdiagnosis sebagai penderita Sirosis Hepatis Child B denganhepatitis B positif.Kondisi umum : baik, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (Mei 2007)Parameter
29Nilai normal
SGOT 125,5↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 94,9↑ 10,0-40,0 IU/LBilirubin Total 1,42↑ 0,20-1,00 mg/dlAlbumin 2,20↓ 3,50-5,00 g/dl)Globulin 4,2↑ 2,4-3,5 g/dlProtein Total 6,44 6,40-8,30 g/dlAPTT 35,0 23,9-36,2 detikPPT 20,0 ↑ 10,8-14,3 detikSuhu (°C) 36,7Nadi (kali/menit) 58, 84, 64,-, 66BP (mmHg) 100/72, 110/70, 110/70, -, 100/60RR (kali/menit) 20Tinggi badan (cm) 162Berat badan (kg) 55HBsAg positif
PenatalaksanaanTanggal (Mei-Juni 2007)Nama Obat 29 30 31 1 2
Diet Hepar IV √ √ √ √ √Infus NaCl 0,9% √vitamin K 3x100 mg √ √ √ √ √spironolactone 2x50 mg √ √ √ √ √ranitidin 2x150 mg √ √ √ √ √Transfusi PRC s/d Hb 9 √Curcuma® 3x1 √propranolol 2x20 mg √ √ √ √ √ISMN 2x10 mg √
Assessment1. Perlunya tambahan terapi lamivudin untuk terapi hepatitis B kronis karena pasien telah
mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlu penambahan terapi obat.
Plan1. Tambahkan pemberian lamivudin dengan tablet atau suspensi oral dengan dosis 100 mg 1x/hari.
56
Tabel XXV. Kajian DTPs Kasus 9 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 9. No.RM : 01.16.96.75 (03/07/05-11/07/05)SubjectiveWanita/40 tahun. DU : Chronic Kidney Disease Stage V et causa Glomerulonephritis Chronic.
DL : Hipertensi stadium II dan hepatitis B kronis. Keluhan utama : lemas dan mual muntah.
Pasien terdiagnosis CKD grade V et causa suspect GNC sejak 6 bulan yang lalu (bulan Januari).Pasien pernah menjalani hemodialisa satu kali di RS. Sardjito, namun kemudian tidak menjalanihemodialisalagi karena merasa lebih baik yaitu tidak sesak, tidak mual, tidak mutah namun BAKdirasa kurang.
Tiga HSMRS pasien merasa badan lemas, demam naik turun tidak khas, mual, muntah sebanyak 4-5kali/hari, tidak batuk, tidak sesak namun muka pucat, dan BAK dirasa normal namun saat itu pasientidak periksa.
Hari saat pasien masuk rumah sakit, keluhan bertambah parah pasien merasa badan lemas, demam,mual, muntah 4-5 x/hari, pusing, BAB berwarna kuning-kehitaman. Namun, karena keluhan lemas,mual dan muntah menetap sehingga pasien diperiksa ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito,kemudian pasien dirawat di Instalasi Rawat Inap.
RPD : tidak riwayat diabetes melitus.
Kondisi umum : lemah, CM, gizi cukup namun tampak pucat.
Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (Juli 2005)Parameter
3 6Nilai normal
SGOT 13,1 - 10,0-42,0 IU/LSGPT 7,7↓ - 10,0-40,0 IU/LAlbumin - 3,21↓ 3,50-5,00 g/dlSuhu (°C) 37,7Nadi (kali/menit) 100BP (mmHg) 180/100Tinggi badan 152HbsAg positif
PenatalaksanaanTanggal (Juli 2005)Nama Obat
3 4 5 6 7 8 9 10 11Diet RPRGRK Protein 0,6g/kg/hari √ √ √ √ √ √ √ √ √
Infus D5% lini √ √ √ √ √ √ √ √O2 3 liter/menit √ √ √ √ √ √ √ √ √CaCO3 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √Adalat Oros® 1x30 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √Inj Lasix® 1A/12 jam √ √ √ √ √ √ √ √Lasix® 1x40 mg pagi √Asam folat 3x0,4 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √Ketosteril® 3x630 mg √ √ √Transfusi PRC √
Assessment1. Perlunya suplemen kalium akibat pemakaian furosemid (Lasix®).
DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Tambahkan terapi suplemen kalium untuk mengatasi hipokalemia.2. Lakukan liver biopsi untuk mengetahui apakah pasien sudah mengalami nekroinflamasi.
57
Tabel XXVI. Kajian DTPs Kasus 10 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 10. No RM : 01.16.96.75 (28/08/05-02/09/05)SubjectiveWanita/40 tahun. DU : Chronic Kidney Disease Stage V et causa suspect GlomerulonephritisChronic. DL : Hipertensi stadium II, Hepatitis B kronis. Keluhan utama : sesak nafas.Pasien adalah penderita CKD stadium V ec suspect GNC sejak Januari 2005. Hemodialisa rutindilakukan sekali semingu, namun pasien baru menjalani hemodialisa tiga kali yang terakhir dilakukanpada pada bulan Juli 2005, setelah itu pasien tidak kontrol maupun minum obat.Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas, yaitu sesak kalau melakukanusaha, sesak apabila berbaring, sesak pada saat malam dan berbaring, batuk tidak berdahak, mual,tidak muntah, tidak demam, BAK dirasa menurun dan tidak nyeri saat BAK namun saat itu pasientidak periksa.Dua HSMRS keluhan yang dialami menetap disertai BAB cair 4x, tidak berlendir darah, dan merasalemas kemudian pasien diperiksa di Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito dan kemudian dirawat diInstalasi Rawat Inap. Kondisi umum : lemah, CM, gizi cukup. Keadaan pulang : membaik.Objective
Tanggal (Agustus 2005)Parameter 28 Nilai normal
SGOT 18,6 10,0-42,0 IU/LSGPT 14,5 10,0-40,0 IU/LAlbumin 2,94↓ 3,50-5,00 g/dlProtein Total 6,39↓ 6,40-8,30 g/dlSuhu (°C) 36,8Nadi (kali/menit) 100BP (mmHg) 190/120RR (kali/menit) 32HBsAg positif
PenatalaksanaanTanggal (Agustus-September 2005)Nama Obat
28 29 30 31 1 2Diet RPRGRK (prot 0,6 g/kgBB/hari √ √ √ √ √ √O2 2 liter/menit √ √O2 3 liter/menit √ √ √ √Infus dekstrosa 5% lini √ √ √ √ √ √Injeksi Lasix® 1 A/8 jam √ √ √ √ √ √CaCO3 3x1 √ √ √ √ √ √asam folat 3x0,4 mg √ √ √ √ √ √irbesartan 1x300mg (malam) √ √ √ √ √ √Tensivask® 1x10mg pagi hari √ √ √ √ √ √New Diatab® 600 mg k/p √ √bisoprolol 1x5 mg (maintate) √ √ √ √Maintate® 1x5 mg √ √Hytrin® 1mg pada malam hari √ √ √
Assessment1. Perlunya suplemen kalium akibat pemakaian furosemid (Lasix®).
DTPs : perlu tambahan terapi obat.2. Dosis amlodipin (Tensivask®) terlalu tinggi.
DTPs : dosis terlalu tinggi.3. Dosis bisoprolol pada pasien terlalu tinggi.
DTPs : dosis terlalu tinggi.Plan1. Tambahkan terapi suplemen kalium untuk mengatasi terjadinya hipokalemia.2. Kurangi dosis amlodipin (Tensivask®) karena pasien mengalami gangguan hepar sehingga dosis
yang disesuaikan menjadi sebesar 2,5 mg sehari.3. Dosis bisoprolol pada pasien dengan gangguan fungsi hepar disesuaikan sebesar 2,5mg/hari.4. Lakukan liver biopsi untuk mengetahui apakah pasien sudah mengalami nekroinflamasi.
58
Tabel XXVII. Kajian DTPs Kasus 11 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 11. No RM 00.59.20.53 (23/09/05-08/10/05)SubjectiveWanita/41 tahun. DU : Septikemia et causa Klebsiela Pneumonia.DL : Bronchitis akut membaik, Hepatitis B Kronik, Hemorroid interna Grade III, Faringitis kronis.Komplikasi : Anemia defisiensi besi et causa blood loss.Keluhan utama : demam (kiriman senior gastro dengan obs. Febris hari VI, hematosezia echemorroid, dispepsia, anemia ec perdarahan. Sejak 6 HSMRS pasien mengeluh demam mendadak,menggigil, naik turun, mual, muntah, nyeri ulu, tidak kuning, nafsu makan menurun, lemas, BAKdbn dan BAB berdarah segar ± 2 gelas, tidak nyeri saat BAB. Keluhan menetap dan dahak putih tidakberdarah.RPK : Ibu kanker hati dan ayah sakit hepar.Kondisi umum : sedang, CM, gizi lebih (obesitas).Keadaan pulang : membaik.Objective
Tanggal (September-Oktober2005)Parameter
23 1 3Nilai normal
SGOT 46 U/L - - 15,0-46,0 U/LSGPT 37 U/L - - 11,0-66,0 U/LALP - 78 - 32-92 IU/LBil. Total - 2,05↑ - 0,20-1,00 mg/dlAlbumin - - 2,77↓ 3,50-5,00 g/dlProtein Total - - 7,04 6,40-8,30 g/dlGGT - 70,2↑ 7,0-64,0 IU/L
Suhu (ºC) : 37,9Nadi (kali/menit) : 100BP (mmHg) : 140/90RR (kali/menit) : 20HBsAg : positifAnti HBc IgM : negatif
PenatalaksanaanDiet TKTP(23/09/05-08/10/05)Inj Asering® 30 tpm (23/09/05-25/09/05)Sistenol® 3x1 (23/09/05-01/10/05)O2 k/p (23/09/05-25/09/05)Inj Sotatic® 1A/8 jam (23/09/05-25/09/05)Inj OMZ® 1A/24 jam (23/09/05-25/09/05)Dexanta® 3 x cI (23/09/05)Inj ceftriaxone 1g/12 jam (23/09/05-25/09/05)Inj ceftriaxone 1g/24jam (26/09/05-03/10/05)Transf PRC s/d Hb ≥10 (23/09/05-01/10/05)DMP 3x2 15mg(24/09/05-08/10/05)Inj Kalnex® 500mg/8jam (24-27/09/05,29/09/05-07/10/05)
Kalnex® 3x500mg (08/10/05)Inf RL® 20 tpm(24/09/05-07/09/05)amoxicillin 3x500mg (24/09/05-25/09/05)asam mefenamat 3x500mg (24/09/05-25/09/05)prednison 2x5mg (24/09/05-25/09/05)Inj Radin® 1A/12 jam (26/09/05-07/10/05)Radin® 2x150mg (08/10/05)Tablet besi 3x200 mg(28/09/05-07/10/05)Inj ceftazidime 1g/8 jam (04/10/05-07/10/05)ambroxol 3x30 mg (05/10/05-08/10/05)gatifloxacin 1x1 (08/10/05)Ardium® 2x500 mg (08/10/05)
Assessment1. Efek samping ceftriaxone dapat menimbulkan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.2. Efek samping amoxicillin meningkatkan AST dan ALT, kolestatic jaundice, hepatic kolestatic,
hepatitis cytolitic akut. DTPs : ADR.3. Prednison kontraindikasi terhadap penyakit hati. DTPs : ADR.4. Efek samping ceftazidime dapat menimbulkan gangguan fungsi hati, hepatitis sementara dan
ikterus kolestatik. DTPs : ADR.5. Perlunya tambahan terapi untuk terapi hepatitis B kronis yaitu pemberian interferon α-2βkarena
belum terjadi sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Batasi penggunaan ceftriaxone.2. Batasi penggunaan amoxicillin.3. Hentikan penggunaan prednison.4. Batasi penggunaan ceftazidime.5. Tambahkan terapi interferon α-2βsebanyak 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
59
Tabel XXVIII. Kajian DTPs Kasus 12 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 12. No. RM 01.11.45.25 (04/05/07-12/05/07)SubjectiveLaki-laki/47 tahun (kiriman dari RS. Wates)DU : Sirosis Hepatis Child B Post Endoskopi dan Ligasi Varises Esofagus.DL : Hepatitis B kronis, Diabetes Melitus Tipe II Non Obesitas.Sebelumnya, pasien mengeluh muntah darah, BAB hitam, tidak demam, BAK seperti teh, mata tidakkuning. Riwayat perut membesar.Keluhan yang dialami adalah pasien tidak muntah darah, BAB hitam, BAK seperti air teh, tidakdemam, tidak mual. Pasien direncanakan menjalani Endoskopi /STE.Riwayat Diabetes melitus diketahui sejak ±3 tahun yang lalu, kontrol tidak teratur.Riwayat minum jamu-jamu untuk stamina.Kondisi umum : baik, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : belum sembuh.Objective
Tanggal (Mei 2005)Parameter4 6 10
Nilai normal
SGOT 301,3↑ - 316,3↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 219,2↑ - 215,1↑ 10,0-40,0 IU/LALP - - 338↑ 32-92 IU/LBilirubin Total 3,90↑ - 3,57↑ 0,20-1,00 mg/dlAlbumin 1,64↓ - 2,07↓ 3,50-5,00 g/dlProtein Total 5,70↓ - 7,33 6,40-8,30 g/dlGGT 196,7↑ 7,0-64,0APTT 36,3↑ 35,4 23,9-36,2 detikPPT 21,5↑ 18,5 10,8-14,3 detikHBsAg positifSuhu (ºC) 36,5Nadi (kali/menit) 64, 70, 70, 80, 72, 76, 56, 56, 60
BP (mmHg) 100/60, 100/60,100/60, 100/70, 100/60, 100/60, 100/70, 90/60,100/60
RR (kali/menit) 20
PenatalaksanaanTanggal (Mei 2005)Nama Obat
4 5 6 7 8 9 10 11 12Diet Hepar √ √ √ √ √ √ √ √ √ranitidin 2x150 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √Carpiaton® 2x50 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √propranolol 2x5 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √vit K 3x100 mg √ √vit K 3 x 2 100mg √Injeksi vit K IIA/8 jam √ √ √Insulatard® 0-0-8 √ √
Assessment1. Dosis terapi injeksi dan dosis oral (tanggal 8 Mei 2005) vitamin K diatas dosis terapi.
DTPs : dosis terlalu tinggi.2. Perlunya tambahan terapi lamivudin untuk pengobatan hepatitis B kronis karena pasien sudah
mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Dosis terapi injeksi vitamin K sebesar1 mg/hari sehingga pemberian injeksi diturunkan menjadi I
ampul/24 jam dan dosis oral diturunkan menjadi 3x100 mg per hari2. Tambahkan pemberian lamivudin dengan tablet atau suspensi oral dengan dosis 100mg 1x/hari.
60
Tabel XXIX. Kajian DTPs Kasus 13 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 13. No. RM 01.11.45.25 (11/06/07-13/06/07)
SubjectiveLaki-laki/47 tahun.DU : Post Ligasi ke II pada Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus.DL : Hepatitis B Kronik.Keluhan utama : pro ligasi ke-2 pada Sirosis hepatis pada Varises esofagus post ligasi I.Riwayat muntah darah dan BAB hitam sejak 1 bulan yang lalu.Keluhan saat ini tidak nyeri perut, tidak mual, tidak muntah darah, tidak BAB hitam, perut tidakmembesar, dan tidak kuning.Kondisi umum : baik, CM, dan gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal
(Juni2005)
Parameter
11
Nilai normal
SGOT 210,2↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 144,5↑ 10,0-40,0 IU/LAlbumin 2,00↓ 3,50-5,00 g/dlGlobulin 6,1↑ 2,4-3,5g/dlProtein Total 8,11 6,40-8,30 g/dlAPTT 37,1↑ 23,9-36,2 detikPPT 19,8↑ 10,8-14,3 detik
HBsAg : positifSuhu (ºC) : 36,5Nadi (kali/menit) : 84, 68, 84BP (mmHg) : 120/70, 100/70,120/70RR (kali/menit) : 20
PenatalaksanaanTanggal (Juni 2007)Nama Obat 11 12 13
Diet Hepar+ extra putih telur √ √ √Infus NaCl 0,9% lini √ √Carpiaton® 2x50 mg √ √propranolol 2x10 mg √ √ √Injeksi vit K II A/8 jam √ √vit K oral 3x100 mg √Insulatard® 8-0-0 √ √ √Curcuma® 3x200 mg √ √ √Transfusi albumin √ √Inpepsa® sirup 3xC1 √ √Letonal® 1x50 mg √
Assessment1. Dosis injeksi vitamin K diatas dosis terapi.
DTPs : dosis terlalu tinggi.2. Dosis spironolactone (Letonal®) dibawah dosis terapi.
DTPs : dosis terlalu rendah.3. Perlunya terapi tambahan untuk terapi hepatitis B kronis yaitu dengan pemberian lamivudin
karena pasien telah mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya terapi tambahan.
Plan1. Turunkan dosis injeksi vitamin K menjadi I ampul/24 jam sehingga dosis terapi yang diterima
sebesar 10 mg/hari.2. Tingkatkan dosis dengan pemberian spironolactone (Letonal®) sebesar 100-400 mg sehari.3. Pemberian terapi tambahan berupa lamivudin tablet/suspensi oral dengan dosis 1x100 mg/hari.
61
Tabel XXX. Kajian DTPs Kasus 14 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 14. No. RM 01.22.53.37 (30/04/07-16/05/07)Subjective
Laki-laki/44 tahun. DU : Hepatitis B Kronis.DL : Diabetes Melitus. Penderita merasa mual, muntah, mata kuning. Sklera dan kulit berwarnakuning. Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal
(April-Mei 2007) Nilai normalParameter28 30 7 14
SGOT 1060,5↑ 1186↑ 1489↑ 245↑ 0–37 U/LSGPT 1600↑ 1682↑ 2359↑ 536↑ 0–41 U/LGama-GT 219,1↑ 8–61 U/LALP 134,0↑ 38-126 U/LBil. Total 3,9↑ 8,5↑ 10,2↑ 0,20-1,00mg/dlBil. Direct 1,16↑ 5,26↑ 6,99↑ 0,00-0,30 mg/dlBil.Unconj
2,7 ↑ 3,3↑ 3,2↑ 0,0-1,1 mg/dl
Albumin 3,4↓ 3,0↓ 3,5-5,0 g/dlProt. Total 7,5 7,8 6,3-8,2 g/dlGGT 261↑ 7,0-64,0 IU/LAPTT 28,0 23,9-36,2 detikPPT 16,3 10,8-14,3 detik
HBsAg : positifAnti HCV total :negatfAnti HAV IgM :negatifAnti HBc IgM :negatifSuhu (ºC) : 36,4Nadi (kali/menit) : 80BP (mmHg) : 115/80RR (kali/menit) : 20TB (cm) : 173BB (kg) : 82
PenatalaksanaanDiet hepar (30/04/07-16/05/07)Inj Asering® IIA/12 jam (03/05/07 dan 07/05/7)Lesichol® 3x300mg (30/04/07-16/05/07)Vometa® 3x10mg AC (sebelum makan) (30/04/07-04/05/07)Hp Pro® 3x1 (09/05/07-16/05/07)Dekstromethorfan (DMP) 3x5mg (05/05/07-16/05/07)Baraclude® 1x0,5mg (09/05/07-13/05/07)Urdafalk® 2x250 mg(15/05/07-16/05/07)Inj vitamin K IA/12jam (03/05/07-15/05/07)vitamin K 2x100mg (15/05/07-16/05/07)Hepasil® 3x1 (30/04/07-08/05/07)Ringer Laktat Novolet® 3x4 UI (08/05/07-14/05/07)Insulatard® 1x8 (16//05/07)Assessment1. Dekstrometorfan kontraindikasi bagi pasien dengan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.2. Terapi entecavir (Baraclude®) bukan obat yang paling efektif terhadap hepatitis B kronis yang
telah mengalami sirosis dekompensata. DTPs : obat yang tidak efektif.3. Dosis ursodeoxycholic acid (Urdafalk®) dibawah dosis terapi. DTPs : dosis terlalu rendah.4. Dosis vitamin K oral dibawah dosis terapi dan dosis injeksi vitamin K diatas dosis terapi.
DTPs : dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi .5. Perlunya tambahan terapi untuk hepatitis B kronis berupa lamivudin karena pasien telah
mengalami sirosis dekompensata. DTPs : perlunya tambahan terapi.Plan1. Dekstromethorfan diganti dengan antitusif lain seperti benzonatate 100 mg 3x/hari.2. Ganti terapi entecavir (Baraclude®) dengan lamivudin tablet/suspensi oral dengan dosis 1x100
mg.3.Dosis terapi ursodeoxycholic acid (Urdafalk®) sebesar 8-10 mg/kgB/hari dimana berat badan
pasien sebesar 82 kg sehingga dosisnya ditingkatkan menjadi 656- 820 mg/hari yang terbagidalam 2-3 dosis.
4. Naikkan dosis vitamin K oral menjadi 3x100 mg sehari dan dosis injeksi vitamin K diturunkanmenjadi IA/24 jam sesuai dengan dosis terapi
5. Pemberian terapi tambahan berupa lamivudin tablet/suspensi oral 100 mg sekali sehari.
62
Tabel XXXI. Kajian DTPs Kasus 15 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 15. No. RM 01.30.04.13 (08/06/07-18/06/07)SubjectiveLaki-laki/58 tahun.DU : Hepatitis B kronis. DL : Acute Intenstisial Pneumoniae, ARF membaik ec SuspectPulmonephritis, Suspect urolitiasis dextra. Keluhan utama: sesak nafas.5HSMRS pasien mengeluh kencing seperti teh, ada bintik-bintik pendarahan di kedua mata danlemas. Saat HMRS pasien mengeluh sesak yaitu sesak saat melakukan usaha namun tidak sesak saatberbaring dan tidak sesak saat malam dan saat berbaring, tidak demam, mual, tidak muntah, badankuning, perut kembung, lemah, tidak nyeri otot, mata merah, tidak kabur, tidak ada kotoran mata.Pasien merokok sejak muda ± 1,5 bungkus/hari.RPD : tidak ada riwayat sakit kuning, tidak ada riwayat asma.Kondisi umum : lemah, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (Juni 2007) Nilai normalParameter
9 11 12 14SGOT 71,3↑ 61 ↑ 10-42 IU/LSGPT 40,8↑ 77↑ 10-40 IU/LALP 121↑ 32-92 IU/LBil.Total 15,96↑ 14,03↑ 5,07↑ 0,2-1,0 mg/dl
Albumin 1,75↓ 2,63↓ 3,5–5,0 g/dlGlobulin 4,7↑ 2,4-3,5g/dlProt.Total 6,46 6,56 6,4–8,3 g/dl
GGT 81,7↑ 7-64 IU/LAPTT 35,3 23,9–36,2 detikPPT 15,2↑ 10,8–14,3 detik
HBsAg : positifHBeAg : negatifHBcAg : negatifAnti HAV IgM : negatifAnti HBC IgM : negatifAnti HAV total : positifAnti HCV total : negatifSuhu (ºC) : 36,9Nadi (kali/menit) : 96x/menitBP (mm/Hg) : 120/80RR (kali/menit) : 26
PenatalaksanaanDiet TKTP (08/06/07-18/06/07)O2 NRM 8 liter/menit (08/06/07)O2 3 liter/menit (09/06/07-11/06/07)Inj NaCl 0,9% 20 tpm (08/06/07-18/06/07)Inj ceftriaxone 1 g/12 jam (08/06/07-18/06/07)Sistenol® kalau perlu (08/06/07)azytromycin 3x500mg (08/06/07)azitromicin 1x500 (09/06/07-10/06/07)azytromicin 500mg/24 jam (11/06/07-12/06/07)
kloramfenikol eo 2 dd u e ODS (08/06/07)allopurinol 2x100mg (08/06/07)allopurinol 1x100mg (09/06/07-10/06/07)metil prednisolon 62,5mg/12 jam (09/06/07-17/06/07)Inj omeprazole IA/24 jam (12/06/07-17/06/07)Urdafalk® 2x250mg (13/06/07)Hp Pro® 3x1 (13/06/07)ketokonazol 1x200mg (15/06/07-18/06/07)
Assessment1. Efek samping yang ditimbulkan ceftriaxone berupa gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.2. Azitromicin kontraindikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.3. Metil prednisolon kontraindikasi pada pasien penyakit hati.
DTPs : ADR.4. Ketokonazol kontraindikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi hati.
DTPs : ADR.5. Perlunya tambahan terapi lamivudin untuk terapi hepatitis B kronis karena pasien telah
mengalami sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Batasi penggunaan ceftriaxone.2. Hentikan penggunaan azitromicin.3. Hentikan penggunaan metil prednisolon.4. Hentikan penggunaan ketokonazol.5. Tambahkan terapi lamivudin tablet/suspensi oral dengan dosis 100 mg sekali sehari.
63
Tabel XXXII. Kajian DTPs Kasus 16 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 16. No. RM 01.18.63.05 (15/05/05-22/05/05)SubjectiveLaki-laki/50 tahun.DU : Sepsis et causa Streptococcus Alfa.DL : Hepatitis B Kronis, Infeksi Saluran Kemih. Keluhan utama : diare dan demam.Sejak ± 2 minggu terakhir pasien demam tidak tinggi terutama sore hari, tidak menggigil, nafsumakan menurun, tidak ada tanda-tanda pendarahan, gusi tidak berdarah, BAB cair sampai 3-4x/haritidak berdarah, tidak berlendir, tiap kali BAB cair jumlah banyak, warna kuning, tidak sakit kepala,sudah tidak nyeri otot, sudah tidak sakit belakang kepala, tidak mual, tidak muntah.Sejak 4 hari terakhir tidak BAB, demam menetap naik turun, BAK tidak seperti teh, mata/badantidak kuning, tidak terjadi perdarahan.Saat HMRS keluhan yang dialami pasien semakin bertambah berat.Kondisi umum : lemah, CM, gizi cukup. Keadaan pulang : membaik.
Objective
Tanggal(Mei 2005)Parameter
12 14Nilai normal
SGOT 61,4↑ 0,0-37,0 U/LSGPT 85,6↑ 0,0-41,0 U/LBilirubin total 0,86 0,20-1,30 mg/dl
HBsAg : positifAnti HBe : positifHBeAg : negatifIgM anti HBc : negatifAnti HBs : negatifSuhu (ºC) : 36,6
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 05)
Nama Obat15 16 17 18 19 20 21
2
2
Diet TKTP diet hepar IIx √
Diet hepar II √ √ √ √ √ √ √
Inj RL 30 tpm √
Inj. KaEN 1B 20 tpm √ √ √ √
Lesifit 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √
Sistenol 3x1 √ √ √ √ √
Frego 3x5 mg √ √ √ √ √
Inj Ceftriazon 1 g/12 jam √ √ √ √ √ √ √ √
Inj Garamycin 80 mg 3x1 √ √ √
Inj Novalgin 2A/24jam i.m. (k/p) √ √
Assessment1. Efek samping ceftriaxone dapat menimbulkan gangguan fungsi hati.
DTPs : ADR.2. Tambahkan terapi lamivudin untuk terapi hepatitis B kronis yang sudah mengalami sirosis hati
dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Batasi penggunaan ceftriaxone.2. Tambahkan terapi lamivudin tablet/suspensi oral dengan dosis 100 mg sekali sehari.
64
Kasus 17 No. RM 00.59.63.39 (29/03/07-07/04/07)SubjectiveLaki-laki/89 tahun.DU : Penyakit Paru Obstruktif Kronis et causa Bronchitis Kronik.DL : Hepatitis B Kronis dan Suspect Benigna Prostat Hiperplasia.Keluhan utama : sesak nafasSepuluh HSMRS pasien mengeluh sesak nafas, batuk, dahak putih tidak berdarah, tidak demam,BAB/BAK tidak ada kelainan. 2 HSMRS, keluhan memberat. Pasien di-nebulizier di UGD RSUPDr. Sardjito, keluhan membaik, pasien boleh pulang.Saat HMRS pasien megeluh sesak nafas kambuh lagi sehingga dirawat inap.RPD : riwayat merokok lintingan ± 50 tahun, namun sudah berhenti ±10 tahun yang lalu.Kondisi umum : lemah, gizi kurang dan tampak sesak.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal (Maret-April 2007)Parameter
29 04 07Nilai normal
SGOT 211 U/L↑ 29 IU/L15-46 U/L10-42 IU/L
SGPT 119 U/L↑ 58,9 IU/L↑ 11-66 U/L10-40 IU/L
ALP 59 32-92 IU/LBil total 0,67 0,20-1mg/dlBil Direct 0,10 0,0-0,3 mg/dlBil Indirect 0,6 ≤0,75 mg/dlAlbumin 3,44↓ 2,30↓ 2,77↓ 3,50-5,00Globulin 3,9↑ 2,6 2,6 2,4-3,5 g/dlProtein Total 7,31 4,95↓ 5,39↓ 6,4-8,3 g/dlGGT 21,4 7,0-64,0 IU/LHbsAg positifSuhu (ºC) afebrisNadi(kali/menit) 96BP(mmHg) 130/80RR(kali/menit) 24
Penatalaksanaan
Diet TKTP RKH (29/03/07 – 07/04/07)infus NaCl 0,9% lini (29/03/07)infus normal salin 16 tpm (30/03/07-01/04/07)infus D5% 16 tpm (05/04/07-06/04/07)O2 3-8 liter/menit (29/03/07)Inj ceftriaxone 1g/12 jam (29/03/07 –04/04/07)azitromicin 1x500 mg (29/03/07 – 01/04/07)
Fluimucyl® sirup 3xcI (29/03/07 – 07/04/07)Inj MP 62,5 mg/12 jam (29/03/07)inj MP 62,5 mg/6 jam(30/03/07-03/04/07)inj MP 62,5 mg/24 jam (04/04/07)MP 4 mg 2-1-0 (05/04/07 – 07/04/07)Nebulizer (atrovent® 2 cc + Pulmicort® 2cc)per 8 jam (29/03/07 – 07/04/07)Curcuma® 3x200 mg (07/04/07)
Assessment1. Efek samping ceftriaxone dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.2. Azitromicin kontraindikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.3. Metil prednisolon kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati.
DTPs : ADR.4. Perlunya tambahan terapi untuk terapi hepatitis B kronis pada pasien yang belum mangalami
sirosis dekompensata.DTPs : perlunya tambahan terapi obat.
Plan1. Batasi penggunaan ceftriaxone.2. Hentikan penggunaan azitromicin.3. Hentikan penggunaan metil prednisolon.4. Tambahkan pemberian interferon α-2βsebesar 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
65
Tabel XXXIV. Kajian DTPs Kasus 18 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 18. No.RM : 01.30.56.28 (11/07/07-20/07/07)SubjectiveLaki-laki/48 tahun. DU : ARF ec Prerenal.DL : Hepatitis B Kronis, Pneumonia ec non Spesifik membaik. Komplikasi : Trombositopeniamembaik suspect Infeksi Viral. Keluhan utama: demam (kiriman dari rumah sakit lain dengandiagnosis Leptospirosis dengan Acute Renal Failure/Weil Disease).Pasien dirujuk ke RS. Sardjito untuk rencana hemodialisa cito. Sebelumnya, pasien merasa lemas,demam, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri perut, nyeri otot, tidak diare, BAK seperti teh dan 6 hariyang lalu pasien diare 5x, namun tidak ada keluhan sesak nafas.RPD : tidak ada riwayat hipertensi, tidak ada riwayat sakit kuning.Kondisi umum : sedang, CM, lemah. Keadaan pulang : membaik.Objective
Tanggal(Juli 2007)Parameter
11 19Nilai normal
SGOT 67,5↑ 72,0↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 47,5↑ 45,2↑ 10,0-40,0 IU/LALP 139↑ 32-92 IU/LBil total 2,49↑ 0,20-1mg/dlBil Direct 0,97 0,00-0,30 mg/dlAlbumin 1,95↓ 2,08↓ 3,50-5,00 g/dlGlobulin 4,3↑ 2,4-3,5g/dlProtein Total 5,65↓ 6,44 6,40-8,30 g/dlGGT 200,3↑ 7,0-64,0 IU/LAPTT 26,0 23,9-36,2 detikPPT 19,4↑ 10,8-14,3 detikHBsAg positifHBeAg negatifAnti HbeAg negatifIgM anti HBc negatifSuhu (ºC) 37,5Nadi (kali/menit) 100BP (mmHg) 130/90RR (kali/menit) 26
Penatalaksanaan
Diet RPRGRK (Protein 0,6 gram/kgBB/hari)(11/07/07-16/07/07)Diet TKTP + EPS (17/07/07-20/07/07)Infus NaCl 0,9% lini 20 tpm (11/07/07-20/07/07)O2 8 liter/menit (11/07/07)O2 3 liter/menit (12/07/07-20/07/07)
Inj ceftriaxone 1g/12 jam (11/07/07-20/07/07)Inj ranitidin 1A/12 jam (13/07/07-19/07/07)Inj radin® 1A/12 jam (20/07/07)ambroxol 3x1 (13/07/07 – 20/07/07)Azitromicin 1 x 500 mg (13/07/07-15/07/07)parasetamol 3x100mg (17/07/07-18/07/07)
Assessment1. Efek samping ceftriaxone dapat menimbulkan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.2. Azitromicin kontraindikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi hati. DTPs : ADR.3. Penggunaan parasetamol tidak sesuai karena pasien tidak menunjukkan gejala dan tanda
terjadinya demam. DTPs : terapi obat tanpa indikasi.4. Perlunya tambahan terapi interferon α-2β pada pasien yang belum mengalami sirosis
dekompensata. DTPs : perlunya tambahan terapi obat.Plan1. Batasi penggunaan ceftriaxone.2. Hentikan penggunan azitromicin.3. Hentikan penggunaan parasetamol.4. Tambahkan pemberian interferon α-2βsebesar 5 juta unit/hari secara injeksi subkutan.
66
Tabel XXXV. Kajian DTPs Kasus 19 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 19. No. RM 01.04.09.79 (28/05/07-05/06/07)SubjectiveWanita/67 tahun, DU : Kanker mamae kiri T1NoMo.DL : Hipertensi stage 2, obs. Hematoma, Hepatitis B Kronis Persisten.Keadaan pulang : membaik.
ObjectiveTanggal
(Mei-Juni 2007)Parameter28 30 31 04
Nilai normal
SGOT 28,0 35 15,0-46,0 U/LSGPT 33,0 29 11,0-66,0 U/LBil total 0,3 0,2-1,3 mg/dlBil Direct 0 0,00-0,40 mg/dlBil unconj. 0,3 0,00-1,1 mg/dlAlbumin 4,3 3,23↓ 3,50-5,00 g/dlGlobulin 2,5 2,4-3,5 g/dlProtein Total 7,7 4,70↓ 6,40-8,30 g/dlAPTT 26,1 28,8 23,9-36,2 detikPPT 12,8 18,4↑ 10,8-14,3 detikHBsAg positifSuhu (ºC) 36,7
PenatalaksanaanDiet rendah garam (28-31/05/07; 04-05/06/07)Diet TKTP rendah garam (01/06/07-03/06/07)Noperten® 1x10mg (28/05/07-31/05/07)Noperten® 1x5mg (01/06/07)Maintate® 1x2,5mg (28-01/06/07; 03-04/06/07)Maintate® 1x5mg (pagi) (02/06/07; 05/06/07)Plavix® 1x75mg sore (29/05/07-05/06/07)Frego® 3x5mg (29/05/07-05/06/07)Augmentin® 3x500 (01/06/07-05/06/07)Mefinal® 3x500 (31/05/07-01/06/07)
Kalnex® 3x500 (01/06/07-05/06/07)Pantosol® 1x1 (sore) (02/06/07-05/06/07)Brainact ®2x500 g (01/06/07-05/06/07)Aprovel® 1x5mg (sore) (02/06/07-03/06/07)vitamin K 3x100mg (04/06/07-05/06/07)DMP 3x1 (04/06/07-05/06/07)telmisartan 1x50mg (sore) (05/06/07)Fluimucyl® 3xcI (01/06/07-02/06/07)Inj cefotaxime 1g/12jam (30/05/07-31/05/07)Ditranex® 3x250mg (30/05/07-31/05/07)Rantin® 2x150mg (31/05/07-01/06/07)
Assessment1. Efek samping Augmentin® (kombinasi amoxicillin dan asam klavulanat) dapat menyebabkan
kolestatic jaundice dan hepatic disfunction.DTPs : ADR.
2. Asam mefenamat (Mefinal®) kontraindikasi pada pasien gangguan fungsi hati.DTPs : ADR.
3. Pantosol ® kontraindikasi pada pasien dengan kerusakan fungsi hati.DTPs : ADR.
4. Dosis valsartan (Aprovel®) di bawah dosis terapi pada pasien yang mengalami gangguan fungsihepar. DTPs : dosis terlalu rendah.
5. Dekstrometorfan kontraindikasi bagi pasien dengan gannguan fungsi hati.DTPs : ADR.
Plan1. Batasi penggunaan Augmentin® (kombinasi amoxicillin dan asam klavulanat)2. Hentikan penggunaan asam mefenamat (Mefinal®).3. Hentikan penggunaan pantoprazol (Pantosol®).4. Pada gangguan hati ringan-sedang dosis terapi valsartan (Aprovel®) dimulai sebesar dosis sebesar
1x40 mg dan dapat ditingkatkan sampai 1x80 mg.5. Hentikan penggunaan dekstrometorfan dan dapat diganti dengan antitusif lain seperti benzonatate
yang tidak berbahaya bagi hepar.6. Lakukan biopsi hepar untuk mengetahui apakah pada pasien mengalami nekroinflamsi.
67
Tabel XXXVI. Kajian DTPs Kasus 20 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 20. No. RM 00.58.45.29 (18/03/05-24/03/05)
SubjectiveLaki-laki/45 tahun.DU : Hepatitis B Kronik.Keluhan utama : lemah.Pasien adalah penderita hepatitis B sejak 1997 dan setelah itu pasien juga pernah menjalaniperawatan rawat inap pada tahun 1998 dan 2000, dimana pada tahun 2000 pasien didiagnosishepatitis B kronik aktif.Pasien rutin untuk memeriksa SGOT dan SGPT, selain itu pasien kadang-kadang mengkonsumsitemulawak dan curcuma.Enam HSMRS pasien memeriksa SGOT dan SGPT ternyata hasilnya diatas batas atas nilai normal.Pasien saat itu mengeluh lemas, mual, namun tidak muntah, tidak demam, BAK seperti teh, BABbiasa.Dua HSMRS pasien merasa lemas, mual, nafsu makan minum menurun, tidak demam dan keluhanyang dirasakan menetap.Pasien disarankan untuk dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito untuk menjalanipemeriksaan HBeAg dan HBcAg namun pasien menolak.Saat hari masuk rumah sakit keluhan yang dirasakan pasien menetap kemudian pasien memintauntuk dirawat.RPD : tidak ada riwayat sakit kuning, tidak ada riwayat transfusi, tidak ada riwayat penggunaanobat-obatan, dan tidak ada riwayat mengkonsumsi alkohol.Kondisi umum : baik, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.
Objective
Tanggal (Maret 2005)Parameter12 16 21
Nilai normal
SGOT 255↑ 356,7↑ 412,3↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 449,4↑ 586,2↑ 388,5↑ 10,0-40,0 IU/LHBsAg positifHBeAg negatifIgM anti HBc negatifSuhu (ºC) 37Nadi(kali/menit) 72BP (mmHg) 100/60RR (kali/menit) 20
Penatalaksanaan
Tanggal (Maret 2005)Nama Obat
18 19 20 21 22 23 24
DH III √ √ √ √ √ √ √
Hp Pro® 3x1 √ √ √ √ √ √ √
Vometa® 3x10 mg √ √ √ √
Cholesvit® 2x1 √ √ √ √
Assessment-
Plan1. Lakukan biopsi hepar untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami nekroinflamasi atau
tidak.
68
Tabel XXXVII. Kajian DTPs Kasus 21 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus 21. No. RM 00.58.45.29 (20/10/06-26/10/06)
SubjectiveLaki-laki/46 tahun.DU : Observasi Febris et causa suspect Typhoid Fever.Diagnosis lain : Hepatitis B Kronis.Keluhan utama : demam dan nyeri kepala.Pasien adalah penderita hepatitis B sejak 1997.Pasien pada tahun 2000 didiagnosis hepatitis B kronik aktif.Pasien terakhir kali menjalani perawatan pada bulan Maret tahun 2005 di RSUP Dr. Sardjito.Selama ±1 MSMRS pasien merasa demam (pada malam hari lebih tinggi) dan sakit kepala terutamasaat menyelesaikan pekerjaan kantor, BAK/BAB dalam batas normal, tidak batuk, tidak sakit waktuBAK namun sudah 2 hari terakhir pasien tidak BAB. Pasien dirawat karena keluhan sakit kepalamemberat, demam, mual namun tidak batuk.RPD : Hepatitis B kronis.Kondisi umum : sedang, CM, gizi cukup.Keadaan pulang : membaik.
Objective
Tanggal(Oktober 2006)Parameter
20Nilai normal
SGOT 60,8↑ 10,0-42,0 IU/LSGPT 58,3↑ 10,0-40,0 IU/LAlbumin 3,41↓ 3,50-5,00 g/dlGlobulin 4,2↑ 2,4-3,5 g/dlProtein Total 7,62 6,40-8,30 g/dlHBsAg positifSuhu (ºC) 38Nadi (kali/menit) -BP (mmHg) -RR (kali/menit) -
Penatalaksanaan
Tanggal (Oktober 2006)Nama Obat
20 21 22 23 24 25 26
Diet TKTP √ √ √ √ √ √ √Infus NaCl 0,9% lini √ √ √ √ √ √
Sistenol® 3x1 √ √ √ √ √
Hp Pro® 3x1 √ √ √ √ √ √ √
Injeksi Radin® 1A/12 jam √ √ √ √ √ √
Radin® 2x150mg tablet √
ciprofloksasin 2x500mg √ √ √ √ √ √
Assessment-
Plan1. Lakukan biopsi hepar untuk mengetahui apakah pasien mengalami nekroinflamasi.
69
Pada masing-masing kasus yang telah dibahas dengan metode SOAP
kemudian akan dirangkum menjadi masing-masing kategori Drug Therapy
Problems, yaitu adanya terapi obat tanpa indikasi, adanya indikasi penyakit yang
tidak diberikan terapi, ketidakefektifan pemilihan obat, dosis yang kurang, terjadinya
adverse drug reaction dan dosis yang berlebih dalam penggunaan obat di RSUP Dr.
Sardjito pada periode 2005-2007.
Pada masing-masing kategori akan dijabarkan jenis obat yang
menyebabkan terjadinya DTPs, kemudian dari masing-masing jenis obat tersebut
akan dibahas bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat terjadi sekaligus
memberikan rekomendasi yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
1. Dosis terlalu rendah
Tabel XXXVIII. Kasus DTPs Dosis Terlalu Rendah pada Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi
6, 7 spironolactone Pada kasus 6 (kecuali tanggal 24-29 Maret2007) dosis yang diberikan dibawah 100-400 mg/hari.
Tingkatkan pemberian dosismenjadi 100-400 mg/hari
13 spironolactone(Letonal®)
Dosis yang dianjurkan adalah sebesar 100-400 mg/hari namun pasien hanya menerima50 mg/hari
Tingkatkan dosis denganpemberian 100-400 mg/hari
14 ursodeoxycholicacid(Urdafalk®)
Dosis yang seharusnya diterima adalahsebesar 656-820 mg/hari sedangkan padakasus pasien hanya menerima dosis 500mg/hari
Tingkatkan dosis sesuai rangedosis
14 vitamin K Dosis oral yang diterima hanya 200 mg/harisedangkan dosis terapinya sebesar 300mg/hari
Naikkan dosis vitamin K oralmenjadi 3x100 mg/hari sesuaidengan dosis terapi
19 valsartan(Aprovel®)
Pada gangguan hati ringan-sedang dosisterap dimulai sebesar 1x40 mg/hari namunpada kasus dosis yang diterima hanya 5mg/hari
Tingkatkan dosis Aprovel®
sebesar dosis terapi awal dandapat ditingkatkan menjadisebesar 1x80 mg/hari
70
2. Obat yang tidak efektif
Tabel XXXIX. Kasus DTPs Terapi Obat yang Tidak Efektif pada Hepatitis B Kronis diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi1, 2, 6 laktulosa
(Duphalac®
dan Pralax®)
Laktulosa terbukti tidak bermanfaatdalam terapi ensefalopati hepatik
Hentikan penggunaan Duphalac®
dan Pralax®, untuk terapiensefalopati hepatik dapat diberikanneomisin dengan dosis 500-2000 mgsetiap 6-8 jam
6 omeprazole Pemberian omeprazole tidak afektifterhadap pendarahan variseal
Hentikan pemberian omeprazole dandapat diganti dengan oktreotidaselama 5 hari dengan pemberian ivbolus 25-50 mcg diikuti dengan ivinfusi kontinue 25-50 mcg/jam
14 entecavir(Baraclude®)
Baraclude® bukan terapi yang palingefektif terhadap hepatitis B kronisyang telah mengalami dekompensata
Ganti terapi Baraclude® denganlamivudin tablet/suspensi oraldengan dosis 1x100 mg secara oral
3. Dosis terlalu tinggi
Tabel XXXX. Kasus DTPs Dosis Terlalu Tinggi pada Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi1, 2, 6,12, 13,14
vitamin K Pasien mendapatkan dosis injeksi diatas dosisterapi yaitu diatas 10 mg. (Pada kasus 6 terjadidosis terlalu tinggi pada tanggal 15-25 Maret2007).Dosis oral (pada kasus 12) diatas dosis terapi yaitusebesar 3x2 100 mg per hari sebaiknya diturunkanmenjadi 3x100 mg per hari.
Turunkan dosis injeksimenjadi sebesar 1A/24 jam
Turunkan dosis oralmenjadi 3x100 mg per hari
10 amlodipin(Tensivask®)
Pada pasien gangguan hepar dosis yangdiperbolehkan menjadi sebesar 2,5 mg/harisedangkan dosis yang diterima sebesar 10 mg/hari.
Turunkan dosis Tensivask®
dengan pemberian sebesar2,5 mg/hari
10 bisoprolol Pada pasien dengan gangguan fungsi heparpenyesuaian dosis yang disarankan adalah sebesar2,5mg/hari
Turunkan dosis bisoprololmenjadi sebesar 2,5mg/hari
4. Terapi obat tanpa indikasi
Tabel XXXXI. Kasus DTPs Terapi Obat Tanpa Indikasi pada Hepatitis B Kronis diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi4 Sistenol®
(kombinasiparasetamol dann-acetylcysteine)
Pada kasus 4 yaitu pda tanggal 2 Oktober 2007 pasientidak demam sehingga Sistenol® tidak sesuai indikasi.
Hentikan penggunaanSistenol® (kombinasiparasetamol dan n-acetylcysteine)
18 parasetamol Penggunaan parasetamol tidak sesuai indikasi dimanapasien tidak menunjukkan gejala dan tanda terjadinyademam
Hentikan penggunaanparasetamol
71
5. Adverse drug reaction
Tabel XXXXII. Kasus DTPs Adverse Drug Reaction pada Hepatitis B Kronis di InstalasiRawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi1 kalium
(Aspar-K®)Kontraindikasi terhadap diuretika hematkalium
Hentikan penggunaan aspar-K®
4 Metil prednisolon(Somerol®)
Kontraindikasi terhadap penyakit hati Hentikan penggunaan somerol®
4 etambutol Efek sampingnya dapat menyebabkanhepatotoksisitas
Batasi penggunaan etambutol
5 levodropropizine(Levopront®)
Kontraindikasi terhadap terbatasnya fungsihati
Hentikan penggunaanLevopront® untuk mengatasibatuk tidak berdahak dapatdiganti dengan antitusifseperti benzonatate 3x100mg/hari
5, 19 pantoprazol(Pantosol®)
Kontraindikasi terhadap kerusakan fungsihati
Hentikan penggunaanPantosol®
3, 11,15, 16,17, 18
ceftriaxone(Biotriax®)
Efek sampingnya dapat menimbulkangangguan fungsi hati dan meningkatkannilai SGOT dan SGPT
Batasi penggunaan ceftriaxonedan pantau nilai SGOT danSGPT
11 amoxicillin Efek sampingnya dapat menyebabkanmeningkatnya AST dan ALT, kolestaticjaundice , hepatic kolestatic, dan hepatitiscytolitic akut
Batasi penggunaan amoxicillin
11 prednison Kontraindiksi terhadap penyakit hati Hentikan penggunaanprednison
11 Ceftazidime Efek sampingnya dapat menimbulkangangguan fungsi hati, hepatitis sementaradan ikterus kolestatik
Batasi penggunaan ceftazidime
14, 19 dekstromethorphan Kontraindikasi bagi pasien dengangangguan fungsi hati
Hentikan dekstrometorfan dandiganti dengan antitusif lainseperti benzonatate 100 mg3x/hari
15, 17,18
azitromicin Kontraindikasi terhadap pasien dengangangguan fungsi hati
Hentikan pemakaianazitromicin
15, 17 metil prednisolon Kontraindikasi terhadap penyakit hati Hentikan pemakaian metilprednisolon
15 ketokonazol Kontraindikasi terhadap pasien dengangangguan fungsi hati
Hentikan penggunaanketokonazole
19 amoxicillin danasam klavulanat(Augmentin®)
Efek sampingnya menyebabkan kolestaticjaundice dan hepatic disfungtion
Batasi penggunaan Augmentin®
19 (asam mefenamat)Mefinal®
Kontraindikasi pada pasien dengangangguan fungsi hati
Hentikan penggunaanMefinal®
72
6.Perlu tambahan terapi obat
Tabel XXXXIII. Kasus DTPs Perlu Tambahan Terapi Obat pada Hepatitis B Kronis diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi1, 2, 6, 7,8, 12, 13,14, 15, 16
lamivudin Perlu ditambahkan untuk terapihepatitis B kronis, dimana padapasien telah mengalami sirosisdekompensata
Berikan lamivudin tablet/suspensioral 1x100 mg
3, 4, 5, 11,17, 18
interferon α-2β Ditambahkan untuk terapi hepatitisB kronis, dimana pasien belummengalami sirosis dekompensata
Tambahkan terapi interferon α-2βsebanyak 5 juta unit/hari secarainjeksi subkutan
6 Sistenol® Pada tanggal 2-5 dan 7-8 April 2007pasien mengalami demam namuntidak diberikan antipiretik
Tambahkan antipiretik sepertiSistenol®
9, 10 Suplemenkalium
Pemakaian diuretik kuat dapatmenyebabkan hipokalemia
Tambahkan suplemen kalium
D. Rangkuman Pembahasan
Pada penelitian ini, jumlah kasus hepatitis B kronis yang dianalisa sebanyak
21 kasus. Karakteristik kasus hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr.
Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 berdasarkan kelompok usia, menunjukkan
bahwa persentase kasus hepatitis B kronis kelompok usia <30 tahun sebesar 4,8%
dan pada kelompok usia ≥30 tahun sebesar 95,2%. Karakteristik kasus hepatitis B
kronis berdasarkan kelompok jenis kelamin, menunjukkan bahwa persentase kasus
hepatitis B kronis dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 81,0% dan kasus pada
pasien jenis kelamin wanita sebesar 19,0%.
Persentase ketiga terbesar distribusi kelas terapi kasus hepatitis B kronis di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 adalah obat
gizi dan darah sebesar 100%, obat saluran cerna sebesar 76,2% dan obat infeksi
sebesar 66,7%. Pada masing-masing kelas terapi yaitu obat yang bekerja pada
saluran cerna jenis zat aktif terbanyak yang digunakan pada kasus hepatitis B kronis
adalah ranitidin (47,6%) dan laktulosa (19,0%). Pada kelas terapi obat yang
73
digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler jenis zat aktif yang terbanyak
digunakan adalah spironolakton (38,1%) dan propranolol (28,6%). Pada kelas terapi
obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan jenis zat aktif yang paling banyak
digunakan adalah oksigen (33,3%), asetilsistein (14,3%) dan dekstrometorfan
(14,3%). Pada kelas terapi obat yang bekerja pada sistem saraf pusat jenis zat aktif
yang paling banyak digunakan adalah domperidon (14,3%). Pada kelas terapi obat
yang bekerja sebagai analgesik jenis zat aktif yang paling banyak digunakan adalah
kombinasi parasetamol dan n-acetylcysteine(28,6%). Pada kelas terapi obat yang
digunakan untuk pengobatan infeksi jenis zat aktif yang paling banyak digunakan
adalah seftriakson (42,9%) dan sefotaksim (19,0%).
Pada kelas terapi obat-obat hormonal jenis zat aktif yang paling banyak
digunakan adalah suspensi netral isophane (14,3%) dan metil prednisolon (14,3%).
Pada kelas terapi obat yang mempengaruhi gizi dan darah jenis zat aktif yang paling
banyak digunakan adalah glukosa (47,6%), natrium klorida (42,9%) dan vitamin K
(42,9%). Pada kelas terapi obat untuk penyakit otot skelet dan sendi jenis zat aktif
yang paling banyak digunakan adalah alopurinol (4,8%) dan pada kelas terapi obat
sistem hepatobilier obat yang terbanyak digunakan adalah schizandrin C derivat
(33,3%) dan ursodeoxycholic acid (19,0%), serta Imreg® (4,8%)merupakan jenis obat
yang digunakan sebagai imunomodulator.
Pada analisa terjadinya Drug Therapy Problems pada masing-masing kasus
didapatkan hasil bahwa adanya terapi obat tanpa indikasi sebanyak 2 kasus (9,5%),
perlunya tambahan terapi obat sebanyak 18 kasus (85,7%), obat yang tidak efektif
sebanyak 4 kasus (19,0%), dosis terlalu rendah sebanyak 5 kasus (23,8%), dan dosis
74
terlalu tinggi sebanyak 7 kasus (33,3%) serta adverse drug reaction sebanyak 11
kasus (52,4%).
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis terhadap data kasus hepatitis B kronis di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. karakteristik kasus hepatitis B kronis berdasarkan kelompok usia paling banyak
terjadi pada kelompok ≥30 tahun (95,2%) dan berdasarkan jenis kelamin paling
banyak terjadi pada laki-laki (81,0%) serta berdasarkan komplikasi sirosis pada
kasus yang dianalisa paling banyak belum mengalami sirosis (52,4%).
2. pola pengobatan kasus hepatitis B kronis menggunakan 11 kelas terapi obat,
yaitu obat saluran cerna, obat kardiovaskuler, obat saluran pernapasan, obat
sistem saraf pusat, obat analgesic, obat infeksi, obat hormonal, obat gizi dan
darah, obat otot skelet dan sendi, obat sistem hepatobilier dan obat antineoplastik
dan imunomodulator. Tiga kelas terapi yang paling banyak digunakan adalah
obat gizi dan darah (100,0%), obat saluran cerna (69,6%) dan obat infeksi
(60,9%),
3. Pada kasus hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode 2005-2007 terjadi Drug Therapy Problems sebagai berikut :
a. terapi obat tanpa indikasi sebanyak 3 kasus (14,3%)
b. perlu tambahan terapi obat sebanyak 18 kasus (85,7%)
c. obat yang tidak efektif sebanyak 4 kasus (19,0%)
76
d. dosis terlalu rendah sebanyak 5 kasus (23,8%)
e. dosis terlalu tinggi sebanyak 7 kasus (33,3%)
f. adverse drug reaction sebanyak 11 kasus (52,4%)
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah :
1. bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta perlu adanya pengembangan Standar
Pelayanan Medis bagi kasus hepatitis B kronis.
2. untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan :
a. penelitian mengenai Drug Therapy Problems pada kasus hepatitis B kronis
di rumah sakit swasta besar lain dan,
b. penelitian mengenai Drug Therapy Problems pada kasus hepatitis B kronis
secara prospektif.
77
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 1-375, DepKes RI,Jakarta
Anonim, 2002, Hepatitis B,http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf,diakses tanggal 23 April 2008.
Anonim, 2008 a, Masalah Penggunaan Obat di Institusi Pelayanan Kesehatan,<http://www.farklin.com/images/multirow3fdeaal1d57e4e.pdf>, diaksestanggal 23 April 2008
Anonim, 2008 b, Surface and Bed of Live,<http://medliner.narod.ru/netter/hepar_speredi.JPG>, diakses tanggal 5 Mei2008
Anonim, 2008 c, The Hepatitis B Virus,<http://www.hon.ch/Library/Theme/HepB/hbvirus.GIF>, diakses tanggal 23April 2008
Anonim, 2008 d, RS DR. Sardjito Yogyakarta, http://sardjito.net/?page_id=18,diakses tanggal 23 April 2008
Anonim, 2008 e, Farmakokinetika Klinik dan Dasar-dasar Pengaturan Dosis Obatdalam Klinik, http://www.farklin.com/images/multirow3f27183ac359b.pdfdiakses tanggal 5 Januari 2009
Anonim, 2008 f, Hepatitis B, http://images.google.co.id/imgres?imgurl=, diaksestanggal 5 Januari 2009
Anonim, 2008 g, Asam Ursodeoksikolat Perbaiki Kolestasis,http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=760, diakses tanggal 7 Januari 2009
Anonim, 2008 h, Informasi Spesialite Obat Indonesia, 1-510, ISFI Penerbitan,Jakarta
Anonim, 2008 i, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008, 1-379,CMPMedica Asia Pte LTd, Singapore
Algren D. A., 2008, Review of N-Acetylcysteine for The Treatment of Acetaminophen(Paracetamol) Toxicity in Pediatricsi, Second Meeting of The Subcommitte ofthe Expert Committe on the Selection and Use of Essential Medicines,Geneva
78
Cipolle, R.J. dan Strand, L.M., 2004, Pharmaceutical Care Practice The Clinician’sGuide, Second Edition, 172-173, 178-179, 197, McGraw-Hill, New York
DiPiro, J.T., et al., 2005, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach , 6th ed.,737-757, McGraw-Hill, New York
Lacy, Armstrong, Goldman, Lance, 1-1692, 1717, 2006, Drug InformationHandbook 14th Edition, Lexi-Comp, America
Lesmana, L.A., 2006, Panduan Tata Laksana Infeksi Hepatitis B Kronik 26 Agustus2006, Risalah Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Jakarta
Pearce, E., 2008, Anatomy & Physiology for Nurses, diterjemahkan oleh Handoyo,S.Y., 201-203, Gramedia, Jakarta
Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran danKesehatan, 10-11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Price, S.A. and Wilson, L.M., 1994, Patofisiologis Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit, 4th ed., 426-427, Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Sabrina, 2008, Pengobatan Tidak Rasional Marak di Indonesia,http://salsabila17.multiply.com/journal/item/19/Pengobatan_Tidak_Rasional_Marak_Di_Indonesia, diakses tanggal 5 Januari 2009.
Sari, W., 2008, Care Yourself, Hepatitis, 31, Plus+, Jakarta
Siregar, F.A., 2008, Hepatitis B Ditinjau Dari Kesehatan Masyarakat dan UpayaPencegahan, Laporan Penenlitian, Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Sumatera Utara, Sumatera Utara
Soemoharjo, S., 2008, Hepatitis Virus B Edisi 2, 1, 2, 11, 20-21, 67-75, BukuKedokteran EGC, Jakarta
Walker, R., dan Edwards C., 2001, Clinical Pharmacy and Therapeutics 2nd edition,195-211,Churchill Livingstone, New York
79
BIOGRAFI PENULIS
Florencia Abon Wenge merupakan anak ketiga dari
pasangan Fransiskus Raya Wenge dan Maria Kidi
Langoday, lahir di Jakarta pada tanggal 4 Oktober
1986. Pendidikan Pendidikan awal dimulai di Taman
Kanak-Kanak Budi Mulia Jakarta pada tahun 1992.
Dilanjutkan ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar
Budi Mulia Jakarta pada tahun 1993-1999.
Selanjutnya ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Pertama Budi Mulia Jakarta pada tahun 1999-2002. Kemudian naik ke jenjang
pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 68 Jakarta pada tahun 2002-2005.
Selanjutnya pada tahun 2005 melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikan masa studi pada
tahun 2009. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Botani Dasar (2007), Asisten
Praktikum Farmasi Fisika II (2007) dan Asisten Farmakologi Dasar (2008).