102

EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id
Page 2: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

EVALUASI NASIONAL PROGRAM SATUAN PENDIDIKAN AMAN

BENCANA Laporan Penelitian

Diinisiasi oleh:

Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana

Dilaksanakan oleh:

Didukung oleh:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Agama

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Badan Nasional Penanggulangan Bencana

UNICEF

2020

Page 3: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 2 dari 100

TIM PENYUSUN

TIM PENULIS

Dr. Avianto Amri

Dr. Nuraini Rahma Hanifa

Yusra Tebe

Dr. Jonatan Lassa

Giovanni Cynthia Pradipta

M. Reperiza Furqon

Leslie Nangkiawa

KONTRIBUTOR

Gisella Nappoe

Jeeten Kumar

Maora Rianti

Nabiilah Mujahidah

Putriani Novianty

Tsaairoh

DEWAN PENGARAH

• Sekretariat Jenderal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

• Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemendikbud)

• Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Khusus, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

• Direktorat Sekolah Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

• Direktorat Mitigasi Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

• Direktorat Sistem Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB)

• Direktorat Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK),

Kementerian Agama (Kemenag)

• Direktorat Prasarana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

(PUPR)

TIM PENYUNTING

Dr. Samto

Mukhlis, ST

Janaka, Msi

Faisal Khalid

Wahyu A. Kuncoro

Nugroho Warman

Page 4: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 3 dari 100

SAMBUTAN KETUA SEKRETARIAT NASIONAL SATUAN

PENDIDIKAN AMAN BENCANA

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat karunia-Nya, laporan

penelitian “Evaluasi Nasional Program Satuan Pendidikan Aman Bencana” ini selesai disusun.

Indonesia memiliki lebih dari 500,000 satuan pendidikan dari berbagai jenjang baik itu

pendidikan formal, informal, dan non formal. Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu

negara yang paling rawan bencana di dunia. Sehingga, program Satuan Pendidikan Aman

Bencana (SPAB) ini penting untuk diterapkan di seluruh satuan pendidikan untuk memastikan

seluruh peserta didik dapat belajar secara nyaman dan aman dari ancaman bencana, dapat

mendapatkan pengetahuan yang penting yang dapat menyelamatkan hidupnya bila terjadi

bencana, serta dapat memulihkan sektor pendidikan dengan segera saat terdampak bencana.

Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB) yang dikoordinir oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta didukung oleh Kementerian Agama, Badan

Nasional Penanggulangan Bencana, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat dan juga mitra-mitra Seknas SPAB lainnya telah mendukung implementasi program

SPAB yang sudah diinisiasi semenjak tahun 2008 yang merupakan hasil upaya bersama multi

pihak dan kolaborasi antara berbagai instansi pemerintah, LSM, akademisi, pihak swasta, dan

juga organisasi masyarakat lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Seknas SPAB memiliki tugas mengkoordinasikan

penyelenggaraan program SPAB, termasuk di dalamnya adalah untuk melakukan evaluasi

terhadap program SPAB yang sejauh ini dijalankan, mendokumentasikan praktik-praktik baik,

capaian, dan inovasi yang telah dihasilkan, serta mengidentifikasi pembelajaran yang didapat

selama ini sehingga bermanfaat untuk merumuskan program SPAB ke depannya. Evaluasi

program SPAB ini adalah yang pertama kali dilakukan secara komprehensif yang membahas

seluruh komponen program SPAB, baik dari aspek fasilitas atau sarana dan prasarana,

manajemen penanggulangan bencana di satuan pendidikan, serta pendidikan pengurangan

risiko bencana. Evaluasi ini juga melibatkan berbagai pihak baik di tingkat nasional dan di

daerah, termasuk juga sudut pandang dari anak-anak, orang tua, guru dan tenaga pendidikan

lainnya, LSM, dan juga para donor.

Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam evaluasi ini, saya sampaikan terima kasih.

Saya berharap laporan evaluasi ini dapat dimanfaatkan dengan baik serta menjadi acuan untuk

seluruh pihak baik dari lembaga pemerintah, non-pemerintah, dan swasta, dalam menyusun

program SPAB ke depannya sehingga bisa menjadi lebih efektif, tepat sasaran, menyasar ke

seluruh satuan pendidikan, dan berjalan secara berkelanjutan.

Page 5: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 4 dari 100

SAMBUTAN UNICEF INDONESIA

Situasi pandemi COVID-19 di Indonesia telah menyebabkan terdampaknya akses pendidikan

berkualitas bagi lebih dari 68 juta anak dan 4 juta guru dan tenaga pendidikan lainnya di lebih

dari 534 ribu sekolah di Indonesia. Situasi ini semakin perlu diwaspadai mengingat Indonesia

merupakan negara yang memiliki kerentanan terhadap ancaman alam yang tinggi, baik itu

ancaman banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gempa, tsunami, letusan gunung api, dan

ancaman-ancaman lainnya. Setiap tahunnya, jutaan anak-anak di Indonesia berada di wilayah

dengan kerentanan tinggi dari bencana. Oleh karena itu, program satuan pendidikan yang aman

bencana (SPAB) menjadi sangat penting, sangat relevan, dan mendesak untuk diwujudkan di

Indonesia.

Setiap anak dilindungi hak-haknya dalam Konvensi Hak-hak Anak, yaitu hak untuk hidup, hak

tumbuh kembang, hak untuk perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi, termasuk juga di

dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas.

UNICEF mendorong seluruh pihak untuk bekerja bersama dalam memastikan keselamatan

seluruh anak-anak saat belajar dan mendidik anak-anak untuk berdaya untuk menghadapi

ancaman bencana di masa kini dan masa depan. Evaluasi program SPAB ini menjadi momen

yang sesuai untuk mendokumentasikan praktik-praktik baik yang sudah dicapai dan juga

pembelajaran yang sudah ada sehingga kita bisa memperkuat koordinasi dan kolaborasi, serta

menentukan secara bersama langkah-langkah berikutnya untuk program SPAB yang lebih

terintegrasi, menyeluruh, dan berkelanjutan.

UNICEF memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan sebagai koordinator Sekretariat Nasional SPAB (Seknas SPAB) beserta

Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Nasional

Penanggulangan Bencana yang telah menginisiasi dan mendukung pelaksanaan evaluasi

program SPAB ini. Semoga hasil dari evaluasi ini dapat digunakan sebagai acuan bagi berbagai

pelaku SPAB di Indonesia yang pada akhirnya kita semua dapat memberikan kontribusi berarti

bagi seluruh anak-anak di Indonesia.

Jakarta, 12 Maret 2021

Hiroyuki Hattori

Chief of Education (Ketua Pendidikan), UNICEF Indonesia

Page 6: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 5 dari 100

RINGKASAN EKSEKUTIF

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tren kejadian bencana jangka

panjang di Indonesia semakin sering terjadi, semakin parah dampaknya, semakin luas wilayahnya,

semakin susah diprediksi, dan semakin kompleks penanganannya. Indonesia merupakan salah satu

negara dengan sistem pendidikan terbesar di dunia, dimana berdasarkan data pokok pendidikan

(DAPODIK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat jumlah peserta

didik lebih dari 47 juta dan lebih dari 3.2 juta guru dengan lebih dari 272 ribu satuan pendidikan. Hal

ini patut menjadi perhatian bersama karena banyak satuan pendidikan yang berada di wilayah yang

rawan bencana.

Pemerintah Indonesia telah secara serius menerapkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana

(SPAB) sejak 2008, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga non-

pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Evaluasi ini diinisiasi langsung oleh Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan dan berisi dewan pengarah dari Kementerian/ Lembaga yang berpengaruh langsung

pada program SPAB yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Evaluasi ini didukung oleh UNICEF dan

melibatkan beragam lembaga non-pemerintah dan akademisi, termasuk jejaring Konsorsium

Pendidikan Bencana (KPB) hingga ke tingkat satuan pendidikan melibatkan para kepala sekolah, guru

dan siswa.

Studi ini dilakukan untuk menggali evaluasi efektivitas implementasi SPAB dalam 12 tahun terakhir

berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkait capaian, pembelajaran, dan praktik-praktik baik yang kemudian

menjadi dasar untuk merancang strategi ke depannya terkait SPAB.

Evaluasi ini menggunakan kriteria relevansi, efektivitas, efisiensi, dampak, keberlanjutan, dan inovasi.

Secara keseluruhan, studi ini menggunakan metode gabungan antara lain studi pustaka, kuesioner

daring, wawancara, dan diskusi kelompok terpumpun secara daring. Wilayah penelitian terdiri dari

tingkat nasional dan di tingkat provinsi, yaitu di Aceh, DKI Jakarta, NTT, dan Sulawesi Tengah. Periode

pengambilan data dimulai pada bulan Maret 2020 dan berakhir di bulan Oktober 2020.

Evaluasi ini juga melibatkan lebih dari 2,000 suara anak-anak melalui survei yang tersebar di seluruh

provinsi di Indonesia. Berdasarkan observasi kami, tidak ada keterbatasan yang signifikan yang dapat

mempengaruhi kualitas evaluasi ini.

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis secara komprehensif ketiga pilar secara

makro (tingkat nasional) hingga ke level mikro di tingkat satuan pendidikan di daerah. Beberapa temuan

kunci dari penelitian ini antara lain:

Inovasi telah banyak dihasilkan dari penyelenggaraan program SPAB

Pembentukan Seknas SPAB dan Sekber SPAB menunjukkan inovasi sistemik untuk memperkuat

koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama multi pihak yang mendorong adanya mobilisasi sumber daya

(baik dari sisi pendanaan, SDM, dan perangkat) serta upaya peningkatan kapasitas secara lebih

terstruktur untuk warga sekolah mengadopsi dan menerapkan ketiga pilar SPAB. Di sisi lain, kerja sama

satuan pendidikan dengan pihak eksternal dengan mengintegrasikan program yang sudah berlangsung

seperti Pramuka, Tagana Masuk Sekolah, Palang Merah Remaja, dan Hizbul Wathan merupakan

strategi yang efektif untuk menerpakan program SPAB secara lebih sistematis.

BNPB bersama Kemendikbud juga meluncurkan aplikasi untuk pemantauan dan pengawasan

penyelenggaraan program SPAB. Aplikasi ini akan melakukan pemetaan secara rutin dan

memutakhirkan capaian program SPAB di tingkat satuan pendidikan.

Page 7: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 6 dari 100

Capaian yang tidak berimbang antara pilar 1 dengan Pilar 2 dan pilar 3 dan juga untuk tiap jenjang

dan jenis satuan pendidikan

Penerapan program SPAB masih didominasi di satuan pendidikan yang dikelola oleh Kemendikbud,

khususnya di jenjang Sekolah Dasar. Secara keseluruhan, penyelenggaraan SPAB masih minim

dilakukan di PAUD, pendidikan tinggi, dan sekolah vokasional. Selain itu, penerapan SPAB di

madrasah masih sangat terbatas dan juga di pendidikan non-formal, yaitu di SKB dan PKBM.

Penerapan program SPAB juga masih berat sebelah dimana intervensi yang populer dilakukan adalah

intervensi yang berpengaruh pada Pilar 2 dan Pilar 3, sedangkan masih sedikit lembaga yang bergerak

di Pilar 1.

Kualitas program SPAB sangat bergantung pada kapasitas guru. Sehingga, peningkatan kapasitas untuk

guru adalah sangat penting dalam penyelenggaraan program SPAB. Strategi bimbingan teknis (bimtek)

untuk guru dan tenaga pendidikan lainnya perlu disusun dan diterapkan secara terstruktur, sistematis,

masif dan berkelanjutan. Penggunaan metode e-learning, bimtek secara daring, dan penyesuaian pada

pendidikan tinggi untuk guru bisa mendukung upaya untuk peningkatan kapasitas guru dan tenaga

pendidikan lainnya. Bimtek yang dilaksanakan perlu membangun kepercayaan diri guru untuk

melaksanakan SPAB secara mandiri dan fleksibel.

Motor penggerak SPAB masih di dominasi oleh Pemerintah Pusat dan Organisasi Masyarakat Sipil

Selama lebih dari satu dekade, motor penggerak SPAB masih didominasi oleh pemerintah pusat dan

organisasi masyarakat sipil. Hal ini perlu berubah seiring dengan waktu. Peran pemerintah daerah dan

pihak swasta semakin menjadi penting. Evaluasi ini menunjukkan bahwa Kepala sekolah memegang

peran penting dalam keberlanjutan program SPAB, sedangkan pemerintah daerah berperan penting

dalam memperluas cakupan (scaling-up) dan replikasi.

Inklusivitas belum diterapkan secara luas dan sistematis

Kebijakan saat ini dalam menerapkan program SPAB masih menempatkan wilayah 3T dan wilayah

pasca bencana sebagai prioritas penanganan fasilitas sarana prasarana satuan pendidikan yang aman

bencana. Program SPAB masih banyak diselenggarakan dengan tidak menyasar pada pendekatan yang

inklusif, termasuk dalam memastikan bahwa intervensinya turut mempertimbangkan kepentingan anak-

anak berkebutuhan khusus atau melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus.

Evaluasi ini juga menghasilkan rekomendasi spesifik yang ditujukan untuk:

1) pemerintah pusat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan kebijakan secara masif dan

berkelanjutan; menyusun revisi peta jalan SPAB 2020-2014; norma, standar, prosedur, dan kriteria

terkait sarana prasarana SPAB perlu dilengkapi; pemanfaatan teknologi informasi untuk

pemantauan dan pengawasan -termasuk pelaksanaan SPAB yang inklusif; serta mendorong inovasi

di masa pandemi COVID-19;

2) pemerintah daerah, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota antara lain advokasi regulasi di tingkat

daerah sesuai dengan konteks daerah dan memastikan seluruh satuan pendidikan di daerahnya aman

dari ancaman bencana, pembentukan Tim Ahli Bangunan dan Gedung, mengalokasikan anggaran

untuk SPAB, penyediaan mekanisme konsultasi dan kolaborasi, memperluas kerja sama dengan

pihak lainnya, mendorong integrasi dengan program PRB berbasis komunitas dan keluarga); dan

3) satuan pendidikan antara lain optimasi dana BOS dan dana alternatif lainnya seperti dana desa dan

dari swasta, melakukan kajian risiko bencana di tingkat satuan pendidikan dengan konteks lokal,

menyusun prosedur tetap untuk penanggulangan bencana di sekolah, membentuk tim siaga,

melakukan simulasi secara rutin, integrasi dalam RPP sesuai dengan karakteristik ancaman

setempat yang ada dan yang akan datang, menciptakan dan mempromosikan champions, serta

mengajak dukungan orang tua dan masyarakat untuk menerapkan SPAB.

Page 8: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 7 dari 100

DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ...................................................................................................................... 2

SAMBUTAN KETUA SEKRETARIAT NASIONAL SATUAN PENDIDIKAN AMAN

BENCANA ................................................................................................................................ 3

SAMBUTAN UNICEF .............................................................................................................. 4

Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 5

BAB I. Pendahuluan .................................................................................................................. 9

I.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 9

I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10

I.3. Komposisi Tim .............................................................................................................. 10

I.4. Kerangka Laporan ......................................................................................................... 10

BAB II. Metodologi ................................................................................................................. 12

II.1. Deskripsi Metodologi Penelitian .................................................................................. 12

II.2. Wilayah Penelitian ....................................................................................................... 12

II.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................................................... 13

II.4. Pemantuan Kualitas dan Analisis Data ........................................................................ 16

II.5. Etika Penelitian ............................................................................................................ 17

II.6. Periode Penelitian ......................................................................................................... 18

II.7. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian............................................................................ 18

BAB III. Hasil Penelitian dan Analisis Data Kuantitatif ......................................................... 20

III.1. Gambaran Umum ........................................................................................................ 20

III.2. Perspektif terhadap ancaman bencana ........................................................................ 20

III.3. Perspektif terhadap kesiapsiagaan bencana ................................................................ 22

III.4. Ketertarikan terhadap isu penanggulangan bencana ................................................... 23

III.5. Ringkasan hasil survei ................................................................................................ 25

BAB IV. Hasil Penelitian dan Analisis Tiap Pilar ................................................................... 25

IV.1. Gambaran Umum........................................................................................................ 25

IV.2. Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana .................................................. 26

IV.2.1. Relevansi.............................................................................................................. 28

IV.2.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 30

IV.2.3. Dampak ................................................................................................................ 32

IV.2.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 32

IV.2.5. Inovasi.................................................................................................................. 33

IV.2.6. Pembelajaran........................................................................................................ 34

Page 9: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 8 dari 100

IV.3. Pilar 2. Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan ........................ 35

IV.3.1. Relevansi.............................................................................................................. 38

IV.3.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 39

IV.3.3. Dampak ................................................................................................................ 42

IV.3.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 43

IV.3.5. Inovasi.................................................................................................................. 44

IV.3.6. Pembelajaran........................................................................................................ 45

Studi Kasus: Inovasi Monitoring dan Evaluasi Nasional ................................................ 47

IV.4. Pilar 3. Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan ................... 49

IV.4.1. Relevansi.............................................................................................................. 49

IV.4.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 51

IV.4.3. Dampak ................................................................................................................ 64

IV.4.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 67

IV.4.5. Inovasi.................................................................................................................. 70

IV.4.6. Pembelajaran........................................................................................................ 71

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................. 75

V.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 75

V.2. Rekomendasi ................................................................................................................ 76

V.2.1. Rekomendasi untuk Pilar 1 ................................................................................... 76

V.2.2. Rekomendasi untuk Pilar 2 ................................................................................... 77

V.2.3. Rekomendasi untuk Pilar 3 ................................................................................... 79

BAB VI. Lampiran................................................................................................................... 82

VI.1. Peta ............................................................................................................................. 82

VI.2. Daftar Regulasi Terkait SPAB .................................................................................... 82

VI.3. Perangkat Pengambilan Data ...................................................................................... 83

VI.3.1. Kuesioner ............................................................................................................. 83

VI.3.2. Pertanyaan Panduan untuk Diskusi Terpumpun .................................................. 85

VI.4. Kerangka Acuan Kerja Evaluasi ................................................................................. 88

VI.5. Disasters and Risks for Children in terms of Education ............................................. 88

VI.6. Safe Schools Programme ............................................................................................ 88

VI.7. Referensi ..................................................................................................................... 99

Page 10: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 9 dari 100

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana dengan beragam jenis

ancaman alam baik termasuk banjir, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan aktivitas gunung

berapi. Ancaman alam ini menyebabkan kerusakan besar dan korban jiwa setiap tahunnya

dengan estimasi kerugian ekonomi sekitar US$ 2,2 miliar hingga US$ 3 miliar per tahun dalam

satu dekade terakhir1. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB)2, tren kejadian bencana di Indonesia dari tahun ke tahun semakin sering terjadi

(Gambar 1), semakin parah dampaknya, semakin luas wilayahnya, semakin susah diprediksi,

dan semakin kompleks penanganannya.

Gambar 1 . Tren kejadian bencana di Indonesia (2004 - 2019)

Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbesar di dunia,

dimana berdasarkan data pokok pendidikan (DAPODIK) dari Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat lebih dari 47 juta peserta didik, lebih dari 3.2 juta guru

dan lebih dari 272 ribu satuan pendidikan. Hal ini patut menjadi perhatian bersama karena

banyak satuan pendidikan yang berada di wilayah yang rawan bencana. Berdasarkan kajian

yang dilakukan oleh Kemendikbud dan BNPB (2019), lebih dari 52 ribu satuan pendidikan

berada di wilayah rawan gempa bumi dan sekitar 54 ribu satuan pendidikan berada di wilayah

rawan banjir3.

Pemerintah Indonesia telah secara serius menerapkan program Satuan Pendidikan Aman

Bencana (SPAB) sejak 2008, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk

lembaga non-pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Beberapa inisiatif yang telah dilakukan

adalah disusunnya Peta Jalan Sekolah Aman 2015-2019, pembentukan Sekretariat Nasional

untuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB), dikeluarkannya Peraturan Menteri

no. 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB dan disusunnya pedoman teknis,

serta munculnya berbagai inisiatif peningkatan kapasitas untuk para guru dan peserta didik.

Studi ini dilakukan untuk mendukung finalisasi rencana strategis menengah (RPJMN) 2020-

2024, Rencana Strategis UNICEF, serta langkah-langkah berikutnya untuk inisiatif SPAB.

Studi ini digunakan untuk menggali bukti-bukti ilmiah yang kemudian menjadi dasar untuk

1 World Bank/GFDRR, 2018. "Advancing Disaster Risk Financing and Insurance in Asean Member States: Framework and Options for Implementation." 2 BNPB, 2019. "Data Dan Informasi Bencana Indonesia (Dibi)," http://dibi.bnpb.go.id/. 3 Kemendikbud, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019. "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia," (Jakarta, Indonesia).

Page 11: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 10 dari 100

merancang strategi masa depan agar efektif, efisien, berkelanjutan, dan memberikan hasil

dampak yang lebih optimal.

I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian

Studi ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan yang substantif dan berbasis bukti

tentang implementasi SPAB di Indonesia dengan mengidentifikasi tantangan, praktik yang

baik, pembelajaran serta pemetaan pelaku utama, kebijakan dan pedoman program terkait

SPAB di Indonesia. Adapun tujuan khusus studi evaluasi ini yaitu untuk:

1. Mengkaji tantangan, implementasi program SPAB yang sedang berjalan dan

pencapaiannya.

2. Mengumpulkan bukti-bukti ilmah tentang efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan

program SPAB di Indonesia, dan untuk menentukan bidang prioritas yang paling relevan

untuk difokuskan

3. Menyediakan rekomendasi strategis tentang bagaimana program SPAB dapat dipertahankan

dan ditingkatkan di Indonesia.

I.3. Komposisi Tim

Evaluasi ini diinisiasi oleh Seknas SPAB Kemendikbud dengan dukungan dari UNICEF

Indonesia dan dilaksanakan oleh Resilience Development Initiative, yang terdiri dari:

• Ketua Tim: Dr. Avianto Amri

• Peneliti utama untuk Pilar 1: Dr. Nuraini Rahma Hanifa

• Peneliti utama untuk Pilar 2: Yusra Tebe

• Peneliti utama untuk Pilar 3: Dr. Jonatan Lassa

• Asisten peneliti untuk Pilar 1: Giovanni Cynthia Pradipta

• Asisten peneliti untuk Pilar 2: M. Reperiza Furqon

• Asisten peneliti untuk Pilar 3: Leslie Nangkiawa

• Asisten Pendukung: Gisella Nappoe, Jeeten Kumar, Tsaairoh

I.4. Kerangka Laporan

Laporan ini terdiri dari lima bagian dan disusun berdasarkan kerangka kerja SPAB yang

digunakan secara global, yaitu Tiga Pilar SPAB: Pilar 1 Fasilitas Satuan Pendidikan Aman

Bencana; Pilar 2 Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan; dan Pilar 3

Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan.

Bab dua membahas mengenai metodologi penelitian yang digunakan dalam evaluasi ini,

termasuk menjelaskan wilayah penelitian, metode pengumpulan data, teknik yang digunakan

tim peneliti untuk memastikan data dikumpulkan dan dianalisis secara berkualitas, jadwal

penelitian, langkah-langkah yang digunakan untuk memastikan sesuai dengan kaidah etika

penelitian, serta aspek-aspek yang memperkuat penelitian ini dan keterbatasan yang dimiliki.

Bab tiga menjelaskan mengenai hasil penelitian dari pengambilan data kuantitatif, yaitu

menggunakan kuesioner secara daring untuk menangkap perspektif anak. Tiga aspek utama

dibahas yaitu perspektif terhadap ancaman bencana, terhadap kesiapsiagaan bencana, serta

ketertarikan mereka terhadap isu penanggulangan bencana. Bab ini kemudian diakhiri dengan

kesimpulan terkait hasil survei.

Page 12: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 11 dari 100

Bab empat menjelaskan hasil penelitian dan analisis tiap pilar dengan menggunakan enam

kriteria evaluasi yaitu: 1) Relevansi; 2) Efektivitas dan efisiensi; 3) Dampak; 4) Keberlanjutan;

5) Inovasi; dan 6) Pembelajaran. Bab lima kemudian memaparkan mengenai kesimpulan dan

rekomendasi, terutama rekomendasi untuk tiap pilar.

Page 13: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 12 dari 100

BAB II. METODOLOGI

II.1. Deskripsi Metodologi Penelitian

Dari segi pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan seperti yang

dijabarkan di bawah ini.

Gambar 1. Pendekatan dalam Pengumpulan dan Analisis Data

Berbagai penelitian sebelumnya telah mencoba untuk melihat pandangan anak (Back et al.,

2009; Tanner, 2010), guru serta anggota sekolah lainnya (Buchanan et al., 2009; Johnson &

Ronan, 2014; Shiwaku et al., 2006), dan organisasi non-pemerintah (Djalante & Thomalla,

2012). Namun penelitian yang menggabungkan pandangan seluruh pemangku kepentingan

tersebut masih sangat terbatas, terutama dalam bidang pengurangan risiko bencana yang

berpusat pada anak dan program SPAB.

II.2. Wilayah Penelitian

Pengumpulan data dilakukan di tingkat nasional dan sub-nasional. Provinsi yang disarankan

oleh Dewan Pengarah adalah di Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), DKI Jakarta, dan

Sulawesi Tengah (Gambar 2).

Gambar 2. Wilayah Penelitian

Provinsi Aceh dipilih menggambarkan wilayah yang sudah menjalani proses pemulihan dari

bencana berskala besar (Gempa dan Tsunami Samudra Hindia di tahun 2004) dan juga telah

mengalami beberapa bencana berskala kecil dan menengah, dimana salah satu bencana yang

Data sekunder:

Tinjauan pustaka Kuesioner

Wawancara

Informan kunci dan

Diskusi Kelompok

Page 14: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 13 dari 100

relatif baru terjadi adalah saat gempa Pidie Jaya di tahun 2016. Pada tanggal 7 Desember 2016,

gempa bumi berkekuatan 6.4 M mengguncang wilayah Kabupaten Pidie Jaya, provinsi Aceh

di pagi hari yang menyebabkan 104 korban jiwa dan sekitar 85,000 orang terkena dampak.

Gempa bumi tersebut juga menyebabkan kerusakan pada lebih dari 11,000 bangunan, termasuk

lebih dari 200 satuan pendidikan, serta perkantoran, fasilitas ibadah, dan rumah sakit.

Provinsi NTT dipilih untuk mewakili perspektif dari non-urban dan juga provinsi yang

memiliki ancaman bencana berskala kecil dan menengah setiap tahunnya. Provinsi NTT

menghadapi berbagai jenis ancaman bencana, terutama terkait banjir, gempa bumi, gunung

berapi, tsunami, angin puting beliung, serta kekeringan, dimana hal ini diperburuk dengan

adanya perubahan fungsi lahan, pembangunan infrastruktur, penebangan liar, perubahan iklim,

serta kemiskinan yang meningkatkan risiko bencana4.

Provinsi Sulawesi Tengah dipilih berdasarkan wilayah yang baru saja menghadapi bencana

berskala besar yaitu gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi ekstrem di tahun 2018 serta saat ini

masih dalam proses pemulihan. Pada tanggal 28 September 2018, gempa bumi berkekuatan 7,5

M dengan episentrum yang terletak 81 Km sebelah utara Kota Palu di Sulawesi Tengah

menyebabkan guncangan tanah yang kuat dan tsunami yang merusak pemukiman pesisir di

sepanjang Teluk Palu. Bencana ini mengakibatkan 4.402 korban jiwa dan sekitar 1.5 juta orang

terkena dampak dimana 665,000 diantaranya adalah anak-anak5. Bencana ini juga

menyebabkan kerusakan pada lebih dari 1,100 satuan pendidikan dengan lebih dari 12,000 guru

terkena dampak6.

Sedangkan, provinsi DKI Jakarta dipilih berdasarkan daerah urban yang sering mengalami

ancaman bencana rutin setiap tahunnya yaitu banjir dan banjir bandang. Permasalahan Jakarta

yang sangat kompleks, seperti kepadatan penduduk, 40% wilayah berada di bawah permukaan

laut, lokasi yang rawan gempa bumi, serta perlintasan beberapa aliran sungai dari hulu ke hilir,

menjadikan Jakarta rawan terhadap berbagai ancaman bencana. Pada awal Januari 2020,

Jakarta mengalami kejadian banjir besar dimana intensitas hujan yang terjadi merupakan yang

terbesar dalam 20 tahun terakhir dan menyebabkan lebih dari 400,000 orang terdampak akibat

banjir tersebut dengan kerugian sekitar 1 triliun akibat terganggunya sektor perdagangan,

transportasi, pergudangan dan logistik, dan jasa keuangan7,8.

II.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini melibatkan multi-informan, menggunakan kombinasi metode dengan pendekatan

bertahap, dan memiliki fokus utama pada beberapa sampel berbeda (namun tidak terbatas

pada): anak-anak (sebagai peserta didik), perwakilan pemerintah (tingkat lokal, sub-nasional,

dan nasional), akademisi, dan organisasi non-pemerintah (termasuk LSM). Pengumpulan data

kualitatif dilakukan dengan tinjauan pustaka/literatur, diskusi kelompok terpimpin (focus

group discussion atau FGD), dan wawancara semi terstruktur secara daring. Sedangkan

pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner (daring). Metode

4 BPBD Prov. NTT, 2019. "Rencana Strategis 2019 – 2023," (Kupang, Indonesia). 5 UNICEF, 2018. "Humanitarian Situation Report #4, 12-25 November 2018," (Jakarta, Indonesia). 6 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, 2019. "Pergub No. 10 Tahun 2019 Tentang Rencana Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pascabencana," (Palu, Indonesia). 7 Alinea.id, 2020. "Bi: Kerugian Akibat Banjir Jakarta Awal 2020 Capai Rp1 Triliun." 8 BPS Prov. DKI Jakarta, 2020. "Rekapitulasi Data Banjir Dki Jakarta Dan Penanggulangannya Tahun 2020," (Jakarta, Indonesia).

Page 15: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 14 dari 100

penelitian yang berbeda diterapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan disesuaikan

dengan peserta penelitian yang berbeda.

Tim peneliti telah menyusun desain penelitian yang awalnya menggunakan metode tatap muka.

Namun pada saat akan dilakukan pengambilan data di bulan Maret 2020, Pemerintah Indonesia

mengumumkan kasus pertama COVID-19 dan menyebabkan berubahnya metode penelitian

menjadi jarak jauh dengan memanfaatkan jejaring peneliti lokal serta menggunakan metode

daring untuk kegiatan FGD dan wawancara.

Pada tahap pertama, dokumentasi yang sudah ada terkait program SPAB dikumpulkan,

didokumentasikan, dan dianalisis melalui tinjauan pustaka dengan metode scoping review.

Jenis tinjauan ini berguna untuk mengkaji literatur yang ada pada bidang yang baru, kompleks,

beragam dimana kajian dalam bidang tersebut masih terbatas9. Scoping review juga berguna

untuk melihat kesenjangan yang ada dalam suatu penelitian dan praktik, serta berguna untuk

menentukan penelitian, kebijakan, dan praktik di masa mendatang10.

Tahap kedua mengkaji situasi yang berkaitan dengan upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan

SPAB, khususnya dalam hal upaya peningkatan kesadaran, peningkatan kapasitas, dan

aktivitas pengurangan risiko bencana di sekolah. Melihat adanya jejaring tenaga kependidikan

dari Kemdikbud dan platform U-Report milik UNICEF untuk mengumpulkan pendapat anak,

kuesioner daring dikembangkan dan dibagikan melalui jejaring dan platform tersebut. Melalui

usaha ini, data dikumpulkan dan dikaji untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait

upaya yang sudah dilakukan (atau sedang dilakukan) dalam program SPAB yang sudah

diinisiasi sejak tahun 2008.

Pada tahapan berikutnya, tiga rangkaian FGD juga dilaksanakan di tingkat nasional sebagai

bentuk konsultasi awal yang berfokus pada tiga pilar Satuan Pendidikan Aman yang

Komprehensif: fasilitas sekolah aman, manajemen bencana di sekolah, serta pendidikan

pencegahan dan pengurangan risiko. Konsultasi awal yang dilakukan dengan melibatkan

pemangku kepentingan terkait ketiga pilar tersebut menjadi pedoman penelitian, khususnya

selama kajian lapangan untuk mengidentifikasi masalah utama dan pandangan di tingkat

nasional.

Pada tahapan selanjutnya, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui tinjauan lapangan

virtual di empat wilayah: Provinsi Aceh, NTT, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah. Kombinasi

FGD dan wawancara dengan informan kunci dilakukan dengan sasaran: aparatur pemerintah

(lokal dan sub-nasional), organisasi kemanusiaan (terutama organisasi non-pemerintah/LSM),

dan kelompok anak. RDI bekerja sama dengan peneliti lokal di empat wilayah tersebut dan

mereka yang membantu mengumpulkan data, mengatur pertemuan virtual dengan pemangku

kepentingan lokal, dan mengadakan diskusi kelompok virtual. Tim peneliti juga melakukan

pengumpulan data dari anak-anak, berdasarkan konsultasi dan kerja sama dengan sekolah, dan

menggunakan bantuan teknologi informasi agar anak tetap terlibat. Untuk mencapai tujuan ini,

kelompok anak yang dilibatkan adalah kelompok anak dari Kelas 5 dan Kelas 6 Sekolah Dasar,

9 Micah D.J. Peters et al., Publisher, 2015. "Guidance for Conducting Systematic Scoping Reviews," International Journal of Evidence-Based Healthcare 13, no. 3. 10 Maria J. Grant and Andrew Booth, Publisher, 2009. "A Typology of Reviews: An Analysis of 14 Review Types and Associated Methodologies," Health Information & Libraries Journal 26, no. 2.

Page 16: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 15 dari 100

dimana perwakilan anak dari empat wilayah memberikan testimoni mereka melalui video

terkait perspektif mereka mengenai:

a) Dimana saja tempat-tempat yang mereka rasa aman dan tidak aman dari ancaman

bencana

b) Seperti apa mestinya sekolah yang aman dari bencana

Pemangku kepentingan lokal dalam komunitas sekolah juga dikaji untuk melihat lebih lanjut

terkait perspektif, pengetahuan dan praktik yang mereka lakukan terkait program sekolah

aman, kapasitas masyarakat setempat, dan harapan mereka terkait ketahanan terhadap bencana.

Tim peneliti menggunakan diskusi secara daring. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan

bukti tentang ketakutan masyarakat terhadap bencana11,12,13, cara unik mereka dalam

mengidentifikasi dan memahami risiko1415, dan perhatian mereka pada pengurangan risiko

bencana16,17. Oleh karena itu, berdasarkan berbagai temuan sebelumnya, metode FGD dan

wawancara informan kunci digunakan untuk mengukur hipotesis di antara kelompok sampel

masyarakat lokal. Pendekatan yang berpusat pada orang dan interaktif (dan juga ramah anak)

sudah diterapkan untuk mengumpulkan informasi dari orang-orang (termasuk anak-anak jika

ada) yang mungkin takut atau malu untuk berbicara.

Tahapan akhir adalah lokakarya dengan staf LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan,

akademisi, dan lembaga pemerintah terkait di tingkat nasional. Sebelumnya sangat sedikit

referensi yang mencoba untuk melihat pandangan dan opini dari berbagai pemangku

kepentingan, termasuk LSM, akademisi, dan lembaga pemerintah terhadap sekolah aman yang

komprehensif. Oleh karena itu, sebuah FGD dalam bentuk lokakarya dianggap sebagai cara

terbaik untuk mendalami isu ini dan memungkinkan adanya klarifikasi lebih lanjut jika

dibutuhkan18,19. Selain itu, sebagai bagian dari metode yang sekuensial, beberapa diskusi dalam

FGD berpedoman pada temuan FGD di konsultasi awal dan tinjauan lapangan.

Evaluasi ini juga mengidentifikasi wilayah dimana perubahan positif terjadi dan dipertahankan.

Metode ini berguna untuk mengumpulkan pengalaman dan tanggapan dari para pemangku

kepentingan, termasuk satuan pendidikan. Metode ini banyak digunakan, namun tidak terbatas

11 Thomas H. Ollendick, Publisher, 1983. "Reliability and Validity of the Revised Fear Survey Schedule for Children (Fssc-R)," Behaviour Research and Therapy 21, no. 6. 12 T. H. Ollendick, J. L. Matson, and W. J. Helsel, Publisher, 1985. "Fears in Children and Adolescents: Normative Data," Behav Res Ther 23, no. 4. 13 Joy J. Burnham et al., Publisher, 2008. "Examining Children's Fears in the Aftermath of Hurricane Katrina," Journal of Psychological Trauma 7, no. 4. 14 Tom Mitchell, Thomas Tanner, and Katharine Haynes, Children in a Changing Climate Research, 2009. "Children as Agents of Change for Disaster Risk Reduction: Lessons from El Salvador and the Philippines," in Working Paper no. 1. 15 Katharine Haynes and Thomas M. Tanner, Publisher, 2015. "Empowering Young People and Strengthening Resilience: Youth-Centred Participatory Video as a Tool for Climate Change Adaptation and Disaster Risk Reduction," Children's Geographies 13, no. 3. 16 Emma Back, Catherine Cameron, and Thomas Tanner, Children and Disaster Risk Reduction: Taking Stock and Moving Forward, ed. Dee Scholley and Fran Seballos, Children in a Changing Climate Research (Brighton, UK: UNICEF, 2009). 17 UNISDR and Plan International, Children's Action for Disaster Risk Reduction: Views from Children in Asia (Bangkok, Thailand: UNISDR and Plan International, 2012). 18 Jenny Kitzinger, Publisher, 1995. "Qualitative Research: Introducing Focus Groups," BMJ 311, no. 7000. 19 Andrew Parker and Jonathan Tritter, Publisher, 2006. "Focus Group Method and Methodology: Current Practice and Recent Debate," International Journal of Research & Method in Education 29, no. 1.

Page 17: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 16 dari 100

hanya pada satuan pendidikan (wawancara dengan guru dan masyarakat). Metode ini sering

kali digunakan untuk evaluasi proyek yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan

dengan hasil yang sangat beragam. Kelebihan metode ini terletak pada kemampuannya untuk

mengumpulkan cerita/pengalaman dan apa yang bisa dipelajari dari pengalaman tersebut,

khususnya terkait berbagai intervensi dan proyek satuan pendidikan aman yang komprehensif.

Pendekatan partisipatif digunakan dalam penentuan isu yang ada. Pendekatan ini melengkapi

metode FGD dan wawancara. Dalam praktiknya, kami menanamkan metode ini selama FGD,

lokakarya, dan wawancara.

Berikut kami jabarkan rancangan dan metodologi penelitian yang digunakan dalam seluruh

rangkaian tahapan evaluasi:

a) Persiapan dan pertemuan awal: setelah kontrak disetujui, dan diskusi tentang tugas

sudah dilakukan. Dokumen awal, termasuk data yang tersedia disediakan oleh tim peneliti.

b) Tinjauan Pustaka: Tim peneliti mengkaji seluruh dokumen program dan proyek yang

diperlukan; merekonstruksi dan menganalisis logika intervensi atau teori program beserta

asumsinya. Data yang tersedia perlu dianalisis dan diinterpretasi. Sumber dokumen bisa

berasal dari berbagai lembaga pemerintahan dan non pemerintahan (lihat sumber data

sekunder sub bab di bawah).

c) Fase inisiasi: pada laporan awal, tim peneliti menggambarkan rancangan evaluasi dan

menjelaskan bagaimana pengumpulan dan analisis data.

d) Fase pengumpulan data secara virtual: data harus dikumpulkan, dianalisis dan

diinterpretasi. Dalam evaluasi ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif.

e) Presentasi: Presentasi temuan kunci (feedback workshop) pada akhir kunjungan lapangan

(di Jakarta).

f) Draf laporan akhir: Penyerahan dan presentasi draf laporan akhir, termasuk

komentar/tanggapan dari mitra dan pihak pemberi kontrak.

g) Laporan akhir: Penyerahan laporan akhir.

h) Penulisan jurnal: Makalah ilmiah mengenai SPAB di Indonesia disusun dan dikirim ke

jurnal yang relevan dan kredibel

II.4. Pemantuan Kualitas dan Analisis Data

Data kuesioner dikumpulkan menggunakan U-Report dan bekerja sama dengan tim UNICEF.

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan prosedur statistik dasar dengan menggunakan

Microsoft Excel karena ukuran sampel yang relatif rendah.

Data yang dikumpulkan dari FGD dan wawancara direkam (jika diperbolehkan oleh

responden) menggunakan perekam audio. Poin-poin kunci direkam oleh tim peneliti dan

kemudian disajikan di dalam laporan ini.

Masing-masing peneliti utama di tiap pilar memimpin proses pengumpulan data di setiap

pilarnya dan bertemu secara rutin untuk berbagi data, tantangan, dan panduan yang didapat dari

hasil pengumpulan data yang sudah terjadi. Setiap peneliti utama didampingi oleh asisten

peneliti untuk membantu merekam data, mendukung analisis, dan memastikan data tersimpan

dengan baik, untuk meningkatkan keamanan dan akurasi data yang dianalisis.

Page 18: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 17 dari 100

II.5. Etika Penelitian

Tindakan etika dalam penelitian ini sudah disetujui oleh Komisi Etik Universitas Atmajaya,

yang meliputi:

a. Memperoleh izin dari pemerintah setempat.

b. Persetujuan tertulis dari peserta dewasa dan orang tua atau wali peserta anak. Lembar

persetujuan mengikuti berdasarkan Prosedur UNICEF untuk Standar Etika dalam

Penelitian, Evaluasi, Pengumpulan dan Analisis Data.

c. Persetujuan tertulis didapatkan dari orang tua atau wali anak, persetujuan verbal juga

dibutuhkan dari anak sebelum pelaksanaan penelitian.

d. Lembar persetujuan juga menyatakan secara jelas bahwa penelitian akan direkam (jika

ada), dengan memberikan persetujuan tertulis untuk berpartisipasi dalam penelitian, izin

untuk merekam diberikan.

e. Anak-anak berpartisipasi di area yang familiar dan aman bagi mereka (contohnya di rumah

atau di sekolah jika sekolah telah dibuka). Waktu dan lokasi ditentukan berdasarkan hasil

konsultasi dengan komite sekolah dan/atau orang tua agar tidak mengganggu proses KBM.

f. Aktivitas diawasi oleh guru atau orang tua agar mereka bisa melihat secara keseluruhan

proses dan memberitahu fasilitator atau peneliti jika aktivitas yang dilakukan membuat

anak merasa tidak nyaman.

g. Pada awal sesi dengan anak, fasilitator menggunakan metode yang interaktif dan ramah

anak (permainan atau lagu. Pertanyaan-pertanyaan bagi anak (saat FGD, wawancara

keluarga, atau kuesioner) dibuat dengan kalimat yang sesuai dengan bahasa ramah anak

dan sesuai dengan umurnya.

h. Topik yang didiskusikan (bahaya bencana alam, seperti banjir, longsor dan kekeringan)

sesuai dengan pengalaman anak pada umumnya dan didesain untuk mendiskusikan bahaya

bencana dan menghindar terjadinya stres atau trauma.

i. Konselor sekolah (Guru BK) tersedia jika peserta anak menjadi resah. Jika sekolah tidak

memiliki konselor, layanan konseling setempat gratis dan mudah diakses disediakan, jika

diperlukan.

j. Informasi terkait program UNICEF diberikan. Sehingga anak-anak, orang tua, dan guru

dapat memperoleh lebih banyak informasi tentang bencana beserta penanganannya jika

mereka mau. Laporan tersedia setelah penelitian ini selesai.

k. Tinjauan lapangan diawasi oleh Avianto Amri yang sudah berpengalaman lebih dari 10

tahun sebagai fasilitator dalam lokakarya anak yang diadakan oleh LSM yang berfokus

pada anak.

l. Seluruh informasi yang didapatkan dari anak bersifat anonim. Hanya anggota tim ini yang

memiliki akses terhadap data penelitian dengan informasi yang dapat diidentifikasi.

m. Seluruh data (rekaman dan dokumen lainnya yang dihasilkan, seperti kuisioner) diubah

menjadi berkas komputer yang disimpan dalam hard drive laptop yang dilindungi kata

sandi dan juga dalam penyimpanan cloud yang dilindungi kata sandi.

n. Mengingat penelitian dilakukan di Indonesia, seluruh tahapan penelitian mengikuti

Undang-Undang Perlindungan Anak Republik Indonesia. Semua tindakan yang disebutkan

di atas - termasuk izin dari Pemerintah, izin dari sekolah, dan lembar persetujuan dari orang

tua dan wali sah anak - sudah cukup dan sesuai dengan hukum Indonesia.

Page 19: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 18 dari 100

II.6. Periode Penelitian

Penelitian ini dimulai dari awal Maret 2020 dan berakhir pada bulan Agustus 2020 (Gambar

2). Adapun jadwal pengambilan data yang terdiri dari:

• Rapat awal Dewan Pengarah: 11 Maret 2020

• Survei U-Report: 15 Juni – 10 Juli 2020

• Mini Workshop Pilar 1, 2, dan 3: 18, 19, dan 23 Juni 2020

• Lokakarya Daring di tingkat Provinsi: 2, 8, 9, 14, 17, 21, dan 29 Juli 2020

• Paparan Temuan Awal Penelitian pada Dewan Pengarah: 28 Juli 2020

• Lokakarya Nasional: 27 Agustus 2020

• Diseminasi Hasil Penelitian: 14 Oktober 2020

Tabel 1. Periode penelitian

No. Kegiatan Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

1 Rapat awal Dewan

Pengarah

2 Situasi COVID-19

(PSBB)

3 Survei U-Report

4 Mini Workshop Pilar

1, 2, dan 3

5 Lokakarya Daring di

tingkat Provinsi

6 Paparan Temuan

Awal Penelitian

pada Dewan

Pengarah

7 Lokakarya Nasional

8 Diseminasi Hasil

Penelitian

II.7. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pertama yang meneliti keseluruhan aspek dari kerangka kerja

Comprehensive School Safety, yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu terkait fasilitas

satuan pendidikan aman bencana, manajemen bencana di satuan pendidikan, dan pendidikan

pengurangan risiko bencana. Penelitian ini juga memiliki kekuatan tersendiri dimana diinisiasi

langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan berisi dewan pengarah dari

Kementerian/ Lembaga yang berpengaruh langsung pada program SPAB, serta didukung oleh

UNICEF dan melibatkan berbagai lembaga non-pemerintah dan akademisi, termasuk jejaring

Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) dan juga hingga ke tingkat satuan pendidikan

melibatkan para kepala sekolah dan guru-guru.

Penelitian ini juga melibatkan lebih dari 2,000 suara anak-anak melalui survei yang tersebar di

seluruh provinsi di Indonesia.

Kelemahan penelitian ini adalah situasi COVID-19 yang terjadi di masa penelitian yang

kemudian membatasi tim peneliti untuk melakukan studi lapangan secara langsung dan juga

mendapatkan informasi melalui tatap muka, terutama dari anak-anak. Penggunaan teknologi

Page 20: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 19 dari 100

informasi tentunya memiliki keterbatasan dari sisi waktu, teknik penggalian informasi, dan

akses.

Namun, kami berpendapat bahwa kelemahan yang terjadi masih jauh lebih kecil dibandingkan

kekuatan yang dicapai dari penelitian ini dan informasi yang dikumpulkan dapat menghasilkan

analisis yang tetap berkualitas, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Page 21: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 20 dari 100

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA KUANTITATIF

III.1. Gambaran Umum

Pengumpulan data kuantitatif menggunakan mekanisme kuesioner daring melalui sistem U-

Report yang dimiliki oleh UNICEF Indonesia. U-Report adalah program yang dirancang untuk

memberdayakan anak muda untuk berbicara mengenai isu-isu yang mereka pedulikan di

lingkungan mereka dan menciptakan perubahan positif. Melalui mekanisme U-Report, data

diperoleh dari database yang dimiliki oleh UNICEF Indonesia dan dikomunikasikan melalui

SMS, media sosial Facebook, dan Whatsapp.

Dengan menggunakan media U-Report, survei dilaksanakan pada periode 15 Juni hingga 10

Juli 2020 (26 hari) dan survei dihentikan saat tingkat responden sudah menurun secara

konsisten. Selama periode pengumpulan data, U-Report telah berhasil mengumpulkan 2,083

responden anak berasal dari 32 provinsi di Indonesia (kecuali provinsi Kep. Bangka Belitung

dan Maluku Utara). Jumlah responden ini menunjukkan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan

margin eror sebesar 2.15%. Mayoritas responden (70%) berada di umur kisaran 13 hingga 17

tahun, dimana responden termuda di umur 11 tahun dan tertua di umur 18 tahun, dengan rata-

rata umur responden 15 tahun.

Kuesioner disusun berdasarkan studi-studi sebelumnya dan bertujuan untuk mengukur

persepsi, pengetahuan, dan pengalaman anak-anak berdasarkan kesiapsiagaan bencana.

Kuesioner dibatasi menggunakan 11 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan demografi (umur,

lokasi, kelas, dan sekolah) dan pertanyaan terkait kesiapsiagaan bencana dengan menggunakan

opsi jawaban berupa pilihan berganda (pertanyaan tertutup). Jumlah pertanyaan dibatasi

berdasarkan pengalaman pengambilan data terdahulu oleh U-Report dimana minat responden

menurun seiring dengan banyaknya jumlah pertanyaan.

Sebelum survei diluncurkan, kuesioner ini diuji terlebih dahulu kepada 5 responden anak-anak

untuk dikaji mengenai kemampuan mengisi kuesioner tersebut. Hasil pengujian menunjukkan

para responden bisa mengerjakan kuesioner dalam waktu sekitar 10 hingga 15 menit dan

mampu mengisinya dengan mudah dan lancar.

Berikut ini diuraikan hasil analisis dari pengumpulan data menggunakan U-Report.

III.2. Perspektif terhadap ancaman bencana

Gempa bumi, banjir, kerusuhan dan kekerasan, kebakaran bangunan, dan angin puting beliung

adalah lima jenis ancaman bencana yang diidentifikasi oleh sebagian besar responden, selain

wabah penyakit (Gambar 3).

Dalam pertanyaan ini, responden dapat memilih tiga jenis ancaman yang paling mungkin

terjadi. Berhubung periode pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Juli 2020, sangat

wajar banyak responden anak yang memilih wabah penyakit, dikarenakan kasus COVID-19

Page 22: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 21 dari 100

pertama kali dideteksi di Indonesia di bulan Maret 2020 dan di bulan April – Mei 2020,

sebagian besar anak-anak sudah melakukan belajar di rumah dan sekolah tidak beroperasi 20,21.

Hasil survei ini mencerminkan karakteristik bencana yang terjadi di Indonesia. Menurut Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi di Indonesia dalam lima tahun

terakhir menunjukkan peningkatan jumlah dimana di tahun 2018 terekam 11,920 kali gempa

bumi dan di tahun 2019 juga melebihi 10,300 gempa bumi. Hal ini merupakan perubahan yang

signifikan dimana sepanjang tahun 2008 hingga 2017, gempa bumi terjadi sekitar 5,000 – 6,000

kali tiap tahunnya22. Di sisi lain, gempa bumi juga merupakan ancaman bencana yang paling

mematikan dan paling merusak di Indonesia, sesudah tsunami23. Jenis ancaman berikutnya

yang mendapatkan jumlah responden tertinggi adalah banjir, dimana banjir umumnya terjadi

di berbagai wilayah di Indonesia dan merupakan jenis ancaman paling sering terjadi di

Indonesia.

Gambar 3. Hasil survei terkait "Jenis ancaman bencana apa yang mungkin terjadi di sekolah kamu?"

Beberapa hal yang menarik dalam data ini adalah anak-anak tidak hanya melihat jenis ancaman

alam saja yang dapat terjadi di lingkungan sekitar mereka. Kerusuhan dan kekerasan serta

kebakaran bangunan menjadi jenis ancaman berikutnya yang paling banyak dipilih. Di sisi lain,

kebakaran bangunan -mengutip dari kasus kebakaran di perkotaan seperti di Jakarta- sebagian

besar terjadi akibat kelalaian manusia yaitu karena arus pendek listrik, kebocoran gas, lilin,

kompor, pembakaran sampah, dimana hal-hal ini merupakan sesuatu yang bisa dicegah dan

dihindari24.

20 Kompas, 2020. "Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona Di Indonesia," https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all. 21 Liputan 6, 2020. "Dukung Sekolah Libur Akibat Covid-19, Mendikbud Luncurkan Portal Rumah Belajar," https://www.liputan6.com/news/read/4202236/dukung-sekolah-libur-akibat-covid-19-mendikbud-luncurkan-portal-rumah-belajar. 22 CNN Indonesia, 2019. "Gempa Di Indonesia Meningkat Dalam 5 Tahun Terakhir," https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191201065329-199-453026/gempa-di-indonesia-meningkat-dalam-5-tahun-terakhir. 23 Kemendikbud, "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia." 24 Beritatagar.id, 2017. "Fakta Musibah Kebakaran Di Dki Jakarta," https://beritagar.id/artikel/infografik/musibah-kebakaran-di-dki-jakarta-dalam-angka.

Page 23: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 22 dari 100

Lalu, ancaman angin puting beliung telah semakin meningkat seiring dengan waktu dimana di

tahun 2019, kejadian puting beliung menjadi bencana yang paling sering terjadi, berdasarkan

data dari BMKG dan BNPB25. Di sisi lain, jumlah kejadian angin puting beliung meningkat

drastis disebabkan karena adanya fenomena perubahan iklim, mobilisasi penduduk, dan juga

semakin padatnya penduduk yang berada di lokasi yang rawan bencana.

Hal ini menunjukkan dalam program SPAB penting untuk merekam seluruh jenis ancaman

bencana yang bisa meliputi ancaman alam, non-alam, atau jenis ancaman lainnya, terutama

dalam proses kajian risiko yang juga turut mengikutsertakan suara dan perspektif anak-anak.

III.3. Perspektif terhadap kesiapsiagaan bencana

Responden anak-anak juga dikaji lebih lanjut terkait pengalaman mereka terhadap kejadian

bencana di sekitarnya dan juga perspektif mereka terhadap kesiapsiagaan bencana (Gambar 4).

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak (58%) pernah mengalami kejadian

bencana dan mayoritas anak-anak (68%) berpendapat mengetahui atau sangat mengetahui cara

agar aman dari bahaya bencana.

Di sisi lain, sebagian besar anak-anak (68%) juga berpendapat sekolah mereka cukup siap atau

sangat siap dalam menghadapi bencana dan juga 56% anak-anak berpendapat mereka akan

selamat saat berada di kelas bila terjadi bencana.

Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap dirinya

dan lingkungan sekitarnya dalam menghadapi ancaman bencana. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena sebagian besar mereka pernah mengalami kejadian bencana (sehingga

mereka belajar dari pengalaman terdahulu).

Gambar 4. Hasil survei terkait kesiapsiagaan bencana

25 CNN Indonesia, 2019. "Bencana Puting Beliung Paling Sering Terjadi Di Ri Pada 2019," https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191227180652-199-460519/bencana-puting-beliung-paling-sering-terjadi-di-ri-pada-2019.

Page 24: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 23 dari 100

Hal ini menjadi temuan yang cukup mengkhawatirkan bila dipadukan dengan pertanyaan

berikutnya adalah hanya sebagian kecil saja anak-anak mengetahui apa yang harus dilakukan

saat di sekolah bila terjadi bencana, dimana hampir 70% anak tidak mengetahui prosedur

sekolah bila terjadi bencana. Hal ini bisa berarti sekolahnya tidak memiliki prosedur atau bila

sekolahnya memiliki prosedur, belum disosialisasikan dengan optimal.

Gambar 5. Hasil survei terkait pengetahuan anak-anak terkait prosedur penanggulangan bencana di

sekolahnya

Temuan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena studi-studi sebelumnya menunjukkan

bahwa banyak anak-anak memiliki perspektif semu terkait keamanan dirinya dalam

menghadapi ancaman bencana, sedangkan setelah diselidiki lebih lanjut, pengetahuan mereka

masih terbatas.

III.4. Ketertarikan terhadap isu penanggulangan bencana

Hasil survei juga menunjukkan bahwa 7 dari 10 anak-anak pernah berusaha mencari informasi/

pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana (Gambar 6). Lalu, dari metode yang mereka

gunakan untuk mencari informasi, media sosial (seperti Instagram, Facebook, dan Twitter),

website (misalnya google, detik.com, kompas.com), televisi, dan aplikasi pesan singkat (seperti

Whatsapp, Telegram, Line, dll) merupakan cara yang paling populer digunakan (Gambar 7).

Gambar 6. Hasil survei terkait upaya anak-anak untuk mengetahui mengenai kesiapsiagaan bencana

Page 25: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 24 dari 100

Gambar 7. Cara yang paling umum digunakan anak-anak untuk mengetahui tentang kesiapsiagaan

bencana

Setelah penggunaan media informasi teknologi, diikuti dengan belajar melalui guru, orang tua,

dan teman. Hal ini merupakan temuan penting dimana semakin banyaknya anak-anak yang

menggali informasi melalui media Informasi Teknologi (IT), dibandingkan melalui interaksi

langsung dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu guru, orang tua, dan teman-temannya. Di

satu sisi, temuan ini bisa menjadi sebuah indikasi terhadap pihak sekolah dan orang tua dimana

masih minim informasi terkait kesiapsiagaan bencana yang disampaikan melalui sekolah dan

di keluarga, dan di sisi lain menunjukkan potensi penggunaan media IT sebagai media

diseminasi informasi terkait kesiapsiagaan bencana untuk anak-anak, baik itu melalui media

sosial, website, TV, dan juga aplikasi pesan singkat.

Terkait topik yang ingin diketahui oleh anak-anak, peringkat tertinggi adalah informasi

mengenai cara-cara penyelamatan diri saat terjadi bencana. Hal ini menunjukkan fokus terkait

pendidikan pengurangan risiko bencana yang terdapat di dalam program SPAB harus meliput

setidaknya topik penyelamatan diri, berdasarkan aspirasi dari anak-anak.

Gambar 8. Hasil survei terkait topik apa yang diminati terkait kebencanaan

Anak-anak juga menunjukkan minat yang tinggi terhadap keterlibatan dalam membangun

ketangguhan sekolah, dimana hampir semuanya (92%) anak-anak menyatakan bahwa mereka

perlu terlibat, baik dengan keterlibatan yang minim hingga keterlibatan penuh, terkait upaya-

upaya membangun ketangguhan bencana.

Page 26: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 25 dari 100

Gambar 9. Hasil survei terkait ketertarikan anak-anak untuk terlibat dalam SPAB

III.5. Ringkasan hasil survei

Hasil survei menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kesadaran yang tinggi terkait ancaman

bencana di sekitarnya. Selain wabah penyakit, ancaman bencana seperti gempa bumi, banjir,

kerusuhan dan kekerasan, kebakaran, serta angin puting beliung merupakan ancaman bencana

yang paling mungkin terjadi di sekolah mereka. Sehingga, fokus utama pembelajaran SPAB

perlu juga mempertimbangkan berbagai jenis ancaman bencana ini.

Banyak anak-anak memiliki perspektif semu dimana mereka merasa mampu menyelamatkan

dirinya saat terjadi bencana, padahal setelah diselidiki lebih lanjut, pengetahuan mereka terkait

kesiapsiagaan bencana masih terbatas. Namun disisi lain, mereka sangat tertarik terhadap isu

kesiapsiagaan bencana, terutama terkait cara-cara penyelamatan diri dan anak-anak juga

merasa perlu terlibat dalam program SPAB di sekolahnya.

Berdasarkan survei, banyak anak-anak menggunakan media IT untuk menggali informasi

terkait kesiapsiagaan bencana, sehingga media ini menjadi peluang untuk dioptimasi untuk

mendukung edukasi kesiapsiagaan bencana. Di sisi lain, survei juga menunjukkan masih

rendahnya peran orang tua dan guru dalam peningkatan upaya pendidikan. Oleh karena itu,

upaya edukasi kesiapsiagaan bencana di sekolah dan di keluarga perlu dioptimalkan untuk

mewujudkan budaya tangguh bencana. Hal ini disebabkan waktu anak-anak sebagian besar

dihabiskan di dua institusi ini, di sekolah dan di rumah. Sehingga peran pendidik dan orang tua

menjadi krusial dalam memastikan anak-anak bisa terlibat dalam kegiatan pengurangan risiko

bencana.

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS TIAP PILAR

IV.1. Gambaran Umum

Pengumpulan data kualitatif menggunakan mekanisme diskusi kelompok terpimpin dan

wawancara dengan para narasumber kunci. Seluruh proses menggunakan metode jarak jauh,

umumnya menggunakan fasilitas telekonferensi untuk memaksimalkan keterlibatan para

peserta.

Proses diskusi dilakukan dengan menggunakan pertanyaan panduan semi terstruktur dimana

para peneliti memiliki kesempatan untuk mengkaji lebih lanjut terhadap isu-isu menarik yang

muncul saat proses diskusi berlangsung. Para peserta yang terlibat dalam proses ini antara lain

para guru, kepala sekolah, dinas terkait, serta LSM yang bekerja di bidang SPAB yang bekerja

di 4 wilayah penelitian, para pemangku kepentingan di tingkat nasional (termasuk perwakilan

Page 27: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 26 dari 100

setiap anggota Seknas SPAB: Kemendikbud, Kemenag, Kemen PUPR, dan BNPB), LSM

tingkat nasional, akademisi, dan juga pihak donor internasional.

Hasil penelitian ini dibagi menjadi tiga komponen utama mengikuti pilar 1, 2, dan 3 yang

terdapat pada kerangka kerja Comprehensive School Safety yang dikembangkan oleh dan

banyak digunakan oleh para pemangku kebijakan di tingkat global dan juga di Indonesia.

Penggunaan analisis per pilar memudahkan dalam memilah setiap aspek intervensi dalam

program SPAB. Namun perlu diingat, bahwa terkadang terdapat satu intervensi yang dapat

berpengaruh pada dua pilar atau lebih. Misalnya, advokasi kebijakan terkait Permendikbud no.

33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB dan juga pengembangan sistem

pemantauan dan evaluasi program SPAB adalah beberapa contoh intervensi yang akan

berpengaruh pada keseluruhan pilar di CSS. Oleh karena itu, tim peneliti berusaha memilah

sebaik mungkin intervensi-intervensi yang ada dan mengelompokkannya di tiap pilar. Apabila

intervensi tersebut sudah dibahas di salah satu pilar, maka tim peneliti tidak akan mengulang

lagi pembahasannya di pilar lainnya untuk mencegah terjadinya duplikasi.

IV.2. Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana

Lingkup analisis Pilar 1 dalam evaluasi ini termasuk penempatan lokasi, desain dan

pembangunan satuan pendidikan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana,

perawatan serta pengawasan secara berkala.

Pada pilar I, terdapat berbagai upaya dari pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk

mendukung penguatan sarana prasarana aman bencana di satuan pendidikan, antara lain:

1. Pemutakhiran Standar Bangunan Tahan Gempa (SNI 1726:2002) oleh Kementerian PUPR

sebanyak dua kali di tahun 2012 dan 2019. Dalam pemutakhiran SNI ini, satuan pendidikan

dimasukkan dalam Kategori Risiko IV, yang artinya bangunan sekolah harus didesain tahan

gempa dengan kekuatan 1,5x lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan bangunan umum.

2. Kemendikbud khususnya Direktorat Sekolah Dasar selama 12 tahun terakhir telah

memanfaatkan dana APBN reguler untuk melakukan rehabilitasi ruang kelas, gedung

sekolah dan juga untuk pengadaan sarana prasarana peralatan untuk pendidikan dan

teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan satuan pendidikan.

3. Terdapat mekanisme yang lebih jelas untuk rehabilitasi dan rekonstruksi satuan

pendidikan. Pembangunan sekolah serta rehabilitasi dan rekonstruksi satuan pendidikan

saat ini dilakukan oleh Direktorat Prasarana Strategis, Ditjen Cipta Karya, Kementerian

PUPR. Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) menjadi lokasi prioritas renovasi

dan rehabilitasi untuk sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi oleh Kementerian PUPR

dan memastikan pengendalian mutu.

4. Pemetaan sekolah yang berada di lokasi rawan bencana berdasarkan berbagai jenis

ancaman bencana menggunakan integrasi antara data dari Kemendikbud (DAPODIK) dan

dari BNPB melalui InaRISK sehingga perencanaan untuk program SPAB menjadi lebih

efektif dengan mengidentifikasi prioritas hingga di tingkat satuan pendidikan (Gambar 10).

5. Penyusunan modul pilar I sebagai bagian dari modul SPAB yang disusun oleh

Kemendikbud dan UNICEF.

6. Sekitar 12 pemerintah daerah telah mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang mendukung

program SPAB. Contohnya, pemerintah provinsi NTT mengeluarkan kebijakan (Surat

Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT terkait SPAB) dimana sarana

prasarana keamanan di satuan pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam

Page 28: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 27 dari 100

akreditasi sekolah, yang kemudian mendorong penyediaan perlengkapan kedaruratan di

setiap satuan pendidikan.

7. Penyediaan sarana prasarana darurat di masa pasca bencana yang lebih sistematis melalui

distribusi tenda sekolah serta pengiriman perlengkapan belajar dan rekreasi di wilayah

pasca bencana. Saat ini, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pengadaan tenda

sekolah untuk masa darurat untuk didistribusikan saat diperlukan. Sebagai contoh,

Direktorat Sekolah Dasar (SD) Kemendikbud menyalurkan bantuan untuk sekolah-sekolah

yang terdampak gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah (2018), dalam bentuk

mendistribusikan tenda sekolah darurat untuk 211 SD, rehabilitasi pembangunan fasilitas

pendidikan yang roboh sebanyak 50 ruangan di 218 SD, dan pengadaan peralatan belajar

di 904 SD.

8. Upaya pemulihan pasca bencana di sektor pendidikan oleh Kementerian PUPR, misalnya

pasca gempa bumi di Pidie Jaya dan Bireuen (2017), serta gempa bumi Lombok dan gempa

tsunami di Sulawesi Tengah (2018). Kemitraan antara Kemendikbud dan lembaga non-

pemerintah juga memegang peranan penting dalam pengadaan sekolah sementara yang

umumnya bersifat semi-permanen dan berfungsi saat menunggu proses rehabilitasi dan

rekonstruksi sekolah selesai dilakukan.

9. Pemerintah responsif dalam penanganan COVID-19 di sektor pendidikan dimana salah

satunya adalah pengadaan dan/ atau perbaikan fasilitas CTPS di sekolah-sekolah.

10. Alokasi anggaran rutin dialokasikan ke lokasi terdampak bencana dengan mengurangi

anggaran perencanaan di daerah lain. Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan juga untuk

rehabilitasi satuan Pendidikan, pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana

peralatan Pendidikan dan TIK.

Gambar 10. InaRISK BNPB dengan integrasi data sekolah di lokasi rawan bencana

Hingga tahun 1990-an, pembangunan sekolah dilaksanakan oleh Kementerian PUPR.

Kemudian sejak 1990-an mulai dialihkan pelaksanaannya oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Sejak tahun 2019, Kementerian PUPR mendapatkan mandat dari Presiden untuk

menangani sarana prasarana satuan pendidikan melalui Perpres No. 43 Tahun 2019 mengenai

Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi Pasar Rakyat,

Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, dan Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah. Menyusul Perpres ini, dilakukan pembentukan Pusat Pengembangan

Page 29: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 28 dari 100

Sarana Prasarana Pendidikan Olahraga dan Pasar (PPSPPOP) pada tahun 2019 dan tahun 2020

digantikan oleh Direktorat Prasarana Strategis di Dirjen Cipta Karya PUPR.

Konsep penanganan Pendidikan Aman Bencana yang diterapkan Kementerian PUPR adalah

pemenuhan terhadap persyaratan teknis keandalan bangunan Gedung (keselamatan, kesehatan,

kenyamanan dan kemudahan), dimana berupaya untuk memfasilitasi ruang belajar yang aman

dan nyaman, fasilitas kegiatan belajar mengajar dan pengembangan karakter, infrastruktur

dasar, sarana aksesibilitas. Contohnya seperti penerapan dan penyediaan: bangunan sekolah

dengan konstruksi tahan gempa, guiding block pada selasar, lapangan upacara dan olahraga

sekaligus untuk tempat evakuasi, ramp disabilitas dan wastafel, pintu ruangan mengarah ke

luar, jalur pejalan kaki, toilet siswa untuk laki-laki dan perempuan.

Di sisi lain, bangunan satuan pendidikan juga perlu mempertimbangkan fungsi untuk menjadi

tempat aman untuk melindungi para warga sekitar yang terdampak dari bencana. Seperti

misalnya di Jakarta, sekolah-sekolah yang sudah direnovasi memiliki fungsi lain untuk menjadi

tempat pengungsian bila terjadi banjir untuk warga sekitar sekolah. Hal ini tentunya perlu

didukung dengan upaya manajemen pendidikan di masa darurat untuk memastikan proses

belajar mengajar tidak terganggu di masa tanggap darurat hingga proses pemulihan.

“Fungsi bangunan satuan pendidikan yang utama adalah untuk mewadahi

kegiatan belajar mengajar generasi masa depan, sekaligus mampu

dijadikan tempat evakuasi apabila terjadi bencana“ ujar salah satu

narasumber di FGD

IV.2.1. Relevansi

Tiga belas bencana yang terjadi di Indonesia telah berdampak cukup serius pada satuan

pendidikan di Indonesia dari tahun 2010 hingga 201926. Selama 10 tahun terakhir tersebut,

berbagai bencana tersebut telah menyebabkan lebih dari 62.687 satuan pendidikan terdampak

dengan lebih dari 12 juta siswa terdampak27. Angka ini diperkirakan jauh lebih besar karena

belum memasukkan seluruh bencana yang berskala kecil dan menengah.

Hal ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah bersama lembaga non-pemerintah dalam

penguatan pilar I, yaitu memastikan fasilitas satuan pendidikan aman bencana, sudah

sepantasnya dilakukan dan relevan dengan kebutuhan yang ada.

Hasil wawancara dan FGD menunjukkan bahwa upaya-upaya penguatan sarana prasarana

terkait SPAB banyak dibantu oleh lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dan juga

dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan. Masih sedikit lembaga non-

pemerintah terutama LSM yang memiliki program yang terkait pada penguatan pilar 1.

Beberapa LSM yang bergerak di program SPAB sudah ada yang mulai merintis kegiatan-

kegiatan terkait pilar 1, antara lain dengan melakukan penguatan bangunan sekolah

(retrofitting), membangun dinding penahan longsor, membuat biopori dan sumur resapan

untuk mencegah banjir, dan juga melakukan inspeksi teknis untuk mengkaji keamanan

bangunan sekolah.

Di sisi lain, kualitas bangunan dipengaruhi oleh lemahnya sosialisasi terkait SNI bangunan

tahan gempa (SNI 1726) dan juga masih kurangnya pengawasan dan inspeksi penerapan

26 Kemendikbud, "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia." 27 Ibid.

Page 30: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 29 dari 100

selama proses konstruksi yang menjadi dua faktor utama yang kerap muncul. Standar

keamanan untuk bangunan sekolah baru meliputi jenis ancaman gempa dan kebakaran saja.

Sedangkan jenis ancaman lainnya seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dan

angin puting beliung belum disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan berkolaborasi bersama

pihak akademisi dan asosiasi profesi untuk menyusun berbagai standar untuk berbagai jenis

ancaman.

“Inti dari pembangunan Bangunan Gedung untuk mendukung Sarana

Prasarana pendidikan yang Aman dari Bencana adalah terpenuhinya

persyaratan teknis dalam pembangunannya, bangunan gedung harus

Andal. Keandalan yang dimaksud antara lain: Keamanan, Kemudahan,

Kenyamanan, Kesehatan” ujar perwakilan Kementerian PUPR dalam

wawancara

Di sisi lain, pemerintah juga harus aktif menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lainnya. Pihak

swasta perlu dilibatkan minimal dari dua aspek. Aspek pertama adalah mengajak pihak-pihak

yang berpengaruh dalam proses pembangunan dan pemeliharaan bangunan, seperti misalnya

para kontraktor, asosiasi profesi, dan juga tim yang berfungsi melakukan inspeksi dan

pengawasan terhadap keamanan bangunan, seperti misalnya Tim Ahli Bangunan Gedung

(TABG). Pemerintah daerah wajib membentuk TABG yang membantu penyelenggaraan

bangunan gedung tertentu sesuai dengan Permen PUPR No. 11 Tahun 2018 Tentang Tim Ahli

Bangunan Gedung, Pengkaji Teknis, dan Penilik Bangunan.

Aspek lainnya adalah mengajak pihak swasta untuk berkolaborasi dalam memobilisasi sumber

daya, termasuk dukungan pendanaan, untuk mendukung perwujudan fasilitas satuan

pendidikan yang aman bencana. Hal ini disebabkan besarnya jumlah satuan pendidikan yang

berada di wilayah rawan bencana. Pemetaan InaRISK dan DAPODIK yang bersumber dari

Kemendikbud dan BNPB (2019) menunjukkan setidaknya 52.902 satuan pendidikan berada di

wilayah rawan gempa bumi, 2.417 satuan pendidikan berada di wilayah rawan tsunami, 54.080

satuan pendidikan berada di wilayah rawan banjir, 15.597 satuan pendidikan berada di wilayah

rawan longsor, dan 1.685 satuan pendidikan berada di wilayah rawan letusan gunung api.

BNPB bersama berbagai instansi terkait telah mengeluarkan Peta Risiko Bencana, antara lain

untuk ancaman gempa bumi, tsunami, gunung api, kerentanan gerakan tanah (yang dapat

memicu longsor), serta juga peta risiko bencana lainnya seperti untuk risiko banjir. Sayangnya

belum ada upaya sosialisasi yang terstruktur, sistematis, dan massif khususnya untuk warga

satuan pendidikan terkait peta-peta ini. Sedangkan peta-peta ini seharusnya bisa menjadi dasar

penentuan langkah untuk setiap daerah khususnya yang memiliki risiko bencana dalam

kaitannya membangun kesadaran dan literasi bencana, menjadi informasi awal untuk

meningkatkan kewaspadaan, membangun strategi untuk penempatan lokasi sekolah aman,

rekayasa sarana prasarana yang lebih aman serta mengetahui bagaimana tindakan

penyelamatannya.

Berdasarkan hasil studi pustaka dan FGD, lokasi satuan pendidikan yang aman bencana

sebaiknya menghindari:

a) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah gunung api

b) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah rawan gerakan tanah

Page 31: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 30 dari 100

c) Zona sempadan jalur patahan aktif dengan perimeter 10-15 meter di kedua sisi jalur

patahan aktif

d) Zona sempadan pantai Rawan Tsunami minimal 100-200 meter dari titik pasang

tertinggi, atau dengan waktu tunggu yang pendek

e) Wilayah berpotensi banjir bandang

f) Zona likuefaksi masif pasca gempa bumi

Namun, pemilihan lokasi sekolah berada pada ranah pemerintah daerah (dari provinsi,

kab/kota, hingga ke tingkat kelurahan/ desa). Hal ini menjadi temuan menarik mengingat di

tingkat pusat, Seknas SPAB belum mengikutsertakan Kemendagri dan juga di tingkat daerah.

Perlu diingat pula bahwa upaya relokasi sekolah merupakan suatu hal yang kompleks dan

melibatkan sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai kumpulan komunitas dan dipengaruhi

berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan politis.

Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam hal perwujudan program SPAB,

termasuk juga dalam mengalokasikan dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah.

Sebagai contoh, pemerintah provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan dana sekitar 2 triliun

rupiah untuk merenovasi 147 satuan pendidikan di tahun 2019. Hal ini bisa direplikasi oleh

pemerintah daerah lainnya untuk mendukung sarana prasarana yang aman di satuan

pendidikan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Kementerian PUPR hanya diberikan

mandat untuk melakukan renovasi di wilayah 3T saja berdasarkan Peraturan Presiden yang

berlaku. Kebijakan ini juga minim diketahui pemerintah daerah yang berimbas pada

ketergantungan yang tidak seharusnya kepada Pemerintah Pusat.

IV.2.2. Efektivitas dan Efisiensi

Program SPAB belum masuk secara merata dan belum menjadi program prioritas, khususnya

untuk implementasi pilar I. Peran Sekretariat Nasional SPAB di tingkat nasional dan juga

Sekretariat Bersama SPAB di daerah belum optimal termasuk tentang kolaborasi dengan pihak

terkait untuk mendukung terpenuhinya sarana prasarana SPAB. Hal ini tercermin dari hanya 2

dari 24 capaian (8%) yang masuk dalam pilar I dalam Peta Jalan Program SPAB di tahun 2015-

2019, yaitu penyusunan modul Pilar I dan pengadaan peralatan darurat.

Selain itu, program fasilitas satuan pendidikan aman bencana ini juga ternyata belum menjadi

program prioritas baik di kalangan pemerintah daerah maupun di satuan pendidikan yang

menjadi penyebab belum optimalnya implementasi program SPAB termasuk pemenuhan

terkait dengan pilar 1 SPAB.

Kementerian PUPR semenjak tahun 2019 telah melakukan identifikasi untuk penanganan

sekolah yang perlu diperbaiki. Dari ±10.000 satuan pendidikan yang terdata memiliki

kerusakan di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), telah diverifikasi terdapat ±3.600 sekolah

yang harus diperbaiki, dan sampai tahun 2019 baru selesai 1,467 sekolah. Data dari

Kementerian Agama menunjukkan bahwa terdapat ±1000 data madrasah yang tergolong

kategori rusak ringan hingga berat, dan setelah diverifikasi terdapat 419 madrasah yang dapat

ditindaklanjuti, dan sebanyak 144 unit sudah selesai ditangani (Gambar 11).

Hal ini menunjukkan bahwa selama laju intervensi yang dilakukan oleh Kementerian PUPR

berada di sekitar 1,500 – 1,600 satuan pendidikan per tahunnya. Laju ini perlu ditingkatkan

lagi mengingat bahwa lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan gempa dan

juga lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan banjir. Dengan laju yang ada,

Page 32: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 31 dari 100

Indonesia akan membutuhkan sekitar lebih dari 33 tahun untuk memperbaiki 50,000 satuan

pendidikan.

Di sisi lain, hasil wawancara dengan perwakilan Kementerian PUPR juga menyebutkan bahwa

data kerusakan satuan pendidikan yang terekam di Kemendikbud dan Kemenag belum

menggunakan standar penilaian yang baku, sehingga setelah dilakukan verifikasi oleh petugas

dari PUPR, banyak data yang tidak sesuai. Tidak adanya standar penilaian yang baku akan

memperpanjang proses dan menyebabkan inefisiensi.

Gambar 11. Penanganan Sekolah dan Madrasah oleh Kementerian PUPR pada tahun 2019

Selain itu, masih banyak satuan pendidikan yang belum mengetahui dan belum memiliki

Sertifikat Laik Fungsi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sertifikat Laik Fungsi (SLF)

adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah terhadap bangunan gedung yang telah

selesai dibangun sesuai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan telah memenuhi persyaratan

kelaikan teknis sesuai fungsi bangunan berdasar hasil pemeriksaan dari instansi terkait. SLF

diterbitkan dengan masa berlaku 5 tahun untuk bangunan umum, termasuk untuk satuan

pendidikan.

Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas aman bencana tidak lepas dari perlunya pengawasan yang

ketat selama proses konstruksi, mengingat pengerjaan bangunan satuan pendidikan secara

teknis yang menentukan kualitas bangunan meskipun perencanaan sudah disusun dengan baik.

Page 33: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 32 dari 100

“Sudah ada SNI, Peraturan Menteri, Pedoman terkait pilar 1 namun

berdasarkan hasil asesmen lapangan, hampir semua sekolah tidak

memenuhi persyaratan teknis” kata perwakilan Kementerian PUPR dalam

wawancara

Pada beberapa pelaksanaan, pembangunan bangunan satuan pendidikan juga melibatkan padat

karya, yang masih harus diawasi terutama tingkat pemahaman dan kemampuan yang dimiliki

oleh para tim bangunan yang masih awam dengan konsep pembangunan bangunan satuan

pendidikan yang tahan gempa bumi maupun sesuai konsep bangunan pendidikan yang aman

bencana. Rendahnya pemahaman tentang konstruksi bangunan yang tahan bencana menjadi

tantangan SDM, terutama di daerah dengan kapasitas tenaga ahli yang terbatas. Selain itu,

penerapan desain dan spesifikasi bangunan satuan pendidikan masih berbeda-beda di setiap

daerahnya, sehingga sulit untuk memastikan kualitas bangunan yang telah dibangun.

Kelengkapan sarana prasarana juga banyak yang belum memenuhi dan belum ramah anak.

Sarana dan prasarana untuk anak disabilitas masih kurang diperhatikan. Pemenuhan kebutuhan

fasilitas sarana prasarana yang aman di satuan pendidikan salah satunya juga harus memenuhi

aspek ramah anak. Sampai saat ini, masih terdapat sekolah yang belum menerapkan dengan

baik, misalnya, masih ditemukan fasilitas meja di kelas untuk para siswa memiliki sudut yang

lancip yang bisa berbahaya dan atau penempatan rambu evakuasi yang tidak terlihat jelas oleh

anak-anak.

IV.2.3. Dampak

Kejadian bencana seperti gempa Lombok dan gempa-tsunami-likuifaksi masif di Sulawesi

Tengah di tahun 2018 telah menunjukkan bahwa ancaman bencana memiliki dampak yang

signifikan di sektor pendidikan. Dari 492 fasilitas umum yang terdampak di Lombok, 373

(87%) diantaranya adalah fasilitas pendidikan. Secara akumulatif, bencana di Lombok dan

Sulawesi Tengah telah merusak lebih dari 2,500 satuan pendidikan dan berdampak pada lebih

dari 140,000 siswa.

Selain itu, berdasarkan data Kemendikbud, terdapat lebih dari 62,000 satuan pendidikan yang

terkena dampak akibat berbagai ancaman bencana, baik karena kebakaran hutan dan lahan,

gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan angin puting beliung28. Namun,

jumlah ini diperkirakan jauh lebih besar karena umumnya data kerusakan sekolah akibat

bencana yang dikumpulkan oleh Kemendikbud masih sebatas kerusakan akibat bencana

berskala menengah hingga besar. Sedangkan, jumlah kejadian bencana berskala kecil

merupakan kejadian yang lebih sering terjadi dan kejadian ini juga bisa memberikan dampak

yang signifikan terhadap fasilitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.

IV.2.4. Keberlanjutan

Pasca gempa Sumatera Barat pada tahun 2009, sekolah dimasukkan ke dalam Kategori Risiko

IV dimana bangunan sekolah harus didesain tahan gempa dengan faktor keamanan 1.5 kali

lebih kuat dimana ini adalah tingkat keamanan paling tinggi untuk bangunan. Selama 12 tahun

terakhir tersebut, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mendukung

untuk perwujudan fasilitas satuan pendidikan aman bencana. Namun hal ini belum bersifat

mengikat terutama terkait wewenang dan tupoksi lembaga yang terlibat, termasuk pula terdapat

28 Ibid.

Page 34: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 33 dari 100

ketidak jelasan mengenai peran setiap lembaga dalam implementasi program SPAB khususnya

dalam pilar 1.

Saat ini, Kementerian PUPR telah menetapkan petunjuk teknis standardisasi desain dan

penilaian kerusakan sekolah dan madrasah melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Cipta Karya

No. 47/SE/DC/2020 tanggal 27 Oktober 2020. Petunjuk Teknis Standardisasi Desain Sekolah

dan Madrasah yang diharapkan dapat menjaga kualitas dokumen rencana teknis dalam

pembangunan dan rehabilitasi/renovasi sekolah dan madrasah, selain itu juga Petunjuk Teknis

Penilaian Kerusakan Sekolah dan Madrasah dapat digunakan sebagai instrumen untuk

melakukan identifikasi tingkat kerusakan bangunan sebagai dasar untuk menentukan

penanganan yang dibutuhkan. Dokumen ini nantinya yang akan menjadi panduan petunjuk

teknis dalam perencanaan pembangunan bangun satuan pendidikan yang aman bencana sesuai

dengan tujuan pilar I SPAB.

Pemenuhan kebutuhan fasilitas sarana dan prasarana yang aman dari bencana dapat juga

dimasukkan ke dalam salah satu indikator akreditasi sekolah, seperti yang sudah terlaksana di

beberapa sekolah di NTT meski belum optimal. Dengan demikian, satuan pendidikan yang

ingin memperoleh akreditasi sekolah harus memenuhi seluruh indikator termasuk diantaranya

adalah pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana aman bencana. Hal ini menunjukkan pula

pemerintah daerah dapat berperan penting dalam memastikan perwujudan pilar I.

Namun, salah satu kelemahan dalam aspek keberlanjutan adalah belum adanya mekanisme

pemantauan dan pengawasan terhadap penerapan kebijakan yang sudah ada. Sebagai contoh

adalah penerapan pembangunan sekolah sesuai dengan SNI tahan gempa yang sudah ada,

penggunaan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan pengawasan dari tim ahli, dimana saat ini tidak

ada sistem yang bisa mengetahui berapa sekolah yang sudah menerapkan pembangunan sesuai

SNI, berapa sekolah yang sudah memiliki SLF, dan berapa sekolah yang bangunannya sudah

melakukan audit keselamatan bangunan yang dilakukan oleh tim ahli.

Gambar 12. Cuplikan paparan dari Kementerian PUPR saat Lokakarya Pilar I

IV.2.5. Inovasi

Beberapa langkah inovatif yang sudah dilakukan terkait pilar I, antara lain:

• Pemetaan sekolah yang terletak di wilayah rawan bencana yang berasal dari integrasi

data dari Kemendikbud (Dapodik) dan BNPB (InaRISK), yang kemudian bisa diakses

oleh publik melalui platform InaRISK (https://inarisk.bnpb.go.id/). Dari pemetaan ini,

Page 35: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 34 dari 100

Seknas SPAB juga memiliki data satuan pendidikan yang berada di lokasi rawan

bencana.

• Pengembangan aplikasi pengkajian keselamatan bangunan, yaitu VISUS - Visual

Inspection for defining the Safety Upgrading Strategies (dikembangkan oleh UNESCO

dan University of Udine, Italy) dan STEP-A (dikembangkan oleh UNDP bersama

stakeholder Konsorsium Pendidikan Bencana – KPB). Aplikasi-aplikasi ini membantu

warga sekolah untuk mengkaji tingkat keamanan bangunan terhadap berbagai jenis

ancaman bencana. Namun, sayangnya aplikasi-aplikasi ini belum digunakan secara

massal.

• Pengembangan platform informasi pemetaan satuan Pendidikan terdampak bencana

untuk rehabilitasi rekonstruksi berbasis website hasil kerja sama UNICEF, Plan, dan

Pusat Data Pendidikan (Pusdapendik) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Sulawesi Tengah, dimana publik bisa mengetahui dampak dan juga capaian sejauh ini

terkait upaya pemulihan di sektor pendidian pasca gempa dan tsunami Sulawesi Tengah

2018.

IV.2.6. Pembelajaran

Kualitas Data Pokok Pendidikan (dapodik) Kemendikbud. Berdasarkan temuan

Kementerian PUPR saat mengidentifikasi kerusakan sekolah, data yang diberikan dari data

pokok Pendidikan dirasa belum memiliki standar yang baku, karena ditemukan perbedaan

saat petugas di lapangan dengan petugas yang melakukan input dapodik.

Alokasi Pendanaan. Pendanaan untuk pemenuhan sarana prasarana aman bencana masih

bergantung pada pusat, sebaiknya bisa memperhatikan dan memanfaatkan sumber pendanaan

lainnya supaya bisa lebih independen.

Monitoring dan Evaluasi mengenai Teknis Konstruksi Bangunan Tahan Gempa.

Pemahaman tentang keandalan bangunan belum menjadi prioritas SDM yang ditugaskan

melakukan pengawasan kegiatan konstruksi, terutama di daerah dengan akses sulit. Penerapan

desain dan spesifikasi bangunan masih berbeda-beda di setiap daerahnya, sehingga sulit untuk

memastikan keseragaman keandalan bangunan gedung yang telah dibangun. Sampai saat ini

masih sering ditemukan kegagalan bangunan satuan pendidikan akibat bencana alam seperti

gempa bumi baik struktur maupun non-struktur karena belum mengikuti SNI 1726. Bangunan

sekolah ditetapkan sebagai bangunan risiko (KRB IV) atau yang terberat karena merupakan

tempat belajar sekaligus tempat evakuasi bencana. Sekolah sebagai KRB IV: Bangunan

sekolah harus 1.5 kali lebih kuat dan kaku dibandingkan bangunan umum yang merupakan

standar nasional (SNI-1726-2012/2019) yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional

(BSN).

Dalam hal perencanaan dan perancangan bangunan sekolah sesuai kondisi wilayah dan

bahaya masing-masing, perlu adanya personil di Kementerian PUPR dan dinas pekerjaan

umum di daerah yang dapat mendukung proses perencanaan karena banyak sekolah yang

belum paham. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena masih terbatasnya SDM di

Kementerian PUPR dan dinas terkait. Perlu adanya monitoring dan pengawasan yang ketat

oleh Kementerian PUPR, dinas PUPR, atau lembaga lainnya yang relevan sesuai dengan

kondisi daerah (misalnya Tim Ahli Bangunan dan Gedung – TABG) terkait proses konstruksi

bangunan sekolah, karena masih ditemukan tukang bangunan yang tidak terbiasa dengan

metode bangunan tahan gempa dan belum membangun sesuai standar bangunan tahan gempa

Page 36: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 35 dari 100

sehingga tidak sesuai dengan perencanaan. Serta, Kementerian PUPR perlu memastikan

jumlah tukang yang terlatih dan menjalankan sesuai juknis pembangunan sesuai struktur tahan

gempa dan melakukan perbaikan kedepannya, serta menyediakan fasilitas yang dapat diakses

untuk meningkatkan kapasitas para tukang. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan

pembangunan atau perbaikan atau relokasi sekolah ke tempat aman sebagai bagian dari

penyelenggaraan SPAB atau upaya PRB pada sektor pendidikan.

Regulasi. Perlu diperhatikan juga regulasi dalam kaitannya dengan pemenuhan sarana

prasarana untuk mendukung program satuan Pendidikan aman bencana, termasuk wewenang

dari setiap lembaga.

SNI 1726 tentang Bangunan Gedung Tahan Gempa belum tersosialisasikan dan

terimplementasi dengan baik di kalangan stakeholder. SNI 1726 mengatur persyaratan

perancangan bangunan terhadap gempa. SNI 1726 yang telah di-update pada tahun 2019 sudah

memasukkan bangunan sekolah dalam kategori risiko IV, yang berarti kategori risiko terberat.

Bangunan sudah dibuat sesuai standar tapi sarana belum ramah pada anak. Masih

terdapat meja-meja dengan ujung lancip yang bisa berbahaya. Harapannya bisa mendapatkan

dukungan dari kementerian untuk renovasi, sehingga bisa siap saat menghadapi new normal.

Perlu menekankan aspek pemanfaatan informasi bencana. Pengalaman di lapangan

banyak kasus bangunan sekolah di zona gerakan tanah menengah sampai tinggi tanpa ada

upaya untuk pengendaliannya, karena ketidak pahaman maupun menyalahi kaidah

pembangunan bangunan tahan bencana. Pendidikan aman bencana kepada anak harus

konsisten dilakukan supaya bisa menjadi budaya baik dan diterapkan juga di rumah.

IV.3. Pilar 2. Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan

Lingkup analisis Pilar 2 dalam evaluasi ini meliputi seluruh upaya yang dilakukan untuk

menyusun sistem manajemen penanggulangan bencana di satuan pendidikan, yang meliputi:

kajian risiko; pembentukan tim siaga bencana, pengembangan kebijakan SPAB di tingkat

sekolah, perencanaan kesiapsiagaan dan tindakan penanganan pendidikan di masa darurat, dan

penyusunan rencana aksi.

Pada pilar 2, terdapat berbagai upaya dari pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk

mendukung penguatan sarana prasarana aman bencana di satuan pendidikan, antara lain:

1. Adanya kebijakan yang dikeluarkan setingkat menteri, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program

Satuan Pendidikan Aman Bencana, dimana dalam Permendikbud ini banyak pasal terkait

manajemen penanggulangan bencana diatur.

2. Kebijakan di tingkat daerah di wilayah provinsi Aceh, Bali, Bangka Belitung, DKI Jakarta,

Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Tengah serta di 8 Kabupaten/ Kota lainnya

(Gambar 13).

3. Modul Pilar 2 terkait Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan telah

disusun oleh Seknas SPAB.

4. Terdapat website SPAB yang dikelola oleh Seknas SPAB sebagai repositori dokumen-

dokumen terkait SPAB, termasuk kebijakan, peraturan, dan panduan di tingkat nasional

Page 37: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 36 dari 100

hingga lokal, serta materi-materi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga non-

pemerintah.

5. Penyusunan peta jalan sekolah aman 2015 – 2019, penyusunan juknis, penguatan kemitraan

bersama lembaga non-pemerintah, pengembangan instrumen kesiapsiagaan sekolah, dan

bimbingan teknis.

6. Pembentukan Sekretariat Nasional SPAB dimana keanggotaannya juga melibatkan

berbagai lembaga non-pemerintah yang banyak berkecimpung di pilar 2 dan pilar 3.

7. Mendorong partisipasi satuan pendidikan dalam bentuk simulasi bersama di Hari

Kesiapsiagaan Bencana Nasional yang dilakukan tiap tahunnya di bulan April.

8. Penyusunan pedoman Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Darurat sebagai upaya untuk

memastikan pemulihan sektor pendidikan di masa bencana secara cepat, efektif, dan tepat

sasaran.

9. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pelopor terkait SPAB di tingkat global dan juga

di tingkat ASEAN.

Indonesia telah melaksanakan program satuan Pendidikan aman bencana (SPAB) sejak tahun

2008. Hal ini ditandai dengan bergabungnya Indonesia dalam peluncuran “Satu Juta Sekolah

Aman dan Rumah Sakit Aman”, sebagai target yang dicanangkan secara global (UNISDR,

2010). Masih menggunakan sebutan dengan sekolah aman. Walaupun sebelum 2010, Indonesia

telah melaksanakan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan berbagai istilah, diantaranya;

pengurangan risiko bencana berbasis sekolah (PRBBS), sekolah siaga bencana (SSB), sekolah

tangguh bencana, sekolah madrasah aman bencana (SMAB).

Secara konsep, pelaksanaan SPAB di Indonesia juga selaras dengan dokumen global “Sekolah

Aman Yang Komprehensif” yang dikeluarkan oleh The United Nation Office for Disaster Risk

Reduction (UNISDRR), dengan Global Alliance for Disaster Risk Reduction & Resilience in

Education Sector (GADRRRES). Dimana disebutkan bahwa tujuan SPAB adalah untuk

mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh semua bahaya terhadap sektor pendidikan

(GADRRES, 2017).

Page 38: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 37 dari 100

Gambar 13. Kebijakan SPAB di Indonesia29

Sejak tahun 2017, Indonesia termasuk menjadi salah satu dari 58 negara di dunia yang telah

menjadi Safe School Country Champion dalam Worldwide Initiative for Safe School (WISS).

Inisiatif ini diinisiasi dan dikoordinasikan oleh GADRRRES. Indonesia dalam berbagai

kegiatan internasional, senantiasa aktif dan berkontribusi. Termasuk di wilayah Asia Tenggara.

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh ASEAN Safe School Initiative (ASSI), disebutkan bahwa

Indonesia adalah satu dari delapan negara yang sangat aktif mempromosikan dan

mengimplementasikan program SPAB, baik di level negara, maupun di Kawasan Asia (ASSI,

2020).

Di level nasional, konsep tersebut telah juga diturunkan ke dalam peta jalan SMAB 2015-2019

yang berfungsi untuk: 1). Memberikan dasar hukum pelaksanaan sekolah aman. 2).

Memberikan landasan bagi pembagian tugas dan tanggung para pemangku kepentingan.

3).Memberikan petunjuk, acuan dan pedoman dalam pelaksanaan, pemetaan kebutuhan,

ketersediaan anggaran dan ketersediaan sumber daya lainnya. Peta jalan ini kemudian

29 Ibid.

Page 39: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 38 dari 100

dimutakhirkan kembali di tahun 2020 dengan diluncurkannya Peta Jalan Penyelenggaraan

Program Satuan Pendidikan Aman Bencana 2020-2024, dimana dalam lima tahun ke depan,

telah diatur 10 target utama yaitu:

1. Kebijakan dan regulasi nasional dan daerah tentang SPAB di setiap

provinsi/kabupaten/kota.

2. Terbentuknya 200 Sekretariat Bersama SPAB tingkat provinsi dan kabupaten/kota

berfungsi dalam mengkoordinasikan penyelenggaraan program SPAB.

3. Terlaksananya Program SPAB mandiri di 40% satuan pendidikan di Indonesia.

4. Adanya sistem pemantauan dan evaluasi yang sistematis dan terukur melalui integrasi

InaRISK (BNPB), DAPODIK (Kemendikbud), dan EMIS (Kemenag).

5. Pelaksanaan Permendikbud nomor 33 tahun 2019, mengakomodir Pendidikan Tinggi dan

Pendidikan Non-Formal (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Sanggar Kegiatan

Belajar).

6. Tersedianya 5 produk inovasi yang mendukung penyelenggaraan program SPAB.

7. Para pemangku kepentingan pendidikan memahami Permendikbud no. 33/ 2019.

8. Penganugerahan penghargaan SPAB award.

9. Potensi daerah (TAGANA, PMI, SAR, Pramuka, dll) terlibat mendukung penyelenggaraan

SPAB.

10. Lembaga non-pemerintah dan swasta terlibat aktif di SPAB dengan kontribusi melalui

program, pendanaan, tenaga ahli, dan bantuan sarana prasarana.

IV.3.1. Relevansi

Data kerusakan jumlah sarana prasarana satuan pendidikan yang terekam di Kemendikbud

menunjukkan bahwa dengan adanya ragam dan tingkat ancaman bencana yang tinggi serta

fasilitas sarana prasarana satuan pendidikan yang belum terjamin keamanannya, hal ini perlu

diimbangi dengan adanya manajemen penanggulangan bencana di tingkat satuan pendidikan.

Manajemen penanggulangan bencana ini antara lain terdiri dari prosedur keselamatan dan

keamanan di satuan pendidikan dengan adanya pembagian peran antara siapa melakukan apa,

dimana, dan kapan, pembentukan tim siaga bencana di satuan pendidikan, serta merumuskan

tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana.

Tindakan ini juga perlu dilengkapi dengan pemasangan rambu evakuasi, penetapan jalur

evakuasi, serta penyusunan peta jalur evakuasi.

Page 40: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 39 dari 100

Gambar 14. Papan informasi Sekolahku Siaga Bencana (BNPB, 2020)

Saat ini baru 5% satuan pendidikan (sekitar 13,000 dari 272,000 sekolah) yang sudah

mendapatkan intervensi program SPAB, yang umumnya merupakan intervensi dari pilar 2 dan

pilar 3 (hasil data FGD). Sehingga, peningkatan upaya dalam pilar 2 masih sangat relevan

dilakukan terutama untuk satuan pendidikan yang berada di wilayah rawan bencana.

IV.3.2. Efektivitas dan Efisiensi

Indonesia menjadi salah satu negara dari 58 negara yang memiliki kebijakan yang cukup baik,

karena telah menggabungkan kebijakan pendidikan dalam situasi bencana dan juga di masa

non-bencana serta dalam pelaksanaannya berkolaborasi dan mendapat dukungan yang cukup

baik dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai lembaga non-pemerintah .

Berbagai kebijakan untuk mendukung pelaksanaan SPAB telah dikeluarkan, baik di tingkat

nasional, termasuk BNPB, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat, dan juga panduan atau pedoman dari Sekretariat Nasional

Sekolah Aman, LSM, donor, universitas dan perusahaan swasta. Di tingkat lokal, provinsi dan

kota, termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dinas pendidikan, dinas

pekerjaan umum serta didorong pula dengan keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) serta universitas setempat. Para pemangku kepentingan tersebut dalam 12 tahun (2008-

2020) terakhir telah mengembangkan peraturan, kebijakan, dan inisiatif terkait dengan

pendidikan bencana dan tata kelola keselamatan sekolah di Indonesia. Saat ini kebijakan utama

SPAB di Indonesia adalah Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud),

No.33 tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Program Satuan pendidikan Aman Bencana.

Permendikbud ini mengatur, bagaimana penyelenggaraan program satuan pendidikan aman

bencana dalam dilakukan pada saat sebelum, saat, dan setelah bencana, ragam layanan yang

perlu diberikan, proses pembentukan Seknas dan Sekber SPAB, mekanisme pendanaan, serta

metode pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala.

Page 41: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 40 dari 100

Gambar 15. kerangka regulasi SPAB antar stakeholder terkait di tingkat Nasional30

Beberapa faktor yang mempercepat akselerasi pelaksanaan SPAB di Indonesia adalah;

pengembangan pedoman teknis dan modul untuk 3 pilar sekolah aman komprehensif yang telah

diterbitkan oleh Kemendikbud dan BNPB serta dukungan aktif dari berbagai Lembaga non-

pemerintah pada tahun 2016.

Di sisi lain, proses integrasi berjalan paralel dilakukan oleh BNPB dan Kemendikbud dengan

meningkatnya kerja sama dengan lembaga eksternal untuk mendukung program SPAB, seperti

misalnya dengan Pramuka, Tagana Masuk Sekolah (Kemensos), Hizbul Wathan

(Muhammadiyah), Palang Merah Remaja (PMI). Melalui kemitraan eksternal, kegiatan-

kegiatan SPAB bisa diinisiasi menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler untuk siswa di

sekolah dan juga bisa bersifat wajib untuk kelas tertentu. Inisiatif ini juga dilengkapi dengan

penyusunan modul untuk para fasilitator/ pembina / pelatih seperti misalnya modul panduan

untuk Pramuka. Hal ini bisa menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan cakupan

program SPAB.

Di tingkat daerah, pembentukan dan pengembangan SPAB juga terus dilakukan. Motor

penggerak di daerah terkait penerapan program SPAB adalah Sekretariat Bersama SPAB

(Sekber SPAB) yang merupakan sebuah wadah untuk meningkatkan koordinasi dan kolaborasi

multi pihak, terutama di sektor pendidikan dan penanggulangan bencana. Sekber SPAB adalah

bentuk serupa Seknas SPAB di tingkat daerah.

Provinsi Aceh telah melakukan inisiasi pembentukan Sekber SPAB pada tahun 2019 oleh

Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), dengan dukungan

berbagai lembaga non-pemerintah. Selain itu, di Aceh juga sedang dalam proses penyusunan

peraturan daerah atau di Aceh disebut dengan Qanun terkait pendidikan kebencanaan yang saat

ini sudah sampai pada tahap pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dari

sisi penganggaran, Aceh juga telah memiliki Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk keperluan

penanggulangan bencana, dimana dana ini perlu juga dialokasikan untuk mendukung

30 Ibid.

Page 42: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 41 dari 100

implementasi SPAB. Berdasarkan studi terbaru (Nurdin, 2019), menjelaskan bahwa

kesiapsiagaan satuan Pendidikan di Aceh relatif cukup baik, terutama di gempa dan tsunami.

Di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyusunan kebijakan melalui kepala daerah juga telah

dilakukan, termasuk di Kabupaten Sigi, Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan level provinsi

yang dimana wilayah ini terdampak karena gempa, tsunami, dan likuefaksi di tahun 2018.

Telah mulai menyusun peraturan gubernur, pembentukan sekber SPAB, dan pembuatan peta

rawan bencana.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), selain kebijakan juga telah tersedia alat untuk

monitoring dan evaluasi (monev) yang akan dipakai untuk penilaian dan keperluan audit yang

kembangkan oleh Sekretariat Aman Bencana NTT. Instrumen akreditasi implementasi SPAB

juga telah dibuat berdasarkan instrumen yang dikeluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional

Sekolah dan Madrasah (BAN S/M) pada tahun 2017. Beberapa sekolah juga telah melakukan

integrasi SPAB ke dalam kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai capaian ini dilakukan atas Kerja

sama berbagai pihak, baik dinas Pendidikan, kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag),

BPBD, dengan berbagai lembaga non-pemerintah.

“Untuk kegiatan integrasi modul kebencanaan ini sudah kami

implementasikan ke dalam muatan pelajaran atau muatan

lokal/ekstrakurikuler. Kami sudah mendapat pendampingan mengenai SOP

integrasi materi ini ke dalam mata pelajaran. Untuk kelas tinggi, kelas 4-6

berbentuk panduan yang sudah dilaksanakan selama ini, sedangkan untuk

kelas 1-3 SD melalui bacaan-bacaan bergambar mengenai kebencanaan

dan poster yang kami pasang ditiap kelas”. kata salah satu guru di NTT

Sedangkan di Provinsi DKI Jakarta, telah diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 187

Tahun 2016 tentang Penerapan Sekolah Madrasah Aman Bencana. Pergub ini memiliki 10

Indikator capaian SMAB, yang jika dilihat indikator ini mayoritas untuk pelaksanaan pilar 2

dan 3. Adapun detail indikator adalah sebagai berikut (Pemda DKI, 2016):

1. Ditetapkannya peta ancaman bencana sekolah oleh Kepala Sekolah/Madrasah;

2. Ditetapkannya prosedur tetap penanggulangan ancaman Bencana Sekolah oleh Kepala

Sekolah/Madrasah;

3. Ditetapkannya rencana aksi sekolah aman bencana oleh Kepala Sekolah/Madrasah;

4. Ditetapkannya tim siaga bencana di sekolah oleh Kepala Sekolah/Madrasah;

5. Tersedia dan diajarkannya modul penanggulangan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi,

angin topan, bagi siswa sekolah/madrasah;

6. Tersedianya tenaga pengajar yang berkemampuan membimbing dan membina pelaksanaan

penanggulangan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi, angin topan, di lingkungan

sekolah/madrasah;

7. Tersedianya sarana dan prasarana keselamatan; alat pemadam api ringan; pelampung; tali

tambang; rambu kebencanaan; alat pertolongan pertama; dan megaphone / sirine.

8. Terlaksananya simulasi penanggulangan bencana di sekolah/madrasah minimal 1 (satu)

kali dalam setahun;

9. Terlaksananya pemantauan dan evaluasi kegiatan sekolah/madrasah aman bencana; dan

10. Disosialisasikannya sekolah/madrasah aman dari bencana di lingkungan satuan pendidikan

oleh manajemen sekolah.

Page 43: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 42 dari 100

Data yang di miliki oleh BPBD DKI Jakarta, saat ini implementasi SPAB telah dilakukan di

lebih dari 380 satuan Pendidikan. Sedangkan dari sisi dinas Pendidikan DKI Jakarta telah

memberikan pelatihan SPAB kepada guru melalui Pusat Pengembangan Kompetensi Pendidik,

Tenaga Kependidikan, dan Kejuruan (P2KPTK2).

“Sekolah yang aman dari bencana yaitu memiliki bangunan yang kokoh,

memiliki tulisan evakuasi, mempunyai alat peringatan dini, memiliki alat

pemadam kebakaran. Di sekolah sudah pernah dilakukan latihan” kata

salah satu guru di Jakarta

Pelaksanaan kegiatan lain adalah berupa pelatihan untuk siswa, serta simulasi rutin, yang

melibatkan polisi, puskesmas, dan pihak kelurahan. Untuk memonitor pelaksanaan, Palang

Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta telah menginisiasi penyusunan instrumen monitoring

SPAB bersama BPBD, Disdik, Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian

Penduduk (PPAPP), Seknas SPAB, Wahana Visi Indonesia (WVI), dan Yayasan Kausa

Resiliensi Indonesia (YKRI) di tahun 2018. Pada tahun 2019 instrumen tersebut diadopsi ke

dalam penilaian sekolah sehat DKI Jakarta.

“Terkait Pilar 2, kami dari dinas Pendidikan bersama dengan DAMKAR,

BPBD, dan beberapa LSM sering membantu kami terkait dengan

manajemen sekolah sehingga aman dari bencana.“ kata salah satu

perwakilan dinas pendidikan saat FGD

Peta dan jalur evakuasi belum banyak dimiliki satuan pendidikan. Program SPAB khususnya

pilar 1 mendukung terpenuhinya sarana dan prasarana aman bencana, salah satunya adalah

pemenuhan peta dan jalur evakuasi bencana di satuan pendidikan. Apabila setiap sekolah telah

mengetahui risiko ancaman bencana di wilayah mereka, tentunya mereka akan melakukan

rencana aksi termasuk rencana tanggap darurat apabila bencana terjadi, salah satunya dengan

melengkapi bangunan satuan pendidikan dengan peta jalur evakuasi dan rambu jalur evakuasi

bencana.

Pelaksanaan SPAB di Indonesia telah beradaptasi dan terus berkembang. Pada awal

pelaksanaan lebih dominan dengan cara-cara konvensional atau tatap muka. Namun, saat ini

pemerintah, melalui Kemendikbud, BNPB dan dengan dukungan berbagai lembaga non-

pemerintah juga telah mengembangkan pola daring (online) untuk guru dan pendidik di kelas

melalui e-learning untuk mempercepat proses pembelajaran. Program bimbingan teknis yang

berlangsung melalui daring juga mendorong setiap guru dan kepala sekolah yang menjadi

peserta bimtek untuk melakukan rencana tindak lanjut yang salah satunya adalah untuk

menyusun manajemen penanggulangan bencana di sekolahnya.

IV.3.3. Dampak

Saat ini terdapat lebih dari 250.000 sekolah dibangun di daerah rawan bencana di seluruh

Indonesia, mencakup hingga 75% sekolah di seluruh Indonesia. Secara umum, jangkauan dan

cakupan, termasuk lebih dari 62 juta anak-anak dan 8 juta mahasiswa kemungkinan akan

terpengaruh. Kemajuan untuk sekolah aman komprehensif di Indonesia telah diprioritaskan

oleh pemerintah dan juga pemangku kebijakan terkait pendidikan lainnya untuk memastikan

pendidikan yang aman untuk anak-anak. Dalam 12 tahun terakhir, sejak modul SPAB pertama

diperkenalkan di Indonesia, ada lebih dari 27.000 sekolah menerapkan program sekolah aman

Page 44: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 43 dari 100

termasuk ketersediaan dana dari anggaran pemerintah, negara-negara bersatu, dan organisasi

non-pemerintah senilai 842 miliar Rupiah ($ 57,3 juta USD) .

Gambar 16. Lini masa Implementasi SPAB

Selama periode pelaksanaan peta jalan SPAB 2015-2019 beberapa dampak signifikan yang

terlihat adalah perhatian lebih serius dari Kemendikbud, Kemenag, dan BNPB. Hal ini bisa

dilihat dari adanya alokasi anggaran implementasi SPAB setiap tahunnya, serta adanya

kebijakan melalui peraturan Menteri Pendidikan No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan

Program SPAB, serta peraturan kepala BNPB pada 2014.

Kerja sama dalam mendorong terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi program antar lembaga

yang juga terlibat dalam SPAB yaitu dengan dibentuknya Seknas SPAB dengan keanggotaan

lintas kementerian; Kemendikbud, Kemenag, BNPB, Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Anak (KPPA), serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Berbagai sekretariat bersama juga telah terbentuk di berbagai daerah di Indonesia, baik di level

kabupaten/kota, maupun provinsi. Lini masa penyelenggaraan SPAB pada rentang tahun 2015-

2020 diperlihatkan pada Gambar 16.

IV.3.4. Keberlanjutan

Walaupun secara umum, bahwa keberlanjutan program SPAB masih sangat menantang di

Indonesia, namun berbagai inisiatif telah terus dilakukan oleh beberapa pihak. Misalnya BNPB

dengan Kemendikbud mulai dari 2015 sampai 2020 ini terus melakukan implementasi SPAB

dengan berbagai strategi. Mulai dari menyiapkan fasilitator nasional (yang biasa disebut

fasnas) yang berasal dari berbagai lembaga dari berbagai daerah, atau melakukan Kerja sama

langsung dengan Lembaga non-pemerintah lokal, yang bertugas mendampingi pelaksanaan

implementasi dan meningkatkan kapasitas fasilitator daerah.

Hal lain, BNPB bekerja sama dengan Pramuka, khususnya gugus tugas yang sehari-hari berada

di daerah dan di satuan Pendidikan, karena sebagian besar anggotanya adalah guru dan tenaga

pendidik. Strategi ini dianggap cukup efektif, baik secara implementasi maupun capaian angka

penerima manfaat. Dalam implementasi 2019, BNPB dengan Pramuka melakukan

Page 45: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 44 dari 100

pendampingan di 7 lokasi yang berada di 16 kabupaten/kota, dilaksanakan oleh 35 pembina,

dengan capaian 338 fasilitator di 338 satuan Pendidikan untuk 33 ribu siswa/siswi (Paparan

BNPB, pada Percepatan Implementasi SPAB di Indonesia, 2020). Setelah program berakhir

maka ada 338 fasilitator yang akan terus melakukan pendampingan di masing-masing

wilayahnya.

Di level satuan pendidikan pengintegrasian kegiatan dan materi SPAB juga dilakukan melalui

pengintegrasian ke dalam bentuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, sehingga tidak

akan membebani tugas dan waktu kegiatan belajar mengajar (KBM) reguler. Sebagai contoh

di SDK Waiara di Sikka, NTT, siswa senior yang merupakan tim siaga bencana di sekolah

tersebut memberikan sosialialisasi kepada kelas rendah, sebagai bagian dari transfer

pengetahuan. Dalam hal ini, kepala sekolah memiliki peran yang besar dalam memastikan

adanya keberlanjutan dalam program SPAB.

IV.3.5. Inovasi

Berbagai inovasi telah dikembangkan dalam upaya memperluas cakupan implementasi SPAB

di Indonesia. Inovasi SPAB tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh berbagai

Lembaga non-pemerintah.

Di sisi inovasi. Kemendikbud, melalui Seknas SPAB setidaknya memiliki empat inovasi

utama, yaitu;

1. Telah tersedianya portal pelatihan SPAB melalui daring (e-Learning), yang dapat

diakses melalui website https://simpatik.belajar.kemdikbud.go.id/user/spab. Portal ini

mengikuti pola juknis SPAB dan terdiri dari 12 sesi, disajikan dengan kreatif dan

menyenangkan, melalui gambar, video, grafis, tulisan dan dilengkapi dengan kuis.

Target utama pelatihan ini adalah guru dan tenaga pendidik, namun pada prakteknya,

siapa saja yang tertarik dalam mempelajari SPAB dapat mendaftarkan diri.

2. Tersedia-nya website khusus tentang SPAB yang dikelola oleh Seknas SPAB

https://spab.kemdikbud.go.id/. Di dalam website ini, terdapat berbagai materi, modul,

kebijakan, serta materi KIE. Sehingga siapa saja yang memerlukan data dan informasi

dapat mengakses website tersebut.

3. Integrasi data Dapodik Kemendikbud dengan portal InaRISK

https://inarisk.bnpb.go.id/, Kerjasama BNPB dengan Seknas SPAB, sehingga saat ini

telah tersedia informasi risiko dan ancaman bencana untuk seluruh sekolah di Indonesia

secara makro.

4. Pengembangan aplikasi monitoring dan evaluasi SPAB yaitu “MONEV SPAB” yang

berbasis mobile dan website, kerjasama BNPB, Kemendikbud, Kemenag dibawah

koordinasi Seknas SPAB, dengan dukungan Plan International Indonesia. Aplikasi ini

bertujuan untuk memudahkan monitoring secara terukur dan terstruktur.

Inovasi terkait SPAB lainnya yang dilakukan baik oleh Kementerian/Lembaga, daerah, satuan

pendidikan maupun oleh non-pemerintah yaitu diantaranya:

• Pendekatan melalui gugus depan Pramuka diinisiasi oleh BNPB dengan memberikan

pelatihan melalui Pembina pramuka untuk SPAB, pola keberlanjutan implementasi

dapat di tularkan melalui diseminasi secara informal oleh Kakak Pembina Pramuka

kepada junior pramuka baru.

Page 46: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 45 dari 100

• Pembentukan Sekber SPAB, mengembangkan inovasi perangkat monitoring dan

evaluasi yang berfungsi untuk audit dan penilaian akreditasi satuan pendidikan.

• Di level satuan pendidikan, misal di di SDI St. Yoseph, Kupang, NTT, sebagai bagian

pengingat dan peringatan bahwa wilayah satuan pendidikan berada di wilayah dengan

risiko bencana tinggi (gempa bumi), maka setiap jam 9 pagi dibunyikan sirine, agar

seluruh satuan pendidikan waspada sebagai bagian dari kesiapsiagaan bencana.

• Pengembangan game SPAB oleh Plan Indonesia sejak 2014

(https://www.preventionweb.net/educational/view/45103). Game ini dapat di unduh

melalui play store, dan sangat ramah untuk anak-anak. Selain itu, Plan Indonesia juga

telah menyelenggarakan kompetisi pengembangan aplikasi SPAB berbasis mobile

untuk anak muda pada tahun 2019 yang lalu.

IV.3.6. Pembelajaran

Terdapat berbagai tantangan atau hal yang belum berjalan dengan baik dalam pelaksanaan

SPAB secara nasional sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan sebagaimana yang

disampaikan oleh berbagai narasumber pemerintah dan non-pemerintah. Tantangan dan

hambatan ini berlaku, baik di level nasional dan daerah yaitu diantaranya:

1. Rendahnya kepedulian/pemahaman berbagai pihak akan pentingnya pengetahuan dan

memberikan prioritas kepada implementasikan program SPAB di seluruh satuan

pendidikan di Indonesia.

2. Belum adanya kebijakan turunan untuk implementasi di seluruh tingkat

Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga belum mendorong satuan pendidikan untuk melakukan

implementasi di tingkat sekolah.

3. Kurangnya peningkatan kapasitas, baik dalam format pelatihan maupun sosialisasi. Hal ini

berimplikasi rendahnya pengetahuan guru dan tenaga Pendidikan lainnya melakukan

implementasi di satuan pendidikan. Seperti, melakukan analisa ancaman, risiko dan

kapasitas, Penyusunan Standar Operasi Dan Prosedur (SOP), pembuatan peta risiko

bencana, dan simulasi rutin.

4. Kurangnya fasilitator/guru dan tenaga pendidikan yang mendampingi implementasi SPAB

di berbagai daerah, seperti yang ditemuan di Provinsi Aceh, Jakarta, NTT, maupun

Sulawesi Tengah.

5. Belum inovatif-nya pelaksanaan implementasi SPAB. Satuan pendidikan masih cenderung

menunggu dan mengikuti arahan dalam petunjuk pelaksana (juklak) ataupun petunjuk

teknis (juknis) dari pemerintah pusat.

6. SPAB belum menjadi prioritas program, sehingga alokasi anggaran pemerintah pusat dan

daerah masih minim.

7. Minimnya anggaran sekolah untuk proses implementasi SPAB. Banyak Satuan Pendidikan

belum menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pelaksanaan SPAB.

Penggunaan dana BOS lebih banyak digunakan untuk operasional sekolah dan gaji.

8. Mutasi pejabat atau staf cenderung menghambat keberlanjutan implementasi. Karena ganti

pejabat maka biasanya juga berganti fokus prioritas.

9. Belum berkelanjutan dalam implementasi, sehingga masih cenderung berorientasi kepada

proyek.

10. Tidak tersedianya sistem monitoring dan evaluasi yang dapat melakukan pemantauan

secara berkala di level nasional.

Page 47: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 46 dari 100

Sedangkan hal-hal yang telah berjalan dengan baik, perlu dikembangkan dan dipertahankan

adalah diantaranya:

1. Terus mendorong pembentukan sekretariat bersama (Sekber) SPAB di level

provinsi/kabupaten/kota, karena hal ini penting untuk keberlangsungan dan keberlanjutan

implementasi SPAB di daerah. Sekber ini juga menjadi simpul koordinasi lintas lembaga

yang memiliki tugas dan fungsi dalam implementasi SPAB.

2. Dinas Pendidikan dan kantor wilayah Kemenag di daerah perlu mengadakan kampanye dan

sosialisasi melalui berbagai kegiatan SPAB, misal melalui festival, dan kompetisi SPAB.

hal ini dimaksudkan untuk memotivasi dan mendorong satuan pendidikan untuk terus

melakukan implementasi SPAB.

3. Mendokumentasikan berbagai capaian dan praktik baik implementasi SPAB di level

nasional dan daerah.

4. Pengembangan rencana aksi dan silabus muatan lokal (Mulok) di setiap satuan pendidikan.

5. Mengembangkan aplikasi InaRISK. Bukan hanya sebagai pusat informasi risiko dan

ancaman bencana, namun dapat dijadikan sebagai alat monitoring dan evaluasi

implementasi SPAB untuk seluruh sekolah di Indonesia.

Page 48: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 47 dari 100

Studi Kasus: Inovasi Monitoring dan Evaluasi Nasional

Salah satu kendala utama yang banyak disebutkan dari berbagai pihak adalah kurangnya

informasi terkait berapa banyak sebenarnya satuan Pendidikan yang telah melakukan SPAB,

baik yang di bawah koordinasi Kemendikbud, maupun di bawah Kemenag. Lalu, pilar apa yang

paling dominan, serta apa saja bentuk kegiatan yang dilakukan, serta yang lebih penting,

bagaimana kesiapsiagaan satuan Pendidikan dalam menghadapi bencana.

Pelaksanaan program SPAB telah berlangsung selama lebih dari 12 tahun (2008-2020). Data

yang dimiliki oleh Kemendikbud dan BNPB, menyebutkan bahwa lebih dari 27 ribu satuan

pendidikan di seluruh Indonesia telah melaksanakan program SPAB. Berdasarkan informasi

dari berbagai lembaga yang mendorong program SPAB juga menyebutkan bahwa terdapat

kecenderungan terdapat dominasi pelaksanaan pada pilar 2 (Manajemen bencana di sekolah)

dan pilar 3 (Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana).

Oleh karena itu, BNPB, Kemendikbud, Kemenag di bawah koordinasi Seknas SPAB, dengan

dukungan Plan International Indonesia dan berbagai lembaga lain, telah mengembangkan

aplikasi yang berbasi mobile & website yang bernama “Monev SPAB” (Gambar 17). Aplikasi

ini bertujuan untuk memudahkan monitoring secara terukur, terstruktur, serta mudah

digunakan.

Gambar 17. Inovasi aplikasi “Monev SPAB” untuk mempermudah pelaksanaan monitoring dan evaluasi

SPAB.

Aplikasi Monev SPAB ini, telah di integrasikan ke dalam aplikasi InaRISK yang dibangun oleh

BNPB. Integrasi ini dianggap lebih tepat, mengingat data satuan pendidikan juga telah

terintegrasi di dalam InaRISK, sehingga dapat juga dilengkapi dengan komponen monitoring

SPAB-nya. Sebagai gambaran, InaRISK merupakan sebuah sistem informasi kajian risiko

bencana yang menggambarkan sebaran potensi risiko bencana secara spasial. InaRISK

dikembangkan dalam dua bentuk, berbasis web (InaRISK Web) dan berbasis smarthphone

Page 49: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 48 dari 100

(inaRISK Personal). Di dalam InaRISK Personal ini yang telah di tambahkan dengan fitur

Monev SPAB bagi para guru dan kepala sekolah untuk melakukan evaluasi dan pelaporan

pelaksanaan program SPAB di sekolah mereka masing-masing.

Hasil yang diharapkan dari Monev SPAB ini akan tergambarkan dengan jelas progres

implementasi serta dapat melihat tingkat implementasi di seluruh wilayah dan satuan

pendidikan di Indonesia seperti gambar ilustrasi dibawah ini.

Gambar 16. Ilustrasi sebaran tingkat implementasi berdasarkan tools Monev SPAB

Pertanyaan yang diajukan dalam Monev SPAB ini, mengacu dan menyesuaikan dengan pola

yang sudah ada di dalam peta jalan SPAB 2015-2019, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk

mengukur capaian peta jalan tersebut. Untuk memudahkan satuan pendidikan dalam mengisi,

maka pertanyaan yang diajukan hanya 13 pertanyaan tertutup yaitu terkait dengan apakah

satuan pendidikan telah memiliki atau melakukan: (1) sosialisasi SPAB, (2) mendapatkan

pelatihan SPAB, (3) mengintegrasikan SPAB ke dalam kurikulum atau kegiatan

ekstrakurikuler, (4) melakukan kajian risiko, (5) memiliki SOP terkait SPAB, (6) memiliki

anggaran khusus SPAB, (7) memiliki tim siaga bencana, (8) memiliki kebijakan SPAB, (9)

melakukan penilaian kondisi & kekuatan struktur sekolah, (10) melakukan simulasi secara

rutin (11) serta, apakah satuan pendidikan telah melakukan monitoring SPAB secara berkala.

Monitoring dan evaluasi dengan menggunakan mobile Apps dan web portal merupakan sebuah

inovasi di era digital, serta pada masa pandemi seperti saat ini. Hal ini penting untuk tetap

memastikan keberlanjutan pelaksanaan SPAB tetap berjalan dan disesuaikan dengan kondisi

saat ini. Pengarusutamaan teknologi juga akan mempercepat proses dan menguatkan

pengumpulan data yang dinamis dan terus berubah. Dengan integrasi satu data akan

menguatkan program SPAB yang ditargetkan akan menjangkau seluruh Indonesia pada tahun

2024.

Page 50: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 49 dari 100

IV.4. Pilar 3. Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan

Lingkup analisis Pilar 3 dalam evaluasi ini termasuk agenda pengurangan risiko bencana yang

terintegrasi ke dalam kurikulum formal; pelatihan guru dan pengembangan staff; kegiatan

ekstrakurikuler dan pendidikan informal berbasis-masyarakat.

Pendidikan Bencana (PB) dapat dilihat sebagai sebuah upaya sadar dalam membangun

ketangguhan bangsa secara berkelanjutan dan merupakan intervensi strategis dalam

menciptakan ekosistem kesiapsiagaan karena 3 (tiga) hal: pertama, menyasar peserta didik

untuk memiliki pemahaman dan ketrampilan untuk tangguh bencana; kedua, mendorong

peserta didik sebagai agen aktif pembangunan ketangguhan masyarakat; ketiga, pendidikan

bencana merupakan investasi sumber daya manusia. Anak akan menjadi orang dewasa karena

itu investasi hari ini perlu dilakukan secara ‘tanpa sesal’.

Dalam penelitian ini, PB dan Pendidikan Pengurangan Risko Bencana (PPRB) dianggap

sebagai sinonim dan akan digunakan secara bergantian. Kami mendefinisikan PPRB sebagai

sebuah proses sekaligus tujuan dalam membangun mental tangguh para peserta didik di

berbagai aras, yang didasarkan pada proses berpengetahuan (dalam pengertian cognitive)

maupun ber-praxis (dalam pengertian mampu mengolah pengetahuan kognitif menjadi

tindakan penyelamatan diri maupun masyarakat dan lingkungan mereka) dalam mereduksi

risiko bencana dan kerentanan multi-dimensi.

IV.4.1. Relevansi

Kebutuhan atas PPRB di Indonesia semakin krusial dan mendesak. Komunitas satuan

pendidikan masih terus menjadi korban bencana dalam dua belas tahun terakhir. Dalam

pandangan para guru di ke empat Workshop Provinsi, relevansi SPAB terutama PPRB dilihat

sebagai hal yang urgen karena setiap saat ancaman bencana dapat saja terjadi PPRB

membantun siswa bisa siap-siaga ketika memahami konsep sekolah aman. Dalam konteks

ancaman ekstensif seperti banjir maupun kebajaran, satuan pendidikan kerap dipandang tidak

siap dalam menghadapi bencana-bencana terkait.31 Sedikitnya 568,000 peserta didik terkena

dampak bencana dalam kurun waktu 2016-2019 di 5,680 satuan pendidikan dengan tingkat

kerugian di atas 1 triliun Rupiah.32

Target kerja dalam menjangkau semua satuan pendidikan dengan intervensi PPRB perlu dibuat

secara lebih ambisius tetapi terukur dan konsisten. Secara makro, laju implementasi PPRB dan

SPAB secara nasional meningkat dari tiada pra tahun 2008 menjadi 2,200 satuan pendidikan

per tahun dalam kurun waktu 12 tahun. Secara total, program PPRB ditingkat satuan

pendidikan beranjak dari tiada menjadi sekitar 27,000 satuan pendidikan, atau setara 10 % total

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang ada (>271,000) [atau 4% saja bila PAUD,

Diksus, Dikmas, Vokasi di bawah Kemendikbud dan Kemenag dimasukan]33. Jumlah ini setara

2.7 juta dari 64 juta peserta didik yang perlu dijangkau.

Laju implementasi agenda Pendidikan Bencana di satuan pendidikan di daerah bervariasi tetapi

secara umum masih minim. Sebagai misal, di Kabupaten Sikka, NTT, total adopsi SPAB paska

31 Bencana yang sering terjadi di DKI Jakarta adalah kebakaran dan banjir. Namun, sekolah selalu

merasa tidak siap bagaimana menghadapi bencana tersebut. 32 Mansur, Mukhlis 2020. Pengelolaan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana FGD Pilar 2 SPAB Pra-Bencana: Manajemen Bencana di Satuan Pendidikan, 19 June 2020. 33 Lihat juga perbandingan data dengan Data Satuan Pendidikan (Sekolah) Per Provinsi Berdasarkan Seluruh Jenis Pendidikan: https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php [Akses terakhir 25 July 2020]

Page 51: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 50 dari 100

Peraturan Bupati terkait SPAB dan Kurikulum PB, hanya 2% (10 dari 477 Satuan Pendidikan).

Di Palu, tindakan intervensi oleh Pemerintah Daerah juga hanya menargetkan sekolah-sekolah

khusus dengan intervensi berbasis pilot project.

Lemahnya implementasi PPRB di tingkat satuan pendidikan disebabkan karena adanya celah

kelembagaan terutama kurangnya regulasi di Kabupaten/Kota yang mampu mendorong

dilaksanakannya PPRB. Di tingkat sekolah, temuan kami menunjukkan bahwa terutama di

daerah yang baru mengalami kejadian bencana beruntun dan mengalami korban jiwa – seperti

di Sulawesi Tengah maupun Aceh – guru-guru berpendapat bahwa pendidikan bencana terkait

kegempaan oleh guru-guru sangat mendasar dan penting dilakukan secara berkelanjutan.

“Program SPAB sangat penting karena menyangkut keselamatan siswa.

Walaupun sudah kami ajarkan bagaimana menghadapi gempa, namun

pada saat terjadi gempa siswa tetap merasakan kepanikan dan hal ini

membuat siswa lupa akan simulasi yang dilakukan”34 kata guru dari

Sulawesi Tengah saat FGD Sulawesi Tengah

Walaupun implementasi Pendidikan Bencana (PB) dapat di lakukan secara mandiri oleh

sekolah sebagaimana terlihat di Aceh, Kupang,35 Jogjakarta (Tuswadi, 2014)36 dan Palu,

keberadaan regulasi di daerah dipandang berfungsi sebagai enabling conditions yakni bahwa

regulasi menciptakan kondisi yang lebih bersifat imperative untuk implementasi mandiri oleh

satuan Pendidikan37 (Lihat juga Nurdin 2019)38,

Tuntutan regulasi juga dilihat oleh Satuan Pendidikan sebagai salah satu instrumen

kelembagaan yang diperlukan. Regulasi membantu aktivitas SPAB bermutasi dari project-

based activities menjadi ruled-based activities yang diasumsikan bisa direproduksi secara lebih

otomatis dengan legitimasi yang lebih kuat. Para narasumber dari berbagai tingkatan

mengatakan:

“Ternyata di level gurupun melihat bahwa payung hukum diperlukan;

Meskipun kita sudah memiliki berbagai regulasi, tetapi ternyata dilihat

masih kurang mengikat, dan masih perlu ditata karena banyak aktifitas

yang hanya bersifat project based dan tidak berlanjut.” kata salah satu

peneliti saat FGD tingkat nasional

“Dibutuhkan intruksi dan kebijakan dari dinas dan pemerintah agar

program SPAB bisa dilakukan di sekolah”kata dua orang guru dari

Sulawesi Tengah saat FGD Sulawesi Tengah

Tabel 2 memberikan daftar historis perkembangan kebijakan SPAB di Indonesia dalam kurun

waktu sejak 2007. Daftar ini menunjukkan Kemendikbud memiliki keterlibatan yang cukup

tinggi dalam proses penyusunan kebijakan. Namun, hal ini perlu didukung pula dengan

34 Ibu Suriani, SLBN Marawola, Sigi, FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 35 Sogen, Y, FGD Guru-Guru NTT 21 July 2020 36 Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University. 37 FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 38 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school science curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London.

Page 52: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 51 dari 100

kebijakan teknis yang dapat dikeluarkan dari BNPB yang berupa pemutakhiran dari Perka

BNPB No. 4 tahun 2012 yang sudah berjalan hampir satu dekade.

Tabel 2. Kebijakan terkait SPAB di Indonesia

Tahun Lembaga Nama regulasi/

keputusan

Legitimasi

Regulasi

Keterangan

2019 Kemendikbud Penyelenggaraan Program

SPAB

Peraturan Menteri Permendikbud 33/2019

2017 Kemendikbud Sekertariat Nasional

SPAB

Keputusan Menteri Kepmendikbud 110/P/2017

2016 DPR/ Pemerintah Undang-Undang

Penyandang Disabilitas

Undang-Undang UU 8/2016

2014 Kemendikbud Sekertariat SMAB Keputusan Sekjen

Kemendikbud

SK Sekjen Kemendikbud

8953/A.A2.1/KP/2014

2014 Kementerian

Perempuan dan

Perlindungan

Anak

Sekolah Ramah Anak -

Sekolah/ Madrasah Aman

Bencana

Peraturan Menteri Permeneg PP & PA 8/ 2014

2013 Kemendikbud Penyelanggaraan

Pendidikan Layanan

Khusus (termasuk

Pendidikan darurat)

Peraturan Menteri Permendikbud 72/2013

2012 BNPB Peraturan Kepala BNPB –

Penerapan

Sekolah/Madrasah Aman

Bencana

Panduan Penerapan Perka BNPB 4/2012

2010 Kemendikbud Pengarusutamaan PRB di

Sektor Pendidikan

Surat Edaran SE 70a/MPN/SE/2010

2008 Presiden Pendirian BNPB Peraturan Presiden PerPres 8/2008

2007 Kemendiknas Peraturan Standar Sarana

dan Prasarana untuk

SD/MI; SMP/MTs;

SMA/MA

Peraturan Mentri Permendiknas 24/2007

2007 DPR/ Pemerintah UU Penanggulangan

Bencana

Undang Undang UU 24/2007

Di sisi lain, masih banyak sekolah yang secara keliru menerapkan pola evakuasi gempa bumi

dalam konteks badai dan puting beliung karena proses evakuasi diarahkan ke lapangan luas

yang dalam konteks badai justru seharusnya menjadi terekspos pada benda-benda yang

beterbangan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam masa yang akan datang, diperlukan

agenda-agenda penguatan satuan pendidikan secara lebih spesifik menyesuaikan dengan jenis

ancaman yang ada dengan tindakan yang lebih tepat.

IV.4.2. Efektivitas dan Efisiensi

“Yang pertama kali saya cari ketika terjadi gempa bumi di kelas adalah

meja, dan ketika gempa reda saya akan mencari jalan keluar dengan tas

yang diletakkan di kepala saya” (Muntiga- MA Darul Ulum – Aceh)

Saat ini, platform pelatihan online sudah tersedia untuk guru dan pendidik di kelas dengan

menggunakan e-learning untuk mempercepat proses pembelajaran39. Dengan mengetahui

39 Modul pembelajaran SPAB secara daring dapat diakses melalui https://simpatik.belajar.kemdikbud.go.id/user/spab

Page 53: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 52 dari 100

risikonya, guru dan pemangku kepentingan utama lainnya kemudian menyebarluaskan

pengetahuan tersebut ke dalam kampanye media yang inovatif seperti game online, kompetisi

online, media konten KIE (komunikasi, informasi dan pendidikan), dan APE (permainan alat

pendidikan).

Intervensi secara formal yang bersifat ‘berpusat pada pemerintah’ semata sebagaimana terlihat

dari capaian di bagian Relevansi (IV.4.1) di atas tidak cukup dalam melayani tingkat kebutuhan

yang ada. Dalam mencapai sebanyak mungkin satuan pendidikan diperlukan solusi yang

kontekstual dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Salah satunya dengan mengadopsi

model-model alternatif dalam mendorong adopsi SPAB Pilar 3 yang sudah dan sedang

dipraktikkan di Indonesia dalam 12 tahun terakhir ini. Temuan evaluasi ini menunjukkan

bahwa PPRB bisa dicapai dengan: Pertama. Mendorong adopsi mandiri oleh satuan

pendidikan. Kedua, mengidentifikasi model-model integrasi PPRB ke dalam satuan

pendidikan dan mendorong diversifikasi model integrasi PPRB. Ketiga, menciptakan insentif

dan disinsentif yang bersifat strategis di mana satuan pendidikan dapat mengadopsi agenda

SPAB secara umum maupun PPRB secara khusus.

Secara umum, dalam penelitian sebelumnya termasuk kebijakan SPAB yang ada, dikenal

hanya integrasi PPRB ke dalam program SPAB terjadi di tiga aras: Pertama, integrasi

Pendidikan Bencana ke dalam kurikulum mainstream yang ada. Hal ini bisa melalui pelajaran

mainstream seperti pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di mana peristiwa fisik ancaman

alam diperkenalkan; Maupun pelajaran-pelajaran lainnya di mana pengetahuan tentang

perilaku dalam situasi darurat dan evakuasi diperkenalkan. Kedua melalui Muatan Lokal, di

mana PB menjadi sebuah mata pelajaran terpisah dan diajarkan secara rutin baik tiap periode

ajaran belajar mengajar tertentu pada tingkatan tertentu. Ketiga melalui kegiatan

ekstrakurikuler.

Selain tiga aras di atas, di mana Satuan Pendidikan menjadi pusat dari logika integrasi PPRB,

evaluasi ini menemukan beberapa model integrasi alternatif yakni melalui jalur-jalur alternatif

karena Pendidikan Formal bukan satu-satunya saluran PPRB: Pertama, jalur komunitas di

mana agenda-agenda PRB berbasis komunitas (PRBBK) pada hakikatnya adalah agenda

pemberdayaan yang memiliki aspek pendidikan masyarakat dengan berbagai branding seperti

Desa Tangguh (oleh BNPB) ataupun Kampung Siaga (Oleh Kementerian Sosial)40 dan segenap

varian PRBBK lainnya dapat secara transformative merubah paradigma terkait

penanggulangan bencana yang masih didominasi oleh orang dewasa dan mulai melibatkan

anak-anak dan remaja.41

Kedua, jalur pengurangan risiko bencana berbasis keluarga (PRBBKel) memiliki potensi tinggi

karena integrasi komunitas dan keluarga dapat membentuk sikap tangguh sejak usia dini.

Berdasarkan penelitian yang ada, keluarga memegang peranan penting dalam membentuk

40 Habibullah, Publisher, 2013. "Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung Siaga Bencana Dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.," Socio Informa 18, no. 2. 41 S. Reed and D. Blariaux, 2020. "Evaluation of Unicef’s Disaster Risk Reduction Programming in Education (2103-2018) in East Asia and the Pacific," https://www.unicef.org/evaldatabase/files/EAPRO_DRR_Evaluation_Final_Report_Jan_28th.pdf

Page 54: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 53 dari 100

kecakapan hidup dan juga mendorong anak-anak untuk melakukan tindakan aksi di lingkungan

sekitarnya, termasuk dalam hal pengurangan risiko bencana 42.

Hal ini merubah paradigma bahwa pendidikan kebencanaan terpusat di satuan pendidikan yang

kemudian didorong untuk diterapkan di rumah dan lingkungan sekitarnya. Dengan perubahan

paradigma ini, pola intervensi juga bisa berjalan sebaliknya, dimana pendidikan kebencanaan

bisa dimulai dari lingkup keluarga atau komunitas yang kemudian bisa mendorong kegiatan

SPAB saat di satuan pendidikan.

a. Integrasi Mandiri Oleh Satuan Pendidikan

Kemandirian satuan pendidikan menjadi salah satu tujuan program SPAB sebagaimana tertulis

dalam Permendikbud 33/2019 Tentang Penyelenggaraan Program SPAB di Indonesia demi

mewujudkan pelindungan dan keselamatan kepada Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga

Kependidikan dari dampak Bencana di Satuan Pendidikan. Model pendekatan sekolah model

ataupun sekolah penggerak merupakan bentuk pendekatan sementara dengan target tiap

sekolah yang terseleksi sebagai sekolah model maupun sekolah penggerak akan tiba pada

kelulusan menjadi SPAB mandiri.

“Dalam konteks PRB, sekolah-sekolah model yang kita lakukan untuk

menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana, namun dalam konteks

mutu nasional kita menggunakan sekolah penggerak” ujar perwakilan saat

FGD Nasional Pilar 3

Satuan pendidikan masih diperlakukan sebagai penerima program SPAB oleh berbagai pihak

luar sekolah yang datang dan ‘berdakwah’ tentang Pendidikan bencana. Bagaimana satuan

pendidikan secara mandiri mengadopsi atau didorong dan difasilitasi untuk memiliki kebijakan

terkait PRB menjadi tantangan yang perlu diselesaikan.

Evaluasi ini menemukan bukti terkait Program SPAB mandiri di tingkat sekolah yang dapat

dikategorisasi menjadi dua model. Model pertama adalah model formal, di mana sekolah

membentuk struktur ‘tim siaga bencana’ yang membagi tugas dalam bentuk Pilar 1, 2 dan 3.

Model pertama ini dapat dilihat di SD Muhammadiyah Insan Kreatif Kembaran (MIKK) di

Bantul, Jogjakarta yang mana Sekolah menciptakan struktur SPAB dengan rencana kerja

tingkat sekolah yang rutin diperbaharui dengan target capaian yang terlihat. Model SD MIKK

di Bantu ini merupakan bentuk ‘champion’ yang bersifat ‘endogenous’ karena SD MIKK

bukan merupakan sekolah dampingan LSM Internasional yang kemudian bisa

mengembangkan program SPAB secara mandiri. Walau kemudian terjadi kolaborasi dengan

bentuk konsultasi dengan pihak LSM lokal di Jogjakarta, SD MIKK memberikan gambaran

tentang kemauan yang kuat dari komunitas sekolah (Kepala Sekolah dan Guru-Guru) dalam

membangun sistim SPAB seperti keterangan berikut:

“Kami membuat rencana aksi PRB tiap akhir tahun, salah satunya tahun

2020, ujian PAT PRB; Menyusun silabus RPP yang terintegrasi di setiap

mata pelajaran kelas. Menyusun dan mencetak LKS PRB, kelas PRB

sebulan seklai (setiap akhir bulan). Kami juga secara mandiri mengalokasi

dana untuk kegiatan SPAB tahunan. Kami juga bekerja sama dengan

42 Avianto Amri, 2020. "Building Disaster Resilient Households through a School-Based Education Intervention with Children and Their Families: Phd Thesis."

Page 55: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 54 dari 100

fasilitator dari LSM demi mewujudkan sekolah aman bencana dengan

kerjasama” kata salah seorang Kepala Sekolah di Yogyakarta

Model kedua adalah model adaptasi SPAB mandiri yang berbasis pendekatan ‘no-regret’ demi

penyelamatan komunitas satuan Pendidikan sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas tetapi

tidak tertulis secara implisit dalam kebijakan Satuan Pendidikan. Sebagai contoh, di SD Inpris

Kalukubula di Sulawesi Tengah, belum ada program SPAB secara formal tingkat sekolah,

namun kegiatan kesigapan bencana sudah dilakukan dengan inisiatif guru.

“Walaupun belum ada tim siaga yang dibentuk, Motivasi kami guru-

guru dalam membuat program ‘kesigapan bencana’ terjadi karena

banyaknya bencana, sehingga siswa mengerti apa yang dapat

dilakukan jika terjadi bencana.”43

Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki guru dengan kapasitas yang memadai dalam

memperkenalkan secara rutin PPRB. Keterbatasan internal sekolah membutuhkan partisipasi

pihak lain baik pemerintah daerah maupun orang tua.

“Mengintegrasikan materi SPAB ke dalam mata pelajaran susah

karena tidak semua guru mampu melakukannya. SPAB membutuhkan

dukungan dan partisipasi para pihak termasuk orangtua. Juga SPAB

butuh dana. Tantangan penerapan SPAB yaitu pendanaan. Sejauh ini,

belum ada pendanaan dari dinas untuk program SPAB sehingga

Satuan Pendidikan perlu mengalokasikan dana BOS untuk

pelaksanaan SPAB”. 44

Hasil FGD Nasional Pilar 3 juga menunjukkan bahwa Aceh terjadi adaptasi mandiri di sekolah-

sekolah yang diobservasi berbagai peneliti. Walau demikian, adaptasi mandiri di darah paska

bencana seperti di Aceh, merupakan sebuah fenomena yang relatif kompleks karena bertalian

erat dengan peran multi-pihak. Sebagai misal, secara historis, peran think tank seperti TDMRC

Aceh yang bekerja sama dengan UNESCO dan LIPI dalam Sekolah Siaga Bencana (SSB)

walau berbentuk pilot project di tahun 2009, namun demikian meninggalkan berbagai produk

yang membantu beberapa Satuan Pendidikan mampu tetap melanjutkan proses PPRB secara

mandiri45.

Walaupun ada faedahnya, menurut para peneliti, efektivitas adopsi mandiri sangat terbatas.

Sebagai misal, ada perbedaan antara sekolah yang terlibat dalam pilot project SSB dan yang

bukan SSB. Sekolah-sekolah yang mengadopsi SSB (berjumlah 88 sekolah dalam kurun waktu

2009-2014) memiliki lebih ragam media belajar yang terhubungkan dengan SPAB Pilar 2

yakni fasilitas keselamatan bencana seperti peta dan rute evakuasi. Walau demikian, paska

43 Ibu Azra, SD Inpres Kalukubula, Sigi, Sulteng - FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 44 Ibu Rosdiana (SDN 6 Palu) FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 45 Adiyoso W and Kanegae, H. 2012. The effect of different disaster education programs on tsunami preparedness among schoolchildren in Aceh, Indonesia Disaster Mitigation of Cultural Heritage and Historic Cities, Vo. (July 2012) pp. 165-172.

Page 56: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 55 dari 100

intervensi pihak luar, sekolah-sekolah pilot SSB menyebutkan bahwa keberlanjutan menjadi

masalah karena ketiadaan dukungan rutin seperti dana46.

b. Efektivitas Model-Model Integrasi Pendidikan Bencana dalam Satuan Pendidikan

Evaluasi ini menemukan model-model integrasi PPRB dalam satuan pendidikan yang ragam:

(1) Integrasi PB dalam Intrakurikuler (kurikulum mainstream dan tematis) (2) Integrasi PB

dalam Muatan Lokal (3) Integrasi PPRB dalam Ekstrakurikuler sebagai bentuk dominan (4)

Integrasi PPRB dengan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK); (5)

Integrasi PPRB dengan PRB Berbasis Keluarga (ketiadaan skema kelembagaan, regulasi dan

insentif) (6) Integrasi PB dengan Sistim Pra-Jabatan PNS (dibutuhkan advokasi) (7) Model

integrasi hibrida (multi-pronged) melampaui satuan pendidikan.

Integrasi PB dalam Kurikulum Arus Utama

Proses-proses integrasi PPRB dalam kurikulum arus utama menjadi salah satu pilihan. Tuswadi

(2014)47 melalukan observasi dua model integrasi yakni pertama, model integrasi di mana

PPRB bersarang (nested) di dalam mata pelajaran utama (Lihat gambar 1). Pelaksanaan model

integrasi nested terlihat di praktikan di berbagai tempat. Berbagai jenis peristiwa alam yang

mengancam seperti gempa bumi, gunung api, tsunami dan sebagainya di perkenalkan melalui

mata pelajaran sains maupun geografi (Skenario 1.1, Gambar 1) ataupun humaniora (Skenario

1.2). Secara umum, pengetahuan terkait PRB di Aceh diintegrasikan dengan mata pelajaran

utama seperti Bahasa Indonesia, Agama, Ilmu Sosial, Ilmu Alam dan Mulok48. Skenaro 1.3

adalah skenario fleksibel yang bergantung pada diskresi guru dalam memperkenalkan PRB

dalam pelajaran yang diampuhnya (1C).

Model kedua adalah model pengenalan PPRB secara terpisah (isolated teaching) yang di Aceh

di kenal dengan model Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang dapat bermakna integrasi dalam

bentuk Muatan Lokal (Lihat Bagian 3.2.2) ataupun Ekstra Kurikuler (Lihat Bagian 3.2.3).

“Terintegrasinya pendidikan kebencanaan di tingkat sekolah dasar, lanjutan, dan menengah

sederajat;”49

Model nested ini diimplementasi di SMA 1 Peukan Bada di mana materi pendidikan bencana

dilakukan melalui pelajaran sekolah. Prasyarat pendekatan ini adalah guru-guru wajib

mendapatkan pengembangan kapasitas. Di SMA 1 Peukan, guru-guru mendapatkan pelatihan

SPAB karena diwajibkan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan UNICEF. 50

“Program SPAB seharusnya berlanjut dengan menguatkan komitmen bersama. Sebaiknya

tidak hanya basis proyek tapi masuk ke kurikulum sekolah agar terbiasa”51 .

46 The 11th Years Assessment on School Safety and Disaster Education at the Public Elementary Schools in Banda Aceh after the 2004 Aceh Tsunami: Preliminary Findings Sakurai et. al. 2015. In Prosiding Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015, TDMRC Universitas Syiah No. ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21-22 Desember 2015. 47 Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University. 48 Adiyoso and Kanegae 2012. Opt cit. 49 Pemerintah Aceh 2010. Peraturan Gubernur Aceh 48 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Aceh Tahun 2010-2012 50 Amina, SMA 1 Peukan Bada FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020 51 Samsul Bahri (Darul Ulum) SMA 1 Peukan Bada FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020

Page 57: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 56 dari 100

“Diperlukan peningkatan kapasitas guru agar dalam keadaan kapanpun selalu siap untuk

mengajarkan anak-anak terkait aman bencana.”52

Namun model nested ini juga bisa diperkenalkan dalam bentuk mata pelajaran alternatif seperti

field trips (Gambar 17). Sebagai misal, di Kota Kupang, responden dari Satuan Pendidikan

Swasta mengaku mengadopsi SPAB secara parsial dan menyesuaikan dengan konteks bencana

yang mampu diingat guru. Sebagai misal, risiko kebakaran dianggap sebagai sebuah peristiwa

berulang sehingga metode field trip atau kunjungan lapangan ke DamKar Kota Kupang di

lakukan siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan kognitif (tahu apa yg dilakukan dan

dipersiapan tim Damkar untuk menangani kebakaran), sekaligus mendapatkan pengalaman

bagaimana ‘berada diatas mobil dan menjadi fire fighter untuk beberapa saat’.53

Walau demikian, para responden dari pihak satuan pendidikan melihat bahwa rahasia

keberlanjutan model integrasi PPRB ini sangat bergantung pada tingkat proaktifnya Dinas

Pendidikan. Salah satunya adalah perlunya komunikasi yang lebih rutin ke sekolah dalam

bentuk “surat edaran (SE) khusus dari Dinas Pendidikan diperlukan karena sekolah juga

memiliki alokasi dana pendampingan.” 54 SE Dinas Pendidikan dilihat sebagai salah satu

sumber legitimasi dan dorongan bagi sekolah untuk melalukan SPAB termasuk Pendidikan

Bencana.

Scenario 1.1. Ancaman alam di

ajari dalam mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam dan Geografi

Scenario 1.2. Konsep aman, hijau,

sehat, inklusi, ramah dan

menyenangkan diperkenalkan

dalam humaniora

Scenario 1.3. Diskresi guru dalam

integrase jenis PPRB tertentu

dalam Mapel yang diampuhnya

sesuai kapasitas guru

Gambar 17. Model nested Integrasi Pendidikan Pengurangan Bencana di Indosia. Adaptasi Tuswadi

(2014)

Integrasi PB dalam Muatan Lokal

Integrasi PPRB dalam satuan pendidikan melalui muatan lokal bervariasi dari daerah ke daerah

baik melalui regulasi ataupun tanpa regulasi. Regulasi Mulok terlihat berdampak pada insentif

bagi pengembangan kapasitas kelembagaan satuan pendidikan dalam menggagas agenda-

agenda SPAB termasuk penciptaan modul-modul dan ataupun produksi materi Mulok. Tetapi

skala implementasi masih berpatok pada pilot project pada sekolah-sekolah terpilih tanpa

scaling-up yang memadai.

52 SDN 50 Banda Aceh FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020 53 SD Kupang Montesori School, FGD Sekolah SPBA NTT 54 SDN 50 Banda Aceh FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020

Science Geography

Gunung

api

Tsunami

Banjir

Gempa

Bumi

Kebakaran

Longsor

Humaniora

Menyenangkan

Ramah

anak

Sekolah

inklusi

Sekolah

sehat

Sekolah

aman

Sekolah

hijau

Mapel mainstream

PPRB 1 Sekolah

hijau

PPRB 3 PPRB n+1

Page 58: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 57 dari 100

Secara umum, terjadi peningkatan penggunaan Mulok PRB di tingkat satuan pendidikan di

Indonesia di bandingkan 12 tahun yang lalu. Sayangnya dalam penelitian ini tidak tersedia

(atau tepatnya kami belum mendapatkan) data yang memadai terkait adopsi Mulok PRB di

27,000 Satuan Pendidikan yang diklaim Kementerian Pendidikan telah mengadopsi SPAB di

Indonesia.

Di Sikka, NTT, melalui Mulok, dalam sekolah-sekolah target kemudian mendapatkan

pelatihan dan pendampingan dan berujung pada pengembangan modul khusus yang

diperkenalkan ke pada para siswa. Kolaborasi LSM dan Pemerintah Darah dalam melakukan

peningkatan kapasitas, termasuk dalam mengintegrasikan PPRB sebagai Mulok di Satuan

Pendidikan. Sikka dapat dilihat sebagai sebuah benchmarking bagi kabupaten kota lainnya di

Indonesia, di mana PB menjadi sebuah imperative dari Peraturan Bupati tentang integrasi PB

dalam kurikulum melalui jalur muatan lokal (Mulok) maupun extra-kurikuler.

Ada beberapa modul yang sudah kita lakukan, dari Sikka ada Sanres yang sudah membuat

modul yang diintegrasikan dengan mulok. 55

Sedangkan di Timor Tengah Selatan, tanpa regulasi khusus terkait Mulok PPRB, kolaborasi

LSM dengan Dinas Pendidikan mampu memfasilitasi dan mendampingi sekolah-sekolah target

pilot project.

“Kami sudah mendapatkan pendampingan dan pelatihan bagaimana

kami mengintegrasikan materi ini ke dalam mata pelajaran, kami

sudah mendapatkan modulnya dan melaksanakan, untuk kelas 4-6.

Untuk kelas 1-3 yang kami laksanakan yaitu melalui bacaan-bacaan

mengenai bencana dan poster yang kami pasang di setiap kelas.56

Namun secara umum, evaluasi kami menunjukkan dua perspektif terkait Mulok PRB yang

dipahami secara berbeda oleh para peneliti dan advokat Mulok PRB. Pertama, Mulok sebagai

sebuah respons kontekstual atas pentingnya Pendidikan Bencana karena tuntutan kebutuhan

dan konteks daerah rawan bencana. Manifestasi dari model respon ini adalah dibentuknya

sebuah mata pelajaran baru yang terpisah dari mata pelajaran arus utama di Bagian 3.2.1. Di

Aceh, model Mulok ini di praktikan dalam bentuk 2 jam per minggu57 dan/atau 4x45menit.

seminggu. Sejarahnya dapat ditarik ke tahun 2009 di mana Tsunami and Disaster Mitigation

Research Centre (TDMRC) Bersama LIPI dan UNESCO menginisiasi SSB sebagaimana

diungkap pada Bagian 3.2.1 di atas.

Di berbagai daerah, pendekatan Mulok lebih banyak diarahkan pada peningkatan tingkat

kognisi di mana kelompok anak-anak yang diintervensi cenderung memiliki respons kognisi

yang lebih baik dibandingkan control group baik di Banda Aceh, Bengkulu58

Kedua, Mulok PRB sebagai sebuah upaya menggali kearifan lokal setempat yang bertujuan

mendokumentasi dari tacit knowledge berbasis sejarah lisan kebencanaan yang terinternalisasi

dalam budaya setempat menjadi pengetahuan yang dapat diekspresikan atau direkam dan

55 Chris Nggelan, 2020 – FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020’ 56 Helmy Poek SD Nenoheun TTS - FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020] 57 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school science

curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London. 58 Islami, PM., Lusa, H., dan Dalifa, 20Pengaruh Bahan Ajar Muatan Lokal Bencana Alam di Bengkulu Terhadap Hasil Belajar Siswa di Kelas V. Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (3) : 199-206

Page 59: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 58 dari 100

diperkenalkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, pengenalan pada pengetahuan Smong

(tsunami) di transformasi menjadi Mulok.59 Walau berpotensi menjadi Mulok, kearifan lokal

untuk Pendidikan Bencana tidak sepenuhnya diperkenalkan secara formal di Sekolah

sebagaimana terjadi di Minangkabau.60

Integrasi Pendidikan PRB dalam Ekstrakurikuler

Menurut literatur, aktivitas ekstrakurikuler dipahami sebagai kegiatan outdoor yang

menunjang sisi kognitif dan motorik anak. Ekstrakurikuler dalam konteks Pendidikan PRB

sering dipahami sebagai kegiatan kesiapsiagaan seperti drill bencana sebagaimana terlihat

dalam pengenalan awal SSB di Indonesia, sebagai misal di Kabupaten Sikka 2008.61,62

Penelitian dari Aceh juga ditemukan bahwa kegiatan SPAB kebanyakan masih didominasi oleh

kegiatan extracurricular (Gambar 18)63.

Scenario 2.1. Ekstrakurikuler terpisah sebagai

pelajaran tambahan

Scenario 2.2. Ekstrakurikuler yang melekat dengan

pelajaran olahraga

Gambar 18. Skenario integrasi SPAB dalam program ekstra dan intra kurikuler

Hingga sebelum era COVID-19, sekolah-sekolah pilot SPAB di Sikka diklaim masih terus

menerapkan ekstrakurikuler, tetapi dengan modifikasi dengan integrasi pada mata pelajaran

olahraga yang disisipi kegiatan simulasi sesekali di hari Sabtu.

“Model ekstrakurikuler terdiri dari dua model yakni dengan

ekstrakurikuler terpisah (standalone) dan model ekstrakurikuler yang

melekat pada pelajaran tertentu seperti Mapel Olahraga. Hal ini konsisten

59 M Desfandi, 2019. "Kearifan Lokal Smong Dalam Konteks Pendidikan : Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue." 60Damsar and Indrayani, "Local Wisdom Based Disaster Education in Minangkabau Society ". 61 UNESCO, LIPI, and Yayasan Puter, Publisher, 2009. "Cerita Dari Maumere: Membangun Sekolah Siaga Bencana." 62 http://lipi.go.id/berita/unesco-resmikan-sekolah-siaga-bencana-di-maumere/4151 63 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Op. cit.

Extracurricular

Mapel Olahraga

Extracurricular

Page 60: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 59 dari 100

baik dari Aceh maupun Jakarta” sebut salah satu perwakilan dinas

pendidikan saat FGD Evaluasi Nasional

Contoh ekstrakurikuler terpisah adalah kegiatan Pramuka dan Palang Merah Remaja. Dalam

pengamatan kami, dua institusi ini dalam konteks tertentu menjadi bentuk integrasi yang berada

di luar kontrol atau agenda sekolah. Dalam hal ini, isi dari pada Pendidikan Bencana yang

ditawarkan dua institusi ini pada dasarnya berbeda walaupun bisa dikatakan terdapat irisan

kepentingan SPAB.

Sejauh ini, integrasi PPRB dalam konteks Pramuka diinisiasi oleh BNPB di tingkat nasional.

Gambar 19 memberikan ilustrasi kegiatan intervensi BNPB dalam rangka PPRB bagi pramuka

dengan capaian 700 siswa Bimbingan Teknis di 2019 yang diharapkan menjadi pendakwah

PPRB bagi peserta didik. Dalam evaluasi ini, asumsi jangkauan 28000 siswa adalah angka

hipotesis.

Sejauh ini belum terdapat studi sistematis terkait peran pramuka dalam memperkuat SPAB dan

sebaliknya bagaimana menjadikan PPRB menjadi agenda rutin pramuka. Namun penelitian

menunukan bahwa ada asosiasi yang kuat antara ekstrakurikuler kepramukaan yang

terintegrasi PPRB kegempaan dengan ketrampilan tanggap bencana siswa SD di Kota

Bengkulu.64

Gambar 19. Tahapan Implementasi SPAB Berbasis Pramuka 2019

Secara umum, walaupun mata-pelajaran olahraga dilekatkan sejumlah kegiatan

ekstrakurikuler, dalam evaluasi ini kami belum mendapatkan gambaran terkait peran

kelembagaan olah raga dalam kaitannya dengan pembangunan ketangguhan bencana Satuan

Pendidikan.

Integrasi PB dengan PRBBK

Secara historis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terutama yang berfokus pada anak,

sejak Tahun 2007 telah mengupayakan berbagai upaya Pengurangan Risiko Bencana Berbasis

Komunitas (PRBBK) dengan sejumlah agenda integrasi PPRB ke dalam kegiatan-kegiatan

64 Puspadiningrum et. al. 2017. Ekstrakurikuler Pramuka Terintegrasi Siaga Bencana Gempa Bumi Terhadap Keterampilan Tanggap Bencana Siswa SD. Jurnal PGSD: Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 10 (2): 73-78.

Page 61: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 60 dari 100

rutin Bersama komunitas. Di Rembang dan Sikka, rekan-rekan Plan Internasional Indonesia

(PII) bersama dengan mitra-mitra lokal seperti memfasilitasi berbagai forum anak desa yang

terintegrasi dengan Forum PRB desa dan kecamatan.65 Di Palu, paska Gempa 2018, beberapa

LSM melakukan sosialisasi terkait aman bencana, membangun papan informasi di sekolah

dasar sasaran dilengkapi dengan distribusi roll banner, serta pemasangan poster kebencanaan.66

Penelitian Oktari et. al. (2015) menunjukkan diperlukannya kerangka kerja kolaboratif antara

Satuan Pendidikan dan komunitas pantai di Banda Aceh dalam meningkatkan ketangguhan

komunitas.67

PRBBK bermanifestasi dalam banyak jenis branding. Kegiatan Desa Tangguh Bencana

harapannya dapat menaungi SPAB secara terintegrasi agar konektivitas sekolah dengan

pemerintah desa terbangun.68

Integrasi PB dengan PRB Berbasis Keluarga

Narasi terkait PRB Berbasis Keluarga menjadi narasi primadona dari kepemimpinan PRB

dalam tiga tahun terakhir. Walaupun secara konsep menarik perhatian akademisi, namun secara

kebijakan belum ditemukan kejelasan target jangkauan riil pada Satuan Pendidikan terutama

terkait bagaimana mengimplementasi slogan ‘leave No.child behind’ terhadap sedikitnya 62

juta peserta didik dan 43 juta keluarga peserta didik.

Di tingkat satuan pendidikan, kesadaran tentang pentingnya menjangkau keluarga disadari oleh

para guru. Di Nusa Tenggara Timur, narasi keluarga mengemuka dalam FGD Pilar 3 SPAB

NTT:

“Kegiatan integrasi ke kurikulum tidak ada kendala. Kami juga

menyampaikan kepada masyarakat mengenai bagaimana

menyelamatkan diri sehingga bukan saja pihak sekolah yang tahu,

dalam forum atau rapat kami selalu meminta beberapa menit untuk

menyampaikan mengenai kebencanaan kepada orang-tua yang hadir.

Sehingga pendidikan ini bukan hanya anak dan guru yang tahu

namun orang tua pun juga tahu. Saat anak-anak kembali ke rumah,

mereka menyuarakan hal ini di rumah masing-masing contohnya

mencuci tangan hal ini juga dipraktikkan di lingkungan keluarga.”69

“Kita memberdayakan sumber daya yang ada disekolah, maka

sekolah berusaha mempersiapkan siswa untuk memahami bencana

dulu, harapannya nanti bisa diterapkan ke rumahnya. Anak (siswa)

65 Plan Indonesia (2018), Ex Post Evaluation Study for Safe Schools Project Implementation in Lembata and Sikka Districts 66 Arie Setiawan (WVI) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020 67 Oktari et. al. 2015. A conceptual model of a school–community collaborative network in enhancing coastal community resilience in Banda Aceh, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction (12): 300-310 68 Idawati (BPBD Sigi) 69 Helmy Poek SD Nenoheun TTS - FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020]

Page 62: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 61 dari 100

sudah mulai mampu memahami dan mengkomunikasikan risiko

sekolah di lingkungan rumah.“70

Integrasi PB dengan Sistim Pra-Jabatan PNS

Integrasi Pilar 3 tidak harus dilakukan secara in-situ yakni semata-mata pada tingkat satuan

pendidikan, tetapi di tataran kurikulum LPTK, di mana para calon pengajar mendapatkan

pemahaman dasar terkait pendidikan aman bencana, dengan intervensi di lima program utama:

kepemimpinan, transformasi PPG saat pra-jabatan; pengembangan ekosistem belajar guru di

daerah; Pendidikan yang bergotong royong untuk tujuan yang sama dalam mendidik subyek

(murid); Serta kelembagaan yakni regulasi, tata kelola dan koordinasi dengan Pemda. Sebagai

misal, hal ini bisa diterapkan dengan sebuah mata kuliah 2 SKS.

Gambar xx.

c. Efektivitas Regulasi Daerah

Tentang sejauh mana regulasi di daerah berdampak pada adopsi PPRB dalam kegiatan rutin di

satuan pendidikan, jawabannya bervariasi. Sebagai misal, di Provinsi Aceh, keberadaan

Instruksi Gubernur Provinsi NAD 2/2020 Tentang Integrasi Pengurangan Risiko Bencana

dalam Kurikulum hanya berujung pada implementasi parsial pada beberapa satuan pendidikan

di Kota Banda Aceh.71

Perlunya kejelasan regulasi di daerah karena regulasi penanggulangan bencana yang ada tidak

memiliki imperative kepada pelaksanaan pendidikan kebencanaan secara khusus sehingga

fokusnya menjadi tidak terarah. Hal ini menjadi kesadaran para aktor di Aceh saat ini yang

sedang mengembangkan draf Qanun Pendidikan Bencana.

70 Focal Point dan Guru di SD St. Yoseph Sikka 71 Sakurai et. al. 2018. Exploring minimum essentials for sustainable school disaster preparedness: A case of elementary schools in Banda Aceh City, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 29: 73-83.

Page 63: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 62 dari 100

Hingga laporan ini dituliskan para stakeholder di Aceh masih memperjuangkan lahirnya

regulasi dalam bentuk Perda (qanun) yang secara teori diharapkan lebih memberikan kekuatan

ditingkat eksekutif dalam mengalokasikan sumber daya.72

Kombinasi antara ekstrakurikuler dengan integrasi pada mata pelajaran olahraga dapat

dilakukan dan diintegrasikan dengan kegiatan simulasi rutin di hari Sabtu dalam kurun waktu

2017-2018.73

Di Jakarta, sekolah-sekolah yang aktif dalam pelaksanaan PPRB – seperti di SDN Klender 21

mulai sejak 2019 didukung oleh LSM. PPRB disesuaikan dengan konteks, sebagai misal, para

siswa belajar cara menggunakan peralatan elektronik dan penghematan air di sekolah dan di

rumah untuk upaya pendidikan pencegahan kebakaran. Dan Pendidikan PPRB diintegrasi

dengan Pilar 2 yakni kegiatan simulasi kebakaran bersama DAMKAR satu tahun tiga kali.74

d. Model Adopsi Implementasi Pilar 3 SPAB: PPRB

Karena secara praktis kecil kemungkinan memulai implementasi semua pilar SPAB di tingkat

Satuan Pendidikan, maka beberapa pendekatan oleh berbagai aktor nasional yang kami

identifikasi terjadi dalam kurun waktu dua belas tahun ini. Urutan-urutan di bawah ini

dilakukan menurut proses evolusi adopsi PRB di tingkat satuan Pendidikan.

Pendekatan Sekolah dampingan LSM

Kami menemukan sesuatu yang cukup konsisten bahwa asal mula experiment SPAB di

Indonesia digerakkan oleh LSM-LSM yang berfokus pada anak-anak, sebagai misal, Plan

Internasional,75 Save the Children, World Vision, Child Fund dan sebagainya. Pengakuan ini

terlihat jelas di berbagai provinsi (sebagai misal Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta,

Nusa Tenggara Timur).

Pendekatan Benchmarking Sekolah Model atau Sekolah Champion

Pendekatan SPAB Model atau Sekolah Model dalam konteks membangun ketangguhan Satuan

Pendidikan adalah sebuah pendekatan yang sudah lama diadopsi oleh Kementerian Pendidikan

dalam beberapa dekade terakhir. Versi terakhir Sekolah Model Kemendikbud di dasarkan pada

6 kriteria yaitu masyarakat sekolah yang berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif,

gotong royong, dan kebhinekaan global.76

Nama ‘sekolah model; ini kemudian di adaptasi dengan istilah ‘Sekolah Penggerak’ yang

dalam “dalam konteks PRB, sekolah-sekolah penggerak ini menjadi sekolah model untuk

menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana” - dalam konteks pengembangan mutu

nasional kita menggunakan sekolah penggerak.77 Dalam konteks PPRB, “sekolah-sekolah

model untuk menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana, namun dalam konteks mutu

nasional kita menggunakan sekolah penggerak. Walaupun visi PB tidak hanya berhenti pada

meningkatnya kompetensi guru tetapi lebih kepada apakah pemahaman tentang Pendidikan

72 FGD SPAB Provinsi Aceh Tanggal, Bulan, 2020. 73 FGD SPAB Pripinsi NTT, Tanggal, Bulan, 2020 74 Utin Sutinah SDN Klender 21 FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta Rabu, 29 Juli 2020 75 Lassa et. al. Forthcoming 76 Lihat Kemendikbud Selenggarakan Jambore Pandu Sekolah Model Tahun 2019 20 Maret 2019 - https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/03/kemendikbud-selenggarakan-jambore-pandu-sekolah-model-tahun-2019 77 Praptono, FGD Nasional Multipihak Pilar 3, 23 Juni 2020

Page 64: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 63 dari 100

Risiko Bencana ini dapat diimplementasikan oleh siswa-siswa, sehingga apa bisa terukur pada

capaian belajar anak.

Sekolah Sasaran (Targeted school)

Sekolah Sasaran adalah terminologi operasional yang dipakai di Kabupaten/Kota di mana

kriteria sasaran ditentukan sebelum memilih sebuah satuan pendidikan sasaran. Sebagai misal,

Sejak 2016, Pemerintah Kabupaten Sikka menggunakan pendekatan ‘Sekolah Sasaran’ yang

didasarkan pada kriteria sekolah yang berpotensi terdampak tsunami dan gempa bumi serta

berada di pedesaan.

Dalam praktiknya, ketiga model ini menjadi hibrida karena rekrutmen sekolah sasaran sering

kali didasarkan pada sekolah-sekolah yang telah di bina oleh LSM. Hal ini terlihat jelas dalam

Sekolah Sasaran di Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sikka dan Timor Tengah Selatan) dan

Sulawesi Tengah di mana rekrutmen sekolah sasaran dilakukan secara bersama oleh dinas

Pendidikan dan LSM pendamping.

Sister School versi BNPB

Integrasi model ‘sister school’ ini menjadi idaman BNPB secara umum di mana BNPB

berkomitmen dalam melakukan percepatan integrasi dan harmonisasi mata pelajaran yang

berkaitan dengan kebencanaan di seluruh jenjang pendidikan untuk semua jenis ancaman

bencana. Dapat dikatakan bahwa BNPB melakukan “direct selling” SPAB langsung di sekolah.

Dalam kurun waktu 2015-2018, implementasi SPAB diwujudkan dengan 11 tahapan SPAB di

kombinasikan dengan mekanisme sister school. BNPB berambisi agar di tahun 2024 terdapat

100% adopsi program SPAB di semua satuan pendidikan. Hal ini berarti dari 60 sekolah

dengan status ‘sister school’ dianggap sukses melakukan SPAB mandiri yang digagas oleh

BNPB akan ditingkatkan untuk menjangkau lebih dari 600,000 satuan pendidikan di tanah air.

“Sebelum tahun 2015, kami melakukan sosialisasi secara umum,

sedangkan (sejak) tahun 2015 kami mulai mengkhususkan program SPAB

ke dalam 11 langkah di beberapa daerah di Indonesia. Strategi tahun

2015-2018, kami bekerja sama dengan BPBD dan Dinas Pendidikan

memberikan pelatihan dan mengimplementasikannya langsung di sekolah,

namun dari pelaksanaan selama 4 tahun ini kami merasa output yang ada

masih belum maksimal dari masing-masing sekolah yang dapat kami

intervensi melalui program SPAB dan juga dari laporan yang kami terima

tindak lanjut dari daerah untuk melakukan SPAB secara mandiri juga tidak

terlalu signifikan, hanya terdapat 60 sekolah selama kurun waktu hingga

2020 yang ditindaklanjuti secara mandiri, alhasil pada tahun 2019 kami

mengubah strategi tidak hanya sebagai pelaksana di daerah juga menjadi

koordinator melalui jejaring salah satunya melalui pramuka, karena

memiliki jaringan masif dan memiliki sifat kerelawanan yang militan,

sehingga tanpa perlu dukungan anggaran mereka bisa melanjutkan secara

mandiri.” ujar salah satu perwakilan BNPB saat FGD di tingkat nasional.

Page 65: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 64 dari 100

Replikasi SPAB secara kualitas dan kuantitas di mana di tahun 2024. Salah satu jalan keluar

adalah dengan mengembangkan pedoman fasilitasi mandiri SPAB.78

BNPB juga mencoba mengombinasi Sister School dengan menggandeng Gugus Depan

Pramuka. BNPB juga mengadopsi pelatihan berbasis aksi melalui Pendekatan Bimbingan

Teknis (BIMTEK) yang telah dilakukan di 7 kota dengan target melatih 35 calon fasilitator di

tiap kabupaten/kota. Pada tahun 2019 BNPB telah melatih 560 fasilitator daerah di mana setiap

fasilitator diharapkan melakukan post-training action di 2 sekolah.

Strategi BNPB di tahun 2019 adalah dengan bekerja sama dengan Pramuka dan menyusun

buku saku dengan sasaran mempermudah siswa untuk mempelajari SPAB. “Mereka

menindaklanjuti ke sekolah dampingannya dan capaian kami mengasumsikan setiap fasilitator

mendampingi 2 sekolah dan setiap sekolah dengan asumsi 100 siswa akan ada 28.000 siswa

yang akan kami dapatkan pada tahun 2019. Memang pada kenyataannya tidak sesuai dengan

asumsi di awal, tapi setidaknya 50-70% fasilitator melanjutkan tindak lanjut SPAB ini secara

mandiri di sekolah-sekolah dampingan mereka.”79 Tentang bagaimana mengukur capaian 50-

70 % kesuksesan fasilitator SPAB ini perlu ditelaah lebih lanjut.

IV.4.3. Dampak

a. Dampak Regulasi SPAB

Perkembangan regulasi PPRB di Indonesia sedang bergerak menuju ke arah yang lebih baik

tetapi dibutuhkan komitmen yang lebih tegas bagi Indonesia dalam memenuhi komitmen

implementasi Sendai Framework di Tahun 2030. Kerangka Aksi Hyogo for Action maupun

Kerangka Kerja Untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) melihat penciptaan undang-

undang dan regulasi terkait PRB sebagai upaya mendasar dalam menciptakan ketangguhan

sebuah bangsa. Sejak 2007, terdapat sedikitnya 12 regulasi di tingkat nasional; maupun lebih

dari 500 regulasi di tingkat provinsi dan daerah kabupaten/kota terkait penanggulangan

bencana secara umum. Walau demikian, terkait regulasi PPRB hingga September 2020, hanya

6 dari 34 provinsi memiliki regulasi setingkat peraturan gubernur / perda provinsi terkait PPRB.

Tercatat kurang dari 10 kabupaten dan kota yang telah menginisiasi regulasi terkait Pendidikan

Bencana dalam 12 tahun terakhir.

Laju implementasi PPRB secara nasional meningkat dari tiada pra 2008 menjadi 2,200 SP per

tahun dalam kurun waktu 12 tahun. Secara total, program PPRB beranjak dari tiada menjadi

total 27 ribu Satuan Pendidikan, atau setara 10% total SP Dasar dan Menengah yang ada

(>271,000) [Atau 4% saja bila PAUD, Diksus, Dikmas, Vokasi di bawah Kemendikbud dan

Kemenag dimasukkan]. Jumlah ini setara 2.7 juta dari 64 juta peserta didik yang perlu

dijangkau.

Secara umum, kesiapan Satuan Pendidikan untuk menjalankan di tingkat SPAB dipandang

belum cukup. Dibutuhkan kebijakan yang saling mendukung dan harmonis dari provinsi

hingga kabupaten/kota untuk memperkuat SPAB80. Pendidikan pencegahan dan pengurangan

78 BNPB 2020, Panduan Teknis Fasilitasi SPAB Bagi Fasilitator Pemula – Edisi Fasilitasi Kelompok Anak Anak BNPB 2020. Untuk Indonesia Yang Tangguh Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Nasional 79 Lilies, Kasie Advokasi Mitigasi BNPB: Strategi SPAB Tahun 2020 Direktorat Mitigasi Bencana BNPB. FGD Pilar 3 Nasional, 23 June 2020. 80 Indra Saputra (PMPB) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020

Page 66: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 65 dari 100

risiko bencana sendiri perlu didukung oleh kebijakan di tingkat daerah yang mendorong guru

dan tenaga kependidikan lainnya dalam mengimplementasikan program SPAB.

b. Dampak Kelembagaan Sekretariat Bersama SPAB di Nasional dan Daerah

Capaian Kelembagaan 1 - Sekber Nasional Sebagai Katalisator SPBA

Sekretariat Nasional SPAB yang berevolusi sejak Sekretariat Sekolah Madrasah Aman

Bencana (SMAB) di 2014 menunjukkan beberapa dampak positif dalam menggulirkan

wacana-wacana dan instrumen-instrumen pengembangan kapasitas Satuan Pendidikan terkait

PRB seperti material pelatihan fasilitator maupun dokumentasi praktik-praktik baik.

Sekretariat Nasional juga berfungsi menjadi simpul penyebaran informasi dan pengetahuan

praktis terkait implementasi PPRB di Indonesia. Dengan keberadaan di Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, Seknas SPAB juga menjadi simpul layanan bagi berbagai Sekber

di Provinsi dan Kabupaten yang tertarik dalam mengimplementasi SPAB.

Salah satu kontribusi penting Seknas SPAB adalah pada peningkatan jumlah publikasi material

terkait SPAB yang diproduksikan bersama para stakeholder di Nasional (Lihat Box 1). Sebagai

contoh, Seknas bersama Kementerian/Lembaga bersama mengembangkan dokumen belajar

dengan tujuan penyampaian pengetahuan; Daerah mengambil inisiatif sendiri dalam

pengembangan Modul Belajar Kabupaten dan Provinsi, dan fenomena ini perlu dipandang

secara positif. Di Palu, Sekber terlibat dalam membuat buku kurikulum mitigasi berbasis

kearifan lokal dan diterapkan di beberapa sekolah.81

Box 1. Daftar Panduan Produk Pendidikan Bencana

1 Panduan Teknis Fasilitasi SPAB Bagi Fasilitator Pemula – Edisi Fasilitasi Kelompok Anak Anak

BNPB 2020. Untuk Indonesia Yang Tangguh Bencana, Badan Penanggulangan Bencana

Nasional

2 Direktorat Pengurangan Risiko Bencana 2019. Jangan Panik: Ragam Cerita Praktik Baik

Kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

3 Amri, A. 2017. Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana

di Indonesia. BNBP, Kemendikbud dan Seknas SPAB.

4 Kemenneg PPPA 2015. Panduan Sekolah Ramah Anak. Deputi Tumbuh Kembang Anak.

Kementerian Peberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sumber: Penulis

Capaian Kelembagaan 2 - Sekber SPAB Provinsi dan Kabupaten/Kota

Nilai tambah keberadaan Sekretariat Bersama ditingkat nasional (Seknas SPAB) dan Sekber

Provinsi sebagai Katalisator SPAB terlihat; Peran katalisator Sekber SPAB Kabupaten/Kota

cenderung bergantung pada kehadiran dan keaktifan masyarakat sipil termasuk forum PRB

dalam bergerak, Ketiadaan Sekber di Aceh dilihat sebagai masalah.

Secara teoritis, Sekber SPAB di tingkat provinsi dapat menjadi agen yang mendorong

perubahan, terutama mendorong kabupaten. Proses pembentukan Sekber SPAB di Kabupaten

walau cenderung bersifat paternalistis (baca: menunggu provinsi), namun minimal sudah

terbentuk berbagai Sekber SPAB di kabupaten/kota. Di NTT, dari 22 kabupaten/kota, saat ini

81 Ansyar Sutiadi (Kepala Dinas Pendidikan Kota Palu) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020

Page 67: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 66 dari 100

terdapat 5 Sekber SPAB yakni di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Nagekeo, Sikka dan

Lembata.

Lima kabupaten/kota ini adalah daerah-daerah dengan konsentrasi berbagai Lembaga

masyarakat sipil yang aktif dalam kegiatan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) secara umum

maupun secara khusus yang berfokus pada anak dalam 20 tahun terakhir. Dari pola di NTT,

terbentuknya SPAB kabupaten/kota bergantung pada keberadaan dan kolaborasi dengan

organisasi masyarakat sipil.

Tugas dari Sekber SPAB Provinsi NTT termasuk pada upaya melakukan pemetaan bencana di

sektor Pendidikan. Sekber SPAB NTT termasuk salah satu yang aktif melakukan koordinasi

secara rutin. Dalam FGD multistakeholder Tingkat Provinsi NTT (9 July 2020) terungkap

bahwa Sekber SPAB Provinsi juga bertugas dalam mengarahkan (steering) dan memfasilitasi

kabupaten/kota dalam membentuk Sekber SPAB. Sekber SPAB Provinsi juga bertugas

merumuskan kebijakan yang diperlukan ditingkat gubernur untuk memberikan kekuatan

hukum bagi implementasi PB di tingkat satuan Pendidikan. Sebagai missal, Sekber SPAB NTT

mampu mendorong terbitnya Peraturan Gubernur NTT dalam mewajibkan kabupaten/kota

mengimplementasi agenda SPAB.

Contoh program SPAB di tingkat kabupaten/kota salah satunya adalah kolaborasi Sekber Kota

Kupang dengan BPBD Kota Kupang dalam pelatihan sekolah aman bencana di empat sekolah

dasar yang dekat dengan pantai (dalam kurun waktu 2018-2020), dengan asumsi bahwa

kedekatan dengan pantai mengindikasikan keterpaparan sekolah dan karenanya menjadi

prioritas.

Tantangan Proliferasi Sekber SPAB Kabupaten Kota dapat dilakukan dengan meningkatkan

kolaborasi multi-platform dengan FPRB, Kolaborasi dengan aktor-aktor lintas isu.

c. Meningkatnya penelitian akademik terkait SPAB di Indonesia

Walaupun terjadi peningkatan secara berarti terkait SPAB di Indonesia, penelitian kami

menunjukkan bahwa mayoritas peer-reviewed article masih di dominasi oleh publikasi

internasional dalam 12 tahun terakhir. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Strata 3 (tingkat

doktoral), Box 2 memberikan contoh tentang fokus dari penelitian doktoral di Jepang, Australia

dan Inggris terkait PPRB di Indonesia. Hal ini bisa dipahami karena kecilnya insentif penelitian

terkait Pendidikan bencana di berbagai universitas dan Lembaga penelitian di Indonesia

Sejauh mana penelitian-penelitian di atas berkontribusi pada kebijakan publik terkait SPAB

perlu di telusuri lebih lanjut.

Box 2. Tesis S3 Terkait Pendidikan Bencana

Mita Anggaryani (forthcoming) School-based DRR Program at Disaster Prone Areas: A case of

Yogyakarta. PhD Thesis, Australian National University

Avianto Amri 2020. Building disaster resilient households through a school-based education

intervention with children and their families. PhD Thesis, Macquarie University, Australia

Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school

science curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London, United Kingdom

Avianto Amri 2015. Challenges in implementing disaster risk reduction education: Views from the

frontline in Indonesia. Master by Research Thesis - Macquarie University, Australia

Page 68: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 67 dari 100

Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of

Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University,

Japan

Sulistyaningrum, Eny 2013. Human capital outcomes for children : the impact of school subsidies

and natural disasters. PhD Thesis – Lancaster University, United Kingdom

Heather Lynne Taylor 2011. Children’s experiences of flooding in Surakarta, Indonesia. PhD Thesis –

Massey University

Penelitian-penelitian ini telah banyak berkontribusi dalam penyusunan panduan dan petunjuk

teknis termasuk pengembangan program SPAB di daerah dengan meningkatkan keberagaman

materi KIE yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ini untuk digunakan di daerah.

IV.4.4. Keberlanjutan

a. Regulasi Yang Efektif Adalah Prasyarat Keberlanjutan

Keberlanjutan bergantung pada skema regulasi dan kelembagaan di daerah. Walau ada kesan

kritik pada Program SPAB yang berbasis pilot project, kami memandang bahwa regulasi yang

kuat yang disertai dengan kemauan politik dan kepemimpinan yang efektif dapat menjadi dasar

bagi daerah maupun satuan pendidikan untuk mempromosikan kegiatan SPAB secara rutin.

Diperlukan integrasi regulasi dan payung hukum yang lebih tegas di semua tingkatan dengan

melihat kacamata arsitektur regulasi yang lebih komprehensif SPAB baik di pusat maupun di

daerah. Skema regulasi termasuk harmonisasi regulasi dan skema insentif. Meningkatnya

regulasi tata kelola bencana di daerah mencapai lebih dari 500 regulasi di berbagai tingkat baik

provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Hal ini diikuti oleh terbentuknya kelembagaan formal

terkait penanggulangan bencana secara umum. Walau demikian, regulasi dan kelembagaan

yang ada dilihat tidak memadai dalam mempromosikan SPAB. Kesadaran ini kemudian diikuti

dengan dorongan membangun SPAB secara lebih sistematis dengan berbagai kehadiran

Sekretariat SPAB. Namun diperlukan lebih banyak komitmen dari daerah dalam mendukung

PPRB.

Sejauh ini terkait regulasi PPRB tercatat per September 2020, hanya 6 dari 34 provinsi.

Keenam regulasi yang dimaksud diterbitkan dalam bentuk diskresi kepala daerah dan belum

memalui skema peraturan daerah yang dalam konteks Indonesia dianggap sebagai dasar

regulasi daerah yang lebih kuat. Hal ini yang menjadi dasar pengembangan qanun Pendidikan

Bencana di Aceh yang masih dalam proses ketika laporan ini dibuat.

b. Kehadiran LSM sangat vital sebagai Katalisator SPAB.

Kehadiran LSM berperan sebagai katalis yang mempercepat adopsi dan implementasi PB.

Satuan pendidikan yang menjadi champion dalam implementasi SPAB multi-pilar yang hadir

sebagai peserta FGD nasional dan daerah memberikan testimoni bahwa peran LSM sangat lah

penting dalam memicu ketertarikan sekolah mengadopsi SPAB sebagai bagian integral dalam

proses belajar mengajar. Data yang kami himpun menunjukkan bahwa peran LSM dalam

memicu ketertarikan maupun komitmen komunitas satuan pendidikan maupun Pemerintah

Daerah sangat lah krusial. Hal ini dapat diobservasi secara konsisten baik di Aceh, NTT,

Sulawesi Tengah maupun DKI Jakarta.

Box 3 Peran LSM Dalam SD Muhammadiyah Insan Kreatif Kembar

Kemandirian sekolah sebagai capaian (outcomes) dari interaksi produktif multi-pihak baik LSM

maupun Pemda.

Page 69: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 68 dari 100

“Mewujudkan sekolah aman bencana dapat dilakukan secara mandiri pendanaannya dan tidak harus

menunggu dari pihak manapun untuk mewujudkan sekolah aman mandiri, mewujudkan sekolah aman

bencana dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak lain dan memanfaatkan potensi

lingkungan dalam konteks ini kami bekerjasama dengan KYPA, sedangkan untuk frekuensi

implementasi SPAB kami lakukan secara berulang tanpa harus mengganggu waktu KBM karena

dilakukan setelah KBM selesai (extrakurikuler), dan kunci keberhasilan dari inisiatif ini adalah

kekompakan warga sekolah dan kerjasama dengan pihak luar. Tantangan yang kita hadapi dalam

mewujudkan SMAB dapat dilalui dengan cara gotong royong antara warga sekolah dan kegiatan yang

dilakukan dengan waktu singkat, tetapi dengan intensitas yang rutin, selain itu antusiasme dari warga

sekolah juga sangat mendukung kegiatan ini.” Ernaningtyastuti (Kepala Sekolah SD Muhammadiyah

Insan Kreatif Kembaran, Bantul)

Contoh yang lain adalah proses pembuatan kurikulum SPAB di Sikka di lakukan oleh Yayasan

Sanres dan Plan Internasional. Implementasi SPAB sangat gencar dilakukan di sekolah-sekolah

sasaran yang sudah mendapatkan sosialisasi dan edukasi mengenai sekolah aman bencana oleh

Sanres Kabupaten Sikka.

Peran Organisasi Masyarakat Sipil yang berkarakter terstruktur multi-level seperti

Muhammadiyah yang memiliki jumlah sekolah di hampir setiap provinsi adalah mitra strategis.

Tahun 2020 BNPB memulai kerja sama formal dengan MDMC (Muhammadiyah) dan Hizbul

Wathan yang merupakan organisasi seperti pramuka tetapi mereka berada di bawah

Muhammadiyah. Pendekatan pilot project dilakukan di 4 kabupaten/kota dengan Hizbul

Wathan dengan target melahirkan 40 fasilitator SPAB 40 dan setiap fasilitator kami

menargetkan jangkauan 100 siswa.

Box 4. Peran LSM dalam SPBA: Pengalaman PMPB NTT82

• Untuk SPAB kami sudah memulai dari tahun 2012 dengan beberapa sekolah pilot yang di TTS

kerja sama dengan Plan Internasional. Untuk giat-giatnya dilakukan 2015 ke belakang ini, yang

kemudian dilakukan banyak hal dengan OPD-OPD atau mitra-mitra terkait. Sekalipun belum

banyak yang dilakukan namun sudah ada titik terang yang terlihat di NTT ini.

• Dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan kami bekerja sama dengan beberapa OPD kunci

seperti Dinas Pendidikan, Kanwil Kementerian Agama, Dinas PU dan BPBD. Merupakan OPD

yang bekerja sama dan membicarakan mengenai SPAB di NTT.

• Ada banyak kegiatan yang dilakukan namun tidak bisa dikatakan banyak karena NTT sangat luas.

Kalau di Provinsi. NTT Dinas Pendidikan, Kementerian Agama dan lain-lain menyusun modul

pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana di Provinsi NTT. Modul ini dibuat secara

khusus untuk Pendidikan Dasar dan disusun secara bersama dengan Pemerintah dan Para Guru

(Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan TTS).

• Kami juga memiliki tools monev, yang masih digunakan saat ini yang di mana pihak sekolah secara

mandiri kondisi sekolah mereka berada di tataran yang mana dilihat dari 3 pilar itu.

• Tools atau model itu dipakai oleh mitra-mitra kami seperti Childfund di sekolah-sekolah dampingan

mereka kurang lebih ada ratusan sekolah.

• Tools hasil kerja sekretariat SPAB Provinsi NTT. Memang didanai bersama Plan tapi ini hasil kerja

sama OPD, mitra, guru Kota Kupang, kabupaten Kupang dan TTS dan pemerintah NTT sehingga

dikatakan hasil kerja sekretariat SPAB NTT. Modul ini sudah di uji coba di beberapa tempat

kemudian difinalisasi. Untuk Pilar 1 dilihat secara baik oleh Dr. Susi, Pilar 2 dan Pilar 3 dilihat oleh

kami semua disesuaikan dengan konteks NTT. Bisa diperoleh di Sekretariat SPAB, kalau di TTS

82 Chris Nggelan, 2020 – FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020’

Page 70: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 69 dari 100

sudah diberikan, begitu juga di kabupaten-kabupaten yang lain tapi dengan keterbatasan sumber

daya. Kami belum secara mendalam di penguatan fisik baru melakukan penyuluhan untuk

penguatan kapasitas sekolah-sekolah.

• Pada saat hearing dengan DPRD Kab. TTS mungkin menjadi catatan bagi Dinas Pendidikan juga,

apakah sudah ditindaklanjuti atau belum. Ketika melakukan hearing dengan komisi 4 DPRD TTS

yang membidangi isu ini, mereka meminta Dinas Pendidikan, Dinas PU dan BPBD kalau bisa

membuat suatu perencanaan membangun model sekolah yang secara fisik aman dari bencana di

Kabupaten TTS dengan dana DAUK. Sehingga sudah ada komitmen dari stakeholder sehingga

menjadi dorongan bagi kita untuk menjawab hak warga sekolah menerima hak mereka untuk

beraktivitas di sekolah yang aman dan nyaman.

• Kemudian di tahun 2016 Dinas Pendidikan sudah mengeluarkan surat edaran berkaitan dengan

Sekolah Aman Bencana kepada semua kepala dinas di kabupaten kota, hanya implementasinya

yang masih dipertanyakan.

• Beberapa kabupaten sangat konsen seperti TTS, Kab. Kupang, Kota Kupang dan di Pulau Flores,

Pulau Sumba yang merupakan pendampingan dari Childfund. Ada yang sudah cukup baik mereka

sudah sampai di penguatan kapasitas di tingkat sekolah seperti pembentukan tim siaga di sekolah

dan sebagainya. Belum terorganisir secara baik, sehingga secara data kami belum bisa menyebut

berapa banyak sekolah atau data guru dan sebagainya. Karena masih menjadi pengetahuan di

masing-masing lembaga belum terorganisir secara baik di sekretariat sudah ada upaya namun belum

ada finalisasi data.

• Sekretariat sudah melakukan pemetaan berdasarkan Zona Merah, Hijau dan Kuning yang dilakukan

oleh kesekretariatan provinsi NTT. Mereka punya daya sekolah berdasarkan ancaman. Sudah

terjadi perkembangan yang cukup baik dibandingkan dengan situasi 12 tahun lalu.

c. Sistim Akreditasi Sekolah Sebagai Stick and Carrot Dalam Adopsi SPAB

Sistim Akreditasi Sekolah menjadi push factor dalam adopsi SPAB termasuk Pendidikan

Bencana. Langka mendesain stick and carrot dalam adopsi SPAB perlu dilakukan secara

kreatif dan berbasis evidence.

Sistim akreditasi sekolah melalui 8 standar pendidikan secara operasional di tingkat bawah

dilakukan oleh pengawas sekolah. Di Jakarta, Pengawas di pandang sebagai faktor penting

dalam mendorong satuan pendidikan mengadopsi SPAB.83 Pengakuan dari NTT menunjukkan

bahwa sekolah-sekolah yang tidak ada intervensi program SPAB baik dari LSM maupun

pemerintah turut ambil bagian dalam mengembangkan PB maupun kegiatan-kegiatan kesiap-

siagaan karena proses-proses akreditasi mengharuskan sekolah menunjukkan bukti-bukti

bahwa satuan pendidikan sudah menerapkan prinsip sekolah aman. Sebagai contoh, Yasinta

Sogen (Kepala Sekolah SD Kupang Montessori School) mengatakan bahwa sekolahnya

mempersiapkan proses compliance terhadap akreditasi sekolah karena standar proses akreditasi

menuntut checklist lima hal utama yakni ”ketersediaan alat, jalur evakuasi, peta evakuasi, titik

kumpul dan pencegahan bencana”.

Pengalaman dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina di Kota Kupang, menunjukkan bahwa

tingkat akreditasi menjadi bersifat punitive (stik atau rotan) karena variable SPAB dalam 8

Standar Pendidikan (Checklist Akreditas) belum bisa mereka penuhi karena belum

membangun prasarana sekolah dengan aksesibilitas ramah bencana dan ramah disabilitas.

Sedangkan jalur evakuasi yang memperhitungkan ragam jenis disabilitas juga belum dimiliki.

83 Indrawati (SLB 02 Jakarta)

Page 71: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 70 dari 100

d. Menafsir Pengembangan Modul Belajar Kabupaten dan Provinsi

Dokumen yang dikembangkan oleh multi pihak di daerah dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan

yang tumpeng tindih. Namun dalam perspektif kami berdasarkan hasil konsultasi dengan multi

pihak level provinsi, diperoleh informasi dan perspektif daerah bahwa proses pengembangan

bahan pelatihan yang dikembangkan bersama dengan guru-guru champion PB yang menjadi

fasilitator lapangan, kesempatan pengembangan modul-modul adalah kesempatan belajar

sekaligus pengembangan kapasitas daerah.

Tantangannya adalah bagaimana pemerintah daerah dan para stakeholder yang tergabung

dalam Sekretariat Bersama SPAB mampu melakukan pemutakhiran atau pembaruan dari

modul-modul yang dikembangkan dalam rangka PPRB ditingkat sekolah.

IV.4.5. Inovasi

Inovasi dapat berupa produk, proses maupun sistim. Kumpulan inovasi di bawah ini merupakan

bentuk-bentuk proses maupun produk terkait SPAB.

a. Adopsi PPRB Mandiri Oleh Satuan Pendidikan

Program SPAB mandiri di tingkat satuan pendidikan adalah sebuah kemungkinan dan patut di

kenali sebagai sebuah ‘business model’ SPAB yang berkelanjutan. SD MIKK di Bantul mampu

membentuk struktur ‘tim siaga bencana’ yang membagi tugas dalam bentuk Pilar 1, 2 dan 3.

SD MIKK mampu mengembangkan rencana kerja yang rutin diperbaharui dengan target

capaian yang terlihat. Model SD MIKK di Bantul ini merupakan bentuk ‘champion’ yang

bersifat ‘endoenous’ karena SD MIKK bukan merupakan sekolah dampingan LSM

Internasional. Model SD MIKK ini termasuk model champion yang mampu membangun

kolaborasi dengan pihak LSM dalam membangun sistim SPAB mandiri.

b. Berbagi Ilmu Antar Satuan Pendidikan

Pengalaman dari Jakarta ditemukan bahwa ada mekanisme transfer pengetahuan antara satuan

pendidikan yang bisa dikembangkan sebagai model yang melengkapi model top-down.

Sebagai contoh, Sekolah Hati Kudus di Jakarta melakukan simulasi dengan mengundang

sekolah lain untuk melihat dan belajar agar punya referensi yang bisa disesuaikan sendiri.

Strategi untuk mengajak sekolah lain (reguler ataupun kebutuhan khusus) adalah dengan

sharing informasi dan model SPAB; Strategi lainnya adalah menyampaikan pesan-pesan

(materi) secara repetisi dan konsisten. Di Aceh, ada pula praktik pembentukan

paguyuban/gugus bagi satuan pendidikan di mana setiap tanggal 26 April (Peringatan Hari

Siaga Bencana) ada kegiatan simulasi bersama satu tahun sekali.

c. Sekber Provinsi dan Kabupaten/Kota Sebagai Katalisator SPAB

Kehadiran Sekretariat Bersama di tingkat Provinsi maupun Kabupaten mampu berfungsi

sebagai Katalisator SPAB sebagaimana terlihat di hamper semua provinsi dan kabupaten/kota

yang mengadopsi. Sekretariat Bersama SPAB di tingkat provinsi dapat menjadi agen yang

mendorong perubahan, terumata mendorong kabupaten/kota.

d. Kemitraan Sekber dan LSM

Kemitraan dan kemampuan bermitra antara Sekber SPAB Kabupaten/Kota dengan LSM

menjadi faktor utama yang mempercepat adopsi dan implementasi PPRB di satuan pendidikan.

Satuan pendidikan yang menjadi champion dalam implementasi SPAB multi-pilar yang

memberikan contoh kolaborasi Pemerintah Daerah dan LSM dalam memicu PRRB sebagai

Page 72: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 71 dari 100

bagian integral dalam proses belajar mengajar. Hal ini terlihat di hampir semua wilayah baik

Jakarta, Sulawesi Tengah, NTT, Jogjakarta maupun Aceh.

e. Permainan dan Alat Mandiri Berbasis Keluarga

Pendidikan Aman Bencana atau Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PPRB) di tingkat

keluarga dapat dilakukan dengan permainan dan alat belajar alternatif. Munculnya berbagai

jenis media belajar terkait PPRB di Indonesia dalam kurun waktu 16 tahun terakhir setelah

Tsunami Aceh 2004 memberikan harapan. Walaupun demikian terdapat sedikit alat belajar

yang menargetkan keluarga.

Di Indonesia, pengembangan permainan alat mandiri bernama Predikt dikembangkan oleh

Predikt.id yang mendapatkan berbagai penghargaan sebagai model inovasi dalam Pendidikan

bencana di Indonesia.

IV.4.6. Pembelajaran

a. Kepemimpinan Satuan Pendidikan

Sejauh ini, penelitian ini konsisten dalam menemukan bahwa terdapat celah (gap) yang sangat

times kompetensi dasar yang sudah disusun oleh Kemendikbud. (2) Tingginya beban guru dan

siswa dan guru-guru merasa bahwa beban administrasi mereka sudah terasa penuh sehingga

ketika ada tambahan materi baru, mereka harus berpikir lagi dan begitu juga dengan siswa, dan

ketika ini tidak dibuat sederhana ini akan menjadi beban bagi guru dan siswa. (3) Media

pembelajaran di daerah terpencil – termasuk kesenjangan infrastruktur fisik dan digital;

[Nurdin, N. 2020 – Workshop Nasional SPAB Pilar 3, 23 Juni 2020)

Sumber daya manusia terutama kapasitas pendidik di darah terkait SPAB masih menjadi

masalah yang mendasar dalam 10 tahun terakhir ini. Dibutuhkan agenda yang lebih sistematis

dalam mendorong komunitas satuan pendidikan dalam mempromosikan PPRB secara

mandiri.84

“Tantangan implementasi SPAB adalah beban guru dalam menyinergikan edukasi

kebencanaan dalam materi ajar. Selain itu banyak guru merasa tidak memiliki kapasitas yang

sesuai karena biasanya dilimpahkan kepada guru olahraga/guru yang ditunjuk kepala sekolah.

Komitmen dan kepercayaan diri guru yang tidak merata dalam mendukung implementasi

SPAB.” “Siswa yang telah menerima edukasi SPAB lulus dan program tidak berlanjut.” 85

“semua sekolah dan peserta didik wajib mengetahui cara-cara dan hal-hal

apa yang harus dilakukan untuk mengedukasi guru dan siswa mengenai

tanggap bencana. Selama 14 tahun di bidang Pendidikan belum pernah

dapat Pendidikan maupun pelatihan apa pun terkait tanggap bencana di

tingkat sekolah dari SD-SMP-SMA di kupang. Harapannya bisa mendapat

informasi yang sama baik sekolah negeri maupun swasta.” sebut salah

satu perwakilan akademisi di provinsi Aceh

PPRB mandiri walau tidak identik dengan dana yang besar, namun pengalaman menunjukkan

dibutuhkannya dukungan eksternal (Khususnya LSM, terutama dalam memfasilitasi

pengetahuan). Secara internal, satuan pendidikan memahami beberapa kendala seperti:

84 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Op. cit. 85 Intan TDMRC, FGD SPAB Provinsi Aceh

Page 73: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 72 dari 100

• Kurangnya kapasitas maupun keterbatasan waktu pendidik untuk menyusun materi

SPAB dalam pembelajaran. 86

• Tidak ada reward atas pelaksanaan SPAB di sekolah sehingga pelaksanaan program

hanya dilakukan oleh sekolah yang terpanggil. Sekolah Hati Kudus sharing dan

berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan kemudian melakukan simulasi

kebencanaan di depan kepala sekolah lainnya87

b. Kapasitas Anggaran Satuan Pendidikan Untuk SPAB

Diperlukan komitment anggaran maupun non-anggaran dari Dinas Pendidikan kepada tiap

sekolah untuk melaksanakan SPAB karena risiko kebencanaan di sekolah itu ada88 Alokasi

anggaran menjadi masalah yang paling sering diangkat oleh satuan pendidikan. Hal ini

dikonfirmasi oleh para pengambil kebijakan baik di tingkat Pemerintah Daerah maupun di

tingkat Pemerintah Pusat. Di Jakarta, Dinas Pendidikan belum menganggarkan dana rutin

untuk kebutuhan kebencanaan ke dalam RKAS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) 89

Pembiayaan PPRB ditingkat satuan pendidikan dianggap penting namun bukanlah variabel

utama dalam menjamin keberlanjutan. Di Jakarta, PRBB mandiri dilihat sebagai sebuah

kemungkinan namun para guru melihat bahwa “yang terpenting adalah kesadaran guru atas

urgensi PPRB. Kesadaran yang rendah mengakibatkan PPRB tidak berlanjut; 90 Pentingnya

Perbaikan dan harmonisasi regulasi terkait SPAB.

Kejadian bencana termasuk komitmen penganggaran respons darurat yang menyertainya dapat

digunakan sebagai kesempatan untuk memperbaharui pendekatan status quo yang abai SPAB.

Hal ini terlihat di Sulawesi Tengah di mana paska Gempa Tsunami dan Likuefaksi menjadi

momentum lahirnya berbagai komitmen termasuk terkait SPAB.

c. Koordinasi Intervensi PRBB dan SPAB

Pentingnya koordinasi nasional untuk menghindari tumpang tindih program antar berbagai

lembaga yang berperan dalam proses pendidikan PRB. Walaupun dalam pandangan kami,

tumpeng tindih dapat dipahami secara lebih sistematis apakah ini sebuah ‘waste of resources’

atau sebuah redundancy yang perlu karena keterbatasan sumber daya, koordinasi yang lebih

efektif akan lebih menjamin terjadinya pemerataan intervensi di daerah-daerah yang berpotensi

terjadinya bencana dan tidak serta-merta berfokus pada daerah-daerah yang sudah (dan masih

akan tetap berpotensi) terjadi bencana-bencana besar.

Daerah dengan kategori 3T (tertinggal, terluar, terisolir) memiliki tantangan kelembagaan yang

serius. Kabupaten/Kota yang belum memiliki SPAB secara umum belum memiliki

perencanaan implementasi Sekolah Aman. Sebagai misal dari Kabupaten Sabu dan Alor,

Sumba Timur, sejauh ini belum memiliki kegiatan yang spesifik SPAB.

86 Yohanes Suwandi (TK-SD Hati Kudus Grogol) FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta

Rabu, 29 Juli 2020 87 Yohanes Suwandi.. Op. cit. 88 Haryanto (SDN 03 Duri Utara) FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta Rabu, 29 Juli 2020 89 Suryani, Disdik DKI Jakarta FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta, 29 Juli 2020 90 Haryanto (SDN 03 Duri Utara), Ibid…

Page 74: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 73 dari 100

d. Integrasi Pilar 2 dan Pilar 3

Pentingkuan peningkatan kualitas dalam proses pelaksanaan PPRB. Sebagai misal, Kegiatan

PPRB sebagai ekstrakurikuler dalam bentuk constructive alignment di mana dilakukan

kombinasi kognisi dan motorik seperti simulasi bencana (Pilar 2) di ruang kelas dan praktik

evakuasi dengan skenario gempa bumi maupun angin rebut perlu diamati secara lebih serius.

Dalam temuan (penelitian PhD) oleh Mita Anggaryani, ditemukan bahwa model belajar dengan

simulasi ini masih cenderung ditekankan pada aspek histeria dan kurang pada substansi.91

e. Bias optimisme

Pengalaman dari SD Inpres St. Yoseph di Sikka menunjukkan gejala optimisme bias

(complacency) – yakni sebuah fenomena di mana sekolah secara mandiri mencoba melakukan

kombinasi implementasi Pilar 2 dan Pilar 3 secara berturut-turut tahun 2016-2017. Karena

sering rutin melakukan kegiatan di lingkungan sekolah para stakeholder makin percaya diri

dan kemudian merasa sudah aman sehingga berkurang jumlah kegiatan yang dilaksanakan.

Fenomena ini penting untuk di pelajari khususnya soal apakah fenomena ini adalah fenomena

lelah (fatigue) atau complacency atau bias optimisme karena merasa percaya diri yang

berlebihan

f. Integrasi Dengan Pendidikan Khusus dan Agenda Inklusif

Pendidikan khususnya untuk tuna grahita memerlukan tindakan khusus arena harus berulang-

ulang. Secara umum, aksesibilitas bagi para siswa berkebutuhan khusus masih belum memadai

untuk membantu proses edukasi tanggap bencana baik di NTT maupun di Jakarta.

Pendekatan inklusif juga perlu dilakukan dalam berbagai aspek, baik dari keterwakilan gender,

faktor disabilitas, jenjang pendidikan, serta memberikan kesempatan terutama untuk para

peserta didik dalam berperan terlibat dalam program SPAB. Catatan dari daerah menunjukkan

bahwa partisipasi anak masih bersifat parsial. Sebagai misal di Sulawesi Tengah, seorang guru

berujar bahwa:

“Pada saat simulasi siswa terlibat namun tidak semua siswa terlibat hanya

perwakilan siswa saja”

Hal ini juga sesuai dengan observasi dan juga hasil diskusi dengan para informan kunci

mengenai strategi program SPAB belum efektif dalam menggerakkan seluruh peserta didik

secara inklusif.

g. Agenda PPRB Yang Berpusat Pada Anak

Observasi kami menunjukkan bahwa Pendekatan Pemerintah Daerah terutama kelembagaan

seperti BPBD cenderung bersifat dakwah yakni ‘trainer centric’. Sekolah dan/atau anak

diposisikan sebagai penerima pengetahuan. Pengalaman dari Alor (yang belum memiliki

Sekber SPAB), menggambarkan hal ini

“Sedangkan secara umum di wilayah kecamatan kami sudah memberikan

himbauan dan sosialisasi bagaimana sekolah tanggap terhadap bencana

yang terjadi di sekolah dan disesuaikan dengan lokasi sekolah yang berada

di lokasi rawan longsor kami memberikan materi tentang longsor,

91 FGD Pilar 3 Nasional, June 2020

Page 75: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 74 dari 100

demikian juga dengan gempa bumi, tsunami dan banjir.” Ujar salah satu

pegawai BPBD –dari NTT dari FGD Multi stakeholder SPAB NTT

Hal ini juga terlihat di Sumba Timur di mana peristiwa ‘dakwah bencana’ oleh BPBD

dilakukan di sekolah-sekolah: “Yang sudah kami coba lakukan, yaitu pada hari kesiapsiagaan

bencana, kami melakukan simulasi bencana khususnya gempa bumi di sekolah-sekolah SD-

SMA, dilaksanakan simulasi gempa bumi, angin puting beliung dan lain-lain [BPBD SumTim,

FGD Multi stakeholder SPAB NTT, 9 July 2020]

Page 76: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 75 dari 100

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V.1. Kesimpulan

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis secara komprehensif ketiga

pilar secara makro (tingkat nasional) hingga ke level mikro di tingkat satuan pendidikan di

daerah. Beberapa temuan kunci dari penelitian ini antara lain:

Banyak inovasi yang sudah dihasilkan dari penyelenggaraan program SPAB

Pembentukan Seknas SPAB dan Sekber SPAB menunjukkan inovasi sistemik untuk

memperkuat koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama multi pihak yang mendorong adanya

mobilisasi sumber daya (baik dari sisi pendanaan, SDM, dan perangkat) serta upaya

peningkatan kapasitas secara terstruktur. Di sisi lain, kerja sama dengan pihak eksternal dengan

mengintegrasikan program yang sudah berlangsung seperti Pramuka, Tagana Masuk Sekolah,

Palang Merah Remaja, dan Hizbul Wathan merupakan strategi yang efektif untuk memperluas

cakupan secara sistematis.

Upaya masyarakat sipil bersama pemerintah pusat telah banyak membuahkan hasil dalam hal

advokasi kebijakan baik di tingkat nasional dan daerah, terutama dengan tersusunnya lebih dari

20 kebijakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota selama 12 tahun terakhir.

Pencapaian secara kelembagaan juga diraih termasuk penilaian akreditasi sekolah dengan

menggunakan indikator terkait SPAB juga dapat membantu meningkatkan jumlah sekolah

yang menerapkan komponen-komponen SPAB. Pada Oktober 2020, BNPB bersama

Kemendikbud juga meluncurkan aplikasi untuk pemantauan dan pengawasan penyelenggaraan

program SPAB yang akan berperan penting dalam pemetaan satuan pendidikan yang telah dan

masih menyelenggarakan program SPAB di wilayahnya.

Selain itu, potensi penerapan SPAB melalui pendekatan berbasis komunitas (PRBBK) seperti

misalnya dengan program Kampung Siaga Bencana atau Desa Tangguh Bencana dan juga

melalui pendekatan berbasis keluarga, seperti misalnya Keluarga Tangguh Bencana telah

menyediakan pintu masuk untuk mengikutsertakan satuan pendidikan sebagai salah satu

bentuk intervensi program tersebut. Adanya penganugerahan jawara (champions) SPAB dan

festival SPAB juga penting untuk menginspirasi dan meningkatkan motivasi pihak lainnya

untuk menyelenggarakan SPAB.

Capaian yang tidak berimbang antara pilar 1 dengan Pilar 2 dan pilar 3 dan juga untuk tiap

jenjang dan jenis satuan pendidikan

Penerapan program SPAB masih didominasi di satuan pendidikan yang dikelola oleh

Kemendikbud, khususnya di jenjang Sekolah Dasar. Secara keseluruhan, penyelenggaraan

SPAB masih minim dilakukan di PAUD, pendidikan tinggi, dan sekolah vokasional. Selain itu,

penerapan SPAB di madrasah masih sangat terbatas dan juga di pendidikan non-formal, yaitu

di SKB dan PKBM. Penerapan program SPAB juga masih berat sebelah dimana intervensi

yang populer dilakukan adalah intervensi yang berpengaruh pada Pilar 2 dan Pilar 3, sedangkan

masih sedikit lembaga yang bergerak di Pilar 1.

Kualitas program SPAB sangat bergantung pada kapasitas guru. Sehingga, peningkatan

kapasitas untuk guru adalah sangat penting dalam penyelenggaraan program SPAB. Strategi

bimbingan teknis (bimtek) untuk guru dan tenaga pendidikan lainnya perlu disusun dan

diterapkan secara terstruktur, sistematis, masif dan berkelanjutan. Penggunaan metode e-

Page 77: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 76 dari 100

learning, bimtek secara daring, dan penyesuaian pada pendidikan tinggi untuk guru bisa

mendukung upaya untuk peningkatan kapasitas guru dan tenaga pendidikan lainnya. Bimtek

yang dilaksanakan perlu membangun kepercayaan diri guru untuk melaksanakan SPAB secara

mandiri dan fleksibel.

Motor penggerak SPAB masih di dominasi oleh Pemerintah Pusat dan Organisasi

Masyarakat Sipil

Selama lebih dari satu dekade, motor penggerak SPAB masih didominasi oleh pemerintah

pusat dan organisasi masyarakat sipil. Hal ini perlu berubah seiring dengan waktu. Peran

pemerintah daerah dan pihak swasta semakin menjadi penting. Evaluasi ini menunjukkan

bahwa Kepala sekolah memegang peran penting dalam keberlanjutan program SPAB,

sedangkan pemerintah daerah berperan penting dalam memperluas cakupan (scaling-up) dan

replikasi.

Inklusifitas belum diterapkan secara luas dan sistematis

Kebijakan saat ini dalam menerapkan program SPAB masih menempatkan wilayah 3T dan

wilayah pascabencana sebagai prioritas penanganan fasilitas sarana prasarana satuan

pendidikan yang aman bencana. Program SPAB masih banyak diselenggarakan dengan tidak

menyasar pada pendekatan yang inklusif, termasuk dalam memastikan bahwa intervensinya

turut mempertimbangkan kepentingan anak-anak berkebutuhan khusus atau melibatkan anak-

anak berkebutuhan khusus.

V.2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis dari setiap pilar, penelitian ini menghasilkan rekomendasi untuk tiap

pilar, yaitu antara lain:

V.2.1. Rekomendasi untuk Pilar 1

a. Rekomendasi di tingkat nasional

Di tingkat nasional, penyusunan regulasi perlu diiringi dengan pengawasan dan sistem

pemantauan yang akurat, dapat diandalkan, dan partisipatif. Dengan adanya kebijakan yang

sudah ada (misalnya SNI terkait bangunan tahan gempa, peraturan Kemendikbud, dan juga

panduan-panduan terkait SPAB), sosialisasi dan penerapan secara masif di tingkat daerah dan

satuan pendidikan akan bergantung pada kemampuan pemerintah pusat dalam membangun

sistem pemantauan dan pengawasan yang efektif. Hal ini termasuk pula sosialisasi mengenai

informasi yang sudah ada seperti hasil pemetaan Dapodik dan InaRISK.

Upaya peningkatan kapasitas terutama dalam pembentukan tim ahli terkait pilar 1 dan juga

integrasinya dalam Sekretariat Bersama di tingkat daerah merupakan hal yang krusial untuk

mendorong adanya penguatan sinergitas antar pemangku kepentingan. Hal ini juga akan

mendukung penguatan dan keberlanjutan pendataan dan pengkajian terkait sarana dan

prasarana di satuan pendidikan terkait kualitas dan keamanan bangunan serta menjadi dasar

untuk implementasi penguatan bangunan (retrofit), pemeliharaan, dan juga dikeluarkannya

Sertifikat Laik Fungsi.

Di tingkat nasional, norma, standar, prosedur, dan kriteria terkait sarana prasarana SPAB perlu

dilengkapi, termasuk standardisasi terkait keamanan sarana dan prasarana sekolah terkait

Page 78: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 77 dari 100

ancaman lainnya misalnya banjir, angin puting beliung, tanah longsor, gunung api, dan

tsunami.

Pengembangan inovasi terkait keamanan sarana dan prasarana perlu terus ditingkatkan,

termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan juga mekanisme yang sudah terbangun, seperti

sistem informasi monev SPAB dan juga aplikasi terapan lainnya seperti VISUS dan STEP-A.

Evaluasi dan pengembangan startegi penerapan penguatan pilar 1 juga perlu menjadi prioritas.

Dengan menambahkan parameter spesifik berdasarkan jenis dan lokasi rawan bencana dapat

membantu dalam penentuan kebutuhan dan prioritas penguatan yang disesuaikan dengan

ketersediaan sumber daya. Dengan penetapan target realisasi jangka pendek, menengah, dan

Panjang serta disesuaikan dengan sistem pemantauan juga dapat membantu pencapaian

realisasi penguatan prioritas pilar 1.

b. Rekomendasi di tingkat daerah

Pembelajaran sejauh ini menunjukkan bahwa kebijakan di tingkat nasional perlu didukung

dengan regulasi di tingkat daerah, berhubung adanya otonomi daerah. Oleh karena itu, upaya

advokasi perlu diperkuat terutama untuk menerbitkan peraturan di tingkat daerah dan

dikombinasikan dengan upaya sistematis untuk mendukung penerapan peraturan tersebut

(misalnya bimbingan teknis, sosialisasi, sistem pemantauan dan evaluasi).

Pembentukan Sekretariat Bersama perlu diiringi dengan adanya koordinasi dan kolaborasi

dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pilar 1, termasuk Tim Ahli Bangunan dan Gedung

(TABG), asosiasi profesi, dan akademisi. Pembentukan sekber ini juga diharapkan bisa

mendorong proses penerapan SPAB yang lebih efektif, termasuk dengan memfasilitasi satuan

pendidikan untuk memiliki Sertifikat Laik Fungsi. Daerah juga memiliki kewenangan dalam

melakukan penentuan lokasi sekolah, sehingga Sekber bisa memiliki fungsi vital dalam

memastikan setiap sekolah baru tidak berada di lokasi yang rawan bencana dan juga menjajaki

kemungkinan relokasi sekolah-sekolah yang berada di lokasi yang sangat rawan ke tempat

yang lebih aman.

c. Rekomendasi di tingkat satuan pendidikan

Di tingkat satuan pendidikan, kepala sekolah dan pimpinan satuan pendidikan lainnya perlu

melakukan optimasi dana BOS dan dana-dana alternatif lainnya yang dapat menunjang

perwujudan sarana prasarana SPAB.

Penerapan program SPAB mandiri perlu digalakkan oleh pimpinan satuan pendidikan dengan

dukungan para tenaga pendidik, orang tua, dan juga peserta didik.

V.2.2. Rekomendasi untuk Pilar 2

Implementasi SPAB di Indonesia telah memiliki berbagai capaian. Seperti telah adanya

kebijakan di level nasional dan beberapa daerah. Telah terbentuknya Seknas Dan Sekber

sebagai salah satu upaya memperkuat koordinasi dan kolaborasi. Tersedianya anggaran untuk

implementasi yang alokasikan oleh pemerintah pusat dan daerah, walaupun hal ini belum

cukup signifikan jika dibandingkan dengan luas wilayah dan banyaknya satuan Pendidikan di

Indonesia. Adanya inovasi implementasi dan penyebarluasan informasi, baik yang berbasis

teknologi maupun kearifan lokal. Tersedianya berbagai modul, juknis, juklak, materi KIE yang

dapat dijadikan rujukan dalam implementasi. Serta, adanya upaya pengembangan alat

monitoring dan evaluasi, namun hal ini masih dalam proses pengembangan.

Page 79: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 78 dari 100

Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana meningkatkan implementasi di seluruh

satuan pendidikan. Serta memastikan adanya keberlanjutan kegiatan secara terus menerus oleh

pemerintah dan satuan pendidikan, yang perlu di dukung oleh berbagai Lembaga non

pemerintah. Sehingga perlu memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah nasional,

daerah serta untuk satuan pendidikan.

a. Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud, Kemenag, BNPB. Perlu menyusun perencanaan

yang lebih serius dan rasional, hal ini dapat di laksanakan melalui revisi peta jalan SPAB 2020-

2014. Mendorong seluruh daerah untuk membuat kebijakan turunan dari Permendikbud nomor

33, tahun 2018 dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal. Termasuk membentuk

SEKBER SPAB, agar koordinasi pelaksanaan SPAB berjalan dengan baik dan inklusif. Untuk

menunjang pelaksanaan tersebut, pemerintah pusat perlu menambah alokasi anggaran untuk

SPAB. Anggaran dapat di fokuskan kepada asisten daerah serta memberikan anggaran kepada

satuan pendidikan, agar dapat menerapkan program SPAB.

Pengembangan inovasi yang kreatif perlu terus dikembangkan, apalagi dalam situasi COVID

saat ini. Pendekatan dan penggunaan teknologi sangat diperlukan dalam penyebarluasan

informasi dan peningkatan kapasitas. Hal ini termasuk menerjemahkan berbagai modul, juknis,

KIE agar dapat di akses oleh seluruh warga satuan pendidikan, dinas Pendidikan, Kemenag,

BPBD, serta berbagai aktor SPAB. Selain itu, pengembangan strategi pendekatan dari berbagai

substansi kemitraan juga perlu di bangun dan kembangkan, misalnya dengan Kemensos, PMI,

Basarnas, Pramuka, Dewan Masjid, organisasi keagamaan pengelola satuan pendidikan, dan

lain sebagainya dengan tetap mengacu pada indikator SPAB terkait.

Untuk mengukur seluruh capaian, dan memantau perkembangan implementasi. Diperlukan

penguatan sistem dan alat ukur monitoring dan evaluasi yang ada (Monev SPAB), agar dapat

di gunakan oleh dinas serta satuan pendidikan dengan lebih optimal.

b. Rekomendasi untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota

Pemerintah daerah, melalui dinas Pendidikan, Kemenag, BPBD perlu menyusun kebijakan

yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks daerah masing-masing. Menyusun perencanaan dan

menentukan skala prioritas dan indikator capaian, agar pelaksanaan dapat dicapai. Asistensi

langsung kepada satuan pendidikan penting untuk dilakukan secara berkala dan berkelanjutan,

hal ini termasuk memberikan anggaran, fasilitas, pelatihan dan sosialisasi. Serta memberikan

motivasi kepada satuan pendidikan, melalui berbagai kegiatan, seperti kompetisi pelaksanaan

SPAB, menyediakan mekanisme konsultasi, baik untuk satuan pendidikan, pendidik, serta

peserta didik. Selanjutnya tentu, melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.

Seluruh proses pelaksanaan kegiatan SPAB di daerah, dapat di dukung serta bekerja sama

dengan berbagai Lembaga non pemerintah yang berkerja di daerah masing-masing, termasuk

perusahaan, organisasi keagamaan, serta berbagai lembaga profesi yang sesuai, seperti

Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru

Independen Indonesia (FGII), serta kelompok guru berbagi.

c. Rekomendasi untuk Satuan Pendidikan

Pelaksanaan SPAB di satuan pendidikan memerlukan kerja sama seluruh warga satuan

pendidikan. Temasuk komite sekolah dan orang tua. Hal utama yang perlu dilakukan adalah;

kepala satuan pendidikan menyusun dan mengeluarkan Surat keputusan (SK), yang berisi

Page 80: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 79 dari 100

tentang pembentukan tim siaga bencana, standar operasi prosedur (SOP) untuk pra, saat dan

setelah bencana, termasuk rencana simulasi. Pelatihan SPAB untuk pendidik dan peserta didik.

Termasuk orang tua, agar mendukung pelaksanaan kegiatan baik di satuan pendidikan, maupun

pada saat di rumah.

Untuk menentukan berbagai jenis kegiatan. Satuan pendidikan perlu melakukan penilaian

risiko bencana, termasuk melakukan pemetaan kapasitas yang dimiliki oleh satuan pendidikan.

Dengan ini akan diketahui apa saja jenis bencana yang mungkin terjadi, sehingga dapat

menyimpulkan tingkat risiko-nya dan bagaimana menanggulangi-nya. Berdasarkan hasil

penilaian. Maka satuan pendidikan perlu mempersiapkan berbagai perlengkapan kesiapsiagaan

bencana yang sesuai dengan ancaman dan risiko bencana yang ada.

Agar seluruh warga satuan pendidikan mengetahui berbagai ancaman dan risiko bencana, maka

perlu menyusun peta dan jalur evakuasi berdasarkan karakteristik bencana yang sudah

ditentukan. Berbagai tanda juga harus dipasang di tempat yang telah ditentukan.

Untuk membiasakan seluruh warga satuan pendidikan, maka simulasi secara berkala atau

minimal 2 kali dalam satu tahun perlu dilakukan. Simulasi diikuti oleh seluruh warga satuan

pendidikan, termasuk komite sekolah, orang tua. Pelaksanaan dapat dilakukan secara mandiri,

atau melibatkan lembaga, seperti BPBD, polisi, tentara, PMI, Damkar, atau Lembaga non

pemerintah yang memiliki keahlian SPAB.

Pelaksaan pembelajaran SPAB, dapat dilakukan melalui kegiatan intra dan ekstrakurikuler,

atau menyisipkan ke dalam mata pelajaran yang sesuai, hal ini perlu dilakukan sejak

penyusunan rencana proses pembelajaran (RPP). Pelaksanaan ini juga perlu dipastikan

berlangsung secara berkelanjutan setiap tahun ajaran sesuai dengan kebutuhan tahapan

indikator SPAB.

d. Rekomendasi untuk Institusi Non-Pemerintah

Dukungan Lembaga non pemerintah dalam implementasi SPAB tentu sangat dibutuhkan, baik

melalui kementerian, dinas, maupun langsung ke satuan pendidikan.

Bentuk dukungan Lembaga non pemerintah dapat berupa dukungan teknis dengan membantu

pemerintah dalam menyusun kebijakan, modul, juknis atau berbagai dokumen perencanaan.

Dukungan dalam bentuk peningkatan kapasitas melalui berbagai pelatihan, sosialisasi, maupun

alam bentuk kampanye. Selain itu dukungan teknologi yang inovatif juga dapat diberikan, agar

penyebarluasan informasi dan pengetahuan menjadi lebih merata. Pendampingan pelaksanaan

SPAB langsung di satuan pendidikan akan memberikan dampak yang lebih nyata, dan turut

serta mendukung pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama.

Lembaga non pemerintah, juga perlu terlibat secara aktif dalam menyusun dan melakukan

implementasi alat monitoring dan evaluasi, baik dalam skala nasional maupun langsung di level

satuan pendidikan.

V.2.3. Rekomendasi untuk Pilar 3

a. Rekomendasi untuk pemerintah pusat

Aspirasi tentang pentingnya pengembangan sebuah sistim monitoring dan evaluasi yang

sistematis muncul di berbagai tingkatan dari satuan pendidikan hingga tingkat nasional. Sejauh

ini gagasan mengenai Monev SPAB sudah menjadi bagian dari prioritas bagi para pemangku

Page 81: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 80 dari 100

kepentingan baik di tingkat nasional hingga ke daerah. Dalam benak para aktor SPAB,

perwujudannya adalah melalui pengembangan aplikasi dan database yang komprehensif.

Tantangannya adalah bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi ini bisa dijalankan dan

menjadi alat pengambilan keputusan yang dilakukan secara seketika dan menjadi semacam

sistem yang mendukung untuk mengambil keputusan yang juga memberdayakan pemerintah

daerah dan satuan pendidikan.

Sistem ini bisa juga dikembangkan dengan menambahkan mekanisme untuk melacak data guru

yang sudah memiliki kapasitas tentang SPAB agar dapat diberi suatu pengakuan (bisa berupa

SK) untuk meningkatkan motivasi mereka dalam menjalankan program SPAB.

b. Rekomendasi untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota

Pemerintah daerah perlu menyusun rencana kerja yang sistematis terkait penyelenggaraan

program SPAB dengan mengubah pola dari pendekatan ‘sekolah-sekolah target’ menjadi pola

implementasi program SPAB yang dapat mencakup seluruh satuan pendidikan dan dilakukan

secara komprehensif, karena mobilitas anak-anak dari sekolah-sekolah non-target tidak terjadi

secara linear – yakni bahwa para peserta didik belum tentu akan terus berada di ‘wilayah aman’.

Pemerintah daerah (baik di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota) perlu mendorong

mekanisme transfer pengetahuan antar satuan pendidikan yang dapat berjalan secara rutin,

dimoderasi dengan efektif, dan mendorong munculnya inovasi yang sesuai dengan kebutuhan

daerah.

Untuk mengatasi minimnya pemahaman guru terkait PRB dan kemampuan untuk

mengintegrasikan PRB dalam pembelajaran, bisa dilakukan dengan menciptakan ekosistem

belajar untuk para guru terkait SPAB di setiap provinsi dengan mendorong LPD4TK maupun

LPMP untuk terlibat. Anggota Konsorsium Pendidikan Bencana di daerah dapat juga

mendorong pemerintah daerah untuk menciptakan solusi permanen atas peningkatan kapasitas

guru terkait PRB.

Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam mendorong integrasi antara

agenda SPAB dengan agenda PRB berbasis keluarga. Dalam hal ini pendekatan promosi PRB

semestinya menuju pada kesadaran orang tua (keluarga) untuk menuntut pentingnya sekolah

aman. Dinas Pendidikan maupun Sekber SPAB perlu secara berkala dan proaktif mengambil

inisiatif dan mampu melakukan evaluasi yang komprehensif di semua jalur integrasi PB di

satuan pendidikan.

c. Rekomendasi untuk satuan pendidikan

Satuan pendidikan memiliki peranan penting dalam upaya pembaruan konten kurikulum PRBB

secara berkala agar kurikulum PPRB terus sesuai dengan konteks risiko dan dapat diadopsi

dalam RPP. Akibat perubahan iklim terjadi banyak perubahan konteks ancaman dan

kerentanan. Karakter ancaman seperti puting beliung, menjadi sebuah ancaman yang makin

sering. Fenomena-fenomena klimatologi ini menjadi kebutuhan sekolah. Diperlukannya

agenda khusus terkait penguatan satuan pendidikan dalam mendidik komunitasnya dalam

mengantisipasi bencana. Dengan banyaknya pemerhati dan implementator edukasi

kebencanaan berbasis satuan pendidikan, standar materi pembelajaran/edukasi perlu juga

dihimpun dan dilakukan harmonisasi. Tujuan harmonisasi lebih kepada penyamaan dan

pengayaan substansi yang akan diimplementasikan di setiap satuan pendidikan. Selain itu,

Page 82: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 81 dari 100

kesesuaian substansi yang akan diberikan juga dapat dikelola sesuai peruntukan dan jenjang

peserta didik.

Satuan pendidikan perlu menciptakan champions di satuan pendidikan dalam dua tingkat.

Pertama, di tingkat kepemimpinan sekolah. Kedua, ditingkat peserta didik di satuan

pendidikan. Pengalaman menunjukkan bahwa pimpinan sekolah memiliki diskresi terkait

implementasi PB. Menurut para guru, manakala pimpinan satuan pendidikan diberi

pemahaman lebih awal (oleh kepemimpinan ditingkat pemerintah daerah) maka mereka

diharapkan akan tanggap terkait informasi.

Pihak satuan pendidikan perlu menyusun desain yang jelas terkait alokasi pendanaan untuk

SPAB melalui penggunaan Dana BOS, dimana hal ini sudah diizinkan oleh pemerintah pusat.

Penggunaan dana BOS untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas guru, perbaikan sarana

dan prasarana, serta peningkatan kesadaran warga sekolah menjadi sangat penting. Satuan

pendidikan juga bisa menggunakan pendanaan alternatif lainnya seperti dana desa atau dari

pihak swasta.

Page 83: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 82 dari 100

BAB VI. LAMPIRAN

VI.1. Peta

VI.2. Daftar Regulasi Terkait SPAB

Tabel 1. Regulasi terkait dengan Pilar 1 SPAB

Tahun Nama Regulasi

2002 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

2008 Peraturan Menteri PU No. 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem

Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

2008 Peraturan Menteri PU No. 24 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan

Perawatan Bangunan Gedung

2011 Peraturan Presiden RI No. 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung

Negara

2018 Peraturan Menteri PUPR No.22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Bangunan Gedung Negara

2002

2012

2019

SNI 1726/2002, diperbaharui menjadi SNI 1726/2012, lalu SNI 1726/2019 tentang

Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan

Non-gedung

2018 Peraturan Menteri PUPR No.22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Bangunan Gedung Negara.

2019 Perpres No.43 Tahun 2019 tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi

Pasar Rakyat, Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,

dan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

2019 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.33 Tahun 2019 tentang

Penyelenggaraan Program SPAB

Page 84: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 83 dari 100

VI.3. Perangkat Pengambilan Data

VI.3.1. Kuesioner

I. Data umum

II. A. Data Pribadi

1. Nama Lengkap:

2. Jenis Kelamin (L/P):

3. Umur:

4. Nama Sekolah:

5. Kelas:

6. Apakah Kamu penyandang disabilitas?

B. Domisili

1. Provinsi :

2. Kab/ Kota :

3. Kecamatan :

4. Kelurahan. :

III. Kuesioner terkait kesiapsiagaan bencana

1. Jenis ancaman bencana apa yang mungkin terjadi di sekolah kamu? (Bisa memilih

sebanyak mungkin)

☐ Gempa Bumi ☐ Tsunami ☐ Tanah Longsor

☐ Gunung Meletus ☐ Banjir ☐ Angin Puting Beliung

☐ Kekeringan ☐ Kebakaran Hutan ☐ Kebakaran Bangunan

☐ Gemlombang pasang/rob ☐ Wabah penyakit ☐ Kerusuhan dan Kekerasan

Lainnya. Bila memilih lainnya, silahkan ditulis dibawah ini:

2. Apakah kamu pernah mengalami kejadian bencana?

☐ ☐

Pernah Tidak Pernah

3. Apakah kamu mengetahui cara agar aman dari bahaya bencana?

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Tidak

mengetahui

sama sekali

Tidak

mengetahui

Kurang tahu Cukup tahu Sangat

mengetahui

4. Bagaimana tingkat kesiapan sekolah mu dalam menghadapi bahaya bencana?

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Tidak siap sama

sekali

Tidak siap Kurang siap Cukup siap Sangat siap

Page 85: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 84 dari 100

5. Apabila terjadi salah satu kejadian bencana (misalnya gempa bumi, tsunami, banjir,

tanah longsor atau angin ribut) saat kamu di sekolah, apakah kamu akan tetap selamat

saat berada di kelas?

☐ ☐

Ya Tidak

Jika memilih ya, mengapa? Jika memilih tidak, mengapa? Jelaskan!

6. Apakah kamu pernah berusaha mencari informasi/pengetahuan tentang kesiapsiagaan

bencana?

☐ ☐

Ya Tidak

7. Media apa yang paling nyaman atau yang kamu suka untuk mencari informasi

mengenai topik kebencanaan? (Pilih Maksimal 3)

☐ Media cetak (misalnya majalah, Koran cetak, dll)

☐ Televisi

☐ Radio

☐ Media sosial (Instagram, facebook, twitter, tumblr)

☐ Aplikasi pesan singkat (Whatsapp, Telegram, Line,

WeChat)

☐ Website (Google, Detik.com, Kompas.com, dll)

☐ Guru

☐ Orangtua

☐ Melalui Aplikasi Online

☐ Melalui permainan (baik online/daring atau offline

/luring)

☐ Teman

☐ Lainnya :………………………

8. Pengetahuan apa saja yang kamu ingin ketahui dari sumber-sumber diatas? (Pilih

Maksimal 3)

☐ Proses terjadinya bencana

☐ Dampak terjadinya bencana

☐ Cara penyelamatan diri saat terjadi bencana

☐ Cara mengurangi dampak bencana

☐ Cara bertahan hidup setelah terdampak bencana

☐ Lainnya, sebutkan

9. Kegiatan apa saja yang sudah kamu lakukan di sekolah yang membuat sekolah kamu

lebih aman dari bencana? (Bila tidak ada kegiatan, silahkan tulis “Tidak Ada”):

10. Apakah sekolah kamu sudah memiliki prosedur bila terjadi bencana (misalnya gempa

bumi, banjir, tsunami, dll)?

☐ ☐ ☐

Ya Tidak Saya Tidak Tahu

Page 86: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 85 dari 100

11. Apakah kamu harus ikut serta dalam membuat sekolah kamu lebih siap siaga

bencana?

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Tidak perlu

terlibat sama

sekali

Tidak perlu

terlibat

Perlu, tapi sedikit

saja

Perlu terlibat Sangat perlu

terlibat

VI.3.2. Pertanyaan Panduan untuk Diskusi Terpimpin

Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 1:

1. Dalam 12 tahun terakhir, apa saja best practice dari sekolah yang selamat dari

bencana merusak terkait pilar 1 SPAB

a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 1?

b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 1?

c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 1?

2. Sejauh mana praktik-praktik pemetaan risiko dan kerentanan sekolah dilakukan di

Indonesia dalam 12 tahun terakhir?

a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh

terhadap seluruh bangunan satuan pendidikan di Indonesia? jika pernah, kapan?

Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum kenapa hal ini belum

dilakukan?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait sekolah yang berada di

lokasi yang sangat rawan bencana (zona merah gempa | berada di atas jalur sesar,

zona merah tsunami, zona merah banjir bandang, zona merah gunung api, zona merah

longsor)

4. Apakah pada saat pemilihan lokasi sekolah (baru maupun rehabilitasi) dilakukan

penilaian atau kajian risiko bencana? Dan bagaimana mekanisme pengawasan

pelaksanaan pembangunan bangunan sekolah (yang aman bencana) serta sarana

prasarananya?

5. Bagaimana mekanisme perbaikan maupun pemeliharaan sekolah di daerah-daerah

rawan bencana?

a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan keamanan

fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?

6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 1 di

Indonesia?

a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 1 di Indonesia?

Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 2:

1. Bagaimana perkembangan terkait pengelolaan bencana berbasis sekolah diterapkan di

Indonesia dalam 12 tahun terakhir?

a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 2?

b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 2?

Page 87: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 86 dari 100

c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 2?

2. Sejauh mana sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan standar operasi dan prosedur

pengelolaan bencana dalam 12 tahun terakhir?

a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh

terhadap Sistem Penanggulangan Bencana di Sekolah di Indonesia? jika

pernah, kapan? Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum

kenapa hal ini belum dilakukan?

3. Apakah educational continuity plan dan contingency plan sudah menjadi bagian dari

kegiatan kesiapsiagaan bencana di sekolah? Bila ya, bagaimana perkembangan

implementasinya?

a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan

keamanan fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?

4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam membangun kesiapsiagaan bencana ditingkat

sekolah? Atau Apa saja kendala yang paling sering dan paling berat dihadapi selama

ini dalam menerapkan pilar 2 SPAB?

5. Sejauh mana sekolah-sekolah menerapkan kesiap-siagaan dan memastikan terjadinya

simulasi bencana yang rutin maupun pemetaan jalur evakuasi multi-ancaman di

sekitar sekolah?

6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 2 di

Indonesia?

a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 2 di Indonesia?

Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 3:

1. Bagaimana perkembangan pendidikan bencana dan/atau pendidikan kebencanaan di

Indonesia saat ini? Atau Apa saja capaian-capaian dalam kurun waktu 12 tahun

terakhir yang bisa ditunjukan kepada pemangku kepentingan di nasional dan di

global?

a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 3?

b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 3?

c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 3?

2. Apa saja capaian-capaian yang menggembirakan tetapi masih perlu dipikirkan

keberlanjutannya terkait pendidikan kebencanaan dan kurikulum pendidikan

kebencanaan?

a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh

terhadap Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah di Indonesia?

jika pernah, kapan? Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum

kenapa hal ini belum dilakukan?

3. Sejauh mana pendekatan pendidikan bencana yang berpusat pada anak

diimplementasi dan menjadi panduan?

a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan

keamanan fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?

4. Sejauh mana kurikulum pendidikan bencana diimplementasikan di sekolah-sekolah? -

Bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendorong kurikulum

pendidikan bencana di daerah dalam kurun waktu 12 tahun terakhir?

Page 88: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 87 dari 100

5. Apa saja agenda penguatan kapasitas guru dan sekolah yang dilakukan pemerintah

dan pemerintah daerah dalam kurun waktu 12 tahun terakhir?

6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 3 di

Indonesia?

a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 3 di Indonesia?

Page 89: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 88 dari 100

VI.4. Kerangka Acuan Kerja Evaluasi

1. Title of the assignment: Stocktaking Study on Comprehensive School Safety (CSS) Program

Implementation in Indonesia

2. Background and Justification

VI.5. Disasters and Risks for Children in terms of Education

Research has shown that 80% of disaster deaths happened in Asia and children are

disproportionally affected by disasters. In the last fifteen years, 100 million people in Southeast

Asia have been affected by different hazards and catastrophic events.92 This affects children and

Education sector in the region as 9 of 10 children spend half of their waking hours in school and

oftentimes school facilities are not constructed to be disaster resilient.93 Children and youth are

disproportionally affected by disasters94 but they are also a strong agent to build resilience95.

Indonesia has 126,681 primary schools and junior high schools that are categorized as medium

to high risks to natural disasters: earthquakes - 52,902 schools, floods - 54,080 schools, landslides

- 15,597 schools, tsunami - 2,417 schools, and volcaNo.eruptions - 1,685 schools96.

In the last 15 years, starting from tsunami in Aceh to earthquake, tsunami and liquefaction in

Central Sulawesi Province, there have been 46,648 schools affected by disasters. This data was

recorded from medium and large-scale disasters that delivered a significant impact on Indonesia’s

education sector97. Most recently more than 46,000 schools and up to 10 million children have

potentially been affected by haze.98

VI.6. Safe Schools Programme

The Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture (MoEC), National

Disaster Management Agency (BNPB), and Ministry of Religious Affairs (MoRA) in

collaboration with many non-government and United Nations (UN) agencies, has extensively

implemented the Comprehensive School Safety (CSS) programme since 2008. The Government

of Indonesia has committed to support the comprehensive school safety (CSS) or more familiar

with “Safe School” term through the establishment of the National Secretariat for Safe Schools,

92 ASEAN Common Framework on School Safety, pg.9, 2015 93 Source: Advancing School Safety in Asia, http://www.wcdrr.org/wcdrr-data/uploads/876/World%20Vision%202015%20-%20Advancing%20School%20Safety%20in%20Asia.pdf 94 Source: Advancing comprehensive school safety for Asia and the Pacific, November 2016 95 Presentation of Database Integration on Safe School, BNPB, 2019 96 Presentation of Ministry of Education and Culture, 2019 97 Disaster Resilience Education. “Establishing all Education Units to be Safe from Disasters in Indonesia”, Seknas SPAB, 2018 98 10 Juta Anak Indonesia Terpapar Polusi Udara, Unicef in Press, 2019

Page 90: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 89 dari 100

development of the national road map on safe schools 2015-2019, drafting of ministerial

regulations and the issuance of technical guidelines for CSS, capacity building activities at

national and sub national level (including E-learning on safe schools and offline games), as well

as the integration of data between the disaster management agency (BNPB) platforms on hazard

risk (‘InaRISK’) and the central school database (‘Dapodik’) under MoEC.

In Indonesia the MoEC is leading the safe schools’ implementation in the country. The nation-

wide safe schools programme has applied the three pillars of the Comprehensive Safe School

(CSS) framework, which include: 1) school facilities; 2). school disaster management; and 3)

disaster risk reduction in education. This has been contextualized in local policies including

BNPB regulation No. 4 / year 2012 on safe schools. In this regulation, safe school implementation

addresses two major components: firstly, structural component such as: safe location, safe

building structure, safe classroom design and set-up, supporting facilities/infrastructure, and

secondly, non-structural component including knowledge, attitude and practice, safe school/safe

madrasah policies, planning for disaster preparedness and resource mobilization.

Indonesia also has issued a ‘Safe School Road Map’ 2015-2019 with a strategic goal to protect

learners, teachers, education personnel from the risk of death and injury in school, to improve the

quality of education facilities and infrastructure for safes schools and to ensure education

continuity before, during and after disasters and to strengthen resilience of school community in

times of disaster. Indonesia has also set up disaster management mechanisms in the education

sector with the following phases: pre-disaster (prepared by each Directorate/Unit in MoEC),

emergency response (led by Directorate of Special Education) and post-disaster (prepared by each

Directorate/Unit). This requires cross-coordination with BNPB as well as international non-

governmental organizations and UN agencies. Despite the progress, the school safety promotion

in Indonesia also faces some challenges that can be turned into opportunities:

1. There are more than 422,00099 schools in Indonesia, 30 percent of them are located in

disaster prone areas. Most of primary schools were built in the 80s where Disaster Risk

Reduction (DRR) aspects were not considered – thus, poor construction and maintenance.

2. Need to improve coordination with local governments. Policies are in place at national

level by BNPB and MoEC. However, coordination between the two main institutions

remains ad-hoc and must be strengthened, either at national or sub-national levels.

3. Safe schools have been piloted in 26,920 locations but replication and scale-up is the major

challenge. Due to government budget limitation and stronger partnership between MoEC

and related line Ministries and agencies (Women Empowerment and Child Protection,

99 Dapodikdasmen and Dapodik PAUD data, 2019

Page 91: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 90 dari 100

Environment and Forestry, and BNPB) is necessary to mainstream safe schools as a

component of a wider programme on child-centred climate change adaptation and disaster

risk reduction.

The Government of Indonesia is currently finalizing its medium-term strategic plan (RPJMN)

2020-2024 and education has been identified as one of the priorities under human development.

UNICEF Indonesia is also preparing the next country programme with the Government of

Indonesia and the situation analysis for children has been developed which highlights the

medium-high risk environments in Indonesia. In order to take stock of the safe school

implementation in Indonesia and to provide strategic recommendations for further consolidation

and expansion of the safe school programme, there is a need to conduct strategic review which

will examine whether the implementation is on track andthe strategy is still relevant, identify key

challenges and potential solutions, recommend how the programme could be scaled up and the

sustainability of capacity investments could be ensured. The formative evaluation on

comprehensive safe school will focus on 4 provinces namely in Aceh, DKI Jakarta, East Nusa

Tenggara and Central Sulawesi.

3. Purpose of the assignment:

To do study on CSS implementation with evidence. And will be assessed using the principles of

Development Assistance Committee’s criteria of relevance, effectiveness, efficiency,

sustainability and impact from the Organization for Economic Co-operation and Development.

These criteria are prioritized because they capture all relevant issues above. In addition, the

evaluation will incorporate gender equality and inclusive considerations as cross-cutting issues.

4. Scope of Work:

To generate substantive, evidence-based knowledge on safe school implementation in Indonesia

by identifying challenges, good practices, lessons learned and mapping key actors, policies and

guidelines of the CSS programme in Indonesia with specific objectives to:

1. review the challenges, ongoing CSS implementation and its achievement.

2. provide evidence on whether CSS strategies are effective and efficient in Indonesia, and

to define the most relevant priority area(s) to focus on.

provide strategic recommendation on how CSS programme could be sustained and scaled up in

Indonesia.

5. Methodology

The study could be using mixed methods (quantitative and qualitative methods). Qualitative data

will be collected by using desk review, case studies, focus group discussions, and semi-structured

interviews. Quantitative data will be collected by using questionnaires and existing databases. The

Page 92: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 91 dari 100

study will focus on several distinct samples including: government personnel (local, sub-national,

and national level), organizations (including NGOs) and UN agencies that have programmes on

CSS, youth groups (and children groups if possible), and teachers.

Actual sample selection will be finalized after ethical considerations consultation with the

selected institution. The evaluation process will be underpinned by ethical principles enshrined in

“UNICEF PROCEDURE FOR ETHICAL STANDARDS IN RESEARCH, EVALUATION,

DATA COLLECTION AND ANALYSIS”, April 2015100 and Ethical Clearance as required by

the Government of Indonesia.

The evaluation process will also ensure an equitable approach (all key stakeholders with proper

gender balance are consulted). The selected research institution is also expected to adhere to the

Norms and Standards for Evaluation in the UN system101 and to UNICEF’s evaluation Reporting

standards102.

6. Timing/duration of contract:

The process of the evaluation is from November 2019 to March 2020, with tentative schedule as

follows:

Tasks Timeframe/duration PIC

Develop an inception Report, in

consultations with UNICEF and

MoEC on the research design

and implementation plan.

November 2019 Consultant

Obtaining an ethical clearance

and the field test of

instrumentation.

Nov-Dec 2020 Consultant

Field work/Data collection January 2020 Consultant

Submit initial findings and

present it to MoEC and UNICEF

January 2020 Consultant

100 http://www.unicef.org/supply/files/ATTACHMENT_IV-UNICEF_Procedure_for_Ethical_Standards.PDF 101 http://www.unevaluation.org/document/detail/1914 102 https://www.unicef.org/evaluation/files/UNICEF_adapated_reporting_standards_updated_June_2017_FINAL.pdf

Page 93: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 92 dari 100

in English and summary in

bahasa for review purpose by

MoEC

Write the 1st draft of the Report

in English with summary in

Bahasa for review purpose by

MoEC

Feb 2020 Consultant

Review by MoEC and UNICEF Feb 2020 MoEC and UNICEF

Revise 2nd draft Feb 2020 Consultant

Final review by MoEC and

UNICEF

March 2020 MoEC and UNICEF

Final revision and submitting to

MoEC and UNICEF (in English

and Bahasa)

March 2020 Consultant

Produce academic

paper/publication for

international and or national

journal(s)

March-April 2020 Consultant

7. Deliverable and payment schedule

Task Deliverable Deadline Percentage

Payment

Inception Report in

English and Bahasa

Indonesia

Report Accepted 30 Nov

2019

1st Payment

Key finding Report in

English and Bahasa

Indonesia

Report Accepted

Page 94: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 93 dari 100

Full Report in English and

Bahasa Indonesia

Report Accepted 30 March

2020

2nd Payment

Academic paper Paper approved by Unicef

and submitted to the journal

institution

30 April

2020

3rd Payment

8. Sources of Document

There will be a number of source documents that could become secondary data: e.g. Sendai

Framework for Disaster Risk Reduction, Asian Ministry Conference on Disaster Risk Reduction

(AMCDRR) Declaration, Indonesia regulations etc. Below are examples of key documents related

to CSS (not an exhaustive list):

No Comprehensive School Safety (CSS)

1 Global Comprehensive School Safety Framework.

2 Comprehensive School Safety technical support package, for the worldwide initiative for

safe schools.

3 ASEAN Common Framework on School Safety (ACFCSS).

4 Indonesia Safe School Roadmap 2015-2019.

5 Indonesia Safe School technical guideline.

6 Indonesia Safe School modules.

7 Disaster Resilience Education: Establishing all Education Units to be Safe from Disasters

in Indonesia.

8 Indonesia Safe School lessons learnt from BNPB.

9 Case studies, papers and Reports from relevant sources.

10 Others relevant documents

Page 95: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 94 dari 100

9. Sampling Area

Data collection will be done at both national and sub-national levels. Suggested provinces for sub-

national data collection are shown below. The final sampling frame will be discussed and

determined with the selected institution.

No. Comprehensive School Safety (CSS)

1 Aceh

2 East Nusa Tenggara

3 DKI Jakarta

4 Central Sulawesi

10. Resource Persons

Main recourse persons and or institutions that need to be interviewed or involved in FGDs include,

but not limited to:

No. National Sub National

1 Ministry of Education and Culture (MoEC) Education Department

(Disdik)

2 National Disaster management agency (BNPB) Disaster Management agency

(BPBD)

3 Ministry of Religious Affairs (MoRA) Religious affairs department

4 Ministry Public Affairs and Housing (PUPR) Public affairs and housing

department

5 National Planning Agency (BAPPENAS) Planning Agency department

(Bappeda)

6 Ministry of Social Affairs (Taruna Siaga Bencana goes

to School program)

Education Quality Assurance

Agency (LPMP)

7 UNESCO Local NGOs/CSOs

Page 96: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 95 dari 100

8 UN-OCHA Head Masters

9 World Bank Teacher s

10 Save The Children Indonesia (YSTC) Students

11 Plan International Indonesia (YPII) Other relevant stakeholders

12 Wahana Visi Indonesia (WVI)

13 Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB)

14 Humanitarian Forum Indonesia (HFI)

15 Other relevant stakeholders

11. Qualifications Required:

The consulting institution must provide details of qualification and a work profile of the institution

and the research team members who should meet the following required minimum conditions:

Institution

1. The institution must hold a legal entity;

2. The selected institution shall demonstrate proven experience in the use of

participatory, qualitative and quantitative evaluation/analytic methodologies,

especially related to emergencies and disaster risk reduction particularly in

education sector. Experience related to review, evaluation in CSS and or DRR in

general is preferred, as is experience in Indonesia;

3. The institution is expected to propose the team structure and constituent

members with expertise in CSS, DRR, education policy study and research

analyst, as appropriate. It will be recommended that the institution work closely

with ministries and agencies in Indonesia to ensure mutual understanding and

appropriation.

Core team members

Page 97: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 96 dari 100

1. Education research analyst: master’s degree in relevant discipline with a

minimum of 6 years’ relevant experience on study or assessment in education

sector. Must be fluent in written and spoken English.

2. Disaster Risk Reduction (DRR) expert: master’s degree in relevant discipline

with a minimum of 6 years’ relevant experience in DRR programs particularly in

education sector, preferably in Indonesia. Must be fluent in written and spoken

English.

3. Public policy and governance expert: master’s degree with minimum 6 years’

experience in public policies and governance in education sector, preferably in

Indonesia. Must be fluent in written and spoken both Bahasa Indonesia and

English.

12. Evaluation Criteria:

CATEGORY MAX

POINT

MIN

PASSING

POINT

1. ORGANIZATIONAL CAPACITY

1.1 Detail of relevant experience and list of clients in the

last six years, including contact details (name, email

address, and phone numbers that can be used as

reference)

1.2 Financial Statement and Balance Sheet (audited

preferably) for the last 3 years.

15 N/A

2. QUALITY OF THE TECHNICAL PROPOSAL

2.1 Proposed methodology and approach with reference to

objectives in TOR

2.2 Implementation timeline: identify key tasks and timeline,

focal person for each activity/deliverable should be

identified.

40 N/A

Page 98: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 97 dari 100

2.3 Anticipated project risks and mitigation measures as well as

quality assurance

3. KEY PERSONNEL

3.1 Names and full CVs of the institution personnel that will be

directly involved in the consultancy, including (but not limited

to) the designated Team Leader/ Project Manager. The list

should include at least one senior staff with good experience

on work related with district/province on CSS and or DRR in

general activities proven by activity Reports or progress

Report.

3.2 Adequate and appropriate staff combination in relation to the

respective tasks and deliverables (see TOR); and relevant prior

experiences of similar scope and complexity.

15 N/A

TOTAL TECHNICAL PROPOSAL

*The bidder has to meet this minimum passing point for the

Technical Evaluation in order to be considered further for the

Financial Evaluation

70 49

PRICE/FINANCIAL PROPOSAL

Financial proposals should be all-inclusive, including costs for

fees, travel, sub-contracts and other necessary expenses.

30 30

TOTAL MARKS 100

Note:

1. The technical evaluation criteria above can be changed to appropriately reflect

requirement.

2. The total weight/score of technical components should be in a range of 50 % - 80%, and

the total weight/score of financial criteria in a range of 20% - 50%.

3. Sum of technical and commercial must always equal 100 %

13. Estimated Budget:

Page 99: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 98 dari 100

- USD 65.000 or IDR 921,245,000

14. Supervision:

- The process will be led by EECAD Cluster

15. Supply Plan as per attached, signed by Ministry of Education and Culture, 24 September

2019

Page 100: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 99 dari 100

VI.7. Referensi

Alinea.id. "Bi: Kerugian Akibat Banjir Jakarta Awal 2020 Capai Rp1 Triliun." (2020).

Amri, Avianto. "Building Disaster Resilient Households through a School-Based Education

Intervention with Children and Their Families: Phd Thesis." (2020).

Amri, Avianto, Deanne K. Bird, Kevin R. Ronan, Katherine Haynes, and Briony Towers.

"Disaster Risk Reduction Education in Indonesia: Challenges and Recommendations

for Scaling Up." Natural Hazards and Earth System Sciences (2017).

Back, Emma, Catherine Cameron, and Thomas Tanner. Children and Disaster Risk Reduction:

Taking Stock and Moving Forward. Children in a Changing Climate Research. Edited

by Dee Scholley and Fran Seballos. Brighton, UK: UNICEF, 2009.

Bank/GFDRR, World. "Advancing Disaster Risk Financing and Insurance in Asean Member

States: Framework and Options for Implementation." 2018.

Beritatagar.id. "Fakta Musibah Kebakaran Di Dki Jakarta." (2017).

https://beritagar.id/artikel/infografik/musibah-kebakaran-di-dki-jakarta-dalam-angka.

BNPB. "Data Dan Informasi Bencana Indonesia (Dibi)." (2019). http://dibi.bnpb.go.id/.

BPBD Prov. NTT. "Rencana Strategis 2019 – 2023." Kupang, Indonesia, 2019.

BPS Prov. DKI Jakarta. "Rekapitulasi Data Banjir Dki Jakarta Dan Penanggulangannya Tahun

2020." Jakarta, Indonesia, 2020.

Burnham, Joy J., Lisa M. Hooper, Emily E. Edwards, Jacalyn M. Tippey, Amanda C.

McRaney, Matthew A. Morrison, Jennifer A. Underwood, and Emily K. Woodroof.

"Examining Children's Fears in the Aftermath of Hurricane Katrina." Journal of

Psychological Trauma 7, no. 4 (2008/12/04 2008): 253-75.

CNN Indonesia. "Bencana Puting Beliung Paling Sering Terjadi Di Ri Pada 2019." (2019).

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191227180652-199-460519/bencana-

puting-beliung-paling-sering-terjadi-di-ri-pada-2019.

———. "Gempa Di Indonesia Meningkat Dalam 5 Tahun Terakhir." (2019).

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191201065329-199-453026/gempa-di-

indonesia-meningkat-dalam-5-tahun-terakhir.

Desfandi, M. "Kearifan Lokal Smong Dalam Konteks Pendidikan : Revitalisasi Nilai Sosial-

Budaya Simeulue." (2019).

GADRRRES, and UNISDR. Comprehensive School Safety Framework. GADDRESS &

UNISDR, 2017.

Grant, Maria J., and Andrew Booth. "A Typology of Reviews: An Analysis of 14 Review Types

and Associated Methodologies." Health Information & Libraries Journal 26, no. 2

(2009): 91-108.

Habibullah. "Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung Siaga

Bencana Dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.". Socio Informa 18, no. 2 (2013):

133-50.

Haynes, Katharine, and Thomas M. Tanner. "Empowering Young People and Strengthening

Resilience: Youth-Centred Participatory Video as a Tool for Climate Change

Adaptation and Disaster Risk Reduction." Children's Geographies 13, no. 3

(2015/05/04 2015): 357-71.

Indrayani, Damsar and. "Local Wisdom Based Disaster Education in Minangkabau Society ".

Kemendikbud. "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman

Bencana Di Indonesia." Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

2019.

———. "Peraturan Menteri No. 33 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Program Satuan

Pendidikan Aman Bencana." (2019).

———. "Peta Jalan Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana." (2020).

———. "Peta Jalan Sekolah Madrasah Aman Bencana 2015 - 2019." (2015).

Page 101: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id

Halaman 100 dari 100

Kitzinger, Jenny. "Qualitative Research: Introducing Focus Groups." BMJ 311, no. 7000

(1995-07-29 00:00:00 1995): 299-302.

Kompas. "Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona Di Indonesia." (2020).

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-

pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all.

Liputan 6. "Dukung Sekolah Libur Akibat Covid-19, Mendikbud Luncurkan Portal Rumah

Belajar." (2020). https://www.liputan6.com/news/read/4202236/dukung-sekolah-libur-

akibat-covid-19-mendikbud-luncurkan-portal-rumah-belajar.

Mitchell, Tom, Thomas Tanner, and Katharine Haynes. "Children as Agents of Change for

Disaster Risk Reduction: Lessons from El Salvador and the Philippines." In Working

Paper no. 1: Children in a Changing Climate Research, 2009.

Nandi, N., and T. Havwina. "The Preparedness Level of School Community in Handling the

Earthquake and Tsunami Threats in Banda Aceh City." IOP Conference Series: Earth

and Environmental Science 145 (2018/04 2018): 012097.

Ollendick, T. H., J. L. Matson, and W. J. Helsel. "Fears in Children and Adolescents:

Normative Data." Behav Res Ther 23, no. 4 (// 1985): 465-7.

Ollendick, Thomas H. "Reliability and Validity of the Revised Fear Survey Schedule for

Children (Fssc-R)." Behaviour Research and Therapy 21, no. 6 (1983/01/01 1983):

685-92.

Paci-Green, Rebekah, Adriana Varchetta, Kate McFarlane, Padmini Iyer, and Marcel

Goyeneche. "Comprehensive School Safety Policy: A Global Baseline Survey."

International Journal of Disaster Risk Reduction 44 (2020/04/01/ 2020): 101399.

Parker, Andrew, and Jonathan Tritter. "Focus Group Method and Methodology: Current

Practice and Recent Debate." International Journal of Research & Method in Education

29, no. 1 (2006/04/01 2006): 23-37.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. "Pergub No. 10 Tahun 2019 Tentang Rencana

Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pascabencana." Palu, Indonesia, 2019.

Peters, Micah D.J., Christina M. Godfrey, Hanan Khalil, Patricia McInerney, Deborah Parker,

and Cassia Baldini Soares. "Guidance for Conducting Systematic Scoping Reviews."

International Journal of Evidence-Based Healthcare 13, no. 3 (2015): 141-46.

Reed, S. , and D. Blariaux. "Evaluation of Unicef’s Disaster Risk Reduction Programming in

Education (2103-2018) in East Asia and the Pacific." (2020.).

https://www.unicef.org/evaldatabase/files/EAPRO_DRR_Evaluation_Final_Report_J

an_28th.pdf

UNESCO, LIPI, and Yayasan Puter. "Cerita Dari Maumere: Membangun Sekolah Siaga

Bencana." (2009).

UNICEF. "Humanitarian Situation Report #4, 12-25 November 2018." Jakarta, Indonesia,

2018.

UNISDR, and Plan International. Children's Action for Disaster Risk Reduction: Views from

Children in Asia. Bangkok, Thailand: UNISDR and Plan International, 2012.

Page 102: EVALUASI NASIONAL - spab.kemdikbud.go.id