71
i HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA 1. Judul Penelitian : Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat Madura dalam Syair Lagu Daerahnya 2. Bidang ilmu penelitian : Sastra 3. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Misnadin, S.S. b. Jenis Kelamin : L c. NIP : 132304312 d. Pangkat/Golongan : Penata Muda / IIIa e. Jabatan : - f. Fakultas/Jurusan : Hukum / Sosiologi 4. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang 5. Lokasi Penelitian : Syair dan Lagu Madura 6. Bila Penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan a. Nama Instansi : - b. Alamat : - 7. Waktu penelitian : 8 bulan 8. Biaya : Rp.10.000.000,00 Bangkalan, 22 November 2007 Mengetahui, Ketua Peneliti Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo (H.Moh.Amir Hamzah,SH,MH .) (Misnadin,S.S ) NIP. 131 761 435 NIP. 13230431 Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Universitas Trunojoyo (Dr.M.Nizarul Alim,SE.,Msi,Ak .) NIP. 132 304 991

Ekspresi Jiwa Dan Simbolitas Hidup Masyarakat Dalam Syair Lagu Daerahnya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ini adalah laporan penelitian dosen muda.

Citation preview

i

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL

PENELITIAN DOSEN MUDA

1. Judul Penelitian : Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat

Madura dalam Syair Lagu Daerahnya

2. Bidang ilmu penelitian : Sastra

3. Ketua Peneliti :

a. Nama Lengkap : Misnadin, S.S.

b. Jenis Kelamin : L

c. NIP : 132304312

d. Pangkat/Golongan : Penata Muda / IIIa

e. Jabatan : -

f. Fakultas/Jurusan : Hukum / Sosiologi

4. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang

5. Lokasi Penelitian : Syair dan Lagu Madura

6. Bila Penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan

a. Nama Instansi : -

b. Alamat : -

7. Waktu penelitian : 8 bulan

8. Biaya : Rp.10.000.000,00

Bangkalan, 22 November 2007

Mengetahui, Ketua Peneliti

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Trunojoyo

(H.Moh.Amir Hamzah,SH,MH.) (Misnadin,S.S)

NIP. 131 761 435 NIP. 13230431

Menyetujui

Ketua Lembaga Penelitian

Universitas Trunojoyo

(Dr.M.Nizarul Alim,SE.,Msi,Ak.)

NIP. 132 304 991

ii

RINGKASAN

Lagu dan syair Madura merupakan salah satu wujud dari kebudayaan

masyarakat Madura yang sampai kini masih digemari oleh masyarakat. Faktor

keterbatasan pemahaman tentang lagu dan syair Madura inilah yang

menjadikannya kering makna. Kekeringan makna pada lagu dan syair Madura

menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian simbolitas dan ekspresi pengarang

dalam lagu dan syair Madura menjadi penting karena berguna untuk menggali

makna baik tersurat maupun tersirat.

Hasil penelitian ini tentang keterkaitan antara ekspresi jiwa dan simbolitas

hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya. Metode penelitian ini

menggunakan kualitatif deskriptif dengan objek 25 lagu dan syair Madura yang

ditulis oleh pengarang asli Madura dan telah dibukukan. Data penelitian

menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam lagu dan syair asli Madura

dikelompokkan menjadi empat tema yakni: (1) dongeng rakyat dan

kepahlawanan, (2) karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) kondisi

alam dan aktivitas orang Madura sehari-hari, dan (4) percintaan muda-mudi.

Empat tema yang tergali merupakan ekspresi pengarang yang erat dengan

simbolitas hidup dan timbul dari pengamatan terhadap kondisi sosial budaya

masyarakat Madura. Makna dalam tema lagu dan syair Madura sekaligus juga

cermin refleksi kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara

hidup masyarakat Madura dengan berbagai aktivitasnya.

iii

SUMMARY

Madurese songs become a manifestation of Madurese culture that have

been enjoyed so far by Madurese people. The limited understanding factor on

Madurese songs have made them meaningless. The meaninglessness of the songs

is interesting to investigate further. Research into the writers’ symbolity and

expression in Madurese songs is important to do because it is useful to explore

both explicit and implicit meanings of songs.

The research tried to discover the relationship between the soul expression

and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The

research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs

written by great Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that

the meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales

and patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition

of nature and Madurese people’s daily activities, and (4) stories about young

people love relationships.

The four explored themes were the writers’ expressions closely related to

their life symbolity and emerged from their observations and experiences of social

and cultural conditions of Madurese people. The meanings contained in the songs

also reflected the culture, basic character, behavior, work ethic and way of life of

Madurese people with all of their activities.

iv

PRAKATA

Dengan mengucap syukur kehadirat Allat SWT yang telah melimpahkan

rahmat-Nya kepada peneliti sehingga penyusunan laporan hasil penelitian dengan

judul: Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat Madura dalam Syair

Lagu Daerahnya telah terselesaikan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ekspresi pengarang syair yang

asli Madura mengungkap makna-makna sosial budaya dalam kehidupan

masyarakat Madura yang terdapat pada simbolitas kata-kata yang ada dalam syair

lagu daerah Madura. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum

syair merupakan sarana kreativitas seni budaya yang indah guna mengungkap

kecintaan terhadap tanah kelahiran. Secara khusus, syair lagu daerah adalah

mediator pengarang Madura untuk menyampaikan pesan tentang makna hidup

masyarakat Madura.

Tersusunnya laporan hasil penelitian ini telah melibatkan bantuan dan

kerjasama berbagai pihak, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Pimpinan dan staf DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui

Dana DIPA DIKTI 2007,

2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo

yang membantu proses pelaksanaan penelitian ini sampai selesai,

3. Anggota peneliti yang telah membantu proses penelitian,

4. Para pengarang syair lagu daerah Madura yang telah memberikan

masukan dalam mengungkap makna syair lagu yang dikarangnya.

Terakhir harapan peneliti, semoga laporan hasil penelitian ini menjadi

bacaan pilihan pembaca yang berminat mendalami sastra daerah Madura. Selain

itu juga menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah untuk melestarikan sastra

daerah. Tak ada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membina akan

diterima dengan senang hati guna penyempurnaan laporan penelitian ini.

Bangkalan, November 2007

Tim Peneliti

v

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................i

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN

RINGKASAN.................................................................................................... ii

SUMMARY...................................................................................................... iii

PRAKATA ....................................................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................................... v

BAB I ............................................................................................................. 1

BAB II ............................................................................................................ 6

BAB III ............................................................................................................ 9

BAB IV .......................................................................................................... 10

BAB V ............................................................................................................. 11

BAB VI ....................................................................................................... .... 42

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44

B. DRAF ARTIKEL ILMIAH ............................................................................ 45

C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN ......................................................... 59

LAMPIRAN......................................................................................................... 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini

adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh

karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan

pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan

dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah

membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia

sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media

untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara

ditampilkan dalam berbagai kesempatan.

Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan

berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat

dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan

kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang

dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian

Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni

tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual.

Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling

menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu

bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara

yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang

telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini

menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang

digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi

berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat

mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya

Madura serta kehidupan masyarakatnya.

2

Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan

karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa

sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan

setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan

secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah

sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain.

Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah

Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan

dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas,

dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan

dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.

Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup

masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap

dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya

anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu

daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan

simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari

pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap

perkembangan syair lagu daerah.

Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah

ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah

orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan

syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk

dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah

memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair

dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku

kumpulan lagu daerah Madura.

Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan

adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu

Madura, yakni: R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd.

Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Su”udin Achmad, Adhira

3

dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian

Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku

kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat

dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak

lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura.

Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun

dari tiga versi yakni: 1) Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya ditulis

dengan notasi seperti aslinya, 2) Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu

pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri

didalamnya, 3) Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para

komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis

Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura,

seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara

dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah

nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang

mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi.

Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam

dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada

Masyarakat Madura.

Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu

diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:“Tondu’ Majang”, “Ole

Olang”, “Pa’-Opa’ iling”, “Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Lir-Saalir”,

“Es Lilin Cabbi”, “Ronjhangan”, “Kembhangnga Naghara”, “Pahlawan

Trunojoyo”, “Entara Akarang”, “Les-Balesan”, “Pa’ kopa Eling”, “E Tera’

Bulan”, “Taresna”, “Malem Kerrabhan”, “Caca Aghuna”, “Coma Dhika”,

“Palabbhuwan Kamal”, “Pajjhar Laggu,” “Pacakang Alako”, “Pajjhar”, “Ghu-

Toghu Saba”, “Ngambat Lajhangan”.

Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan

dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu

masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan

media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah

4

khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan

memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya.

Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami

maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak

tersampaikan pada generasi muda.

Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair

lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair

Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa

pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan

harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa

(simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat

Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang

lain berdasarkan pengalaman kehidupan.

Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan

masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra.

Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang

mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang

sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek

nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam

kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan

warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya

merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian

menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya.

Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah

Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura.

Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah

asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga

Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini

memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori

simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol

5

yang dipakai dalam syair lagu daerah. Berdasarkan pendahuluan di atas, maka

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah Madura

dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam syair lagu

daerah asli Madura?

2. Bagaimanakah makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam

simbolitas syair lagu daerah asli Madura?

3. Adakah keterkaitan ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup

masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya?

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah

tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal

dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang

berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana

penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan

peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair

lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing

(2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988).

Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini

diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan

pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan

oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau

dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama

nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat.

Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan

atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala

pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang

diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan

pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai

pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan

untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas

hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.

Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra

maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial

(Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi

adalah ilmu yang mempelajari: 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara

aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara

7

gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari

semua jenis gejala sosial.

Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau

hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan

pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk

menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan

selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang

timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990).

Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah

mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt.

Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah

1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang,

dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang

mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya;

3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra

dengan pembacanya.

Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono :

1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan

posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat

pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh

mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang

mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwa-

peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco: 1978). Semiotik

merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna

yang didasarkan pada sistem tanda (Segers: 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara

kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan

teori simbol.

Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan

dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah

lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada

8

gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan

makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986)

mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian: 1) simbol-simbol universal, yakni

yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang

dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual,

biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

9

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Khusus

1. Mengetahui makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu

daerah Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam

syair lagu daerah asli Madura.

2. Mengetahui makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam

simbolitas syair lagu daerah asli Madura.

3. Mengetahui makna yang terkait antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna

simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.

3.2. Tujuan Umum

1. Mengetahui makna sosial budaya masyarakat Madura dalam syair lagu

Madura.

2. Mendalami dunia kepengarangan syair lagu daerah Madura.

3. Mendalami simbolitas kehidupan pengarang dan masyarakat Madura.

3.3. Manfaat Penelitian

1. Memberi gambaran makna kehidupan sosial budaya masyarakat Madura

melalui ekspresi dan simbolitas pengarang dalam syair lagu Madura.

2. Mengembangkan dan menambah wawasan penelitian tentang sastra Madura

pada umumnya dan syair lagu pada khususnya.

3. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan tentang sastra daerah guna

menentukan cara mengelola, mengembangkan dan melestarikan sastra daerah

pada umumnya dan sastra Madura pada khususnya.

10

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini

digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu

yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu

daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra.

Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya,

memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang

sesuai dengan objek penelitiannya.

Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara :

1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk

digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah

Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura

tahun 2003.

2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang

dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25

syair lagu).

3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang

diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi

sastra, teori semiotik dan teori simbol.

4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir.

11

BAB V

HASIL PEMBAHASAN

Lagu merupakan ekspresi kemanusiaan yang bersifat universal.

Universalitas lagu dapat menembus perbedaan ruang, waktu, sosial dan budaya.

Universalitas tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Banyak orang yang begitu senang menyanyikan lagu-lagu meskipun mereka

sendiri kurang atau bahkan tidak memahami makna yang terkandung di dalam

lagu-lagu tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal ini, hampir semua budaya dan masyarakat di

Indonesia memiliki corak dan kekhasan yang tercermin dalam lagu-lagu

daerahnya. Kekhasan tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai

dunia, perbedaan lingkungan geografis, dan perbedaan-perbedaan sosial dan

kultur setempat. Sebagai contoh, masyarakat budaya yang hidupnya bercocok

tanam akan memiliki corak lagu yang berbeda dengan masyarakat budaya yang

hidup sebagai nelayan.

Masyarakat Madura merupakan masyarakat budaya yang memiliki corak

kekhasan tersendiri. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang ulet

dan gigih berusaha. Sebagian masyarakat Madura hidup dengan bercocok tanam

dan sebagian lainnya hidup sebagai nelayan. Kemampuan bercocok tanam dan

bekerja sebagai nelayan tersebut banyak digambarkan dalam lagu-lagu daerahnya.

Berikut ini akan dibicarakan beberapa lagu yang merupakan cerminan kehidupan

sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut kemudian akan dianalisis

untuk memahami makna dan keterkaitannya dengan simbolitas kehidupan sosial

dan budayanya.

5.1. Makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah

Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya

(1) Tondu’ Majang

Ngapote r’wa’ lajarra etangale

Semajang tantona la padha mole

12

Mon tangghu dari ambet dha jhalanna

Mase bannya’a ongghu ollena.

O... mon ajhelling odi’na oreng majangan

Abhantal omba’ sapo’ angen salanjhangah

Reng majang bannya’ ongghu bhabhajana

Kabhilang alako bhan dha nyabana.

Lagu “Tondu’ Majang” (Giat Bekerja sebagai Nelayan) di atas

menceritakan kehidupan para nelayan. Kehidupan mereka digambarkan sangat

keras karena mereka harus mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghidupi

keluarga yang ditinggalkan dan menunggu di rumah sambil berharap suami dan

anak-anak lelakinya membawa hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang cukup

banyak untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya dijual di pasar. Kerasnya hidup

sebagai nelayan tersebut diibaratkan dengan ungkapan berbantal ombak dan

berselimutkan angin (Abhantal omba’ sapo’ angen).

Berbantal ombak bermakna bahwa mereka harus berada di laut di malam

hari dan melupakan tidur malamnya demi mencari nafkah bagi keluarganya.

Sedangkan berselimutkan angin mengandung pengertian bahwa mereka harus rela

kedinginan dihembus angin malam yang terasa sampai ke relung-relung tulang

mereka. Tidak jarang mereka harus merasakan dinginnya air hujan dan panasnya

sengatan matahari di tengah-tengah hempasan gelombang laut yang dahsyat.

Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggambarkan semangat

masyarakat nelayan Madura yang tidak pernah mengenal lelah dan rasa takut

dalam bekerja untuk menghidupi keluarganya. Mereka menjalankan tugasnya

sebagai nelayan dengan semangat tinggi dengan kadang-kadang tidak

memperdulikan bahaya dan risiko kehilangan nyawa yang sewaktu-waktu bisa

menimpa mereka selama perjalanan menunju ke laut ataupun ke darat. Bagi

mereka, pekerjaan merupakan ibadah yang wajib dijalankan dan mati ketika

melakukan ibadah adalah mati syahid. Keyakinan inilah yang memperkuat

semangat dan kegigihan mereka bekerja tanpa mengenal lelah dan rasa takut.

(2) Ole Olang

Ole olang olang, paraona alajara, alajar ka Temor Daja,

Ole olang praona alajara,

13

Ole olang, A lajara ka Madhura,

Ole olang, Tojjhuwanna ka Mor Daja,

Ole Olang, alajar dari Sorbhaja

Lagu “Ole Olang” di atas menggambarkan sesuatu yang berbeda dari

lagu “Tondu’ Majhang”. Lagu ini tidak bercerita tentang kerasnya hidup sebagai

nelayan melainkan hanya menceritakan perjalanan pulang orang Madura dari

pulau lain menuju ke Pulau Madura, dalam hal ini berlayar dari Kota Surabaya.

Seperti kita ketahui, karena kondisi alam Madura yang kurang

menjanjikan terutama untuk kegiatan pertanian, banyak orang Madura merantau

ke pulau-pulau lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Banyak dari mereka mendapatkan keberhasilan di tempat perantauan tersebut.

Sebagai perantau, mereka tidak pernah melupakan daerah asalnya dengan

mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya di Madura.

Lagu ini merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha

menggambarkan perasaan orang Madura ketika mereka berlayar pulang menuju

kampung halamannya dengan membawa hasil kerja keras mereka selama di

perantauan. Ungkapan ole olang memperkuat rasa kegembiraan mereka selama

perjalanan pulang ke Madura. Selama perjalanan pulan, pikiran mereka dipenuhi

dengan keinginan bertemu orang-orang yang dicintainya setelah begitu lama

ditinggalkan merantau ke pulau-pulau lain maupun ke negeri seberang demi

kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dan sanak saudaranya di kampung.

(3) Pa’-Opa’ Iling

Pa’ o pa’ iling, Dang dang asoko randhi,

Reng towana tar ngaleleng,

Ajhara ngajhi babana cabbhi,

Le olena gheddhang bighi.

Lagu “Pa’- Opa’ Iling” biasanya dinyanyikan orang tua ketika mereka

menimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil. Lagu ini terutama

dinyanyikan ketika anak sedang belajar berdiri.

Meskipun lagu ini hanya terdiri dari empat baris, pengarang berusaha

mengungkapkan beberapa hal. Lagu ini mengandung ajaran yang sangat berguna.

14

Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, masyarakat

Madura selalu mewajibkan anak-anaknya untuk belajar mengaji yang merupakan

alat untuk memperdalam ilmu agama kelak ketika mereka sudah dewasa.

Lagu di atas juga mengungkapkan bahwa tugas orang tua adalah bekerja

keras untuk bisa membuat anak-anaknya pintar. Dalam hal ini, mengaji tidak

hanya berarti mengaji Al-Qur’an tetapi bisa diartikan pula sebagai kegiatan

mencari ilmu bagi bekal kehidupan di masa yang akan datang. Bagi masyarakat

Madura, anak-anak tidak boleh mewarisi kebodohannya. Orang tua mungkin

bodoh tetapi anak-anaknya tidak boleh mengalami pengalaman jelek yang telah

mereka hadapi. Oleh karena itu, mereka tidak bosan-bosan selalu mengingatkan

anak-anaknya untuk belajar dan menuntut ilmu agar mereka kelak tidak

mengalami kebodohan dan kesulitan hidup seperti orang tuanya. Masyarakat

Madura meyakini bahwa orang yang berilmu akan lebih mudah mengatasi

masalah yang sewaktu-waktu muncul dalam kehidupan ini.

(4) Soto Madhura

Kaula paneka, oreng Madhura

Katana Jhaba, toron Sorbhaja,

Ajhuwalan soto Madhura, ajhuwalan soto Madhura,

Soto Madhura, soto Madhura...

Lagu “Soto Madhura” menceritakan perjalanan orang Madura yang

merantau ke Pulau Jawa dan berjualan soto Madura di Surabaya. Pekerjaan

sebagai penjual soto berlangsung turun-temurun dan menjadi pekerjaan yang

cukup menjanjikan untuk menopang kehidupan mereka dan keluarganya yang

ditinggal di Madura.

Berjualan soto Madura telah menjadi kebanggaan bagi orang Madura

yang tinggal di perantauan karena dengan soto Maduranya mereka bisa

menunjukkan kepada masyarakat non-Madura bahwa Madura juga memiliki

makanan khas yang dapat dinikmati orang lain. Soto Madura hampir dapat

dijumpai di seluruh Indonesia.

15

(5) Kerrabhan Sape

Sabbhan taon e Madhura la tanto ramme.

Bannya’ reng manca pada dateng dari jhau

Parlo nengghuwa kerrabhan sape Madhura

E ................. Sape buru dhuli buru

E ................. Sape buru dhuli buru

Lagu “Kerrabhan Sape” ini menceritakan pegelaran kerapan sapi di

Madura yang biasanya diadakan setiap tahun di Kota Pamekasan. Budaya kerapan

sapi telah menjadi ikon Madura pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya.

Setiap tahun diadakan lomba kerapan sapi yang memperebutkan piala

Presiden Republik Indonesia. Hanya sapi-sapi terpilih saja yang dapat mengikuti

perlombaan tersebut. Biasanya setiap kabupaten di Madura hanya mengirimkan

empat pasang sapi pilihan yang akan diadu untuk memperebutkan piala tersebut.

Kerapan sapi tidak hanya diminati masyarakat Madura. Banyak orang

dari daerah lain di Indonesia bahkan dari manca negara datang berbondong-

bondong untuk menyaksikannya.

(6) Lir saalir

Lir saalir, alir alir, kung! Ngare’ benta ngeba sada,

Mon motta esambi keya, Lir saalir, alir alir, kung!

Tada’ kasta neng e ada’, Ghi’ kasta e budi keya,

Lir saalir, alir alir, kung!

Perreng pettong pote pote, Reng lalakon patengate....

“Lir Saalir” merupakan lagu yang biasanya dinyanyikan anak-anak

ketika mereka bermain di tengah terangnya rembulan. Lagu ini berbentuk pantun

nasihat yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan ini.

Melalui lagu ini pengarang berusaha memperingatkan kita untuk selalu

berhati-hati dalam mengambil tindakan, berhati-hati dalam bertingkah laku,

berbicara, dan bersikap. Lagu ini menyarankan kepada kita untuk berpikir dengan

jernih sebelum mengambil tindakan, membuat keputusan, ataupun tindakan-

tindakan penting lainnya. Kesalahan mengambil tindakan atau memutuskan

sesuatu akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari (Tada’ kasta neng e

16

ada’, Ghi’ kasta e budi keya). Jadi, kita dituntut hati-hati dalam bertindak dan

berperilaku agar tidak menyesal di kemudian hari.

(7) Es Lilin Cabbhi

Akaleleng kotta.......... kabara’ soka temor, ......

Nyajhaaghi es lilin lemma’ manes nyaman ta’ baddhay,

Nyare pangore reng tuwa ban sana’ e dhisa

paghunongan

Es lilin cabbhi ayo bhi Bhittas ngonyer a yo nyer

Nyerra otang a yo tang, Tanggal ennem a yo nem,

Nemmo padi ayo di, Di kapandi. ............

Bariya re panglepor ate sangsara.....

Lagu “Es Lilin Cabbhi” bercerita tentang seorang penjual es keliling

yang bekerja untuk menghidupi orang tua dan keluarganya yang tinggal jauh di

desa di daerah pegunungan. Penjual es ini adalah seorang pekerja keras dan tidak

mengenal lelah yang menjual esnya dengan mengelilingi kota.

Keuletan dan kegigihan penjual es yang digambarkan dalam lagu ini

merupakan ciri khas orang Madura yang tidak mengenal lelah dalam bekerja.

Mereka tidak malu menjalani pekerjaan apapun asalkan pekerjaan itu bisa

menyambung hidupnya dan hasil yang diperolehnya halal serta tidak bertentangan

dengan hukum agama maupun hukum negara.

(8) Ronjhangan

R’wa’ ronjhangan la etabbhu e tabbhu,

ronjhanganna la amonye,

monyena sajan lanyeng jan lanyeng,

Nyennengaghi ka kopeng s’pada ngeding.

Reng tane pada anga bhunga padina la e toto,

Ronjhanganna la amonye amonye,

Tik tak tik tuk tik tak tik senneng ongghu.

Lagu “Ronjhangan” (ronjhangan merupakan alat tradisional Madura

yang digunakan petani untuk menumbuk gabah kering untuk menghasilkan beras)

adalah bentuk ekspresi pengarang dalam menceritakan kegembiraan para petani

17

karena mereka baru saja melakukan panen padi di sawah. Pada jaman dahulu,

mesin selep belum dikenal sehingga mereka menggunakan ronjhangan untuk

menumbuk gabah. Ketika proses berlangsung, terdengar bunyi yang dihasilkan

alat tersebut. Meskipun terdengar ramai, mereka merasa sangat senang karena

sebentar lagi mereka akan memperoleh beras (Reng tane pada anga bhunga

padina la e toto). Menumbuk padi dengan menggunakan ronjhangan biasanya

dilakukan oleh ibu-ibu dan remaja putri secara bersama-sama.

Makanan khas orang Madura dahulu adalah jagung. Namun, seiring

dengan kemajuan teknologi pertanian padi juga ditanam petani terutama di

wilayah-wilayah Madura yang tanahnya tidak tadah hujan. Bagi sebagian besar

masyarakat Madura, terutama kelompok masyarakat yang hidup di desa dengan

keadaan ekonomi pas-pasan, musim panen padi menjadi musim yang sangat

ditunggu-tunggu karena biasanya pada musim panen tersebut mereka bisa

menikmati makan nasi putih tanpa dicampur dengan jagung.

(9) Kembhangnga Naghara

Onenga panjhenengan sadhaja para potre e Madhura,

Jha’ dhimen ghi’ bakto jhaman rajha,

Bada kembhangnga naghara

Pangeran Cakraningrat ‘peng empa’,

kasebbhut Sidingkap jhugha..

K’sastreya paneka ampon nyata socce abhilla naghara

K’sastreya se gaga’ bangal bhuru,

E jhi pojhi ta’ bu ambu.

Bhadi kaca kebbhang para ngoda

Pamondhi Madhura....

“Kembhangnga Naghara” merupakan lagu daerah Madura yang khusus

menceritakan kepahlawanan Pangeran Cakraningrat IV. Dia adalah seorang

ksatria dari Madura yang pantang menyerah dan rela berkorban untuk membela

bangsa dan negara.

Kepahlawanannya merupakan simbol sifat orang Madura yang gigih,

rela berkorban dan pantang menyerah untuk membela kebenaran dan keadilan

18

yang dapat dijadikan teladan oleh para pemuda penerus bangsa (Bhadi kaca

kebbhang para ngoda pamondhi Madhura).

Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggugah masyarakat Madura

untuk meneladani semangat juang para pahlawan. Meskipun mereka sudah wafat

ratusan tahun yang lalu, kita harus berusaha mengenang jasa-jasanya dan

mengikuti jejak-jejak kebaikan dan keteladanan yang telah ditorehkannya.

Semangat, keberanian, keikhlasan berjuang, dan kesukarelaan mereka patut kita

contoh untuk membangun bangsa dan negara kita kedepan.

(10) Pahlawan Trunojoyo

Kabit dhimen ampon kaalok pahlawan Madhura.

Ta rongghu abhilla kadhilan Nusantara.

Trunojoyo gaga’ tor bengal menangka pahlawan

Salerana bhabhar, e pabhabharan kotta Sampang

Tojjhuepon malejjhar panjhajhah dari Indonesia,

Terros maju tor nantang alorok mosona

Trunjoyo sedha amargha etepo bhangsana

Namung lampaepon e bhut sebbhut salanjhanga.

“Pahlawan Trunojoyo” merupakan contoh lain dari lagu yang

mengekspresikan penghormatan masyarakat Madura kepada para pahlawan

bangsa dan negara. Pahlawan dalam pandangan masyarakat Madura adalah orang

yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dikenang jasa-jasanya, dan diteladani

perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Lagu di atas bercerita tentang sosok pahlawan nasional yang berasal dari

Sampang Madura. Dia adalah Trunojoyo yang dengan tanpa pamrih dan semangat

berkobar-kobar tidak pernah gentar dalam membela bangsa dan negara untuk

mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Trunojoyo adalah pahlawan yang gagah

dan pemberani.

Lebih lanjut lagu tersebut mengungkapkan bahwa Trunojoyo wafat

bukan karena tipu muslihat penjajah melainkan karena akal bulus bangsanya

sendiri. Trunojoyo memang sudah lama wafat namun apa yang telah dilakukannya

19

akan selalu diingat dan dikenang orang selamanya. Dia adalah sosok pahlawan

bangsa yang patut diteladani.

Melalui lagu ini, pengarang berusaha mengingatkan kita bahwa

persatuan dan kesatuan menjadi hal yang sangat penting untuk membangun

bangsa dan negara. Diperlukan kekompakan dan kerjasama yang kokoh untuk

membangun suatu bangsa karena tanpanya sulit bagi kita mencapai kemenangan

dan kejayaan. Penghianatan adalah perbuatan jelek yang harus dihindari karena

tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain serta bangsa dan

negara secara keseluruhan.

(11) Entar Akarang

Entar akarang bula, nyareya kerrang bula,

Ka pengghir sereng, ta’ osa nyambi bella,

mong yambi kereng,

olle pas teng-teng,

Du, senneng areng bhareng ca kanca,

Nyare engon abhanto oreng tuwa,

Tanembhang enmaenan malolo,

Mowang bakto parcoma ta’ aghuna,

Maddha dhuliyan kanca

Aeng pon sorot, makko ombai caraca,

Kenneng pancale

Lagu “Entar Akarang” (Mencari Kerang) menceritakan aktivitas yang

biasa dilakukan orang dewasa dan anak-anak utamanya yang tinggal di daerah

pesisir pantai untuk mencari kerang dan sejenisnya. Aktivitas tersebut biasa

dilakukan ketika air laut dalam keadaan surut dan dilakukan secara berkelompok.

Mencari kerang bagi masyarakat pesisir menjadi aktivitas yang

menyenangkan dan juga menghasilkan. Sama halnya dengan nelayan yang

mencari ikan, mereka juga menjual hasil tangkapan kerangnya selain juga

dikonsumsi sendiri. Kegiatan ini bersifat santai dan dilakukan ketika mereka

sedang tidak melaut atau sebagai pengisi waktu luang sambil menunggu waktu

untuk berangkat ke laut mencari ikan.

20

Melalui lagu tersebut pengarang berusaha mengajak dan menganjurkan

kaum muda untuk tidak membuang-buang waktu dengan sia-sia atau hanya

digunakan untuk bermain belaka (Tanembhang enmaenan malolo, mowang bakto

parcoma ta’ aghuna). Dalam masyarakat Madura, anak-anak sejak dini memang

sudah diajari untuk bekerja membantu orang tua. Proses ini akan sangat

membantu mereka ketika sudah menginjak dewasa karena sejak dini anak-anak

sudah terbiasa bekerja keras. Selain itu, mencari karang juga mengasyikkan

karena dilakukan secara bersama-sama teman sebaya. Dalam hal ini, dapat

dikatakan bahwa kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan sesuatu tetapi juga

menyenangkan hati.

(12) Ghu-Toghu Saba

Salagghu neng esaba, ghu-toghu so ca-kanca, ajaga

asel tane, padina la ngakoneng, horra! Horra mano’

horre! Ghu-toghu esaba, maperak ate, amargha

molongnga asella tane......

“Ghu-Toghu Saba” (Menjaga Padi di Sawah) merupakan lagu yang

menceritakan kegiatan anak-anak dan orang dewasa yang sedang menjaga padi di

sawah agar padi tidak dimakan burung. Biasanya aktivitas menjaga padi di sawah

ini dilakukan mulai pagi sampai menjelang sore.

Untuk mengusir burung mereka menggunakan alat bunyi-bunyian seperti

kentongan dan sejenisnya dan kadang-kadang juga memasang orang-orangan di

tengah sawah. Orang-orangan yang biasanya terbuat dari jerami dan diberi baju

tersebut diikat dengan tali. Ketika ada burung yang hinggap dan memakan padi,

orang-orangan digerakkan dengan menarik tali yang diikatkan tersebut atau

membunyikan kentongan keras-keras sehingga membuat burung yang akan

hinggap di sawah terbang ketakutan.

Kegiatan ini juga dilakukan dengan senang karena sebentar lagi mereka

akan menikmati hasil panen padi (Ghu-toghu e saba maperak ate amargha

molongnga asela tane).

21

(13) Caca Aghuna

Ya’ tampar ya’ tampar, mulet nyono’ ka cengkol, mon

lapar yu’ nono tela sapekol, ka’ koorang, ka’ koorang,

ka’ koorang, mon coma neng sapekol, arapa ma’ pada

bongsombongan, acaca ta’ mambhu ongnaongan, lebbi

becce’ caca seaghuna, nyauwaghi ka jhuba’ panyana,

arapa arapa, bhujung bada eroma, acaca acaca

ngangghuya tatakrama, yu’ kanca kakabbhi, yu’ kanca

pada a alako se aghuna.

“Caca Aghuna” (Perkataan yang Berguna) berisi nasihat agar orang

selalu berhati-hati dalam berkata-kata karena perkataan tidak jauh berbeda dengan

perbuatan. Orang akan dihormati atau dihina karena perkataannya.

Lagu tersebut juga menyarankan agar kita selalu mengatakan sesuatu

yang berguna karena akan menjauhkan diri dari kejelekan (lebbi becce’ acaca

seaghuna, nyawuaghi ka jhuba’ panyana). Tidak hanya itu, ketika berbicara kita

harus menggunakan tatakrama (acaca ngangghuya tatakrama), yaitu kita harus

melihat siapa yang kita ajak bicara. Berbicara dengan sesama teman sebaya

tentunya akan berbeda dengan berbicara kepada orang tua atau orang yang patut

dihormati. Maka dari itu, anak-anak dalam masyarakat Madura sudah sejak dini

diperknalkan dengan tingkatan bahasa, yaitu bahasa enja’ iya, enggi enten, dan

enggi bunten. Orang yang tidak mampu menggunakan tingkatan bahasa tersebut

sesuai dengan situasi dan kondisi dianggap orang yang tidak mengerti tatakrama.

(14) Les-Balesan

Arapa ma’ nojjhune ta’ nyapa, la-pola senko’ andi’

sala, Enja’ sengko’ ta’ apa-rapa, Coma ta’ kenceng

acaca, Ma’ pas akolba’na budi arena, Sapa bara’ ro,

Namen tales pengghir paghar, Ta’ enga’ lamba’ ro,

Aba’ males sengka ajhar, Sapa bara’ ro, Mano’ keddhi’

ca’-lonca’an, Ta’ enga’ lamba’ ro, Mon ta’ andi’ ta’-

penta’an

“Les-Balesan” (Saling Membalas) adalah lagu yang berbentuk pantun

nasihat. Lagu tersebut mengandung ajaran dan nasihat yang patut diikuti

22

masyarakat Madura. Lagu di atas menyarankan kepada para anak muda untuk

tidak malas mencari ilmu karena akan membuat mereka menyesal kelak ketika

mereka sudah tua (Ta’ enga’ lamba’ ro, Aba’ males sengka ajhar). Di samping

itu, lagu tersebut juga mengandung nasihat umum agar masyarakat Madura

mengedepankan semangat kekeluargaan dalam berhubungan, saling membantu

dan bergotong royong dalam mengatasi persoalan hidup.

Dalam hal itu, kita disarankan untuk tidak melupakan pertolongan orang

lain. Kita tidak boleh hanya meminta pertolongan tetapi enggan memberikan

pertolongan sementara kita mampu melakukannya. Jadi, yang perlu ditekankan di

sini adalah prinsip mutualisme (Ta’ enga’ lamba’ ro, Mon ta’ andi’ ta’ penta’an).

(15) E Tera’ Bulan

Ampon dapa’ baktona tera’ bulan, Sadnajhana tore

akompol pas maelang sossa ate katon rota’ apangghi...

E tera’ bulan tarkataran sonarra, langgnge’ bherse,

bintang pote dhap-ngarreddhap ce’ pernana. Tan-

taretan jha pas kangse’ apesa eman ongghu pagghun

akompol pada tresna Madhura.

Lagu “E Tera’ Bulan” (Waktu Terang Bulan) merupakan lagu yang

sering dinyanyikan kaum muda maupun kaum tua Madura ketika bulan purnama

muncul. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang tinggal di daerah

pedesaan ketika listrik belum masuk desa. Kebahagian terlihat di raut wajah

mereka ketika bulan purnama yang memancarkan sinarnya yang terang benderang

tersebut muncul di tengah-tengah kehidupan mereka.

Pada saat bulan purnama orang-orang biasanya berkumpul dan

bercengkrama. Mereka keluar rumah dan duduk-duduk di tempat yang tidak

terhalang pepohonan. Tidak jarang momen tersebut digunakan untuk

mendiskusikan sesuatu yang mereka hadapi dalam hidup. Namun, pada intinya

kegiatan berkumpul ketika bulan purnama tiba digunakan untuk menghilangkan

segala kepenatan hidup dengan berusaha melupakan persoalan hidup walaupun

hanya sesaat (Ampon dapa’ baktona tera’ bulan, Sadnajhana tore akompol pas

23

maelang sossa ate katon rota’ apangghi...). Dengan kata lain, momen terang

bulan juga digunakan untuk saling bertemu karena setiap orang mempunyai

kesibukan dengan pekerjaannya masing-masing di siang hari.

(16) Taresna

Berra’ bula seapesa’a marghana dhika pon abit cekka’

e ate saestona coma dhika panglepor ate. Aka ekeba

mate. Nape seekakarep ongghu bula ta’ ngarte ta’

kobasa pole bule n’resnane dhika parandhineng ta’

kasta. Seddhi bula mekkere dhika robana dhika segghut

maombar edalem mempe dada bula t’ros taobbhar

dalem taresna.

Lagu “Taresna” (Cinta) mengisahkan seorang pemuda dan pemudi yang

sedang dilanda cinta. Karena sesuatu hal, kedua kekasih yang sudah lama

memadu kasih tersebut harus berpisah. Perpisahan tersebut sangat berat untuk

mereka hadapi (Berra’ bula seapesa’a marghana dhika pon abit cekka’ e ate

saestona coma dhika panglepor ate).

Sang kekasih tidak habis mengerti mengapa dia harus berpisah seperti

itu. Perpisahan itu telah membuatnya sangat sedih dan menyesal mengapa

percintaan mereka harus berakhir seperti itu. Karena sang kekasih selalu

memikirkannya, wajah kekasihnya selalu muncul dalam mimpinya dan hal itu

semakin membuat cintanya berkobar-kobar (Seddhi bula mekkere dhika robana

dhika segghut maombar edalem mempe dada bula t’ros taobbhar dalem taresna).

Melalui lagu ini pengarang berusaha mengungkapkan bahwa kadang-

kadang kecintaan kita yang berlebihan kepada seseorang dapat menyiksa batin

dan perasaan kita. Hal itu bisa terjadi ketika orang yang dicintai tidak memiliki

kesamaan pandangan dan keinginan. Ketika hal itu terjadi, yang muncul

berikutnya adalah perpisahan yang begitu menyakitkan karena cinta telah terbiasa

membuat orang merasakan kebahagiaan hidup ini. Oleh karena itu, ketika cinta

mulai tercerabut dari hati seseorang karena ketidakcocokan atau sebab-sebab

lainnya, yang terjadi adalah perasaan sedih yang sulit diatasi. Tidak jarang, hal

24

tersebut menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan dan kadang-kadang tragis

seperti kegilaan dan perbuatan bunuh diri.

(17) Coma Dhika

Coma dhika sebada e ate. Bula taresna esto ka dhika

tada’ selaen bulacoma ngarep dhika tada’ selaen coma

dhika sengapencote. Du, bula ta’ kera loppa margha

pesemma. Du, dhika b’wana ate sakabbhina coma

dhika! Coma dhika! Dhika ban bula mogha ta’ tapesa’a

bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna.

“Coma Dhika” (Cuma Kamu) juga merupakan lagu yang

mengekspresikan perasaan cinta kepada kekasih. Tema lagu ini berbeda dengan

lagu cinta sebelumnya. Lagu ini bercerita tentang kekaguman seorang kekasih

kepada kekasihnya. Sang kekasih mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia

adalah satu-satunya orang yang ada dalam hatinya. Menurutnya tidak ada orang

lain yang dia cintai, sayangi, dan kagumi kecuali dirinya (Bula taresna esto ka

dhika tada’ selaen bulacoma ngarep dhika tada’ selaen coma dhika

sengapencote).

Satu hal yang membuat sang kekasih tersebut jatuh cinta adalah

senyuman kekasihnya. Senyuman tersebut tidak akan pernah terlupakan olehnya

(Du, bula ta’ kera loppa margha pesemma). Senyuman itu pula yang membuat

perasaan cinta dan sayangnya semakin besar kepadanya dengan disertai harapan

mereka tidak akan pernah terpisah satu sama lainnya (Dhika ban bula mogha ta’

tapesa’a bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna). Sang kekasih mengatakan

bahwa kekasihnya adalah satu-satu orang yang dia rindukan dalam hidup ini.

Melalui lagu ini pengarang ingin mengekspresikan bahwa perasaan cinta

adalah sesuatu yang universal karena ia adalah manusiawi sifatnya. Setiap

manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai dan hal seperti itu tidak

mengenal batas-batas sosial dan budaya. Di mana ada manusia hidup

bermasyarakat, di situ akan timbul benih-benih perasaan cinta, baik cinta yang

ditimbulkan karena persahabatan, persaudaraan maupun cinta yang timbul karena

ketertartikan antara laki-laki dan perempuan yang mengarah pada keinginan untuk

25

menyatukan diri dalam ikatan perkawinan untuk menggapai kebahagiaan hidup

sebagai keluarga yang utuh.

(18) Malem Kerrabhan

Ebakto malem kerrabhan e Bhangkalan pon tanto

ramme, bannya’ oreng ban reng manca dateng parlo

ngal-nengale. E lon-alon se ghir daja kennengnganna

reng ajhuwalan ban tatengghunna da’ pole kajhabhana

salabatdhan. Dari jhau pon kapereng monyena

Tuktukgha sape. Mataghiyur atena sadhaja reng se

ghunengghuwa E bakto malem kerrabhan, ramme ban

reng se lanjhalanan kasempatdhanka pra ngoda dateng

parlo gol-senggolan.

“Malem Kerrabhan” (Malam Kerapan Sapi) adalah lagu yang

menggambarkan keramaian suasana di malam kerapan sapi di kota Bangkalan.

Pada malam itu terlihat banyak orang berdatangan untuk menonton kerapan sapi

keesokan harinya. Yang menarik adalah bahwa orang yang datang bukan hanya

dari Madura tetapi juga ada dari mereka yang datang dari luar negeri.

Digambarkan juga bahwa di alun-alun sebelah utara ditempati orang

berjualan. Selain itu, orang yang datang ke alun-alun juga bisa menyaksikan

pertunjukan yang telah disediakan oleh panitia. Keramaian di malam kerapan sapi

juga dimanfaatkan kaum muda untuk bertemu pasangannya masing-masing.

(19) Palabbhuwan Kamal

Du, arowa neng e palabbhuwan Kamal. Bannya’ motor

senyabbhranga ka Sorbhaja. Ngeba bharang

dhaghangan hasel Madhura. Se ella kalonta e tana

jhaba. Du, arowa neng e Palabbhuwan Kamal. Ondhur

dateng reng se nompa’ prao messin. Bannya’ keya reng

se coma lanjhalanan parlo ngal-nengale malepor ate.

“Palabbhuwan Kamal” (Pelabuhan Kamal) menceritakan keramaian di

Pelabuhan Kamal Madura. Diceritakan bahwa banyak mobil menyeberang

melewati pelabuhan tersebut mengangkut barang dagangan dari Madura yang

26

akan dijual ke Pulau Jawa. Terlihat banyak orang yang lalu lalang dengan

mengendarai perahu mesin.

Dari sekian banyak orang yang lalu lalang tersebut, ada yang memang

mau berdagang tetapi juga ada yang sekadar jalan-jalan untuk menghilangkan rasa

sedih dan kesulitan hidup.

(20) Pacakang Alako

Klaban dhasar Pancasila to Dhang-Undhang Dhasar

Empa’ Lema’ Esse’e kamardhika’an Indonesia

abhangon e sabbhan bidang. Settong naghara se rajha,

pon kalonta da’ manca naghara, ngasellaghi

kabhutowan searopa: sandhang pangan ban laenna.

Dari jhau katengal mentamenan tombu ghumbhus

rampa’ cengngar ngabhiru. Nandhaaghi jha’ bhume

Indonesia tanaepon sanget landhu. Oh, potra potre

sadhaja nyara sroju’ pacakang alako, nyopre kantos

abhukte settong masyarakat, adhil ma’mor pada melo.

“Pacakang Alako” (Giatlah Bekerja) menceritakan kondisi negara

Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Lagu ini menggugah semangat

rakyat Indonesia untuk membangun dan mengisi kemerdekaan Negara Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Tanah Nusantara yang begitu subur menjadikan segala macam tanaman

yang dapat digunakan bagi kepentingan rakyat Indonesia tumbuh dengan begitu

suburnya. Tumbuh-tumbuhan menghijau daunnya sebagai pertanda tanahnya

subur. Kekayaan alam yang tersedia di negeri ini tidak akan ada artinya apabila

tidak diiringi dengan semangat untuk bekerja dengan giat. Oleh karena itu, sudah

saatnya bagi putra-putri Indonesia untuk menyingsingkan lengan baju guna

mewujudkan negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Melalui lagu ini pengarang berusaha menggugah semangat putra-putri

Indonesia untuk giat bekerja. Kekayaan alam tidak akan ada artinya apabila kita

tidak berusaha mengolahnya dan hanya mengandalkannya saja. Sudah saatnya

kita menyingsingkan lengan baju bekerja keras untuk mengolah sumber kekayaan

alam yang tersimpan di bumi Indonesia.

27

(21) Pajjhar

Pajjhar ampon ngombar dari mongging temor, bulan

pornama abak ngabara pon para competdha. Angen

ser-ngalesser cellep tape seggher, Bintang porteka

ngadhirap terrang sonarra ngabhiru. Ajam saroju’

pada akongko’ monyena sanget lante, Menangka

tandha nyara sadhaja kasokana abungo. Pajjar ampon

ngombar dari mongghing temor, Soddhi taretan nyara

sahaja pada’a alako.

“Pajjhar” (Fajar) adalah lagu yang menceritakan keadaan di pagi hari.

Di pagi hari angin berhembus sepoi-sepoi dan menyegarkan. Datangnya fajar

menandakan datangnya siang. Sudah saatnya orang bangun untuk bekerja di

sawah dan di kebun. Masyarakat Madura yang bekerja sebagai petani biasanya

berbondong-bondong pergi ke sawah atau ke kebun dengan membawa cangkul

dan peralatan pertanian lainnnya. Sebagian ibu-ibu juga pergi ke sawah menyiangi

rumput yang tumbuh bersama tanaman padi atau jagung. Sebagian orang mencari

makanan sapi dan ternak lainnya. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya

masing-masing.

(22) Ngennes

Aduh ngennessa e malem talebat seppena, Ojhan ta’

ambu, Kelappa rang-rangrang nako’e, Kali marentek

Ebhuna. Kerrong ka Eppa’na se ella abit apesa, Adhina

ana’ bine, Parlo abhilla naghara, Ngoman ebhuna,

Bengrembeng ta’ manggha mekkere, Tedung cong

tedung, Eppa’na lagghu’ la abali.

“Ngennes” (Merana) mengisahkan seorang ibu dan anaknya yang

ditinggal pergi ayahnya untuk membela negara. Anak kecil tersebut merengek-

rengek kepada ibunya karena dia sudah lama ditinggalkan ayahnya. Dia ingin

bertemu sang ayah tetapi sang ayah tidak pulang-pulang. Sang ibu tidak kuasa

memendam kesedihan karena sang anak terus-menerus menanyakan kapan

ayahnya akan pulang. Untuk menghibur sang anak, ibu tersebut menyuruh

anaknya tidur karena ayahnya akan pulang besok.

28

Dalam perkembangan selanjutnya, lagu di atas juga mengekspresikan

kesedihan ibu dan anak yang ditinggal merantau oleh sang kepala keluarga.

Banyak kaum laki-laki Madura harus meninggalkan Madura untuk bekerja di

daerah lain. Mereka biasanya tidak kembali ke kampung halamannya selama

bertahun-tahun meninggalkan keluarga yang dicintainya.

(23) Mosem Anye

Mare pajjhar la pada ajhalan, dapa’ kasaba are bhuru

ombar. Mano’ ngoce ramme ot saotdhan, anye elepor

lanceng paraban. Mosem anye padi pada dhaddhi,

tondu’ merras hasella cokop madhane, Asar maba la

mole abhareng, padi epekol eso’on atena senneng.

“Mosem Anye” (Musim Panen Padi) menceritakan suka cita orang

Madura ketika musim panen tiba. Di pagi-pagi buta mereka sudah pergi ke sawah.

Tua muda bersama-sama bekerja untuk memanen padi. Di sana-sini terdengar

burung-burung bernyanyi bersahut-sahutan. Padi terlihat merunduk dan berisi

yang menandakan bahwa hasil panen saat ini akan banyak. Di sore hari mereka

kembali ke rumah dengan membawa hasil panennya. Mereka semua kelihatan

bersuka gembira dan bersyukur atas keberhasilan panennya.

(24) Pajjhar Lagghu

Pajjhar lagghu arena pon nyonara. Bapa’ tane se

tedung pon jhagha’a. Ngala’ are’ so landhu’ tor

capengnga, A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.

Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna

nagharana ban bangsana.

“Pajjhar Lagghu” (Fajar Pagi) adalah lagu yang menggambarkan fajar di

pagi hari. Ketika fajar tiba, matahari pun terbit menandakan bahwa sudah

waktunya bagi petani untuk pergi ke sawah dan ladang.

Para petani pergi ke sawah membawa cangkul dan topi untuk

melaksanakan pekerjaannya guna menghidupi keluarganya. Mereka menanam

segala jenis tanaman untuk kemakmuran negara dan bangsanya. Bagi masyarakat

Madura bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama. Meskipun sebagian

29

tanahnya tidak begitu subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang

menyerah mereka dapat menghasilkan sesuatu dari bercocok tanam tersebut.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong

dalam bercocok tanam. Ini dilakukan secara bergantian. Anak-anak yang sudah

dewasa dan cukup kuat untuk menggunakan cangkul juga tidak segan-segan

membantu orang tuanya bercocok tanam di sawah dan di ladang. Dari situ,

mereka mulai mengenal cara-cara bercocok tanam.

(25) Ngambhat Lajangan

Mara ocol lajanganna ghun e dissa, Sengko’ se

ngambhadha pas olok angenna, Selunganna pas

tegghu’ jha’ pasaleng ka’, Bhinareng ya’ angenna pas

ceddhu, Lajanganna akaleppek ongghu, Peopeope,

Mara pas dateng, Makko naspanas, Ngambhat e diya,

Lebur ongghu alajangan ghun diya, la la la la la la, Hm

hm hm

“Ngambhat Lajangan” (Menarik layang-layang agar bisa terbang) adalah

lagu yang menceritakan kegiatan bermain layang-layang yang biasa dilakukan

masyarakat Madura ketika mereka pulang dari sawah dan ladang. Bermain

layang-layang dijadikan hiburan setelah lelah bekerja di sawah dan di ladang.

Layang-layang biasanya dilengkapi dengan bunyi-bunyian sehingga

membuat suasana menjadi lebih meriah. Terdapat banyak jenis layang-layang

yang dimainkan baik dari segi bentuk, warna maupun ukurannya. Anak-anak

cenderung bermain layang-layang kecil sedangkan orang dewasa bermain layang-

layang yang besar.

Musim layang-layang biasanya bersamaan dengan musim tanam

tembakau karena cuaca pada musim tanam bakau biasanya cerah dan hembusan

angin cukup kencang untuk bisa menerbangkan layang-layang.

5.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu

daerah asli Madura

Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura

dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam

30

penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni

lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat

itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan

oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada

pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat

Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah

asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan

khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan

yang mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke

generasi. Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil

merekam dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada

Masyarakat Madura.

Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang

menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura

yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang

berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat

dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi

masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik

ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup

bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia. Berikut ini akan dikelompokkan

25 lagu yang menjadi pusat analisis dalam penelitian ini berdasarkan tema-

temanya. Pada dasarnya, tema yang diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar

tentang dongeng rakyat Madura, perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara

dan lain-lain).

5.2.1. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

dongeng rakyat dan kepahlawanan

Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki

tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah “Kembangnga Naghara”

dan “Pahlawan Trunojoyo”. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan

Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi

31

Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang

menyerah dalam menghadapi musuh.

Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang

terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan

berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut

apabila berada di pihak yang salah.

Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil

dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin

termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene’ ta’ korang bulanna (kecil

tidak kurang bulannya), “kecil-kecil cabai rawit” kata pepatah Melayu yang

dimadurakan menjadi ne’-kene’ cabbi lete’. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan

dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres

(keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang

tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan

rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan

berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan

penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya.

Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan “mon lo’

bangal acarok jha’ ngako oreng Madhura” (kalau tidak berani bercarok jangan

mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang

seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk

menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih

dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang

mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang

yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang

Madura memang suka melakukan kekerasan.

Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya

adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu

lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep

bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau

tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya

32

terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep

sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya

bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada’

(berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya.

5.2.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat)

Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi

masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah “Pa’-Opa’ Iling”, “Lir Saalir”,

“Entar Akarang”, “Caca Aghuna”, “Les Balesan”, “Pajjhar Laggu” dan

“Pacakang Alako”.

Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut.

Lagu “Pa’-Opa’ Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan

sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa’-Opa’ Iling sebenarnya bermakna

memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya

dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari

kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut.

Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu “Lir Saalir” adalah bahwa orang

Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya

“Look before you leap”. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang

dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan

menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan

segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada

orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak

terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa

Madura “ada’ kasta e ada’”, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di

depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang

telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya

sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya.

“Caca Aghuna” juga mengandung nasihat penting dan merupakan

simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi

33

masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya

atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena

ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak

berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan

dengan raja ghaludhugga ta’ kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara

bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta’ atellor

(berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo’ balijjha (mulut penjaja keliling) juga

merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata

yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak

sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum.

Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati

dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti tera’na dhamar

(terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk

kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri.

Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya

tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan

bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk,

petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan

petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta’ tao

ajhai’ (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan

kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya.

Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak

boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus

berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain

yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan

saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani

memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti

terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani

membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat

mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir

34

attas ban bibir baba ghampang akebbi’). Memang, lidah itu kecil bentuknya

tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu

yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan

mulutmu adalah harimaumu.

Lagu yang berjudul “Les-Balesan” (Saling Membalas) berusaha

mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau

bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup

yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang

Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain

ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi

tidak mau membalasnya dikatakan mella’ salajha (melihat sebelah mata).

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk

kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan

dhibi’ yang bermakna “saudara sendiri” sering digunakan ketika mereka bertemu

di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan

cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling

membantu di antara sesama mereka.

“Pacakang Alako” (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak

orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal

memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta’ tako’ mate, tape tako’

kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan

ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena

kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal

yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah

dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang

sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja

keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak

sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan

mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya.

Ungkapan kar-ngarkar colpe’ (mengais terus mematuk) merupakan

cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran

35

untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup

hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan

menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan

menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima,

pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan,

pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya.

Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar

meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut

bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan

keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka

harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa.

Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang

malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja),

oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali

tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti

diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan.

Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan

orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna

(ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada

beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Karena itu, orang Madura tidak

menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu’ cellot (orang

yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada’ tondung

balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah kembali).

5.2.3. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

alam dan aktivitas yang dilakukannya

Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan

masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup sehari-

hari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :“Tondu’ Majang”,

“Ole Olang”, Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Es Lilin Cabbi”,

“Ronjhangan”,, “Entara Akarang”, “E Tera’ Bulan”, “Malem Kerrabhan”,

36

“Palabbhuwan Kamal”, “Mosem Anye”, “Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-

Toghu Saba”, dan “Ngambat Lajhangan”.

Lagu “Tondu’ Majang” dan “Ole Olang” menggambarkan kehidupan

orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan

dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi

segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari

ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik

matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut.

Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan

selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba’ asapo’ angen.

Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan

apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut

yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera

bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua

itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena

semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan

menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara

hasilnya Tuhan yang menentukan.

Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih

dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah

kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.

Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadah-

ibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah,

barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan

suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai

nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya.

“Soto Madhura” dan “Es Lilin Cabbi” adalah lagu yang mengungkap

kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam

melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni

37

dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar

hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama.

Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak

pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan

apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan

mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain.

Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang

dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri

yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan

agama maupun budaya masyarakat Madura.

“Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-Toghu Saba”, “Ronjhangan” dan

“Mosem Anye” adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang

Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang

bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah

tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman

yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian.

Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan

tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa

ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air.

Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang

Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka

harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka

membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah

sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena

bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini

makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik “A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.

Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna nagharana ban bangsana”.

Di samping itu, dalam lagu “Ghu-Toghu Saba” digambarkan kegiatan

petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya

yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang

belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti

38

dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang

laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan

menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung

mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari

serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya.

Sementara “Mosem Anye” menggambarkan proses memanen padi hasil

sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka

bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani

terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan

ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan

mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan.

Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang.

Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka.

Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah

menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini

tergambar dalam lagu yang berjudul “Ronjhangan”. Sama halnya dengan kegiatan

lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi

terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka

mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh

semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini

juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar

senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini

menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya.

Lagu “Kerabhan Sape”, “Malem Kerrabhan”, dan “Ngambat

Lajhangan” merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan

yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu

obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu

“Ngambat Lajhangan” (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka

sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain

layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim

itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara

39

budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang

memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya,

diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam

situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya,

setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana

kerjasama dan kegotongroyongan.

5.2.4 Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

percintaan

Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu

yang berjudul “Taresna” dan “Coma Dhika”. Dalam kedua lagu tersebut

tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal

yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit

hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta

jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat

cintanya menggebu-gebu.

5.3. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas

hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerah

Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi

pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata

masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu

tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya

terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut

merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku,

etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai

petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan pada sektor informal lainnya.

Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu

tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan

dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib,

semangat gotong-royong, kekeluargaan, kepasrahan diri dan lain-lain. Di samping

itu, melalui lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang

40

dilakukan masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini,

pengarang berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan

orang-orang dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani

profesinya masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi

alam Madura juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut.

Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap

dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya,

perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini,

pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya.

Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya

sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu

masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan

kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya

sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya.

Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih

menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah

keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya

sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi

pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa

lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang

melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat

itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail

menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya

dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut.

Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau

merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal

yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syair-

syair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan

sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat.

Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang

berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat.

41

Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan

sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat

antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura.

Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha

mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya.

Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan

bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang

dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan

budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagu-

lagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala

aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.

42

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura

dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut

merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi

sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura.

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu

daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu

rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang

bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang

bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan

(4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi.

Dua puluh lima lagu yang dianalisis di atas merupakan ekspresi

pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata

masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang

timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura.

Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola

perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja

sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya.

Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi

pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan

sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini

berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui

lagu-lagu yang diciptakannya.

6.2. Saran

Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat

Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura.

43

Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis

syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat

kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang

sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan proses

identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara luas

melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian kedepan ini

diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif

terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya

tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.

44

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literature Term. New York : Rinehart and

Winston Inc.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta :

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Eco, Umberto. 1978. Literary Theory, An Introduction. Oxford : Basil Blackwell.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London : Methuen and Co.

Jalil, Danie Abdul. 1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung :

Angkasa.

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westeijn. 1984. Pengantar Umum

Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia

Mulders, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Pengkajian Puisi. Cetakan kedua. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London : Indiana University Press.

Sariono, Agus dan Titik Maslikatin. 2002. Bahasa dan Sastra Using : Ragam dan

Alternatif Kajian. Jember : Tapal Kuda.

Segers, T. Rien. 1978. The Evoluationof Literary Texts. Lisse: The Petter de

Ridder Press.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa.

Tjitraprawira, R. Amirudin dkk. 2003. Kumpulan Lagu-Lagu Madura. Jakarta :

Lembaga Pelestarian Kebudayaan Madura.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani

Budianta. Jakarta : Gramedia.

45

DRAF ARTIKEL ILMIAH

Abstract

The research tried to discover the relationship between the soul expression

and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The

research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs

written by Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that the

meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales and

patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition of

nature and Madurese people’s daily activities, and (4) stories about young people

love relationships. The four explored themes were the writers’ expressions closely

related to their life symbolity and emerged from their observations and

experiences of social and cultural conditions of Madurese people. The meanings

contained in the songs also reflected the culture, basic character, behavior, work

ethic and way of life of Madurese people with all of their activities.

Keywords : Writers’ soul expressions and Madurese song lyrics

PENDAHULUAN

Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini

adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh

karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan

pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan

dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah

membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia

sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media

untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara

ditampilkan dalam berbagai kesempatan.

Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan

berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat

dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan

kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang

dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian

Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni

tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual.

Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling

menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu

bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara

yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang

telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini

menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang

digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi

berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat

46

mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya

Madura serta kehidupan masyarakatnya.

Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan

karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa

sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan

setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan

secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah

sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain.

Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah

Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan

dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas,

dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan

dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.

Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup

masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap

dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya

anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu

daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan

simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari

pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap

perkembangan syair lagu daerah.

Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah

ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah

orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan

syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk

dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah

memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair

dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku

kumpulan lagu daerah Madura.

Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan

adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu

Madura, yakni : R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd.

Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Su”udin Achmad, Adhira

dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian

Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku

kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat

dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak

lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura.

Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun

dari tiga versi yakni : 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya

ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang

diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri

didalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para

komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis

Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura,

seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara

47

dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah

nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang

mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi.

Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam

dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada

Masyarakat Madura.

Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu

diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:“Tondu’ Majang”, “Ole

Olang”, “Pa’-Opa’ iling”, “Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Lir-Saalir”,

“Es Lilin Cabbi”, “Ronjhangan”, “Kembhangnga Naghara”, “Pahlawan

Trunojoyo”, “Entara Akarang”, “Les-Balesan”, “Pa’ kopa Eling”, “E Tera’

Bulan”, “Taresna”, “Malem Kerrabhan”, “Caca Aghuna”, “Coma Dhika”,

“Palabbhuwan Kamal”, “Pajjhar Laggu,” “Pacakang Alako”, “Pajjhar”, “Ghu-

Toghu Saba”, “Ngambat Lajhangan”.

Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan

dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu

masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan

media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah

khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan

memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya.

Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami

maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak

tersampaikan pada generasi muda.

Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair

lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair

Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa

pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan

harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa

(simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat

Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang

lain berdasarkan pengalaman kehidupan.

Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan

masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra.

Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang

mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang

sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek

nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam

kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan

warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya

merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian

menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya.

Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah

Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura.

Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah

asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga

48

Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini

memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori

simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol

yang dipakai dalam syair lagu daerah.

Sehubungan dengan pernyataan di atas maka hasil penelitian ini

menitikberatkan pada kajian ekspresi jiwa pengarang lagu daerah Madura dalam

mengungkap makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam

simbolitas syair lagunya.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah

tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal

dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang

berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana

penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan

peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair

lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing

(2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988).

Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini

diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan

pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan

oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau

dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama

nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat.

Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan

atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala

pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang

diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan

pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai

pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan

untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas

hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.

Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra

maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial

(Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi

adalah ilmu yang mempelajari : 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara

aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara

gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari

semua jenis gejala sosial.

Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau

hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan

pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk

menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan

selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang

timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990).

49

Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah

mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt.

Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah

1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang,

dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang

mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya;

3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra

dengan pembacanya.

Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono :

1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan

posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat

pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh

mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang

mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwa-

peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco : 1978). Semiotik

merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna

yang didasarkan pada sistem tanda (Segers : 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara

kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan

teori simbol.

Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan

dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah

lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada

gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan

makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986)

mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian : 1) simbol-simbol universal,

yakni yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang

dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual,

biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini

digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu

yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu

daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra.

Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya,

memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang

sesuai dengan objek penelitiannya.

Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara :

1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk

digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah

Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura

tahun 2003.

2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang

dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25

syair lagu).

50

3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang

diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi

sastra, teori semiotik dan teori simbol.

4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir.

HASIL PEMBAHASAN

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu Madura

Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura

dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam

penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni

lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat

itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan

oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada

pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat

Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah

asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan

khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan

yang mendidik sehingga dapat terus hidup dari generasi ke generasi.

Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang

menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura

yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang

berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat

dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi

masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik

ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup

bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia.

Berikut ini akan dikelompokkan 25 lagu yang menjadi pusat analisis

dalam penelitian ini berdasarkan tema-temanya. Pada dasarnya, tema yang

diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar tentang dongeng rakyat Madura,

perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain).

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

dongeng rakyat dan kepahlawanan

Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki

tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah “Kembangnga Naghara”

dan “Pahlawan Trunojoyo”. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan

Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi

Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang

menyerah dalam menghadapi musuh.

Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang

terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan

berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut

apabila berada di pihak yang salah.

Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil

dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin

termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene’ ta’ korang bulanna (kecil

51

tidak kurang bulannya), “kecil-kecil cabai rawit” kata pepatah Melayu yang

dimadurakan menjadi ne’-kene’ cabbi lete’. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan

dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres

(keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang

tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan

rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan

berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan

penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya.

Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan “mon lo’

bangal acarok jha’ ngako oreng Madhura” (kalau tidak berani bercarok jangan

mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang

seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk

menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih

dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang

mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang

yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang

Madura memang suka melakukan kekerasan.

Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya

adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu

lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep

bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau

tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya

terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep

sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya

bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada’

(berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya.

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat)

Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi

masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah “Pa’-Opa’ Iling”, “Lir Saalir”,

“Entar Akarang”, “Caca Aghuna”, “Les Balesan”, “Pajjhar Laggu” dan

“Pacakang Alako”.

Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut.

Lagu “Pa’-Opa’ Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan

sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa’-Opa’ Iling sebenarnya bermakna

memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya

dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari

kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut.

Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu “Lir Saalir” adalah bahwa orang

Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya

“Look before you leap”. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang

dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan

menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan

segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada

orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak

52

terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa

Madura “ada’ kasta e ada’”, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di

depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang

telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya

sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya.

“Caca Aghuna” juga mengandung nasihat penting dan merupakan

simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi

masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya

atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena

ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak

berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan

dengan raja ghaludhugga ta’ kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara

bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta’ atellor

(berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo’ balijjha (mulut penjaja keliling) juga

merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata

yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak

sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum.

Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati

dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti tera’na dhamar

(terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk

kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri.

Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya

tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan

bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk,

petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan

petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta’ tao

ajhai’ (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan

kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya.

Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak

boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus

berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain

yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan

saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani

memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti

terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani

membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat

mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir

attas ban bibir baba ghampang akebbi’). Memang, lidah itu kecil bentuknya

tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu

yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan

mulutmu adalah harimaumu.

Lagu yang berjudul “Les-Balesan” (Saling Membalas) berusaha

mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau

bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup

yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang

53

Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain

ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi

tidak mau membalasnya dikatakan mella’ salajha (melihat sebelah mata).

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk

kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan

dhibi’ yang bermakna “saudara sendiri” sering digunakan ketika mereka bertemu

di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan

cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling

membantu di antara sesama mereka.

“Pacakang Alako” (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak

orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal

memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta’ tako’ mate, tape tako’

kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan

ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena

kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal

yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah

dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang

sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja

keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak

sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan

mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya.

Ungkapan kar-ngarkar colpe’ (mengais terus mematuk) merupakan

cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran

untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup

hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan

menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan

menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima,

pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan,

pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya.

Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar

meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut

bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan

keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka

harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa.

Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang

malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja),

oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali

tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti

diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan.

Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan

orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna

(ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada

beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Oleh karena itu, orang Madura

tidak menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu’ cellot

(orang yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada’

54

tondung balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah

datang kembali).

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan alam

dan aktivitas yang dilakukannya

Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan

masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup sehari-

hari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :“Tondu’ Majang”,

“Ole Olang”, Soto Madhura”,“Kerabhan Sape”, “Es Lilin Cabbi”,

“Ronjhangan”,, “Entara Akarang”, “E Tera’ Bulan”, “Malem Kerrabhan”,

“Palabbhuwan Kamal”, “Mosem Anye”, “Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-

Toghu Saba”, dan “Ngambat Lajhangan”.

Lagu “Tondu’ Majang” dan “Ole Olang” menggambarkan kehidupan

orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan

dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi

segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari

ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik

matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut.

Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan

selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba’ asapo’ angen.

Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan

apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut

yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera

bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua

itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena

semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan

menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara

hasilnya Tuhan yang menentukan.

Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih

dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah

kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.

Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadah-

ibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah,

barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan

suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai

nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya.

“Soto Madhura” dan “Es Lilin Cabbi” adalah lagu yang mengungkap

kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam

melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni

dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar

hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama.

Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak

pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan

apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan

mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain.

55

Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang

dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri

yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan

agama maupun budaya masyarakat Madura.

“Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-Toghu Saba”, “Ronjhangan” dan

“Mosem Anye” adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang

Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang

bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah

tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman

yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian.

Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan

tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa

ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air.

Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang

Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka

harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka

membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah

sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena

bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini

makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik “A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.

Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna nagharana ban bangsana”.

Di samping itu, dalam lagu “Ghu-Toghu Saba” digambarkan kegiatan

petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya

yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang

belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti

dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang

laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan

menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung

mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari

serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya.

Sementara “Mosem Anye” menggambarkan proses memanen padi hasil

sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka

bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani

terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan

ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan

mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan.

Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang.

Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka.

Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah

menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini

tergambar dalam lagu yang berjudul “Ronjhangan”. Sama halnya dengan kegiatan

lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi

terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka

mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh

semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini

juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar

56

senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini

menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya.

Lagu “Kerabhan Sape”, “Malem Kerrabhan”, dan “Ngambat

Lajhangan” merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan

yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu

obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu

“Ngambat Lajhangan” (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka

sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain

layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim

itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara

budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang

memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya,

diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam

situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya,

setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana

kerjasama dan kegotongroyongan.

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan

percintaan

Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu

yang berjudul “Taresna” dan “Coma Dhika”. Dalam kedua lagu tersebut

tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal

yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit

hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta

jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat

cintanya menggebu-gebu.

Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup

masyarakat Madura dalam syair lagu daerah

Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi

pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata

masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu

tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya

terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut

merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku,

etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai

petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan sektor informal lainnya.

Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu

tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan

dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib,

semangat gotong-royong, kekeluargaan dan lain-lain. Di samping itu, melalui

lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang dilakukan

masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini, pengarang

berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan orang-orang

dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani profesinya

57

masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi alam Madura

juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut.

Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap

dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya,

perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini,

pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya.

Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya

sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu

masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan

kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya

sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya.

Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih

menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah

keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya

sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi

pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa

lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang

melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat

itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail

menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya

dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut.

Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau

merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal

yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syair-

syair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan

sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat.

Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang

berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat.

Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan

sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat

antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura.

Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha

mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya.

Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan

bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang

dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan

budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagu-

lagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala

aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura

dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut

merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi

sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura.

58

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu

daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu

rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang

bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang

bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan

(4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi.

Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi

pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata

masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang

timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura.

Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola

perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja

sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya.

Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi

pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan

sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini

berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui

lagu-lagu yang diciptakannya.

Saran

Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat

Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura.

Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis

syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat

kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang

sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan pada

proses identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara

luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian lanjutan

ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif

terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya

tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.

59

SINOPSIS

JUDUL: Pemetaan Syair Lagu Madura Berdasarkan Karakteristik

Masyarakat di Kabupaten Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan

Sumenep)

Akhir-akhir ini para ahli bahasa atau pengamat kebudayaan telah

memprediksikan bahwa dalam kurun waktu mendatang akan banyak bahasa

daerah atau bahasa lokal yang mengalami kepunahan, tidak hanya di Indonesia

tetapi juga di belahan bumi yang lain. Kepunahan bahasa akan lebih mudah terjadi

pada bahasa-bahasa yang memiliki jumlah penutur yang sedikit. Kepunahan

bahasa-bahasa daerah di Indonesia ini berpengaruh juga pada karya-karya sastra

daerah lainnya. Karya sastra daerah seiring dengan kepunahan bahasa daerah juga

mengalami kepunahan secara perlahan-lahan dengan berkurangnya minat

pengarang atau pun penikma karya sastra daerah tersebut.

Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan sastra

daerah adalah Madura. Pulau Madura yang dekat dengan Jawa dan Bali

mempunyai kekhasan sendiri dalam sastra daerahnya. Kekayaan sastra daerah

yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang dipengaruhi

paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar sastra daerah Madura

diklasifikasi menjadi dua kelompok yakni, sastra tertulis dan sastra lisan.

Pada perkembangan saat ini, sastra daerah Madura mengalami penurunan

kualitas baik dari sisi kuantitas pengarang dan penikmat maupun kualitas karya

dan kritik terhadap karya. Kerisauan dan kecemasan para ahli atau pengamat

budaya terhadap kepunahan bahasa dan sastra daerah tidak semata-mata

difokuskan pada hilangnya entitas bahasa sebagai sarana komunikasi atau

interaksi antarsesama dalam menghasilkan karya sastra daerah, tetapi lebih pada

persoalan sirnanya konsep dan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalam

simbol-simbol atau ungkapan kebahasaannya. Nilai-nilai itu merupakan kekayaan

peradaban manusia dan pencerminan interaksi manusia dengan lingkungannya.

60

Kearifan-kearifan lokal dapat teraktualisasi dalam ungkapan serta karya-

karya sastra yang ada baik tulisan maupun lisan. Hal seperti ini yang tidak bisa

dikompensasikan oleh peranan pengganti dari bahasa yang lain misalnya bahasa

nasional (Indonesia) karena bahasa dan karya sastra daerah tersebut sesungguhnya

merupakan unsur penting identitas budaya masyarakat penuturnya.

Kepunahan bahasa dan karya sastra daerah salah satunya syair lagu seperti

yang ada di Madura merupakan fenomena global seiring dengan perubahan-

perubahan besar di berbagai bidang kehidupan manusia. Revolusi di bidang

ekonomi-industri dan teknologi informasi komunikasi yang memperkuat gejala

kapitalisme global memiliki andil yang sangat besar di dalam akselerasi

pemunahan bahasa daerah maupun karya sastranya. Penetrasi insentif dari gejala

sosial-ekonomi tersebut telah menyulap masyarakat pedesaan menjadi bagian dari

masyarakat global. Daerah-daerah sedang berkembang menjadi daerah-daerah

global. Kecenderungan demikian yang terus meningkat di masa mendatang akan

membawa konsekuensi-konsekuensi logis di bidang kehidupan sosial budaya

masyarakat lokal khususnya aspek bahasa dan sastra.

Perspektif pemikiran di atas yang akan digunakan untuk memahami

kelangsungan hidup sastra daerah Madura khususnya syair lagu daerah Madura.

Penelitian yang telah dilakukan terhadap Ekspresi Jiwa pengarang Syair lagu

Madura menunjukkan bahwa syair-syair lagu madura sarat akan makna kehidupan

yang mengandung nilai-nilai relegiusitas, sosial dan budaya masyarakat Madura

(Misnadin, 2007). Sebagai salah satu karya sastra Madura, syair lagu Madura di

masa depan tidak akan terbebas dari dampak kecenderungan gejala kepunahan.

Berbagai upaya, seperti kajian ilmiah dan kegiatan penelitian bertujuan untuk

menjaga kelangsungan hidup karya sastra Madura telah dilakukan oleh berbagai

pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap sastra daerah.

Rencana penelitian lanjutan ini dalam rangka mengetahui seberapa jauh

syair-syair lagu daerah di empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang,

Pamekasan dan sumenep telah diidentifikasi baik secara ilmiah maupun alamiah.

Identifikasi akan dilakukan dengan memetakan jenis-jenis syair lagu daerah sesuai

dengan karakter masing-masing masyarakat di empat kabupaten tersebut di

61

Madura. Metode penelitian akan dilakukan dengan kualitatif deskriptif dan lebih

menitikberatkan pada proses identifikasi syair lagu. Hasil pemetaan akan

dipublikasikan secara luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya

rencana penelitian lanjutan ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial

yang berdampak destruktif terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura

sehingga kelestariannya tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh

anak-cucu nanti.

62

LAMPIRAN PERSONALIA PENELITI :

1. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap : Misnadin, S.S.

b. Jenis Kelamin : L

c. Golongan/Pangkat dan NIP : III-a/Penata Muda/132304312

d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli

e. Jabatan Struktural : -

f. Fakultas/Program Studi : Hukum/Sosiologi

g. Perguruan Tinggi : Universitas Trunojoyo

h. Bidang Keahlian : Bahasa Inggris

i. Waktu untuk penelitian ini : 20 jam/minggu

Pengalaman Memberi Kuliah :

No No Mata Kuliah Tahun Program

1. Bahasa Inggris untuk Sosiologi 2003-Sekarang S-1

2. Bahasa Inggris untuk Ilmu Hukum 2003-Sekarang S-1

3. Bahasa Inggris untuk Ilmu

Komunikasi 2005 S-1

4. English For Communications 2006 S-1

Pelatihan/Seminar yang telah diikuti :

No. Nama Pelatihan/Seminar Tahun Tempat

1. Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti

Muda 2003 LPPM

Unijoyo

2. Lokakarya Penulisan Karya Tulis Bahasa

Inggris 2005 Univ.Malang

3. Lokakarya Intensive English Course 2005 Univ.Malang

4. Pelatihan Pendidikan Kewarganegaraan 2005 DIKTI-JKT

63

Penelitian yang pernah dilakukan:

No Judul Penelitian Tahun Lokasi

1. Studi Pemertahanan Bahasa Madura di

Surabaya

(Dana Mandiri)

1999 Surabaya

2. Studi Tentang Kursus Intensif Bahasa Inggris di

Lingkungan Universitas Trunojoyo (Dana Dikti-DP2M)

2005 Bangkalan -

Madura

Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam

daftar riwayat hidup ini.

Bangkalan, 22 November 2007

(Misnadin,S.S.)

64

2. Anggota Peneliti

a. Nama lengkap : Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum.

b. Jenis Kelamin : P

c. Golongan/Pangkat dan NIP : III-b/Penata Muda Tk.1/132304323

d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli

e. Jabatan Struktural : -

f. Fakultas/Program Studi : Hukum/Sosiologi

g. Perguruan Tinggi : Universitas Trunojoyo

h. Bidang Keahlian : Sistem Sosial Budaya Indonesia

i. Waktu untuk penelitian ini : 10 jam/minggu

Pengalaman Memberi Kuliah :

No No Mata Kuliah Tahun Program

1. Sistem Sosial Budaya Indonesia 2004-Sekarang S-1

2. Bahasa Indonesia 2004-Sekarang S-1

3. Sosiologi Budaya 2005-Sekarang S-1

4. Sosiologi Lingkungan 2005-Sekarang S-1

Pelatihan/Seminar yang telah diikuti :

No.

Nama Pelatihan/Seminar Tahun Tempat

1. Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti Muda 2003 LPPM

Unijoyo

2. Lokakarya Penulisan Artikel Berbahasa Inggris 2004 DIKTI-Bdg

3. Lokakarya Dosen Ilmu Budaya Dasar 2004 DIKTI-Bali

Penelitian yang pernah dilakukan:

No Judul Penelitian Tahun Lokasi

1. Makna Mitos Cindelaras dalam Kehidupan

Masyarakat Jawa Barat (Dana Mandiri) 1999

Majalaya

Jawa Barat

65

2. Respon Anak-anak terhadap Alokasi Waktu

yang diterapkan dikalangan Keluarga Jawa

(Dana Mandiri)

2000 Yogyakarta

3. Strategi Penyelesaian Konflik Sosial-Ekonomi Pada Masyarakat Nelayan (Dana Dikti DP2M)

2005 Bangkalan-

Madura

Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam

daftar riwayat hidup ini.

Bangkalan, 22 November 2007

(Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum)

66

PERNYATAAN PENGANTIAN ANGGOTA PENELITI

Bersama laporan hasil penelitian ini, saya selaku Ketua Peneliti:

Nama : Misnadin, S.S.

NIP : 132 304 312

Menyatakan pengantian anggota peneliti lama yakni :

Nama : Yan Ariyani, S.Psi

NIP : 132 308 996

Diganti dengan anggota peneliti yang baru yakni :

Nama : Ekna Satriyati, S.S.,M.Hum.

NIP : 132 304 323

Hal tersebut dikarenakan anggota peneliti lama mempunyai jadual kesibukan

akademis yang cukup padat sebagai pengelola Program Studi Psikologi di

Universitas Trunojoyo yang baru berdiri tahun ini yakni 2007.

Bangkalan, 28 September 2007

Pembuat Pernyataan :

(Misnadin,S.S.)