Upload
others
View
32
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN
RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
TRI WIBOWO
NIM : 1113013000045
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen
Ratu Sekop Karya Iksaka Banu Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti M.Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam
kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 2) Mendekripsikan eksistensialisme
dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 3) Mendeskripsikan
implikasi konsep eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka
Banu terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan ilmu
sastra dan pendekatan filsafat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Drama-Eksistensial kerap ditemui di kehidupan
masyarakat manapun dalam berbagai macam bentuk. Maka dapat dikatakan, Dasein,
meski sebagai Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak
seorangpun dapat menjemput/menggantikan kematiannya untuk/demi orang lain.
Selanjutnya, terdapat tiga macam Mengada yang dapat ditemui Dasein di dalam
dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat, benda-benda yang bukan alat-
alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia atau orang-orang lain. Analisis
kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran
sastra melalui pemahaman mengenai keterkaitan unsur-unsur pembangun cerpen
dengan kehidupan sehari-hari. Melalui analisis struktur cerpen, siswa dilatih untuk
meningkatkan kepekaan dalam menemukan unsur instrinsik dan konsep
eksistensialisme yang terkandung di dalam cerpen.
Kata kunci: Eksistensialisme, Kumpulan Cerpen Ratu Sekop, Iksaka Banu, Implikasi
terhadap Pembelajaran.
ii
ABSTRACT
Tri Wibowo 1113013000045, “Existentialism in Set of Short Stories
entitled Ratu Sekop written by Iksaka Banu and Its Implication towards Learning
Indonesian Language and Literature Education in The Senior High School”,
Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiya and
Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University.
The purpose of this research are: 1) To describe intrinsic elements in the
Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 2) To describe existentialism in the
Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 3) To describe the implications of
existentialism concept in Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu towards the
Indonesian Language and Literature learning process in the school. Methods that is
used in this research paper is descriptive-qualitative, using the literature and
philosophy approaches. Based on the research, the result shows that Existential-
Drama is most likely found in any social condition and in any kind of form. Let us
say that, Dasein, as the Being that Being-with-others, no one could ever replace its
death for someone else. Next, there are three types of Being that Dasein will meet in
its life. Types of Being are ready-at-hand, presence-at-hand, and the mitdasein of the
others. The analysis of Ratu Sekop set of short stories would fulfill the competency
standards in learning literature through the understanding of the linkages between
short stories building-elements with its relations in daily life. Through the structural
short story analysis, students are trained to increase the sensitivity in finding intrinsic
elements and existentialism’s concept contained in the short stories.
Key words: Existentialism, Ratu Sekop set of Short Stories, Iksaka Banu,
Implications towards Learning
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah
memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga,
para sahabat, dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensialisme dalam
Kumpulan Cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Penulis banyak memerlukan
bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana pendidikan (S.Pd.) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih pada:
1. Ayah dan Umi tercinta, Mulyono dan Upit Supiati yang senantiasa
memberikan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.
Kakak Pertama, Kakak Kedua, dan Adik Pertama, serta semua keluarga
yang selalu mendoakan keberhasilan penulis.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, sekaligus dosen penasehat akademik.
4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.
6. Akhmad Zakky M.Hum., guru spiritual yang tak pernah jemu menuntun
penulis dalam menempuh jalan sunyi.
iv
7. Rosidah Irysad M.Hum., Momskih sejagad yang tak hentinya memberi
dukungan serta visi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Roby Kurniawan dan Roni Agustinus, duet maut MarjinKiri yang
senantiasa memberikan inspirasi kepada penulis dan ide awal ini bermula
hingga tersusunnya skripsi ini.
9. Teman-teman PBSI angkatan 2013. Khususnya kepada Rizky Adhitya,
Dedi Santosa, Annisa Aulia, Anisa Rahayu, Melda Hollidazia,
Agtasiaferdan, Windy Mulya Jayanti, Nurul Azizah, Maulida Rahmah dan
lain-lain, senantiasa membantu juga memberikan semangat kepada
penulis.
10. Teman-teman Majelis Kantiniyah. Khususnya kepada Irfan Nawawi,
Daniel Adepi, Mulya Aziz, Akbar Fatriyana, Yanti Bephra, Irsyad
Zulfahmi, Fajar Setio, Hilman, Fahri dan lain-lain, senantiasa menjadi
rumah paling ramah bagi kepulangan penulis.
11. Teman-teman Rusabesi. Khususnya kepada Gita Irawan, R.E Sutanto,
Imam Budiman, Zaki Setiawan, Fena Basafiana, Adam dan lain-lain,
senantiasa menjadi sabar bagi pembelajar bebal seperti penulis.
12. Teman-teman Sokbuku. Khususnya kepada Aliffaiz, Shafira, Dwi
Platomo, Chendy, Fajar, Alya, Gusti, Ryan, Gugun Guntoro, dan Idris
yang senantiasa memberikan masukan dan energi positif selama penulis
mengerjakan skripsi ini.
13. Terakhir terima kasih atas semua pihak yang telah memberikan motivasi,
doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga
Allah membalas kebaikan Anda semua. Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Jakarta, 24 Oktober 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 7
C. Batasan Masalah ............................................................................ 7
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian........................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian......................................................................... 8
G. Metode Penelitian .......................................................................... 9
1. Objek Penelitian ....................................................................... 10
2. Sumber Data ............................................................................. 10
3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 10
4. Teknik Analisis Data ................................................................ 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Cerpen ......................................................................... 12
B. Unsur Intrinsik Cerpen .................................................................. 14
1. Tema ......................................................................................... 15
2. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 15
3. Alur ......................................................................................... 17
4. Latar ......................................................................................... 17
5. Sudut Pandang ......................................................................... 18
6. Amanat ..................................................................................... 19
7. Gaya Bahasa ............................................................................. 19
C. Eksistensialisme Martin Heidegger ............................................... 20
1. Drama Eksistensial Keseharian Dasein .................................... 22
2. Drama Eksistensi Kemewaktuan Dasein ................................. 25
D. Implikasi Pembelajaran Sastra ...................................................... 30
E. Penelitian yang Relevan ................................................................ 34
vi
BAB III PROFIL IKSAKA BANU DAN SINOPSIS CERPEN
A. Biografi Singkat Iksaka Banu .............................................................. 37
B. Ratu Sekop: Iksaka Banu, Marjin Kiri, dan Martin Heidegger............ 38
C. Sinopsis Cerpen Listrik ........................................................................ 41
D. Sinopsis Cerpen Belati ......................................................................... 43
E. Sinopsis Cerpen Istana Gotik ............................................................... 44
BAB IV HASIL ANALISIS
A. Analisis Unsur Intrinsik ....................................................................... 46
1. Tema ........................................................................................ 46
2. Latar ......................................................................................... 50
3. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 54
4. Sudut Pandang .......................................................................... 63
5. Alur .......................................................................................... 64
6. Gaya Bahasa ............................................................................. 70
7. Amanat ..................................................................................... 72
B. Analisis Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya
Iksaka Banu .......................................................................................... 73
1. Keseharian Dasein dalam Listrik ............................................. 74
2. Keseharian Dasein dalam Belati ............................................... 77
3. Keseharian Dasein dalam IG .................................................... 81
C. Implikasi Terhadapn Pembelajaran Sastra di Sekolah ......................... 84
BAB V PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................ 87
B. Saran .............................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
RIWAYAT PENULIS
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Silabus
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 3 : Lembar Uji Referensi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cerita pendek (cerpen) memiliki sifatnya yang khas dari novel yang
juga masuk ke dalam jenis prosa. Kelebihan cerpen yang khas adalah
kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak—jadi, secara implisit—
dari sekadar apa yang diceritakan.1 Meski demikian, keduanya dapat dianalisis
dengan pendekatan yang lebih kurang sama. Cerpen sebagai bagian dari karya
fiksi juga merupakan cerminan suatu perjalanan hidup yang bersentuhan
dengan kehidupan manusia sebagai potret realitas yang diwujudkan melalui
rangkaian bahasa yang menarik. Selain itu, cerpen juga menawarkan sebuah
miniatur dunia yang berisi model kehidupan yang dibangun melalui berbagai
unsur intrinsik, di antaranya adalah unsur penokohan.
Gambaran mengenai gerak tokoh dalam fiksi, secara sengaja
diciptakan oleh pengarang dengan tujuan atau misi tertentu yang hendak
dicapai dan disampaikan. Penokohan dalam cakupan definisi yang memuat
tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandung dalam fiksi dipandang
sebagai aspek isi suatu karya. Di samping aspek bentuk, penokohan kemudian
juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan sebagai karya
fiksi. Melalui penokohan itu pula, pembaca tidak hanya mendapat gambaran
mengenai gerak tokoh, melainkan juga akan membangkitkan atau
menumbuhkan sikap bagi pembaca berdasarkan pesan yang disampaikan
pengarang.
Dalam upaya memahami karya sastra secara komprehensif, seluruh
situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2005, h. 11.
2
konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.2 Sejalan dengan itu, ikhtiar
memahami manusia secara menyeluruh tidak dapat dicapai dengan cara
mengisolasi atau melepaskannya dari lingkungan, kehidupan sosial serta
budaya. Artinya, memahami manusia sebagai keberadaannya di dunia
bersama manusia lain erat kaitannya dengan berbagai hal yang ada di
lingkungannya, atau dalam pertanyaan reflektif yang khas eksistensial,
manusia adalah adaan yang berada sebagai keberadaan di dunia, yang
sekaligus mempertanyakan ada di antara cara berada ada-adaan yang lain.
Dengan demikian, “Drama Eksistensial” sebagai keberadaan manusia di
dunia, menjadi alasan bagi peneliti untuk melihat sejauh mana penokohan
sosok Heideggerian di dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop.3
Suguhan kecemasan, aroma gelap, dan muram: gerak eksistensial,
keterlemparan dan kejatuhan—sebagai drama berada-bersama. Manusia yang
mengada harus memikul nasib tertentu, antara ingin mengenal Ada-nya tapi
sekaligus harus selalu berkubang di dalam keseharian bersama manusia lain
yang mengasingkannya, maka sebagai upaya mencari jawab atas tegangan
tersebut, pendekatan eksistensialisme dimaksudkan untuk mengambil peran
dalam memandang realitas secara baru dengan berangkat dari keunikan
eksistensi manusia yang satu tehadap manusia lain.
Sebagai induk semua disiplin ilmu pengetahuan, tidak bisa dimungkiri
bahwa filsafat telah memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.
Demikian pula sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya adalah salah satu
disiplin ilmu yang senantiasa mengejawantahkan filsafat. Praktisnya, beberapa
filsuf adalah sastrawan. Sebagaimana Heidegger yang kerap menyebut
„bahasa puitis‟ sebagai medium yang tepat untuk menyampaikan gagasan
2 Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 108 3 Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017).
3
eksistensialnya. Demikian pula Sartre, Nietzche, dan Camus yang banyak
menuangkan gagasannya ke dalam bentuk karya-karya sastra.
Budi Darma menyampaikan bahwa ada keterkaitan antara filsafat dan
sastra.
Kadang-kadang filsafat dan sastra menjadi satu. Filsafat dapat
diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus
dapat bertindak sebagai filsafat. Sesudah Perang Dunia II,
misalnya Albert Camus dan Jean Paul Sartre adalah filsuf
eksistensialisme yang sekaligus adalah sastrawan. Novel-novel
mereka adalah pengucapan filsafat dan sekaligus juga filsafat.4
Di Indonesia, semangat eksistensialisme mulai dirasakan justru dari
puisi. Di antara ciri pokok eksistensialisme adalah individualisme dan atau
kebebasan individual—yang dalam prototipe sastra Indonesia dapat dilihat
dari karya-karya Chairil Anwar. Salah satu potongan lariknya yang terkenal
mengatakan bahwa“…hidup hanya menunda kekalahan…”
Baru kemudian istilah eksistensialisme kian mewarnai Indonesia
modern. Dalam hal ini nama-nama seperti Iwan Simatupang (Merahnya
Merah 1968, Ziarah 1968, Kering 1972, dan Kooong 1975), Budi Darma
(Orang-Orang Bloomington 1981, Olenka 1983, Ny. Talis 1996, dan Raflus
1998), dan Putu Wijaya (Telegram 1973, Stasiun 1977, Sobat 1981, Lho
1982, dan Gres 1982) sebagai punggawa eksistensialis dalam bidang prosa.
Hingga penghujung tahun 2016 sampai awal 2017, nama-nama seperti
Mahfud Ikhwan, Kedung Darma Romansa, Nunuk Y. Kusmiana, Dea
Anugrah, dan Pepi Al-Bayqunnie cukup intensif dalam mengisi khazanah
kesusasteraan Indonesia melalui masing-masing karya mereka.5 Demikian
pula Ratu Sekop karya Iksaka Banu yang justru muncul dengan tawaran yang
sama sekali berbeda dengan semangat zaman. Bahkan Ratu Sekop, cukup
4 Budi Darma, Sastra Indonesia Mutakhir dalam Aminuddin (Ed.), Sekitar Masalah Sastra,
(Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), h. 131-141. 5 Lihat pengumuman nominasi 5 Besar The 17
th Kusala Sastra Khatulistiwa.
4
berbeda bila dibandingkan dengan karya Banu sebelumnya seperti Semua
untuk Hindia dan Sang Raja yang cenderung disebut sebagai sastra sejarah.
Strategi bercerita dalam skena noir dan absurd-gelap yang dibawanya, Ratu
Sekop seakan mengajak pembaca untuk kembali kepada karya-karya sastra di
akhir tahun 70an hingga awal tahun 80an.
Usaha sejak awal dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra
dengan melihat sosok Heideggerian di dalam Ratu Sekop, yang sarat akan
perenungan filosofis, khususnya filsafat eksistensialime, maka melakukan
pemilihan judul-judul dari keseluruhan kumpulan cerpen akhirnya ditimbang
perlu untuk membatasi wilayah penelitian. Judul-judul seperti; (a) Listrik; (b)
Belati; dan (c) Istana Gotik dinilai cukup representatif dalam memunculkan
pola-pola khas eksistensial Heidegger tersebut.
Bentuk-bentuk seperti kejatuhan, faktisitas, kecemasan, juga kematian
kerap menjadi corak dalam ketiga pilihan judul cerpen di atas. Gambaran
penokohan juga sekaligus menampilkan sturuktur dasar manusia; yang-
terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia, dan menuju-kematian. Mengingat
dunia, manusia mesti selalu berada di ruang tertentu dan dalam konteks
sejarah tertentu, untuk itu eksistensi manusia ada dalam waktu, Budi
Hardiman menyebutnya sebagai mewaktu, atau manusia tidak sekadar pasif
berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu.6 Dengan demikian,
manusia sebagai makhluk yang menyejarah inheren dalam pemikiran Martin
Heidegger tentang manusia.
Sosok Heideggerian juga memiliki watak sosial dan komunal. Dalam
pengertian bahwa manusia (das man) selalu berada dalam ruang tegang antara
yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan antara
yang-otentik dan yang-inotentik. Penokohan dalam karya Banu menjadi
semacam representasi yang baik bagi sosok Heideggerian—manusia (dasein)
6 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 121.
5
yang hendak melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya
personal. Sampai di sini, penelitian dengan pembacaan Heideggerian atas
karya Banu dapat dilakukan.
Selain uraian di atas, alasan lain peneliti menggunakan kumpulan
cerpen Ratu Sekop dalam penelitian adalah untuk mengajak pembaca yang
berperan sebagai pendidik untuk coba mengajarkan peserta didik dengan
menggunakan karya sastra terbaru dalam pembelajaran sastra di kelas. Di
samping membuka cakrawala peserta didik terhadap khazanah sastra
termutakhir, pendidik dapat mengeksplorasi secara lebih leluasa dalam
mengupayakan pembelajaran sastra di tengah perkembangan yang serba pesat
seperti sekarang ini. Cerpen sebagai salah satu karya sastra, implikasinya
diharapkan mampu membantu dalam pembentukan nilai-nilai karakter
sebagaimana yang terdapat dalam amanat kurikulum 2013.
Di sisi lain, eksistensialisme sebagai pengkajian filosofis terhadap
pendidikan mutlak diperlukan. Peserta didik yang dipandang sebagai hakikat
yang utuh diharapkan mampu menentukan bagaimana semestinya pendidikan
itu dilaksanakan. Setiap peserta didik dipandang sebagai makhluk yang unik
dan atas dasar itu pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya masing-
masing. Sebagaimana tujuan pendidikan yang mendorong setiap individu agar
mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap
individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada yang dapat diberlakukan secara umum.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menemukan cara serta
tindakan-tindakan nyata yang dapat membantu dalam pembentukan karakter
generasi muda yang berilmu, berbudaya, dan memiliki sifat sosial yang tinggi,
sehingga pembentukan karakter melalui pendidikan tidak hanya dibentuk di
lembaga pendidikan, melainkan pula melalui karya sastra seseorang dapat
mengambil atau meniru karakter dan sifat positif dari kegiatan yang dilakukan
sehari-hari, termasuk salah satunya dari kegiatan membaca karya sastra.
6
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis akan
melakukan penelitian mengenai penokohan dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop dengan judul EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN
CERPEN RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan masalah
sebagai berikut:
1. Belum ada ada penelitian yang menggunakan kumpulan cerpen Ratu
Sekop sebagai objek penelitian.
2. Belum ada penelitian yang menganalisis eksistensialisme dalam
kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu.
3. Kurangnya pemahaman eksistensialisme sebagai upaya menciptakan
konkretisasi sastra dalam memberikan makna karya sastra.
4. Kurangnya pembahasan eksistensialisme yang diimplikasikan terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.
5. Kesulitan menciptakan proses timbal balik antara pendidik dan peserta
didik dalam kegiatan belajar mengajar.
C. Batasan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan masalah agar
pembahasan dalam penelitian tersebut tidak meluas. Adapun pembatasan
masalah dalam penelitian ini adalah eksistensialisme dalam kumpulan cerpen
Ratu Sekop karya Iksaka Banu serta bagaimana implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Eksistensialisme sastra difokuskan
pada pembahasan yang meliputi tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop; (a) Listrik; (b) Belati; dan (c) Istana Gotik.
D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur instrinsik yang terdapat dalam Ratu Sekop karya
Iksaka Banu?
8
2. Bagaimana eksistensialisme dalam Ratu Sekop karya Iksaka Banu?
3. Bagaimana implikasi eksistensialisme dalam Ratu Sekop karya Iksaka
Banu terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1. Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop
karya Iksaka Banu.
2. Mendekripsikan eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop
karya Iksaka Banu.
3. Mendeskripsikan implikasi konsep eksistensialisme dalam kumpulan
cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari hasil analisis ini ada dua macam, yaitu
manfaat praktis dan manfaat teoretis. Berikut pemaparan mengenai manfaat
praktis dan teoritis penelitian.
1. Manfaat teoretis: manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini
adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam pengajaran bidang
Bahasa dan sastra, khususnya untuk pembelajaran sastra tentang
konsep eksistensialisme pada karya-karya sastra.
2. Manfaat praktis: hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa
pihak, yaitu:
a. Bagi Guru: hasil penelitian ini dapat membantu guru sebagai
sumber penyampaian materi dalam pembelajaran sastra yang
menarik, kreatif dan inovatif.
b. Bagi pembaca: dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca
dapat lebih memahami isi dalam karya sastra khususnya
9
kumpulan cerpen Ratu Sekop dan dapat mengambil manfaat
darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam
memilih buku bacaan untuk dijadikan bahan pembelajaran.
c. Bagi peneliti lain: hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan inspirasi maupun menjadi bahan pijakan sebagai
penelitian yang relevan untuk melakukan penelitian yang lebih
baik dan mendalam.
G. Metode Penelitian
Untuk memudahkan memperoleh data dan kesimpulan secara objektif
seputar konsep eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop, maka
langkah yang ditempuh penulis adalah mengadakan studi kepustakaan yang
mengidentifikasi pemilihan dan perumusan masalah dan menyelidiki variabel-
variabel yang relevan melalui telaah kepustakaan.
Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos
itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju,
melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam
pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk
memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah,
sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.7
Dalam mengkaji kumpulan cerpen Ratu Sekop akan digunakan metode
deskriptif kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data
alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.8 Dalam
penelitian karya sastra akan melibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana
pengarang berada, dan juga unsur-unsur kebudayaan pada umumnya.
Metode deskriptif adalah proses pemecahan masalah yang diselidiki
7 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 34 8Ibid. h. 47
10
dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subjek atau non-objek
penelitian. Metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan apa
yang menjadi masalah, menganalisis, dan menafsirkan data yang ada. Strategi
yang didapatkan berupa analisis isi yaitu dengan mengkaji isi berdasarkan
data yang didapatkan. Metode analisis isi yang digunakan dalam menelaah isi
dari suatu dokumen yaitu kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu
dengan memilih tiga cerpen yang diklasifikasikan berdasarkan keperluan
penelitian Eksistensialisme. Adapun ketiga cerpen tersebut yaitu; (a) Listrik;
(b) Belati; dan (c) Istana Gotik.
1. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam skripsi ini adalah tiga cerpen pilihan; (a)
Listrik; (b) Belati; dan (c) Istana Gotik dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop karya Iksaka Banu serta implikasinya dalam pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di SMA.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini bersumber pada
kumpulan cerpen Ratu Sekop dan cerita-cerita lainnya karya Iksaka Banu
yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, 2017, xii+189 halaman. Sedangkan
sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan karya
tulis ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah teknik
penelitian yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk
memperoleh data. Teknik simak dalam penelitian ini berarti peneliti
sebagai instrumen melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan
teliti terhadap sumber data primer. Hasil penyimakan tersebut dicatat
sebagai sumber data.
11
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Tahap-tahap analisis ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik berupa alur, penokohan, latar dan
tema serta keterkaitan hubungan antarunsur intrinsik tersebut.
b. Menganalisis struktur cerpen dengan teori strukturalisme dan
kemudian dianalisis lebih mendalam dengan teori eksistensialisme
Martin Heidegger untuk memaparkan eksistensi tokoh cerpen Listrik;
Belati; dan Istana Gotik. Langkah-langkah tersebut meliputi
identifikasi, klasifikasi, dan deskripsi data mengenai proses dan
momen eksistensial tokoh utama.
c. Membuat simpulan yang berkaitan dengan struktur cerpen dan wujud
eksistensi tokoh serta mengimplikasikannya terhadap pembelajaran
melalui materi dan kurikulum di sekolah.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Cerpen
Cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra fiksi. Cerita
pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik
peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku dan jumlah kata yang
digunakan.1 Dengan sifatnya yang pendek maka segala unsur yang
membangun cerpen harus mampu didayagunakan secara maksimal agar
mampu menyampaikan ide cerita secara tepat.
Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk
pembacanya. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang
jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat
dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh
lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca.
Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan
dalam sehingga sekali membacanya kita tak akan mudah lupa. Hal ini sejalan
dengan perkataan Edgar Allan Poe yang mengatakan bahwa cerpen adalah
sebuah cerita yang selesai baca sekali duduk.2 Sementara, Abrams menyebut
cerpen sebagai “the prose tale” yakni "…as a narrative which can be read at
one sitting of from half an hour to two hours, and is limited to "a certain
unique or single effect" to which every detail is subordinate.3
1 Endah Tri Priyatni. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), h. 126. 2 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005), h. 10. 3 M. H. Abrams. A Glossary of Literary Terms. (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 286.
13
Cerita pendek, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata
yang digunakan, ternyata peristiwa dan isi cerita yang disajikan juga sangat
pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi mengandung kesan
yang dalam. Isi cerita memang pendek karena mengutamakan kepadatan ide.
Karena peristiwa dan isi cerita dalam cerpen singkat, pelaku-pelaku dalam
cerpen pun relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan roman/novel. Di
Indonesia ukuran cerpen biasanya terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman
folio ketik. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek sebuah cerpen
memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para
pengarang dan para ahli.4
Cerpen adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa (kejadian)
apa saja yang menyangkut persoalan jiwa.5 Selanjutnya, Rosidi memberi
pengertian cerpen sebagai cerita yang pendek dan merupakan kebulatan ide.6
Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerita pendek adalah
lengkap, bulat dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat
pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian
yang boleh lebih atau bisa dibuang.
Cerita pendek juga merupakan suatu karangan prosa yang berisi
sebuah peristiwa kehidupan manusia pelaku/tokoh dalam cerita tersebut.7
Dalam karangan terdapat pula peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak
dikembangkan sehingga kehadirannya hanya sekadar sebagai peristiwa pokok
agar cerita tampak wajar. Ini berarti cerita dikonsentrasikan pada satu
peristiwa yang menjadi pokok cerita.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, mengidentifikasi bahwa
cerpen-cerpen Iksaka Banu merupakan karya sastra fiksi dengan cerita singkat
4 Nurgiyantoro. Op Cit. h. 10.
5 Z. F. Zulfahnur, dkk. Teori Sastra. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.
62. 6 Purba, Op.cit, h. 50-51.
7 Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 18.
14
yang memiliki kebulatan ide dan bertitik berat pada satu masalah sehingga
mampu memberi kesan tunggal dan mudah diingat. Kependekan isi cerpen
dapat memungkinkan pembaca untuk menyelesaikan bacaannya dalam sekali
duduk/baca.
.
B. Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur-unsur pembangun di dalam cerpen secara umum dapat
dikatakan sama seperti halnya yang terdapat dalam novel, meski intensitas
(juga kuantitas) dalam hal pengoperasian unsur-unsur cerita tersebut ditemui
beberapa perbedaan. Namun demikian, unsur-unsur intrinsik seperti tema,
tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa masih
dapat ditemui di dalam cerpen.
Selanjutnya, elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian
imajinatif dari sebuah cerita. Sebagaimana yang telah dirangkum oleh Stanton
menjadi struktur faktual. Sementara apa yang disebut sebagai struktur faktual,
hanyalah salah satu cara bagaimana detil-detil cerita diorganisasikan. Di
samping detil tersebut juga membentuk berbagai pola yang pada gilirannya
akan mengemban tema.8
1. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu
diingat.9 Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar
anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud.10
Inilah yang
dinamakan tema.
8 Robert Stanton. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 23.
9 Ibid. hlm. 36.
10 Ibid. hlm. 38.
15
Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. Dalam cerpen,
tema menjadi hal yang tunggal. Hal itu berkaitan dengan keadaan plot
yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas11
Tema sebagai makna pokok
sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal
inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
“tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.12
2. Tokoh dan Penokohan
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu
mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.13
Sementara, tokoh menurut Budianta adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam
cerita.14
Selain tokoh utama yang dinamakan “protagonis”, ada pula
tokoh-tokoh lainnya dan yang juga penting adalah lawan dari tokoh
protagonis yaitu tokoh “antagonis”. Tokoh antagonis ialah tokoh yang
diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama (protagonis). Konflik di
antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakan cerita.
Tokoh utama dalam karya fiksi adalah tokoh yang paling banyak
diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir
sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang
mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama dalam sebuah cerpen
cenderung lebih terbatas ketimbang novel. Berkenaan data-data jati diri
11
Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 13. 12
Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 68. 13
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra (tt.p: Sinar Baru, t.t.), hlm. 79. 14
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra,(Magelang: IndonesiaTera, 2006), hlm. 86
16
tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca
harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh
itu.15
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya
lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2)
gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana
perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya
sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat
bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh
lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain
itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu
dalam mereaksi tokoh yang lainnya.16
3. Alur
Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang
terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang
menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak
dapat diabaikan karena akan berpengaruh kepada keseluruhan karya.
Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran
atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-
kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi
variabel pengubah dalam dirinya.17
15
Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 13 16
Aminuddin, Op.cit., hlm. 81 17
Stanton, Op.cit., hlm. 26
17
4. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.18
Wellek dan Waren mengatakan bahwa latar adalah lingkungan yang
dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya.
Sedangkan Abrams mengatakan bahwa Latar atau setting yang disebut
juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Sedangkan Stanton mengelompokan latar, bersama dengan
tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika
membaca cerita fiksi. atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan
langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita
kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, dimana dan
kapan.19
5. Sudut Pandang
Dalam sebuah cerita, pengarang adalah „kamera‟. Pandangannya
mengenai seorang karakter biasanya hadir lewat teknik, nada, atau sarana-
sarana sastra, dan tidak melalui komentar eksplisit.20
Sudut pandang atau
point of view merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam karya fiksi.
18
Ibid. hlm. 35 19
Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 216 20
Stanton, Op.cit., hlm. 57
18
Pengarang sebagai orang di luar cerita saja atau pengarang juga akan turut
serta dalam cerita yang dibuatnya.
Sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian,
perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa
sangat tidak terbatas.
a. Pada „orang pertama-utama‟, sang karakter utama bercerita dengan
kata-katanya sendiri.
b. Pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu karakter
bukan utama (sampingan).
c. Pada „orang ketiga-terbatas‟, pengarang mengacu pada semua
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan
oleh satu orang karakter saja.
d. Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga
dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir
atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.21
6. Amanat
Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah
karya, makna yang disarankan lewat cerita.22
Cara yang tepat dalam menentukan amanat sebuah karya sastra ialah
dengan melihat rentetan peristiwa yang terjadi di dalam karya sastra
karena amanat di dalam sebuah cerita kadang-kadang dapat diketahui
secara implisit, yakni berupa suatu ajaran atau petunjuk lansung kepada
pembaca. Dengan demikian, amanat itu telah dinyatakan dengan jelas
21
Ibid. hlm. 52 22
Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 320
19
oleh pengarangnya. Kemungkinan lain, amanat di dalam sebuah cerita itu
tidak dapat diketahui secara jelas. Biasanya prilaku para tokoh merupakan
sumber utama yang dapat menentukan amanat sebuah cerita.
7. Gaya Bahasa
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan
bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar
yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan
tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai
aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor,
kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. 23
Campuran dari
berbagai aspek di astas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.
Istilah gaya bahasa berasal dari kata “plassein” (Latin) yaitu
membentuk; dalam bahasa Inggris disebut “style” adalah ragam, cara,
kebiasaan, dalam menulis berbicara.24
Henry Guntur Tarigan menyitir
dari buku Gorys Keraf yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa” bahwa
gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). Gorys Keraf telah membahas jenis-jenis gaya bahasa yang
berbagai macam menjadi empat kelompok yaitu gaya bahasa
perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya
bahasa perulangan.25
23
Ibid. hlm. 61 24
Zulfahnur, dkk., Teori Sastra (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III), hlm. 38 25
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 5
20
C. Eksistensialisme Martin Heidegger
Hardiman dalam Mistik Keseharian26
menyebut bahwa Heidegger,
dengan Sein und Zeit, sedang mempraktikkan fenomenologi dengan mengajak
pembaca melihat berbagai hal secara mendalam, seolah-olah baru pertama
kali melihat, dan bersikap sebagaimana pemula. Bagaimanapun, dalam istilah
Maurice Natanson, fenomenologi adalah science of beginnings.
Fenemonologi Heidegger mengambil jalan berbeda dari gurunya.
Pergeseran yang sangat radikal mengalihkan pemahaman sebelumnya atas
fenemenologi Husserl yang dipandang masih mengandung unsur-unsur
idealisme. Fenomenologi ontologis, demikian kritik Heidegger, menyebut
bahwa konsep intensionalitas Husserl, pertama, mengabaikan dunia dan
malah berpusat pada kesadaran sang aku sebagai titik dalam membangun
pemahaman terhadap dunia.
Melalui radikalisasi tersebut, Heidegger mengembalikan dunia kepada
posisi sentral sebagai titik tolak filsafatnya. Intensionalitas kemudian, kedua,
bukan sekadar kesadaran yang terarah akan sesuatu, melainkan kesadaran
dalam/sebagai sesuatu. Artinya manusia tidak saja serta merta menyadari
sesuatu, melainkan sesuatu dalam kesadaran itu turut membentuk dunia
manusia. Sampai di sini, Heidegger menganggap Husserl masih terjebak
dalam idealism meski diungkapkan dengan cara-cara fenomenologi. Menurut
Heidegger, Husserl dinilai telah membangun pembedaan antara subjek
(pengetahu) dengan objek (diketahui). Persis idealisme Cartesian, menurut
Heidegger, relasi Husserl dibangun.
Di mata Heidegger, manusia bukanlah makhluk di balik sejarah yang
tanpa tersentuh denyut kehidupan, sehingga dalam menangkap objek-objek
kehidupan (realitas faktual) dalam aktivitas manusia—yang dari padanya juga
manusia menjadi objek dunianya. Manusia tidak mampu membersihkan
26
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016).
21
dugaanya terhadap sesuatu. Kritik ini tertuju, ketiga, kepada imajinasi
fenomena murni Husserl yang mengandaikan manusia mampu bermekanisme
untuk menunda praanggapan dan prasangka terhadap objek yang teramati
dalam kesadarannya.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa mengalami
persitegangan antara dirinya sebagai subjek dan manusia itu sendiri sebagai
objek dunianya. Artinya, ia merupakan makhluk yang dibentuk dunianya
sekaligus membentuk dunianya. Dengan dialektis semacam ini, keempat,
manusia tidak bisa dinyatakan bebas dari pengaruh lingkungan, demikian pula
sebaliknya.
Singkatnya, menjadi hal yang niscaya mengatakan bahwa tidak ada
kesadaran yang perawan,27
sebab kesadaran senantiasa disituasikan oleh apa
kesadaran itu dibentuk. Artinya, bukan kesadaran yang utama—karena tetap
penting, melainkan situasi yang meliputi kesadaran itu sendiri yang utama.
27
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 33.
22
1. Drama Eksistensial Keseharian Dasein
Sebagai anak zaman, yang besar dan tumbuh di era pencerahan,
filsafat Heidegger justru melampaui Rene Descartes dengan memperlihatkan
bagaimana subjek dan kesadaran bukanlah satu-satunya cara realitas
memperlihatkan dirinya. Pasase Cogito ergo sum, mengandaikan bahwa
kesadaran adalah segala-segalanya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai Ada
sebagai seluruh totalitas yang meliputi segala seluruh, kerap diabaikan dari
refleksi.
Namun bagaimanakah Ada itu dapat terpahami, sementara manusia
merupakan adaan yang mengalami Ada? Sejauh itulah, Ada kemudian hanya
mampu dipersoalkan oleh adaan yang mengalami ada. Manusia. Heidegger
mengawali refleksi filosofisnya dari manusia sebagai jalan masuk
mengungkap Ada. Manusia adalah „Ada-di-sana‟. Dasein telah Ada-dalam-
dunia (In-der-Welt-sein/ Being-in-the-World) begitu saja. “Ada-dalam-dunia”
ini adalah konsep kunci pemikiran Heidegger terkait manusia. “Ada-dalam-
dunia,” demstensikian kata Heidegger “sebagai konstitusi fundamental dari
manusia (Dasein),”28
Dasein telah menerima keberadaan dunia sebelum keberadaan
manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia dengan segala apa yang
dimilikinya hanyalah makhluk yang tanpa disadari sudah terliputi Ada
sebelum ia memahaminya. Dalam ungkapan Heidegger, yang dikutip Budi
Hardiman, “Atas dasar ada-di-dalam-dunia secara bersama ini, dunia sudah
selalu merupakan dunia yang kumukimi bersama dengan orang-orang lain.
Dunia Dasein adalah dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-dalam adalah ada-
28
Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of
New York Press, 1996), h. 49
23
bersama (Mitsein) orang-orang lain.29
Kondisi yang demikian, Heidegger,
menyebutnya sebagai faktisitas manusia.
Heidegger menyebutkan bahwa sifat dasar Dasein secara eksistensial
adalah ‘ada-di dalam-dunia’. Lalu, apa yang ditemui Dasein di dalam
dunianya? Heidegger menyebut ada tiga macam Mengada yang dapat ditemui
Dasein di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat,
benda-benda yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia
atau orang-orang lain.
Mengada
(Seind)
Istilah sehari-
hari
Cara
Mengada
(Seinart)
Sikap Dasein
sehari-hari
Zuhandenes Alat-alat Untuk sesuatu
(Um-zu)
Mengurus/menangani
(Besorgen)
Vorhandenes
Benda-benda
yang bukan alat-
alat
Tersedia
begitu saja
Tanpa minat
menangani
MitDasein
Sesama manusia
atau orang-
orang lain
Ada-bersama
(Mitsein)
Merawat/memelihara
(Fürsorge)
Heidegger biasa menyebut alat-alat dengan istilah Zuhandenes, yang
berarti „siap-untuk-tangan‟ (Um-zu).30
Artinya, perlakuan dari seorang Dasein
terhadap keberadaan alat itu selalu „untuk sesuatu yang lain‟ dengan
mengurusinya atau menanganinya (Besorgen). Semisal, bahasa dan simbol
„untuk‟ komunikasi, listrik „untuk‟ menghidupkan alat-alat elektronik, televisi
„untuk‟ menampilkan gambar, belati „untuk‟ memotong, dan pistol „untuk‟
menembak.
29
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 69. 30
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 65.
24
Sedangkan benda-benda alamiah yang bukan alat-alat oleh Heidegger
biasa disebut dengan Vorhandenes, yang berarti „tersedia-di-depan-tangan‟.31
Artinya, perlakuan dari seorang Dasein terhadap benda-benda yang bukan alat
itu selalu „tanpa minat menanganinya‟, karena benda-benda itu tidak terlibat
dengan kita dan tampak asing serta tak ada gunanya. Semisal, rongsokan.
Meski demikian, Zuhandenes bisa juga menjadi Vorhandenes apabila sudah
tidak dipedulikan lagi atau mengalami kerusakan sehingga tidak bisa lagi
difungsikan. Begitupun juga sebaliknya.
Mengada ketiga yang dapat ditemui Dasein dalam dunianya adalah
orang lain. Heidegger sering menyebutnya sebagai MitDasein, atau sesama
manusia yang ‘bersama-ada-di sana’.32
Artinya, sebagai sesama manusia
yang telah „ada-bersama‟ (Mitsein), maka perlakuan dari seorang Dasein
terhadap Mengada yang satu ini dengan sikap merawat atau memelihara
(Fürsorge). Hal ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah
makluk sosial yang membutuh kan orang lain. Nah, persis pada titik inilah
pandangan yang menganggap bahwa Heidegger itu sebagai seorang yang
individualis dapat segera terpatahkan. Heidegger menulis, “dunia Dasein
adalah dunia-bersama”.
On the basis of this like-with being-in-the-world, the world is always
already the one that I share with the others. The world of Dasein is a
with-world. Being-in is being-with others. The innerworldly being-in-
itself of other is Mitda-sein.33
31
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 69. 32
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 68. 33
“Atas dasar ada-di-dalam-dunia secara bersama ini, dunia sudah selalu merupakan dunia yang
kumukimi bersama dengan orang-orang lain. Dunia Dasein adalah dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-
dalam-dirinya-sendiri adalah ada-bersama (Mitsein) dengan orang-orang lain (Mitdasein). Heidegger,
Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of New York Press,
1996), p. 118. h. 111-112.
25
Berdasarkan distingsi tersebut, Dasein sebagai pengada yang
menanyakan Ada-nya dari Mengada-mengada lain, akan menunjukkan bahwa
caranya bersikap terhadap masing-masing Mengada itu memang harus
berbeda. Di dalam pertemuan Dasein dengan masing-masing Mengada inilah
yang kemudian disebut sebagai Keseharian.
Dunia yang terpahami dalam Dasein adalah dunia yang sudah selalu
dipahami berdasarkan struktur ontologis Dasein yang mendiaminya, bahwa
manusia ada dalam dunia tidak sama dengan cara mengada benda-benda. Bila
suatu benda dikatakan ada dalam sebuah tas, maka hal ini mengandaikan
hubungan spasial. Sementara Dasein adalah manusia yang dikatakan ada
dalam suatu tempat, sebagaimana dunia seniman, dunia sastrawan, dunia
pelukis, dunia artis hingga dunia olahraga dan lain-lain. Sebagaimana sejarah
selalu sudah ada kebiasaan, tradisi, produk kultural seperti gaya hidup,
hukum, adat istiadat, dan segala macamnya Dengan demikian,
mengindikasikan dunia yang ditempati manusia tidak pernah netral.
Sampai di sini, Heidegger sudah cukup mengafirmasi sebuah tesis
bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah. Manusia tidak pernah bisa
keluar dari konteks sejarahnya. Sebab secara konstitutif, struktur ontologis
manusia adalah “Ada-dalam-dunia” (Being-in-the-World). Manusia itu
terlempar ke dunia dan selalu sudah menemui dirinya berada dalam ruang
sejarah yang memuat “roh objektif” tertentu.
2. Drama Eksistensi Kemewaktuan Dasein
Eksistensi manusia ada dalam waktu dan meminjam bahasa Budi
Hardiman yang menyebutnya sebagai mewaktu. Manusia tidak sekadar pasif
berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu.34
Dalam
kemewaktuan itulah, manusia adalah waktu. Waktu dalam hal ini bukan lagi
34
Ibid. h. 121.
26
waktu objektif yang dapat dihitung dengan hitungan detik, menit, jam, hari,
minggu, bulan, dan tahun, melainkan waktu subjektif yang ada dalam diri
manusia. Dan pemikiran tentang ada dalam pertautannya dengan waktu baru
saja menjadi filsafat yang khas Heidegger.
Heidegger berusaha mengatasi konsep waktu yang diobjektifkan—
atau dalam bahasanya sendiri “vulgar concept of time“: waktu yang di luar
sana, di luar diri kita; waktu yang bisa dihitung dengan angka; kalendar;
selular; arloji; jam pasir; sebatang kretek; dan lain sebagainya. Bagi
Heidegger, waktu objektif tersebut bersumber dari waktu primordial, yakni
waktu yang ada dalam subjektivitas manusia. Waktu primordial itu lebih
otentik dari waktu objektif.
Berdasarkan lazimya konsep waktu, ada tiga titik yang menjadi
penanda atas perjalanan waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketiga
titik tersebut hadir secara kronologis: masa lalu adalah apa yang telah ada
sebelum masa kini; masa depan adalah apa akan ada setelah masa kini; dan
masa kini adalah saat di mana kita bereksistensi. Namun pemahaman
Heidegger tentang waktu tidaklah demikian, dalam arti konsep waktu vulgar,
apa yang disebut kemewaktuan adalah kehadiran masa lalu, masa kini, dan
masa depan secara serempak dalam satu kejadian. Masa lalu tidak mesti lebih
dulu dari masa kini dan masa depan; begitu juga masa depan tidak mesti lebih
belakangan dari masa kini dan masa lalu. Manusia mengalami ketiga dimensi
waktu tersebut secara sekaligus bukan muncul setelah yang lain.
Untuk lebih mudah, waktu yang dipikirkan Heidegger tidak berada di
luar sana. Sebagaimana ketika kita menanya kepada orang sekitar dalam
keseharian, maka mereka akan menunjuk zuhandenes (alat-alat), piranti-
piranti pengukur waktu (dari waktu yang vulgar tadi). Menurut Hardiman,
Heidegger membagi dua macam waktu; konsep waktu yang vulgar sebagai
keberadaan di-dalam-waktu (Innerzeitigkeit); dan zeitlichkeit sebagai waktu
27
yang cocok untuk Dasein. Dengan kata lain, meminjam istilah Hardiman,
adalah kemewaktuan.35
Dasein tidak sekadar pasif ada di dalam waktu, melainkan aktif
mewaktu. Kalaupun semua pengukur waktu lenyap dan sirna, dengan hanya
mengandaikan keadaan waktu yang vakum maka Dasein sebagai manusia
tanpa waktu objektif tetap mengarahkan diri ke masa depan. Dasein akhirnya
adalah waktu itu sendiri. Membuka diri terhadap kemungkinan yang datang
menghampirinya; kematian. Dasein adalah berada menuju kematian. Dan
dalam menuju kematian itu, Dasein berhadapan dengan kemungkinannya
sendiri yang paling khas miliknya. Tak seorangpun dapat menggantikan dan
menjemput kematiannya untuk orang lain. Kematian sudah menyongsong
Dasein sejak keterlemparannya (faktis), atau dengan kata lain bahwa kematian
sudah ada sejak permulaan. Karena begitu seorang manusia lahir, ia sudah
terlalu tua untuk mati.36
Selanjutnya, kita mesti merekonstruksi pemahaman Heidegger
terhadap „skema‟ kehidupan manusia. Pertama, di masa lalu, manusia
terlempar ke dunia yang sudah penuh dengan konteks sejarah. Di dunia itu
manusia selalu sudah bertemu dengan pengada-pengada lainnya. Ini semacam
takdir bagi manusia. Heidegger menyebut hal ini sebagai faktisitas. Kedua, di
masa kini, manusia larut dalam kesehariannya bersama pengada-pengada yang
lainnya, semisal benda-benda, alat, atau manusia lainnya. Hal ini oleh
Heidegger disebut sebagai momen kejatuhan. Ketiga, dalam keterkaitannya
dengan masa lalu dan masa kini, manusia selalu mengarahkan dirinya pada
kemungkinan-kemungkinannya di masa depan, untuk itu Heidegger memberi
prioritas bagi masa depan (zukunft) di antara momen yang lain.
Pada titik inilah pemahaman Heidegger tentang historisitas manusia
memiliki pemaknaan yang bercorak eksistensialis sehingga manusia tetap
35
Ibid. h. 113. 36
Ibid. h. 104.
28
menemukan kebebasannya di tengah determinasi sejarah (faktisitas). Sebab,
meskipun historisitas dipahami sebagai semacam takdir, manusia untuk
mewarisi sejarahnya, namun pada saat yang sama manusia selalu
mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinannya di masa depan. Di
situlah, dalam keterarahan manusia pada masa depan, eksistensialitas manusia
muncul, membuat ruang tegang antara apa yang faktis di masa lampau dan
yang timbul-tenggelam dalam keseharian dengan keterbukaan pada berbagai
kemungkinan di masa depan.
Ektasis Waktu Waktu Otentik Waktu Inotentik
Masa depan
(Zukunft)
Antisipasi
(Vorlaufen)
Menunggu-nunggu
(Gewärtigen)
Masa kini
(Gegenwart)
Momen visi
(Augenblick)
Kehadiran
(Gegenwärtigen)
Masa lalu
(Gewesenheit)
Mengambil
kembali
(Wiederholung)
Kelupaan
(Vergessen)
Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa
depan (Zukunft) otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger,
disebut sebagai „antisipasi‟. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia
menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi.
Karenanya, Heidegger juga menyebutkan bahwa masa depan otentik itu “is
revealed in resoluteness“—ada dalam keteguhan hati. Dalam antisipasi,
Dasein, mengambil dirinya kembali dalam kemungkinan yang paling khas
miliknya. Sementara masa depan inotentik memiliki karakter menunggu-
29
nunggu (awaiting). Artinya, kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak
diantisipasi, melainkan ditunggu: manusia pasif.
Sementara masa depan yang otentik adalah keterbukaan terhadap
kemungkinannya sendiri, masa kini (Gegenwart) adalah bukan keterbukaan
saat ini atau sekarang, sebab masa kini dalam definisi waktu yang demikian
termasuk konsep vulgar tentang waktu, untuk itu Heidegger menyebut masa
kini yang otentik sebagai momen kebulatan tekad, momen visi (keputusan),
atau keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan
dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa di tangani.37
Dan masa kini yang
inotentik adalah kehadiran. Larut dalam keseharian dan menenggelamkan diri
tanpa kebulatan tekad. Kemudian kehilangan tiap momen visi.
Kemudian masa lalu (Gewesenheit) yang otentik disebut-sebut
Heidegger sebagai Wiederholung, pengambilan kembali. Ketika Dasein
membuka diri, terhadap kemungkinan di depan dan membulatkan tekadnya,
Dasein kembali ke situasi keterlemparannya. Dan dalam antisipasi, Dasein,
mengambil dirinya kembali dalam kemungkinan yang paling khas miliknya.
Jadi masa lalu yang otentik adalah pengambilan kembali atas keterlemparan
sebagai suasana hati yang muncul kembali pada titik yang sama dengan
antisipasi dan momen visi dari kebulatan tekad, untuk itu melupakan (atau
kelupaan akan) keterlemparannya adalah masa lalu yang inotentik. Bahwa
orang yang melupakan sejarah juga akan kehilangan dimensi masa silam. Lari
dari „kenyataan‟. Mengutuk diri dan larut dalam keseharian.
Atas dasar itu kesatuan dari masa depan, masa kini, dan lampau yang
inotentik pada gilirannya akan berupa; sikap menunggu-nunggu (masa depan
inotentik) yang menghasilkan kelupaan (masa lalu inotentik) seperti juga
kehadiran (masa kini inotentik) ke dalam keseharian dan kesibukan praktis
sehari-hari.
37
Ibid. h. 121.
30
Pada titik itulah manusia dalam historisitasnya dituntut untuk selalu
memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya pada kemungkinan-
kemungkinan yang datang menghampirinya; dan sekaligus melakukan
antisipasi atas semua kemungkinannya. Maka, manusia otentik bukanlah apa
yang oleh Heidegger disebut das Man: manusia impersonal yang tenggelam
dalam rutinitas kesehariannya dan begitu saja hidup sebagaimana manusia-
manusia lainnya; melainkan manusia yang dapat merasa cemas dengan
Adanya, sehingga selalu melakukan antisipasi dan membuka diri terhadap
segala kemungkinan yang ada di depannya.
D. Implikasi Pembelajaran Sastra
Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.
lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan
pembelajaran dari sebuah karya sastra, untuk itu sastra mempunyai implikasi
dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.
Setiap guru hendaknya senantiasa menyadari bahwa setiap peserta
didik atau siswa adalah juga manusia dengan kepribadiannya yang khas,
kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing, untuk itu
penting untuk memandang bahwa pembelajaran merupakan proses
pengembangan siswa dalam visi memanusiakan manusia. Dan memahami
manusia secara menyeluruh berarti juga memahami manusia sebagai
keberadaan di dunia bersama manusia lain beserta keterkaitannya dengan
berbagai hal yang ada di lingkungannya.38
Sejalan dengan itu, pokok materi pembelajaran sastra di sekolah
terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Secara umum, pembelajaran sastra
yaitu terkait dengan kegiatan apresiasi terhadap karya. Apresiasi berarti
menghayati amanat dan sekaligus cara pengungkapanya dan atas dasar itu
38
Fuad Hassan, Psikologi Kita dan Eksistensialisme, (Depok: Komunitas Bambu, 2014). h. viii.
31
kemudian menghargainya.39
Dan jika pembelajaran sastra dilakukan dengan
cara yang tepat, dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk
memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di
dalam masyarakat.40
Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.
lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan
pembelajaran dari sebuah karya sastra, untuk itu sastra mempunyai implikasi
dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.
Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami
berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk
menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di
banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian
kemungkinan hidup manusia.”41
Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran
sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan
berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu
menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi
dan rasa simpati yang lebih mendalam.
Sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan
berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa,
yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut
sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa
berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan
menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut:
39
Sapardi Djoko Damono, Sastra di Sekolah, Susastra Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Vol. 3,
2007. h. 10 40
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 15 41
Ibid., h. 24.
32
“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam
praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi
bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan
kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan
diintegrasikan.”42
Pada pembelajaran sastra, siswa juga diarahkan untuk melatih
keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan
guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara
dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan
teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca
dengan membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan
menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak
menciptakan puisi.
Sastra memberi wawasan kebudayaan. sastra tidak seperti ilmu
pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi
seperti ilmu pengetahuan pada umunya. Jika ilmu pengetahuan lainnya
didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam
memecahkan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra
karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan
problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas
perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman Kutha Ratna
memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar bentuk dan isi
memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar merupakan
indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”43
Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak
langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang
menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas
42
Ibid.,h.38. 43
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2010), h.515
33
kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya
semangat kebangsaan. Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat
kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu
kesimpulannya sebagai berikut:
“Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap-
lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia
harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak
hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil daru
pengaruh timbale balik yang rumit dari faktor-faktor sosial
dan cultural, dan sastra itu sendiri merupakan objek kultural
yang rumit.”44
Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra
memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan
sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu, sehingga
dengan pembelajaran sastra siswa mampu melihat kedaan zamannya secara
lebih peka. Masalah-masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan
masalah yang ada dalam dunia nyata, atau dengan kata lain, bahwa lewat
pembelajaran sastra siswa dapat lebih cermat dengan keadaan sosial
sekelilingnya.
Sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada
dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak
ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara
pasti. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan
membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana
watak manusia yang dididiknya.
Sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral
diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana
44
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.
34
ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada
gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan
dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus
ditolak, dan sebagainya.”45
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi
pembelajaran bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai
wawasan saja, akan tetapi, juga memberikan pembentukan karakter siswa,
pendidikan moral serta etika. Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah
bersifat jadi. Pembelajaran yang didapat siswa didapat ketika mereka
membaca dan juga memahami isi dari sebuah karya sastra.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan digunakan untuk membandingkan penelitian
yang satu dengan yang lainnya dan untuk menghindari duplikasi dalam
penelitian ini, diperlukan beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui
tinjauan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang relevan terhadap
penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Penelitian yang pertama
Skripsi Semua untuk Hindia oleh Dyandra Chairartun Hisan, mahasiswa
Universitas Airlangga. Penelitian ini mengungkapkan konstruksi penjajah dan
jajahan, serta menjelaskan makna penjajahan yang terbangun dalam cerpen-
cerpen pada kumpulan Semua untuk Hindia.
Pergeseran makna akan penjajah menjadi hasil temuan dalam
penelitian ini. Penjajahan dihadirkan sebagai penjajah yang baik dan
membantu agar tidak terjadi perang. Sementara jajahan yang dianggap lemah
dan inferior dalam pandangan umum, hadir sebagai jajahan pribumi yang
senantiasa melakukan perlawanan demi membela kedaulatan bangsa.
45
Kutha Ratna,Op.cit., h. 438
35
Penelitian kedua adalah Tesis yang dilakukan Zoë Mclaughlin dengan
judul It’s Light Has Already Faded: The May 1998 Riots in Analogy and
Allegory Universitas Michigan. Penelitian ini melakukan kerja sastra
bandingan mengenai Kerusuhan Mei 1998, dengan Pakarena karya Khrisna
Pabichara dan Bintang Jatuh dari salah satu judul cerpen Iksaka Banu dalam
kumpulan Semua Untuk Hindia.
Menurut penelitian Mclaughlin, Iksaka Banu melalui cerpen Bintang
Jatuh menggunakan kisah kiasan pembantaian di Batavia pada tahun 1740
sebagai alegori untuk mempertanyakan siapa dalang di balik Kerusuhan Mei
1998. Selain penggambaran mengenai posisi etnis Tionghoa yang mengalami
kekerasan di masa orde baru, dalam pertautannya dengan kisah pada masa
kolonial, Bintang Jatuh menurut Mclaughlin juga melambangkan lengsernya
Soeharto dari tahta kepresidenan.
Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Engkin
Suwandana yang berjudul Eksistensialisme dan Absurdisme dalam Drama
Karya Putu Wijaya. Suwandana mendapat hasil penelitian menunjukkan
bahwa eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug karya Putu
Wijaya, tampak Pada segi kebebasan, kecemasan, kegagalan, kesia-siaan, dan
kematian.Tiga konsep absurdisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug
karya Putu Wijaya tampak melalui bunuh diri filosofis, sifat simbolik, tragedi
dan komedi.
Penelitian keempat, terdapat skripsi akademika Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah yang melacak jejak-jejak eksistensialisme dalam
sajak-sajak Chairil Anwar yang menyoroti kehidupan, Tuhan-agama, dan
kematian. Penelitian dilakukan oleh Radi Aditama Sanjaya alumni Fakultas
Ushuluddin, dengan judul Eksistensialisme Chairil Anwar dalam Sajak-Sajak
Aku Ini Binatang Jalang.
Penelitian pertama dan kedua mengkaji salah satu karya sastra Iksaka
Banu, yaitu Semua Untuk Hindia. Penelitian ketiga dan keempat, mengkaji
36
tentang isu filsafat eksistensialisme dalam penerapannya sebagai analisis
karya sastra. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada, peneliti
belum menemukan penelitian dengan mengambil objek kajian kumpulan
cerpen Ratu Sekop, maupun Eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop Karya Iksaka Banu serta Implikasinya terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di SMA.
37
BAB III
PROFIL IKSAKA BANU DAN SINOPSIS CERPEN
A. Biografi Singkat Iksaka Banu
Iksaka Banu lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Namanya dikenal
melalui karya-karyanya berupa komik dan prosa yang dipublikasikan ke
berbagai media massa. ia merupakan salah satu penerima Penghargaan
Kusala Sastra Khatulistiwa melalui karyanya yang berjudul Semua untuk
Hindia pada tahun 2014.
Banu menempuh pendidikan desain grafis di Institut Teknologi
Bandung dan bekerja sepenuhnya sebagai pengarah seni di beberapa biro
periklanan sejak 1990, sebelum memutuskan menjadi pekerja lepas pada
tahun 2006. Bahkan sebelum giat di dunia periklanan dan mengisi desain-
desain sampul buku bagi Yayasan Obor Indonesia. Pada awal 1974,
cerpennya Dikejar Setan dimuat di rubrik anak-anak harian Kompas. Tahun
berikutnya, Mengapa Harimau Berani Kepada Manusia adalah judul
cerpennya yang dimuat di majalah Kawanku. Kemudian sekitar delapan
cerpennya terbit di rubrik Arena Anak-Anak dalam harian Angkatan
Bersenjata sepanjang tahun 1974-1975.
Banu remaja, tepatnya kelas II SMP, ia menjadi pengisi tetap pada
halaman komik berwarna Samba si Kelinci Perkasa di majalah anak-anak
Ananda. Meski hanya selama setahun ia mengisi di sana, gairah menggambar
juga melukis tetap berlanjut hingga Banu dewasa yang menempuh
perkuliahan di Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Baru kemudian sejak tahun 2006, tepatnya selepas sang Ibu wafat,
Banu kembali ke dunia tulis menulis sampai sekarang. Karya-karya tulisnya
38
banyak dimuat di majalah Matra, Femina, Horison, dan Koran Tempo. Selain
kumpulan cerita Ratu Sekop, Semua untuk Hindia telah diterjemahkan dengan
judul All for Hindia, Sang Raja, A Shooting Star & Other Stories, dan The
Golden Shackle.
B. Ratu Sekop: Iksaka Banu, Marjin Kiri, dan Martin Heidegger
Usaha penulis sejak awal untuk melihat persinggungan antara Ratu
Sekop dengan Heidegger mungkin akan dianggap sedikit janggal. Dalam
silang-sengkarut aliran di jagat filsafat, Heidegger sering dianggap sebagai
seorang eksistensialis—setidaknya seperti yang diklaim oleh Sartre. Di antara
ciri pokok eksistensialisme adalah individualisme dan/atau kebebasan
individual—yang dalam sastra Indonesia prototipenya dapat kita lihat dalam
karya-karya Chairil Anwar dalam puisi-puisinya, Iwan Simatupang
(Merahnya Merah 1968, Ziarah 1968, Kering 1972, dan Kooong 1975) dan
Budi Darma (Orang-Orang Bloomington 1981, Olenka 1983, Ny. Talis 1996,
dan Raflus 1998) sebagai punggawa garis depan dalam bidang prosa.
Sementara itu, melalui keterampilan Banu (Ratu Sekop), nuansa kartun
dan komikal yang nyaris selalu hadir dengan tokoh yang selalu elastis
dijadikan untuk sesuatu yang menyulut, menghidupkan, mengagetkan,
mencubit, menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca)
agar berhenti sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang
lain. Ratu Sekop, bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan,
kesia-siaan, dan kematian juga kerap mewarnai di hampir keseluruhan
kumpulan cerpen yang sarat akan bunuh diri filosofis, sifat simbolik, juga
tragedi dan komedi.
Membaca cerita pendek Iksaka Banu yang terkumpul dalam buku Ratu
Sekop ini ibarat sedang menonton sajian sebuah film dalam imajinasi
penonton (pembacanya). Penggambaran dan detil-detil cerita yang
disampaikan lewat sudut pandang orang pertama utama menjadi semacam
39
formula bagi penulis. Latar cerita yang dekat dengan dunia seni rupa seperti
enggan melepaskan diri dari penulis yang sudah akrab dengan dunia tersebut
sejak usia dini bahkan dalam menempuh pendidikan tinggi sebelum kemudian
bekerja untuk itu. Bayangan tentang masa depan, pula menjadi hal yang
paling sering dicita-citakan manusia. Seperti robot hewan, mobil terbang,
gedung tinggi dengan asap yang selalu mengepul, lampu-lampu neon terang
menjadi sekelumit pemikiran yang identik sebagaimana kehidupan kaum
urban yang kerap mengunggulkan modernitas.
Penggambaran realisme urban juga sempat disampaikan Benny Arnas
dalam ulasannya tentang Ratu Sekop, bahwa Paradoksitas Realisme Urban
ialah sebuah potret yang ambisius dan obsesif. Irasionalitas yang ditampilkan
pun kian menguatkan paradoksitas urban, bahwa urbanitas ternyata tidak
berbanding lurus dengan rasionalitas—yang bagi masyarakat pascamodern,
rasionalitas kerap menjadi pedang yang akan menebas hal-hal yang keluar
dari daya nalar. Sebagaimana pembelahan yang menjebak Husserl dalam
dualisme dan menjadi kritik Heidegger seperti yang telah penulis singgung di
atas.
Tentu saja, mengingat Ratu Sekop dalam persinggungannya dengan
penerbit Marjin Kiri tidak bisa dilupakan begitu saja. Artinya, penerbit kecil
yang dalam skena publisitasnya kerap menerbitkan buku-buku „kiri‟yang
berpusar di jalur-jalur progresif; Marxisme; Anarkisme; dan lain
sebagainya—baik fiksi ataupun non-fiksi. Bahwa bagaimanapun, Ratu Sekop
dan Marjin Kiri dalam semangatnya yang kental dengan realisme sosialis.
Daripada humanisme universal dengan wataknya yang abstrak-universal—
yang dapat menjadi kedok persembunyian lawan yang mesti dilawan dan terus
disuarakan.
Realisme sosialis memiliki afinitas pada apa yang disebut „humanisme
proletar‟. Humanisme yang konkret yang sepenuhnya hanya berpihak kepada
kaum proletar, kaum lemah, kaum tertindas, dan kaum kelaparan, untuk
40
mendapatkan keadilan melawan kaum penghisap dan pemilik modal, maka
dalam hal ini humanisme yang dijunjung realisme sosialis adalah humanisme
yang berwatak sosial dan komunal. Realisme sosialis berpandangan bahwa
karya sastra memiliki tanggung jawab sosial untuk melawan ketidakadilan.
Dalam posisi itu, kecocokan Heidegger dalam karya Banu sangat
mungkin dipertanyakan. Benarkah Banu yang dalam persinggungannya
dengan semangat Marjin Kiri disinyalir sebagai sosok ala realisme sosialis
(atau progresif) dalam karya-karyanya justru menampilkan sosok yang
berwatak eksistensialis dan khas individualis?
Pertanyaan itu mesti penulis jawab sebelum lebih jauh menganalisis
„manusia Dasein‟ dalam cerpen-cerpen Ratu Sekop. Setidaknya ada dua
alasan yang memungkinkan pembacaan Heideggerian atas karya Banu ini
memadai. Pertama, dari sisi kepengarangan Banu. Seperti bisa kita lihat dari
daftar karya-karya yang diterbitkan, seperti Semua untuk Hindia—sebuah
kumpulan cerpen yang bertema sejarah kolonial. Selanjutnya Sang Raja,
sebuah novel sejarah yang menceritakan perjalanan seorang pengusaha rokok
kretek klobot di tengah represi zaman kolonial. Sesuai dengan misi realisme
sosialis, manusia yang ditampilkan dalam karya-karya Banu tentu bukan
sekadar manusia secara individual, melainkan manusia dengan segenap
persoalannya di bawah struktur sosial-politik-ekonomi tertentu. Terakhir,
adalah karyanya Ratu Sekop.
Namun, penulis kira, dengan manampilkan manusia yang menghadapi
persoalan struktural, disadari atau tidak, Banu sekaligus juga telah
memunculkan manusia yang memiliki kemelut personal-individual. Dengan
kata lain, soal-soal personal-individual tetap inheren dengan Heidegger dalam
sosok manusia yang ditampilkan Banu, maka pada titik itu pembacaan
Heideggerian atas karya Ratu Sekop tetap dimungkinkan—dan karenanya bisa
tetap memadai.
41
Selanjutnya, dari sisi isu Heideggerian. Sekalipun sering dicap sebagai
filsuf eksistensialis, namun Heidegger tidak memahami manusia sebagai
sosok yang egois dan individualis. Hal ini yang membedakan Heidegger
(sebagai eksistensial ontologis) dengan filsuf eksistensialis lainnya, seperti
Sartre semisal. Sartre, dalam naskah drama No Exit (Huis Clos, 1994),
memandang perjumpaan manusia dengan manusia lain selalu dalam kondisi
tegang, konfliktual—kesadaran subjek yang saling mengobjekkan, maka
orang lain pun, bagi Sartre, adalah neraka. Namun, bagi Heidegger, relasi
manusia (Dasein) dengan manusia lain (Mitdasein) terjalin lewat laku
Füsorgen atau Concern (merawat/memelihara). Artinya, perjumpaan manusia
dengan sesamanya di dunia tidak dengan saling mengobjekkan sebagaimana
dalam pertemuan manusia dengan alat (Zuhandenes), tetapi dengan saling
memelihara dan saling menjaga, sebab manusia selalu butuh kepada manusia
lainnya—hidup di dalam dunia secara bersama.
Dengan pemahaman tersebut, manusia Dasein juga memiliki watak
sosial dan komunal. Manusia Heideggerian selalu berada dalam ruang tegang
antara yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan
antara yang-otentik dan yang-inotentik. Manusia dalam Ratu Sekop adalah
representasi sempurna dari manusia Heideggerian—manusia yang hendak
melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya personal.
C. Sinopsis Cerpen Listrik
Tokoh dalam Listrik adalah seorang pengarah kreatif di salah satu biro
iklan yang melegenda. Dengan latar krisis moneter, ancaman-ancaman yang
mengganggu kelangsungan hidup seseorang bisa saja sewaktu-waktu. Salah
satunya ialah kehilangan pekerjaan di tengah persaingan yang sangat massif.
Dan tentu saja, imbasnya tidak lain mengganggu stabilitas ekonomi sebuah
keluarga, yang bahkan hanya terdiri atas suami dan istri saja.
42
Sementara kegagalan demi kegagalan dalam membuat iklan yang
sesuai dengan „keinginan‟ klien juga bukanlah hal yang baik. Terlebih bagi
pekerja kreatif yang tengah berhadapan dengan teror PHK dari Pimpinan
perusahaan, pemecatan atasnama efisiensi tenaga kerja, tentu saja, dapat
mengancam kelangsungan hidup aku kapan saja.
Sepulang kerja, aku tiba ke rumah dan mandi. Berharap guyuran air
mampu melenyapkan kepenatan, lamunan aku sebentar terhenti oleh suara
piring pecah dan kelontang alumunium. Ternyata di dapur, Istrinya sudah
terduduk lemas akibat tersengat arus listrik rice cooker.
Berkat insiden tersebut, Istrinya justru memiliki kemampuan membaca
pikiran orang lain di hadapannya. Artinya, segala rahasia dan hal-hal pribadi
yang terdapat dalam benak aku (sang suami) juga dapat diketahui Istrinya
dengan mudah.
Sebentar kerumitan pun terjadi di antara keduanya, masalah teratasi
sejak aku mendadak ingat sesuatu dan menerima kemungkinan untuk
menghargai keajaiban yang dimiliki Istrinya. Bahwa bekerja sebagai pengarah
kreatif di dunia periklanan, Istrinya adalah jawaban yang tepat untuk
senantiasa mengetahui apa yang ada di benak klien.
Kali ini, Istrinya ikut dalam pertemuan lanjutan dengan calon klien.
Tentu saja, spionase dengan membaca pikiran termasuk rencana besar mereka.
Tetapi alang kepalang, rencana itupun tidak cukup menghindarkan aku dari
suatu kegagalan. Kemesuman pimpinan klien, yang mestinya menjadi target
utama spionase, justru membuat jengah Istrinya. Dan mengalihkan pembacaan
kepada aku, suaminya, yang terpesona oleh keseksian Brand Manager.
Kecemburuan sang Istri dan kenakalan aku kemudian menggenapkan
kegagalan.
Bayangan PHK kembali menyeruak. Mendapat pekerjaan baru pun
bukan hal yang mudah bagi orang-orang pecatan di masa krisis moneter.
Hingga satu keajaiban kembali terjadi, tepatnya di ruang makan, kali ini steker
43
dari rice cooker itu menyengat tubuh aku. Tetapi bukan lagi membaca pikiran
sebagaimana kemampuan sang Istri, melainkan kini tubuh aku menjadi
transparan.
Setelah Istri yang mampu membaca pikiran, dan kini tubuh aku yang
menyusul menjadi transparan, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya akhir
cerita yang terbuka sukses menutup Listrik. Seakan pembaca memang
dibiarkan menentukan sendiri cerita itu mesti diakhiri
D. Sinopsis Cerpen Belati
Tokoh dalam Belati adalah seorang pelukis yang tengah menghadapi
tudingan dan giringan opini miring atas dirinya. Armin Kelana. Kemudian
memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian
heroik. Bahkan ia tengah menyiapkan masterpiece, selagi darah mengucur
sebagai cat kanvas, dari nadi yang ia potong dengan Belatinya.
Dalam perundungan hidup untuk masa depan dan penenentuan nasib
yang kerap diremehkan, maka membuat misi suci demi terobosan bagi
lukisannya adalah cara paling memungkinkan untuk melawan dan menepis
semua labelisasi terhadapnya.
Kemudian kejutan muncul ketika seorang tamu datang mengetuk
pintu. Kelana membuka pintu. Tetapi nahas, tamu tadi terkena serangan
jantung di kamarnya. Refleks, Kelana menahan tubuh tamu yang limbung.
Dan jambiya yang sengaja tidak disimpan, karena rencana yang akan
digunakan untuk mewujudkan impiannya, malah menusuk dada sang tamu
bernama Pak Kadiyoso. Akhirnya, kematian Pak Kadiyoso terus menggiring
Kelana kepada kematian-kematian lain.
Meski rangkaian kematian demi kematian rahasia sempat menunda
rencana Kelana, misi suci tidak berhenti begitu saja. Ia lalu memutuskan
untuk melakukan percobaan yang kedua. Meski kemudian, sebuah ketukan
44
pintu harus kembali menunda rencana Kelana. Kali ini Pak Damhuri, bertamu
untuk menanyakan ke mana Pak Kadiyoso pergi. Dan dengan pertimbangan
dari seluruh isi pembicaraan yang disampaikan Pak Damhuri, Kelana merasa
dicurigai. Dan untuk memastikan bahwa perbuatannya tidak ketahuan, Kelana
perlahan-lahan menarik ke atas belatinya dari balik saku kimono.
Meski demikian, apa yang terjadi selanjutnya? Sebagaimana cerita
lainnya, Belati ditutup dengan akhir cerita yang terbuka. Lagi-lagi, pembaca
seakan memang dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti
diakhiri.
E. Sinopsis Cerpen Istana Gotik
Tokoh dalam Istana Gotik ini diceritakan adalah seorang centeng yang
tengah yang tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa
dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi
bersama Nona Miranda, kembang Istana Gotik yang berada di pangkuannya.
Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah
satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah
menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan
pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa Miranda,
termasuk nyawanya sendiri.
Hingga, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber kecemburuan
Willem, begitu leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja tanpa
pengawasannya. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan
tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willem melihat sekilas
ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam.
Kekhawatiran Willem selama ini menjadi jelas setelah menerima surat
keempat yang dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.
Tiga kali Bocah bisu itu datang, membuat bara api di dalam hati Willem
semakin membesar tiap kali membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap
45
bersama ikatan lonceng kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar:
“Ayah, aku ingin pulang.”
Selanjutnya, cerita ini berakhir dengan kematian Nona Miranda.
Disusul dengan refleksi tokoh Willem yang sedang sekarat menjelang ajalnya
sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan kematian, bayangan lantai
dansa dalam alunan musik swing jazz serta percakapan sebuah kehidupan
yang abadi.
Lalu bagaimana dengan nasib Willem dan Istana Gotik itu? Akhir
cerita yang terbuka, kembali menutup Istana Gotik. Pembaca seakan kembali
dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti diakhiri.
46
BAB IV
HASIL ANALISIS
A. Analisis Unsur Intrinsik
Buku kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu memuat 13
cerita. Tetapi dalam pembahasan ini, penulis hanya akan menganalis 3 cerpen,
yaitu Listrik, Belati, dan Istana Gotik (selanjutnya disingkat IG).
1. Tema
Tema dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop mayoritas terkait
pembahasan eksistensialisme, khususnya refleksi tokoh-tokoh terhadap
kematiannya sendiri—yang bersifat filosofis maupun simbolis. Berbeda
dengan gerak eksistensial entitas-entitas lain, manusia adalah adaan yang
berada sebagai keberadaan di dunia yang sekaligus mempertanyakan ada di
antara cara berada ada-adaan yang lain.
Selain tema kematian, kumpulan cerpen Ratu Sekop juga
menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan
kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan kejatuhan sebagai drama
berada-bersama. Tokoh-tokoh yang dalam menghayati adanya dalam sebuah
lingkungan-sekitar (umwelt)—selanjutnya disebut sebagai Dasein, selalu
mengada mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others atau Mitsein),
mengada-berdampingan-dengan-benda-benda (Being-alongside-things atau
Sein-bei), dan mengada-pada-dirinya (Being-one‟s-self atau Selbstein).
Contoh kematian dalam cerpen Listrik dialami oleh tokoh Suami yang
bersifat simbolis, yakni tubuhnya yang sebentar hilang sebentar muncul,
berubah menjadi transparan seperti es batu setelah menyentuh steker penanak
nasi.
47
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”1
Kematian simbolis yang ditunjukkan dalam cerpen Listrik terlihat dari
kutipan “aku sendiri masih bisa melihat jelas seluruh tubuhku”, sementara
bagi orang lain termasuk istrinya tidak mampu melihat tubuhnya kecuali
kelebat yang transparan. Artinya, Suami sebagai adaan yang merasakan
keberadaannya, tidak dirasakan lagi kehadirannya di hadapan orang lain.
Contoh kematian dalam cerpen Belati dialami oleh tokoh Armin
Kelana yang bersifat filosofis, yakni ketika ia tengah mempersiapkan
kematiannya sendiri, dengan sebilah belati yang akan digunakan untuk
memotong urat nadinya sendiri.
Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi
sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan
warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-
banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,
aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.2
Kematian filosofis yang ditunjukkan dalam cerpen Belati terlihat
ketika Tokoh dalam cerita ini, Armin Kelana, memutuskan untuk bunuh diri
dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian heroic, bahkan ia tengah
menyiapkan masterpiece selagi darah mengucur sebagai cat kanvas, dari nadi
yang ia potong dengan sebilah belati.
Contoh kematian dalam cerpen IG dialami oleh tokoh Centeng yang
tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa dingin mulai
menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi bersama
Nona Miranda, kembang Istana Gotik di pangkuan.
1 Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), h.
58 2 Ibid., h. 60
48
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi.3
Menyongsong kematian yang ditunjukkan dalam cerpen IG ini
sebetulnya sangat dekat dan akrab sekali dengan keberadaan Tokoh dalam
cerita ini, Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah
satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah
menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan
pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa
Miranda, termasuk nyawanya sendiri.
Beberapa macam kematian yang diangkat dalam kumpulan cerpen
Ratu Sekop menggambarkan bahwa kematian dalam berbagai bentuk sering
ditemui di kehidupan masyarakat manapun. Meski demikian, Dasein sebagai
Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak seorangpun
dapat menjemput kematiannya untuk orang lain. Kematian adalah momen
paling otentik dan eksistensial bagi Dasein.4
Cerpen IG misalnya, seorang centeng boleh saja merasa telah
mewakili kematiannya demi Istana Gotik. Atau bunuh diri Armin Kelana
dalam Belati yang coba mendedikasikan kematiannya demi karya seni secara
filosofis, kegagalan dan banyak kematian orang lain juga akhirnya tidak bisa
mewakili dirinya. Atau lihat pula kematian simbolik yang dialami kedua
tokoh dalam Listrik, pasangan suami-istri yang akhirnya mesti mengalami
kematiannya masing-masing dan tetap menghadapi kematiannya sendiri
3 Ibid., h. 171
4 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 103.
49
seorang diri bukan mewakili kematian yang lain, bahkan demi pasangannya
sendiri.
Tentu saja, bagi Heidegger, kematian bukanlah kematian fisik
melainkan kemungkinan untuk mati. Dengan kata lain, kematian dimengerti
secara eksistensial. Sebagaimana seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua
untuk mati.5
Death (Tod) is not organic death, “perishing” (Verenden) that state of
any biological being in which it loses all organic functionality, nor
“demise” (Ableben) that event which concludes a human being‟s life,
and which, for example, is commemorated and legally ascertained. But
death is “dying” (Sterben), is dying, that is, not the event of death,
organic of the conclusion of life, but that way in which Dasein is
toward its death (Sein zum Tode).6
Atas dasar menyongsong sejak awal sampai akhir, di sini kematian
sebagaimana juga kelahiran, mendapat pengertian eksistensial. Pada skema
yang lebih sederhana, Heidegger ingin mengatakan, (faktisitas) manusia
terlempar di dunia ini, terbenam dalam kesehariannya, dan akhirnya mati.7
Meski demikian, kematian yang dimengerti sebagai kemungkinan
untuk mati tidaklah pasti kapan dan bagaimana terjadi, maka kecemasan akan
kematian (Angst vor dem Tode) inilah yang muncul dalam momen
eksistensial. Lalu ketidakpastian akan membawa sikap Dasman yang
cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti
menimpa setiap orang; atau sikap Dasein yang cenderung membuka diri
terhadap kemungkinan yang paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.
5 “As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and
Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 6 Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of
New York Press, 1996), h. 223-224; dan h. 229. 7 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 99.
50
Seorang centeng dalam cerpen IG, boleh saja seakan tampak tidak
cemas atas kematiannya. Tapi membuka lemari senjata, menyiapkan sepasang
Browning M1903 berikut empat klip magasin dan sabuk kulit berisi enam
bilah pisau lempar8 adalah sikap (Vorlaufen) dari antisipasi Dasein yang
menyadari keterlemparan dari kecemasan eksistensialnya untuk mengambil
keputusan penting yang menentukan kemungkinan arah hidup.
Centeng yang seolah dihadapkan pada kemungkinannya sendiri dan
harus „melompat‟ ke dalam kemungkinan tersebut. Sikap berani menghadapi
kemungkinan yang paling khas ini tak lain daripada sikap membuka diri
terhadap kematiannya sendiri. Inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang
menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit
zum Tode).9
2. Latar
Latar merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk
membentuk suatu cerita. Biasanya latar yang dimunculkan dalam cerita akan
mampu membawa pembaca untuk merasakan kejadian-kejadian yang dialami
oleh tokoh di dalam cerita, bahkan Stanton mengelompokan latar, bersama
dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang
dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca
cerita fiksi.10
Latar sebagai „seluruh milieu dari sebuah cerita‟, seperti tata cara,
kebiasaan, cara hidup, latar belakang alam dan lingkungan sekitar. Hudson
membedakan dua jenis latar, (a) sosial; dan (b) materiel, latar-latar itu dikenal
sebagai ruang atau „tempat‟ tokoh-tokoh melandaskan laku dan alasan
8 Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
9 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.
10 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005), h. 216.
51
psikologis pertumbuhan tokoh.11
Untuk memahami ketiga latar cerpen dari
kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat ditilik dari segi latar „materiel‟, yakni
„dunia desain‟ (cerpen Listrik), „dunia seni‟ (cerpen Belati), dan „dunia
centeng‟ (cerpen IG). Sementara, latar sosial yaitu kerutinan kehidupan umum
tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar
(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur
ontologis Dasein yang mendiaminya. Serta nilai sosialnya yang mengalami
perbenturan atau kritiknya dengan „nilai pribadi‟ tokoh yang tumbuh
menggejala secara eksistensial.
Pada cerpen Listrik, „dunia desain‟ menjadi latar yang membentuk
cerita, sehingga memunculkan seorang pengarah kreatif sebagai tokoh yang
sejak memikirkan sesuatu, cenderung mengganti kalimat sulit dengan
potongan film dan gambar sebagai peristiwa bahasanya.
Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil tempatku
bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus bertempur
beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru, atau satu
persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin perusahaan atas
nama efisiensi.12
Latar sebagai „dunia‟ keterlemparan Dasein, menunjukkan bahwa
sejak awal tokoh sudah harus menyerahkan diri ke dalam kehidupan untuk
senantiasa „memahami‟13
dan menjalaninya. Dengan kata lain, „dunia
designer‟ ini pula yang membuat tokoh untuk memahami keterlemparannya.
Dengan mengambil keputusan terhadap kemungkinannya sendiri, sebagai
rancangan atas proyeksi hidupnya yang berorientasi ke masa depan.
11
Dami N. Toda. Novel Baru Iwan Simatupang. (Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka, 1984), h. 41 12
Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 13
“Pada ranah ontologis ini memahami bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan cara manusia
berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini memahami merupakan ciri eksistensial kita
sebagai Dasein.” lihat Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher
sampai Derrida. (Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 112.
52
“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat
cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung
mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film
untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap...”14
Tokoh Suami sebagai seorang pengarah seni, sudah terlibat begitu saja
bersama praktik-praktik seni dalam hidup yang dijalaninya, sehingga
„memahami‟ sebuah desain tidak berarti sekadar „pengetahuan‟ tentang seni
desain, melainkan kemampuan atau kepiawaiannya dalam mengerjakan
desain. Atau sebagai cara bereksistensi, desain mendahului dan
memungkinkan pemahaman tokoh Suami ini tentang bagaimana membuat
kerangka bentuk, menyusun pola atau corak.
Begitupun yang terdapat dalam cerpen Belati, „dunia seni‟ menjadi
latar yang menggejala bagi Armin Kelana sebagai seorang pelukis, bahkan
sebelum ia mempersiapkan kematiannya.
Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang
mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,
gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.
Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action
painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal
seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,
pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah
malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas
nama sensasi.15
Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Kelana hidup dalam dunia
yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya; pelukis, politikus seni, surat
kabar, pelukis terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga
penghuni apartemen. Artinya, keterlemparan ke dunia inilah yang membuat
Dasein memiliki seluruh makna dan pemaknaan.
14
Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 15
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.
53
Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat
sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”16
Melalui latar ini pula, Kelana merasakan adanya momen
keterlemparan. Ia cemas dengan keberadaannya, menyesali keterlemparannya
dan mengutuk dunianya. Meski demikian, alih-alih sebuah perlawanan
struktural dalam lingkup komunal, justru yang tampak menonjol dalam
momen itu justru sebuah tegangan eksistensial yang amat personal.
Kemudian cerpen IG, judul yang juga menjadi sebuah nama dari
lokalisasi yang melatari cerita ini. Sebuah rumah bordil kelas atas yang
berlanggam hias gotik. Berikut gadis-gadis molek dan dan beberapa kamar
dengan ranjang beraroma cendana. Meski demikian, justru bukan „lokalisasi
pelacuran‟ yang menjadi latar pembentuk cerita. Melainkan „dunia centeng‟
yang menggejala dalam diri seorang Willem atau Bang Willie sebagai seorang
penjaga Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan pelanggan-pelanggan yang
mengancam keselamatannya.
Cara kerjaku ringkas. Kuwajibkan pasangan Nona Miranda bertatap
wajah denganku terlebih dahulu, setelah itu barulah aku siaga di luar
kamar. Semacam peringatan agar mereka tidak macam-macam. Jarang
yang tak bergidik melihat ukuran tubuh dan bekas luka di wajahku.17
Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Bang Willie hidup dalam dunia
yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya, yaitu kerutinan kehidupan
umum tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar
16
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 17
Iksaka Banu, Op cit., h. 162.
54
(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur
ontologis Dasein yang mendiaminya.
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.18
Latar akhirnya, baik „dunia desain, lukis atau centeng‟, dikenali
Dasein sebagai ruang atau „tempat‟, dunia yang bagi tokoh untuk
melandaskan laku dan alasan pertumbuhannya untuk memahami
keberadaanya secara eksistensial. Dengan kata lain, sebagai pra-reflektif atau
pra-pemahaman,19
yaitu keterbukaan manusia terhadap dunianya.
Akhirnya, sebagai cara bereksistensi, tokoh terlibat begitu saja dalam
praktik-praktik yang menumbuhkan pemahamannya yang pra-reflektif sebagai
seorang seniman. Atau sebagai totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik
hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam‟, yaitu non-tematis, pra-
predikatif, non-verbal.20
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop digambarkan selalu
mengalami bentuk-bentuk seperti kejatuhan, faktisitas, kecemasan, juga
kematian. Gambaran penokohan juga sekaligus menampilkan sturuktur dasar
manusia; yang-terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia, dan menuju-
18
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 19
“Interpretation is not the acknowledgment of what has been understood, but rather the of
possibilities projected in understanding.” Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. John Macquarrie
and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 139. 20
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.
(Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 114-115.
55
kematian. Sebagai makhluk penanya Ada-nya, tokoh pula yang memunculkan
kecemasan (angst) eksistensial.
Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian tokoh-
tokoh menjadi transparan. Atau dengan kata lain, kecemasan menelanjangi
Dasein sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi
tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya, sehingga kumpulan
cerpen Ratu Sekop kerap menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi
kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan
kejatuhan sebagai drama berada-bersama.
Pada cerpen Listrik, Suami adalah tokoh sentral yang selalu diliputi
kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-terlempar ke
dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga sekaligus
tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya
menghadapi krisis moneter juga ancaman PHK.
Seakan tidak diizinkan untuk „melamunkan‟ apa yang baru saja terjadi,
sebab peristiwa lain menyusul dengan ditandai jeritan sang Istri.
Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara
kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan
kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari
pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan
kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke
bawah.21
Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki
keajaiban membaca pikiran. Meski sempat terjadi kebuntuan karena
perselisihan yang alot di antara keduanya, kemahiran tokoh Istri kemudian
diakomodasi pada ketersituasian tokoh Suami yang terancam kehilangan
pekerjaannya di biro iklan.
21
Iksaka Banu, Op cit., h. 46.
56
Menit-menit berlalu. Untuk sementara perhatian kami berdua beralih
kepada acara iklan di layar televisi. Iklan! Mendadak aku teringat
nasihat pimpinan perusahaan untuk senantiasa mengetahui apa yang
ada di benak para klien. Bukankah ini saat yang tepat?22
„Ada‟ Dasein tak pernah mencapai keseluruhannya,„menjadi‟ karena
terus-menerus mengada yang merupakan suatu „kebeluman terus-menerus‟.
Dalam arti inilah, Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah
kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen), ada Dasein tak lain daripada sesuatu
yang ia tentukan sendiri.23
“Teganya kau!” aku meremas rambut, “Biar kuberi tahu: taka da
namanya lain kali! Itu adalah pertemuan terakhir dengan mereka. Dan
kami belum berhasil menemukan ke mana sesungguhnya arah
marketing mereka! Padahal aku hidup dengan seorang ahli pembaca
pikiran satu-satunya di dunia! Yah, apa boleh buat, pembaca pikiran
ini rupanya selalu curiga kepada suaminya. Ia tak tahu, sebentar lagi
suaminya akan hidup menjadi gelandangan di jalanan tanpa pekerjaan.
Mengapa aku harus mengalami ini semua?”24
Bayangan hidup menjadi gelandangan, Suami sebagai tokoh dari
drama eksistensial Dasein tetap tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri
dan akan senantiasa mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain.
Seperti satu peristiwa lain di bagian penutup cerpen Listrik. Tubuh Suami
tersentak hebat akibat arus listrik yang berasal dari steker rice cooker,
membuatnya kini tampak transparan seperti es batu.
22
Iksaka Banu, Op cit., h. 54. 23
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 58. 24
Iksaka Banu, Op cit., h. 56.
57
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”25
Hingga akhirnya, Suami sebagai Dasein seakan menemui suatu nadir
ontologisnya: mencapai totalitas Ada-nya. Metafora „transparan‟ yang terjadi
pada tubuh Suami, meski bukan secara fisik, melainkan secara simbolis adalah
kematian Dasein. Artinya, persis di titik itulah Suami kehilangan kontak Ada-
nya dan berhenti sebagai berada-di-dalam-dunia.
Sementara pada cerpen Belati, Armin Kelana adalah tokoh sentral
yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian
yang-terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang
juga sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami
ketersituasiannya menghadapi tuaian para kritikus yang membentuk opini-
opini sesat; labelisasi; tudingan demi tuduhan yang kerap meremehkan.
Sebulan penuh aku melawan. Namun akhirnya semua jumpa pers serta
jasa public relations yang mahal itu terbukti tak cukup ampuh
memulihkan namaku. Pameran-pameranku tetap jeblok. Kolektorku
kebingungan. Promotorku patah arang. Utang-utangku tak terbayar.
Rumah mewahku lenyap. Istriku kabur.”26
Antara keinginan untuk melawan atau menerima begitu saja
perundungan hidup dan penenentuan nasib, kondisi itulah yang membuat
Kelana menjadi Dasein. Kelana yang merasa cemas terhadap keber-Ada-
annya, bahwa kecemasan menyendirikan Dasein pada berada-di-dalam-dunia-
nya yang tak dapat dipertukarkan dengan orang lain.27
25
Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 26
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 27
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91.
58
Orang-orang public relations mengatakan, semua akan pulih seperti
sedia kala apabila aku mau melukis dengan gaya lama. Kupikir usul
itu tolol sekali. Kupecat mereka semua.”28
Berdasarkan kutipan tersebut, Kelana sampai pada kebulatan tekad
atau momen visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian,
keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditangani.29
Lalu di luar itu, apakah Kelana berarti adalah seorang eksistensialis
yang sangat egois dan individualis? Jawabannya: iya dan tidak. Jawaban iya,
sejauh Kelana dipahami hanya sebagai sosok personal, terlepas dari kaitan
struktural. Ini semakin dipertegas dengan pernyataan setelah itu aku berhenti
melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil. Jawaban menjadi tidak,
sejauh Kelana hanya benci apartemen, tapi tidak pernah benci penghuninya
dan dipahami tidak hanya sebagai sosok personal, melainkan juga sebagai
representasi dari sebuah kelas dalam struktur sosial.
Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama
semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah
menjadi mode lukisanku. Aku benci apartemen (karena rumah
mewahku lenyap .pen), tapi tidak pernah benci penghuninya.30
Kelana akhirnya hanyalah representasi kelas bawah (pelukis), yakni
kelas yang tertindas (leh Politikus Seni, Surat Kabar, Pelukis terdahulu,
Kritikus, Kolektor, dan Promotor, Kelana adalah personifikasi sempurna dari
kehendak perlawanan masyarakat urban—yang tak mendapatkan apa-apa di
tengah modernitas.
28
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 29
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 30
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
59
Kubayangkan wajah mereka besok pagi, melihat tubuhku terbaring di
depan sebuah pernyataan seni paling orisinil abad ini: lukisan
darah!”31
Kembali pada eksistensialitas tokoh Kelana dalam drama sebagai
Dasein, proyek „misi suci‟ tokoh Kelana bukan pula sebuah bentuk
perlawanan frontal terhadap realitas historis. Alih-alih larut dalam keseharian
dan mengutuk dalam kejatuhan (Verfallen), sebuah tegangan eksistensial atas
segala penyesalan yang amat personal. Kelana justru kerap melakukan banyak
upaya seperti apa yang oleh Heidegger disebut sebagai “proyeksi masa
depan”, yakni melalui Misi suci ini, Kelana telah mengantisipasi masa
depannya dengan keteguhan hati (resoluteness). Sebuah hari pembalasan
yang dapat ditelusuri dari pemecatan public relations, lalu menyiapkan sebuah
misi suci atas kematiannya sendiri sebagai maha karya berdarah.
Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi
berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai
kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah
belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat
nadiku. darah!”32
Kelana telah memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia
rancang sedemikian heroik, sebagaimana manifestasi atas kekagumannya
terhadap Yukio Mishima, seorang penulis terhormat Jepang yang melakukan
seppuku dan petikan opera Turandot karya Pucini yang telah ia putar sebagai
lagu pengiring atas kematiannya. Walau demikian, Kelana, tetaplah Dasein
yang tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri dan akan senantiasa
mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain. Seperti satu peristiwa
31
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 32
Iksaka Banu, Op cit., h. 61.
60
mengejutkan, saat nahas seorang tamu mengetuk pintu dan gagal jantung di
kamarnya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.33
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.34
Kematian Pak Kadiyoso, akhirnya terus menggiring Kelana kepada
pembunuhan berantai dan kematian-kematian lain. Satu sisi, tragedi ini
semakin menjauhkan misi suci seorang Kelana yang ingin bunuh diri sebagai
manifestasinya menjemput kematiannya sendiri. Di sisi yang sama sekali lain,
tragedi ini justru semakin mempertegas struktur dasar Kelana sebagai Dasein
yang sejak awal keterlemparannya di dunia, Dasein sudah terlalu tua untuk
mati.35
Artinya, kematian demi kematian orang lain yang melibatkan Kelana,
semakin menyingkap keber-Ada-annya pada kemungkinannya sebagai Dasein
untuk mati. Sebab bagi Dasein, kematian itu penting untuk kehidupan dan
merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu
sendiri.36
Demikianlah Sorge seorang Kelana, sebuah struktur dasar dari seorang
Dasein. Keseluruhan „Ada‟ yang serentak memuat tiga hal: antisipasi (masa
depan atau eksistensial), terlempar di dunia (masa lalu atau faktisitas) dan
larut dalam keseharian (masa kini atau kejatuhan).
Pada cerpen IG, Bang Willie atau Willem adalah tokoh sentral yang
selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-
33
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 34
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 35
“As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and
Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 36
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 100.
61
terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga
sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya
menghadapi suara hatinya sendiri sebagai pria tua yang terbakar api cemburu.
Sebab melihat Nona Miranda pergi bersama Tuan Dorsten tanpa
pengawalannya.
“Saya mau berdua saja, Tak ada centeng,” katanya. Aku membuka
mulut, siap menolak. Tapi injakan kaki Babah Sun membuatku diam.
Ya, demi masa depan, Babah perlu koneksi kakap seperti Tuan
Dorsten. Dan senyum itu, belum pernah kulihat senyum semacam itu
di bibirnya. Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah,
suara hati pria tua yang terbakar cemburukah ini?37
Selanjutnya, seakan bayangan Nona Miranda baru saja akan terhapus
dari benak Willem sejak kepergian itu. Luka hati yang semula terbebat waktu,
kembali melempar Willem pada ketersituasiannya yang lain. Ia bertukar
pandang dengan Nona Miranda di sebuah bengkel auto pada suatu pagi.
Saat menyadari tatapanku, dengan gugup ia menutup muka. Hanya
sekilas, tapi tak mungkin aku salah lihat: pada pipi kiri, melebar
sampai keliling mata, rona lebam tertera jelas.38
Atas peristiwa tersebut, seorang Bocah bisu, datang ke Istana Gotik
dengan membawa gulungan kertas Nona Miranda. Tiga kali Bocah bisu itu
datang, membuat bara api di dalam hati Willem semakin membesar tiap kali
membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap bersama ikatan lonceng
kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar: “Ayah, aku ingin pulang.”
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning 1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kuikatkan pula di dada,
37
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 38
Iksaka Banu, Op cit., h. 168.
62
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.39
Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian Willem
menjadi transparan. Dengan kata lain, kecemasan menelanjangi Dasein
sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi
tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya. Mengantisipasi
kematian terjadi manakala kita menyadari keterlemparan dalam kecemasan
eksistensial, yaitu saat krisis untuk mengambil keputusan penting yang
menentukan arah hidup.40
Pekerjaan? Kulirik Nona Miranda. Kutangkap sebuah gelengan kecil,
nyaris tak terlihat. Jantungku berdebar. Ini soal hidup dan mati. Nona
Miranda harus hidup, aku boleh mati. Celah kesempatan hanya
berbilang detik.41
Kutipan tersebut, Willem sampai pada kebulatan tekad atau momen
visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian, keterpesonaan
akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan kemungkinan-
kemungkinan yang bisa ditangani.42
Tiba-tiba terdengar letusan keras. Sesungguhnya aku sudah punya
firasat, tapi tak pernah membayangkan Bahwa hal itu akan terjadi.
Nona Miranda. Gadisku yang gagah berani. Rubuh bersimbah darah,
menjadi perisai penahan peluru yang dilepaskan si durjana untukku.
Anjing!.43
39
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 40
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 107. 41
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 42
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 43
Iksaka Banu, Op cit., h. 171.
63
Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa
depan otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger, disebut
sebagai „antisipasi‟. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia
menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi..44
Pada titik itulah Dasein, sebagai manusia otentik dalam historisitasnya
dituntut untuk selalu memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya
menyongsong kematian sebagai kemungkinan-kemungkinan yang datang
menghampirinya; dan sekaligus mengambil keputusan eksistensial sebagai
antisipasi atas semua kemungkinan yang akan datang. Sikap berani
menghadapi kemungkinan ini yang paling khas ini tak lain daripada sikap
membuka diri terhadap kematian sendiri.
Dengan demikian, inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang
menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit
zum Tode).45
4. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada tiga cerpen Ratu Sekop adalah
seragam, yakni dengan melalui sudur pandang orang pertama pelaku utama.
Baik dalam cerpen Listrik, Belati, maupun IG, pengarang menempatkan diri
sebagai orang yang secara langsung. Artinya pengarang menjadi Aku, yaitu
tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri serta mengalami segala
44
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 45
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.
64
peristiwa secara langsung dan menceritakan kembali kepada pembaca.
Peristiwa yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikap dan
tindakannya terhadap tokoh lain, sehingga membuat pembaca bersimpati
kepada para tokoh Aku di masing-masing cerpen tersebut. Meski tak bisa
dimungkiri, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas
terhadap apa yang terjadi. Sebab pembaca hanya menerima apa yang
diceritakan oleh Aku sebagai konsekuensi dari penggunaan jenis sudut
pandang ini.
5. Alur
Alur merupakan suatu rangkaian penting di dalam sebuah cerita yang
terbagi menjadi tiga bagian. Pertama diawali oleh pengenalan seluruh tokoh
cerita dengan bagaimana cerita itu dimuai. Bagian kedua, biasanya muncul
berbagai macam konflik dalam cerita dan berakhir pada puncak atau klimaks
cerita tersebut. Selanjutnya pada bagian ketiga, merupakan bagian
penyelesaian dari keseluruhan cerita. Dalam cerpen Listrik dan Belati, Iksaka
Banu menggunakan alur maju dan hanya pada cerpen IG yang menggunakan
alur sorot balik.
Pada Listrik, alur dalam cerpen ini menggunakan alur maju. Cerita
diawali dengan kepulangan Suami dari kantor biro iklan tempatnya bekerja
dan baru saja memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Persis pukul sepuluh malam ketika aku selesai memasukkan mobil ke
dalam garasi. Sambil mematikan kunci kontak, kutarik napas dalam-
dalam. Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil
tempatku bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus
bertempur beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru,
atau satu persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin
perusahaan atas nama efisiensi.46
46
Iksaka Banu, Op cit., h. 44.
65
Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan
sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia desain dan rumah
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga
melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain seperti istrinya dan bos
tempatnya bekerja.
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang menjadi alasan pemberian judul pada
cerpen ini. Sebuah konflik yang terjadi ketika tokoh Suami sedang menunggu
persiapan makan malam di meja makan. Terdengar jeritan yang disusul suara
piring pecah dan kelontang aluminium dari arah dapur. Arus listrik dari steker
rice cooker telah menyetrum tubuh istrinya.
Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara
kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan
kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari
pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan
kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke
bawah.47
Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki
keajaiban membaca pikiran. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika
peristiwa arus listrik kembali terulang. Kali ini, giliran Suami yang menjadi
korban dan sekaligus membuat tubuhnya terlihat transparan akibat sengatan
arus listrik.
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”48
47
Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 48
Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),
h. 58
66
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan percakapan terakhir antara
suami-istri yang masing-masing memiliki pengalaman dan konsekuensi akibat
tersengat listrik. Kemudian pengarang menutup cerita dengan humor gelap
dari tokoh Aku yang mengomentari jingle iklan yang menurutnya jelek sekali,
“Aku tak mau diam-diam kau menyelinap mengintip si brand
manager mandi,” “Aku juga tak mau kau membaca pikiranku.
Mengorek-ngorek masa laluku.” Sunyi sesaat. “Yang, apakah Santi
juga jarang orgasme?” Aku tak ingin menjawab. Dari pesawat televisi,
untuk kesekian kalinya terdengar jingle iklan deterjen yang kabarnya
baru naik daun itu. Menurutku, jingle itu jelek sekali. 49
Selanjutnya pada Belati, Iksaka Banu masih menggunakan pola yang
sama. Cerita diawali dengan narasi tokoh aku, Armin Kelana, seorang pelukis
yang baru saja selesai mempersiapkan aksi bunuh diri.
Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi
berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai
kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah
belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat
nadiku. darah!”
Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi
sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan
warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-
banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,
aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.50
Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan
sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia seni dan apartemen
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga
49
Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),
h. 58 50
Iksaka Banu, Op cit., h. 61.
67
melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain dan seluruh milieu dari
sebuah cerita, seperti pelukis lain, politikus seni, surat kabar, pelukis
terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga penghuni
apartemen
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah
konflik. Peristiwa itu terjadi ketika seorang tamu mengetuk pintu kamar
Kelana dan gagal jantung di kamarnya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.51
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.52
Tamu itu bernama Pak Kadiyoso, terbunuh secara tidak sengaja oleh
Jambiya yang sebelumnya dipersiapkan Kelana untuk memotong urat nadinya
sendiri. Atas peristiwa tersebut, cerita kemudian mencapai klimaksnya.
Kematian Pak Kadiyoso, justru terus menggiring Kelana kepada pembunuhan
berantai dan kematian-kematian lain. Seperti pembunuhan terhadap Pak
Buyung dan seorang Hansip Desa.
Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher
Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan
hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik
nyawanya. Setelah itu, sunyi.53
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan pembunuhan terakhir yang
dilakukan Kelana di depan kamarnya. Kali ini korban tersebut Pak Armin,
51
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 52
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 53
Iksaka Banu, Op cit., h. 68.
68
yang pada mulanya hendak mengklarifikasi dan bertanya bahwa apakah
seseorang yang sempat ia lihat sedang memegang jeriken bensin dan berdiri di
samping mobil yang mirip dengan milik Pak Kadiyoso di puncak adalah
Kelana.
Aku tak menjawab. Di daerah puncak? Tadi malam? Pasti jip itu!
Sorot lampu itu! Tapi benarkah dia mengetahui apa yang terjadi tadi
malam? Harus kuyakinkan! Dari saku kimono, perlahan-lahan kutarik
belati ke atas.54
Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, Iksaka Banu kali ini
menggunakan alur sorot balik pada cerpen IG. Pengarang justru memulainya
dengan mendeskripsikan situasi tokoh Willie sedang menjelang kematiannya.
Derit rem, disusul empat bantingan pintu auto. Pasti Babah Sun dan
teman-teman. Terlambat. Syaraf tubuh bagian bawahku mulai enggan
mematuhi perintah otak. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku
akan mati. Mereka akan menjumpai tubuhku berkubang darah.
menyusul si durjana.55
Kemudian cerita mengalami sorot balik, pengarang mulai
mendeskripsikan asal-usul tokoh Aku serta pertemuannya dengan tokoh-tokoh
lain dan seluruh milieu dari sebuah cerita. Dunia centeng dan Istana Gotik
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Seperti, lokalisasi, germo,
pelacur, para lelaki hidung belang, dan para centeng.
Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,
setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di
54
Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 55
Iksaka Banu, Op cit., h. 159.
69
sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah
membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.56
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah
konflik. Peristiwa itu terjadi ketika Nona Miranda mulai bercerita bahwa ia
baru saja dilamar salah satu lelaki yang juga diketahui Willie.
“Dia melamarku, Ayah,” katanya seraya menunjukkan sehelai surat.
Seperti yang kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yajng
tak kuketahui. Justru karena itulah aku meerasa remuk. Kutatap sekali
lagi nama pengirim surat itu. Andreas Maurits Dorsten. Pengusaha
besar. Tokoh penting Volksraad. Rajin menyerukan kesetaraan derajat.
Anak-anak muda, bahkan pribumi, mencintainya.57
Atas peristiwa tersebut, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber
kecemburuan Willie bisa lebih leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja
tanpa pengawasannya. Hingga cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan
tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willie melihat sekilas
ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam. Kekhawatiran
Willie selama ini menjadi jelas setelah menerima surat keempat yang
dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.
Surat itu diikatkan pada sebuah lonceng kecil. Benda yang akrab di
Istana Gotik pada masa lalu. Benda yang kebisuannya menjadi
penanda bahwa Nona Miranda berada dalam bahaya besar. Tanpa pikir
panjang, aku bersiap..58
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan kematian Nona Miranda.
Kemudian pengarang menutupnya dengan refleksi tokoh Willie yang sedang
56
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 57
Iksaka Banu, Op cit., h. 165-166. 58
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
70
sekarat menjelang ajalnya sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan
kematian, bayangan lantai dansa dalam alunan music swing jazz serta
percakapan sebuah kehidupan yang abadi.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan tentang kehidupan abadi.59
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan suatu cara yang digunakan oleh pengarang
dalam memilih dan menggunakan bahasa di dalam sebuah cerita untuk
memperoleh efek tertentu. salah satu tujuannya ialah untuk menciptakan rasa
simpati seorang pembaca dan memberikan nilai estetika. Gaya penceritaan
yang digunakan dalam Belati, Listrik, dan IG cenderung menggunakan bahasa
sehari-hari. Tidak terlewat pula, pengarang menggunakan ungkapan-ungkapan
filosofis melalui para tokohnya untuk menebalkan imaji bagi pembaca dalam
memahami motif di balik keputusan dan sikap-sikap yang diambil para
tokohnya.
Seperti majas perbandingan (asosiasi dan personifikasi) yang terdapat
dalam cerpen Listrik berikut ini.
Ia tidak menolak. Pegangan tangannya yang belum mantap
menyebabkan giginya terantuk berkali-kalli ke bibir gelas,
menimbulkan suara serupa hiasan gantung yang tertiup angin.60
Bagaikan sebuah mikrofon ia menyerukan apa yang ada di benakku,
“Padahal aku hanya ingin tahu, bisa sejujur apakah hati seorang
manusia.61
59
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 60
Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 61
Iksaka Banu, Op cit., h. 53.
71
Berikutnya dapat ditemui pula majas alusio dan hiperbola dalam
cerpen Belati.
Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan hebat antara Pak
Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik nyawanya.
Setelah itu, sunyi.62
Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke leher serta ulu hatinya. Ia
mati tanpa banyak mengeluh.63
Kemudian terdapat pula penggunaan majas ironi dalam cerpen IG.
Seperti kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yang tak
kuketahui. Justru karena itulah aku merasa remuk.64
Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah, suara hati
pria tua yang terbakar cemburukah ini?65
Terakhir, pengarang juga menggunakan ungkapan-ungkapan filosofis
dalam tiga cerpennya, Listrik, Belati, dan IG. Berikut secara berurutan.
Apa dosaku sehingga hak yang paling pribadi dariku dijarah orang,
meskipun orang itu adalah istriku sendiri?”66
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”67
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”68
Tubuhku terasa segar dan ringan. Astaga… perlukah rasa segar
menjelang kematian?”69
Oh, mulut lebar itu. Cocok menjadi rumah kata-kata manis yang sering
ia tebar. Kata-kata yang telah membuat Miranda hanyut menjadi gadis
bodoh.70
Belum pernah aku begitu menginginkan kematian. Tapi itu nanti. Kini,
sambil menunggu saat itu datang, aku membayangkan lantai dansa.
62
Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 63
Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 64
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 65
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 66
.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 67
.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 68
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 69
Iksaka Banu, Op cit., h. 71. 70
Iksaka Banu, Op cit., h. 159.
72
Swing jazz. Musik mengalun, kami berpelukan. Saling bercakap
tentang kehidupan abadi.71
7. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak
disampaikan pengarang keada pembaca melalui karyanya. Secara garis besar,
amanat yang terdapat dalam Listrik, Belati, dan IG bisa ditelusuri dengan
nuansa kartun dan komikal yang nyaris selalu hadir melalui tokoh-tokoh yang
selalu elastis. Bahwa tokoh yang selalu dihadapi dengan berbagai
kemungkinannya sendiri di masa depannya digambarkan untuk senantiasa
menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca) agar berhenti
sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang lain.
Bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan, kesia-siaan,
dan kematian yang kerap mewarnai di hampir keseluruhan cerita adalah
kehidupan itu sendiri. Sebagaimana kehidupan, memikirkan tentang kematian
sama pentingnya dengan memikirkan kehidupan. Sebab tidak ada yang lain,
bagi Dasein, selain bahwa kematian itu penting untuk kehidupan dan
merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri.
71
Iksaka Banu, Op cit., h. 171
73
B. Analisis Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya
Iksaka Banu
Heidegger menyebutkan bahwa sifat dasar Dasein secara eksistensial
adalah „ada-di dalam-dunia‟. Lalu, apa yang ditemui Dasein di dalam
dunianya? Heidegger menyebut ada tiga macam Mengada yang dapat ditemui
Dasein di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat,
benda-benda yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia
atau orang-orang lain.
Dasein sebagai pengada yang menanyakan Ada-nya dari Mengada-
mengada lain, akan menunjukkan bahwa caranya bersikap terhadap masing-
masing Mengada itu memang harus berbeda. Di dalam pertemuan Dasein
dengan masing-masing Mengada inilah yang kemudian disebut sebagai
Keseharian.
Sampai di sini, Dasein mengalami suatu hal, oleh Budi Hardiman
disebut „dramatis‟. Sebab di satu pihak Dasein dituntut untuk menyingkap
dan mengenal Ada-nya, yang tidak dapat dilakukan saat berhubungan dengan
Mengada-mengada lain dalam kesehariannya. Sementara di pihak lain,
Dasein juga dirasa musykil untuk keluar dari kolam kesehariannya, karena
secara eksistensial sifat dasarnya adalah „ada-di dalam-dunia‟. „Ada-di
dalam-dunia‟ adalah faktisitas bagi dirinya.
Atas dasar Drama-Eksistensial inilah, analisis dimaksudkan sebagai
kajian terhadap pilihan cerpen (Listrik, Belati, dan IG) dalam kumpulan Ratu
Sekop. Berikut ini merupakan penjabaran terkait „Keseharian‟ yang terdapat
dalam cerpen Listrik, Belati, dan IG.
74
1. Keseharian Dasein dalam Listrik
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Suami, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini
mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan
dengan Ada-nya. „Dunia-desain‟ telah membuatnya sebagai pengarah kreatif
(Besorgen) selalu berinteraksi dengan pertukaran simbol atau bahasa (Um-zu)
sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat ketika Sita, istri dari tokoh aku,
menguji kemampuannya membaca pikiran.
“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat
cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung
mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film
untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap. Kadangkala
mereka tumpang tindih. Dan ya, gambarnya berwarna meski di
sekelilingnya hitam, seperti meliha layar dalam sebuah bioskop yang
ruangannya mulai digelapkan.”72
Barangkali, Sita tidak akan pernah memiliki kemampuan membaca
pikiran, seandainya peristiwa tersengat listrik tidak terjadi. Peristiwa
tersengat listik juga boleh jadi tidak pernah ada, seandainya rice-cooker tidak
semata dianggap sebagai urusan domestik yang melulu hanya ditangani oleh
seorang istri. Sampai di sini bisa dikatakan, bahwa rice-cooker sekadar
benda-benda yang bukan alat-alat (Vorhandes) bagi Suami yang tak berminat
untuk menangani.
“Mungkin aku memang selalu ceroboh,” seperti membaca pikiranku,
samar-samar kudengar ia berbisik serak. “Tapi minggu lalu kamuu
sendiri yang berjanji mau mengganti ujung steker itu, bukan?”73
72
Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 73
Iksaka Banu, Op cit., h. 47.
75
“Jangan terlalu absurd membesarkan jumlah, Sayang. Memangnya
kecelakaan seperti apalagi yang bisa menimpaku. Juga please jangan
tunda mengganti kabelnya. Aku bisa, dan mau belajar berhati-hati, tapi
bagaimana kalau ada saudara atau tamu ikut memasak dengan barang
itu?” terdengar lagi suaranya. Kali ini nadanya agak tertekan.74
Selain itu, sikap terhadap „steker rice-cooker‟ sebagai benda yang
tidak pernah ditangani (Vorhandenes) bisa saja menjadi Zuhandenes,
seandainya Istri tidak menunggu-nunggu (Awaiting) Suami untuk mengganti
ujung stekernya. Atau dengan kata lain, sikap menunggu-menunggu Sita,
dalam pembahasan Heidegger mengenai ekstasis waktu, merupakan masa
depan yang inotentik.75
Atau dalam kondisi yang sama sekali lain, di akhir cerpen ini terdapat
sebuah cermin yang pada mulanya mungkin saja hanya Vorhandenes. Tetapi
setelah peristiwa serupa menimpa tubuh Suami dan membuatnya transparan
akibat tersengat listrik. Cermin akhirnya menjadi Zuhandenes dan akrab
dengan keberadaannya.
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”76
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami, atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
74
Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 75
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 130. 76
Iksaka Banu, Op cit., h. 58.
76
Sambil berhati-hati menyingkirkan pecahan kaca, kubantu ia berdiri,
lalu perlahan-lahan kubimbing menuju meja makan. Merasakan betapa
keras gigilan badannya, kusimpulkan bahwa arus listrik yang sempat
berpindah ke tubuh istriku cukup besar.77
…seluruh tim kreatif sudah sampai pada batas ketahanan fisik dan
mental. Seperti juga aku.78
Meski demikian, lihatlah bagaimana Suami sebagai Dasein, yang
tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap Bos,
Pimpinan Klien, Brand Manager.
Ketika secara sinis pimpinan menerangkan kemungkinan tuduhan
nepotisme, kutanggapi bahwa istriku bersedia dibayar rendah untuk
proyek pitching ini. Dasar kapitalis. Ia langsung setuju.79
Istriku duduk persis di seberang tempat duduk pimpinan mereka:
seorang pria tua berkumis tebal, berbadan gempal, dan sangat irit
senyum.80
“Kau. Karena kulihat kau terus menatap brand manager mereka.
Mengagumi aura kecerdasan dari matanya, serta dengan beraninya
memperbandingkannya dengan aku. Kau patut tahu satu hal. Orang
dengan tubuh seksi seperti aku belum tentu IQ-nya rendah.81
Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap
terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan
dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan
diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri
dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-
dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga
77
Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 78
Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 79
Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 80
Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 81
Iksaka Banu, Op cit., h. 56.
77
merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan
diri.82
2. Keseharian Dasein dalam Belati
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Armin Kelana, sebagai aku dan tokoh utama, dalam
cerpen ini mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia
berhubungan dengan Ada-nya. „Dunia-seni‟ telah membuatnya sebagai
pelukis (Besorgen) selalu berinteraksi dengan kanvas, adonan cat, kuas, dan
media cetak (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat pada
deskripsi tentang persiapan kematian seorang Kelana, setelah menganggapi
para kritikus yang mengulas pameran dua tahun silamnya di berbagai media
cetak.
Perihnya hati ini! Sempat kugelar jumpa pers untuk menangkis semua
kritik tadi. Kukatakan kepada mereka bahwa aku tak butuh sensasi.
Aku sudah sukses. Aku sudah melukis selama dua puluh lima tahun.
Ini cuma soal mengubah gaya lukis! Dan Jackson Pollock? Meski
memang mirip, aku punya gaya sendiri. Oh betapa aku benci
kritikus!83
Kutebar pandangan terakhir kali ke sekeliling ruangan. Biasanya aku
melukis di sanggarku, di Kemang. Tetapi untuk mahakarya ini, kurasa
apartemen lebih cocok. Apartemen mewakili gaya hidup urban. Sangat
mekanis. Sangat bisnis. Sangat semu. Persis seperti hati para kritikus
laknat itu. Ya Tuhan, sungguh efek gestalt yang sempurna. Pemilihan
simbol yang rapi dan terpadu. Yang pada akhirnya, kuharap akan
menjeritkan pesan tunggal: “Mampuslah kalian semua, para
munafik!”84
82
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75. 83
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 84
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.
78
Hingga tiba Kelana pada benda tajam yang kelak akan digunakannya
untuk memotong urat nadi. Sebuah kesibukan yang kemudian melarutkan
kesehariannya mengurus Jambiya, sebuah pisau lengkung peninggalan
Kakek, yang pada mulanya sekadar benda-benda yang bukan alat-alat
(Vorhandes). Hal ini terlihat sebelum peristiwa nahas yang menimpa Pak
Kadiyoso akibat tidak akrabnya Kelana dalam „menggenggam‟ Jambiya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.85
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.86
Apa lagi yang harus kulakukan? Apakah sebaiknya kulanjutkan acara
sakralku dengan belati itu? Rasanya tak mungkin. Kalau belati kutarik,
darahnya pasti muncrat ke segala penjuru.87
Selain itu, tidak ditemukannya bukti teks atas kedekatan Kelana
dalam menggunakan benda tajam tersebut, sebagai seorang pelukis dan
dirinya di dalam „Dunia-seni‟. Sekalipun ia begitu mengagumi seorang
penulis-samurai yang melakukan seppukku, tidak ada deskripsi yang
menjelaskan latar belakang Kelana sebagaimana keakraban Yukio Mishima
dengan benda tajam semacam itu.
Belati sebagai metafora benda yang tidak pernah ditangani
(Vorhandenes), seketika menjadi Zuhandenes setelah peristiwa nahas
menimpa Pak Buyung. Kelana menggunakan belati itu untuk membunuh dan
menjadi penentu nadir ontologis orang lain. Demikian pembunuhan demi
pembunuhan yang terjadi selanjutnya, motif belati kini menjadi benda yang
85
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 86
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 87
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
79
sangat akrab bagi keberadaannya, seperti yang dialami Pak Hansip juga Pak
Damhuri.
Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher
Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan
hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik
nyawanya. Setelah itu, sunyi.88
Kuraih jambiya di dasbor depan. Tubuh hansip terlalu tambun.
Sebentar sudah terkejar. Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke
leher serta ulu hatinya. Ia mati tanpa banyak mengeluh.89
Kumasukkan belati ke dalam saku kimono, lantas kubuka pintu. Pak
Damhuri. Penghuni kamar 400 … Dari saku kimono, perlahan-lahan
kutarik belati ke atas.90
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama
semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah
menjadi model lukisanku. Aku benci apartemen, tapi tidak pernah
benci penghuninya.91
Meski demikian, lihatlah bagaimana Kelana sebagai Dasein, yang
tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap kritikus,
88
Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 89
Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 90
Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 91
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
80
politikus seni, surat kabar, pelukis terdahulu, kolektor, promotor, juga istri
yang lebih dulu minggat meninggalkannya.
Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang
mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,
gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.
Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action
painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal
seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,
pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah
malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas
nama sensasi.92
Kupikir usul itu tolol sekali. Kupecat mereka semua. Setelah itu aku
berhenti melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil.93
Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat
sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”94
Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap
terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan
dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan
diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri
dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-
dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga
merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan
diri.95
92
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61. 93
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 94
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 95
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75.
81
3. Keseharian Dasein dalam IG
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Willem, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini
mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan
dengan Ada-nya. „Dunia-centeng‟ telah membuatnya sebagai penjaga
keselamatan Nona Miranda (Besorgen) selalu berinteraksi dengan perangkat
senjata bahkan tubuhnya sendiri (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes)
untuk memertahankan diri di iklim kekerasan yang senantiasa menjadi
dunianya. Ini terlihat ketika Willem, menunjukkan pertama kali tugasnya
dalam melindungi keselamatan Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan
pelanggan-pelanggan yang mengancam keselamatannya.
Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya
bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.
Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang
terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke
dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.96
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.97
Selanjutnya, perhatikanlah rutinitas Willem dalam alunan
kesehariannya sebagai tokoh yang selalu mengurusi bisnis. Ia seakan patah
dari alunan itu dan terhempas ke dalam dirinya sendiri, misalnya saat ia
berhadapan dengan Swing Jazz di lantai dansa (Vorhandes) bersama Nona
Miranda sebagai benda-benda dari produk kultural.
96
Iksaka Banu, Op cit., h. 162. 97
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
82
“Ah, dengar iramanya. Abang tidak terpanggil?” gadis itu menarik-
narik tanganku. Dengan enggan, kuikuti langkahnya. Sesaat kemudian,
di tengah irama yang meliuk dan menyentak, dapat kurasakan betapa
berwarna sesungguhnya hidup ini. Cinta, harapan, serta
keberuntungan. Satu persatu hinggap padaku, lalu pergi. Kadang
kembali, kadang lama sekali baru kembali. Dan perempuan kecil ini,
betapa pandai ia berdamai dengan ombak-ombak kehidupan tadi.
Sepandai gerakan tubuhnya. Berputar, mengerutkan badan dan
melemparkan diri. Seolah akulah dan bukan dia yang mahir
berdansa.98
Seperti pola pada cerpen-cerpen sebelumnya, sikap Willem
sebelumnya terhadap „lantai dansa dan swing jazz‟ sebagai benda-benda yang
tidak pernah ditangani (Vorhandenes) kemudian menjadi Zuhandenes pula.
Hal ini terlihat ketika Willem menjelang kematiannya sendiri, lantai dansa
dan swing jazz menjadi suatu hal yang Ia akrabi bahkan menghadirkan hal itu
ke dalam realitasnya yang sedang absen.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan tentang kehidupan abadi.99
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Willem atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
98
Iksaka Banu, Op cit., h. 164-165. 99
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
83
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,
setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di
sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah
membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.100
Meski demikian, drama-eksistensial dalam keseharian seorang
Dasein niscaya tetap terjadi. Drama itu tak lain daripada paradoks yang ganjil
antara penyingkapan dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul
dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya dan raib di
tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-dunia.
Malam itu kukabarkan kepadanya seluruh perjalanan hidupku:
Sebatang kara. Kemiskinan yang menggila. Dikhianati istri tercinta.
Menjadi tentara. Dan akhirnya, belajar meniadakan nurani dengan
menembak orang tua, wanita, dan bayi di Bali pada tahun 1906.
Kubisikkan semua. Tepat di muara telinganya.101
Atau, lihatlah bagaimana hubungan Willem dengan „dunia centeng‟.
Kesehariannya yang terpaut jarak, peraturan, dan nasib yang membentuknya,
sebagai Dasein, yang tidak mesti memperlihatkan bagaimana seharusnya
bersikap terhadap Mengada-mengada lain.
Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya
bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.
Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang
terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke
dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.102
100
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 101
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 102
Iksaka Banu, Op cit., h. 162.
84
Kuangkat kedua tangan sambil melompat. Laras Browning kembarku
menyentak-nyentak. Selongsong timah berdenting-denting memukul
lantai. Dua centeng terdorong ke belakang dengan isi kepala
berhamburan. Satu peluru lari menembus lengan si durjana, membuat
senapannya terlempar.103
Saat itulah kuraih pisau dari sabuk. Kubiarkan memangsa dadanya.104
Kuayunkan kepalan tangan. Centeng itu menjerit. Lengan kanannya
terputar ke belakang karena bonggol bahunya lepas. Lalu, satu
bacokan pisau pada leher mengakhiri deritanya.105
Dengan satu terkaman, kutarik senapan si durjana. Kudorong belati ke
dadanya, lalu kuraih mulutnya. Kupaksa ia menganga, sampai
terdengar bunyi sobekan daging dan gelinjang kematian. Setelah itu
kuburu tubuh Nona Miranda.106
Singkatnya, sikap Willem sekaligus menguak struktur „untuk‟ sebagai
ontologi cara mengada alat-alat. Bahwa dari cara berada, terdapat distingsi
antara sikap Fürsorge yang merawat orang lain dengan sikap Zuhandenes
yang seakan‟memanipulasi‟ alat-alat sebagai kekuatan untuk menaklukan
MitDasein.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menanamkan pembelajaran sastra di sekolah secara serius menjadi
suatu keharusan bagi para pengajar. Mengingat tidak dapat dipungkiri bahwa
keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengajaran sastra di sekolah memiliki
peluang besar untuk meningkatkan apresiasi dan keakraban siswa pada sastra.
Peluang tersebut sejauh ini belum termanfaatkan di antaranya karena tidak
terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dengan kemampuan apresiasi
siswa.107
Jadi dapat dikatakan harusnya pembelajaran sastra tidak hanya
103
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 104
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 105
Iksaka Banu, Op cit., h. 171. 106
Iksaka Banu, Op cit., h. 171. 107
Agus R. Sardjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001),
h. 209.
85
menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca
dan menikmati karya sastra secara langsung, kemudian memberi apresiasi
terhadap karya sastra yang dibaca.
Dari aktivitas membaca, siswa mampu menafsirkan dan memperoleh
pengetahuan baru (kognitif). Segi apresiasi, respon dari siswa dapat diketahui
adakah ketertarikan atau tidak setelah membaca karya sastra tersebut
(afektif). Adanya penyerapan pesan setelah membaca karya sastra sehingga
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa (psikomotor).
Tujuan pembelajaran sastra di SMA adalah dikuasainya kompetensi
sastra pada siswa, yaitu kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra
melalui kegiatan mendengarkan, menyimak, membaca, dan melisankan hasil
sastra; mendiskusikan, memahami, dan menggunakan pengertian teknis
konvensi kesusastraan dan sejarah sastra, untuk menjelaskan, meresensi,
menilai, dan menganalisis hasil sastra; dan mampu memerankan drama, serta
menulis puisi, cerpen, novel, dan drama.
Melalui kajian ilmiah yang dilakukan terhadap tiga cerpen dalam
kumpulan Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya karya Iksaka Banu,
implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah adalah agar para siswa
dapat memahami serta menganalisis unsur intrinsik dalam cerpen-cerpen
tersebut. Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang
ada di dalam kedua cerpen tersebut. Hal ini sesuai dengan indikator
pencapaian kompetensi, yakni siswa mampu menemukan unsur intrinsik
cerpen berupa tema, latar, tokoh dan penokohannya.
Dapat dikatakan, jika pembelajaran sastra dikaitkan dengan kajian
yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen dalam kumpulan Ratu Sekop dan
Cerita-cerita Lainnya maka siswa dapat mengetahui bagaimana unsur-unsur
intrinsik dalam cerpen-cerpen tersebut. Selain itu, cerpen juga menawarkan
sebuah miniatur dunia yang berisi model kehidupan yang dibangun melalui
86
berbagai unsur intrinsik, seperti unsur penokohan di dalamnya. Kemudian
siswa dapat melihat hubungan eksistensialisme dengan karya tersebut.
Disesuaikan dengan indikator maka selanjutnya siswa dapat
mendiskusikan unsur-unsur intrinsik yang mereka temukan dari kumpulan
cerpen tersebut. Melalui metode diskusi dapat mendorong siswa untuk
memanfaatkan informasi, pemikiran dan gagasannya, sehingga siswa mampu
menyelesaikan tugas mereka. Hasil yang akan didapatkan oleh siswa ialah
gambaran mengenai gerak tokoh dalam cerpen tersebut. Kemudian
mempresentasikan hasil diskusinya, dengan metode ini siswa akan semakin
berani mengemukakan pendapat, saran, dan kritik terhadap hasil yang didapat
oleh mereka.
Tidak hanya pihak guru yang aktif mengajar tetapi siswa diharapkan
setelah membaca dan memahami cerpen tersebut diharapkan dapat lebih
mendalam lagi dalam memahami karya sastra tidak hanya terpaku pada unsur
intrinsik saja, melainkan unsur di luar karya sastra seperti pemikiran
pengarang juga berpengaruh penting terhadap lahirnya sebuah karya sastra.
Dari karya juga siswa dapat mengetahui ajaran-ajaran hidup yang
disampaikan di dalam cerpen, seperti muatan filosofi yang akan bermanfaat
di kehidupan mereka, sehingga siswa mampu mengaplikasikannya ke dalam
masyarakat, seperti siswa dapat meneladani sikap dari sosok tokoh Aku dalam
ikhtiar memahami manusia secara menyeluruh dan tidak dapat dicapai
dengan cara mengisolasi atau melepaskannya dari lingkungan, kehidupan
sosial serta budaya. Atau dalam pertanyaan reflektif yang khas eksistensial,
siswa dapat memahami bahwa manusia adalah Adaan yang berada sebagai
keberadaan di dunia, yang sekaligus mempertanyakan Ada di antara cara
berada Ada-adaan yang lain.
87
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan mengenai eksistensialisme pada
tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Unsur-unsur instrinsik pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut
meliputi: tema, alur (plot), penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Tema dari tiga cerpen yang dijadikan objek dalam skripsi ini, secara garis besar
terkait pembahasan eksistensialisme. Khususnya refleksi dari tokoh utama
terhadap kematiannya sendiri yang bersifat simbolis maupun filosofis. Tema
kematian simbolis dialami Suami dalam Listrik dengan tubuhnya yang berubah
menjadi transparan seperti es batu setelah menyentuh steker penanak nasi.
Sementara tema kematian filosofis dapat ditemui dalam Belati, yakni ketika
Armin Kelana sebagai tokoh utama yang mempersiapkan kematiannya dengan
memotong urat nadi selagi menyiapkan rancangan masterpiece lukisannya.
Selain itu, bentuk kematian yang sama sekali lain terjadi di Istana Gotik.
Seorang centeng bernama Willem, tokoh yang tengah menyongsong
kematiannya sendiri dalam keputusannya untuk pergi menyusul keselamatan
Nona Miranda.
2. Berdasarkan beberapa macam kematian yang diangkat di tiga cerpen dalam
kumpulan cerpen Ratu Sekop, menggambarkan bahwa Drama-Eksistensial
kerap ditemui di kehidupan masyarakat manapun dalam berbagai macam
bentuk. Dapat dikatakan, Dasein, meski sebagai Adaan yang mengada-dengan-
yang-lain (Being-with-others), tak seorangpun dapat menjemput/menggantikan
kematiannya untuk/demi orang lain. Atas dasar itu, kematian adalah momen
paling otentik dan eksistensial bagi masing-masing tokoh utama di tiga cerpen
tersebut sebagai Dasein. Selanjutnya adalah ulasan mengenai masing-masing
tokoh yang bermukim di dunia dan bergerak dalam keseharian yang
menjelaskan bahwa terdapat tiga macam Mengada yang dapat ditemui Dasein
di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat, benda-benda
88
yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia atau orang-
orang lain.
3. Implikasi pembelajaran sastra atas penelitian mengenai “Eksistensialisme
dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya Iksaka Banu” memiliki
keterkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Berdasarkan kajian
terhadap tiga cerpen yang terpilih, kumpulan cerpen tersebut dapat menjadi
salah satu bahan ajar pembelajaran sastra pada tingkat SMA/MA dalam aspek
membaca dengan kompetensi membaca kritis. Pemahaman mengenai unsur-
unsur pembangun cerpen, dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk
memahami struktur cerpen secara lebih teliti. Melalui analisis struktur cerpen,
siswa dilatih untuk meningkatkan kepekaan dalam menemukan unsur
instrinsik dan juga nilai-nilai eksistensialisme yang terkandung di dalam
cerpen.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan, simpulan dan implikasi yang
telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu:
1. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya
meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang
bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan
memahami karya sastra yang dibacanya.
2. Diharapkan konsep eksistensialisme yang terkandung di dalam karya ini dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah, sehingga setelah siswa
membaca dan memahami cerpen ini, siswa dapat menerapkannya terhadap
karya sastra lain.
3. Bagi pembaca umum diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan pembaca, dan menambah khazanah penelitian terhadap karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle. 1999.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. 2013.
________. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. 1990.
Banu, Iksaka. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. Tangerang Selatan: Marjin
Kiri. 2017.
Budianta, Melani Dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. 2006.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan. 1978.
Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps. 2011.
Hassan, Fuad. Psikologi Kita dan Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu.
2014.
Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG. 2016.
________. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleimacher sampai Derrida.
Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015.
Heidegger, Martin. Being and Time (penerjemah: Joan Stambaugh) New York:
State University of New York Press. 1996.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2005.
Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Priyantni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2010.
Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
________. Sastra Dan Cultural Studies: Representasi Fiksi Dan Fakta.
Yogyakarta: Pustakapelajar. 2010.
Sardjono, Agus R. Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya. 2001.
Sayuti, Suminto A. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
2000.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1989.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.
________. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1985.
Teeuw, A. Membaca Dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. 1983.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Iv. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Toda, Dami N. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka.
1984.
Zulfahnur, Z. F. dkk. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1996.
--------------------------------
Damono, Sapardi Djoko. Sastra di Sekolah. Jakarta: Susastra Jurnal Ilmu Sastra
dan Budaya, Vol. 3. 2007.
Arnas, Benny. Parade Realitas Urban yang Paradoks.
https://jurnalruang.com/read/1515996843-parade-realitas-urban-yang-paradoks#
LAMPIRAN I
SILABUS
Sekolah : SMA/MA....
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas : XII
Semester : 1
Standar Kompetensi : Membaca
Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen
Kompetensi
Dasar
Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator
Pencapaian
Kompetensi
Penilaian Alokasi
Waktu
Sumber
/Bahan/
Alat
Menganalisis
unsur-unsur
intrinsik dan
ekstrinsik
cerpen
1. Cerpen
2. Unsur-unsur intrinsik
(tema, tokoh,
perwatakan, latar, sudut
pandang, alur, amanat,
dan gaya bahasa)
3. Unsur ekstrinsik agama,
sejarah, sosial, politik,
budaya)
1. Cerpen
2. Mengidentifikasi unsur
intrinsik cerpen yang
telah dibaca
3. Mengaitkan cerpen
dengan kejadian di
luar karya (unsur
ekstrinsik)
Menganalisis
unsur-unsur
ekstrinsik dan
intrinsik
Mengaitkan
unsur intrinsik
dan ekstrinsik
ke dalam
kehidupan.
Jenis Tagihan:
1. Tugas individu
2. Tugas kelompok
3. Ulangan Bentuk
Instrumen:
4. Uraian bebas
5. Pilihan ganda
6. Jawaban singkat
2 X 40
menit
Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya Iksaka Banu.
LAMPIRAN II
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
SEKOLAH : SMAN 5 Kota Tangerang Selatan
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS/SEMESTER : XI/Genap
ALOKASI WAKTU : 4 X 40 Menit
A. STANDAR KOMPETENSI :
Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen
B. KOMPETENSI DASAR :
Menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik cerpen
C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI :
No Indikator Pencapaian
Kompetensi
Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
1 Mampu menemukan unsur
instrinsik yang berupa tema
dan amanat, latar, tokoh dan
watak penokohan, alur,
gaya bahasa, dan sudut
pandang.
1. Bersahabat/
komunikatif
2. Kreatif
1. Kepemimpinan
2. Keorisinilan
2 Mendiskusikan unsur-unsur
instrinsik (tema, tokoh,
penokohan, alur, sudut
pandang, latar, dan amanat)
cerpen yang dibaca.
D. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Siswa dapat:
1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh dan
penokohan.
2. Mendiskusikan unsur-unsur instrinsik (tema, tokoh, penokohan, alur, sudut
pandang, latar, dan amanat) cerpen yang dibaca.
E. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN :
1. Inkuiri
2. Demonstrasi
3. Diskusi
F. Media, Alat dan Sumber Belajar
Media : Buku paket Bahasa Indonesia kelas XI semester I
Alat : Gawai Pembaca Berkas dan Akun Surat Elektronik
Sumber : Kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, Teori
Pengkajian Fiksi, Artikel dan Jurnal.
G. Strategi Pembelajaran
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Menjelaskan pengertian
unsur intrinsik dan
ekstrinsik
Membaca cerpen
Menemukan unsur
intrinsik yang berupa
tema, latar, tokoh, dan
penokohan
Siswa dapat
mendeskripsikan dan
menemukan unsur
intrinsik (tema, latar,
tokoh, dan penokohan)
dan mengaitkannya
dengan kejadian di luar
cerpen
H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :
Pertemuan Pertama
No. Kegiatan Belajar
Nilai
Budaya
Dan
Karakter
Bangsa
Alokasi
Waktu
1. Kegiatan Awal
Apersepsi :
Guru memberi salam dan berdoa
Guru mengecek kehadiran siswa
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
Guru meninjau ulang materi sebelumnya
Guru memotivasi siswa
Guru menunjukkan urgensi pembelajaran hari
ini
Bersahabat/
komunikatif
2. Kegiatan Inti :
Eksplorasi
Guru berinteraksi dengan siswa tentang unsur
intrinsik
Siswa menyebutkan unsur intrinsik cerpen
(tema, latar, tokoh, dan penokohan)
Elaborasi
Siswa mengamati kutipan cerpen yang
Kreatif
disediakan guru
Konfirmasi
Menjelaskan tema dan amanat, latar, tokoh dan
penokohan, alur, gaya bahasa, dan sudut
pandang
Menyimpulkan tentang materi yang telah
disampaikan
3. Kegiatan Akhir
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
Penugasan
Bersahabat/
komunikatif
Pertemuan Kedua
No. Kegiatan Belajar
Nilai
Budaya
Dan
Karakter
Bangsa
Alokasi
Waktu
1. Kegiatan Awal
Apersepsi :
Guru memberi salam dan berdoa
Guru mengecek kehadiran siswa
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
Guru meninjau ulang materi sebelumnya
Guru memotivasi siswa
Guru menunjukkan urgensi pembelajaran hari
ini
Bersahabat/
komunikatif
2. Kegiatan Inti :
Eksplorasi
Guru bertanya jawab dengan siswa tentang
unsur intrinsik cerpen
Elaborasi
Mendiskusikan unsur-unsur instrinsik (tema,
tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, latar,
dan amanat) cerpen yang dibaca.
Konfirmasi
Siswa menyimpulkan tentang materi yang telah
disampaikan
Kreatif
3. Kegiatan Akhir
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
Penugasan
Bersahabat/
komunikatif
I. PENILAIAN
1. Teknik
Tes (PG, Isian, dan Uraian)
Penugasan menjelaskan unsur instrinsik dan ekstrinsik
2. Bentuk Instrumen Soal
a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?
b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen cerpen
Ratu Sekop?
c. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop?
d. Sebutkan persamaan apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerpen Ratu
Sekop?
J. FORMAT PENILAIAN
M
e
n
g
e
t
a
h
u
i
:
Tangerang Selatan, .............
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
__________________ __________________
UNSUR PENILAIAN
No Unsur Intrinsik SKOR Unsur Ekstrinsik SKOR
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 Menganalisis dengan
cermat dan tepat
Menganalisis dengan
cermat dan tepat
2 Menemukan unsur-unsur
dengan bukti yang tepat
Menemukan unsur-unsur
dengan bukti yang tepat
3 Mendeskripsikan hasil
analisis dengan tepat
Mendeskripsikan hasil
analisis dengan tepat
4 Amanat yang bisa
diambil dari unsur
intrinsik
Amanat yang bisa diambil
dari unsur ekstrinsik
Perolehan Nilai = Total
skor x 5
Perolehan Nilai = Total
skor x 5
RIWAYAT PENULIS
Tri Wibowo: lahir di Jakarta, besar di Parung,
Bogor. Saat ini tinggal di Ciputat. Aktif sebagai
oknum pegiat sastra dan kebudayaan Majelis
Kantiniyah serta Rusabesi. Biasa dijumpai melalui
laman twitter juga instagram: @uwowh. Atau
melalui pos elektronik: [email protected] dan
whatsapp 08988443481.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri
Mekarwangi Parung (Bogor) pada tahun 2006, lalu
melanjutkan ke SMP Negeri 01 Parung (Bogor) dan lulus tahun 2009, lalu penulis
menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 01 Parung (Bogor) pada tahun 2012.
Kemudian penulis melanjutkan program S1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.