Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPEN
MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Putri Chintiya Awliya Rahmi
NIM 1112013000071
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Putri Chintiya Awliya Rahmi. 1112013000071. “Nilai Sosial dalam Antologi
Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai sosial dalam cerpen
“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” dalam antologi
cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
disiplin ilmu sastra dan sosiologi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
ditemukan aspek-aspek nilai sosial yang terdapat dalam ketiga cerpen. Aspek-
aspek tersebut, yakni nilai materiil, nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai
kerohanian dibagi lagi menjadi empat, yakni nilai kebenaran, nilai estetika, nilai
kebaikan, dan nilai religius. Akan tetapi, hanya terdapat nilai kebenaran dan nilai
kebaikan di dalam ketiga cerpen. Nilai sosial termasuk ke dalam nilai kebaikan.
Adapun nilai sosial tersebut ialah nilai sosial kebersamaan, nilai sosial kerja sama,
nilai sosial tanggung jawab, nilai sosial kasih sayang, nilai sosial kepercayaan,
nilai sosial toleransi, dan nilai tolong-menolong. Nilai-nilai sosial tersebut diambil
berdasarkan kehidupan yang dialami oleh para tokoh dalam ceritanya.
Kata kunci: nilai, sosial, cerpen, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari
ii
ABSTRACT
Putri Chintiya Awliya Rahmi. 1112013000071. “Social Values in the Anthology of
the Short Story Mata yang Enak Dipandang of Ahmad Tohari's Work and Its
Implications for Literary Learning in Schools.” Education Department of
Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State
Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.
Hum.
This study aims to describe the social values in the short stories "Mata
yang Enak Dipandang", "Sayur Bleketupuk", and “Daruan” in the anthology of
Mata yang Enak Dipandang by Ahmad Tohari. The method used in this study is
descriptive qualitative using the approach of literature and sociology. Based on
the research that has been done found aspects of social values contained in the
three short stories. These aspects, namely material values, vital values, and
spiritual values. Spiritual values are divided into four, namely the value of truth,
aesthetic values, good values, and religious values. However, there are only truth
values and good values in both short stories. Social value is included in the value
of goodness. The social values are social values of togetherness, social values of
cooperation, social values of responsibility, social values of affection, social
values of trust, social values of tolerance, and values of help. These social values
are taken based on the life experienced by the characters in the story.
Keywords: values, social, short stories, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad
Tohari
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan taufik
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
penelitian ini. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi besar kita,
Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan revolusioner dunia, juga pada
para sahabat dan pengikutnya.
Skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang
Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA” adalah disusun untuk memenuhi syarat-syarat
mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit
kesulitan yang menghambat penulis untuk dapat menyelesaikannya. Namun,
berkat doa, kerja keras, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberikan bimbingan dan support-nya pada penulis sehingga penulis
yakin bahwa penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen penasihat akademik Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
5. Orangtua penulis, yakni Mukti Ali, S. Pd. dan Yayu Wahyudah, yang
senantiasa mendoakan dan memberikan semangat serta nasihat kepada
penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Suami tercinta, Mas Sahirin, yang tiada henti mengingatkan dan
memberikan semangat kepada penulis serta selalu menemani dan
iv
mengantar penulis dalam mencari referensi yang terkait dengan penelitian
ini.
7. Anakku tersayang, Muhammad Saif Maulid Abbasy, yang sejak di dalam
kandungan dan hingga saat ini sudah berumur 6 bulan. Terima kasih sudah
hadir di dalam kehidupan bunda, melengkapi hidup bunda, terutama
menjadi penghibur ketika rasa lelah itu datang.
8. Abang tersayang, Johan Aristya Lesmana, teman-teman PBSI angkatan
2012, dan juga adik-adik kelas, yang senantiasa membantu dalam
memberikan informasi kepada penulis serta meminjamkan buku-buku
sebagai penunjang lancarnya penelitian ini.
9. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
10. Sahabat-sahabatku, BFF, terutama Onye (Siti Rohhima Lina) yang selalu
memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman seperjuanganku, Ika Farhana dan Indah Dwi Wahyuni, yang tidak
henti-hentinya memberikan semangat dan nasihat serta membantu penulis
dalam mencari referensi yang berkaitan dengan penelitian ini.
12. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah
memberikan kemudahan kepada peneliti dalam memperoleh bahan
ataupun informasi.
Demikian pengantar dari penulis. Penulis mendoakan agar segala bantuan
dari berbagai pihak di atas dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat
ganda. Aamiin.
Jakarta, 26 April 2019
Penulis
Putri Chintiya Awliya Rahmi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .................................................................. 5
D. Perumusan Masalah ................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
F. Kegunaan Penelitian .................................................................. 7
G. Metode Penelitian ...................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Cerita Pendek .............................................................. 11
1. Hakikat Cerpen ...........………........................................... 11
2. Unsur-unsur Cerpen ........................................................... 12
B. Hakikat Sosiologi Sastra .......................................................... 25
C. Hakikat Nilai Sosial .................................................................. 29
1. Hakikat Nilai ...................................................................... 29
2. Hakikat Sosial .................................................................... 31
3. Hakikat Nilai Sosial ........................................................... 32
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................ 35
E. Penelitian Relevan .................................................................... 37
BAB III PROFIL AHMAD TOHARI
A. Biografi Ahmad Tohari ............................................................ 41
B. Pemikiran-pemikiran Ahmad Tohari ....................................... 44
vi
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Antologi Cerpen “Mata yang
Enak Dipandang” Karya Ahmad Tohari .................................. 47
1. Tema .................................................................................. 47
2. Tokoh dan Penokohan ....................................................... 50
3. Alur .................................................................................... 63
4. Latar (setting) .................................................................... 68
5. Sudut Pandang ................................................................... 74
6. Gaya Bahasa ...................................................................... 74
B. Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang Enak
Dipandang Karya Ahmad Tohari ............................................. 80
1. Nilai Materiil ..................................................................... 81
2. Nilai Vital .......................................................................... 83
3. Nilai Kerohanian ............................................................... 87
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA …................. 98
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 101
B. Saran ......................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Rencana Perencanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 2 : Lembar Uji Referensi
Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang
mengekspresikan pikiran, ide, atau gagasan mengenai hakikat kehidupan
yang dituliskan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan emosional.
Sebagai karya yang imajinatif dan menghibur, sastra juga dapat menambah
pengalaman batin bagi pembacanya. Seperti yang dikemukakan oleh Horatius
dengan istilah dulce et utile, karya sastra yang baik adalah yang memiliki
fungsi ganda, yaitu menghibur sekaligus memberikan manfaat bagi
pembacanya.
Cerpen sebagai karya sastra tentu diharapkan juga dapat memberikan
nilai-nilai positif kepada pembacanya sehingga para pembaca terbuka
pikirannya untuk melihat fenomena yang terdapat di lingkungan sekitarnya
yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan sosial orang-orang kecil.
Hadirnya cerpen diharapkan mampu menyadarkan manusia untuk lebih peka
dan peduli terhadap manusia lainnya, maka dengan begitu itu akan menjadi
bahan perenungan bagi para pembaca dalam memahami hakikat manusia
sejati yang diinginkan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini. Cerpen juga
mengungkapkan fenomena sosial dalam aspek-aspek kehidupan. Fenomena
sosial inilah yang kemudian diangkat ke dalam suatu karya sastra, khususnya
cerpen. Selain karena ceritanya yang pendek dan mudah dipahami, eksistensi
pengarang cerpen yang sangat kreatif tentunya akan membuat keberadaan
cerpen ini semakin banyak digemari oleh khalayak umum.
Berkembang pesatnya penciptaan cerpen sejalan dengan maraknya
penerbitan koran dan majalah umum yang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga
di kota-kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya,
Malang, Makassar, Medan, dan Padang. Hampir semua penerbit itu
menyediakan rubrik sastra dan budaya yang setiap minggu menampilkan
sajak, cerpen, kritik, esai, dan cerita bersambung. Perkembangan cerpen
2
semarak sejak tahun 1950-an walaupun pada pertumbuhan sastra Indonesia
cerpen sudah mulai muncul di berbagai media massa.1
Saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam hal
dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan
berbagai gaya dan tema.2 Sebagai salah satu bahan bacaan yang banyak
digemari oleh pembaca dari segala umur, saat ini, cerpen yang beredar
tentunya semakin beragam. Oleh karena itu, sebagai calon guru Bahasa dan
Sastra Indonesia, sebaiknya tidak hanya memperhatikan unsur
kemenarikannya saja dari cerpen, tetapi juga menyesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik dan berikan cerpen-cerpen yang sarat dengan
muatan edukatif dan sosial.
Cerpen-cerpen yang dianggap mengandung nilai-nilai sosial, terdapat
dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.
Kumpulan cerpen ini banyak mengandung nilai-nilai keteladanan sehingga
dapat dijadikan panutan atau rujukan bagi pembaca. Antologi cerpen Mata
yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini dipilih untuk dikaji oleh
peneliti karena memiliki beberapa kelebihan, baik dari segi isi, bahasa,
maupun gaya penceritaannya. Dilihat dari segi isinya, cerpen-cerpen dalam
antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini banyak
mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat pedesaan, masalah-masalah
sosial orang-orang kecil, kerinduan akan perlindungan-Nya, serta cinta dan
kasih sayang manusia terhadap sesamanya.
Ketika pertama kali membaca judul Mata yang Enak Dipandang
(2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam
tradisi kesastraan Ahmad Tohari. Tradisi Tohari dalam memberi judul pada
karya sastranya lazim menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan
tempat, profesi, hingga sapaan bagi pekerjaan tertentu yang menimbulkan
multimakna. Sebutlah novel Kubah (1981), Di Kaki Bukit Cibalak (1986),
1 Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2011), h. 7 2 Ibnu Wahyudi, “Menyiasati Kurikulum dan Pelajaran Sastra Indonesia di Sekolah: Kiat untuk
Mahfum dan Berbenah”, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol. 3, 2007, h. 24
3
trilogi novel Rongggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak (1981), Lintang
Kemukus Dini Hari (1982), Jentera Bianglala (1986), Bekisar Merah (1993),
Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), Orang-Orang Proyek
(2002), hingga kumpulan cerpen Senyum Karyamin (2006).
Judul-judul itu akan membawa pembaca pada konotasi akan referensi
atau objek tertentu. Tidak demikian halnya pada kumpulan cerpen Mata yang
Enak Dipandang. Paling tidak, akan timbul kesan bahwa judul itu bersifat
vulgar dan Tohari mengalami perubahan konsep estetik dalam karya sastra,
yakni menuju ke tema populer. Dalam hal ini berkaitan dengan mata seorang
perempuan cantik yang indah, misalnya. Namun, pembaca akan terkejut
begitu membaca cerpen itu hingga selesai. Ternyata, Mata yang Enak
Dipandang itu adalah mata orang yang suka memberi/berderma kepada
pengemis. Jadi, judul itu justru merupakan nilai lebih Tohari karena memberi
efek kejutan dalam karya sastranya yang sering dikenal dalam dunia sastra
sebagai defamiliarisasi. Lebih dari itu, judul tersebut juga mengandung aspek
provokasi yang mampu membuat pembaca penasaran dan timbul rasa ingin
tahu untuk membaca lebih lanjut cerpen-cerpen lainnya.
Daya tarik kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dan karya-
karya Tohari yang lain adalah jiwa populisnya. Pada RDP misalnya, Tohari
sebagai sastrawan populis dan egalitarian, membincangkan potret buram
kemanusiaan yang senantiasa akan mengusik kesadaran kita mengenai hak
asasi manusia, makna demokrasi, cinta kasih, kemanusiaan, resistensi kaum
perempuan, dan nilai-nilai luhur kehidupan. Kepeduliannya kepada masalah-
masalah subkultur atau budaya daerah dengan kearifan lokalnya (local
wisdom), sisi kemanusiaan dan pembelaannya kepada wong cilik menjadi
penciri karya-karya Tohari.
Karya-karya Tohari juga memiliki kekhasan dan keunggulannya
sendiri. Penggambaran latar alam pedesaan merupakan salah satu kelebihan
atau keunggulan yang dimiliki olehnya. Deskripsi alam pedesaan dalam
setiap karya-karyanya mampu membawa para pembaca yang mungkin tidak
begitu dekat dengan suasana pedesaan menjadi seakan-akan dibawa langsung
4
mengelilingi pedesaan melalui karya-karyanya. Dick Hartoko
mengungkapkan bahwa, “Ahmad Tohari itu orang Jawa yang menjadikan
alam desa sebagai guru yang arif dan bijaksana”. Melalui gaya bahasa yang
komunikatif dan estetik, Tohari mampu memukau pembacanya dengan
pemilihan-pemilihan diksi yang tepat.
“Ketidakpastian” masa depan yang dialami oleh para tokoh dalam
karya-karyanya juga merupakan keistimewaan gaya penceritaan Tohari.
“Ketidakpastian” itu yang mendorong para pembaca untuk menentukan
sendiri klimaks dari setiap cerita. Hal itu juga yang mendorong para pembaca
semakin suka dan sangat menikmati karya-karya Tohari karena dianggap
mampu mengembangkan daya imajinasi. Itulah alasan kenapa antologi cerpen
Mata yang Enak Dipandang ini penting untuk dibahas.
Pentingnya mengkaji nilai sosial dalam cerpen ialah karena sesuai
dengan fungsi sastra, yakni untuk merangsang pembaca agar mengenali,
menghayati, menganalisis, merumuskan, dan menerapkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Secara perlahan, nilai-nilai sosial
tersebut akan terjaga dan terus berkembang dalam diri pembaca. Pada
akhirnya, nilai-nilai sosial itu akan menjadi motivasi dan stabilitas
kepribadian serta perilakunya. Nilai-nilai sosial sangat dijunjung tinggi
karena sebagai patokan bagi masyarakat untuk berbuat atau bersosialisasi
dengan sesama manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapardi Djoko
Damono yang menyatakan bahwa dalam karya sastra tersimpan kekayaan
rohani bangsa; di dalamnya pengalaman dan penghayatan penghidupan tidak
hanya terekam, tetapi juga sekaligus ditanggapi dan dinilai untuk
dipertimbangkan kembali.3
Antologi cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang ini banyak
mengandung nilai-nilai sosial yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan
bagi para pembaca, terutama pendidik dan peserta didik. Hal ini diperlukan
agar peserta didik tidak hanya senang dengan karya sastra populer, tetapi
lebih jauh mereka juga dapat sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa suka
3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol. 3, 2007, h. 7
5
terhadap karya sastra kanon. Tentunya hal itu dapat dimulai dari guru sebagai
pendidik yang menyajikan pembahasan sastra kanon itu dengan menarik agar
tidak terkesan membosankan bagi peserta didik.
Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji nilai-
nilai sosial yang terdapat dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang
karya Ahmad Tohari. Dari lima belas cerpen dalam antologi tersebut, akan
dipilih tiga cerpen saja dengan mengkaji nilai-nilai sosial yang terdapat di
dalamnya. Tiga cerpen tersebut berjudul “Mata yang Enak Dipandang”,
“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan”. Cerpen yang dinilai memiliki banyak
nilai sosial tentunya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan
membahas mengenai unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam
antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta
implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa masalah yang
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Perlunya pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik serta sarat dengan muatan edukatif dan
sosial.
2. Kurangnya penetapan karya sastra kanon sebagai bahan rujukan dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
3. Belum adanya penelitian mengenai nilai-nilai sosial pada antologi
cerpen Mata yang Enak Dipandang.
C. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi masalah dalam tulisan ini, yaitu mengenai unsur-
unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam antologi cerpen Mata yang Enak
Dipandang karya Ahmad Tohari serta implikasinya dalam pembelajaran
6
sastra di SMA. Alasan peneliti hanya memilih cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karena ketiga cerpen
tersebut mengandung nilai-nilai sosial yang baik untuk pembentukan karakter
peserta didik.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalahnya, yaitu
mengenai unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam antologi cerpen
Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta implikasinya dalam
pembelajaran sastra di SMA. Adapun rumusannya sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang
Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat
dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari?
2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat dalam
antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari
sebagai materi pembelajaran sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memaparkan nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang
Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat
dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad
Tohari.
2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat dalam
antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari
sebagai materi pembelajaran sastra Indonesia di SMA.
7
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah ilmu
pengetahuan, terutama dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia,
khususnya bagi pembaca dan pecinta sastra.
b. Sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya Bahasa dan
Sastra Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai
sosial.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi dalam memilih bahan ajar.
b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dalam mengapresiasi cerpen, khususnya memahami dan
mengamalkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.
G. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Objek penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek yang
dikaji dalam penelitian ini ialah antologi cerpen Mata yang Enak
Dipandang. Antologi cerpen tersebut merupakan karya dari Ahmad
Tohari yang diterbitkan pada Maret 2015 oleh PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, Indonesia. Ini merupakan cetakan kedua. Antologi
cerpen ini berisi lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar
di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Namun, untuk
penelitian ini, peneliti hanya mengambil tiga cerpen saja, yakni cerpen
“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan”.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas sumber data primer
dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung
8
dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat
berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil
observasi terhadap suatu benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil
pengujian. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu menggunakan sumber data dari cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat di
dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari yang diterbitkan pada Maret 2015.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat
oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan
dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu data-data yang diambil dari buku, jurnal,
kamus, ensiklopedia, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti ialah
menggunakan teknik pustaka, yaitu dengan menganalisis isi. Peneliti
membaca, memahami, kemudian mencatat pokok-pokok yang terdapat
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan
“Daruan” yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya sebagai berikut:
a. Membaca secara cermat dan memahami pesan yang terkandung
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”,
dan “Daruan” karya Ahmad Tohari.
b. Menentukan unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Mata
yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya
Ahmad Tohari.
9
c. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya nilai-nilai sosial
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”,
dan “Daruan” karya Ahmad Tohari.
d. Menganalisis nilai-nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad
Tohari.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1) Data dibaca
Peneliti melakukan pembacaan secara berulang-ulang hingga
memahami pesan yang terdapat dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad
Tohari.
2) Data ditandai
Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal penting
yang berhubungan langsung dengan rumusan masalah yang telah
dipilih, yakni mengenai unsur-unsur intrinsik cerpen dan nilai
sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad
Tohari.
3) Data dikelompokkan
Setelah melakukan penandaan, peneliti melakukan
pengelompokkan data berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya dan
nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad
Tohari.
4) Data dianalisis
Setelah melakukan pengelompokkan, peneliti menganalisis data
terkait nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad
10
Tohari. Baru setelah itu, peneliti menjabarkan implikasinya
terhadap pembelajaran sastra di SMA.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Cerita Pendek
1. Hakikat Cerpen
Sebuah cerita fiksi yang hanya terdiri dari beberapa halaman, atau
sekitar seribuan kata, teks tersebut disebut sebagai cerpen. Cerpen tidak
mungkin berbicara secara panjang lebar tentang berbagai peristiwa,
tokoh, dan latar karena dibatasi oleh jumlah halaman. Namun, hal itu
justru membuat cerpen menjadi lebih kental sifat ke-unity-annya, lebih
memfokus karena lebih dimaksudkan untuk memberikan kesan tunggal.1
Suharianto menyatakan, bahwa cerita pendek adalah sebuah cerita prosa
yang pendek yang senantiasa hanya memusatkan perhatian pada tokoh
utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi dasar
atau tema cerita tersebut.2
Edgar Alan Poe mengungkapkan, bahwa salah satu ciri khas cerita
pendek adalah ia biasanya akan terbaca habis hanya dalam sekali duduk.
Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek,
ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan watak
pada diri tokoh. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena ia
lebih terfokus pada satu episode atau situasi tertentu saja daripada pada
rangkaian peristiwa.3
Lebih lanjut Suharianto menjelaskan bahwa predikat pendek
sebuah cerpen memang bukan mutlak ditentukan oleh sedikitnya jumlah
tokoh yang ditampilkan, tetapi terletak pada ruang lingkup permasalahan
yang ingin disampaikan pengarang lewat cerpennya itu.4 Sebuah cerpen
yang baik memiliki unsur-unsur intrinsik sebagaimana halnya dengan
1 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), Cet. 3, h.
287 2 Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 58
3 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 33
4 Sehandi, op. cit., h. 58
12
karya sastra prosa lain, seperti (1) tema atau inti atau dasar cerita, (2)
tokoh atau perwatakan, (3) alur atau plot atau jalan cerita, (4) latar atau
setting, (5) teknik penceritaan atau pusat pengisahan, (5) diksi atau gaya
bahasa.5
2. Unsur-unsur Cerpen
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra dan pengarangnya
memiliki hubungan batin yang mesra. Hubungan batin yang
dimaksudkan di sini bukan saja dalam arti hubungan yang menjadi sebab
timbulnya karya sastra seorang pengarang, tetapi juga hubungan dalam
arti mencerminkan segi kejiwaan, segi pendidikan, pandangan sosial,
bahkan filsafat hidup dan pandangan keagamaannya.6 Ada dua unsur
yang membentuk karya sastra prosa, yakni unsur ekstrinsik dan unsur
intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mempengaruhi penciptaan
karya sastra dari luar, yang termasuk unsur ini adalah hal-hal yang
berkaitan dengan unsur sosiologi, ideologi, histori, politik, ekonomi,
kebudayaan, dan lain-lain.7
Unsur intrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra dari
dalam. Adapun unsur-unsur intrinsik itu adalah (1) tema atau inti atau
dasar cerita, (2) tokoh dan penokohan, (3) alur atau plot atau jalan cerita,
(4) latar atau setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa.8 Kejayaan
sebuah karya sastra, dengan demikian, ditentukan oleh keberhasilan
pengarang dalam mengolah unsur-unsur sastra itu.9 Berikut ini
merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam cerpen:
5 Ibid.
6 Made Sukada, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 53
7 Sehandi, op. cit., h. 54
8 Ibid., h. 55
9 Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2004), h. 23
13
1) Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita.10
Bertolak
dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi
suatu bentuk yang lebih luas.11
Tema berperan sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang
diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna
dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.12
Menurut Burhan Nurgiyantoro, tema merupakan dasar
pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh
bagian cerita.13
Tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah
makna, makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga
cerita itu hadir sebagai sebuah kesatuan yag padu.14
Sayuti
menyatakan bahwa dalam arti yang paling sederhana, tema adalah
makna cerita, gagasan sentral, atau dasar yang terdapat dalam
cerita.15
Secara singkat, Yelland mendefinisikan tema sebagai “the
central thought in a literary work16
”.17
Sebuah tema bisa tampak
jelas, bisa pula tersembunyi. Reader dan Woods menyatakan tema
sebagai “It can be the explicit statement or the implicit statement”.
Artinya, ia bisa secara sadar dikehendaki dan ditunjukkan dengan
cara sedemikian oleh pengarang, atau sebaliknya, ditemukan oleh
pembaca atau kritikus yang mungkin pengarang sendiri tidak
menyadarinya.18
10
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012), h. 25 11
Sri Widati Pradopo, dkk., Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang, (Jakarta:
Depdikbud, 1988), Cet. 1, h. 42 12
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 161 13
Heru Kurniawan, Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga
Penulisan Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 75 14
Faruk, op. cit.,h. 80 15
Kurniawan. loc. cit. 16
Pikiran sentral dalam karya sastra; gagasan sentral dalam suatu karya sastra. Tema merupakan
gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. 17
Aziez, op. cit., h. 75 18
Ibid., h. 76
14
Dalam buku Cerita Rekaan dan Seluk-beluknya, Frans Mido
menyatakan, tema adalah pokok permasalahan yang mendominasi
sebuah karya sastra prosa atau pokok pembicaraan yang mendasari
cerita.19
Sementara itu, Stanton menyatakan bahwa tema dalam
cerita ini berhubungan dengan makna pengalaman hidup.20
Hakikat
tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang
dalam menyusun cerita atau dengan kata lain, tema merupakan
pokok permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan
karyanya itu. Tema karya sastra prosa selalu ada tema dasar yang
dikemukakan pengarang, di samping tema pelengkap, tinggal
kejelian pembaca untuk menangkapnya.21
Lukens mengemukakan, bahwa secara sederhana tema dapat
dipahami sebagai gagasan yang mengikat cerita, mengikat berbagai
unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga tampil sebagai
sebuah kesatupaduan yang harmonis.22
Penemuan tema dalam
sebuah cerita kadang-kadang tidak semudah yang dibayangkan. Hal
itu disebabkan adakalanya tema diungkapkan secara eksplisit lewat
pernyataan (kalimat) yang mudah dikenali dan adakalanya pula
hanya diungkapkan secara implisit lewat keseluruhan cerita.23
Menurut Shipley, tema memiliki beberapa tingkatan di antaranya:
Pertama, tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada
kejiwaan); kedua, tema tingkat organik (menyangkut masalah
seksualitas); ketiga, tema tingkat sosial (manusia sebagai makhluk
sosial); keempat, tema tingkat egoik (manusia sebagai individu);
kelima, tema tingkat divine (masalah hubungan manusia dengan
sang pencipta).24
19
Sehandi, op. cit., h. 55 20
Kurniawan, op. cit., h. 75 21
Sehandi. loc. cit. 22
Faruk, op. cit., h. 260 23
Ibid., h. 261 24
Nurgiyantoro, op. cit., h.80
15
Dalam menafsirkan tema dalam sebuah cerita, menurut
Staton haruslah didasarkan pada hal-hal berikut ini.
a. Penafsiran terhadap tema cerita harus benar-benar
memperhatikan setiap uraian yang menonjol dalam cerita dan
kegagalan dalam menafsirkan tema terjadi karena
mengabaikan sejumlah peristiwa penting yang terdapat dalam
cerita.
b. Penafsiran terhadap tema sebaiknya tidak bertentangan
dengan setiap uraian cerita.
c. Penafsiran tema sebaiknya tidak tergantung pada keterangan
yang benar-benar ada atau tersirat dalam cerita.
d. Penafsiran tema harus didasarkan secara langsung pada
cerita.
Keempat hal di atas merupakan dasar yang harus dilakukan
pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita karena tema
merupakan makna cerita, maka tema bisa dipahami dengan pross
pembacaan yang menyeluruh dengan cermat memahami setiap
unsur yang membangun karya sastra.25
Karena ceritanya pendek,
cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu berkaitan dengan keadaan
plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas.26
2) Tokoh dan Penokohan
Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa
diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan
revolusi, dan bahkan mengubah dunia.27
Abrams mengemukakan
bahwa tokoh cerita dapat dipahami sebagai seseorang yang
ditampilkan dalam teks cerita naratif yang oleh pembaca ditafsirkan
25
Kurniawan, op. cit., h. 76 26
Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 27
Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 85
16
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu sebagaimana
yang diekspresikan lewat kata-kata dan ditunjukkan dalam
tindakan.28
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam
cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita,
sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah
laku atau watak-watak tertentu.29
Watak atau karakter tokoh
dilukiskan pengarang dengan cara langsung maupun tidak
langsung. Tokoh cerita ditampilkan pengarang bisa dalam bentuk
lahiriah bisa pula batiniah. Dalam bentuk batiniah, misalnya
menggambarkan pandangan hidupnya, perilakunya, sikapnya,
keyakinannya, adat-istiadatnya, kebiasaannya, dan lain-lain.30
Tokoh dalam cerita ini merujuk pada orang atau individu
yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita.31
Dalam cerpen,
jumlah tokoh biasanya tidak banyak, dan karena sempitnya ruang,
mereka tidak digambarkan secara penuh.32
Dalam cerita prosa, ada
bermacam-macam tokoh yang bertindak sebagai pemeran cerita,
antara lain tokoh utama, tokoh pembantu, tokoh protagonis, tokoh
antagonis, dan sejumlah jenis tokoh lain pendukung cerita. Ada
tokoh yang berperan penting, ada yang sekadar berperan pelengkap
cerita.33
Tokoh utama adalah tokoh yang keberadaannya berhubungan
dengan peristiwa dalam cerita, sedangkan tokoh tambahan
merupakan tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah
atau pelengkap dari tokoh utama.34
Dilihat dari perkembangan
kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan
28
Faruk, op. cit., h. 223 29
Siswanto, op. cit., h. 142 30
Sehandi, op. cit., h. 55 31
Kurniawan, op. cit., h. 73 32
Aziez, op. cit., h. 35 33
Sehandi, op. cit., h. 56 34
Kurniawan, op. cit., h. 74
17
tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya
selalu berkembang, sedangkan tokoh statis adalah tokoh yang
mempunyai kepribadian tetap.35
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah
melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2)
gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan
bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara
tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya,
(6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat
tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-
tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9) melihat
bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.36
Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen
terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibanding dengan
novel, tokoh-tokoh cerita cerpen lebih terbatas, baik yang
menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya
yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca harus
merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh
itu.37
3) Alur (Plot)
Alur dapat dipahami sebagai rangkaian peristiwa yang
bersebab-akibat. Alur cerita tidak lain adalah kisah tentang tokoh,
terutama tokoh utama. Alur adalah perjalanan hidup tokoh cerita
yang telah dikreasikan sedemikian rupa sehingga tampak menarik
serta mampu memancing munculnya daya suspense dan surprise.38
Saxby menjelaskan bahwa, alur merupakan aspek pertama utama
35
Siswanto. loc. cit. 36
Ibid., h. 145 37
Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 38
Faruk, op. cit., h. 423
18
yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang juga
pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki
kekuatan untuk mengajak anak secara total mengikuti cerita.
Sementara itu, menurut Lukens, alur merupakan urutan
kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya.39
Yelland mendefinisikan alur (plot) dengan „kerangka cerita atau
rangkaian peristiwa-peristiwa‟. Dengan kata lain, alur adalah suatu
urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan terorganisasi.40
Di sisi
lain, Abrams berpendapat bahwa, alur ialah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.41
Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya
mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan alur,
agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah
dan disiasati secara kreatif sehingga hasil pengolahan dan
penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan
menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang
bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi
pengarang merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut
sebagai pemplotan, pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri
meliputi kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan
kegiatan menata peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur linear
karya fiksi.42
Forster mengatakan bahwa sebuah cerita adalah suatu
paparan peristiwa yang diatur menurut tahapan waktu. Alur di
pihak lain juga merupakan paparan peristiwa, tetapi tekanan jatuh
pada hubungan sebab akibat. Rangkaian pola alur suatu cerita pada
39
Ibid., h. 68 40
Aziez, op. cit., h. 68 41
Siswanto, op. cit., h. 159 42
Nurgiyantoro, op. cit., h. 113
19
kenyataannya menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima
bagian sebagai berikut.43
a) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
b) Generating Circumstances: peristiwa mulai bergerak.
c) Rising Action: keadaan mulai memuncak.
d) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya.
e) Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal
bagi semua.
Ada dua unsur pokok dalam alur, yakni (1) cerita atau
rentetan peristiwa dalam cerita dan (2) hubungan sebab-akibat
antara peristiwa dalam cerita. Lewat alurlah pengarang menjalin
kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum
sebab-akibat sehingga merupakan satu kesatuan yang padu, bulat,
dan utuh.44
Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari
satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan
selesai, sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang
jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca).
Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari
konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap
perkenalan (para) tokoh atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan
tokoh dan latar, biasanya tak berkepanjangan. Berhubung berplot
tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh
pun, biasanya, bersifat tunggal pula.45
Burhan Nurgiyantoro membagi jenis alur/plot berdasarkan
kriteria urutan waktu, yakni 1) Plot lurus, maju (progresif): jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis dimulai
dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),
tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). 2)
43
Pradopo, op. cit., h. 62 44
Sehandi, op. cit., h. 56 45
Nurgiyantoro, op. cit., h. 12
20
Plot sorot balik, flash back, yakni urutan kejadian yang dikisahkan
tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang
benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan
mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
tahap awal dikisahkan. 3) Plot campuran, tidak ada sebuah karya
sastra secara mutlak ber-plot lurus atau sebaliknya sorot balik.
Secara garis besar plot sebuah karya sastra mungkin progresif,
tetapi di dalamnya, betapa pun kadar kejadiannya, sering terdapat
adegan sorot balik. Begitu pun sebaliknya, tidak dapat dikatakan
tidak mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flashback artinya
pengarang juga menggunakan plot campuran dalam membuat
sebuah cerita.46
Bagi sastrawan, plot berfungsi sebagai suatu kerangka
karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan
keseluruhan isi ceritanya, sedangkan bagi pembaca, pemahaman
plot berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara
runtut dan jelas.47
4) Latar atau setting
Sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai di
mana terjadi dan kapan waktu kejadiannya untuk memudahkan
pengimajian dan pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah
cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu, dan
latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi.48
Tokoh cerita
tidak pernah lepas dari ruang dan waktu, maka tidak mungkin ada
cerita tentang tokoh tanpa ada latar atau setting.49
Latar (setting)
46
Ibid., h. 153 47
Siswanto, op. cit., h. 161 48
Faruk, op. cit., h. 85 49
Sehandi, op. cit., h. 56
21
dapat dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya berbagai
peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi.50
Latar adalah gambaran tentang tempat dan waktu serta segala
situasi di tempat terjadinya peristiwa. Latar yang baik selalu dapat
membantu elemen-elemen yang lain dalam cerita, seperti alur
(jalan cerita) dan penokohan.51
Setting diterjemahkan sebagai latar
cerita.52
Istilah latar atau setting berkaitan dengan elemen-elemen
yang memberikan kesan abstrak dengan lingkungan, baik tempat
maupun waktu, di mana para tokoh menjalankan perannya.53
Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum
(general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan
kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode
atau bagian-bagian tempat.54
Stanton mengungkapkan bahwa latar
cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat
terjadinya peristiwa. Dalam latar inilah segala peristiwa yang
menyangkut hubungan antartokoh terjadi.55
Leo Hamalian dan
Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya
fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta
benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa
suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka,
maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu
problema tertentu.56
Latar dalam cerita biasanya akan menyangkut tiga hal; (1)
latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara
geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu, seperti rumah,
50
Faruk, op. cit., h. 249 51
Sehandi. loc. cit. 52
Siswanto, op. cit., h. 149 53
Aziez, op. cit., h. 74 54
Siswanto. loc. cit. 55
Kurniawan, op. cit., h. 74 56
Siswanto. loc. cit.
22
sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar
waktu ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini
biasanya berhubungan dengan waktu faktual, waktu yang ada
kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar
sosial merupakan latar yang merujuk pada kondisi sosial
masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial masyarakat ini
mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang dijadikan
sebagai latar cerita.57
Ada pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa latar tempat
menunjuk pada pengertian tempat di mana cerita yang dikisahkan
itu terjadi. Latar waktu juga dapat dipahami sebagai kapan
berlangsungnya berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam cerita
fiksi. Latar sosial dalam cerita fiksi dapat dipahami sebagai
keadaan kehidupan sosial masyarakat yang diangkat ke dalam
cerita itu.58
Cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang
keadaan latar, misalnya, yang menyangkut keadaan tempat dan
sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja,
atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan
suasana tertentu yang dimaksudkan.59
Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita
rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang
menonjol adalah latar waktu dan tempat. Mungkin di cerita lainnya
yang menonjol adalah latar sosial. Penggambaran latar ini ada yang
terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara
persis seperti kenyataannya; ada yang gabungan antara kenyataan
dengan khayalan; ada juga latar yang merupakan hasil imajinasi
sastrawannya.60
57
Kurniawan, op. cit., h. 75 58
Faruk, op. cit., h. 251 59
Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 60
Siswanto, op. cit., h. 150
23
Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi
sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan
cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang
tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Bagi pembaca,
latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat,
waktu, dan suasana yang dialami oleh tokoh. Latar juga bisa
membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita,
alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.61
5) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh,
peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.62
Sudut pandang
dapat dipahami sebagai sebuah cerita dikisahkan. Secara lebih
konkret dan spesifik, sudut pandang adalah “siapa yang melihat,
siapa yang bicara”, atau “dari kacamata siapa sesuatu itu
dibicarakan”.63
Sudut pandang adalah penempatan posisi diri pengarang
dalam membeberkan ceritanya, atau dari mana pengarang melihat
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam keseluruhan ceritanya itu.
Dari titik pandang ini pulalah pembaca mengikuti jalan cerita dari
memahami alur dan tema cerita.64
Abram menyaran pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan/atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah cerita pada pembaca. Sudut
pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat yang
61
Ibid., h. 151 62
Ibid. 63
Faruk, op. cit., h. 269 64
Sehandi, op. cit., h. 56
24
secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan
dan ceritanya.65
Secara garis besar, sudut pandang dalam cerita dibedakan
menjadi dua: sudut pandang cara bercerita orang pertama dengan
penceritaan menggunakan gaya “aku”; sudut pandang cara
bercerita orang ketiga, dengan penceritaan menggunakan gaya
“dia”. Dengan berbagai variasinya, maka muncul sudut pandang
campuran, yaitu menggabungkan sudut pandang orang pertama dan
orang ketiga.66
Sudut pandang persona pertama, gaya aku,
menampilkan kisah dengan tokoh “aku” sebagai pusat pengisahan,
sebagai yang empunya cerita, sedangkan sudut pandang orang
ketiga, gaya dia, menampilkan kisah tokoh dia sebagai pusat
pengisahan.67
Sudut pandang orang ketiga ini dibedakan ke dalam
dua jenis berdasarkan kemampuannya mengakses informasi
terhadap hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikisahkan, yaitu sudut
pandang dia mahatahu dan sudut pandang orang ketiga terbatas.68
Di sisi lain, Stanton membagi sudut pandang dalam cerita
menjadi empat tipe utama. Empat sudut pandang itu adalah:
a. Aku sebagai tokoh utama; tokoh utama mengisahkan cerita
dalam kata-katanya sendiri.
b. Aku sebagai tokoh bawahan; tokoh bawahan mengisahkan
ceritanya.
c. Ia sebagai pencerita terbatas, pengarang mengacu semua
tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau mereka), tetapi
hanya menceritakan apa yang dapat dilihat, didengar, atau
dipikirkan oleh seorang tokoh.
d. Ia sebagai pencerita yang serba tahu; pengarang mengacu
pada setiap tokoh dalam bentuk orang ketiga, dan
65
Kurniawan, op. cit., h. 78 66
Ibid. 67
Faruk, op. cit., h. 271 68
Ibid., h. 272
25
menceritakan apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan oleh
beberapa tokoh, seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa
kehadiran tokoh.69
6) Gaya bahasa
Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa.70
Menurut
Keraf, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis.71
Diksi atau gaya bahasa adalah cara pengarang memilih
dan menggunakan kata, kalimat, dan ungkapan dalam ceritanya
sehingga menimbulkan efek imajinasi dan menggugah hati para
pembaca.72
Penggunaan bahasa yang indah, kreatif, inovatif, dan
menyegarkan merupakan ciri khas bahasa karya sastra yang
berbeda dengan bahasa karya yang bukan sastra. Setiap pengarang
memiliki kekhasan dalam menuturkan ceritanya dengan
menggunakan berbagai jenis gaya bahasa dan ungkapan-ungkapan
serta istilah-istilah yang tepat dan menyegarkan.73
Ellis
mengemukakan tentang konsep sastra, bahwa (teks) sastra tidak
ditentukan oleh bentuk strukturnya, tetapi oleh bahasa yang
digunakan dalam macam cara tertentu dalam masyarakat.74
B. Hakikat Sosiologi Sastra
Karya sastra ditulis oleh sastrawan, sedangkan sastrawan hidup di tengah
realitas sosialnya, karenanya hampir tidak ada karya sastra yang ditulis steril
69
Kurniawan, op. cit., h. 79 70
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010), Cet. 1, h. 20 71
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 5 72
Sehandi, op. cit., h. 57 73
Ibid. 74
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra,(Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya, 2003), Cet. 3,
h. 10
26
dari sifat-sifat formatif masyarakatnya.75
Sosiologi sastra adalah cabang
penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh
peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra
tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya
karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya.76
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata sosio dari bahasa Yunani
„sosius‟ yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman, yang dalam
perkembangannya berarti masyarakat; dan „logos‟ yang berarti ilmu. Jadi,
sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat, yaitu hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya, yang kemudian membentuk masyarakat.77
Istilah
sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tulisan atau karangan. Sastra
biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang
baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur
pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan.
Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et
utile.78
Sastra sendiri adalah suatu produk budaya manusia yang imajinatif,
mempunyai nilai estetis, dan disampaikan dengan media bahasa.79
Dalam
penelitian sastra, selain menguasai materi sastra, peneliti juga harus dapat
melihat kaitannya dengan disiplin atau persoalan lain di luar karya sastra.80
Semi mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan
ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses
sosial. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
75
Abdul Wachid B.S., Membaca Makna(dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri), (Yogyakarta:
Grafindo Litera Media, 2005), Cet. 1, h. 17 76
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: MedPress, 2008), Ed. Revisi,
h. 77 77
Kurniawan, op. cit., h. 103 78
Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.
17 79
Kurniawan, op. cit., h. 54 80
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2011), Cet.
1, h. 184
27
mediumnya, yang menampilkan gambaran kehidupan sehingga sosiologi dan
sastra memperjuangkan masalah yang sama.81
Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui
ceramah Harsya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian
Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja
sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973.82
Hubungan yang erat antara sosiologi dengan sastra, yaitu bahwa sosiologi
adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra juga
demikian, merupakan hasil ekspresi kehidupan manusia yang tidak akan lepas
dari akar masyarakatnya. Oleh karena itu, studi sosiologi sastra hakikatnya
adalah menerapkan seperangkat cara pandang dan paradigma sosiologi untuk
menganalisis dan memaknai karya sastra.83
Tujuan sosiologi sastra adalah
meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.84
Berbicara tentang sosiologi sastra, ada tiga pengertian yang muncul
dalam benak kita, yakni (1) Sosiologi sastra sebagai salah satu bidang kajian
yang bersifat multidisiplin, (2) Sosiologi sastra sebagai sebuah “pendekatan”
(pendekatan ekstrinsik menurut Rene Wellek dan Austin Warren, atau
pendekatan mimetik menurut M. H. Abrams), yakni cara mendekati karya
sastra sebagai produk masyarakat, dan (3) Sosiologi sastra sebagai sebuah
“teori”, yakni teori sosiologi sastra, yang berusaha menelaah karya-karya
sastra dalam kaitan atau relevansi kemasyarakatannya. Sosiologi sastra yang
dimaksudkan dalam konteks pembahasan ini adalah sosiologi sastra sebagai
bidang ilmu yang bersifat multidisiplin.85
Sebagai multidisiplin, bidang yang terlibat adalah sastra dan sosiologi.
Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek
81
Wahyu Saputra, dkk., “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta
Toer”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2012, h. 2 82
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.2,
h. 8 83
Kurniawan, op. cit., h. 105 84
Ratna, op.cit., h. 11 85
Sehandi, op.cit., h. 42
28
kebudayaan yang lain, maka bidang ilmu lain yang juga terlibat adalah
sejarah, filsafat, agama, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut Ratna, yang
perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya
sastra, sedangkan sosiologi dan bidang lain berfungsi sebagai pembantu atau
pelengkap.86
Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama,
pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin
proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di
luar sastra untuk membicarakan sastra. Intinya dalam pendekatan ini
menganggap teks sastra bukan yang utama, ia hanya merupakan
epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks
sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi
sastra yang mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan
memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.87
Menurut Wellek dan Warren, analisis sosiologi sastra mengarah pada tiga
pendekatan.
1. Sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah
memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah
menciptakan karya sastra sehingga pemahaman terhadap
pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial
karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat.88
2. Sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini berangkat
dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial dalam karya
sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai
hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya.89
3. Sosiologi pembaca; kajian pada sosiologi pembaca ini mengarah
pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang
memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang
86
Ibid., h. 43 87
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, (Jakarta: Editem, 2013), h. 3 88
Kurniawan, op. cit., h. 106 89
Ibid., h. 107
29
diciptakan karya sastra. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti
mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam
memaknai karya sastra.90
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin. Dalam kaitan
ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian,
sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari
sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.
Sastra bukan sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah
ditafsirkan.91
C. Hakikat Nilai Sosial
1. Hakikat Nilai
Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V
mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu, angka
kepandaian, dan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai
dengan hakikatnya. Nilai dapat dikatakan juga sebagai ukuran sikap dan
perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan
baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek, baik
material maupun nonmaterial.92
Menurut Abdulsyani, nilai merupakan
patokan (standar) perilaku sosial yang melambangkan baik-buruk, benar
salahnya suatu objek dalam hidup bermasyarakat.93
Soekanto menyatakan bahwa nilai merupakan suatu konsepsi
abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang
dianggap buruk, sesuatu yang baik akan dianutnya, sedangkan sesuatu
yang buruk akan dihindarinya.94
Bambang Daroeso mengungkapkan
90
Ibid., h. 109 91
Endraswara, op.cit., Metodologi Penelitian Sastra, h. 78 92
Abdulsyani, SOSIOLOGI Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h.
49 93
Saputra, op. cit., h. 3 94
Ibid.
30
bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu
yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang, sedangkan menurut
Darji Darmodiharjo, nilai adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat
bagi manusia, baik lahir maupun batin.95
Nilai merupakan satu prinsip
umum yang menyediakan anggota masyarakat dengan satu ukuran atau
standar untuk membuat penilaian dan pemilihan mengenai tindakan dan
cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep, suatu pembentukan mental yang
dirumuskan dari tingkah laku manusia. Nilai adalah persepsi yang sangat
penting, baik, dan dihargai.96
Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia menilai. Menilai
berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil suatu keputusan.
Keputusan nilai dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar
atau tidak benar, baik atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi,
religius atau tidak religius.97
Dalam hal ini, kegiatan yang ditujukan
kepada upaya meneliti dan menyelidiki karya sastra ditujukan untuk
mengungkapkan fungsinya sebagai produk masyarakat yang dipandang
dari segi “guna” atau “manfaat”. Pandangan ini didasarkan pada asas
kegunaan, ialah bahwa semua yang diproduksi harus mengandung
kegunaan bagi konsumennya. Sebagai akibatnya, timbul tuntutan-
tuntutan adanya nilai dalam karya sastra.98
Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang etika
yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, maupun
bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan
nilai masuk ketika manusia memahami agama dan keyakinan beragama.
Oleh karena itu, nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai
warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama
95
Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), Cet.
4, h. 126 96
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo, 2011), h. xiv 97
Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 110 98
Jabrohim, op.cit., h. 18
31
dan sebagai warga dunia.99
Penilaian dalam telaah sastra adalah penilaian
yang didasarkan kriteria yang ada dan pembahasannya tidak dilandasi
sikap apriori.100
Dengan demikian, hasil yang diberikan adalah hasil yang
objektif.
Penilaian yang objektif terhadap karya sastra itulah yang akan
memacu pengarang untuk meningkatkan mutu karya sekaligus
menumbuhkan kreativitasnya. Kesimpulan dari pendapat di atas ialah,
nilai merupakan sesuatu yang dianggap berharga, dipergunakan sebagai
landasan, pedoman atau pegangan seseorang dalam berperilaku di dalam
masyarakat. Nilai juga dianggap sebagai pengukuran terhadap apa yang
telah dikerjakan atau diusahakan. Sesuatu yang bernilai, pasti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
2. Hakikat Sosial
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki naluri
untuk senantiasa berhubungan dengan sesama atau hidup dengan orang
lain. Hubungan antarsesama manusia tersebut menghasilkan pola
interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut menghasilkan pandangan
mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan tersebut merupakan nilai-
nilai kemanusiaan yang sangat berpengaruh terhadap tata cara dan pola
pikirnya.101
Merujuk pada kerangka analisis C. Klukckhohn yang mengatakan
ada tiga tipe hubungan masyarakat: (1) hubungan orang yang lebih
mementingkan hubungan baik ke atas; (2) hubungan seseorang yang
lebih mementingkan hubungan baik dengan sesama; (3) pola hubungan
bersifat individualis. Mengacu pada ketiga pola tersebut, maka konsep
interaksi sosial sangat tercermin pada pola hubungan kedua. Konsep
sentralnya yaitu manusia harus senantiasa membina hubungan baik dan
99
Setiadi, op.cit., h. 105 100
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 70 101
Saputra, op. cit., h. 1
32
menjaga keselarasan sosial.102
Kesimpulan dari beberapa pendapat di
atas, bahwa kata "sosial" tidak lepas hubungannya dengan manusia, baik
itu dalam arti individu dan masyarakat dalam arti kelompok. Manusia
tidak dapat hidup sendiri karena mereka saling membutuhkan
pertolongan dan dukungan dari sesamanya.
3. Hakikat Nilai Sosial
Raven merumuskan, social values are set of society attitude
considered as a truth and it is become the standard for people to act in
order to achieve democratic and harmonious life. Artinya: “Nilai-nilai
sosial merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu
kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna memperoleh
kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis”.103
Menurut
Hendropuspito, nilai sosial adalah segala sesuatu yang dihargai
masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan
kehidupan manusia.104
1) Ciri-ciri Nilai Sosial
Dalam buku Pengantar Sosiologi karangan D.A. Wila Huky
disebutkan ada sebelas ciri-ciri nilai sosial, yaitu:105
a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta
melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai
tercipta secara sosial, bukan secara biologis atau bawaan
sejak lahir.
b. Nilai sosial ditularkan. Maksudnya, nilai ini dapat diteruskan
dan ditularkan dari satu grup ke grup yang lain dalam suatu
masyarakat melalui berbagai macam proses sosial dan dari
satu masyarakat serta kebudayaan ke yang lainnya melalui
akulturasi, defusi, dan sebagainya.
c. Nilai dipelajari. Nilai sosial bukan bawaan dari lahir. Akan
tetapi, dapat diperoleh melalui proses belajar dan pencapaian
nilai-nilai itu, dimulai sejak masa kanak-kanak dalam
102
Ibid., h. 2 103
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Cet. 6, h. 12 104
Rr. Dwi Astuti, “Nilai Sosial dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer”,
Jurnal Pesona, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 5 105
Abdulsyani, op.cit., h. 50
33
keluarga melalui sosialisasi.
d. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang
disetujui dan yang telah diterima secara sosial itu dijadikan
dasar bagi tindakan dan tingkah laku, baik secara pribadi,
grup, maupun masyarakat secara keseluruhan.
e. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak di mana terdapat
konsensus sosial tentang harga relatif dari objek dalam
masyarakat. Nilai-nilai secara konseptual merupakan
abstraksi dari unsur-unsur nilai dan bermacam-macam objek
di dalam masyarakat.
f. Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara
komunal untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam
masyarakat. Bila tidak terdapat keharmonisan yang integral
dari nilai-nilai sosial, maka akan timbul problem sosial.
g. Sistem-sistem nilai bervariasi antara kebudayaan satu dengan
kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang
diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola
aktivitas dan tujuan serta sasarannya. Dengan kata lain,
keanekaragaman kebudayaan menghasilkan sistem-sistem
nilai yang saling berbeda.
h. Nilai selalu menggambarkan alternatif dan sistem-sistem nilai
yang terdiri dari struktur ranking alternatif-alternatif itu
sendiri sehingga saling menyempurnakan dan mengisi dalam
menentukan ranking dari posisi atau level dari objek-objek
yang ada.
i. Masing-masing nilai dapat mempunyai efek yang berbeda
terhadap orang perorangan dan masyarakat sebagai
keseluruhan.
j. Nilai-nilai juga melibatkan emosi.
k. Nilai-nilai dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dalam
masyarakat, secara positif maupun secara negatif.
2) Fungsi-fungsi Nilai Sosial
Menurut Huky, ada beberapa fungsi umum nilai-nilai sosial,
yaitu pertama, nilai sosial menyumbangkan seperangkat alat yang
siap dipakai menetapkan patokan sosial pribadi, grup atau
kelompok. Kedua, nilai sosial bisa mengarahkan atau membentuk
cara berpikir dan bertingkah laku. Ketiga, nilai sosial sebagai
patokan bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya.
Keempat, nilai sosial berfungsi sebagai pengawasan sosial,
mendorong, menuntun, bahkan menekan manusia untuk berbuat
34
baik. Kelima, nilai sosial berfungsi sebagai sikap solidaritas di
kalangan masyarakat.106
Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peserta didik
karena nilai-nilai sosial berfungsi sebagai acuan bertingkah laku
dalam berinteraksi dengan sesama sehingga keberadaannya dapat
diterima di masyarakat.107
Kesimpulan dari beberapa pendapat di
atas adalah, dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai
kehidupan yang berlaku pada masyarakat, terutama di mana karya
sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan
norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut oleh suatu
masyarakat tertentu. Nilai-nilai sosial memberikan pedoman bagi
warga masyarakat untuk hidup berkasih sayang dengan sesama
manusia, hidup harmonis, dan hidup berdemokrasi. Sebaliknya,
tanpa nilai-nilai sosial, suatu masyarakat dan negara tidak akan
memperoleh kehidupan yang harmonis dan demokratis.
3) Aspek-aspek Nilai Sosial
Notonegoro menyatakan ada tiga macam nilai, yaitu:
a. Nilai materiil, yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani
(fisik) manusia. Nilai ini diukur dari kegunaannya untuk
mencukupi kebutuhan manusia. Contoh: makanan,
minuman, dan pakaian.
b. Nilai vital, yakni sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat melaksanakan kegiatan. Nilai ini diukur dari
kegunaannya untuk dapat membantu manusia dalam
beraktivitas. Contoh: motor bagi tukang ojek.
c. Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi
rohaniah manusia, yang dibedakan menjadi 4 macam,
yaitu:
106
Ibid., h. 53 107
Zubaedi, op. cit., h. 12
35
1. Nilai kebenaran, bersumber pada akal manusia (rasio,
budi, dan cipta). Nilai ini berguna untuk mencari
kebenaran menurut akal sehat dan perasaan untuk
menimbang baik dan buruknya. Nilai kebenaran ini
juga bisa ditemukan di dalam kitab-kitab suci dari
berbagai agama, misalnya, Alquran, injil, taurat, dan
zabur.
2. Nilai estetika (keindahan), bersumber pada rasa
manusia atau kepekaan terhadap seni dan keindahan.
Nilai keindahan termasuk salah satu aspek
kebudayaan, misalnya, seni musik, seni tari, seni
lukis.
3. Nilai kebaikan, bersumber pada kehendak keras, karsa
hati, dan nurani manusia. Nilai ini berguna untuk
mengajarkan tentang baik buruk perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya terhadap sesama manusia.
Nilai sosial dan nilai moral termasuk ke dalam nilai
kebaikan.
4. Nilai religius (ketuhanan) yang bersifat mutlak dan
bersumber pada kepercayaan manusia kepada Tuhan.
Nilai ini juga bersumber dari ajaran agama yang
mengatur tata keimanan dan peribadatan manusia
dengan Tuhan, pergaulan manusia dengan manusia,
serta manusia dengan lingkungannya.108
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sastra merupakan seni bahasa. Dibandingkan dengan seni lain, sastra
banyak mengandung nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia dan selalu
ditinjau kembali oleh penikmatnya. Dengan mempergunakan seni bahasa
sebagai alat, seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam
108
Herimanto, op.cit., h. 128
36
kehidupan di sekitarnya, melainkan memberikan tanggapan evaluatif
terhadapnya, seperti yang dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa
“dalam karya sastra tersimpan rohani bangsa”.
Sastra sebagai suatu mata pelajaran masih dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa kategori, seperti puisi, fiksi (prosa), dan drama. Untuk dapat
mempelajari pelajaran sastra di SMA, seorang pendidik diharapkan dapat
menjabarkannya ke dalam empat kompetensi, yaitu menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis sastra. Kompetensi menyimak sastra, meliputi
kemampuan mendengarkan, menikmati, memahami, dan mengapresiasi
ragam karya sastra, baik karya yang asli maupun yang terjemahan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi berbicara
sastra, meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya
sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan serta budaya yang
terkandung dalam karya sastra.
Kompetensi membaca sastra, meliputi kemampuan membaca,
memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra. Kompetensi menulis
sastra, meliputi kemampuan menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk
tulisan yang kreatif, baik itu tulisan yang berupa kritik, apresiasi, esai sastra
berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca sebelumnya. Dari keempat
kompetensi tersebut, jelas bahwa pengajaran sastra dalam pembelajaran
bahasa Indonesia sangatlah bermanfaat untuk membantu siswa dalam
mengembangkan keterampilan berbahasa siswa, mengembangkan
kemampuan mencipta karya sastra agar lebih produktif dan inovatif,
menunjang pembentukan karakter siswa, pengembangan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, meningkatkan pengetahuan yang lebih luas
tentang budaya, teknologi, serta pengetahuan yang lainnya. Melalui sastra,
anak-anak dapat menemukan berbagai kemampuan yang mereka miliki.
Penelitian mengenai antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang ini
berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah, khususnya di kelas XI SMA.
Hal tersebut terdapat dalam kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar, yaitu
menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
37
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami struktur dan kaidah teks
cerpen serta menginterpretasi maknanya, baik melalui lisan maupun tulisan.
Media yang digunakan adalah internet, media massa, buku kumpulan cerpen
Mata yang Enak Dipandang, dan buku yang berkaitan dengan genre cerpen.
Untuk evaluasi, para siswa diminta berdiskusi untuk memahami struktur dan
kaidah teks cerita pendek, lalu peserta didik diminta menginterpretasi makna
teks cerita pendek secara individual.
E. Penelitian Relevan
Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan dipaparkan
beberapa penelitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan nilai-nilai
sosial. Pertama, skripsi berjudul “Kumpulan Cerpen Mata yang Enak
Dipandang Karya Ahmad Tohari: Kajian Stilistika, Nilai Pendidikan, dan
Relevansinya sebagai Bahan Pembelajaran Cerpen di Kelas XI SMA” oleh
Febryana Sapta Astiti, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2015.
Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan: (1) aspek stilistika dalam
kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari,
khususnya diksi, gaya bahasa, dan citraan; (2) nilai pendidikan yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari;
dan (3) relevansi kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari sebagai bahan pembelajaran cerpen di kelas XI SMA. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan
menggunakan analisis isi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) aspek stilistika dalam kumpulan
cerpen Mata yang Enak Dipandang meliputi: (a) penggunaan diksi meliputi
penggunaan kosakata bahasa Jawa, kata serapan, kata sapaan khas dan nama
diri, kata vulgar, dan kata dengan objek realitas alam; (b) penggunaan gaya
bahasa meliputi alonim, anafora, antitesis, asindenton, bombastis,
depersonifikasi, esklamasio, epitet, epizeuksis, eufemisme, hipalase,
hiperbola, interupsi, ironi, klimaks, kolokasi, litotes, mesodiplosis, metafora,
38
pararima, personifikasi, sarkasme, simbolik, simile, sinestesia, sinekdoke
totem proparte, dan zeugma; dan (c) penggunaan citraan meliputi citraan
penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, gerak, dan perabaan; (2)
nilai-nilai pendidikan juga ditemukan antara lain nilai pendidikan agama,
moral, sosial, dan budaya; dan (3) kumpulan cerpen Mata yang Enak
Dipandang kurang cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran cerpen di kelas
XI SMA karena tema yang terdapat di dalamnya tidak sesuai dengan tema di
buku siswa. Akan tetapi, dapat dijadikan sebagai bahan pengayaan dalam
pembelajaran cerpen di kelas XI SMA. Dari hasil temuan penelitian ini,
memperoleh simpulan bahwa kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang
didominasi oleh pemakaian kata serapan, pemakaian gaya bahasa didominasi
oleh majas personifikasi, dan citraan didominasi oleh citraan penglihatan.
Total pemakaian bentuk bahasa estetis dalam kumpulan cerpen ini berjumlah
281 data. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dapat dijadikan
sebagai alternatif bahan pembelajaran cerpen di kelas XI SMA.
Kedua, skripsi berjudul “Nilai-nilai Dakwah dalam Kumpulan Cerpen
Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari” oleh Hikmatulloh,
mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017. Tujuan kajian ini yakni untuk
mendeskripsikan nilai-nilai dakwah yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan penulis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya nilai-nilai
dakwah yang tersaji dengan ragam struktur bahasa yang dibangun dalam
kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang, yakni nilai akidah, nilai
syariah, nilai ibadah, nilai muamalah, dan nilai akhlak. Nilai akidah yang
terkandung dalam kumpulan cerpen ini, yaitu mengenai percaya kepada
malaikat, yang diumpamakan dengan sebutan „Penyangga Langit‟. Nilai
syariah yang terkandung, yaitu dinisbatkan dengan seseorang yang sedang
membasuh muka lalu terdorong untuk sembahyang. Nilai ibadah yang
39
tercermin, yaitu bagamaina kepatuhan dan ketundukan kepada Allah benar-
benar ditanamkan dari seorang istri yang mendapatkan suaminya sedang sakit
keras. Nilai muamalah yang tertera dalam buku ini dikatakan menarik, selain
gaya tutur yang berbeda, dalam cerita ini pun mencerminkan simbolisasi akan
sebuah keadaan yang begitu penting untuk diperhatikan, yakni untuk
mengetahui orang yang suka memberi itu disimbolkan dengan manusia yang
matanya enak dipandang. Simbol dari mata yang enak dipandang dalam hal
ini adalah simbol dari manusia yang tidak galak dan manusia yang dianggap
penderma. Sebuah perumpamaan bahwa manusia yang suka memberi terlihat
dari matanya. Nilai akhlak yang ditemukan penulis dalam penelitian ini juga
termasuk unik namun menusuk. Bagaimana tokoh gelandangan yang hina
ternyata menaruh rasa hormat untuk memuliakan tempat ibadah.
Ketiga, skripsi berjudul “Cerminan Karakter Masyarakat dalam
Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA” oleh Ami
Septiani, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
cerminan karakter masyarakat desa dan kota serta kerterkaitannya dengan
urbanisasi mengenai daya tarik kota dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak
Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran
sastra Indonesia di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis isi
kumpulan cerpen dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data
dari kepustakaan yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek
penelitian. Hasil penelitian menemukan satu cerminan karakter masyarakat
pedesaan dalam cerpen “Warung Penajem” terlihat dari unsur intrinsik serta
karakter tradisional dan gotong-royong muncul pada tokoh dalam cerita.
Kemudian, dua cerminan karakter masyarakat perkotaan pada cerpen “Mata
yang Enak Dipandang” dan “Dawir, Turah, dan Totol” meliputi karakter
individual, toleransi sosial, dan mobilitas sosial yang muncul pada konflik
40
melalui tokoh dalam cerita. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang
menggambarkan karakter masyarakat desa dan kota yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pelajaran dengan menganalisis unsur intrinsik dalam
pembelajaran sastra Indonesia di SMA. Dalam memahami setiap karakter
tokoh dalam cerita, peserta didik diharapkan mulai menumbuhkan rasa
simpati, empati, dan tanggung jawab.
41
BAB III
PROFIL AHMAD TOHARI
A. Biografi Ahmad Tohari
Ahmad Tohari adalah sastrawan yang terkenal sebagai pengarang trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985),
dan Jantera Bianglala (1986). Karya-karyanya banyak mendapat hadiah,
seperti cerpennya yang berjudul “Jasa-jasa buat Sanwirya” memenangi
hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland
Wereldomroep (1977). Novel Di Kaki Bukit Cibalak memperoleh salah satu
hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1979. Kubah (novel) yang diterbitkan oleh Pustaka
Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik
dalam bidang fiksi tahun 1980. Novel Jantera Bianglala dinyatakan sebagai
fiksi terbaik (1986), hadiahnya berupa uang sebesar Rp 1.000.000,00
diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan. Melalui
novelnya yang berjudul Bekisar Merah, Ahmad Tohari meraih hadiah Sastra
ASEAN tahun 1995.
Dia lahir tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah dari keluarga santri. Ayahnya seorang kiai (pegawai
KUA) dan ibunya pedagang kain. Dari segi ekonomi, kehidupan keluarganya
tidaklah kekurangan. Namun, lingkungan masyarakatnya mengalami
kelaparan. Ahmad Tohari menikah tahun 1970 dengan Siti Syamsiah. Istrinya
bekerja sebagai guru SD. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia lima
orang anak. Tahun 1981, ketika bekerja dan tinggal di Jakarta, Tohari
mengundurkan diri dari jabatan redaktur harian Merdeka. Hal itu terjadi
karena dia ingin berkumpul bersama istri dan anak-anaknya di desa. Anak-
anaknya pernah pula dibawa ke Jakarta, tetapi mereka tidak betah.1
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 3, h. 15
42
Dalam mendidik anak-anaknya, Ahmad Tohari menanamkan pendidikan
keagamaan sejak dini. Menurutnya, agama merupakan satu-satunya laku
utama untuk mewujudkan kecintaan manusia kepada Tuhan dan kepada
manusia lainnya. Ahmad Tohari selalu mengajak keluarganya untuk salat
berjamaah dan dia sebagai imamnya. Dia juga selalu menekankan kepada
anak-anaknya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat dan harus
dermawan. Jadilah orang yang memberi, jangan menjadi orang yang
meminta. Ahmad Tohari merasa bahwa anak-anaknya pun mengerti.
Menurutnya, anak-anaknya tumbuh secara wajar. Mereka semua masuk ke
sekolah favorit di Purwokerto dan nilai mereka bagus-bagus.
Secara formal, Ahmad Tohari mengantongi ijazah SMAN II Purwokerto,
kemudian dia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Jenderal Sudirman
(UNSUD), Purwokerto, 1974-1975. Selanjutnya, dia pindah ke Fakultas
Sosial Politik (1975-1976) juga hanya dijalaninya selama satu tahun, lalu
pindah ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta, tahun 1967-1970,
ditinggalkannya. Akhirnya, dia memilih tetap tinggal di desanya,
Tinggarjaya, mengasuh Pondok Pesantren NU Al Falah. Ahmad Tohari
pernah bekerja di BNI, 1946, sebagai tenaga honorer yang mengurusi majalah
perbankan tahun 1966-1967. Kemudian, dia bekerja di majalah Keluarga
tahun 1979-1981 dan menjadi redaktur pada harian Merdeka, majalah
Amanah, dan majalah Kartini.
Karya-karyanya mulai dipublikasikan tahun 1970-an. Sebenarnya
sebelum itu, saat masih belajar di SMA, dia telah menulis, tetapi tulisannya
hanya disimpan di laci meja belajarnya. Selepas SMA, barulah dia
mengirimkan karyanya itu ke berbagai media massa. Beberapa cerpennya
dimuat di Kompas, yang membuat semangat menulisnya menggebu-gebu
adalah saat cerpennya “Jasa-jasa buat Sanwirya”, menang dalam lomba
cerpen yang diadakan oleh Radio Nederland. Setelah itu, karya-karya yang
ditulisnya banyak yang mendapatkan hadiah.2
2 Ibid.
43
Sampai sekarang dia masih aktif menulis walaupun tidak produktif.
Masalah produktif dalam berkarya baginya tidaklah terlalu penting. Dia baru
akan menulis jika desakan-desakan untuk menulis sudah tidak dapat
dibendung lagi. Ahmad Tohari tidak ingin tulisan itu bersifat „pasaran‟. Jika
menulis dia harus menggunakan waktu secara tota, tidak bisa diselang-seling
dengan kerja yang lain. Berkaitan dengan aktivitasnya di dunia tulis-menulis
tahun 1990, Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di
Iowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan.
Resep yang ampuh untuk menjadi seorang pemula yang berhasil,
menurut Ahmad Tohari, selain faktor bakat juga harus rajin berlatih menulis
dan banyak membaca. Karya-karya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa asing, misalnya, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah
diterbitkan dalam bahasa Jepang atas biaya Toyota Ford Foundation oleh
Imura Cultural Co. Ltd. Tokyo, Jepang. Selain itu, trilogi novelnya telah
diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Novel itu sudah
diterjemahkan untuk pasar Eropa.
Karya Ahmad Tohari yang ditransformasi ke bentuk lain (film) adalah
novel Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh Garuda Film dengan judul
“Darah Mahkota Ronggeng” pada tahun 1983. Konon, skenario film itu
menyimpang dari yang telah digariskan pengarang sehingga Tohari tidak mau
melihat filmnya. Pemeran utama film itu adalah Enny Beatrice dan Ray
Sahetapy disutradarai Yazman Yazid. Tahun 2011, Ronggeng Dukuh Paruk
kembali diadaptasi ke dalam film dengan judul “Sang Penari”, yang
disutradarai oleh Ifa Isfansyah serta dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka
Antara sebagai pemeran utama.3
Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1979) ditransformasi menjadi bentuk
sinetron. Novelnya yang lain adalah Lingkar Tanah Lingkar Air (1995). Buku
kumpulan cerpennya berjudul Senyum Karyamin diterbitkan tahun 1989.
Cerpennya yang lain sebagai berikut:
3 Ibid.
44
1) “Tanah Gantungan” dalam Amanah, 28 Desember 1992-Januari 1993.
2) “Mata yang Enak Dipandang” dalam Kompas, 29 Desember 1991.
3) “Zaman Nalar Sungsang” dalam Suara Merdeka, 15 November 1993.
4) “Sekuntum Bunga telah Gugur” dalam Suara Merdeka, 7 Mei 1994.
5) “Di Bawah Langit Dini Hari” dalam Suara Merdeka, 1 November 1993.
6) “Pencuri” dalam Pandji Masjarakat, 11 Februari 1985.
7) “Orang-orang Seberang Kali” dalam Amanah, 15 Agustus 1986.
8) “Ah, Jakarta” dalam Pandji Masjarakat, 11 September 1984.
9) “Penipu yang Keempat” dalam Kompas, 27 Januari 1991.
10) “Warung Penajem” dalam Kompas, 13 November 1994.
11) “Kenthus” dalam Kompas, 1 Desember 1985.
12) “Rumah yang Terang” dalam Kompas, 11 Agustus 1985.
13) “Daruan” dalam Kompas, 19 Mei 1991.
14) “Jembatan Ka” dalam Pandji Masjarakat, 11 Juli 1985.4
B. Pemikiran-pemikiran Ahmad Tohari
Dalam suatu laporan wawancara yang dilakukan tiga orang wartawan,
yaitu Triyanto Triwikromo, Budi Maryono, dan Gunawan Budi Susanto yang
kemudian disajikan dalamharian Suara Merdeka, Minggu 17 Maret 2002,
terungkap pengakuan Ahmad Tohari yang mengarang sastra karena masih
menyimpan kemarahan atau kegelisahan terhadap para pemimpin yang belum
juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang kecil. Menurut Ahmad
Tohari, para pemimpin menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan
yang datang dari atas, berupa wahyu sehingga kekuasaannya ditafsirkan
sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi. Itujelas
sebuah kesalahan besar yang harus diubah di tengah kehidupan sebuah negara
republik. Akan tetapi, dia pun sadar tidak memiliki kekuatan yang besar
untuk mengubah keadaan masyarakat. Oleh karena itu, disalurkanlah
kemarahan dan kegelisahan itu ke dalam karya sastra dengan harapan dapat
memberikan semacam pencerahan di kalangan masyarakat untuk
4 Ibid.
45
mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat dan berkah sebagai konsekuensi
berbangsa dan bernegara. Tentu saja harapan itu dirasanya masih berlebihan
karena dia pun menyadari rendahnya apresiasi sastra di kalangan masyarakat
dan para pemimpin. Namun, Ahmad Tohari merasa gembira menyaksikan
ratusan skripsi yang membahas karya sastranya. Bahkan, ada tesis tentang
Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis mahasiswa Universitas Lon di Swedia.
Hal itu merupakan bukti masih ada secercah harapan bagi pemberdayaan
karya sastra dalam konteks pencerahan batin masyarakat. Namun, Ahmad
Tohari mengaku sama sekali tidak berniat mengejar popularitas. Niatnya tetap
kukuh untuk membuktikan kemampuan karya sastra sebagai sarana
pencerahan atau pengingatan masyarakat.
Keyakinan tersebut ternyata masih mantap hingga sekarang sebagaimana
terungkap dalam pengakuannya dalam Rubrik “Bincang-bincang” Suara
Merdeka, 17 Maret 2002. Katanya, “Sastra dan agama adalah wujud
pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama merupakan Kitab Suci,
sedangkan sastra merupakan karya akal budi manusia. Orang yang membaca
karya sastra akan mendapatkan kearifan.
Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan
pilihan lain untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar
senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah Ahmad
Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat sehingga
berkembanglah masyarakat yang beradab, yaitu masyarakat yang tidak suka
berbohong, yang tidak suka menipu, yang tidak gampang korupsi, atau tidak
suka menakut-nakuti mereka yang lemah. Katanya, “Justru karena agama
sedang dalam kondisi krisis itulah karya sastra harus berperan sebagai
pencerah. Sastra justru harus jadi komplemen. Sastra dibuat untuk melakukan
berbagai pengingatan. Bahkan sastra yang berkesan menghujat Tuhan pun
harus dihargai. Itu kan hanya cara lain untuk berdialog dengan Tuhan”.5
Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbol-
simbolnya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita,
5 Yudiono K. S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), h. 2
46
yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Dari mereka itulah Ahmad
Tohari berangkat mengarang dengan maksud pembaca pun menyadari
pentingnya membangun keberadaban sehingga tidak akan mudah memfitnah,
memeras, menipu, mencibir, dan bahkan membunuh. Semangat itulah yang
mewarnai hampir seluruh karyanya selama ini.
Sementara ini dapat dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari
berangkat dari kesadaran yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra
sebagai sarana pengingatan masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena
itu, hampir seluruh karyanya berbicara tentang nasib manusia yang menderita.
Secara garis besar, memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari
berkisah tentang penderitaan, keterpinggiran, atau kenelangsaan. Itulah
kiranya warna dasar fiksi (novel-novel dan cerpen-cerpen) Ahmad Tohari.6
6 Ibid.
47
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Antologi Cerpen “Mata yang Enak
Dipandang” Karya Ahmad Tohari
Antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini
terdiri dari 15 judul cerita. Namun, dalam pembahasan ini, peneliti akan
membahas 3 cerpen saja, yaitu cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan “Daruan”. Di bawah ini akan dipaparkan struktur ketiga
cerpen tersebut yang terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar
(setting), sudut pandang, dan gaya bahasa.
1. Tema
Tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna,
makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir
sebagai sebuah kesatuan yag padu.1 Tema yang diangkat dalam cerpen
“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” adalah
penderitaan. Dilihat dari tema yang diangkat, isi cerita dari ketiga cerpen
ini menggambarkan kehidupan masyarakat kelas bawah dengan segala
lika-likunya, yang mengakibatkan timbulnya penderitaan pada para
tokohnya.
Shipley mengemukakan bahwa tema memiliki beberapa tingkatan di
antaranya: Pertama, tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada
kejiwaan); kedua, tema tingkat organik (menyangkut masalah
seksualitas); ketiga, tema tingkat sosial (manusia sebagai makhluk sosial);
keempat, tema tingkat egoik (manusia sebagai individu); kelima, tema
tingkat divine (masalah hubungan manusia dengan sang pencipta).2
Ketiga cerpen tersebut termasuk ke dalam tema tingkat sosial karena
1 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), Cet. 3, h.
80 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012), h. 80
48
menceritakan tentang kehidupan sosial masyarakat kelas bawah sebagai
makhluk sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut.
“Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak jadi
penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak dapat duit.
Jadi, siapa yang tolol?”3
Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih
dari kacung bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di
depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang
keropos kedua matanya itu.4
Kutipan di atas diambil dari cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,
yang menggambarkan bagaimana penderitaan Mirta yang buta dan ia
harus mengemis untuk bertahan hidup. Begitu pula dengan Tarsa,
penuntunnya, yang suka memeras dan membuat Mirta jengkel, tetapi ia
sadar bahwa hidupnya bergantung pada Mirta. Jika Mirta sakit dan tidak
bisa mengemis, maka Tarsa pun tidak dapat upah untuk mengisi perutnya
yang kosong.
Selanjutnya, cerpen “Sayur Bleketupuk” menceritakan bagaimana
tokoh Parsih harus menerima akibat dari prasangka buruknya terhadap
suaminya, Kang Dalbun, yang hari itu pulang terlambat. Diceritakan
bahwa mereka berdua sudah berjanji untuk mengajak kedua anak mereka,
Darto dan Darti, naik jaran undar atau kuda putar di lapangan desa. Akan
tetapi, semua rencana itu gagal ketika Dalbun terlambat pulang ke rumah
di hari gajiannya. Parsih yang tidak punya uang bingung bagaimana cara
bicara kepada kedua anaknya yang sudah sangat senang akan naik jaran
undar. Prasangka Parsih, sore itu Dalbun sedang lembur ditemani dengan
penjual kue-kue yang muda dan cantik. Namun, kenyataannya tidak
demikian. Dalbun pulang terlambat karena sang mandor datang terlambat.
Akibat prasangka buruknya, Parsih sangat menyesal karena sudah
membuat anak-anaknya tertidur pulas oleh sayur bleketupuk dan akhirnya
3 Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utam, 2013), Cet. 2,
h. 13 4 Ibid., h. 15
49
tidak jadi naik jaran undar. Ditambah Parsih semakin menderita ketika
mengetahui bahwa alasan suaminya pulang terlambat bukan karena apa
yang sudah ia sangkakan, tetapi karena bosnya Dalbun yang datang
sangat terlambat di hari gajian itu. Penderitaan Parsih tersebut dapat
ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran
undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin
bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah membuat
sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-anaknya. Parsih
terisak lagi.5
Masih berdiri di dekat dipan anak-anaknya, Parsih mendengar
keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh
membebani dadanya. Air matanya menitik lagi.6
Selanjutnya, cerpen “Daruan”. Cerpen ini mengisahkan tentang
seorang novelis pemula yang mempunyai mimpi melihat novel-novelnya
diterbitkan oleh penerbit besar dan dijual di toko buku ternama. Akan
tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Daruan harus menerima kenyataan
bahwa novelnya hanya diterbitkan oleh temannya sendiri yang bernama
Muji. Pemasarannya pun hanya pada beberapa kios di terminal bus dan
stasiun kereta api. Selebihnya kepada para pengasong yang beroperasi di
kaki lima.
Dalam surat pengantar yang diselipkan dalam paket pos itu, Muji
berkata bahwa dia sendirilah yang bertindak menjadi penerbit novel
Daruan. “Karena seperti yang kamu alami sendiri, aku pun gagal
menemukan penerbit yang mau naskahmu,” tulis Muji. Selanjutnya
Muji bilang bahwa risiko yang dipikulnya tidak ringan, karena dia
belum berpengalaman dan terutama karena tidak punya jaringan
pemasaran. Penjualan novel Daruan dipercayakan kepada beberapa
pemilik kios di terminal bus dan stasiun kereta api. Selebihnya
dipercayakan kepada para pengasong yang beroperasi di kaki lima.7
Penderitaan Daruan tidak hanya itu. Sesungguhnya sudah sekian
lama ia tersiksa karena tidak mampu memberi nafkah untuk keluarganya 5 Ibid., h. 103
6 Ibid., h. 105
7 Ibid., h. 42
50
dan hanya menjadi tanggungan bagi istrinya yang membuka warung di
depan rumah. Sebagai penulis, ia berharap hasil karyanya dapat
menghasilkan uang sehingga ia bisa secepatnya mengakhiri keadaan yang
melemahkan kebanggaannya tersebut.
Sudah sekian lama Daruan tersiksa oleh ketidakmampuan memberi
nafkah kepada istri dan anaknya. Sebaliknya, Daruan malah sudah
sekian lama hidup menjadi tanggungan istrinya yang membuka
warung di depan rumah. Keadaan yang melemahkan kebanggaannya
sebagai lelaki itu ingin secepatnya diakhiri, dan honor novel yang
sudah terbit adalah kemungkinan yang paling dekat untuk diraih.8
Persoalan hidup yang dibicarakan dalam ketiga cerpen tersebut
merupakan bentuk perwujudan dari kemarahan dan kegelisahan Ahmad
Tohari terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah di sekitarnya, yang
kemudian ia salurkan melalui cerpen-cerpennya. Dari mereka itulah
Ahmad Tohari berangkat mengarang dengan maksud pembaca pun
menyadari pentingnya membangun keberadaban sehingga tidak akan
mudah memfitnah, memeras, menipu, mencibir, dan bahkan membunuh.
Semangat itulah yang mewarnai hampir seluruh karyanya selama ini.9
Dengan menyuarakan keluguan, kekumuhan dan kemiskinan, Ahmad
Tohari ingin menunjukkan adanya satu realita lain yang menjadi retakan
di tengah-tengah kehidupan modern yang glamor ini. Selain
menggambarkan kondisi batinnya yang arif dan bijak, tema-tema ini juga
mengekspresikan kekecewaannya atas dunia modern yang mengabaikan
keadilan dan kemerataan.10
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
8 Ibid.
9 Yudiono K. S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), h. 7
10 Ulil Abshar, “Pengemis dan Shalawat Badar: Hubungan antara Pengarang, Media, dan Karya”,
Jurnal Dialektika, Vol. 3, No. 2, 2016, h. 202
51
menampilkan tokoh disebut penokohan.11
Hal ini menunjukkan bahwa
tokoh dan penokohan merupakan aspek-aspek penting yang terdapat
dalam suatu cerita. Keduanya saling berkaitan karena tokoh dalam suatu
cerita selalu memiliki sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak
tertentu. Penderitaan yang menjadi tema dari cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” digambarkan melalui
tokoh-tokohnya. Ahmad Tohari yang secara konsisten mengangkat
persoalan hidup masyarakat kalangan bawah ke dalam ceritanya, maka
dapat dipastikan bahwa tokoh-tokoh yang ia gunakan pun dari kalangan
bawah.
Sapardi Djoko Damono mengungkapkan tentang tokoh-tokoh yang
biasa diangkat oleh Ahmad Tohari, yang dikutip oleh Maman S.
Mahayana, “ciri khasnya kehidupan pedusunan yang bertokoh orang-
orang lapisan bawah, sangat menonjol dan mampu menjadi daya tarik
utama”12
, begitu pula dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,
“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang menceritakan tentang persoalan
hidup masyarakat kelas bawah yang diliputi penderitaan.
Cerpen “Mata yang Enak Dipandang” menceritakan tentang seorang
pengemis buta yang bernama Mirta dan penuntunnya, Tarsa. Mirta dan
Tarsa merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh utama adalah
tokoh yang keberadaannya berhubungan dengan peristiwa dalam cerita,
sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh yang keberadaannya hanya
sebagai penambah atau pelengkap dari tokoh utama.13
Tidak ada tokoh
tambahan dalam cerpen ini. Hanya para penumpang kereta yang terus
disebutkan dalam dialog tokoh utama, tetapi mereka tidak diberikan
dialog langsung oleh pengarang.
11
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 142 12
Maman S. Mahayana, Ektrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 324 13
Heru Kurniawan, Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga
Penulisan Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 74
52
Penggambaran tokoh Mirta, seorang pengemis buta, yang berpakaian
compang-camping dan berbadan kurus kering, menunjukkan bagaimana
penderitaannya dalam menjalani kehidupan sebagai pengemis yang
meminta belas kasihan kepada para penumpang kereta di stasiun. Ia
mengemis bersama penuntunnya, yang bernama Tarsa.
Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering;
compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu
lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba
menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya, berada.14
Tokoh Tarsa diceritakan sebagai seorang anak yang setia menuntun
Mirta untuk menadahkan tangan ke hadapan para penumpang kereta. Ia
memiliki sifat yang nakal, yakni suka memeras hanya untuk mendapatkan
apa yang diinginkannya. Tarsa sering memaksa Mirta untuk
membelikannya sebatang rokok, lontong ketan, dan segelas es limun. Jika
Mirta tidak menurutinya, ia akan terus berusaha dengan cara mengerjai
dan bahkan mengancam Mirta hingga ia menyerah. Tarsa hanya akan
mematuhi perintah Mirta, jika ia sudah mendapatkan keinginannya. Tentu
saja kemenangan hampir selalu di pihak Tarsa, sedangkan Mirta yang
buta tidak dapat berbuat banyak.
Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa
sehingga kaki Mirta menginjak tahi anjing. Mirta boleh mendesis
dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan
mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang
rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan
agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta
membelikannya lontong ketan.15
Mirta memiliki karakter yang tidak mudah menyerah, tidak berputus
asa. Meskipun Tarsa selalu memeras dan membuat Mirta jengkel terus-
menerus, Mirta tidak menyerah pada keadaan. Maka, saat Tarsa sengaja
menjemur dan meninggalkannya di tempat panas. Mirta tetap berusaha
14
Tohari, op.cit.,h. 9 15
Ibid.
53
bertahan dan mencoba mengatasi keadaan tersebut. Ia pun kemudian
mencari tempat yang teduh dengan kekuatannya sendiri.
Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan
mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar
dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa.16
... Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh
dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari
gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-
klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.17
Diceritakan pula bahwa Mirta sudah puluhan tahun menjadi
pengemis. Menurutnya, orang-orang yang biasa memberi itu dapat
dikenali melalui matanya. Mereka memiliki mata yang berbeda; mata
yang tidak galak, mata yang enak dipandang. Tentu saja Mirta hanya
dapat mengucapkan kata-kata itu karena dia sendiri tidak dapat melihat.
Pendapat itu pun hanya ia serap dari teman-temannya sesama pengemis
yang bisa melihat.
“Sudah kubilang, aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata teman-
teman yang melek, mata orang yang suka memberi memang beda.”
“Tidak galak?”
“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu
betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang
suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya,
kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak
dipandang.”18
Tokoh Tarsa dalam cerita tidak dijelaskan usianya berapa. Pengarang
hanya memberikan identitas bahwa Tarsa adalah seorang anak yang
selalu menuntun Mirta mengemis di stasiun. Bisa dibilang karena ia
masih anak-anak, ia memiliki karakter yang belum dewasa, baik pikiran
maupun sikapnya. Hal itu dibuktikan dari sikapnya yang sama sekali
tidak menyesali apa yang sudah dilakukan kepada Mirta. Meski ia sudah
16
Ibid., h. 10 17
Ibid. 18
Ibid., h. 14
54
mengerjai dan menyiksa Mirta, ia tetap acuh tak acuh. Ia hanya peduli
dan bergembira dengan yoyonya.
Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta-merta menindihnya. Bunyi
berderak disambut sorak-sorai dari seberang jalan. Dan itu suara
Tarsa.19
Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai
payung di seberang jalan, juga datang. Tetapi Tarsa hanya menonton
ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri.20
Tarsa mulai menyesali perbuatannya, saat ia melihat Mirta sudah
payah untuk mengemis dan terbujur lunglai di bawah pohon kerai payung
depan stasiun. Ia menyesal karena sudah menjemur Mirta terlalu lama
demi segelas es limun. Ia menyadari bahwa ia tidak lebih dari seorang
kacung yang bergantung hidup pada seorang pengemis buta.
Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi orang yang
dituntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal
telah menjemur Mirta terlalu lama demi segelas es limun. Mungkin
juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari
kacung bagi kere picek yang menggeletak di tanah di depannya;
sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang keropos
kedua matanya itu.21
Hingga akhir cerita, tokoh Mirta masih digambarkan sebagai tokoh
yang statis. Ia tidak mengalami perubahan sifat atau watak, sedangkan
tokoh Tarsa merupakan tokoh dinamis karena ia mengalami perubahan
watak menjelang akhir cerita. Perubahan watak tersebut digambarkan saat
Tarsa mulai menyesali segala perbuatannya terhadap Mirta selama ini. Ia
mulai takut jika Mirta benar-benar sakit, lalu mati dan meninggalkannya.
Ia pun berpikir untuk tidak lagi menyiksa dan memeras Mirta. Ia akan
menuruti semua perkataan Mirta karena Tarsa mengakui Mirta sudah
sangat berpengalaman sebagai pengemis.
Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang
meski kere dan buta, satu-satunya orang yang tiap hari memberinya 19
Ibid., h. 10 20
Ibid., h. 11 21
Ibid., h. 15
55
upah. Bahkan, Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi
menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja
semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati,
Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat
berpengalaman.22
Selanjutnya, tokoh-tokoh dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”. Tokoh
utama dalam cerita ini adalah Parsih. Parsih ialah istri dari Dalbun
sekaligus ibu dari Darto dan Darti. Ia digambarkan sebagai istri yang setia
terhadap suami, meskipun kehidupan keluarga mereka sangat pas-pasan.
Ia juga percaya bahwa suaminya tidak akan mengkhianatinya.
Parsih tidak punya uang buat sewa jaran undar sebelum suaminya
pulang. Uang itu pun hanya akan singgah sebentar di tangan, karena
besoknya Parsih harus melunasi utangnya di warung.23
Tapi dia masih percaya kepada Dalbun. Sampai Darto dan Darti
masuk sekolah dasar, suaminya lurus-lurus saja.24
Dalbun adalah tokoh tambahan yang berperan sebagai suami Parsih.
Ia bekerja sebagai kuli batu di proyek pembangunan jembatan di suatu
desa. Sebelumnya, ia dan Parsih telah berjanji kepada Darto dan Darti
untuk mengajak mereka berdua naik jaran undar atau kuda putar di
lapangan desa.
Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.
Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang
jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang. Tapi
kemana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.
Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat riang. Nanti
habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar di
lapangan desa. Itu janji Parsih dan suaminya kepada Darto dan Darti;
janji yang sungguh-sungguh.25
Awalnya, Parsih masih percaya bahwa Dalbun tidak pernah
mengkhianatinya selama ini. Akan tetapi, ia juga ingat sebuah pepatah
22
Ibid., h. 16 23
Ibid., h. 100 24
Ibid., h. 101 25
Ibid., h. 99
56
bahwa laki-laki memiliki kebiasaan suka berbohong. Memikirkan hal
tersebut, Parsih mempunyai prasangka buruk terhadap suaminya yang
pulang terlambat, ia membayangkan suaminya sedang kerja lembur
ditemani dengan perempuan muda penjual kue-kue.
Apakah Dalbun sedang kerja lembur dan ditemani perempuan
penjual kue-kue? Dada Parsih terasa menyesak. Tapi dia masih
percaya kepada Dalbun. Sampai Darto dan Darti masuk sekolah
dasar, suaminya lurus-lurus saja. Namun Parsih juga ingat, wis
sajege wong lanang gedhe gorohe—bahwa sudah jadi kebiasaan
lelaki besar bohongnya.26
Parsih juga memiliki karakter yang takut jika menyalahi janji yang
sudah diucapkannya. Ia merasa malu jika ia mengingkari janji kepada
anak-anaknya. Ia merasa kasihan kepada Darto dan Darti, mereka akan
diolok-olok sebagai anak sial oleh teman-teman yang lain karena mereka
tidak pernah naik jaran undar.
Bagaimana bila suamiku tidak pulang? pikir Parsih. Apakah Darto
dan Darti tidak jadi naik jaran undar? Sungguh kasihan mereka.
Teman-teman akan mengolok mereka sebagai anak sial karena tidak
pernah naik jaran undar. Lagi pula mau dikemanakan mukaku ini
bila ternyata aku terpaksa menyalahi janji terhadap anak-anak?27
Darto dan Darti merupakan tokoh tambahan berikutnya. Mereka
adalah anak dari Dalbun dan Parsih. Mereka digambarkan sebagai anak-
anak yang memiliki mimpi sederhana, mereka sangat memimpikan untuk
naik jaran undar. Keduanya sama sekali belum pernah menaikinya.
Dalam pikiran anak-anak seusianya, terutama anak-anak yang tinggal di
desa, mimpi seperti itu mungkin sesuatu yang sangat menakjubkan bagi
mereka.
Naik jaran undar sudah lama menjadi mimpi Darto dan Darti.
Keduanya belum pernah mengalaminya; naik kuda kayu yang gagah
dan diayun berputar pasti hebat, pikir mereka. Dan ini malam
terakhir karena besok rombongan komidi jaran undar yang sudah
sebulan bermain akan pindah ke tempat lain.28
26
Ibid. 27
Ibid. 28
Ibid., h. 99
57
Darto dan Darti mempunyai kebiasaan, yakni pergi ke rumah Pak RT
sebelum menjelang magrib untuk menonton TV. Saat Parsih ingin
menyusul Darto dan Darti, ia bertemu dengan Bu RT di tengah
perjalanan. Bu RT merupakan tokoh tambahan yang terakhir, dia
memiliki watak yang baik. Ia mengijinkan Darto dan Darti menonton TV
di rumahnya. Dia juga orang yang perhatian terhadap keluarga Parsih.
“Parsih, kamu bagaimana?” kata Bu RT dengan nada berat. “Itu
kedua anakmu tertidur di depan televisiku!”
Wajah Parsih memucat. Dia memang sudah tahu Darto dan Darti
akan mengantuk sesudah makan sayur bleketupuk. Segenggam daun
bleketupuk cukup buat menghilangkan rasa pusing dan menidurkan
seorang dewasa.
“Akan kubawa pulang mereka,” kata Parsih tergagap-gagap.
“Mereka tidak sakit, kan?”
“Tidak. Mereka baru saja makan. Mungkin kekenyangan lalu
mengantuk.”29
Dalbun juga memiliki karakter yang jujur, percaya terhadap istri, dan
sangat menyayangi keluarganya. Ia sama sekali tidak ingin melihat
keluarganya menderita, meskipun gaji yang ia berikan sangat pas-pasan
untuk kebutuhan sehari-hari, tapi sebagai seorang ayah dan suami, ia
merupakan seseorang yang sangat bertanggung jawab.
Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan
kepada mandor yang datang sangat terlambat. Wajahnya tegang
karena merasa telah membiarkan istri dan kedua anaknya terlalu
lama menunggu. Mereka pasti amat kecewa. Atau marah. Sebelum
terlihat oleh istrinya, Dalbun sudah mengeluarkan uang gajinya dari
saku. Akan segera diberikan semua kepada Parsih.30
Pada akhir cerita, dapat terlihat bahwa Dalbun merupakan tokoh
yang statis, sedangkan Parsih adalah tokoh yang dinamis. Digambarkan
bahwa Parsih sangat menyesal karena ia sudah berprasangka buruk
kepada suaminya. Ia sudah mengira bahwa suaminya pulang terlambat
karena sedang kerja lembur ditemani perempuan-perempuan muda
29
Ibid., h. 103 30
Ibid., h. 104
58
penjual kue. Namun, kenyataannya Dalbun sama sekali tidak
mengkhianatinya, itu semua salah mandor yang datang sangat terlambat
di hari gajian.
“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil
keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi
mandor yang paling terkutuk!”
Masih berdiri di depan dipan anak-anaknya. Parsih mendengar
keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh
membebani dadanya. Air matanya menitik lagi.31
Selanjutnya, tokoh-tokoh dalam cerpen “Daruan”. Tokoh utama
dalam cerita ini adalah Daruan—seperti yang tertulis dalam judulnya.
Daruan ialah seorang novelis pemula yang memiliki mimpi yang sangat
tinggi. Impiannya ialah melihat novel-novelnya diterbitkan oleh penerbit
besar dan dipajang di rak-rak toko buku ternama. Akan tetapi, yang
terjadi justru kebalikannya.
Dalam hatinya berkecambuk perasaan antara bangga dan kecewa.
Bangga, karena betapa juga karyanya sudah beredar. Kecewa, karena
dulu Daruan pernah berkhayal novelnya suatu saat akan ditangani
oleh penerbit besar, dijual di toko buku ternama, dan dibincangkan
oleh para pengamat sastra.32
Kemiskinan yang diderita Daruan membuat ia berpikir bahwa honor
dari novelnya yang sudah terbit itu adalah kemungkinan terdekat untuk
bisa menafkahi keluarganya. Ia merasa malu dan kehilangan
kebanggaannya sebagai seorang lelaki karena tidak dapat memberi
nafkah. Terlebih sudah sekian lama istrinya yang menanggung kebutuhan
keluarga mereka sehari-hari. Hal itu dapat dibuktikan ketika Daruan
hendak berangkat ke Jakarta untuk mengambil honor novelnya, ia harus
membujuk istrinya dulu untuk menggadaikan cincin 3 gram sebagai
ongkos.
Daruan berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam setelah
berhasil membujuk istrinya menggadaikan cincin tiga gram. Novelis,
31
Ibid., h. 105 32
Ibid., h. 47
59
pikir Daruan, akan dengan mudah mengembalikan cincin istrinya
dari rumah gadai.33
Daruan yang miskin juga dapat dilihat dari penampilannya. Kali ini,
Muji, sebagai sahabat Daruan yang mengantarkan kepada pembaca untuk
mengetahui penampilan yang sedang Daruan kenakan.
Dalam posisi tubuh agak condong ke depan, saku baju Daruan
ternganga. Muji dapat melihat beberapa lembar uang ratusan di sana.
Muji juga melihat sepatu, celana, dan baju yang dikenakan Daruan
sudah dilihatnya dua tahun lalu.34
Sebagai penulis, Daruan memiliki karakter yang sabar dan pantang
menyerah. Sudah dua tahun ia berusaha mencari penerbit yang mau
menerbitkan naskahnya. Akan tetapi, tidak ada satupun penerbit yang
mau menerima naskahnya. Sampai akhirnya, Muji, sahabatnya sejak
SMA dulu, yang bertindak sendiri menjadi penerbit novel Daruan.
Sebuah paket pos diterima Daruan dari Muji di Jakarta. Kiriman
dalam kertas payung itu mengakhiri masa perhentian selama dua
tahun yang hampir menghabiskan kesabaran Daruan.35
Ketika pertama kali melihat novel karyanya diterbitkan, hati Daruan
sangat bahagia. Ia begitu percaya diri dan merasa seperti terlahir kembali.
Baginya, sebuah novel itu mempunyai arti yang lebih dari cukup untuk
mengesahkan kehadiran penulisnya.
Isi paket pos itu sungguh menggembirakan hati Daruan: novel karya
pertamanya. Hati Daruan melambung ketika melihat namanya
tercetak jelas pada kulit buku yang berhias gambar gadis cantik
dengan rambut tergerai itu.36
Ketika melihat bayangan dirinya dalam kaca, Daruan tersenyum.
Sambil mengangguk-angguk kepada duplikatnya dalam kaca.
Daruan menikmati kelahiran dirinya.37
33
Ibid., h. 42 34
Ibid., h. 45 35
Ibid., h. 41 36
Ibid. 37
Ibid.
60
Sebuah novel, menurut Daruan, punya arti yang lebih dari cukup
untuk mengesahkan kehadiran penulisnya.38
Meskipun novelnya belum ada satu pun yang laku dan ia harus
kembali ke rumah dengan tangan kosong. Daruan tetap memiliki harga
diri yang tinggi. Ketika Muji ingin membantunya dengan memberikan
ongkos pulang dan uang jajan untuk anak-anaknya, Daruan menolak. Ia
merasa tidak enak karena Muji sudah banyak membantunya dan kali ini
ia tidak ingin merepotkannya lagi.
“Ah, jangan begitu. Aku memang tak punya ongkos pulang. Tapi
uang ini akan kuterima hanya bila dikaitkan dengan honor.”
“Apakah aku tak boleh memberimu ongkos pulang dan sekadar jajan
buat ankamu?”
“Aku selalu percaya akan ketulusanmu. Tapi tolong, sekali ini jangan
kamu singgung perasaanku dengan cara seperti itu.”
Muji, merupakan tokoh tambahan sekaligus tokoh statis di dalam
cerpen ini. Ia adalah sahabat Daruan sejak SMA. Ia digambarkan
memiliki sikap yang baik, murah senyum, dan tidak munafik.
Penampilannya juga tenang dan percaya diri. Meski kehidupan Muji
sudah mapan, tetapi ia tidaklah sombong. Muji juga orang yang hemat
dan setia kawan. Di dalam cerita, tokoh ini mempunyai kepribadian yang
tetap atau tidak berubah.
Muji masih dalam keasliannya; senyumnya murah, sikapnya sejati.
Penampilannya tenang dan penuh percaya diri, mungkin karena
kehidupannya sudah mapan meski dia mengaku hidup swasembada.
Muji juga hemat sehingga apa saja yang ada padanya awet. Bahkan
yang awet pada Muji bukan hanya mobil tuanya yang bercat merah
itu melainkan juga kesetiakawanannya.39
Ada juga tokoh lelaki tua yang menjadi tokoh tambahan dan tokoh
statis di dalam cerpen ini. Lelaki tua tersebut bukanlah seseorang yang
dikenal oleh Daruan. Ia tidak sengaja bertemu lelaki tua itu di musala
dekat stasiun ketika hendak cuci muka. Kejadian ini terjadi dalam
38
Ibid., h. 42 39
Ibid., h. 43
61
perjalanan Daruan menuju ke rumah Muji. Lelaki tua itu dihadirkan oleh
pengarang hanya untuk mengantarkan kepada pembaca bahwa tokoh
Daruan bukanlah orang yang taat dalam beribadah.
Dekat musala stasiun, Daruan melihat seorang lelaki tua sedang
membasuh muka. Daruan ke sana, masuk WC, kemudian ikut
membasuh muka di samping lelaki tua itu.
“Mau sembahyang, Nak?”
Daruan terkejut mendengar pertanyaan lelaki tua itu.
“Oh, ya, Pak. Ya.”
Daruan terkejut lagi, kini oleh jawaban yang meluncur begitu saja
dari mulutnya. Tetapi, Daruan benar-benar ikut sembahyang. Dalam
sembahyangnya, tiba-tiba Daruan merasa beruntung mendapat
peluang doa. Anehnya, dia tergagap dan gagal menemukan doa yang
pantas dikemukakan kepada Tuhan.40
Selain itu, ada tokoh istri Muji dan anak-anak Muji yang disebutkan
di dalam cerita. Namun, mereka tidak diberikan dialog oleh pengarang.
Istri Muji digambarkan sebagai orang yang ramah. Hal itu dapat
diketahui melalui sikapnya terhadap Daruan yang menjadi tamu pagi hari
itu, sedangkan tokoh anak-anak Muji dihadirkan hanya untuk
mempercepat pertemuan Daruan dan Muji yang sedang bersikangen. Di
dalam cerita, anak-anak Muji terus merengek minta diantar ke sekolah
hingga membuat tokoh Daruan tidak enak berlama-lama dan hendak
minta diri.
Anak-anak Muji merengek minta diantar ayah mereka ke sekolah.
Istri Muji tak henti-hentinya menawarkan kopi agar segera
diminum.41
Anak-anak Muji makin merengek minta diantar ke sekolah. Si
sulung, seorang gadis kecil yang mirip ayahnya, malah menarik-
narik tangan Muji agar segera berangkat. Daruan merasa makin tidak
enak. Dia bangkit hendak minta diri.42
Selanjutnya, tokoh pedagang asongan yang hadir sebagai tokoh
tambahan di akhir cerita. Daruan bertemu dengan pedagang asongan ini
40
Ibid., h. 43 41
Ibid., h. 44 42
Ibid., h. 45
62
di dalam kereta dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Pedagang itu
membawa setumpuk novel yang tersusun rapi di tangannya. Kemudian,
ia membeberkan dagangannya kepada Daruan. Di antara buku-buku yang
diasongkan, Daruan melihat ada enam novelnya juga.
“Yang ini kamu jual berapa?”
“Oh, ini karya Daruan, pengarang baru. Murah, Pak. Seribu lima
ratus.”
Daruan kembali memejamkan mata. Dia ingat, buku dengan ukuran
sama paling tidak dijual 3.500 di toko-toko buku besar.43
Tokoh pengasong ini menjadi tokoh penutup yang mengantarkan
pembaca untuk mengetahui bagaimana penderitaan Daruan setelah
novelnya berhasil diterbitkan. Ternyata, tidak ada satu pun orang yang
berminat membeli novelnya. Bahkan, harga jualnya pun terbilang sangat
murahan. Hal itulah yang kemudian membuat karakter Daruan
mengalami perubahan di akhir cerita, yakni Daruan yang awalnya begitu
percaya diri, kini menjadi malu dan merasa hilang harga dirinya.
Tiba-tiba Daruan merasa tubuhnya menyusut, kecil, dan makin
mengecil.
“Untuk pelaris, Pak, seribu juga boleh.”
“Tidak, terima kasih.”
Pengasong itu berlalu meninggalkan entakan rasa perih di hati
Daruan.44
Setelah dipermalukan seperti itu, Daruan kemudian bangkit. Ia
mencoba tetap tegar menghadapi nasib kehidupannya yang tidak mulus.
Setidaknya ia tetap bisa menyelamatkan harga dirinya dengan cara
membeli semua novelnya dari pengasong tersebut. Terlepas dari nyata
atau tidaknya cerita ini, misi Tohari untuk menyadarkan pembaca bahwa
hikmah juga bisa dipanen dari manusia pinggiran, ternyata berhasil.
43
Ibid., h. 47 44
Ibid., h. 48
63
3. Alur
Alur atau plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu
urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir.45
Jika digambarkan
menggunakan skema adalah sebagai berikut.
A B C D E
Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B — C — D
melambangkan kejadian-kejadian berikutnya atau tahap tengah yang
merupakan inti dari cerita, kemudian berakhir di E yang merupakan tahap
penyelesaian cerita. Alur yang digunakan dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” merupakan alur maju.
Tahap awal cerita dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” diawali
dengan pengenalan tokoh Mirta dan Tarsa yang disertai juga dengan
penggambaran latar yang mendukung keberadaan mereka.
Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan
depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras
pisang; kering; compang-camping dan gelisah. Mirta merekam
lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu
pula Mirta mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya,
berada.46
Selain itu, di tahap awal cerita juga sudah terlihat munculnya konflik
di antara para tokoh. Dimulai dari Tarsa yang sengaja meninggalkan
Mirta di atas trotoar pada pukul satu siang. Kali ini hanya untuk segelas
es limun. Sebelumnya, Tarsa bahkan mengancam akan mendorong Mirta
ke dalam got jika ia tidak mau memberinya sebatang rokok. Mirta yang
tidak mau terus-menerus menuruti kemauan Tarsa, harus bertahan
meskipun kepalanya pening akibat dijemur di bawah matahari yang terik.
Namun, Mirta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja
meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu.
Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali
ini untuk segelas es limun.47
45
Nurgiyantoro, op. cit., h. 12 46
Tohari, op. cit., h. 9 47
Ibid.
64
Tahap tengah yang merupakan inti cerita, digambarkan dengan
meningkatnya konflik yang dialami oleh para tokoh hingga konflik
tersebut akhirnya memuncak. Dalam cerita, Tarsa akhirnya merasakan
kemenangan karena mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu segelas es
limun dari hasil memeras Mirta. Es limun itu ternyata membawa
malapetaka bagi Tarsa dan Mirta. Mirta sakit karena Tarsa
meninggalkannya terlalu lama di tempat panas hanya demi segelas es
limun. Akibat ego Tarsa itu, akhirnya, mereka berdua hari itu tidak bisa
mengemis dan tidak dapat uang.
“Kamu sakit, Kang?”
“Tidak,” jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan
Mirta. Memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah
ragu.
“Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere, bukan? Yang
namanya kere harus ngemis, bukan?”
“Kali ini aku malas.”48
Uang yang mereka punya pun sudah habis dan mereka saat itu belum
makan siang. Mirta dan Tarsa terus berdebat tentang siapa yang harus
disalahkan ketika mereka berdua mendapatkan uang yang sedikit dari
hasil mengemis. Perdebatan itu pun akhirnya membawa mereka ke dalam
percakapan mengenai orang-orang yang memiliki mata yang enak
dipandang.
“Kang, aku sudah membawa kamu kemana-mana. Kamu sudah
kuhadapkan ke semua orang, ke semua penumpang. Jadi, kalau kamu
tak dapat duit, kamu sendiri yang tolol, kan?”
“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang
biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita harus
lama bertahan.”
“Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti itu?”
“Betul, kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang
yang suka memberi receh punya mata lain.”
… “Tidak galak?”
“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu
betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang
suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya,
48
Ibid., h. 13
65
kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak
dipandang.”49
Tahap akhir yang merupakan penyelesaian cerita. Boleh saja peneliti
membayangkan bahwa Mirta pingsan karena kelaparan dan kemudian
meninggal, sedangkan Tarsa akhirnya bergegas memasuki gerbong kereta
api kelas tiga untuk mengemis dengan caranya sendiri. Tahap ini memang
dibuat “menggantung” oleh pencerita. “Menggantung” dalam artian,
bahwa pengarang ingin pembacanyalah yang menentukan sendiri
bagaimana akhir ceritanya.
Tak ada reaksi apa pun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring
ke barat, namun panasnya maish menyengat. Tarsa gagap, tak tahu
apa yang harus dilakukannya. Mungkin tidak sengaja ketika dia
mengulang berbisik di telinga Mirta.
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya
enak dipandang, bukan?”
Hening.50
Tahap awal cerita dari cerpen “Sayur Bleketupuk” diawali dengan
pengenalan para tokoh utamanya, yakni Parsih, Dalbun, Darto, dan Darti.
Hidup mereka memang pas-pasan karena Dalbun hanya bekerja sebagai
kuli batu di suatu proyek pembangunan jembatan, akan tetapi, mereka
merupakan satu keluarga yang utuh dan harmonis. Kemunculan konflik
sudah ditandai saat cerita baru dimulai, yakni keterlambatan Dalbun
pulang ke rumah.
Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.
Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang
jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang. Tapi
kemana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.
Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat riang. Nanti
habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar di
lapangan desa.51
49
Ibid. 50
Ibid., h. 17 51
Ibid., h. 99
66
Tahap tengah yang merupakan inti cerita dan kelanjutan dari awal
munculnya konflik, kemudian berkembang dan memuncak hingga
semakin membuat pembaca merasa tegang. Hal tersebut digambarkan
saat Dalbun yang sampai menjelang malam belum juga pulang.
Sementara, Darto dan Darti sudah tidak sabar untuk segera naik jaran
undar. Parsih yang sudah berputus asa menunggu Dalbun pulang,
akhirnya mengambil jalan tengah demi menyelamatkan janji kepada
anak-anaknya.
Parsih merenung sambil berjalan tanpa tujuan tertentu. Dia bingung
dan kelihatan ingin memutuskan sesuatu. Kemudian dia menegakkan
kepala dan melangkah ke arah belakang rumah. …Masuk ke tengah
rimbun perdu, Parsih memilih-milih tanaman rambat, lalu
mengambilnya beberapa genggam. Itu bleketupuk, tanaman liar
penawar pusing dan hanya disayur bila benar-benar diperlukan.
Sambil ia berjalan pulang, dipetiknya juga daun-daun singkong muda
yang biasa dimasaknya menjadi sayur.52
Tahap akhir atau penyelesaian cerita dari cerpen ini digambarkan
dengan Parsih yang menangis dan menyesali sikapnya sendiri karena ia
sudah berprasangka buruk kepada suaminya yang pulang terlambat, yang
kemudian membawa ia kepada keputusan untuk membuat sayur
bleketupuk dan menghidangkan pada anak-anaknya. Akibat prasangka
buruk itu, akhirnya, Darto dan Darti tidak jadi naik jaran undar karena
sudah tertidur pulas akibat tanaman bleketupuk itu, meskipun sebenarnya
mereka masih bisa berangkat setelah Dalbun sampai di rumah. Parsih pun
semakin terbebani batinnya saat mengetahui kejadian sebenarnya, yang
membuat suaminya sampai pulang terlambat.
“Jadi bagaimana? Tidak jadi pergi naik jaran undar?”
“Aku tidak sampai hati memaksa mereka bangun,” jawab Parsih dan
air matanya mulai berjatuhan dan melepaskan nafas panjang. Dia
pun merasa tidak tega membangunkan kedua anaknya yang begitu
lelap tidur.
“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil
keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi
mandor yang paling terkutuk!”
52
Ibid., h. 101
67
Masih berdiri di depan dipan anak-anaknya. Parsih mendengar
keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh
membebani dadanya. Air matanya menitik lagi. Dan terlihat dari
balik genangan air mata, wajah Darto dan Darti menjadi begitu bagus
dan bercahaya.
… Parsih keluar dari kamar anak-anaknya. Dia mengibas-ngibaskan
tangan yang masih bau daun bleketupuk. Sambil menangis.53
Tahap awal cerita dari cerpen “Daruan” diawali dengan perkenalan
tokoh Daruan dan kehidupannya. Daruan dikisahkan sebagai seorang
penulis. Hari itu ia sangat bahagia ketika mendapat sebuah paket dari
sahabatnya yang berisi terbitan novel karya pertamanya.
Sebuah paket pos diterima Daruan dari Muji di Jakarta. Kiriman
dalam kertas payung itu mengakhiri masa perhentian selama dua
tahun yang hampir menghabiskan kesabaran Daruan. Isi paket pos
itu sungguh menggembirakan hati Daruan: novel karya
pertamanya.54
Di tahap ini juga sudah terlihat munculnya konflik pada tokoh
Daruan, yakni selama dua tahun ia mencari penerbit yang mau menerima
naskahnya dengan penuh kesabaran. Selama dua tahun itu pula, Daruan
menjadi pengangguran. Ia tidak mampu menafkahi keluarganya sehingga
istrinyalah yang menanggung semua kebutuhan keluarga mereka.
Tahap tengah merupakan inti cerita dan kelanjutan dari awal
munculnya konflik di tahap sebelumnya. Konflik dalam cerita tersebut
berkembang hingga akhirnya memuncak. Saat Daruan pergi ke rumah
Muji hendak meminta honor atau uang muka atas penerbitan novelnya,
yang diterima Daruan bukanlah berita bagus, tetapi ia harus menerima
kenyataan kalau ternyata novelnya sama sekali belum ada yang terjual.
“Pemilik-pemilik kios yang saya titipi novelmu belum satu pun setor.
Juga para pengecer asongan.”
Daruan menelan ludah.55
53
Ibid., h. 104 54
Ibid., h. 41 55
Ibid., h. 45
68
Puncak konflik dalam cerpen ini dikisahkan ketika Daruan
mengetahui bahwa karyanya dijual dengan harga yang murah, bahkan
sangat murah. Akan tetapi, tetap tidak ada satu pun pembeli yang
berminat dengan novel karyanya yang harganya jauh sekali dengan harga
novel-novel di toko-toko buku besar. Daruan menyaksikan sendiri
kepiluan itu dengan matanya.
Diikutinya si pengasong dari jarak tertentu. Diperhatikannya apakah
ada penumpang yang berminat membeli novelnya. Tetapi sampai
menyeberang lima gerbong, Daruan tidak menemukan pemandangan
yang diharapkan.56
Tahap akhir atau penyelesaian cerita dari cerpen ini digambarkan
dengan sikap Daruan yang tetap kuat hati dan berusaha menyelamatkan
harga dirinya sendiri dengan cara membeli semua novel karyanya dari
pengasong tersebut.
“Sebagai pengarang baru, Daruan memang hebat ya, Pak? Buktinya,
Bapak memborong semua karyanya.”
“Mungkin atau entahlah, aku tak kenal dia.”
Tak kenal dia? Rasa perih kembali menggigit jantung Daruan ketika
sadar dia sendiri telah menampik dirinya.
Namun, Daruan masih bisa melakukan sesuatu; membungkus enam
belas buku yang sudah dibeli dengan seluruh uangnya. Ketika itu
Daruan sadar, yang sedang dibungkusnya bukan sekadar buku
melainkan dirinya sendiri.57
4. Latar (setting)
Latar adalah gambaran tentang tempat dan waktu serta segala situasi
di tempat terjadinya peristiwa.58
Latar dalam cerita biasanya akan
menyangkut tiga hal; (1) latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu
secara geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu, seperti rumah,
sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar waktu ini
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa
56
Ibid., h. 48 57
Ibid., h. 49 58
Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 56
69
yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini biasanya berhubungan
dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial merupakan latar yang merujuk
pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial
masyarakat ini mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang
dijadikan sebagai latar cerita.59
Secara garis besar, karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang
penderitaan, keterpinggiran, atau kenelangsaan dari masyarakat kelas
bawah, maka latar yang dipergunakan dalam karya-karyanya pun
menggunakan latar yang dekat atau akrab dengan kehidupan masyarakat
kelas bawah. Akan tetapi, dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,
latar tempat yang dipergunakan dalam cerita adalah di stasiun. Istilah
stasiun dan kereta api biasanya lebih dekat dengan kehidupan perkotaan
daripada kehidupan pedesaan, walaupun ada juga stasiun kereta api yang
berdekatan dengan lingkungan pedesaan.
Mungkin juga pengemis buta bernama Mirta dan penuntunnya,
Tarsa, itu berasal dari suatu desa yang miskin dan mereka sengaja pergi
ke suatu kota untuk mencari penghidupan dengan cara mengemis atau
meminta uang kepada siapa pun yang kebetulan berbaik hati.
Kesimpulannya, informasi pasti mengenai asal-usul kedua tokoh tersebut
memang tidak tersedia dari sang pencerita.
Latar waktu yang digambarkan adalah pukul satu siang.
Sebagaimana diketahui juga, stasiun bukan hanya sebagai tempat untuk
orang-orang menunggu kedatangan kereta api, tetapi juga sebagai tempat
yang biasa didatangi oleh orang-orang seperti Mirta dan penuntunnya
untuk mengemis.
Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan
depan stasiun.60
59
Kurniawan, op. cit., h. 75 60
Tohari, op. cit., h. 9
70
“Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru
datang? Kereta utama, bukan? Kita tidak akan bisa masuk kereta
seperti itu. Ngemis lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti
kereta kelas tiga.”61
Stasiun sebagai tempat menunggu kedatangan kereta api selalu
dipenuhi dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari
kalangan atas sampai bawah, banyak yang menggunakan fasilitas
transportasi darat ini. Biasanya orang-orang dari kalangan atas
menggunakan kereta api kelas satu. Mereka yang menaiki kereta ini
enggan memberikan uang kepada orang-orang seperti Mirta dan Tarsa.
Mereka memiliki pandangan yang dingin dan tidak peduli dengan
kehadiran Mirta dan Tarsa.
Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak
dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat
berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin
seperti bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada
sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa
membawa kesan dari dunia yang amat jauh.62
Berbeda dengan orang-orang dari kalangan bawah (orang yang
hidupnya pas-pasan. Setiap memperoleh uang pasti dibelanjakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, itupun belum tentu cukup. Misalnya:
pedagang kaki lima, dsb.) yang biasanya menaiki kereta kelas tiga,
mereka memiliki mata yang enak dipandang dan tidak galak. Mereka juga
sering memberi uang kepada Mirta dan Tarsa.
“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu
betul. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang
melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka
memberi memang enak dipandang.”63
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman.
Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja kereta kelas tiga.”64
61
Ibid., h. 14 62
Ibid., h. 15 63
Ibid., h. 14 64
Ibid., h. 15
71
Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”
adalah suatu pedesaan yang mayoritas penduduknya dari kalangan kelas
bawah. Masyarakat pedesaan biasanya digambarkan hidup sederhana dan
pas-pasan, begitu pula dengan keluarga Dalbun dan Parsih. Gaya hidup
masyarakat desa tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar
di lapangan desa.65
Matanya menatap jauh ke timur. Dia ingin melihat sosok Dalbun,
dengan tudung plastik sedang mengayuh sepeda. Namun, yang selalu
muncul adalah sosok lain.66
Untung api di tungku masih ada, pikir Parsih. Maka segera ia siapkan
segalanya untuk membuat masakan sayur bleketupuk campur daun
singkong. Diberi penyedap lebih dari cukup, ada bawang, ada
kencur.kayu api dinyalakan, nyala yang besar.67
Ayam-ayam mulai masuk ke kandangnya di belakang rumah.68
Masyarakat desa juga memiliki kebiasaan untuk hidup berdampingan
dan berinteraksi dengan baik. Perhatian dan kepedulian antarsesama
masih terlihat di dalam cerita.
Selesai makan kedua anak itu lari keluar. Mereka biasa numpang
nonton televisi di rumah Pak RT sebelum magrib.69
“Mereka tidak sakit, kan?”
“Tidak. Mereka baru saja makan. Mungkin kekenyangan lalu
mengantuk.”70
Di rumah Bu RT, Parsih melihat Darto dan Darti lelap dan terkulai di
atas karpet. Parsih hampir menangis. Dia kemudian minta tolong Bu
RT menaikkan Darti ke punggungnya.71
65
Ibid., h. 99 66
Ibid., h. 100 67
Ibid., h. 102 68
Ibid. 69
Ibid. 70
Ibid., h. 103 71
Ibid.
72
Latar waktu dalam cerpen ini adalah hari Sabtu pukul lima sore dan
berlanjut sampai pukul tujuh malam.
Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.
Ini Sabtu jam lima sore.72
Matahari sudah hampir tenggelam. Sambil menggigit bibir Parsih
masuk kembali ke rumah.73
Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan
kepada mandor yang datang sangat terlambat.74
Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Daruan” sebagai tempat
tinggal Daruan dan keluarganya, tidak digambarkan dengan jelas di
mananya. Setidaknya pembaca mengetahui bahwa Daruan dan
keluarganya tinggal di sebuah pedesaan yang jauh dari kota Jakarta.
Dikisahkan, Daruan berangkat ke Jakarta menggunakan transportasi
kereta api pada malam hari. Ia ke Jakarta hendak menemui Muji,
sahabatnya.
Jam lima pagi kereta api yang dinaiki Daruan masuk Jakarta. Daruan
turun dengan perasaan tidak nyaman.75
Dalam perjalanannya itu, Daruan juga sempat mampir ke musala
dekat staisun. Awalnya, ia hanya ke WC, lalu cuci muka di musala. Akan
tetapi, karena kehadiran tokoh lelaki tua di sana, ia akhirnya ikut
menunaikan salat subuh.
Udara pengap dalam kereta api juga membuatnya gerah sepanjang
jalan. Daruan ingin mandi atau setidaknya cuci muka. Dekat musala
stasiun, Daruan melihat seorang lelaki tua sedang membasuh muka.
Daruan ke sana, masuk WC, kemudian ikut membasuh muka di
samping lelaki tua itu.76
72
Ibid., h. 99 73
Ibid., h. 100 74
Ibid., h. 104 75
Ibid., h. 43 76
Ibid.
73
Percakapan Daruan dengan lelaki tua itu kemudian membuka
gambaran latar sosial yang ada pada saat itu. Tokoh Daruan digambarkan
sebagai orang yang kurang taat beragama, sedangkan lelaki tua itu adalah
orang yang taat beragama. Hal tersebut menunjukkan adanya
keberagaman masyarakat saat itu, yang memiliki kebiasaan beribadah
dan tidak ketika itu. Kebiasaan Daruan yang sering meninggalkan salat
lima waktu juga semakin dipertegas oleh pengarang melalui kutipan
berikut.
Tetapi Daruan benar-benar ikut sembahyang. Dalam
sembahyangnya, tiba-tiba Daruan merasa beruntung mendapat
peluang berdoa. Anehnya, dia tergagap dan gagal menemukan doa
yang pantas dikemukakan kepada Tuhan.77
Latar tempat selanjutnya, yakni rumah Muji. Latar waktunya sekitar
jam setengah tujuh pagi. Hal itu diperkuat dengan keadaan di mana anak-
anak Muji sudah mengenakan seragam sekolah, hendak sarapan.
Muji membawa tamunya masuk. Pagi yang renyah bagi dua sahabat
yang sudah lama tak bertemu. Istri Muji menyajikan kopi dan roti
kering, anak-anak mereka yang sudah mengenakan seragam sekolah
ikut meramaikan suasana.78
Melihat dari kutipan di atas, cara sarapan keluarga Muji tentu
berbeda dengan tokoh Daruan. Jika keluarga Muji sarapan dengan roti
kering. Itu tentu menandakan bahwa mereka adalah orang yang mapan,
sedangkan Daruan biasa mengisi perutnya dengan lontong dan telur asin.
Hal tersebut merupakan kebiasaan yang sudah banyak diketahui
masyarakat luas. Bahkan, sering terdengar kalau orang yang sarapan
dengan roti itu seperti mengikuti kebiasaan orang-orang kaya di Barat.
Sementara, lontong dan telur asin menjadi makanan yang khas bagi
masyarakat menengah ke bawah.
77
Ibid. 78
Ibid., h. 44
74
5. Sudut Pandang
Sudut pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat
yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya.79
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Mata yang
Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” adalah sudut
pandang orang ketiga serba tahu. Jadi, Ahmad Tohari bertindak sebagai
pencerita yang serba tahu. Tahu apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan
oleh beberapa tokoh yang terdapat dalam ceritanya. Akan tetapi, pencerita
tidak memiliki peran sebagai tokoh dalam cerita tersebut (di luar cerita).
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa lebih baik tidak lagi
menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja
semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati,
Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat
berpengalaman.80
(MyED)
Masih berdiri di dekat dipan anak-anaknya, Parsih mendengar
keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh
membebani dadanya. Air matanya menitik lagi. Dan terlihat dari
balik genangan air mata, wajah Darto dan Darti menjadi begitu
bagus dan bercahaya.81
(SB)
Daruan terpuruk di tempat duduknya. Matanya terpejam meskipun
hatinya sama sekali tidak tidur. Dalam saku bajunya masih tersisa
uang 15.000, tak cukup untuk menebus cincin istrinya yang sedang
tergadai. Tetapi untuk sekadar membeli kaus buat anaknya, uang itu
cukup. Atau untuk membeli rambutan saja karena istrinya sangat
menyukaiya.82
(Daruan)
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.83
Gaya
bahasa yang digunakan Ahmad Tohari dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” cenderung
79
Kurniawan, op. cit., h. 78 80
Tohari, op. cit., h. 16 81
Ibid., h. 105 82
Ibid., h. 47 83
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 5
75
menggunakan bahasa sehari-hari, yang sesuai dengan latar dan identitas
dari tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut. Meski bahasa yang digunakan
cenderung memakai bahasa sehari-hari, Ahmad Tohari tidak
menyuguhkannya dengan berlebihan. Dengan kata lain, ia menyuguhkan
dengan porsi yang benar-benar tepat, seimbang, namun lengkap. Ini yang
menyebabkan para pembaca tersentuh nuraninya.
Penderitaan yang dialami para tokoh dalam cerpen-cerpennya tidak
diungkapkan dengan bahasa-bahasa yang memelas, yang seolah penulis
ingin agar pembacanya merasa kasihan. Ciri yang juga menjadi khasnya
adalah penggunaan diksi dari bahasa Jawa lokal dalam cerpen-cerpennya.
Penggunaan kata picek (buta) muncul beberapa kali dalam cerpen “Mata
yang Enak Dipandang” atau kata jaran undar (kuda putar) dan bleketupuk
(jenis tanaman liar penawar pusing) dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”.
Dalam cerpen “Daruan” tidak ditemukan penggunaan diksi dari bahasa
Jawa lokal seperti pada kedua cerpen sebelumnya.
Ahmad Tohari juga menggunakan majas-majas dalam penulisan
cerpen-cerpennya. Adapun majas-majas yang ia pergunakan untuk
memperindah cerpen-cerpennya sebagai berikut.
a. Majas Perumpamaan
Perumpamaan di sini adalah padanan kata simile dalam bahasa
Inggris. Kata simile berasal dari bahasa Latin yang bermakna „seperti‟.
Majas ini menunjukkan perbandingan dua hal yang pada hakikatnya
berlainan dan yang sengaja dianggap sama.84
Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering,
compang-camping dan gelisah.85
Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati
kering seperti dendeng.86
Ia jongkok seperti mayat yang dikeringkan.87
Namun, Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti bekicot.88
84
Ibid., h. 9 85
Tohari, op. cit., h. 9 86
Ibid., h. 10 87
Ibid., h. 11 88
Ibid., h. 12
76
Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai
udang.89
Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata
dibalik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu.90
Majas ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata yang
Enak Dipandang”.
b. Majas Hiperbola
Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau
sifatnya—dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan
atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan
pengaruhnya.91
Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit,
Mirta tak ingin memanggil Tarsa.92
Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala Mirta dan membawa
seribu kunang-kunang.93
Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang
keropos.94
Kepalanya terasa menjadi gasing yang berputar makin lama
makin cepat.95
Rasa pening terus menggigit kepalanya.96
…, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat
jauh.97
Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati.98
Hati Daruan melambung ketika melihat namanya tercetak jelas
pada kulit buku yang berhias gambar gadis cantik dengan rambut
tergerai itu.99
89
Ibid. 90
Ibid., h. 15 91
Tarigan, op. cit., h. 55 92
Tohari, op. cit., h. 10 93
Ibid. 94
Ibid. 95
Ibid., h. 11 96
Ibid., h. 12 97
Ibid., h. 15 98
Ibid., h. 17 99
Ibid., h. 41
77
Kini Daruan yakin dia bukan sekadar nama yang terombang-
ambing antara ada dan tiada, terayun ke sana kemari tanpa makna.
Pagi yang renyah bagi dua sahabat yang sudah lama tak
bertemu.100
Majas hiperbola ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata
yang Enak Dipandang” dan “Daruan”.
c. Majas Personifikasi
Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (orang, pelaku,
aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama) + fic (membuat).
Dengan perkataan lain, personifikasi ialah jenis majas yang
melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan
ide yang abstrak.101
Majas ini dimanfaatkan oleh pengarang untuk
membangun suasana alam yang digambarkan agar semakin hidup,
biasanya pada bagian-bagian yang berisi deskripsi.
Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip.102
Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson
serentak membentaknya.103
Ketika merasa tanah makin cepat berayun.104
Matahari melirik tajam dari belahan langit barat.105
Majas personifikasi banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata
yang Enak Dipandang”, sedangkan di kedua cerpen lainnya tidak
ditemukan.
d. Majas Epizeukis
Majas epizeukis merupakan salah satu majas yang termasuk ke
dalam majas repetisi atau perulangan. Epizeukis adalah gaya bahasa
100
Ibid. 101
Tarigan, op. cit., h. 17 102
Tohari, op. cit., h. 10 103
Ibid. 104
Ibid., h. 12 105
Ibid., h. 16
78
perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau
yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.106
Mirta juga minum. Bukan es limun melainkan air putih; segelas,
segelas lagi, dan segelas lagi.107
Tiba-tiba Daruan merasa tubuhnya menyusut, kecil, dan makin
mengecil.108
Majas epizeukis hanya ditemukan dua, yakni satu di dalam cerpen
“Mata yang Enak Dipandang” dan satu lagi dalam cerpen “Daruan”.
e. Majas Metafora
Poerwadarminta berpendapat bahwa metafora adalah pemakaian
kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan. Berbeda lagi dengan
Moeliono, yang berpendapat bahwa metafora ialah perbandingan yang
implisit—jadi tanpa kata seperti atau sebagai—di antara dua hal yang
berbeda.109
Judul cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah
metafora dari orang-orang yang suka memberi.
“…Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang
suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang.
Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak
dipandang.”110
Majas metafora ini tidak digunakan di dalam kedua cerpen
lainnya.
f. Majas Sarkasme
Menurut Poerwadarminta, sarkasme adalah sejenis gaya bahasa
yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati.
106
Tarigan, op. cit., h. 188 107
Tohari, op. cit., h. 11 108
Ibid., h. 48 109
Tarigan, op. cit., h. 15 110
Tohari, op. cit., h. 14
79
Ciri utama gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan
dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar.111
“Itu salahmu. Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis.”
“Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak
menjadi penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak
dapat duit. Jadi, siapa yang tolol?”
“Kang, aku sudah membawa kamu kemana-mana. Kamu sudah
kuhadapkan ke semua orang, ke semua penumpang. Jadi, kalau
kamu tak dapat duit, kamu sendiri yang tolol, kan?”
“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang
yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita
harus lama bertahan.”
“Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti
itu?”
“Betul, kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka.
Orang yang suka memberi receh punya mata lain.”
“Ah, tahi kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain?”112
Majas sarkasme ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata
yang Enak Dipandang” berupa kata-kata, seperti tolol, kere, dan picek.
Tentu bukan suatu kebetulan jika majas ini banyak ditemukan di
dalam cerpen ini. Tohari menyesuaikan gaya bahasa yang digunakan
dengan latar dan identitas tokoh Mirta dan Tarsa. Mereka bukanlah
orang yang berpendidikan, mereka hanya seorang pengemis buta dan
penuntunnya yang sehari-hari mencari makan dengan cara meminta-
minta kepada para penumpang kereta. Oleh karena itu, bahasa yang
mereka gunakan dalam percakapan pun kasar jika di dengar.
g. Majas Klimaks
Keraf mengungkapkan bahwa klimaks adalah semacam gaya
bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan
sebelumnya.113
Klimaks ini dimanfaatkan pengarang untuk
111
Tarigan, op. cit., h. 92 112
Tohari, op. cit., h. 13 113
Tarigan, op. cit., h. 78
80
menggambarkan kekhawatiran yang terus meningkat dari para tokoh
dalam cerita. Berikut kutipan dari masing-masing cerpen.
“…Keringatnya mulai mengering karena sapuan angin. Tapi
wajahnya perlahan-lahan berubah pucat. Nafasnya megap-megap.
Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya tampak
tenang. Mirta terbujur diam di bawah kerai payung depan stasiun.
Mirta tertidur atau Mirta pingsan.”114
Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran
undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin
bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah
membuat sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-
anaknya. Parsih terisak lagi.115
Di mata Daruan, botol-botol itu bukan berisi teh melainkan
darahnya yang diasongkan dan tak ada pembeli. ...Daruan merasa
ususnya tertusuk-tusuk menjadi sate, diasongkan, dan tidak laku.
...Dia merasa isi kepalanya meletup ke luar dan jatuh ke dalam
piring berkuah santan.116
Kesimpulan peneliti tentang gaya bahasa yang dominan
digunakan Ahmad tohari di dalam ketiga cerpen tersebut adalah majas
perumpamaan dan majas hiperbola.
B. Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya
Ahmad Tohari
Nilai-nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari nampak dari pandangan
hidup para tokoh yang dapat dilihat dalam percakapan maupun narasi ketiga
cerpen tersebut. Notonegoro menyatakan bahwa ada tiga macam nilai, yaitu
nilai materiil, nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai-nilai sosial termasuk ke
dalam jenis nilai kerohanian, subbagian nilai kebaikan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan terhadap ketiga cerpen, peneliti menemukan ada
beberapa aspek nilai sosial di dalamnya. Aspek nilai-nilai sosial itu dapat
114
Tohari, op. cit., h. 12 115
Ibid., h. 103 116
Ibid., h. 48
81
dilihat dari hubungan sosial dan interaksi sosial antartokoh yang terefleksi
dalam ketiga cerpen.
1. Nilai Materiil
Nilai materiil merupakan nilai yang bersifat fisik (kebendaan).
Maksudnya, nilai yang diukur berdasarkan kegunaannya bagi jasmani
manusia. Nilai materiil yang terdapat di dalam cerpen “Mata yang Enak
Dipandang”, yaitu es limun86
. Es limun adalah salah satu minuman
musim panas yang paling lezat; rasanya menyegarkan sekaligus dapat
menghilangkan rasa haus. Selain rasanya yang segar, es limun
merupakan es yang tergolong murah dan terjangkau di kantung semua
kalangan. Tidak heran jika semua kalangan menyukainya.
Bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, es limun
merupakan sebuah kemewahan. Itu alasan mengapa es limun masuk
sebagai kategori nilai materiil. Meskipun bukan makanan pokok seperti
sayur bleketupuk, tetapi es limun merupakan jenis minuman yang
sedang tren kala itu. Kehadirannya di dalam cerita juga penting, yakni
sebagai sesuatu yang membuat konflik di antara Mirta dan Tarsa
semakin meningkat.
Di dalam cerita, minuman ini dinikmati oleh tokoh Tarsa. Tarsa
sengaja meninggalkan Mirta di tempat yang terik agar Mirta menuruti
semua permintaannya, termasuk membelikannya es limun. Minum es
limun di saat cuaca panas tentu sangatlah nikmat. Es limun bisa
menghilangkan haus dan dahaga orang yang meminumnya. Es limun
86
Sedikit ulasan tentang sejarah es limun; limun, sebutan untuk minuman ringan berkarbonasi
yang pernah merajai rak-rak toko kelontong dan rumah makan puluhan tahun silam. Sayang
seiring dengan perkembangan zaman dan ekspansi besar-besaran dari pabrik minuman bersoda
buatan Amerika, sebagian besar pabrik limun di Indonesia tak mampu bersaing dalam kemajuan
alat produksi dan tekanan harga jual. Akan tetapi, di Pekalongan masih ada satu pabrik limun aktif
dengan nama Pabrik Limun Oriental. Pabrik Limun Oriental adalah nama pabrik limun di
Pekalongan yang didirikan oleh Njo Giok Liem pada tahun 1923. Limun yang diproduksinya
merupakan hasil campuran air sari buah, asam sitrat, dan uap dari racikan CO2. Dengan proses
pemanfaatan uap itulah hasil karbonasi limun tak sekeras minuman bersoda yang menggunakan
bahan campuran gula dan bubuk soda. Produksi limun beruapnya kemudian diberi merk Cap
Nyonya. Sumber:https://jejakbocahilang.wordpress.com/2017/08/16/limun-oriental-pekalongan/
82
juga memiliki harga yang murah dan terjangkau bagi semua kalangan,
tak terkecuali masyarakat pinggiran seperti Mirta dan Tarsa.
Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mirta
menyeberang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es
limun diminumnya dengan penuh rasa kemenangan.117
Nilai materiil yang terdapat di dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”,
yaitu makanan yang bernama sayur bleketupuk. Sayur ini dibuat dari
daun bleketupuk yang biasa dicampur dengan daun singkong yang masih
muda ditambahkan bawang, kencur, dan juga penyedap rasa secukupnya.
Bleketupuk merupakan tanaman liar penawar pusing yang hanya disayur
bila benar-benar diperlukan. Satu genggam daun bleketupuk cukup untuk
menghilangkan rasa pusing dan menidurkan orang dewasa.
Sama halnya dengan kedudukan es limun di dalam cerpen “Mata
yang enak Dipandang”, sayur bleketupuk termasuk ke dalam nilai
materiil karena merupakan makanan pokok bagi kalangan masyarakat
bawah kala itu. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk membuatnya.
Biasanya, tanaman tersebut tumbuh merambat di tengah rimbun perdu di
belakang rumah masyarakat saat itu. Tanaman bleketupuk juga bisa
menjadi obat penawar pusing bagi orang-orang kecil yang membutuhkan.
Di dalam cerpen, sayur bleketupuk menjadi penyebab konflik para tokoh
semakin meningkat.
Keadaan ekonomi keluarga Parsih yang hidup pas-pasan dan hanya
mengandalkan dari gaji suaminya yang dibayar seminggu sekali—setiap
Sabtu sore—membuat dirinya harus berhutang dulu untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Baru setelah Dalbun gajian, keesokan harinya ia
pergi ke warung untuk melunasi hutang-hutangnya. Ia sama sekali tidak
punya uang simpanan.
Ketika Parsih dan Dalbun sudah berjanji kepada Darto dan Darti
untuk mengajak mereka naik jaran undar, ternyata di hari gajian Dalbun
justru pulang terlambat, Parsih sangat kecewa dan sudah berpikir jelek
117
Tohari, op. cit., h. 11
83
tentang suaminya yang mungkin sedang lembur ditemani dengan
perempuan-perempuan cantik penjual kue. Hingga malam hari, Dalbun
tak kunjung datang jua, akhirnya Parsih membulatkan hati untuk
membuat anak-anaknya tertidur dengan ramuan daun bleketupuk. Ia tak
perlu mengeluarkan uang karena daun tersebut berada di belakang
rumahnya.
Masuk ke tengah rimbun perdu, Parsih memilih-milih tanaman
rambat, lalu mengambilnya beberapa genggam. Itu bleketupuk,
tanaman liar penawar pusing dan hanya disayur bila benar-benar
diperlukan.118
Maka segera dia siapkan segalanya untuk membuat masakan sayur
bleketupuk campur daun singkong.119
Wajah Parsih memucat. Dia memang sudah tahu Darto dan Darti
akan mengantuk sesudah makan sayur bleketupuk. Segenggam
daun bleketupuk cukup buat menghilangkan rasa pusing dan
menidurkan seorang dewasa.120
Sayur bleketupuk itu menjadi penyelamat Parsih yang hampir
kehilangan kepercayaan dari kedua anaknya. Dengan membuat anak-
anaknya tertidur, ia berpikir anak-anaknya tidak akan merasa begitu
kecewa karena tidak jadi naik jaran undar malam itu.
2. Nilai Vital
Nilai vital adalah sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
melaksanakan kegiatan. Nilai ini diukur dari kegunaannya untuk dapat
membantu manusia dalam beraktivitas. Nilai vital yang terdapat di
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah kereta api. Kereta
api merupakan alat tranportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat
dari berbagai kalangan, dari mulai kalangan atas sampai kalangan
bawah. Kereta api ini digunakan untuk membantu manusia dalam
118
Ibid., h. 101 119
Ibid., h. 102 120
Ibid., h. 103
84
beraktivitas, misalnya bepergian ke luar kota, berangkat bekerja, jalan-
jalan, dsb.
Semakin majunya alat transportasi di Indonesia, kereta api di
zaman sekarang sudah banyak menggunakan commuter line dibanding
kereta api uap seperti zaman dulu. Selain itu, situasi di stasiun saat ini
juga berbeda dengan situasi stasiun zaman dulu. Zaman sekarang stasiun
sudah melarang pedagang asongan dan pengemis untuk masuk ke dalam
gerbong-gerbong kereta. Semuanya benar-benar steril hanya untuk para
penumpang kereta api yang menggunakan jasanya.
Berbeda dengan situasi dan kondisi stasiun zaman dulu. Dulu, para
pedagang asongan dan pengemis masih banyak berkeliaran di dalam
stasiun dan di dalam gerbong-gerbong kereta api. Mereka mencari rejeki
untuk sekadar mengisi perut yang kosong dari para penumpang kereta
api. Mereka mencari dengan berkeliling dari satu gerbong ke gerbong
lain.
Para pengemis biasa berjalan di sisi kereta sambil menengadahkan
tangan ke jendela. Mereka memperoleh banyak uang dari para
penumpang kereta kelas tiga. Kereta kelas tiga, umumnya diisi oleh
penumpang-penumpang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Dengan demikian, fungsi keberadaan stasiun kereta api zaman dulu,
selain untuk membantu manusia dalam beraktivitas, juga sebagai tempat
para pengemis dan pedagang asongan mencari rejeki.
“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang
yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita
harus lama bertahan.”121
Selain itu, di dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” juga
terdapat nilai vital, yaitu uang. Menurut KBBI, uang adalah alat tukar
atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan
121
Ibid., h. 13
85
oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain
yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu; harta; kekayaan.122
Uang merupakan benda yang amat penting bagi manusia. Uang
dapat digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam kehidupan
manusia, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Uang bisa diperoleh
dengan cara bekerja keras atau menerima harta warisan dari orang tua.
Tanpa memiliki uang hidup manusia akan kesulitan, misalnya untuk
mengisi kebutuhan perut yang kosong setiap harinya.
Dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, tokoh Mirta dan
Tarsa bergantung hidup pada orang-orang yang memiliki mata yang enak
dipandang. Mereka adalah penumpang-penumpang kereta dari golongan
kelas tiga. Dengan mengemis dan memelas dari satu gerbong ke gerbong
lain, Mirta dan Tarsa berharap mereka bisa mengisi perut-perut mereka
yang kosong setiap harinya.
Begitu juga yang terjadi dengan keluarga Parsih dalam cerpen
“Sayur Bleketupuk”, nilai vital uang di dalam cerpen ini tidak hanya
sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk mewujudkan
janji pasangan suami istri dan impian dua orang anak. Impian yang sudah
lama dan sangat sederhana. Darto dan Darti hanya ingin naik jaran undar
atau kuda putar yang ada di lapangan desa.
Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang
jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang.
Tapi ke mana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan
berdandan. Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat
riang. Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau
kuda putar di lapangan desa. Itu janji Parsih dan suaminya kepada
Darto dan Darti; janji yang sungguh-sungguh.123
Naik jaran undar sudah lama menjadi mimpi Darto dan Darti.
Keduanya belum pernah mengalaminya; naik kuda kayu yang
gagah dan diayun berputar pasti hebat, pikir mereka.124
122
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1512 123
Tohari, op. cit., h. 99 124
Ibid.
86
Hari itu adalah malam terakhir rombongan komidi jaran undar
yang sudah sebulan bermain akan pindah ke tempat lain. Parsih dan
Dalbun sudah berjanji akan mengajak mereka naik jaran undar. Akan
tetapi, rencana yang sudah direncanakan Parsih dan Dalbun semuanya
berantakan karena sang mandor datang terlambat di hari pembagian gaji.
Dan ini malam terakhir karena besok rombongan komidi jaran
undar yang sudah sebulan bermain akan pindah ke tempat lain.125
Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan
kepada mandor yang datang sangat terlambat. Wajahnya tegang
karena merasa telah membiarkan istri dan kedua anaknya terlalu
lama menunggu. Mereka pasti amat kecewa. Atau marah.126
Ternyata keterlambatan seorang mandor di hari gajian pekerjanya
telah membuat sebuah keluarga menderita. Dalbun yang seharusnya
menerima gaji tepat waktu dan pulang lebih cepat, justru pulang
terlambat hingga membuat istri dan kedua anaknya menunggu lama.
Parsih yang kecewa dan menaruh curiga kepada Dalbun terpaksa
membuat Darto dan Darti tertidur dengan memberikan mereka masakan
sayur bleketupuk.
Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran
undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin
bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah
membuat sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-
anaknya. Parsih terisak lagi.127
Pada akhirnya, semua tokoh harus menderita karena uang yang
terlambat diterima. Dalbun merasa bersalah telah membuat istri dan
kedua anaknya menunggu lama. Parsih menyesal telah menaruh curiga
kepada suaminya yang pulang terlambat di hari gajian dan harus
membuat kedua anaknya tertidur. Darto dan Darti pasti kecewa dan sedih
juga karena tidak bisa mendapatkan impiannya, meskipun di dalam cerita
tidak dijabarkan. Melalui kedua cerita pendek ini, penulis menyimpulkan 125
Ibid. 126
Ibid., h. 104 127
Ibid., h. 103
87
bahwa uang adalah bagian terpenting atau sesuatu yang memiliki nilai
vital bagi para tokoh-tokoh di dalam cerita.
Parsih tidak punya uang untuk sewa jaran undar sebelum suaminya
pulang. Uang itu pun hanya akan singgah sebentar di tangan,
karena besoknya Parsih harus melunasi utangnya di warung.128
“Jadi bagaimana? Tidak jadi pergi naik jaran undar?”
“Aku tidak sampai hati memaksa mereka bangun,” jawab Parsih
dan air matanya mulai berjatuhan. Dalbun menunduk dan
melepaskan napas panjang. Dia pun merasa tidak tega
membangunkan kedua anaknya yang begitu lelap tidur.
“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil
keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi
mandor yang paling terkutuk?”129
3. Nilai Kerohanian
Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi rohaniah
manusia. Nilai ini dibagi lagi menjadi 4 macam, yaitu nilai kebenaran,
nilai estetika, nilai kebaikan, dan nilai religius. Berdasarkan penelitian,
penulis hanya menemukan ada dua macam nilai kerohanian yang
terkandung di dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan "Daruan”, yakni nilai kebenaran dan nilai kebaikan.
Nilai-nilai sosial yang ditemukan penulis dari ketiga cerpen tersebut
termasuk ke dalam nilai kebaikan.
a. Nilai Kebenaran
Nilai kebenaran adalah nilai yang bersumber pada akal manusia.
Nilai ini berguna untuk mencari kebenaran menurut akal sehat dan
perasaan untuk menimbang baik dan buruknya. Nilai kebenaran
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” terdapat pada ungkapan
bahwa mata orang-orang yang suka memberi itu enak dipandang.
Bagi seorang pengemis, untuk mendapatkan uang dari para
penumpang kereta, mereka bisa menggunakan indra penglihatan
128
Ibid., h. 100 129
Ibid., h. 104
88
mereka (bagi yang bisa melihat) untuk mencari orang-orang yang
biasa memberikan uang recehan.
Mirta memperoleh informasi itu dari teman-temannya yang
sesama pengemis. Pikir Mirta (yang tidak bisa melihat), orang-orang
tersebut ada dan biasa ia jumpai di kereta-kereta kelas tiga. Oleh
karena itu, Mirta hanya menyuruh Tarsa untuk menuntunnya ke
penumpang kereta api kelas tiga karena penumpang di sana adalah
orang-orang dari kalangan menengah ke bawah yang cenderung
dermawan daripada para penumpang kereta api kelas satu yang diisi
oleh orang-orang kaya atau kalangan atas yang acuh tak acuh
terhadap pengemis. Berikut kutipan-kutipan dalam cerpen yang
menunjukkan hal tersebut.
“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu
betul. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang
melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka
memberi memang enak dipandang.”130
Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak
dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering
melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata
yang dingin seperti bambu, mata yang menyesal karena telah
tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya,
mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat
jauh.131
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah
berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja
kereta kelas tiga.”132
b. Nilai Kebaikan
1) Nilai Sosial Kebersamaan
Nilai kebersamaan tergambar dari keadaan dua tokoh
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, yaitu Mirta dan
Tarsa. Mereka saling membutuhkan satu sama lain hingga
130
Ibid., h. 14 131
Ibid., h. 15 132
Ibid.
89
akhirnya memutuskan bersama. Mirta sebagai seorang
pengemis yang tidak memiliki kesempurnaan dalam melihat,
sangat membutuhkan Tarsa, penuntunnya. Tarsa merupakan
orang yang setiap hari menuntun Mirta mengemis kepada
para penumpang kereta api di stasiun. Dengan mengemislah,
mereka tetap dapat melanjutkan hidup di tengah kejamnya
kota. Mereka sama-sama susah dan mereka bersama karena
sama-sama membutuhkan satu sama lain.
Kekurangan fisik Mirta membuat ia harus bertahan hidup
hanya dengan mengemis selama puluhan tahun bersama
penuntunnya. Mungkin mengemis merupakan pekerjaan yang
paling mudah dilakukan oleh orang yang memiliki
kekurangan fisik seperti Mirta. Tarsa pun demikian, ia
membutuhkan Mirta sebagai orang yang setiap hari
dituntunnya dan juga memberinya upah. Dari kondisi sosial
itulah, nilai-nilai kebersamaan tercipta di antara tokoh Mirta
dan tokoh Tarsa.
Akan tetapi, Tarsa suka berbuat semena-mena pada
Mirta, ia sering memeras Mirta dan memaksa Mirta untuk
menuruti semua kemauannya. Sampai akhirnya Tarsa
menyesali semua perbuatannya, setelah ia sadar bahwa yang
ia punya hanya Mirta, ia juga membutuhkan Mirta, dan ia
takut kehilangan orang yang selama ini dituntunnya.
Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi
orang yang dituntunnya itu dengan perasaan campur
aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu
lama demi segelas es limun. Mungkin juga ia jengkel
ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari kacung
bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di
depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere
tua yang keropos kedua matanya itu.133
133
Ibid.
90
Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang
Mirta, siapa nanti yang akan kutuntun? Siapa nanti yang
akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak
dipandang?134
Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan
lelaki yang, meski kere dan buta, satu-satunya orang
yang tiap hari memberinya upah. Bahkan Tarsa mulai
takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.135
2) Nilai Sosial Kerja Sama
Nilai-nilai kerja sama juga tampak di antara tokoh Mirta
dan tokoh Tarsa dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”.
Mirta sudah puluhan tahun mengemis dan sudah beberapa
anak yang menjadi penuntunnya. Namun, hanya bersama
Tarsalah, Mirta sering tidak dapat uang. Itu karena Tarsa
tidak pandai mencari orang-orang yang biasa memberi
recehan. Mirta yang lebih berpengalaman dibandingkan Tarsa
kemudian membagikan ilmu yang ia dengar dari teman-
temannya, sesama pengemis, tentang orang-orang yang
mempunyai mata enak dipandang.
“Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa
kereta yang baru datang? Kereta utama, bukan? Kita
tidak akan bisa masuk kereta seperti itu. Ngemis lewat
jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas
tiga”.136
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah
berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang.
Tunggu saja kereta kelas tiga.”137
Hal itu menjadi strategi yang bagus untuk Tarsa dan
Mirta agar mereka lebih mudah mendapatkan rezeki dari
tangan orang-orang dermawan. Dari situlah, mereka bekerja
134
Ibid., h. 16 135
Ibid. 136
Ibid., h. 14 137
Ibid., h. 15
91
sama untuk mencapai tujuan mereka, yakni bertahan hidup
dengan mengemis hanya pada penumpang kereta kelas tiga.
Dalam cerpen ini, Ahmad Tohari membuka kesadaran para
pembaca, bahwasanya keberadaan seorang pengemis pun
ternyata dibutuhkan oleh seseorang. Tarsa yang fisiknya
normal, justru bisa hidup karena mendapatkan upah dari
Mirta.
Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya
tidak lebih dari kacung bagi kere picek yang kini
menggeletak di tanah di depannya; sialan, hidupku
tergantung hanya kepada kere tua yang keropos kedua
matanya itu.138
Tokoh Mirta dan tokoh Tarsa menunjukkan nilai kerja
sama antara seorang pengemis buta dan penuntunnya agar
mereka berdua sama-sama bisa bertahan hidup dengan
memanfaatkan kelebihan maupun kekurangan satu sama lain.
3) Nilai Sosial Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam cerpen “Sayur
Bleketupuk” dapat dilihat pada karakter tokoh Dalbun dan
Parsih. Dalam cerita, Dalbun diposisikan sebagai seorang
suami dan juga bapak dari keluarga kecilnya. Sebagai kepala
rumah tangga, ia memiliki tanggung jawab untuk
memberikan nafkah dan juga membahagiakan semua anggota
keluarganya, sedangkan Parsih, istrinya, yang bertanggung
jawab dalam mengelola keuangan keluarga.
Dalbun dan Parsih menunjukkan rasa tanggung jawab
mereka sebagai orang tua untuk merawat dan membesarkan
anak-anak mereka dengan baik. Meski hidup pas-pasan dari
hasil nguli batu, Dalbun dan Parsih tetap berusaha untuk
138
Ibid.
92
memenuhi keinginan anak-anak mereka, yakni naik jaran
undar atau kuda putar di lapangan desa.
Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.
Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat
riang. Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran
undar atau kuda putar di lapangan desa. Itu janji Parsih
dan suaminya kepada Darto dan Darti; janji yang
sungguh-sungguh.139
Parsih tidak punya uang buat sewa jaran undar sebelum
suaminya pulang. uang itu pun hanya akan singgah
sebentar di tangan, karena besoknya Parsih harus
melunasi utangnya di warung.140
Selanjutnya, dipertegas dengan kutipan dialog Parsih
yang merasa malu jika ia harus menyalahi janji kepada Darto
dan Darti. Hal itu merupakan nilai kebaikan yang seharusnya
dimiliki oleh setiap orang di zaman sekarang, bukan hanya
Parsih di dalam cerpen ini. Menyalahi janji merupakan
sesuatu yang tidak baik untuk dilakukan karena itu bisa
menyebabkan orang lain kecewa dan tidak lagi mempercayai
kita.
Bagaimana bila suamiku tidak pulang? pikir Parsih.
Apakah Darto dan Darti tidak jadi naik jaran undar?
Sungguh kasian mereka. Teman-teman akan mengolok
mereka sebagai anak sial karena tidak pernah naik jaran
undar. Lagi pula mau dikemanakan mukaku ini bila
ternyata aku terpaksa menyalahi janji terhadap anak-
anak?141
Nilai tanggung jawab juga terdapat dalam cerpen
“Daruan”. Hal tersebut dapat dilihat pada karakter tokoh
Daruan sendiri. Dalam cerita, Daruan diposisikan sebagai
suami sekaligus ayah dalam sebuah keluarga. Meskipun
139
Ibid., h. 99 140
Ibid., h. 100 141
Ibid., h. 101
93
sudah dua tahun ia menganggur dan segala kebutuhan
keluarganya ditanggung oleh istrinya.
Sudah sekian lama Daruan tersiksa oleh
ketidakmampuan memberi nafkah kepada istri dan
anaknya. Sebaliknya, Daruan malah sudah sekian lama
hidup menjadi tanggungan istrinya yang membuka
warung di depan rumah. Keadaan yang melemahkan
kebanggaannya sebagai lelaki itu ingin secepatnya
diakhiri, dan honor novel yang sudah terbit adalah
kemungkinan yang paling dekat untuk diraih.142
Daruan tetap berusaha untuk dapat menafkahi
keluarganya dengan cara menjadi novelis. Sebagai laki-laki
dan kepala rumah tangga, ia merasa memiliki tanggung jawab
dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dengan begitu, ia tidak akan merasa kehilangan
kebanggaannya.
4) Nilai Sosial Kasih Sayang
Memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua kepada
anak-anaknya tentu dilakukan karena adanya rasa kasih
sayang terhadap mereka. Hal itu dapat ditunjukkan melalui
sikap Parsih dan Dalbun pada kedua anak mereka, yakni
Darto dan Darti dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”. Melalui
tokoh Parsih, hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Parsih gelisah. Wajahnya hampir gagal
menyembunyikan rasa cemas. “Kita akan berangkat
bersama ayahmu. Jadi tunggu sampai ayahmu
pulang”.143
Rasa kasih sayang tersebut ditunjukkan melalui sikap
Parsih yang memilih untuk menyembunyikan kegelisahannya
di depan Darto dan Darti agar mereka tidak tahu masalah apa
142
Ibid., h. 42 143
Ibid.
94
yang sebenarnya sedang terjadi. Parsih juga berusaha
meyakinkan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan
berangkat naik jaran undar setelah ayah mereka pulang. Hal
tersebut dilakukan Parsih agar kedua anaknya tidak merasa
sedih dan kecewa karena orang tua mereka hari itu belum
bisa menepati janjinya. Parsih sungguh tidak tega jika harus
menyalahi janji kepada anak-anaknya. Tentu, tidak ada ibu di
dunia ini yang ingin melihat buah hatinya sedih dan kecewa,
terlebih karena kesalahan orang tuanya sendiri.
Sejatinya orang tua hanya ingin melihat anak-anaknya
hidup bahagia. Untuk itu, dia pun mengambil keputusan
untuk membuat sayur bleketupuk dan menyajikannya kepada
anak-anaknya. Rasa kasih sayang juga nampak saat Parsih
menggendong Darto dan Darti yang tertidur lelap di rumah
Bu RT setelah makan sayur bleketupuk yang dibuatnya. Hal
tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut.
Dia kemudian minta tolong Bu RT menaikkan Darti ke
punggungnya. Anak itu tetap terlelap, tersampir di
punggung Parsih yang berjalan terbungkuk-bungkuk.144
Rasa kasih sayang yang tulus itu akan memicu lahirnya
rasa perhatian dan peduli terhadap sesama. Dalbun tahu,
Darto dan Darti sudah tidak sabar dan senang sekali karena
akan naik jaran undar hari itu. Akan tetapi, sesampainya di
rumah, ia justru mendapati anak-anaknya sudah tertidur lelap
di ranjang. Dalbun tampak sangat khawatir, ia takut kalau
anak-anaknya sakit.
Dalbun khawatir kedua anaknya sakit. “Mereka kena
apa? Tidak sakit, kan?” tanya Dalbun dengan suara
cemas.145
144
Ibid., h. 103 145
Ibid., h. 104
95
Dalbun semakin menunjukkan rasa kasih sayangnya
kepada Darto dan Darti saat ia merasa kecewa dan sedih
melihat anak-anaknya tidak jadi naik jaran undar, ia juga
tidak tega jika harus membangunkan mereka yang sedang
tertidur lelap seperti nampak dalam kutipan berikut.
Dalbun menunduk dan melepaskan napas panjang. Dia
pun merasa tidak tega membangunkan kedua anaknya
yang begitu lelap tidur.146
5) Nilai Sosial Kepercayaan
Selanjutnya, dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” juga
terdapat nilai kepercayaan yang tercermin pada tokoh
Dalbun. Dalbun sangat percaya terhadap istrinya, Parsih. Ia
percaya bahwa Parsih mampu mengelola dan
mempergunakan semua uang gaji yang ia berikan dengan
baik. Dengan rasa percaya tersebut lah, suatu hubungan atau
keluarga dapat berdiri kokoh. Akan tetapi, dalam cerpen ini,
tokoh Parsih justru sempat ragu dengan kepercayaan pada
suaminya.
Awalnya, ia memang percaya bahwa suaminya selama
ini tidak berbuat yang aneh-aneh atau mengkhianatinya.
Namun, di tengah cerita, Parsih mulai berpikiran negatif dan
mempunyai prasangka yang buruk pada suaminya.
Sebelum terlihat oleh istrinya, Dalbun sudah
mengeluarkan uang gajinya dari saku. Akan segera
diberikan semua kepada Parsih.147
Tapi ke mana Dalbun? Ini di luar kebiasaannya.
Matahari sudah hampir tenggelam. Sambil mengigit bibir
Parsih masuk kembali ke rumah. Dan pikirannya terbang
ke mana-mana.148
146
Ibid. 147
Ibid. 148
Ibid., h. 100
96
Apakah Dalbun sedang kerja lembur dan ditemani
perempuan penjual kue-kue? Dada Parsih terasa
menyesak. Tapi dia masih percaya kepada Dalbun.
Sampai Darto dan Darti masuk sekolah dasar, suaminya
lurus-lurus saja. Namun Parsih juga ingat, wis sajege
wong lanang gedhe gorohe—bahwa sudah jadi
kebiasaan lelaki besar bohongnya.149
Kalimat dalam bahasa Jawa pada kutipan di atas—wis
sajege wong lanang gedhe gorohe—merupakan kalimat
stereotip. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif atau
negatif yang dipegang oleh suatu kelompok sosial tertentu.
Setelah munculnya stereotip maka akan muncullah
prejudice/prasangka yang merupakan sikap negatif yang
tidak dapat dibenarkan oleh anggota kelompok tersebut.
Prasangka tersebut dapat berupa perasaan tidak suka, marah,
curiga, dan bahkan kebencian.
Kaitannya dengan prasangka tokoh Parsih ialah Parsih
yang awalnya percaya saja dengan suaminya, Dalbun. Setelah
ingat kalimat pepatah stereotip itu menjadi kepikiran dan
seketika menaruh curiga pada suaminya. Kalimat itu
mengandung makna bahwasanya laki-laki Jawa atau semua
laki-laki dari sananya (ciptaanNya) mempunyai kebiasaan
besar bohongnya.
6) Nilai Sosial Toleransi
Nilai toleransi yang terdapat dalam cerpen “Sayur
Bleketupuk” tercermin pada sikap Bu RT yang membolehkan
dan membiarkan tetangganya atau warganya menonton
televisi setiap sebelum magrib di rumahnya. Toleransi
berasal dari kata “toleran”, yang memiliki arti bersifat atau
149
Ibid., h. 101
97
bersikap menenggang pendirian yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.
Biasanya orang mungkin risih jika setiap sore ada
tetangganya yang datang ke rumah hanya untuk menonton
televisi. Akan tetapi, sikap Bu RT di dalam cerpen ini
menunjukkan hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang
ada di masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan
berikut.
Selesai makan kedua anak itu lari keluar. Mereka biasa
numpang nonton televisi di rumah Pak RT sebelum
magrib.150
Rasa toleransi di lingkungan masyarakat desa memang
masih ada dibandingkan dengan masyarakat di kota. Bu RT
yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di
lingkungannya tetap membaur dan dekat dengan warganya.
Ia nampak toleran dan peduli dengan keadaan warganya,
yakni kepada keluarga Parsih yang memiliki kekurangan dari
segi materi.
Bu RT juga menaruh perhatian kepada keluarga Parsih
sebagai warganya. Ia juga khawatir jika Darto dan Darti
sakit, seperti dalam kutipan berikut.
“Mereka tidak sakit, kan?”.151
7) Nilai Sosial Tolong-Menolong
Nilai tolong-menolong terdapat di dalam cerpen
“Daruan”, yang ditunjukkan oleh tokoh Muji kepada tokoh
Daruan. Dikisahkan Muji yang nekat menjadi penerbit novel
Daruan, walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak
berpengalaman.
150
Ibid., h. 102 151
Ibid., h. 103
98
Selanjutnya Muji bilang bahwa risiko yang dipikulnya
tidak ringan, karena dia belum berpengalaman dan
terutama karena tidak punya jaringan pemasaran.152
Muji juga membantu pemasaran novel Daruan sesuai
dengan kemampuannya. Tidak hanya sampai di situ, saat
Daruan mengunjungi rumahnya hendak meminta honor
novelnya, Muji yang mengerti keadaan Daruan saat itu
menolong kembali sahabatnya itu dengan memberikan
ongkos pulang sekaligus uang jajan untuk anak-anak Daruan.
“Kebetulan aku punya uang sedikit. Pakailah untuk
ongkos pulang dan sisanya buat jajan anak.”
Muji menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan dan satu
lembar lima ribuan.153
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah mencakup tiga genre
sastra, yakni prosa, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya
disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas
reseptif peserta didik. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan
menulis bagi peserta didik, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal
itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.154
Akan tetapi, sejauh ini fokus
pengkajian terhadap genre-genre sastra tersebut lebih banyak terfokus pada
struktur atau unsur-unsur pembangunnya saja. Padahal bila dikaji secara
mendalam dapat ditemukan nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya,
misalnya, nilai-nilai sosial yang terefleksi dalam sebuah cerpen.
Pada umumnya, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki materi
pelajaran tentang apresiasi sastra. Tujuan dari pembelajaran apresiasi sastra
tersebut adalah untuk memperkenalkan dan melibatkan peserta didik dalam
mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam hal ini,
152
Ibid., h. 42 153
Ibid., h. 46 154
Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
h. 76
99
peserta didik diajak untuk menghayati gambaran peristiwa yang terdapat di
dalam karya sastra tersebut. Pembelajaran ini juga bertujuan untuk
mengembangkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai yang terkandung
dalam karya sastra dan menumbuhkan keterampilan serta rasa cinta terhadap
bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari warisan leluhur.
Pembahasan mengenai cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan “Daruan” ini berkaitan dengan pembelajaran sastra di
sekolah, tepatnya di kelas XI SMA, yang terdapat di dalam kurikulum 2013
dengan kompetensi dasar sebagai berikut: Menunjukkan perilaku jujur,
peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia
untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks cerpen serta memahami
struktur dan kaidah teks cerpen, baik melalui lisan maupun tulisan.
Analisis terhadap struktur cerpen dapat dijadikan sebagai bahan ajar
untuk kompetensi dasar yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman,
dan penyajian analisisnya. Pengetahuan dan pemahaman tersebut yakni
mengenai struktur cerpen dan analisisnya secara mendalam. Melalui analisis
tersebut, peserta didik diarahkan untuk membaca dengan teliti agar dapat
menemukan unsur-unsur pembangun cerpen dengan mudah. Peserta didik
juga harus berpikir kritis ketika menganalisis nilai-nilai yang terkandung
dalam cerpen. Setelah itu, peserta didik diminta untuk menghubungkan setiap
unsur-unsur pembangun cerita tersebut dan menyusunnya ke dalam bentuk
tulisan.
Keterkaitan penelitian ini dengan pengajaran sastra di sekolah adalah
guru perlu memahami tujuan pengajaran sastra dan mengarahkannya pada
aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(keterampilan). Aspek kognitif dalam pembelajaran sastra di sekolah
ditunjukkan melalui respon yang diberikan oleh peserta didik dalam bentuk
pemahaman setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya, guru menilai
pemahaman peserta didik dengan cara mengetahui pengetahuan yang
diperoleh setelah membaca karya sastra tersebut.
100
Aspek afektif dalam pembelajaran sastra di sekolah terkait dengan
perubahan sikap peserta didik setelah membaca sebuah karya sastra. Dalam
hal ini, guru harus memperhatikan dan mengamati peserta didik: Apakah
peserta didik merasa antusias saat membaca karya sastra tersebut atau tidak;
Apakah peserta didik mengalami perubahan sikap setelah membaca karya
sastra tersebut atau tidak. Terakhir, aspek psikomotorik, terkait dengan
keterampilan peserta didik setelah diberikan pengetahuan mengenai struktur
pembangun karya sastra dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Diharapkan setelah itu semua, peserta didik dapat mengapresiasi,
menganalisis, dan juga memproduksi karya sastra sendiri sebagai outcome
dalam pengajaran sastra di sekolah.
Lewat cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan
“Daruan” karya Ahmad Tohari ini, peserta didik diharapkan memiliki
pengetahuan mengenai nilai sosial dan mampu mengembangkan rasa
kepekaan terhadap nilai sosial serta mampu menumbuhkan kreativitas dan
minat untuk belajar sastra. Nilai sosial dari kedua cerpen ini sangat penting
untuk diteladani peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai
sosial tersebut, yakni nilai tanggung jawab yang dimiliki oleh tokoh Dalbun
dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki tanggung jawabnya masing-
masing. Seorang ayah bertanggung jawab memberikan nafkah kepada
keluarganya. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dalbun untuk
keluarga kecilnya. Meskipun hasil dari jerih payahnya bekerja sebagai kuli
batu di sebuah proyek pembangunan jembatan hanya sedikit dan pas-pasan,
tetapi ia sudah memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Nilai
tanggung jawab ini penting untuk menyadarkan para peserta didik tentang
tanggung jawab mereka, sebagai manusia kepada Tuhannya, murid kepada
gurunya, dan anak kepada orang tuanya.
101
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap cerpen “Mata yang
Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari,
maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penderitaan merupakan tema yang diangkat dari ketiga cerpen
tersebut. Isi cerita ketiga cerpen ini menggambarkan kehidupan
masyarakat kelas bawah dengan segala lika-likunya, yang
mengakibatkan timbulnya penderitaan pada para tokoh ceritanya. Alur
yang digunakan ketiga cerpen tersebut adalah alur maju. Tokoh utama
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah Mirta dan Tarsa.
Tokoh utama dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” adalah Parsih dan
tokoh utama dalam cerpen “Daruan” adalah Daruan. Tokoh tambahan
dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” tidak ada, sedangkan
dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” adalah tokoh Dalbun, Darto, Darti,
dan ibu RT. Dalam cerpen “Daruan” tokoh tambahannya adalah Muji,
lelaki tua, dan pedagang asongan. Latar tempat dan latar waktu yang
digunakan dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah di
stasiun kereta api pukul satu siang, sedangkan dalam cerpen “Sayur
Bleketupuk” bertempat di sebuah pedesaan yang mayoritas
penduduknya adalah kalangan kelas bawah, latar waktunya hari Sabtu
pukul lima sore sampai pukul tujuh malam. Dalam cerpen “Daruan”,
latar tempatnya ada di musala dekat stasiun, di rumah Muji, dan di
dalam gerbong kereta api. Latar waktunya jam 5 pagi, jam setengah 7
pagi, dan siang hari. Sudut pandang yang digunakan ketiga cerpen ini
adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Gaya bahasa yang
digunakan Ahmad Tohari dalam ketiga cerpen tersebut, yakni majas
perumpamaan, metafora, personifikasi, hiperbola, klimaks, sarkasme,
102
dan epizeukis. Majas yang dominan digunakan dalam tiga cerpen
tersebut adalah majas perumpamaan dan majas hiperbola.
2. Aspek-aspek nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,
“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari diambil
berdasarkan kehidupan yang dialami oleh para tokoh dalam ceritanya.
Aspek-aspek tersebut, yakni nilai materiil, nilai vital, dan nilai
kerohanian. Nilai kerohanian dibagi lagi menjadi empat, yakni nilai
kebenaran, nilai estetika, nilai kebaikan, dan nilai religius. Akan
tetapi, hanya terdapat nilai kebenaran dan nilai kebaikan di dalam
ketiga cerpen ini. Nilai sosial termasuk ke dalam nilai kebaikan.
Adapun nilai sosial tersebut ialah nilai sosial kebersamaan, nilai sosial
kerja sama, nilai sosial tanggung jawab, nilai sosial kasih sayang, nilai
sosial kepercayaan, nilai sosial toleransi, dan nilai sosial tolong-
menolong.
3. Pembahasan mengenai cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari ini berkaitan dengan
pengajaran sastra di sekolah, khususnya di SMA, yang terdapat di
dalam kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar, yakni menunjukkan
perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan
bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks
cerpen serta memahami struktur dan kaidah teks cerpen, baik melalui
lisan maupun tulisan.
B. Saran
Peneliti menyarankan cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur
Bleketupuk”, dan “Daruan” sebagai bahan ajar dalam materi menganalisis
karya sastra, khususnya cerpen, di sekolah karena ketiga cerpen ini
menggambarkan kehidupan masyarakat kelas bawah yang selalu diliputi
dengan penderitaan yang dapat dijadikan renungan bagi peserta didik untuk
lebih peka pada kondisi masyarakat di sekitar mereka. Selain itu, ketiga
cerpen ini juga mengandung nilai-nilai sosial yang perlu diapresiasi dan
103
diaplikasikan secara kontinu oleh pendidik dan peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. SOSIOLOGI Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012.
Abshar, Ulil. “Pengemis dan Shalawat Badar: Hubungan antara Pengarang,
Media, dan Karya”. Jurnal Dialektika, Vol. 3, No. 2, 2016.
Astuti, Rr. Dwi. “Nilai Sosial dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya
Ananta Toer”.Jurnal Pesona, Vol. 2, No. 1, 2016.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
B.S., Abdul Wachid. Membaca Makna (dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri).
Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2005.
Damono, Sapardi Djoko. “Sastra di Sekolah”. Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya.
Vol. 3, 2007.
------. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editem, 2013.
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2004.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress,
2008.
------. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop, 2011.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2001.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013.
Halim Santoso. “Segarnya Limun Oriental”, diunduh dari
https://jejakbocahilang.wordpress.com/2017/08/16/limun-oriental-
pekalongan/ pada 10 April 2019 pukul 17.25 WIB
Herimanto dan Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2011.
Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya,
2003.
K. S., Yudiono. AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo,
2003.
Kurniawan, Heru. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2009.
Mahayana, Maman S. Ektrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Mustari, Mohamad. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2011.
Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
Pradopo, Sri Widati, dkk. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang.
Jakarta: Depdikbud, 1988.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedia Sastra Indonesia
Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pustaka, 2010.
Saputra, Wahyu, dkk. “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya
Pramoedya Ananta Toer”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Vol. 1, No. 1, 2012.
Sehandi, Yohanes. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak, 2014.
Setiadi, Elly M., dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008.
Sukada, Made. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa, 2013.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 2009.
Tohari, Ahmad. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Wahyudi, Ibnu. “Menyiasati Kurikulum dan Pelajaran Sastra Indonesia di
Sekolah: Kiat untuk Mahfum dan Berbenah”. Jurnal Ilmu Sastra dan
Budaya. Vol. 3, 2007.
Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
RIWAYAT PENULIS
PUTRI CHINTIYA AWLIYA RAHMI lahir di Bekasi,
12 November 1992. Menuntaskan pendidikan Sekolah
Dasar (SD) pada tahun 2004 di SDN Mekarsari 01
Tambun Selatan. Kemudian, melanjutkan ke jenjang
Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri (SMPN) 1
Tambun Selatan pada tahun 2007. Setelah itu, melanjutkan
ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMK Negeri 2 Cikarang Barat
dengan mengambil jurusan Administrasi Perkantoran. Setelah sekolah wajibnya
selesai, ia melanjutkan kembali pendidikannya ke UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012 dan mengambil konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.