132
NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Putri Chintiya Awliya Rahmi NIM 1112013000071 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPEN

MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Putri Chintiya Awliya Rahmi

NIM 1112013000071

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

Page 2: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 3: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 4: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 5: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 6: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

i

ABSTRAK

Putri Chintiya Awliya Rahmi. 1112013000071. “Nilai Sosial dalam Antologi

Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya

terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai sosial dalam cerpen

“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” dalam antologi

cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan

disiplin ilmu sastra dan sosiologi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

ditemukan aspek-aspek nilai sosial yang terdapat dalam ketiga cerpen. Aspek-

aspek tersebut, yakni nilai materiil, nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai

kerohanian dibagi lagi menjadi empat, yakni nilai kebenaran, nilai estetika, nilai

kebaikan, dan nilai religius. Akan tetapi, hanya terdapat nilai kebenaran dan nilai

kebaikan di dalam ketiga cerpen. Nilai sosial termasuk ke dalam nilai kebaikan.

Adapun nilai sosial tersebut ialah nilai sosial kebersamaan, nilai sosial kerja sama,

nilai sosial tanggung jawab, nilai sosial kasih sayang, nilai sosial kepercayaan,

nilai sosial toleransi, dan nilai tolong-menolong. Nilai-nilai sosial tersebut diambil

berdasarkan kehidupan yang dialami oleh para tokoh dalam ceritanya.

Kata kunci: nilai, sosial, cerpen, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari

Page 7: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

ii

ABSTRACT

Putri Chintiya Awliya Rahmi. 1112013000071. “Social Values in the Anthology of

the Short Story Mata yang Enak Dipandang of Ahmad Tohari's Work and Its

Implications for Literary Learning in Schools.” Education Department of

Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State

Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.

Hum.

This study aims to describe the social values in the short stories "Mata

yang Enak Dipandang", "Sayur Bleketupuk", and “Daruan” in the anthology of

Mata yang Enak Dipandang by Ahmad Tohari. The method used in this study is

descriptive qualitative using the approach of literature and sociology. Based on

the research that has been done found aspects of social values contained in the

three short stories. These aspects, namely material values, vital values, and

spiritual values. Spiritual values are divided into four, namely the value of truth,

aesthetic values, good values, and religious values. However, there are only truth

values and good values in both short stories. Social value is included in the value

of goodness. The social values are social values of togetherness, social values of

cooperation, social values of responsibility, social values of affection, social

values of trust, social values of tolerance, and values of help. These social values

are taken based on the life experienced by the characters in the story.

Keywords: values, social, short stories, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad

Tohari

Page 8: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan taufik

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan

penelitian ini. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi besar kita,

Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan revolusioner dunia, juga pada

para sahabat dan pengikutnya.

Skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang

Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA” adalah disusun untuk memenuhi syarat-syarat

mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit

kesulitan yang menghambat penulis untuk dapat menyelesaikannya. Namun,

berkat doa, kerja keras, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia.

3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah

memberikan bimbingan dan support-nya pada penulis sehingga penulis

yakin bahwa penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen penasihat akademik Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

5. Orangtua penulis, yakni Mukti Ali, S. Pd. dan Yayu Wahyudah, yang

senantiasa mendoakan dan memberikan semangat serta nasihat kepada

penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

6. Suami tercinta, Mas Sahirin, yang tiada henti mengingatkan dan

memberikan semangat kepada penulis serta selalu menemani dan

Page 9: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

iv

mengantar penulis dalam mencari referensi yang terkait dengan penelitian

ini.

7. Anakku tersayang, Muhammad Saif Maulid Abbasy, yang sejak di dalam

kandungan dan hingga saat ini sudah berumur 6 bulan. Terima kasih sudah

hadir di dalam kehidupan bunda, melengkapi hidup bunda, terutama

menjadi penghibur ketika rasa lelah itu datang.

8. Abang tersayang, Johan Aristya Lesmana, teman-teman PBSI angkatan

2012, dan juga adik-adik kelas, yang senantiasa membantu dalam

memberikan informasi kepada penulis serta meminjamkan buku-buku

sebagai penunjang lancarnya penelitian ini.

9. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu

pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

10. Sahabat-sahabatku, BFF, terutama Onye (Siti Rohhima Lina) yang selalu

memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman seperjuanganku, Ika Farhana dan Indah Dwi Wahyuni, yang tidak

henti-hentinya memberikan semangat dan nasihat serta membantu penulis

dalam mencari referensi yang berkaitan dengan penelitian ini.

12. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah

memberikan kemudahan kepada peneliti dalam memperoleh bahan

ataupun informasi.

Demikian pengantar dari penulis. Penulis mendoakan agar segala bantuan

dari berbagai pihak di atas dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat

ganda. Aamiin.

Jakarta, 26 April 2019

Penulis

Putri Chintiya Awliya Rahmi

Page 10: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................... i

ABSTRACT ...................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................... 5

C. Pembatasan Masalah .................................................................. 5

D. Perumusan Masalah ................................................................... 6

E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6

F. Kegunaan Penelitian .................................................................. 7

G. Metode Penelitian ...................................................................... 7

BAB II KAJIAN TEORI

A. Hakikat Cerita Pendek .............................................................. 11

1. Hakikat Cerpen ...........………........................................... 11

2. Unsur-unsur Cerpen ........................................................... 12

B. Hakikat Sosiologi Sastra .......................................................... 25

C. Hakikat Nilai Sosial .................................................................. 29

1. Hakikat Nilai ...................................................................... 29

2. Hakikat Sosial .................................................................... 31

3. Hakikat Nilai Sosial ........................................................... 32

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................ 35

E. Penelitian Relevan .................................................................... 37

BAB III PROFIL AHMAD TOHARI

A. Biografi Ahmad Tohari ............................................................ 41

B. Pemikiran-pemikiran Ahmad Tohari ....................................... 44

Page 11: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

vi

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Antologi Cerpen “Mata yang

Enak Dipandang” Karya Ahmad Tohari .................................. 47

1. Tema .................................................................................. 47

2. Tokoh dan Penokohan ....................................................... 50

3. Alur .................................................................................... 63

4. Latar (setting) .................................................................... 68

5. Sudut Pandang ................................................................... 74

6. Gaya Bahasa ...................................................................... 74

B. Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang Enak

Dipandang Karya Ahmad Tohari ............................................. 80

1. Nilai Materiil ..................................................................... 81

2. Nilai Vital .......................................................................... 83

3. Nilai Kerohanian ............................................................... 87

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA …................. 98

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................. 101

B. Saran ......................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS

Page 12: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Rencana Perencanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 2 : Lembar Uji Referensi

Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi

Page 13: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang

mengekspresikan pikiran, ide, atau gagasan mengenai hakikat kehidupan

yang dituliskan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan emosional.

Sebagai karya yang imajinatif dan menghibur, sastra juga dapat menambah

pengalaman batin bagi pembacanya. Seperti yang dikemukakan oleh Horatius

dengan istilah dulce et utile, karya sastra yang baik adalah yang memiliki

fungsi ganda, yaitu menghibur sekaligus memberikan manfaat bagi

pembacanya.

Cerpen sebagai karya sastra tentu diharapkan juga dapat memberikan

nilai-nilai positif kepada pembacanya sehingga para pembaca terbuka

pikirannya untuk melihat fenomena yang terdapat di lingkungan sekitarnya

yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan sosial orang-orang kecil.

Hadirnya cerpen diharapkan mampu menyadarkan manusia untuk lebih peka

dan peduli terhadap manusia lainnya, maka dengan begitu itu akan menjadi

bahan perenungan bagi para pembaca dalam memahami hakikat manusia

sejati yang diinginkan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini. Cerpen juga

mengungkapkan fenomena sosial dalam aspek-aspek kehidupan. Fenomena

sosial inilah yang kemudian diangkat ke dalam suatu karya sastra, khususnya

cerpen. Selain karena ceritanya yang pendek dan mudah dipahami, eksistensi

pengarang cerpen yang sangat kreatif tentunya akan membuat keberadaan

cerpen ini semakin banyak digemari oleh khalayak umum.

Berkembang pesatnya penciptaan cerpen sejalan dengan maraknya

penerbitan koran dan majalah umum yang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga

di kota-kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya,

Malang, Makassar, Medan, dan Padang. Hampir semua penerbit itu

menyediakan rubrik sastra dan budaya yang setiap minggu menampilkan

sajak, cerpen, kritik, esai, dan cerita bersambung. Perkembangan cerpen

Page 14: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

2

semarak sejak tahun 1950-an walaupun pada pertumbuhan sastra Indonesia

cerpen sudah mulai muncul di berbagai media massa.1

Saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam hal

dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan

berbagai gaya dan tema.2 Sebagai salah satu bahan bacaan yang banyak

digemari oleh pembaca dari segala umur, saat ini, cerpen yang beredar

tentunya semakin beragam. Oleh karena itu, sebagai calon guru Bahasa dan

Sastra Indonesia, sebaiknya tidak hanya memperhatikan unsur

kemenarikannya saja dari cerpen, tetapi juga menyesuaikan dengan tingkat

perkembangan peserta didik dan berikan cerpen-cerpen yang sarat dengan

muatan edukatif dan sosial.

Cerpen-cerpen yang dianggap mengandung nilai-nilai sosial, terdapat

dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.

Kumpulan cerpen ini banyak mengandung nilai-nilai keteladanan sehingga

dapat dijadikan panutan atau rujukan bagi pembaca. Antologi cerpen Mata

yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini dipilih untuk dikaji oleh

peneliti karena memiliki beberapa kelebihan, baik dari segi isi, bahasa,

maupun gaya penceritaannya. Dilihat dari segi isinya, cerpen-cerpen dalam

antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini banyak

mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat pedesaan, masalah-masalah

sosial orang-orang kecil, kerinduan akan perlindungan-Nya, serta cinta dan

kasih sayang manusia terhadap sesamanya.

Ketika pertama kali membaca judul Mata yang Enak Dipandang

(2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam

tradisi kesastraan Ahmad Tohari. Tradisi Tohari dalam memberi judul pada

karya sastranya lazim menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan

tempat, profesi, hingga sapaan bagi pekerjaan tertentu yang menimbulkan

multimakna. Sebutlah novel Kubah (1981), Di Kaki Bukit Cibalak (1986),

1 Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah, 2011), h. 7 2 Ibnu Wahyudi, “Menyiasati Kurikulum dan Pelajaran Sastra Indonesia di Sekolah: Kiat untuk

Mahfum dan Berbenah”, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol. 3, 2007, h. 24

Page 15: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

3

trilogi novel Rongggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak (1981), Lintang

Kemukus Dini Hari (1982), Jentera Bianglala (1986), Bekisar Merah (1993),

Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), Orang-Orang Proyek

(2002), hingga kumpulan cerpen Senyum Karyamin (2006).

Judul-judul itu akan membawa pembaca pada konotasi akan referensi

atau objek tertentu. Tidak demikian halnya pada kumpulan cerpen Mata yang

Enak Dipandang. Paling tidak, akan timbul kesan bahwa judul itu bersifat

vulgar dan Tohari mengalami perubahan konsep estetik dalam karya sastra,

yakni menuju ke tema populer. Dalam hal ini berkaitan dengan mata seorang

perempuan cantik yang indah, misalnya. Namun, pembaca akan terkejut

begitu membaca cerpen itu hingga selesai. Ternyata, Mata yang Enak

Dipandang itu adalah mata orang yang suka memberi/berderma kepada

pengemis. Jadi, judul itu justru merupakan nilai lebih Tohari karena memberi

efek kejutan dalam karya sastranya yang sering dikenal dalam dunia sastra

sebagai defamiliarisasi. Lebih dari itu, judul tersebut juga mengandung aspek

provokasi yang mampu membuat pembaca penasaran dan timbul rasa ingin

tahu untuk membaca lebih lanjut cerpen-cerpen lainnya.

Daya tarik kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dan karya-

karya Tohari yang lain adalah jiwa populisnya. Pada RDP misalnya, Tohari

sebagai sastrawan populis dan egalitarian, membincangkan potret buram

kemanusiaan yang senantiasa akan mengusik kesadaran kita mengenai hak

asasi manusia, makna demokrasi, cinta kasih, kemanusiaan, resistensi kaum

perempuan, dan nilai-nilai luhur kehidupan. Kepeduliannya kepada masalah-

masalah subkultur atau budaya daerah dengan kearifan lokalnya (local

wisdom), sisi kemanusiaan dan pembelaannya kepada wong cilik menjadi

penciri karya-karya Tohari.

Karya-karya Tohari juga memiliki kekhasan dan keunggulannya

sendiri. Penggambaran latar alam pedesaan merupakan salah satu kelebihan

atau keunggulan yang dimiliki olehnya. Deskripsi alam pedesaan dalam

setiap karya-karyanya mampu membawa para pembaca yang mungkin tidak

begitu dekat dengan suasana pedesaan menjadi seakan-akan dibawa langsung

Page 16: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

4

mengelilingi pedesaan melalui karya-karyanya. Dick Hartoko

mengungkapkan bahwa, “Ahmad Tohari itu orang Jawa yang menjadikan

alam desa sebagai guru yang arif dan bijaksana”. Melalui gaya bahasa yang

komunikatif dan estetik, Tohari mampu memukau pembacanya dengan

pemilihan-pemilihan diksi yang tepat.

“Ketidakpastian” masa depan yang dialami oleh para tokoh dalam

karya-karyanya juga merupakan keistimewaan gaya penceritaan Tohari.

“Ketidakpastian” itu yang mendorong para pembaca untuk menentukan

sendiri klimaks dari setiap cerita. Hal itu juga yang mendorong para pembaca

semakin suka dan sangat menikmati karya-karya Tohari karena dianggap

mampu mengembangkan daya imajinasi. Itulah alasan kenapa antologi cerpen

Mata yang Enak Dipandang ini penting untuk dibahas.

Pentingnya mengkaji nilai sosial dalam cerpen ialah karena sesuai

dengan fungsi sastra, yakni untuk merangsang pembaca agar mengenali,

menghayati, menganalisis, merumuskan, dan menerapkan nilai-nilai

kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Secara perlahan, nilai-nilai sosial

tersebut akan terjaga dan terus berkembang dalam diri pembaca. Pada

akhirnya, nilai-nilai sosial itu akan menjadi motivasi dan stabilitas

kepribadian serta perilakunya. Nilai-nilai sosial sangat dijunjung tinggi

karena sebagai patokan bagi masyarakat untuk berbuat atau bersosialisasi

dengan sesama manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapardi Djoko

Damono yang menyatakan bahwa dalam karya sastra tersimpan kekayaan

rohani bangsa; di dalamnya pengalaman dan penghayatan penghidupan tidak

hanya terekam, tetapi juga sekaligus ditanggapi dan dinilai untuk

dipertimbangkan kembali.3

Antologi cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang ini banyak

mengandung nilai-nilai sosial yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan

bagi para pembaca, terutama pendidik dan peserta didik. Hal ini diperlukan

agar peserta didik tidak hanya senang dengan karya sastra populer, tetapi

lebih jauh mereka juga dapat sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa suka

3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol. 3, 2007, h. 7

Page 17: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

5

terhadap karya sastra kanon. Tentunya hal itu dapat dimulai dari guru sebagai

pendidik yang menyajikan pembahasan sastra kanon itu dengan menarik agar

tidak terkesan membosankan bagi peserta didik.

Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji nilai-

nilai sosial yang terdapat dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang

karya Ahmad Tohari. Dari lima belas cerpen dalam antologi tersebut, akan

dipilih tiga cerpen saja dengan mengkaji nilai-nilai sosial yang terdapat di

dalamnya. Tiga cerpen tersebut berjudul “Mata yang Enak Dipandang”,

“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan”. Cerpen yang dinilai memiliki banyak

nilai sosial tentunya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan

membahas mengenai unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam

antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta

implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Berdasarkan latar belakang

masalah tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa masalah yang

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Perlunya pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan tingkat

perkembangan peserta didik serta sarat dengan muatan edukatif dan

sosial.

2. Kurangnya penetapan karya sastra kanon sebagai bahan rujukan dalam

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Belum adanya penelitian mengenai nilai-nilai sosial pada antologi

cerpen Mata yang Enak Dipandang.

C. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi masalah dalam tulisan ini, yaitu mengenai unsur-

unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam antologi cerpen Mata yang Enak

Dipandang karya Ahmad Tohari serta implikasinya dalam pembelajaran

Page 18: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

6

sastra di SMA. Alasan peneliti hanya memilih cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karena ketiga cerpen

tersebut mengandung nilai-nilai sosial yang baik untuk pembentukan karakter

peserta didik.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalahnya, yaitu

mengenai unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai sosial dalam antologi cerpen

Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta implikasinya dalam

pembelajaran sastra di SMA. Adapun rumusannya sebagai berikut:

1. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang

Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat

dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad

Tohari?

2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat dalam

antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari

sebagai materi pembelajaran sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memaparkan nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang

Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat

dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad

Tohari.

2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat dalam

antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari

sebagai materi pembelajaran sastra Indonesia di SMA.

Page 19: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

7

F. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah ilmu

pengetahuan, terutama dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia,

khususnya bagi pembaca dan pecinta sastra.

b. Sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya Bahasa dan

Sastra Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai

sosial.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

tambahan referensi dalam memilih bahan ajar.

b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan dalam mengapresiasi cerpen, khususnya memahami dan

mengamalkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Objek penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek yang

dikaji dalam penelitian ini ialah antologi cerpen Mata yang Enak

Dipandang. Antologi cerpen tersebut merupakan karya dari Ahmad

Tohari yang diterbitkan pada Maret 2015 oleh PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, Indonesia. Ini merupakan cetakan kedua. Antologi

cerpen ini berisi lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar

di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Namun, untuk

penelitian ini, peneliti hanya mengambil tiga cerpen saja, yakni cerpen

“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan”.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas sumber data primer

dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung

Page 20: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

8

dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat

berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil

observasi terhadap suatu benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil

pengujian. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu menggunakan sumber data dari cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang terdapat di

dalam antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad

Tohari yang diterbitkan pada Maret 2015.

Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh

secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat

oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau

laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan

dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu data-data yang diambil dari buku, jurnal,

kamus, ensiklopedia, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek

penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti ialah

menggunakan teknik pustaka, yaitu dengan menganalisis isi. Peneliti

membaca, memahami, kemudian mencatat pokok-pokok yang terdapat

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan

“Daruan” yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya sebagai berikut:

a. Membaca secara cermat dan memahami pesan yang terkandung

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”,

dan “Daruan” karya Ahmad Tohari.

b. Menentukan unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Mata

yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya

Ahmad Tohari.

Page 21: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

9

c. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya nilai-nilai sosial

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”,

dan “Daruan” karya Ahmad Tohari.

d. Menganalisis nilai-nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad

Tohari.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah:

1) Data dibaca

Peneliti melakukan pembacaan secara berulang-ulang hingga

memahami pesan yang terdapat dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad

Tohari.

2) Data ditandai

Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal penting

yang berhubungan langsung dengan rumusan masalah yang telah

dipilih, yakni mengenai unsur-unsur intrinsik cerpen dan nilai

sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad

Tohari.

3) Data dikelompokkan

Setelah melakukan penandaan, peneliti melakukan

pengelompokkan data berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya dan

nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad

Tohari.

4) Data dianalisis

Setelah melakukan pengelompokkan, peneliti menganalisis data

terkait nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad

Page 22: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

10

Tohari. Baru setelah itu, peneliti menjabarkan implikasinya

terhadap pembelajaran sastra di SMA.

Page 23: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Cerita Pendek

1. Hakikat Cerpen

Sebuah cerita fiksi yang hanya terdiri dari beberapa halaman, atau

sekitar seribuan kata, teks tersebut disebut sebagai cerpen. Cerpen tidak

mungkin berbicara secara panjang lebar tentang berbagai peristiwa,

tokoh, dan latar karena dibatasi oleh jumlah halaman. Namun, hal itu

justru membuat cerpen menjadi lebih kental sifat ke-unity-annya, lebih

memfokus karena lebih dimaksudkan untuk memberikan kesan tunggal.1

Suharianto menyatakan, bahwa cerita pendek adalah sebuah cerita prosa

yang pendek yang senantiasa hanya memusatkan perhatian pada tokoh

utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi dasar

atau tema cerita tersebut.2

Edgar Alan Poe mengungkapkan, bahwa salah satu ciri khas cerita

pendek adalah ia biasanya akan terbaca habis hanya dalam sekali duduk.

Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek,

ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan watak

pada diri tokoh. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena ia

lebih terfokus pada satu episode atau situasi tertentu saja daripada pada

rangkaian peristiwa.3

Lebih lanjut Suharianto menjelaskan bahwa predikat pendek

sebuah cerpen memang bukan mutlak ditentukan oleh sedikitnya jumlah

tokoh yang ditampilkan, tetapi terletak pada ruang lingkup permasalahan

yang ingin disampaikan pengarang lewat cerpennya itu.4 Sebuah cerpen

yang baik memiliki unsur-unsur intrinsik sebagaimana halnya dengan

1 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), Cet. 3, h.

287 2 Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 58

3 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 33

4 Sehandi, op. cit., h. 58

Page 24: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

12

karya sastra prosa lain, seperti (1) tema atau inti atau dasar cerita, (2)

tokoh atau perwatakan, (3) alur atau plot atau jalan cerita, (4) latar atau

setting, (5) teknik penceritaan atau pusat pengisahan, (5) diksi atau gaya

bahasa.5

2. Unsur-unsur Cerpen

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra dan pengarangnya

memiliki hubungan batin yang mesra. Hubungan batin yang

dimaksudkan di sini bukan saja dalam arti hubungan yang menjadi sebab

timbulnya karya sastra seorang pengarang, tetapi juga hubungan dalam

arti mencerminkan segi kejiwaan, segi pendidikan, pandangan sosial,

bahkan filsafat hidup dan pandangan keagamaannya.6 Ada dua unsur

yang membentuk karya sastra prosa, yakni unsur ekstrinsik dan unsur

intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mempengaruhi penciptaan

karya sastra dari luar, yang termasuk unsur ini adalah hal-hal yang

berkaitan dengan unsur sosiologi, ideologi, histori, politik, ekonomi,

kebudayaan, dan lain-lain.7

Unsur intrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra dari

dalam. Adapun unsur-unsur intrinsik itu adalah (1) tema atau inti atau

dasar cerita, (2) tokoh dan penokohan, (3) alur atau plot atau jalan cerita,

(4) latar atau setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa.8 Kejayaan

sebuah karya sastra, dengan demikian, ditentukan oleh keberhasilan

pengarang dalam mengolah unsur-unsur sastra itu.9 Berikut ini

merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam cerpen:

5 Ibid.

6 Made Sukada, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 53

7 Sehandi, op. cit., h. 54

8 Ibid., h. 55

9 Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2004), h. 23

Page 25: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

13

1) Tema

Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita.10

Bertolak

dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi

suatu bentuk yang lebih luas.11

Tema berperan sebagai pangkal

tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang

diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna

dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.12

Menurut Burhan Nurgiyantoro, tema merupakan dasar

pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh

bagian cerita.13

Tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah

makna, makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga

cerita itu hadir sebagai sebuah kesatuan yag padu.14

Sayuti

menyatakan bahwa dalam arti yang paling sederhana, tema adalah

makna cerita, gagasan sentral, atau dasar yang terdapat dalam

cerita.15

Secara singkat, Yelland mendefinisikan tema sebagai “the

central thought in a literary work16

”.17

Sebuah tema bisa tampak

jelas, bisa pula tersembunyi. Reader dan Woods menyatakan tema

sebagai “It can be the explicit statement or the implicit statement”.

Artinya, ia bisa secara sadar dikehendaki dan ditunjukkan dengan

cara sedemikian oleh pengarang, atau sebaliknya, ditemukan oleh

pembaca atau kritikus yang mungkin pengarang sendiri tidak

menyadarinya.18

10

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2012), h. 25 11

Sri Widati Pradopo, dkk., Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang, (Jakarta:

Depdikbud, 1988), Cet. 1, h. 42 12

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 161 13

Heru Kurniawan, Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga

Penulisan Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 75 14

Faruk, op. cit.,h. 80 15

Kurniawan. loc. cit. 16

Pikiran sentral dalam karya sastra; gagasan sentral dalam suatu karya sastra. Tema merupakan

gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. 17

Aziez, op. cit., h. 75 18

Ibid., h. 76

Page 26: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

14

Dalam buku Cerita Rekaan dan Seluk-beluknya, Frans Mido

menyatakan, tema adalah pokok permasalahan yang mendominasi

sebuah karya sastra prosa atau pokok pembicaraan yang mendasari

cerita.19

Sementara itu, Stanton menyatakan bahwa tema dalam

cerita ini berhubungan dengan makna pengalaman hidup.20

Hakikat

tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang

dalam menyusun cerita atau dengan kata lain, tema merupakan

pokok permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan

karyanya itu. Tema karya sastra prosa selalu ada tema dasar yang

dikemukakan pengarang, di samping tema pelengkap, tinggal

kejelian pembaca untuk menangkapnya.21

Lukens mengemukakan, bahwa secara sederhana tema dapat

dipahami sebagai gagasan yang mengikat cerita, mengikat berbagai

unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga tampil sebagai

sebuah kesatupaduan yang harmonis.22

Penemuan tema dalam

sebuah cerita kadang-kadang tidak semudah yang dibayangkan. Hal

itu disebabkan adakalanya tema diungkapkan secara eksplisit lewat

pernyataan (kalimat) yang mudah dikenali dan adakalanya pula

hanya diungkapkan secara implisit lewat keseluruhan cerita.23

Menurut Shipley, tema memiliki beberapa tingkatan di antaranya:

Pertama, tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada

kejiwaan); kedua, tema tingkat organik (menyangkut masalah

seksualitas); ketiga, tema tingkat sosial (manusia sebagai makhluk

sosial); keempat, tema tingkat egoik (manusia sebagai individu);

kelima, tema tingkat divine (masalah hubungan manusia dengan

sang pencipta).24

19

Sehandi, op. cit., h. 55 20

Kurniawan, op. cit., h. 75 21

Sehandi. loc. cit. 22

Faruk, op. cit., h. 260 23

Ibid., h. 261 24

Nurgiyantoro, op. cit., h.80

Page 27: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

15

Dalam menafsirkan tema dalam sebuah cerita, menurut

Staton haruslah didasarkan pada hal-hal berikut ini.

a. Penafsiran terhadap tema cerita harus benar-benar

memperhatikan setiap uraian yang menonjol dalam cerita dan

kegagalan dalam menafsirkan tema terjadi karena

mengabaikan sejumlah peristiwa penting yang terdapat dalam

cerita.

b. Penafsiran terhadap tema sebaiknya tidak bertentangan

dengan setiap uraian cerita.

c. Penafsiran tema sebaiknya tidak tergantung pada keterangan

yang benar-benar ada atau tersirat dalam cerita.

d. Penafsiran tema harus didasarkan secara langsung pada

cerita.

Keempat hal di atas merupakan dasar yang harus dilakukan

pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita karena tema

merupakan makna cerita, maka tema bisa dipahami dengan pross

pembacaan yang menyeluruh dengan cermat memahami setiap

unsur yang membangun karya sastra.25

Karena ceritanya pendek,

cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu berkaitan dengan keadaan

plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas.26

2) Tokoh dan Penokohan

Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa

diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali

mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan

revolusi, dan bahkan mengubah dunia.27

Abrams mengemukakan

bahwa tokoh cerita dapat dipahami sebagai seseorang yang

ditampilkan dalam teks cerita naratif yang oleh pembaca ditafsirkan

25

Kurniawan, op. cit., h. 76 26

Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 27

Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 85

Page 28: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

16

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu sebagaimana

yang diekspresikan lewat kata-kata dan ditunjukkan dalam

tindakan.28

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam

cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita,

sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.

Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah

laku atau watak-watak tertentu.29

Watak atau karakter tokoh

dilukiskan pengarang dengan cara langsung maupun tidak

langsung. Tokoh cerita ditampilkan pengarang bisa dalam bentuk

lahiriah bisa pula batiniah. Dalam bentuk batiniah, misalnya

menggambarkan pandangan hidupnya, perilakunya, sikapnya,

keyakinannya, adat-istiadatnya, kebiasaannya, dan lain-lain.30

Tokoh dalam cerita ini merujuk pada orang atau individu

yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita.31

Dalam cerpen,

jumlah tokoh biasanya tidak banyak, dan karena sempitnya ruang,

mereka tidak digambarkan secara penuh.32

Dalam cerita prosa, ada

bermacam-macam tokoh yang bertindak sebagai pemeran cerita,

antara lain tokoh utama, tokoh pembantu, tokoh protagonis, tokoh

antagonis, dan sejumlah jenis tokoh lain pendukung cerita. Ada

tokoh yang berperan penting, ada yang sekadar berperan pelengkap

cerita.33

Tokoh utama adalah tokoh yang keberadaannya berhubungan

dengan peristiwa dalam cerita, sedangkan tokoh tambahan

merupakan tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah

atau pelengkap dari tokoh utama.34

Dilihat dari perkembangan

kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan

28

Faruk, op. cit., h. 223 29

Siswanto, op. cit., h. 142 30

Sehandi, op. cit., h. 55 31

Kurniawan, op. cit., h. 73 32

Aziez, op. cit., h. 35 33

Sehandi, op. cit., h. 56 34

Kurniawan, op. cit., h. 74

Page 29: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

17

tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya

selalu berkembang, sedangkan tokoh statis adalah tokoh yang

mempunyai kepribadian tetap.35

Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah

melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2)

gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan

kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan

bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara

tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya,

(6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat

tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-

tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9) melihat

bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.36

Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen

terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibanding dengan

novel, tokoh-tokoh cerita cerpen lebih terbatas, baik yang

menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya

yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca harus

merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh

itu.37

3) Alur (Plot)

Alur dapat dipahami sebagai rangkaian peristiwa yang

bersebab-akibat. Alur cerita tidak lain adalah kisah tentang tokoh,

terutama tokoh utama. Alur adalah perjalanan hidup tokoh cerita

yang telah dikreasikan sedemikian rupa sehingga tampak menarik

serta mampu memancing munculnya daya suspense dan surprise.38

Saxby menjelaskan bahwa, alur merupakan aspek pertama utama

35

Siswanto. loc. cit. 36

Ibid., h. 145 37

Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 38

Faruk, op. cit., h. 423

Page 30: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

18

yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang juga

pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki

kekuatan untuk mengajak anak secara total mengikuti cerita.

Sementara itu, menurut Lukens, alur merupakan urutan

kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya.39

Yelland mendefinisikan alur (plot) dengan „kerangka cerita atau

rangkaian peristiwa-peristiwa‟. Dengan kata lain, alur adalah suatu

urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan terorganisasi.40

Di sisi

lain, Abrams berpendapat bahwa, alur ialah rangkaian cerita yang

dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah

cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.41

Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya

mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan alur,

agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah

dan disiasati secara kreatif sehingga hasil pengolahan dan

penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan

menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang

bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi

pengarang merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut

sebagai pemplotan, pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri

meliputi kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan

kegiatan menata peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur linear

karya fiksi.42

Forster mengatakan bahwa sebuah cerita adalah suatu

paparan peristiwa yang diatur menurut tahapan waktu. Alur di

pihak lain juga merupakan paparan peristiwa, tetapi tekanan jatuh

pada hubungan sebab akibat. Rangkaian pola alur suatu cerita pada

39

Ibid., h. 68 40

Aziez, op. cit., h. 68 41

Siswanto, op. cit., h. 159 42

Nurgiyantoro, op. cit., h. 113

Page 31: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

19

kenyataannya menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima

bagian sebagai berikut.43

a) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.

b) Generating Circumstances: peristiwa mulai bergerak.

c) Rising Action: keadaan mulai memuncak.

d) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya.

e) Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal

bagi semua.

Ada dua unsur pokok dalam alur, yakni (1) cerita atau

rentetan peristiwa dalam cerita dan (2) hubungan sebab-akibat

antara peristiwa dalam cerita. Lewat alurlah pengarang menjalin

kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum

sebab-akibat sehingga merupakan satu kesatuan yang padu, bulat,

dan utuh.44

Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari

satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan

selesai, sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang

jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca).

Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari

konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap

perkenalan (para) tokoh atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan

tokoh dan latar, biasanya tak berkepanjangan. Berhubung berplot

tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh

pun, biasanya, bersifat tunggal pula.45

Burhan Nurgiyantoro membagi jenis alur/plot berdasarkan

kriteria urutan waktu, yakni 1) Plot lurus, maju (progresif): jika

peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis dimulai

dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),

tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). 2)

43

Pradopo, op. cit., h. 62 44

Sehandi, op. cit., h. 56 45

Nurgiyantoro, op. cit., h. 12

Page 32: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

20

Plot sorot balik, flash back, yakni urutan kejadian yang dikisahkan

tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang

benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan

mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian

tahap awal dikisahkan. 3) Plot campuran, tidak ada sebuah karya

sastra secara mutlak ber-plot lurus atau sebaliknya sorot balik.

Secara garis besar plot sebuah karya sastra mungkin progresif,

tetapi di dalamnya, betapa pun kadar kejadiannya, sering terdapat

adegan sorot balik. Begitu pun sebaliknya, tidak dapat dikatakan

tidak mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flashback artinya

pengarang juga menggunakan plot campuran dalam membuat

sebuah cerita.46

Bagi sastrawan, plot berfungsi sebagai suatu kerangka

karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan

keseluruhan isi ceritanya, sedangkan bagi pembaca, pemahaman

plot berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara

runtut dan jelas.47

4) Latar atau setting

Sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai di

mana terjadi dan kapan waktu kejadiannya untuk memudahkan

pengimajian dan pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah

cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu, dan

latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi.48

Tokoh cerita

tidak pernah lepas dari ruang dan waktu, maka tidak mungkin ada

cerita tentang tokoh tanpa ada latar atau setting.49

Latar (setting)

46

Ibid., h. 153 47

Siswanto, op. cit., h. 161 48

Faruk, op. cit., h. 85 49

Sehandi, op. cit., h. 56

Page 33: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

21

dapat dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya berbagai

peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi.50

Latar adalah gambaran tentang tempat dan waktu serta segala

situasi di tempat terjadinya peristiwa. Latar yang baik selalu dapat

membantu elemen-elemen yang lain dalam cerita, seperti alur

(jalan cerita) dan penokohan.51

Setting diterjemahkan sebagai latar

cerita.52

Istilah latar atau setting berkaitan dengan elemen-elemen

yang memberikan kesan abstrak dengan lingkungan, baik tempat

maupun waktu, di mana para tokoh menjalankan perannya.53

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum

(general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan

kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode

atau bagian-bagian tempat.54

Stanton mengungkapkan bahwa latar

cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat

terjadinya peristiwa. Dalam latar inilah segala peristiwa yang

menyangkut hubungan antartokoh terjadi.55

Leo Hamalian dan

Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya

fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta

benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa

suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka,

maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu

problema tertentu.56

Latar dalam cerita biasanya akan menyangkut tiga hal; (1)

latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada lokasi terjadinya

peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara

geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu, seperti rumah,

50

Faruk, op. cit., h. 249 51

Sehandi. loc. cit. 52

Siswanto, op. cit., h. 149 53

Aziez, op. cit., h. 74 54

Siswanto. loc. cit. 55

Kurniawan, op. cit., h. 74 56

Siswanto. loc. cit.

Page 34: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

22

sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar

waktu ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini

biasanya berhubungan dengan waktu faktual, waktu yang ada

kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar

sosial merupakan latar yang merujuk pada kondisi sosial

masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial masyarakat ini

mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang dijadikan

sebagai latar cerita.57

Ada pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa latar tempat

menunjuk pada pengertian tempat di mana cerita yang dikisahkan

itu terjadi. Latar waktu juga dapat dipahami sebagai kapan

berlangsungnya berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam cerita

fiksi. Latar sosial dalam cerita fiksi dapat dipahami sebagai

keadaan kehidupan sosial masyarakat yang diangkat ke dalam

cerita itu.58

Cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang

keadaan latar, misalnya, yang menyangkut keadaan tempat dan

sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja,

atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan

suasana tertentu yang dimaksudkan.59

Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita

rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang

menonjol adalah latar waktu dan tempat. Mungkin di cerita lainnya

yang menonjol adalah latar sosial. Penggambaran latar ini ada yang

terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara

persis seperti kenyataannya; ada yang gabungan antara kenyataan

dengan khayalan; ada juga latar yang merupakan hasil imajinasi

sastrawannya.60

57

Kurniawan, op. cit., h. 75 58

Faruk, op. cit., h. 251 59

Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 60

Siswanto, op. cit., h. 150

Page 35: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

23

Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi

sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan

cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang

tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Bagi pembaca,

latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat,

waktu, dan suasana yang dialami oleh tokoh. Latar juga bisa

membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita,

alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.61

5) Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang

ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh,

peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.62

Sudut pandang

dapat dipahami sebagai sebuah cerita dikisahkan. Secara lebih

konkret dan spesifik, sudut pandang adalah “siapa yang melihat,

siapa yang bicara”, atau “dari kacamata siapa sesuatu itu

dibicarakan”.63

Sudut pandang adalah penempatan posisi diri pengarang

dalam membeberkan ceritanya, atau dari mana pengarang melihat

peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam keseluruhan ceritanya itu.

Dari titik pandang ini pulalah pembaca mengikuti jalan cerita dari

memahami alur dan tema cerita.64

Abram menyaran pada cara

sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan/atau

pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk cerita dalam sebuah cerita pada pembaca. Sudut

pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat yang

61

Ibid., h. 151 62

Ibid. 63

Faruk, op. cit., h. 269 64

Sehandi, op. cit., h. 56

Page 36: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

24

secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan

dan ceritanya.65

Secara garis besar, sudut pandang dalam cerita dibedakan

menjadi dua: sudut pandang cara bercerita orang pertama dengan

penceritaan menggunakan gaya “aku”; sudut pandang cara

bercerita orang ketiga, dengan penceritaan menggunakan gaya

“dia”. Dengan berbagai variasinya, maka muncul sudut pandang

campuran, yaitu menggabungkan sudut pandang orang pertama dan

orang ketiga.66

Sudut pandang persona pertama, gaya aku,

menampilkan kisah dengan tokoh “aku” sebagai pusat pengisahan,

sebagai yang empunya cerita, sedangkan sudut pandang orang

ketiga, gaya dia, menampilkan kisah tokoh dia sebagai pusat

pengisahan.67

Sudut pandang orang ketiga ini dibedakan ke dalam

dua jenis berdasarkan kemampuannya mengakses informasi

terhadap hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikisahkan, yaitu sudut

pandang dia mahatahu dan sudut pandang orang ketiga terbatas.68

Di sisi lain, Stanton membagi sudut pandang dalam cerita

menjadi empat tipe utama. Empat sudut pandang itu adalah:

a. Aku sebagai tokoh utama; tokoh utama mengisahkan cerita

dalam kata-katanya sendiri.

b. Aku sebagai tokoh bawahan; tokoh bawahan mengisahkan

ceritanya.

c. Ia sebagai pencerita terbatas, pengarang mengacu semua

tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau mereka), tetapi

hanya menceritakan apa yang dapat dilihat, didengar, atau

dipikirkan oleh seorang tokoh.

d. Ia sebagai pencerita yang serba tahu; pengarang mengacu

pada setiap tokoh dalam bentuk orang ketiga, dan

65

Kurniawan, op. cit., h. 78 66

Ibid. 67

Faruk, op. cit., h. 271 68

Ibid., h. 272

Page 37: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

25

menceritakan apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan oleh

beberapa tokoh, seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa

kehadiran tokoh.69

6) Gaya bahasa

Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa.70

Menurut

Keraf, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui

bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian

penulis.71

Diksi atau gaya bahasa adalah cara pengarang memilih

dan menggunakan kata, kalimat, dan ungkapan dalam ceritanya

sehingga menimbulkan efek imajinasi dan menggugah hati para

pembaca.72

Penggunaan bahasa yang indah, kreatif, inovatif, dan

menyegarkan merupakan ciri khas bahasa karya sastra yang

berbeda dengan bahasa karya yang bukan sastra. Setiap pengarang

memiliki kekhasan dalam menuturkan ceritanya dengan

menggunakan berbagai jenis gaya bahasa dan ungkapan-ungkapan

serta istilah-istilah yang tepat dan menyegarkan.73

Ellis

mengemukakan tentang konsep sastra, bahwa (teks) sastra tidak

ditentukan oleh bentuk strukturnya, tetapi oleh bahasa yang

digunakan dalam macam cara tertentu dalam masyarakat.74

B. Hakikat Sosiologi Sastra

Karya sastra ditulis oleh sastrawan, sedangkan sastrawan hidup di tengah

realitas sosialnya, karenanya hampir tidak ada karya sastra yang ditulis steril

69

Kurniawan, op. cit., h. 79 70

Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma

Pustaka, 2010), Cet. 1, h. 20 71

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 5 72

Sehandi, op. cit., h. 57 73

Ibid. 74

Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra,(Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya, 2003), Cet. 3,

h. 10

Page 38: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

26

dari sifat-sifat formatif masyarakatnya.75

Sosiologi sastra adalah cabang

penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh

peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.

Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra

tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya

karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu

merefleksikan zamannya.76

Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata sosio dari bahasa Yunani

„sosius‟ yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman, yang dalam

perkembangannya berarti masyarakat; dan „logos‟ yang berarti ilmu. Jadi,

sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat, yaitu hubungan antara manusia

dengan manusia lainnya, yang kemudian membentuk masyarakat.77

Istilah

sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tulisan atau karangan. Sastra

biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang

baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur

pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan.

Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et

utile.78

Sastra sendiri adalah suatu produk budaya manusia yang imajinatif,

mempunyai nilai estetis, dan disampaikan dengan media bahasa.79

Dalam

penelitian sastra, selain menguasai materi sastra, peneliti juga harus dapat

melihat kaitannya dengan disiplin atau persoalan lain di luar karya sastra.80

Semi mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan

ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses

sosial. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai

75

Abdul Wachid B.S., Membaca Makna(dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri), (Yogyakarta:

Grafindo Litera Media, 2005), Cet. 1, h. 17 76

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: MedPress, 2008), Ed. Revisi,

h. 77 77

Kurniawan, op. cit., h. 103 78

Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.

17 79

Kurniawan, op. cit., h. 54 80

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2011), Cet.

1, h. 184

Page 39: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

27

mediumnya, yang menampilkan gambaran kehidupan sehingga sosiologi dan

sastra memperjuangkan masalah yang sama.81

Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui

ceramah Harsya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian

Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja

sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973.82

Hubungan yang erat antara sosiologi dengan sastra, yaitu bahwa sosiologi

adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra juga

demikian, merupakan hasil ekspresi kehidupan manusia yang tidak akan lepas

dari akar masyarakatnya. Oleh karena itu, studi sosiologi sastra hakikatnya

adalah menerapkan seperangkat cara pandang dan paradigma sosiologi untuk

menganalisis dan memaknai karya sastra.83

Tujuan sosiologi sastra adalah

meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan

masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.84

Berbicara tentang sosiologi sastra, ada tiga pengertian yang muncul

dalam benak kita, yakni (1) Sosiologi sastra sebagai salah satu bidang kajian

yang bersifat multidisiplin, (2) Sosiologi sastra sebagai sebuah “pendekatan”

(pendekatan ekstrinsik menurut Rene Wellek dan Austin Warren, atau

pendekatan mimetik menurut M. H. Abrams), yakni cara mendekati karya

sastra sebagai produk masyarakat, dan (3) Sosiologi sastra sebagai sebuah

“teori”, yakni teori sosiologi sastra, yang berusaha menelaah karya-karya

sastra dalam kaitan atau relevansi kemasyarakatannya. Sosiologi sastra yang

dimaksudkan dalam konteks pembahasan ini adalah sosiologi sastra sebagai

bidang ilmu yang bersifat multidisiplin.85

Sebagai multidisiplin, bidang yang terlibat adalah sastra dan sosiologi.

Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek

81

Wahyu Saputra, dkk., “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta

Toer”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2012, h. 2 82

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.2,

h. 8 83

Kurniawan, op. cit., h. 105 84

Ratna, op.cit., h. 11 85

Sehandi, op.cit., h. 42

Page 40: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

28

kebudayaan yang lain, maka bidang ilmu lain yang juga terlibat adalah

sejarah, filsafat, agama, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut Ratna, yang

perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya

sastra, sedangkan sosiologi dan bidang lain berfungsi sebagai pembantu atau

pelengkap.86

Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama,

pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin

proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di

luar sastra untuk membicarakan sastra. Intinya dalam pendekatan ini

menganggap teks sastra bukan yang utama, ia hanya merupakan

epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks

sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi

sastra yang mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan

memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.87

Menurut Wellek dan Warren, analisis sosiologi sastra mengarah pada tiga

pendekatan.

1. Sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah

memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah

menciptakan karya sastra sehingga pemahaman terhadap

pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial

karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat.88

2. Sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini berangkat

dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial dalam karya

sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai

hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya.89

3. Sosiologi pembaca; kajian pada sosiologi pembaca ini mengarah

pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang

memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang

86

Ibid., h. 43 87

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, (Jakarta: Editem, 2013), h. 3 88

Kurniawan, op. cit., h. 106 89

Ibid., h. 107

Page 41: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

29

diciptakan karya sastra. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti

mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam

memaknai karya sastra.90

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin. Dalam kaitan

ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian,

sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari

sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.

Sastra bukan sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah

ditafsirkan.91

C. Hakikat Nilai Sosial

1. Hakikat Nilai

Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V

mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan. Kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu, angka

kepandaian, dan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai

dengan hakikatnya. Nilai dapat dikatakan juga sebagai ukuran sikap dan

perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan

baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek, baik

material maupun nonmaterial.92

Menurut Abdulsyani, nilai merupakan

patokan (standar) perilaku sosial yang melambangkan baik-buruk, benar

salahnya suatu objek dalam hidup bermasyarakat.93

Soekanto menyatakan bahwa nilai merupakan suatu konsepsi

abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang

dianggap buruk, sesuatu yang baik akan dianutnya, sedangkan sesuatu

yang buruk akan dihindarinya.94

Bambang Daroeso mengungkapkan

90

Ibid., h. 109 91

Endraswara, op.cit., Metodologi Penelitian Sastra, h. 78 92

Abdulsyani, SOSIOLOGI Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h.

49 93

Saputra, op. cit., h. 3 94

Ibid.

Page 42: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

30

bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu

yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang, sedangkan menurut

Darji Darmodiharjo, nilai adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat

bagi manusia, baik lahir maupun batin.95

Nilai merupakan satu prinsip

umum yang menyediakan anggota masyarakat dengan satu ukuran atau

standar untuk membuat penilaian dan pemilihan mengenai tindakan dan

cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep, suatu pembentukan mental yang

dirumuskan dari tingkah laku manusia. Nilai adalah persepsi yang sangat

penting, baik, dan dihargai.96

Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia menilai. Menilai

berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil suatu keputusan.

Keputusan nilai dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar

atau tidak benar, baik atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi,

religius atau tidak religius.97

Dalam hal ini, kegiatan yang ditujukan

kepada upaya meneliti dan menyelidiki karya sastra ditujukan untuk

mengungkapkan fungsinya sebagai produk masyarakat yang dipandang

dari segi “guna” atau “manfaat”. Pandangan ini didasarkan pada asas

kegunaan, ialah bahwa semua yang diproduksi harus mengandung

kegunaan bagi konsumennya. Sebagai akibatnya, timbul tuntutan-

tuntutan adanya nilai dalam karya sastra.98

Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang etika

yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, maupun

bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan

nilai masuk ketika manusia memahami agama dan keyakinan beragama.

Oleh karena itu, nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai

warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama

95

Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), Cet.

4, h. 126 96

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: LaksBang

PRESSindo, 2011), h. xiv 97

Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 110 98

Jabrohim, op.cit., h. 18

Page 43: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

31

dan sebagai warga dunia.99

Penilaian dalam telaah sastra adalah penilaian

yang didasarkan kriteria yang ada dan pembahasannya tidak dilandasi

sikap apriori.100

Dengan demikian, hasil yang diberikan adalah hasil yang

objektif.

Penilaian yang objektif terhadap karya sastra itulah yang akan

memacu pengarang untuk meningkatkan mutu karya sekaligus

menumbuhkan kreativitasnya. Kesimpulan dari pendapat di atas ialah,

nilai merupakan sesuatu yang dianggap berharga, dipergunakan sebagai

landasan, pedoman atau pegangan seseorang dalam berperilaku di dalam

masyarakat. Nilai juga dianggap sebagai pengukuran terhadap apa yang

telah dikerjakan atau diusahakan. Sesuatu yang bernilai, pasti sesuatu itu

berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

2. Hakikat Sosial

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki naluri

untuk senantiasa berhubungan dengan sesama atau hidup dengan orang

lain. Hubungan antarsesama manusia tersebut menghasilkan pola

interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut menghasilkan pandangan

mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan tersebut merupakan nilai-

nilai kemanusiaan yang sangat berpengaruh terhadap tata cara dan pola

pikirnya.101

Merujuk pada kerangka analisis C. Klukckhohn yang mengatakan

ada tiga tipe hubungan masyarakat: (1) hubungan orang yang lebih

mementingkan hubungan baik ke atas; (2) hubungan seseorang yang

lebih mementingkan hubungan baik dengan sesama; (3) pola hubungan

bersifat individualis. Mengacu pada ketiga pola tersebut, maka konsep

interaksi sosial sangat tercermin pada pola hubungan kedua. Konsep

sentralnya yaitu manusia harus senantiasa membina hubungan baik dan

99

Setiadi, op.cit., h. 105 100

Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 70 101

Saputra, op. cit., h. 1

Page 44: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

32

menjaga keselarasan sosial.102

Kesimpulan dari beberapa pendapat di

atas, bahwa kata "sosial" tidak lepas hubungannya dengan manusia, baik

itu dalam arti individu dan masyarakat dalam arti kelompok. Manusia

tidak dapat hidup sendiri karena mereka saling membutuhkan

pertolongan dan dukungan dari sesamanya.

3. Hakikat Nilai Sosial

Raven merumuskan, social values are set of society attitude

considered as a truth and it is become the standard for people to act in

order to achieve democratic and harmonious life. Artinya: “Nilai-nilai

sosial merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu

kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna memperoleh

kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis”.103

Menurut

Hendropuspito, nilai sosial adalah segala sesuatu yang dihargai

masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan

kehidupan manusia.104

1) Ciri-ciri Nilai Sosial

Dalam buku Pengantar Sosiologi karangan D.A. Wila Huky

disebutkan ada sebelas ciri-ciri nilai sosial, yaitu:105

a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta

melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai

tercipta secara sosial, bukan secara biologis atau bawaan

sejak lahir.

b. Nilai sosial ditularkan. Maksudnya, nilai ini dapat diteruskan

dan ditularkan dari satu grup ke grup yang lain dalam suatu

masyarakat melalui berbagai macam proses sosial dan dari

satu masyarakat serta kebudayaan ke yang lainnya melalui

akulturasi, defusi, dan sebagainya.

c. Nilai dipelajari. Nilai sosial bukan bawaan dari lahir. Akan

tetapi, dapat diperoleh melalui proses belajar dan pencapaian

nilai-nilai itu, dimulai sejak masa kanak-kanak dalam

102

Ibid., h. 2 103

Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Cet. 6, h. 12 104

Rr. Dwi Astuti, “Nilai Sosial dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer”,

Jurnal Pesona, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 5 105

Abdulsyani, op.cit., h. 50

Page 45: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

33

keluarga melalui sosialisasi.

d. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam

usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang

disetujui dan yang telah diterima secara sosial itu dijadikan

dasar bagi tindakan dan tingkah laku, baik secara pribadi,

grup, maupun masyarakat secara keseluruhan.

e. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak di mana terdapat

konsensus sosial tentang harga relatif dari objek dalam

masyarakat. Nilai-nilai secara konseptual merupakan

abstraksi dari unsur-unsur nilai dan bermacam-macam objek

di dalam masyarakat.

f. Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara

komunal untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam

masyarakat. Bila tidak terdapat keharmonisan yang integral

dari nilai-nilai sosial, maka akan timbul problem sosial.

g. Sistem-sistem nilai bervariasi antara kebudayaan satu dengan

kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang

diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola

aktivitas dan tujuan serta sasarannya. Dengan kata lain,

keanekaragaman kebudayaan menghasilkan sistem-sistem

nilai yang saling berbeda.

h. Nilai selalu menggambarkan alternatif dan sistem-sistem nilai

yang terdiri dari struktur ranking alternatif-alternatif itu

sendiri sehingga saling menyempurnakan dan mengisi dalam

menentukan ranking dari posisi atau level dari objek-objek

yang ada.

i. Masing-masing nilai dapat mempunyai efek yang berbeda

terhadap orang perorangan dan masyarakat sebagai

keseluruhan.

j. Nilai-nilai juga melibatkan emosi.

k. Nilai-nilai dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dalam

masyarakat, secara positif maupun secara negatif.

2) Fungsi-fungsi Nilai Sosial

Menurut Huky, ada beberapa fungsi umum nilai-nilai sosial,

yaitu pertama, nilai sosial menyumbangkan seperangkat alat yang

siap dipakai menetapkan patokan sosial pribadi, grup atau

kelompok. Kedua, nilai sosial bisa mengarahkan atau membentuk

cara berpikir dan bertingkah laku. Ketiga, nilai sosial sebagai

patokan bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya.

Keempat, nilai sosial berfungsi sebagai pengawasan sosial,

mendorong, menuntun, bahkan menekan manusia untuk berbuat

Page 46: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

34

baik. Kelima, nilai sosial berfungsi sebagai sikap solidaritas di

kalangan masyarakat.106

Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peserta didik

karena nilai-nilai sosial berfungsi sebagai acuan bertingkah laku

dalam berinteraksi dengan sesama sehingga keberadaannya dapat

diterima di masyarakat.107

Kesimpulan dari beberapa pendapat di

atas adalah, dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai

kehidupan yang berlaku pada masyarakat, terutama di mana karya

sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan

norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut oleh suatu

masyarakat tertentu. Nilai-nilai sosial memberikan pedoman bagi

warga masyarakat untuk hidup berkasih sayang dengan sesama

manusia, hidup harmonis, dan hidup berdemokrasi. Sebaliknya,

tanpa nilai-nilai sosial, suatu masyarakat dan negara tidak akan

memperoleh kehidupan yang harmonis dan demokratis.

3) Aspek-aspek Nilai Sosial

Notonegoro menyatakan ada tiga macam nilai, yaitu:

a. Nilai materiil, yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani

(fisik) manusia. Nilai ini diukur dari kegunaannya untuk

mencukupi kebutuhan manusia. Contoh: makanan,

minuman, dan pakaian.

b. Nilai vital, yakni sesuatu yang berguna bagi manusia untuk

dapat melaksanakan kegiatan. Nilai ini diukur dari

kegunaannya untuk dapat membantu manusia dalam

beraktivitas. Contoh: motor bagi tukang ojek.

c. Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi

rohaniah manusia, yang dibedakan menjadi 4 macam,

yaitu:

106

Ibid., h. 53 107

Zubaedi, op. cit., h. 12

Page 47: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

35

1. Nilai kebenaran, bersumber pada akal manusia (rasio,

budi, dan cipta). Nilai ini berguna untuk mencari

kebenaran menurut akal sehat dan perasaan untuk

menimbang baik dan buruknya. Nilai kebenaran ini

juga bisa ditemukan di dalam kitab-kitab suci dari

berbagai agama, misalnya, Alquran, injil, taurat, dan

zabur.

2. Nilai estetika (keindahan), bersumber pada rasa

manusia atau kepekaan terhadap seni dan keindahan.

Nilai keindahan termasuk salah satu aspek

kebudayaan, misalnya, seni musik, seni tari, seni

lukis.

3. Nilai kebaikan, bersumber pada kehendak keras, karsa

hati, dan nurani manusia. Nilai ini berguna untuk

mengajarkan tentang baik buruk perbuatan, sikap,

kewajiban, dan sebagainya terhadap sesama manusia.

Nilai sosial dan nilai moral termasuk ke dalam nilai

kebaikan.

4. Nilai religius (ketuhanan) yang bersifat mutlak dan

bersumber pada kepercayaan manusia kepada Tuhan.

Nilai ini juga bersumber dari ajaran agama yang

mengatur tata keimanan dan peribadatan manusia

dengan Tuhan, pergaulan manusia dengan manusia,

serta manusia dengan lingkungannya.108

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Sastra merupakan seni bahasa. Dibandingkan dengan seni lain, sastra

banyak mengandung nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia dan selalu

ditinjau kembali oleh penikmatnya. Dengan mempergunakan seni bahasa

sebagai alat, seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam

108

Herimanto, op.cit., h. 128

Page 48: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

36

kehidupan di sekitarnya, melainkan memberikan tanggapan evaluatif

terhadapnya, seperti yang dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa

“dalam karya sastra tersimpan rohani bangsa”.

Sastra sebagai suatu mata pelajaran masih dapat dikelompokkan ke

dalam beberapa kategori, seperti puisi, fiksi (prosa), dan drama. Untuk dapat

mempelajari pelajaran sastra di SMA, seorang pendidik diharapkan dapat

menjabarkannya ke dalam empat kompetensi, yaitu menyimak, berbicara,

membaca, dan menulis sastra. Kompetensi menyimak sastra, meliputi

kemampuan mendengarkan, menikmati, memahami, dan mengapresiasi

ragam karya sastra, baik karya yang asli maupun yang terjemahan sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi berbicara

sastra, meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya

sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan serta budaya yang

terkandung dalam karya sastra.

Kompetensi membaca sastra, meliputi kemampuan membaca,

memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra. Kompetensi menulis

sastra, meliputi kemampuan menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk

tulisan yang kreatif, baik itu tulisan yang berupa kritik, apresiasi, esai sastra

berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca sebelumnya. Dari keempat

kompetensi tersebut, jelas bahwa pengajaran sastra dalam pembelajaran

bahasa Indonesia sangatlah bermanfaat untuk membantu siswa dalam

mengembangkan keterampilan berbahasa siswa, mengembangkan

kemampuan mencipta karya sastra agar lebih produktif dan inovatif,

menunjang pembentukan karakter siswa, pengembangan kepribadian,

memperluas wawasan kehidupan, meningkatkan pengetahuan yang lebih luas

tentang budaya, teknologi, serta pengetahuan yang lainnya. Melalui sastra,

anak-anak dapat menemukan berbagai kemampuan yang mereka miliki.

Penelitian mengenai antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang ini

berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah, khususnya di kelas XI SMA.

Hal tersebut terdapat dalam kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar, yaitu

menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam

Page 49: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

37

penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami struktur dan kaidah teks

cerpen serta menginterpretasi maknanya, baik melalui lisan maupun tulisan.

Media yang digunakan adalah internet, media massa, buku kumpulan cerpen

Mata yang Enak Dipandang, dan buku yang berkaitan dengan genre cerpen.

Untuk evaluasi, para siswa diminta berdiskusi untuk memahami struktur dan

kaidah teks cerita pendek, lalu peserta didik diminta menginterpretasi makna

teks cerita pendek secara individual.

E. Penelitian Relevan

Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan dipaparkan

beberapa penelitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan nilai-nilai

sosial. Pertama, skripsi berjudul “Kumpulan Cerpen Mata yang Enak

Dipandang Karya Ahmad Tohari: Kajian Stilistika, Nilai Pendidikan, dan

Relevansinya sebagai Bahan Pembelajaran Cerpen di Kelas XI SMA” oleh

Febryana Sapta Astiti, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2015.

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan: (1) aspek stilistika dalam

kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari,

khususnya diksi, gaya bahasa, dan citraan; (2) nilai pendidikan yang terdapat

dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari;

dan (3) relevansi kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad

Tohari sebagai bahan pembelajaran cerpen di kelas XI SMA. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan

menggunakan analisis isi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis,

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) aspek stilistika dalam kumpulan

cerpen Mata yang Enak Dipandang meliputi: (a) penggunaan diksi meliputi

penggunaan kosakata bahasa Jawa, kata serapan, kata sapaan khas dan nama

diri, kata vulgar, dan kata dengan objek realitas alam; (b) penggunaan gaya

bahasa meliputi alonim, anafora, antitesis, asindenton, bombastis,

depersonifikasi, esklamasio, epitet, epizeuksis, eufemisme, hipalase,

hiperbola, interupsi, ironi, klimaks, kolokasi, litotes, mesodiplosis, metafora,

Page 50: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

38

pararima, personifikasi, sarkasme, simbolik, simile, sinestesia, sinekdoke

totem proparte, dan zeugma; dan (c) penggunaan citraan meliputi citraan

penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, gerak, dan perabaan; (2)

nilai-nilai pendidikan juga ditemukan antara lain nilai pendidikan agama,

moral, sosial, dan budaya; dan (3) kumpulan cerpen Mata yang Enak

Dipandang kurang cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran cerpen di kelas

XI SMA karena tema yang terdapat di dalamnya tidak sesuai dengan tema di

buku siswa. Akan tetapi, dapat dijadikan sebagai bahan pengayaan dalam

pembelajaran cerpen di kelas XI SMA. Dari hasil temuan penelitian ini,

memperoleh simpulan bahwa kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang

didominasi oleh pemakaian kata serapan, pemakaian gaya bahasa didominasi

oleh majas personifikasi, dan citraan didominasi oleh citraan penglihatan.

Total pemakaian bentuk bahasa estetis dalam kumpulan cerpen ini berjumlah

281 data. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dapat dijadikan

sebagai alternatif bahan pembelajaran cerpen di kelas XI SMA.

Kedua, skripsi berjudul “Nilai-nilai Dakwah dalam Kumpulan Cerpen

Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari” oleh Hikmatulloh,

mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Agama Islam,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017. Tujuan kajian ini yakni untuk

mendeskripsikan nilai-nilai dakwah yang terdapat dalam kumpulan cerpen

Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Metode penelitian yang

digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan

analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Berdasarkan analisis yang telah

dilakukan penulis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya nilai-nilai

dakwah yang tersaji dengan ragam struktur bahasa yang dibangun dalam

kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang, yakni nilai akidah, nilai

syariah, nilai ibadah, nilai muamalah, dan nilai akhlak. Nilai akidah yang

terkandung dalam kumpulan cerpen ini, yaitu mengenai percaya kepada

malaikat, yang diumpamakan dengan sebutan „Penyangga Langit‟. Nilai

syariah yang terkandung, yaitu dinisbatkan dengan seseorang yang sedang

membasuh muka lalu terdorong untuk sembahyang. Nilai ibadah yang

Page 51: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

39

tercermin, yaitu bagamaina kepatuhan dan ketundukan kepada Allah benar-

benar ditanamkan dari seorang istri yang mendapatkan suaminya sedang sakit

keras. Nilai muamalah yang tertera dalam buku ini dikatakan menarik, selain

gaya tutur yang berbeda, dalam cerita ini pun mencerminkan simbolisasi akan

sebuah keadaan yang begitu penting untuk diperhatikan, yakni untuk

mengetahui orang yang suka memberi itu disimbolkan dengan manusia yang

matanya enak dipandang. Simbol dari mata yang enak dipandang dalam hal

ini adalah simbol dari manusia yang tidak galak dan manusia yang dianggap

penderma. Sebuah perumpamaan bahwa manusia yang suka memberi terlihat

dari matanya. Nilai akhlak yang ditemukan penulis dalam penelitian ini juga

termasuk unik namun menusuk. Bagaimana tokoh gelandangan yang hina

ternyata menaruh rasa hormat untuk memuliakan tempat ibadah.

Ketiga, skripsi berjudul “Cerminan Karakter Masyarakat dalam

Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA” oleh Ami

Septiani, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

cerminan karakter masyarakat desa dan kota serta kerterkaitannya dengan

urbanisasi mengenai daya tarik kota dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak

Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran

sastra Indonesia di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis isi

kumpulan cerpen dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data

dari kepustakaan yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek

penelitian. Hasil penelitian menemukan satu cerminan karakter masyarakat

pedesaan dalam cerpen “Warung Penajem” terlihat dari unsur intrinsik serta

karakter tradisional dan gotong-royong muncul pada tokoh dalam cerita.

Kemudian, dua cerminan karakter masyarakat perkotaan pada cerpen “Mata

yang Enak Dipandang” dan “Dawir, Turah, dan Totol” meliputi karakter

individual, toleransi sosial, dan mobilitas sosial yang muncul pada konflik

Page 52: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

40

melalui tokoh dalam cerita. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang

menggambarkan karakter masyarakat desa dan kota yang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan pelajaran dengan menganalisis unsur intrinsik dalam

pembelajaran sastra Indonesia di SMA. Dalam memahami setiap karakter

tokoh dalam cerita, peserta didik diharapkan mulai menumbuhkan rasa

simpati, empati, dan tanggung jawab.

Page 53: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

41

BAB III

PROFIL AHMAD TOHARI

A. Biografi Ahmad Tohari

Ahmad Tohari adalah sastrawan yang terkenal sebagai pengarang trilogi

novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985),

dan Jantera Bianglala (1986). Karya-karyanya banyak mendapat hadiah,

seperti cerpennya yang berjudul “Jasa-jasa buat Sanwirya” memenangi

hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland

Wereldomroep (1977). Novel Di Kaki Bukit Cibalak memperoleh salah satu

hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan

Kesenian Jakarta tahun 1979. Kubah (novel) yang diterbitkan oleh Pustaka

Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik

dalam bidang fiksi tahun 1980. Novel Jantera Bianglala dinyatakan sebagai

fiksi terbaik (1986), hadiahnya berupa uang sebesar Rp 1.000.000,00

diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan. Melalui

novelnya yang berjudul Bekisar Merah, Ahmad Tohari meraih hadiah Sastra

ASEAN tahun 1995.

Dia lahir tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang,

Banyumas, Jawa Tengah dari keluarga santri. Ayahnya seorang kiai (pegawai

KUA) dan ibunya pedagang kain. Dari segi ekonomi, kehidupan keluarganya

tidaklah kekurangan. Namun, lingkungan masyarakatnya mengalami

kelaparan. Ahmad Tohari menikah tahun 1970 dengan Siti Syamsiah. Istrinya

bekerja sebagai guru SD. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia lima

orang anak. Tahun 1981, ketika bekerja dan tinggal di Jakarta, Tohari

mengundurkan diri dari jabatan redaktur harian Merdeka. Hal itu terjadi

karena dia ingin berkumpul bersama istri dan anak-anaknya di desa. Anak-

anaknya pernah pula dibawa ke Jakarta, tetapi mereka tidak betah.1

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 3, h. 15

Page 54: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

42

Dalam mendidik anak-anaknya, Ahmad Tohari menanamkan pendidikan

keagamaan sejak dini. Menurutnya, agama merupakan satu-satunya laku

utama untuk mewujudkan kecintaan manusia kepada Tuhan dan kepada

manusia lainnya. Ahmad Tohari selalu mengajak keluarganya untuk salat

berjamaah dan dia sebagai imamnya. Dia juga selalu menekankan kepada

anak-anaknya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat dan harus

dermawan. Jadilah orang yang memberi, jangan menjadi orang yang

meminta. Ahmad Tohari merasa bahwa anak-anaknya pun mengerti.

Menurutnya, anak-anaknya tumbuh secara wajar. Mereka semua masuk ke

sekolah favorit di Purwokerto dan nilai mereka bagus-bagus.

Secara formal, Ahmad Tohari mengantongi ijazah SMAN II Purwokerto,

kemudian dia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Jenderal Sudirman

(UNSUD), Purwokerto, 1974-1975. Selanjutnya, dia pindah ke Fakultas

Sosial Politik (1975-1976) juga hanya dijalaninya selama satu tahun, lalu

pindah ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta, tahun 1967-1970,

ditinggalkannya. Akhirnya, dia memilih tetap tinggal di desanya,

Tinggarjaya, mengasuh Pondok Pesantren NU Al Falah. Ahmad Tohari

pernah bekerja di BNI, 1946, sebagai tenaga honorer yang mengurusi majalah

perbankan tahun 1966-1967. Kemudian, dia bekerja di majalah Keluarga

tahun 1979-1981 dan menjadi redaktur pada harian Merdeka, majalah

Amanah, dan majalah Kartini.

Karya-karyanya mulai dipublikasikan tahun 1970-an. Sebenarnya

sebelum itu, saat masih belajar di SMA, dia telah menulis, tetapi tulisannya

hanya disimpan di laci meja belajarnya. Selepas SMA, barulah dia

mengirimkan karyanya itu ke berbagai media massa. Beberapa cerpennya

dimuat di Kompas, yang membuat semangat menulisnya menggebu-gebu

adalah saat cerpennya “Jasa-jasa buat Sanwirya”, menang dalam lomba

cerpen yang diadakan oleh Radio Nederland. Setelah itu, karya-karya yang

ditulisnya banyak yang mendapatkan hadiah.2

2 Ibid.

Page 55: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

43

Sampai sekarang dia masih aktif menulis walaupun tidak produktif.

Masalah produktif dalam berkarya baginya tidaklah terlalu penting. Dia baru

akan menulis jika desakan-desakan untuk menulis sudah tidak dapat

dibendung lagi. Ahmad Tohari tidak ingin tulisan itu bersifat „pasaran‟. Jika

menulis dia harus menggunakan waktu secara tota, tidak bisa diselang-seling

dengan kerja yang lain. Berkaitan dengan aktivitasnya di dunia tulis-menulis

tahun 1990, Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di

Iowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan.

Resep yang ampuh untuk menjadi seorang pemula yang berhasil,

menurut Ahmad Tohari, selain faktor bakat juga harus rajin berlatih menulis

dan banyak membaca. Karya-karya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan

ke dalam bahasa asing, misalnya, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah

diterbitkan dalam bahasa Jepang atas biaya Toyota Ford Foundation oleh

Imura Cultural Co. Ltd. Tokyo, Jepang. Selain itu, trilogi novelnya telah

diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Novel itu sudah

diterjemahkan untuk pasar Eropa.

Karya Ahmad Tohari yang ditransformasi ke bentuk lain (film) adalah

novel Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh Garuda Film dengan judul

“Darah Mahkota Ronggeng” pada tahun 1983. Konon, skenario film itu

menyimpang dari yang telah digariskan pengarang sehingga Tohari tidak mau

melihat filmnya. Pemeran utama film itu adalah Enny Beatrice dan Ray

Sahetapy disutradarai Yazman Yazid. Tahun 2011, Ronggeng Dukuh Paruk

kembali diadaptasi ke dalam film dengan judul “Sang Penari”, yang

disutradarai oleh Ifa Isfansyah serta dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka

Antara sebagai pemeran utama.3

Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1979) ditransformasi menjadi bentuk

sinetron. Novelnya yang lain adalah Lingkar Tanah Lingkar Air (1995). Buku

kumpulan cerpennya berjudul Senyum Karyamin diterbitkan tahun 1989.

Cerpennya yang lain sebagai berikut:

3 Ibid.

Page 56: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

44

1) “Tanah Gantungan” dalam Amanah, 28 Desember 1992-Januari 1993.

2) “Mata yang Enak Dipandang” dalam Kompas, 29 Desember 1991.

3) “Zaman Nalar Sungsang” dalam Suara Merdeka, 15 November 1993.

4) “Sekuntum Bunga telah Gugur” dalam Suara Merdeka, 7 Mei 1994.

5) “Di Bawah Langit Dini Hari” dalam Suara Merdeka, 1 November 1993.

6) “Pencuri” dalam Pandji Masjarakat, 11 Februari 1985.

7) “Orang-orang Seberang Kali” dalam Amanah, 15 Agustus 1986.

8) “Ah, Jakarta” dalam Pandji Masjarakat, 11 September 1984.

9) “Penipu yang Keempat” dalam Kompas, 27 Januari 1991.

10) “Warung Penajem” dalam Kompas, 13 November 1994.

11) “Kenthus” dalam Kompas, 1 Desember 1985.

12) “Rumah yang Terang” dalam Kompas, 11 Agustus 1985.

13) “Daruan” dalam Kompas, 19 Mei 1991.

14) “Jembatan Ka” dalam Pandji Masjarakat, 11 Juli 1985.4

B. Pemikiran-pemikiran Ahmad Tohari

Dalam suatu laporan wawancara yang dilakukan tiga orang wartawan,

yaitu Triyanto Triwikromo, Budi Maryono, dan Gunawan Budi Susanto yang

kemudian disajikan dalamharian Suara Merdeka, Minggu 17 Maret 2002,

terungkap pengakuan Ahmad Tohari yang mengarang sastra karena masih

menyimpan kemarahan atau kegelisahan terhadap para pemimpin yang belum

juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang kecil. Menurut Ahmad

Tohari, para pemimpin menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan

yang datang dari atas, berupa wahyu sehingga kekuasaannya ditafsirkan

sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi. Itujelas

sebuah kesalahan besar yang harus diubah di tengah kehidupan sebuah negara

republik. Akan tetapi, dia pun sadar tidak memiliki kekuatan yang besar

untuk mengubah keadaan masyarakat. Oleh karena itu, disalurkanlah

kemarahan dan kegelisahan itu ke dalam karya sastra dengan harapan dapat

memberikan semacam pencerahan di kalangan masyarakat untuk

4 Ibid.

Page 57: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

45

mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat dan berkah sebagai konsekuensi

berbangsa dan bernegara. Tentu saja harapan itu dirasanya masih berlebihan

karena dia pun menyadari rendahnya apresiasi sastra di kalangan masyarakat

dan para pemimpin. Namun, Ahmad Tohari merasa gembira menyaksikan

ratusan skripsi yang membahas karya sastranya. Bahkan, ada tesis tentang

Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis mahasiswa Universitas Lon di Swedia.

Hal itu merupakan bukti masih ada secercah harapan bagi pemberdayaan

karya sastra dalam konteks pencerahan batin masyarakat. Namun, Ahmad

Tohari mengaku sama sekali tidak berniat mengejar popularitas. Niatnya tetap

kukuh untuk membuktikan kemampuan karya sastra sebagai sarana

pencerahan atau pengingatan masyarakat.

Keyakinan tersebut ternyata masih mantap hingga sekarang sebagaimana

terungkap dalam pengakuannya dalam Rubrik “Bincang-bincang” Suara

Merdeka, 17 Maret 2002. Katanya, “Sastra dan agama adalah wujud

pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama merupakan Kitab Suci,

sedangkan sastra merupakan karya akal budi manusia. Orang yang membaca

karya sastra akan mendapatkan kearifan.

Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan

pilihan lain untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar

senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah Ahmad

Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat sehingga

berkembanglah masyarakat yang beradab, yaitu masyarakat yang tidak suka

berbohong, yang tidak suka menipu, yang tidak gampang korupsi, atau tidak

suka menakut-nakuti mereka yang lemah. Katanya, “Justru karena agama

sedang dalam kondisi krisis itulah karya sastra harus berperan sebagai

pencerah. Sastra justru harus jadi komplemen. Sastra dibuat untuk melakukan

berbagai pengingatan. Bahkan sastra yang berkesan menghujat Tuhan pun

harus dihargai. Itu kan hanya cara lain untuk berdialog dengan Tuhan”.5

Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbol-

simbolnya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita,

5 Yudiono K. S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), h. 2

Page 58: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

46

yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Dari mereka itulah Ahmad

Tohari berangkat mengarang dengan maksud pembaca pun menyadari

pentingnya membangun keberadaban sehingga tidak akan mudah memfitnah,

memeras, menipu, mencibir, dan bahkan membunuh. Semangat itulah yang

mewarnai hampir seluruh karyanya selama ini.

Sementara ini dapat dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari

berangkat dari kesadaran yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra

sebagai sarana pengingatan masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena

itu, hampir seluruh karyanya berbicara tentang nasib manusia yang menderita.

Secara garis besar, memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari

berkisah tentang penderitaan, keterpinggiran, atau kenelangsaan. Itulah

kiranya warna dasar fiksi (novel-novel dan cerpen-cerpen) Ahmad Tohari.6

6 Ibid.

Page 59: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

47

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Antologi Cerpen “Mata yang Enak

Dipandang” Karya Ahmad Tohari

Antologi cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini

terdiri dari 15 judul cerita. Namun, dalam pembahasan ini, peneliti akan

membahas 3 cerpen saja, yaitu cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan “Daruan”. Di bawah ini akan dipaparkan struktur ketiga

cerpen tersebut yang terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar

(setting), sudut pandang, dan gaya bahasa.

1. Tema

Tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna,

makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir

sebagai sebuah kesatuan yag padu.1 Tema yang diangkat dalam cerpen

“Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” adalah

penderitaan. Dilihat dari tema yang diangkat, isi cerita dari ketiga cerpen

ini menggambarkan kehidupan masyarakat kelas bawah dengan segala

lika-likunya, yang mengakibatkan timbulnya penderitaan pada para

tokohnya.

Shipley mengemukakan bahwa tema memiliki beberapa tingkatan di

antaranya: Pertama, tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada

kejiwaan); kedua, tema tingkat organik (menyangkut masalah

seksualitas); ketiga, tema tingkat sosial (manusia sebagai makhluk sosial);

keempat, tema tingkat egoik (manusia sebagai individu); kelima, tema

tingkat divine (masalah hubungan manusia dengan sang pencipta).2

Ketiga cerpen tersebut termasuk ke dalam tema tingkat sosial karena

1 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), Cet. 3, h.

80 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2012), h. 80

Page 60: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

48

menceritakan tentang kehidupan sosial masyarakat kelas bawah sebagai

makhluk sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut.

“Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak jadi

penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak dapat duit.

Jadi, siapa yang tolol?”3

Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih

dari kacung bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di

depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang

keropos kedua matanya itu.4

Kutipan di atas diambil dari cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,

yang menggambarkan bagaimana penderitaan Mirta yang buta dan ia

harus mengemis untuk bertahan hidup. Begitu pula dengan Tarsa,

penuntunnya, yang suka memeras dan membuat Mirta jengkel, tetapi ia

sadar bahwa hidupnya bergantung pada Mirta. Jika Mirta sakit dan tidak

bisa mengemis, maka Tarsa pun tidak dapat upah untuk mengisi perutnya

yang kosong.

Selanjutnya, cerpen “Sayur Bleketupuk” menceritakan bagaimana

tokoh Parsih harus menerima akibat dari prasangka buruknya terhadap

suaminya, Kang Dalbun, yang hari itu pulang terlambat. Diceritakan

bahwa mereka berdua sudah berjanji untuk mengajak kedua anak mereka,

Darto dan Darti, naik jaran undar atau kuda putar di lapangan desa. Akan

tetapi, semua rencana itu gagal ketika Dalbun terlambat pulang ke rumah

di hari gajiannya. Parsih yang tidak punya uang bingung bagaimana cara

bicara kepada kedua anaknya yang sudah sangat senang akan naik jaran

undar. Prasangka Parsih, sore itu Dalbun sedang lembur ditemani dengan

penjual kue-kue yang muda dan cantik. Namun, kenyataannya tidak

demikian. Dalbun pulang terlambat karena sang mandor datang terlambat.

Akibat prasangka buruknya, Parsih sangat menyesal karena sudah

membuat anak-anaknya tertidur pulas oleh sayur bleketupuk dan akhirnya

3 Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utam, 2013), Cet. 2,

h. 13 4 Ibid., h. 15

Page 61: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

49

tidak jadi naik jaran undar. Ditambah Parsih semakin menderita ketika

mengetahui bahwa alasan suaminya pulang terlambat bukan karena apa

yang sudah ia sangkakan, tetapi karena bosnya Dalbun yang datang

sangat terlambat di hari gajian itu. Penderitaan Parsih tersebut dapat

ditunjukkan melalui kutipan berikut.

Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran

undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin

bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah membuat

sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-anaknya. Parsih

terisak lagi.5

Masih berdiri di dekat dipan anak-anaknya, Parsih mendengar

keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh

membebani dadanya. Air matanya menitik lagi.6

Selanjutnya, cerpen “Daruan”. Cerpen ini mengisahkan tentang

seorang novelis pemula yang mempunyai mimpi melihat novel-novelnya

diterbitkan oleh penerbit besar dan dijual di toko buku ternama. Akan

tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Daruan harus menerima kenyataan

bahwa novelnya hanya diterbitkan oleh temannya sendiri yang bernama

Muji. Pemasarannya pun hanya pada beberapa kios di terminal bus dan

stasiun kereta api. Selebihnya kepada para pengasong yang beroperasi di

kaki lima.

Dalam surat pengantar yang diselipkan dalam paket pos itu, Muji

berkata bahwa dia sendirilah yang bertindak menjadi penerbit novel

Daruan. “Karena seperti yang kamu alami sendiri, aku pun gagal

menemukan penerbit yang mau naskahmu,” tulis Muji. Selanjutnya

Muji bilang bahwa risiko yang dipikulnya tidak ringan, karena dia

belum berpengalaman dan terutama karena tidak punya jaringan

pemasaran. Penjualan novel Daruan dipercayakan kepada beberapa

pemilik kios di terminal bus dan stasiun kereta api. Selebihnya

dipercayakan kepada para pengasong yang beroperasi di kaki lima.7

Penderitaan Daruan tidak hanya itu. Sesungguhnya sudah sekian

lama ia tersiksa karena tidak mampu memberi nafkah untuk keluarganya 5 Ibid., h. 103

6 Ibid., h. 105

7 Ibid., h. 42

Page 62: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

50

dan hanya menjadi tanggungan bagi istrinya yang membuka warung di

depan rumah. Sebagai penulis, ia berharap hasil karyanya dapat

menghasilkan uang sehingga ia bisa secepatnya mengakhiri keadaan yang

melemahkan kebanggaannya tersebut.

Sudah sekian lama Daruan tersiksa oleh ketidakmampuan memberi

nafkah kepada istri dan anaknya. Sebaliknya, Daruan malah sudah

sekian lama hidup menjadi tanggungan istrinya yang membuka

warung di depan rumah. Keadaan yang melemahkan kebanggaannya

sebagai lelaki itu ingin secepatnya diakhiri, dan honor novel yang

sudah terbit adalah kemungkinan yang paling dekat untuk diraih.8

Persoalan hidup yang dibicarakan dalam ketiga cerpen tersebut

merupakan bentuk perwujudan dari kemarahan dan kegelisahan Ahmad

Tohari terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah di sekitarnya, yang

kemudian ia salurkan melalui cerpen-cerpennya. Dari mereka itulah

Ahmad Tohari berangkat mengarang dengan maksud pembaca pun

menyadari pentingnya membangun keberadaban sehingga tidak akan

mudah memfitnah, memeras, menipu, mencibir, dan bahkan membunuh.

Semangat itulah yang mewarnai hampir seluruh karyanya selama ini.9

Dengan menyuarakan keluguan, kekumuhan dan kemiskinan, Ahmad

Tohari ingin menunjukkan adanya satu realita lain yang menjadi retakan

di tengah-tengah kehidupan modern yang glamor ini. Selain

menggambarkan kondisi batinnya yang arif dan bijak, tema-tema ini juga

mengekspresikan kekecewaannya atas dunia modern yang mengabaikan

keadilan dan kemerataan.10

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan

sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

8 Ibid.

9 Yudiono K. S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), h. 7

10 Ulil Abshar, “Pengemis dan Shalawat Badar: Hubungan antara Pengarang, Media, dan Karya”,

Jurnal Dialektika, Vol. 3, No. 2, 2016, h. 202

Page 63: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

51

menampilkan tokoh disebut penokohan.11

Hal ini menunjukkan bahwa

tokoh dan penokohan merupakan aspek-aspek penting yang terdapat

dalam suatu cerita. Keduanya saling berkaitan karena tokoh dalam suatu

cerita selalu memiliki sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak

tertentu. Penderitaan yang menjadi tema dari cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” digambarkan melalui

tokoh-tokohnya. Ahmad Tohari yang secara konsisten mengangkat

persoalan hidup masyarakat kalangan bawah ke dalam ceritanya, maka

dapat dipastikan bahwa tokoh-tokoh yang ia gunakan pun dari kalangan

bawah.

Sapardi Djoko Damono mengungkapkan tentang tokoh-tokoh yang

biasa diangkat oleh Ahmad Tohari, yang dikutip oleh Maman S.

Mahayana, “ciri khasnya kehidupan pedusunan yang bertokoh orang-

orang lapisan bawah, sangat menonjol dan mampu menjadi daya tarik

utama”12

, begitu pula dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,

“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” yang menceritakan tentang persoalan

hidup masyarakat kelas bawah yang diliputi penderitaan.

Cerpen “Mata yang Enak Dipandang” menceritakan tentang seorang

pengemis buta yang bernama Mirta dan penuntunnya, Tarsa. Mirta dan

Tarsa merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh utama adalah

tokoh yang keberadaannya berhubungan dengan peristiwa dalam cerita,

sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh yang keberadaannya hanya

sebagai penambah atau pelengkap dari tokoh utama.13

Tidak ada tokoh

tambahan dalam cerpen ini. Hanya para penumpang kereta yang terus

disebutkan dalam dialog tokoh utama, tetapi mereka tidak diberikan

dialog langsung oleh pengarang.

11

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 142 12

Maman S. Mahayana, Ektrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2007), h. 324 13

Heru Kurniawan, Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga

Penulisan Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 74

Page 64: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

52

Penggambaran tokoh Mirta, seorang pengemis buta, yang berpakaian

compang-camping dan berbadan kurus kering, menunjukkan bagaimana

penderitaannya dalam menjalani kehidupan sebagai pengemis yang

meminta belas kasihan kepada para penumpang kereta di stasiun. Ia

mengemis bersama penuntunnya, yang bernama Tarsa.

Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering;

compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu

lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba

menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya, berada.14

Tokoh Tarsa diceritakan sebagai seorang anak yang setia menuntun

Mirta untuk menadahkan tangan ke hadapan para penumpang kereta. Ia

memiliki sifat yang nakal, yakni suka memeras hanya untuk mendapatkan

apa yang diinginkannya. Tarsa sering memaksa Mirta untuk

membelikannya sebatang rokok, lontong ketan, dan segelas es limun. Jika

Mirta tidak menurutinya, ia akan terus berusaha dengan cara mengerjai

dan bahkan mengancam Mirta hingga ia menyerah. Tarsa hanya akan

mematuhi perintah Mirta, jika ia sudah mendapatkan keinginannya. Tentu

saja kemenangan hampir selalu di pihak Tarsa, sedangkan Mirta yang

buta tidak dapat berbuat banyak.

Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa

sehingga kaki Mirta menginjak tahi anjing. Mirta boleh mendesis

dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan

mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang

rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan

agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta

membelikannya lontong ketan.15

Mirta memiliki karakter yang tidak mudah menyerah, tidak berputus

asa. Meskipun Tarsa selalu memeras dan membuat Mirta jengkel terus-

menerus, Mirta tidak menyerah pada keadaan. Maka, saat Tarsa sengaja

menjemur dan meninggalkannya di tempat panas. Mirta tetap berusaha

14

Tohari, op.cit.,h. 9 15

Ibid.

Page 65: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

53

bertahan dan mencoba mengatasi keadaan tersebut. Ia pun kemudian

mencari tempat yang teduh dengan kekuatannya sendiri.

Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan

mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar

dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa.16

... Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh

dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari

gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-

klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.17

Diceritakan pula bahwa Mirta sudah puluhan tahun menjadi

pengemis. Menurutnya, orang-orang yang biasa memberi itu dapat

dikenali melalui matanya. Mereka memiliki mata yang berbeda; mata

yang tidak galak, mata yang enak dipandang. Tentu saja Mirta hanya

dapat mengucapkan kata-kata itu karena dia sendiri tidak dapat melihat.

Pendapat itu pun hanya ia serap dari teman-temannya sesama pengemis

yang bisa melihat.

“Sudah kubilang, aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata teman-

teman yang melek, mata orang yang suka memberi memang beda.”

“Tidak galak?”

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu

betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang

suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya,

kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak

dipandang.”18

Tokoh Tarsa dalam cerita tidak dijelaskan usianya berapa. Pengarang

hanya memberikan identitas bahwa Tarsa adalah seorang anak yang

selalu menuntun Mirta mengemis di stasiun. Bisa dibilang karena ia

masih anak-anak, ia memiliki karakter yang belum dewasa, baik pikiran

maupun sikapnya. Hal itu dibuktikan dari sikapnya yang sama sekali

tidak menyesali apa yang sudah dilakukan kepada Mirta. Meski ia sudah

16

Ibid., h. 10 17

Ibid. 18

Ibid., h. 14

Page 66: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

54

mengerjai dan menyiksa Mirta, ia tetap acuh tak acuh. Ia hanya peduli

dan bergembira dengan yoyonya.

Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta-merta menindihnya. Bunyi

berderak disambut sorak-sorai dari seberang jalan. Dan itu suara

Tarsa.19

Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai

payung di seberang jalan, juga datang. Tetapi Tarsa hanya menonton

ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri.20

Tarsa mulai menyesali perbuatannya, saat ia melihat Mirta sudah

payah untuk mengemis dan terbujur lunglai di bawah pohon kerai payung

depan stasiun. Ia menyesal karena sudah menjemur Mirta terlalu lama

demi segelas es limun. Ia menyadari bahwa ia tidak lebih dari seorang

kacung yang bergantung hidup pada seorang pengemis buta.

Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi orang yang

dituntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal

telah menjemur Mirta terlalu lama demi segelas es limun. Mungkin

juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari

kacung bagi kere picek yang menggeletak di tanah di depannya;

sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang keropos

kedua matanya itu.21

Hingga akhir cerita, tokoh Mirta masih digambarkan sebagai tokoh

yang statis. Ia tidak mengalami perubahan sifat atau watak, sedangkan

tokoh Tarsa merupakan tokoh dinamis karena ia mengalami perubahan

watak menjelang akhir cerita. Perubahan watak tersebut digambarkan saat

Tarsa mulai menyesali segala perbuatannya terhadap Mirta selama ini. Ia

mulai takut jika Mirta benar-benar sakit, lalu mati dan meninggalkannya.

Ia pun berpikir untuk tidak lagi menyiksa dan memeras Mirta. Ia akan

menuruti semua perkataan Mirta karena Tarsa mengakui Mirta sudah

sangat berpengalaman sebagai pengemis.

Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang

meski kere dan buta, satu-satunya orang yang tiap hari memberinya 19

Ibid., h. 10 20

Ibid., h. 11 21

Ibid., h. 15

Page 67: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

55

upah. Bahkan, Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.

Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi

menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja

semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati,

Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat

berpengalaman.22

Selanjutnya, tokoh-tokoh dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”. Tokoh

utama dalam cerita ini adalah Parsih. Parsih ialah istri dari Dalbun

sekaligus ibu dari Darto dan Darti. Ia digambarkan sebagai istri yang setia

terhadap suami, meskipun kehidupan keluarga mereka sangat pas-pasan.

Ia juga percaya bahwa suaminya tidak akan mengkhianatinya.

Parsih tidak punya uang buat sewa jaran undar sebelum suaminya

pulang. Uang itu pun hanya akan singgah sebentar di tangan, karena

besoknya Parsih harus melunasi utangnya di warung.23

Tapi dia masih percaya kepada Dalbun. Sampai Darto dan Darti

masuk sekolah dasar, suaminya lurus-lurus saja.24

Dalbun adalah tokoh tambahan yang berperan sebagai suami Parsih.

Ia bekerja sebagai kuli batu di proyek pembangunan jembatan di suatu

desa. Sebelumnya, ia dan Parsih telah berjanji kepada Darto dan Darti

untuk mengajak mereka berdua naik jaran undar atau kuda putar di

lapangan desa.

Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.

Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang

jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang. Tapi

kemana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.

Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat riang. Nanti

habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar di

lapangan desa. Itu janji Parsih dan suaminya kepada Darto dan Darti;

janji yang sungguh-sungguh.25

Awalnya, Parsih masih percaya bahwa Dalbun tidak pernah

mengkhianatinya selama ini. Akan tetapi, ia juga ingat sebuah pepatah

22

Ibid., h. 16 23

Ibid., h. 100 24

Ibid., h. 101 25

Ibid., h. 99

Page 68: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

56

bahwa laki-laki memiliki kebiasaan suka berbohong. Memikirkan hal

tersebut, Parsih mempunyai prasangka buruk terhadap suaminya yang

pulang terlambat, ia membayangkan suaminya sedang kerja lembur

ditemani dengan perempuan muda penjual kue-kue.

Apakah Dalbun sedang kerja lembur dan ditemani perempuan

penjual kue-kue? Dada Parsih terasa menyesak. Tapi dia masih

percaya kepada Dalbun. Sampai Darto dan Darti masuk sekolah

dasar, suaminya lurus-lurus saja. Namun Parsih juga ingat, wis

sajege wong lanang gedhe gorohe—bahwa sudah jadi kebiasaan

lelaki besar bohongnya.26

Parsih juga memiliki karakter yang takut jika menyalahi janji yang

sudah diucapkannya. Ia merasa malu jika ia mengingkari janji kepada

anak-anaknya. Ia merasa kasihan kepada Darto dan Darti, mereka akan

diolok-olok sebagai anak sial oleh teman-teman yang lain karena mereka

tidak pernah naik jaran undar.

Bagaimana bila suamiku tidak pulang? pikir Parsih. Apakah Darto

dan Darti tidak jadi naik jaran undar? Sungguh kasihan mereka.

Teman-teman akan mengolok mereka sebagai anak sial karena tidak

pernah naik jaran undar. Lagi pula mau dikemanakan mukaku ini

bila ternyata aku terpaksa menyalahi janji terhadap anak-anak?27

Darto dan Darti merupakan tokoh tambahan berikutnya. Mereka

adalah anak dari Dalbun dan Parsih. Mereka digambarkan sebagai anak-

anak yang memiliki mimpi sederhana, mereka sangat memimpikan untuk

naik jaran undar. Keduanya sama sekali belum pernah menaikinya.

Dalam pikiran anak-anak seusianya, terutama anak-anak yang tinggal di

desa, mimpi seperti itu mungkin sesuatu yang sangat menakjubkan bagi

mereka.

Naik jaran undar sudah lama menjadi mimpi Darto dan Darti.

Keduanya belum pernah mengalaminya; naik kuda kayu yang gagah

dan diayun berputar pasti hebat, pikir mereka. Dan ini malam

terakhir karena besok rombongan komidi jaran undar yang sudah

sebulan bermain akan pindah ke tempat lain.28

26

Ibid. 27

Ibid. 28

Ibid., h. 99

Page 69: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

57

Darto dan Darti mempunyai kebiasaan, yakni pergi ke rumah Pak RT

sebelum menjelang magrib untuk menonton TV. Saat Parsih ingin

menyusul Darto dan Darti, ia bertemu dengan Bu RT di tengah

perjalanan. Bu RT merupakan tokoh tambahan yang terakhir, dia

memiliki watak yang baik. Ia mengijinkan Darto dan Darti menonton TV

di rumahnya. Dia juga orang yang perhatian terhadap keluarga Parsih.

“Parsih, kamu bagaimana?” kata Bu RT dengan nada berat. “Itu

kedua anakmu tertidur di depan televisiku!”

Wajah Parsih memucat. Dia memang sudah tahu Darto dan Darti

akan mengantuk sesudah makan sayur bleketupuk. Segenggam daun

bleketupuk cukup buat menghilangkan rasa pusing dan menidurkan

seorang dewasa.

“Akan kubawa pulang mereka,” kata Parsih tergagap-gagap.

“Mereka tidak sakit, kan?”

“Tidak. Mereka baru saja makan. Mungkin kekenyangan lalu

mengantuk.”29

Dalbun juga memiliki karakter yang jujur, percaya terhadap istri, dan

sangat menyayangi keluarganya. Ia sama sekali tidak ingin melihat

keluarganya menderita, meskipun gaji yang ia berikan sangat pas-pasan

untuk kebutuhan sehari-hari, tapi sebagai seorang ayah dan suami, ia

merupakan seseorang yang sangat bertanggung jawab.

Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan

kepada mandor yang datang sangat terlambat. Wajahnya tegang

karena merasa telah membiarkan istri dan kedua anaknya terlalu

lama menunggu. Mereka pasti amat kecewa. Atau marah. Sebelum

terlihat oleh istrinya, Dalbun sudah mengeluarkan uang gajinya dari

saku. Akan segera diberikan semua kepada Parsih.30

Pada akhir cerita, dapat terlihat bahwa Dalbun merupakan tokoh

yang statis, sedangkan Parsih adalah tokoh yang dinamis. Digambarkan

bahwa Parsih sangat menyesal karena ia sudah berprasangka buruk

kepada suaminya. Ia sudah mengira bahwa suaminya pulang terlambat

karena sedang kerja lembur ditemani perempuan-perempuan muda

29

Ibid., h. 103 30

Ibid., h. 104

Page 70: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

58

penjual kue. Namun, kenyataannya Dalbun sama sekali tidak

mengkhianatinya, itu semua salah mandor yang datang sangat terlambat

di hari gajian.

“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil

keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi

mandor yang paling terkutuk!”

Masih berdiri di depan dipan anak-anaknya. Parsih mendengar

keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh

membebani dadanya. Air matanya menitik lagi.31

Selanjutnya, tokoh-tokoh dalam cerpen “Daruan”. Tokoh utama

dalam cerita ini adalah Daruan—seperti yang tertulis dalam judulnya.

Daruan ialah seorang novelis pemula yang memiliki mimpi yang sangat

tinggi. Impiannya ialah melihat novel-novelnya diterbitkan oleh penerbit

besar dan dipajang di rak-rak toko buku ternama. Akan tetapi, yang

terjadi justru kebalikannya.

Dalam hatinya berkecambuk perasaan antara bangga dan kecewa.

Bangga, karena betapa juga karyanya sudah beredar. Kecewa, karena

dulu Daruan pernah berkhayal novelnya suatu saat akan ditangani

oleh penerbit besar, dijual di toko buku ternama, dan dibincangkan

oleh para pengamat sastra.32

Kemiskinan yang diderita Daruan membuat ia berpikir bahwa honor

dari novelnya yang sudah terbit itu adalah kemungkinan terdekat untuk

bisa menafkahi keluarganya. Ia merasa malu dan kehilangan

kebanggaannya sebagai seorang lelaki karena tidak dapat memberi

nafkah. Terlebih sudah sekian lama istrinya yang menanggung kebutuhan

keluarga mereka sehari-hari. Hal itu dapat dibuktikan ketika Daruan

hendak berangkat ke Jakarta untuk mengambil honor novelnya, ia harus

membujuk istrinya dulu untuk menggadaikan cincin 3 gram sebagai

ongkos.

Daruan berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam setelah

berhasil membujuk istrinya menggadaikan cincin tiga gram. Novelis,

31

Ibid., h. 105 32

Ibid., h. 47

Page 71: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

59

pikir Daruan, akan dengan mudah mengembalikan cincin istrinya

dari rumah gadai.33

Daruan yang miskin juga dapat dilihat dari penampilannya. Kali ini,

Muji, sebagai sahabat Daruan yang mengantarkan kepada pembaca untuk

mengetahui penampilan yang sedang Daruan kenakan.

Dalam posisi tubuh agak condong ke depan, saku baju Daruan

ternganga. Muji dapat melihat beberapa lembar uang ratusan di sana.

Muji juga melihat sepatu, celana, dan baju yang dikenakan Daruan

sudah dilihatnya dua tahun lalu.34

Sebagai penulis, Daruan memiliki karakter yang sabar dan pantang

menyerah. Sudah dua tahun ia berusaha mencari penerbit yang mau

menerbitkan naskahnya. Akan tetapi, tidak ada satupun penerbit yang

mau menerima naskahnya. Sampai akhirnya, Muji, sahabatnya sejak

SMA dulu, yang bertindak sendiri menjadi penerbit novel Daruan.

Sebuah paket pos diterima Daruan dari Muji di Jakarta. Kiriman

dalam kertas payung itu mengakhiri masa perhentian selama dua

tahun yang hampir menghabiskan kesabaran Daruan.35

Ketika pertama kali melihat novel karyanya diterbitkan, hati Daruan

sangat bahagia. Ia begitu percaya diri dan merasa seperti terlahir kembali.

Baginya, sebuah novel itu mempunyai arti yang lebih dari cukup untuk

mengesahkan kehadiran penulisnya.

Isi paket pos itu sungguh menggembirakan hati Daruan: novel karya

pertamanya. Hati Daruan melambung ketika melihat namanya

tercetak jelas pada kulit buku yang berhias gambar gadis cantik

dengan rambut tergerai itu.36

Ketika melihat bayangan dirinya dalam kaca, Daruan tersenyum.

Sambil mengangguk-angguk kepada duplikatnya dalam kaca.

Daruan menikmati kelahiran dirinya.37

33

Ibid., h. 42 34

Ibid., h. 45 35

Ibid., h. 41 36

Ibid. 37

Ibid.

Page 72: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

60

Sebuah novel, menurut Daruan, punya arti yang lebih dari cukup

untuk mengesahkan kehadiran penulisnya.38

Meskipun novelnya belum ada satu pun yang laku dan ia harus

kembali ke rumah dengan tangan kosong. Daruan tetap memiliki harga

diri yang tinggi. Ketika Muji ingin membantunya dengan memberikan

ongkos pulang dan uang jajan untuk anak-anaknya, Daruan menolak. Ia

merasa tidak enak karena Muji sudah banyak membantunya dan kali ini

ia tidak ingin merepotkannya lagi.

“Ah, jangan begitu. Aku memang tak punya ongkos pulang. Tapi

uang ini akan kuterima hanya bila dikaitkan dengan honor.”

“Apakah aku tak boleh memberimu ongkos pulang dan sekadar jajan

buat ankamu?”

“Aku selalu percaya akan ketulusanmu. Tapi tolong, sekali ini jangan

kamu singgung perasaanku dengan cara seperti itu.”

Muji, merupakan tokoh tambahan sekaligus tokoh statis di dalam

cerpen ini. Ia adalah sahabat Daruan sejak SMA. Ia digambarkan

memiliki sikap yang baik, murah senyum, dan tidak munafik.

Penampilannya juga tenang dan percaya diri. Meski kehidupan Muji

sudah mapan, tetapi ia tidaklah sombong. Muji juga orang yang hemat

dan setia kawan. Di dalam cerita, tokoh ini mempunyai kepribadian yang

tetap atau tidak berubah.

Muji masih dalam keasliannya; senyumnya murah, sikapnya sejati.

Penampilannya tenang dan penuh percaya diri, mungkin karena

kehidupannya sudah mapan meski dia mengaku hidup swasembada.

Muji juga hemat sehingga apa saja yang ada padanya awet. Bahkan

yang awet pada Muji bukan hanya mobil tuanya yang bercat merah

itu melainkan juga kesetiakawanannya.39

Ada juga tokoh lelaki tua yang menjadi tokoh tambahan dan tokoh

statis di dalam cerpen ini. Lelaki tua tersebut bukanlah seseorang yang

dikenal oleh Daruan. Ia tidak sengaja bertemu lelaki tua itu di musala

dekat stasiun ketika hendak cuci muka. Kejadian ini terjadi dalam

38

Ibid., h. 42 39

Ibid., h. 43

Page 73: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

61

perjalanan Daruan menuju ke rumah Muji. Lelaki tua itu dihadirkan oleh

pengarang hanya untuk mengantarkan kepada pembaca bahwa tokoh

Daruan bukanlah orang yang taat dalam beribadah.

Dekat musala stasiun, Daruan melihat seorang lelaki tua sedang

membasuh muka. Daruan ke sana, masuk WC, kemudian ikut

membasuh muka di samping lelaki tua itu.

“Mau sembahyang, Nak?”

Daruan terkejut mendengar pertanyaan lelaki tua itu.

“Oh, ya, Pak. Ya.”

Daruan terkejut lagi, kini oleh jawaban yang meluncur begitu saja

dari mulutnya. Tetapi, Daruan benar-benar ikut sembahyang. Dalam

sembahyangnya, tiba-tiba Daruan merasa beruntung mendapat

peluang doa. Anehnya, dia tergagap dan gagal menemukan doa yang

pantas dikemukakan kepada Tuhan.40

Selain itu, ada tokoh istri Muji dan anak-anak Muji yang disebutkan

di dalam cerita. Namun, mereka tidak diberikan dialog oleh pengarang.

Istri Muji digambarkan sebagai orang yang ramah. Hal itu dapat

diketahui melalui sikapnya terhadap Daruan yang menjadi tamu pagi hari

itu, sedangkan tokoh anak-anak Muji dihadirkan hanya untuk

mempercepat pertemuan Daruan dan Muji yang sedang bersikangen. Di

dalam cerita, anak-anak Muji terus merengek minta diantar ke sekolah

hingga membuat tokoh Daruan tidak enak berlama-lama dan hendak

minta diri.

Anak-anak Muji merengek minta diantar ayah mereka ke sekolah.

Istri Muji tak henti-hentinya menawarkan kopi agar segera

diminum.41

Anak-anak Muji makin merengek minta diantar ke sekolah. Si

sulung, seorang gadis kecil yang mirip ayahnya, malah menarik-

narik tangan Muji agar segera berangkat. Daruan merasa makin tidak

enak. Dia bangkit hendak minta diri.42

Selanjutnya, tokoh pedagang asongan yang hadir sebagai tokoh

tambahan di akhir cerita. Daruan bertemu dengan pedagang asongan ini

40

Ibid., h. 43 41

Ibid., h. 44 42

Ibid., h. 45

Page 74: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

62

di dalam kereta dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Pedagang itu

membawa setumpuk novel yang tersusun rapi di tangannya. Kemudian,

ia membeberkan dagangannya kepada Daruan. Di antara buku-buku yang

diasongkan, Daruan melihat ada enam novelnya juga.

“Yang ini kamu jual berapa?”

“Oh, ini karya Daruan, pengarang baru. Murah, Pak. Seribu lima

ratus.”

Daruan kembali memejamkan mata. Dia ingat, buku dengan ukuran

sama paling tidak dijual 3.500 di toko-toko buku besar.43

Tokoh pengasong ini menjadi tokoh penutup yang mengantarkan

pembaca untuk mengetahui bagaimana penderitaan Daruan setelah

novelnya berhasil diterbitkan. Ternyata, tidak ada satu pun orang yang

berminat membeli novelnya. Bahkan, harga jualnya pun terbilang sangat

murahan. Hal itulah yang kemudian membuat karakter Daruan

mengalami perubahan di akhir cerita, yakni Daruan yang awalnya begitu

percaya diri, kini menjadi malu dan merasa hilang harga dirinya.

Tiba-tiba Daruan merasa tubuhnya menyusut, kecil, dan makin

mengecil.

“Untuk pelaris, Pak, seribu juga boleh.”

“Tidak, terima kasih.”

Pengasong itu berlalu meninggalkan entakan rasa perih di hati

Daruan.44

Setelah dipermalukan seperti itu, Daruan kemudian bangkit. Ia

mencoba tetap tegar menghadapi nasib kehidupannya yang tidak mulus.

Setidaknya ia tetap bisa menyelamatkan harga dirinya dengan cara

membeli semua novelnya dari pengasong tersebut. Terlepas dari nyata

atau tidaknya cerita ini, misi Tohari untuk menyadarkan pembaca bahwa

hikmah juga bisa dipanen dari manusia pinggiran, ternyata berhasil.

43

Ibid., h. 47 44

Ibid., h. 48

Page 75: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

63

3. Alur

Alur atau plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu

urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir.45

Jika digambarkan

menggunakan skema adalah sebagai berikut.

A B C D E

Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B — C — D

melambangkan kejadian-kejadian berikutnya atau tahap tengah yang

merupakan inti dari cerita, kemudian berakhir di E yang merupakan tahap

penyelesaian cerita. Alur yang digunakan dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” merupakan alur maju.

Tahap awal cerita dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” diawali

dengan pengenalan tokoh Mirta dan Tarsa yang disertai juga dengan

penggambaran latar yang mendukung keberadaan mereka.

Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan

depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras

pisang; kering; compang-camping dan gelisah. Mirta merekam

lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu

pula Mirta mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya,

berada.46

Selain itu, di tahap awal cerita juga sudah terlihat munculnya konflik

di antara para tokoh. Dimulai dari Tarsa yang sengaja meninggalkan

Mirta di atas trotoar pada pukul satu siang. Kali ini hanya untuk segelas

es limun. Sebelumnya, Tarsa bahkan mengancam akan mendorong Mirta

ke dalam got jika ia tidak mau memberinya sebatang rokok. Mirta yang

tidak mau terus-menerus menuruti kemauan Tarsa, harus bertahan

meskipun kepalanya pening akibat dijemur di bawah matahari yang terik.

Namun, Mirta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja

meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu.

Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali

ini untuk segelas es limun.47

45

Nurgiyantoro, op. cit., h. 12 46

Tohari, op. cit., h. 9 47

Ibid.

Page 76: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

64

Tahap tengah yang merupakan inti cerita, digambarkan dengan

meningkatnya konflik yang dialami oleh para tokoh hingga konflik

tersebut akhirnya memuncak. Dalam cerita, Tarsa akhirnya merasakan

kemenangan karena mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu segelas es

limun dari hasil memeras Mirta. Es limun itu ternyata membawa

malapetaka bagi Tarsa dan Mirta. Mirta sakit karena Tarsa

meninggalkannya terlalu lama di tempat panas hanya demi segelas es

limun. Akibat ego Tarsa itu, akhirnya, mereka berdua hari itu tidak bisa

mengemis dan tidak dapat uang.

“Kamu sakit, Kang?”

“Tidak,” jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan

Mirta. Memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah

ragu.

“Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere, bukan? Yang

namanya kere harus ngemis, bukan?”

“Kali ini aku malas.”48

Uang yang mereka punya pun sudah habis dan mereka saat itu belum

makan siang. Mirta dan Tarsa terus berdebat tentang siapa yang harus

disalahkan ketika mereka berdua mendapatkan uang yang sedikit dari

hasil mengemis. Perdebatan itu pun akhirnya membawa mereka ke dalam

percakapan mengenai orang-orang yang memiliki mata yang enak

dipandang.

“Kang, aku sudah membawa kamu kemana-mana. Kamu sudah

kuhadapkan ke semua orang, ke semua penumpang. Jadi, kalau kamu

tak dapat duit, kamu sendiri yang tolol, kan?”

“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang

biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita harus

lama bertahan.”

“Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti itu?”

“Betul, kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang

yang suka memberi receh punya mata lain.”

… “Tidak galak?”

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu

betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang

suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya,

48

Ibid., h. 13

Page 77: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

65

kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak

dipandang.”49

Tahap akhir yang merupakan penyelesaian cerita. Boleh saja peneliti

membayangkan bahwa Mirta pingsan karena kelaparan dan kemudian

meninggal, sedangkan Tarsa akhirnya bergegas memasuki gerbong kereta

api kelas tiga untuk mengemis dengan caranya sendiri. Tahap ini memang

dibuat “menggantung” oleh pencerita. “Menggantung” dalam artian,

bahwa pengarang ingin pembacanyalah yang menentukan sendiri

bagaimana akhir ceritanya.

Tak ada reaksi apa pun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring

ke barat, namun panasnya maish menyengat. Tarsa gagap, tak tahu

apa yang harus dilakukannya. Mungkin tidak sengaja ketika dia

mengulang berbisik di telinga Mirta.

“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya

enak dipandang, bukan?”

Hening.50

Tahap awal cerita dari cerpen “Sayur Bleketupuk” diawali dengan

pengenalan para tokoh utamanya, yakni Parsih, Dalbun, Darto, dan Darti.

Hidup mereka memang pas-pasan karena Dalbun hanya bekerja sebagai

kuli batu di suatu proyek pembangunan jembatan, akan tetapi, mereka

merupakan satu keluarga yang utuh dan harmonis. Kemunculan konflik

sudah ditandai saat cerita baru dimulai, yakni keterlambatan Dalbun

pulang ke rumah.

Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.

Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang

jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang. Tapi

kemana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.

Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat riang. Nanti

habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar di

lapangan desa.51

49

Ibid. 50

Ibid., h. 17 51

Ibid., h. 99

Page 78: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

66

Tahap tengah yang merupakan inti cerita dan kelanjutan dari awal

munculnya konflik, kemudian berkembang dan memuncak hingga

semakin membuat pembaca merasa tegang. Hal tersebut digambarkan

saat Dalbun yang sampai menjelang malam belum juga pulang.

Sementara, Darto dan Darti sudah tidak sabar untuk segera naik jaran

undar. Parsih yang sudah berputus asa menunggu Dalbun pulang,

akhirnya mengambil jalan tengah demi menyelamatkan janji kepada

anak-anaknya.

Parsih merenung sambil berjalan tanpa tujuan tertentu. Dia bingung

dan kelihatan ingin memutuskan sesuatu. Kemudian dia menegakkan

kepala dan melangkah ke arah belakang rumah. …Masuk ke tengah

rimbun perdu, Parsih memilih-milih tanaman rambat, lalu

mengambilnya beberapa genggam. Itu bleketupuk, tanaman liar

penawar pusing dan hanya disayur bila benar-benar diperlukan.

Sambil ia berjalan pulang, dipetiknya juga daun-daun singkong muda

yang biasa dimasaknya menjadi sayur.52

Tahap akhir atau penyelesaian cerita dari cerpen ini digambarkan

dengan Parsih yang menangis dan menyesali sikapnya sendiri karena ia

sudah berprasangka buruk kepada suaminya yang pulang terlambat, yang

kemudian membawa ia kepada keputusan untuk membuat sayur

bleketupuk dan menghidangkan pada anak-anaknya. Akibat prasangka

buruk itu, akhirnya, Darto dan Darti tidak jadi naik jaran undar karena

sudah tertidur pulas akibat tanaman bleketupuk itu, meskipun sebenarnya

mereka masih bisa berangkat setelah Dalbun sampai di rumah. Parsih pun

semakin terbebani batinnya saat mengetahui kejadian sebenarnya, yang

membuat suaminya sampai pulang terlambat.

“Jadi bagaimana? Tidak jadi pergi naik jaran undar?”

“Aku tidak sampai hati memaksa mereka bangun,” jawab Parsih dan

air matanya mulai berjatuhan dan melepaskan nafas panjang. Dia

pun merasa tidak tega membangunkan kedua anaknya yang begitu

lelap tidur.

“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil

keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi

mandor yang paling terkutuk!”

52

Ibid., h. 101

Page 79: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

67

Masih berdiri di depan dipan anak-anaknya. Parsih mendengar

keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh

membebani dadanya. Air matanya menitik lagi. Dan terlihat dari

balik genangan air mata, wajah Darto dan Darti menjadi begitu bagus

dan bercahaya.

… Parsih keluar dari kamar anak-anaknya. Dia mengibas-ngibaskan

tangan yang masih bau daun bleketupuk. Sambil menangis.53

Tahap awal cerita dari cerpen “Daruan” diawali dengan perkenalan

tokoh Daruan dan kehidupannya. Daruan dikisahkan sebagai seorang

penulis. Hari itu ia sangat bahagia ketika mendapat sebuah paket dari

sahabatnya yang berisi terbitan novel karya pertamanya.

Sebuah paket pos diterima Daruan dari Muji di Jakarta. Kiriman

dalam kertas payung itu mengakhiri masa perhentian selama dua

tahun yang hampir menghabiskan kesabaran Daruan. Isi paket pos

itu sungguh menggembirakan hati Daruan: novel karya

pertamanya.54

Di tahap ini juga sudah terlihat munculnya konflik pada tokoh

Daruan, yakni selama dua tahun ia mencari penerbit yang mau menerima

naskahnya dengan penuh kesabaran. Selama dua tahun itu pula, Daruan

menjadi pengangguran. Ia tidak mampu menafkahi keluarganya sehingga

istrinyalah yang menanggung semua kebutuhan keluarga mereka.

Tahap tengah merupakan inti cerita dan kelanjutan dari awal

munculnya konflik di tahap sebelumnya. Konflik dalam cerita tersebut

berkembang hingga akhirnya memuncak. Saat Daruan pergi ke rumah

Muji hendak meminta honor atau uang muka atas penerbitan novelnya,

yang diterima Daruan bukanlah berita bagus, tetapi ia harus menerima

kenyataan kalau ternyata novelnya sama sekali belum ada yang terjual.

“Pemilik-pemilik kios yang saya titipi novelmu belum satu pun setor.

Juga para pengecer asongan.”

Daruan menelan ludah.55

53

Ibid., h. 104 54

Ibid., h. 41 55

Ibid., h. 45

Page 80: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

68

Puncak konflik dalam cerpen ini dikisahkan ketika Daruan

mengetahui bahwa karyanya dijual dengan harga yang murah, bahkan

sangat murah. Akan tetapi, tetap tidak ada satu pun pembeli yang

berminat dengan novel karyanya yang harganya jauh sekali dengan harga

novel-novel di toko-toko buku besar. Daruan menyaksikan sendiri

kepiluan itu dengan matanya.

Diikutinya si pengasong dari jarak tertentu. Diperhatikannya apakah

ada penumpang yang berminat membeli novelnya. Tetapi sampai

menyeberang lima gerbong, Daruan tidak menemukan pemandangan

yang diharapkan.56

Tahap akhir atau penyelesaian cerita dari cerpen ini digambarkan

dengan sikap Daruan yang tetap kuat hati dan berusaha menyelamatkan

harga dirinya sendiri dengan cara membeli semua novel karyanya dari

pengasong tersebut.

“Sebagai pengarang baru, Daruan memang hebat ya, Pak? Buktinya,

Bapak memborong semua karyanya.”

“Mungkin atau entahlah, aku tak kenal dia.”

Tak kenal dia? Rasa perih kembali menggigit jantung Daruan ketika

sadar dia sendiri telah menampik dirinya.

Namun, Daruan masih bisa melakukan sesuatu; membungkus enam

belas buku yang sudah dibeli dengan seluruh uangnya. Ketika itu

Daruan sadar, yang sedang dibungkusnya bukan sekadar buku

melainkan dirinya sendiri.57

4. Latar (setting)

Latar adalah gambaran tentang tempat dan waktu serta segala situasi

di tempat terjadinya peristiwa.58

Latar dalam cerita biasanya akan

menyangkut tiga hal; (1) latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada

lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu

secara geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu, seperti rumah,

sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar waktu ini

berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa

56

Ibid., h. 48 57

Ibid., h. 49 58

Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 56

Page 81: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

69

yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini biasanya berhubungan

dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan

dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial merupakan latar yang merujuk

pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial

masyarakat ini mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang

dijadikan sebagai latar cerita.59

Secara garis besar, karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang

penderitaan, keterpinggiran, atau kenelangsaan dari masyarakat kelas

bawah, maka latar yang dipergunakan dalam karya-karyanya pun

menggunakan latar yang dekat atau akrab dengan kehidupan masyarakat

kelas bawah. Akan tetapi, dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,

latar tempat yang dipergunakan dalam cerita adalah di stasiun. Istilah

stasiun dan kereta api biasanya lebih dekat dengan kehidupan perkotaan

daripada kehidupan pedesaan, walaupun ada juga stasiun kereta api yang

berdekatan dengan lingkungan pedesaan.

Mungkin juga pengemis buta bernama Mirta dan penuntunnya,

Tarsa, itu berasal dari suatu desa yang miskin dan mereka sengaja pergi

ke suatu kota untuk mencari penghidupan dengan cara mengemis atau

meminta uang kepada siapa pun yang kebetulan berbaik hati.

Kesimpulannya, informasi pasti mengenai asal-usul kedua tokoh tersebut

memang tidak tersedia dari sang pencerita.

Latar waktu yang digambarkan adalah pukul satu siang.

Sebagaimana diketahui juga, stasiun bukan hanya sebagai tempat untuk

orang-orang menunggu kedatangan kereta api, tetapi juga sebagai tempat

yang biasa didatangi oleh orang-orang seperti Mirta dan penuntunnya

untuk mengemis.

Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan

depan stasiun.60

59

Kurniawan, op. cit., h. 75 60

Tohari, op. cit., h. 9

Page 82: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

70

“Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru

datang? Kereta utama, bukan? Kita tidak akan bisa masuk kereta

seperti itu. Ngemis lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti

kereta kelas tiga.”61

Stasiun sebagai tempat menunggu kedatangan kereta api selalu

dipenuhi dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari

kalangan atas sampai bawah, banyak yang menggunakan fasilitas

transportasi darat ini. Biasanya orang-orang dari kalangan atas

menggunakan kereta api kelas satu. Mereka yang menaiki kereta ini

enggan memberikan uang kepada orang-orang seperti Mirta dan Tarsa.

Mereka memiliki pandangan yang dingin dan tidak peduli dengan

kehadiran Mirta dan Tarsa.

Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak

dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat

berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin

seperti bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada

sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa

membawa kesan dari dunia yang amat jauh.62

Berbeda dengan orang-orang dari kalangan bawah (orang yang

hidupnya pas-pasan. Setiap memperoleh uang pasti dibelanjakan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari, itupun belum tentu cukup. Misalnya:

pedagang kaki lima, dsb.) yang biasanya menaiki kereta kelas tiga,

mereka memiliki mata yang enak dipandang dan tidak galak. Mereka juga

sering memberi uang kepada Mirta dan Tarsa.

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu

betul. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang

melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka

memberi memang enak dipandang.”63

“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman.

Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja kereta kelas tiga.”64

61

Ibid., h. 14 62

Ibid., h. 15 63

Ibid., h. 14 64

Ibid., h. 15

Page 83: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

71

Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”

adalah suatu pedesaan yang mayoritas penduduknya dari kalangan kelas

bawah. Masyarakat pedesaan biasanya digambarkan hidup sederhana dan

pas-pasan, begitu pula dengan keluarga Dalbun dan Parsih. Gaya hidup

masyarakat desa tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar

di lapangan desa.65

Matanya menatap jauh ke timur. Dia ingin melihat sosok Dalbun,

dengan tudung plastik sedang mengayuh sepeda. Namun, yang selalu

muncul adalah sosok lain.66

Untung api di tungku masih ada, pikir Parsih. Maka segera ia siapkan

segalanya untuk membuat masakan sayur bleketupuk campur daun

singkong. Diberi penyedap lebih dari cukup, ada bawang, ada

kencur.kayu api dinyalakan, nyala yang besar.67

Ayam-ayam mulai masuk ke kandangnya di belakang rumah.68

Masyarakat desa juga memiliki kebiasaan untuk hidup berdampingan

dan berinteraksi dengan baik. Perhatian dan kepedulian antarsesama

masih terlihat di dalam cerita.

Selesai makan kedua anak itu lari keluar. Mereka biasa numpang

nonton televisi di rumah Pak RT sebelum magrib.69

“Mereka tidak sakit, kan?”

“Tidak. Mereka baru saja makan. Mungkin kekenyangan lalu

mengantuk.”70

Di rumah Bu RT, Parsih melihat Darto dan Darti lelap dan terkulai di

atas karpet. Parsih hampir menangis. Dia kemudian minta tolong Bu

RT menaikkan Darti ke punggungnya.71

65

Ibid., h. 99 66

Ibid., h. 100 67

Ibid., h. 102 68

Ibid. 69

Ibid. 70

Ibid., h. 103 71

Ibid.

Page 84: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

72

Latar waktu dalam cerpen ini adalah hari Sabtu pukul lima sore dan

berlanjut sampai pukul tujuh malam.

Parsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi, dan keluar lagi.

Ini Sabtu jam lima sore.72

Matahari sudah hampir tenggelam. Sambil menggigit bibir Parsih

masuk kembali ke rumah.73

Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan

kepada mandor yang datang sangat terlambat.74

Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Daruan” sebagai tempat

tinggal Daruan dan keluarganya, tidak digambarkan dengan jelas di

mananya. Setidaknya pembaca mengetahui bahwa Daruan dan

keluarganya tinggal di sebuah pedesaan yang jauh dari kota Jakarta.

Dikisahkan, Daruan berangkat ke Jakarta menggunakan transportasi

kereta api pada malam hari. Ia ke Jakarta hendak menemui Muji,

sahabatnya.

Jam lima pagi kereta api yang dinaiki Daruan masuk Jakarta. Daruan

turun dengan perasaan tidak nyaman.75

Dalam perjalanannya itu, Daruan juga sempat mampir ke musala

dekat staisun. Awalnya, ia hanya ke WC, lalu cuci muka di musala. Akan

tetapi, karena kehadiran tokoh lelaki tua di sana, ia akhirnya ikut

menunaikan salat subuh.

Udara pengap dalam kereta api juga membuatnya gerah sepanjang

jalan. Daruan ingin mandi atau setidaknya cuci muka. Dekat musala

stasiun, Daruan melihat seorang lelaki tua sedang membasuh muka.

Daruan ke sana, masuk WC, kemudian ikut membasuh muka di

samping lelaki tua itu.76

72

Ibid., h. 99 73

Ibid., h. 100 74

Ibid., h. 104 75

Ibid., h. 43 76

Ibid.

Page 85: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

73

Percakapan Daruan dengan lelaki tua itu kemudian membuka

gambaran latar sosial yang ada pada saat itu. Tokoh Daruan digambarkan

sebagai orang yang kurang taat beragama, sedangkan lelaki tua itu adalah

orang yang taat beragama. Hal tersebut menunjukkan adanya

keberagaman masyarakat saat itu, yang memiliki kebiasaan beribadah

dan tidak ketika itu. Kebiasaan Daruan yang sering meninggalkan salat

lima waktu juga semakin dipertegas oleh pengarang melalui kutipan

berikut.

Tetapi Daruan benar-benar ikut sembahyang. Dalam

sembahyangnya, tiba-tiba Daruan merasa beruntung mendapat

peluang berdoa. Anehnya, dia tergagap dan gagal menemukan doa

yang pantas dikemukakan kepada Tuhan.77

Latar tempat selanjutnya, yakni rumah Muji. Latar waktunya sekitar

jam setengah tujuh pagi. Hal itu diperkuat dengan keadaan di mana anak-

anak Muji sudah mengenakan seragam sekolah, hendak sarapan.

Muji membawa tamunya masuk. Pagi yang renyah bagi dua sahabat

yang sudah lama tak bertemu. Istri Muji menyajikan kopi dan roti

kering, anak-anak mereka yang sudah mengenakan seragam sekolah

ikut meramaikan suasana.78

Melihat dari kutipan di atas, cara sarapan keluarga Muji tentu

berbeda dengan tokoh Daruan. Jika keluarga Muji sarapan dengan roti

kering. Itu tentu menandakan bahwa mereka adalah orang yang mapan,

sedangkan Daruan biasa mengisi perutnya dengan lontong dan telur asin.

Hal tersebut merupakan kebiasaan yang sudah banyak diketahui

masyarakat luas. Bahkan, sering terdengar kalau orang yang sarapan

dengan roti itu seperti mengikuti kebiasaan orang-orang kaya di Barat.

Sementara, lontong dan telur asin menjadi makanan yang khas bagi

masyarakat menengah ke bawah.

77

Ibid. 78

Ibid., h. 44

Page 86: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

74

5. Sudut Pandang

Sudut pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat

yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan

ceritanya.79

Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Mata yang

Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” adalah sudut

pandang orang ketiga serba tahu. Jadi, Ahmad Tohari bertindak sebagai

pencerita yang serba tahu. Tahu apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan

oleh beberapa tokoh yang terdapat dalam ceritanya. Akan tetapi, pencerita

tidak memiliki peran sebagai tokoh dalam cerita tersebut (di luar cerita).

Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa lebih baik tidak lagi

menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja

semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati,

Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat

berpengalaman.80

(MyED)

Masih berdiri di dekat dipan anak-anaknya, Parsih mendengar

keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh

membebani dadanya. Air matanya menitik lagi. Dan terlihat dari

balik genangan air mata, wajah Darto dan Darti menjadi begitu

bagus dan bercahaya.81

(SB)

Daruan terpuruk di tempat duduknya. Matanya terpejam meskipun

hatinya sama sekali tidak tidur. Dalam saku bajunya masih tersisa

uang 15.000, tak cukup untuk menebus cincin istrinya yang sedang

tergadai. Tetapi untuk sekadar membeli kaus buat anaknya, uang itu

cukup. Atau untuk membeli rambutan saja karena istrinya sangat

menyukaiya.82

(Daruan)

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa

secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.83

Gaya

bahasa yang digunakan Ahmad Tohari dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” cenderung

79

Kurniawan, op. cit., h. 78 80

Tohari, op. cit., h. 16 81

Ibid., h. 105 82

Ibid., h. 47 83

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 5

Page 87: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

75

menggunakan bahasa sehari-hari, yang sesuai dengan latar dan identitas

dari tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut. Meski bahasa yang digunakan

cenderung memakai bahasa sehari-hari, Ahmad Tohari tidak

menyuguhkannya dengan berlebihan. Dengan kata lain, ia menyuguhkan

dengan porsi yang benar-benar tepat, seimbang, namun lengkap. Ini yang

menyebabkan para pembaca tersentuh nuraninya.

Penderitaan yang dialami para tokoh dalam cerpen-cerpennya tidak

diungkapkan dengan bahasa-bahasa yang memelas, yang seolah penulis

ingin agar pembacanya merasa kasihan. Ciri yang juga menjadi khasnya

adalah penggunaan diksi dari bahasa Jawa lokal dalam cerpen-cerpennya.

Penggunaan kata picek (buta) muncul beberapa kali dalam cerpen “Mata

yang Enak Dipandang” atau kata jaran undar (kuda putar) dan bleketupuk

(jenis tanaman liar penawar pusing) dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”.

Dalam cerpen “Daruan” tidak ditemukan penggunaan diksi dari bahasa

Jawa lokal seperti pada kedua cerpen sebelumnya.

Ahmad Tohari juga menggunakan majas-majas dalam penulisan

cerpen-cerpennya. Adapun majas-majas yang ia pergunakan untuk

memperindah cerpen-cerpennya sebagai berikut.

a. Majas Perumpamaan

Perumpamaan di sini adalah padanan kata simile dalam bahasa

Inggris. Kata simile berasal dari bahasa Latin yang bermakna „seperti‟.

Majas ini menunjukkan perbandingan dua hal yang pada hakikatnya

berlainan dan yang sengaja dianggap sama.84

Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering,

compang-camping dan gelisah.85

Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati

kering seperti dendeng.86

Ia jongkok seperti mayat yang dikeringkan.87

Namun, Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti bekicot.88

84

Ibid., h. 9 85

Tohari, op. cit., h. 9 86

Ibid., h. 10 87

Ibid., h. 11 88

Ibid., h. 12

Page 88: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

76

Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai

udang.89

Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata

dibalik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu.90

Majas ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata yang

Enak Dipandang”.

b. Majas Hiperbola

Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung

pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau

sifatnya—dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan

atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan

pengaruhnya.91

Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit,

Mirta tak ingin memanggil Tarsa.92

Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala Mirta dan membawa

seribu kunang-kunang.93

Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang

keropos.94

Kepalanya terasa menjadi gasing yang berputar makin lama

makin cepat.95

Rasa pening terus menggigit kepalanya.96

…, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat

jauh.97

Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati.98

Hati Daruan melambung ketika melihat namanya tercetak jelas

pada kulit buku yang berhias gambar gadis cantik dengan rambut

tergerai itu.99

89

Ibid. 90

Ibid., h. 15 91

Tarigan, op. cit., h. 55 92

Tohari, op. cit., h. 10 93

Ibid. 94

Ibid. 95

Ibid., h. 11 96

Ibid., h. 12 97

Ibid., h. 15 98

Ibid., h. 17 99

Ibid., h. 41

Page 89: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

77

Kini Daruan yakin dia bukan sekadar nama yang terombang-

ambing antara ada dan tiada, terayun ke sana kemari tanpa makna.

Pagi yang renyah bagi dua sahabat yang sudah lama tak

bertemu.100

Majas hiperbola ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata

yang Enak Dipandang” dan “Daruan”.

c. Majas Personifikasi

Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (orang, pelaku,

aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama) + fic (membuat).

Dengan perkataan lain, personifikasi ialah jenis majas yang

melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan

ide yang abstrak.101

Majas ini dimanfaatkan oleh pengarang untuk

membangun suasana alam yang digambarkan agar semakin hidup,

biasanya pada bagian-bagian yang berisi deskripsi.

Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip.102

Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson

serentak membentaknya.103

Ketika merasa tanah makin cepat berayun.104

Matahari melirik tajam dari belahan langit barat.105

Majas personifikasi banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata

yang Enak Dipandang”, sedangkan di kedua cerpen lainnya tidak

ditemukan.

d. Majas Epizeukis

Majas epizeukis merupakan salah satu majas yang termasuk ke

dalam majas repetisi atau perulangan. Epizeukis adalah gaya bahasa

100

Ibid. 101

Tarigan, op. cit., h. 17 102

Tohari, op. cit., h. 10 103

Ibid. 104

Ibid., h. 12 105

Ibid., h. 16

Page 90: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

78

perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau

yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.106

Mirta juga minum. Bukan es limun melainkan air putih; segelas,

segelas lagi, dan segelas lagi.107

Tiba-tiba Daruan merasa tubuhnya menyusut, kecil, dan makin

mengecil.108

Majas epizeukis hanya ditemukan dua, yakni satu di dalam cerpen

“Mata yang Enak Dipandang” dan satu lagi dalam cerpen “Daruan”.

e. Majas Metafora

Poerwadarminta berpendapat bahwa metafora adalah pemakaian

kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang

berdasarkan persamaan atau perbandingan. Berbeda lagi dengan

Moeliono, yang berpendapat bahwa metafora ialah perbandingan yang

implisit—jadi tanpa kata seperti atau sebagai—di antara dua hal yang

berbeda.109

Judul cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah

metafora dari orang-orang yang suka memberi.

“…Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang

suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang.

Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak

dipandang.”110

Majas metafora ini tidak digunakan di dalam kedua cerpen

lainnya.

f. Majas Sarkasme

Menurut Poerwadarminta, sarkasme adalah sejenis gaya bahasa

yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati.

106

Tarigan, op. cit., h. 188 107

Tohari, op. cit., h. 11 108

Ibid., h. 48 109

Tarigan, op. cit., h. 15 110

Tohari, op. cit., h. 14

Page 91: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

79

Ciri utama gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan

dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar.111

“Itu salahmu. Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis.”

“Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak

menjadi penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak

dapat duit. Jadi, siapa yang tolol?”

“Kang, aku sudah membawa kamu kemana-mana. Kamu sudah

kuhadapkan ke semua orang, ke semua penumpang. Jadi, kalau

kamu tak dapat duit, kamu sendiri yang tolol, kan?”

“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang

yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita

harus lama bertahan.”

“Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti

itu?”

“Betul, kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka.

Orang yang suka memberi receh punya mata lain.”

“Ah, tahi kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain?”112

Majas sarkasme ini banyak ditemukan di dalam cerpen “Mata

yang Enak Dipandang” berupa kata-kata, seperti tolol, kere, dan picek.

Tentu bukan suatu kebetulan jika majas ini banyak ditemukan di

dalam cerpen ini. Tohari menyesuaikan gaya bahasa yang digunakan

dengan latar dan identitas tokoh Mirta dan Tarsa. Mereka bukanlah

orang yang berpendidikan, mereka hanya seorang pengemis buta dan

penuntunnya yang sehari-hari mencari makan dengan cara meminta-

minta kepada para penumpang kereta. Oleh karena itu, bahasa yang

mereka gunakan dalam percakapan pun kasar jika di dengar.

g. Majas Klimaks

Keraf mengungkapkan bahwa klimaks adalah semacam gaya

bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali

semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan

sebelumnya.113

Klimaks ini dimanfaatkan pengarang untuk

111

Tarigan, op. cit., h. 92 112

Tohari, op. cit., h. 13 113

Tarigan, op. cit., h. 78

Page 92: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

80

menggambarkan kekhawatiran yang terus meningkat dari para tokoh

dalam cerita. Berikut kutipan dari masing-masing cerpen.

“…Keringatnya mulai mengering karena sapuan angin. Tapi

wajahnya perlahan-lahan berubah pucat. Nafasnya megap-megap.

Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya tampak

tenang. Mirta terbujur diam di bawah kerai payung depan stasiun.

Mirta tertidur atau Mirta pingsan.”114

Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran

undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin

bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah

membuat sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-

anaknya. Parsih terisak lagi.115

Di mata Daruan, botol-botol itu bukan berisi teh melainkan

darahnya yang diasongkan dan tak ada pembeli. ...Daruan merasa

ususnya tertusuk-tusuk menjadi sate, diasongkan, dan tidak laku.

...Dia merasa isi kepalanya meletup ke luar dan jatuh ke dalam

piring berkuah santan.116

Kesimpulan peneliti tentang gaya bahasa yang dominan

digunakan Ahmad tohari di dalam ketiga cerpen tersebut adalah majas

perumpamaan dan majas hiperbola.

B. Nilai Sosial dalam Antologi Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya

Ahmad Tohari

Nilai-nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari nampak dari pandangan

hidup para tokoh yang dapat dilihat dalam percakapan maupun narasi ketiga

cerpen tersebut. Notonegoro menyatakan bahwa ada tiga macam nilai, yaitu

nilai materiil, nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai-nilai sosial termasuk ke

dalam jenis nilai kerohanian, subbagian nilai kebaikan. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan terhadap ketiga cerpen, peneliti menemukan ada

beberapa aspek nilai sosial di dalamnya. Aspek nilai-nilai sosial itu dapat

114

Tohari, op. cit., h. 12 115

Ibid., h. 103 116

Ibid., h. 48

Page 93: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

81

dilihat dari hubungan sosial dan interaksi sosial antartokoh yang terefleksi

dalam ketiga cerpen.

1. Nilai Materiil

Nilai materiil merupakan nilai yang bersifat fisik (kebendaan).

Maksudnya, nilai yang diukur berdasarkan kegunaannya bagi jasmani

manusia. Nilai materiil yang terdapat di dalam cerpen “Mata yang Enak

Dipandang”, yaitu es limun86

. Es limun adalah salah satu minuman

musim panas yang paling lezat; rasanya menyegarkan sekaligus dapat

menghilangkan rasa haus. Selain rasanya yang segar, es limun

merupakan es yang tergolong murah dan terjangkau di kantung semua

kalangan. Tidak heran jika semua kalangan menyukainya.

Bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, es limun

merupakan sebuah kemewahan. Itu alasan mengapa es limun masuk

sebagai kategori nilai materiil. Meskipun bukan makanan pokok seperti

sayur bleketupuk, tetapi es limun merupakan jenis minuman yang

sedang tren kala itu. Kehadirannya di dalam cerita juga penting, yakni

sebagai sesuatu yang membuat konflik di antara Mirta dan Tarsa

semakin meningkat.

Di dalam cerita, minuman ini dinikmati oleh tokoh Tarsa. Tarsa

sengaja meninggalkan Mirta di tempat yang terik agar Mirta menuruti

semua permintaannya, termasuk membelikannya es limun. Minum es

limun di saat cuaca panas tentu sangatlah nikmat. Es limun bisa

menghilangkan haus dan dahaga orang yang meminumnya. Es limun

86

Sedikit ulasan tentang sejarah es limun; limun, sebutan untuk minuman ringan berkarbonasi

yang pernah merajai rak-rak toko kelontong dan rumah makan puluhan tahun silam. Sayang

seiring dengan perkembangan zaman dan ekspansi besar-besaran dari pabrik minuman bersoda

buatan Amerika, sebagian besar pabrik limun di Indonesia tak mampu bersaing dalam kemajuan

alat produksi dan tekanan harga jual. Akan tetapi, di Pekalongan masih ada satu pabrik limun aktif

dengan nama Pabrik Limun Oriental. Pabrik Limun Oriental adalah nama pabrik limun di

Pekalongan yang didirikan oleh Njo Giok Liem pada tahun 1923. Limun yang diproduksinya

merupakan hasil campuran air sari buah, asam sitrat, dan uap dari racikan CO2. Dengan proses

pemanfaatan uap itulah hasil karbonasi limun tak sekeras minuman bersoda yang menggunakan

bahan campuran gula dan bubuk soda. Produksi limun beruapnya kemudian diberi merk Cap

Nyonya. Sumber:https://jejakbocahilang.wordpress.com/2017/08/16/limun-oriental-pekalongan/

Page 94: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

82

juga memiliki harga yang murah dan terjangkau bagi semua kalangan,

tak terkecuali masyarakat pinggiran seperti Mirta dan Tarsa.

Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mirta

menyeberang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es

limun diminumnya dengan penuh rasa kemenangan.117

Nilai materiil yang terdapat di dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”,

yaitu makanan yang bernama sayur bleketupuk. Sayur ini dibuat dari

daun bleketupuk yang biasa dicampur dengan daun singkong yang masih

muda ditambahkan bawang, kencur, dan juga penyedap rasa secukupnya.

Bleketupuk merupakan tanaman liar penawar pusing yang hanya disayur

bila benar-benar diperlukan. Satu genggam daun bleketupuk cukup untuk

menghilangkan rasa pusing dan menidurkan orang dewasa.

Sama halnya dengan kedudukan es limun di dalam cerpen “Mata

yang enak Dipandang”, sayur bleketupuk termasuk ke dalam nilai

materiil karena merupakan makanan pokok bagi kalangan masyarakat

bawah kala itu. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk membuatnya.

Biasanya, tanaman tersebut tumbuh merambat di tengah rimbun perdu di

belakang rumah masyarakat saat itu. Tanaman bleketupuk juga bisa

menjadi obat penawar pusing bagi orang-orang kecil yang membutuhkan.

Di dalam cerpen, sayur bleketupuk menjadi penyebab konflik para tokoh

semakin meningkat.

Keadaan ekonomi keluarga Parsih yang hidup pas-pasan dan hanya

mengandalkan dari gaji suaminya yang dibayar seminggu sekali—setiap

Sabtu sore—membuat dirinya harus berhutang dulu untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Baru setelah Dalbun gajian, keesokan harinya ia

pergi ke warung untuk melunasi hutang-hutangnya. Ia sama sekali tidak

punya uang simpanan.

Ketika Parsih dan Dalbun sudah berjanji kepada Darto dan Darti

untuk mengajak mereka naik jaran undar, ternyata di hari gajian Dalbun

justru pulang terlambat, Parsih sangat kecewa dan sudah berpikir jelek

117

Tohari, op. cit., h. 11

Page 95: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

83

tentang suaminya yang mungkin sedang lembur ditemani dengan

perempuan-perempuan cantik penjual kue. Hingga malam hari, Dalbun

tak kunjung datang jua, akhirnya Parsih membulatkan hati untuk

membuat anak-anaknya tertidur dengan ramuan daun bleketupuk. Ia tak

perlu mengeluarkan uang karena daun tersebut berada di belakang

rumahnya.

Masuk ke tengah rimbun perdu, Parsih memilih-milih tanaman

rambat, lalu mengambilnya beberapa genggam. Itu bleketupuk,

tanaman liar penawar pusing dan hanya disayur bila benar-benar

diperlukan.118

Maka segera dia siapkan segalanya untuk membuat masakan sayur

bleketupuk campur daun singkong.119

Wajah Parsih memucat. Dia memang sudah tahu Darto dan Darti

akan mengantuk sesudah makan sayur bleketupuk. Segenggam

daun bleketupuk cukup buat menghilangkan rasa pusing dan

menidurkan seorang dewasa.120

Sayur bleketupuk itu menjadi penyelamat Parsih yang hampir

kehilangan kepercayaan dari kedua anaknya. Dengan membuat anak-

anaknya tertidur, ia berpikir anak-anaknya tidak akan merasa begitu

kecewa karena tidak jadi naik jaran undar malam itu.

2. Nilai Vital

Nilai vital adalah sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat

melaksanakan kegiatan. Nilai ini diukur dari kegunaannya untuk dapat

membantu manusia dalam beraktivitas. Nilai vital yang terdapat di

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah kereta api. Kereta

api merupakan alat tranportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat

dari berbagai kalangan, dari mulai kalangan atas sampai kalangan

bawah. Kereta api ini digunakan untuk membantu manusia dalam

118

Ibid., h. 101 119

Ibid., h. 102 120

Ibid., h. 103

Page 96: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

84

beraktivitas, misalnya bepergian ke luar kota, berangkat bekerja, jalan-

jalan, dsb.

Semakin majunya alat transportasi di Indonesia, kereta api di

zaman sekarang sudah banyak menggunakan commuter line dibanding

kereta api uap seperti zaman dulu. Selain itu, situasi di stasiun saat ini

juga berbeda dengan situasi stasiun zaman dulu. Zaman sekarang stasiun

sudah melarang pedagang asongan dan pengemis untuk masuk ke dalam

gerbong-gerbong kereta. Semuanya benar-benar steril hanya untuk para

penumpang kereta api yang menggunakan jasanya.

Berbeda dengan situasi dan kondisi stasiun zaman dulu. Dulu, para

pedagang asongan dan pengemis masih banyak berkeliaran di dalam

stasiun dan di dalam gerbong-gerbong kereta api. Mereka mencari rejeki

untuk sekadar mengisi perut yang kosong dari para penumpang kereta

api. Mereka mencari dengan berkeliling dari satu gerbong ke gerbong

lain.

Para pengemis biasa berjalan di sisi kereta sambil menengadahkan

tangan ke jendela. Mereka memperoleh banyak uang dari para

penumpang kereta kelas tiga. Kereta kelas tiga, umumnya diisi oleh

penumpang-penumpang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Dengan demikian, fungsi keberadaan stasiun kereta api zaman dulu,

selain untuk membantu manusia dalam beraktivitas, juga sebagai tempat

para pengemis dan pedagang asongan mencari rejeki.

“Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang

yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita

harus lama bertahan.”121

Selain itu, di dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” juga

terdapat nilai vital, yaitu uang. Menurut KBBI, uang adalah alat tukar

atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan

121

Ibid., h. 13

Page 97: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

85

oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain

yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu; harta; kekayaan.122

Uang merupakan benda yang amat penting bagi manusia. Uang

dapat digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam kehidupan

manusia, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Uang bisa diperoleh

dengan cara bekerja keras atau menerima harta warisan dari orang tua.

Tanpa memiliki uang hidup manusia akan kesulitan, misalnya untuk

mengisi kebutuhan perut yang kosong setiap harinya.

Dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, tokoh Mirta dan

Tarsa bergantung hidup pada orang-orang yang memiliki mata yang enak

dipandang. Mereka adalah penumpang-penumpang kereta dari golongan

kelas tiga. Dengan mengemis dan memelas dari satu gerbong ke gerbong

lain, Mirta dan Tarsa berharap mereka bisa mengisi perut-perut mereka

yang kosong setiap harinya.

Begitu juga yang terjadi dengan keluarga Parsih dalam cerpen

“Sayur Bleketupuk”, nilai vital uang di dalam cerpen ini tidak hanya

sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk mewujudkan

janji pasangan suami istri dan impian dua orang anak. Impian yang sudah

lama dan sangat sederhana. Darto dan Darti hanya ingin naik jaran undar

atau kuda putar yang ada di lapangan desa.

Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang

jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang.

Tapi ke mana dia? Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan

berdandan. Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat

riang. Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau

kuda putar di lapangan desa. Itu janji Parsih dan suaminya kepada

Darto dan Darti; janji yang sungguh-sungguh.123

Naik jaran undar sudah lama menjadi mimpi Darto dan Darti.

Keduanya belum pernah mengalaminya; naik kuda kayu yang

gagah dan diayun berputar pasti hebat, pikir mereka.124

122

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1512 123

Tohari, op. cit., h. 99 124

Ibid.

Page 98: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

86

Hari itu adalah malam terakhir rombongan komidi jaran undar

yang sudah sebulan bermain akan pindah ke tempat lain. Parsih dan

Dalbun sudah berjanji akan mengajak mereka naik jaran undar. Akan

tetapi, rencana yang sudah direncanakan Parsih dan Dalbun semuanya

berantakan karena sang mandor datang terlambat di hari pembagian gaji.

Dan ini malam terakhir karena besok rombongan komidi jaran

undar yang sudah sebulan bermain akan pindah ke tempat lain.125

Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan

kepada mandor yang datang sangat terlambat. Wajahnya tegang

karena merasa telah membiarkan istri dan kedua anaknya terlalu

lama menunggu. Mereka pasti amat kecewa. Atau marah.126

Ternyata keterlambatan seorang mandor di hari gajian pekerjanya

telah membuat sebuah keluarga menderita. Dalbun yang seharusnya

menerima gaji tepat waktu dan pulang lebih cepat, justru pulang

terlambat hingga membuat istri dan kedua anaknya menunggu lama.

Parsih yang kecewa dan menaruh curiga kepada Dalbun terpaksa

membuat Darto dan Darti tertidur dengan memberikan mereka masakan

sayur bleketupuk.

Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran

undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin

bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah

membuat sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-

anaknya. Parsih terisak lagi.127

Pada akhirnya, semua tokoh harus menderita karena uang yang

terlambat diterima. Dalbun merasa bersalah telah membuat istri dan

kedua anaknya menunggu lama. Parsih menyesal telah menaruh curiga

kepada suaminya yang pulang terlambat di hari gajian dan harus

membuat kedua anaknya tertidur. Darto dan Darti pasti kecewa dan sedih

juga karena tidak bisa mendapatkan impiannya, meskipun di dalam cerita

tidak dijabarkan. Melalui kedua cerita pendek ini, penulis menyimpulkan 125

Ibid. 126

Ibid., h. 104 127

Ibid., h. 103

Page 99: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

87

bahwa uang adalah bagian terpenting atau sesuatu yang memiliki nilai

vital bagi para tokoh-tokoh di dalam cerita.

Parsih tidak punya uang untuk sewa jaran undar sebelum suaminya

pulang. Uang itu pun hanya akan singgah sebentar di tangan,

karena besoknya Parsih harus melunasi utangnya di warung.128

“Jadi bagaimana? Tidak jadi pergi naik jaran undar?”

“Aku tidak sampai hati memaksa mereka bangun,” jawab Parsih

dan air matanya mulai berjatuhan. Dalbun menunduk dan

melepaskan napas panjang. Dia pun merasa tidak tega

membangunkan kedua anaknya yang begitu lelap tidur.

“Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu,” keluh Dalbun sambil

keluar. “Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi

mandor yang paling terkutuk?”129

3. Nilai Kerohanian

Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi rohaniah

manusia. Nilai ini dibagi lagi menjadi 4 macam, yaitu nilai kebenaran,

nilai estetika, nilai kebaikan, dan nilai religius. Berdasarkan penelitian,

penulis hanya menemukan ada dua macam nilai kerohanian yang

terkandung di dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan "Daruan”, yakni nilai kebenaran dan nilai kebaikan.

Nilai-nilai sosial yang ditemukan penulis dari ketiga cerpen tersebut

termasuk ke dalam nilai kebaikan.

a. Nilai Kebenaran

Nilai kebenaran adalah nilai yang bersumber pada akal manusia.

Nilai ini berguna untuk mencari kebenaran menurut akal sehat dan

perasaan untuk menimbang baik dan buruknya. Nilai kebenaran

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” terdapat pada ungkapan

bahwa mata orang-orang yang suka memberi itu enak dipandang.

Bagi seorang pengemis, untuk mendapatkan uang dari para

penumpang kereta, mereka bisa menggunakan indra penglihatan

128

Ibid., h. 100 129

Ibid., h. 104

Page 100: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

88

mereka (bagi yang bisa melihat) untuk mencari orang-orang yang

biasa memberikan uang recehan.

Mirta memperoleh informasi itu dari teman-temannya yang

sesama pengemis. Pikir Mirta (yang tidak bisa melihat), orang-orang

tersebut ada dan biasa ia jumpai di kereta-kereta kelas tiga. Oleh

karena itu, Mirta hanya menyuruh Tarsa untuk menuntunnya ke

penumpang kereta api kelas tiga karena penumpang di sana adalah

orang-orang dari kalangan menengah ke bawah yang cenderung

dermawan daripada para penumpang kereta api kelas satu yang diisi

oleh orang-orang kaya atau kalangan atas yang acuh tak acuh

terhadap pengemis. Berikut kutipan-kutipan dalam cerpen yang

menunjukkan hal tersebut.

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu

betul. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang

melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka

memberi memang enak dipandang.”130

Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak

dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering

melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata

yang dingin seperti bambu, mata yang menyesal karena telah

tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya,

mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat

jauh.131

“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah

berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja

kereta kelas tiga.”132

b. Nilai Kebaikan

1) Nilai Sosial Kebersamaan

Nilai kebersamaan tergambar dari keadaan dua tokoh

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, yaitu Mirta dan

Tarsa. Mereka saling membutuhkan satu sama lain hingga

130

Ibid., h. 14 131

Ibid., h. 15 132

Ibid.

Page 101: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

89

akhirnya memutuskan bersama. Mirta sebagai seorang

pengemis yang tidak memiliki kesempurnaan dalam melihat,

sangat membutuhkan Tarsa, penuntunnya. Tarsa merupakan

orang yang setiap hari menuntun Mirta mengemis kepada

para penumpang kereta api di stasiun. Dengan mengemislah,

mereka tetap dapat melanjutkan hidup di tengah kejamnya

kota. Mereka sama-sama susah dan mereka bersama karena

sama-sama membutuhkan satu sama lain.

Kekurangan fisik Mirta membuat ia harus bertahan hidup

hanya dengan mengemis selama puluhan tahun bersama

penuntunnya. Mungkin mengemis merupakan pekerjaan yang

paling mudah dilakukan oleh orang yang memiliki

kekurangan fisik seperti Mirta. Tarsa pun demikian, ia

membutuhkan Mirta sebagai orang yang setiap hari

dituntunnya dan juga memberinya upah. Dari kondisi sosial

itulah, nilai-nilai kebersamaan tercipta di antara tokoh Mirta

dan tokoh Tarsa.

Akan tetapi, Tarsa suka berbuat semena-mena pada

Mirta, ia sering memeras Mirta dan memaksa Mirta untuk

menuruti semua kemauannya. Sampai akhirnya Tarsa

menyesali semua perbuatannya, setelah ia sadar bahwa yang

ia punya hanya Mirta, ia juga membutuhkan Mirta, dan ia

takut kehilangan orang yang selama ini dituntunnya.

Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi

orang yang dituntunnya itu dengan perasaan campur

aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu

lama demi segelas es limun. Mungkin juga ia jengkel

ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari kacung

bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di

depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere

tua yang keropos kedua matanya itu.133

133

Ibid.

Page 102: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

90

Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang

Mirta, siapa nanti yang akan kutuntun? Siapa nanti yang

akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak

dipandang?134

Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan

lelaki yang, meski kere dan buta, satu-satunya orang

yang tiap hari memberinya upah. Bahkan Tarsa mulai

takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.135

2) Nilai Sosial Kerja Sama

Nilai-nilai kerja sama juga tampak di antara tokoh Mirta

dan tokoh Tarsa dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”.

Mirta sudah puluhan tahun mengemis dan sudah beberapa

anak yang menjadi penuntunnya. Namun, hanya bersama

Tarsalah, Mirta sering tidak dapat uang. Itu karena Tarsa

tidak pandai mencari orang-orang yang biasa memberi

recehan. Mirta yang lebih berpengalaman dibandingkan Tarsa

kemudian membagikan ilmu yang ia dengar dari teman-

temannya, sesama pengemis, tentang orang-orang yang

mempunyai mata enak dipandang.

“Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa

kereta yang baru datang? Kereta utama, bukan? Kita

tidak akan bisa masuk kereta seperti itu. Ngemis lewat

jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas

tiga”.136

“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah

berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang.

Tunggu saja kereta kelas tiga.”137

Hal itu menjadi strategi yang bagus untuk Tarsa dan

Mirta agar mereka lebih mudah mendapatkan rezeki dari

tangan orang-orang dermawan. Dari situlah, mereka bekerja

134

Ibid., h. 16 135

Ibid. 136

Ibid., h. 14 137

Ibid., h. 15

Page 103: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

91

sama untuk mencapai tujuan mereka, yakni bertahan hidup

dengan mengemis hanya pada penumpang kereta kelas tiga.

Dalam cerpen ini, Ahmad Tohari membuka kesadaran para

pembaca, bahwasanya keberadaan seorang pengemis pun

ternyata dibutuhkan oleh seseorang. Tarsa yang fisiknya

normal, justru bisa hidup karena mendapatkan upah dari

Mirta.

Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya

tidak lebih dari kacung bagi kere picek yang kini

menggeletak di tanah di depannya; sialan, hidupku

tergantung hanya kepada kere tua yang keropos kedua

matanya itu.138

Tokoh Mirta dan tokoh Tarsa menunjukkan nilai kerja

sama antara seorang pengemis buta dan penuntunnya agar

mereka berdua sama-sama bisa bertahan hidup dengan

memanfaatkan kelebihan maupun kekurangan satu sama lain.

3) Nilai Sosial Tanggung Jawab

Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam cerpen “Sayur

Bleketupuk” dapat dilihat pada karakter tokoh Dalbun dan

Parsih. Dalam cerita, Dalbun diposisikan sebagai seorang

suami dan juga bapak dari keluarga kecilnya. Sebagai kepala

rumah tangga, ia memiliki tanggung jawab untuk

memberikan nafkah dan juga membahagiakan semua anggota

keluarganya, sedangkan Parsih, istrinya, yang bertanggung

jawab dalam mengelola keuangan keluarga.

Dalbun dan Parsih menunjukkan rasa tanggung jawab

mereka sebagai orang tua untuk merawat dan membesarkan

anak-anak mereka dengan baik. Meski hidup pas-pasan dari

hasil nguli batu, Dalbun dan Parsih tetap berusaha untuk

138

Ibid.

Page 104: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

92

memenuhi keinginan anak-anak mereka, yakni naik jaran

undar atau kuda putar di lapangan desa.

Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan.

Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat

riang. Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran

undar atau kuda putar di lapangan desa. Itu janji Parsih

dan suaminya kepada Darto dan Darti; janji yang

sungguh-sungguh.139

Parsih tidak punya uang buat sewa jaran undar sebelum

suaminya pulang. uang itu pun hanya akan singgah

sebentar di tangan, karena besoknya Parsih harus

melunasi utangnya di warung.140

Selanjutnya, dipertegas dengan kutipan dialog Parsih

yang merasa malu jika ia harus menyalahi janji kepada Darto

dan Darti. Hal itu merupakan nilai kebaikan yang seharusnya

dimiliki oleh setiap orang di zaman sekarang, bukan hanya

Parsih di dalam cerpen ini. Menyalahi janji merupakan

sesuatu yang tidak baik untuk dilakukan karena itu bisa

menyebabkan orang lain kecewa dan tidak lagi mempercayai

kita.

Bagaimana bila suamiku tidak pulang? pikir Parsih.

Apakah Darto dan Darti tidak jadi naik jaran undar?

Sungguh kasian mereka. Teman-teman akan mengolok

mereka sebagai anak sial karena tidak pernah naik jaran

undar. Lagi pula mau dikemanakan mukaku ini bila

ternyata aku terpaksa menyalahi janji terhadap anak-

anak?141

Nilai tanggung jawab juga terdapat dalam cerpen

“Daruan”. Hal tersebut dapat dilihat pada karakter tokoh

Daruan sendiri. Dalam cerita, Daruan diposisikan sebagai

suami sekaligus ayah dalam sebuah keluarga. Meskipun

139

Ibid., h. 99 140

Ibid., h. 100 141

Ibid., h. 101

Page 105: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

93

sudah dua tahun ia menganggur dan segala kebutuhan

keluarganya ditanggung oleh istrinya.

Sudah sekian lama Daruan tersiksa oleh

ketidakmampuan memberi nafkah kepada istri dan

anaknya. Sebaliknya, Daruan malah sudah sekian lama

hidup menjadi tanggungan istrinya yang membuka

warung di depan rumah. Keadaan yang melemahkan

kebanggaannya sebagai lelaki itu ingin secepatnya

diakhiri, dan honor novel yang sudah terbit adalah

kemungkinan yang paling dekat untuk diraih.142

Daruan tetap berusaha untuk dapat menafkahi

keluarganya dengan cara menjadi novelis. Sebagai laki-laki

dan kepala rumah tangga, ia merasa memiliki tanggung jawab

dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dengan begitu, ia tidak akan merasa kehilangan

kebanggaannya.

4) Nilai Sosial Kasih Sayang

Memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua kepada

anak-anaknya tentu dilakukan karena adanya rasa kasih

sayang terhadap mereka. Hal itu dapat ditunjukkan melalui

sikap Parsih dan Dalbun pada kedua anak mereka, yakni

Darto dan Darti dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”. Melalui

tokoh Parsih, hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Parsih gelisah. Wajahnya hampir gagal

menyembunyikan rasa cemas. “Kita akan berangkat

bersama ayahmu. Jadi tunggu sampai ayahmu

pulang”.143

Rasa kasih sayang tersebut ditunjukkan melalui sikap

Parsih yang memilih untuk menyembunyikan kegelisahannya

di depan Darto dan Darti agar mereka tidak tahu masalah apa

142

Ibid., h. 42 143

Ibid.

Page 106: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

94

yang sebenarnya sedang terjadi. Parsih juga berusaha

meyakinkan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan

berangkat naik jaran undar setelah ayah mereka pulang. Hal

tersebut dilakukan Parsih agar kedua anaknya tidak merasa

sedih dan kecewa karena orang tua mereka hari itu belum

bisa menepati janjinya. Parsih sungguh tidak tega jika harus

menyalahi janji kepada anak-anaknya. Tentu, tidak ada ibu di

dunia ini yang ingin melihat buah hatinya sedih dan kecewa,

terlebih karena kesalahan orang tuanya sendiri.

Sejatinya orang tua hanya ingin melihat anak-anaknya

hidup bahagia. Untuk itu, dia pun mengambil keputusan

untuk membuat sayur bleketupuk dan menyajikannya kepada

anak-anaknya. Rasa kasih sayang juga nampak saat Parsih

menggendong Darto dan Darti yang tertidur lelap di rumah

Bu RT setelah makan sayur bleketupuk yang dibuatnya. Hal

tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut.

Dia kemudian minta tolong Bu RT menaikkan Darti ke

punggungnya. Anak itu tetap terlelap, tersampir di

punggung Parsih yang berjalan terbungkuk-bungkuk.144

Rasa kasih sayang yang tulus itu akan memicu lahirnya

rasa perhatian dan peduli terhadap sesama. Dalbun tahu,

Darto dan Darti sudah tidak sabar dan senang sekali karena

akan naik jaran undar hari itu. Akan tetapi, sesampainya di

rumah, ia justru mendapati anak-anaknya sudah tertidur lelap

di ranjang. Dalbun tampak sangat khawatir, ia takut kalau

anak-anaknya sakit.

Dalbun khawatir kedua anaknya sakit. “Mereka kena

apa? Tidak sakit, kan?” tanya Dalbun dengan suara

cemas.145

144

Ibid., h. 103 145

Ibid., h. 104

Page 107: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

95

Dalbun semakin menunjukkan rasa kasih sayangnya

kepada Darto dan Darti saat ia merasa kecewa dan sedih

melihat anak-anaknya tidak jadi naik jaran undar, ia juga

tidak tega jika harus membangunkan mereka yang sedang

tertidur lelap seperti nampak dalam kutipan berikut.

Dalbun menunduk dan melepaskan napas panjang. Dia

pun merasa tidak tega membangunkan kedua anaknya

yang begitu lelap tidur.146

5) Nilai Sosial Kepercayaan

Selanjutnya, dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” juga

terdapat nilai kepercayaan yang tercermin pada tokoh

Dalbun. Dalbun sangat percaya terhadap istrinya, Parsih. Ia

percaya bahwa Parsih mampu mengelola dan

mempergunakan semua uang gaji yang ia berikan dengan

baik. Dengan rasa percaya tersebut lah, suatu hubungan atau

keluarga dapat berdiri kokoh. Akan tetapi, dalam cerpen ini,

tokoh Parsih justru sempat ragu dengan kepercayaan pada

suaminya.

Awalnya, ia memang percaya bahwa suaminya selama

ini tidak berbuat yang aneh-aneh atau mengkhianatinya.

Namun, di tengah cerita, Parsih mulai berpikiran negatif dan

mempunyai prasangka yang buruk pada suaminya.

Sebelum terlihat oleh istrinya, Dalbun sudah

mengeluarkan uang gajinya dari saku. Akan segera

diberikan semua kepada Parsih.147

Tapi ke mana Dalbun? Ini di luar kebiasaannya.

Matahari sudah hampir tenggelam. Sambil mengigit bibir

Parsih masuk kembali ke rumah. Dan pikirannya terbang

ke mana-mana.148

146

Ibid. 147

Ibid. 148

Ibid., h. 100

Page 108: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

96

Apakah Dalbun sedang kerja lembur dan ditemani

perempuan penjual kue-kue? Dada Parsih terasa

menyesak. Tapi dia masih percaya kepada Dalbun.

Sampai Darto dan Darti masuk sekolah dasar, suaminya

lurus-lurus saja. Namun Parsih juga ingat, wis sajege

wong lanang gedhe gorohe—bahwa sudah jadi

kebiasaan lelaki besar bohongnya.149

Kalimat dalam bahasa Jawa pada kutipan di atas—wis

sajege wong lanang gedhe gorohe—merupakan kalimat

stereotip. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif atau

negatif yang dipegang oleh suatu kelompok sosial tertentu.

Setelah munculnya stereotip maka akan muncullah

prejudice/prasangka yang merupakan sikap negatif yang

tidak dapat dibenarkan oleh anggota kelompok tersebut.

Prasangka tersebut dapat berupa perasaan tidak suka, marah,

curiga, dan bahkan kebencian.

Kaitannya dengan prasangka tokoh Parsih ialah Parsih

yang awalnya percaya saja dengan suaminya, Dalbun. Setelah

ingat kalimat pepatah stereotip itu menjadi kepikiran dan

seketika menaruh curiga pada suaminya. Kalimat itu

mengandung makna bahwasanya laki-laki Jawa atau semua

laki-laki dari sananya (ciptaanNya) mempunyai kebiasaan

besar bohongnya.

6) Nilai Sosial Toleransi

Nilai toleransi yang terdapat dalam cerpen “Sayur

Bleketupuk” tercermin pada sikap Bu RT yang membolehkan

dan membiarkan tetangganya atau warganya menonton

televisi setiap sebelum magrib di rumahnya. Toleransi

berasal dari kata “toleran”, yang memiliki arti bersifat atau

149

Ibid., h. 101

Page 109: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

97

bersikap menenggang pendirian yang berbeda atau

bertentangan dengan pendirian sendiri.

Biasanya orang mungkin risih jika setiap sore ada

tetangganya yang datang ke rumah hanya untuk menonton

televisi. Akan tetapi, sikap Bu RT di dalam cerpen ini

menunjukkan hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang

ada di masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan

berikut.

Selesai makan kedua anak itu lari keluar. Mereka biasa

numpang nonton televisi di rumah Pak RT sebelum

magrib.150

Rasa toleransi di lingkungan masyarakat desa memang

masih ada dibandingkan dengan masyarakat di kota. Bu RT

yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di

lingkungannya tetap membaur dan dekat dengan warganya.

Ia nampak toleran dan peduli dengan keadaan warganya,

yakni kepada keluarga Parsih yang memiliki kekurangan dari

segi materi.

Bu RT juga menaruh perhatian kepada keluarga Parsih

sebagai warganya. Ia juga khawatir jika Darto dan Darti

sakit, seperti dalam kutipan berikut.

“Mereka tidak sakit, kan?”.151

7) Nilai Sosial Tolong-Menolong

Nilai tolong-menolong terdapat di dalam cerpen

“Daruan”, yang ditunjukkan oleh tokoh Muji kepada tokoh

Daruan. Dikisahkan Muji yang nekat menjadi penerbit novel

Daruan, walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak

berpengalaman.

150

Ibid., h. 102 151

Ibid., h. 103

Page 110: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

98

Selanjutnya Muji bilang bahwa risiko yang dipikulnya

tidak ringan, karena dia belum berpengalaman dan

terutama karena tidak punya jaringan pemasaran.152

Muji juga membantu pemasaran novel Daruan sesuai

dengan kemampuannya. Tidak hanya sampai di situ, saat

Daruan mengunjungi rumahnya hendak meminta honor

novelnya, Muji yang mengerti keadaan Daruan saat itu

menolong kembali sahabatnya itu dengan memberikan

ongkos pulang sekaligus uang jajan untuk anak-anak Daruan.

“Kebetulan aku punya uang sedikit. Pakailah untuk

ongkos pulang dan sisanya buat jajan anak.”

Muji menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan dan satu

lembar lima ribuan.153

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA

Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah mencakup tiga genre

sastra, yakni prosa, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya

disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas

reseptif peserta didik. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan

menulis bagi peserta didik, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal

itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.154

Akan tetapi, sejauh ini fokus

pengkajian terhadap genre-genre sastra tersebut lebih banyak terfokus pada

struktur atau unsur-unsur pembangunnya saja. Padahal bila dikaji secara

mendalam dapat ditemukan nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya,

misalnya, nilai-nilai sosial yang terefleksi dalam sebuah cerpen.

Pada umumnya, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki materi

pelajaran tentang apresiasi sastra. Tujuan dari pembelajaran apresiasi sastra

tersebut adalah untuk memperkenalkan dan melibatkan peserta didik dalam

mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam hal ini,

152

Ibid., h. 42 153

Ibid., h. 46 154

Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),

h. 76

Page 111: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

99

peserta didik diajak untuk menghayati gambaran peristiwa yang terdapat di

dalam karya sastra tersebut. Pembelajaran ini juga bertujuan untuk

mengembangkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai yang terkandung

dalam karya sastra dan menumbuhkan keterampilan serta rasa cinta terhadap

bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari warisan leluhur.

Pembahasan mengenai cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan “Daruan” ini berkaitan dengan pembelajaran sastra di

sekolah, tepatnya di kelas XI SMA, yang terdapat di dalam kurikulum 2013

dengan kompetensi dasar sebagai berikut: Menunjukkan perilaku jujur,

peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia

untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks cerpen serta memahami

struktur dan kaidah teks cerpen, baik melalui lisan maupun tulisan.

Analisis terhadap struktur cerpen dapat dijadikan sebagai bahan ajar

untuk kompetensi dasar yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman,

dan penyajian analisisnya. Pengetahuan dan pemahaman tersebut yakni

mengenai struktur cerpen dan analisisnya secara mendalam. Melalui analisis

tersebut, peserta didik diarahkan untuk membaca dengan teliti agar dapat

menemukan unsur-unsur pembangun cerpen dengan mudah. Peserta didik

juga harus berpikir kritis ketika menganalisis nilai-nilai yang terkandung

dalam cerpen. Setelah itu, peserta didik diminta untuk menghubungkan setiap

unsur-unsur pembangun cerita tersebut dan menyusunnya ke dalam bentuk

tulisan.

Keterkaitan penelitian ini dengan pengajaran sastra di sekolah adalah

guru perlu memahami tujuan pengajaran sastra dan mengarahkannya pada

aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik

(keterampilan). Aspek kognitif dalam pembelajaran sastra di sekolah

ditunjukkan melalui respon yang diberikan oleh peserta didik dalam bentuk

pemahaman setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya, guru menilai

pemahaman peserta didik dengan cara mengetahui pengetahuan yang

diperoleh setelah membaca karya sastra tersebut.

Page 112: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

100

Aspek afektif dalam pembelajaran sastra di sekolah terkait dengan

perubahan sikap peserta didik setelah membaca sebuah karya sastra. Dalam

hal ini, guru harus memperhatikan dan mengamati peserta didik: Apakah

peserta didik merasa antusias saat membaca karya sastra tersebut atau tidak;

Apakah peserta didik mengalami perubahan sikap setelah membaca karya

sastra tersebut atau tidak. Terakhir, aspek psikomotorik, terkait dengan

keterampilan peserta didik setelah diberikan pengetahuan mengenai struktur

pembangun karya sastra dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Diharapkan setelah itu semua, peserta didik dapat mengapresiasi,

menganalisis, dan juga memproduksi karya sastra sendiri sebagai outcome

dalam pengajaran sastra di sekolah.

Lewat cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan

“Daruan” karya Ahmad Tohari ini, peserta didik diharapkan memiliki

pengetahuan mengenai nilai sosial dan mampu mengembangkan rasa

kepekaan terhadap nilai sosial serta mampu menumbuhkan kreativitas dan

minat untuk belajar sastra. Nilai sosial dari kedua cerpen ini sangat penting

untuk diteladani peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai

sosial tersebut, yakni nilai tanggung jawab yang dimiliki oleh tokoh Dalbun

dalam cerpen “Sayur Bleketupuk”.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki tanggung jawabnya masing-

masing. Seorang ayah bertanggung jawab memberikan nafkah kepada

keluarganya. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dalbun untuk

keluarga kecilnya. Meskipun hasil dari jerih payahnya bekerja sebagai kuli

batu di sebuah proyek pembangunan jembatan hanya sedikit dan pas-pasan,

tetapi ia sudah memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Nilai

tanggung jawab ini penting untuk menyadarkan para peserta didik tentang

tanggung jawab mereka, sebagai manusia kepada Tuhannya, murid kepada

gurunya, dan anak kepada orang tuanya.

Page 113: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

101

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap cerpen “Mata yang

Enak Dipandang”, “Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari,

maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penderitaan merupakan tema yang diangkat dari ketiga cerpen

tersebut. Isi cerita ketiga cerpen ini menggambarkan kehidupan

masyarakat kelas bawah dengan segala lika-likunya, yang

mengakibatkan timbulnya penderitaan pada para tokoh ceritanya. Alur

yang digunakan ketiga cerpen tersebut adalah alur maju. Tokoh utama

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah Mirta dan Tarsa.

Tokoh utama dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” adalah Parsih dan

tokoh utama dalam cerpen “Daruan” adalah Daruan. Tokoh tambahan

dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” tidak ada, sedangkan

dalam cerpen “Sayur Bleketupuk” adalah tokoh Dalbun, Darto, Darti,

dan ibu RT. Dalam cerpen “Daruan” tokoh tambahannya adalah Muji,

lelaki tua, dan pedagang asongan. Latar tempat dan latar waktu yang

digunakan dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah di

stasiun kereta api pukul satu siang, sedangkan dalam cerpen “Sayur

Bleketupuk” bertempat di sebuah pedesaan yang mayoritas

penduduknya adalah kalangan kelas bawah, latar waktunya hari Sabtu

pukul lima sore sampai pukul tujuh malam. Dalam cerpen “Daruan”,

latar tempatnya ada di musala dekat stasiun, di rumah Muji, dan di

dalam gerbong kereta api. Latar waktunya jam 5 pagi, jam setengah 7

pagi, dan siang hari. Sudut pandang yang digunakan ketiga cerpen ini

adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Gaya bahasa yang

digunakan Ahmad Tohari dalam ketiga cerpen tersebut, yakni majas

perumpamaan, metafora, personifikasi, hiperbola, klimaks, sarkasme,

Page 114: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

102

dan epizeukis. Majas yang dominan digunakan dalam tiga cerpen

tersebut adalah majas perumpamaan dan majas hiperbola.

2. Aspek-aspek nilai sosial dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”,

“Sayur Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari diambil

berdasarkan kehidupan yang dialami oleh para tokoh dalam ceritanya.

Aspek-aspek tersebut, yakni nilai materiil, nilai vital, dan nilai

kerohanian. Nilai kerohanian dibagi lagi menjadi empat, yakni nilai

kebenaran, nilai estetika, nilai kebaikan, dan nilai religius. Akan

tetapi, hanya terdapat nilai kebenaran dan nilai kebaikan di dalam

ketiga cerpen ini. Nilai sosial termasuk ke dalam nilai kebaikan.

Adapun nilai sosial tersebut ialah nilai sosial kebersamaan, nilai sosial

kerja sama, nilai sosial tanggung jawab, nilai sosial kasih sayang, nilai

sosial kepercayaan, nilai sosial toleransi, dan nilai sosial tolong-

menolong.

3. Pembahasan mengenai cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan “Daruan” karya Ahmad Tohari ini berkaitan dengan

pengajaran sastra di sekolah, khususnya di SMA, yang terdapat di

dalam kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar, yakni menunjukkan

perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan

bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks

cerpen serta memahami struktur dan kaidah teks cerpen, baik melalui

lisan maupun tulisan.

B. Saran

Peneliti menyarankan cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Sayur

Bleketupuk”, dan “Daruan” sebagai bahan ajar dalam materi menganalisis

karya sastra, khususnya cerpen, di sekolah karena ketiga cerpen ini

menggambarkan kehidupan masyarakat kelas bawah yang selalu diliputi

dengan penderitaan yang dapat dijadikan renungan bagi peserta didik untuk

lebih peka pada kondisi masyarakat di sekitar mereka. Selain itu, ketiga

cerpen ini juga mengandung nilai-nilai sosial yang perlu diapresiasi dan

Page 115: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

103

diaplikasikan secara kontinu oleh pendidik dan peserta didik dalam

kehidupan sehari-hari.

Page 116: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. SOSIOLOGI Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2012.

Abshar, Ulil. “Pengemis dan Shalawat Badar: Hubungan antara Pengarang,

Media, dan Karya”. Jurnal Dialektika, Vol. 3, No. 2, 2016.

Astuti, Rr. Dwi. “Nilai Sosial dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya

Ananta Toer”.Jurnal Pesona, Vol. 2, No. 1, 2016.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia,

2010.

B.S., Abdul Wachid. Membaca Makna (dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri).

Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2005.

Damono, Sapardi Djoko. “Sastra di Sekolah”. Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya.

Vol. 3, 2007.

------. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editem, 2013.

Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2004.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress,

2008.

------. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop, 2011.

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN

Syarif Hidayatullah, 2011.

Page 117: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press,

2001.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2013.

Halim Santoso. “Segarnya Limun Oriental”, diunduh dari

https://jejakbocahilang.wordpress.com/2017/08/16/limun-oriental-

pekalongan/ pada 10 April 2019 pukul 17.25 WIB

Herimanto dan Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2011.

Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya,

2003.

K. S., Yudiono. AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo,

2003.

Kurniawan, Heru. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,

Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2009.

Mahayana, Maman S. Ektrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2007.

Mustari, Mohamad. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter.

Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2011.

Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2011.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2012.

Page 118: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

Pradopo, Sri Widati, dkk. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang.

Jakarta: Depdikbud, 1988.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedia Sastra Indonesia

Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009.

Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.

Surakarta: Yuma Pustaka, 2010.

Saputra, Wahyu, dkk. “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya

Pramoedya Ananta Toer”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Vol. 1, No. 1, 2012.

Sehandi, Yohanes. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak, 2014.

Setiadi, Elly M., dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008.

Sukada, Made. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa, 2013.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 2009.

Tohari, Ahmad. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2013.

Wahyudi, Ibnu. “Menyiasati Kurikulum dan Pelajaran Sastra Indonesia di

Sekolah: Kiat untuk Mahfum dan Berbenah”. Jurnal Ilmu Sastra dan

Budaya. Vol. 3, 2007.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Page 119: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 120: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 121: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 122: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 123: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 124: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 125: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 126: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 127: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 128: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 129: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 130: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 131: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan
Page 132: NILAI SOSIAL DALAM ANTOLOGI CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · (2013), mungkin orang akan terperangah oleh judul yang tidak lazim dalam tradisi kesastraan

RIWAYAT PENULIS

PUTRI CHINTIYA AWLIYA RAHMI lahir di Bekasi,

12 November 1992. Menuntaskan pendidikan Sekolah

Dasar (SD) pada tahun 2004 di SDN Mekarsari 01

Tambun Selatan. Kemudian, melanjutkan ke jenjang

Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri (SMPN) 1

Tambun Selatan pada tahun 2007. Setelah itu, melanjutkan

ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMK Negeri 2 Cikarang Barat

dengan mengambil jurusan Administrasi Perkantoran. Setelah sekolah wajibnya

selesai, ia melanjutkan kembali pendidikannya ke UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2012 dan mengambil konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.