82
EFEKTIFITAS PEMBERIAN MULTIVITAMIN TERHADAP KADAR KORTISOL DAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA DOMBA PRIANGAN YANG MENGALAMI STRES TRANSPORTASI Oleh : Fitriana Dewi Puspitasari B04104087 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

EFEKTIFITAS PEMBERIAN MULTIVITAMIN TERHADAP … · domba yang mengalami stres ... merupakan suatu keadaan yang dimanifestasikan oleh sindrom spesifik yang ... kekurangan makanan dan

  • Upload
    lamminh

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

EFEKTIFITAS PEMBERIAN MULTIVITAMIN TERHADAP KADAR KORTISOL DAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA

DOMBA PRIANGAN YANG MENGALAMI STRES TRANSPORTASI

Oleh : Fitriana Dewi Puspitasari

B04104087

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Fitriana Dewi Puspitasari. Efektifitas Pemberian Multivitamin Terhadap Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Darah Pada Domba Priangan yang Mengalami Stres Transportasi. Dibimbing oleh Abadi Sutisna dan Andriyanto.

ABSTRAK

Transportasi hewan ternak merupakan masalah utama yang menyebabkan terjadinya stres. Stres dapat mengganggu kesehatan hewan, aktivitas, dan kualitas produk hewan ternak. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian multivitamin dalam menanggulangi stres transportasi, memberikan data dasar mengenai kadar kortisol dan glukosa domba yang mengalami stres transportasi, dan mempelajari efektifitas pemberian multivitamin dalam menanggulangi stres transportasi dengan melihat kadar kortisol dan glukosa darah. Penelitian ini menggunakan 12 ekor domba priangan jantan. Domba penelitian dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu P1 untuk domba kontrol positif, P2 untuk domba yang diberi multivitamin X, dan P3 untuk domba yang diberi multivitamin Y. Domba penelitian ditransportasikan menggunakan mobil bak terbuka selama 12 jam sejauh 250 km dengan kelembaban 80% dan temperatur 30ºC serta tidak diberi pakan dan minum. Semua domba diambil darahnya sebelum transportasi (preload) yaitu jam ke-0; saat transportasi (load) yaitu jam ke-4, 8, dan 12; dan setelah transportasi (postload) yaitu jam ke-24, 48, dan 72. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian multivitamin memberikan pengaruh yang nyata pada kadar kortisol darah (p<0,05). Multivitamin X yang terdapat pada P2 mampu menekan kenaikan kadar kortisol jika dibandingkan dengan P1 dan P3. Sebaliknya, pemberian multivitamin tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar glukosa darah (p>0,05).

Kata kunci: kortisol, glukosa, domba, stres transportasi, multivitamin

Fitriana Dewi Puspitasari. The Effectivity of Multivitamin Intake to Blood Cortisol and Glucose Concentration of Priangan Sheep with Transportation Stress. Guided by Abadi Sutisna and Andriyanto.

ABSTRACT

Livestock transportation considered as a mayor stressor. Stress could have deleterious effect on health, well-being, performance, and livestock product quality. This research was conducted to give information about the effect of giving multivitamin to bear transportation stress, to provide data base about cortisol and glucose consentration from the transportation stress sheep, and to study the effectivity of multivitamin treatment to bear transportation stress by means of cortisol and glucose consentration. This research used 12 male priangan sheeps. Sheeps divided into 3 treatments grups, P1 for positive control sheeps, P2 for sheeps that were given multivitamin X, and P3 for sheeps that were given multivitamin Y. Sheeps were transported on trailler for 12 hours, 250 km, with humidity and temperature during transportation were 80% and 30�C without feed and drink. Sheeps were blood-sampled before transportation (preload) at 0, during transportation (load) either at 4, 8 and 12, and also at 24, 48 and 72 after transpotation (postload). The result showed that there was siginificant effect of giving multivitamin on plasma cortisol concentration (p<0,05). Multivitamin X in P2 could hold on the raising of cortisol concentration more effective than others treatment. On the other hand, there was no siginificant effect of giving multivitamin treatment on glucose concentration (p>0,05).

Key words: cortisol, glucose, sheeps, transportation stress, multivitamin

EFEKTIFITAS PEMBERIAN MULTIVITAMIN TERHADAP KADAR KORTISOL DAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA

DOMBA PRIANGAN YANG MENGALAMI STRES TRANSPORTASI

Oleh : Fitriana Dewi Puspitasari

B04104087

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Judul Penelitian : Efektifitas Pemberian Multivitamin Terhadap Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Darah Pada Domba Priangan yang Mengalami Stres Transportasi

Nama : Fitriana Dewi Puspitasari Nrp : B04104087

Di setujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II drh. Abadi Sutisna, MSi drh. Andriyanto (NIP. 130 422 700) (NIP. 132 321 391)

Mengetahui Wakil Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini (NIP. 131 669 942)

RIWAYAT HIDUP

Fitriana Dewi Puspitasari dilahirkan pada tanggal 28 September 1986 di

Magelang, Jawa Tengah. Anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Kumaedi

dan ibu Titik Widayanti.

Tahun 1998 lulus SDN 1 Borobudur, tahun 2001 lulus SLTP N 1

Borobudur, dan tahun 2004 lulus SMU N 1 Kendal. Pada tahun yang sama lulus

seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis

diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa kegiatan dan

aktif dalam berorganisasi. Organisasi yang pernah diikuti antara lain menjadi

anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa pada tahun 2006-2007 FKH IPB dan

menjadi anggota Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas FKH IPB.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat,

karunia, dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, terutama

kepada drh. Abadi Sutisna, Msi selaku dosen pembimbing pertama dan drh.

Andriyanto selaku pembimbing kedua yang telah bersedia menyisihkan waktunya

untuk membimbing dan memberi nasehat serta saran kepada penulis. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. H. Ahmad Arif Amin selaku dosen

pembimbing akademik atas saran-saran berharga yang telah diberikan kepada

penulis dalam menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada teman-teman yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada bapak, ibu,

dan adik serta seluruh Keluarga Besar Muntilan dan Borobudur atas doa, kasih

sayang, dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah ilmu

pengetahuan bagi kita semua. Semoga kita selalu diberikan rahmat dan lindungan

dari Allah SWT.

Bogor, September 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI............................................................................................ iv

DAFTAR TABEL.................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR............................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ viii

PENDAHULUAN

Latar belakang............................................................................... 1

Tujuan........................................................................................... 2

Manfaat......................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA

Stres.............................................................................................. 3

Faktor penyebab stres................................................................... 4

Gejala stres.................................................................................... 5

Mekanisme hormon pada keadaan stres....................................... 6

Kortisol......................................................................................... 10

Glukosa......................................................................................... 11

Vitamin......................................................................................... 13

Domba Priangan........................................................................... 16

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan waktu......................................................................... 18

Bahan dan alat............................................................................... 18

Aklimatisasi.................................................................................. 18

Induksi stres.................................................................................. 18

Pengelompokan hewan coba......................................................... 18

Pengambilan sampel..................................................................... 19

Parameter pengamatan.................................................................. 19

Analisis data.................................................................................. 19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar kortisol darah (ng/ml) pada penelitian pendahuluan.......... 20

Kadar kortisol darah (ng/ml) pada perlakuan............................... 22

Kadar glukosa darah (mg/dl) pada penelitian pendahuluan.......... 26

Kadar glukosa darah (mg/dl) pada perlakuan............................... 27

KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 32

LAMPIRAN............................................................................................. 36

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Vitamin yang penting dalam nutrisi hewan........................... 13

Tabel 2. Definisi dan tatanama vitamin............................................... 15

Tabel 3. Data awal kadar kortisol darah domba priangan................... 20

Tabel 4. Kadar kortisol darah domba priangan saat perlakuan........... 22

Tabel 5. Data awal kadar glukosa darah domba priangan................... 26

Tabel 6. Kadar glukosa darah domba priangan saat perlakuan........... 27

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Mobilisasi glikogen dalam hati........................................... 9

Gambar 2. Mekanisme pengaturan sekresi glukokortikoid.................. 11

Gambar 3. Data awal kadar kortisol darah domba priangan................. 21

Gambar 4. Kadar kortisol darah domba priangan saat perlakuan......... 24

Gambar 5. Data awal kadar glukosa darah domba priangan................ 27

Gambar 6. Kadar glukosa darah domba priangan saat perlakuan......... 28

LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Uji lanjut duncan terhadap jam pengambilan sampel

kadar kortisol darah (ng/ml) pada saat perlakuan............

36

Lampiran 2. Uji lanjut duncan terhadap jam pengambilan sampel

kadar glukosa darah (mg/dl) pada saat perlakuan............

49

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transportasi ternak digunakan untuk berbagai tujuan seperti keperluan

penjualan, penjagalan, dan pemindahan kepemilikan. Ternak dapat menjadi stres

saat dilakukan transportasi. Transportasi yang buruk dapat menyebabkan kerugian

secara ekonomis karena menurunnya kualitas dan kuantitas daging (Anonimus

2005).

Stres adalah pola adaptasi umum dan pola reaksi menghadapi stressor

yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. Stres dapat

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut jantung, intake

oksigen, dan gangguan pencernaan (Karnadi 1999). Faktor stres fisiologis saat

ternak ditransportasikan adalah puasa, kelelahan, perkelahian, dan kepadatan

waktu pengangkutan (Lawrie 1997). Stres transportasi akan meningkatkan

hormon kortisol. Pelepasan hormon kortisol berfungsi untuk membantu tubuh

dalam peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya

(Ackerman 1996; Guyton 1991). Selain itu, stres transportasi akan meningkatkan

kadar glukosa dalam plasma (Kent dan Ewbank 1983). Hal ini disebabkan karena

secara khusus akan terjadi pemecahan glikogen di hati (Murray et al. 1990).

Tindakan pencegahan atau preventif merupakan tindakan yang paling tepat

untuk meminimalkan resiko yang dihadapi akibat stres. Penanganan dan

pencegahan pada kasus stres transportasi dapat dilakukan dengan memperhatikan

sarana yang digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan ternak

adalah dinding atau sisi ruang pengangkut. Dinding ini harus agak tinggi untuk

menghindari hewan melompatinya, bagian sisi dalam hendaknya tidak keras untuk

menghindari luka memar, kapasitas yang tidak berlebihan untuk menghindari

hewan agar tidak lemas atau panas. Dinding atau lantai yang mempunyai celah

sebaiknya dihindari sehingga meminimalkan kemungkinan kaki hewan masuk ke

dalam celah tersebut yang dapat mengakibatkan patah atau fraktur (Anonimus

2005). Selain pencegahan dalam sarana pengangkutan, pemberian multivitamin

juga bermanfaat untuk menjaga dan mempertahankan kondisi tubuh saat stres

(Wibowo 2006).

Penelitian mengenai penggunaan multivitamin untuk meminimalkan stres

transportasi pada ternak belum banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh dari pemberian multivitamin dalam meminimalkan tingkat

stres transportasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian multivitamin

dalam menghadapi stres transportasi.

2. Memberikan data dasar mengenai kadar kortisol dan kadar glukosa

domba yang mengalami stres transportasi.

3. Mempelajari efektifitas pemberian multivitamin dalam menghadapi

stres transportasi dengan melihat kadar hormon kortisol dan kadar

glukosa darah.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1. Mendapatkan sediaan multivitamin yang dapat meminimalkan efek

stres transportasi.

2. Meminimalkan kerugian yang terjadi akibat stres transportasi dengan

memberikan multivitamin.

3. Menghasilkan hewan yang sehat setelah transportasi sehingga akan

memberikan produk hewan yang optimal.

I. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

Stres adalah pola adaptasi umum dan pola reaksi menghadapi stressor,

yang berasal dari dalam individu sendiri maupun lingkungannya. Beratnya

stressor tidak selalu menentukan gangguan adaptasi yang terjadi, tetapi juga

ditentukan oleh interaksi beberapa faktor seperti kuantitas, kualitas, lamanya,

reversibilitas, dan lingkungan (Karnadi 1999). Menurut Melson (1980), stres

merupakan suatu keadaan yang dimanifestasikan oleh sindrom spesifik yang

terdiri dari semua perubahan yang ditimbulkan secara tidak spesifik dalam suatu

sistem biologis. Stres adalah perubahan tertentu terhadap perubahan lingkungan

yang terjadi tiba-tiba. Selain itu, stres juga merupakan suatu proses yang terjadi

saat individu harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang jarang dialami. Lebih

lanjut dinyatakan bahwa stres adalah suatu upaya menyelaraskan diri dengan

sumber stres (Mc. Elroy dan Towsend 1985).

Definisi stres adalah suatu bentuk respon fisiologis yang berasal dari

dalam tubuh (internal) atau berasal dari lingkungan eksternal dalam mengawali

penyesuaian diri terhadap perubahan. Gejala stres terlihat sebagai gangguan

psikologis, emosi maupun kegelisahan. Penyebab stres yang biasanya disebut

stressor, merupakan situasi lingkungan, rangsangan atau kejadian yang mampu

mengganggu, mengacaukan, dan mengancam kesejahteraan jiwa dan raga

makhluk hidup. Pengertian lain mengenai stres, stres merupakan respon komulatif

hasil interaksi antara hewan atau manusia dengan lingkungannya melalui reseptor

sedemikian rupa sehingga jiwanya selalu berada dalam posisi siaga untuk

melawan (fight) atau lari (flight) (Fowler 1999).

Stres yang dialami makhluk hidup mempunyai dua dimensi yaitu eustress

dan distress. Eustress menguntungkan pihak yang mengalami stres karena adanya

stres justru membuat individu menjadi lebih baik sedangkan distress merugikan

pihak yang mengalami stres karena menciptakan kondisi yang tidak

menyenangkan (Turner dan Helms 1986).

2.2 Faktor Penyebab Stres

Sebenarnya banyak faktor yang dapat menimbulkan stres. Menurut Smith

dan French (1997), beberapa sumber utama penyebab stres adalah perubahan

kehidupan, perkelahian, tekanan lingkungan atau tugas, dan ketegangan

lingkungan. Klasifikasi stressor meliputi stressor somatik, psikologi, dan perilaku

(Fowler 1999). Stressor somatik meliputi suara keras, cahaya, warna yang

mencolok, perubahan posisi, panas, dingin, tekanan, efek kimia, dan obat.

Stressor psikologi meliputi perkelahian, teror, dan restraint, sedangkan stressor

tingkah laku meliputi populasi kandang yang padat, teritori, dan hirarki. Stressor

yang lain meliputi malnutrisi, toksin, parasit, agen infeksius, pembedahan, dan

immobilisasi fisik atau kimia.

Selain itu, faktor yang dapat menimbulkan stres dapat dari yang sederhana

sampai hal-hal yang termasuk stressor berat. Berat dan ringannya suatu stressor

tergantung pada individunya. Beberapa keadaan yang termasuk stressor adalah

pemindahan atau pengangkutan ternak dari satu tempat ke tempat lain,

kekurangan makanan dan air, pemeliharaan yang berdesakan dalam suatu

kandang, pergantian sistem pemeliharaan, beberapa perubahan temperatur,

kelembaban, radiasi matahari, suara-suara yang tidak biasa didengar, gangguan

beberapa penyakit, penanganan rutin seperti pemasangan eartag, dehorning,

kastrasi, vaksinasi, dan pengobatan parasit (Parrakasi 1999).

Transportasi merupakan aspek yang sangat disorot oleh para peneliti

negara maju. Pemindahan ternak umumnya berkaitan dengan persoalan ekonomi.

Hal ini disebabkan faktor pengangkutan atau transportasi dapat menyebabkan

penyakit yang serius dan biasa dihadapi oleh peternak, dan umum disebut

shipping fever complex. Gejala gangguan tersebut antara lain timbulnya penyakit

respirasi, penurunan imunitas, dehidrasi, terutama deplesi mineral dan elektrolit

lainnya, dan ganguan sistem pencernaan (Parrakasi 1999). Transportasi yang

buruk dapat berakibat kurang baik pada hewan itu sendiri dan dapat menyebabkan

kerugian secara ekonomis karena menurunnya kualitas dan kuantitas produksi

daging (Anonimus 2005).

Penyebab stres fisiologis yang timbul saat ternak ditransportasikan ke

tempat lain adalah puasa, kelelahan, ketakutan, perkelahian, dan kepadatan waktu

pengangkutan. Kerasnya atau intensitas stres dipengaruhi oleh jarak dan lama

perjalanan, tingkah laku ternak, bentuk pengangkutan, keadaan iklim, penanganan

saat pengangkutan, keefektikan istirahat perjalanan, dan sifat kerentanan terhadap

stres (Lawrie 1997). Namun, apabila transportasi ditangani dengan baik dapat

mengendalikan peningkatan hormon kortisol yang merupakan indikator stres

sesuai dengan pernyataan Sanhouri et al (1989) yang menyatakan bahwa

konsentrasi kortisol ternak mempunyai level yang rendah sama seperti level

baseline (1-5 ng/ml) selama transportasi menggunakan kendaraan yang tenang

tetapi konsentrasi akan meningkat 15 menit setelah transportasi pada kendaraan

yang gaduh (13-24 ng/ml) dengan mobil bak terbuka (>27 ng/ml).

Pada hewan yang mengalami stres dapat timbul berbagai respon adaptasi

perubahan patologi atau bahkan kematian. Perubahan ini dibagi menjadi tiga

tahap yaitu : 1) Fase alami, pada fase ini terjadi respon dari tubuh berupa reaksi

imun, sekresi adrenalin, dll. 2) Fase perlawanan, pada fase ini stres berhasil

diadaptasi atau bahkan terus berlanjut. 3) Fase kelelahan, fase ini pada akhirnya

akan membawa kepada kematian (Archler 1979).

2.3 Gejala Stres

Menurut Hawari (2001), tanda-tanda stres dibagi ke dalam empat

golongan waktu: 1) Gejala Fisik Jangka Pendek (Short Term Physical Symptoms),

2) Gejala Fisik Jangka Panjang (Long Term Physical Symptoms), 3) Gejala

Internal (Internal Symptoms), dan 4) Gejala Perangai atau Tingkah Laku

(Behavioural Simptoms).

Gejala fisik jangka pendek merupakan proses adaptasi tubuh secara

cepat terhadap ancaman fisik, yang ditandai dengan pelepasan adrenalin, denyut

jantung dipercepat, peningkatan jumlah keringat, kulit tangan dan kaki dingin,

pola dan laju pernapasan yang cepat dan berubah-ubah, ketegangan otot, dilatasi

pupil, mulut kering, urinasi, dan mual. Pelepasan adrenalin sering disebut sebagai

symptom stres untuk mempertahankan hidup (survival stress).

Gejala fisik jangka panjang adalah gejala-gejala fisik yang muncul

dalam jangka waktu panjang akibat tubuh secara terus-menerus mengeluarkan

adrenalin yang berlebihan. Gejala yang tampak berupa perubahan selera makan,

sering kedinginan, asma, pusing, gangguan pencernaan dan kulit, penurunan

libido, sakit atau kesakitan, dan perasaan kelelahan, sedangkan Gejala Internal

yang diakibatkan adanya stres yang terus-menerus dapat menimbulkan ketakutan,

kegelisahan, kebingungan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, murung, emosi

yang meledak-ledak, hilang kendali, depresi (muram), frustasi, permusuhan, tidak

berdaya, tidak sabar, lekas marah, keresahan (restlessness), lesu, malas, ngantuk,

sulit tidur, dan perubahan kebiasaan makan.

Gejala perangai atau tingkah laku dapat dilihat dari adanya perubahan

tingkah laku. Sementara itu, menurut Smith dan French (1997) gejala ini pada

hewan mempunyai ciri, yaitu hewan sering menyalak, mata berkedut,

menyeringai, lekas marah, siaga untuk membela diri, agresif, dan reaksi yang

berlebihan.

Menurut Hawari (2001), secara umum kondisi stres cenderung akan

menimbulkan reaksi antara lain peningkatan tensi dan emosi, peningkatan

aktivitas syaraf simpatis, kekacauan psikologis dan patologis, perubahan berbagai

fungsi endokrin, dan perubahan proses metabolisme.

2.4 Mekanisme Hormon Pada Keadaan Stres

Respon stres melibatkan sistem endokrin dalam hal ini pengaturan sistem

tubuh oleh hipotalamus dan hipofisis. Tubuh mempunyai kemampuan fisiologis

untuk beradaptasi terhadap stres pada derajat tertentu yaitu berdasarkan

homeostasis dan resistensi yang disebut dengan GAS (General Adaption

Syndrom). GAS terjadi dalam tiga fase yaitu reaksi tanda bahaya (alarm reaction)

stage of resistance) terjadi ketika tubuh berusaha mengadaptasi gangguan dan

tahap kelelahan (the stage of exhaustion) terjadi jika stres berlangsung terus-

menerus tidak terkendali serta tubuh kehilangan kemampuan untuk mengadaptasi

gangguan (Selye 1946).

Respon neuroendokrin terhadap stres terjadi ketika impuls syaraf simpatik

dari hipotalamus menstimulir medula adrenal. Kelenjar adrenal segera melepaskan

katekolamin (epinefrin/adrenalin dan norepinefrin/noradrenalin) ke dalam aliran

darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofise anterior untuk melepaskan

ACTH (adrenocorticotropic hormone). Peran ACTH terhadap korteks adrenal

menyebabkan pelepasan kortisol dan glukokortikoid lainnya. Hormon kortisol ini

membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya

(Ackerman 1996; Guyton 1991).

Adrenalin sangat esensial dalam kehidupan meskipun ukurannya relatif

sangat kecil. Hormon steroid dan hormon adrenalin yang ada di korteks adrenal

dan medula berperan dalam memberikan suatu respon fisiologis dengan cepat

terhadap keadaan darurat (Harper et al. 1979; Keeton 1980; Carola et al. 1990).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sunarto (2005), stres akan

merangsang timbulnya beberapa hormon dan respon susunan saraf pada manusia.

Pada respon hormonal, stres akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan

CRH (Corticotropic Releasing Hormone) yang menyebabkan pelepasan ACTH

dari hipofise anterior. Pelepasan ACTH akan menimbulkan perangsangan korteks

adrenal dan pada akhirnya dilepaskan kortisol. Efek dari kortisol mencakup

kalorinergik, kortisol meningkatkan pembentukan energi dari pemecahan

cadangan karbohidrat, lemak, dan protein. Hal ini menyebabkan penurunan berat

badan; meningkatkan respon simpatis, respon ini akan meningkatkan denyut

jantung; menurunkan akumulasi sel darah putih dan reaksi peradangan pada

tempat yang cidera. Hal ini akan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi dan

memperlama proses penyembuhan; dan merangsang sekresi asam lambung yang

dapat menyebabkan rusaknya mukosa lambung, bisa terbentuk ulkus peptikum.

Respon susunan saraf simpatis terhadap stres, diantaranya; akan

meningkatkan pembentukan katekolamin di medula adrenalis. Pelepasan

katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) akan menyebabkan peningkatan aliran

darah ke otak, jantung, dan otot rangka yang meningkatkan resiko stroke dan

gangguan jantung; relaksasi otot polos usus yang menyebabkan konstipasi;

glukoneogenesis akan meningkatkan pemecahan cadangan energi sehingga

membuat lebih kurus; dan peningkatan denyut jantung.

Otak vertebrata dilengkapi dengan kontrol fungsional pada sistem

endokrin melalui infrastruktur organ-organ yang sangat terorganisasi secara rapi

(Tjandrawinata 2002). Fungsi neuroendokrin yang sangat rumit ini terdiri dari

bermacam-macam jalur dan mediator-mediator humoral yang teraktivasi pada

waktu mereka merespons stimulus stres yang datang dari luar (eksternal) maupun

dari dalam (internal). Pada stres berkepanjangan yang kronik, aksis HPA

(Hipotalamus Pituitary Adrenal ) sangat berperan secara humoral. Aktivasi dari

jalur ini oleh sirkuit sentral yang dapat mendeteksi stres atau melalui aksi sentral

dari sitokin-sitokin proinflamasi, berlangsung melalui produksi dan sekresi CRF

(Corticotropin Releasing Faktor) dari hipotalamus yang kemudian memberikan

stimulasi pada reseptor-reseptornya yang berada di pituitary. Dengan demikian,

CRF yang terdiri dari 41 asam amino, telah dikarakterisasi sebagai suatu sinyal

kimiawi yang dilepas dini dan yang memberikan respon terhadap suatu stres

melalui aksis HPA sebagai respon terhadap stres tersebut. CRF juga diketahui

sebagai neuromodulator penting terhadap konsolidasi ingatan, ansietas, aktivitas

lokomotor, dan asupan makanan. Selain pada daerah paraventrikular nucleus

hipotalamus, neuron-neuron yang mengandung CRF telah dilokalisasi pada

struktur limbik ekstrahipotalamus dan nukleus batang otak yang mengatur fungsi-

fungsi perilaku dan autonomik, seperti nukleus inti dari striae terminalis, nukleus

sentral dari amigdala, serta lokus sereleus. CRF juga diketahui meningkatkan

produksi dan sekresi peptida promiomelanokortin yang berasal dari hipofise

(PMOC), ACTH, dan hormon endorfin. Sewaktu dilepas di sirkulasi sistemik,

ACTH mencapai kelenjar adrenal dan menginduksi produksi dan sekresi dari

kortikosteroid dan kortisol. Molekul-molekul ini mempunyai sifat anti inflamasi

yang mengimbangi efek stres dan menetralisir kerusakan jaringan.

Stres direspon pusat korteks cerebral yang kemudian dikirimkan ke

amygdala yang merespon rangsangan tersebut. Beberapa saat kemudian sinyal

tersebut dibaca oleh amigdala. Amigdala melepaskan CRH yang distimulasi di

batang otak untuk mengaktifkan sistem syaraf simpatis via spinal cord yang akan

memerintahkan medula adrenal untuk memproduksi hormon stres epinefrin. Jalur

yang berbeda memacu cortex adrenal untuk melepaskan glukokortikoid. Dua

hormon tersebut berperan di dalam otot, jantung, dan paru-paru menentukan

apakah stimulus tersebut diterima atau ditolak. Jika stres menjadi khronik,

glukokortikoid merangsang lokus koerolus untuk melepaskan norepinefrin yang

akan menghubungkan dengan amigdala sehingga dihasilkan CRH dan akan

mengaktifkan jalur stres (Sapolsky 2004). Pelepasan epinefrine akan merangsang

mobilisasi glikogen dalam hati sehingga dihasilkan energi yang selanjutnya akan

digunakan oleh otot untuk merespon stres berupa melawan atau lari. Otot juga

akan menghasilkan energi untuk memenuhi kebutuhan dengan menguraikan

glikogen yang ada pada otot tersebut (Anonimus 2004). Selanjutnya, mekanisme

pengaruh stres terhadap glikogen dapat disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme pengaruh stres terhadap mobilisasi glikogen (Anonimus 2004).

Hewan yang sudah dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan

mengalami penurunan kadar kortisol. Adaptasi merupakan suatu proses tanggapan

fisiologis atau tingkah laku akibat adanya stimulasi yang berulang (Clark et al.

1997a). Penurunan kadar kortisol dapat dihubungkan dengan kecepatan

hipotalamus dalam menanggapi stimuli. Menurut Clark et al (1997b), setelah

adanya stimulus yang dikirim melalui syaraf aferen dan diterima di susunan

syaraf pusat, CRH segera dilepaskan oleh hipotalamus. Hormon tersebut

merangsang hipofise anterior untuk mensekresikan ACTH, yang pada akhirnya

merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresikan glukokortikoid.

Glukokortikoid merupakan feed back mecanism. Waktu yang dibutuhkan untuk

sekresi CRH hanya beberapa detik, ACTH kurang lebih 15 menit, dan

glukokortikoid hanya dalam beberapa detik.

Penurunan kadar kortisol juga dapat terjadi karena adanya sekresi ß-

endorphine sebagai respon terhadap adanya stres. Urutan peristiwanya dapat

dijelaskan sebagai berikut: tahap pertama adalah pelepasan ataupun hambatan

CRH diatur dengan mekanisme umpan balik negatif untuk melawan adanya

rangsang yang berulang. Sebagai konsekuensinya, hipofisis pars anterior (Clark

et al. 1997b) akan mensekresikan proopiomelanocortin (POMC) asal peptida

untuk mensekresikan beberapa neuromikal diantaranya ß-endorphine (Clark et al.

1997a).

ß-endorphine merupakan endogenous morphine-like yang mempunyai

efek untuk menekan timbulnya stres (Brook dan Marshall 1996). Pendapat

tersebut diperkuat oleh Mears dan Brown (1997) menyatakan bahwa pada

rodensia, peningkatan ß-endorphine terjadi beberapa saat setelah hewan

mengalami stres.

2.6 Kortisol

Kelenjar adrenal secara histologi terbagi menjadi dua bagian yaitu medula

dan korteks. Bagian medula merupakan sumber penghasil katekolamin, hormon

epinefrin/adrenalin dan norepinefrin/noradrenalin. Sebaliknya, bagian korteks

menghasilkan kortisol yang diproduksi oleh zona fasikulata. Kontrol primer dari

kortisol adalah kelenjar hipofise yang akan merangsang sekresi ACTH. Sekresi

ACTH di kontrol oleh hipotalamus, CRF (Anonimus 2008).

Menurut Guyton (1991) dan Ackerman (1996), aksis hypothalamus-

pituitary mengontrol fungsi adrenal kortikal melalui pelepasan ACTH.

Glukokortikoid berperan sebagai faktor penghambat (inhibit) sekresi ACTH dari

hipofise dan CRF. ACTH juga mendesak pengaruh timbal balik negatif (Negative

Feed Back Mechanism) singkat terhadap pelepasan CRF. Gambar pengaturan

sekresi glukokortikoid dapat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme pengaturan sekresi glukokortikoid (Ackerman 1996).

Kortisol adalah glukokortikoid yang utama untuk manusia, satwa primata,

dan kebanyakan mamalia. Kortisol merupakan hormon yang penting bagi tubuh

yang disekresi oleh kelenjar adrenal dan mempunyai beberapa fungsi diantaranya,

berperan dalam metabolisme glukosa, regulasi tekanan darah, melepaskan insulin

untuk mempertahankan gula darah, sebagai sistem imun, dan respon apabila

terjadi peradangan (Scott 2008).

Sekresi kortisol meningkat dalam keadaan stres. Kortisol yang merupakan

glukokortikoid utama yang dapat menyebabkan peningkatan pengangkutan asam

amino dan lemak dengan cepat dari cadangan sel-selnya, sehingga dapat dipakai

untuk energi dan sintesis senyawa lain, termasuk glukosa yang dibutuhkan oleh

berbagai jaringan tubuh (Guyton dan Hall 1997). Peningkatan kadar kortisol

setelah transportasi tidak diketahui dengan pasti. Peningkatan ini tergantung

genetik, kecepatan untuk mengerti perubahan lingkungan, dan pengalaman serta

kualitas dan kuantitas dari stressor (Ladewig 1994).

2.6 Glukosa

Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang terdapat dalam makanan

yang diserap dalam jumlah besar ke darah dan diubah menjadi simpanan, yaitu

glikogen di dalam hati dan otot rangka sebagai sumber energi yang utama bagi

jaringan mamalia (Mayes 1994).

Glukosa adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai

sumber tenaga untuk makhluk hidup. Glukosa diserap ke dalam peredaran darah

melalui saluran pencernaan. Sebagian glukosa ini kemudian langsung menjadi

bahan bakar sel otak, sedangkan yang lainnya menuju hati dan otot. Glukosa

tersebut disimpan dalam bentuk glikogen dan sel lemak. Glikogen merupakan

sumber energi cadangan yang akan dikonversi kembali menjadi glukosa pada saat

dibutuhkan lebih banyak energi. Meskipun lemak simpanan dapat juga menjadi

sumber energi cadangan, lemak tidak secara langsung dikonversi menjadi

glukosa. Fruktosa dan galaktosa serta gula lain yang dihasilkan dari pemecahan

karbohidrat langsung diangkut ke hati dan akan dikonversi menjadi glukosa

(Anonimus 2008).

Peningkatan kadar glukosa dapat terjadi ketika tidak ada asupan makanan

atau hewan puasa. Kebutuhan glukosa diperoleh melalui proses glikogenolisis

(pemecahan glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (perubahan senyawa

non karbohidrat menjadi glukosa), sumber glukoneogenesis berasal dari gliserol

dan asam amino. Terjadinya glikogenolisis dan glukoneogenesis pada keadaan

tersebut sesuai dengan Mayes (1994) yang menyatakan bahwa ketika hewan

beralih dari kenyang ke keadaan dipuasakan, ketersediaan glukosa dari hati

menjadi lebih sedikit dan glikogen di hati akan disekresikan untuk memenuhi

kebutuhan glukosa melalui proses glikogenolisis, konsentrasi insulin akan

menurun dan glukagon akan meningkat. Setelah glikogen mengalami penurunan,

trigliserida di dalam hati akan dipecah menjadi gliserol, selanjutnya akan diubah

menjadi glukosa melalui glukoneogenesis (Tortora dan Anagnostakos 1990).

Keadaan lapar yang berlangsung lama akan mengubah asam amino yang

merupakan sumber glukosa terakhir menjadi glukosa (Mayes 1994).

Persediaan glukosa yang berkurang akan menyebabkan serangkaian

kejadian yang mengarah kepada penggunaan lemak yang berlebih sebagai sumber

energi dan katabolisme dari beberapa produk pemecahan lemak menjadi badan

keton yang akan menghasilkan ketosis. Setelah cadangan lemak hampir semuanya

berkurang, asam amino darah mulai dideaminasi dengan cepat karena protein juga

penting dalam mempertahankan fungsi seluler, maka kematian biasa terjadi jika

protein tubuh telah menyusut sampai setengah kadar protein (Guyton dan Hall

1997).

Selain itu, peningkatan kadar glukosa juga dapat terjadi karena hewan

mengalami stres. Stres akan meningkatkan kebutuhan nutrisi dan melebihi

kebutuhan normal karena di dalam tubuh terjadi metabolisme energi yang tinggi

untuk menekan stres tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger et al

(1990), stres dapat menyebabkan kebutuhan nutrisi meningkat untuk memenuhi

kebutuhan energi metabolisme. Adanya stres akan menyebabkan makanan

digunakan untuk melawan stres. Dalam kasus hewan ternak Forrest et al (1975)

menjelaskan bahwa defisiensi glikogen akan terjadi apabila ternak bertahan

terhadap stres. Lebih lanjut, Gurnadi (1986) menjelaskan bahwa glikogen ini

kemudian diubah menjadi glukosa monofosfat yang kemudian didegradasi

menjadi CO2 dan H2O menghasilkan 37 molekul ATP (Adenosin Tri Phospat).

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kent dan Ewbank (1983), yang menyatakan

bahwa stres transportasi akan meningkatkan kadar glukosa. Peningkatan kadar

glukosa disebabkan terjadinya pemecahan glikogen di hati (Murray et al. 1990).

2.7 Vitamin

Vitamin adalah molekul organik dalam makanan yang dibutuhkan dalam

jumlah kecil pada metabolisme normal tetapi vitamin tidak bisa disentesa oleh

tubuh. Kekurangan salah satu jenis vitamin dapat menyebabkan gejala sakit yang

spesifik dan hanya dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin tersebut (Martin et

al. 1981).

Vitamin dikelompokkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu vitamin

yang larut dalam air dan yang larut dalam lemak (Manalu 1999). Tabel 1

menyajikan anggota penting kedua kelompok vitamin itu.

Tabel 1. Vitamin yang penting dalam nutrisi hewan.

Vitamin Nama Kimia

Vitamin yang larut dalam lemak

A Retinol

D2 Ergokalsiferol

Vitamin Nama Kimia

D3 Kolekalsiferol

E Tokoferol

K Fillokuinon

Vitamin yang larut dalam air

B kompleks

B1 Tiamin

B2 Riboflavin

B2 Nikotinamida

B6 Piridoksin

B6 Asam Pantotenat

B6 Biotin

B6 Folasin

B6 Kholin

B12 Sianokobalamin

C Asam askorbat

Manalu (1990), menyatakan bahwa vitamin B kompleks terdiri dari semua

vitamin yang larut dalam air dan sebagian besar merupakan komponen koenzim.

Berbeda dengan vitamin yang larut dalam lemak, anggota vitamin B kompleks,

dengan perkecualian kobalamin, tidak disimpan di dalam tubuh dalam jumlah

yang bermakna dan pemberian ini secara eksogen sangat diperlukan. Pada hewan

ruminansia, semua vitamin dalam kelompok ini dapat disintesis oleh mikroba

dalam rumen dan umumnya akan mencukupi kebutuhan ini dalam keadaan

normal. Akan tetapi, pada keadaan tertentu defisiensi tiamin dan kobalamin dapat

terjadi pada hewan ruminansia.

Penemuan vitamin yang semakin berkembang, menyadari bahwa “Faktor

B” mempunyai nomor kimia yang konsisten dan memiliki perbedaan dalam

persenyawaan secara fisiologis (Bender 2003). Tabel 2 menyajikan persenyawaan

kimia tentang status vitamin, fungsinya, dan gejala penyakit apabila terjadi

defisiensi vitamin.

Tabel 2. Definisi dan Tatanama Vitamin. Vitamin Nama Kimia Fungsi Gejala penyakit

A Retinol

ß-Karoten

Pigmen visual pada retina; regulasi

diferensiasi sel dan ekspresi gen; (ß-

Karoten: antioksida)

Rabun malam;

xeropthalmia;

keratinisasi kulit.

D Kalsiferol Mempertahankan keseimbangan

kalsium; meningkatkan penyerapan

Ca2+ di usus dan mobilisasi mineral

tulang; regulasi diferensiasi sel dan

ekspresi gen.

Rickets = tulang

kekurangan mineral =

demineralisasi tulang.

E Tokoferols

Tokotrienols

Antioksidan khususnya pada membran

sel; mengenali sel.

Jarang terjadi –

Keadaan yang serius

menyebabkan

disfungsi neurogikal

K Fillokuinon

Melakuinones

Koenzim dalam �-Karboksiglutamat

sebagai enzim yang berperan dalam

pembekuan darah dan tulang matriks.

Kegagalan

pembekuan darah;

hemorrhagi.

B1 Tiamin Koenzim dalam piruvat dan 2-oxo-

glutarat dehidrogenase serta

transketolase; regulasi Cl- pada

konduksi saraf.

Kerusakan saraf

perifer (beri-beri)

atau perlukaan pada

sistem saraf pusat

(Wernicke-Korsakoff

syndrome).

B2 Riboflavin Koenzim dalam reaksi oksidasi-

reduksi; kelompok prostetik dari

flavoprotein.

Perlukaan pada sudut

mulut dan lidah;

dermatitis seboreik.

Niacin Asam nikotin

Nikotinamid

Koenzim dalam reaksi oksidasi-

reduksi, bagian fungsional dari NAD

dan NADP; berperan dalam regulasi

kalsium intraselular dan pengenalan

sel.

Pelagra-dermatitis

fotosensitif; depresi

phsikis.

B6 Piridoksin

Piridoksal

Piridoksamin

Asam folat

Koenzim dalam transaminase dan

dekarboksilase dari asam amino dan

fosforilasi glikogen; modulasi aktifitas

hormon steroid.

Koenzim dalam transfer fragmen satu

carbon.

Gangguan

metabolisme asam

amino, konvulsi.

Anemia

megaloblastik.

Vitamin Nama Kimia Fungsi Gejala Penyakit

B12

Kobalamin

Asam

Pantotenat

Koenzim dalam transfer fragmen satu

karbon dan metabolisme asam folat.

Bagian fungsional Koenzim A dan

protein karier asil : sintesa dan

metabolisme asam lemak.

Anemia pernikious =

anemia megaloblastik

dengan degenerasi

spinal cord.

Kerusakan saraf

perifer (nutritional

melalgia atau

“burning foot

syndrome”).

Biotin Koenzim dalam reaksi karboksilasi

pada glukoneogenesis dan sintesa

asam lemak; berperan dalam regulasi

siklus sel.

Kegagalan

metabolisme lemak

dan karbohidrat;

dermatitis.

C Asam askorbat Koenzim dalam hidroksilasi prolin dan

lisin pada sintesa kolagen;

meningkatkan absorbsi zat besi.

Scurvy – kegagalan

penyembuhan luka,

kehilangan dental

semen; hemoragi

subkutaneus.

NAD, nicotinamide adenine dinucleotide; NADP, nicotinamide adenine dinucleotide phosphat.

2.8 Domba Priangan

Domba priangan yang lebih dikenal dengan sebutan domba Garut itu

memiliki nenek moyang dan silsilah yang panjang. Lembaran sejarah bangsa

Babylonia menyebutkan, domba mulai dijadikan hewan peliharaan sejak 6000

tahun sebelum Masehi. Seiring perubahan zaman, penyebaran domba meluas dari

Asia Tengah hingga Benua Eropa. Setelah memasuki tahun Masehi, kebudayaan

agraris berkembang di Eropa. Domba Spanyol yang lazim disebut domba merino

banyak dikembangbiakkan di wilayah pegunungan di Spanyol bagian utara. Pada

abad XVII, domba merino yang terkenal berbulu tebal ini kemudian dibawa oleh

bangsa Belanda ke Pulau Jawa. Oleh bangsa Belanda domba merino berhasil

dikawinsilangkan dengan domba lokal dari Desa Cibuluh, Garut yang sampai

sekarang disebut dengan domba garut (Ramada 2008).

Domba priangan merupakan ternak domba yang populer di Jawa Barat

(Batubara et al. 1979; Hamdani et al. 1980). Sekitar 60% (Sutedja et al. 1978)

atau 65-75 % (Smith 1979) dari ternak Indonesia berada di wilayah Jawa Barat.

Domba priangan memiliki darah Merino (Natasasmita 1967; Batubara et al. 1979)

akan tetapi tidak memiliki “seasonal polyestrous”. Hal ini merupakan sifat yang

menguntungkan apabila domba tersebut diternakan pada kondisi daerah tropis

(Natasasmita 1969).

Ciri-ciri domba priangan adalah domba jantan bertanduk besar, kokoh, dan

kuat sedangkan domba betinanya tidak bertanduk. Berat badan domba jantan

antara 60-80 kg dan domba betina 30-40 kg. Daun telinganya kecil dan runcing.

Warna bulunya beragam seperti putih, hitam, cokelat atau campuran ketiga warna

tersebut (Nazaruddin dan Viviani 1991).

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bagian Farmakologi dan Toksikologi,

Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada Bulan Februari sampai dengan

Mei 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, selang, tali,

spidol, spuit, selotip, tabung reaksi, mobil bak terbuka, sentrifugasi, freezer,

spectrofotometer, dan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba, alkohol

70%, obat cacing, dan multivitamin. Domba yang digunakan adalah 12 ekor

domba priangan jantan.

3.3 Aklimatisasi Hewan Coba

Domba penelitian diberi obat cacing dan vitamin. Setelah itu, domba

dibiarkan selama dua minggu dengan pemberian makan dua kali sehari dan

minum ad libitum. Kandang hewan terletak di Mitra Tani Farm, Jalan Manunggal

No. 51 Rt/Rw: 04/05 desa Tegal Waru, Ciampea, Bogor.

3.4 Induksi Stres

Domba penelitian diaklimasi selama 2 minggu, kemudian dilakukan

induksi stres transportasi dengan membawa domba berjalan selama 12 jam

(06.00-18.00) sejauh 250 KM menggunakan mobil bak terbuka yang mempunyai

suhu relatif 30oC dan kelembapan 80 %.

3.5 Pengelompokan Hewan Coba

Penelitian ini terdiri dari 3 kelompok perlakuan. Setiap kelompok

perlakuan terdiri atas 4 ekor domba priangan jantan dengan kisaran berat badan

relatif sama. Perlakukan-perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

Perlakuan 1 : Kontrol positif, Induksi stress tanpa pemberian multivitamin

Perlakuan 2 : Induksi stress dengan pemberian multivitamin X

Perlakuan 3 : Induksi stress dengan pemberian multivitamin Y

3.6 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel darah dilakukan dua tahap yaitu pada penelitian

pendahuluan dan pada saat perlakuan. Pengambilan sampel pada penelitian

pendahuluan dilakukan selama 12 jam dengan 5 ekor domba dan pada saat

perlakuan dilakukan sebelum transportasi (preload), yaitu jam ke-0; saat

transportasi (load), yaitu jam ke-4, 8, 12; dan setelah transportasi (postload),

yaitu jam ke-24, 48, dan 72.

3.7 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar hormon kortisol

dan kadar glukosa dalam darah. Sampel darah di uji dengan HPLC (High

Performance Liquid Chromatography) untuk mengetahui kadar kortisol dan

menggunakan spectrofotometer untuk mengetahui kadar glukosa.

3.8 Analisis Data

Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisis dan dibandingkan dengan

menggunakan Analisis of Varian (ANOVA) yang kemudian dilanjutkan dengan

uji Duncan. Nilai probabilitas (p<0,05) diterima sebagai hasil yang berbeda nyata

(Mattjik dan Sumertajaya 1999).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pendahuluan dan perlakuan.

Tahap pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar awal kortisol dan kadar

glukosa darah pada saat domba tidak mengalami transportasi sedangkan tahap

perlakuan dilakukan untuk mengetahui kadar kortisol dan kadar glukosa darah

pada saat domba ditransportasikan. Hasil pengamatan diuraikan sebagai berikut.

4.1 Kadar Kortisol Darah Domba Priangan (ng/ml)

Kadar kortisol darah dihitung menggunakan alat HPLC (High

Performance Liquid Chromatography). Hasil yang diperoleh diuraikan sebagai

berikut.

4.1.1 Penelitian pendahuluan.

Pengambilan sampel dilakukan pada jam ke-0, 3, 6, 9, dan 12. Domba

penelitian berada di kandang dengan pemberian makan pagi dan sore hari serta

minum ad libitum. Hasil pengamatan kadar kortisol darah pada domba penelitian

yang tidak ditransportasikan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan data awal kadar kortisol darah (ng/ml) Pengamatan jam ke- Kadar kortisol darah (ng/ml)

0 151,5±1,293 156±3,376 159,5±3,119 154,25±3,86

12 157,25±3,56Rataan±Standar deviasi 155,65±3,94

Kadar kortisol darah jam ke-0 adalah 151,5 ng/ml. Kadar kortisol darah

mengalami peningkatan sampai pada jam ke-6 yaitu meningkat sebesar 4,5 ng/ml

pada jam ke-3 dan 3,5 ng/ml pada jam ke-6. Penurunan kadar kortisol terjadi pada

jam ke-9, menurun sebesar 5,25 ng/ml dan meningkat kembali pada jam ke-12

sebesar 2,75 ng/ml. Peningkatan kadar kortisol ini disebabkan karena domba

penelitian harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan misalnya, temperatur

kandang dan adanya interaksi dengan domba lain. Perubahan lingkungan dapat

menyebabkan domba menjadi stres. Hormon kortisol disekresikan untuk

membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya

(Ackerman 1996; Guyton 1991).

Rataan kadar kortisol darah yang diperoleh pada penelitian pendahuluan

adalah 155,65±3,94 ng/ml. Kadar awal kortisol darah ini lebih tinggi dari kadar

kortisol normal domba luar negeri. Menurut Kannan et al (2000) kadar normal

kortisol adalah 10-15 ng/ml. Perbedaan kadar kortisol ini tidak diketahui dengan

pasti tergantung pada genetik, kecepatan untuk mengerti perubahan lingkungan,

dan pengalaman serta kualitas dan kuantitas dari stressor (Ladewig 1994). Rataan

kadar kortisol penelitian pendahuluan pada domba priangan disajikan pada

Gambar 3.

Gambar 3. Rataan data awal kadar kortisol darah domba priangan (ng/ml).

Berdasarkan Gambar 3 terjadi peningkatan kadar kortisol darah dari

keadaan awal, tetapi kecenderungan kadar kortisol tertinggi pada jam ke-6.

Peningkatan kadar kortisol pada jam ke-0 sampai jam ke-6 dan jam ke-12

dimungkinkan domba penelitian mengalami stres karena perubahan temperatur

kandang. Selain itu, peningkatan kadar kortisol dapat terjadi karena adanya

interaksi antar domba di dalam kandang. Domba mulai dapat beradaptasi dengan

lingkungan pada jam ke-9 yang ditandai dengan penurunan kadar kortisol darah.

Peningkatan kadar kortisol tidak diketahui dengan pasti. Kadar kortisol

yang merupakan indikasi stres dapat terjadi dari stressor yang sederhana sampai

berat. Berat dan ringannya suatu stressor tergantung pada individunya. Beberapa

keadaan yang termasuk stressor adalah pemindahan atau pengangkutan ternak

dari satu tempat ke tempat lain, kekurangan makanan dan air, pemeliharaan yang

berdesakan dalam suatu kandang, pergantian sistem pemeliharaan, beberapa

perubahan temperatur, kelembaban, radiasi matahari, suara-suara yang tidak biasa

didengar, gangguan beberapa penyakit, penanganan rutin seperti pemasangan

eartag, dehorning, kastrasi, vaksinasi, dan pengobatan parasit (Parrakasi 1999).

4.1.2 Perlakuan.

Pengambilan sampel darah saat domba penelitian ditransportasikan

dilakukan pada jam ke-0, 4, 8, 12, 24, 48, dan 72. Selama perlakuan domba tidak

diberi asupan pakan dan minum.

Hasil pengamatan darah pada domba priangan menunjukkan adanya

pengaruh transportasi terhadap domba penelitian yang ditunjukkan melalui kadar

kortisol yang meningkat dari kadar kortisol awal. Hal ini sesuai dengan analisa,

baik P1, P2, dan P3 terhadap kadar kortisol darah menunjukkan perbedaan yang

nyata (p<0,05). Analisa kadar kortisol darah dapat disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4. Kadar kortisol darah domba priangan pada saat perlakuan (ng/ml). Perlakuan

0 4 8 12 24 48 72P1 117,75±12,45a 282,75±58,09e 141,5±11,85abc 143,5±17,14abc 171,75±60,69bcd 142,25±14,29abc 150,25±6,95abc

P2 153±31,85abc 211,5±15,86d 146,75±18,08abc 134±12,14ab 134,5±2,08ab 146±10,49abc 152,25±2,50abc

P3 155,5±17,41abc 335±56,97f 184,75±37,88cd 146±18,65abc 139,25±14,06abc 176,5±48,84bcd 151,75±3,86abc

Pengamatan jam ke-

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang

nyata (p<0,05); P1: Kontrol Positif; P2: perlakuan X; P3: Perlakuan Y.

Kadar kortisol meningkat setelah jam ke-0 dan menurun setelah jam ke-4.

Kadar kortisol darah jam ke-0 pada P1 adalah 117,75 ng/ml lebih rendah jika

dibandingkan dengan P2 (153 ng/ml) dan P3 (155,5 ng/ml). Berdasarkan analisa,

kadar kortisol jam ke-0 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05).

Kondisi stres ekstrim terjadi sesaat setelah domba penelitian diberangkatkan (jam

ke-4) dengan kadar kortisol tertinggi ditunjukkan pada P3 (335 ng/dl). Kadar

kortisol P2 pada jam ke-4 adalah 211,5 ng/ml dan P1 adalah 282,75 ng/ml.

Peningkatan kadar kortisol sangat terlihat pada P3 yaitu meningkat sebesar 179,5

ng/ml jika dibandingkan dengan P2 hanya meningkat sebesar 58,5 ng/ml dan P1

meningkat sebesar 165 ng/ml. Kadar kortisol ketiga perlakuan jam ke-4

menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Kadar kortisol pada jam ke-8 mengalami penurunan yang cepat. Meskipun

kadar kortisol jam ke-8 pada P3 lebih tinggi (184,75 ng/ml) daripada P1 (141,5

ng/ml) dan P2 (146,75 ng/ml) masing-masing perlakuan tidak menunjukkan

adanya perbedaan yang nyata (p>0,05). Kadar kortisol pada jam ke-12 P1

mengalami sedikit peningkatan sebesar 2 ng/ml menjadi 143,5 ng/ml; P2

mengalami penurunan sebesar 12,75 ng/ml menjadi 134 ng/ml; dan P3 menurun

sebesar 38,75 ng/ml menjadi 146 ng/ml. Berdasarkan analisa, ketiga perlakuan

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05).

Pada jam ke-24 terjadi peningkatan pada P1 sebesar 28,25 ng/ml menjadi

171,75 ng/ml lebih tinggi daripada P2 yang hanya meningkat sebesar 0,5 ng/ml

menjadi 134,4 ng/ml. P3 pada jam ke-24 mengalami penurunan sebesar 6,75

ng/ml menjadi 139,25 ng/ml. Kadar kortisol ketiga perlakuan jam ke-24 tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Kadar kortisol pada jam ke-48, P1

mengalami penurunan sebesar 29,5 ng/ml menjadi 142,25 ng/ml sedangkan P2

dan P3 mengalami peningkatan. Kadar kortisol P2 meningkat sebesar 11,5 ng/ml

menjadi 146 ng/ml dan P3 meningkat sebesar 37,29 ng/ml menjadi 176,5 ng/ml.

Namun, kadar kortisol pada jam ke 48 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

(p>0,05). Begitu juga kadar kortisol darah jam ke-72 tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (p>0,05). Meskipun kadar kortisol P1 dan P2 mengalami

peningkatan dan P3 penurunan, kadar kortisol pada jam ke-72 sudah mencapai

keadaan tidak stres atau keadaan awal. P1 meningkat sebesar 8 ng/ml dan P2

sebesar 5,75 ng/ml sedangkan P3 menurun sebesar 25,25 ng/ml.

Berdasarkan hasil analisa, kadar kortisol darah pada jam ke-0, 8, 12, 24,

48, dan 72 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Kadar kortisol

yang menunjukkan perbedaan yang nyata hanya terjadi pada jam ke-4 (p<0,05).

Penekanan sekresi kortisol dalam menghadapi stres transportasi paling

baik ditunjukkan pada P2. Hal ini disebabkan multivitamin X pada P2 mempunyai

kadar kortisol darah lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Gambar 4

menyajikan penekanan sekresi kortisol dalam menghadapi stres transportasi pada

P2.

Gambar 4. Kadar kortisol darah domba priangan (ng/ml).

Kadar kortisol meningkat setelah jam ke-0 dan menurun setelah jam ke-4.

Kadar kortisol mulai stabil pada jam ke-8 sampai jam ke-72. Meskipun pada jam

ke-24 pada P1, jam ke-48 pada P2 dan P3 serta jam ke-72 pada P1 dan P2

mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut tidak melebihi jam ke-4.

Pengamatan kadar kortisol darah secara keseluruhan memberikan hasil bahwa P2

memberikan hasil yang lebih baik daripada P1 dan P3 pada saat domba penelitian

mengalami stres transportasi.

Peningkatan kadar kortisol pada jam ke-0 tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata (p>0,05) karena domba penelitian masih mampu mengatasi pengaruh

dari luar. Kondisi stres ekstrim terjadi pada jam ke-4 sesaat setelah transportasi

yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol darah. Peningkatan kadar

kortisol darah disebabkan karena hewan merespon adanya stres transportasi

meliputi jenis kendaraan yang digunakan, jumlah hewan yang ditransportasikan,

jarak transportasi, panas, dan puasa.

Peningkatan kadar kortisol akan merangsang terjadinya pembentukan

energi dengan pemecahan cadangan karbohidrat, lemak, dan protein. P2

merupakan perlakuan yang dapat mengatasi stres karena dapat menekan sekresi

kortisol sehingga kadar kortisol darah rendah. Kadar kortisol P2 yang rendah

dimungkinkan multivitamin X mengandung zat anti stres sehingga dapat menekan

pengeluaran hormon kortisol. Kadar kortisol P3 yang melebihi kontrol positif

kemungkinan terjadi karena multivitamin Y tidak mempunyai reseptor terhadap

kadar kortisol yang berfungsi untuk merespon adanya stres transportasi.

Kadar kortisol darah mengalami penurunan pada jam ke-8 dan mulai stabil

pada jam ke-12, 24, 48, dan jam ke-72. Hal ini dimungkinkan karena domba

penelitian telah mengalami proses adaptasi sehingga tidak lagi mengalami stres

transportasi. Peningkatan kadar kortisol setelah terjadi penurunan, kemungkinan

disebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang mendadak yang belum dapat

diatasi dengan baik oleh domba penelitian.

Menurut Clark et al (1997a), stres merupakan adaptasi sebagai suatu

proses tanggapan fisiologis atau tingkah laku akibat adanya stimuli yang berulang.

Stres menyebabkan impuls saraf simpatis dari hipotalamus merangsang sekresi

katekolamin dari korteks adrenal dan juga akan merangsang pengeluaran ACTH

dari hipofise anterior untuk mensekresikan hormon kortisol dan glukokortikoid

dari korteks. Hormon kortisol ini membantu meningkatkan suplai energi terutama

ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996 dan Guyton 1991). Sanhouri et al

(1989) menyatakan bahwa konsentrasi kortisol pada ternak mempunyai level yang

rendah sama seperti level baseline (1-5 ng/ml) selama transportasi menggunakan

kendaraan yang tenang tetapi konsentrasi akan meningkat 15 menit setelah

transportasi pada kendaraan yang gaduh (13-24 ng/ml) dengan mobil bak terbuka

(>27 ng/ml).

Penurunan kadar kortisol yang cepat dapat dihubungkan dengan kecepatan

hipotalamus dalam menanggapi stimuli. Clark et al (1997b) menyatakan bahwa

setelah adanya stimulus yang dikirim melalui syaraf aferen dan diterima oleh

syaraf pusat, CRH (Corticotropin Releasing Hormon) segera dilepaskan dari

hipotalamus. Hormon tersebut merangsang hipofisis anterior untuk mensekresikan

ACTH yang pada akhirnya akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan

glukokortikoid. Glukokortikoid merupakan feed back mecanism. Waktu yang

dibutuhkan untuk sekresi CRH hanya beberapa detik, ACTH kurang lebih 15

menit dan glukokortikoid hanya dalam beberapa menit.

Penurunan kadar kortisol juga disebabkan oleh sekresi ß-endorphine

sebagai respon terhadap stres. Pelepasan ataupun hambatan CRH diatur dengan

mekanisme umpan balik negatif untuk melawan adanya stres yang berulang.

Sebagai konsekuensinya hipofisis pars anterior akan mensekresikan

propiomelanocortin (POMC) asal peptida untuk mensekresikan beberapa

neuromikal diantaranya ß-endorphine untuk menekan stres (Clark et al 1997b).

ß-endorphine merupakan endogenous morphine-like yang mempunyai

efek untuk menekan timbulnya stres (Brook dan Marshall 1996). Pendapat

tersebut diperkuat oleh Mears dan Brown (1997), pada rodensia peningkatan ß-

endorphine terjadi beberapa saat setelah hewan mengalami stres.

4.2 Kadar Glukosa Darah Domba Priangan (mg/dl).

Kadar glukosa darah dihitung menggunakan alat spectrofotometer. Hasil

yang diperoleh diuraikan sebagai berikut.

4.2.1 Penelitian pendahuluan.

Pengambilan sampel darah untuk data awal dilakukan pada jam ke-0, 3, 6,

9, dan 12. Domba penelitian berada di kandang dengan pemberian makan pagi

dan sore hari serta minum ad libitum. Hasil pengamatan kadar glukosa darah pada

domba penelitian yang tidak ditransportasikan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan data awal kadar glukosa darah domba priangan (mg/dl). Pengamatan jam ke- Kadar glukosa darah (mg/dl)

0 4,78±2,233 5,01±1,876 6,04±3,869 3,92±1,77

12 7,79±5,78Rataan±Standar deviasi 5,58±3,45

Glukosa darah adalah sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

melakukan aktifitas fisiologi. Glukosa didapat dari hasil perombakan bahan

makanan yang dikonsumsi. Hasil pengamatan kadar glukosa darah pada domba

penelitian, menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa dari kadar glukosa

awal sampai jam ke-6, dan mengalami penurunan jam ke-9, kemudian meningkat

kembali jam ke-12.

Rataan kadar glukosa domba yang diperoleh dari penelitian adalah 5,58

±3,45 mg/dl. Kadar awal glukosa darah ini lebih rendah dengan kadar glukosa

darah domba luar negeri. Menurut Kannan et al (2002), kadar glukosa darah

normal adalah 40-60 mg/dl. Perbedaan kadar glukosa domba penelitian diduga

karena adanya perbedaan genetik, lingkungan, dan kebiasaan hidup. Gambar

rataan kadar glukosa darah pada penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Rataan data awal kadar glukosa darah domba Priangan (mg/dl).

Domba penelitian tidak diberi asupan pakan setelah jam ke-0 mengalami

peningkatan kadar glukosa. Kadar glukosa yang semakin meningkat dari jam ke-0

sampai jam ke-6 merupakan hasil dari metabolisme pakan. Kadar glukosa darah

mengalami penurunan pada jam ke-9 karena glukosa sudah digunakan oleh tubuh

untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Peningkatan kadar glukosa jam ke-12

disebabkan karena domba penelitian sudah mendapatkan asupan pakan. Kadar

glukosa yang meningkat pada jam ke-12 juga merupakan hasil dari metabolisme

pakan.

4.2.2 Perlakuan.

Pengambilan sampel darah pada saat transportasi dilakukan pada jam ke-0,

4, 8, 12, 24, 48, dan 72. Selama perlakuan hewan tidak diberi asupan pakan dan

minum. Hasil analisa kadar glukosa darah saat perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kadar glukosa darah domba Priangan (ml/dl). Perlakuan

0 4 8 12 24 48 72P1 6,11±5,08ab 27,35±11,32defg 8,04±6,58abc 19,97±14,58abcde 31,03±8,47defg 3,67±3,91a 37,04±12,46efg

P2 13,62±6,67abcd 26,04±14,23cdefg 21,82±6,79abcdef 28,57±10,82defg 39,94±9,55fg 5,51±4,79ab 36,87±7,50efg

P3 6,91±5,64abc 23,79±35,03bcdef 12,42±10,97abcd 18,00±6,13abcde 39,37±6,81fg 7,61±0,60abc 43,57±8,99g

Pengamatan jam ke-

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan

yang nyata (p<0,05); P1: Kontrol Positif; P2: perlakuan X; P3: Perlakuan Y.

Kadar glukosa darah jam ke-0 pada P2 (13,62 mg/dl) lebih tinggi daripada

P1 (6,11 mg/dl) dan P3 (6,91 mg/dl). Begitu juga pada kadar glukosa darah jam

ke-4, 8, dan 12 secara keseluruhan P2 (26,04 mg/dl; 21,81 mg/dl; 28,57 mg/dl)

lebih tinggi jika dibandingkan dengan P1 (27,35 mg/dl; 8,04 mg/dl; 19,97 mg/dl)

dan P3 (23,79 mg/dl; 12,42 mg/dl; 18,00 mg/dl) meskipun pada jam ke-4 P1 lebih

tinggi. Namun, berdasarkan analisa nampak bahwa tidak terdapat perbedaan yang

nyata antara ketiga perlakuan (p>0,05). Kadar glukosa darah jam ke-24, 48, dan

72 juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Gambar kadar

glukosa darah saat perlakuan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kadar glukosa darah domba Priangan (mg/dl).

Domba penelitian mengalami stres pada jam ke-4 sesaat setelah

transportasi. Kadar glukosa yang meningkat pada jam ke-4 ini merupakan hasil

dari metabolisme pakan. Stres akan meningkatkan perombakan pakan sehingga

terjadi metabolisme energi yang tinggi untuk menekan stres tersebut (Ensminger

et al. 1990). Kadar glukosa darah mulai menurun setelah jam ke-4. Penurunan

kadar glukosa ketiga perlakuan pada jam ke-8 terjadi karena hewan sudah mulai

menggunakan glukosa untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya.

Peningkatan pada jam ke-12 terjadi karena tidak adanya asupan pakan

menyebabkan terjadinya mobilisasi glikogen di hati dan otot untuk pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Selain itu, kebutuhan glukosa juga diduga karena terjadi

glukoneogenesis (perubahan senyawa nonkarbohidrat menjadi glukosa). Sumber

Glukoneogenesis berasal dari gliserol dan asam amino. Kadar glukosa yang masih

meningkat pada jam ke-24 diduga masih merupakan hasil dari glikogenolisis dan

glukoneogenesis. Hal ini disebabkan domba penelitian yang mengalami

penurunan nafsu makan akibat stres.

Peningkatan kadar glukosa darah P2 lebih rendah pada saat terjadi stres

transportasi yaitu pada jam ke-4 disebabkan karena kandungan dari multivitamin

X dapat mempertahankan kadar glukosa di dalam darah sehingga dapat mencegah

terjadinya metabolisme pakan berlebih. Tubuh tidak mengalami penurunan kadar

glukosa secara cepat sesaat setelah transportasi. Hasil perhitungan peningkatan

kadar glukosa pada jam ke-4 adalah P2 meningkat hanya sebesar12,42 mg/dl

sedangkan P1 meningkat sebesar 21,24 mg/dl dan P3 sebesar 16,88 mg/dl.

Peningkatan kadar glukosa darah jam ke-12 pada P3 lebih rendah daripada

P1 dan P2. Kandungan multivitamin Y pada P3 juga dapat mempertahankan kadar

glukosa darah seperti kandungan multivitamin pada P2 saat perlakuan.

Domba penelitian mulai mengalami penurunan kadar glukosa darah

setelah jam ke-24. Penurunan kadar glukosa darah ini disebabkan domba sudah

menggunakan glukosa hasil glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kadar glukosa

darah pada jam ke-48 sudah seperti kadar glukosa awal sebelum perlakuan

sehingga dapat diartikan bahwa domba penelitian sudah tidak mengalami stres

transportasi.

Kadar glukosa yang sangat tinggi pada jam ke-72 dimungkinkan sebagai

akibat dari hasil metabolisme pakan yang dikonsumsi sebelumnya. Domba

penelitian yang sudah tidak mengalami stres transportasi diduga akan

meningkatan asupan pakan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan simpanan

nutrisi yang konstan dalam jaringan dan mencegah simpanan nutrisi agar tidak

terlalu rendah atau tinggi (Tortora dan Anagnostakos 1990).

Glukosa darah adalah sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

melakukan aktifitas fisiologi. Glukosa didapat dari hasil perombakan bahan

makanan yang dikonsumsi. Stres akan meningkatkan kadar glukosa. Hal ini

diperkuat dari pernyataan Kent dan Ewbank (1983), yang menyatakan bahwa stres

transportasi akan meningkatkan kadar glukosa. Peningkatan kadar glukosa

disebabkan terjadinya pemecahan glikogen di hati (Murray et al 1990). Selain itu,

peningkatan kadar glukosa dapat terjadi ketika tidak ada asupan makanan atau

hewan puasa. Kebutuhan glukosa diperoleh melalui proses glikogenolisis

(pemecahan glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (perubahan senyawa

non karbohidrat menjadi glukosa), sumber glukoneogenesis berasal dari gliserol

dan asam amino.

Terjadinya glikogenolisis dan glukoneogenesis pada keadaan tersebut

sesuai dengan Mayes (1994) yang menyatakan bahwa ketika hewan beralih dari

kenyang ke keadaan dipuasakan, ketersediaan glukosa dari hati menjadi lebih

sedikit dan glikogen di hati akan disekresikan untuk memenuhi kebutuhan glukosa

melalui proses glikogenolisis, konsentrasi insulin akan menurun dan glukagon

akan meningkat. Setelah glikogen mengalami penurunan, trigliserida di dalam hati

akan dipecah menjadi gliserol, selanjutnya akan diubah menjadi glukosa melalui

glukoneogenesis (Tortora dan Anagnostakos 1990). Keadaan lapar yang

berlangsung lama akan mengubah asam amino yang merupakan sumber glukosa

terakhir menjadi glukosa (Mayes 1994).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini dapat diuraikan

sebagai berikut.

1. Kadar kortisol dan kadar glukosa darah dapat digunakan sebagai indikator stres

pada domba yang mengalami stres transportasi,

2. Multivitamin X memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) sehingga dapat

digunakan untuk menekan kadar kortisol di dalam darah pada domba yang

mengalami stres transportasi,

3. Selama transportasi, domba penelitian yang diberi multivitamin X atau Y dan

yang tidak diberi multivitamin tidak memberikan perbedaan yang nyata

terhadap kadar glukosa darah (P>0,05) pada keadaan stres.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan adalah pengangkutan hewan sebaiknya

memperhatikan aspek animal welfare sehingga dapat meminimalkan tingkat stres

transportasi. Ternak yang ditransportasikan sebaiknya diberi multivitamin

tertentu. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi ternak sehingga dapat

dihasilkan produk yang maksimal setelah transportasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman U. 1996. Physology. Mosby. St. Louis. hlm 311-321.

Anonimus. 2005. Animal Welfare. http://www. balipost.co.id/BaliPostcetak/2005 [3 Maret 2008].

Anonimus. 2008. Cortisol. http://www. wikipedia. Org/wiki/Cortisol [12 Februari 2008].

Anonimus. 2004. Epineprine Action to Mobilize Glikogen. http://www. wikipedia.org/wiki/Glukosa [30 juni 2008].

Anonimus. 2008. Glukosa. http://www. wikipedia. Org/wiki/Glukosa [12 Februari 2008].

Archler J. 1979. Animal Under Stress. The Camelot Pres Itd, Southampton, 2-55.

Bender DA. 2003. Nutritional Biochemistry ot the Vitamins second edition. London: Cambridge University Press.

Brook CGD, Marshall NJ. 1996. Essential Endocrinology. Ed ke-3. Blackwell science. Hlm 44-57.

Carola R, Harley JP, dan Noback CR. 1990. Human Anatomy and Physiology. New York: Mc Graw-Hill. Hlm 255-265.

Clark JD, Rager DR, dan Calpin JP. 1997a. Animal well-being II: stress and distress. Lab Anim Sci 47 (6): 571-579.

Clark JD, Rager DR, dan Calpin JP. 1997a. Animal well-being IV: specific assessment criteria. Lab Anim Sci 47 (6): 586-597.

Ensminger ME, Oldfield JE, dan Heinemann WW. 1990. Feed and Nutrition Digest. Ed ke-2. California: Ensminger Publishing Company.

Forrest OJ, Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD, dan Markel RA. 1975. The Principles of Meat Science. San Fransisco: W. H. Freeman and Co.

Fowler ME. 1999. Zoo and Animal Medicine. Ed ke-4, Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hlm 34-35.

Gurnadi E. 1986. Dasar-dasar Ilmu dan Teknologi Daging. SISDIKSAT INTIM.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Terjemahan dari Irawati. Ken Arita Trenggadi dan Alex Santoso.

Guyton AZ. 1991. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-7. Philadelphia: Saunders Company. Hlm 220-240.

Hamdani ZS, Zulfikar, dan R Setiadi. 1980. Pengembangan usah ternak domba di

Jawa Barat. Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Bandung 22 p.

Harper HA, Rodwell VW, dan Mayes PA. 1979. Review of Physiology Chemistry. California: Lange Medical Publications. hlm 187-199.

Hawari D 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 28-109.

Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S, Amoah EA, dan Samake S. 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress responses and live weight loss: Journal of Animal Science 2000. 78:1450-1457. http://www.jas.fass.org. [2 April 2008].

Karnadi J. 1999. Stres Dalam Kehidupan Sehari-hari. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: Pusat Penelitian & Pengembangan PT Kalbe Farma.

Keeton WT. 1980. Biological Science. New York: W.W Norton & Company. hlm 135-140.

Kent JK, Ewbank R. 1983. The effect of road transportation on the blood

constituents and behaviour of calves. I. Six months old. Br. Vet. J. 139:228-235.

Ladewig J. 1994. Stress. In: F. Docke (ed) Veterinarmedizinische Endokrinologie. 3rd ed. Pp 379-398. Verlag Gustav Fiscer, Jena, Germany.

Lawrie RA. 1997. Meat Current Development and Future Status. Meat Science 1:1-13.

Manalu W. 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi Hewan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Martin DW, Peter AM, dan Victor WR. 1981. Harper’s Review of Biochemintry. Former title: Review of Physiological Chemistry. California: Lange Medical Publications.

Mayes AP. 1994. Bioenergetika dan Metabolisme Karbohidrat dan Lipid. Edisi ke-24. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.

Mc. Elroy A, Towsend PK. 1985. Medical Anthropologi in Fisiological Perspective Westview Pres. Inc. USA.

Mears GJ, Brown. 1997. Cortisol and ß-endorphin responses to physical and psycological stressor in lamb. Can J Anim Sci 77: 689-694.

Melson GF. 1980. Family and Environtment an Ecosistem Perspektive, Burguois. Publishing Company USA.

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, dan Rodwell VW. 1990. Gluconeogenesis and control of the blood glucose: Hormones of the adrenal cortex and adrenal medulla. In: Harper’s Biochemistry (12thEd). Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ.

Natasasmita A. 1967. Aktivitas reproduksi domba Priangan. Media Peternakan. 11: 12-18.

Natasasmita A. 1969. Pedoman beternak domba. Direktorat Peternakan Rakyat Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta.

Nazaruddin, Vivian K. 1991. Petunjuk Praktis Usaha Peternakan. Suatu Rangkuman. PD. Mahkota, Jakarta.

Parrakasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ramada A. 2008. Dodombaan, Hiburan Rakyat Priangan. http:// www. Dombagarut. Blogspot.com [24 Juli 2008].

Sanhouri AA, Jones RS, dan Dobson H. 1989. The effect of different types of transportation on plasma cortisol and testosterone concentration in male goats. Br. Vet. J. 145:446-450.

Sapolsky Robert M. 2004. “Stress and Memory”, Chapter 10 in Why Zebras Don’t Get Ulcers. Third edition. Reprinted by arrangement with Owl Books, an imprint of Henry Holt and Company.

Scott E. 2008. Cortisol and Stress: How to Stay Healthy. stress.about.com/od/stresshealth/a/cortisol by Elizabeth Scott, M.S. [4 Maret 2008].

Selye H. 1946. The general adaption syndrome and the diseases of adaption. J. Clin. Endocrinol. 6: 117-230.

Smith ID. 1979. Sheep in south-east Asia dalam Tomes GL, DE Robertson, dan RJ Lightfoot. 1979. Sheep Breeding. 2nd Ed. Butterworths. London. P. 49-54.

Smith TE, French JA. 1997. Psychosocial sress and urinary cortisol excretion in marmoset monkeys (Callithrix kuhli). Physiol Behav 62(2):225-232.

Sunarto. 2005. Respon Hormonal dan Saraf Terhadap Stres. www.dinkesjatim.go.id/berita-detail [4 Maret 2008].

Sutedja D, Nasipan, dan Rukmana MP. 1978. Kemampuan produksi daging ternak domba Priangan. Fakultas Peternakan Unpad. Proc. Sem. Ruminansia (I). P. 103-109.

Tjandrawinata RR. 2002. Corticotropin-Releasing Factor dan Hubungannya Dengan Ansietas. www.tempo.co.id/medika/arsip/042002/pus-5.htm - 23k [3 Maret 2008].

Tortora GJ, Nicholas P Anagnostakos. 1990. Principle of Anatomy and Physiology. Harper and Row Publisher. New York.

Turner JS, Helms DB. 1986. ConterporaryAdultshood CBS College. Publ. Co. USA.

Wibowo H. 2006. Tahan Stres dan Waspada AI di 2007. http://www. infovet.wordpress.com [4 Maret 2008].

Lampiran 1. Uji lanjut duncan terhadap jam pengambilan sampel kadar kortisol

darah (ng/ml) pada saat perlakuan.

Oneway ANOVA

KORTISOL Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 214131.310 20 10706.565 12.710 .000 Within Groups 53071.500 63 842.405 Total 267202.810 83

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

KORTISOL Duncan

N Subset for alpha = .05

Perlakuan 1 2 3 4 5 6

P1=ke-0 4 117.7500

P2=ke-12 4 134.0000 134.0000

P2=ke-24 4 134.5000 134.5000

P3=ke-24 4 139.2500 139.2500 139.2500

P1=ke-8 4 141.5000 141.5000 141.5000

P1=ke-48 4 142.2500 142.2500 142.2500

P1=ke-12 4 143.5000 143.5000 143.5000

P3=ke-12 4 146.0000 146.0000 146.0000

P2=ke-48 4 146.0000 146.0000 146.0000

P2=ke-8 4 146.7500 146.7500 146.7500

P1=ke-72 4 150.2500 150.2500 150.2500

P3=ke-72 4 151.7500 151.7500 151.7500

P2=ke-72 4 152.2500 152.2500 152.2500

P2=ke-0 4 153.0000 153.0000 153.0000

P3=ke-0 4 155.5000 155.5000 155.5000

P1=ke-24 4 171.7500 171.7500 171.7500

P3=ke-48 4 176.5000 176.5000 176.5000

P3=ke-8 4 184.7500 184.7500

P2=ke-4 4 211.5000

P1=ke-4 4 282.7500

P3=ke-4 4 335.0000

Sig. .137 .095 .073 .081 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. Explore Perlakuan

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

Perlakuan N Percent N Percent N Percent

KORTISOL P1=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

Descriptives

Perlakuan Statistic Std. Error

KORTISOL P1=ke-0 Mean 117.7500 6.22328

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 97.9448

Upper Bound 137.5552

5% Trimmed Mean

117.6667

Median 117.0000

Variance 154.917

Std. Deviation 12.44655

Minimum 105.00

Maximum 132.00

Range 27.00

Interquartile Range

23.7500

Skewness .207 1.014

Kurtosis -3.389 2.619

P2=ke-0 Mean 153.0000 15.92692

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 102.3134

Upper Bound 203.6866

5% Trimmed Mean

152.3333

Median 147.0000

Variance 1014.667

Std. Deviation 31.85383

Minimum 124.00

Maximum 194.00

Range 70.00

Interquartile Range

60.0000

Skewness .743 1.014

Kurtosis -1.410 2.619

P3=ke-0 Mean 155.5000 8.70345

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 127.8017

Upper Bound 183.1983

5% Trimmed Mean

155.7778

Median 158.0000

Variance 303.000

Std. Deviation 17.40690

Minimum 134.00

Maximum 172.00

Range 38.00

Interquartile Range

33.0000

Skewness -.531 1.014

Kurtosis -2.351 2.619

P1=ke-4 Mean 282.7500 29.04702

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 190.3094

Upper Bound 375.1906

5% Trimmed Mean

283.5000

Median 289.5000

Variance 3374.917

Std. Deviation 58.09403

Minimum 207.00

Maximum 345.00

Range 138.00

Interquartile Range

110.7500

Skewness -.627 1.014

Kurtosis .591 2.619

P2=ke-4 Mean 211.5000 7.93200

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 186.2568

Upper Bound 236.7432

5% Trimmed Mean

211.1111

Median 208.0000

Variance 251.667

Std. Deviation 15.86401

Minimum 198.00

Maximum 232.00

Range 34.00

Interquartile Range

29.5000

Skewness .789 1.014

Kurtosis -1.515 2.619

P3=ke-4 Mean 335.0000 28.48684

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 244.3422

Upper Bound 425.6578

5% Trimmed Mean

337.2222

Median 355.0000

Variance 3246.000

Std. Deviation 56.97368

Minimum 252.00

Maximum 378.00

Range 126.00

Interquartile Range

99.5000

Skewness -1.674 1.014

Kurtosis 2.855 2.619

P1=ke-8 Mean 141.5000 5.92312

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 122.6500

Upper Bound 160.3500

5% Trimmed Mean

142.0000

Median 146.0000

Variance 140.333

Std. Deviation 11.84624

Minimum 124.00

Maximum 150.00

Range 26.00

Interquartile Range

20.0000

Skewness -1.819 1.014

Kurtosis 3.439 2.619

P2=ke-8 Mean 146.7500 9.04042

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 117.9794

Upper Bound 175.5206

5% Trimmed Mean

146.7222

Median 146.5000

Variance 326.917

Std. Deviation 18.08084

Minimum 127.00

Maximum 167.00

Range 40.00

Interquartile Range

34.7500

Skewness .052 1.014

Kurtosis -3.000 2.619

P3=ke-8 Mean 184.7500 18.94015

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 124.4740

Upper Bound 245.0260

5% Trimmed Mean

183.0000

Median 169.0000

Variance 1434.917

Std. Deviation 37.88029

Minimum 160.00

Maximum 241.00

Range 81.00

Interquartile Range

62.7500

Skewness 1.883 1.014

Kurtosis 3.592 2.619

P1=ke-12 Mean 143.5000 8.56835

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 116.2317

Upper Bound 170.7683

5% Trimmed Mean

143.3889

Median 142.5000

Variance 293.667

Std. Deviation 17.13671

Minimum 127.00

Maximum 162.00

Range 35.00

Interquartile Range

32.0000

Skewness .138 1.014

Kurtosis -4.694 2.619

P2=ke-12 Mean 134.0000 6.06905

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 114.6856

Upper Bound 153.3144

5% Trimmed Mean

134.0000

Median 134.0000

Variance 147.333

Std. Deviation 12.13809

Minimum 123.00

Maximum 145.00

Range 22.00

Interquartile Range

21.5000

Skewness .000 1.014

Kurtosis -5.932 2.619

P3=ke-12 Mean 146.0000 9.32738

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 116.3161

Upper Bound 175.6839

5% Trimmed Mean

146.4444

Median 150.0000

Variance 348.000

Std. Deviation 18.65476

Minimum 121.00

Maximum 163.00

Range 42.00

Interquartile Range

35.0000

Skewness -.966 1.014

Kurtosis -.044 2.619

P1=ke-24 Mean 171.7500 30.34627

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 75.1746

Upper Bound 268.3254

5% Trimmed Mean

169.6667

Median 153.0000

Variance 3683.583

Std. Deviation 60.69253

Minimum 124.00

Maximum 257.00

Range 133.00

Interquartile Range

109.7500

Skewness 1.349 1.014

Kurtosis 1.306 2.619

P2=ke-24 Mean 134.5000 1.04083

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 131.1876

Upper Bound 137.8124

5% Trimmed Mean

134.5000

Median 134.5000

Variance 4.333

Std. Deviation 2.08167

Minimum 132.00

Maximum 137.00

Range 5.00

Interquartile Range

4.0000

Skewness .000 1.014

Kurtosis .391 2.619

P3=ke-24 Mean 139.2500 7.02822

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 116.8831

Upper Bound 161.6169

5% Trimmed Mean

139.1667

Median 138.5000

Variance 197.583

Std. Deviation 14.05643

Minimum 123.00

Maximum 157.00

Range 34.00

Interquartile Range

26.7500

Skewness .305 1.014

Kurtosis .940 2.619

P1=ke-48 Mean 142.2500 7.14580

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 119.5089

Upper Bound 164.9911

5% Trimmed Mean

142.2778

Median 142.5000

Variance 204.250

Std. Deviation 14.29161

Minimum 128.00

Maximum 156.00

Range 28.00

Interquartile Range

26.2500

Skewness -.029 1.014

Kurtosis -5.400 2.619

P2=ke-48 Mean 146.0000 5.24404

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 129.3111

Upper Bound 162.6889

5% Trimmed Mean

146.2222

Median 148.0000

Variance 110.000

Std. Deviation 10.48809

Minimum 133.00

Maximum 155.00

Range 22.00

Interquartile Range

19.5000

Skewness -.589 1.014

Kurtosis -2.626 2.619

P3=ke-48 Mean 176.5000 24.41823

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 98.7903

Upper Bound 254.2097

5% Trimmed Mean

175.2222

Median 165.0000

Variance 2385.000

Std. Deviation 48.83646

Minimum 131.00

Maximum 245.00

Range 114.00

Interquartile Range

89.5000

Skewness 1.258 1.014

Kurtosis 1.999 2.619

P1=ke-72 Mean 150.2500 3.47311

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 139.1970

Upper Bound 161.3030

5% Trimmed Mean

150.0556

Median 148.5000

Variance 48.250

Std. Deviation 6.94622

Minimum 144.00

Maximum 160.00

Range 16.00

Interquartile Range

12.7500

Skewness 1.290 1.014

Kurtosis 1.784 2.619

P2=ke-72 Mean 152.2500 1.25000

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 148.2719

Upper Bound 156.2281

5% Trimmed Mean

152.2778

Median 152.5000

Variance 6.250

Std. Deviation 2.50000

Minimum 149.00

Maximum 155.00

Range 6.00

Interquartile Range

4.7500

Skewness -.560 1.014

Kurtosis .928 2.619

P3=ke-72 Mean 151.7500 1.93111

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 145.6044

Upper Bound 157.8956

5% Trimmed Mean

151.6667

Median 151.0000

Variance 14.917

Std. Deviation 3.86221

Minimum 148.00

Maximum 157.00

Range 9.00

Interquartile Range

7.2500

Skewness 1.002 1.014

Kurtosis .984 2.619

Kortisol Stem-and-Leaf Plots KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-0 Frequency Stem & Leaf 1.00 10 . 5 1.00 11 . 0 1.00 12 . 4 1.00 13 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-0 Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 23 2.00 1 . 69 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-0 Frequency Stem & Leaf 1.00 13 . 4 1.00 14 . 9 .00 15 . 1.00 16 . 7 1.00 17 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-4 Frequency Stem & Leaf 1.00 2 . 0 1.00 2 . 7

2.00 3 . 04 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-4 Frequency Stem & Leaf 1.00 19 . 8 1.00 20 . 0 1.00 21 . 6 .00 22 . 1.00 23 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-4 Frequency Stem & Leaf 1.00 2 . 5 1.00 3 . 4 2.00 3 . 67 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-8 Frequency Stem & Leaf 1.00 12 . 4 .00 13 . 2.00 14 . 57 1.00 15 . 0 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-8 Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 23 2.00 1 . 56 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-8

Frequency Stem & Leaf 3.00 1 . 667 1.00 2 . 4 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-12 Frequency Stem & Leaf 1.00 12 . 7 1.00 13 . 1 .00 14 . 1.00 15 . 4 1.00 16 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-12 Frequency Stem & Leaf 2.00 12 . 34 .00 13 . 2.00 14 . 45 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-12 Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 24 2.00 1 . 56 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-24 Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 23 1.00 1 . 7 .00 2 . 1.00 2 . 5 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for

PERLAKUA= P2=ke-24 Frequency Stem & Leaf 2.00 13 . 24 2.00 13 . 57 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-24 Frequency Stem & Leaf 1.00 12 . 3 1.00 13 . 6 1.00 14 . 1 1.00 15 . 7 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-48 Frequency Stem & Leaf 1.00 12 . 8 1.00 13 . 2 .00 14 . 2.00 15 . 36 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-48 Frequency Stem & Leaf 1.00 13 . 3 1.00 14 . 2 2.00 15 . 45 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-48 Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 3 2.00 1 . 57 1.00 2 . 4 Stem width: 100.00

Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-72 Frequency Stem & Leaf 2.00 14 . 47 1.00 15 . 0 1.00 16 . 0 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-72 Frequency Stem & Leaf 1.00 14 . 9 2.00 15 . 23 1.00 15 . 5 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) KORTISOL Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-72 Frequency Stem & Leaf 1.00 14 . 8 2.00 15 . 02 1.00 15 . 7 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s)

444444444444444444444N =

Perlakuan

P3=ke-72P1=ke-72

P2=ke-48P3=ke-24

P1=ke-24P2=ke-12

P3=ke-8P1=ke-8

P2=ke-4P3=ke-0

P1=ke-0

KORTI

SOL

400

300

200

100

0

Lampiran 2. Uji lanjut duncan terhadap jam pengambilan sampel kadar glukosa

darah (mg/dl) pada saat perlakuan.

Oneway ANOVA

GLUKOSA Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 13519.888 20 675.994 5.113 .000

Within Groups 8329.921 63 132.221

Total 21849.808 83

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

GLUKOSA Duncan N Subset for

alpha = .05

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7

P1=ke-48 4 3.6725

P2=ke-48 4 5.5075 5.5075

P1=ke-0 4 6.1100 6.1100

P3=ke-0 4 6.9150 6.9150 6.9150

P3=ke-48 4 7.6075 7.6075 7.6075

P1=ke-8 4 8.0400 8.0400 8.0400

P3=ke-8 4 12.4175 12.4175 12.4175 12.4175

P2=ke-0 4 13.6225 13.6225 13.6225 13.6225

P3=ke-12 4 18.0000 18.0000 18.0000 18.0000 18.0000

P1=ke-12 4 19.9725 19.9725 19.9725 19.9725 19.9725

P2=ke-8 4 21.8125 21.8125 21.8125 21.8125 21.8125 21.8125

P3=ke-4 4 23.7850 23.7850 23.7850 23.7850 23.7850

P2=ke-4 4 26.0375 26.0375 26.0375 26.0375 26.0375

P1=ke-4 4 27.3450 27.3450 27.3450 27.3450

P2=ke-12 4 28.5725 28.5725 28.5725 28.5725

P1=ke-24 4 31.0275 31.0275 31.0275 31.0275

P2=ke-72 4 36.8650 36.8650 36.8650

P1=ke-72 4 37.0425 37.0425 37.0425

P3=ke-24 4 39.3725 39.3725

P2=ke-24 4 39.9375 39.9375

P3=ke-72 4 43.5725

Sig. .066 .064 .050 .057 .051 .064 .071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

explore Perlakuan

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

Perlakuan N Percent N Percent N Percent

GLUKOSA P1=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-0 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-4 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-8 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-12 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-24 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-48 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P1=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P2=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

P3=ke-72 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%

Descriptives

Perlakuan Statistic Std. Error

GLUKOSA P1=ke-0 Mean 6.1100 2.53785

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -1.9666

Upper Bound 14.1866

5% Trimmed Mean 5.9667

Median 4.8200

Variance 25.763

Std. Deviation 5.07571

Minimum 1.46

Maximum 13.34

Range 11.88

Interquartile Range 9.0000

Skewness 1.391 1.014

Kurtosis 2.602 2.619

P2=ke-0 Mean 13.6225 3.33465

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 3.0102

Upper Bound 24.2348

5% Trimmed Mean 13.6761

Median 14.1050

Variance 44.480

Std. Deviation 6.66930

Minimum 6.69

Maximum 19.59

Range 12.90

Interquartile Range 12.1575

Skewness -.110 1.014

Kurtosis -5.308 2.619

P3=ke-0 Mean 6.9150 2.81912

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -2.0567

Upper Bound 15.8867

5% Trimmed Mean 6.8156

Median 6.0200

Variance 31.790

Std. Deviation 5.63824

Minimum 2.08

Maximum 13.54

Range 11.46

Interquartile Range 10.4150

Skewness .391 1.014

Kurtosis -3.761 2.619

P1=ke-4 Mean 27.3450 5.66119

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 9.3286

Upper Bound 45.3614

5% Trimmed Mean 27.4444

Median 28.2400

Variance 128.196

Std. Deviation 11.32237

Minimum 13.96

Maximum 38.94

Range 24.98

Interquartile Range 21.6800

Skewness -.299 1.014

Kurtosis -2.767 2.619

P2=ke-4 Mean 26.0375 7.11574

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 3.3920

Upper Bound 48.6830

5% Trimmed Mean 25.5200

Median 21.3800

Variance 202.535

Std. Deviation 14.23148

Minimum 14.77

Maximum 46.62

Range 31.85

Interquartile Range 25.1925

Skewness 1.595 1.014

Kurtosis 2.622 2.619

P3=ke-4 Mean 23.7850 17.51613

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -31.9591

Upper Bound 79.5291

5% Trimmed Mean 22.0161

Median 7.8650

Variance 1227.259

Std. Deviation 35.03226

Minimum 3.20

Maximum 76.21

Range 73.01

Interquartile Range 55.3450

Skewness 1.972 1.014

Kurtosis 3.908 2.619

P1=ke-8 Mean 8.0400 3.25396

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -2.3156

Upper Bound 18.3956

5% Trimmed Mean 8.0372

Median 8.0150

Variance 42.353

Std. Deviation 6.50792

Minimum 1.87

Maximum 14.26

Range 12.39

Interquartile Range 11.8000

Skewness .005 1.014

Kurtosis -5.674 2.619

P2=ke-8 Mean 21.8125 3.39481

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 11.0087

Upper Bound 32.6163

5% Trimmed Mean 21.8950

Median 22.5550

Variance 46.099

Std. Deviation 6.78961

Minimum 13.03

Maximum 29.11

Range 16.08

Interquartile Range 12.9825

Skewness -.581 1.014

Kurtosis .353 2.619

P3=ke-8 Mean 12.4175 5.48701

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -5.0446

Upper Bound 29.8796

5% Trimmed Mean 12.0878

Median 9.4500

Variance 120.429

Std. Deviation 10.97402

Minimum 3.10

Maximum 27.67

Range 24.57

Interquartile Range 20.1675

Skewness 1.247 1.014

Kurtosis 1.068 2.619

P1=ke-12 Mean 19.9725 7.29065

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound -3.2296

Upper Bound 43.1746

5% Trimmed Mean 19.6567

Median 17.1300

Variance 212.614

Std. Deviation 14.58131

Minimum 7.10

Maximum 38.53

Range 31.43

Interquartile Range 27.3075

Skewness .701 1.014

Kurtosis -1.862 2.619

P2=ke-12 Mean 28.5725 5.40876

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 11.3594

Upper Bound 45.7856

5% Trimmed Mean 28.6494

Median 29.2650

Variance 117.019

Std. Deviation 10.81752

Minimum 14.67

Maximum 41.09

Range 26.42

Interquartile Range 19.9425

Skewness -.382 1.014

Kurtosis 1.570 2.619

P3=ke-12 Mean 18.0000 3.06530

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 8.2448

Upper Bound 27.7552

5% Trimmed Mean 17.8750

Median 16.8750

Variance 37.584

Std. Deviation 6.13061

Minimum 12.01

Maximum 26.24

Range 14.23

Interquartile Range 11.5700

Skewness .926 1.014

Kurtosis .589 2.619

P1=ke-24 Mean 31.0275 4.23481

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 17.5504

Upper Bound 44.5046

5% Trimmed Mean 30.9389

Median 30.2300

Variance 71.734

Std. Deviation 8.46962

Minimum 21.74

Maximum 41.91

Range 20.17

Interquartile Range 16.2025

Skewness .510 1.014

Kurtosis .456 2.619

P2=ke-24 Mean 39.9375 4.77592

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 24.7384

Upper Bound 55.1366

5% Trimmed Mean 39.8550

Median 39.1950

Variance 91.238

Std. Deviation 9.55184

Minimum 30.75

Maximum 50.61

Range 19.86

Interquartile Range 17.9425

Skewness .209 1.014

Kurtosis -4.248 2.619

P3=ke-24 Mean 39.3725 3.40654

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 28.5314

Upper Bound 50.2136

5% Trimmed Mean 39.5917

Median 41.3450

Variance 46.418

Std. Deviation 6.81307

Minimum 29.82

Maximum 44.98

Range 15.16

Interquartile Range 12.4175

Skewness -1.324 1.014

Kurtosis 1.335 2.619

P1=ke-48 Mean 3.6725 1.95577

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -2.5516

Upper Bound 9.8966

5% Trimmed Mean 3.5539

Median 2.6050

Variance 15.300

Std. Deviation 3.91153

Minimum .34

Maximum 9.14

Range 8.80

Interquartile Range 7.1725

Skewness 1.288 1.014

Kurtosis 1.322 2.619

P2=ke-48 Mean 5.5075 2.39523

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound -2.1152

Upper Bound 13.1302

5% Trimmed Mean 5.3083

Median 3.7150

Variance 22.948

Std. Deviation 4.79046

Minimum 2.18

Maximum 12.42

Range 10.24

Interquartile Range 8.3475

Skewness 1.593 1.014

Kurtosis 2.333 2.619

P3=ke-48 Mean 7.6075 .30289

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 6.6436

Upper Bound 8.5714

5% Trimmed Mean 7.5961

Median 7.5050

Variance .367

Std. Deviation .60577

Minimum 6.99

Maximum 8.43

Range 1.44

Interquartile Range 1.1325

Skewness .936 1.014

Kurtosis 1.474 2.619

P1=ke-72 Mean 37.0425 6.23149

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 17.2111

Upper Bound 56.8739

5% Trimmed Mean 37.2583

Median 38.9850

Variance 155.326

Std. Deviation 12.46298

Minimum 20.10

Maximum 50.10

Range 30.00

Interquartile Range 22.8325

Skewness -.901 1.014

Kurtosis 1.907 2.619

P2=ke-72 Mean 36.8650 3.75215

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 24.9240

Upper Bound 48.8060

5% Trimmed Mean 36.6972

Median 35.3550

Variance 56.315

Std. Deviation 7.50430

Minimum 29.52

Maximum 47.23

Range 17.71

Interquartile Range 13.8950

Skewness 1.099 1.014

Kurtosis 1.749 2.619

P3=ke-72 Mean 43.5725 4.49648

95% ConfidenceInterval for Mean

Lower Bound 29.2627

Upper Bound 57.8823

5% Trimmed Mean 43.7233

Median 44.9300

Variance 80.873

Std. Deviation 8.99296

Minimum 31.77

Maximum 52.66

Range 20.89

Interquartile Range 17.1275

Skewness -.751 1.014

Kurtosis .039 2.619

GLUKOSA Stem-and-Leaf Plots

GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-0 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 14 1.00 0 . 5 1.00 1 . 3 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-0 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 69 .00 1 . 2.00 1 . 99 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-0 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 22 1.00 0 . 9 1.00 1 . 3 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-4 Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 3 1.00 2 . 2 2.00 3 . 48 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-4 Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 48 1.00 2 . 3 .00 3 . 1.00 4 . 6

Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-4 Frequency Stem & Leaf 3.00 0 . 000 1.00 0 . 7 Stem width: 100.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-8 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 13 .00 0 . 2.00 1 . 34 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-8 Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 3 .00 1 . 2.00 2 . 04 1.00 2 . 9 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-8 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 35 1.00 1 . 2 1.00 2 . 7 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-12 Frequency Stem & Leaf

2.00 0 . 79 .00 1 . 1.00 2 . 4 1.00 3 . 8 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-12 Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 4 2.00 2 . 99 .00 3 . 1.00 4 . 1 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-12 Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 2 2.00 1 . 58 .00 2 . 1.00 2 . 6 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-24 Frequency Stem & Leaf 2.00 2 . 18 1.00 3 . 2 1.00 4 . 1 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-24 Frequency Stem & Leaf 2.00 3 . 03 1.00 4 . 5 1.00 5 . 0 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s)

GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-24 Frequency Stem & Leaf 1.00 2 . 9 1.00 3 . 9 2.00 4 . 34 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-48 Frequency Stem & Leaf 3.00 0 . 013 1.00 0 . 9 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-48 Frequency Stem & Leaf 2.00 0 . 22 1.00 0 . 5 1.00 1 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-48 Frequency Stem & Leaf 1.00 6 . 9 2.00 7 . 46 1.00 8 . 4 Stem width: 1.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P1=ke-72 Frequency Stem & Leaf 1.00 2 . 0 2.00 3 . 89 .00 4 . 1.00 5 . 0

Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P2=ke-72 Frequency Stem & Leaf 1.00 2 . 9 2.00 3 . 46 1.00 4 . 7 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s) GLUKOSA Stem-and-Leaf Plot for PERLAKUA= P3=ke-72 Frequency Stem & Leaf 1.00 3 . 1 2.00 4 . 27 1.00 5 . 2 Stem width: 10.00 Each leaf: 1 case(s)

444444444444444444444N =

Perlakuan

P3=ke-72P1=ke-72

P2=ke-48P3=ke-24

P1=ke-24P2=ke-12

P3=ke-8P1=ke-8

P2=ke-4P3=ke-0

P1=ke-0

GLU

KOSA

100

80

60

40

20

0

-20