31
1

editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

1

Page 2: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

2 3

Page 3: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

4 5

editorial

MEMBUKA CAKRAWALA,MEMBUKA HATIH

ingga paruh pertama 2016, doctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) konsisten menyajikan pelayanan medis bagi warga

daerah terpencil yang selama ini mesti berjuang keras berhadapan dengan ketiadaan akses, minimnya infrastruktur, dan morat-marit kondisi ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni.

Dengan Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan, tim antara lain telah berkiprah di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (13 – 21 Maret 2016); Atambua, Nusa Tenggara Timur (2 – 8 April 2016); Kepulauan Aru, Maluku (27 – 30 April 2016); dan Sorong Selatan, Papua Barat (20 – 29 Mei 2016).

Lewat program Dokter Terbang (Flying Doctors), tim juga telah berupaya menggapai wilayah-wilayah di pedalaman Papua yang masyarakatnya selama ini nyaris tidak pernah melihat dokter seumur hidupnya. Wilayah yang kami layani melalui program ini antara lain adalah Distrik Tisain dan Distrik Mu Satu di Kabupaten Mappi serta Distrik Wandai di Kabupaten Intan Jaya.

Demikian pula dengan pelayanan medis yang dilakukan dengan cara mobile clinic di Pulau Kei. doctorSHARE yang diwakili dr. Nidia Limarga secara rutin melangsungkan pelayanan medis “jemput bola” bagi warga Kei Besar, Maluku Tenggara. Dari satu ohoi (kampung) ke ohoi lain, dr. Nidia menantang berbagai medan demi mengobati pasien. Hingga semester pertama 2016, dr. Nidia dan kawan-kawan telah menangani 638 kasus penyakit.

Berbagai aktivitas yang kami jalankan selalu disambut antusiasme warga, yang sekaligus jadi cermin betapa besarnya kerinduan mereka

akan pelayanan medis yang layak. Bedah mayor dan minor, pengobatan umum, penyuluhan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat lokal diikuti secara saksama – dan tentu saja memberikan manfaat langsung bagi mereka yang selama ini menantinya.

Tapi ada hal yang tak kalah berharga dari tiap aktivitas yang lakukan: pengalaman yang membuka cakrawala. Ketika doctorSHARE melangsungkan pelayanan medis di Atambua, Nusa Tenggara Timur (2 – 8 April 2016), misalnya. Atambua berbatasan langsung dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi (“warga baru”) berkondisi memprihatinkan. Cakrawala kami terbuka setelah mendengar beberapa kisah mereka – yang detailnya dapat rekan-rekan baca pada buletin ini.

Cakrawala baru lainnya terbuka ketika kami melangsungkan screening terhadap calon pasien bedah RSA dr. Lie Dharmawan di Kepulauan Aru, Maluku (27 – 30 April 2016). Banyak warga yang mendaftarkan putrinya untuk disunat! Pada akhirnya, kami sadari bahwa fenomena ini merupakan perpaduan faktor budaya, agama dan sosial yang khas. Tapi di sisi lain, permintaan ini menjadi dilemma tersendiri bagi tim yang pergumulannya juga dapat Anda baca dalam buletin ini.

Flying Doctors (Dokter Terbang) menguak cakrawala lain yang tak kalah mencengangkan. Dari sisi wilayah saja, kontur dan kondisinya sudah memperlihatkan tantangan tersendiri, misalnya di Kabupaten Mappi. Butuh waktu lebih dari sehari bagi tim untuk menggapai daerah ini. Kami mencicipi aneka medan mulai dari udara (pesawat, pesawat amfibi); laut/sungai (dengan speedboat terbuka

selama sehari penuh), juga darat (dengan mobil ranger karena harus melalui lumpur dan tanah berundak).

Ketika melangsungkan pelayanan medis di wilayah ini, tim juga menemukan berbagai hal menarik, terutama dari sisi pendidikan dan sosial-budaya yang berkorelasi dengan isu kesehatan. Contohnya adalah fakta bahwa distrik yang kami datangi memiliki sebuah gedung sekolah yang kokoh namun kopong tak berisi, juga tak nampak kehadiran guru sama sekali. Demikian pula dengan cukup banyaknya temuan frambusia atau kaki gajah yang sebabnya mesti diteliti lebih lanjut.

Lewat pelayanan Flying Doctors di Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, cakrawala kami pun makin terkuak dengan kesadaran betapa besarnya potensi wilayah ini. Distrik Wandai memiliki sumber garam alamiah, juga aneka tanaman kopi yang setelah kami teliti ternyata berkualitas baik. Ini belum termasuk umbi-umbian yang sangat sedap. Bayangkan apa jadinya jika masyarakat lokal sadar betul harta yang tengah mereka genggam dan mampu mengolahnya dengan cara-cara inovatif.

Di Wandai, kami pun menjumpai sebuah tradisi unik: warga yang memotong ruas jarinya saat ada anggota keluarga meninggal. Tradisi ini dikenal dengan nama tradisi Hane Zambaya. Tradisi ini merupakan bentuk pengalihan rasa sakit. Tradisi ini merupakan upaya masyarakat Papua bertahan melawan penyakit dan kesedihan dengan caranya sendiri. Tradisi ini mungkin saja tak muncul andai ada layanan kesehatan yang memadai.

Dari tanah Kei di Maluku Tenggara, doctorSHARE yang diwakili dr. Nidia Limarga secara rutin juga melangsungkan pelayanan medis “jemput bola” bagi warga Kei Besar, Maluku Tenggara. Menyambangi ohoi (kampung) satu ke ohoi lain, dr. Nidia berjuang melalui aneka medan menantang demi mengobati pasien. Hingga semester pertama 2016, dr. Nidia dkk. tercatat telah menangani 638 kasus penyakit.

Pelayanan medis adalah hal baik, namun memahami masyarakat yang kita layani adalah kunci agar pelayanan yang dilakukan benar-benar mengena di hati masyarakat. Pada saat bersamaan, berbagai kegiatan pelayanan juga membawa pelajaran hidup tak ternilai. Pelajaran berharga ini dapat rekan-rekan baca dalam testimoni yang ditulis empat relawan doctorSHARE: Reynaldo, Nidia, Sherly, Siska.

Seorang penulis bernama Donald L. Hicks mengatakan: “When you show others love, you are shown love. When you give love, you receive love.” Pada akhirnya kami memang sadar bahwa pelayanan yang dilakukan tak hanya berdampak positif pada masyarakat yang dilayani tapi juga membuka cakrawala dan hati bagi relawan dan donatur yang terlibat di dalamnya. Gaungnya tentu tak sesaat.

Cakrawala yang terkuak mendorong kita lebih menghargai perbedaan. Hati yang terbuka membuat kita memaknai pelayanan sebagai gaya hidup, bukan sekadar aktivitas sosial di waktu luang. Meski tak mudah, kami percaya semangat ini menggores jejak yang lebih dalam bagi kita semua dalam berkarya bagi kebaikan sesama. Selamat membaca, mencintai dan dicintai! ■

Page 4: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

6 7

4-5 Editorial

6 DaftarIsi

7 Kata Pengantar Pendiri & Pembina doctorSHARE

8-21 Kisah-kisahRumahSakitApung (FloatingHospital)

22-23 Kisah-kisahDokterTerbang (FlyingDoctors)

34-39 Falbehe:KabarDari MalukuTenggara

40-41 GayaHidup: Gula Penyebab Kanker?

42-49 GoresanRelawan: Reynaldo, Nidia, Sherly, Siska

50-51 ResensiBuku:Dokter Indonesia Bercerita: “Jangan Jadi Dokter”

52-55 KaledoiskopdoctorSHARE

EditorialSylvie Tanaga

JournalistsSylvie Tanaga, Ahmad Yunus, Devrila Muhamad Indra, Muhammad Alfan Baedlowi, Arfi

Zulfan, Ifan Nugraha Dwiyana, Aditya Mardiansyah, Azizah Nida Ilyas, Muhammad Rifqy Fadil, Olfi Fitri Hasanah, Panji Arief Sumirat, Deando Permana, Aflah Satriadi, Muhammad Alif

Hudanto, Abdul Basith Bardan

ContributorsLie Mei Phing, dr. Debby Kurniawati Adi Saputra, dr. Emilio Pandika, dr. Ivan Reynaldo Lubis,

dr. Nidia Limarga, Siska Amelia, Sherly Wijaya Sari

Graphic DesignHenry Christian

Cover DesignPrisca Evanthia

Edisi II/2016

Awal Juni 2016, sebuah tim kecil doctorSHARE melakukan perjalanan ke Ambon, Kei Kecil dan Kei Besar. Tujuan

kunjungan adalah melihat perkembangan proyek yang sedang kami lakukan di Provinsi Maluku secara umum dan khususnya di Kabupaten Maluku Tenggara. Dalam kunjungan kerja kami kali ini, kami sempat bertemu dengan bupati Maluku Tenggara, Kadinkes Provinsi Maluku, beberapa tokoh masyarakat dan dua mantan pasien yang kami bantu.

Secara umum, dialog-dialog yang kami lakukan dengan mitra wicara kami akan menimbulkan kesan betapa masyarakat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh karena mereka menganggap dan merasakan manfaatnya secara langsung.

Diskusi-diskusi yang kami lakukan menimbulkan kesepakatan untuk melakukan kerjasama yang terarah antara pemerintah, masyarakat, dan doctorSHARE dalam melayani penduduk lokal dengan mengikut sertakan potensi masyarakat yang tersedia.

Hal ini dimungkinkan untuk diterapkan, karena sudah diatur dalam Permenkes No 90 tentang Pelayanan Kesehatan di Fasyenkes Terpencil dan Sangat Terpencil yang

diundangkan pada tanggal 8 Januari 2016.

Semangat kami bertambah, keyakinan kami diperkuat ketika kami mengunjungi 2 eks pasien yang pernah dioperasi oleh dokter dari doctorSHARE, bahwa tujuan/impian doctorSHARE membantu agar mereka yang butuh pertolongan dapat keluar dari kesulitan mereka.

Seorang anak puteri usia 13 tahun terpaksa putus sekolah karena perutnya yang membesar dan di sekolah dipergunjingkan sebagai hamil (9 bulan) kira-kira 2 bulan setelah operasi, anak ini telah sehat dan dalam pembicaraan yang kami lakukan baru-baru ini di rumahnya, dia mengaku akan meneruskan sekolahnya.

Seorang wanita muda usia kurang lebih 25 tahun, kini telah bekerja secara normal membantu kedua orang tuanya di kebun. Dua setengah bulan yang lalu kami mengangkat sebuah kista seberat 14 kilogram dari dalam perutnya.

Pengalaman-pengalaman kami selama ini, dikaitkan dengan dialog-dialog dengan para pejabat serta keluarnya Permenkes No 90 Tahun 2016 yang baru saja terbit, menambah semangat kami, bahwa yang sedang kami lakukan saat itu dan diwaktu esok, sangat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. ■

Kata Pengantar Pendiri & Pembina doctorSHAREdr. Lie Dharmawan

Page 5: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

8 9

rumah sakit apung rumah sakit apung

Pelayanan Medis di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (13-21 Maret 2016)

Tim doctorSHARE melakukan pelayanan medis perdananya dengan RSA dr. Lie Dharmawan pada 13 – 21 Maret 2016

di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini merupakan daerah pemekaran dari wilayah Sumba Barat sejak delapan tahun silam. Bertema “Berbagi Kasih dalam Melayani Masyarakat Sumba”, pelayanan medis ini beranggotakan 2 dokter spesialis, 10 dokter umum, 4 perawat, dan 4 relawan non medis. RSA dr. Lie Dharmawan sandar di Lapangan Galatama dan Dermaga Waikelo. Pelayanan medis ini juga didukung Pemerintah Daerah Sumba Barat Daya. Pelayanan medis dilakukan melalui penyuluhan “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat” dan pengobatan umum yang berlangsung di Lapangan Galatama (14 Maret 2016), pemeriksaan USG dan pelatihan pada para tenaga medis di Puskesmas Watukaula (15 – 16 Maret 2016), serta bedah minor dan bedah mayor di RSA

dr. Lie Dharmawan yang sandar di Dermaga Waikelo.

Penyuluhan kesehatan diikuti sekitar 80 warga yang dilakukan sebelum berlangsungnya pengobatan umum. Jumlah pasien pengobatan umum mencapai 778 orang dengan jenis penyakit terbanyak adalah myalgia (nyeri otot), dyspepsia (nyeri perut), ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), cephalgia (nyeri kepala), dan hipertensi (darah tinggi). Selama dua hari, 49 pasien memeriksakan diri dengan USG (ultrasonografi) dan berkonsultasi di Puskesmas Watukaula. doctorSHARE juga mengadakan pelatihan penggunaan alat USG bagi para tenaga medis puskesmas mengingat Puskesmas Watukaula sudah miliki USG yang terbilang canggih sejak pertengahan 2015 namun belum pernah dipakai karena belum ada tenaga medis yang dapat mengoperasikannya. Bedah minor dan bedah mayor di RSA dr. Lie Dharmawan didahului oleh proses screening medis untuk menentukan apakah calon pasien sudah memenuhi syarat operasi. Bedah minor berlangsung selama empat hari (16 – 19 Maret 2016) dengan pasien berjumlah 63 orang. Adapun bedah mayor terlaksana dalam dua hari (17 – 18 Maret 2016) dengan total 12 pasien (13 kasus).

“Pelayanan medis perdana RSA dr. Lie Dharmawan pada 2016 ini berlangsung lancar. Semoga awal yang baik ini menjadi motivasi kami untuk berkarya jauh lebih baik lagi dalam melayani saudara-saudara kita yang akses pelayanan kesehatannya masih sangat terbatas,” tutur dr. Christ Hally Santoso, koordinator doctorSHARE untuk pelayanan medis di Sumba Barat Daya. ■

Harapan Baru Buat EpinOleh: Azizah Nida Ilyas

Sebulan sebelumnya, Maria mendengar kabar operasi dan pengobatan gratis di Rumah Sakit kapal dari seorang

kerabatnya. Kabar itu mengembuskan harapan bagi putranya untuk sembuh. Selepas melintas di depan Lapangan Galatama, Sumba Barat Daya, Alexander (suami Maria) bergegas menyiapkan salinan KTP dan Kartu Keluarga yang menjadi syarat operasi gratis.

Esok harinya, pendaftaran operasi gratis dibuka di Dermaga Waikelo. Pagi-pagi sekali, Alex membawa Maria dan dua putranya ke dermaga dengan sepeda motor. Selipan map biru berisi berkas-berkas persyaratan operasi tak langsung diberikan Alex pada petugas.

Ternyata, masih ada persyataran yang belum dilengkapinya. Terpaksa ia harus kembali ke rumah dan menemui kepala desa untuk membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Sesegera mungkin ia pergi. Tetapi Maria bersama dua putranya tetap menunggu di dermaga. Hari itu, panas terasa terik. Maria cemas menunggu suaminya. “Takut pendaftaran tutup,” katanya.

Menjelang sore, Alex berhasil membawa SKTM. Vincentius (9 tahun) dan Crista (7) segera diperiksa. Kedua putranya ternyata mengidap hernia. Sayangnya, yang tertangani tim doctorSHARE hanya Vincent karena usia Crista belum memenuhi persyaratan untuk operasi.

Vincent yang akrab di panggil Epin rupanya sudah lama mengidap hernia. “Sejak Epin baru bisa jalan, kita lihat ada benjolan di perut kanan bawahnya,” ucap Maria sambil menunjukkan bagian perut Epin. “Ia sering sekali menangis hingga wajahnya membiru jika benjolan itu tiba-tiba mengeras dan membesar.”

Menurut Maria, tinja Epin juga keras, kehitaman, dan hanya sebesar kelereng. “Seperti kambing,” jelasnya. Kondisi Epin tak jauh berbeda dengan adiknya, Crista. “Kalau Crista sudah mulai nangis keras, biasanya benjolan itu juga muncul.”

Maria dan Alex bersusah-payah mengurus kedua putranya. Masalah utamanya ialah soal biaya. Di Sumba Barat Daya, belum ada

Page 6: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

10 11

Tim doctorSHARE tiba di Pelabuhan Atapupu, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, Atambua pada Sabtu, 2 April 2016. Sehari

sebelumnya, tim sudah tiba di Atambua dan langsung menuju Rumah Jawatan Bupati Kabupaten Belu untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, khususnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, Atambua, Ibu Theresia M. Saik, M.Kes.

Pelayanan medis doctorSHARE di Atambua bertajuk “Membangun Masyarakat Sehat Menuju Kabupaten Belu Sejahtera” ini menerjunkan 19 relawan medis dan 5 relawan non medis, ditambah 5 Anak Buah Kapal (ABK).

Pelayanan berlangsung hingga 8 April 2016 dalam bentuk pengobatan umum (528 pasien), pemeriksaan kehamilan dan kandungan (72 pasien), bedah minor (55 pasien), dan bedah mayor (19 pasien).

7 April 2016, tim melakukan pengobatan umum di Puskemas Atapupu, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu. Pasien pengobatan umum berjumlah 528 orang dengan penyakit terbanyak Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), ganggguan pencernaan (dyspepsia), nyeri otot (myalgia), darah tinggi (hipertensi), dan nyeri kepala (cephalgia).

Di hari yang sama, tim melakukan penyuluhan di SMPK ST Petrus Dualilu Atapupu, Mota’ain, Atambua. Penyuluhan diikuti 136 siswa dengan materi “Kenakalan Remaja” yang menggambarkan sikap siswa seharusnya dalam

mengarungi masa pubertas dan menjaga pergaulan.

Bupati Belu, Willybrodus Lay, juga sempat berkunjung ke Rumah Sakit Apung untuk melihat kegiatan pelayanan medis. Menurutnya, kegiatan doctorSHARE sangatlah positif dan menjadi oase di tengah kekeringan akibat kemarau panjang. “Kami masyarakat Belu

menerima rombongan doctorSHARE sebagai sahabat yang baik dan penuh kepedulian,” ungkapnya.

Persahabatan Pemerintah Daerah Kabupaten Belu dengan doctorSHARE ditandai dengan pengangkatan dr. Lie Dharmawan sebagai keluarga Belu (4 April 2016), lengkap dengan upacara adat.

“Walaupun jauh, masih ada saudara-saudara kita yang mampu melihat dari tempat lain,” tambah Willy pada pidato pengangkatan dr. Lie Dharmawan sebagai warga Belu. Dengan berakhirnya upacara tersebut, dr. Lie Dharmawan memiliki tambahan nama Manek sehingga menjadi dr. Manek Lie Dharmawan.

Secara keseluruhan, pelayanan medis di Atambua berjalan lancar berkat dukungan dan kerjasama dengan pemerintah daerah dan tenaga medis lokal. “Semoga kami dapat kembali melangsungkan pelayanan medis di Kabupaten Belu,” ujar dr. Ivan Chrismast, koordinator lapangan doctorSHARE dalam pelayanan medis di Atambua. ■

Daya, belum ada rumah sakit umum sehingga butuh biaya besar untuk operasi.

Alex hanya bekerja sebagai guru honor yang gajinya jauh dari cukup. Maria hanya ibu rumah tangga. “Untuk kehidupan rumah tangga saja sering kurang,” ucap Maria. Hasil kebun untuk kebutuhan harian pun terkadang masih kurang.

Beberapa tahun silam, Alex pernah berusaha mencari pengobatan alternatif yang lebih terjangkau yakni melalui metode urut atau pijat. Tapi hasilnya nihil. Saat Epin diurut, ia malah menjerit-jerit kesekitan. Benjolan juga terlihat membesar. “Jadi kami hentikan saja urutnya. Crista pun tak jadi diurut,” kata Alex.

Padahal, upaya mengurut atau memijat ini sebetulnya sangat tidak disarankan secara medis. “Hernia tak akan sembuh dengan

diurut-urut. Sebaliknya, upaya ini justru seringkali menimbulkan perlengketan yang akan membuat operasi menjadi makin sulit,” jelas pendiri doctorSHARE, dr. Lie A. Dharmawan, PhD, FICS, SpB, SpBTKV.

Setelah operasi, Epin dipidahkan ke Puskesmas Watukaula untuk menjalani pemulihan. Saat dokter berkunjung, Maria dan Alex terlihat masih mengenakan pakaian yang sama. Alex mengungkapkan rasa terima kasihnya dan berharap tim kembali lagi ke Sumba Barat Daya untuk mengoperasi Crista. Baginya, pelayanan medis tim doctorSHARE adalah secercah harapan bagi keluarganya. ■

Azizah Nida Ilyas adalah relawan mediadoctorSHARE

Pelayanan Medis doctorSHARE di Atambua, Nusa Tenggara Timur (2–8 April 2016)

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 7: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

12 13

Jalan Panjang Negeri Timor:

Kecelakaan dan AlkoholOleh: Devrila Muhamad INDRA

Jalan panjang terbentang dari kota paling timur di NTT (Nusa Tenggra Timur), Atambua, menuju teras perbatasan

NKRI – Timor Leste di Motaain. Ini adalah jalan nasional. Jalan berkelok dari Atambua – Atapupu menuju Motaain ini jadi saksi Referendum 1999 yang berlumur darah.

“Pengalaman tentang darah dan pembunuhan tidak akan pernah saya lupakan,” ucap Denni (35). Ayah lima anak yang berprofesi sebagai tukang ojek ini adalah warga Motabuik, Kecamatan Atambua Selatan. Ia sedang mengantar istrinya, Joka (39), yang merupakan pasien bedah mayor RSA dr. Lie Dharmawan. RSA sandar di Pelabuhan Atapupu, Atambua. Hasil pemeriksaan menunjukkan Joka mengidap tiga tumor sekaligus pada tubuhnya. Semasa kecil, Denni tinggal di Baucau yang kini jadi kota terbesar di Timor Leste setelah Dili). Ia menghabiskan waktu di Baucau

sampai menyelesaikan sekolah menengah atas. Konflik 1999 memaksanya melarikan diri. Jalan panjang inilah yang ia tempuh untuk sampai ke Atambua.

Belasan tahun kemudian, jalan tersebut masih kerap merenjiskan darah dan para pengendara yang melaluinya. Jalan ini dibutuhkan masyarakat untuk mengantar sembako ke wilayah NTT dari Timor Leste atau sebaliknya. Para turis yang ingin bermain ke teras perbatasan Batu Gede pun melalui jalan yang sama, menggunakan bus yang terseok menyusuri kelok jalan.

Tak jarang para penyelundup BBM, minuman keras, dan kayu ilegal melaluinya. Histori korban konflik di jalan ini sungguh mampu memberi kesan mematikan bagi siapapun yang melewatinya. “Dulu, di sinilah tempat pembuangan korban konflik,” kata Haris Panarang, Kanit PolAir Atapupu.

NgebutdanAlkoholJalan sepi selalu menggairahkan adrenalin pengendara untuk memacu gas sedalam mungkin. “Kasus kecelakan banyak terjadi karena masyarakat lalai,” tutur Kepala Urusan Pembinaan Operasional Lalu Lintas Polres Belu, Leyfirds D. Mada.

Kelalaian ini tak jarang yang berpangkal maut. Harian Pos Kupang memberitakan terjadinya kasus kecelakaan lalu lintas akhir 2015 di jalan Atambua – Atapupu (arah Motaain) yang memakan korban: ayah dan anak tertabrak truk fuso. Masih banyak kasus lainnya dengan rentang waktu berdekatan.

Sebuah portal media daring mengabarkan kecelakaan maut yang melahap korban berumur 15 tahun akibat tabrakan pada akhir Februari 2016 di Jalan Raya Atambua – Motaain yang lokasinya tidak jauh dari Dermaga Atapupu, tempat doctorSHARE melangsungkan pelayanan medis pada 1 – 9 April 2016.

Menurut Leyfirds, kasus kecelakaan lalu lintas pada 2015 hingga saat ini berjumlah 82 kasus. Dari jumlah tersebut, 20 orang meninggal dunia, 56 orang luka berat, dan 38 orang luka ringan. “Kerugian

material sampai 220 juta rupiah lebih,” ucap Leyfirds. Penyuluhan kepolisian setidaknya mengurangi jumlah kecelakaan yang tahun sebelumnya mencapai lebih dari 100 kasus.

Kecelakaan juga tidak lepas dari kebiasaan warga berkendara dalam keadaan mabuk. Dari 82 kasus kecelakaan sepanjang 2015, 15 kasus di antaranya terjadi akibat berkendara saat mabuk. “Kami sudah peringatkan masyarakat untuk tidak berkendara saat di bawah pengaruh alkohol, mengingat warga di wilayah ini sering mengonsumsi alkohol sebagai bagian dari adat kebiasaan,” papar Leyfirds.

Perbatasan RI – Timor Leste memang punya budaya mabuk dan pesta dansa. Tak heran jika sepulangnya dari perbatasan, para turis akan “mengimpor” minuman dari Timor Leste. Minuman primadona biasanya berasal dari Australia dan Belanda karena menimbulkan reaksi lebih cepat mabuk ketimbang minuman lokal.

“Masyarakat di sini memilih minum (mabuk), tidak peduli jika tak ada makan,” kata Nickolas, Polisi Pamong Praja, Kabupaten Belu, Atambua. Budaya minum-minum ini sayangnya kerap memicu perkelahian, bahkan menghasilkan korban.

Serampangan ngebut dan menenggak alkohol tanpa kendali menandakan jalan panjang mewujudkan masyarakat Timor yang sehat, aman, dan sejahtera. Darah konflik masa lalu mestinya tak perlu lebih banyak tumpah karena dua kebiasaan ini. Masih banyak persoalan yang perlu segera dibenahi, misalnya layanan kesehatan sehingga masyarakat seperti Denni dan Joka tak perlu lagi berpeluh cari dokter. ■

Devrila Muhamad Indra adalah relawanmedia doctorSHARE

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 8: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

14 15

pendatang eks Timor Timur. “Hampir semuanya adalah pengungsi eks Tim Tim yang kebanyakan hidup di kamp pengungsian tanpa akses kesehatan dan hidup di bawah garis kemiskinan,” ucap Ricky. Ricky mengantar relawan media doctorSHARE ke rumah salah seorang keluarga yang anaknya menderita gizi buruk. Adalah Noviana Corea Dos Santos (3), putri pasangan Olga Corea Pinto (39) dan Antonino Dos Santos (45). Berat Noviana hanya 9,7 kilogram sementara bobot ideal untuk balita seusianya ialah 14 kilogram. “Ia lahirnya tak terlalu kecil, 2,5 kilogram. Tapi pertumbuhannya mungkin terhambat karena kekurangan gizi,” ujar Olga. Ayah Noviana tak punya pekerjaan tetap. Seringkali keluarga mereka harus makan nasi atau jagung tanpa lauk pauk. “Jika ada yang membeli babi atau kambing kami, barulah uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan seperti lauk-pauk dan sejenisnya,” tutur Olga.

Atambua: Eks Timor Timur dan Malnutrisi Oleh: Muhammad Rifqy

Fadil

Kabupaten Belu tidak bersih dari kasus malnutrisi. Hingga Mei 2015, sekitar 475 balita menderita gizi buruk (Pos

Kupang). Dari 13.587 balita yang ditimbang di posyandu, terdapat 74,5% anak gizi baik, 21,9% gizi kurang, dan 3,5% gizi buruk. Kondisi ini misalnya terlihat di Kecamatan Kakuluk Mesak, tak jauh dari Dermaga Atapupu yang menjadi lokasi pelayanan medis doctorSHARE pada 2 – 8 April 2016. “Tahun lalu (2015), terjadi sekitar 25 kasus di Kecamatan Kakuluk Mesak dan 5 kasus di antaranya masuk kategori marasmus (gizi buruk),” jelas staf pengelola gizi Puskesmas Atapupu, Ricky Taolin. Empat desa di Kecamatan Kakuluk Mesak rawan gizi buruk yakni Desa Kenebibi, Jenilu, Dualaus, dan Leosama. Ricky bercerita hampir semua balita pencerita gizi buruk yang terdata Puskesmas Atapupu berasal dari keluarga warga baru, sebutan warga asli Belu untuk para

Kondisi Noviana tak seburuk Domingus Suarez, bayi setahun tujuh bulan yang dinyatakan gizi buruk. Warga penghuni kamp pengungsi eks Timor Timur Desa Kabuna Haliwen, Kecamatan Kaluluk Mesak tersebut mesti dirawat inap di TFC atau Panti Rawat Gizi Puskesmas Haliwen sejak pertengahan Maret 2016. “Waktu masuk, kondisinya sangat miris. Berat badannya hanya 5 kilogram,” terang salah seorang staf perawat TFC Haliwen, Getrudis Yanti. Kepala TFC Haliwen saat itu sedang tidak berada di tempat. Tim doctorSHARE harus menghadapi birokrasi berlapis jika ingin konfirmasi atau minta data. Menurut Getrudis, hampir semua balita penderita gizi buruk merupakan warga baru. BerobatItuSulitRumah tradisional khas Timor berlantai tanah dan beratap jerami. Uniknya, warga membiarkan hewan ternak seperti babi, ayam, dan kambing tinggal dalam rumah. “Sudah biasa. Di sini, budayanya memang seperti itu,” papar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Belu, dr. Theodorus Maubere. Ia tak menampik bahwa kebiasaan ini menimbulkan penyakit dan menghambat pertumbuhan balita. “Warga baru juga kesulitan bayar Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Untuk makan saja sulit, apalagi bayar itu,” kata staf Puskesmas Atapupu, Lody Manek. Peningkatan kondisi ekonomi-lah yang dapat menunjang kualitas kesehatan, terutama bagi keluarga penderita gizi buruk.

Akses kesehatan di Kabupaten Belu pun cukup terbatas. Hanya ada lima rumah sakit, tiga di Kota Atambua. Warga yang bermukim di sekitar Dermaga Atapupu hanya dapat mengakses sebuah puskesmas dengan fasilitas terbatas. Bayangkan jika sewaktu-waktu terjadi kondisi darurat medis. Pasien mesti dirujuk ke Kota Atambua yang berjarak 30 kilometer dari Dermaga Atapupu. Dengan kondisi ini, pasien dengan penyakit-penyakit berat dirujuk ke Kota Kupang yang jaraknya bahkan lebih jauh lagi: 300 kilometer. Itu pun belum tentu dapat ditangani di Kupang. Jika demikian, pada akhirnya pasien mesti dirujuk ke Surabaya atau Jakarta. Berdasarkan survei tahun 2015, 22% penduduk NTT masuk dalam kategori miskin. Peningkatan kualitas kesehatan, ekonomi, sosial, dan pendidikan di Kabupaten Belu menjadi harapan warga, terutama warga baru yang memilih setia dengan merah putih dan meninggalkan kampung halamannya di Timor Leste. ■ Muhammad Rifqy Fadil adalah relawanmedia doctorSHARE

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 9: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

16 17

Provinsi Maluku kembali menyambut kedatangan tim doctorSHARE dengan RSA dr. Lie Dharmawan-nya. Kali ini, RSA

melayani masyarakat Kecamatan Aru Utara selama empat hari yakni 27 – 30 April 2016. Berpusat di Desa Marlasi, pasien dari 11 desa lainnya memanfaatkan jalur transportasi laut untuk mendapatkan pelayanan medis tim doctorSHARE di sana. Meskipun sempat tertunda sehari karena hambatan perjalanan, sambutan warga setempat tak surut mengingat tak seorang pun dokter terdaftar sebagai tenaga medis di satu-satunya Puskesmas Aru Utara. Hanya tercatat 11 tenaga medis yang terdiri dari bidan dan perawat.

Tanpa membuang waktu, tim langsung menggelar pengobatan umum dan screening untuk calon pasien bedah dan pengobatan umum. Pasien pengobatan umum hari itu mencapai 968 orang. Pagi hingga malam, tim melayani pasien tanpa henti. Kasus terbanyak adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Meski beberapa kali hujan turun, jumlah pasien bedah yang ditangani tim hingga hari terakhir lebih banyak dari catatan screening. Selama tiga hari, tim bedah minor melayani 44 pasien. Hampir 60 persennya adalah tindakan sirkumsisi sedangkan kasus lainnya antara lain lipoma dan kista ateroma. Tim juga melayani 11 kasus bedah mayor. Beberapa calon pasien tidak datang tanpa alasan ataupun batal karena tak mendapat izin anggota keluarga. Mayoritas kasus bedah mayor adalah hernia inguinalis lateralis alias turun berok. Kasus lain misalnya adalah kontraktur manus dan tubektomi. Koordinator lapangan pelayanan medis Kepulauan Aru, dr. Ivan Christmas, menyampaikan terima kasih atas perhatian masyarakat dan kerjasama tim, pejabat setempat maupun seluruh pihak yang terlibat. Salah satunya, dalam evakuasi pasien pasca operasi. 10 warga setempat beralih profesi menjadi “ambulans” mengingat tak ada satupun kendaraan bermotor beroperasi di darat. Tak main-main, mereka harus menggotong sejauh dua kilometer dari Dermaga Marlasi ke Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar (PONED). Salah seorang pasien dari Desa Kaibolafin, Salim Wamona, mengatakan bahwa kegiatan semacam ini sangat membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. “Tambah lagi, semuanya tanpa biaya sedikit pun. Semoga dokter-dokter bisa datang lagi ke sini,” tuturnya. Rumah Sakit terdekat berlokasi di Dobo yang memerlukan waktu dua hingga tiga jam perjalanan dengan speedboat sementara tak ada seorang pun dokter di Puskesmas Marlasi. ■

Pelayanan Medis di Kepulauan Aru, Maluku (27 – 30 April 2016)

Sunat Perempuan

Antara Tradisi dan KesehatanOleh: Olfi Fitri Hasanah

doctorSHARE melayani masyarakat Aru Utara, Maluku, akhir April lalu. Ratusan orang datang silih berganti pagi hingga

jelang malam untuk mendapat pengobatan umum. Mereka tak membiarkan puluhan kursi kosong tanpa majikan meski hanya sebentar. Bangku-bangku tersebut dipayungi tiga tenda besar yang berdiri dekat dermaga Marlasi yang menjadi lokasi sandar RSA dr. Lie Dharmawan.

Masing-masing dari mereka datang berbekal keluhan tentang kondisi kesehatan tubuhnya. Tak sedikit pula orang tua yang mendaftarkan anaknya bersunat. Yang mengejutkan, terselip beberapa nama bocah perempuan dalam daftar nama yang hendak sunat. Diskusi spontan pun tak terelak. Keputusannya, tim medis doctorSHARE menolak calon pasien sunat perempuan.

Menelisik praktik sunat perempuan di dunia, data WHO menyebut mayoritas terjadi di negara-negara Afrika dengan jumlah sekitar

92 juta anak pada usia 10 tahun ke atas. Namun, praktik ini juga banyak terjadi di negara-negara Timur Tengah dan sebagian negara Asia termasuk Indonesia. Isu ini pun menjadi masalah di negara-negara Barat terutama komunitas imigran di Jerman, Prancis dan Inggris. Setengah juta anak dan wanita di Eropa diperkirakan alami gangguan kesehatan akibat sunat.

Data yang sama menyebut bahwa sunat perempuan merupakan perpaduan faktor budaya, agama dan sosial. Sebagian kalangan menyebut khitan perlu dilakukan untuk menekan libido wanita sehingga mencegah kemungkinan penyelewengan.

Amona adalah salah satu orang tua yang mendaftarkan putrinya berkhitan di RSA. Menurutnya, sudah menjadi tradisi baik bagi anak laki-laki maupun perempuan untuk sunat. Masyarakat Marlasi percaya proses tersebut merupakan bentuk rasa syukur dan memohon perlindungan pada leluhurnya.

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 10: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

18 19

hanya pada saat laut dalam keadaan pasang.

Agar tidak membuang waktu, tim dijemput masyarakat setempat menggunakan dua long boat yang dapat menampung belasan orang. Lokasi penjemputan berada di tengah laut menuju Distrik Inanwatan. RSA dipandu dua warga setempat hingga bisa masuk ke Pelabuhan Inanwatan.

Koordinator Pelayanan Medis Inanwatan, dr. Herliana Yusuf mengatakan bahwa secara keseluruhankegiatan tim di Inanwatan berjalan lancar.

“Sungguh sebuah pelayanan medis yang panjang. Panjang perjalanannya menuju Inanwatan dan panjang perjuangannya mengingat banyak kejadian unpredictable yang menuntut penyesuaian diri. Beruntung tim cukup solid dan cepat beradaptasi sehingga puji Tuhan berjalan lancar,” ucapnya. ■

“Anak saya berusia sebelas tahun dan belum khitan. Tapi saya maklum kalau memang tim dokter menolak khitan perempuan,” katanya sambil menyungging senyum.

Khitan perempuan dipandang dapat upaya menekan hasrat seksual saat menginjak fase dewasa sehingga menghindarkan para gadis dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kehamilan di luar nikah. Di Marlasi, kaum hawa berumur kurang dari dua puluh tahun bahkan telah memiliki keturunan. “Di sini pada menikah muda karena tidak tahu apalagi yang mau dilakukan selain menikah, mengurus rumah tangga, dan punya keturunan,” jelas Amona yang ditemui di serambi rumahnya.

Ali Qufron Mukti, mantan Wakil Menteri Kesehatan menyatakan pada salah satu situs berita internasional bahwa terjadi salah kaprah tentang kasus tersebut (2013). Di Afrika, tutur Qufron, sunat perempuan dilakukan dengan cara mutilasi atau disebut female genital mutilation (FGM).

Di Indonesia, sunat perempuan dilakukan dengan cara mengores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan jarum steril tanpa melukainya. Penjelasan tersebut ia sampaikan pasca pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 yang mengatur tentang praktik sunat perempuan.

RisikoKhitanPerempuanBagi WHO, hal yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak kesehatan sunat perempuan dalam jangka panjang. Risikonya antara lain infeksi saluran kencing, kista, kemandulan dan komplikasi dalam melahirkan. Sejumlah peneliti bidang kedokteran jiwa juga telah meneliti pengaruh khitan terhadap kesehatan jiwa perempuan. Hasilnya, khitan terhadap perempuan memang berbahaya.

Salah satu penelitian dilakukan dr. Mahmud Karim dan dr. Rusydi Ammar. Penelitian keduanya melibatkan 651 wanita yang berkhitan saat masa kanak-kanak. Kesimpulan penelitian tersebut menegaskan

bahwa sunat adalah sumber tekanan psikologis dan seksual dalam kehidupan perempuan serta menyebabkan berbagai ikatan perioditas seksual bagi kondisi wanita yang bersangkutan.

Saat ini, PBB masih gencar melakukan sosialisasi pelarangan praktik FGM (Female Genital Mutilation) ataupun sunat perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, kasus FGM relatif sedikit jika dibanding Afrika. Akan tetapi, hingga saat ini praktik sunat perempuan masih jadi polemik baik dari perspektif sosial, budaya, agama, maupun kesehatan.

Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan RI, memberikan tanggapan lain terkait hal ini. “Kalau memang itu, katakanlah kewajiban agama, Departemen Kesehatan mengharapkan hal itu tidak menyebabkan kerusakan atau kesulitan pada perempuan yang bersangkutan.” ■

Olfi Fitri Hasanah adalah relawan mediadoctorSHARE

Pelayanan Medis di Sorong Selatan, Papua Barat (20 – 29 Mei 2016)

20 – 29 Mei 2015, tim doctorSHARE melangsungkan pelayanan medis di salah satu distrik pesisir pantai Sorong

Selatan, tepatnya di Distrik Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Anggota tim terdiri dari 14 relawan medis (4 perawat, 7 dokter umum, 2 dokter spesialis bedah, 1 apoteker) dan tiga relawan non medis. Pelayanan medis ini menggunakan RSA dr. Lie Dharmawan yang sandar di Pelabuhan Inanwatan yang selama ini menjadi lokasi berkumpulnya masyarakat.

Setibanya di Distrik Inanwatan, tim langsung menggelar pengobatan umum dan screening (pemeriksaan pendahuluan) calon pasien bedah. Total pasien pengobatan umum di Distrik Inanwatan mencapai 630 orang. Mayoritas penyakit yang diderita warga adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan keluhan batuk dan pilek.

Kasus bedah mayor yang ditangani tim doctorSHARE antara lain meliputi lipoma, appendicitis, hidrokel, kista aterom, hernia scrotalis, dan tumor testis. Bedah mayor dan minor dilaksanakan 24 – 25 Mei 2016 di RSA dr. Lie Dharmawan. Total pasien bedah mayor adalah 12 orang sementara bedah minor mencapai 30 orang.

Tim juga melangsungkan penyuluhan ke SMP Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Bethel dan SMA Negeri Inanwatan mengenai kenakalan remaja. “Materi penyuluhan sesuai bagi siswa agar mereka bisa mengendalikan diri semasa remaja dan memanfaatkan waktu dengan hal-hal positif,” ujar Retno Lestari, salah seorang guru SMAN Inanwatan.

Sebelum memasuki Distrik Inanwatan, tim sempat menemui kendala karena RSA dr. Lie Dharmawan berkali-kali kandas saat meninggalkan Pelabuhan Teminabuan dan hendak memasuki muara di Distrik Inanwatan. Pasang surut laut sangat mempengaruhi RSA. Kondisi muara yang dangkal, membuat RSA baru bisa bergerak

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 11: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

20 21

saat kejadian itu. Armeks langsung teriak-teriak minta tolong. Kejadiannya cepat sekali,” ujar Ebson mencoba mengingat kejadian tersebut. Ebson segera mencari cara memadamkan api dari tubuh mungil Armeks. Ebson segera membawanya ke Puskesmas Inanwatan. Hampir sekujur tubuh Armeks terbakar, terutama bagian belakang tubuh, tangan kanan, dan kaki kanannya. Armeks harus dirawat di Puskesmas Inanwatan. Ebson pun memilih pindah mengajar ke sekolah di Inanwatan agar bisa memantau putranya. Sebulan berlalu, beberapa bagian tubuh Armeks tak kembali seperti sediakala. Ebson tak henti-henti berusaha dan berdoa demi kesembuhan anaknya. Ebson setia menyisihkan honor mengajar untuk biaya pemulihan anaknya. Demi putra kesayangannya, Ebson pun berupaya mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari berbagai pekerjaan selain mengajar. Enam tahun kemudian (saat ini), Armeks duduk di bangku kelas tiga SD. Bekas luka bakar masih nampak jelas. Armeks terus berjuang seperti anak seusianya, meskipun harus menghadapi keterbatasan. Di sekolah, bocah sembilan tahun itu berbaur, belajar dan bermain. Ibu kandung Armeks, Aplena, menuturkan anaknya kerap marah dan kesal jika teman sekolah mulai mengejek keadaan fisiknya.

Terik mentari menyapa masyarakat Distrik Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Mereka memulai aktivitas

hariannya dengan melaut, adapula yang pergi ke hutan mencari batang sagu, anak-anak bersekolah untuk menuntut ilmu. Tak terkecuali Ebson Adoy, pria kelahiran Inanwatan 40 tahun silam, juga menikmati paginya di sekolah sebagai guru SMP Saga Matemani. Ebson menyiapkan perahu kecil yang akrab disebut “ting-ting” oleh masyarakat Inanwatan. Perahu kecil inilah yang sehari-hari mengantarnya ke Distrik Matemani. Tidak ada akses darat untuk keluar dari Inanwatan. Ting-ting jadi satu-satunya pilihan masyarakat jika ingin beranjak ke distrik lain.

Ebson menghabiskan waktu pagi hingga sore untuk mengajar, kecuali jika sekolah libur. Sepulang mengajar pada 27 Oktober 2010, Ebson disambut anak ketiganya bernama Armeks Adoy. Usia Armeks masih tiga tahun, namun ia sudah sering membantu pekerjaan

rumah seperti mengangkat air dan kayu

untuk memasak. Saat itu, Ebson melihat Armeks sedang mengangkat kayu untuk bahan bakar memasak. Jelang malam, Ebson pergi mengisi bahan bakar ting-ting miliknya. Ia membawa pelita untuk menerangi jalannya. Pelita tersebut diletakkan satu meter dari tempat mengisi bahan bakar ting-ting. Pelita adalah lampu api berbahan bakar minyak tanah. Masyarakat Pulau Jawa biasa menyebutnya “cempor” atau lampu “teplok.” Distrik Inanwatan memang belum menikmati listrik. Ebson membuka tutup jeriken berisi bensin dan segera menuangnya ke tangki ting-ting. Tak diduga, api pelita menyulut uap bensin yang sedang ia tuang. Tanpa sepengetahuannya, Armeks sedang berdiri di dekatnya. Api sontak menyambar tubuh kecil Armeks. Posisi Armeks tepat di antara jeriken bensin dan pelita sehingga api dengan mudah menjilat ganas tubuh Armeks. “Bapak tidak tahu Armeks mengikuti saat bapak mau isi bensin ting-ting. Api melewati badan Armeks yang ada di belakang bapak

“Dia punya teman sengaja ejek-ejek dia. Nah itu yang biasa buat dia marah. Dia pulang langsung bilang ke mama kalau dia punya teman ejek-ejek dia,” tutur Aplena. Lantas keduanya mendengar kabar Rumah Sakit Apung doctorSHARE yang singgah di Pelabuhan Inanwatan. Aplena membujuk Armeks datang ke pelabuhan untuk mengecek keadaan tangannya. Awalnya, rayuan Aplena tak berjalan mulus. “Malam melawan, pagi-pagi sekali dia hilang. Bapak pulang tugas, baru dia pulang. Bapak bilang sudah mandi sana, mau ajak jalan-jalan lihat kapal,” ucap Aplena.

Sesampai di pelabuhan, Ebson dan Aplena terus membujuk Armeks agar tangannya mau diperiksa. Rayuan berhasil, Armeks bersedia menyodorkan tangan mungilnya pada tim. Armeks lebih dahulu diperiksa apakah fisiknya memungkinkan untuk operasi. Salah seorang dokter bedah, dr. Oktaviati, SpB. menjelaskan bahwa tangan Armeks dapat dioperasi dan sangat mungkin dapat berfungsi normal kembali. “Kondisi tangannya masih bisa diperbaiki. Umurnya yang belia sangat memungkinkan untuk penyembuhan apalagi tangan kanan termasuk bagian penting agar bisa kembali menulis, memegang sesuatu, dan lain-lain,” jelas dr. Okta. Empat jam kemudian, operasi usai. Tangan Armeks terlihat lebih baik dari sebelumnya. Tim dokter menyarankan Ebson selalu membantu Armeks melatih otot tangannya. Latihan tersebut berguna agar tangan Armeks segera pulih dan berfungsi dengan baik. Selain itu, perlu perawatan khusus agar kulitnya menutup sempurna. Operasi ini memberi pengaruh positif bagi masa depannya.

“Semakin cepat penyembuhannya, semakin baik juga buat Armeks. Ia semakin bisa mengejar ketinggalan. Ia bisa bergaul dengan rekan-rekan sebayanya, juga makin percaya diri menjalani hidupnya,” tutur dr. Okta. ■

Panji Arief Sumirat adalah relawan mediadoctorSHARE

Harapan Dalam Genggaman Armeks Oleh: Panji Arief Sumirat

rumah sakit apung rumah sakit apung

Page 12: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

22 23

Mengusung tema “Menjangkau Pelosok Indonesia Timur dengan Kasih”, tim Flying Doctors doctorSHARE menerjunkan seorang dokter spesialis bedah (dr. Lie Dharmawan), dua dokter umum, dan dua relawan non medis.

Pelayanan medis Flying Doctors di Desa Basman dilaksanakan dalam bentuk pengobatan umum, bedah minor, serta penyuluhan kesehatan. Pengobatan umum berlangsung di bawah tenda area Pustu Basman yang diikuti 303 pasien. Jenis penyakit terbanyak yang muncul antara lain adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), nyeri otot (myalgia), nyeri perut (dyspepsia), nyeri kepala (cephalgia), dan penyakit kulit (dermatitis).

Bedah minor dilakukan terhadap 20 pasien dengan 26 kasus. Sejumlah kasus bedah minor terpaksa belum dapat dilakukan karena keterbatasan waktu dan obat-obatan pendukung. Selain itu, banyak masyarakat dari desa tetangga yang tiba-tiba hadir untuk mendapatkan pelayanan medis.

Tim juga melangsungkan penyuluhan kesehatan dengan tema Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Sekitar 300 anak berkumpul di gedung sekolah (yang sayangnya belum dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar karena ketiadaan guru) dan mengikuti penyuluhan soal cara

Pelayanan Medis di

Kabupaten MappiPapua Barat (17 – 26 Februari 2016)

Basman adalah salah satu desa di Kabupaten Mappi – Papua, yang menjadi sasaran pelayanan medis Flying Doctors

(Dokter Terbang) doctorSHARE pada awal 2016. Tim Flying Doctors yang semula menjajaki daerah pegunungan tengah Papua akhirnya memutuskan menjamah daerah rawa-rawa Papua karena hasil survei memperlihatkan betapa masyarakat di wilayah ini pun masih amat kesulitan mengakses kesehatan karena kondisi medan.

Desa Basman yang termasuk dalam Distrik Tisain ini merupakan desa yang mayoritas dihuni oleh Suku Korowai dan Suku Kombai. Suku-suku ini dahulu tinggal di atas pohon. Hingga kini, masih ada beberapa komunitas dari suku ini yang tinggal di rumah pohon atau rumah tinggi.

Desa Basman dapat dikatakan terisolir dan sangat sulit diakses. Untuk mencapai wilayah ini, tim harus menempuh jalan panjang, dimulai dari penerbangan Jakarta menuju Merauke dengan pesawat. Perjalanan dilanjutkan dengan pesawat perintis menuju ibukota Kabupaten Mappi yakni Keppi selama satu jam. Rute selanjutnya adalah Distrik Senggo yang hanya bisa dilalui dengan speed kecil menyusuri rawa-rawa selama empat jam.

Dari Distrik Senggo, tim kembali harus menempuh perjalanan menyusuri rawa selama empat jam berikutnya sebelum akhirnya tiba di Desa Basman. Durasi ini terlaksana karena saat itu debit air sungai terbilang memadai untuk mendukung laju speed. Pada musim kemarau, perjalanan umumnya dilakukan dengan ketinting (perahu kayu kecil tanpa mesin) dengan waktu tempuh yang lebih lama.

Dengan segala kesulitan ini, tak heran jika masyarakat Desa Basman begitu antusias menyambut kehadiran tim yang dalam pelaksanaannya mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan setempat.

mencuci tangan serta langkah-langkah menggosok gigi dengan baik dan benar-benar. Selain sikat dan pasta gigi, tim juga membagi-bagikan sandal donasi kepada anak-anak Desa Basman.

Pada pelayanan kali ini, doctorSHARE juga berkolaborasi dengan Lembaga Penelitian Eijkman Jakarta dalam mendukung penelitian keanekaragaman genom manusia dan penyakit di Kabupaten Mappi. Antusiasme masyarakat juga sangat tinggi dalam mendukung penelitian ini.

Permasalahan akses pelayanan medis bagi masyarakat Mappi masih sangat butuh perhatian. Kondisi daerah yang dikenal sebagai “Kota Seribu Rawa” ini memang amat dipengaruhi alam. Untuk keperluan sevital air bersih sekalipun, tak mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya.

Ini belum termasuk aneka sektor penting lainnya seperti pendidikan dan ekonomi yang masih sangat minim. Dengan kondisi ini, masyarakat di Kabupaten Mappi benar-benar perlu dilibatkan dalam percepatan pembangunan yang menyeluruh dalam segala bidang (pendidikan, kesehatan, transportasi) secara berkesinambungan.

Pelayanan Dokter Terbang ke berbagai pelosok negeri ini tentu belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, doctorSHARE terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan agar dapat semakin efektif menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga semangat pelayanan berlandaskan kasih ini pun dapat menginspirasi berbagai pihak untuk turun tangan membantu orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. ■

dokter terbang dokter terbang

Page 13: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

24 25

“Saya mau jadi dokter, Kakak”, ujar seorang gadis kecil di sudut Papua. Maria namanya. Wajahnya

berseri. Kilat matanya menunjukkan keyakinan akan cita-citanya. Saat menulis pengalaman ini pun saya masih teringat sorot mata itu, mata yang merajut mimpi masa depan. Dia tak ragu memimpin teman-temannya menyanyi. Pun dengan sabar membantu membagi makanan ringan pada anak-anak kecil yang berkumpul di belakang rumah singgah kami sore itu.

Kepercayaan dirinya sungguh mempesona untuk ukuran seorang gadis kelas 5 SD di tanah Papua. Jawabannya lugas, pula tidak ragu menjawab lontaran pertanyaan kami. Hanya saja ia meringis malu kala tidak mampu menjawab pertanyaan hitungan pecahan.

Maria, saya terpesona padanya. Anak perempuan kecil dari Desa Senggo, Distrik

Apa Kabar Keluarga Saya?Oleh: Lie Mei Phing Mimpi Besar

MariaOleh: dr. Debby Kurniawati Adi Saputra

Badan boleh kecil, tapi semangat bidan Jenni tak tertandingi. Bermandikan keringat akibat terik mentari Papua,

bidan manis dengan tinggi 151 sentimeter tersebut bergerak lincah membantu di mana saja dan kapan saja. Antusiasme masyarakat terhadap pelayanan medis Flying Doctors doctorSHARE di Kampung Basman memang luar biasa. Seluruh anggota tim kewalahan menghadapi kerumunan pasien yang seolah tak habis datang dari berbagai penjuru.

Selain Kampung Basman, banyak pasien berdatangan dari kampung-kampung tetangga seperti Kampung Muu Satu hingga Kampung Senggo yang berjarak 3,5 jam perjalanan menyusuri rawa dengan speedboat. Bahkan adapula pasien yang datang jauh dari Kampung Yaniruma dengan mengayuh perahu dayung semalaman. Suatu senja ketika pelayanan medis usai, bidan Jenni berujar, “bertugas di daerah rawa ini pilihan. Saya merasa tergerak melayani mereka yang tinggal di daerah sulit akses medis dan merasakan kehidupan yang mereka alami….” Mata bidan Jenni menerawang. “Sejauh ini, saya merasa gembira dengan pilihan hidup yang saya ambil. Tapi barangkali ada satu hal yang terkadang berat untuk saya… Saya sering kangen keluarga. Sulit untuk mendapat berita tentang kondisi mereka

karena tidak ada signal di daerah tugas saya.” Jika rasa kangen melanda atau rasa khawatir akan kesehatan orang tua menyergap, bidan Jenni menggunakan radio SSB (Single Side Band). Ia minta tolong rekan tenaga medis di lokasi yang lebih bersignal untuk menelepon keluarganya. Kabar yang diterima lalu disampaikan kembali padanya, juga melalui radio SSB.

Lumayan. Paling tidak rasa penasarannya terobati walau tak bisa mendengar langsung suara orang tua dan saudara-saudaranya tersayang. Bagaimana pun, manusia adalah makhluk sosial. Berkomunitas merupakan kebutuhan primer dan terutama kesehatan mental. Minimnya infrastruktur di daerah terpencil bukan hanya jadi momok bagi masyarakat setempat. Bidan macam Jenni pun kena getahnya. Tak banyak tenaga ahli yang mampu bertahan seperti bidan Jenni. Gaji yang lebih tinggi dan fasilitas tinggal yang “dipaksa” dibuat nyaman tak cukup menjadikan daerah pengabdian sebagai rumah baru yang home sweet home. Keterisolasian dari dunia luar adalah masalah yang mesti dientaskan – selain penyakit dan kebodohan. Apakah lancarnya akses komunikasi bisa menjamin dokter dan guru pindah berbondong-bondong ke daerah terpencil? Ah, mungkin tidak. Tapi komponen penting ini wajib mendapat perhatian, terutama jika kita punya harapan besar melihat tenaga ahli terdistribusi lebih merata hingga ke wilayah paling pelosok. ■

LieMei Phing adalah relawan nonmedisdoctorSHARE

Tisain, Kabupaten Keppi ini sungguh berani gantungkan mimpinya menjulang tinggi. Sebersit pikiran segera melintas di benak ketika saya mendengar mimpinya. Sulit kalau mau jadi dokter di Papua. Sekolah-sekolah seringkali tidak memiliki guru. Materi pelajaran juga jauh tertinggal dari anak-anak Pulau Jawa.

Saya hargai betul semangat Maria. Saya berharap ia terus gigih dengan mimpinya, tak jenuh mempertahankan kerlip asa yang ia junjung di langit. Mendengar mimpi Maria, saya merasa malu dan kecil. Gadis pelosok Papua ini harus menghadapi aneka keterbatasan. Tapi ia masih berani bermimpi besar sedang untuk sekadar bermimpi pun saya takut.

Kerapkali saya hentikan langkah hanya karena terpikir halangan-halangan yang mungkin timbul. Pun saya seringkali membatasi diri sendiri karena tidak berani melambungkan mimpi tinggi-tinggi. Saya terlalu takut jatuh dan kecewa jika tak mampu meraih apa yang saya gantungkan sendiri.

Senja itu, semburat oranye di langit Papua mengiringi pembelajaran saya pada seorang Maria. Belajar untuk berani bermimpi besar dan bekerja keras mewujudkannya. Soekarno pernah berkata, “bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”.

Ah, semoga kamu mengingat ujaranmu sore itu, Maria. Berjuanglah untuk mewujudkan mimpimu. Jadilah seorang dokter. Saya mungkin hanya mampu mendoakanmu, Maria. Engkau gadis kecil yang mengingatkan saya untuk berani bermimpi besar. If you were brave enough to dream it, be brave enough to make it happen. ■

dr.DebbyKurniawatiAdiSaputraadalahrelawanFlyingDoctorsdoctorSHAREdanKoordinatorRSANusaWaluyaII

dokter terbang dokter terbang

Page 14: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

26 27

Pelayanan medis Flying Doctors (Dokter Terbang) doctorSHARE yang kelima kalinya dilakukan di Desa Jae, Distrik

Wandai, Kabupaten Intan Jaya – Papua. Mulanya, Distrik Wandai hanya memiliki satu desa, Desa Sabisa. Wandai kini memiliki 9 desa yaitu Desa Jae, Sabisa, Debasiga Satu, Debasiga Dua, Isantoga, Mogalo, Bugulo, Hulagupa, dan Dubasiga.

Tim Dokter Terbang menerjunkan 4 relawan medis dan 2 relawan non medis serta bekerjasama dengan Yayasan Somatua dan Pemerintah Daerah yang diwakili Ketua DPRD Intan Jaya, Marten Tipagau, S.Sos. Ketiga elemen tersebut berkolaborasi dengan para tokoh desa seperti kepala suku, kepala desa, mantri lokal, dan pemuka agama. Beberapa wilayah di pegunungan tengah Papua khususnya Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, memang telah memiliki

warga desa lain akan membantu menandu menuju puskesmas. ”Dokter Terbang adalah bentuk memanusiakan manusia melalui keberanian para dokter,” pungkasnya.

Masyarakat pegunungan tengah Papua jelas masih sangat minim perhatian, terutama terkait masalah kesehatan. Warga Distrik Wandai hanya memiliki seorang mantri lokal yakni Petrus Zagani (40). Ayah lima anak ini harus berjalan 3 jam setiap hari dari tempat tinggalnya ke

Pelayanan Medis di Distrik WandaiKabupaten Intan Jaya,Papua (18 – 25 Mei 2016)

dokter terbang dokter terbangpuskesmas. Namun akses transportasi yang sulit, kondisi medan setapak yang terjal, serta minimnya tenaga medis membuat pelayanan kesehatan masih jauh dari kata layak. Kepala Desa Jae, Lukas Zagani, mengakui kondisi tersebut.

“Kami kesulitan dengan masalah kesehatan,” tutur Lukas. Tak heran jika warga Kabupaten Intan Jaya terlihat sangat antusias mengikuti pelayanan medis. Sejumlah warga dari desa sekitar rela berjalan kaki menuju Desa Jae demi beroleh layanan medis. Padahal, butuh waktu berjam-jam untuk mencapai lokasi tersebut. Pelayanan medis Flying Doctors yang berlangsung 20 hingga 23 Mei 2016 ini melayani bedah minor (22 pasien dengan 30 kasus), pengobatan umum (448 pasien), penyuluhan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan latihan sikat gigi pada 200 peserta. Selain membagikan obat cacing, tim juga menyalurkan donasi berupa pakaian dan sandal.

“Walaupun tidak diawasi dalam jangka panjang, memberi anak-anak pemahaman tentang hidup sehat sangatlah penting,” ungkap Koordinator Flying Doctors doctorSHARE, dr. Riny Sari Bachtiar, MARS. Menurut Marten Tipagau, kegiatan pelayanan Dokter Terbang ini sangat membantu masyarakat Distrik Wandai. Sebagai warga lokal, Marten merasakan langsung sulitnya berjalan jauh ketika sakit dan hendak berobat. Jika keadaan fisik tidak memungkinkan untuk berjalan,

puskesmas. Warga yang membutuhkan pertolongan darurat hanya bisa pasrah jika Petrus belum tiba atau masih melayani pasien lain. Para “mama” (ibu-ibu) yang akan melahirkan tak jarang akhirnya harus melakukan proses persalinannya sendiri di honai masing-masing.

Di sisi lain, Distrik Wandai sesungguhnya merupakan distrik yang sangat potensial. Distrik ini memiliki landasan pesawat sederhana yang dapat dilandasi pesawat perintis jenis Pilatus, sumber air garam gunung, berbagai tanaman dan sayur-sayuran, ternak ayam, itik, babi dan ikan untuk memenuhi kebutuhan pangann serta sumber air yang cukup untuk kehidupan sehari-hari.

Distrik Wandai sangat potensial menjadi desa percontohan. Pembangunan fasilitas publik seperti sekolah, pasar dan jalan umum sudah mulai terlihat. Tugas selanjutnya adalah membangun pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Potensi mereka menjadi manusia berkualitas dan mandiri tak kalah dengan masyarakat lain di Indonesia, namun butuh dukungan agar potensi tersebut berbuah nyata. ■

Page 15: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

28 29

Memanusiakan masyarakat PapuaOleh: dr. Riny Sari Bachtiar, MARS

Salah seorang putra lokal dari Suku Moni, Kabupaten Intan Jaya, Papua, punya pernyataan menarik. Beliau berkata

bahwa tuntutan rakyat Papua sebetulnya sederhana saja: ingin dimanusiakan. Bagi Marten Tipagau, demikian nama sang putra lokal, salah satu program doctorSHARE yaitu Flying Doctors dapat menjawab dambaan masyarakat Papua akan kegiatan yang memanusiakan manusia. Kata “memanusiakan manusia” selalu beliau ulang untuk memberikan penekanan kebutuhan masyarakat Papua yang sesungguhnya.

Pernyataan Marten setidaknya cukup menjawab sejumlah pertanyaan saya:• Apa yang sebenarnya dibutuhkan

masyarakat Papua?• Apa yang sebenarnya terjadi hingga ada

kelompok yang ingin melepaskan diri dari NKRI?

• Apa benar masyarakat Papua butuh baju?• Apa mem-”baju”-kan masyarakat Papua

membuat mereka lebih bahagia?• Akankah ada percepatan untuk melepas

belenggu 50 tahun ketertinggalan mereka dibanding masyarakat Jawa dan Sumatera?

Saya sendiri lahir dan tumbuh dari sebuah kampung di Pulau Sumatera. Tapi bahkan dibanding kampung halaman saya, kondisinya tetap saja sangat kontras dibanding wilayah Pegunungan Tengah Papua, terutama Kabupaten Intan Jaya yang selama setahun terakhir ini sudah seperti kampung halaman saya sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa penentuan lokasi pilot project pelayanan medis Flying DoctorsdoctorSHARE di Intan Jaya murni rencana Tuhan. Mengapa? Karena tidak satu pun tim doctorSHARE pernah mendengar

nama Sugapa, Intan Jaya, Wandai, Gagemba, Ugimba, apalagi sampai menginjakkan kaki di daerah ini. Proses yang kami lalui tidaklah mudah. Semakin besar halangan yang harus kami hadapi, tentunya semakin besar pula perjuangan kami buat mewujudkannya. Melalui program ini, kami berhasil merangkul berbagai pihak mulai dari putra daerah, masyarakat lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, dan seterusnya. Yang kami coba lakukan adalah membuka mata hati dan mata kepala sekaligus melatih mata kaki untuk berjuang bersama melukiskan secercah harapan bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Kami sungguh berharap sinergi berbagai pihak ini benar-benar memberi kesempatan bagi masyarakat Papua untuk menikmati pelayanan medis yang selama ini mungkin belum pernah mereka rasakan seumur hidupnya – sebuah tindakan yang diistilahkan Marten sebagai “memanusiakan manusia.” Kesempatan blusukan di tengah-tengah masyarakat Moni adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada saya. Kemurnian

untuk hidup dengan, dari, dan bersama alam Papua yang indah memperlihatkan harmoni yang begitu esensial bagi kehidupan masyarakat Moni. Tapi.... Lepas dari kedamaian dan kekayaan alamnya yang sangat luar biasa, apakah masyarakat pegunungan Papua tidak berhak mencicipi kenikmatan yang sama dengan rakyat indonesia lainnya? Kepada siapa mereka menuntut layanan publik dasar yang seharusnya jadi hak?

Saya pun bertanya-tanya apakah para pembuat kebijakan, di mana pun mereka berada, mengetahui fakta tragis bahwa dalam 4 hari ada 1 anak yang meninggal hanya karena demam. Sang anak sama sekali tidak memiliki kesempatan minum obat penurun panas. Angka kematian ibu melahirkan pun tinggi karena tiadanya tenaga medis yang dapat membantu persalinan. Malang tak dapat ditolak jika perdarahan hebat terjadi. Saya tidak ingin mengacungkan telunjuk atau berteriak pada siapa pun. Dari lubuk hati terdalam, saya sungguh-sungguh ingin mengajak semua pihak untuk membuka mata, mendengarkan, menyuarakan dan menyingsingkan lengan baju untuk turun tangan. Kita perlu melangkah bersama memanusiakan masyarakat Papua yang selama ini terabaikan sebagai manusia. Bagaimana pun, mereka adalah bagian dari kita, bangsa Indonesia. ■

dr. Riny Sari Bachtiar, MARS adalahKoordinator Flying Doctors doctorSHARE

dokter terbang dokter terbang

Page 16: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

30 31

Empat pemuda kekar tergopoh menggotong seorang kakek. Bulir keringat membasahi tubuh mereka. Kakek yang

terlentang di atas tandu kusam itu hanya bisa meringis menahan rasa sakit. Mereka berjalan melewati jalan setapak yang curam di bawah sengat matahari. “Kami jalan kaki dari kampung sebelah sejak tadi pagi,” kata salah seorang pemuda.

Letak kampung si kakek terlihat dari bukit seberang. Beberapa sanak keluarga yang ikut menemani, hanya bisa menangis melihat kondisi kakeknya lumpuh tak berdaya. Kedua kakinya tampak kering kehilangan daging. Sang kakek idatang terlambat dari jadwal pelayanan kesehatan yang tengah berlangsung di Kampung Sabisa, Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Hari itu adalah hari tim Flying Doctors melayani pembedahan.

Distrik Wandai belum tersambung jaringan telepon seluler. Begitu pun jaringan listrik. Informasi pelayanan kesehatan hanya menyebar dari mulut ke mulut. Tak salah jika banyak warga datang terlambat, apalagi

kondisi jalan yang menghubungkan antar kampung masih berupa tanah setapak nan terjal.

Tim menyulap sebuah ruang gereja menjadi ruang bedah dan langsung mengecek kondisi si kakek. “Ia kena TBC dan menyebar ke tulang. Kita hanya bisa meredakan rasa sakitnya,” papar Koordinator Flying Doctors doctorSHARE, dr. Riny Sari Bachtiar, MARS.

Bagi warga Wandai, layanan kesehatan ini adalah sejarah pertama mereka dilayani dan dikunjungi oleh dokter. Selama ini, pengobatan warga hanya mengandalkan kemampuan seorang mantri lokal. Distrik Wandai setara kecamatan namun belum

memiliki puskesmas, obat-obatan dan petugas kesehatan. “Warga langsung merasakan manfaat tim,” kata Marten Tipagau, Ketua DPRD Intan Jaya yang menemani kunjungan tim Flying Doctors.

Hari pertama pelayanan, ruang gereja langsung penuh sesak oleh warga. Tim dokter dengan sigap memeriksa satu per satu warga Suku Moni. Ada yang mengeluh sakit pinggang, pilek, borok, sesak napas hingga benjolan sebesar buah melon. Dokter pun langsung mendata pasien yang mesti dioperasi. ISPA kerap dikeluhkan warga. Penyebabnya adalah asap kayu bakar yang terhirup karena letak dapur persis berada di ruang tengah honai.

Honai hanya memiliki satu ruang utama yang melingkar (Suku Dani) atau persegi empat (Suku Moni). Honai miskin sirkulasi udara yang bisa membuang asap kayu bakar sekaligus mengalirkan udara segar ke dalam ruangan. Warga juga banyak mengganti atap honai mereka – ilalang atau rumbia – dengan kain terpal sehingga asap mengepul dalam ruangan.

Flying Doctors menuntut dokter bekerja efisien mulai dari mendengar dan menilai keluhan pasien, mendirikan tenda hingga memaksimalkan meja untuk bedah. Bedah langsung ditangani dua dokter. Benjolan diangkat, dibersihkan dan dijahit. Proses ini jadi pelajaran berharga bagi mantri. Beberapa warga pun membantu tim menerjemahkan bahasa Moni.

Tak mudah mengunjungi Distrik Wandai yang berada di jantung pegunungan Papua. Satu-satunya akses transportasi hanyalah pesawat kecil jenis Pilatus Porter. Itu pun sangat bergantung keadaan cuaca, koordinasi komunikasi hingga kesiapan pilot. Penerbangan dari Bandara Douw Atuture, Nabire, menuju Wandai memakan waktu satu jam.

Wandai cukup beruntung telah memiliki akses landasan pesawat sekalipun belum beraspal dan belum dilengkapi sarana

yang layak dan aman. Pilot-pilot sudah terlatih dengan segala kondisi medan Papua. Dengan tenang mereka bisa menurunkan dan menaikkan pesawat dengan lembut.

Distrik Wandai terus membenahi kondisi perkampungannya. Selain bandara perintis, juga terdapat SMP dan SD dengan dua guru yang mengajar semua mata pelajaran. Warga juga telah memiliki radio transmitter dan sebuah mesin genset. Tanah subur membuat warga tak kesulitan menanam umbi-umbian, ketela, sayuran hingga berbagai tanaman kebun seperti pisang, jeruk, kopi dan coklat. Berbagai hasil panen kebun ini mereka konsumsi sendiri.

Mereka pun memelihara hewan ternak seperti babi dan ayam. Namun tak mudah menjangkau ladang. Warga banyak membuka lahan di lereng curam. Hasil panen diangkut dengan noken yang menggantung di kepala. “Tak ada pasar untuk menjual hasil kebun. Sistem tukar barang atau barter masih jadi praktik keseharian warga,” kata Yeskiel, Kepala Distrik Wandai.

Alam Wandai memang berkah. Di atas gunung sekalipun, sebuah mata air asin telah memberi kehidupan. Warga mengolah air asin ini menjadi garam dapur. Sebuah kolam berukuran 5x2 meter menampung aliran mata air ini. Warga menyebutnya dengan Moe Kumu. Tak jauh dari kolam, berdiri sebuah dapur umum yang biasa digunakan untuk memasak garam ini.

Tujuh hari bersama para dokter, warga Wandai merayakan kebersamaan dengan ritual bakar batu. Mereka membawa babi dan berbagai hasil kebun. Tradisi ini diramaikan anak-anak hingga orang tua yang riang bahu membahu menyiapkan segala kebutuhan upacara. Warga pun bersukacita melahap daging babi segar dan sayuran yang matang. ■

Ahmad Yunus Awaludin adalah relawanmedia doctorSHARE

Petualangan Dokter Terbang di WandaiOleh: Ahmad Yunus Awaludin

dokter terbang dokter terbang

Page 17: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

32 33

Kematian pasti meninggalkan kesedihan bagi tiap orang yang ditinggalkan. Seperih apapun ditinggal orang tersayang

(orang tua, adik, kakak, kekasih), tak dapat membuat mereka kembali. Doa dan harapan didaraskan bukan untuk menghidupkan kembali orang yang telah meninggal namun sebagai upaya memohon keselamatan, keikhlasan, dan kedamaian – terutama bagi yang masih hidup dan menerima rasa pahit.

Suku Moni di Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, Papua memiliki tradisi yang unik untuk meluapkan rasa kecewa atas kehilangan anggota keluarga yang meninggal dunia. Tradisi tersebut biasa disebut Hane Zambaya atau potong jari. “Tujuannya untuk membuat arwah tetap tinggal di honai (rumah adat masyarakat Papua) sampai luka jari tersebut sembuh,” ungkap Derek (30) seorang warga Distrik Wandai.

Hane Zambaya dilakukan seorang diri. Orang yang ditinggal keluarganya karena meninggal dunia akan langsung memotong jarinya setelah pemakaman selesai. Hane Zambaya berlaku bagi semua jari kecuali ibu jari. Biasanya mereka memotong dua ruas jari.

Prosesi pemotongan jari dilakukan menggunakan parang, kampak atau benda tajam lainnya, beralaskan batu atau kayu. Tradisi ini bukan saja dilakukan Suku Moni akan tetapi Suku Dani di Papua. Masyarakat pegunungan tengah Papua biasa melakukan hal ini sejak lama. “Orang yang memotong jari akan menangis tersedu-sedu saat pemotongan berlangsung,” jelas Kepala Distrik Wandai, Lukas Zagani.

Setelah jari terputus, biasanya masyarakat akan melakukan pengobatan secara tradisional. Obat yang dianggap manjur adalah daun ogaogah, dagohoga dan bogeogah. “Setiap tiga hari mereka harus mengganti daun. Luka akan kering di hari kesembilan,” ujar Derek.

Secara medis tentu saja ini adalah kebiasaan yang terbilang ekstrem. Unik memang, hanya saja berakibat pada pengurangan daya cengkram yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. “Jika jari-jari dipotong tentu saja akan mengurangi fungsi tangan,” papar dr. Rizky Amaliah, Sp.B, relawan medis doctorSHARE.

Jari adalah anggota tubuh yang sangat penting. Dalam kasus yang mengharuskan amputasi tangan atau jari, pihak medis berulang kali mencari cara agar kelak tidak mempersulit pasien menjalani kehidupan pasca operasi. “Sejauh ini belum ada jari atau tangan palsu (robotik) yang dapat mendekati fungsi sebenarnya,” ujar dokter berdarah Sunda tersebut.

Selain Hane Zambaya, masyarakat pegunungan tengah Papua miliki kebiasaan lain. Kebiasaan ini adalah menyayat anggota tubuh; kening, tangan, paha, dan lainnya. Mereka meyakini darah kotor dalam tubuh harus dikeluarkan saat mengidap penyakit.

Petrus (43 tahun), seorang warga Distrik Wandai, menyayat pelipisnya karena sakit kepala. Bekas luka nampak di sudut pelipis kiri dan kanan. Jika sakit kepala lagi-lagi menyergap, sayatan akan kembali dilakukan di tempat yang sama. “Sakit kepala langsung hilang,” jelas Petrus mantap. Sayatan juga berlaku bagi penyakit lain seperti pilek, sakit mata, tumor (bengkak), hingga dipatuk ular. Bahkan anak yang menangis terus menerus pun akan disayat karena warga memandangnya sebagai penyakit yang perlu diobati.

Junaedi, S.Kep, relawan medis doctorSHARE, menjelaskan bahwa sayatan adalah upaya memunculkan peradangan. Peradangan atau inflamasi merupakan cara tubuh menyembuhkan diri. Saat penyayatan dilakukan, tubuh pun mengalami peradangan ulang terus menerus. “Logisnya, rasa sakit kepala hilang dan diganti oleh rasa sakit akibat sayatan yang mungkin sudah familiar rasanya bagi mereka,” imbuh perawat bedah senior tersebut.

Menurut Lukas Zagani, ritual Hane Zambaya sudah tidak boleh dilakukan lagi sejak tahun 2000. Pemerintah Daerah melarangnya. Masuknya agama menjadi faktor yang memperkuat larangan tersebut. Namun, metode penyembuhan lewat sayatan masih berlangsung hingga kini. Masyarakat pegunungan Papua mampu bertahan melawan penyakit dengan caranya sendiri. Hane Zambaya adalah pengalihan rasa sakit khas Papua yang mungkin saja tidak akan dilakukan seandainya ada layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. ■

Devrila Muhamad Indra adalah relawanmedia doctorSHARE

Tradisi Hane Zambaya dan Pengalihan Rasa Sakit Oleh: Devrila Muhamad Indra

dokter terbang dokter terbang

Page 18: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

34 35

Sepanjang 2016, doctorSHARE yang diwakili dr. Nidia Limarga secara rutin melangsungkan pelayanan medis “jemput bola” bagi warga Kei Besar, Maluku Tenggara. Menyambangi ohoi (kampung) satu ke ohoi lain, dr. Nidia berjuang melalui aneka medan menantang demi mengobati pasien. Hingga semester pertama 2016, dr. Nidia menangani 638 kasus penyakit.

Mobile Clinic doctorSHARE KEI BESAR, MALUKU TENGGARASemester Pertama 2016

10/01/2016 • 212 KasusTim melangsungkan mobile clinic di tiga ohoi di Kei Besar. Pengobatan pertama berlangsung hari Minggu, 10 Januari 2016 di Ohoi Mun Ngurdituwair yang diikuti 24 pasien. Pada hari yang sama, berlangsung pengobatan kedua di Ohoi Mun Ka Har (27 pasien, 42 kasus). Pengobatan ketiga berlangsung di Mun Ohoi Ir (97 pasien, 137 kasus).

L24pasien dr. Nidia Limarga

L27pasien dr. Nidia Limarga

L97pasien dr. Nidia Limarga

16/01/2016 • 118 kasusdoctorSHARE melakukan mobile clinic di Ohoi Bombay, Kei Besar. Jumlah pasien mencapai 76 orang (118 kasus) dengan jenis penyakit terbanyak meliputi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), darah tinggi, nyeri sendi, kadar asam urat yang tinggi, dan diare.

L76pasien dr. Nidia Limarga

12/03/2016 • 85 kasusdoctorSHARE selenggarakan mobile clinic di Uwat Besar, Kei Besar. Pasien yang ditangani mencapai 37 orang dengan 85 kasus. Jenis kasus terbanyak adalah ISPA, nyeri sendiri, darah tinggi, anemia.

L37pasien dr. Nidia Limarga

13/05/2016 • 106 kasusdoctorSHARE langsungkan mobile clinic di Ohoi Waur, Kei Besar. Berbeda dengan sebelumnya, mobile clinic kali ini melibatkan seorang relawan dokter gigi PTT yang bersedia bergabung melayani medis. 47 pasien berobat umum dan 4 pasien mendapat penanganan dari penyakit gigi dan mulut yang diderita. Total kasus mencapai 106 (termasuk kasus gigi dan mulut).

L47pasien dan4pasiengigi dr. Nidia Limarga drg. Novia Intan Permani

14/05/2016 • 117 kasusSeperti sehari sebelumnya, doctorSHARE melayani pengobatan umum serta pengobatan gigi dan mulut di Ohoi Uwat Besar. Masyarakat sangat antusias dengan kedatangan dokter gigi. Menurut pengakuan masyarakat, selama ini mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan kesehatan gigi. Pada pelayanan ini, 53 pasien berobat umum dab 5 pasien ditangani penyakit gigi mulutnya. Total kasus sebanyak 117 (sudah termasuk kasus gigi dan mulut).

L53pasien5pasiengigi dr. Nidia Limarga drg. Novia Intan Permani

124

43 2

ISPA

Furunkel

Artralgia

CephalgiaHipertensi

ISPA

ISPA

Cephalgia

Artralgia

Artralgia

Hipertensi

Asma Bronkial

GE

Myalgia

Hiperuricemia

ISPA

Hipertensi

Artralgia

Cephalgia

178

6 3

4832

9 8 7

4826

1312 4

3023

7 5

ISPA

Artralgia

Hipertensi

Hiperuricemia

Artralgia

ISPA

Anemia

Hipertensi

22

1817

12

Artralgia

Hipertensi Dyspepsia

Hiperuricemia

ISPA

28

251611 9

Falbehe: Kabar dari Kei Besar Falbehe: Kabar dari Kei Besar

10/012016

Mun Ngurdituwair,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

10/012016

Mun KA HAR,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

10/012016

Mun Ohoi Ir,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

16/012016

Bombai,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

12/032 0 1 6

Uwat Besar,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

13/052 0 1 6

Ohoi Waur,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

14/052 0 1 6

Ohoi Waur,KEI BESAR, MALUKU TENGGARA

Page 19: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

36 37

Falbehe: Kabar dari Kei Besar Falbehe: Kabar dari Kei Besar

Eltina Yokohael, gadis 25 tahun asal Desa Ohoinangan kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara, Maluku, memiliki

penyakit kista (tumor) pada bagian dalam perutnya. Penyakit ini sudah diketahui sejak Eltina berumur 14 tahun. Namun, kendala ekonomi dan fasilitas kesehatan membuatnya harus menahan sakit selama bertahun-tahun. Keluarga Eltina bukanlah keluarga berkecukupan. Ibunya berdagang sayur-mayur semenjak sang ayah mengalami kebutaan, jauh sebelum Eltina divonis penyakit kista.

Pada mulanya, Eltina hanya merasakan sakit di bagian perutnya. Perlahan, perutnya membesar dari hari ke hari. Eltina tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Rasa sakit yang diderita membuatnya harus berhenti sekolah dan berbaring setiap hari. Sejak itu, Eltina tidak pernah meninggalkan rumahnya. Ia bahkan sering merasa kesakitan hingga harus berteriak.

“Saat perutnya membesar, Eltina hanya bisa berbaring di rumah selama sebelas tahun. Ia tidak dapat mengerjakan apa pun.

Dia ‘hamil’ sebelas tahun,” papar Susanna, saudara sepupu Eltina, sambil tersenyum mengenangnya.

Keluarga bukannya tidak berusaha untuk mengobati penyakit Eltina. Beberapa kali Eltina diperiksa dan dinyatakan harus dioperasi. Rumah Sakit Tual di Kei Besar merujuknya ke rumah sakit yang mumpuni untuk melakukan operasi kista dalam perut. Eltina harus dirujuk ke Ambon. Masalah ekonomi lagi-lagi membenturnya. Harapan sembuh harus diurungkan. Sel tumor pun masih bersarang dalam perutnya.

Ibu Eltina berkebun dan menjual sayuran. Tentu pemasukannya hanya mampu menyokong hidup keluarga untuk kebutuhan sehari-hari. Dibalik rentetan bilik kayu tersebut ada dua orang yang membutuhkan perawatan: Eltina dan ayahnya yang buta. Ibunda Eltina berupaya keras memberikan perawatan yang layak bagi kedua orang yang ia kasihi tersebut.

Menurut Susanna, Eltina adalah anak kesembilan dari Sembilan bersaudara,

Susanna yang memiliki empat anak, salah satunya tewas dalam konflik Maluku tahun 1995.

Operasi Eltina di RS Husada yang dilakukan langsung oleh pendiri doctorSHARE, dr. Lie Dharmawan, berlangsung lancer selama kurang lebih dua jam. Selaku operator, dr. Lie mengatakan bahwa kista yang diderita Eltina cukup berbahaya. Atas ijin keluarga, tim juga mengoperasi usus buntu Eltina. “Diagnosanya adalah kista ovarii kanan. Kista ini menjadi ekstrem karena keterbatasan fasilitas kesehatan dan ekonomi di daerah terpencil,” tutur dr. Lie. ■

Devrila Muhamad Indra adalah relawanmedia doctorSHARE

Derita Eltina “Hamil” Sebelas TahunOleh: Devrila Muhammad Indra

Namun tiga saudaranya sudah meninggal dunia. Kelima kakak Eltina tidak tinggal di Maluku. Mereka tinggal di Papua untuk bekerja ataupun sudah hijrah bersama pasangannya masing-masing. Kelima kakaknya jarang pulang ke Desa Ohoinangan lagi.

Segurat asa muncul ketika Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan berlabuh di Pelabuhan Elat, Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara pada Agustus 2015 untuk melakukan pelayanan medis.

“Saya mendaftarkan Eltina ke RSA karena Ibu Eltina sudah tua dan tidak begitu mengerti cara mendaftarnya. Saat diberitahu Eltina harus dibawa ke Jakarta, saya sedikit khawatir dengan biayanya. Tapi ternyata dokter-dokter meyakinkan bahwa semuanya gratis,” ungkap Susanna.

Susanna dan Eltina akhirnya menuju Ibukota setelah berpamitan dengan warga Desa Ohoinangan. Eltina kemudian dioperasi pada 3 Maret 2016.

“Saya sangat bersyukur Eltina akhirnya dioperasi. Jika tidak ada doctorSHARE di Maluku saat itu, mungkin Eltina tidak akan sembuh. Kami tidak tahu lagi harus kemana dan bagaimana mengobatinya,” ujar

Page 20: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

38 39

ini sangat sederhana. Tempat tidur hanya berupa bambu tanpa alas, apalagi kasur. Tak nampak kamar mandi karena biasanya mereka mandi di laut. Dalam kesederhanaan inilah Elisabeth dan keluarganya hidup, jenis kehidupan yang juga dijalani ratusan kepala keluarga lainnya di Pulau Kei.

Di balik kekecewaannya, Elisabeth sungguh ingin melanjutkan sekolah. Paham betul kerinduan ini, orang tuanya pun mencari cara mengobati Elisabeth, termasuk membawanya ke dokter di Tual. Apa daya, dokter Tual pasrah karena ketiadaan peralatan yang memadai untuk mendiagnosa penyakit. Sang dokter hanya merujuknya ke Makassar, suatu hal yang jelas mustahil terwujud karena masalah biaya.

Angin segar berembus ketika suatu hari tim doctorSHARE melangsungkan pelayanan medis di Pulau Kei pada Agustus 2015.

Falbehe: Kabar dari Kei Besar Falbehe: Kabar dari Kei Besar

“Mereka Bilang Perut Saya Besar”Oleh: Sylvie Tanaga

Elisabeth Resbal (13 tahun) menjawab lirih ketika mengungkap alasannya berhenti sekolah. “Saat main, mereka bilang saya

berperut besar. Saya malu karena mereka bilang perut saya besar.” Menghadapi pergunjingan tiada henti dari teman-teman sekolahnya, Elisabeth menyerah. Ia pun enggan melanjutkan sekolah dan memilih tinggal di rumah bersama ibu dan adik-adiknya.

Seperti halnya Eltina, Elisabeth juga berasal dari Pulau Kei, Kabupaten Maluku Tenggara. Perut Elisabeth sudah terlihat besar sejak usianya 13 tahun, berawal dari gejala demam. Yang mengherankan, perut Elisabeth terus membesar. Ibunda Elisabeth mengiranya putrinya cacingan. Obat cacing pun jadi langganan. Nihil. Sejak itulah Elisabeth menelan ejekan yang membulatkan tekadnya berhenti sekolah.

Selanjutnya, Elisabeth mengaku hanya main-main saja di rumah sambil menjaga adik-adiknya. “Main masak-masak, main lompat-lompat….,” ujarnya dengan suara sangat pelan. Ia menggeleng seraya

tersenyum kecil ketika ditanya apakah kini sudah benar-benar bisa memasak.

Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Elisabeth harus mengurus tiga adiknya yang masih kecil. Seorang di antaranya bahkan masih belajar berjalan dan sama sekali tidak mau lepas dari gendongan Elisabeth. Ayah dan ibunya tak sepanjang hari di rumah demi bertani di gunung. Dalam usia belia, Elisabeth pun memikul tanggung jawab atas seluruh kehidupan adik-adiknya.

“Sehari-hari bapaknya pergi berkebun. Saya pagi pergi bersihkan kebun, kasih makan anak-anak. Lalu cari kayu bakar. Jadi pagi ke kebun, pulang bawa kayu bakar. Sorenya timba air buat mandi anak-anak, masak, dan cuci,” jelas Ibunda Elisabeth. Menurutnya, hasil kebun hanya cukup untuk makan sehari-hari, nyaris tidak ada sisa yang dapat dijual.

Ketika tim doctorSHARE menyambangi kediaman Elisabeth, nyata bahwa keluarga

Usai ibadah Minggu, orang tua Elisabeth mendengar informasi mengenai pelayanan medis tim dari seorang pastor. Esok harinya, mereka pun bergegas membawa Elisabeth dengan ojek ke Pelabuhan Elat yang menjadi lokasi sandar RSA dr. Lie Dharmawan.

“Hari itu, bapaknya yang antar Elisabeth masuk ke dalam kapal untuk diperiksa dokter. Saya tidak ikut karena sedang ombak. Saya hanya lihat dari pelabuhan sambil gendong adiknya Elisabeth yang masih kecil,” kenang ibunda Elisabeth.

Dokter obgyn menduga bahwa ada tumor di dalam perut Elisabeth. Di atas kertas, memang tidak ada cara untuk menangani kasus semacam ini selain merujuknya ke Makassar. Masalahnya, operasi mesti segera dilaksanakan, apalagi Elisabeth masih mampu berjalan. Jika perut terus membesar, dikhawatirkan akan menekan paru-parunya lebih lagi.

Sadar kebutuhan mendesak ini, tim doctorSHARE bergerak mencari donatur yang bersedia membiayai operasi Elisabeth di Jakarta. Maret 2016, Elisabeth dan ibunya pun menempuh perjalanan selama lima hari dari Tual, Maluku Tenggara menuju Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Elisabeth seharusnya datang bersama Eltina, namun sang nenek tiba-tiba meninggal dunia. Elisabeth harus menunda keberangkatannya. Meski demikian, semangat untuk sembuh mengalahkan rasa letih yang tersisa usai perjalaan panjang. Setibanya di Jakarta, Elisabeth pun segera menjalani screening pre-operasi seperti CT Scan, pemeriksaan laboratorium, dan seterusnya.

Operasi Elisabeth berlangsung lancar dengan operator dr. Lie Dharmawan yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam. “Diagnosanya adalah lymph-hemangioma, yang terletak di rongga intra-retro peritoneal,” jelas dr. Lie. Masa depan Elisabeth kini terbentang lebar. Ia bisa kembali tersenyum dan melanjutkan pendidikannya tanpa rasa cemas. ■

Sylvie Tanaga adalah Koordinator MediadoctorSHARE

Page 21: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

40 41

gaya hidup gaya hidup

Gula adalah salah satu bahan makanan yang telah digunakan secara luas, juga berlebihan dalam berbagai

bentuk makanan. Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran berkembang. Gula disebut sebagai penyebab kanker bahkan menyebabkan kanker berkembang lebih cepat. Benarkah demikian?

Kekhawatiran tersebut bukannya tak dasar. Salah satu metode pendeteksi kanker, PET (Positron Emission Tomography) Scan, menggunakan penanda radioaktif — biasanya dalam bentuk gula (18F-fluorodeoxyglucose). Sel yang menggunakan banyak energi, terutama sel kanker, menyerap penanda ini dalam jumlah besar. Sel kanker menyerap gula 18-19 kali lebih banyak dari sel-sel tubuh lain yang sehat.

ApaituGula?Setiap sel tubuh kita perlu gula (glukosa) sebagai sumber energi. Tubuh kita pun dapat menyimpan kelebihan gula sebagai cadangan energi yang dapat digunakan bila diperlukan. Intinya, tubuh memang perlu gula agar dapat berfungsi normal. Berbagai jenis makanan seperti buah, susu, madu, dan sayuran mengandung gula alamiah. Selain itu, adapula gula yang ditambahkan pada makanan seperti dalam minuman kaleng, jus, sari buah, permen, saus pasta dan masih banyak lagi.

Gula (karbohidrat) dapat dijumpai dalam bentuk sederhana atau kompleks. Bedanya, “simple sugar” merupakan energi siap pakai bagi tubuh tanpa perlu banyak diproses dulu. Gula tipe ini menyebabkan lonjakan kadar gula darah dan insulin dalam tubuh secara cepat setelah kita mengkonsumsinya. Gula pasir, sirup gula atau yoghurt merupakan contoh makanan mengandung ‘simple sugar’.

Gula kompleks membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna sehingga tidak menyebabkan lonjakan gula darah dan insulin, biasanya juga banyak mengandung serat, vitamin dan mineral. Gula kompleks dapat ditemukan pada jenis makanan seperti sayuran, beras merah, roti gandum atau pasta gandum.

GuladanKankerPenelitian melihat hubungan antara tingginya kadar gula, tingginya kadar insulin dan pertumbuhan sel-sel kanker. Hormon insulin dan IGF (insulin-like growth factor) merupakan salah satu hormon yang sangat berpotensi memicu pertumbuhan sel. Tubuh akan mencerna semua makanan berkarbohidrat menjadi gula (glucose) yang kemudian diserap usus masuk ke dalam peredaran darah.

Seiring meningkatnya kadar gula darah, organ pankreas bereaksi dengan mengeluarkan hormon insulin. Jika kadar gula dalam tubuh selalu tinggi, pankreas pun terus memproduksi insulin dalam jumlah tinggi. Sel-sel kanker memiliki banyak reseptor insulin yang membuat mereka lebih sensitif dengan kadar insulin dalam tubuh, lebih dari sel-sel normal lainnya. Respon sel-sel kanker terhadap tingginya kadar insulin dan IGF berupa pertumbuhan yang lebih cepat.

Otto Heinrich Warburg, PhD, pemenang Nobel bidang medis tahun 1931 menyatakan

bahwa sel kanker memiliki metabolisme yang berbeda secara fundamental dari sel normal. Warburg menunjukkan bahwa sel kanker menggunakan proses glycolysis, suatu proses dimana proses pembentukan energi sangat bergantung pada gula dalam jumlah besar.

Dibanding sel normal, sel kanker menggunakan gula 18-19 kali lebih banyak. Atas dasar penelitian inilah teknologi PET (Positron Emission Tomography) Scan berkembang. Fenomena yang diteliti Warburg ini disebut sebagai “aerobic glycolysis” atau “Warburg effect”. Konsumsi gula berlebih pun berakibat obesitas yang merupakan faktor risiko timbulnya kanker. Obesitas juga bertanggung jawab memicu penyakit yang meningkatkan angka kematian. KonsumsiGulayangAmanBrian D. Lawenda, M.D, seorang ahli kanker dari Massachusetts General Hospital (Harvard Medical School), mengatakan walau tubuh perlu gula sebagai sumber energi, hindari konsumsi terlalu banyak makanan yang mengandung “simple sugar” seperti gula pasir atau sirup gula. Berapa jumlah gula yang aman untuk dikonsumsi?

AHA (American Heart Association) menyebut jumlah maksimum gula tambahan yang

aman untuk kita konsumsi per hari adalah 9 sendoktehuntukpria,6sendoktehuntukwanitadan3sendoktehuntukanak-anak.Satu sendok teh kurang lebih setara dengan 1 gram gula. Cara termudah adalah beralih ke makanan alami dan menghindari makanan yang diproses seperti kue, permen, roti atau es krim.

Kurangi penambahan gula pada kopi, teh atau masakan. Gunakan pemanis alamiah seperti stevia, luo han atau palm sugar (gula semut, gula aren). Pemanis buatan bukan solusi yang tepat. Penelitian Purdue University menunjukkan pemanis buatan berkaitan dengan diabetes tipe 2, obesitas, sindrom metabolik dan penyakit jantung.

Minumlah air dalam jumlah yang cukup. Hindari soda, minuman manis dan minuman beralkohol. Ganti snack manis atau permen dengan buah-buahan, baik dalam bentuk segar ataupun kering tanpa gula. ■

dr.EmilioPandikaadalahseorang internistlulusan Interfaith Medical Center/ SunnyDownstate New York, serta founder danpenulistetapmediamedis.com

Gula Penyebab Kanker?Oleh: dr. Emilio Pandika

ww

w.a

ttn.

com

grea

tist.c

om

Page 22: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

42 43

goresan relawan goresan relawan

Dalam hidup, saya banyak dapat kesempatan bermimpi. Kebanyakan adalah mimpi yang amat “tinggi” untuk

dicapai. Saya pun terbiasa rela menghadapi kenyataan bahwa tak semua mimpi dapat terwujud. Salah satunya adalah mimpi bergabung dalam pelayanan medis doctorSHARE.

Saya mengenal rekan-rekan doctorSHARE ketika mereka mengadakan pelayanan medis di Sumba Barat Daya pada Maret 2016 silam. Seorang konsulen ketika saya dulu bekerja di Surabaya kebetulan ikut bersama rombongan doctorSHARE. Saya sendiri sudah berada di Sumba Barat Daya sekitar empat bulan dalam rangka menjalankan profesi sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap).

Atas saran beliau, saya menjumpai mereka ketika sedang persiapan di lapangan.

Saya berjumpa koordinator lapangannya yaitu dr. Christ Hally. Saya diterima dengan sangat ramah bukan saja oleh dr. Christ tapi juga oleh seluruh tim. Sepulang dari Sumba, saya diajak koordinator lapangan berikutnya yaitu dr. Vanessa untuk ikut bergabung dalam pelayanan selanjutnya di Kabupaten Belu, Atambua. Eh, serius nih? Betapa tidak, sebelumnya hanya berangan-angan lalu tahu-tahu diajak bergabung. Lebih dari itu, saya langsung ditawarkan menjadi asisten dr. Lie Dharmawan. Toilet seketika menjadi kawan akrab saking groginya. Hari kedua dimana operasi mayor akan dilaksanakan, sepagian saya cemas menunggu kedatangan dr. Lie dari bandara. Cemas ini bukan karena saya takut beliau. Saya khawatir performa saya sebagai asisten mengecewakan sehingga menghambat jalannya kegiatan pelayanan medis. Di samping itu, bertemu inspirator yang sebelumnya hanya bisa ditatap lewat layar kaca tentu menimbulkan sensasi tak menentu, seperti menembak kecengan sejak SD hingga 15 tahun setelahnya. Diterima serasa mimpi, ditolak nangis berdiri. Tapi semua ketakutan itu tidak terbukti. Beliau sosok yang sangat ramah dan mengayomi. Penuh canda, namun sangat tegas ketika operasi. dr. Lie membimbing saya dengan sabar. Banyak ilmu yang beliau bagikan terkait ilmu bedah. Beberapa kali saya pun sempat ditegur.

Dari luar, saya mungkin terlihat seperti peyoga profesional saking tenangnya menghadapi teguran itu. Tapi dalam hati, ingin segera nyungsep di dalam lemari penyimpanan kain linen. “Ah, gue nggak bakal diajak lagi nih. Mimpi gue harus dikubur dalam-dalam nih. Apa gue harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?” Stress rasanya. Namun beliau memandang saya dengan positif dan memberi masukan yang positif

Jangan pernah remehkan sebuah mimpi, apalagi bila disertai harapan dan niatan tulus…

pula. Saya sampai merasa perlu bertanya ulang kepada dr. Vanessa, ”loe yakin cuma itu aja kata dr. Lie tentang gue? Yang negatif-negatifnya apaan dong?” Sampai di sini, semuanya masih terasa seperti mimpi. Malam usai seharian operasi, saya mendengar kesaksian dr. Lie mengenai hidup dan penggilan pelayanannya. Duduk di kursi dengan santai, tanpa jarak dan kekakuan, saya mendengar banyak cerita inspiratif yang membuat saya makin banyak belajar tentang panggilan kemanusiaan, terutama kehormatan bekerja sebagai dokter. Belum pernah emosi saya diaduk-aduk seperti itu. Sehebat-hebatnya barisan para mantan mengocok emosi saya, malaikat juga tahu dr. Lie juaranya.

Wujud Nyata Mimpi TinggiOleh: dr. Ivan Reynaldo Lubis

Pelayanan medis bersama doctorSHARE ini menjadi salah satu pengalaman luar biasa selama menjadi dokter. Betapa tidak, saya menemukan tim yang sangat solid, bekerja dengan hati, tidak hitung-hitungan, tidak saling menuding, dan bekerja dengan antusiasme yang tinggi. Saya tidak merasa seperti anak baru. Penerimaan hangat adalah penyebabnya. Bila ditanya apakah saya bersedia bila diajak kembali, tidak butuh waktu lama untuk memberi jawaban. Ikut pelayanan semacam ini seperti mengisi kembali semangat dan antusiasme sebagai dokter, terutama bagi saya yang bekerja di daerah periferi. Ada hal menarik dalam perjalanan pulang dari Atambua menuju Kupang melewati jalan darat (selanjutnya saya terbang dari Kupang menuju Sumba). Malam itu, dalam perhentian bis di rest area, saya disapa seorang ibu bersama anaknya karena saya mengenakan baju doctorSHARE. Ia mengungkapkan terima kasih karena suaminya telah ditolong dalam operasi sehari sebelumnya. Sejujurnya saya tidak ingat yang mana suaminya, tetapi kenyataan bahwa doctorSHARE telah menolong suaminya membuat saya merasa bahwa pelayanan kami telah banyak membantu banyak orang. Menjadi bagian dalam misi tersebut membuat saya merasa bangga dan bersyukur. Tuhan memang sangat baik. Dia tahu bahwa saya perlu mendapat banyak pengalaman dan pembelajaran untuk menjadi dokter yang bekerja dengan hati dan melayani dengan tulus. Melalui doctorSHARE, saya diingatkan bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk direngkuh. Apalagi bila mimpi itu demi kebaikan. ■

dr. Ivan Reynaldo Lubis adalah relawanmedis doctorSHARE dan dokter PTT diSumbaBaratDaya,NusaTenggaraTimur

Page 23: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

44 45

goresan relawan goresan relawan

Nama saya Agnes Nidia Limarga. Saya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara tahun 2006. Sebelum

memutuskan menjalani kuliah kedokteran, banyak sekali pergumulan dalam hati saya. Tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk menjadi seorang dokter. Cita-cita dari kecil ingin menjadi seorang arsitek. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, saya jadi dokter. Selama ini, saya merasa Tuhan selalu bekerja dalam diri saya dan selalu membentuk saya sesuai kehendak dan rancanganNya.

Selama co-ass sampai selesai masa pendidikan, terlintas dalam hati untuk bisa menjadi pribadi yang berguna dan bisa membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Keinginan itu saya wujudkan dengan mengikuti berbagai kegiatan pengobatan umum yang diselenggarakan berbagai pihak.

Pertengahan 2014, saya mulai mengenal doctorSHARE dari tayangan Kick Andy yang menampilkan sosok dr. Lie Dharmawan yang sangat tulus membantu masyarakat periferi. Sejak itu, saya mencari informasi untuk bergabung dengan organisasi mulia ini. Semua sudah kehendak Tuhan. Akhirnya saya bergabung bersama doctorSHARE, jadi relawan dan mendapat begitu banyak pelajaran medis non medis. Teman-teman doctorSHARE sangat welcome, menerima dan sabar mengajari saya berbagai hal.

Pertengahan 2015 saya mendapat tawaran dari dr. Angelina Vanessa untuk ikut membantu program doctorSHARE di Kei Besar, Maluku Tengggara yaitu program Panti Rawat Gizi yang sudah berjalan sejak 2009. Saat itu, pergumulan kembali terjadi dalam hidup saya. Tuhan selalu bekerja dalam diri saya dan membentuk saya menurut kehendak dan rancanganNya. Maka terjadilah padaku menurut kehendakMu.

Atas dukungan dan semangat yang diberikan orang tua, Juni 2015 saya sudah menginjakan kaki di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Juli 2015, saya bekerja sebagai dokter PTT daerah yang bertugas di Puskesmas Elat, Kei Besar, Maluku Tenggara hingga Juni 2016. Puskesmas Elat merupakan puskesmas gugus, pusat rujukan dari seluruh wilayah Kei Besar.

Wilayah kerja utama Puskesmas Elat sendiri terdiri dari 25 desa. Puskesmas Elat memiliki rawat jalan dan rawat inap. Rawat jalan mulai aktif jam 9 pagi sampai 12 siang. Sisa waktu, saya bertugas stand by rawat inap. Kedatangan pasien tak dapat diduga. Sejak bekerja di Puskesmas Elat, betul-betul saya mendapat banyak sekali pelajaran hidup yang mungkin tidak akan pernah saya dapat bila hanya bertugas di klinik atau Rumah Sakit kota besar.

Puskesmas terbesar di Kei Besar yang menjadi satu-satunya pusat rujukan di Kei Besar ini tidak didukung sarana prasarana. Betul-betul tidak layak menjadi sebuah layanan kesehatan masyarakat. Selama bertugas di puskesmas, jujur saja saya sempat beberapa

kali menyerah dengan keadaan. Tapi Tuhan dan orang tua selalu menguatkan saya.

Banyak sekali kasus dan kejadian selama di Kei Besar yang memberikan pelajaran dan pengalaman dalam hidup saya. Dalam menghadapi pasien, saya kerap harus berkejaran dan bermain dengan nyawa mereka karena alat, perlengkapan, sarana dan prasarana sama sekali tak layak sementara masyarakat Kei Besar, khususnya pihak keluarga pasien, menganggap dokter bisa segalanya dan mampu menghadirkan mukjizat. Di situlah saya pasrah pada Tuhan. Jelas harus diakui bahwa tabib dari semua tabib memang hanya Allah Bapa dan saya hanyalah alat yang Dia pakai.

Saya melihat masyarakat Kei Besar sangat tertinggal dalam menyadari pentingnya

kesehatan dan pendidikan. Bagi mereka, hidup ini sudah cukup bila mampu bertahan dengan makan minum sehari-hari. Di luar itu, mereka tidak ambil pusing sama sekali. Hidup di Kei Besar seperti hidup dalam zona nyaman. Pulau yang kaya hasil alam. Ikan dan hasil cocok tanam sungguh berlimpah.

Menurut saya, mereka terbiasa hidup santai minim perjuangan. Ada uang sedikit dipakai beli sopi (minuman beralkohol khas Kei). Kebiasaan ini pula yang mempengaruhi kesehatan. Tingginya gastritis, kasus kekerasan (luka robek, luka tumpul) banyak disebabkan tawuran mabuk sopi. Membuka pikiran masyarakat untuk menjunjung tinggi kesehatan dan pendidikan sungguh perjuangan yang sangat sulit.

Dengan berdirinya klinik tetap doctorSHARE di Kei Besar, saya harap mayarakat tertolong, setidaknya dalam hal kesehatan. Bila jiwa raga sehat maka semua pekerjaan dan kehidupan diharapkan dapat berjalan lancar serta mampu menjadikan Kei Besar sebagai kepulauan yang maju dan tidak tertinggal lagi. ■

dr. Nidia Limarga adalah relawandoctorSHARE dan dokter PTT di Elat, KeiBesar,MalukuTenggara(2015–2016)

Saya Hanyalah AlatNyaOleh: dr. Agnes Nidia Limarga

Page 24: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

46 47

goresan relawan goresan relawan

Kata volunteer yang juga berarti sukarelawan sudah berulang kali saya dengar semenjak duduk di bangku SD.

Namun kala itu saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang relawan.

Yang saya tahu dari sekolah dan media, ber-volunteer adalah kegiatan dimana seseorang menjadi sukarelawan untuk menolong sesamanya ketika bencana terjadi. Bukannya tidak mau menolong, tapi saya pikir saya terlalu lemah untuk melakukan hal tersebut. Yang ada mungkin saya yang justru harus ditolong orang jika benar-benar terjun ke lapangan, hehehehehe…..

Pengalaman pertama saya menjadi seorang volunteer adalah ketika SMA di Malaysia. Hal tersebut saya lakukan karena salah satu syarat kelulusan adalah dengan menjadi seorang volunteer selama 20 jam selama saya berada di sekolah tersebut. Di sanalah saya baru tahu bahwa menjadi seorang volunteer berarti menjalankan kegiatan sukarela apa saja yang dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Kegiatan yang saya lakukan antara lain adalah menanam pohon saat Earth Day, volunteer di salah satu International Hockey Event, menjadi seorang guru di sebuah panti asuhan, dan lain-lain. Kebiasaan volunteer seakan terbawa hingga tamat SMA. Sampai kuliah pun saya masih menjadi volunteer di mana-mana karena menurut saya, volunteer bermanfaat bagi lingkungan sekitar maupun bagi diri sendiri.

Hingga akhirnya… saya berpikir bahwa selama ini sudah volunteer di banyak tempat, tetapi tidak pernah volunteer untuk negara sendiri, negaraku tercinta Indonesia.

Waktu itu saya sedang kuliah di luar negeri. Saya mulai berselancar di internet untuk mencari organisasi-organisasi yang membutuhkan seorang volunteer dengan syarat saya harus benar-benar volunteer ke tempat yang tepat, bukan seakan hanya menjadi volunteer tapi ternyata tidak melakukan apa-apa.

Di tengah kesibukan menyelesaikan tugas-tugas kuliah, sesekali saya menonton Kick Andy dari YouTube. Topiknya waktu itu “Dokter Gila Berhati Mulia”. Di situlah saya tahu kisah tentang dr. Lie Dharmawan yang mendirikan doctorSHARE.

Dalam benak saat itu, saya yakin doctorSHARE adalah organisasi yang tepat karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar niat membantu orang lain

walau harus menjemput bola. Hal yang membedakan doctorSHARE dari organisasi kesehatan lainnya adalah mereka memberi pelayanan medis hingga ke pelosok negeri dan menjangkau tempat-tempat yang tidak tersentuh sarana kesehatan yang memadai.

Saya penasaran mencari tahu informasi lebih lanjut tentang doctorSHARE dari internet. Melalui website-nya, saya mengirim email dan bertanya cara-cara untuk bergabung dengan doctorSHARE dan apakah mereka masih membutuhkan volunteer.

Email saya dibalas oleh Kak Sylvie Tanaga. Karena lokasi saat itu berada di luar negeri, saya hanya bisa volunteer dari jarak jauh seperti menerjemahkan naskah-naskah dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Salah satu yang sudah saya kerjakan adalah menerjemahkan website doctorSHARE. Menurut saya, hal ini sangat positif karena dengan memiliki website dalam bahasa Inggris, akan membantu organisasi ini lebih mudah dikenal oleh warga negara internasional lainnya. Let’s tell the world that Indonesia has a cool floating hospital! ■

Sherly Wijaya Sari adalah relawan mediadoctorSHARE(relawanpenerjemah)

Sukarela Lewat Beragam CaraOleh: Sherly Wijaya Sari

“Tapi, apa gue bisa volunteer kalau jauh gini?”

Page 25: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

48 49

goresan relawan goresan relawan

Ketika kecil, tak pernah terselip sedikit pun keinginan untuk menjadi seorang perawat. Bukan karena tidak menyukai

profesi tersebut melainkan karena tidak yakin bisa mengenyam pendidikan keperawatan mengingat saya berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan biaya pendidikan tidaklah murah. Seandainya boleh memilih, pasti saya meminta Tuhan untuk dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan sehingga bisa mengenyam pendidikan di mana pun saya mau. Namun saya bersyukur untuk setiap napas kehidupan yang Tuhan berikan pada saya. Saya percaya dibalik semuanya, Tuhan mempunyai rencana yang luar biasa. Dan inilah rencana Tuhan: selalu memberi pertolongan tepat pada waktunya. Setelah menyelesaikan tugas menjadi relawan bagi anak berkebutuhan khusus selama tiga tahun bersama sebuah yayasan sosial di Kei Kecil, Maluku Tenggara, Tuhan mengijinkan saya bertemu dr. Lie Dharmawan. Melalui beliaulah saya boleh mengenyam pendidikan di Akademi Keperawatan Husada Jakarta. Saya satu dari seribu orang yang beruntung mendapat pendidikan cuma-cuma dan menjadi relawan doctorSHARE.

Apakah masih kurang? Tidak! Semuanya sempurna. Menjadi relawan doctorSHARE sungguh menyenangkan. Bukan hanya ilmu medis yang saya dapatkan namun juga ilmu sosial. Saya bisa belajar mengenal pribadi orang lain, bertemu banyak teman, bersosialisasi dengan banyak orang, belajar budaya dan adat istiadat berbagai suku di Indonesia, menjadi dekat dengan alam ciptaan Tuhan, dan sungguh…. doctorSHARE you are my everything. Sudah dua tahun saya bergabung sebagai relawan doctorSHARE. Berdasarkan pengalaman, ternyata ada begitu banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu memperoleh akses dan finansial keuangan yang cukup untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Menurut saya, masyarakat Indonesia cukup peduli akan pentingnya kesehatan namun akses yang sullit, minimnya finansial serta kurangnya pengetahuan membuat mereka seolah acuh dengan masalah kesehatan. Begitu banyak cerita dari pulau seberang dan alasan mengapa mereka menunda untuk memeriksakan kesehatannya ke Rumah sakit atau puskesmas. Beberapa contoh kongkrit yang terucap dari bibir mereka adalah minimnya keuangan, sulitnya menjangkau Rumah Sakit serta tidak adanya tenaga medis di suatu daerah. Pasien yang datang ke Rumah Sakit Apung dr. Lie Dharmawan biasanya sudah sakit menahun 5 – 15 tahun. Ini bukanlah waktu yang singkat. Mereka harus menderita lebih lama. Dalam kondisi ini, bagaimana mereka mampu bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya? Pasti timbul masalah baru. Tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika sakit, hanya minum ramu-ramuan dari kulit pohon, dedaunan, dan akar tanaman. Mereka berharap reramuan tersebut dapat meringankan bahkan menyembuhkan penyakit.

Miris dan hancur hati ini melihat dan mendengarnya. Sangat berbeda dengan daerah perkotaan yang bisa memperoleh fasilitas kesehatan dengan baik, akses yang mudah, serta finansial yang cukup.

doctorSHARE menawarkan solusi yang sangat baik untuk membantu pemerintah Indonesia mewujudkan Indonesia Sehat. Masyarakat sangat bersyukur dan ramah menyambut kedatangan tim doctorSHARE melalui Rumah Sakit Apung dan Flying Doctors (Dokter Terbang). Mereka selalu berharap kami terus berkarya dan suatu hari kembali ke daerahnya. Sebagai relawan, saya sangat kagum dengan pelayanan doctorSHARE yang rela berkorban tanpa pamrih. Sudah ribuan jiwa terselamatkan. Tak mudah melakukan semuanya mengingat banyak hal yang harus

dikorbankan baik dari segi waktu, tenaga maupun uang. Dulu saya selalu bertanya dalam hati mengapa kesehatan itu mahal. Ketika menjadi relawan doctorSHARE pertanyaan itu terjawab. Sebagai relawan yang melakukan stock opname, biaya obat-obatan dan alat kesehatan memang tidak murah. dr. Lie selalu mengatakan jika ingin melakukan layanan kesehatan yang baik maka hendaknya semua obat dan alat harus diadakan. Buat mewujudkannya sudah pasti butuh dana yang amat besar. Saya bersyukur karena ternyata banyak masyarakat Indonesia yang peduli terhadap sesama dengan berdonasi hingga doctorSHARE masih tetap berkarya sampai hari ini. Thank you God, thank yousemuanya. Tetaplah berkarya kawan-kawan doctorSHARE. Tuhan menyertaimu! ■

Siska, A.Md. Kep adalah relawan medisdoctorSHARE(perawat)

Tetaplah Berkarya!Oleh: Siska, A.Md. Kep

Page 26: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

50 51

resensi buku resensi buku

Jadi seorang dokter bukan semata soal prestise. Di tangannya, banyak orang menggantungkan harapan – terlebih

bagi masyarakat pelosok yang selama ini sulit menikmati layanan medis. Semangat pengabdian dokter menemukan ruang ujiannya ketika berinteraksi dengan masyarakat semacam ini. Dipandang bak dewa tentu bukan hal mudah, mengingat dokter juga manusia yang punya karsa, asa, perasaan, rasa lelah, juga tak terlepas dari kebutuhan hidup sehari-hari.

Pergumulan inilah yang menjadi benang merah buku “Dokter Indonesia Bercerita: Jangan Jadi Dokter”. Buku ini memuat 26 potong kisah dari 20 dokter

Contohnya adalah kisah yang ditulis oleh anggota doctorSHARE (Koordinator RSA Nusa Waluya II), dr. Debby Kurniawati Adi Saputra. Dalam bab “Tanda Heran di Bumi Cendrawasih”, kita dapat menelusuri perjalanan dr. Debby sejak mendaftar program PTT di Kabupaten Sorong Selatan, antusiasme jelang keberangkatan, pengalaman perdana perjalanan, masa-masa adaptasi awal, hingga aneka keseruan berhadapan dengan kenyataan lapangan – khususnya yang berkaitan dengan budaya-budaya lokal.

Cerita dr. Debby soal aneka jenis transportasi yang pernah ia lakoni, misalnya, membuka mata kita mengenai betapa beratnya perjuangan warga – bahkan dalam hal yang paling mendasar yakni mobilitas. Dalam bab yang sama, cerita dr. Debby soal persaudaraan bersama masyarakat Kampung Mugim, Distrik Metamani pun membawanya pada kesadaran akan nilai-nilai kehidupan.

Pada bab lainnya, “Pelajaran di Tepian Tebing”, jelajah tualang dr. Debby ketika menjalankan program internship di Kabupaten Probolinggo menguak bahaya nyata yang mesti dihadapi seorang dokter daerah. Meski demikian, resiko tinggi menantang nyawa ini tak sungkan dilakoni demi menyelamatkan nyawa pasien – semangat pengabdian yang jauh dari ingar bingar sorot media. Seperti yang ditulis dr. Debby, ucapan terima kasih saja membuatnya terenyuh sebagai dokter.

Buku ini jadi potongan-potongan mozaik menarik yang memperlihatkan ragam wajah Indonesia, disparitas yang begitu mencolok antara kota-desa dan Barat-Timur, pergulatan para dokter memperhatikan hidupnya sendiri namun tetap memprioritaskan hidup-mati pasien, integritas yang diuji tanpa henti, kegamangan menghadapi aneka kondisi darurat di tengah minimnya fasilitas dan anggapan sebagai “Tuhan”, serta berbagai pelajaran hidup yang dipetik darinya.

Dua puluh enam kisah ini pun tak ayal menggaungkan pesan penting: bahwa di tengah tingginya tuntutan yang ada dan rasio

yang tak ideal antara kebutuhan dengan ketersediaan, dokter juga manusia. Kita tahu bahwa tak ada seorang pun manusia sempurna di muka bumi ini, meski bukan jadi alasan untuk terus mengembangkan skill demi memberi pelayanan yang terbaik.

Judul “Jangan Jadi Dokter” sekilas sungguh menakuti. Tapi seperti yang tertera pada bagian belakang buku – frasa ini lebih merujuk pada ungkapan keprihatinan sekaligus merangsang para dokter berkontemplasi kembali dalam memaknai hakikat profesinya sebagai penolong sesama – persis seperti yang termaktub dalam sumpah kedokteran, Sumpah Hippocrates. Dokter yang sudah memantapkan hati tak akan pernah ragu melangkah demi sesama, apapun resikonya.

Pergulatan pribadi yang berkombinasi indah dengan paparan fakta-fakta lapangan meramu buku ini menjadi sebuah referensi menarik sekaligus penting. Buku ini menjawab langkanya narasi kisah yang dipaparkan secara langsung oleh para dokter. Lebih dari itu, buku ini jadi penyeimbang maraknya berita media yang abai cover both side sehingga kerap menyudutkan tenaga medis dan melahirkan stigma negatif terhadap profesi dokter di Indonesia.

Pada titik ini, buku ini mampu memberi gambaran pada para pembaca yang sama sekali tak berlatar medis mengenai lika-liku dunia kedokteran. Mendobrak tradisi buku-buku kedokteran yang selama ini cenderung bernuansa akademis (dan akhirnya mengundang kernyit dahi), buku ini berhasil memperlihatkan esensi menjadi seorang dokter dengan caranya yang sangat personal.

“Dokter Indonesia Bercerita: Jangan Jadi Dokter” seharusnya merangsang lahirnya cerita-cerita lain dari dunia kesehatan, dunia yang kita tahu makin perlu mendapat perhatian serius karena terkait langsung dengan masa depan negara ini. ■

Dokter Indonesia Bercerita

“Jangan jadi dokter”yang kebanyakan berbicara mengenai pengalaman serta suka-duka mereka ketika berkarya bagi warga pedalaman melalui program internship dan PTT. Menariknya, buku ini tak linear berisi narasi pengalaman yang “kering”.

Dengan gaya orisinil, masing-masing penulis memaparkan kebahagiaan sekaligus rasa frustrasinya ketika berhadapan dengan situasi-situasi tertentu. Mereka pun tak luput mengungkap pandangan-pandangan pribadinya mengenai kebijakan-kebijakan kesehatan – juga pandangan terhadap budaya dan gaya hidup masyarakat di wilayah tempat pelayanan mereka.

Editor THEDDEUS O.H. PRASETYONO Tebal xii + 222 halamanCetakan ke- I, 2016 Penerbit Salemba Medika

Page 27: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

52 53

serba serbi

Rabu, 1 Juni 2016, pendiri doctorSHARE, dr. Lie A. Dharmawan, berbagi pengalamannya dalam memberikan

pelayanan medis ke daerah-daerah terpencil tanah air di hadapan para hadirin yang sebagian besar merupakan pejabat Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

dr. Lie mengatakan bahwa istilah maritime medicine awalnya merujuk pada pengobatan bagi orang-orang yang bekerja di atas kapal saja. Namun istilah ini sesungguhnya dapat dimaknai secara lebih luas.

“Salah satu strategi yang dapat diterapkan sebagai solusi untuk menjangkau masyarakat daerah terpencil adalah dengan menggerakkan mobile hospital baik di darat, laut, dan udara,” ucap dr. Lie.

Upaya tersebut telah mulai dilakukan oleh doctorSHARE melalui berbagai programnya

seperti Floating Hospital atau Rumah Sakit Apung (pesisir/laut), Flying Doctors atau Dokter Terbang (udara), dan berbagai aksi pelayanan medis di darat dengan sistem mobile clinic.

Sharing knowledge & experience ini pun diharapkan dapat menginspirasi Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam membangun daerah terpencil Indonesia dengan lebih baik.

Kegiatan berdurasi sekitar tiga jam di Kantor Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi – Jakarta ini digagas dalam rangka mewujudkan agenda Nawacita “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” dan mendukung salah satu arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tentang pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan pelayanan dasar publik. ■

Sharing Knowledge & Experience di Kantor Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi

Sebuah rubrik yang mengangkat kisah manusia inspiratif dan menggerakkan masyarakat

SOS OK

Menerabas Keterbatasan Menginspirasi Sesama

PILIH “SOSOK BULAN INI”di kompasprint.com/sosok

Page 28: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

54 55

HospitalVisitRSANusaWaluyaIFKUnikaAtmajaya–13Mei201613 Mei 2016, FK Unika Atmajaya mengunjungi RSA Nusa Waluya I yang sandar di Café Jet Ski, Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Dalam hospital visit ini, tim doctorSHARE memperkenalkan ruang-ruang dan peralatan RSA seperti USG, rontgen, dan sebagainya. Mahasiswa dibagi per kelompok (6 – 7 orang) dan bergantian masuk RSA. Mahasiswa pun berkesempatan mencoba alat EKG, mengambil darah serta melihat demonstrasi penggunaan alat laboratorium. doctorSHARE berharap hospital visit ini menginspirasi mahasiswa kedokteran untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya lewat cara inovatif.

doctorSHAREdalamJakartaFashion&FoodFestival(JF3)–23April201623 April 2016, doctorSHARE berpartisipasi dalam ajang Jakarta Fashion & Food Festival (JFFFF) sebagai tim medis. Dalam parade fashion show ini, tim menangani pengunjung mall yang terluka dan peserta parade yang mengalami kram pada kaki. Dalam ajang ini, Mall Kelapa Gading sebagai penyelenggara kegiatan memberikan donasi kepada doctorSHARE sebesar Rp 2.400.000.

DonasiStellaRissa-Aidan&IceuntukRSANusaWaluyaII–14Mei2016Brand fashion “Stella Rissa” dan koleganya dalam bisnis accessories “Aidan & Ice” menyelenggarakan ajang private viewing, sekaligus mengundang para kliennya untuk turut ambil bagian dalam pendanaan RSA Nusa Waluya II yang menjadi bakal Rumah Sakit Apung ketiga doctorSHARE,

bekerjasama dengan PT MASA dan beberapa mitra strategis lainnya. Private viewing ini berlangsung di Stella Rissa Studio, Jakarta Pusat.

“Genesis”AMSAFKUnikaAtmajaya2April2016Berawal dari pertemuan calon ketua AMSA FK Unika Atmajaya yang sekarang terpilih, Fidia, dengan doctorSHARE, seminar Genesis (Innovasi Kesehatan) pun terwujud. Seluruh pembicara seminar merupakan anggota doctorSHARE. Topik yang diusung dalam seminar di Auditorium Klara Asisi Lt. 4 FK Unika Atmajaya, Pluit, Jakarta ini terbilang unik yaitu: kedokteran kemaritiman, telemedicine, pelaksanaan dan respon di lapangan terkait inovasi kesehatan di daerah terpencil, hingga bahasan tentang relawan dan pendanaan organisasi.

MimbarInspirasiFKUniversitasGadjahMada–29Mei2016Mewakili doctorSHARE, dr. Debby Kurniawati Adi Saputra berbagi pengalamannya selama menjadi dokter dan relawan di hadapan mahasiswa tahun pertama FK Universitas Gadjah Mada. Bertajuk “Pengabdian Diri untuk Kesehatan Negeri”, mimbar inspirasi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi para mahasiswa untuk mengembangkan diri

dan mengabdikan keilmuannya bagi negara. Selain dr. Debby, dr. Muhammad Nurhadi Rahman, SpOG juga turut menjadi pembicara dalam acara ini.

BerbagiKisahdiUniversitasMuhammadiyahJakarta–2April2016Sebagai upaya menginspirasi generasi muda, tim doctorSHARE memenuhi undangan sosialisasi dari Universitas Muhammadyah Jakarta. dr. Debby Kurniawati Adi Saputra berbagi pengalamannya sebagai relawan doctorSHARE. Dalam paparannya, dr. Debby menegaskan penolakannya terhadap stigma profesi dokter yang hanya “menunggu di Rumah Sakit”. Dokter juga harus jemput bola untuk pemerataan layanan kesehatan seperti yang selama ini dilakukan oleh doctorSHARE.

SosialisasidoctorSHAREBersamaAlumnusUREKA–15April201615 April 2016, doctorSHARE menyelenggarakan sosialisasi mengenai program dan kegiatannya dalam ajang temu alumni UREKA (Universitas Res Publica) yang berlangsung di Auditorium Hall, Hotel Aston, Bogor. Dalam ajang ini, dr. Lie juga memberikan sharing pengalamannya bersama doctorSHARE. dr. Lie juga mendapat kejutan terkait dengan ulang tahun-nya yang ke-70. ■

kaleidoskop kaleidoskop

Kaledoiskop doctorSHARESemester Pertama 2016

warisanbudayaindonesiaonline.com

fimela.com

Page 29: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

56 57

Page 30: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

58 59

d sharing accessible health and care

SHAREc t o r

PENDIRIdr. Lie A. Dharmawan, PhD, FICS, SpB, SpBTKV

SEKRETARISJENDERAL(PLT.)dr. Marselina Mieke Yashika Iskandar

DivisiDokterTerbangdr. Riny Sari Bachtiar, MARS

DivisiRumahSakitApungdr. Christ Hally Santoso

Muhammad Sulham Haeril, A.Md. Apdr. Debby Kurniawati Adi Saputra

DivisiPemberdayaanPulauKei,MalukuTenggara

dr. Angelina Vanessadr. Nidia Limarga

DivisiLogistikdr. Angelina Vanessa

Siska Amelia, A.Md. Kep

DivisiPenggalanganDanaSirikit Senjaya, S.Sn

Ir. Maria Teresa Sri MariaThomas Herman, SE

DivisiMediaSylvie Tanaga, Ahmad Yunus, Basilius

Triharyanto, Silvana Novia Sari, Sherly Wijaya Sari, Devrila Muhamad Indra, Muhammad Alfan Baedlowi, Arfi Zulfan, Ifan Nugraha

Dwiyana, Aditya Mardiansyah, Azizah Nida Ilyas, Muhammad Rifqy Fadil, Olfi

Fitri Hasanah, Panji Arief Sumirat, Deando Permana, Aflah Satriadi, Muhammad

Alif Hudanto, Abdul Basith Bardan, Dewi Prihatina.

MEDIABERBAGIdoctorSHAREPemimpin Redaksi: Sylvie Tanaga, S.IP, M.Si

Desain Grafis: Henry Christian, S.DsIlustrasi Cover: Prisca Evanthia, S.DsFotografi: Divisi Media doctorSHAREEditorial: Divisi Media doctorSHARE

Copyright © 2016 doctorSHARE.All rights reserved.

profil

prinsipPenyediaan akses pelayanan kesehatan berkesinambungan dan holistik bagi orang yang terjebak dalam krisis

Memperbaiki derajat kesehatan Indonesia, terutama di Indonesia Timur melalui penyediaan akses pelayanan kesehatan holistik dan program inovatif berkesinambungan berbasis semangat kerelawanan.

Integritas, saling berbagi, cinta kasih, saling mempercayai dan menghormati.

Kekuatan tim berada pada rasa tanggung jawab yang tinggi, kemampuan beradaptasi, dan sifat inklusif

Non Profit Voluntary ServicesKegiatan tidak dimaksudkan untuk mencari atau

mengumpulkan keuntungan

Humanitiy ActsBekerja didasarkan pada prinsip kemanusiaan

dan etika medis. Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE) berkomitmen untuk membawa

kualitas perawatan kesehatan untuk orang yang berada dalam krisis tanpa memandang ras, etnis,

suku, agama, antar golongan atau afiliasi politik

Bearing Witness and Speak OutMenjadi saksi atas kejadian kekerasan,

kerusuhan, bencana alam, dan konflik. Berbicara kepada publik dalam upaya untuk memunculkan krisis-krisis kesehatan yang terlupakan atau tidak

disadari publik, menarik perhatian publik untuk kejadian kekerasan yang terjadi di luar jalur, dan

mengkritisi kelemahan sistem bantuan, serta menantang pengalihan bantuan kemanusiaan

yang dilakukan berdasarkan politik kepentingan.

SharingPercaya bahwa setiap individu mempunyai

talenta, kecakapan dan kekuatan masing-masing yang bila dengan tujuan mulia disalurkan,

dibagikan, dan dikolaborasikan akan banyak membantu masalah-masalah sosial terutama

yang berkaitan dengan masalah kesehatan

IndependentBeroperasi secara mandiri dan bebas dari setiap

kepentingan kelompok, golongan, politik, militer, bisnis, dan agama.

ImparsialNetral, tidak berpihak pada salah satu pihak yang

terlibat dalam konflik, memberikan perawatan secara independen untuk meningkatkan akses

bagi korban konflik seperti yang disyaratkan oleh hukum kemanusiaan internasional.

1Pelayanan medis cuma-cuma

(pemeriksaan dan operasi mayor/minor)2

Rumah Sakit Apung3

Flying Doctors (Dokter Terbang)4

Bantuan kemanusiaan untuk bencana5

Panti Rawat Gizi 6

Klinik7

Telemedicine8

Pendampingan Kesehatan9

Kampanye Medis

visi

misi

program

nilai

doctorSHARE adalah mitra pemerintah Indonesia yang membantu mengakselerasi peningkatan kesehatan di wilayah terpencil tanpa akses kesehatan dengan melibatkan masyarakat lokal dan melakukan inovasi kreatif di bidang medis, diantaranya melalui inisiasi sistem RS bergerak terapung, kedokteran kemaritiman, dan penggunaan informasi & teknologi.

Dalam menjalankan program, doctorSHARE menciptakan ruang untuk mendukung upaya saling berbagi dan mengasah idealisme sesuai prinsip-prinsip yang dianut oleh organisasi.

Individu-individu yang tergabung dalam doctorSHARE bekerjasama, membagikan talenta dan kecakapan maing-masing tanpa memandang batasan-batasan suku, agama, etnis, ras dan antar golongan untuk mewujudkan visi dan misi doctorSHARE sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan etika pelayanan medis.

Saat ini doctorSHARE didukung oleh ahli bedah, dokter, perawat, dan profesional seperti jurnalis, administrator, fotografer, desainer, ahli teknologi informasi, wiraswasta, pekerja sosial profesional, dan sejumlah donatur individual. Kami membuka diri bagi mereka yang tergerak untuk membagikan kecakapan profesionalisme mereka untuk mendukung visi dan misi doctorSHARE memulihkan masyarakat di bidang kesehatan.

Page 31: editorialMEMBUKA CAKRAWALA,ekonomi. Bedah demi bedah, pengobatan, dan penyuluhan pada masyarakat lokal telah dilakoni. ... dengan Timor Leste. Tim masih menemukan banyaknya pengungsi

60