10
DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS Arif Mansjoer, Marcellus Sinadibrata K. PENDAHULUAN Keadaan atau penyakit kritis dapat terjadi pada berbagai kasus akut seperti trauma, luka bakar, operasi, atau infeksi berat. Proses terjadinya sangat cepat, berfluktuasi dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat serta pengawasan yang ketat. Kegagalan multi organ sering terjadi pada keadaan ini dan tidak jarang membutuhkan dukungan sementara sebelum organ yang terganggu pulih seperti penggunaan ventilator sebagai alat bantu napas pada kasus gagal napas atau alat hemodialisis sebagai alat pengganti fungsi ginjal pada kasus gagal ginjal akut. Dukungan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dukungan nutrisi. Pada tulisan berikut ini akan dibahas tentang respons metabolik pada penyakit kritis dan tahapan-tahapan pemberian nutrisi pada pasien dengan penyakit kritis, yaitu: 1). Status nutrisi; 2). Masalah nutrisi; 3). Kebutuhan nutrisi; 4). Saat dan dosis pemberian; 5). Nutrisi enteral; 6). Nutrisi parenteral. RESPON METABOLIK PADA PENYAKIT KRITIS Trauma, luka bakar, operasi, infeksi berat merupakan stres bagi tubuh. Tubuh akan memberikan respon metabolik yang menyebabkan hipermetabolisme, hiperkatabolisme. Pada awal adanya stres terjadi fse ebb (fase syok, fase resusitasi) dan diikuti fase flow (fase akut). Pada fase ebb terjadi ketidakstabilan hemodinamik, tekanan darah menurun, curah jantung menurun, penggunaan O 2 menurun, suhu tubuh rendah, serta terjadi peningkatan kadar glukagon, katekolamin, asam lemak bebas. Fase ini dapat terjadi hingga 12-24 jam dan terapi ditujukan untuk resuitasi cairan hingga hemodinamik stabil. Pada fase selanjutnya, fase flow, terjadi hipermetabolisme, katabolisme, dan peningkatan penggunaan O2. hal ini terjadi akibat pelepasan sitokin dan sinyal saraf aferen dan jaringan yang rusak. Fase ini merupakan

DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS.doc

Embed Size (px)

Citation preview

DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS

DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITISArif Mansjoer, Marcellus Sinadibrata K.

PENDAHULUAN

Keadaan atau penyakit kritis dapat terjadi pada berbagai kasus akut seperti trauma, luka bakar, operasi, atau infeksi berat. Proses terjadinya sangat cepat, berfluktuasi dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat serta pengawasan yang ketat.Kegagalan multi organ sering terjadi pada keadaan ini dan tidak jarang membutuhkan dukungan sementara sebelum organ yang terganggu pulih seperti penggunaan ventilator sebagai alat bantu napas pada kasus gagal napas atau alat hemodialisis sebagai alat pengganti fungsi ginjal pada kasus gagal ginjal akut. Dukungan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dukungan nutrisi. Pada tulisan berikut ini akan dibahas tentang respons metabolik pada penyakit kritis dan tahapan-tahapan pemberian nutrisi pada pasien dengan penyakit kritis, yaitu: 1). Status nutrisi; 2). Masalah nutrisi; 3). Kebutuhan nutrisi; 4). Saat dan dosis pemberian; 5). Nutrisi enteral; 6). Nutrisi parenteral.RESPON METABOLIK PADA PENYAKIT KRITISTrauma, luka bakar, operasi, infeksi berat merupakan stres bagi tubuh. Tubuh akan memberikan respon metabolik yang menyebabkan hipermetabolisme, hiperkatabolisme. Pada awal adanya stres terjadi fse ebb (fase syok, fase resusitasi) dan diikuti fase flow (fase akut).Pada fase ebb terjadi ketidakstabilan hemodinamik, tekanan darah menurun, curah jantung menurun, penggunaan O2 menurun, suhu tubuh rendah, serta terjadi peningkatan kadar glukagon, katekolamin, asam lemak bebas. Fase ini dapat terjadi hingga 12-24 jam dan terapi ditujukan untuk resuitasi cairan hingga hemodinamik stabil.

Pada fase selanjutnya, fase flow, terjadi hipermetabolisme, katabolisme, dan peningkatan penggunaan O2. hal ini terjadi akibat pelepasan sitokin dan sinyal saraf aferen dan jaringan yang rusak. Fase ini merupakan fase respon metabolik yang mengubah penggunaan energi dan protein untuk menyelamatkan fungsi organ penting dan memperbaiki kerusakan jaringan. Substrat endogen secara aktif dilepas seperti glukosa dari glikogen, asam amino dari otot rangka, asam lemak dari jaringan adiposa. Pada fase inillah dukungan nutrisi diberikan.Tabel 1. Perubahan Metabolik pada Awal Keadaan Krisis

Fase EbbFase Flow

Glukosa darahMeningkatNormal atau sedikit meningkat

Asam lemak bebas

dalam sirkulasiMeningkatNormal atau sedikit meningkat

InsulinMenurunNormal atau sedikit meningkat

KatekolaminMeningkatMeningkat

Curah jantungMenurunMeningkat

Konsumsi oksigenMenurunMeningkat

Suhu tubuhMenurunMeningkat

PENGKAJIAN STATUS NUTRISI

Pengkajian status nutrisi merupakan hal yang penting selain pengkajian kondisi medis pasien. Tujuan dari pengkajian nutrisi adalah mengidentifikasi pasien yang mengalami atau memiliki risiko terjadinya malnutrisi, menentukan derajat malnutrisi pasien, dan memantau hasil dukungan nutrisi yang diberikan. Langkah awal pengkajian nutrisi adalah anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.Pada pasien kritis seringkali perlu dilakukan allo-anamnesis pada keluarga atau kerabat dekat. Hal yang perlu digali adalah riwayat penyakit saat ini dan sebelumnya, lama sakit, asupan nutrisi, dan adanya gejala gastrointesitanl seperti mual, muntah, atau diare.

Perlu dipertanyakan pula adanya riwayat penurunan berat badan yang sering menjadi penyebab malnutrisi. Malnutrisi adalah gangguan status nutrisi akibat kurangnya asupan nutrisi, terganggunya metabolisme nutrien, atau nutrisi berlebih. Faktor yang mengarahkan adanya malnutrisi adalah penurunan 10% atau lbeih berat badan selama 6 bulan, penurunan 5% atau lebih berat badan selama 1 bulan, atau berat badan lebih atau kurang 20% dari berat badan ideal.Pemeriksaan fisik yang penting adalah berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan pemeriksaan antropometrik lain. Berdasarkan BB dan TB dapat ditentukan indeks massa tubuh (IMT), yaitu:

IMT =

Pada pasien kritis sukar untuk melakukan pemeriksaan BB, TB, atau pemeriksaaan antopemetrik sehingga data BB dan TB sering didapatkan dari menaksir atau menanyakan pada keluarga atau kerabat dekat.Kadar albumin, transferin, dan prealbumin yang diproduksi oleh hati merupakan penanda cadangan protein viseal dan juga merupakan indikator status gizi.PENGKAJIAN MASALAH NUTRISI

Pada setiap pasien ditentukan dahulu permasalahan asupan nutrisi. Apakah pasien tidak dapat makan, tidak boleh makan, atau makan tidak adekuat sehingga tidak mencukupi kebutuhan. Apakah terdapat indikasi

Pemeriksaan (satuan)Waktu paru (t)Status Nutrisi

NormalDeplesi ringanSedangBerat

Albumin (g/dL)20 hari> 3,52,8 3,52,2 2,8< 2,2

Transferin (mg/dL)9 hari> 200150 200100 150< 100

Preablbumin (mg/dL)1-2 hari> 1810 185 10< 5

atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi oral, enteral, atau parenteral. Kesadaran menurun pada pasien dengan dengan penyakit gratis merupakan indikasi pemberian terapi nutrisi. Metoda yang dipilih adalah pemberian nutrisi enteral bila fungsi absorpsi saluran gastrointestinal baik. Namun bila saluran gastrointestinal tidak berfungsi, atau terdapat peritonistis difus, obstruksi usus, muntah-muntah, ileus paralitik, dan iskemia gastrointestinal, maka dipilih metode pemberian nutrisi parenteral.Perlu pula ditentukan perkiraan lamanya pasien akan membutuhkan dukungan nutrisi. Apakah keadaan kritis ini merupakan keadaan akut saja atau merupakan keadaan akut dari suatu penyakit kronik seperti keganasan. Apakah keadaan akut tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pencernaan yang permanen.PENENTUAN KEBUTUHAN NUTRISI

Pada pasien kritis, pemberian nutrisi hendaknya diberikan dini 24-48 jam pertama dan tidak saat pasien masih berada dalam fase ebb/syok/resusitasi. Kebutuhan kalori diberikan bertahap untuk menjaga toleransi penerimaan usus pada pemberian nutrisi enternal7 dan untuk menjaga agar keseimbangan nitrogen tidak terlalu negatif pada pemberian nutrisi parenteral. Pada hari pertama dapat diberikan 1/3 kebutuhan kalori, hari kedua - 2/3 kalori, dan pada hari ketiga dapat diberikan dukungan nutrisi penuh.Kebutuhan Kalori

Kebutuhan energi basal (basal energy expenditure, BEE), dapat dihitung dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan rumus Harris Bennedict yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur (U), berat badan (BB), dan tinggi badan (TB), yaituLaki-laki: BEE = 66,47 + (13,75 x BB) + (5,00 x TB) (6,76 x U)

Perempuan: BEE = 655,2 + (9,56 x BB) + (1,7 x TB) (4,77 x U)

Langkah selanjutnya adalah menentukan kebutuhan energi total (total energy expenditure, TEE). Faktor-faktor seperti bedah, infeksi, trauma, atau stres lain menambah menambah kebutuhan energi. Untuk menghitungnya digunakan rumus TEE = BEE x faktor stres x faktor aktivitas.Tabel 3. Nilai Faktor Aktivitas dan Stres

Faktor aktivitasFaktor Stres

Tirah barin:1,2Bedah minor:1,1 1,3

Aktivitas:1,3Bedah mayor:1,5

Demam:1,13 tiap derajat di atas 37Infeksi:1,2 1,6

Trauma:1,1 1,8

Sepsis:1,4 1,9

Luka bakar:1,9 2,1

Rumus Harris Benedict dan faktor-faktornya pada literatur sangat bervariasi dan tidak praktis. Secara praktis, pada pasien kritis (hipermetabolisme) untuk mencari kebutuhan kalori total dapat digunakan rumus 25 35 kkal/kgBB.Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber kalori. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal, 1 gram protein 4 kkal, dan 1 gram lemak 9 kkal. Pada terapi nutrisi kebutuhan kalori didapat dari karbohidrat dan lemak. Karbohidrat diberikan 60 70% dari kebutuhan kalori total sedangkan lemak 30 40% dari kebutuhan kalori total.

Pemberian karbohidrat meningkatkan produksi CO2. Hal ini dinilai dengan respiratory quetient (RQ) yaitu rasio produksi karbohidrat (VCO2) dan penggunaan O2 (VO2). Nilai ini bermanfaat dalam perencanaan pemberian nutrisi. Nilai normal RQ (0,71,2) dipengaruhi asupan lemak, protein, dan karbohidrat. Nilai RQ lemak 0,7, protein 0,8, dan karbohidrat 1,0. Nilai RQ > 1,0 menggambarkan pemberian karbohidrat atau kalori yang berlebih sehingga produksi CO2 meningkat dan menyebabkan kesulitan penyapihan (weaning) dari ventilator. Berdasarkan hal tersebut, maka pada kelainan paru persentase pemberian karbohidrat dikurangi sedangkan persentase lemak dinaikkan hingga 50%.Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dapat menyebabkan tidak tercapainya estimasi kebutuhan kalori adalah restriksi asupan cairan, intoleransi glukosa, gangguan fungsi ginjal, pengosongan lambung melambat atau berkurangnya absorpsi makanan di lambung, diare, atau puasa untuk persiapan tindakan.

Kebutuhan Protein

Pada keadaan kritis kebutuhan protein berkisar 1,2 2,0 g/kgBB/hari. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease, CKD) yang tidak dilakukan dialisis kebutuhan protein 0,6 0,8 g/kgBB/hari, sedangkan 1,2 1,3 g/kgBB/hari, atau hemofiltrasi kontinu, 1,0 g/kgBB/hari.

Pada pasien gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) pemberian asam amino esensial dan non-esensial harus seimbang. Pada pasien ARF dengan malnutrisi berat atau keadaan hiperkatabolik kebutuhan protein meningkat menjadi 1,5 1,8 g/kgBB/hari.Pada pasien sirosis hati terkompensasi dapat diberikan protein 1,0 1,2 g/kgBB/hari, sedangkan bila disertai malnutrisi dengan asupan tidak adekuat diberikan 1,5 g/kgBB/hari. Pada keadaan kronis tersebut tidak dilakukan pembatasan pemberian protein. Sedangkan pada keadaan akut, yaitu ensefalopati hepatik pemberian progein dibatasi. Ensefalopati hepatik derajat I-II diberikan 0,5 g/kgBB/hari, selanjutnya dinaikkan menjadi 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Jika terdapat intoleransi, pada pasien dapat diberikan protein nabati atau suplemen asam amino rantai cabang (branch-chain amino acid, BCAA) yaitu isoleusin, leusin, valin. Pada ensefalopati hepatik derajat III-IV diberikan protein 0,5 1,2 g/kgBB/hari berupa asam amino yang terutama BCAA. Pada keadaan ensefalopati hepatik terjadi ketidakseimbangan BCAA dan asam amino aromatik dalam plasma maupun sistem saraf pusat yang bermanifestasi gangguan kesadaran.Pada pasien kritis ada penelitian yang memberikan tambahan asam amino tertentu seperti glutamin, arginin, dll untuk meningkatkan imun. Pemberian imunonutrisi ini dapat dipertimbangkan. Pemberian asam amino seimbang untuk mencegah katabolisme pasien kritis juga telah dilaporkan.Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

Pasien kritis membutuhkan cairan yang berbeda-beda baik jumlah maupun kandungannya. Secara umum kebutuhan cairan adalah 30-40 ml/kgBB/hari atau 1-1,5 ml/kkal dari kalori yang diberikan.

Kebutuhan elektrolit bervariasi tergantung keadaan klinis. Natrium, dalam tubuh manusia, merupakan kation utama pada cairan ekstraselular dan berperan dalam osmolalitas cairan. Kalium dibutuhkan dalam sintesis protein, yaitu 6 sebanyak mmol/g nitrogen dibutuhkan untuk metabolisme asam amino secara optimal. Kebutuhan kalium meningkat pada hari-hari pertama pemberian nutrisi parenteral total. Hal ini terjadi diduga karena Tabel 4. Kebutuhan Elektrolit Harian

ElektrolitPemberian EnteralPemberian Parenteral

Natrium (Na)500 mg (22 mEq/kg)1 2 mEq/kg

Kalium (K)2 g (51 mEq/kg)1 2 mEq/kg

Klorida (Cl)750 mg (21 mEq/kg)Diberikan sesuai kebutuhan untuk mempertahankan asam basa bersama dengan asetat.

Kalsium (Ca)1200 mg (30 mEq/kg)5 7,5 mEq/kg

Magnesium (Mg)420 mg (17 mEq/kg)4 10 mEq/kg

Fospor (P)700 mg (23 mEq/kg)20 40 mEq/kg

Penyimpangan awal dalam hati dan perpindahan ke dalam sel. Kebutuhan kalium meningkat saat terjadi masukan glukosa, sehingga perlu dilakukan pemantauan kalium pada peningkatan jumlah glukosa yang masuk agar tidak terjadi hipokalemia.Suplemen kalsium diperlukan pada nutrisi parenteral jangka panjang karena kalsium endogen sering hilang akibat imobilisasi. Kalsium dibutuhkan pula pada kondisi lain seperti pankreatitis. Fosfat dibutuhkan untuk metabolisme tulang, sintesis jaringan, dan fosforilasi ikatan ATP. Hipofosfatemia terjadi pada awal pemberian nutrisi parenteral yang tidak mengandung nutrisi fosfat. Hal yang berbahaya adalah penurunan kadar eritrosit sehingga terjadi penurunan suplai oksigen ke jaringan, kelemahan otot, dan dapat mengganggu respirasi.Magnesium penting pada proses anabolisme dan pada sistem enzim, khususnya yang melibatkan aktivitas metabolik otak dan hati. Kebutuhan magnesium meningkat pada keadaan diare, poliuria, pankreatitis, dan keadaan hipermetabolik.Kebutuhan Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral merupakan nutrien esensial yang berperan sebagai koenzim dan kofaktor dalam proses metabolisme. Defisiensi vitamin yang larut dalam air cepat terjadi. Pada pemberian nutrisi parenteral total selama beberapa minggu hingga 3 bulan sering terjadi defisiensi asam folat berupa pansitopenia, defisiensi tiamin berupa ensefalopati, dan defisiensi vitamin K berupa hipoprotrombinemia. Kebutuhan vitamin yang diberi secara intravena lebih besar dibanding dengan pemberian enteral.Krominum (Cr) diperlukan untuk metabolisme glukosa normal. Tembaga (Cu) sangat penting untuk pematangan eritrosit dan metabolisme lemak. Iodin (I) dibutuhkan untuk sitensis tiroksin. Besi (Fe) penting untuk sintesis hemoglobin. Mangan (Mg) digunakan pada metabolisme kalsium/fosfor, proses reproduksi dan pertumbuhan. Molibdenum merupakan komponen pada oksidasi, sedangkan selenium pada glutation perosidase. Zink merupakan bahan yang penting dalam pembuatan enzim. Defisiensi Zn dapat terjadi dalam beberapa minggu dengan manifestasi dermatitiks dan luka yang lama sembuh.Contoh: Pada pasien kritis laki-laki 30 tahun dengan berat badan 50 kg diberikan dukungan nutrisi dasar, yaitu:Kalori/total = 30 kkal/kg x 50 kg =1500 kkal

Glukosa= 60 % x 1500 kkal= 900 kkalLemak= 40 % x 1500 kkal= 600 kkalProtein= 1,2 g/kg BB x 50 kg =60 gramTabel 5. Kebutuhan Vitamin Harian

VitaminPemberian EnteralPemberian Parenteral

Tiamin1,2 mg3 mg

Riboflavin1,33,6 mg

Niasin1640 mg

Asam folat400 g400 g

Asam pantotenat5 mg15 mg

Vitamin B-61,7 mg4 mg

Vitamin B-122,4 g5 g

Biotin30 g60 g

Kolin550 mgBelum diketahui benar

Asam askorbat90 mg100 mg

Vitamin A900 g1000 g

Vitamin B15 g5 g

Vitamin E15 mg10 mg

Vitamin K120 g1 mg

Pada perhitungan di atas protein tidak diperhitungkan sebagai sumber kalori. Ada pula pendapat yang masih kontroversi untuk memasukkan protein dalam perhitungan jumlah total kalori.

NUTRISI ENTERALNutrisi enteral adalah metode pemberian nutrien ke dalam saluran cerna (gastrointestinal) melalui pipa. Metode ini digunakan sebagai dukungan nutrisi pada pasien yang tidak mau, tidak boleh, atau tidak dapat makan sehingga makanan tidak dapat masuk secara adekuat, namun fungsi saluran gastrointestinal masih baik.< 18,5 kg/m2BB kurang

18,5 22,9 kg/m2BB normal

23,0 kg/m2BB lebih

23,0 24,9 kg/m2+ dengan risiko

25,0 29,9 kg/m2+ obesitas I

30 kg/m2+ obesitas II

_1461502759.unknown