Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Dimensi Epistemologis-MetodologisPendidikan Islam
• Dr.M. Amin AbdullahDosen Pasca Sarjana dan Fakultas Ushuluddin WN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan "dalamwilayah filsafat yang memperbincangkan seluk be/uk "pengetahuan".Sepenisudah banyak dikenal bahwa perbincangan epistemalogi tidakdapat meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan somberilmu pengetahuan dan beberapa teon tentang kebenaran.
Pertama, 'terkait dengan perbincanganapakah ilmu pengetahuan itu diperolehlewat akal pikiran semata (Rasionalisme),ataukah lewat pengamatan semata (Empirisisme) ataukah juga dimungkinkanlewat cara lain, yakni lewat intuisi (Intuisionism). Sedang yang kedua, terkaitdengan pembahasan apakah "kebenaran"pengetahuan manusia itu dapat digambarkan den~an p<;)la korespondensi, koherensiataukah praktis-pragmatis.1)
Lantaran langkanya literatur yang
@ jurnal filsafat Mei'95
dapat dijadikan pembimbing· kearah perbincangan epistemologi terhadap kerangkabangunan keilmuan pendidikan Islam,maka agak sulit sebenarnya memulaidiskursus ini. Terlebih-Iebih lagi,jik:ayang ·dima.ksudkan dengan istilah keilmuanpendidikan Islam hanyalah terbataspada sekumpulan "doktrin agamaIslam" yang harus ditransmisikan begit.
. saja kepada· generasipenerus lewat jalurpendidikan formal atau informal.pengertian ini, maka keilmuan J)el1ldl(J1lK811
Islam terkesan lebih banyak memfokuskanpada isi atau muatan materi yang harusditransfer kepada orang lain, dan bukannyapada proses dan metodologi. Bagaimanasesungguhnya pendi~an Islam itu dilaksanakan dalam situasi jaman yang terusberkembang dan berubah, dan kemungkinan perlunya perubahan metodoJogitersebut, jika memang obyek sasaran
pendidikan Islam yang terus berubahtersebut memerlukan demikian.
Untuk menghindari kesalahpahaman,menurut hemat penulis, telaah epistemologi lebih tepat difokuskan pada aspek keduadan bukannya pada aspek pertama. Aspekpertama telah banyak disentuh dalambidang studi Ulumul Qur'an, ulumul
Hadits, Tafsir, Hadits, Fiqih dan begituseterusnya, yang sudah barang tentu,
masing-masing mempunyai problem epistemologinya send"iri-sendiri.· Dan oleh
karenanya, pendidikan Islam tidak bisatidak harus menggabungkan kedua dimensidiskursus tersebut. Jangan sampai terkesan witayah yang satu lebih mendominasi
yang lain, lebih-lebih jika telaah padamasing-masing wilayah mengacuhkantelaah epistemologis. Bukankah kurikulum,silabi dan metodo.Iogi ilmu pendidikanIslam adalab juga merupakan usaha yang
berkesinambungan dari para ilmuanpendidikan untuk mensistimatisasikanusaha-usaha pendidikan Islam secaralebih sistimatis-metodologis? Jika begitu.adanya, maka rancang bangun keilmuanilmu pendidikan Islam bisa juga dapatditelaah secara epistemologis dari berba
gai seginya, seperti halnya eabang ilmuilmu pengetahuan yang lam.
Tidak hanya pada wilayah pel1didikan
Islam saja yang seringkali sulit ditelaah
@ jurna/li/safat Me;'95
seeara epistemologis. Hampir semuaeabangkeilmuan agama Islam agak sulitditelaahsecara akademik-epistemologis,lantaran keterkaitan ilmu-ilmu tersebutdengan apa yang disebut dengan kitab
suei. Lantaran posisi kitab suei yangbegitu sentral dalam kehidupan manusiaMuslim, maka sampai-sampai persoalanmendasar yang seringk.ali terlupakan
adalah apakah konstruksi ilmu-ilmu Fiqih,konstruksi jlmu-Hmu Kalam dan konstruksi ilmu-ilmu.
Tafsir dan begitu seterusnya, masihidentik dengan kitab suei itu sendiri atautidak? Pembahasan seperti ini adalahtipikal pembahasan yang. benar-benarmasuk dalam wilayah inti eakupan telaah
epistemologi. Fenomena kejumbuhanantara dua dimensi --yang sebenarnya
dapat dibedakan tetapi tidal dapatdipisahkan-- inilah yang disebut-sebutoleh M. Arkoun dengan istilah "Taqdis alajkar al-diniy", sehingga ghairu qalibill Iial-taghyir dan ghairu qabilin Ii al-niqas. 2
)
Orang jadi begitu amat segan untuk
mengkaji dan menelaah uJang bagaimana sesungguhnya tata kerja dan mekanisme"proses" pelaksanaan pendidikan danpengajaran Islam di lapangan, karena
terhalang oleh sikap mental yang lebihmendahulukan "isi" keyakinan umat Islam
yang tidak bisa diganggu gugat. D~ngan
mempertimbangkan kontek perubahansosia) yang begitucepat, juga lantaranfaktor historis yang melatar belakangisetiap konsepsi ilmu-ilmu keagamaan,termasuk eorak metodologi yang disusun
dan digunakannya, maka dalam wilayahyang kedua, yakni dalam wilayah bagaimana "proses" pendidikan agama Islam itudilaksanakan dilapangan, perlu lebih
10
banyak dilakukan penelitian dan telaahulang. lika tidak, dikhawatirkan justr~
misi utama yang hendak diemban olehpendidikan Islam, yakni.tuk ~transfer
nilai-nilai agama Islam kepada anak: didik:dan masyarakat pada umumnya justrumalah tidak atau kurang mencapai sasaran. Disini, barangkali ilmu pendidikanIslam tidak boleh hanya bersikukuh padametodologi ajar-mengajar agama denganpola konvensional-tradisional dan perludicari terobosan-terobosan baru sehinggaisi dan metodologi pendidikan agamaIslam akan terasa aktual-kontekstual danjuga bergerak sesuai dengan gerak peru-bahan dan tuntutan jaman.
Kesulitan koosepsi tentang Pengetahuanpada era abad tengah
Sebelum melanjutkan diskusiepistemologis tentang ilmu Pendidikan Islam,penulis merasa perlu mengutip pengamatan Fazlur Rahman terhadap wilayahepistemologi proses ajar-mengajar (learning) di lingkungan umat Islam era abadtengah dan juga era pra-modem. Hal inipenulis anggap perlu, selain untukmembuka wawasan juga sekaligus untukmemahami kesulitan yang ada sertamembuka keniungkinan merangcang danbereksperimen lebih lanjut bagaimanaprogram dan metodologi pendidikanagama Islam itu perlu dan harus dikembangkan lebih lajut dalam era industrialisasi-globalisasi.
... Kelemahan terpokok yang dirasakanoleh proses ajar-mengajar (learning)dilingkungan masyarakat Muslim abadtengah, juga pada masa pra~modern,
adalah Iconsepsi· meteka tentangpe"geItJhaa,,- (knowledge). Bertolak belakang
@, juma/ fi/safat -Mei'95
dellgan sikap dim CaTa berpikir keiInuumera modern. yallg memandang pengetahuan sebagai seslUltu yang ptMla dosamyaharus dicari (searched) dan ditemukanatall di-bangun secora sistimatis (discovered) oleh alcalpikiran manlLSia sendiri,dengan mana mengandai1can peran aktifdari akaIpikiran manusia.untllk memperoleh ilmu pengetahuan, maka sikapkeilmuan ohad tengah mene1canktm kenyataan bahwa pengetahuan adalah sesuatuyang -diperoleh - (acquiredllcasb). Sikapdan posisi akal pikiran lebih bersifatPOSitdan reseptifdari pada bersifat Icreatifdanpositif. Dalam dunia MusUm, Iconsepsidan memalitas cara berpildr yang bertolak belakang ini menjadi lebih akut lagilan/aran adanya benluk ilmu pengetahuan yang ditransmisilcan begitu saja(transmitted) ataujuga sering disebutpengetahuan -tradisional- yang didasarlan pada penukilan dan pendengaran(naql dan sam') di satu pihaJc, dan Iconseppengetahuan yang bersifa' -rational- dilain pihak.3)
Kajian epistemologis dalam wilayah .keilmuan apapun --tak terkecuali dalamwilayah keilmuan Tarbiyah-- tidak bisa.menghindarkan diri dati mempersoalkankonstruksi cara berpikir dan mentalitaskeilmuan. Sedang cara°berpikir dan mentalitas keilmuan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh gerak perubahan jaman yangmelingkarinya serta corak tanfangankehidupan yang dihadapi oleh setiapgenerasi manusia. Sekedar sebagai contoh,tan tangan yang 4ihadapi oleh manusiaberagama 'pada era agraris sangatlabberbeda dari cofak tantangan yang dihadapi manusia era -industrial. -Conk tantangan
umal beragama di perkotaan berbeda daricorak tantangan di pedesaan._Corak tantangan kehidupan beragama lapisan elit
11
berbeda dari corak tantangan yang dihadapi oleb dhu f afa f, corak tantangankehidupan bersama pada wilayahsuperblok dan apartemen mewah lain daricorak tantangan yangdihadapi yang dihadapi masyarakat dalam perumahan kumubdan begitu seterusnya. Mungkin akanmoocul pertanyaan yang cukup menggoda:daIam gerak dialektis antara cara berpikirdi satu pihak, dan tantangan jaman yangselalu berubah di lain pihak, dimana letakprinsip-prinsip dasar keyakinan beragama?Menurut hemat penulis, prinsip-prinsipdasar dan pokok-pokok ajaran agama,secara ontologis dan axiologis, akan tetapseperti itu adanya, tetapi secara epistemoIogis akan bergerak sesuai dengan bentuktantangan yang dihadapi.
Konstruksi epistem0 logis yang bergerak inilah yang membutuhkan corakpemikiran dan mentalitas yang kreatifinovatif-positif --seperti yang' diisyaratkanoleh Rahman-- sehingga secara aktif-
.konstruktif akan selalu berupaya danberusaha membangun kerangka metodologis baru, lantaran tidak puas dengananomali-anomali yang melekat padakerangka metodologis yang selama initelah berjalan secafa konvensionaltradisional. Hal ini di- perlukan dengansendirinya, lantaran tantangan jamanmemaksanya untuk berbuat demikian.Lagi-lagi model metodologi penanamannilai-nilai keagamaan dan ajaran-ajarana.gama pada umumnya sangat lab berbedaantara era.agraris dan industrial, lantarantantangan yang dihadapi oleh kedua eratersebut amat sangatlah berbeda.
Dengan lain ungkapan, bahwa telaahepistemologi selalu bergerak diseputarWitayah metodologi keilmuan, meskipun
€!Jjqrna/ fi/safat Mei'95
dalam prakteknya tidak. bisa meninggalkansarna sekali wilayah ontologis~axiologis.4)
Jadi, diskursus epistemologis yan,8mengandaikan perlunya shifting paradigmdalam metodologi, ,tidak perlu dipertentangkan dengan witayah realitas ontologisaxiologis dari keyakinan beragama yangdianggap tidak perlu berubah. Lewatpenjabaran ini, barangkali, kita dapatmemahami per- nyataan Fazlur Rahmantentang kenyataan adanya poladan bentukmentalitas keilmuan Muslim era abadtengah yang bersifat pasif-reseptif. Sikapdan mentalitas yang bercorak pasifreseptif, barangkali, memang masih dibutuhkan, setidaknya, pada sisi realitasontologis dan axiologis dari keyakinanberagama Islam, tetapi ke- nyataan demikian tidak seharusnya kemudian dipertentangkan secara diametrikal dengan sikapmentalitas kreatif-positif yang dituntutkeberadaannya dalam wilayah epistemologis~metodologis.
Tiga tahapan proses pendidikan agama:Kognitif, afektif dan psikomotorikS)
Dengan mempertimbangkan iuraian diatas, terlebih dahulu hendak di telaahdisini, tiga tahapan proses pendidikanagama yang aturannya dimilikidan dialamioleh anak didik bersama-sama dengan gurudan dosen. Pertarna adalab mentransferatau memberikan ilmu agama sebanyakbanyaknya·kepada anak didik. Dalamkegiatan ini, aspek kognisi anak didikmenjadi begitu sangat dominan. Kedua,selain memenuhi harapan pada tahapanpertama, proses internalisasinilai-nilaiagama diharapkan dapat juga terjadidalam tahapan kedua ini. Aspek.afeksidalam pendidikan agama, aturannya terkait
12
erat dengan aspek kognisi yang pertamatadi. Sebenamya, dalam bidang pendidikanagama, aspek yang kedua ini perlu lebihdiutamakan dari pad~,yang pertama.Kalaupun sudah diutamakan dan memperoleh porsi yaog memadai masih ada satutabapan lagi yang hendak dicapai oleh pendidikan agama Islam, yakni aspek psikomotorik. Aspek atau tabapan ketiga inilebih menekankan kemampuan anak didikuntuk dapat menumbuhkan motivasi dalamdiri sendiri sehingga dapat menggerakkan,menjalankan dan melitaati nilai-nilai dasaragama yang telah terintemalisasikan dalamdirinya sendiri lewat tahapankedua diatas.
Dari situ tampak bahwa pengetabuanagama yang diperoleh lewat jalur pendidikanjauh berbeda darijenis pengetahuanlainnya yang juga diperoleh lewat jalurpendidikan. Pengetahuan agama tidakboleh hanya terhenti dan terbatas padawitayah kognisi, seperti yang lazim terjadipada bidang-bidang studi tertentu. Keberhasilan pendidikan agama harus tercerminpada tindakan individu dan tindakan sosialyang konkrit dalam kehidupan individu,keluarga dan masyarakat. Terjadinyaproses "transformasi" dalam kehidupanseseorang adalab tujuan utama pendidikanagama. Kemampuan mengendalikan diri,sekedar sebagai salah satu contoh, adalahmerupakan salah satu hasil konkrit yanghendak dicapai oleh pendidikan agama,setelah melalui proses tabapan·kognitif danafektif. Dengan lain ungkapan, pendidikanagama tidak· boleh hanya terkait dan terhenti pada aspek kognisi (yanghanyabertujuan mengisi otak anak didik denganilmu agama sebanyak-banyaknya), .tetapilebih dari itu, ia sekaligus harus terkait
@ jurnal filsafat Mei'95
dengan nilai-nilai fundamental dalamkehidupan .sehari~hari dan pandanganbidup (weltanschauung) keagamaan yangterkait dengan perilaku dan persoalanpersoalan praktis dalam bidup keseharian.
Sejauh mana kemampuan pengendalian diri dapat tertanam dalam jiwa anakdidik: lewat model pendidikan agama yang
.agaknya lebih menitik beratkan aspekkognisi, perlu diteliti lebih lanjut. Dalamera industrialisasi dimana semua kebutuhanfisik-material tersedia di pasaran, danjikaitu semua dipenuhi tanpa pengendalian dirimaka cepat atau lambat hal itu akanmengarah kepada bentuk kehidupan yangdestruktif, tidak hanya kepada dirinyasendiri tetapi juga untuk keluarga danmasyarakat sekitar. Era materialisme,konsumerisme dan hedonisme jauh lebihbanyak terkait dengan nilai-nilai(value),tetapi kurang begitu terkait dengan persoalan-persoalan akidah-ketuhanan yangbegitu abstrak-transendental ·maupunpersoalan syari' ah atau ibadah sehari-hariyang seringkali terlalu formal. Bukan· berarti banya bahwa kedua wilayah terakhirini tidak pen- ting, .tetapi bagaimanacaranya memberikan muatan nilai yanglebih bermalena dalam kehidupan praksissehari-hari adalah merupakan agendaresearch bersama. Banyaknya pengetahuanagama yang diserap oleh anak didik belumtentu dapat menjamin anak didik terhindardari tarikan-tarikan dan godaan-godaanhedonisme, materialisme dan konsumerisme. Nila.-nilai bam· yang muncul dibawaserta oleh keberhasilan ilmu dan teknologiselama 200 tahoo terakhir, sudah baran,tentu, belum pernah terjadi sel~alllaD.·••• ·.sejarah abad tengah. Dalampemikiran Islam abad tengah, me:m8I.11g·.·· .••.
pernah muneul konsepsi tasawuf ataumistisisme namun titik tekan perhatiankeilmuan ini lebih banyak pada kemampuan mengendalikan diri untuk tujuantujuan ittihad, hulul dan wahdat~lwujud,--sehingga kem~li lagi terlalu ttabstraktt-dan bukan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang bersifat etis-prakmatis. Konsepsi mistisisme seperti itu, agaknya, tidakbegitu cocok untuk diterapkan dalam eraketerbukaan informasi seperti saat sekarang ini. Seorang agamawan yang baikbisa saja mengalami cultural shock dalammenghadapi era globalisasi informasi.Bahkan bisa sangat boleh jadi, dalam eraperubahan tata nilai yang begitu cepatseperti saat sekarang ini, seseorangagamawan yang baik dapat saja terjerumusdalam kehidupan yang ·sangat konsumtifmaterialistis dan hedonistis, sehinggaselain akan bisa merusak diri dan keluarganya, juga kurang begitu peka lagi terhadap pender~taan sosial orang lain. Jikademikian yang terjadi, maka pendidikanagama kurang begitu fungsional dalammembentuk perilaku dan kepribadianseseorang yang utuh.
Merancang kembali falsafah pendidikanIslam
Dari uraian sekilas di atas, ada perta
nyaan men<:Jasar yang perlu dicari rumusandijawabnya; apakah pendidikan Islamhanya bertujuan untuk meraih ilmu pengetahuan agama yang bersifat kognitif, tetapikurang begitu peduli terhadap wilayahafektif, jangankan sampai memasukiwilayah psikomotorik? Pangamatan sekilas--yang sudah barang tentu masih bersifattentatif dan perlu diteliti lebih Ianjut olehcommunity of researchers di lingkungan
@.jurna/ fi/safat Me;'95
para ahIi pendidikan Islam-- menunjukkabahwa proses pendidikan agama Islam lebbanyak terkonsentrasi pada persoalalpersoalan teoritis keagamaan yang bersifikognitif semata serta amalan-amalaibadah praktis. Pendidikan agama Islarterasa sangat kurang terkait atau kuranlbegitu concern terhadap persoalalbagaimana mengubah pengetahuan agam~
yang bersifat kognitif tersehut menjadittmalena tt dan ttnilai tt yang perIu diintemaIisasikan dalam diri seseorang lewatberbagai cara media dan forum, untukkemudian "makna" dan ttnilai" yang telahterkunyah dan terhayati tersebut dapatmenjadi sumber motivasi bagi anak didikuDtuk bergerak-berbuat-berj>erilaku secarakonkrit-agamis dalam wilayah kehidupanpraktis sehari-han. .
Isu kenakalan remaja, perkelahianpelajar, tindak kekerasan, ·premanisme,white collar crime (kejahatan kerah putih),konsumsi minuman keras, konsumsi ohatobatan terlarang, pergaulan muda-mudi,etika berlalulintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang semakinhari semakin menjadi-jadi dan samakinrumit, dan sebagainya memang bukanlahtanggungjawab para pen-didik agamasecara langsung. Tetapi sejauh manasemua itu juga ada keterkaitannya denganpola metodologi pengajaran agama yangselarna ini berjalan secara konvensionaltradisional, dan belum pemah ada penelitian yang cukup representatif dalam wilayah mi. Mungkin ada anggapan bahwa halhal tersebut di atas terlalu jauh untuk dapatdikait-kaitkan dengan persoalan keagamaanIslam "klasik", sehingga tidak perlu puladiperhatikan dalam the body of knowledgeilmu pendidikan Islam ttkontemporer tt .
14
PadibaI untuk era kontemporer seperti saatsetarang mi, persoalan-persoalan sepertiitulah yang menjadi sumber insekuritas danillstabilitas pribadi, ..¥Iuarga maupunmasyarakat, sehingga tidak bisa tidak pastiterkait dan mempunyai nilai-nilai spiritualk~agamaan Islam yang sangat prima.Bentuk-bentuk pertanyaan soal ujianagama Islam, baik dalam EBTANASmaupun ujian semesteran adalab merupakan contoh konkrit aspek mana dari pendidikan Islam di tanah air yang mendapatprioritas lebih. luga bentuk-bentuk perta
nyaan mis keagamaan yang disiarkan olehtelivisi-telivisi swasta ditanah air sangatlahdidominasi oleh dimensi kognitif. Jarangpertanyaan yang diajukan mempunyaibobot muatan "nilai-nilai" dan "maknamalena" spiritual keagamaan Islam, yangbersifat fungsional dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Dengan target, tujuan dan cara yangditempuh seperti·saat sekarang ini, mungkin anak· didik akan dapat memperolehnilai rapor yang tinggi disekolahan, tetapiia dan teman-teman kurang merasa terbantu untuk dapat mengatasi persoalan-persoaIan budaya modernitas yang menggoda danmengganggunya dalam kehidupannyasehari-hari.
lika pengamatan ini dikawinkandengan kerangka tinjauan epistemologis,maka pendidikan agama Islam y·ang sekarang ini berjalan, agalmya, lebih menitikberatkan pada pendekatan naturalistikpositivistik,6) ya jenis pendekatan keilmuanyang lebih menitik beratkan pada aspekkoherensi-kognitif -<dengan indikator, dapatterjawabnya berbagai pertanyaan pengetah~ agama yang bahannya sudah disusundan tersistimatisasikan. sebelumnya sede-
@ jurnal filsafat Me;'95
mikian rupa), tanpa begitu banyak: menyentuh wilayah moralitas-praktis. Atausetingkat lebih tinggi --penulis sendiritidak tahu persis apakah tingkatan inibenar-benar lebih tinggi atau tidak daribentuk pengetahuan yang pertama- yakni,menitik beratkan pada aspek Icorespondensi-tekstual yang lebih menekankan padakemampuan anak didik untuk menghapal
teks-teks keagamaan yang yang sudahada.?)
Titik tekan hanya terbatas pada adatidaknya persesuaian antara praktek-prak:
tek ibadah mahdlah --yang seringkaliterbatas pada amalan-amalan praktis-dengan teks-teks kitab suci atau haditsyang sudah ada atau bahkan dengan kitabkitab Fikih klasik pada mazhab tertentu,namun kurang begitu mencermati apakahapa yang diperoleh anak didik lewat keduacara tersebut di atas dapat bersifatjungsional-praktis dalam segala aspek kehidupan, sehingga benar-benar menjadi wayoflife yang dapat menjadi pembimbing dansumber motivasi yang kuat untuk dapatberbuat dan berperilaku sosial-agamisdalam kehidupan sehari-han atau tidak.
Tanpa mengurangi sedikitpunjeriltpayah para pendidik agama Islam·di sekolah-sekolah, masjid-masjid, majlis-majlistaklim, rumah-rumah ibadah, dan dirumah-rumah, tetapi metodologi pendidikan agama yang tidak kunjung berubahantara era pre (sebelum) dan post (sesudah) era modernitas memang sedangdipe·rtanyakan oleh banyak kalangan.Asumsi dasar bahwa problematika, tantangan, tema-tema dan isu-isu modernitasmemang amatlah berbeda dari problematika, tantangan, iso-isu dan persoalan yangdihadapi oleh umat Islam pada era pra
15
modemitas, agaknya, memang cukup seba
gai alasan untuk mempertanyakan, meninjau ulang serta mendiskusikan kembalipersoalan-persoalan yang terkait denganmetodologi pendidi)(fUl Islam. Ungkapan
Rahman bahwa al-Qur'an bukanlah untukTuhan tetapi sepenuhnya untuk manusiamempnnyai reIevansinya disini. 8) Dengan .begi-tu, diskusi-diskusi tentang problemasosial-keagamaan yang dihadapi olehmanusia pada era modernitas sepertikriminalitas, white collar crime, kesenjangan sosial, penggusuran tanab, keadi-
lan, hak asasi manusia, hak-hak warganegara, yang dapat membangkitkanpemikiran kritis perIulah juga disinggungdalam ruang lingkup pendidikan agama
Islam. Pengajaran agama yang bersandarkepada bentuk metodologi yang bersifatstatis-indokrinatif-doktriner, agaknya,tidaklah begitu menarik bagi anak didik
dan sekaligus tidak mengantarkan anakdidik sampai pada tahapan afeksi jangan
kan sampai pada tahapan psikomotorik.Dalam pola metodologi pendidikan
dan .pengajaran agama yang bersifat"doktriner" dan "indoktrinatif" semata
mata, besar kemungkinan anak didik sudahme-ngetahui jawabannya lewat berbagai
forum diluar kelas/bangku kuli.ah. Baikdalam forum khutbah Jum'at, pengajian,majlis taklim dan lain sebagainya. likapara guro dan dosen agama mengulanginya
lagi di kelas dan di bangku kuliah,makapelajaran dan kuliab agamaIslam amatlahtidak menarik. Jika telah kehilangan dayatarik, maka kekuatan pendidikan agama
tinggal bertumpu pada fonnalitas kekuatan
undang-uildang pendidikan nasional yangmencantumkan "agama" sebagai matapelajaran .~ajib atau matak~liahdasar
@ jurnal filsafat Mei'95
umum (MKDU) dengan silabi dan kuriku
lum yang telah tersusun rapi dan SKmengajar ito sendiri.
Agar pendidikan agama tidak kehilangan daya tarik maka perlu diangkat
topik-topik, isu-isu, tema-tema dan
problema-problema sosial-keagamaan dan
problema-sosial kemasyarakatan yangknnkrit dan relevan sehingga problemaproblema tersebut dapat berbicara dengansendirinya, tanpa berpretensi untukmenggurui. Dalam sistem dan cara ini,anak didik dan para mahasiswa merasa di
wong-ne (dipedulikan dan dihargai eksistensinya), dan terasa pula lebih demokratis. Dalam pengalaman di lapangan, guruguru dan dosen -dosen yang bersi fatdemokratis jauh lebih dekat dengan mahasiswa dan anak didikpun merasa terbimbing dan memperoleh sesuatu yangberharga dan menyentuh dari guru dan
dosen tersebut.Dalam proses saling tukar menukar
argumen, anak didik sekaligus dibiasakanberpikir dan menginternalisasikan nilai
nilai dimaksud. Yang jelas para guru dandosen agama tidak perIn menunjukkanotoritas dan keotoriterannya, lantaranmerasa bahwa "agama" sangat dibutuhkan
oleh anak didik dan mahasiswa untukmengisi rapor dan memenuhi SKS yangbersifat pokok, tanpa memikirkan apakahyan"g disampaikan itu relevan dengan
tuntutan dan tantangan jaman atau tidak.
Metodologi lebih penting dan lebihstrategis dari pada materi perkuliahan(aI-Tariqatu ahammu minal madah)
Prinsip-prinsip dasar keberagamaan
Islam yang tercakup dalam Iman-Islam dan
Ihsan, sebenarnya, sedari dahulu dan
16
sampai kapanpun jua adalab akan tetapsama seperti itu adanya, sedang kondisi'sosial-kemasya- rakatan perkembanganekonomi, fluktuasi si~i politik, perkembangan ilmu dan tekn6f~gi tidak mengenaltitik henti.
Dalam witayah pertama, yakni prinsip-prinsip dasar keberagamaan Islam,perlu didekati secara doktriner tetapidalam witayah yang kedua perlu didekatisecara scientific. Pendidikan danpengajaran agama yang diberikan secaradoktriner dan cUkup puas untuk terhentisampai·disitu, akan cepat membosankandan tidak menarik bagi anak didik dangenerasi muda pada umumnya yang telahmengenal berbagai cabang keilmuanempiris, baik dalam wilayah naturalsciences maupun wilayab behaviou-ralsciences. Namun pendekatan yang kedua,yang bersifat scientific, mungkin untuk .
sementara waletu cukup menarik bagi 80*didik, tetapi pada klimaksnyajuga tidakdapat membentuk sikap hidup dan pan-'dangan hidup yang jelas. Telaah scientiflk,supaya lebih bermakna dan berbobotharuslah pula dibarengi oleh pendekatandoktriner-religius dengan pengbay~tan
nilai-nilai tasawwuf.
Apakab pendidikan dan pengajaranagama dan ter- lebih-Iebih lagi motodologinya telah teramu sedemikian rupa sehingga menjadi perpaduan yang harmonisantara doktriner-scientifik, --sebinggaaspek kognitif, afektif, dan psikomotoriktersaji dalam satu kesatuan yang utuh lewatberbagai diskusi yang melibatkan partisipasi anak didik secara aktif-responsif-merupakan tugas dan pekerjaan rumahpara a~i pendidikan Islam pada era sekarang ini. Manusia Muslim pada era seka-
@-jumal fi/safat Mei'95
rang berhak sepenuhnya untuk merekonstruksi pengalamannya sendiri untukmenyusun kembali model metodologipendidikan dan pengajaran agama yangdikehendaki oleh jamanoya. Pengamatansekilas menunjukkan bahwa para ahlipendidikan agama Islam belum begitu siap,karena keterlibatannya dalam rutinitasproses ajar-mengajar setiap hari. Presesajar-mengajar yang temyata terlalu banyaktersita oleh aspek kognitif tersebut di alas.Proses intemalisasi nilai-nilai agama lewatforum diskusi dan tanya jawab didalamkelas/bangku kuliah belum cUkup terperhatikan oleh buku-buku teks keagamaanIslam. Salah satu indikatornya adalahbelum adanya bahan diskusi dalam setiapakhir topik bahasan buku-buku keislamanyang ada. Kalaupun ada, sifatnya masihsangatterbatas pada aspek kognisi danbukan pada dataran afeksi dan psikomotorik. Bukan pula pada proses problemsolving secara demokratis-egaliter.
Dengan memberi bobot muatan sosial-keagamaan (dimensi bjstoris-empirisscientific), seorang guru dan dosen agamadiharapkan berperan sebagai orang yangjuga tekun membaca situasi dan perkem-bangan masyarakat dan lingkungan sekitamya. Bukan sekedar sebagai pembacaatau penyampai teks-teks keagamaan danbukan pula sekedar sebagai trasmiterbahan-bahan keagamaan klasik yangmemang telah berjasa pada jamannya,tetapi belum tentu dapat diterapkan begitusaja adanya pada era sekarang ini. Filsafatpendidikan Isiam masih perlu dicarikanrumusan dan "mqdus operandi"nya yanglebih tepat untuk situasijaman yang penubdengan perubahan tata nilai ini. Denganbegitu pula akan tergambar bahwa
17
"metodologi" penyampaian materi pen
didikan agama Islam jauh lebih pentingdari pada "materi"nya itu sendiri.
. Telaah epistemologis terhadap ran
cang bangun metodologi pendidikan Islam
selalu diperlukan setiap saat, kalau saja
kita mempunyai asumsi dasar bahwakegiatan pendidikan pada umumnya danpendidikan agama Islam khususnya adalahserupa atau mirip-mirip dengan barangkomoditi yang perlu dipasarkan dengan
cara-cara yang canggih dan simpatik.
Untuk itu kaidah-kaidah "pemasaran"
yang menarik perlu dipelajari. Denganbegitu, diperlukan managemen dan men
talitas penyelenggaraan pendidikan Islam
yang tidak bersandar pada pola pemikiranyang bersifat pasif-reseptif repeatatif,tetapi diperlukan pola berpikir dan mentalitas yang kreatif-dinamis-inovatif.
Wallahu a'lamu bi al-sawab.
catatan kaki:
1JHaroid H. Titus dkk., Persoa/anpersos/an Fi/safat, terjemahan Prof. Dr.H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1984)h. 199-208, 237-44.
2J M• Arkoun, Tarikhiyyatu a/-Fikri a/Araby a/-Is/amy, terjemahan Hasim Saleh,(Beirut: Markaz al-inma' al-qaumy, 1986), h.
118; juga A/-Islam: al-Akh/aq wa a/-Siya-sah; terjemahan Hasim Saleh (Beirut:MArkaz: al-unma' al qaumy, 1990) h. 1723. Bandingkan artikel penulis "Studi-StudiIslam Sudut Pandang Filsafat" Islamika, No.6, 1994, h. 67-76.
3'Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: TheUniversity of Chicago Press, 1979), h. 191.
4)Bandingkan artikel penulis "AspekEpistemologis Filasafat Islam" dalam IrmaFatimah(Ed.}, Filsafat /slam: Kajian Ont%gis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,Prospektif, (Yogyakarta: lembaga Studi
@ jurna/ fi/safat Mei'95
Filsafat Islam, 1992), h. 28-48.SJLebih lanjut tentang konsep ketiga teori
tersebut dapat ditelaah Ora. I.L. Pasaribudan Drs. B. Simandjuntak, S.H., ProsesBe/ajar Mangajar; (Bandung: Tarsito, 1983),
h. 42-49; Juga Nurhida Amir DAS, "Ana/isTugas dan Jenjang Be/ajar fda/am rangkaPengembangan Sistem /nstruksional)" h. 10-13, dalam bahan penataran-LokakaryaTahap II Proyek Pengembangan PendidikanGuru (P3G), Departemen Pendidikan danKebudayaan Jakarta, 1981.
6Jperbedaan corak pendekatan keilmuan
natu.ra lis t i k -p 0 sit ivis t i k dan hum anist ik hermenitik dapat dibaca lebih lanjut dalamGerard Radnitzky, Contemparary school ofMetascience, (Swedia : Berlingska Boktryckeriet, 1970), h. xxxv-xl.
7)Fazlur Rahman menggunakan istilah
"memory-work" dan "Ie.arning by rote".Lebih lanjut Loc. Cit.
8)Fazlur Rahman, Tema Pokok-Pokok a/Qur'an, terjemah Anas Mahyuddin, (Jakarta:Pustaka,1983)
8