Upload
phamthuan
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN PAPARAN DEBU VULKANIK DARI LAHAR DINGIN
GUNUNG MERAPI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI
KECAMATAN SALAM, MAGELANG
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
A. FANI CHRISANTI
G0008001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Paparan Debu Vulkanik dari Lahar Dingin
Gunung Merapi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Salam,
Magelang
A. Fani Chrisanti, G0008001, Tahun 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Kamis, Tanggal 8 Desember 2011
Pembimbing Utama Penguji Utama
Suparman, dr., M.Kes Sumardiyono, SKM, M.Kes
NIP : 19541018 198503 1 001 NIP : 19650706 198803 1 002
Pembimbing Pedamping Anggota Penguji
Riza Novierta Pesik, dr., M.Kes Anik Lestari, dr., M.Kes
NIP : 19651117 199702 2 001 NIP : 19680805 200112 2 001
Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M.Kes
NIP : 19660702 199802 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 28 November 2011
A. FANI CHRISANTI
G0008001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK A.Fani Chrisanti, G0008001, 2011. Hubungan Paparan Debu Vulkanik dari Lahar Dingin Gunung Merapi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Salam, Magelang. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Salam, Magelang. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan bulan Mei-Juli 2011 di Kecamatan Salam, Magelang dengan besar sampel sebanyak 90 balita yang diambil secara simple random sampling pada balita yang terpapar debu vulkanik di Kecamatan Salam, Magelang. Data diperoleh dari pengisian kuesioner. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis dengan program Statistic Products and Service Solution (SPSS) for Windows 17.0 menggunakan model analisis regresi logistik. Hasil Penelitian Pada model analisis regresi logistik diperoleh hubungan antara paparan debu vulkanik dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p sebesar 0,041 (p < 0,05) dan nilai Nagelkerke R square sebesar 0,356. Studi ini juga menunjukkan nilai koefisien korelasi positif sebesar 1,079 yang berarti bahwa paparan debu vulkanik menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita. Simpulan Penelitian Terdapat hubungan antara paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Salam, Magelang. Kata kunci: paparan debu vulkanik dari lahar dingin, kejadian ISPA balita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT A.Fani Chrisanti, G0008001, 2011. The Correlation between Volcanic Dust Exposure of Mt. Merapi’s Cold Lava with ISPA Prevalence in Toddlers in Kecamatan Salam, Magelang. Script. Faculty of Medicine Sebelas Maret University, Surakarta. Objective This survey was carried out to determine the correlation between Volcanic Dust of Mt. Merapi’s Lava with ISPA Prevalence in Toddlers in Kecamatan Salam, Magelang. Method This analytic observasional survey uses cross-sectional method, was held in May – July 2011 in Kecamatan Salam, Magelang. Ninety toddlers were selected by simple random sampling in toddlers who exposed to volcanic dust in Kecamatan Salam, Magelang. Data collected through questionnaire, presented in table form and analyzed by SPSS for Windows 17.0 using logistic regression test. Result Statistic examine by logistic regression test reveals the relation between volcanic dust exposure with ISPA prevalence, results p = 0,041 (p < 0,05) and Nagelkerke R square’s value 0,356. This survey shows positive correlation coefficient 1,079 which means volcanic dust exposure is risk factor for ISPA in toddlers as well. Conclusion There is a correlation between volcanic dust exposure of Mt. Merapi’s cold lava with ISPA prevalence in toddlers in Kecamatan Salam, Magelang. Keywords: volcanic dust exposure of cold lava, ISPA prevalence in toddlers.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Paparan Debu Vulkanik dari Lahar Dingin Gunung Merapi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Salam, Magelang”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Tuhan YME melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Sebelas
Maret Surakarta. 3. Suparman, dr., M.Kes., selaku Pembimbing Utama yang telah memberi
bimbingan dan saran guna penyusunan skripsi ini. 4. Riza Novierta Pesik, dr., M.Kes., selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberi bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis. 5. Sumardiyono, SKM, M.Kes., selaku Penguji Utama yang telah saran, nasehat,
dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 6. Anik Lestari, dr., M.Kes., selaku Anggota Penguji yang telah memberi masukan
dalam melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 7. Ayahanda Petrus Fembrianto, ibunda Suparni, kakak-kakakku Rike Artha Aprilia
dan Cicilia Fara Glorensi yang telah banyak memberikan semangat dan doa dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran.
8. Bagian skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
9. Segenap Staf Laboratorium Ilmu Kedokteran Masyarakat Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik serta saran untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi semua.
Surakarta, 28 November 2011
A. Fani Chrisanti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA……. ...................................................................................................... ...vi
DAFTAR ISI….. ...................................................................................................... ..vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... .viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ ....x
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... ....1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... ....1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... ....4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ ....4
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. ....4
BAB II LANDASAN TEORI......................... ....................................................... ....6
A. Tinjauan Pustaka.................. ............................................................... ....6
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ ..30
C. Hipotesis.............................................................................................. ..30
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... ..31
A. Jenis Penelitian .................................................................................... ..31
B. Lokasi Penelitian ................................................................................. ..31
C. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... ..31
D. Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... ..32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
E. Definisi Operasional Variabel................................................................32
F. Instrumen Penelitian ........................................................................... ..35
G. Rancangan Penelitian .......................................................................... ..36
H. Teknik Analisis Data Statistik............................................................. ..36
BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................................. ..38
A. Hasil Analisis Deskrpitif ..................................................................... ..38
B. Hasil Analisis Multivariat ................................................................... ..43
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... ..48
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...................................................................... ..50
A. Simpulan ............................................................................................. ..50
B. Saran.................................................................................................... ..51
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. ..52
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
DAFTAR TABEL
Grafik 4.1 Distribusi Balita berdasarkan Variabel yang Diteliti...........................43
Tabel 4.1 Distribusi Balita Menurut Banyaknya Terpapar Debu Vulkanik........38
Tabel 4.2 Distribusi Balita Menurut Terpapar Tidaknya Asap Rokok................39
Tabel 4.3 Distribusi Balita Menurut Terpapar Tidaknya Asap Bahan Bakar
Memasak…………………..................................................................40
Tabel 4.4 Distribusi Balita Menurut Berat Lahir.................................................40
Tabel 4.5 Distribusi Balita Menurut Pemberian ASI...........................................41
Tabel 4.6 Distribusi Balita Menurut Pemberian Imunisasi DPT dan Campak....41
Tabel 4.7 Distribusi Balita Menurut Kejadian ISPA...........................................42
Tabel 4.8 Hasil Analisis Regresi Logistik Hubungan Variabel Bebas dengan
Terjadinya ISPA pada Balita...............................................................44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penampakan Abu Vulkanik………………………...............................7
Gambar 2.2 Silika (SiO2 atau Pasir Kuarsa) dalam Ukuran Dipebesar.....................8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang tergolong rawan
bencana alam. Di Indonesia banyak ditemui gunung api yang aktif. Banyaknya
gunung api yang masih aktif merupakan potensi munculnya bencana gempa
bumi, awan panas, lahar panas, banjir lahar dingin, dan letusan gunung berapi.
Gunung Merapi adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan
merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia.
Bencana akibat erupsi dan letusan Gunung Merapi menyebabkan situasi
kedaruratan di semua aspek kehidupan. Ketika meletus, Gunung Merapi
mengeluarkan partikel-partikel yang berbahaya diantaranya gas beracun, lahar
panas, awan panas, partikel debu, dan batu-batuan (Fahmi, 2008). Selain itu,
bahaya sekunder dari letusan Gunung Merapi masih mengancam hingga
beberapa tahun ke depan. Bahaya sekunder tersebut adalah banjir lahar dingin
yang mengancam masyarakat di bantaran sungai yang berhulu di Gunung
Merapi (Yulianingsih, 2011). Bahaya lahar dingin dari materi vulkanik hasil
erupsi Gunung Merapi akan berlangsung dalam waktu yang lama. Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian memperkirakan
ancaman banjir lahar dingin bisa mencapai lebih dari satu tahun. Sekitar 80 %
dari 130-150 juta meter kubik material lahar dingin akibat erupsi Gunung
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Merapi tahun 2010 belum meluncur. Material sebanyak itu tidak akan habis
dalam 2-3 musim hujan ke depan (Wahono, 2010).
Balita adalah anak yang berusia di bawah lima tahun dan generasi yang
perlu mendapat perhatian karena balita merupakan generasi penerus dan
modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa. Balita diharapkan tumbuh dan
berkembang dalam keadaan sehat jasmani, rohani, dan sosial, bukan hanya
bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan
masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan kematian pada balita masih
cukup tinggi diantaranya dikarenakan balita yang masih amat peka terhadap
penyakit (Ditjen PPM dan PL, 2002).
Usia balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih tinggi pada balita di negara
berkembang (Soetjiningsih, 1995).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di
negara berkembang adalah 15-20 % pertahun dengan angka kematian balita di
atas 40 per 1000 kelahiran hidup. Menurut WHO, kurang lebih ada 13 juta
anak balita di dunia meninggal setiap tahun akibat ISPA dan sebagian besar
kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Depkes RI, 2002).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan karena masih
tingginya angka kejadian ISPA terutama pada balita. Proporsi kematian akibat
ISPA di Indonesia tahun 1998 mencakup 20-30 % dari seluruh kematian balita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(Depkes RI, 2000). Selain itu, ISPA juga termasuk dalam daftar sepuluh
penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh
Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA atau pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,3 % dari
seluruh kematian balita (Depkes RI, 2002).
Menurut data dari Kecamatan Salam, Magelang dan pengungsian Desa
Jumoyo, Salam, banjir lahar dingin di Kali Pabelan dan Kali Putih, Magelang,
menyebabkan sebanyak 4.187 warga mengungsi. Mereka berasal dari
Kecamatan Salam, Srumbung, Mungkid dan Muntilan. Materi vulkanik yang
berasal dari lahar dingin Gunung Merapi dapat menyebabkan beberapa
masalah, salah satunya adalah masalah kesehatan. Penyakit ISPA menjadi
penyakit tersering yang menjangkiti para pengungsi di Magelang. Dari 4.187
warga yang mengungsi, 452 diantaranya adalah bayi dan balita dari
Kecamatan Salam, Magelang. Dari 452 bayi dan balita yang mengungsi
tersebut, 45 diantaranya menderita ISPA. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa prevalensi kejadian ISPA pada bayi dan balita di
Kecamatan Salam, Magelang mencapai 10 % (Wahono, 2010). Berdasarkan
uraian diatas, maka peneliti ingin mengadakan penelitian untuk mengetahui
hubungan paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi dengan
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Salam, Magelang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara paparan debu vulkanik dari lahar dingin
Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Salam,
Magelang?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya hubungan antara paparan debu vulkanik dari
lahar dingin Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan
Salam, Magelang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Mendeskripsikan paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung
Merapi
b. Mendeskripsikan kejadian ISPA pada balita
c. Mendeskripsikan paparan asap rokok, paparan asap bahan bakar
memasak, berat bayi lahir, pemberian ASI eksklusif, dan status
imunisasi DPT dan campak
d. Menganalisis hubungan paparan debu vulkanik dari lahar dingin
Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita
e. Menganalisis hubungan paparan debu vulkanik dari lahar dingin
Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita dengan
mengendalikan paparan asap rokok, paparan asap bahan bakar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
memasak, berat bayi lahir, pemberian ASI eksklusif, dan status
imunisasi DPT dan campak.
2. Manfaat aplikatif
a. Dengan diketahuinya hubungan antara paparan debu vulkanik dari
lahar dingin Gunung Merapi dengan kejadian ISPA pada balita maka
dapat diupayakan pencegahan atau deteksi dini, penanggulangan, dan
pengobatan penyakit ISPA yang tepat terutama pada balita akibat
bencana gunung berapi mengingat kondisi geografis Indonesia yang
memiliki banyak gunung berapi, sehingga dapat menurunkan kejadian
ISPA di lingkungan Salam, Magelang.
b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk
penelitian selanjutnya mengenai ISPA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Debu Vulkanik
Setiap semburan abu vulkanik mengandung senyawa kimia yang
mengancam kesehatan manusia. Senyawa tersebut diantaranya Silika
dioksida (SiO2) 54,56 %, Alumunium oksida (Al2O3) 18,37 %, Ferri
oksida (Fe2O3) 18,59 %, dan Kalium oksida (CaO) 8,33 %. Selain itu,
gunung berapi umumnya juga menyemburkan uap air (H2O), Karbon
dioksida (CO2), Sulfur dioksida (SO2), Asam klorida (HCl), dan Asam
fluorida (HF) ke atmosfer. Ada juga unsur lain seperti seng, kadmium, dan
timah, tapi dalam konsentrasi yang lebih rendah.
Silika adalah kandungan yang paling dominan dan paling berbahaya.
Silika (SiO2 atau pasir kuarsa) biasa digunakan untuk membuat gelas.
Bentuk pasir kuarsa itu tidak bulat layaknya debu biasa. Di bawah
mikroskop, silika itu tampak berujung runcing. Silika memiliki efek
jangka pendek dan jangka panjang bagi kesehatan manusia. Efek jangka
pendek mulai dari iritasi kulit, iritasi mata hingga sesak napas. Hal ini
karena silika memiliki struktur kristal yang secara mikroskopis terlihat
tajam-tajam. Inilah mengapa jika terkena jaringan yang sangat sensitif
seperti mata, kemudian tanpa sengaja menggosok-gosok, maka iritasi mata
akan segera terjadi (Bolly, 2010).
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Selain komposisi di dalam materi abu vulkanik yang sangat
berbahaya, suhu panas dan gas-gas beracun yang mungkin ikut keluar
bersama abu vulkanik juga berbahaya bagi kesehatan (Taufik M, 2010).
Gambar 2.1
Penampakan Abu Vulkanik
Sumber: Bolly, 2010 (http://www.garutkab.go.id/
download_files/article/Bahaya%20Silikosis%20Abu%20Vulkanik.pdf)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Gambar 2.2
Silika (SiO2 atau Pasir Kuarsa) dalam Ukuran Diperbesar
Sumber: Bolly, 2010 (http://www.garutkab.go.id/
download_files/article/Bahaya%20Silikosis%20Abu%20Vulkanik.pdf)
2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
a. Pengertian ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan
Akut. Istilah ini diadaptasi dari istilah bahasa Inggris Acute
Respiratory Infections (ARI), akan tetapi sering disalahartikan sebagai
infeksi saluran pernapasan atas. Secara anatomis, ISPA mencakup
saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah, dan
organ adneksa saluran pernapasan (Depkes RI, 2009). Menurut Depkes
RI (1998), istilah ISPA meliput tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan, dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah
infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang digolongkan dalam ISPA dapat berlangsung lebih dari 14 hari
(Silalahi, 2004). Dengan demikian, ISPA adalah infeksi saluran
pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara
klinis suatu tanda atau gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap
bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan
saluran pernapasan.
Menurut Corwin (2001), ISPA adalah infeksi yang disebabkan
oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang
tenggorokan, dan laringitis.
b. Klasifikasi ISPA
Penyakit ISPA dapat diketahui menurut:
1) Lokasi anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi
anatominya, yaitu: ISPA atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas
adalah batuk pilek (common cold), faringitis, tonsilitis, otitis,
fluselesmas, radang tenggorokan,sinusitis, dan lain-lain yang relatif
tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya adalah pneumonia yang
sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian (Eric A et
al, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2) Klasifikasi penyakit
Depkes membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-
tanda klinis yang didapat yaitu :
a) Untuk anak umur 2 bulan-5 tahun, diklasifikasikan menjadi :
v Pneumonia berat, tanda: tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, gizi buruk, adanya tarikan
dinding dada ke dalam, napas cuping hidung, suara
rintihan, dan sianosis (pucat). Hal ini terjadi bila paru-paru
menjadi kaku sehingga mengakibatkan perlunya tenaga
untuk menarik napas.
v Pneumonia tidak berat, tanda: tidak ada tarikan dinding
dada ke dalam disertai napas cepat lebih dari 50 kali/menit
untuk usia 2 bulan-1 tahun atau lebih dari 40 kali/menit
untuk usia 1-5 tahun.
v Bukan pneumonia, tanda: tidak ada tarikan dinding dada ke
dalam, tidak ada napas cepat yaitu kurang dari 50
kali/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun atau kurang dari
40 kali/menit untuk anak usia 1-5 tahun.
b) Untuk anak umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan
menjadi:
v Pneumonia, tanda: kurang bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, wheezing, demam, napas cepat dengan
frekuensi 60 kali/menit atau lebih, dan adanya tarikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
dinding dada.
v Bukan pneumonia, tanda: tidak ada napas cepat, tidak ada
tarikan dinding dada ke dalam (Depkes RI, 2002).
3) Tanda dan gejala
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bukan pneumonia
mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak
ditemukan adanya gejala peningkatan frekuensi napas (napas
cepat) dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (Dirjen PPM & PLP, 2002). Dengan demikian, klasifikasi
bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar
pneumonia seperti batuk pilek dan demam biasa (common cold),
radang tenggorokan, tonsilitis, otitis atau penyakit ISPA non
pneumonia lainnya (Dirjen PPM & PLP, 2001).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pneumonia
mencakup kelompok penderita dengan batuk dan/atau kesukaran
bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur. Batas napas
cepat (fast breathing) pada anak usia < 2 bulan adalah 50 kali atau
lebih per menit sedangkan untuk anak usia 2 bulan-5 tahun adalah
40 kali atau lebih per menit (Kartasasmita, 2002).
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk
dan/atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak
usia 2 bulan-5 tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast
breathing) dimana frekuensi napas 60 kali per menit atau lebih
dan/atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah
ke dalam (severe chest indrawing) (Misnadiarly, 2008).
Pada umumnya, suatu penyakit saluran pernapasan dimulai
dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam
perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan
bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan
pernapasan dan mungkin meninggal.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda
klinis dan tanda-tanda laboratoris:
a) Tanda-tanda klinis:
v Pada sistem respiratorik: tachypnea, napas tak teratur
(apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung,
sianosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir
dan wheezing.
v Pada sistem kardial: tachycardia, bradycardia, hipertensi,
hipotensi dan cardiac arrest.
v Pada sistem cerebral: gelisah, mudah terangsang, sakit
kepala, bingung, kejang dan koma.
v Pada hal umum: letih dan berkeringat banyak.
b) Tanda-tanda laboratoris:
v Hipoksemia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
v Hiperkapnia
v Asidosis (metabolik dan atau respiratorik)
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan
sampai 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor dan gizi buruk. Sedangkan tanda bahaya
pada anak golongan umur < 2 bulan adalah kurang bisa
minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang
dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang,
kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam dan dingin
(Dirjen PPM & PLP, 2001).
4) Penyebab terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab
seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA
bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA
bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan
mycoplasma (Goh et al, 1999).
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
Streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella
dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain. Mycoplasma penyebab
ISPA adalah Koksiela burnetti. Jamur penyebab ISPA adalah
Kokiodoides imitis, Histoplasma kapsulatum, Blastomises
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dermatitidis, Aspergilus, dan Fikomesetes. Di negara-negara
berkembang umumnya kuman penyebab ISPA adalah
Sreptococcus pneumonia dan Haemopylus influenza (Silalahi,
2008).
5) Cara penularan ISPA
Mode penularan adalah suatu mekanisme dimana agen
penyebab penyakit tersebut ditularkan dari orang ke orang lain, atau
dari reservoir kepada induk semang baru. Penularan ISPA bisa
melalui berbagai cara antara lain:
a) Kontak (contact)
Terjadi kontak langsung maupun tak langsung melalui
benda-benda terkontaminasi. Penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup
berdekat-dekatan, cenderung terjadi di kota daripada di desa yang
penduduknya masih jarang.
b) Inhalasi (inhalation)
Inhalasi yaitu penularan melalui udara atau pernapasan.
Oleh karena itu, ventilasi rumah yang kurang dan tempat-tempat
umum adalah faktor yang sangat penting di dalam epidemiologi
penyakit. Penyakit yang ditularkan melalui udara ini sering
disebut “air borne infection” (penyakit yang ditularkan melalui
udara).
c) Infeksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
d) Penularan melalui tangan, makanan, dan minuman (Notoatmojo,
1997).
6) Faktor risiko ISPA
a) Faktor lingkungan
Asap rokok mengakibatkan rusaknya epitel bronkus yaitu
kehilangan silia dan gangguan transpor mukosilier. Hipertrofi
dan hipersekresi sel-sel goblet terjadi pada kelenjar jalan napas.
Sel-sel epitel mengalami erosi sehingga menyebabkan
terjadinya infeksi. Pada jaringan paru terjadi penurunan kadar
surfaktan sehingga alveoli mudah kolaps dan terjadi infeksi
(Witono, 1993).
Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.
Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya
kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan
kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain (Widjaja,
1993). Menurut penelitian Ike Suhandayani (2007), ada
hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita (p = 0,00 < 0,05; OR = 4,63
dan 95% CI = 2,04-10,52).
b) Cuaca dan iklim
Di negara tropis yang mempunyai dua musim, penyakit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
ISPA terjadi dua atau tiga kali lebih sering pada musim hujan.
Saat musim kemarau dimana kekeringan meluas dengan
banyaknya debu yang bertebaran di jalan juga akan
meningkatkan kejadian ISPA.
c) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5
kategori yaitu 3,9 m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang,
7-8 m2/orang, dan 9 m2/orang. Dikatakan padat jika luas lantai
rumah 3,9 m2/orang dan tidak padat jika luas lantai rumah 7
m2/orang. Menurut penelitian yang dilakukan Gani (2004) di
Sumatera Selatan, ditemukan kejadian pneumonia pada balita
lebih besar pada balita yang tinggal di rumah yang padat
dibandingkan dengan yang tidak padat.
d) Perilaku hidup bersih dan sehat
Pelaksanaan PHBS adalah wujud keberdayaan
masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktikkan
PHBS. Semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan
aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan dalam mewujudkan
kesehatan masyarakat. Dengan demikian, perilaku tidak bersih
dan tidak sehat dapat meningkatkan kejadian penyakit
diantaranya penyakit ISPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
e) Geografi
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah
endemik beberapa penyakit infeksi. Pengaruh geografis
mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian
penderita akibat ISPA.
f) Kondisi ekonomi dan pendidikan
Status sosial ekonomi diantaranya unsur pendidikan, serta
penghasilan keluarga, juga berperan penting dalam
menciptakan rumah sehat. Tingkat pendidikan masyarakat
berkaitan erat dengan perolehan pekerjaan layak bagi orang tua.
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan hasil yang
diperoleh juga rendah atau pas-pasan. Tingkat penghasilan
yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan
fasilitas rumah yang baik, perawatan kesehatan dan gizi anak
yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan
daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit
infeksi termasuk ISPA (Amin, 1989; Menkes, 2002; Dinkes,
2005).
g) Faktor individu anak
v Umur
Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh
karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi
kurang gizi. Kebanyakan infeksi saluran pernapasan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi
kurang dari 1 tahun. Sejumlah studi yang besar
menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh
virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap
menurun terhadap usia. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yang terjadi pada bayi dan balita akan memberikan
gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan
orang dewasa karena bayi dan balita belum memiliki
kekebalan ilmiah (Soetjiningsih, 1995).
v Berat bayi lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi
dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat bayi
lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya
(Supariasa, 2001).
v Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling
cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi yang paling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
tinggi dibandingkan dengan makanan yang dibuat manusia
ataupun susu hewan seperti susu sapi (Soeharjo, 1992).
Menurut Rusli (2004), Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6
bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain apapun
termasuk air (obat-obatan dan vitamin yang tidak dilarutkan
dalam air mungkin dapat diberikan kalau dibutuhkan secara
medis). Bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih tahan
terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam
air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab
ISPA. Air Susu Ibu (ASI) bukan hanya sebagai sumber
nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat
antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa
faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem
biologis. Air Susu Ibu (ASI) dapat memberikan imunisasi
pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel
imunokompeten ke permukaan saluran pernapasan atas.
Menurut penelitian Ike Suhandayani (2007), ada hubungan
antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada
balita (p = 0,01 < 0,05; OR = 2,6 dan 95% CI = 1,24-5,46).
v Status imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA
yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Maka untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi tersebut lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah
dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT).
Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11%
kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan
imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat
dicegah (Said, 2007).
7) Patogenesis
Saluran pernapasan selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga dibutuhkan sistem pertahanan yang efektif dan efisien
(Amin, 1989).
Sistem pertahanan paru terhadap benda asing dibagi tiga,
yaitu:
a) Bentuk, struktur, dan kaliber saluran napas merupakan saringan
mekanik progresif terhadap udara. Iritasi mekanik dan kimia
merangsang reseptor saluran napas dan mengakibatkan
bronkokonstriksi sehingga mengurangi penetrasi gas toksik dan
partikel debu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
b) Lapisan cairan yang melapisi saluran napas dengan mekanisme
fisik dapat mengeluarkan benda asing di permukaan saluran
napas. Dengan gerakan silia, cairan itu bergerak ke arah luar
dikenal sebagai mucosiliary escalator. Cairan ini mengandung
zat yang bersifat detoksifikasi dan bakterisid. Di bagian perifer,
eksudasi lambat yang terjadi terus-menerus membersihkan
alveoli dan bronkiolus. Selain itu, makrofag alveolar
memfagosit partikel di permukaan alveoli.
c) Mekanisme pertahanan spesifik yaitu sistem imunitas di paru
yang berperan terhadap partikel aktif biokimia yang tertumpuk
di saluran napas. Sistem ini terdiri dari dua golongan yaitu
imunitas humoral dan imunitas seluler (Yunus, 1994).
Virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih banyak dalam mukosa
hidung daripada mukosa laring. Penyebaran virus terutama melalui
bahan sekresi hidung (Amin, 1989). Transmisi organisme melalui
penyegar udara, droplet, dan melalui tangan menjadi jalan masuk
bagi virus yang dapat menyebabkan ISPA. Hal ini dapat terjadi pada
kondisi yang penuh sesak (Mansjoer, 2004).
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa terjadinya infeksi
bakterial mudah terjadi pada saluran napas yang telah rusak sel-sel
epitel mukosanya yang disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu
(Amin, 1989).
Keutuhan gerak lapisan mukosa dan silia dapat terganggu oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
karena :
a) Asap rokok dan gas Sulfur dioksida (SO2) adalah polutan utama
penyebab pencemaran udara. Asap rokok atau polutan udara
merangsang sel makrofag dan neutrofil di paru menjadi aktif dan
memproduksi elastase dan kolagenase, yaitu enzim yang dapat
merusak serat-serat elastin dan kolagen. Di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim perusak (protease) dan enzim
pelindung (alfa 1 antitripsin). Bila kadar protease lebih banyak
akan terjadi kerusakan elastin sehingga alveoli dan asinus akan
kehilangan bentuknya karena serat elastin merupakan
kerangkanya. Selain itu, asap rokok juga menghambat kerja
proteksi alfa 1 antitripsin.
Merokok jangka lama dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas sehingga faal paru terganggu. Pengaruh asap
rokok mengakibatkan rusaknya epitel bronkus yang kehilangan
silia dan gangguan transpor mukosilier. Hipertrofi dan
hipersekresi sel-sel goblet terjadi pada kelenjar jalan napas. Sel-
sel epitel mengalami erosi sehingga menyebabkan terjadinya
infeksi. Pada jaringan paru terjadi penurunan kadar surfaktan
sehingga alveoli mudah kolaps dan mudah terjadi infeksi.
b) Sindrom imotil
c) Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).
(Widjaja, 1993; Witono, 1993; Amin, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gambaran klinik radang oleh karena infeksi sangat tergantung
pada :
a) Karakteristik inokulum
b) Besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan banyaknya
(jumlah) jasad renik yang masuk.
c) Daya tahan tubuh
Daya tahan tubuh terdiri dari utuhnya sel epitel mukosa dan gerak
mukosilia, makrofag alveoli, dan IgA. Antibodi setempat pada
saluran napas adalah IgA yang banyak terdapat di mukosa.
Kurangnya antibodi ini memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernapasan (Amin, 1989).
Menurut Mausner dan Kramer (1985), perjalanan alamiah
penyakit ISPA dibagi menjadi 5 tahap yaitu:
a) Tahap kerentanan
Pada tahap ini terjadi interaksi antara bibit penyakit,
penjamu dan lingkungan di luar tubuh, namun bentuk penyakit
belum terjadi dan beberapa keadaan dapat merupakan faktor
risiko terjadinya penyakit.
b) Tahap presimptomatik
Pada tahap kedua ini terjadi interaksi dari berbagai faktor
yang mengakibatkan perubahan-perubahan patogenik yang
masih di bawah garis horizon klinik.
c) Tahap penyakit klinis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pada tahap ini tanda-tanda atau gejala penyakit telah
muncul dan dapat diketahui dengan jelas, yang disebabkan
karena adanya perubahan anatomik ataupun kelainan
fungsional.
d) Tahap penyakit klinis lanjut
Pada tahap ini perjalanan penyakit akan berlanjut dan
akan menjadi lebih berat apabila tidak mendapat perhatian.
e) Tahap kecacatan
Pada tahap ini penyakit sudah lebih berat dan
menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Dengan upaya
tindakan kesehatan atau secara spontan beberapa penyakit
dapat disembuhkan, sebagian masih meninggalkan gejala yang
dapat berlangsung dalam jangka pendek maupun jangka
panjang dan masih merupakan masalah bagi kesehatan
penderinya.
Perjalanan penyakit pneumonia pada tahap awal dimulai
adanya interaksi bibit penyakit dengan tubuh penjamu dan tubuh
penjamu berusaha untuk mengeluarkan, membatasi gerak atau
membasmi bibit penyakit tersebut malalui mekanisme pertahanan
tubuh sistemik maupun lokal.
Bila pertahanan tubuh gagal menanggulangi, bibit penyakit
yang masuk akan merusak sel epitel dan lapisan mukosa saluran
napas, sedangkan saluran napas bagian bawah dalam keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
normal atau steril.
8) Pengobatan
Sebagian besar dari ISPA hanya bersifat ringan seperti batuk
pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik
(Ramadhan, 2007). Prinsip pengobatan tidak berdasarkan etiologi
tetapi pada beratnya penyakit.
Pengobatan ISPA ringan atau kasus bukan pneumonia yaitu
secara simptomatik dan perawatan oleh keluarga. Pengobatan batuk
dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang
tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan, dan antihistamin. Bila demam, diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol.
Pada kasus pneumonia biasanya memerlukan antimikroba,
diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat
antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain. Pada kasus pneumonia berat perlu dirawat di rumah sakit
dan ditangani secara seksama karena angka kematian cukup besar,
diberikan antibiotik parenteral, oksigen, dan sebagainya
(Suryatenggara, 1988).
Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi
lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat
agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Penyebab ISPA yang terbanyak adalah infeksi virus, maka
pemberian antibiotika pada infeksi ini tidaklah rasional kecuali pada
sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang telinga
tengah (Daulay, 1992).
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk
mengatasi anaknya yang menderita ISPA:
a) Mengatasi panas (demam): untuk anak usia 2 bulan sampai 5
tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus
segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk
waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan
kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air
(tidak perlu air es).
b) Mengatasi batuk: dianjurkan memberi obat batuk yang aman
yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur
dengan kecap atau madu ½ sendok teh, diberikan tiga kali sehari.
c) Pemberian makanan: berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-
sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya,
lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
tetap diteruskan.
d) Pemberian minuman: usahakan pemberian cairan (air putih, air
buah, dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan
membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
e) Lain-lain: tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut
yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan
demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk
mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang
lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat
yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama
perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan
untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk
penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan
benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang
mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang
(Dirjen PPM & PLP, 2001).
9) Antisipasi dan penanganan
Untuk menangani suatu penyakit dibutuhkan pendekatan yang
menyeluruh. Suatu penyakit tidak akan pernah benar-benar bisa
dihilangkan dengan hanya pendekatan parsial, apalagi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
paradigma sakit. Untuk membentuk suatu masyarakat yang sehat dan
seimbang dengan lingkungannya, dibutuhkan paradigma sehat
(Ramadhan, 2007).
Penyakit ISPA masih bisa diantisipasi dengan menjaga sanitasi
lingkungan dan daya tahan tubuh (Dinkes, 2005). Saat daya tahan
tubuh lemah, mudah sekali terserang penyakit. Berikut adalah
langkah-langkah untuk mengantisipasi datangnya penyakit selama
musim kemarau:
a) Pertinggi daya tahan tubuh diri dengan memperhatikan asupan
gizi berkomposisi 4 sehat 5 sempurna atau bisa juga dengan
minum suplemen bila perlu, agar tubuh tetap bugar.
b) Imunisasi
c) Pastikan kebersihan makanan, diri dan lingkungan. Upaya ini
terbukti efektif untuk memberantas virus, bakteri, dan kuman.
d) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
e) Hindari tempat-tempat berpolusi. Bila tidak memungkinkan,
tutuplah hidung dengan tisu atau sapu tangan saat melewati
tempat tersebut.
f) Bila batuk pilek tak kunjung sembuh dalam 1-2 hari, segera
berobat untuk menghindari penyakit lanjutan
g) Penyuluhan kesehatan (Rohandi, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3. Hubungan Antara Debu Vulkanik dari Lahar Dingin Gunung Merapi
dengan Kejadian ISPA Balita
Debu vulkanik mengandung partikel batu dan silika (bahan seperti
kaca) yang ukurannya sangat kecil. Partikel-partikel ini bentuknya
runcing, keras dan tajam sehingga dapat merusak permukaan-permukaan
yang lunak. Struktur komponennya yang tajam dapat melukai saluran
pernapasan jika dihirup. Dampak pada kesehatan yang ditimbulkannya
dibagi dalam kategori langsung dan tidak langsung. Dampak langsung dari
debu vulkanik dapat mengenai paru-paru dan saluran napas, permukaan
kulit, serta mata. Secara tidak langsung, debu vulkanik dapat
menyebabkan gangguan pada saluran cerna, penurunan daya tahan tubuh,
dan kerentanan untuk jatuh sakit. Debu yang bersifat iritatif ini bisa
menyebabkan pneumonia tetapi biasanya terjadi pada orang-orang yang
sensitif terhadap bakteri. Pada dasarnya, setiap orang mempunyai
ketahanan tubuh yang maksimal. Sekalipun debu masuk ke dalam saluran
pernapasan, selanjutnya akan ditahan oleh silia dan rambut yang terdapat
pada rongga hidung. Jika kondisinya berupa debu panas dengan terpaan
terus-menerus bisa menyebabkan iritasi pada membran mukosa saluran
pernapasan. Mukosa paru dalam kondisi normal dapat melindungi
masuknya kuman. Jika mukosa rusak akibat kuman, bisa menyebabkan
iritasi dan infeksi. Infeksi saluran napas akut (ISPA) bisa terjadi dalam
kurun waktu kurang dari 14 hari (Saleh et al., 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. KERANGKA PEMIKIRAN
C. HIPOTESIS
Ada hubungan antara paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung
Merapi dengan risiko terjadinya ISPA pada balita
Lahar dingin
Materi vulkanik (partikel batu, pasir kuarsa dan silika serta
kandungan mineral dan logam berbahaya)
Mekanisme pertahanan saluran pernapasan:
- Saringan mekanik saluran napas - Gerakan silia dan lapisan cairan - Mekanisme pertahanan spesifik
Faktor tidak dikendalikan:
- Genetik - Status imun - Cuaca
Faktor dikendalikan: - Asap rokok - Asap bahan bakar
memasak - Berat bayi lahir - ASI eksklusif - Status imunisasi
DPT dan campak
Peradangan saluran napas
ISPA
Infeksi bakteri, virus, mycoplasma, jamur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah observational analitik dengan
pendekatan cross sectional.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Salam, Magelang pada bulan Mei-
Juli 2011.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua balita di Kecamatan Salam, Magelang
yang terpapar debu vulkanik. Penentuan besar sampel menggunakan
ketentuan Murti (2006). Ukuran sampel untuk analisis multivariat yaitu 15-20
subjek untuk setiap variabel independen. Dalam penelitian ini didapatkan 1
(satu) variabel bebas dan 5 (lima) variabel perancu yang ikut dihitung.
1 variabel bebas + 5 variabel perancu = 6 variabel
= 15 subjek x 6
= 90 subjek
Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling
dengan cara pengundian.
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
D. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung
Merapi
2. Variabel terikat : kejadian ISPA pada balita
3. Variabel pengganggu :
a. Variabel pengganggu dikendalikan: paparan asap rokok, paparan
asap bahan bakar memasak, berat lahir, pemberian ASI eksklusif,
serta status imunisasi DPT dan campak
a. Variabel pengganggu tidak dikendalikan: status imun, genetik, dan
cuaca
E. Definisi Operasional Variabel
1. Paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi
Paparan debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi adalah
bagian dari materi (debu) vulkanik Gunung Merapi yang turun melewati
sungai-sungai di sekitar Gunung Merapi dan terbawa melalui udara,
masuk ke dalam saluran pernapasan balita, dan diukur tingkat paparannya
berdasarkan jarak lokasi tempat tinggal dengan sumber debu.
Alat ukur : data alamat kepala keluarga dari Kecamatan Salam
Hasil :
- Terpapar debu vulkanik sedikit dari lahar dingin Gunung Merapi
(radius > 2 kilometer dari Kali Putih) yang disimbolkan dengan angka 0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
- Terpapar debu vulkanik banyak dari lahar dingin Gunung Merapi
(radius ≤ 2 kilometer dari Kali Putih) yang disimbolkan dengan angka 1
Skala pengukuran : nominal
2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifat akut
(berlangsung sampai 14 hari) ditandai dengan adanya paling tidak satu
dari gejala berikut: batuk pilek dan demam biasa (common cold), radang
tenggorokan, tonsillitis, otitis, baik dengan atau tanpa gejala peningkatan
frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur dan dengan atau tanpa tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam.
Alat ukur : kuesioner
Hasil :
- Tidak menderita ISPA yang disimbolkan dengan angka 0
- Menderita ISPA yang disimbolkan dengan angka 1
Skala pengukuran : nominal
3. Paparan asap rokok
Paparan asap rokok adalah asap yang ditimbulkan oleh pembakaran
batang rokok oleh anggota keluarga yang tinggal satu rumah bersama
balita yang terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan balita.
Alat ukur : kuesioner
Hasil :
- Tidak terpapar asap rokok yang disimbolkan dengan angka 0
- Terpapar asap rokok yang disimbolkan dengan angka 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Skala pengukuran : nominal
4. Paparan asap bahan bakar memasak
Paparan asap bahan bakar memasak adalah asap yang berasal dari
pembakaran bahan bakar memasak, di mana ruang masak menjadi satu
dengan kamar balita, yang terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan
balita.
Alat ukur : kuesioner
Hasil :
- Tidak terpapar asap bahan bakar memasak yang disimbolkan
dengan angka 0
- Terpapar asap bahan bakar memasak yang disimbolkan dengan
angka 1
Skala pengukuran : nominal
5. Berat Lahir
Berat lahir adalah berat badan bayi (dalam gram) saat dilahirkan
yang tertulis dalam Kartu Menuju Sehat (KMS).
Alat ukur : KMS
Hasil :
- Berat lahir normal (≥ 2500 gram) yang disimbolkan dengan angka
0
- Berat lahir tidak normal (< 2500 gram) yang disimbolkan dengan
angka 1
Skala pengukuran : nominal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
6. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
Pemberian ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja, tanpa makanan
lain sampai bayi berumur 6 bulan.
Alat ukur : kuesioner
Hasil :
- Diberikan ASI eksklusif yang disimbolkan dengan angka 0
- Tidak diberikan ASI eksklusif yang disimbolkan dengan angka 1
Skala pengukuran : nominal
7. Status Imunisasi DPT dan campak
Status imunisasi DPT dan campak adalah pemberian imunisasi DPT
dan campak yang tertulis dalam KMS.
Alat ukur : KMS
Hasil :
- Imunisasi DPT dan campak lengkap yang disimbolkan dengan
angka 0
- Imunisasi DPT dan campak tidak lengkap yang disimbolkan
dengan angka 1
Skala pengukuran : nominal
F. Instrumen Penelitian
1. Lembar informed consent
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2. Kuesioner : kuesioner adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun
dengan baik dan sudah matang dimana pengumpulan data dilakukan
dengan melakukan wawancara kepada responden.
3. Kartu Menuju Sehat (KMS)
4. Alat tulis
G. Rancangan Penelitian
H. Teknik Analisis Data Statistik
Analisis data secara statistik dengan menggunakan analisis regresi
logistik:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6
Keterangan :
Y = variabel terikat (ISPA)
X1 = debu vulkanik dari lahar dingin Gunung Merapi (0: terpapar sedikit; 1:
terpapar banyak)
Populasi
Sampel
Kuesioner ISPA
Hasil
Analisis regresi logistik
Random sampling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
X2 = asap rokok (0: tidak terpapar; 1: terpapar)
X3 = asap bahan bakar memasak (0: tidak terpapar; 1: terpapar)
X4 = berat lahir (0: berat lahir normal; 1: berat lahir tidak normal)
X5 = ASI eksklusif (0: mendapat ASI eksklusif; 1: tidak mendapat ASI
eksklusif)
X6 = status imunisasi (0: imunisasi DPT dan campak lengkap; 1: imunisasi
DPT campak tidak lengkap)
Data yang diperoleh akan dideskripsikan dan dianalisis dengan model
analisis regresi logistik menggunakan program SPSS 17.0 for windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian terdiri dari (A) Analisis
Deskriptif; dan (B) Analisis Multivariat. Pengolahan data dalam penelitian ini
menggunakan program komputer perangkat lunak SPSS 17 for windows. Analisis
deskriptif bertujuan menjelaskan karakteristik balita menurut beberapa variabel yang
diteliti.
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan debu
vulkanik dari lahar dingin gunung berapi dengan risiko terjadinya ISPA pada balita.
A. Hasil Analisis Deskriptif
1. Distribusi Balita Berdasarkan Banyaknya Terpapar Debu Vulkanik
Distribusi balita berdasarkan banyaknya terpapar debu vulkanik disajikan
seperti tabel berikut.
Tabel 4.1
Distribusi Balita Menurut Banyaknya Terpapar Debu Vulkanik
Banyaknya Terpapar Debu Vulkanik Frekuensi Persentase (%)
Terpapar sedikit 36 40,0
Terpapar banyak 54 60,0
Total 90 100
38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Sumber: Data primer diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa banyaknya balita yang
terpapar sedikit debu vulkanik berjumlah 36 balita (40 %), sedangkan
yang terpapar banyak debu vulkanik berjumlah 54 balita (60 %).
2. Distribusi Balita Berdasarkan Terpapar Tidaknya Asap Rokok
Distribusi balita berdasarkan terpapar tidaknya asap rokok disajikan
seperti tabel berikut.
Tabel 4.2
Distribusi Balita Menurut Terpapar Tidaknya Asap Rokok
Terpapar Tidaknya Asap Rokok Frekuensi Persentase (%)
Tidak terpapar 49 54,4
Terpapar 41 45,6
Total 90 100
Sumber: Data primer diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa banyaknya balita yang
tidak terpapar asap rokok berjumlah 49 balita dengan (54,44 %),
sedangkan yang terpapar asap rokok berjumlah 41 balita (45,56 %).
3. Distribusi Balita Berdasarkan Terpapar Tidaknya Asap Bahan Bakar
Memasak
Distribusi balita berdasarkan terpapar tidaknya asap bahan bakar
memasak disajikan seperti tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 4.3
Distribusi Balita Menurut Terpapar Tidaknya Asap Bahan Bakar
Memasak
S
Sumber: Data primer diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa banyaknya balita yang
tidak terpapar asap bahan bakar memasak berjumlah 62 balita (68,89
%), sedangkan yang terpapar asap bahan bakar memasak berjumlah 28
balita (31,11 %).
4. Distribusi Balita Berdasarkan Berat Lahir
Distribusi balita berdasarkan berat lahir disajikan seperti tabel berikut.
Tabel 4.4
Distribusi Balita Menurut Berat Lahir
Berat Lahir Frekuensi Persentase (%)
Berat lahir normal 31 34,4
Berat lahir tidak normal 59 65,6
Total 90 100
Terpapar Tidaknya Asap Bahan Bakar Memasak Frekuensi Persentase (%)
Tidak terpapar 62 68,9
Terpapar 28 31,1
Total 90 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Sumber: Data sekunder diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa banyaknya balita
dengan berat lahir normal berjumlah 31 balita (34,4 %), sedangkan
yang lahir dengan berat tidak normal berjumlah 59 balita (65,6 %).
5. Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian ASI
Distribusi balita berdasarkan pemberian ASI disajikan seperti tabel
berikut.
Tabel 4.5
Distribusi Balita Menurut Pemberian ASI
Pemberian ASI Frekuensi Persentase (%)
ASI eksklusif 43 47,8
ASI tidak eksklusif 47 52,2
Total 90 100
Sumber: Data primer diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa banyaknya balita yang
diberi ASI eksklusif berjumlah 43 balita dengan (47,78 %), sedangkan
yang tidak diberi ASI eksklusif berjumlah 47 balita (52,22 %).
6. Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian Imunisasi DPT dan Campak
Distribusi balita berdasarkan pemberian imunisasi DPT dan campak
disajikan seperti tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Tabel 4.6
Distribusi Balita Menurut Pemberian Imunisasi DPT dan Campak
Pemberian Imunisasi DPT dan Campak Frekuensi Persentase (%)
Imunisasi DPT dan Campak lengkap 41 45,6
Imunisasi DPT dan Campak tidak lengkap 49 54,4
Total 90 100
Sumber: Data sekunder diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa banyaknya balita yang
mendapatkan imunisasi DPT dan campak lengkap berjumlah 41 balita
(45,56 %), sedangkan yang tidak lengkap berjumlah 49 balita (54,44
%).
7. Distribusi Balita Berdasarkan Kejadian ISPA
Distribusi balita berdasarkan kejadian ISPA disajikan seperti tabel
berikut.
Tabel 4.7
Distribusi Balita Menurut Kejadian ISPA
Kejadian ISPA Frekuensi Persentase (%)
Ya 51 56,7
Tidak 39 43,3
Total 90 100
Sumber: Data primer diolah, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa balita yang menderita
ISPA berjumlah 51 balita (56,67 %), sedangkan yang tidak menderita
ISPA berjumlah 39 balita (43,33 %).
Grafik 4.1
Distribusi Balita berdasarkan Variabel yang Diteliti
0
10
20
30
40
50
60
70
ispa paparandebu
paparanrokok
paparanasapmasak
beratlahir
ASIeksklusif
imunisasiDPT
campak
01
B. Análisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan
debu vulkanik dari lahar dingin gunung berapi dengan risiko terjadinya ISPA pada
balita. Análisis multivariat dilakukan melalui uji regresi logistik ganda pada semua
variabel bebas terhadap variabel terikat. Pada penelitian ini dilakukan análisis
multivariat dengan model análisis regresi logistik ganda karena variabel bebasnya
dalam skala nominal dengan variabel bebas lebih dari satu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Hasil model analisis regresi logistik dalam tabel berikut.
Tabel 4.8
Hasil Analisis Regresi Logistik Hubungan Variabel Bebas dengan Terjadinya
ISPA pada Balita
No Variabel Bebas-
Variabel Terikat
Koefisien korelasi p value Keterangan
1. Banyaknya Paparan Debu
Vulkanik-ISPA
1,079 0,041 Bermakna
2. Terpapar Tidaknya Asap
Rokok-ISPA
1,446 0,007 Bermakna
5. Pemberian ASI Eksklusif-
ISPA
1,051 0,042 Bermakna
6. Pemberian Imunisasi
DPT dan Campak-ISPA
-0,923 0,076 -
7 Konstanta -1,000 0.000 Bermakna
Sumber: Data primer diolah, 2011
Model regresi logistik ganda dalam penelitian ini dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + ….. + biXi
)(11
YeP -+=
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Keterangan :
P = Probabilitas untuk terjadinya ISPA Balita
e = bilangan natural (nilai e = 2,7182818)
Y= variabel terikat (ISPA)
α = konstanta
β = koefisien korelasi
X = variabel bebas
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, didapatkan persamaan:
Y = -1,000 + 1,079X1 + 1,446X2 + 1,051X3 + -0,923X4
Interpretasi dari koefisien variabel-variabel adalah:
1. Variabel Paparan Debu Vulkanik dari Lahar Dingin Gunung Merapi (X1)
Variabel paparan banyak (X1 = 1) akan menyebabkan ISPA 1,079 lebih
besar daripada paparan sedikit (X1 = 0). Nilai signifikansi sebesar 0,041 (p <
0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan
debu vulkanik dengan kejadian ISPA.
2. Variabel Paparan Asap Rokok (X2)
Variabel terpapar asap rokok (X2 = 1) akan menyebabkan ISPA 1,446
lebih besar daripada tidak terpapar asap rokok (X2 = 0). Nilai signifikansi
sebesar 0,007 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA.
3. Variabel ASI Eksklusif (X3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Variabel pemberian ASI tidak eksklusif (X3 = 1) akan menyebabkan
ISPA 1,051 lebih besar daripada diberi ASI eksklusif (X3 = 0). Nilai
signifikansi sebesar 0,042 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pemberian ASI tidak eksklusif dengan kejadian ISPA.
4. Variabel Imunisasi DPT dan campak (X4)
Variabel pemberian imunisasi DPT dan campak tidak lengkap (X4 = 1)
akan menyebabkan ISPA 0,923 lebih kecil daripada diberi imunisasi DPT dan
campak lengkap (X4 = 0). Nilai signifikansi sebesar 0,076 (p > 0,05)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara
pemberian imunisasi DPT dan campak dengan kejadian ISPA.
Konstanta sebesar -1,000 menyatakan bahwa bila seluruh variabel bebas
bernilai nol, maka kemungkinan balita terkena ISPA sebesar 26,9 % yang
didapatkan dari perhitungan P = 1/(1+2,71828181).
Hasil pengujian paparan debu vulkanik terhadap kejadian ISPA dengan
model analisis regresi logistik pada penelitian ini didapatkan nilai analisis Hosmer
and Lameshow sebesar 0,832 (lebih dari 0,05) yang artinya bahwa model regresi
logistik ini layak dipakai untuk analisis. Nilai p sebesar 0,041 (p < 0,05) yang
menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa paparan debu vulkanik memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian ISPA. Koefisien korelasinya bernilai positif sebesar 1,079 yang berarti
bahwa paparan debu vulkanik dapat meningkatkan risiko terjadinya ISPA. Untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
nilai Nagelkerke R square didapatkan nilai 0,356 yang berarti bahwa 35,6 %
ISPA dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara paparan
debu vulkanik dengan kejadian ISPA pada balita yang terkena dampak lahar dingin
Gunung Merapi. Hasil penelitian ini diolah dengan menggunakan model análisis
regresi logistik ganda.
Hasil dari análisis Hosmer and Lameshow didapatkan angka probabilitas
sebesar 0,832 (lebih dari 0,05) yang artinya bahwa model regresi logistik ini layak
dipakai untuk análisis.
Pada análisis regresi logistik didapatkan signifikansi korelasi paparan debu
vulkanik dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,041 dengan koefisien korelasi 1,079
sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti terdapat hubungan yang
signifikian antara paparan debu vulkanik dengan kejadian ISPA pada balita yang
terkena dampak lahar dingin Gunung Merapi. Koefisien korelasi bernilai positif yang
artinya paparan debu vulkanik akan meningkatkan risiko terjadinya ISPA. Selain
paparan debu vulkanik, hubungan antara kejadian ISPA dengan variabel paparan asap
rokok dan ASI eksklusif juga memiliki hubungan yang signifikan karena memiliki
nilai signifikansi 0,007 untuk variabel paparan asap rokok dan 0,042 untuk variabel
ASI eksklusif. Sedangkan hubungan ISPA dengan variabel paparan asap bahan bakar
memasak, berat lahir, dan imunisasi tidak memiliki hubungan yang signifikan karena
memiliki nilai signifikansi > 0,05 (lampiran 7). Sehingga model análisis regresi
48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
logistik yang didapat adalah Y = -1,000 + 1,079 (paparan debu vulkanik) + 1,446
(paparan asap rokok) + 1,051 (ASI eksklusif).
Apabila balita terpapar banyak debu vulkanik, tidak terpapar asap rokok, dan
mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki tingkat risiko terjadinya ISPA dengan
persentase sebesar 48 % yang didapat dari perhitungan P = 1/(1+2,7182818-(-
1,000+1,079). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Punik Mumpuni
Wijayanti, (2010) berjudul “Analisis Situasi Kesehatan Pasca Bencana Erupsi Merapi
Gunung Merapi di Desa Mranggen dan Kamingan Kecamatan Srumbung, Magelang,
Jawa Tengah”. Hasil temuan sejalan dengan penelitian tersebut yaitu menunjukkan
bahwa ada hubungan bermakna antara paparan debu vulkanik dengan kejadian ISPA
pada balita.
Apabila balita terpapar sedikit debu vulkanik, terpapar asap rokok, dan
mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki tingkat risiko terjadinya ISPA dengan
persentase sebesar 39 % yang didapat dari perhitungan P = 1/(1+2,7182818-(-
1,000+1,446). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ike
Suhandayani, (2007) berjudul “Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita Di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006”. Hasil temuan
sejalan dengan penelitian tersebut yaitu menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA
pada balita.
Apabila balita terpapar sedikit debu vulkanik, tidak terpapar asap rokok, dan
tidak mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki tingkat risiko terjadinya ISPA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dengan persentase sebesar 51 % yang didapat dari perhitungan P = 1/(1+2,7182818-(-
1,000+1,051). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ike
Suhandayani, (2007) berjudul “Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita Di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006”. Hasil temuan
sejalan dengan penelitian tersebut yaitu menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pemberian ASI tidak eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.
Nilai Nagelkerke R square yang menunjukkan koefisien determinasi memiliki
nilai 35,6 % artinya bahwa 35,6 % ISPA dapat dijelaskan dari variabel bebas yang
diteliti dan 64,4 % sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain yang tidak diteliti.
Berdasarkan penelitian ini, pemberian imunisasi memiliki hubungan yang
tidak signifikan dengan kejadian ISPA (nilai p = 0,76 > 0,05). Hanya imunisasi DPT
dan campak yang diambil menjadi prediktor terjadinya ISPA pada balita karena
imunisasi DPT dan campak terbukti sebagai imunisasi yang paling efektif saat ini
untuk pencegahan kematian akibat pneumonia. Hasil yang diambil yaitu balita yang
mendapat imunisasi DPT dan campak lengkap yang dibandingkan dengan yang tidak
lengkap karena sebagian besar kematian akibat ISPA dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi DPT dan campak lengkap. Bayi dan balita yang mendapatkan
iminisasi DPT dan campak lengkap dapat diharapkan perkembangan penyakitnya
tidak akan menjadi lebih berat bila menderita ISPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik responden dalam penelitian ini menunjukkan angka kejadian ISPA
yang cukup besar yakni 56,7 % dengan kejadian paparan debu vulkanik banyak
sebesar 60 %.
2. Terdapat hubungan antara paparan debu vulkanik dengan terjadinya ISPA pada
balita yang terkena dampak lahar dingin Gunung Merapi. Ini dibuktikan dengan
analisis regrei logistik dengan nilai p = 0,041 (p < 0,05)
3. Koefisien korelasi antara paparan debu vulkanik dengan kejadian ISPA bernilai
positif sebesar 1,079 yang artinya bahwa paparan debu vulkanik banyak dapat
meningkatkan risiko terjadinya ISPA pada balita.
4. Hasil analisis multivariat diketahui bahwa rumah tangga dengan kriteria sebagai
berikut (terpapar debu vulkanik banyak, terpapar asap rokok, dan tidak
mendapatkan ASI eksklusif) akan memiliki tingkat risiko terjadinya ISPA pada
anak balita dengan persentase sebesar 93 %.
50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
B. Saran
1. Bagi Orang Tua
Untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA akibat paparan debu vulkanik pada
balita, diharapkan orang tua meningkatkan proteksi balita terhadap bahaya debu
vulkanik seperti pemakaian masker dan menjaga balita pada jarak aman dari
paparan debu vulkanik.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai tindakan pencegahan, diharapkan masyarakat mengetahui informasi
mengenai pentingnya pemakaian masker pada area bahaya debu vulkanik dan
penjagaan balita pada daerah aman dari bahaya debu vulkanik.
3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten, Puskesmas, dan Instansi Terkait
Diharapkan perumusan kebijakan program kesehatan khususnya Program
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2ISPA) dapat lebih
diperbaiki dan dilaksanakan seperti kegiatan penyuluhan mengenai bahaya debu
vulkanik kepada masyarakat sehingga angka kejadian ISPA akibat debu vulkanik
mengalami penurunan.
4. Bagi institusi pendidikan dan penelitian
Diperlukan adanya penelitian lanjutan yang lebih lengkap dan mendalam tentang
faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada anak balita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
DAFTAR PUSTAKA
Amin M., Alsagaff H., Saleh T. 1989. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, pp: 37-42.
Anonim. 1992. Lokakarya Dan Rakernas Pemberantasan Penyakit Infeksi saluran
pernapasan akut. Arief M. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta:
UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS, p: 63. Bolly H. M. B. 2010. Bahaya Silikosis Abu Vulkanik. http://www.garutkab.go.id/
download_files/article/Bahaya%20Silikosis%20Abu%20Vulkanik.pdf (2 Desember 2011)
Daulay R.M. 1992. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_KendalaPenangananInfeksiSaluranPernapasanAkut.pdf/16_KendalaPenangananInfeksiSaluranPernapasanAkut.html (23 Februari 2011).
Depkes RI. 2000. Informasi Tentang ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat. Depkes RI. 2002. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Salah Satu Pembunuh
Utama Anak-Anak. http://www.lin.go.id. (23 Februari 2011). Depkes RI. 2002. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.http://www.depkes.go.id Depkes RI. 2009. Departemen Kesehatan Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. www.depkes.go.id (27 Januari 2011).
Dinkes. 2005. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005. http://72.14.235
.104/serch?q=cache:kJOd9P-YLTEJ:www.dinkes kotasemarang.go.id/sta
52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
ticfiles/dokumen/analisa_profil_DKK_2005_ok.pdf+angka+kejadian+ISP A +di+Semarang&hl=id&ct=clnk&cd=30&gl=id (27 Januari 2011).
Dirjend Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(Dirjend PPM & PLP). 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. www.depkesri.com (27 Januari 2011).
Dirjend Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(Dirjend PPM & PLP). 2002. Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Petugas Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. www.depkesri.com (27 Januari 2011).
Dirjend Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjend P2PL). 2004.
Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Petugas Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. www.depkesri.com (27 Januari 2011).
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM
dan PL). 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pnemonia pada Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. www.depkesri.com (27 Januari 2011).
Eric A., Simoes F., Cherian T., Chow J., Salles S., Laxminarayan R., John J.T. 2005.
Acute Respiratory Infections in Children. Disease Control Priorities in Developing Countries. Pp: 484-497
Fahmi A.U. 2008. Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta Goh Y.T., Shek L.P., Lee Bee Wah L.B. 1999. Acute Respiratory Tract Infections In
Children : Outpatient Management
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Kartasasmita CRSP. 2002. 4 Juta Anak Meninggal Karena Penyakit ISPA. Bandung: Pikiran Rakyat (10 Januari 2002)
Mansjoer A. 2004. Infeksi Saluran Pernapasan Atas. http://fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php?attId=1130&page=Catur%20Nila%20Pra tiwi. (17 Nopember 2008).
Menkes. 2002. Lampiran I Keputusan Menteri KesehatanNomor : 1537.A /
MENKES/ SK/XII/ 2002 Tanggal : 5 Desember 2002. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik dan Pneumonia Atypik Mycobacterium. Edisi 1. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Murti B. 2006. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, p: 44.
Notoatmojo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta, pp: 35-179.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Ramadhan T.R. 2007. Penyakit Berbasis Lingkungan di Situbondo. http://tegarrezavie.multiply.com/journal/item/5 (23 Februari 2011).
Rohandi H. 2008. Penyakit Angin dan Cuaca. http://www.tabloid-
nakita.com/artikel.php3?edisi=05230&rubrik=sehat (23 Februari 2011). Rusli, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Said, M. 2007. Pneumonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita di Indonesia.
http://www.idai.or.id.
Saleh R., Rahayuningsih. 2010. Berlindung dari Abu Vulkanik. Jakarta : Bisnis Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Silalahi, L. 2004. ISPA dan Pneumonia.http://www.tempointeraktif.com Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Sunarti, Euis. 2004. Mengasuh Dengan Hati. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo
Supariasa I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC Supranto J. 2000. Teknik Sampling Untuk Survei Dan Eksperimen. Jakarta : Rineka
Cipta
Suryatenggara W. 1988. Program Pendekatan ISPA ditinjau dari Aspek Diagnostik dan Terapi. Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V Ikatan Dokter Paru Indonesia, pp: 64-9.
Taufik M. 2010. Bahaya Kuarsa Olahan Merapi. Jakarta: Tempo
Wahono T. 2010. Banjir Lahar Dingin Lebih Dari Setahun. Jakarta : Kompas
WHO. 1999. Recommended Surveilance Standards Second Edition. Departement of
Communicable Disease Surveilance and Respone Widjaja A. 1993. Penelitian Epidemiologi Pengaruh Lingkungan pada Penyakit Paru
Obstruktif Menahun (PPOM) di 37 Puskesmas, Mewakili Semua Kabupaten di Jawa Timur. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI Persatuan Dokter Paru Indonesia, pp: 144-60.
Witono R. 1993. Faal Paru pada Laki-Laki Perokok, Bekas Perokok dan Bukan
Perokok. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI Persatuan Dokter Paru Indonesia, pp: 279-80.
Yulianingsih. 2011. Meminimalkan Banjir Lahar Dingin. Yogyakarta : Republika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Yunus F. 1994. Pneumokoniasis. Majalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Volume 14 Nomor 3, pp: 22-3