24
DIAGNOSIS VIRUS SECARA KONVENSIONAL DAN MOLEKULER Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Disusun oleh: Kelompok 4 Jeffri W. Siahaan (150510140086) Octa Saktianti (150510140185) Gilda Hildeu (150510140192) Billy Nur Aqbil (150510140197)

Diagnosis Virus Secara Konvensional Dan Molekuler

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dvds

Citation preview

KATA PENGANTAR

DIAGNOSIS VIRUS SECARA KONVENSIONAL DAN MOLEKULERDiajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disusun oleh:

Kelompok 4Jeffri W. Siahaan(150510140086)

Octa Saktianti(150510140185)

Gilda Hildeu(150510140192)

Billy Nur Aqbil(150510140197)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGOR2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan makalah tentang Diagnosis Virus Secara Konvensional dan Molekuler. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan.Kami mengucapkan terima kasih terutama kepada Bapak Dr. Ir. Toto Sunarto, MP. yang telah membimbing kami dan juga kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun, kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan sehingga kendala-kendala yang kami hadapi dapat teratasi.

Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jatinangor, 26 Mei 2015

PenyusunDAFTAR ISI

iKATA PENGANTAR

iiDAFTAR ISI

iiiDAFTAR GAMBAR

BAB I: 1PENDAHULUAN

11.1 Latar Belakang

11.2 Rumusan Masalah

11.3 Tujuan Penulisan

BAB II: 2PEMBAHASAN

22.1 Tujuan Diagnosis Virus

32.2 Metode Diagnosis Secara Konvensional

32.2.1 Identifikasi Gejala

42.2.2 Penggunaan Tanaman Indikator

52.2.3 Sifat Fisik

52.2.4 Mikroskopis

62.3 Metode Diagnosis Secara Molekuler

62.3.1 Polymerase Chain Reaction (PCR)

BAB III: 9PENUTUP

93.1 Kesimpulan

93.2 Saran

10DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

5Gambar 2.1

8Gambar 2.2

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Virus yang menyerang tanaman menyebabkan kerugian besar bagi bidang pertanian maupun perkebunan di seluruh dunia. Tidak seperti patogen tanaman yang lain, belum ditemukan metode langsung untuk mengontrol virus, dan alhasil, tindakan yang dilakukan saat ini untuk mengontrol penyakit yang disebabkan oleh virus hanya mengandalkan siasat yang tidak langsung. Oleh sebab itu, metode untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus, baik pada tanaman maupun vektor, memegang peran penting dalam penanganan penyakit yang diakibatkan oleh virus. Teknik diagnosis virus pada tanaman dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu dengan metode konvensional dan metode molekuler. 1.2 Rumusan Masalah Dalam penulisan makalah ini, masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:1. Mengapa diagnosis virus perlu dilakukan?2. Apa saja contoh metode diagnosis virus pada tanaman dengan secara konvensional?3. Apa saja contoh metode diagnosis virus pada tanaman dengan secara molekuler?1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:1. Untuk mengetahui tujuan dari diagnosis virus.

2. Untuk mengetahui macam-macam contoh metode diagnosis virus pada tanaman dengan secara konvensional.

3. Untuk mengetahui macam-macam contoh metode diagnosis virus pada tanaman dengan secara molekuler.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Diagnosis VirusSecara umum, ukuran virus sangat kecil dibandingkan dengan kelompok lain dari patogen tanaman seperti jamur dan bakteri yang dapat dilihat melalui mikroskop. Virus tanaman terlalu kecil untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron transmisi karena virus tersusun dari sejenis asam nukleat, DNA atau RNA yang membawa informasi genetik. Sejak Tobacco Mosaic Virus (TMV) pertama kali ditemukan lebih dari satu abad yang lalu, lebih dari 1.000 virus tanaman telah ditemukan hingga saat ini (Scholthof, 2000). Telah diketahui bahwa patogen tanaman lainnya seperti bakteri, jamur, dan fitoplasma, virus pada tanaman menyebar dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi banyak tanaman seperti jagung, kentang, beras, dan gandum. Virus menempati peringkat kedua sebagai patogen tanaman paling penting setelah jamur (Vidaver dan Lambrecht, 2004). Perkiraan kerugian ekonomi sudah lebih dari miliaran dolar per tahun di seluruh dunia yang diakibatkan oleh virus tanaman.Kerusakan tanaman karena virus sulit untuk diprediksi, karena tergantung pada daerah, strain virus, kultivar/varietas tanaman inang, dan waktu infeksi (Strange, 2005). Gejala penyakit akibat virus biasanya berupa pengerutan, jaringan daun yang berubah menjadi kecoklatan, mosaik, dan nekrosis. Terkadang, gejala tidak dapat dideteksi secara visual karena infeksi virus tanaman tidak menimbulkan gejala. Di samping itu, tanaman juga dapat memperlihatkan gejala seperti serangan virus sebagai respon terhadap kondisi cuaca yang tidak menguntungkan, ketidakseimbangan nutrisi, infeksi oleh jenis-jenis patogen lain, kerusakan yang disebabkan oleh hama atau agen abiotik dan lain-lain (van der Want dan Dijkstra, 2006).Diagnosis adalah dasar untuk pengendalian penyakit tanaman dan untuk memprediksi kerugian tanaman oleh infeksi patogen tanaman (van der Want and Dijkstra, 2006). Diagnosis yang akurat dari penyakit yang diakibatkan oleh virus merupakan langkah pertama yang penting dalam sistem pengelolaan tanaman. Setelah infeksi virus, perawatan secara agrokimia untuk tanaman biasanya tidak efektif sehingga penanganan penyakit yang diakibatkan virus dilakukan sebelum infeksi terjadi. Dalam rangka mencegah penyakit tanaman yang diakibatkan virus, penting untuk mengetahui penyebab dan membedakan antara tanaman sakit dan tanaman yang memperlihatkan gejala seperti diserang virus (Pearson et al., 2006).

Seperti yang telah dibahas di atas, tidak seperti patogen tanaman lain, pengelolaan penyakit tanaman akibat virus berdasarkan metode langsung belum dikembangkan lagi, sehingga cara yang dilakukan adalah metode tidak langsung seperti pengendalian vektor pembawa virus atau pemusnahan tanaman yang telah terserang virus (Aboul-Ata et al., 2011). Metode untuk deteksi dan mengidentifikasi virus sangat penting dalam pengelolaan penyakit virus. Oleh karena itu, metode deteksi harus tepat, efektif, spesifik, dan diizinkan penggunaannya untuk mendeteksi patogen tanaman (McCartney et al., 2003).

Banyak metode telah dikembangkan untuk mendeteksi virus tanaman, seperti pengamatan mikroskopis, teknik serologi, metode molekuler, dan sebagainya. Di antara metode-metode tersebut, sejumlah metode untuk diagnosis penyakit virus tanaman ditinjau dalam dua bagian, yaitu metode konvensional dan metode molekuler.2.2 Metode Diagnosis Secara Konvensional2.2.1 Identifikasi GejalaGejala pada tanaman biasa digunakan untuk menggolongkan penyakit dalam upaya untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus. Inspeksi visual relatif mudah dilaksanakan jika gejala yang tampak merupakan karakteristik dari penyakit yang spesifik. Namun, banyak faktor seperti strain virus, varietas/kultivar tanaman inang, waktu infeksi, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi gejala yang diperlihatkan (Matthews, 1980). Tanaman juga dapat memperlihatkan gejala seperti serangan virus sebagai respon terhadap kondisi cuaca yang tidak menguntungkan, ketidakseimbangan mineral/unsur hara tanah, infeksi oleh patogen nonviral, kerusakan yang disebabkan oleh hama lain, polusi udara, dan pestisida (terutama herbisida).

Beberapa virus dapat menyebabkan gejala yang terlihat tidak jelas atau menyebabkan infeksi tanpa gejala. Selain itu, virus yang berbeda dapat memperlihatkan gejala yang sama atau strain yang berbeda dari virus dapat memperlihatkan gejala yang berbeda pada inang yang sama. Meskipun gejala memberikan informasi penting untuk mendeteksi penyakit yang disebabkan virus, pengalaman lapangan yang memadai juga diperlukan ketika membuat keputusan tentang diagnosis berdasarkan gejala. Biasanya, diagnosis secara visual gejala juga dikombinasikan dengan diagnosis lainnya untuk menjamin hasil diagnosis infeksi virus yang akurat (Bock, 1982).2.2.2 Penggunaan Tanaman IndikatorDeteksi dan teknik identifikasi virus diawali dengan mekanisme pemindahan dan penularan vektor dari virus pada tanaman indikator yang rentan (Jones, 1993). Penularan mekanik melalui getah inokulasi tanaman herba indikator dapat dilakukan dengan fasilitas yang minim dan karakteristik gejala yang dihasilkan oleh tanaman ini memungkinkan deteksi dan identifikasi dari banyak virus (Hovarth 1983, 1993). Meskipun tanaman inang mungkin tidak bisa dijadikan panduan yang tepat untuk identifikasi virus, cara tersebut masih digunakan di banyak laboratorium sebagai salah satu pengujian yang penting dalam diagnosis virus. Keakuratan hasil tes untuk mendiagnosis dapat ditingkatkan oleh tangan-tangan yang berpengalaman dan dengan menggunakan berbagai spesies tanaman yang cocok. Virus yang menular tidak secara mekanis, virus dari buah pohon dan buah-buah kecil dapat didiagnosis dengan penularan vektor atau okulasi pada tanaman inang yang sesuai. Meskipun cara ini banyak digunakan di laboratorium baik untuk mendiagnosis maupun mempertahankan virus, cara ini dinilai memakan banyak waktu dan sumber daya, serta dihadapkan dengan kesulitan membedakan virus yang sama berdasarkan gejalanya di lapangan.2.2.3 Sifat FisikSifat fisik virus (misalnya, titik inaktivasi panas, titik pengenceran akhir, dan umur in vitro), digunakan menjadi ukuran infektivitas virus dalam ekstrak getah, yang sebelumnya digunakan untuk mengidentifikasi virus tanaman. Namun sifat-sifat ini tidak dapat dijadikan pedoman dan tidak lagi direkomendasikan untuk diagnosis virus (Francki, 1980).2.2.4 MikroskopisMikroskop elektron, atau Electron Microscopy (EM), dapat memberikan informasi berguna mengenai morfologi partikel virus dan sering digunakan untuk deteksi virus (Milne 1993). Virus berfilamen dan berbentuk batang seperti potyvirus, tobamovirus, dan potexvirus dapat lebih mudah dibedakan pada metode stained leaf-dip dibandingkan dengan virus isometrik dan virus lainnya. Virus yang berkembang pada konsentrasi rendah di getah tanaman akan sulit terlihat, kecuali penelitian dilakukan terfokus pada visualisasi. Tingkat efisiensi visual dapat ditingkatkan jika dikombinasikan dengan serologi). Karena EM pengerjaannya intensif dan mahal, maka pengujian ini tidak dapat dilakukan untuk proses uji cepat pada banyak sampel. Kebanyakan institusi penelitian pertanian tidak mampu untuk membiayai fasilitas Electron Microscopy ini, dikarenakan biaya pemasangan dan perawatan yang cukup mahal. Kebanyakan virus tanaman menyebabkan perbedaan inklusi intraseluler, atau membentuk akumulasi endapan partikel virus, dan pendeteksiannya menggunakan mikroskopi cahaya (EM) dapat menghasilkan metode yang cenderung simpel, cepat, dan relatif murah dalam mendeteksi infeksi oleh virus (Edwardson et al., 1933). Karena keunikan inklusi yang diperoleh dari beberapa virus, virus yang tidak diketahui terkadang dapat diidentifikasi hingga tingkat genus berdasarkan dari pengamatan noda selektif. Namun, teknologi inklusi virus tanaman memerlukan penanganan orang yang berpengalaman dan jarang dilakukan oleh pemula dalam identifikasi penyakit oleh virus secara rutin.2.3 Metode Diagnosis Secara Molekuler2.3.1 Polymerase Chain Reaction (PCR)Sensitivitas sistem diagnosis berbasis asam nukleat sangat meningkat bersamaan dengan perkembangan prosedur Reaksi Berantai Polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR) (Mullis et al. 1986).

PCR adalah metode in-vitro untuk memperbanyak sekuens asam nukleat sasaran. Kecepatan, spesifisitas, sensitivitas, dan fleksibilitas dari PCR membuatnya cocok untuk dipergunakan dalam banyak area pada penelitian di bidang biologi. Karena PCR memiliki kekuatan untuk memperbanyak target asam nukleat, metode PCR menjadi teknik yang menarik untuk diagnosis penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. (Henson dan Prancis 1993; Hadidi et al. 1995; Candresse et al. 1998a).

Komponen utama yang diperlukan pada proses PCR adalah sebagai berikut.a. DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. DNA cetakan yang digunakan sebaiknya berkisar antara 105 106 molekul. Dua hal penting tentang cetakan adalah kemurnian dan kuantitas.

b. Oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (18 28 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sekaligus mengakhiri sintesis rantai DNA.

c. Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), yang berfungsi sebagai komponen penyusun DNA yang baru saat proses polimerisasi. Terdiri dari dATP (nukleotida berbasis Adenin), dCTP (nukleotida berbasis Sitosin), dGTP (nukleotida berbasis Guanin), dan dTTP (nukleotida berbasis Timin).

d. Enzim DNA Polimerase, yaitu enzim termostabil Taq yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim ini diperoleh dari Eubacterium yang disebut Thermus aquaticus, spesies ini diisolasi dari Taman Nasional Yellowstone pada tahun 1969. Enzim ini tahan terhadap pemanasan berulang-ulang yang akan membantu melepaskan ikatan primer yang tidak tepat dan meluruskan wilayah yang mempunyai struktur sekunder.e. Termosiklus, yaitu sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan tabung reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi (Yusuf, 2010).Menurut Chinnery & Turnbull (2000), pada prinsipnya PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20-30 kali. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap. Berikut adalah tiga tahapan yang berlangsung dalam satu siklus PCR.

1. Tahap Peleburan (Melting) atau Denaturasi

Pada tahap ini ikatan hidrogen DNA terputus karena mengalami denaturasi dan rantai DNA menjadi tunggal. Tahap ini berlangsung pada suhu 94-96C dan berlangsung sekitar 5 menit untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat (patokan) bagi primer. Durasi tahap ini 1-2 menit.

2. Tahap Penempelan (Annealing)

Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 55-65C dan bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini sekitar 1-2 menit.

3. Tahap Pemanjangan (Extension) atau Elongasi

Pada tahap ini, enzim DNA Polimerase akan melakukan poses polimerasi, yakni rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. Tahap ini berlangsung selama 1 menit pada suhu sekitar 72C. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72C diperkirakan 35 100 nukleotida/detik, tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian untuk produk PCR dengan panjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap perpanjangan primer ini. Biasanya di akhir siklus PCR waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai 5 menit sehingga seluruh produk PCR diharapkan terbentuk DNA untai ganda.. Gambar 2.2 Tahapan Proses Amplifikasi DNA dengan Metode PCRBAB III

PENUTUP3.1 KesimpulanDiagnosis patogen golongan virus merupakan langkah penting untuk menentukan virus penyebab penyakit yang menyerang tanaman. Diagnosis menggambarkan tentang rangkaian kegiatan deteksi dan identifikasi patogen penyebab penyakit, sehingga dapat menentukan jenis virus penyebab penyakit tanaman tertentu dan merupakan langkah pertama yang penting dalam sistem pengelolaan tanaman. Metode diagnosis virus penyebab penyakit tanaman ada beberapa antara lain secara konvensional seperti identifikasi gejala, penggunaan tanaman indikator, melihat sifat fisik virus, dan pengamatan badan inklusi dengan menggunakan mikroskop cahaya (Electron Microscopy). Sedangkan diagnosis virus secara molekuler dapat dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).3.2 Saran

Mengingat betapa pentingnya diagnosis penyakit yang diakibatkan oleh virus, maka beberapa metode diagnosis yang dianjurkan harus digunakan untuk mendiagnosis berbagai jenis virus sebagai langkah awal dalam system pengelolaan tanaman.DAFTAR PUSTAKAAboul-Ata, A. E., Mazyad, H., El-Attar, A. K., Soliman, A. M., Anfoka, G., Zeidaen, M., Gorovits, R., Sobol, I. and Czosnek, H. 2011. Diagnosis and Control of Cereal Viruses in the Middle East. Adv. Virus Res. 81: 33-61.Bock, K.R. 1982. The Identification and Partial Characterization of Plant Viruses in the Tropics. Tropical Pest Management 28: 399411.

Chinnery, P. F. & D.M. Turnbull. 2000. Mitochondrial DNA Mutations in The

Pathogenesis of Human Disease. Mol. Med. Today. 6,425-432.

Edwardson, J.R., R.G. Christie, D.E. Purcifull, and M.A. Petersen. 1993. Inclusions in Diagnosing Plant Virus Diseases. Pages 101128 in Diagnosis of plant virus diseases, edited by R.E.F. Matthews. Florida: CRC Press.

Francki, R.I.B. 1980. Limited Value of the Thermal Inactivation Point, Longevity in vitro and Dilution End Point as Criteria for the Characterization, Identification, and Classification of Plant Viruses. Intervirology 13: 9198.

Horvath, J. 1983. New Artificial Hosts and Nonhosts of Plant Viruses and Their Role in the Identification and Separation of Viruses. XVIII. Concluding remarks. Acta Phytopathologica Hungarica 18: 121161.

Horvath, J. 1993. Host Plants in Diagnosis. Pages 1548 in Diagnosis of Plant Virus Diseases, edited by R.E.F. Matthews. Florida: CRC Press.

Jones, A.T. 1993. Experimental Transmission of Viruses in Diagnosis. Pages 49-72 in Diagnosis of Plant Virus Diseases, edited by R.E.F. Matthews. Florida: CRC Press.

Matthews, R.E.F. 1980. Host Plant Responses to Virus Infection. Pages 297359 in Comprehensive Virology, vol. 16. New York: Plenum Press.

McCartney, A. H., Foster, S. J., Fraaige, B. A. and Ward, E. 2003. Molecular Diagnostics for Fungal Plant Pathogens. Pest Manag. Sci. 59: 129-142.Milne, R.G. 1993. Electron Microscopy of In Vitro Preparations. Pages 215251 in Diagnosis of plant virus diseases, edited by R.E.F. Matthews. Florida: CRC press.

Pearson, M. N., Clover, G. R. G., Guy, P. L., Fletcher J. D. and Beever, R. E. 2006. A Review of the Plant Virus, Viroid and Mollicute Records for New Zealand. Australas. Plant Pathol. 35: 217-252.Scholthof, K.B. G. 2000. Tobacco Mosaic Virus. The Plant Health Instructor. http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/lessons/viruses/Pages/Tob accoMosaic.aspx. Diakses pada 26 Mei 2015.

Strange, R. N. 2005. Plant Disease: A Threat to Global Food Security. Annu. Rev. Phytopathol. 43: 83-116.van der Want, J. P. H. and Dijkstra, J. 2006. A History of Plant Virology. Arch. Virol. 151:1467-1498.Vidaver, A. K. and Lambrecht, P. A. 2004. Bacteria as Plant Pathogens. The Plant Health Instructor. www.apsnet.org/.../PathogenGroups/Pages/Bacteria.aspx. Diakses pada 26 Mei 2015.

Yusuf, Z. K. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek, 5(6), 1-6.Gambar 2. SEQ Gambar_2 \* ARABIC 1

Electron Microscopy (EM)