19
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG KRITIS PADA NEONATUS ( DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF CRITICAL CONGENITAL HEART DISEASE IN THE NEWBORN) Teddy Ontoseno Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair - RSU Dr. Soetomo Surabaya Korespondensi : Dr. dr.H.Teddy Ontoseno Dr. SpAK., SpJP Telp. : 031 550 1693, 031 5942439, 0818322205 No. Faximile : 031 5938735 Alamat Kantor : Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair – RSU dr. Soetomo Jl. Prof Dr. Moestopo 6-8 Surabaya Alamat e-mail : [email protected] 1

Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bgaimana mendiagnosis dan mengobati penyakit jantung bawaan pada bayi

Citation preview

Page 1: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG

KRITIS PADA NEONATUS

( DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF

CRITICAL CONGENITAL HEART DISEASE IN THE NEWBORN)

Teddy Ontoseno

Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FK Unair - RSU Dr. Soetomo Surabaya

Korespondensi :

Dr. dr.H.Teddy Ontoseno Dr. SpAK., SpJP

Telp. : 031 550 1693, 031 5942439, 0818322205

No. Faximile : 031 5938735

Alamat Kantor : Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FK. Unair – RSU dr. Soetomo

Jl. Prof Dr. Moestopo 6-8 Surabaya

Alamat e-mail : [email protected]

1

Page 2: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

ABSTRAK :

Neonatus dengan penyakit jantung bawaan (PJB) yang kompleks pada beberapa jam atau beberapa hari setelah lahir

sering tanpa disertai gejala klinis yang jelas, tetapi sebagian neonatus dengan kelainan yang sama sudah memberikan

gejala kritis. Perubahan sirkulasi fetal ke neonatal berlangsung dalam satu bulan pertama kehidupan, hal ini

memberikan pola pikir rasional bahwa selama dalam periode tersebut, terutama pada saat keluar rumah sakit, sangat

perlu re-evaluasi cermat. Tujuannya untuk memantau perubahan sirkulasi fetal ke neonatal sehingga kemungkinan

menderita PJB dapat terdeteksi secara dini. Pola pikir ini memerlukan pemahaman dasar tentang sirkulasi fetal dan

segala perubahan yang terjadi secara fisiologis pada saat setelah lahir agar dapat melakukan evaluasi secara

sistematis dan cermat. Deteksi dini terhadap PJB kritis pada neonatus mutlak diperlukan untuk memberikan terapi

awal sehingga kematian dini dapat dihindari serta dapat merencanakan tatalaksana lanjutan yang rasional dan

adekuat. Perhatian utama ditujukan terhadap gejala klinis gangguan sistem kardiovaskuler pada masa neonatus, yaitu

: sianosis sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea. Tatalaksana dini dan lanjutan yang optimal memerlukan

kesepakatan dan kerjasama tim yang baik dari berbagai disiplin ilmu dan profesi, yaitu dokter umum, dokter anak,

neonatologi, kardiologi, bedah kardiovaskuler dan anastesi serta perawat.

Kata kunci : PJB kritis, neonatus, gejala klinis

ABSTRACT

The newborn with very complex heart disease is rarely symptomatic, yet many newborn infants with same defects are

critically ill within hours or days after birth. The transition from the fetal to a more mature circulation occurs over the

first few weeks of life so serial evaluations are necessary during this time, so it is extremely important for every infant

to be carefully assessed at the time of discharge and at subsequent visits during the first month of life. A comprehensive

understanding of fetal cardiovascular physiology and the changes that occur at birth is essential for developing a

systematic approach to the diagnosis and treatment of a newborn with congenital cardiovascular disease. At birth,

there are rapid dramatic changes in cardiovascular function and blood flow patterns as the newborn adapts to a new

circulation in which oxygen exchange occurs in the lungs, the placenta is removed from the circulation.

Early identification of the newborn with serious or life-threatening heart disease is essential for optimal outcome. The

evaluation should focus on the three cardinal signs of neonatal cardiovascular distress: cyanosis, decrease systemic

perfusion, and tachypnea. A thoughtful and rational approach to the differential diagnosis is important for prompt

recognition and appropriate management. It is imperative that a concerted team approach involving general

practitioner, pediatrician, neonatologist, cardiologist, nurse, surgeon, and anesthesiologist are utilized. Effective and

ongoing communication is essential for optimizing care and for providing a uniform approach to the management of

these complex medical patients.

Key words : Critical CHD, Neonate and clinical manifestation

2

Page 3: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10%

dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab utama kematian pada masa neonatus.

Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah

maupun bedah jantung dalam 40 tahun terakhir memberikan harapan hidup sangat besar pada

neonatus dengan PJB yang kritis. Bahkan dengan perkembangan ekokardiografi fetal, telah dapat

dideteksi defek anatomi jantung, disritmia serta disfungsi miokard pada masa janin.1 Di bidang

pencegahan terhadap timbulnya gangguan organogenesis jantung pada masa janin, sampai saat ini

masih belum memuaskan, walaupun sudah dapat diidentifikasi adanya multifaktor yang saling

berinteraksi yaitu faktor genetik dan lingkungan. 2,3

Kita sadari walaupun cara diagnostik canggih dan akurat telah berkembang dengan pesat,

namun hal ini tidak bisa dilakukan oleh setiap dokter terutama di daerah dengan sarana diagnostik

yang belum memadai. Hal ini tidak menjadi alasan bahwa seorang dokter tidak mampu membuat

diagnosis dini dan sekaligus terapi awal, yang dilanjutkan dengan rujukan untuk terapi definitif

yaitu bedah korektif di pusat pelayanan jantung. Oleh karena itu, perlu dipahami perubahan-

perubahan sirkulasi fetal ke neonatal dan berbagai penyimpangannya dalam periode minimal 1

bulan pertama. Keberhasilan deteksi dini merupakan awal keberhasilan tatalaksana lanjutan PJB

kritis pada neonatus. 2,4

PERUBAHAN SISTEM SIRKULASI PADA SAAT LAHIR

Tangisan pertama merupakan proses masuknya oksigen yang pertama kali ke dalam

paru. Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta penurunan tahanan ekstravaskular

paru dan peningkatan tekanan oksigen sehingga terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan

dan penipisan dinding arteri pulmonalis. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel

kanan serta peningkatan saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya terjadi peningkatan

aliran darah ke paru secara progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri

sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini mengakibatkan penutupan foramen ovale juga

peningkatan tekanan ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan serta penebalan sistem arteri

sistemik. Peningkatan tekanan oksigen sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan

vasoaktif prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional dari duktus

arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri pulmonalis. Pada neonatus

aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan,

3

Page 4: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

lalu terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian

disusul proses trombosis, proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang

akhirnya terjadi penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan

duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan.

Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler sistemik,

terhentinya aliran darah dan penurunan tekanan darah di vena cava inferior serta penutupan

duktus venosus, sehingga tekanan di atrium kanan juga menurun sampai dibawah tekanan atrium

kiri. Hal ini mengakibatkan penutupan foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya

mengalirkan darahnya ke arteri pulmonalis. Peristiwa ini disusul penebalan dinding ventrikel kiri

oleh karena menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi tekanan arteri sistemik.

Sebaliknya ventrikel kanan mengalami penipisan akibat penurunan beban tekanan untuk

menghadapi tekanan arteri pulmonalis yang mengalami penurunan ke angka normal.

Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale diawali penutupan secara

fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel dan jaringan fibrous yang

mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen).

Tetap terbukanya duktus venosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect

terhadap total anomalous pulmonary venous connection dibawah difragma. Tetap terbukanya

foramen ovale pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap kelainan obstruksi

jantung kanan. Tetap terbukanya duktus arteriosus pada waktu lahir mengakibatkan masking

effect terhadap semua PJB dengan ductus dependent sistemic dan ductus dependent pulmonary

circulation.5,6

FAKTOR YANG MEMBUAT KECURIGAAN TERHADAP PJB KRITIS PADA

NEONATUS

1. Riwayat :

• Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB

• Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama

saat kehamilan trimester I.

• Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral.

2. Pemeriksan Fisik :

• Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis

Frekuensi meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung

II mengeras atau tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas,

intensitas, timing, lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada

4

Page 5: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus dengan PJB terdengar

bising jantung.

• Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse

dan tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia,

edema.

Tidak semua gejala tersebut timbul pada masa neonatus dan tidak semua neonatus dengan

gejala tersebut memerlukan tindakan spesifik yang harus segera dilaksanakan tapi

memerlukan pemeriksaan tambahan, yaitu :

3. Pemeriksaan tambahan :

• Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi

paru, edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.

• Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan

QRS, voltase di sandapan prekordial.

4. Pada monitoring, ditemukan kelainan berupa :

• Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan

kanan) dan postduktal (kaki).

• pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik (pada

neonatus dengan gagal jantung ada peningkatan CO2).7-9

Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta pemeriksaan fisis

yang sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan monitoring, maka gejala sianosis

sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea akibat PJB kritis pada neonatus bisa ditegakkan.

Dengan demikian dapat segera diberikan terapi awal untuk mencegah kematian dini dan sekaligus

dapat direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat, rasional dan adekuat. Bilamana fasilitas

kesehatan yang memadai tidak tersedia dan neonatus sudah dalam kondisi yang relatif stabil

maka dapat dipersiapkan pelaksanaan rujukan ke pusat pelayanan jantung yang terjangkau.

Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB sianosis,

terabanya impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri akibat peningkatan

beban volume. Bising jantung sering ditemukan pada neonatus normal dan sering tidak

ditemukan pada neontus dengan PJB. Bising jantung yang bersifat sistolik ejeksi yang menjalar

ke leher akibat lesi obstruksi jantung kiri atau bila terdengar penjalarannya ke punggung maka

curiga adanya lesi obstruksi jantung kanan. Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu

adanya peningkatan volume darah dan tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru dan adanya

situs inversus.

5

Page 6: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac cyanosis) sering

belum terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa keadaan yang juga

memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit parenkhim paru, sirkulasi fetal persisten,

kelainan sisitem saraf sentral dan kelainan hematologi. Penyakit parenkhim paru selalu disertai

distres nafas yang segera memerlukan ventilator dan ditemukan kelainan pada pemeriksaan foto

polos dada. Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding arteria

pulmonalis tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai distres nafas yang

ringan atau sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi mekonium dan prematuritas serta riwayat

ibu mengkonsumsi steroid pada bulan terakhir kehamilan.

Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan mempertahankan

pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus dependent pulmonary circulation).

Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral (masking effect) sehingga tidak ada persangkaan

adanya PJB biru pada neonatus yang sedang kita hadapi. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh

tangisan atau aktivitas minum serta peningkatan saturasi oksigen kearah nilai normal

mengakibatkan rangsangan penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul gejala sianosis sentral

walaupun kadang masih bersifat transient, yaitu terutama pada saat menangis atau aktivitas

minum. Penutupan duktus masih terjadi secara anatomis tetapi secara fungsionil masih terbuka.

Pada kondisi seperti ini pemeriksaan saturasi oksigen secara serial dengan cara pulse oxymetri

memang diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 % dengan kecepatan 1 liter/menit

selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis, bila saturasi O2 >90% kemungkinan

suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap dibawah 90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis.

Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala takipnea

ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai gejala pernafasan

cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara pernafasan grunting. Hipoksemia akan berjalan

progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan duktus yang sudah persisten yaitu

secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis sentral semakin nyata dan tampak menetap,

yaitu walaupun pada saat tidur maupun beraktivitas.

Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer karena

tidak terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta atau disfungsi miokard akibat

sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan polisitemia. Dalam beberapa

jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang masih terbuka akan meniadakan gejala

(masking effect) penurunan perfusi perifer (ductus dependent systemic circulation). Penutupan

duktus akan menimbulkan penurunan aliran darah ke sistem arteri perifer, hal ini mengakibatkan

6

Page 7: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

penurunan perfusi perifer dengan gejala berupa tidak mau minum, pucat dan berkeringat disertai

distres nafas.

Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau kiri ke kanan)

baru terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi penurunan tahanan

pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin kearah normal. Oleh karena itu, takipnea yang

timbul segera setelah lahir tanpa disertai gejala sianosis sentral dan penurunan perfusi perifer

menunjukkan suatu kelainan paru, bukan PJB !. Neonatus normal bernafas lebih cepat daripada

bayi, namun tidak lebih dari 60 kali per menit untuk periode waktu yang lama.

PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOSI YANG

DISERTAI PENURUNAN ALIRAN DARAH KE PARU (CARDIAC CYANOSIS) PADA

NEONATUS

Sianosis adalah manifestasi klinis tersering dari PJB simptomatik pada neonatus. Sianosis

tanpa disertai gejala distres nafas yang jelas hampir selalu akibat PJB, sebab pada kelainan

parenkhim paru yang sudah sangat berat saja yang baru bisa memberikan gejala sianosis dengan

demikian selalu disertai gejala distres nafas yang berat.

Pada neonatus normal, pelepasan oksigen ke jaringan harus sesuai dengan kebutuhan

metabolismenya. Jumlah oksigen yang dilepaskan ke jaringan bergantung kepada aliran darah

sistemik, kadar hemoglobin dan saturasi oksigen arteri sistemik. Pada saat lahir, kebutuhan

oksigen meningkat sampai 3 kali lipat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme agar

menghasilkan enersi untuk bernafas dan termoregulasi. Untuk ini diperlukan peningkatan aliran

darah sistemik 2 kali lipat dan saturasi oksigen 25% sehingga pelepasan dan pengikatan oksigen

di jaringan juga meningkat sesuai kebutuhan. sianosis perifer (acrocyanosis) sering dijumpai pada

neonatus , hal ini akibat tonus vasomotor perifer yang belum stabil. Tampak warna kebiruan pada

ujung jari tangan dan kaki serta daerah sekitar mulut, disertai suhu yang dibawah normal dan

hiperoksia tes menunjukkan hasil yang negatip.

Pada neonatus dengan PJB sianosis, tidak mampu meningkatkan saturasi oksigen arteri

sistemik, justru sangat menurun drastis saat lahir, sehingga pelepasan dan pengikatan oksigen di

jaringan menurun. Kondisi ini bila tidak segera diatasi mengakibatkan metabolisme anaerobik

dengan akibat selanjutnya berupa asidosis metabolik, hipoglikemi, hipotermia dan kematian.

Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan (Cardiac cyanosis) yang disertai

penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung kanan, yaitu katup

trikuspid atau arteri pulmonalis. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan proses oksigenasi darah di

7

Page 8: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

paru sehingga darah dengan kadar oksigen yang rendah (unoxygenated) akan beredar ke sirkulasi

arteri sistemik melalui foramen ovale atau VSD (pada tetralogy Fallot). Seluruh jaringan tubuh

akan mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis sentral tanpa gejala

gangguan pernafasan. Kesulitan akan timbul, bila sianosis disertai tanda-tanda distres pernafasan.

Terdapatnya anemia berat mengakibatkan jumlah Hb yang tereduksi tidak cukup menimbulkan

gejala sianosis. Adanya pigmen yang gelap sering mengganggu sianosis sentral yang berderajat

ringan akibat PJB. Sianosis perifer bila disertai bising inoccent dapat menyesatkan dugaan

adanya PJB sianotik.

Beberapa kondisi klinis yang memberikan dugaan cardiac cynosis pada neonatus dan

sudah merupakan alasan yang cukup untuk merujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap, didasari

beberapa alasan tambahan sebagai berikut :

1. Hipoksemia sistemik menimbulkan gejala sianosis sentral

2. Sianosis sentral akibat PJB tidak timbul segera setelah lahir

3. Sianosis sentral tidak tampak selama saturasi oksigen arteri masih diatas 85%

4. Sianosis sentral dengan frekuensi pernafasan yang cepat (hiperventilasi) tanpa disertai

pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga serta kadar CO2 yang rendah.

5. Sianosis sentral dengan tes hiperoksia positip.

6. Harus dicari apakah aliran darah sistemik berasal dari ventrikel kanan atau kiri, adanya

duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden

berasal dari ventrikel yang tidak sama. Pada kondisi ini diperlukan pemasangan pulse

oxymetri pada tangan kanan dan kaki.11,,55,,66

PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG DISERTAI

PENINGKATAN ALIRAN DARAH KE PARU (NON SIANOSIS) PADA NEONATUS

Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri pulmonalis yang

tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai

normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik, selama tahanan arteri pulmonalis masih tinggi,

defek jantung yang ada belum menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah

4-12 minggu postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai

normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah yaitu yang seharusnya

ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru terjadi pirau kiri ke kanan disertai

gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising sampai gagal jantung dengan gejala utama

takipnea.

8

Page 9: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Harus dibedakan takipnea akibat PJB dan akibat kelainan parenkhim paru, Takipnea akibat PJB

non sianosis pada neonatus baru timbul bila peningkatan aliran darah ke paru sampai lebih dari

2,5 kali aliran normal. Takipnea akibat penyakit paru pada neonatus sudah timbul walaupun

peningkatan aliran darah ke paru masih ringan-ringan saja. Adanya penyakit pada paru akan

memperjelas gejala takipnea pada PJB usia neonatus.

Peningkatan aliran darah ke paru mengakibatkan peningkatan tekanan prekapiler di paru dan

aliran limfatik sehingga terjadi peningkatan cairan intersisial di parenkhim paru dan terutama di

peribronkhial. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi bronkhioli dan terjadi penurunan aliran

udara serta peningkatan tekanan udara, kondisi ini meningkatkan work of breathing dan

terdengarnya wheezing expiratoir. 1,8,9

PENDEKATAN KLINIS UNTUK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN YANG DISERTAI

PENURUNAN ALIRAN DARAH KE SISTEMIK PADA NEONATUS

Penurunan aliran darah ke sistemik akibat PJB pada neonatus berupa a) hambatan aliran

darah dari paru atau atrium kiri ke ventrikel kiri, b) ventrikel kiri tidak adekuat memompa darah

ke aorta. Kedua kondisi ini mengakibatkan peningkatan tekanan vena paru dan edema paru serta

penurunan perfusi organ-organ vital. Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa

penurunan suhu kulit dan perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai

tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan penurunan

capillary refile, metabolik asidosis berat serta distres nafas sedang sampai berat.

Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan bawah, normal

tekanan darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan denyut nadi tanpa disertai

perbedaan tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri karotis. Perbedaan pulsasi arteri karotis

dengan pulsasi ekstremitas bawah dan ekstremitas bawah menunjukkan kemungkinan koartasio

aorta, interrupted aorta atau arteri subklavia berasal dari aorta d Ada 2 keadaan pada neonatus

yang baru lahir dengan penrunan perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang sampai

berat yang disertai retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan grunting, yaitu persistent

pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary venous return. Kedua kondisi ini sulit

dibedakan !, pada persistent pulmonary hypertension sering disertai riwayat prenatal berupa

ketuban pecah dini, sindroma aspirasi mekonium atau asfiksia berat.1,8,9

9

Page 10: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Tabel 1 : Kelainan jantung yang memberikan gejala DALAM 2 minggu pertama kehidupan

postnatal

(Dikutip dari Sastroasmoro S dalam Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Penidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX FKUI 1989)

Hari ke Obstruksi Jantung

kanan Malposisi Arteri Besar

Obstruksi Jantung

Kiri

Pirau kiri

ke kanan

1 PFC - - -

2 PA tanpa VSD - - -

3 PS berat TGA tanpa VSD - -

4 - TGA + VSD HLHS -

5 - Ventrikel tunggal ± PS IAA -

6 - - - -

7 - - - -

8 TF berat - AVS berat -

9 Anomali Ebstein - CoA berat -

10 - - - PDA besar

11 - - - VSD besar

12 - - - -

13 - - - AVC

14 - - TAPVD dengan

obstruksi TrA

Umur rara-rata

saat Dx (hari) 3 ± 1 4 ± 1 8 ± 1 12 ± 1

10

Page 11: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Tabel 2 : Kelainan Jantung yang memberikan gejala SETELAH 2 minggu pertama

kehidupan postnatal

Umur Obstruksi Jantung

Kanan

Malposisi Arteri

Besar

Obstruksi Jantung Kiri Pirau Kiri ke Kanan

Bulan I PGA ± VSD

PS berat

PA + TA

TGS ± VSD HLHS

IAA

AVS berat

CoA berat

TAPVD + obstruksi

Bulan I – V TA + VS

TF dengan serangan

sianotik

SV tanpa PS DORV

tanpa PS

PDA Besar

VSD Besar

CAVC

TrA

TA tanpa PS

TAPVD tanpa

obstruksi

Bulan VI – XII TF tanpa serangan

sianotik

TA + PS sedang

DORV + PS

Ebstein

ASD Besar

Tahun II - VI TF ringan CoA

ASD

AVS

VSD sedang

PDA kecil

Keterangan : PFC = sirkulasi janin yang menetap; PA= atresia pulmonal; PS= stenosis pulmonal; TGA= transposisi

arteri besar; HLHS=sindrom hipoplasia jantung kiri; IAA=arkus aorta terputus; TF=tetralogi Fallot;

AVS=stenosis katub aorta; CoA=koartasio aorta; PDA=duktus arterisosus persisten; VSD=defek septum

ventrikel; AVC=kanalis atrioventrikular; TAPVD=anomali total drainase vena pulmonalis; TrA=trunkus

arteriosus; DORV=double outlet right ventricle; SV=ventrikel tunggal. (Dikutip dari Sastroasmoro S dalam

Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Penidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak

XX FKUI 1989)

11

Page 12: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

PEMERIKSAAN TAMBAHAN LAINNYA YANG DIPERLUKAN UNTUK PJB KRITIS

PADA NEONATUS

Selain pemeriksaan elektrokardiogram untuk melihat kemungkinan adanya disritmia,

aksis dan potensial listrik dari ventrikel, juga pemeriksaan foto polos dada untuk melihat besar

dan bentuk jantung serta parenkhim paru serta letak organ diluar jantung (inversus atau solitus).

Pemeriksaan ekokardiografi sangat penting untuk menetapkan/konfirmasi diagnosis defek

anatomis pada setiap neonatus dengan dugaan PJB. Fetal ekokardiografi dapat mendeteksi fetal

heart failure bila ditemukan edema scalp, asites, efusi perikard atau gerakan fetus yang melemah.

Pemeriksaan kateterisasi dan angiokardiografi yang dilanjutkan dengan intervensi non bedah

(balloon atrial septostomy, balloon valvuloplasty, intraductal stent dan balloon angioplasty)

sering merupakan tindakan yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan kematian dini

serta untuk optimalisasi kondisi klinis dalam rangka persiapan operasi jantung terbuka sebagai

pengobatan definitif untuk neonatus dengan PJB kritis.

Pemeriksaan mean corpuscular volume (MCV) dan serum ferritin sangat

menggambarkan status besi pada setiap neonatus dengan PJB sianosis. Pada kondisi ini bila ada

defisiensi besi merupakan risiko untuk terjadinya trombosis dan perdarahan otak.1,12,13

PENATALAKSANAAN AWAL NEONATUS DENGAN PJB KRITIS

Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan kondisi

kritis pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada kecenderungan para dokter

untuk melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak

boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan

pasien.

Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan dalam

mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan penatalaksanaan

kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan kegawatan jantung secara khusus

sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi (sianosis sentral, peningkatan aliran darah

ke paru atau penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut :

1. Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37o C dan

kelembaban sekitar 50%).

12

Page 13: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

2. Pemberian oksigen

Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa

mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus

mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal ini

memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus ductus

dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation malah

mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut

lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar

(0,21% O2).

Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan

meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada

neonatus yang mengalami distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan

ini dapat akan berkurang dengan pemberian oksigen yang dilembabkan dengan

kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter nasofaringeal. Pada

neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan ventilasi mekanik sangat

diperlukan.

3. Pemberian cairan dan nutrisi

Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat badan.

Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih dapat

diberikan masukan oral susu formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu

perhatian khusus pada PJB kri t is terhadap gangguan reflex menghisap dan

pengosongan lambung serta r is iko aspirasi . Pemberian melalui sonde akan

menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi shock, pemberian cairan

10 – 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons terhadap peningkatan tekanan

darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital yang lain. Disfungsi miokard akibat asfiksia

berat memerlukan pemberian dopamin dan dobutamin.

4. Pemberian prostaglandin E1

Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan sementara menunggu

kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional selanjutnya, prostaglandin E1

diberikan pada :

a. Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus

dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru (Atresia

pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau meningkatkan tekanan

13

Page 14: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

atrium kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih

baik (transposisi pembuluh darah besar).

b. Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah atau tak

teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic circulation). Tujuan :

meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta,

transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri).

Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter

umbilikalis, dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit selama

belum timbul efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi efek

samping berupa hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera diturunkan

dosisnya dan diberikan bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka

selain menurunkan dosis prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi

mekanik dengan O2 rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.

Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak terjadi

efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka dosis

dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga

tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1 perlu

disiapkan ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus

dipantau ketat terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea,

hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular

diseminata, perlu juga diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi

fetal yang persisten. Bila ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB

maka pemberian prostaglandin E1 segera dihentikan.

Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang hampir sama

dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada awalnya

diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini dapat

diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus dalam

beberapa bulan, namun duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan.

Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan

pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum

(0,10 mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya

harus segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention.

5. Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia

14

Page 15: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus diberikan adalah

diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan dosis awal 1 mg/kgBB yang

dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3 kali sehari.

Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung (inotropik dan vasopresor)

dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm 10 mikrogram/kgBB per oral, untuk

neonatus aterm 10 – 20 mikrogramkgBB per oral. Diberikan loading dose sebesar 1/2 dari

dosis digitalisasi total, disusul 1/4 dosis digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4 dosis

sisanya diberikan 12-24 jam kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB per

oral. Pemberian intravena dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari dosis

per oral. Dosis per oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada penurunan

funsi ginjal.

Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal vascular bed)

dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (meningkatkan

kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat baik untuk meningkatkan

penampilan jantung dengan dosis yang minimal.

Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan meningkatkan

kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan gagal jantung kongestif. Dosis

1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis yang sama untuk rumatan. Sangat efektif

pada kondisi neonatus dengan: a) penurunan fungsi ventrikel, b) pirau kiri ke kanan yang

masif, c) regurgitasi katup, c) hipertensi sistemik, d) hipertensi pulmonal.

Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node rate, dilatasi

renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka penampilan jantung dapat

ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi perifer dan mengurangi hipoksia

jaringan.

Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia berat telah dikurangi

dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya akan menghilang

dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia tanpa memperbaiki

hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain tidak bermanfaat juga

malah menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih membahayakan.

6. Koreksi terhadap kelainan metabolik

15

Page 16: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali sukar dikoreksi.

Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2 ml/kgBB intravena perlahan-

lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas darah.

Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium, natrium, magnesium dan

kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi secepatnya bila pada pemantauan klinis

ditemukan hal-hal tersebut.1,13,14

PENATALAKSANAAN SPESIFIK NEONATUS DENGAN PJB KRITIS

Setelah tindakan umum awal tersebut diatas dikerjakan, seorang dokter harus dapat

mengukur kemampuan menangani neonatus dengan PJB yang kritis sesuai dengan fasilitas

setempat dengan melakukan evaluasi terhadap segala yang telah dikerjakan. Bila hasil evaluasi

tidak ada perbaikan atau bahkan memburuk dan tindakan lebih lanjut tidak dapat dilakukan,

maka harus dipikirkan untuk merujuk penderita sesegera mungkin ke rumah sakit yang lebih

lengkap. Bila kondisi memungkinkan langsung dirujuk ke pusat pelayanan jantung yang

terjangkau. Disini setelah diagnosis spesifik ditegakkan maka harus bisa dijawab (1) apakah

kelainan yang ada dapat ditolong dengan operasi ?, dan (2) apakah tindakan bedah harus

dilakukan segera atau dapat ditunda?.

Tindakan di pusat pelayanan jantung yang perlu dilakukan untuk mengurangi derajat

hipoksemia sesuai dengan kelainan anatomik jantung, berupa (a) meneruskan dan melengkapi

terapi medik yang telah diberikan, (b) intervensi non bedah yaitu : septostomi atrium dengan

balon, valvuloplasti katup dengan balon atau pemasangan stent untuk mempertahankan duktus

tetap terbuka, dan (c) tindakan bedah, bila memungkinkan langsung dilakukan koreksi total

sebagai tindakan definitip atau dapat ditunda.

a. Terapi medik

Bila yang dihadapi adalah PJB kritis akibat decompensated PDA, ditandai hiperaktif

prekordium, bising kontinyu pada ICS 2 kiri, wide pulse pressure, bounding pulses,

kardiomegali dan peningkatan vaskularisasi pada foto polos dada, maka pembatasan

cairan dan pemberian diuretika diteruskan. Bila tidak ada respons maka segera diberikan

Indomethasin 0,2 – 0,3 mg/kg/BB/dosis intravena diulang setiap 8-12 jam sampai

maksimal 3 kali/hari. Bila belum juga ada respon, program bisa dulang sampai 2 -3 hari,

kalau tetap tidak ada respons maka segera dilakukan operasi ligasi duktus.

Bila yang dihadapi adalah PJB kritis yang bergantung kepada terbukanya duktus (ductus

dependent systemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation), maka

meneruskan pemberian prostaglandin E1 dengan dosis minimal yang optimal.

16

Page 17: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

b. Intervensi non bedah

Septostomi septum inter atrial dengan balon dapat memperbaiki hipoksemia secara

dramatis terutama pada transposisi pembuluh darah besar dengan percampuran darah

sistemik dan pulmonal yang tidak adekuat. Dilatasi katup pada critical pulmonal/aortic

stenosis dengan balloon valvuloplasty memberikan hasil yang cukup dramatis.

Pemasangan stent didalam duktus telah dicoba di beberapa pusat pelayanan jantung di

luar negeri, tapi masih dipertimbangkan keuntungan dan kekurangannya serta masih

perlu studi jangka panjang.

c. Tindakan bedah

Di negara yang sudah maju, telah dilakukan operasi koreksi jantung pada masa neonatus,

sehingga tindakan bedah ini merupakan tindakan rutin dari penatalaksanaan awal PJB

sianotik. Di Indonesia hal ii belum dapat dilaksanakan, seingga tindakan bedah biasanya

merupakan langkah lanjutan dari penatalaksanaan PJB sianotik.

Tindakan bedah tersebut berupa (a) bedah paliatif untuk meningkatkan aliran darah ke

paru dengan pintasan Blalock-Taussig atau modifikasinya, atau tindakan mengikat arteri

pulmonalis untuk mengurang aliran darah ke paru, dan (b) bedah definitif untuk

menjamin fisiologi yang normal dengan melakukan koreksi anatomik.16-19

KONSULTASI, RUJUKAN dan TRANSPOTASI

Dengan mencermati langkah-langkah yang telah diuraikan diatas, seorang dokter dapat

mengukur kemampuan menangani neonatus dengan PJB yang kritis sesuai dengan fasilitas

setempat. Bila tindakan lebih lanjut tidak dapat dilakukan, maka harus dipikirkan untuk merujuk

penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap atau bila kondisi memungkinkan langsung dirujuk ke

pusat pelayanan jantung yang terjangkau.

Di negara maju, rujukan dini sudah merupakan kesepakatan di antara para dokter umum,

dokter anak, dokter ahli jantung, dokter ahli perawatan intensif dan ahli bedah jantung. Di

Indonesia, berbagai kendala meliputi lokasi, komunikasi, transportasi, biaya dan pengertian atau

persetujuan pihak keluarga penderita.

Bilamana segala aspek telah dipertimbangkan dan diputuskan untuk melakukan rujukan

segera, maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengamankan neonatus selama transportasi,

berupa : (a) bahaya hipotermia, neonatus harus dibawa dalam inkubator, dengan tambahan

selimut katun serta kertas aluminium untuk mencegah kehilangan panas, (b) asidosis, harus

dikoreksi sebelum neonatus dibawa, mungkin koreksi perlu diulang dalam perjalanan yang jauh,

tentunya hanya berdasarkan penilaian klinis saja, (c) kelainan metabolik berupa hipoglikemia,

17

Page 18: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

hipokalsemia, hipokalemia dan hipovolemia atau anemia harus dicegah dan sedapat mungkin

diatasi sebelum neonatus dibawa, (d) hipoksia berat, harus dikurangi dengan ventilasi yang harus

dilakukan sebelum bayi dibawa. Pemberian prostaglandin E1 sudah harus dimulai walaupun

diagnosa definitif belum bisa ditegakkan. Bila mungkin didampingi dokter atau dokter anak dan

perawat, tidak boleh dilupakan informed concent dan lembar observasi mencatat waktu, kejadian

klinis, semua obat dan tindakan yang telah dikerjakan.13,20

TUGAS PERAWAT PADA NEONATUS DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

KRITIS

Diagnosis PJB kritis pada neonatus selalu menimbulkan beban moril maupun materiil

dan rasa bersalah, putus asa, bingung, marah pada orang tua, kakek nenek, saudara-saudaranya

dan seluruh keluarga penderita. Pada kondisi seperti ini, peran perawat sangat penting untuk

membantu tim dokter dalam memberikan suasana tenang serta membantu memberikan informasi

tentang kondisi penderita, keadaan klinis yang menggambarkan kegawatan jantung (peningkatan

frekuensi nafas, bertambah jelasnya sianosis sentral, menurunnya kemampuan minum dan

produksi kencing, muntah atau melemahnya tangisan) dan rencana pemeriksaan untuk

menegakkan diagnosis maupun tindakan yang akan dikerjakan untuk menyelamatkan penderita

dari kematian dini. Peran perawat juga sangat diperlukan dalam kardiologi pencegahan, yaitu ikut

membantu mengidentifikasi faktor risiko yang kemungkinan terjadi pada penderita selama masa

prenatal.

KEPUSTAKAAN

1. Artman M, Mahony L, Teitel DF. Neonatal Cardiology. The McGraw-Hill Companies Medical Publishing Division. 2002

2. Ontoseno T. Kelainan jantung bawaan dan etiologinya masa kini. Buletin Toraks Kardiovaskuler Indonesia. 1996 : IV (4) : 30-34.

3. Saenz RB, Diane KB, Laramie C. Triplett, M.D. Caring for Infants with Congenital Heart Disease and Their Families. University of Mississippi Medical Center Jackson, Mississippi American academy of Family Physician. 2003

4. Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau, kini, dan masa mendatang : Perannya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskuler. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam ilmu kardiologi anak pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1997: 11 Juni.

5. Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA, Tynan M. Fetal circulation and circulatory changes at birth. In : Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA and Tynan M, eds. Paediatric Cardiology. Vol.2 Churchill Livingstone, 1987: 109.

6. Wren C, Richmond S, Donaldson L : Presentation of congenital heart disease in infancy : implications for routine examination. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1999 : 80 : F49-F53.

7. Dinarevic S, Kurtagic S, Maksic H : Use of prostaglandins in neonatal Cardiology. Med Arh. 2000 :54(5-6):279-82

8. Westmoreland D : Critical congenital cardiac defects in the newborn. J. Perinat Neonatal Nurs. 1999 : Mar 12(4):67-87.

9. Friedman WF, Silverman N. Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company Philadelphia London New York St Louis Sydney Toronto. 2001: pp 1505-1591.

18

Page 19: Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

10. Korones SB, Bada-Ellzey HS : Shock. In : Korones SB, Bada-Ellzey HS,eds. Neonatal Decision Making. B.C Decker An Imprint of Mosby-Year Book, Inc. 1993 : 158-160.

11. Sastroasmoro S. Penatalaksanaan awal penyakit jantung bawaan sianotik. Dalam: Sastroasmoro dan Madiyono B ed. Penatalaksanaan kedaruratan kerdiovaskular pada anak Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX FKUI. Desember 1989:1-20

12. Hsia C.C.W. Respiratory Function of Hemoglobin. The New England Journal of Medicine. 1998: 338 (4) : 239-47

13. Wilkinson JL. Initial management and referral for surgical intervention of neonates with critical congenital heartd disease. Indones J Pediatr Cardiol 2002:1: 4-6

14. Dinarevic S, Kurtagic S, Maksic H : Use of prostaglandins in neonatal cardiology. Med Arh. 2000 : 54(5-6):279-82

15. Mulyadi M Djer, Bambang Madyono, Sudigdo Sastroasmoro, Sukman T Putra, Ismet N Oesman, Najib Advani, Mazeni Alwi : Stent implantation into ductus arteriosus: a new alternative of palliative treatment of duct-dependent pulmonary circulation. Paediatrica Indonesiana. 2004 : 44 (1-2): 30-36.

16. Korones SB, Bada-Ellzey HS : Patent Ductus Arteriosus. In : Korones SB, Bada- Ellzey HS,eds. Neonatal Decision Making. B.C Decker An Imprint of Mosby- Year Book, Inc. 1993 : 162-163.

17. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of art and future directions. Pediatr Cardiol 1998 : 19: 107-24

18. Ontoseno T. Perjalanan hidup penderita dengan Penyakit Jantung Bawaan. Jurnal Kardiologi Indonesia. 1996 : XXI : 329-334.

19. Lewis AB, Freed MD, Heyman MA, Roehl SL, Kensey RC. Side effect of prostaglandin E1 in infants with critical congenital heart disease. Circulation 1981: 64: 893-8.

20. Sao Paulo SP : Critical Analysis of Diagnostic Methods in Pediatric Cardiology. Arq Bras Cardiol 2001: 76 (1), 4-6.

21. Sullivan ID : Prenatal diagnosis of structural heart disease : doe it make a difference to survival ? Heart 2002 : 87: 405-406.

22. Eronen M : Outcome of fetuses with heart disease diagnosed in utero. Arch Dis a. Child 1997 : 77 : F41-F46

19