8
Copyright ©2021 ARCADE:This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License[CC BY SA] Doni Fireza, Adli Nadia, Lutfi Yondri: [Desain Museum In-Situ Situs Gunung Padang..]31 DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI SITUS ARKEOLOGI (Studi Kasus: Situs Arkeologi Gunung Padang Cianjur) Doni Fireza 1 , Adli Nadia 2 , Lutfi Yondri 3 1,2 Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Agung Podomoro 3 Peneliti Utama Balai Arkeologi Jawa Barat E-mail: [email protected] Abstract: The Gunung Padang archaeological site in Cianjur, West Java is currently experiencing a challenge when this site is opened to the public where can also be researched and visited at once as one of the source economic benefits to local people. This paper discusses how the typology of the presentation model of archeological sites will become the basis of the concept of museum design as a solution for conservation and the continuity of the research on the Gunung Padang site. The discussion includes; (1) investigating site characteristics and sense of place by providing information about archeological relations with the architectural context; (2) choosing a site presentation typology model that links contemporary characters, historical functions, and future planning and management; (3) analyze planning factors such as location, context, and use; (4) synergizing the previous stages of site design as a combination of space and place of landscape in the archeological order. The result is the museum design as an educational tourist spot with a main orientation on conservation and archaeological research on the Gunung Padang site. Keyword: In-Situ Museum Design, Archaeological Site Protection, Cultural Heritage Tourism Abstrak: Situs arkeologi Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat saat ini mengalami tantangan ketika situs ini dibuka untuk umum di mana harus dapat diteliti dan dikunjungi sekaligus sebagai sumber keuntungan ekonomi untuk masyarakat sekitar. Makalah ini membahas bagaimana tipologi model penyajian situs arkeologi akan menjadi dasar konsep desain museum sebagai solusi untuk konservasi dan kelanjutan penelitian di situs Gunung Padang. Diskusi meliputi; (1) menyelidiki karakteristik situs dan sense of place dengan memberikan informasi tentang hubungan arkeologis dengan konteks arsitektur; (2) memilih model tipologi presentasi situs yang menghubungkan karakter kontemporer, fungsi historis, dan perencanaan dan manajemen masa depan; (3) menganalisis faktor-faktor perencanaan seperti lokasi, konteks, dan penggunaan; (4) mensinergikan tahap-tahap desain situs sebelumnya sebagai kombinasi ruang dan tempat lanskap dalam tatanan arkeologis. Hasil penelitian adalah desain museum sebagai tempat wisata pendidikan dengan orientasi utama pada konservasi dan penelitian arkeologi di situs Gunung Padang. Kata Kunci: Desain Museum In-situ, Perlindungan Situs Arkeologi, Pariwisata Pusaka Budaya PENDAHULUAN Situs arkeologi adalah warisan budaya yang memiliki nilai-nilai penting peradaban manusia yang harus dilindungi. Tujuan utama konservasi situs arkeologi adalah untuk melindungi warisan budaya dari kerusakan dan kehilangan, yang melibatkan mulai intervensi pencegahan sampai perbaikan pada objek arkeologi (Matero, 2006). Namun, tindakan perlindungan tersebut harus memungkinkan warisan budaya tersebut untuk tetap dipelajari, ditampilkan, dan dikunjungi secara publik. Dalam hal ini, memuseumkan suatu situs arkeologi menjadi satu pendekatan yang tepat, karena sejalan dengan prinsip museum yang bertugas sebagai entitas yang memiliki, melestarikan, dan mempromosikan koleksi mereka sebagai kontribusi untuk melindungi warisan alam, budaya dan ilmiah (ICOM, 2017). Sebagai situs arkeologi yang sedang dalam proses penelitian arkeologi, pada Situs Gunung Padang terdapat permasalahan di lapangan dimana terdapat potensi konflik antara keinginan menjadi destinasi wisata dengan kegiatan penelitian arkeologi. Dengan membuka akses luas kepada publik untuk mengunjungi situs tersebut membuat situs ini rentan terhadap ancaman kerusakan yang disebabkan oleh kunjungan wisatawan yang berlebihan dan tidak terkontrol. Cerita-cerita simpang siur tentang legenda dan mitos yang berkembang luas ternyata memang lebih menarik bagi pengunjung dibanding dengan kandungan nilai budaya dan sejarah yang sesungguhnya. Ditambah dengan perhatian pemerintah terhadap situs ini selama 7 tahun terakhir Informasi Naskah: Diterima: 27 September 2020 Direvisi: 16 Desember 2020 Disetujui terbit: 3 Januari 2021 Diterbitkan: Cetak: 29 Maret 2021 Online 29 Maret 2021

DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

Copyright ©2021 ARCADE:This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License[CC BY SA]

Doni Fireza, Adli Nadia, Lutfi Yondri: [Desain Museum In-Situ Situs Gunung Padang..]31

DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI SITUS ARKEOLOGI (Studi Kasus: Situs Arkeologi Gunung Padang Cianjur)

Doni Fireza1, Adli Nadia2, Lutfi Yondri3 1,2Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Agung Podomoro 3Peneliti Utama Balai Arkeologi Jawa Barat E-mail: [email protected]

Abstract: The Gunung Padang archaeological site in Cianjur, West Java is currently experiencing a challenge when this site is opened to the public where can also be researched and visited at once as one of the source economic benefits to local people. This paper discusses how the typology of the presentation model of archeological sites will become the basis of the concept of museum design as a solution for conservation and the continuity of the research on the Gunung Padang site. The discussion includes; (1) investigating site characteristics and sense of place by providing information about archeological relations with the architectural context; (2) choosing a site presentation typology model that links contemporary characters, historical functions, and future planning and management; (3) analyze planning factors such as location, context, and use; (4) synergizing the previous stages of site design as a combination of space and place of landscape in the archeological order. The result is the museum design as an educational tourist spot with a main orientation on conservation and archaeological research on the Gunung Padang site. Keyword: In-Situ Museum Design, Archaeological Site Protection, Cultural Heritage Tourism

Abstrak: Situs arkeologi Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat saat ini mengalami tantangan

ketika situs ini dibuka untuk umum di mana harus dapat diteliti dan dikunjungi sekaligus sebagai sumber keuntungan ekonomi untuk masyarakat sekitar. Makalah ini membahas bagaimana tipologi model penyajian situs arkeologi akan menjadi dasar konsep desain museum sebagai solusi untuk konservasi dan kelanjutan penelitian di situs Gunung Padang. Diskusi meliputi; (1) menyelidiki karakteristik situs dan sense of place dengan memberikan informasi tentang hubungan arkeologis dengan konteks arsitektur; (2) memilih model tipologi presentasi situs yang menghubungkan karakter kontemporer, fungsi historis, dan perencanaan dan manajemen masa depan; (3) menganalisis faktor-faktor perencanaan seperti lokasi, konteks, dan penggunaan; (4) mensinergikan tahap-tahap desain situs sebelumnya sebagai kombinasi ruang dan tempat lanskap dalam tatanan arkeologis. Hasil penelitian adalah desain museum sebagai tempat wisata pendidikan dengan orientasi utama pada konservasi dan penelitian arkeologi di situs Gunung Padang. Kata Kunci: Desain Museum In-situ, Perlindungan Situs Arkeologi, Pariwisata Pusaka Budaya

PENDAHULUAN Situs arkeologi adalah warisan budaya yang memiliki nilai-nilai penting peradaban manusia yang harus dilindungi. Tujuan utama konservasi situs arkeologi adalah untuk melindungi warisan budaya dari kerusakan dan kehilangan, yang melibatkan mulai intervensi pencegahan sampai perbaikan pada objek arkeologi (Matero, 2006). Namun, tindakan perlindungan tersebut harus memungkinkan warisan budaya tersebut untuk tetap dipelajari, ditampilkan, dan dikunjungi secara publik. Dalam hal ini, memuseumkan suatu situs arkeologi menjadi satu pendekatan yang tepat, karena sejalan dengan prinsip museum yang bertugas sebagai entitas yang memiliki, melestarikan, dan mempromosikan koleksi mereka sebagai kontribusi untuk melindungi warisan

alam, budaya dan ilmiah (ICOM, 2017). Sebagai situs arkeologi yang sedang dalam proses penelitian arkeologi, pada Situs Gunung Padang terdapat permasalahan di lapangan dimana terdapat potensi konflik antara keinginan menjadi destinasi wisata dengan kegiatan penelitian arkeologi. Dengan membuka akses luas kepada publik untuk mengunjungi situs tersebut membuat situs ini rentan terhadap ancaman kerusakan yang disebabkan oleh kunjungan wisatawan yang berlebihan dan tidak terkontrol. Cerita-cerita simpang siur tentang legenda dan mitos yang berkembang luas ternyata memang lebih menarik bagi pengunjung dibanding dengan kandungan nilai budaya dan sejarah yang sesungguhnya. Ditambah dengan perhatian pemerintah terhadap situs ini selama 7 tahun terakhir

Informasi Naskah:

Diterima: 27 September 2020

Direvisi: 16 Desember 2020

Disetujui terbit: 3 Januari 2021

Diterbitkan:

Cetak: 29 Maret 2021

Online 29 Maret 2021

Page 2: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

32 Jurnal Arsitektur ARCADE: Vol. 5 No.1, Maret 2021

telah mendorong jumlah kunjungan yang cukup fantastis di situs ini. Terhitung sekitar 6000-7000 kunjungan wisatawan per hari selama periode liburan. Di satu sisi, efek positif yang didapat dari kunjungan ini adalah peningkatan ekonomi daerah. Sedangkan efek negatif yang muncul adalah bahwa bagian-bagian historis dari situs ini menjadi rentan disentuh oleh tangan yang tidak berwenang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan mengurangi nilai signifikansi budaya dari situs tersebut. Oleh karena itu, bagaimana merencanakan sebuah museum sebagai media yang representatif untuk penyajian, perlindungan, dan pelestarian aset koleksi situs untuk publik dimana situs tersebut masih dalam proses penelitian arkeologi adalah tujuan dari aktivitas konservasi di situs arkeologi Gunung Padang.

TINJUAN PUSTAKA Kandungan nilai signifikansi budaya adalah target dari konservasi suatu peninggalan pusaka. Dengan demikian, fitur yang mengandung potensi nilai signifikansi budaya tersebut harus dilindungi karena memiliki informasi ilmiah dan estetika yang penting dalam proses perencanaan konservasi karena memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk menginspirasi dan menghasilkan respons emosional dari pengunjung (Matero, 2006). Potensi ini terkait dengan keterbacaan visual yang mempengaruhi kondisi persepsi dan keaslian dari situs. Kandungan budaya dari situs arkeologi tidak hanya terdapat pada materialnya, tetapi juga pada lokasi dimana dia berada. Pembentukan "tempat" ini terjadi ketika konteks alam mempengaruhi hubungan antara konteks fisik (ruang) dan lokalitas, yang kemudian dibentuk oleh pikiran dan pengalaman manusia yang menikmatinya. Dengan demikian, mempelajari kandungan budaya dari satu situs arkeologi juga harus melakukan studi dari lokasi "tempat" itu sendiri. Dengan demikian identitas budaya dan narasi sejarah dari suatu situs akan terus terungkap oleh proses konservasi tersebut (Matero, 2006).

Gambar. 1. Hasil Fotogrametri dari konstruksi punden

berundak dari Situs Gunung Padang. (Sumber: Yondri, 2012)

Situs Gunung Padang adalah situs megalitik pra-sejarah yang diyakini dibangun pada 117 - 47 SM dalam bentuk punden berundak sebagai struktur dasarnya; dengan peninggalan seperti menhir, dolmen, dan tangga batu. Pembangunan situs ini diduga bersamaan dengan teori ketika migrasi

manusia Austronesia yang berasal dari dataran Asia mulai membawa ritual ibadah pemujaan pada leluhur yang secara langsung diduga membentuk struktur situs tersebut sekaligus sebagai aspek ruang dari situs. Nilai signifikansi budaya dapat dikategorikan antara lain; nilai historis, nilai spiritual, nilai sosial, nilai seni, nilai penelitian, nilai simbolis, dan nilai ekonomi. (Avrami E dan Mason R, 2002 dan Demas M, 2002). Untuk nilai historis pada Situs Gunung Padang belum semuanya bisa diungkapkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada bukti tertulis yang ditemukan dalam bentuk enskripsi tentang keberadaan situs ini. Sejarah penggunaan situs ini hanya dapat diekspresikan oleh kondisi bentuk fisiknya, dan oleh keberadaan mata air yang terletak di kaki lereng utara situs ini berdampingan dengan tangga batu yang mengarah ke situs inti. Dapat diasumsikan bahwa situs ini memiliki fungsi sebagai lokasi kegiatan ritual keagamaan. Arkeolog Sukendar juga telah menyatakan fungsi pentingnya mata air di bagian selatan situs diartikan sebagai sumur tempat orang menyucikan diri sebelum melakukan ritual /ibadah/upacara di bagian atas situs (Yondri, 2017). Sumur tersebut kemudian dikenal dengan nama mata air Kahuripan, yang berarti kehidupan.

Gambar. 2. Komponen dari situs diduga sebagai bagian

dari aktivitas ritual. Mulai dari mata air, tangga batu, dan berakhir pada struktur berbentuk altar pada teras kelima

(searah jarum jam dari kiri atas) (Sumber: Survey Lapangan)

Sutarman et.al (2016) berpendapat bahwa situs ini merupakan tempat berdiamnya roh-roh leluhur. Dia juga menyatakan bahwa susunan teras di situs ini mirip seperti tempat ibadah, pertapaan, dan tempat audiensi antara raja dan para pemuka agama. Orientasi pemujaan adalah ke Gunung Gede-Pangrango yang terletak pada arah utara-barat laut dan merupakan gunung tertinggi di sepanjang pandangan mata dari posisi situs yang juga menjadi orientasi kulminasi situs (Akbar, 2013, Bronto S dan Langi B, 2016). Hal ini terkait dengan budaya masa pra-sejarah yang memiliki orientasi pemujaan ke tempat-tempat tinggi dan alami, sehingga Gunung Gede-Pangrango dapat dianggap sebagai ekofak untuk situs Gunung Padang. Situs Gunung Padang diasumsikan penuh dengan nilai sosial dan nilai artistik yang terkait dengan

Page 3: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

Copyright ©2021 ARCADE:This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License[CC BY SA]

Doni Fireza, Adli Nadia, Lutfi Yondri: [Desain Museum In-Situ Situs Gunung Padang..]33

tektonikanya. Dari sudut nilai sosial, proses dialektika di antara individu, komunitas lokal, dan lingkungan dianggap sebagai kearifan lokalnya. Menurut Koentjaraningrat, nilai-nilai masyarakat yang ditemukan dalam masyarakat pembangun situs ini terjadi pada proses pembangunan situs, yaitu kepemimpinan, musyawarah dalam pengambilan keputusan, gotong royong, dan emosi relijius (Yondri, 2017). Khusus untuk nilai pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada situs ini dibuktikan dengan adanya fitur singgasana batu dan batu bundar di salah satu terasnya. Kemudian juga ada interpretasi hierarki sosial dari penggunaan teras-teras tersebut, mulai dari teras 1 yang lebih luas dan lebih rendah untuk fungsi yang lebih umum, hingga ke teras ke-5 yang tertinggi dan tersempit untuk fungsi yang lebih pribadi dan terbatas seperti untuk raja dan pemuka agama (Akbar, 2013). Adapun dari sisi nilai artistik, yang paling menonjol adalah tektonika dari batu-batu columnar joint yang menyusun situs ini. Susunan batu di dinding penahan tanah dibangun dengan teknologi konstruksi anti-longsor dan anti gaya lateral (Akbar, 2013). Teknik konstruksi batu ini juga memperhitungkan kondisi alam situs yang terletak di daerah potensial rawan gempa karena terletak di daerah sesar Cimandiri. Sebagai nilai artistik tektonika yang sangat khas, keberadaan formasi batu ini adalah hal fisik yang paling perlu dilestarikan.

Gambar 4. Nilai artistik dari situs terkandung pada

tektonika dari komposisi susunan batu. Susunan batu columnar joints berpenampang segilima tersebar di tapak

dengan berbagai macam variasi susunan. (Sumber: survey lapangan)

Nilai-nilai signifikansi ini harus dipertahankan melalui konservasi terutama terhadap ancaman yang mengganggu keberadaannya. Menurut Palumbo (2012) kategorisasi ancaman terhadap situs arkeologi yang mungkin terjadi di Situs Gunung Padang adalah; dampak pembangunan dan efek demografis, pariwisata yang tidak terkendali, penjarahan, penggunaan material batu-batu di situs untuk penggunaan lain, dan intervensi yang salah pada situs tersebut. Dengan demikian diperlukan kerangka kerja utama dalam prinsip pelestarian situs melalui model presentasi situs arkeologi dalam bentuk model desain lanskap yang diikuti oleh prinsip konservasi, perencanaan, dan pengelolaan situs tersebut.

Oleh karena itu, kerangka pelestarian harus tetap mengacu pada batas-batas ruang akan zona perlidungan. Peraturan tentang zona perlindungan dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 023 / M / 2014 tanggal 17 Januari 2014 tentang penunjukan Situs Gunung Padang sebagai Situs Cagar Budaya Nasional. Peraturan ini kemudian dikembangkan dengan pembebasan lahan milik masyarakat dan studi yang dilakukan pada Agustus 2017 (Yondri, 2017) zona-zona ini ditinjau kembali untuk dapat menghasilkan batas-batas baru.

Gambar 6. Tipologi model presentasi yang terintegrasi.

Fleksibilitas dan variasi penggunaan model ini dimungkinkan untuk menggambarkan model yang cocok

akan konteks dan situsnya (Sumber: Mosler, 2006).

Berdasarkan hasil tinjauan, dibuat perubahan pada Zona 1 dan Zona 2. Adapun Zona 3, mengacu pada sejauh mana Situs Gunung Padang ditetapkan oleh SK Mendikbud pada tahun 2014. Dengan demikian, alokasi zonasi yang terjadi adalah sebagai berikut; Zona Inti (1) dimaksudkan untuk perlindungan total punden berundak (struktur teras dan mikro-nya yang mengelilingi struktur), Zona Penyangga (2) untuk perlindungan total akan zona inti dengan penambahan fasilitas terbatas di bukit dan lereng, Zona Pengembangan (3) untuk penempatan fasilitas pendukung pemanfaatan situs (desa, sawah, kebun dan jalan yang menghubungkan antar - desa) dan Zona Pendukung (4) untuk pengalihan pengunjung untuk tidak memenuhi zona inti dan penyangga. Mosler (2006) menyatakan agar dapat mengusulkan suatu model desain lansekap pada situs arkeologi, maka diperlukan suatu tipologi presentasi situs arkeologi. Hal ini juga ditekankan oleh Marotta (2012), yang berpendapat bahwa gagasan untuk meningkatkan hubungan antara museum dan lansekapnya adalah upaya untuk menanggapi hal-hal yang mungkin merugikan kondisi fisik situs tersebut seperti eksploitasi tanah yang berlebihan, kesalahan pemakaian teknologi yang justru merusak situs, sekaligus untuk melindungi lingkungan situs. Selain itu, Christian Norberg Schultz juga merumuskan teori genius loci, yang mengatakan bahwa alam tidak lagi dipahami sebagai elemen jinak tetapi sebagai elemen yang tidak stabil dan dinamis. Ini sekarang sering digunakan sebagai paradigma dalam merancang museum di situs arkeologi. Model presentasi yang spesifik dari lansekap arkeologis akan membedakan pengelolaan aktivitas di dalamnya sekaligus menjadi landasan

Page 4: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

34 Jurnal Arsitektur ARCADE: Vol. 5 No.1, Maret 2021

pembentukan lansekapnya. Keterkaitan model tipologi presentasi lanskap dengan konteks terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5. Perencanaan Zonasi dari Situs Gunung

Padang dan sekitarnya dari sebelum (kiri) dan sesudah

(kanan) setelah tinjauan pada Agustus 2017 (Sumber:

Yondri, 2017) Sangat penting untuk memahami bahwa semua opsi yang ditawarkan dari model tipologi presentasi ini dapat saling tumpang tindih karena menyesuaikan tujuan konservasi, perencanaan dan pengelolaan suatu situs yang bisa saling terkait. Selain itu, model presentasi lainnya dapat disusun karena lanskap budaya juga bersifat dinamis akibat dampak dari perencanaan penggunaan lahan yang terus diperbarui. Model presentasi juga akan menunjukkan pendekatan yang berbeda terhadap konservasi lansekap arkeologis dan desain spasialnya. Konsep museum menurut Ioannidis et.al (2003) telah bergeser yaitu dari hanya tempat untuk menyimpan benda-benda yang dimaksudkan untuk konservasi, dipamerkan, dan diteliti, kini meningkat sebagai tempat pengetahuan, berbagi informasi, dan komunikasi interaktif yang lebih fleksibel. Koleksi tidak hanya objek statis, tetapi sudah melibatkan baik secara langsung atau tidak langsung dengan pengunjung, dengan menggabungkan ruang virtual dan nyata melalui skenario tur tematik. Sementara Bayer (1961) menyatakan bahwa pameran yang dilakukan oleh sebuah museum adalah penampilan yang sifatnya sementara. Dengan demikian, dapat ditampilkan berbagai pola pameran. Sebagai pendukung prinsip museum dalam pengembangan pendidikan dan untuk menarik pengunjung yang lebih luas (ICOM, 2017), maka salah satu pola pameran yang dapat dibuat adalah desain yang menyenangkan tetapi masih berkorelasi dengan model presentasi. Dalam konteks perencanaan ruang di sebuah museum, Mike Bal pada Tzortzi (2015) menyatakan bahwa ada dua narasi yang diberikan kepada pengunjung, yaitu: (1) narasi tekstual yang menghubungkan objek yang dipamerkan dengan kisah asal, fungsi, dan sejarahnya, dan (2) narasi spasial yang terkait dengan urutan naluri dalam melakukan kunjungan. Narasi kedua ini menjadi penting karena dalam narasi spasial orang akan membentuk begitu banyak peristiwa dalam benaknya selama kunjungan ke museum. Ini akan

mengarah pada pembentukan pengalaman spasial, yang dapat menghasilkan kesepakatan bersama di antara pengunjung dan berguna untuk arsitek. Ini juga berkaitan dengan sifat museum sebagai ruang publik yang dirancang menjadi magnet dalam kegiatan publik sehingga pergerakan pengunjung harus diarahkan (Robillard, 1982). Menurut Osman (2014), tipologi museum modern dapat ditinjau dari dua hal; kinerja dan fungsinya, serta bentuk dan morfologinya. Dalam hal kinerja, pengembangan museum modern berurusan dengan kemajuan teknologi, konsep desain, dan masalah keterlibatan publik. Sementara itu, jika dilihat dari bentuk dan morfologinya, desain museum berkaitan erat dengan teknologi material dan perkembangan industri pada zaman itu. Ada pertanyaan mendasar tentang apakah museum akan berorientasi pada pelestarian koleksi warisannya atau untuk lebih berorientasi kepada konsumen/pengunjung (Wise C dan Erdues A, 1975). Dengan demikian, arsitektur museum harus dapat mengadopsi dua orientasi ini untuk diangkat dalam bentuk integral dari konsep perencanaan. Selanjutnya untuk museum yang berada pada situs arkeologis tertentu, maka pendekatan penyajian Archaeotecture diperlukan (Villa XM et.al, 2003). Archaeotecture adalah arsitektur arkeologis yaitu pendekatan bagaimana menyusun dan memaksimalkan semua informasi yang diberikan oleh arsitektonik dari kondisi masa lalu. Dengan demikian, presentasi tidak hanya bagaimana menampilkan artefak yang dikumpulkan, tetapi bentuk fisik dari kondisi masa lalu juga ditampilkan sebagai pendukung benda yang dipamerkan

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini tentang manajemen sumber daya arkeologi yang dikolaborasikan dengan sumber daya budaya dan lingkungan lokal sebagai pusaka budaya. Dalam perencanaan museum sebagai media konservasi arkeologis, aktivitas ini dapat digolongkan bagian dari penelitian kualitatif sebagai bentuk penelitian arkeologi terapan, dengan bentuk pemanfaatannya lewat desain museum arkeologi. Dalam pelaksanannya diungkapkan lebih dahulu kandungan nilai signifikansi budaya dari situs ini menggunakan metode historis yang akan menjadi sasaran konservasi pusaka budaya sekaligus menjadi dasar pengambilan keputusan perencanaan museum. Selanjutnya adalah menentukan batasan-batasan perencanaan museum yang sesuai dengan zona-zona perlindungan situs sekaligus sesuai dengan interepretasi dari nilai signifikansi budaya situs tersebut. Kemudian dilakukan penggabungan interpretasi nilai budaya dengan nilai-nilai alam dan lingkungan dari kawasan situs menggunakan pendekatan fenomenologis untuk memahami interaksi dari nilai-nilai tersebut dan dapat menafsirkan model presentasi situs arkeologi yang paling tepat. Selanjutnya dari semua hasil studi diatas diturunkan dalam sebuah simulasi desain akan perencanaan dan desain museum in-situ sebagai sarana

Page 5: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

Copyright ©2021 ARCADE:This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License[CC BY SA]

Doni Fireza, Adli Nadia, Lutfi Yondri: [Desain Museum In-Situ Situs Gunung Padang..]35

konservasi situs arkeologi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam memutuskan penggunaan tipologi model presentasi yang dipakai, maka harus mempertimbangkan hal-hal antara lain; kriteria dari masing-masing model yang ditunjukkan oleh gambar model presentasi yang terintegrasi diatas, kondisi aktual dari situs, konteks lingkungan situs, dan didukung oleh studi preseden. Kondisi aktual di situs Gunung Padang antara lain kurangnya bukti sejarah dan kualitas data artefak, karakteristik tektonika, dan konteks lingkungan dan medan, maka model presentasi situs arkeologi yang dipilih untuk konsep desain museum ini adalah kombinasi dari model interpretatif dan model purist. Penekanan kombinasi antara dua model ini juga ditujukan untuk meningkatkan perlindungan pada artefak pada situs ini dimana model interpretatif akan diperankan oleh fungsi bagian dalam museum. Sedangkan untuk memperkuat hubungan antara situs dan lansekapnya dalam konteks makna adalah tugas yang dimainkan oleh model purist. Penekanan ini juga mensyaratkan kebutuhan keterikatan antara dua model yang terkait dengan fenomena yang ada di situs dan lingkungan yang terkait. Kombinasi model interpretatif dan purist membutuhkan lokasi yang tepat untuk penempatan museum. Lokasi itu sendiri akan ditetapkan dalam zona 3, sedangkan tapak yang tepat untuk museum akan ditentukan melalui analisis dari beberapa indikator. Kerangka utama indikator adalah untuk mencapai keterkaitan antara dua model presentasi yang terkait dengan fenomena pada situs. Berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologis sebelumnya dari situs ini, keterkaitan yang akan mengikat model presentasi ini ke situs itu sendiri adalah; (1) hubungan visual dari museum ke situs di zona inti dan ke Gunung Gede-Pangrango, dan (2) pengalaman kegiatan ritual mulai dari mata air Kahuripan di bagian bawah situs ke 5 teras di atas situs. Keterkaitan ini dalam zona 3 maka memunculkan 5 (lima) lokasi usulan.

Gambar 7. Lima titik potensial yang diusulkan untuk

menjadi lokasi museum. Setiap lokasi akan dianalisis untuk memilih yang terbaik dan tepat untuk

dikembangkan.

Kelima lokasi usulan ini kemudian dianalisis melalui parameter berikut; (1) tidak berada langsung di garis sumbu antara situs dan Gunung Gede-Pangrango. Diterapkan untuk memperkuat sumbu ini sebagai orientasi kulminasi dari situs, (2) memiliki ketinggian yang tepat untuk menciptakan hubungan visual terbaik ke arah situs dan ke arah Gunung Gede-Pangrango, (3) memiliki pandangan terbaik untuk menghadap situs inti dan Gunung Gede-Pangrango dalam satu pemandangan, dan (4) memiliki aksesibilitas yang baik untuk memudahkan pengunjung mencapai museum dan berpindah menuju ke lokasi situs inti agar dapat mengalami nilai-nilai yang terkandung pada kawasan situs. Hasil analisis ini menyatakan bahwa lokasi 4 adalah yang terbaik untuk menempatkan museum.

Gambar 8. Lima analisis visual terhadap 5 usulan titik

lokasi potensial museum

Dalam kerangka desain arsitektur museum, maka dapat dimunculkan beberapa skenario perancangan. Mengarahkan sirkulasi pengunjung dalam menikmati dan mengapresiasi situs adalah penting. Pengunjung tanpa rencana kunjungan akan berkeliaran tanpa arah, tanpa pola yang jelas, mudah lelah dan bosan, dan kemudian meninggalkan museum. Pengunjung hanya akan berhenti di tempat-tempat yang mereka anggap menarik tanpa berfokus pada kisah interpretasi yang ingin ditampilkan oleh objek museum. Selain memperlengkapi pengunjung dengan arah/rencana kunjungan, maka secara fisik desain museum harus direncanakan dengan tujuan mengarahkan dan membuat ruang-ruangnya akan lebih menarik untuk dikunjungi.

Page 6: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

36 Jurnal Arsitektur ARCADE: Vol. 5 No.1, Maret 2021

Gambar 9. Analisa keterkaitan visual untuk lokasi terpilih

di titik 4, dengan 3 arah pandangan ke utara, ke selatan, dan ke barat.

Gambar 10. Analisa aksesibilitas menuju titik 4 dari jalan

raya (menggunakan kendaraan) dan dari titik 4 menuju sumur kahuripan (berjalan kaki) sebagai bagian dari

narasi pengalaman kunjungan.

Dalam perencanaan tata ruang, persepsi ruang harus dibentuk apakah statis atau kinetik. Ruang akan memiliki efek pada keadaan emosional pengunjung di mana pengalaman ruang dibentuk oleh serangkaian harmoni yang mengarah ke disposisi volumetrik dan urutan sirkulasi (Rotea et.al, 2003). Aplikasi pada desain museum di Situs Gunung Padang, indera dan gerakan yang diinginkan untuk membentuk persepsi pengunjung harus didorong oleh penggunaan model presentasi utama, yaitu kombinasi purist dan interpretatif tadi. Teori-teori ini akan diturunkan ke bentuk dan desain fisik museum yang mendukung tujuan utama sebagai sarana konservasi situs, dan juga adaptif dengan penelitian arkeologi yang masih berlangsung. Semua teori yang disebutkan di atas akan menyusun kriteria desain museum yang disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1. Kriteria Desain dari Museum (untuk model interpretatif dan purist)

I.

Ko

ns

ep

Pre

sen

tasi

Zona Aksesibilitas Kaitan dengan Model Purist

1 Zona Privat

Akses dari area publik, akses evakuasi, akses servis dan perawatan

- Koneksi visual. - Pengamat dan pengawasan pengunjung

2 Zona Publik

Akses dari luar (main entrance) dan akses evakuasi

Koneksi visual antara area imajinatif di museum dengan area situs arkeologi

II.

Pere

nc

an

aan

Sp

asia

l

(kap

asit

as t

ota

l 150 p

ax)

Perua-ngan

Fitur

1 Lobby - Mudah diakses. - Pusat orientasi untuk ruang lain

2 Mana-gement Office

Pemantauan mudah

3 Toilet & Locker

Mudah diakses

4 Ruang Konfe-rensi

- Mudah diakses dari lobi. - Tidak harus membayar tiket

5 Gudang Mudah diakses dari ruang pamer dan loading zone

6 Teater Tidak membutuhkan koneksi visual dengan situs inti

7 Ruang Pamer

Ruang fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan imajinasi pengunjung

8 Viewing Deck

Pandangan jelas ke situs inti dan Gunung Gede Pangrango

9 Loading Zone

Dapat diakses oleh kendaraan bermotor

10 Suvenir dan Restoran

Mudah diakses oleh pengunjung

11 Kantor Riset

Tidak membutuhkan koneksi visual dengan situs inti

12 Library Pandangan cukup ke situs inti dan Gunung Gede Pangrango

III.

Ben

tuk

dan

Str

uktu

r

Konsep Desain

1 Massa bangunan pilotis atau kontak minimum dengan tanah karena proses penggalian penelitian arkeologi masih berlanjut

2 Massa bangunan tidak terpecah-pecah sehingga penggunaan pondasi minimum

3 Kepatuhan yang baik akan syarat-syarat desain universal (kompatibel untuk anak-anak, orang tua, difabel)

IV

La

nd

scap

e D

esain

Konsep Desain untuk Museum Model Purist (zona inti)

1 Alur pengunjung disesuaikan dengan alur ritual penggunaan situs aslinya

2 Dilengkapi kantong-kantong pemberhentian untuk tempat istirahat pengunjung saat berjalan kaki. Ini digunkan sebagai tempat kontrol kepadatan arus pengunjung menuju situs intinya

3 Konsep keamanan dan keselamatan bangunan dan pengunjung jelas

Dari tabel kriteria desain di atas, maka dapat disimulasikan konsep desain sebagai berikut:

Gambar 11. Lokasi museum di bukit Situs Gunung

Padang dan posisinya terhadap situs inti dan jalan raya. Jalan baru dibangun untuk mencapai museum, dan jalan setapak dari bangunan ke sumur Kahuripan (titik abu-abu

tua) yang juga sebagai bagian dari presentasi lanskap museum. Museum terletak di zone 3 untuk menjaga

perlindungan situs di zona inti, tapi cukup dekat untuk mendapatkan vista yang lebih baik ke arah situs dan

Gunung Gede Pangrango.

Page 7: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

Copyright ©2021 ARCADE:This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License[CC BY SA]

Doni Fireza, Adli Nadia, Lutfi Yondri: [Desain Museum In-Situ Situs Gunung Padang..]37

Gambar 12. Rencana tapak dari museum. Jumlah parkir

mobil sengaja dibatasi untuk membatasi jumlah pengunjung demi perlindungan situs.

Gambar 13. Desain skematis museum (denah dan

potongan). Bangunan ini dirancang split level sebagai adaptasi akan tapak yang miring, dan juga untuk

mengakomodasi kebutuhan pengunjung difabel (tanpa tangga hanya ramp). Sistem konstruksi pilotis digunakan

sebagai bangunan panggung. dibangun di atas panggung. Hal ini memungkinkan kelanjutan penggalian situs sebagai bagian dari penelitian arkeologi yang masih

bisa dilakukan.

Melalui desain ini, aliran pengunjung dapat dibagi dalam dua fase utama. Yang pertama adalah menempatkan pengunjung ke museum yang kapasitasnya terbatas. Pada fase ini, pengunjung akan disajikan oleh interpretasi situs sebagai hasil penelitian arkeologi. Fase berikutnya adalah membawa pengunjung ke situs asli dengan berjalan ke mata air Kahuripan dan mencoba mengalami situs dengan mensimulasikan proses ritual yang diduga sebagai fungsi asli situs. Setelah fase interpretatif - purist, para pengunjung akan diarahkan kembali ke museum dengan didukung oleh peruangan fasilitas yang memiliki keterkaitan visual dengan situs inti dan Gunung Gede - Pangrango. Kondisi ini adalah sebagai bentuk dari aplikasi model presentasi interpretatif, dan pengunjung akan membuat interpretasi mereka sendiri berdasarkan apa yang telah mereka alami sebelumnya. Sebagai museum, koleksi yang disajikan juga menjadi subjek yang perlu dibahas bersama. Dalam model purist, situs itu sendiri adalah koleksinya. Sementara pada gedung museum, yang menggunakan model interpretatif, terdapat presentasi hasil interpretasi penelitian arkeologi. Apa yang harus ditampilkan di sini tergantung pada pengembangan penelitian arkeologis yang telah dilakukan sebelumnya. Jadi, presentasi direncanakan mengalir dari museum untuk melihat interpretasi dari semua hasil penelitian arkeologi, ke situs inti dengan berjalan melalui jalan setapak menuju mata air Kahuripan, dan menaiki tangga asli ke teras situs. Kemudian, mengunjungi situs dari

teras 1 hingga 5 sebelum kembali ke museum. Seluruh proses berjalan ini dianggap sebagai model purist museum, karena melibatkan proses ritual yang diduga menjadi tujuan utama pembangunan situs ini. Di tahap ini, memungkinkan pengunjung untuk membuat interpretasi mereka sendiri terhadap situs dan setelah seluruh rencana perjalanan dijalani, seharusnya terjadi peningkatan keterlibatan mereka pada museum.

Gambar 14. Desain simulasi bangunan dengan posisi

bukit-bukit di sekitarnya, Gunung Gede-Pangrango, situs Gunung Padang, dan bagaimana mereka terkoneksi dengan lokasi museum (atas). Melalui simulasi ini,

hubungan visual dari komponen-komponen ini dapat dilihat dari dek yang terletak di lantai tiga (bawah).

Keterkaitan yang mengikat antara model interpretasi dengan model purist terletak pada keterkaitan visual, yang sangat signifikan untuk ditampilkan di museum ini. Gunung Gede Pangrango diyakini sebagai orientasi utama situs. Oleh karena itu, desain museum diputuskan untuk memiliki pandangan langsung atau pemandangan ke pegunungan ini dan situs intinya. Mulai dari penempatan situs museum, hingga pemilihan orientasi bangunan dilakukan dengan mempertimbangkan erat kaitan visual ini. Memutuskan konsep pilotis pada bangunan museum adalah untuk memastikan proses penelitian arkeologi masih dapat dilanjutkan. Jejak kaki yang minimum akan memungkinkan proses penggalian masih dapat terjadi di lokasi, dan memungkinkan zona inti untuk diperluas. Ini juga sejalan dengan konsep membuat bangunan di suatu situs yang diduga masih mengandung peninggalan lain atau artefak, sehingga mengurangi intervensi rekayasa ke tapak situs adalah wajib.

KESIMPULAN Beberapa keputusan desain dalam simulasi ini

Page 8: DESAIN MUSEUM IN-SITU SEBAGAI MEDIA KONSERVASI …

38 Jurnal Arsitektur ARCADE: Vol. 5 No.1, Maret 2021

memang cukup intuitif, walau berdasarkan hasil penelitian arkeologis yang dilakukan sebelumnya. Jadi, keputusan memilih hubungan visual sebagai ikatan kedua model ini masih perlu divalidasi. Penelitian arkeologis lebih lanjut di situs inti ini harus dilanjutkan untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih baik tentang korelasi antara situs dan Gunung Gede Pangrango. Sebagai penelitian arkeologi terapan, penting bagi museum ini untuk dapat mengubah seluruh warisan arkeologis menjadi sumber daya budaya demi masa depan. Melalui museum ini, keseimbangan antara perlindungan situs, pengembangan ilmu arkeologi, dan manfaat ekonomi lokal dapat tercapai. Perlindungan situs ditunjukkan dengan mencoba membatasi jumlah pengunjung untuk menembus ke situs inti. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi risiko pariwisata yang tidak terkendali terhadap situs. Kapasitas museum dan rute kunjungan dari bagian model interpretasi ke model purist pada museum juga dibatasi. Keputusan ini mungkin tidak sejalan dengan jumlah pengunjung yang ditargetkan oleh pemerintah, tetapi usaha ini harus dinilai sebagai upaya untuk melestarikan sumber daya budaya ini. Topik diskusi ini telah menjadikan situs dan warisannya sebagai salah satu sumber daya budaya yang harus dibaca sebagai suatu sistem baru dalam berurusan dengan aset arkeologis. Dengan tindakan ini, konservasi situs akan memiliki pendekatan komprehensif; karena melibatkan proses membatasi pengunjung, memungkinkan proses riset in-situ tetap bisa berlangsung, dan juga mengakomodasi fungsinya sebagai salah satu wisata edukasi arkeologis.

DAFTAR PUSTAKA Akbar, A., (2013), Situs Gunung Padang, misteri dan

arkeologi. Jakarta: Change Publication. Yondri, L., (2017), Situs Gunung Padang; kebudayaan,

manusia, dan lingkungan. Bandung: CV Semiotika. Rotea, R.B., Borrazas, P.M., Vila, X.M., (2003),

Archaeology of Architecture: theory, methodology and analysis from Landscape Archaeology. Pada Vila, X.M., Rotea, R.B., Borrazas, P.M (Eds). Archaeotecture: Archaeology of Architecture, (pp 17-

40), Oxford: British Archaeological Reports. Vila, X.M., Rotea, R.B., Borrazas, P.M., (2003),

Archaeotecture: seeking a new archaeological vision of Architecture. Pada Vila, X.M., Rotea, R. B., Borrazas, P. M (Eds). Archaeotecture: Archaeology of Architecture, (pp 1-16), Oxford: British Archaeological Reports.

Bayer, H., (1961), Aspects of Design of Exhibitions and Museums, Curator: The Museum Journal, 4(3), 257-

288Bronto, S dan Langi, B.S. 2016. Geologi Gunung Padang dan sekitarnya Kabupaten Cianjur. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. Vol 17(1) hal: 37- 49.

Marotta, A., (2012), Typology: Museums. Diunduh pada tanggal 15 Juli 2018, dari https://www.architectural-review.com/essays/typology/typology-museums/8640202.article

Osman, K.A., Farahat, B.I., (2014), Museums Between Tradition and Modernism: Memorial Museum Like Jewish Museum in Berlin as a Case Study. Journal of

Engineering Sciences Assiut University, 43(5), 1294-

1316. Sutarman, Hermawan E.H., Hilman, C., (2016), Gunung

Padang Cianjur: Pelestarian Situs Megalitikum Terbesar Warisan Dunia. Jurnal Surya: Seri Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 57-64.

Wise, C., Erdues, A., (1975), Museum Architecture, Museum, XXVI (3/4). Paris: UNESCO.

International Council of Museums, (2017), ICOM Code of Ethics for Museums. Paris: ICOM UNESCO.

Mosler, A.S., (2006), Landscape Architecture on Archaeological Sites: establishing landscape design principles for archaeological sites by means of examples from West Anatolia, Turkey, Muenchen: Faculty of Architecture Technical University of Munich.

Robillard, D.A., (1982), Public Space Design in Museums, Milwaukee: Center for Architecture and Urban Planning Research University of Wisconsin.

Yondri, L., Mundardjito, Permana, C. E., (2012), Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Situs Megalitik Gunung Padang. Jakarta: Balai Arkeologi Nasional.

Avrami, E., Mason, R., (2002, May 2000), Heritage Values and Challenges of Conservation Planning. Makalah disajikan pada Management planning for archaeological sites: an international workshop, Corinth, Greece.

Demas, M., (2002, May 2000), Planning for Conservation and Management of Archaeological Sites: A Value-Based Approach. Makalah disajikan pada

Management planning for archaeological sites: an international workshop, Corinth, Greece.

Ioannidis, Ch., Xipnitou, M., Potsitou, C., Soile, S. (2003), The Contribution of Modern Geometric Recording and Visualization Methods in the Implementation of a New Museum Concept. IAPRS (vol. XXXIV-5/C15), Proceedings of International Symposium of CIPA, 419-424.

Matero, F., (2006, June), Making Archaeological Sites: Conservation as Interpretation of an Excavated Past. Makalah disajikan pada The 5th World Archaeological Congress, Washington D.C., USA.

Palumbo, G., (2002, May 2000), Threats and Challenges to the Archaeological Heritage in Mediterranean. Makalah disajikan pada Management planning for archaeological sites: an international workshop, Corinth, Greece.

Tzortzi, K., (2015, July), Spatial Concepts in Museum Theory and Practice. Makalah disajikan pada 10th International Space Syntax Symposium, London, England.