92
DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah SKRIPSI Disusun Oleh: Makaria Asfina Ratu 044314002 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN

GROBOGAN TAHUN 1870-1875

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

SKRIPSI

Disusun Oleh:Makaria Asfina Ratu

044314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAHJURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA

2009

Page 2: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

i

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI

DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

SKRIPSI

Oleh:

Makaria Asfina Ratu

044314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

Page 3: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul: “DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN

TAHUN 1870-1875”, yang ditulis oleh Makaria Asfina Ratu/044314002.

TELAH DISETUJUI OLEH:

Pembimbing

Drs. Silverio R.L.Aji Sampurno, M. Hum Tanggal 19 November 2009

Page 4: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk;

Mendiang ayahku, Fransiscus Ambo.

Ibuku, Agustina Indrayani Inya.

Adikku, Samuel Kalimanjaya.

Dan...

Peri kecilku, Nathania Quella Izzi.

Page 5: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

iv

HALAMAN MOTTO

In order to succeed, we must first believe that we can.

(Michael Korda)

Page 6: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

v

LEMBAR PENGESAHAN

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP

KEHIDUPAN PETAHI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875

OLEH:

MAKARIA ASFINA RATU

044314002

“Dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Program Studi Ilmu

Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma pada

tanggal 17 Desember 2009”

Susunan Panitia Penguji

Ketua : Prof. P.J. Suwarno, S.H _____________

Anggota : 1. Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum _____________

2. Drs. Ign. Sandiwan Suharso _____________

3. Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum _____________

Yogyakarta, 17 Desember 2009

Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. I. Praptomo Baryadi

Page 7: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

vi

PERYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya

sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau

suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali

bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta,

Makaria Asfina Ratu

044314002

Page 8: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

vii

ABSTRAKMakaria Asfina Ratu

Universitas Sanata DharmaYogyakarta

Skripsi berjudul “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadapKehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875” disusunberdasarkan tiga permasalahan pokok. Pertama, bagaimana keadaan KabupatenGrobogan sebelum pelaksanaan Agrarische Wet 1870; kedua, bagaimanapelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan; dan ketiga, apadampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalismedari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bersifatfungsionalis. Kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistemyang ada dalam suatu lingkungan tertentu.

Keadaan geografis dari Kabupaten Grobogan merupakan faktor pentingpenyebab pesatnya perkembangan usaha-usaha perkebunan, baik pada masaCultuurstelsel maupun masa liberal. Kemudian pelaksanaan Agrarische Wet 1870semakin mempertegas ‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas diHindia-Belanda. Perkembangan usaha-usaha perkebunan berdampak padakehidupan petani di Kabupaten Grobogan. Dengan kondisi kehidupan yangsubsisten, petani kemudian menjadi buruh di perkebunan-perkebunan swasta.

Pada kenyataannya, idealisme liberal tidak tercapai. Petani yangseharusnya juga diuntungkan tidak merasakan keuntungan dari pelaksanaan‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas pada masa itu. Kegagalan‘politik pintu terbuka’ dan perdagangan bebas pada sistem liberal membuktikanbahwa rakyat di Hindia-Belanda pada masa itu belum siap menghadapi eraperdagangan bebas.

Page 9: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

viii

ABSTRACTMakaria Asfina Ratu

Sanata Dharma UniversityYogyakarta

The thesis entitled “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870terhadap Kehidupan Petani d Kabupaten Grobogan Tahun 1870-1875” (TheImpact of the Realization of The Agrarische Wet 1870 to the Peasants’ Life inthe Grobogan Regency in 1870-1875) was formatted with three principalproblems: first, how the condition of the Grobogan regency before the realizationof The Agrarische Wet 1870 is; second, how the realization of The Agrarische Wet1870 in the Grobogan residence is; and third, what its impacts to the peasants lifeare. This thesis uses the functionalism theory by Robert K. Merton who said thatpoverty has a functional characteristic, i.e., poverty is needed to support a systemof a particular society.

The geographical condition of the Grobogan regency was the main factorthat caused the rapid development of the private plantation enterprises, either inthe Cultuurstelsel period or in the liberal period. Then, the realization of TheAgrarische Wet 1870 affirmed the ‘open door policy’ and free trade era in East-Indies. The development of the private plantation enterprises had impacts to thepeasants’ life. In the subsistence life, the peasants became the labors for theprivate plantations.

In fact, the liberal’s idealism was not reached. The peasants who had tobenefit from the ‘open door policy’ and free trade era did not feel the profit. Thefailure of the ‘open door policy’ and free trade in the liberal system proves that, inthe period, people in the East-Indies were not yet ready to face the free trade era.

Page 10: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Makaria Asfina Ratu

Nomor Mahasiswa : 044314002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP

KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875’

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau

media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 17 Desember 2009

Yang menyatakan

Makaria Asfina Ratu

Page 11: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

x

KATA PENGANTAR

Skripsi ini memberikan sebuah rekonstruksi mengenai Sejarah Agraria

pada masa kolonial, khususnya masa liberal. Ketika membahas mengenai

perkembangan perkebunan pada abad ke-19, maka sosok petani atau yang juga

sering disebut sebagai buruh tani mempunyai keterikatan yang sangat erat.

Ditinjau dari sudut pandang filsafat sejarah, konteks tersebut menunjukkan sebuah

gerak spiral. Gerak sejarah spiral merupakan gabungan antara gerak sejarah siklis

dan gerak sejarah linear. Karena di dalamnya terdapat unsur kesinambungan,

maka gerak tersebut tidak hanya melulu siklis tetapi pada masanya muncul juga

gerak linear.

Pada masa kerajaan (feodal) raja merupakan tuan tanah, pemerintah

kolonial sebagai golongan kapitalis dan petani sebagai buruh. Kemudian pada

masa kolonial (Cultuurstelsel) melalui berbagai perjanjian dengan raja-raja

pemerintah kolonial menjadi tuan tanah sekaligus golongan kapitalis dan petani

sebagai buruh. Lalu pada masa liberal pemerintah kolonial sebagai tuan tanah dan

para pemilik modal swasta sebagai golongan kapitalis, sedangkan petani tetap

sebagai buruh. Perubahan kekuasaan dari raja ke pemerintah kolonial sebagai tuan

tanah dan perubahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke para pemilik modal

swasta sebagai golongan kapitalis mengidentifikasikan sebuah gerak linear dalam

pola siklis yang ada.

Ucapan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan berkah-Nya. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada segenap staf pengajar

Page 12: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

xi

di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery

Santosa, M. Hum; Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum; Drs. Ign. Sandiwan

Suharso; Drs. H. Purwanta, M. A; Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ; Dra. Lucia

Juningsih, M. Hum; Prof. Dr. P. J. Suwarno, S. H; (alm.) Drs. G. Moedjanto, M.

A. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berbagi pengetahuan dan

pengalaman serta menjadi motivator untuk dapat menemukan atau memberikan

yang terbaik untuk masa depan.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada mas Tri yang banyak

membantu di Sekretariat Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma.

Terima kasih juga kepada teman-teman seangkatan yang mengagumkan; Nana,

Anon, Agus/P’De, Darwin, Kaka dan Buy. Kepada sahabat-sahabatku tercinta;

Mami-Andar, Nenek Desy, Tante-Ve dan Wisni. Terima kasih atas dukungan

yang terus-menerus kalian berikan. Terima kasih banyak kepada almarhum bapak,

ibuku, adikku semata wayang dan si kecil; Izzi.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu selama proses penulisan skripsi ini.

Page 13: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………… ii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… iv

HALAMAN MOTTO……………………………………………………… v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAAN KARYA …………………….. vi

ABSTRAK …………………………………………………………………. vii

ABSTRACT ……………………………………………………………….. viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………. ix

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… x

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1A. Latar Belakang ...……………………………………………......... 1B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ……………………………… 5C. Perumusan Masalah ……………………………………….............. 6D. Tujuan Penelitian …………………………………………............. 7E. Manfaat Penelitian ………………………………………….............. 7F. Kajian Pustaka ……………………………………………….......... 8G. Landasan Teori …………………………………………….............. 11H. Metode Penelitian ………………………………………….............. 17I. Sistematika Penulisan …………………………………….................. 18

BAB II SEKILAS TENTANG KABUPATENGROBOGAN……………………………………….......................... 21

A. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Grobogan……………… 21B. Penduduk Kabupaten Grobogan ............................……………….... 23

Page 14: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

xiii

C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan ..................................... 25

BAB III PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870DI KABUPATEN GROBOGAN ………………………………… 35

A. Cultuurstelsel dan Pelaksanaan Sistem Liberaldi Hindia-Belanda …………………………………………............. 37

B. Pelaksanaan Agrarische Wet 1870di Kabupaten Grobogan ..............………………………………….. 46

BAB IV DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATENGROBOGAN TAHUN 1870-1875 ...……………………………... 52A. Dampak di Bidang Ekonomi …………………………………..... 55B. Dampak di Bidang Sosial ……………………………………….. 59

BAB V PENUTUP ……………………………………………..................... 66

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 76

Page 15: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang berbasis ekonomi

pertanian, dimana petani merupakan tulang punggung kelangsungan hidup dari

masyarakat agraris tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sejarahnya yang meskipun

mengalami pergantian jaman, pertanian tetap eksis dan menjadi soko guru

kehidupan.1 Kehidupan agraris di Indonesia telah berlangsung sejak jaman

kerajaan hingga sekarang. Seperti di Jawa, kehidupan yang berbasis agraris telah

dimulai dari kerajaan Jawa Kuna hingga sekarang. Tetapi pada masa kolonial ada

beberapa perubahan yang terjadi dalam kehidupan agraris tersebut. Petani yang

merupakan tonggak dari kehidupan agraris tersebutlah yang lebih merasakan

dampak dari perubahan yang terjadi pada masa itu.

Sejak tahun 1830-an, kehidupan petani menjadi sangat memprihatinkan,

terutama dengan diterapkannya Cultuurstelsel. Ciri utama dari Cultuurstelsel yang

diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk

membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan

bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah

1 Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta, 2001),hal. 57.

Page 16: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

2

masih berlaku.2 Melalui Cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia-Belanda berharap

dapat mengatasi permasalahan ekonomi negeri induk yang pada masa itu sedang

mengalami keterpurukan.

Selama masa Cultuurstelsel, seperlima tanah pertanian ditanami tanaman

komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Upaya van den Bosch tidak

sia-sia karena ekspor gula dari Jawa menguasai pasar dunia. Kerajaan Belanda

menikmati keuntungan besar dari hasil Cultuurstelsel tersebut, kas negara kembali

stabil bahkan dapat disebut sebagai sebuah surplus. Namun, di sisi lain kehidupan

para petani semakin menurun karena lahan-lahan produktif (subur) dan beririgasi

yang dulunya digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi lahan

perkebunan oleh pemerintah.

Dalam perkembangannya Cultuurstelsel mendapat berbagai kritikan,

terutama dari kaum liberal dan humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa

pemerintah seharusnya tidak ikut campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah

yang lebih tepat mengurusi bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah

menjadi pelindung warga negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan

pengatur keamanan dan ketertiban. Sedang kritikan kaum humanis lebih pada

masalah kesejahteraan hidup petani yang semakin memprihatinkan. Kritikan

kaum humanis berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa petani di

Jawa pada akhir tahun 1840-an. Kritikan kaum humanis tersebutlah yang

2 Penjelasan lebih lanjut silahkan baca dalam Marwati DjoenedPoesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jil.IV, (Jakarta, 1984), hal. 98.

Page 17: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

3

kemudian memperkuat kritikan kaum liberal terhadap pemerintah. Perjuangan

keduanya berbuah penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870.

Dengan dihapusnya Cultuurstelsel, kemudian dimulailah suatu haluan

politik baru oleh pemerintah Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Adanya

perubahan dalam sistem pemerintahan tersebut, menyebabkan perubahan dalam

berbagai aspek kehidupan di Hindia-Belanda. Sistem Liberal berarti bahwa

Hindia-Belanda terbuka terhadap modal-modal swasta yang ingin berinvestasi di

Hindia-Belanda. Kesempatan seperti ini mengakibatkan perkembangan

perkebunan-perkebunan besar pada masa liberal, khususnya di pulau Jawa dan

Sumatera. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa pada tahun 1870, Belanda

memasuki periode kapitalisme modern3 yang ditandai dengan pelaksanaan

“politik pintu terbuka”.

Berdasarkan latar belakang tersebut, topik Dampak Pelaksanaan

Agrarische Wet 1870 terhadap Kehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun

1870-1875 menjadi menarik untuk dikaji. Ada dua alasan penting yang mendasari

topik ini menjadi patut untuk dikaji lebih dalam, yaitu; pertama, Agrarische Wet

tahun 1870 merupakan undang-undang agraria yang dikeluarkan pada masa

liberal dengan idealisme akan kebebasan dan kesejahteraan umum, akan tetapi

dalam pelaksanaan hingga pada akhirnya rakyat (khususnya petani) tetap tidak

merasakan apa yang disebutkan sebagai kesejahteraan umum yang menjadi cita-

cita perjuangan kaum liberal. Petani tetap menajdi korban eksploitasi agraria.

3 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SejarahPergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jil. I, (Jakarta,1990), hal. 22.

Page 18: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

4

Kedua, dengan alasan pertama tadi terbukti bahwa Agrarische Wet tahun 1870

tidak memberikan sebuah pencerahan bagi petani masa itu. Akan tetapi, undang-

undang agraria kita hingga saat ini masih berdiri dengan membawa jiwa

Agrarische Wet tahun 1870 di dalamnya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji

secara lebih mendalam karena kemudian muncul sebuah hipotesis bahwa apakah

keterbelakangan petani yang terjadi di negara kita hingga saat ini ada kaitannya

dengan jiwa Agrarische Wet 1870 yang tetap lestari dalam undang-undang agraria

negara kita.

Dipilihnya kurun waktu dari tahun 1870 sampai dengan 1875 adalah

karena pada periode ini, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera terjadi

perkembangan usaha-usaha perkebunan milik swasta sebagai salah satu dampak

dari pelaksanaan dari Agrarische Wet 1870. Pada masa pemerintahan Hindia-

Belanda, wilayah Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah perkebunan-

perkebunan besar Belanda di pulau Jawa. Kabupaten Grobogan merupakan salah

satu daerah di Jawa Tengah yang juga menjadi pusat perkembangan usaha-usaha

perkebunan swasta. Selain itu, kehidupan petani di Grobogan terlihat bertolak

belakang dengan pesatnya perkembangan perkebunan yang terjadi. Di satu sisi

usaha perkebunan berkembang dengan pesat dari tahun 1870 sampai dengan tahun

1875, akan tetapi di sisi lainnya kehidupan petani tidak mengalami pekembangan

yang serupa (ke arah lebih baik: sejahtera).

Page 19: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

5

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dari permasalahan dalam penulisan ini tidak menjadi

kabur, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasikan. Pertama, kritikan-

kritikan terhadap pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1870) merupakan sebuah

proses perubahan politik di Hindia-Belanda. Kasus kelaparan dan wabah penyakit

yang menimpa petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an menjadi pukulan keras

yang akhirnya membuat kaum humanis menuntut penghapusan Cultuurstelsel

(1860). Bersamaan dengan hal tersebut, kaum liberal memenangkan politiknya di

parlemen Belanda pada tahun 1870 sehingga Cultuurstelsel dihapuskan secara

resmi dan dimulailah politik kolonial baru, yaitu politik liberal.

Kedua, politik liberal pada dasarnya berarti komersialisasi Hindia-

Belanda, dengan pelaksanaan ‘politik pintu terbuka’ maka penanaman modal

swasta membanjiri Hindia-Belanda. Untuk mengontrol atau mengatur hal tersebut,

dewan menteri de Waal mengeluarkan sebuah undang-undang yang dikenal

dengan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini secara garis besar

memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak atas tanah dan ketentuan

penggunaannya. Pelaksanaan poltik liberal di Hindia-Belanda menyebabkan

pesatnya perkembangan usaha-usaha swasta, khususnya di pulau Jawa dan

Sumatera. Ketiga, pada kenyataannya Agrarische Wet tidak juga berhasil

meningkatkan kesejahteraan hidup petani yang semakin lama semakin

menunjukkan kemerosotan di tengah pesatnya perkembangan usaha swasta.

Dalam metode sejarah dikenal dua batasan, yaitu batasan temporal atau

waktu dan batasan spasial atau tempat. Dalam penulisan ini, batasan temporal atau

Page 20: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

6

waktu yang digunakan adalah periode tahun 1870 sampai dengan tahun 1875.

Tahun 1870 merupakan awal mula masuknya modal swasta, selain pengusaha

Belanda, ke Hindia-Belanda yang kemudian menyebabkan berkembangnya

perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda swasta. Sedang tahun 1875

menunjukkan peningkatan dari perkembangan perkebunan-perkebunan besar di

Jawa dan Sumatera yang juga disertai dengan berdirinya industri-indudtri

perkebunan dalam skala besar. Sedangkan batasan spasial atau tempat yang

digunakan dalam penulisan ini adalah Kabupaten Grobogan yang terletak di Jawa

Tengah.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada

bagian sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan

dikaji adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana keadaan Kabupaten Grobogan sebelum pelaksanaan

Agrarische Wet 1870?

b. Bagaimana pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan?

c. Apa dampak Agrarische Wet terhadap kehidupan petani di Kabupaten

Grobogan tahun 1870-1875?

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini secara garis besar terbagi dua, antara lain sebagai

berikut:

Page 21: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

7

a. Akademis

Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan khususnya menyangkut

masalah agraria di Indonesia, khususnya sejarah perkebunan dan petani

di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah periode 1870-1875.

b. Praktis

Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi seperti apa sistem

perkebunan Belanda yang diterapkan di Jawa. Dengan rekonstruksi

tersebut, maka tulisan ini juga akan merekonstruksi seperti apa

dampaknya terhadap perkembangan perkebunan dan kehidupan petani.

E. Manfaat Penulisan

a. Teoretis

Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sebuah wacana

pembelajaran tentang pengalaman di masa lalu, sehingga masyarakat

luas dapat merencanakan masa depan yang jauh lebih baik lagi.

b. Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi pihak-

pihak yang ingin melakukan penelitian serupa.

F. Kajian Pustaka

Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia maka studi

sejarah menggunakan rekaman peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang

akan ditelitinya. Rekaman peristiwa masa lalu tersebut berupa buku dan media

Page 22: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

8

cetak lainnya yang akan digunakan dalam penulisan ini. Dikarenakan keterbatasan

dalam menemukan dan menggunakan sumber-sumber primer, maka sumber-

sumber yang akan digunakan dalam penulisan ini merupakan sumber sekunder,

yaitu sumber yang berasal dari tangan kedua. Artinya, sumber-sumber tertulis

yang digunakan bukan merupakan tulisan orang yang terlibat secara langsung

dalam peristiwa tersebut.

Beberapa buku yang digunakan dalam penulisan ini antara lain adalah

buku yang ditulis oleh Furnivall yang berjudul Netherlands India. Dalam buku

ini, Furnivall memberikan deskripsi mengenai Hindia-Belanda, ia memberikan

uraian yang cukup lengkap mulai dari latar belakang atau masa transisi menuju

liberalisasi, dinamika sistem tersebut, dan dampak atau hasil dari penerapan

sistem tersebut di Hindia-Belanda. Tetapi, uraian-uraian tersebut terasa kurang

mendalam. Dijelaskan dalam bukunya mengenai bagaimana penerapan sistem

liberal di Hindia-Belanda dalam bidang perkebunan secara umum. Dalam

penulisan ini juga digunakan buku yang ditulis oleh Suhartono W. Pranoto dengan

judul Serpihan Budaya Feodal (Yogyakarta, 2001). Buku ini merupakan

kumpulan dari makalah atau artikel-artikel milik penulis. Beberapa tulisan yang

terangkum dalam buku ini memaparkan potret kehidupan petani, baik pada masa

kerajaan, kolonial, maupun masa kini. Memang Surakarta merupakan salah satu

daerah istimewa pada periode 1830-1875 dan kehidupan petani di daerah ini sama

memprihatinkan dengan yang terjadi di daerah perkebunan dan industri swasta

yang sedang berkembang di Hindia-Belanda. Berangkat dari tulisan tersebut

melihat Grobogan yang pada masa itu termasuk suatu wilayah dalam Karesidenan

Page 23: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

9

Semarang sebagai salah satu pusat perkebunan tebu dan industri gula terbesar di

Jawa, maka harusnya ini juga menjadi suatu perihal yang patut dikaji. Selain

tulisan Furnivall dan Suhartono W. Pranoto tersebut, juga digunakan buku

Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta, 1984) yang disusun oleh Marwati

Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan. Dalam buku ini, editor menguraikan

bagaimana sejarah Indonesia khususnya abad ke-18 dan ke-19. Buku ini sedikit

banyak memberikan uraian mengenai perkembangan ekonomi Indonesia pada

abad ke-19, pada bagian tersebut terdapat uraian mengenai sistem sewa tanah,

sistem tanam paksa, dan sistem liberal. Tetapi karena buku ini hanya memaparkan

pembahasan-pembahasan tersebut secara garis besar saja, maka pemaparannya

cenderung kurang mendalam.

Selain ketiga buku yang isinya telah dijelaskan secara singkat di atas,

penulisan ini juga menggunakan buku-buku lainnya dengan isi yang berkaitan

dengan topik penulisan ini. Adapun buku-buku tersebut antara lain adalah buku

yang ditulis oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution: The

Process of Ecological Change in Indonesia (Barkeley, 1963); Soediono M. P.

Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, sebagai penyunting buku berjudul Dua

Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa

ke Masa (Jakarta, 1984); The History of Java (London, 1817) tulisan Thomas

Stamford Raffles; dan beberapa buku lainnya.

Potret kehidupan petani Indonesia merupakan sebuah kajian yang menarik

dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang

berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Edi Cahyono dalam skripsinya yang

Page 24: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

10

berjudul Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel: Masyarakat Pribumi

Menyongsong Pabrik Gula4, memberikan suatu analisis mengenai berbagai

macam dampak dari berdirinya pabrik-pabrik gula di Jawa, khususnya di

Pekalongan. Salah satu dampak yang disebutkan Edi Cahyono dalam tulisannya

adalah bahwa berdirinya pabrik gula telah menyebabkan masyarakat Jawa yang

awalnya bermata pencaharian sebagai petani beralih menjadi buruh pabrik. Dalam

penulisan ini ditemukan adanya kesamaan dengan tulisan Edi Cahyono, seperti

peralihan mata pencaharian tersebut. Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet pada

tahun 1870, perkebunan-perkebunan swasta berkembang dengan sangat pesat di

pulau Jawa dan Sumatera. Di Jawa, dalam kasus ini, petani juga kemudian beralih

menjadi buruh perkebunan.

Berbeda dengan kasus dalam tulisan Edi Cahyono, tulisan ini mencoba

memberikan suatu penjelasan yang bersifat klarifikasi. Selama ini masih saja ada

orang yang beranggapan bahwa ketika petani dihadapkan dengan suatu

pertumbuhan industri, maka dengan serta merta petani kemudian beralih profesi

menjadi buruh. Pendapat demikian tidaklah salah, hanya saja orang terkadang

melupakan bahwa terkadang beberapa petani tidak begitu saja meninggalkan

profesinya sebagai petani dan menjadi buruh sepenuhnya. Dengan latar

belakangan ekonomi petani pada tahun 1800-an dan terutama setelah

Cultuurstelsel, bahkan setelah dikeluarkannya Agrarische Wet 1870, petani tetap

4 Dimuat dalam http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/.

Page 25: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

11

mempunyai kehidupan yang subsisten.5 Dengan kehidupan ekonomi yang

subsisten petani harus bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya, sehingga membutuhkan penghasilan tambahan. Petani tidak

meninggalkan lahan pertanian untuk bekerja di lahan perkebunan , tetapi bukan

berarti mereka tidak bekerja di lahan perkebunan. Dengan latar belakang ekonomi

tersebut bekerja di lahan pekebunan memang menjanjikan, tetapi untuk memenuhi

kebutuhan pangan petani tetap mengolah lahan pertanian. Tulisan ini akan

memberikan klarifikasi bahwa ada tiga unsusr penting yang jelas berbeda, yaitu

petani, buruh tani, dan petani yang juga buruh tani.

Dengan adanya seleksi dan kritik sumber yang dilakukan secara

bersamaan dalam langkah tersebut, maka tulisan ini mencoba menyajikan suatu

karya dengan tujuan melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada

tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya.

G. Landasan Teori

Dalam penulisan ini ada beberapa konsep yang digunakan sebagai dasar

landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah petani, pertanian,

perkebunan, Cultuurstelsel, Kerja Wajib, dan Sistem Liberal. Petani adalah orang

yang mata pencahariannya bercocok tanam (mengolah tanah).6 Dalam penulisan

ini juga harus dibedakan secara jelas konsep antara pertanian dan perkebunan.

5 Dalam konteks penulisan ini, kehidupan subsisten yang dialami petanidimengerti sebagai ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhanhidupnya sehari-hari.

6 W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (BalaiPustaka, 1976), hal. 1016.

Page 26: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

12

Lahan pertanian ditanami dengan tanaman-tanaman pangan, seperti padi, jagung,

dan lain-lain (bukan tanaman komersial). Sedangkan lahan perkebunan ditanami

dengan tanaman-tanaman komoditi pasar, seperti kopi, tebu, tembakau, dan lain-

lain yang termasuk kategori tanaman komersial.

Pada dasarnya Cultuurstelsel atau sistem tanam berarti pemulihan sistem

eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan VOC

dahulu. Sistem tanam mewajibkan petani untuk menanam tanaman-tanaman

komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah untuk diekspor ke pasaran

dunia. Van den Bosch, gubernur Hindia-Belanda yang menerapkan sistem

tersebut, yakin bahwa cara ini sangat efektif untuk memperoleh tanaman ekspor

yang dibutuhkan sebagai komoditi perdagangan di pasar dunia.

Istilah Kerja Wajib dalam penulisan ini berarti himpunan berbagai jenis

kerja yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pemerintah, pejabat,

atau kepentingan umum.

Pada dasarnya kerja wajib pada abad ke-19 terdiri atas empat kategori,

yaitu:

a. Kerja umum (heerendiensten), terdiri dari berbagai jenis kerja di sektor

pekerjaan umum, pelayanan umum, dan penjagaan keamanan;

b. Kerja wajib pancen (pancendiensten), khusus untuk melayani rumah

tangga pejabat. Kerja ini sebenarnya termasuk kategori kerja wajib

umum;

Page 27: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

13

c. Kerja wajib tanam (cultuurdiensten), meliputi sektor pertanian, terdiri

dari berbagai jenis kerja di bidang penanaman, pengolahan dan

pengangkutan tanaman wajib dari pemerintah;

d. Kerja wajib desa (desadiensten, gemeendiensten), meliputi jenis kerja

untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang

berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada

umumnya.7

Sebagai suatu sistem pajak, kerja wajib merupakan ekstraksi tenaga kerja

petani, baik untuk kepentingan raja, pemerintah kolonial maupun untuk

kepentingan masyarakat pada umumnya. Kerja wajib dan penyerahan wajib

merupakan ujung tombak dari pelaksanaan Cultuurstelsel yang mau tidak mau

berpengaruh buruk terhadap kehidupan petani dan ekonomi desa.

Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan Sistem Liberal adalah suatu

kebijakan pemerintah kolonial dimana modal swasta diberi peluang sepenuhnya

untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. 8 Sistem ekonomi yang baru ini

menyebabkan pertumbuhan perkebunan semakin meluas. Sistem Liberal juga

berarti lembaran baru bagi petani untuk mendapatkan uang dengan cara yang baru

pula, yaitu dengan menjual tenaga atau menyewakan tanah pada pihak-pihak

swasta yang menanamkan modalnya di sektor perkebunan. Perkebunan menjadi

7 A. M. Djuliati Suryo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib diKaresidenan Kedu 1800-1890, (Yogyakarta, 2000), hal. 24-25.

8 Marwati Djorned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia, Jil. IV, (Jakarta, 1984), hal. 118.

Page 28: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

14

pusat kekuasaan dan petani sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Dominasi

kekuasaan sepenuhnya ada pada perkebunan dan petani menjadi klien yang loyal.9

Raffles pada masa kekuasaannya di Hindia-Belanda menerapkan suatu

kebijakan agraria, yaitu dalam masalah tanah dengan melakukan registrasi

kadestral yang dapat dikatakan mengacu pada teori David Ricardo tentang pajak

tanah (the rent of land).10 Pola penguasaan tanah pada masa Raffles mencoba

menghilangkan peranan golongan feodal lama (penguasa lokal; raja) dan

menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang tetap berciri feodal.

Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik

desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang besarnya telah ditetapkan

oleh pemerintah. Pada wilayah-wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif

Raffles langsung mengundang pemodal asing untuk mengikuti lelang sehingga

sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.

Kemudian pada masa van den Bosch, gubernur jenderal yang kemudian

memerintah di Hindia-Belanda menggantikan Raffles, memanfaatkan kebijakan

yang telah diterapkan tersebut. Jika tidak ada pencatatan luas tanah, maka akan

sulit bagi van den Bosch untuk menerapkan Cultuurstelsel di Jawa. Dengan

adanya kebijakan Raffles tersebut, maka ia dapat dengan mudah memaksa petani

untuk meluangkan 1/5 dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman tertentu, seperti

kopi, tebu, tembakau, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kebijakan

9 A. M. Djuliati Suroyo. Op. cit., hal,114.

10 Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I:Dasar Teori dalam Ekonomi Umum (Jakarta, 1991), hal. 40-49.

Page 29: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

15

tersebut mengacu pada teori dari Thomas Robert Malthus tentang sewa tanah dan

masalah penduduk. Dalam pandangan Malthus, penduduk dalam jumlah dan

tingkatan hidupnya langsung berkaitan dengan tersedianya sumber kehidupan

manusia (sumber daya produksi)11. Pulau Jawa merupakan wilayah di Hindia-

Belanda dengan jumlah penduduk terbesar pada masa itu, yang berarti tersedianya

tenaga kerja dalam julah besar yang dapat mensukseskan Cultuurstelsel yang

dicetuskan oleh van den Bosch.

Menurut Robert K. Merton kemiskinan itu bersifat fungsional, untuk itu

kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistem yang ada

dalam suatu lingkungan tertentu. Kemiskinan dapat disebut sebagai subsidi bagi

berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya atau golongan

atas. Kemiskinan menjamin tersedianya tenaga kerja yang dapat dibayar murah

untuk pekerjaan-pekerjaan berat (kasar). Kemiskinan yang dialami oleh petani di

Grobogan selama masa-masa perkembangan perkebunan dalam jumlah besar di

daerah tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu sifat fungsional dari keadaan

tersebut untuk melestarikan sistem eksploitasi oleh kolonial maupun pemilik

modal. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sifat fungsional dari kemiskinan

tersebut hanya menguntungkan golongan atas, yang dalam konteks ini ialah

pemerintah kolonial maupun pihak swasta. Sedangkan golongan bawah, yaitu

petani tidak diuntungkan dengan kemiskinan yang terus dipertahankan oleh

golongan atas.

11 Ibid., hal. 49-52.

Page 30: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

16

Agrarische Wet 1870 pada Sistem Liberal dapat dikatakan berdasar pada

pemikiran yang serupa dengan pemikiran Raffles dan van den Bosch tersebut.

Baik Agrarische Wet maupun Sistem Liberal itu sendiri pada dasarnya merupakan

ajang komersialisasi Hindia-Belanda dengan membuka peluang bagi para pemilik

modal swasta. Agrarische Wet 1870 semakin mempertegas hal tersebut. Dengan

Agrarische Wet 1870 pemilik modal dapat menguasai tanah, penduduk (tenaga

kerja), dan hasil panen. Kemiskinan yang terjadi juga merupakan suatu keadaan

yang perlu dilestarikan agar pemerintah kolonial maupun pemilik modal dapat

terus melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun penduduknya.

Berbagai kebijakan dan sistem yang diterapkan pemerintah kolonial dalam

bidang agraria sepanjang tahun 1870 tentu saja mempunyai banyak dampak. Ada

banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut terutama di daerah-

daerah perkebunan seperti di Grobogan. Beberapa perubahan yang sangat

menonjol adalah perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Dampak di bidang

ekonomi dapat dilihat dengan jelas yaitu timbulnya kemiskinan di kalangan

petani, sedang untuk dampak sosial, salah satunya adalah muncul golongan baru

dalam masyarakat, yaitu golongan buruh. Untuk itu, dalam penulisan ini akan

digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan

sosial.

Pendekatan ekonomi digunakan untuk mendeskripsikan kesejahteraan

hidup petani. Selain itu, pendekatan ini juga akan sangat membantu dalam

menelaah latar belakang dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 pada masa liberal

oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pendekatan sosial digunakan untuk memaparkan

Page 31: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

17

tentang kehidupan petani, baik peran dan kedudukannya dalam masyarakat di

Jawa pada umumnya dan di Kabupaten Grobogan pada khususnya. Pendekatan

sosial juga digunakan untuk melihat dan menganilisis perubahan-perubahan sosial

dalam kehidupan petani di Kabupaten Grobogan pada khususnya sebagai akibat

dari perkembangan perkebunan pada tahun 1870.

H. Metode Penelitian

Sebagai sebuah studi sejarah, penelitian ini tentu menggunakan metode

sejarah. Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menguji dan

menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu.12 Tulisan ini

merupakan sebuah kajian pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam

penulisan ini adalah mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun

sekunder. Akan tetapi, karena keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan

sumber primer, maka penulisan ini akan lebih banyak menggunakan sumber

tertulis yang bersifat sekunder dan juga tersier. Sumber-sumber tertulis ini tidak

hanya terbatas pada jenis buku dan media cetak lainnya, tetapi juga termasuk

beberapa sumber yang diambil dari situs-situs internet.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari

tiga tahapan, yaitu pertama, pengumpulan data; kedua, analisis data; dan ketiga

penulisan. Tahap pertama, pengumpulan data. Proses ini dilakukan di

perpustakaan-perpustakaan maupun dengan cara browsing melalui internet.

12 Penjelasan selebihnya lihat, Louis Gottschalk, terj. NugrohoNotosusanto. Mengerti Sejarah (Jakarta, 1985), hal. 32.

Page 32: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

18

Dalam proses ini terdapat sistem seleksi untuk mendapatkan data-data yang sesuai

dengan topik yang akan dikaji.

Kedua, analisis data. Pada bagian ini data-data yang telah terkumpul pada

tahapan sebelumnya diolah melalui proses interpretasi. Data-data yang telah

diseleksi pada saat pengumpulan data dihadapkan dengan teori dan pendekatan

yang digunakan dalam penulisan ini, sehingga tercipta suatu analisis data.

Ketiga, penulisan atau historiografi. Tahap ketiga ini merupakan langkah

terakhir dari metode yang digunakan dalam penulisan ini. Setelah melalui ketiga

tahapan sebelumnya, maka terakhir adalah menyajikan data-data yang telah

diinterpretasikan tersebut dalam bentuk tulisan, yaitu skripsi.

I. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan garis besar permasalahan yang telah dipaparkan pada

bagian perumusan masalah di awal, maka studi sejarah sekitar dampak dari

pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap kehidupan petani di Kabupaten

Grobogan dari tahun 1870 sampai dengan tahun 1875 disusun menurut

sistematika penulisan yang terpadu dalam urutan waktu tertentu.

Studi ini di awali dengan uraian deskriptif-naratif mengenai kehidupan

agraris di Hindia-Belanda pada abad ke-19, khususnya di Jawa. Bagian ini akan

memaparkan bagaimana kondisi Hindia-Belanda di bawah pemerintahan Raffles–

sebagai pengantar–juga di bawah van den Bosch (1830-1870). Kebijakan-

kebijakan agraria apa saja yang telah diterapkan selama masa itu. Sedikit

menyinggung latar belakang van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel dan

Page 33: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

19

pelaksanaannya yang kemudian menimbulkan berbagai kritikan hingga kemudian

dihapuskannya Sistem Tanam tersebut.

Pada bab II dipaparkan tentang kondisi Kabupaten Grobogan sebelum

pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian tersebut akan disusun secara kronologis

dimulai dari periode Cultuurstelsel sampai dengan periode Sistem Liberal.

Bab III pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian analisis ini akan diawali

dengan uraian mengenai pelaksanaan Sistem Liberal sebagai suatu haluan politik

baru di Hindia-Belanda yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan baru,

seperti Agrarische Wet 1870. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian mengenai

pelaksanaannya.

Bab IV sebagai inti dari ketiga bab analisis dalam penulisan ini

memaparkan mengenai dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap

kehidupan petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875. Dapat dikatakan

bahwa Agrarische Wet 1870 memberi dampak langsung terhadap liberalisasi

perkebunan dan dampak tidak langsung terhadap kehidupan petani. Agrarische

Wet yang dikeluarkan tahun 1870 merupakan undang-undang yang dikeluarkan

untuk mengatur penanaman modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda.

Sebagian besar dari modal-modal swasta tersebut menanamkan modalnya di

bidang perkebunan, sehingga perkembangan pesat perkebunan di Hindia-Belanda

tidak terelakkan lagi. Keadaan ini yang kemudian memberikan dampak terhadap

kehidupan petani.

Page 34: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

20

Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari analisis

terhadap rumusan permasalahan yang telah dipaparkan penjelasannya pada bab-

bab sebelumnya.

Page 35: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

21

BAB II

SEKILAS TENTANG KABUPATEN GROBOGAN

A. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Grobogan

Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di

Jawa Tengah dengan ibu kotanya Purwodadi. Kabupaten ini berbatasan dengan

Kabupaten Blora di sebelah timur; Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), Kabupaten

Sragen, dan Kabupaten Boyolali di sebelah selatan; Kabupaten Semarang di

sebelah barat; serta Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Pati di

sebelah utara. Secara goegrafis, Kabupaten Grobogan merupakan lembah yang

diapit oleh dua pegunungan, yaitu Pengunungan Kendeng di bagian selatan dan

Pegunungan Kapur Utara di bagian utara. Bagian tengah wilayahnya berupa

dataran rendah.

Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah

setelah Kabupaten Cilacap. Kabupaten Grobogan terbagi ke dalam 19 buah

kecamatan yang terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan

kabupaten Grobogan berada di kecamatan Purwodadi.

Pada jaman kerajaan, kabupaten Grobogan merupakan daerah

mancanagari1 dari Kerajaan Mataram. Pada waktu itu, Susuhunan Amangkurat IV

mengangkat seorang abdinya, yaitu Ng. Wongsodipo, untuk menjadi Bupati di

1 Mancanagari merupakan wilayah kerajaan yang diperoleh dengan carapenaklukan. Artinya, raja dari Kerajaan Mataram telah menaklukan penguasawilayah ini sebelumnya sehingga penguasa tersebut tunduk kepada kedaulatanraja Mataram. Dalam konsep birokrasi kerajaan Mataram, mancanagarimerupakan bagian terluar dari struktur wilayah kekuasaan raja.

Page 36: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

22

Grobogan dengan nama RT Martopuro. Wilayah RT. Martopuro pada saat itu

meliputi wilayah Sela, Teras Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa

weilayah di Sukowati bagian utara Begawan Sala.2

RT Martapuro sendiri menetap di Kartasura. Lalu, ketika terjadi

kekacauan di Kartasura maka pengawasan terhadap wilayah Grobogan ia

serahkan kepada RT Suryonagoro yang tidak lain adalah menantunya sendiri. Di

bawah pemerintahan RT Suryonagoro Grobogan menjadi ibu kota kabupaten. RT

Suryonagoro juga menciptakan struktur pemerintahan pangreh praja, ia

menciptakan jabatan-jabatan pemerintahan dari jabatan bupati sampai dengan

jabatan bekel di desa-desa. Tetapi, pada tahun 1864 ibu kota kabupaten berpindah

ke Purwodadi.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Grobogan merupakan bagian

dari Karesidenan Semarang. Baru pada tahun 1905 dengan dikeluarkannya

Decentralisatie Besluit oleh pemerintah Hindia-Belanda, Grobogan diberi hak

otonomi dan dapat membentuk Dewan Daerah sehingga pada tahun 1908,

Grobogan akhirnya mendapatkan otonomi penuh dari pemerintah Hindia-Belanda.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, daerah-daerah di Indonesia

dibagi ke dalam daerah propinsi dan daerah propinsi ini dibagi lagi menjadi

bagian-bagian yang lebih kecil. Kemudian ketetapan tersebut diperjelas dengan

dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan daerah.

Pasal 1 dari undang-undang ini menyatakan bahwa daerah Negara Republik

2 Serat Babad Kartasura / Babad Pacina : 172 – 174, sebagaimana dikutipdalam http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/.

Page 37: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

23

Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat propinsi, tingkat kabupaten

dan tingkat desa.

Pembentukan daerah-daerah tingkat dua di propinsi Jawa Tengah baru

dilakukan 2 tahun setelah undang-undang tentang pembagian daerah Negara

Republik Indonesia tadi dikeluarkan. Tepatnya, pada tahun 1950 dengan

dikeluarkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 1950 dibentuklah daerah-daerah

tingkat dua di propinsi Jawa Tengah. Jadi, secara hukum pembentukan Kabupaten

Grobogan sebagai daerah tingkat dua dalam proponsi Jawa Tengah didasari oleh

undang-undang tersebut.

B. Penduduk Kabupaten Grobogan

Pada tahun 2007, penduduk di kabupaten Grobogan tercatat berjumlah

1.385.817 jiwa. Dari jumlah ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian

sebagai petani. Oleh karena faktor inilah pada masa Cultuurstelsel maupun masa

Liberal, kabupaten Grobogan menjadi daerah pilihan pemerintah kolonial dan

pihak swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunannya.

Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk terbesar di Hindia-

Belanda pada masa Cultuurstelsel. Hal ini berarti bahwa daerah-daerah di pulau

Jawa memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk keberhasilan usaha-usaha

perkebunan pemerintah, yaitu ketersediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan

untuk dijadikan tenaga kerja perkebunan. Hal ini juga menjadi lebih efektif lagi

karena penduduk di pulau Jawa memang merupakan masyarakat agraris, dimana

sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian.

Page 38: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

24

Dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel membawa penderitaan bagi

penduduk di Hindia-Belanda. Di kabupaten Grobogan, yang merupakan salah satu

pusat perkebunan pemerintah pada saat itu, para petani sangat menderita oleh

eksploitasi pemerintah kolonial melalui perkerjaan-pekerjaan wajib untuk

perkebunan pemerintah. Penderitaan petani di Grobogan pada periode

Cultuurstelsel mencapai puncaknya pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya

bencana kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa para petani. Sebagai akibat

dari bencana kelaparan dan wabah penyakit tersebut ialah penurunan jumlah

penduduk yang sangat drastis. Semula penduduk di kabupaten Grobogan

berjumlah 89.500 jiwa, lalu setelah dilaksanakannya Cultuurstelsel dan dengan

adanya bencana kelaparan dan wabah penyakit pada akhir tahun 1840-an jumlah

tersebut berkurang menjadi 9.000 jiwa.

Dinilai memiliki andil dalam penderitaan petani, oleh kaum humanis

Belanda, Cultuurstelsel dituntut penghapusannya. Penghapusan Cultuurstelsel

secara resmi akhirnya terlaksana pada tahun 1870 yang ditandai dengan

kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda yang juga menandakan

dimulainya haluan politik baru di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal.

Pada masa Liberal, kabupaten Grobogan masih menjadi salah satu daerah

di Jawa yang menjadi pilihan para pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-

usaha perkebunan mereka. Perubahan fase industri perkebunan yang terjadi pada

periode ini tidak membawa banyak perubahan positif dalam kehidupan petani di

kabupaten Grobogan. Pada periode Liberal, petani tetap menjadi korban

eksploitasi dalam usaha-usaha perkebunan milik swasta. Bekerja di perkebunan

Page 39: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

25

swasta sama terikatnya dengan saat petani bekerja di perkebunan pemerintah pada

periode Cultuurstelsel. Meskipun dengan bekerja di perkebunan-perkebunan

swasta berarti petani bebas dari kerja rodi, tetapi sistem kontrak di perkebunan

swasta bagai ikatan kerja rodi yang diterapkan pemerintah kolonial. Pihak swasta

memberikan sanksi tertentu, dari sanksi-sanksi ringan hingga berat, bagi buruh

tani yang mencoba melarikan diri dari perkebunan selama masa kontraknya masih

berlaku.

Pihak swasta pun tidak memberikan tunjangan-tunjangan kesejahteraan

bagi para buruhnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak-pajak yang harus

dibayarkan oleh pihak swasta kepada pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga

petani tetap tidak bisa memperbaiki taraf hidupnya ke tingkat yang lebih baik.

Tetapi, petani di kabupaten Grobogan dapat bertahan bahkan hingga

sekarang. Dapat dibuktikan dengan masih adanya sektor pertanian dan

perkebunan di daerah ini. Hingga sekarang pun sebagian besar penduduknya

bekerja di sektor pertanian. Perkembangan pertanian dan perkebunan di kabupaten

Grobogan juga disebabkan karena ketersediaan sumber daya manusianya.

C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan

Sekitar seperempat bagian dari wilayah kabupaten Grobogan merupakan

lahan perkebunan. Beberapa faktor, seperti faktor geografis dan juga sumber daya

manusianya merupakan faktor utama yang mendukung keberlangsungan sektor

pertanian dan perkebunan di wilayah ini. Kualitas tanah yang cukup produktif

Page 40: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

26

memungkinkan penduduk setempat untuk membudidayakan tanaman-tanaman

pertanian maupun perkebunan.

Bagian tengah wilayah kabupaten Grobogan merupakan pusat pemukiman

penduduk dan lahan pertanian juga perkebunan. Dua pegunungan yang mengapit

wilayah kabupaten Grobogan merupakan kawasan huutan jati, mahoni dan hutan

campuran yang berfungsi sebagai hutan resapan air hujan. Lembah yang

membujur dari timur ke barat merupakan lahan pertanian yang produktif. Daerah

lembah ini sebagian bahkan telah didukung dengan adanya saluran irigasi, jalan

raya dan jalur kereta api.

Adapun ketersediaan lahan perkebunan di kabupaten Grobogan adalah

sebagaiman tercantum dalam tabel berikut;

Tabel 1 Ketersediaan Lahan Perkebunan di kabupaten GroboganNo. Sektor/Komoditi Luas Lahan/Potensi1. Perkebunan: Kelapa Lahan yang sudah digunakan (Ha): 3, 9752. Perkebunan: Tembakau Lahan yang sudah digunakan (Ha): 1,0703. Perkebunan: Tebu Lahan yang sudah digunakan (Ha): 577

4. Perkebunan: Jambu Mete Lahan yang sudah digunakan (Ha): 3085. Perkebunan: Kapas Lahan yang sudah digunakan (Ha): 2486. Perkebunan: Kopi Lahan yang sudah digunakan (Ha): 19

Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen PertanianDirektorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.

Seperti tercantum dalam tabel di atas, perkebunan-perkebunan seperti

perkebunan tembakau, perkebunan tebu dan perkebunan kopi masih tetap

berlangsung di daerah Grobogan seperti halnya pada periode Cultuurstelsel

(1830-1870) sampai dengan periode Liberal (1870-1875). Meskipun lahan

perkebunannya tidak begitu luas, tetapi hasilnya masih merupakan komoditi

primer. Bahkan untuk tebu dan tembakau termasuk dalam komoditi unggulan.

Page 41: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

27

Perkebunan kelapa menempati posisi pertama dengan lahan yang sangat luas,

hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Grobogan membudidayakan kelapa.

Sebagian besar hasilnya diolah menjadi santan atau bahkan ada yang diolah

menjadi minyak kelapa. Sedangkan untuk perkebunan lainnya hanya terdapat di

beberapa kecamatan saja dengan lahan yang tidak begitu luas bahkan sempit,

seperti lahan untuk perkebunan kopi yang hanya seluas 19 Ha.

Untuk lebih rinci, hasil-hasil perkebunan tersebut dapat dilihat dalam tabel

berikut;

Tabel 2 Profil KomoditiNo. Sektor/

KomoditiUnggulan/

TidakDeskripsi

1. Primer-Perkebunan:Kelapa

Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 1,579.00 ton.

2. Primer-Perkebunan:Tebu

Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 1, 258.00 ton.

3. Primer-Perkebunan:Tembakau

Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 833.00 ton.

4. Primer-Perkebunan:Kapas

Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 248.00 ton.

5. Primer-Perkebunan:Jambu Mete

Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 99.00 ton.

6. Primer-Perkebunan:Kopi

Non Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 3.00 ton.

7. Sekunder- Industri:Industri PengalenganIkan

Unggulan Melalui satu pelabuhanperikanan pantai dan duatempat pendaratan ikankabupaten Demakmendapatkan jumlahproduksi ikan tangkap yangdapat diolah lebih lanjutuntuk industri pengalenganikan.Bahan baku & Ketersediaandi daerah (Kom. SekunderTersier) Perikanan Tangkap(1,632.00 ton).

Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen PertanianDirektorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.

Page 42: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

28

Pada periode ini, penduduk di Kabupaten Grobogan lebih mempunyai

variasi dalam membudidayakan jenis-jenis tanaman di lahan-lahan perkebunan

yang tersedia. Hal ini karena sudah tidak adanya ketentuan-ketentuan yang

mengatur jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam oleh petani, seperti yang

terjadi pada masa Cultuurstelsel maupun masa liberal. Pada masa Cultuurstelsel,

petani terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah Hindia-Belanda dalam

pengolahan lahan pertanian mereka dan jenis-jenis tanaman perkebunan yang

harus dibudidayakan. Sedangkan pada masa liberal, pihak swasta menggantikan

posisi pemerintah Hindia-Belanda. Tuntutan pasar yang menentukan jenis-jenis

tanaman perkebunan pada masa itu. Kemudian pada periode ini (2006-2008) juga

jenis-jenis tanaman perkebunannya mengikuti tuntutan pasar, tetapi berbeda

dengan pada masa liberal. Petani bekerja dengan lebih bebas dalam mencapai

hasil yang telah ditargetkan dan perhitungan untung-rugi pun tidak begitu

dominan dalam prinsip usaha perkebunan pada masa ini.

Pada periode ini (2006-2008) terdapat penambahan jenis perkebunan,

seperti perkebunan kelapa, perkebunan jambu mete dan perkebunan kapas yang

juga merupakan perkebunan primer. Bahkan perkebunan kelapa menjadi

perkebunan dengan hasil paling banyak diantara perkebunan-perkebunan lainnya.

Selain perkebunan-perkebunan primer tersebut masih terdapat beberapa jenis

perkebunan lainnya seperti perkebunan jarak pagar.

Perkembangan perkebunan pada masa ini tentu tak bisa terlepas begitu

saja dengan perkebunan-perkebunan sebelumnya. Terbukti dengan masih

berlangsungnya perkebunan-perkebunan seperti perkebunan tebu, perkebunan

Page 43: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

29

tembakau dan perkebunan kopi yang juga merupakan perkebunan-perkebunan

penting pada masa Cultuurstelsel maupun masa liberal.

Pada masa Cultuurstelsel, kabupaten Grobogan juga merupakan salah satu

pusat perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada masa ini, rakyat diharuskan

menyerahkan 1/5 bagian dari lahan pertaniannya untuk ditanami dengan tanaman

komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah mewajibkan

rakyat untuk menanam tanaman-tanaman seperti tebu, tembakau dan kopi yang

selanjutnya hasilnya diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda. Belanda

memperoleh pendapatan yang sangat besar dari pelaksanaan Cultuurstelsel.

Akan tetapi, beban rakyat semakin besar dengan adanya berbagai jenis

kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Selain

harus menanam tanaman ekspor, mereka masih harus menjalani kerja rodi

membangun sarana-prasarana umum, juga masih harus membayar pajak terhadap

pemerintah. Penderitaan petani akibat eksploitasi selama periode Cultuurstelsel

akhirnya memuncak pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya bencana

kelaparan dan wabah penyakit. Bencana tersebut menyebabkan berkurangnya

jumlah penduduk di beberapa wilayah di Jawa. Sebagai contoh adalah wilayah

Demak dan Grobogan yang mengalami penurunan jumlah penduduk yang sangat

drastis. Di Grobogan, penduduknya semula berjumlah sekitar 89.500 jiwa, pada

akhir tahun 1840-an berkurang menjadi sekitar 9.000 jiwa.

Banyaknya angka pengurangan tersebut (sekitar 80.500 jiwa) disebabkan

karena ketidakmampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka

sehingga tidak mempunyai kesiapan dalam menghadapi bencana kelaparan. Petani

Page 44: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

30

lebih banyak menghabiskan waktu untuk menanam tanaman-tanaman wajib dari

pemerintah daripada menanam tanaman-tanaman pangan, seperti padi ataupun

jagung. Sedangkan bekerja wajib pada pemerintah tidaklah mendapatkan upah

bahkan petani masih mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.

Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan

Cultuurstelsel, banyak kritikan yang muncul dari negeri Belanda yang menuntut

penghapusan Cultuurstelsel terutama kritikan dari kaum liberal dan kaum

humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak ikut

campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah yang lebih tepat mengurusi

bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah menjadi pelindung warga

negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan pengatur keamanan dan

ketertiban. Sedang kaum humanis mengkritik masalah kemiskinan petani.

Kritikan kaum humanis ini berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa

petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an.

Kasus kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa petani di Jawa,

termasuk di Grobogan disebabkan oleh ketidaksiapan petani dalam menghadapi

bencana kelaparan. Adapun beberapa alasan mengapa petani di kabupaten

Grobogan pada saat itu tidak siap menghadapi bencana kelaparan dan wabah

penyakit yang menyerang pada akhir tahun 1840-an ialah karena; pertama,

ketentuan Cultuurstelsel yang mewajibkan rakyat untuk menyediakan 1/5 bagian

dari lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman komersial membuat

berkurangnya lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman pangan,

terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang tidak begitu luas.

Page 45: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

31

Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tidak adanya lagi lahan untuk tanaman

pangan, karena petani akhirnya memilih untuk menanami seluruh lahan

pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Pemikiran ini didasari oleh tingginya

harga hasil-hasil perkebunan dan juga tingkat keberhasilan lahan bertanaman

campuran. Tanaman pangan seperti padi pada akhirnya hanya ditanam sekedar

untuk pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk kebutuhan sehari-hari saja karena

tanaman pangan seperti padi tidak termasuk dalam tanaman ekspor, sedangkan

tanaman perkebunan memang ditujukan sebagai komditi ekspor yang tentu saja

dapat dijamin memiliki harga yang jauh lebih tinggai, terutama untuk tanaman

tebu. Permintaan terhadap ekspor gula tebu sangat tinggi pada masa ini,

konsumen di Eropa sangat menyukai ekspor gula tebu dari Hindia-Belanda.

Artinya, ketika tanaman pangan ditanam bercampuran dengan tanaman

perkebunan maka ada kemungkinan bahwa hanya tanaman perkebunan saja yang

tumbuh dengan subur.

Kedua, perawatan tanaman perkebunan menyita banyak waktu sehingga

petani tidak lagi mempunyai waktu untuk mengurusi lahan pertaniannya. Berbeda

dengan tanaman pertanian, contohnya padi, yang tidak memerlukan perawatan

khusus hingga tiba saatnya dipanen. Sedangkan untuk tanaman perkebunan,

contohnya tembakau, memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang kompleks.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak petani yang memilih untuk

menanami seluruh lahan pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Ketiga,

sebagai akibat dari terabainya tanaman pangan, terutama padi, membuat harga

beras pada masa Cultuurstelsel menjadi sangat tinggi. Sedangkan tanaman pangan

Page 46: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

32

seperti padi masih merupakan konsumsi pokok masyarakat di Hindia-Belanda.

Sementara itu, daya beli petani sangat rendah. Kelangkaan padi dan rendahnya

daya beli petani mengakibatkan ketidaksiapan ketika bencana kelaparan melanda.

Kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan pokok ini tentu saja kemudian juga

mengakibatkan petani lebih mudah terserang berbagai penyakit. Oleh karena itu,

ketika terjadi bencana kelaparan dan wabah penyakit malaria yang melanda Jawa

pada masa Cultuurstelsel, petani tidak dapat mengatasinya. Hal inilah yang

kemudian mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah penduduk di kabupaten

Grobogan secara drastis, yaitu dari penduduk yang semula berjumlah 89.500 jiwa

setelah terjadinya bencana kelaparan dan wabah penyakit berkurang menjadi

hanya 9.000 jiwa saja. Angka pengurangan yang sangat besar ini menunjukkan

bagaimana buruknya kesejahteraan hidup petani di kabupaten Grobogan pada

masa Cultuurstelsel.

Masalah kesejahteraan hidup petani di Hindia-Belanda yang tetap

memprihatinkan akhirnya mengundang berbagai kritikan di Belanda. Kritikan

yang paling menonjol ialah dari kaum humanis yang beranjak dari kasus

kelaparan dan wabah penyakit yang melanda petani di Jawa, khususnya di

Grobogan dan Demak pada akhir tahun 1840-an. Kritikan-kritikan dari kaum

humanis harus disampaikan dalam rapat parlemen agar tujuan untuk

menghapuskan Cultuurstelsel dapat tercapai. Dengan demikian, kaum liberal

merupakan tokoh yang dapat menyuarakan kritikan tersebut di parlemen. Kaum

liberal yang juga sudah lama menentang kaum konservatif akhirnya

memenangkan suara di parlemen sehingga dimulailah sebuah haluan politik baru

Page 47: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

33

di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Dimulainya Sistem Liberal berarti juga

penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870. Sistem Liberal dapat

diartikan sebagai pengambilalihan kuasa ekonomi dari tangan pemerintah oleh

kaum liberal. Perekonomian bukan lagi dikuasai oleh pemerintah melainkan oleh

pihak swasta atau pemilik modal. Liberalisme berarti terbukanya peluang bagi

modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. Hal ini juga dapat

disebut sebagai komersialisasi Hindia-Belanda, terlebih lagi dengan

dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Jadi, pada tahun 1870 ini dapat

dikatakan bahwa pemerintah Hinda-Belanda menerapkan “politik pintu terbuka”.

Menurut Ramadhan, gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah

pandangan bahwa setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk

melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada campur tangan dari negara.

Atas dasar tersebut, maka campur tangan negara tidak diperlukan lagi.3 Meskipun

di Hindia-Belanda sudah mulai berjalan politik “pintu terbuka”, tetapi para

pemilik modal masih enggan menanamkan modalnya terutama pada sektor

perkebunan. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu belum ada perangkat

hukum yang menjamin keberhasilan usaha perkebunan dalam skala besar.

Tidak berbeda jauh dengan masa Cultuurstelsel, pada masa Liberal

kabupaten Grobogan pun menjadi salah satu wilayah yang menjadi pilihan para

pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunan mereka. Faktor

geografis dan ketersediaan tenaga kerja tetap memegang peranan penting sebagai

3 Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006), dalamhttp://www.syariahpublications.com.

Page 48: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

34

faktor yang menyebabkan kabupaten Grobogan menjadi daerah perkembangan

usaha-usaha perkebunan pihak swasta.

Dengan latar belakang demikian, maka tidak mengherankan ketika melihat

keberadaan sektor perkebunan di kabupaten Grobogan yang masih berlangsung

hingga sekarang.

Page 49: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

35

BAB III

PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

DI KABUPATEN GROBOGAN

Jauh sebelum perkebunan milik swasta berkembang pesat pada abad ke-

19, usaha ekspor sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdagangan antar dunia

sudah dimulai sejak abad ke-16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlayar ke

Asia Tenggara. Komoditi-komoditi perdagangan pasar dunia tersedia dalam

jumlah yang banyak di Asia Tenggara, sehingga semakin lama bangsa-bangsa

Eropa semakin banyak berdatangan ke Asia. Mulai dari Spanyol, Portugis,

Inggris, sampai Belanda berlomba-lomba menguasai nusantara (sebutan Indonesia

jaman dulu). Pada akhirnya Belanda berhasil menguasai nusantara pada tahun

1602 melalui VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC dikenal dengan

monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di nusantara. Pada akhir abad

ke-18, VOC mengalami kebangkrutan. Kekuasaan terhadap nusantara beralih ke

tangan pemerintah negeri induk.

Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang

sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan oleh

penduduk di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Gejala ini menunjukkan bahwa

usaha perkebunan sudah dimulai. Negara sejak awal telah menjadi penguasa

utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai

pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh

negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan

Page 50: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

36

institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga

kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar

kecilnya nilai dan hasil produksi.

Perkebunan di Hindia-Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera, telah

tumbuh dan berkembang sejak masa Cultuurstelsel (1830). Pada masa itu, van den

Bosch memutuskan untuk menerapkan Cultuurstelsel dan mengembangkan sektor

perkebunan semaksimal mungkin. Langkah van den Bosch tersebut adalah untuk

menyelamatkan perekonomian Hindia-Belanda dan juga negeri induk yang sedang

mengalami krisis dan ancaman kebangkrutan. Pada masa itu terjadi eksploitasi

dalam sektor perkebunan secara besar-besaran dan hal tersebut dikuasai

sepenuhnya oleh pemerintah.

Setelah kebijakan Culturstelsel yang diterapkan oleh van den Bosch

(1830), usaha perkebunan menjadi sumber keuangan yang penting untuk

pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Oleh karena itu, pemerintah sangat

memperhatikan bidang tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda mempunyai kuasa

penuh untuk melakukan eksploitasi dalam bidang tersebut, baik eksploitasi

terhadap tanah, tenaga kerja, maupun hasilnya.

Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha

perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang

bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC

berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang

belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis

komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula.

Page 51: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

37

Dengan masuknya modal swasta ke Hindia-Belanda, maka Hindia-

Belanda menjadi sebuah koloni yang sangat komersial bagi negeri Belanda. Untuk

mengatur modal-modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda, dewan menteri de

Waal mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria). Banyaknya

modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda telah menyebabkan tumbuh dan

berkembangannya bidang perkebunan. Sejak dikeluarkannya Agrarische Wet,

perkebunan-perkebunan besar mulai berdiri di Hindia-Belanda, khususnya di

Jawa dan Sumatera. Berbeda dengan era Cultuurstelsel, eksploitasi dalam sektor

perkebunan dikuasai oleh pemilik modal atau pihak swasta.

A. Cultuurstelsel dan Pelaksanaan Sistem Liberal di Hindia-Belanda

Keadaan ekonomi di Hindia-Belanda sejak awal abad ke-19 dapat

dikatakan sedang berada dalam masa kritis. Ada beberapa faktor yang menjadi

penyebab memburuknya keadaan ekonomi tersebut. Faktor pertama adalah

adanya Perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut menyebabkan pemerintah

Hindia-Belanda harus mengeluarkan banyak uang untuk membiayai peperangan.

Pemerintah Hindia-Belanda berjuang sangat keras untuk menghentikan

peperangan, karena peperangan tersebut dianggap mengancam keberadaan

kolonial di Hindia-Belanda, khususnya di Jawa. Seharusnya masalah keuangan

tersebut dapat diatasi dengan pemasukan dari pajak yang telah diterapkan di Jawa,

akan tetapi pemasukan sektor ini belum optimal. Penarikan pajak belum berjalan

lancar karena hal tersebut merupakan kebijakan baru di Hindia-Belanda. Awalnya

Page 52: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

38

rakyat menyerahkan pajak dalam bentuk hasil bumi, tetapi pada masa kolonial

pajak dibebankan dalam bentuk uang.

Faktor kedua adalah hilangnya sumber kas negara. Kekuasaan Napoleon

Bonaparte atas wilayah Belanda sejak 1795–yang kemudian dibentuk menjadi

Kerajaan Belanda pada tahun 1806, sebelum akhirnya diinkorporasi ke dalam

Kekaisaran Perancis pada tahun 1810–telah menguntungkan Inggris untuk

menguasai beberapa koloni Belanda. Setelah Kongres Wina tahun 1815 Belanda

memperoleh kembali kemerdekaannya, tetapi Belgia yang masuk ke dalam

kedaulatannya memberontak pada tahun 1830. Pada akhirnya Belgia memisahkan

diri dari Belanda pada tahun 1839. Dengan pemisahan Belgia, Belanda kehilangan

industrinya. Belanda kehilangan tanah domein negara di Belgia yang disewakan

sebagai sumber keuangan. Tidak hanya kehilangan Belgia, Belanda juga

kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon1. Keadaan tersebut tentu saja memperburuk

kondisi perekonomian Belanda.

Faktor ketiga adalah dominasi Inggris dalam bidang perdagangan. Belanda

kalah dalam persaingan perdagangan di pasar Eropa, terutama dalam bidang

ekspor. Inggris mempunyai modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan

Belanda, sehingga dapat dengan mudah menguasai pasar Eropa. Modal Belanda

banyak terserap untuk membiayai Perang Jawa dan untuk mengatasi masalah

ekonomi di negeri Belanda sendiri.

Dari ketiga faktor di atas, dua faktor terakhir terlihat seakan-akan tidak

berhubungan dengan Hindia-Belanda. Tidak demikian jika dilihat secara

1 Ceylon adalah sebutan untuk Sri Lanka sekitar abad XIX.

Page 53: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

39

keseluruhan. Artinya, krisis-krisis seperti disebutkan di atas merupakan ancaman

kebangkrutan bagi negeri induk, yaitu Belanda. Hindia-Belanda, sebagaimana

halnya Belgia, Afrika Selatan dan Ceylon, merupakan salah satu daerah koloni

Belanda. Bagi Belanda, sebagai negeri induk, koloni-koloni ini merupakan

sumber devisa yang menyumbangkan pendapatan untuk menunjang

perekonomian negeri induk. Maka, ketika salah satu daerah koloninya tidak lagi

menyediakan devisa bagi negeri induk, yang terjadi ialah ketidakseimbangan

ekonomi di negeri induk. Sehingga untuk menyeimbangkannya kembali maka

daerah koloni yang lainnya harus memberikan devisa yang lebih besar daripada

sebelumnya. Dalam hal ini, Hindia-Belanda merupakan salah satu daerah koloni

yang diharapkan dapat menyelamatkan negeri induk dari ancaman kebangkrutan.

Lalu, ketika hal tersebut berhasil, Belanda akan mempunyai modal yang cukup

untuk dapat menyaingi Inggris dalam perdagangan di pasar Eropa.

Oleh karena itu, Van den Bosch, gubernur jenderal Hindia-Belanda

berikutnya, harus memikirkan cara untuk menjadikan Hindia-Belanda sebagai

daerah koloni yang dapat menyelamatkan Belanda dari ancaman kebangkrutan.

Bertolak dari prinsip Baud, van den Bosch akhirnya mencetuskan Cultuurstelsel

(1830-1870). Dalam pandangan Bosch, perkebunan tidak akan berhasil jika petani

tidak dipaksa dengan ketentuan-ketentuan pemerintah. Oleh karena itu,

Cultuurstelsel yang diprakarsai oleh Bosch memuat tujuh ketentuan sebagai

berikut;

Page 54: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

40

1. Persetujuan-persetujuan akan dilakukan dengan penduduk agar mereka

menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman

dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa;

2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini

tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki

penduduk desa;

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak

boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;

4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan

dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;

5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan,

wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda; jika nilai hasil-

hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang

harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada

rakyat;

6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada

pemerintah, sedikit-dikitnya jika tidak disebabkan oleh kurang rajin

atau ketekunan dari pihak rakyat;

7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah

pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa

hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah,

Page 55: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

41

panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan

tepat pada waktunya.2

Jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels turut memberikan

kegunaan besar pada masa Cultuurstelsel. Perkebunan-perkebunan di Jawa yang

mulai berkembang sejak Cultuurstelsel sebagian besar berada di sepanjang pesisir

utara Jawa. Selain karena kualitas tanah yang digunakan untuk perkebunan harus

merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi atau dapat dikatakan sebagai

tanah dengan kualitas terbaik, sebagian besar terdapat di sepanjang daerah

tersebut juga demi kemudahan dalam pengangkutan hasil-hasil perkebunan

tersebut menuju pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa untuk kemudian diangkut

oleh kapal-kapal menuju Eropa.

Dengan demikian Jawa menjadi salah satu pusat perkembangan

perkebunan, selain Sumatera. Karesidenan Semarang, Jawa Tengah, merupakan

salah satu pusat perkebunan-perkebunan besar di Jawa, salah satu daerahnya

adalah Kabupaten Grobogan. Di daerah tersebut berkembang beberapa

perkebunan, seperti perkebunan kopi dan tebu. Keberhasilan Bosch dalam

menangani keterpurukan ekonomi negeri induk tidak dapat dipungkiri.

Cultuurstelsel yang diprakarsainya berhasil meningkatkan ekspor tanaman-

tanaman perkebunan dari Hindia-Belanda, sehingga sedikit demi sedikit

perekonomian negeri induk mulai membaik.

Culturstelsel dengan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya

kemudian mengundang kritikan dari kaum humanis dan kaum liberal Belanda.

2 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan BambangSumadio, op.cit.. hal 99-100.

Page 56: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

42

Akhirnya tahun 1870, Cultuurstelsel dihapuskan secara resmi yang ditandai

dengan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda. Meskipun untuk beberapa

jenis tanaman sudah mulai dihapuskan sejak tahun 1860 dan beberapa jenis

tanaman juga ada yang baru dihapuskan setelah tahun 1870. Penghapusan

Cultuurstelsel dan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda menandakan

sebuah haluan politik baru yang akan diterapkan di Hindia-Belanda, yaitu politik

liberal.

Pergelutan antara kaum konservatif dengan kaum liberal sebenarnya telah

berlangsung lama. Bahkan, beberapa gubernur-jenderal di Hindia-Belanda pernah

mencoba untuk menerapkan politik liberal pada masa-masa pemerintahan mereka.

Adapun para gubernur-jenderal tersebut antara lain ialah; Daendels (1808-1816)

dan Raffles (1811-1816). Kedua penguasa ini dikenal memperjuangkan hak

perseorangan, baik dalam hal kepemilikan tanah, penggunaan hasil tanam,

maupun dalam hal hukum dan keadilan. Berbagai upaya dilakukan Daendels

dalam mewujudkan idealismenya, tetapi tidak semua idenya dapat terwujud. Hal

ini karena desakan keadaan dimana pada waktu itu Belanda harus berusaha keras

mempertahankan Jawa dari ancaman Inggris. Namun, pada akhinya Jawa tetap

jatuh ke tangan Inggris.

Di bawah kekuasaan Raffles (1811-1816), berbagai upaya pembaharuan

yang juga berdasarkan pada idealisme liberal banyak dilakukan. Salah satunya

yang terkenal adalah sistem pemungutan sewa tanah. Sistem pemungutan sewa

tanah milik Raffles ini bertujuan memperbaiki sistem paksa peninggalan VOC

yang menurut Raffles sangat memberatkan serta merugikan rakyat. Pajak

Page 57: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

43

dibayarkan dalam bentuk uang atau hasil tanam, seperti padi. Tetapi, dalam

pelaksanaannya sistem ini pun tidak lepas dari penyelewengan-penyelewengan

yang akhirnya mengarah pada kegagalan.

Setelah Belanda menerima kembali tanah jajahannya dari tangan Inggris,

ada keraguan mengenai sistem apa yang sebaiknya diterapkan di Hindia-Belanda.

Beberapa alasan sangat mendukung untuk tetap melanjutkan idealisme liberal

seperti yang telah diterapkan oleh Raffles, tetapi karena kondisi ekonomi negara

induk yang memprihatinkan pada akhirnya pemerintah kolonial meninggalkan

idealisme liberal dan kembali lagi menerapkan politik konservatif. Beberapa

Komisaris Jenderal, seperti Van Der Capellen (1816-1826) dan Du Bus de

Gisignies (1826-1830) berniat menerapkan politik liberal di Hindia-Belanda,

tetapi desakan kondisi ekonomi negeri induk yang semakin merosot mendesak

mereka untuk kembali menerapkan sistem eksploitasi terhadap tanah jajahan.

Pemerintahan Van Der Capellen memperkenalkan kontrak penjualan hasil

tanam langsung ke petani. Selama periode-periode sebelumnya, penjualan hasil

tanam, baik dari sektor pertanian maupun perkebunan harus melalui kepala desa

terlebih dahulu. Tujuan dari kebijakan Capellen ini antara lain adalah untuk

mengurangi peran elit lokal dan memperluas kemampuan petani dalam

perdagangan pasar bebas. Pada perkembangannya, kebijakan ini menyebabkan

timbulnya ketegangan-ketegangan antara pemerintah kolonial dengan golongan

elit lokal. Akhirnya ketegangan pun memuncak dengan meletusnya Perang Jawa

pada tahun 1825.

Page 58: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

44

Pada tahun 1826, Van Der Capellen digantikan oleh Du Bus de Gisignies

sebagai Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda berikutnya. Jika pada masa

pemerintahan Van Der Capellen melakukan pembatasan terhadap orang asing,

maka pada masa Du Bus para pengusaha swasta diberikan akses untuk

menanamkan modalnya dalam kegiatan perekonomian di Hindia-Belanda. Di satu

sisi Du Bus ingin memompa kinerja petani dan di sisi lain tetap menjalankan

sistem sewa tanah dengan memperkuat pengaruh asing dalam perekonomian di

tingkat pedesaan. Namun, sayang berbagai usaha Du Bus menghadapi berbagai

hambatan dalam perwujudannya terlebih lagi dengan berlangsungnya Perang Jawa

yang sangat menyita perhatian pemerintah kolonial. Pada akhirnya sistem sewa

tanah yang coba dipertahankan mengalami kegagalan. Penyebabnya antara lain

adalah masih eratnya ikatan feodal pada masyarakat pedesaan serta belum

meluasnya pemahaman tentang sistem uang.

Sistem sewa tanah dihapuskan pada tahun 1830 pada saat Du Bus

digantikan oleh Van Den Bosch (1830-1870). Van den Bosch kembali

menerapkan politik konservatif dengan menghidupkan kembali sistem penanaman

paksa melalui pelaksanaan Cultuurstelsel seperti yang dilakukan VOC. Tetapi

penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan Cultuurstelsel mengundang

berbagai kritikan yang akhirnya menghapuskan Cultuurstelsel secara resmi pada

tahun 1870, dimana kaum liberal memenangkan suara di parlemen Belanda.

Dengan demikian berlaku politik liberal di Hindia-Belanda.

Pada masa liberal, Hindia-Belanda di buka sebesar-besarnya bagi

penanaman modal asing. Para pemilik modal diberikan akses seluas-luasnya untuk

Page 59: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

45

mengusahakan kegiatannya di Hindia-Belanda, terutama di bidang perkebunan.

Hal ini disebut sebagai ”politik pintu terbuka”. Tentu saja yang terjadi adalah

modal-modal swasta membanjiri Hindia-Belanda yang kemudian menyebabkan

munculnya perkebunan-perkebunan besar, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.

Dalam perkembangannya, pelaksanaan politik liberal di Hindia-Belanda

tidak berjalan sesuai dengan idealisme yang ingin diwujudkan. Kaum liberal yang

pada idealisme awalnya menjunjung tinggi tercapainya kemakmuran bagi rakyat

jajahan disamping mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara, pada

akhirnya hanya terpusat pada pencapaian keuntungan yang besar. Sistem

eksploitasi seperti halnya pada masa Cultuurstelsel tetap mewarnai perkebunan-

perkebunan di Jawa maupun luar Jawa. Hanya saja perbedaannya dengan era

Cultuurstelsel adalah pada era liberal eksploitasi pada sektor perkebunan dikuasai

oleh pemilik modal atau pihak swasta, sedangkan pada masa Cultuurstelsel dulu

eksploitasi perkebunan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial.

Salah satu perubahan yang penting dalam perkembangan perkebunan

sebelum dikeluarkannya Agrarische Wet dan sesudahnya adalah perubahan dari

sistem ladang ke sistem kebun permanen yang menanam tanaman perdagangan.

Kebun bertanaman campuran merupakan salah satu tipenya. Selain meningkatnya

pertumbuhan kebun komoditi komersial, proses komersialisasi juga meningkat di

daerah pantai, terutama sepanjang pantai utara Jawa. Kedudukan pemodal swasta

dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi

semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa

komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan.

Page 60: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

46

B. Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan

Dengan kemenangan kaum liberal di parlemen, maka politik kolonial di

Hindia-Belanda juga turut berubah dari politik konservatif menjadi politik liberal

atau yang juga dikenal dengan ‘politik pintu terbuka.’ Hindia-Belanda menjadi

negara jajahan yang bersifat komersial bagi pemerintah kolonial, sehingga banyak

penanaman modal milik swasta yang kemudian membanjiri Hindia-Belanda

khususnya untuk usaha-usaha di sektor perkebunan yang terpusat di pulau Jawa

dan Sumatera.

Ketiadaan perangkat-perangkat hukum pada saat itu mengenai bidang

agraria, membuat laju penanam modal swasta di Hindia-Belanda sedikit

terhambat. Para pemilik modal mengkhawatirkan keberhasilan usahanya jika tidak

ada perangkat hukum yang menjamin dan melindungi kebebasan mereka dalam

mengusahakan kegiatan-kegiatannya di Hindia-Belanda. Kekhawatiran ini

terutama berasal dari permasalahan tanah sebagai faktor penting dalam usaha

perkebunan. Sebagian besar tanah di Jawa pada masa itu masih merupakan tanah

adat, sehingga akan sulit bagi pihak swasta untuk dapat menguasainya. . Oleh

karena itu, yuridikasi hukum adat atas tanah harus dihilangkan dan kemudian

didasarkan pada hukum Eropa. Untuk itu pemerintah Hindia-Belanda kemudian

menetapkan asas Domein Verklaring.

Dengan adanya Domein Verklaring, maka perlahan-lahan tanah-tanah

milik rakyat pribumi yang diperoleh karena kebiasaan-kebiasaan setempat (tanah

adat) menjadi hilang. Kerana hukum adat pribumi Hindia-Belanda tidak dapat

disamakan dengan hukum Eropa. Meskipun ada bagian dalam Agrarische Wet

Page 61: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

47

1870 yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak boleh melanggar hak-hak

pribumi dalam haknya atas tanah, kententuan tersebut menjadi tidak berarti

dengan adanya Domein Verklaring. Disebutkan bahwa penduduk pribumi tidak

boleh menjual atau menyewakan tanahnya kepada pengusaha, tetapi setelah

adanya Agrarische Besluit maka pengusaha-pengusaha swasta bisa mendapatkan

tanah tersebut dari penduduk pribumi. Karena ada larangan untuk melakukan jual-

beli terhadap tanah milik penduduk pribumi, istilah tersebut diganti dengan

‘melepas hak’-nya atas tanah. Meskipun istilahnya berganti menjadi ‘melepas

hak’, akan tetapi tetap saja ada unsur jual-beli di dalamnya. Padahal seharusnya

istilah ‘melepas hak’ berarti secara sukarela memberikan hak miliknya atas tanah

tersebut kepada negara. Setelah menjadi milik negara, maka negara dapat dengan

bebas memperjual-belikan atau menyewakan tanah tersebut kepada para

pengusaha swasta.

Dengan dikeluarkannya Domein Verklaring, maka modal swasta kembali

membanjiri usaha-usaha perkebunan di Jawa. Pemilik modal menjadi lebih bebas

menyewa tanah untuk usaha perkebunan mereka dengan jangka waktu yang lama

(99 tahun) dengan tingkatan harga yang murah. Kebijakan ini tentu saja

mengundang kontorversial di parlemen Belanda. Kaum yang paling menentang

kebijakan kaum liberal ini adalah kaum konservatif. Kaum konservatif menentang

usul ini, dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada

syarat-syarat yang bersifat asli, penguasaan bersama dan kebiasaan yang tidak

Page 62: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

48

dapat disatukan dengan konsep “hak milik”dari Barat modern.3 Sedangkan bagi

kaum liberal, penguasaan bersama merupakan sebuah hambatan dalam kelancaran

bisnis mereka karena kepemilikan perseorangan lebih memudahkan pihak swasta

dalam penyewaan tanah. tetapi, pada akhirnya kebijakan Domein Verklaring tetap

dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Setelah kebijakan Domein Verklaring yang diterapkan dengan segala

kontroversinya, pemerintah merasa perlu untuk melindungi hak rakyat

sebagaimana idealisme liberal pada awalnya. Untuk itu, menteri de Waal

kemudian mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun

1870. Adapun ketentuan dalam Agrarische Wet tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

1. Pemerintah berhak menyewakan tanah yang tidak dipergunakan

penduduk asli selama 75 tahun kepada bangsa asing. Peraturan ini

disebut erfpacht, artinya tanah yang dapat diwariskan.

2. Penduduk asli tidak boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi

boleh menyewakannya.

3. Tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun juga, menjadi hak milik

pemerintah.

Dengan adanya ketentuan bahwa penduduk asli hanya diperbolehkan

menyewakan tanahnya saja, pemerintah kolonial mencoba melindungi rakyat agar

tidak kehilangan tanahnya. Ketentuan ini juga sekaligus berarti bahwa pemerintah

3 Hiroyoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community inNineteenth Century Java, dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan GunawanWiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian diJawa dari Masa ke Masa, (Jakarta, 1984), hal.26-85.

Page 63: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

49

kolonial memberikan peluang bagi para pemilik modal untuk dapat menyewa

tanah milik penduduk selain tanah milik negara.

Ketentuan Agrarische Wet tahun 1870 yang kedua memang

memperlihatkan bahwa pemerintah kolonial memberikan perlindungan terhadap

hak atas tanah milik penduduk pribumi. Tetapi, pada pelaksanaannya dengan

perlahan-lahan penduduk pribumi dapat kehilangan haknya tersebut. Dalam

ketentuan Agrarische Wet tahun 1870 disebutkan bahwa penduduk asli tidak

boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi boleh menyewakannya. Dalam

pelaksanaannya orang asing, dalam hal ini pengusaha swasta, dapat membeli

tanah milik penduduk asli tersebut. Caranya adalah melalui pemerintah kolonial.

Penduduk asli memang tidak menjual haknya, tetapi melepaskan haknya atas

tanah miliknya. Pada dasarnya hal ini sama saja dengan menjual, karena

penduduk akan mendapat sejumlah uang sebagai ganti rugi karena telah

melepaskan haknya atas tanah miliknya. Tanah yang sudah tidak dimiliki lagi oleh

penduduk tersebut secara langsung akan menjadi milik pemerintah kolonial.

Peraturan Domein Verklaring menyatakan bahwa tanah yang tidak

digunakan oleh penduduk asli dan tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan

menjadi milik negara. Ketika penduduk melepas haknya atas tanah, maka secara

bersamaan mereka tidak lagi bisa membuktikan kepemilikannya atas tanah

tersebut, sehingga pemerintah kolonial menjadikannya tanah negara dan dapat

dengan bebas menggunakannya. Tanah-tanah tersebut kemudian dapat dengan

mudah disewakan pada pihak swasta yang membutuhkan tanah untuk kegiatan-

kegiatannya yang sebagian besar adalah usaha-usaha perkebunan.

Page 64: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

50

Hak milik pemerintah atas tanah yang dinyatakan dalam Domein

Verklaring atau Pernyataan Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang tidak

dimiliki oleh siapapun. Tanah-tanah yang menjadi milik pemerintah tersebut

adalah tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh penduduk

pribumi, seperti tanah adat yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat

setempat yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum agraria yang diterapkan

oleh pemerintah liberal didasarkan pada hukum Eropa, sehingga tanah adat milik

penduduk pribumi tidak bisa dibuktikan kepemilikannya. Hal ini karena hukum

adat tidak bisa disamakan dengan hukum Eropa. Hukum adat diwariskan secara

turun-temurun tanpa dokumen-dokumen kepemilikan, sedangkan hukum Eropa

melihat yuridikasi hak atas tanah berdasarkan hukum tertulis yang menuntut

kelengkapan dokumen-dokumen kepemilikan. Sebagai pelaksanaannya,

pemerintah liberal mengeluarkan Agrarische Besluit pada tahun yang sama, tahun

1870.

Penerapan Domein Verklaring di kabupaten Grobogan membuat pihak

swasta menjadi jauh lebih bebas dalam mendirikan usaha-usaha perkebunan

mereka di daerah ini. Tanah adat yang semula merupakan tanah desa akhirnya

menjadi milik perseorangan. Karena hukum Eropa tidak mengakui adanya

yuridikasi adat atas tanah dan lebih mementingkan kelengkapan dokumen

kepemilikan, maka tanah adat yang semula merupakan milik bersama atau desa

dibagi-bagi menjadi milik perseorangan di desa tersebut. Hal ini tentu saja

memudahkan pihak swasta untuk menyewa tanah tersebut.

Page 65: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

51

Dengan adanya Agrarische Wet 1870, terutama ketentuannya yang kedua,

penduduk kabupaten Grobogan diberi kesempatan untuk mengenal perdagangan

bebas dengan dimungkinkannya proses transaksi penyewaan tanah secara

langsung antara pihak swasta dengan penduduk setempat.

Politik kolonial liberal yang awalnya menghendaki liberalisasi tanah

jajahan berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk

memperoleh uang.4 Agrarische Wet 1870 yang merupakan produk hukum agraria

pemerintah liberal pun akhirnya hanya menguntungkan para pengusaha swasta,

sementara petani masih bergelut dalam kehidupan subsisten mereka.

4 Wiharyanto, A. K., Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX,(Yogyakarta: 2006), dikutip oleh Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006),dalam http://www.syariahpublications.com.

Page 66: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

52

BAB IV

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN

TAHUN 1870-1875

Perubahan politik kolonial di Hindia-Belanda, dari politik konservatif

menjadi politik liberal sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan

di Hindia-Belanda. Perubahan orientasi politik kolonial ini berlangsung secara

bersamaan dengan perubahan penguasaan industri perkebunan di Hindia-Belanda.

Ketika di Hindia-Belanda masih dijalankan politik konservatif, industri

perkebunan didominasi oleh negara, dalam konteks ini ialah pemerintah kolonial.

lalu, ketika politik konservatif digantikan oleh politik liberal, industri perkebunan

didominasi oleh pihak swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan

orientasi politik kolonial berjalan sinergis dengan fase perkembangan industri

perkebunannya. Sejak penerapan sistem liberal pada tahun 1870, terutama dengan

dijalankannya ‘politik pintu terbuka’, Hindia-Belanda terbuka bagi modal swasta

yang ingin mengusahakan kegiatannya. Oleh karena itu, yang terjadi kemudian

adalah berkembanganya usaha-usaha perkebunan milik swasta di Hindia-Belanda,

terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Agrarische Wet 1870 yang dipertegas

kembali dengan dikeluarkannya Agrarisch Besluit sebagai produk hukum agraria

yang dikeluarkan oleh pemerintah liberal membuat liberalisasi perkebunan di

Hindia-Belanda berkembang dengan sangat pesat.

Page 67: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

53

Agrarische Wet tahun 1870 secara langsung telah mempengaruhi

perkembangan perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-Belanda, khususnya di

Jawa dan Sumatera. Perkembangan perkebunan-perkebunan besar milik swasta

tersebut terebar di sepanjang daerah pesisir pantai utara Jawa. Daerah-daerah

tersebut merupakan daerah dengan kualitas tanah yang baik dan masih produktif

serta mempunyai letak yang strategis yang memudahkan pengusaha mengangkut

hasil-hasil perkebunannya menuju industri-industri pengolahan ataupun menuju

pelabuhan-pelabuhan untuk di angkut ke Eropa. Pada periode ini, industri-industri

perkebunan hanya terdapat di kota-kota besar saja. Oleh karena itu, perkembangan

perkebunan swasta sebagian besar tersebar di daerah-daerah yang letaknya dekat

dengan kota-kota besar atau kota-kota pelabuhan.

Grobogan merupakan salah satu wilayah dari Karesidenan Semarang yang

terletak di daerah pesisir utara Jawa ini pada masa liberalisasi perkebunan

merupakan salah satu daerah perkebunan swasta yang cukup besar. Adapun

perkebunan milik swasta yang berkembang di daerah Grobogan antara lain adalah

perkebunan tebu, kopi dan tembakau. Bahkan pada periode liberal, perkebunan

tebu di Grobogan merupakan salah satu perkebunan terbesar di Jawa Tengah

selain Surakarta. Gula tebu merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati di

pasar Eropa. Oleh karena itu, banyak pengusaha swasta yang datang ke Hindia-

Belanda memilih menanamkan modalnya pada perkebunan-perkebunan tebu yang

tersebar di sepanjang daerah pesisir utara Jawa.

Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 telah memberikan dampak

secara langsung terhadap perkembangan perkebunan-perkebunan di Hindia-

Page 68: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

54

Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera. Secara tidak langsung Agrarische Wet

1870 juga berdampak pada kehidupan petani, sebagai tenaga kerjanya. Di

Grobogan, perkebunan-perkebunan milik swasta berkembang dengan pesat.

Perkembangan tersebut memberikan dampak terhadap kehidupan petani di

Grobogan. Perkembangan perkebunan ini kemudian disertai dengan industrialisasi

perkebunan, berupa penyediaan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti industri-

industri pengolahan hasil perkebunan dan sarana dan prasarana pendukung

lainnya, misalnya bidang transportasi. Akan tetapi, di samping pesatnya

perkembangan perkebunan tersebut, kehidupan petani tidak banyak berubah dari

kondisi perekonomiannya yang memprihatinkan.

Perkembangan perkebunan milik swasta yang begitu pesatnya sejak tahun

1870 tidak membawa banyak hal-hal yang menguntungkan bagi para petani di

Grobogan. Idealisme kaum liberal tentang peningkatan kesejahteraan hidup di

Hindia-Belanda, baik bagi pemerintah kolonial Belanda maupun penduduk asli

pada akhirnya tidak sepenuhnya tercapai. Peningkatan kesejahteraan hidup yang

dicita-citakan hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pihak swasta

saja, sementara penduduk asli tetap merasakan kehidupan ekonomi yang

memprihatinkan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Agrarische Wet 1870 secara

langsung memberikan dampak terhadap perkembangan perkebunan di Hindia-

Belanda dan melalui perkembangan perkebunan-perkebunan tersebut, Agrarische

Wet 1870 juga memberikan dampak terhadap kehidupan petani.

Page 69: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

55

A. Dampak di Bidang Ekonomi

Bidang ekonomi tentu saja merupakan salah satu bidang yang mendapat

dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Hindia-Belanda. Kemajuan

ekonomi yang semakin pesat merupakan salah satu dampak terbesar di bidang

ekonomi. Kemajuan tersebut tidak hanya dirasakan di Hindia-Belanda saja tetapi

juga di negeri induk, Belanda. Dengan banyaknya pengusaha swasta yang

menanamkan modalnya untuk usaha perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda,

maka Belanda sebagai negeri induk memperoleh pendapat berupa devisa dari

kegiatan-kegiatan di Hindia-Belanda tersebut.

Dampak dari Agrarische Wet 1870 tidak hanya terbatas pada

perkembangan perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda, tetapi juga terhadap

kehidupan petani yang merupakan salah satu unsur penting dalam perkebunan itu

sendiri. Sejak ketentuan Agrarische Wet 1870 diperkuat dengan ketentuan yang

tertuang dalam Agrarisch Besluit yang juga dikeluarkan pada tahun yang sama,

modal swasta yang oleh pemiliknya diinvestasikan di bidang perkebunan menjadi

semakin banyak. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-

Belanda khususnya di Jawa dan Sumatera berkembang dengan sangat pesat.

Selain itu, terbukanya Hindia-Belanda bagi modal swasta sebagai salah

satu kebijakan dalam sistem liberal juga menyebabkan semakin meluasnya

monetisasi1 di Hindia-Belanda. Sebelum masa liberal monetisasi memang sudah

1 Dalam konteks penulisan ini, yang dimaksud dengan monetisasi ialahsystem ekonomi uang. Proses meluasnya monetisasi ini dapat dikatakan sebagaimodernisasi dalam sistem ekonomi uang dalam masyarakat di Hindia-Belandapada periode Liberal (1870-1875) khususnya. Jika sebelumnya masyarakat diJawa pada umumnya menggunakan metode tradisional dalam transaksi ekonomi,

Page 70: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

56

dikenal dalam masyarakat Hindia-Belanda, tetapi hanya terbatas pada masyarakat

di daerah perkotaan saja. Sejak diberlakukannya sistem liberal, monetisasi

semakin dikenal sampai ke daerah pedesaan. Ketentuan dengan penyewaan tanah

langsung dari penduduk yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870 membuat

perluasan monetisasi semakin mantap. Banyak tanah-tanah penduduk yang

terletak di desa-desa menjadi sasaran pemilik modal untuk mendirikan

perkebunan-perkebunan mereka. Dengan adanya kemungkinan bagi pemilik

modal untuk menyewa tanah penduduk setempat secara langsung telah

memberikan akses yang lebih mudah bagi para pengusaha tersebut.

Monetisasi dalam perkebunan berdampak terhadap berubahnya sistem

upah. Pada awalnya upah atas tenaga pekerja di lahan perkebunan berupa

sebagian dari hasil perkebunan atau bahkan tidak ada upah, karena bekerja di

lahan perkebunan berarti bebas dari kerja rodi. Akan tetapi, sejak masa liberal

dengan perkembangan perkebunan yang pesat dan monetisasi yang semakin

meluas, sistem upah tersebut diganti dengan upah dalam bentuk uang.

Liberalisasi di Hindia-Belanda pada tahun 1870 telah mendorong

industrialisasi, terutama industrialisasi di bidang perkebunan. Untuk menunjang

usaha-usaha perkebunan yang sedang berkembang pesat, maka baik pemerintah

Hindia-Belanda maupun pengusaha swasta mendirikan industri-industri

perkebunan. Sebelum masa liberal tahun 1870, di Hindia-Belanda sudah terdapat

beberapa industri perkebunan yang berdiri di kota-kota besar di Jawa. Dengan

yaitu dengan sistem barter atau tukar-menukar barang. Maka, ketika monetisasisemakin meluas cara tersebut perlahan-lahan mengalami proses modernisasi. Nilaiuang mulai diterapkan terhadap barang-barang konsumsi masyarakat.

Page 71: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

57

berkembangnya perkebunan-perkebunan di daerah pedesaan, maka di beberapa

daerah tempat perkebunan-perkebunan tersebut juga mulai didirikan industri-

industri untuk mengolah hasil-hasil perkebunan tersebut. Keberadaan industri-

industri yang didirikan dekat dengan perkebunan membuat waktu pengolahan

hasil perkebunan menjadi lebih singkat karena jarak yang ditempuh untuk

mengangkut hasil perkebunan ke industri pengolahan menjadi jauh lebih singkat

daripada sebelumnya.

Perkembangan perkebunan pada tahun 1870 membuat pemerintah Hindia-

Belanda mulai menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan perkebunan.

fasilitas-fasilitas tersebut antara lain adalah dibangunnya jalur transportasi dan

penyediaan alat transportasi, terutama untuk pengangkutan hasil perkebunan

seperti kereta api. Selain itu, pemerintah juga membangun saluran irigasi dan

waduk-waduk. Jalan Anyer-Panurukan yang dibangun oleh Daendels juga banyak

bermanfaat disaat pesatnya perkembangan perkebunan swasta pada tahun 1870

yang sebagian besar terletak di sepanjang daerah-daerah pesisir utara pantai Jawa.

Di Grobogan, dibangun jalur kereta api dan disediakan kereta api dengan

beberapa gerbong untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan menuju industri-

industri pengolahan, baik yang terletak di Semarang maupun di Solo.

Agrarische Wet 1870 beserta pelaksanaannya yang telah mengakibatkan

perkembangan perkebunan-perkebunan besar milik swasta di Hindia-Belanda

dapat dikatakan berhasil meng-komersialisasi-kan Hindia-Belanda bagi modal

swasta. Tetapi, idealisme liberal yang diusungnya tidak berhasil diterapkan bagi

penduduk, terutama petani. Petani tidak merasakan adanya perubahan dalam

Page 72: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

58

kesejahteraan hidup secara ekonomi. Apa yang dialami petani pada masa liberal

tidak lebih baik daripada masa sebelumnya (Cultuursetelsel). Jika pada masa

Cultuurstelsel petani hanya diperas oleh pemerintah kolonial, maka pada masa

liberal petani diperas oleh dua pihak sekaligus, yaitu pihak swasta dan pemerintah

Hindia-Belanda.

Pada masa liberal, pemerintah Hindia-Belanda tidak secara langung

memeras rakyat. Pemerasan dari pihak pemerintah adalah melalui pajak-pajak

perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak

swasta juga menginginkan keuntungan yang besar dari usahanya di Hindia-

Belanda sehingga yang terjadi kemudian adalah para petani yang bekerja menjadi

buruh di perkebunan-perkebunan milik swasta dibayar dengan gaji yang sangat

rendah. Tidak hanya itu yang terjadi juga adalah tidak adanya jaminan kesehatan

yang memadai bagi para buruh perkebunan dan pengurangan jatah makan. Pada

akhirnya yang terjadi lama kelamaan adalah para petani yang menjadi buruh

perkebunan milik swasta tidak lagi memiliki tanah karena disewakan untuk

membayar hutang, bahkan tidak menutup kemungkinan juga menjual tanahnya

yang disebut dengan istilah melepaskan haknya atas tanah miliknya tersebut.

Kemungkinan untuk mencari tambahan penghasilan dari pekerjaan lain

menjadi tertutup bagi petani yang telah menjadi buruh di perkebunan milik swasta

karena mereka diikat dengan sistem kontrak sehingga mereka tidak bisa

melepaskan diri. Bahkan ada sanksi yang akan diberikan jika mereka mencoba

untuk melarikan diri sebelum masa kontraknya selesai.

Page 73: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

59

B. Dampak di Bidang Sosial

Selain memberi dampak di bidang ekonomi, Agrarische Wet 1870 juga

memberi dampak bagi kehidupan sosial masyarakat di Jawa. Dampak sosial yang

menonjol adalah munculnya golongan buruh. Kondisi perekonomian petani yang

tetap pada tingkat yang memprihatinkan mendesak para petani untuk mencari

tambahan penghasilan supaya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pesatnya perkembangan perkebunan-perkebunan besar tidak memberikan

pengaruh yang besar bagi kondisi perekonomian petani pada saat itu. Komoditi

perkebunan mengalahkan komiditi pertanian sehingga lahan pertanian pun banyak

yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Bahkan bukan hanya lahan

pertanian saja yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, tetapi juga petani

yang kemudian beralih mata pencaharian dari petani yang menggarap lahan

pertanian menjadi buruh yang menggarap lahan perkebunan.

Pada tahun 1870 dapat dikatakan telah terjadi perubahan dalam mata

pencaharian petani di daerah-daerah perkebunan. Meskipun pada tahun 1870

perkebunan berkembang dengan sangat pesat di Jawa, akan tetapi kehidupan

petani tetap saja subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani

juga menjadi buruh di perkebunan-perkebunan. Profesi sebagai buruh ini tidak

berarti bahwa petani tersebut hanya bekerja di lahan perkebunan saja atau dengan

kata lain menjadi buruh tani untuk perkebunan. Selain menjadi buruh untuk

perkebunan, para petani juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Dengan

demikian, diharapkan kebutuhan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan baik.

Page 74: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

60

Perubahan tersebut sebagai salah satu dampak dari perkembangan

perkebunan tersebut pada akhirnya menyebabkan perubahan dalam stratifikasi

masyarakat agraris di Jawa khususnya di Grobogan. Dalam kenyataannya

memang ada petani yang sepenuhnya menjadi buruh untuk perkebunan, yang

disebut dengan buruh tani. Selain itu, ada juga petani yang tidak sepenuhnya

menjadi buruh untuk perkebunan. Para petani tersebut selain bekerja untuk

perkebunan juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Akan tetapi, kondisi

tersebut pada akhirnya memunculkan golongan baru dalam stratifikasi dalam

masyarakat agraris, yaitu golongan buruh. Tetapi bukan berarti golongan petani

terhapuskan dengan adanya perubahan mata pencaharian petani menjadi buruh.

Kelompok petani yang sebagian besar menjadi buruh tani untuk

perkebunan swasta adalah para petani yang tidak mempunyai tanah miliknya

sendiri atau disebut juga dengan petani penyakap. Kelompok ini tidak mempunyai

sebidang tanah dan mereka bekerja di tanah-tanah pertanian milik tuan tanah di

desa. Bahkan ada juga petani penyakap yang tidak mempunyai rumah sehingga

mereka tinggal dengan menumpang di rumah majikannya, kelompok ini oleh

Justus M. van der Kroef disebut dengan bujang.2

Sedangkan kelompok petani yang selain menjadi buruh perkebunan juga

tetap menggarap tanah pertaniannya adalah petani yang mempunyai tanah

miliknya sendiri. Dalam konteks ini, menggarap tanah pertaniannya tidak lagi

dalam pengertian bahwa petani menyediakan komoditi-komiditi pertanian untuk

2 Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial diPedesaan Jawa dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, DuaAbad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masake Masa, (Jakarta, 1984), hal. 159-160.

Page 75: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

61

dijual. Dengan keterbatasan waktu dan juga daya saing tanaman pertanian yang

lemah dibanding dengan tanaman perkebunan membuat hasil-hasil pertanian

petanin sebagian besar hanya untuk konsumsi pribadi. Keadaan ini semakin

membuat harga beras, khususnya, menjadi semakin tinggi. Produksi beras menjadi

menurun karena sebagian besar petani tidak lagi menanam padi dalam jumlah

yang besar, sedangkan beras tetap merupakan kebutuhan pokok petani di Hindia-

Belanda. Perhatian pemerintah Hindia-Belanda pun lebih terpusat pada

perkembangan perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-Belanda. Akibatnya,

petani tetap harus bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya

sehari-hari disamping juga bekerja keras menunjang perkembangan perkebunan-

perkebunan milik swasta.

Tetapi dengan adanya sistem kontrak di perkebunan-perkebunan swasta,

kemungkinan untuk mencari tambahan penghasilan dari tempat lain menjadi

tertutup terutama bagi para bujang. Dengan menjadi buruh di perkebunan, maka

mereka tidak lagi bisa bekerja menjadi petani penyakap di lahan-lahan pertanian

yang merupakan tempat mereka bekerja sebelumnya. Sistem kontrak di

perkebunan swasta bersifat sangat mengikat, sehingga akhirnya para bujang

tersebut menjadi buruh tani yang sepenuhnya bekerja untuk perkebunan swasta.

Keadaan tersebut tidak hanya berdampak terhadap para bujang saja. Para

petani yang awalnya mempunyai tanah pun akhirnya kehilangan tanah milik

mereka. Penghasilan yang diperoleh dengan bekerja di perkebunan swasta lama-

kelamaan tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan hidup serta pajak-pajak yang

masih harus dibayar oleh rakyat. Dengan adanya kemungkinan untuk

Page 76: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

62

menyewakan tanah kepada swasta sebagaimana termuat dalam ketentuan

Agrarische Wet 1870, kelompok ini kemudian mulai menyewakan tanah mereka

kepada swasta. Pengeluaran untuk kebutuhan hidup yang semakin besar serta

untuk membayar pajak kemudian membuat hutang-hutang petani pun menjadi

banyak. Hal terakhir yang kemudian bisa dilakukan adalah dengan melepas

haknya atas tanah miliknya dan menyerahkannya kepada pemerintah Hindia-

Belanda. Dengan melepas haknya atas tanah miliknya tersebut, pemerintah

Hindia-Belanda akan memberikan sejumlah uang sebagai tanda ganti rugi. Jadi,

pada dasarnya melepas hak atas tanah miliknya hanya merupakan kata-kata

kosong karena yang terjadi sebenarnya adalah kegiatan jual-beli tanah antara

rakyat dan pemerintah Hindia-Belanda.

Secara garis besar stratifikasi masyarakat di Jawa dapat di gambarkan

sebagai berikut;

Keterangan:

1 = golongan tuan tanah

2 = golongan kaptalis

3 = golongan buruh

Diagram I

1

2

3

Page 77: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

63

Sebelum sistem liberal diterapkan di Hindia-Belanda pada tahun 1870,

golongan tuan tanah adalah para raja dan juga priyayi, golongan kapitalis adalah

pemerintah Hindia-Belanda, dan golongan buruh adalah rakyat biasa (petani).

Dalam masyarakat Jawa yang agraris, raja mempunyai hak yang bersifat mutlak

terhadap tanah. Para priyayi atau pun pejabat kerajaan yang lainnya mendapatkan

hak atas sebagian tanah karena raja memberikan upah dalam bentuk tanah atau

yang disebut dengan “tanah lungguh”.3 Tanah lungguh ini akan kembali menjadi

milik raja jika pemiliknya meninggal atau dipecat dari jabatannya.4

Pemerintah Hindia-Belanda hadir sebagai golongan kapitalis. Mereka

adalah pemilik modal dan menyewa tanah untuk kepentingan-kepentingan mereka

dari para priyayi atau pejabat kerajaan lainnya. Bahkan tidak menutup

kemungkinan bagi golongan kapitalis untuk mendapatkan tanah dari raja melalui

perjanjian-perjanjian tertentu. Rakyat biasa yang merupakan petani

diklasifikasikan ke dalam golongan buruh. Kelompok ini mempunyai kedudukan

terendah dalam stratifikasi. Kelompok petani masih terbagi lagi ke dalam

beberapa lapisan. Lapisan teratas diduduki oleh kelompok petani yang memiliki

tanah, kelompok ini disebut dengan petani sikep. Petani sikep memperoleh tanah

3 Tanah lungguh ialah tanah yang dimiliki oleh kerajaan. Tanah lungguhini biasanya digunakan oleh para raja sebagai upah atau gaji bagi pejabat-pejabatkerajaan atau golongan priyayi. Di Mancanegara, tanah lungguh disebut denganistilah tanah bengkok. Lihat dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan GunawanWiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawadari Masa ke Masa, (Jakarta; 1984), hal. 57.

4 Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua AbadPenguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,(Jakarta; 1984), hal. 5.

Page 78: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

64

dari raja atau dari priyayi atau pejabat kerajaan lainnya, sama seperti halnya para

priyayi dan pejabat kerjaan lainnya memperoleh tanah dari raja sebagai upah.

Pada lapisan terendah di desa terdapat bujang atau numpang. Kelompok ini tidak

mempunyai tanah maupun tempat tinggal, mereka biasanya tinggal di tanah milik

tuannya yaitu para petani sikep tadi. Kemudian, muncul golongan menengah

diantara petani sikep dan bujang. Kelompok ini berasal dari bujang yang sudah

lama melayani sikep-nya, sehingga oleh sikep mereka diberikan bagian dari

pembagian tanah desa.5

Setelah penerapan sistem liberal di Hindia-Belanda padatahun 1870 terjadi

beberapa pergeseran dalam kelompok-kelompok tersebut. Pertama, golongan tuan

tanah yang awalnya diduduki oleh raja dan para priyayi dan pejabat kerajaan

lainnya menjadi tempat pemerintah Hindia-Belanda. Perjanjian-perjanjian tertentu

yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan raja-raja membuat hal tersebut

menjadi sangat mungkin, secara perlahan-lahan pemerintah kolonial menguasai

tanah-tanah di Hindia-Belanda. Adanya Domein Verklaring pada tahun 1870 juga

memperkuat hal tersebut. Bahkan dengan adanya peraturan tentang pelepasan hak

milik seseoarang atas tanah semakin memperkuat kedudukan pemerintah kolonial

sebagai golongan tuan tanah dalam stratifikasi sosial masyarakat agraris di

Hindia-Belanda.

Sistem liberal yang juga berarti bahwa di Hindia-Belanda dijalankan

politik ‘pintu terbuka’ telah menyebabkan munculnya pemilik-pemilik modal

swasta yang kemudian menduduki posisi golongan kapitalis yang awalnya

5 Ibid., hal. 7-8.

Page 79: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

65

diduduki oleh pemerintah kolonial. Para pengusaha swasta tersebut memilih

sektor perkebunan sebagai tempat untuk menanamkan modalnya. Untuk itu,

mereka memerlukan tanah yang kemudian didapatkan dari pemerintah Hindia-

Belanda, selain didapatkan dengan menyewa secara langsung dari penduduk asli

setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang dikenal dengan istilah

Agrarische Wet 1870.

Di lapisan terendah, yaitu golongan buruh tetap diduduki oleh petani. Pada

masa liberal ini para petani banyak yang kemudian menjadi buruh tani di

perkebunan-perkebunan milik swasta yang tersebar di Hindia-Belanda, khususnya

di Jawa dan Sumatera. Petani tetap dengan kehidupannya yang subsisten

meskipun sedang berlangsung perkembangan perkebunan-perkebunan swasta

secara besar-besaran sejak tahun 1870. Kelompok petani yang benar-benar

bekerja sebagai buruh tani adalah kelompok bujang atau numpang. Kelompok ini

pulalah yang kesejahteraan hidupnya sangat memprihatinkan, meskipun dalam

perkembangannya secara menyeluruh dalam golongan buruh merasakan hal yang

sama.

Page 80: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

66

BAB V

KESIMPULAN

Pada abad ke-19, keadaan ekonomi di Hindia-Belanda berada dalam masa

krisis. Berbagai macam faktor telah turut mendukung terciptanya keadaan

tersebut. Sebagai contohnya adalah Perang Diponegoro yang berlansung di Jawa

pada tahun 1825 sampai dengan tahun 1830 telah membuat pemerintah kolonial

mengeluarkan banyak biaya untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu perang yang

terjadi di Eropa sendiri juga turut memperburuk keadaan. Belanda jatuh ke tangan

Perancis dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte. Baru pada tahun 1815 dengan

adanya Konggres Wina, Belanda kembali memperoleh kedaulatannya. Tetapi,

Belgia yang menjadi bagian Belanda membeontak dan memisahkan diri dari

kedaulatan Belanda pada tahun 1839. Hal tersebut berarti bahwa Belanda

kehilangan sumber devisanya, karena banyak industri dan tanah domein negara

yang disewakan sebagai sumber keuangan berada di Belgia. Keadaan menjadi

semakin buruk tidak hanya dengan kehilangan Belgia, tetapi Belanda juga

kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon (sekarang; Sri Lanka). Faktor lain yang

juga mendukung keadaan tersebut adalah di dominasinya perdagangan ekspor

oleh Inggris.

Melihat kondisi perekonomian yang semakin memburuk tersebut, van den

Bosch–gubernur Hindia-Belanda saat itu–memutuskan untuk menjalankan suatu

sistem yang dikenal dengan istilah Cultuurstetsel. Dengan sistem tersebut, Bosch

percaya bahwa ancaman kebangkrutan yang ditakutkan oleh negeri induk dapat

teratasi. Cultuurstetsel yang diterapkan Bosch pada kenyataannya memang

Page 81: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

67

berhasil menjauhkan Belanda dari ancaman kebangkrutan, tetapi di sisi lain sistem

tersebut sangat menyengsarakan penduduk pribumi, khususnya petani. Dalam

pelaksanaannya banyak terjadi penyelewengan dari ketentuan-ketentuan yang

seharusnya berlaku. Hal tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan dan

tuntutan untuk penghapusan Cultuurstetsel. Kritikan yang paling tajam adalah

kritikan dari kaum humanis mengenai kehidupan petani yang menderita akibat

pelaksanaan Cultuurstetsel. Selain itu ada juga kritikan dari kaum liberal yang

lebih ditujukan pada sistem perekonomiannya. Kaum liberal menuntut agar

perekonomian dikuasai atau dipegang oleh pihak swasta bukan pihak pemerintah.

Kritikan-kritikan tersebut pada akhirnya berhasil menghapuskan

Cultuurstetsel secara resmi pada tahun 1870 yang juga menjadi sebuah awal

sistem yang baru yaitu sistem liberal. Kebijakan yang cukup berpengaruh terhadap

perkembangan perekonomian di Hindia-Belanda pada masa liberal adalah

dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Sistem liberal merupakan suatu

politik “pintu terbuka”, yaitu Hindia-Belanda terbuka terhadap modal-modal

swasta yang ingin mengusahakan kegiatan-kegiatannya di Hindia-Belanda. Segala

ketentuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan tersebut tercantum

dalam Agrarische Wet 1870. Sebagai dampak dari dikeluarkannya kebijakan

tersebut adalah perkembangan sektor perkebunan secara besar-besaran di Hindia-

Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera.

Perkembangan perkebunan yang terjadi secara besar-besaran di Jawa juga

terjadi di daerah Grobogan yang termasuk dalam wilayah karesidenan Semarang,

Jawa Tengah. Agrarische Wet 1870 dapat dikatakan sebagai pemicu tidak

Page 82: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

68

langsung dari perkembangan perkebunan di Hindia-Belanda pada masa liberal.

Modal swasta masuk dengan bebas ke Hindia-Belanda dan sebagian besar pemilik

modal tersebut menginvestasikan modal mereka untuk kegiatan perkebunan,

karena pada abad tersebut hasil perkebunan memberikan hasil yang sangat

menguntungkan.

Perkebunan yang berkembang dengan pesat tersebut tentu saja membawa

dampak terhadap berbagai aspek, terutama dalam kehidupan petani, tokoh yang

erat kaitannya dengan perkebunan. Dalam lingkup penulisan ini, dampak yang

dimaksud adalah dampak ekonomi dan dampak sosial. Perkembangan perkebunan

yang pesat pada masa tersebut menjadi sumber penghasilan yang besar bagi

pemerintah kolonial, dalam bentuk uang sewa atas tanah yang digunakan oleh

para pemilik modal sebagai lahan perkebunan. Ini juga berarti bahwa monetisasi

semakin meluas di Hindia-Belanda, sistem uang semakin dikenal baik di kalangan

masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Oleh karena itu, terjadi juga perubahan

dalam sistem upah. Upah yang awalnya diberikan dalam bentuk tanah ataupun

hasil bumi berubah menjadi upah dalam bentuk uang. Perubahan semacam ini

sebagian besar terjadi di kalangan pekerja kelas atas atau menengah, meskipun

petani–sebagai pekerja kelas bawah–juga mengalami perubahan sistem upah

tersebut.

Di kalangan pejabat-pejabat pemerintahan, sistem upah dalam bentuk uang

sudah bukan merupakan hal yang sangat baru karena pada masa Raffles, dimana

sistem uang dikenal melalui sistem sewa tanah, pejabat-pejabat pemerintah sudah

mulai menarik pajak dalam bentuk uang. Bagi petani, pemahaman akan sistem

Page 83: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

69

uang semakin meluas setelah berkembanganya perkebunan-perkebunan swasta

pada tahun 1870-an, terutama setelah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan

Agrarische Wet 1870 yang salah satu ketentuannya memungkinkan pihak swasta

untuk melakukan transaksi penyewaan tanah langsung dengan penduduk asli.

Kenyataan bahwa perkebunan di Grobogan juga berkembang dengan pesat

seperti halnya daerah lainnya di Jawa memang benar adanya, tetapi perkembangan

pesat tersebut tidak merubah kondisi perekonomian petani yang subsisten. Karena

pada masa tersebut menjadi tenaga kerja di perkebunan jauh lebih menguntungkan

jika dibandingkan dengan tetap bekerja di lahan pertanian, maka petani pun

beralih ke perkebunan-perkebunan yang ada. Lahan pertanian menjadi tidak

begitu menjanjikan karena lahan-lahan subur disewakan untuk lahan perkebunan.

Sebab lainnya juga adalah tanaman pertanian kalah dalam persaingan dengan

tanaman perkebunan yang menjadi komoditi ekspor. Oleh karena itu, untuk dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya petani harus bekerja ekstra keras. Sehingga petani

kemudian banyak yang beralih menjadi buruh di lahan-lahan perkebunan yang ada

pada masa itu.

Idealisme liberal yang diusung dan diterapkan oleh kaum liberal di Hindia-

Belanda pada kenyataannya tidak berhasil diwujudkan. Kaum lliberal mencita-

citakan kesejahteraan bersama di Hindia-Belanda, baik bagi Belanda sebagai

pemeritah kolonial di Hindia-Belanda maupun bagi rakyat pribumi. Ketentuan

dari Agrarische Wet 1870 yang menyatakan bahwa penduduk asli dapat

menyewakan tanah miliknya, akan tetapi tidak boleh menjualnya kepada pihak

Page 84: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

70

swasta, mencoba memberikan peluang sekaligus perlindungan terhadap penduduk

asli ternyata gagal.

Dengan ketentuan boleh menyewakan tanah miliknya kepada pihak

swasta, pemerintah liberal bermaksud memberikan kesempatan pada penduduk

asli untuk memahami cara-cara transaksi bahkan lebih memahami tentang sistem

uang dan bagaimana berwiraswasta. Hal tersebut gagal karena pada dasarnya

petani pada masa itu belum belum siap berhadapan secara langsung dengan pasar

bebas, terutama karena uang sebagai alat pembayaran belum dikenal secara luas

oleh penduduk asli. Kemudian melalui ketentuan yang menyatakan bahwa

penduduk asli hanya boleh menyewakan tanahnya dan bukan menjualnya kepada

pihak swasta dimaksudkan untuk melindungi hak milik penduduk asli atas

tanahnya. Hal tersebut pun dalam perkembangannya mengalami kegagalan.

Dengan adanya peraturan pemerintah yang memperbolehkan penduduk asli

melepas haknya atas tanah miliknya dan Domein Verklaring yang membenarkan

pemenrintah mengambil alih tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan

kepemilikannya, menjadikan perlindungan terhadap hak perseorangan atas tanah

lama-kelamaan tidak berfungsi sebagaimana adanya.

Pada akhirnya Agrarische Wet 1870 hanya memenangkan kepentingan

pihak swasta saja. Pemerintah Hindia-Belanda tentu saja lebih mengutamakan

kepentingan pihak swasta dalam menjalankan usahanya di Hindia-Belanda

dibandingkan dengan kepentingan pihak rakyat, karena politik liberal memang

bertujuan untuk mengkomersialisasikan Hindia-Belanda bagi para pemilik modal

swasta. Eksploitasi terhadap tenaga petani tidak berakhir dengan berakhirnya

Page 85: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

71

Cultuurstelsel, bahkan pada masa liberal tenaga petani dieksploitasi oleh dua

pihak dalam waktu yang bersamaan, yaitu pihak swasta yang secara langsung

melakukan eksploitasi melalui perkerjaan-perkerjaan di perkebunan-perkebunan

mereka dan pihak pemerintah melalui pajak-pajak yang dikenakan pada pihak

swasta. Jadi, Cultuurstelsel maupun Agrarische Wet 1870 tetap menempatkan

petani pada posisi sebagai korban eksploitasi agraris.

Sektor perkebunan di Grobogan tetap menjadi sektor unggulan

penduduknya hingga saat ini, seperti perkebunan tebu, tembakau dan kopi yang

sudah ada sejak masa Cultuurstelsel, bahkan saat ini sudah ada beberapa

perkebunan lainnya yang juga menjadi sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan.

Ketersediaan lahan dan tenaga kerja membuat sektor perkebunan menjadi salah

satu sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan. Meskipun jauh lebih bebas

dibandingkan dengan masa-masa Cultuurstelsel maupun liberal, tetapi kehidupan

petani belum bisa dikatakan sejahtera. Di era globalisasi, swastanisasi agraria

kembali merebak dan petani masih tetap sebagai golongan buruh yang setia

menopang keberlangsungan kehidupan agraris di Indonesia.

Dengan demikian ada beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai

kesimpulan dari penulisan skripsi ini. Pertama, ialah bahwa proses perkembangan

sistem perkebunan di Hindia-Belanda berlangsung sinergis dengan perkembangan

politik kolonial. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan sistem perkebunan di Hindia-

Belanda berlangsung dalam dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan

industri perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta, serta beriringan

dengan perkembangan orientasi politik kolonial dari orientasi politik konservatif

Page 86: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

72

ke politik liberal. Pada awal abad ke-19, golongan konservatif menguasai

pemerintahan. Mereka melakukan politik eksploitasi dengan penyerahan paksa

(Cultuurstelsel; 1830-1870). Eksploitasi produksi pertanian diwujudkan dalam

bentuk usaha perkebunan negara berdasarkan atas sistem tanam wajib atau tanam

paksa. Kemudian sejak tahun 1870-an terjadi pergeseran kebijaksanaan politik

dari politik konservatif ke politik liberal. Hal ini diikuti dengan perubahan

kebijaksanaan politik drainage, yaitu politik eksploitasi tanah jajahan yang semula

dikelola negara, kemudian diganti oleh perusahaan swasta.

Kedua, penerapan sistem liberal di Hindia-Belanda telah mengakibatkan

terjadinya perkembangan usaha perkebunan milik swasta yang dipertegas dengan

dikeluarkan dan dilaksanakan Agrarische Wet 1870. Kabupaten Grobogan yang

merupakan salah satu wilayah dari Karesidenan Semarang menjadi salah satu

pusat perkembangan perkebunan milik swasta pada masa Liberal. Ketersediaan

sumber daya manusia dan kondisi geografis di kabupaten Grobogan merupakan

faktor utama yang menyebabkan perkembangan usaha-usaha perkebunan swasta

di kabupaten Grobogan. Dengan pelaksanaan Agrarische Wet 1870, pihak swasta

menjadi lebih mudah dalam hal penyewaan tanah dan pendapat penduduk di

kabupaten Grobogan mendapatkan kesempatan untuk mengenal dan melakukan

transaksi sewa tanah dengan pihak swasta secara langsung.

Ketiga, pelaksanaan Agrarische Wet 1870 tentu saja membawa dampak

terhadap kehidupan petani. Secara ringkas, hubungan antara pelaksanaan

Agrarische Wet 1870 dengan kehidupan petani di kabupaten Grobogan dapat

digambarkan sebagai berikut;

Page 87: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

73

Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 telah mengakibatkan terjadinya

liberalisasi perkebunan. Usaha-usaha perkebunan milik swasta berkembang

dengan sangat pesat di kabupaten Grobogan. Proses liberalisasi ini tidak hanya

menyebabkan berdirinya usaha-usaha perkebunan swasta, tetapi juga

menyebabkan terjadinya industrialisasi perkebunan sebagai penyokong proses

liberalisasi perkebunan tersebut. Proses liberalisasi perkebunan inilah yang

kemudian membawa berbagai dampak terhadap kehidupan petani di kabupaten

Grobogan. Ada dua bidang penting yang terkena dampak yang paling menonjol,

yaitu bidang ekonomi dan bidang sosial.

Di bidang ekonomi dapat dicatat beberapa dampak, seperti kemajuan

ekonomi Hindia-Belanda, meluasnya monetisasi atau sistem uang, dan

industrialisasi perkebunan. Dengan pelaksanaan sistem liberal dan berlakunya

Agrarische Wet 1870, maka Hindia-Belanda dibanjiri oleh modal-modal swasta

yang ingin mengusahakan kegiatannya dengan mendirikan usaha-usaha

perkebunan di Hindia-Belanda, dan salah satu daerah yang menjadi pilihan para

pemilik modal ialah kabupaten Grobogan. Dengan banyaknya pihak swasta yang

menanamkan modalnya di Hindia-Belanda, maka hal ini berarti pendapatan dalam

bentuk devisa bagi negeri induk, yaitu Belanda.

Salah satu ketentuan dari Agrarische Wet 1870 yang memungkinkan bagi

pihak swasta dan penduduk untuk melakukan transaksi penyewaan tanah secara

AgrarischeWet 1870

LiberalisasiPerkebunan

Petani

Page 88: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

74

langsung memantapkan meluasnya monetisasi atau sistem uang hingga ke

masyarakat lapisan bawah. Perkembangan usaha perkebunan kemudian tentu saja

disertai dengan penyediaan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti industri-

industri perkebunan dan pembangunan sarana dan prasarana transportasi. Hal

inilah yang dimaksud dengan industrialisasi perkebunan.

Di bidang sosial, dampak yang paling menonjol ialah munculnya golongan

buruh. Kesubsistenan kehidupan petani di kabupaten Grobogan mendesak para

petani untuk menemukan tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari. Hadirnya usaha-usaha perkebunan swasta di kabupaten

Grobogan seakan memberikan sebuah harapan bagi para petani tersebut. Mereka

berharap dengan bekerja sebagai buruh tani di perkebunan-perkebunan milik

swasta dapat membuat kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih baik. Harapan

tinggal harapan, petani tetap saja dengan kehidupan mereka yang subsisten. Pihak

swasta tidak jauh lebih baik daripada pemerintah kolonial. Petani tetap

tereksploitasi oleh pemerintah kolonial, hanya saja dengan hadirnya pihak swasta

maka eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi bersifat tidak

langsung. Eksploitasi pemerintah kolonial terhadap petani adalah melalui pajak-

pajak yang dibebankan pada pihak swasta. Padahal, di satu sisi, pihak swasta juga

menginginkan keuntungan yang besar dari usaha-usahanya di Hindia-Belanda.

Untuk itu, akhirnya upah terhadap buruh tani ditekan seminimal mungkin.

Dengan rendahnya upah yang diberikan oleh pihak swasta dan tidak

adanya jaminan-jaminan kesejahteraan dari perkebunan-perkebunan swasta, serta

pajak yang masih harus dibayar petani kepada pemerintah kolonial membuat

Page 89: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

75

petani tidak bisa lepas dari kehidupan subsisten mereka. Kontrak kerja yang

sangat mengikat di perkebunan-perkebunan milik swasta semakin menutup

kemungkinan bagi para buruh tani untuk menambah penghasilan dari tempat lain.

Jadi, dengan beberapa kesimpulan pokok di atas dapatlah kiranya ditarik

sebuah kesimpulan besar bahwa proses swastanisasi yang diusung kaum liberal

tidak membawa dampak positif bagi kehidupan petani di kabupaten Grobogan.

Kenyataan yang terjadi menunjukkan adanya kontradiksi antara cita-cita

liberalisme dengan pelaksanaannya, dimana cita-cita liberalisme ialah tercapainya

kebebasan dan kesejahteraan umum di Hindia-Belanda, baik bagi pemerintah

kolonial maupun bagi penduduk asli. Kenyataan yang terjadi akhirnya ialah petani

tetap tereksploitasi oleh pihak swasta secara langsung dan juga pemerintah

kolonial secara tidak langsung dan kesejahteraan yang dicita-citakan kaum liberal

hanya dinikmati oleh pemerintah kolonial dan pihak swasta saja.

Page 90: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

76

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Benjamin, Jules. R. 1998. A Student’s Guide to History. Boston: Bedford Books.

Djuliati Suroyo,A. M.. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX. Kerja Wajib diKaresidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Furnivall, J. S. 1961. Netherlands India. A Study of Plural Economy. Cambridge:Cambridge University Press.

Geertz, Clifford. 1971. Agricultural Involution: The Process of EcologicalChange in Indonesia. Barkeley: University of California Press.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah (terj.). Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia Press (UI-Press).

K. Wiharyanto, A.. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Yogyakarta:Universitas Sanata Dharma.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Mackie, J. A. C. 1987. “The Impact of Plantation on Local Societies in ColonialIndonesia”, dalam T. Ibrahim Alfiian, et. al. (eds.), Dari Babad danHikayat sampai Sejarah Kritis, KUmpulan karangan dipersembahkankepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gama Press.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan Bambang Sumadio,eds. 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Jaman Kuna (awal M-1500). Jakarta: Balai Pustaka.

______________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: BalaiPustaka.

Niel, Robert van. 1992. Java under the Cultivation System. Leiden: KITLV Press.

Raffles, Thomas Stamford. Penyunting: Hamonangan Simanjuntak dan ReviantoB. Santosa. 2008. The History of Java. Cet. 1. Yogyakarta: PenerbitNarasi.

Reiner, G. J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (terj.). Yogyakarta: PustakaPelajar.

Page 91: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

77

Sarjana Sigit Wahyudi, M. S., Drs. 2000. Dampak Agro Industri di DaerahPersawahan di Jawa. Semarang: Penerbit Mimbar dan Yayasan AdikaryaIkapi serta The Ford Foundation.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam MetodologiSejarah. Jakarta: Gramedia.

________________. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. DariEmporium sampai Imperium, Jilid. I. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.

________________. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SejarahPergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Scott, James C. transl. Hasan Basri. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakandan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Suhartono W. Pranoto. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: AgastyaMedia.

Sumitro Djojohadikusumo. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I:Dasar Teori dalam Ekonomi Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumber Online

Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Jakarta. StatistikPerkebunan Indonesia 2006-2008.<http://regionalinvestment.com/sipid/id/komoditiketersediaanlahan.php?ia=3315&is=136>. Tanggal Pengaksesan Data: 10 Agustus 2009.

____________. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008.<http://regionalinvestment.com/sipid/id/komoditiprofilkomoditi.php?ia=3315&is=135>. Tanggal Pengaksesan Data: 10 Agustus 2009.

Edi Cahyono. Kaum Tani dan Sistem Tanam Paksa pada Pertengahan Abad ke-19. <http://www.geocities.com/edicahy/sej-ind/GRKnight.html>.TanggalPengaksesan Data: 26 Januari 2008.

__________. Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel: Masyarakat PribumiMenyongsong Pabrik Gula.<http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/>. Tanggal PengaksesanData: 26 Januari 2008.

Page 92: DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP …1].pdf · dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa

78

<http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/16/pola-penguasaan-tanah-era-tanam-paksa/.> Tanggal Pengaksesan Data: 16 Desember 2007.

<http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa>. Tanggal Pengaksesan Data: 19Februari 2008.

<http://www.ekonomirakyat.org/galeri_war/wartasem_7.htm>.TanggalPengaksesan Data: 25 Februari 2008.

Pemerintah Kabupaten Grobogan. Perkebunan.<http://grobogan.go.id/index.php?option=com_content&task=vew&id=55&itemid=71>. Tanggal Pengaksesan Data: 31 Juli 2009.

Profil Kabupaten Grobogan. <http://daerah1.ampl.or.id/index.php?option-com_content&task=view&id=32>. Tanggal Pengaksesan Data: 10Agustus 2009.

Ramadhan, Syamsudin. 2006. Liberalisme. Dalamhttp://www.syariahpublications.com. Tanggal Pengaksesan Data: 23 Juli2009.

Sarwono. Perekonomian Indonesia di bawah Jajahan Belanda (1830-1870).<http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50>. Tanggal Pengaksesan Data:29 Februari 2008.

<http://www.grobogan.com/?Sejarah>. Tanggal Pengaksesan Data: 21 Desember2009.

<http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/>.Tanggal Pengaksesan Data: 21 Desember 2009.

<http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Grobogan>. Tanggal Pengaksesan Data:21 Desember 2009.