28
i SONGKET BATUBARA DALAM KONTEKS ADAT DAN BUDAYA MELAYU Drs. Muhammad Takari, M.Hum. Ph.D. Drs. Fadlin Muhammad Dja’far, M.A. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BDAYA 2019

DALAM KONTEKS ADAT DAN - magisterseniusu.com · Budaya songket dalam kehidupan masyarakat Melayu Batubara adalah ekspresi dari budaya masyarakat Sumatera Utara. Kawasan ini adalah

  • Upload
    others

  • View
    34

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

SONGKET BATUBARA DALAM KONTEKS ADAT DAN

BUDAYA MELAYU

Drs. Muhammad Takari, M.Hum. Ph.D. Drs. Fadlin Muhammad Dja’far, M.A.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BDAYA

2019

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 1

SONGKET BATUBARA DALAM KONTEKS ADAT DAN BUDAYA MELAYU

Drs. Muhammad Takari, M.Hum. Ph.D. dan Drs. Fadlin Muhammad Dja’far, M.A.

Universitas Sumatera Utara dan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia Latar Belakang

Makalah ini ditulis dalam rangka rangkaian kegiatan sosial yang dilakukan oleh Dharma Wanita dari Bank Sumut di Kota Medan. Setelah sebelumnya melakukan diskusi dengan kami, di bulan September 2019 yang lalu, maka diputiskanlah, salah satu kegiatannya adalah Seminar tentang Songket Batubara. Dengan kesediaan berbagi ilmu secara ikhlas, akhirnya kami tulis makalah yang bertajuk “Songket Batubara dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu.” Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan di Desa Padang Genting Kabupaten Batubara selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, dengan pendekatan kualitatif, dan berdasar pada ilmu antropologi dalam konteks multidisiplin.

Budaya songket dalam kehidupan masyarakat Melayu Batubara adalah ekspresi dari budaya masyarakat Sumatera Utara. Kawasan ini adalah berdasar pada landasan multikultur yang telah berproses selama berabad-abad.

Pada masa sekarang ini, Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 provinsi di Indonesia, yang pada masa penjajahan Belanda terdiri dari dua kawasan keresidenan yang setara provinsi yaitu: Sumatera Timur dan Tapanuli. Provinsi Sumatera Utara beribukota Medan, sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, sesudah Jakarta dan Surabaya. Sumatera Utara dihuni oleh pelbagai etnik, yang dapat dikelompokkan kepada tiga kategori, yaitu etnik setempat: Melayu, Nias, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, Mandailing-Angkola, dan Pesisir (Barat Tapanuli Tengah dan Sibolga). Kemudian kategori kedua adalah etnik pendatang Nusantara, yaitu: Aceh, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis dan Makassar, dan lainnya. Kategori ketiga adalah etnik pendatang Dunia seperti: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Punjab, Sikh, Arab, Eropa, dan lainnya.

Keberadaan multikultural di Sumatera Utara ini tak mengherankan mengingat sejak abad ke-18 kawasan ini menjadi pusat ekonomi yang begitu maju di kawasan Nusantara. Komposisi etnik ini bagaimanapun mewarnai Sumatera Utara hingga kini. Sementara etnik Melayu terus

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 2

mempertahankan dan mengembangkan jatidirinya dalam perkembangan kontemporer. Etnik lain dapat saja masuk Melayu dengan syarat memenuhi adat Melayu dan masuk agama Islam. Di antara identitas kemelayuan itu adalah aktivitas dan artefak songket. Di kawasan ini kebudayaan tenunan songket yang cukup terkenal ke seluruh Dunia Melayu adalah songket Batubara. Pada masa sekarang ini, Batubara sendiri telah menjadi kabupaten sendiri, yang dimekarkan dari Kabupaten Asahan.

Songket Melayu Batubara, dikaji dari aspek budaya tampaknya tak lepas dari sejarah keberadaan etnik Melayu di kawasan ini yang merupakan perpaduan dari ras Melayu Minangkabau, Batak Toba, Simalungun, Mandailing mahupun orang-orang Melayu Semenanjung Malaysia, Siak, serta Aceh. Dengan demikian kebudayaan songket ini juga mencerminkan keberadaan perpaduan antara orang-orang Melayu dari berbagai latar belakang peradaban.

Tulisan ini akan mengkaji songket Melayu Batubara dalam konteks adat dan budaya Melayu yang melatarbelakanginya. Namun sebelumnya akan dikaji terlebih dahulu aspek geografi. Geografi

Secara geografis, wilayah Batubara meliputi tujuh kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Seibalai, (2) Kecamatan Tanjung Tiram, (3) Kecamatan Talawi, (4) Kecamatan Limapuluh, (5) Kecamatan Airputih, (6) Kecamatan Seisuka, dan (7) Kecamatan Medangderas. Kawasan ini memiliki potensi sumber daya alam semulajadi dan sumber daya manusia. Kawasan Batubara ini memiliki luas 92.220 hektar, berada pada ketinggian antara 0-80 meter di atas permukaan laut, dengan temperatur udara antara 23 sampai 27 darjah celcius. Batubara memiliki 94 desa dan 7 kelurahan, salah satu di antaranya adalah Desa Padang Genting yang menjadi fokus kajian ini (sumber data: Kantor Kepala Desa Padang Genting, 2018).

Secara geografikal, Batubara terletak antara batas-batas sebagai berikut: (1) sebelah Timur dengan Kecamatan Meranti dan Air Joman Asahan; (2) sebelah Barat dengan Kabupaten Serdang Bedagai, (3) sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun; dan (4) sebelah Utara dengan Selat Melaka. Secara astronomis terletak antara 2-3 derjat Lintang Utara dan 99,1-99,7 derjat Bujur Timur (sumber data: Kantor Kepala Desa Padang Genting, 2006).

Daerahnya termasuk kawasan pesisir pantai dan dataran rendah beriklim tropis, sehingga cukup potensial dikembangkan sebagai kawasan

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 3

pertanian, perkebunan, pariwisata, dan industri, serta pelbagai bidang jasa lainnya.

Jumlah penduduk Batubara mencapai sekitar 348.000 orang lebih. Sebahagian besar adalah petani yaitu sebesar 32,5%. Kemudian buruh perkebunan 18%, nelayan 17,5%, sisanya 32 % buruh bangunan, pengrajin, pedagang, karyawan, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Khusus di Desa Padang Genting mayoritasnya adalah nelayan. Migrasi Berbagai Kelompok Etnik ke Batubara

Migrasi suku Minangkabau, Mandailing, Batak Toba, Simalungun, Karo, dan lainnya ke pesisir timur Sumatera Utara memberi dampak terhadap kebudayaan di daerah Batubara. Kabupten ini merupakan daerah penghasil utama songket Melayu di kawasan ini.

Pembahasan mengenai sejarah kabupaten ini, yaitu Kabupaten Asahan (di dalamnya Batubara) dan Kota Tanjungbalai, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena kedua daerah ini mempunyai latar belakang sejarah yang sama yang tercakup dalam sejarah Asahan. Tanjungbalai pernah menjadi ibu kota Asahan sejak tahun 1934 yang dipindahkan dari Rantau Panjang. Pada tahun 1933 Asahan diperintah oleh Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmatsyah, sebagai sultan kesebelas Negeri Asahan (Meuraxa, 1973:187-201).

Etnik Melayu di Asahan merupakan percampuran dari masyarakat Melayu itu sendiri ditambah dengan suku Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Mandailing. Empat suku terkahir ini sering pula disebut dengan Batak. Sementara suku Minangkabau yang juga mempunyai sumbangan dalam bahasa dan kemungkinan kain tenun songket terutama di daerah Batubara, diperkirakan mereka datang lebih belakangan dibanding empat suku seperti disebut di atas.

Cunningham (1958) menyatakan bahwa sekitar awal tahun 2000 Seb. M. diduga telah terjadi gelombang migrasi kedua yang besar pada masa Proto Melayu termasuk suku-suku tadi. Kemudian setelah tahun 2000 Seb. M. dan 1500 M, orang Batak telah bermigrasi ke arah timur Sumatera Utara dari Pulau Samosir dengan tujuan membuka hutan, membuat areal persawahan yang baru, dan membuka perkampungan (huta) yang baru. Mereka pindah ke lembah-lembah sungai dan pinggir-pinggir danau agar mudah membuat irigasi dan penduduk dapat lebih lama menetap di daerah ini.

Orang-orang yang saat ini disebut sebagai Batak Karo, Simalungun, dan Mandailing-Angkola merupakan orang-orang yang awal dalam dalam

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 4

mengembangkan adat, seni, bahasa, dan arsitektur pada daerah mereka yang baru. Orang-orang Karo, Simalungun yang bermigrasi melintasi Bukit Barisan tidak hanya menuju ke dataran tinggi saja tetapi terus keluar menuju pesisir. Kelompok yang menuju pantai ini sangat dipengaruhi oleh nelayan dan petani-petani Melayu pesisir dan juga oleh pedagang-pedagang India dan Arab (Cunningham, 1958:82). Dijelaskan juga bahwa orang Karo dan Simalungun yang di pesisir menetap di sepanjang daerah mulai dari Pangkalan Berandan sampai ke Labuhan Ruku. Sementara itu suku Batak Toba yang bermigrasi ke daerah Asahan melalui sungai Asahan menuju ke arah selatan. Mereka ini dikenal juga sebagai suku Perdembanan (Perantauan) dan orang Kuala. Suku Perdembanan sekarang ini banyak terdapat di Asahan sebelah selatan dan orang Kuala berada di perbatasan antara Asahan dan Labuhan Batu.

Cunningham (1958:3-6) menerangkan bahwa sekitar abad ke-16 dan ke-17, ketika pertama kali terjadi hubungan antara orang-orang Barat dengan orang-orang Sumatera, yang pada saat itu suku Batak telah terpecah-pecah dan berbagai subnya, orang yang pertama sekali mengadakan hubungan dengan pedagang-pedagang Barat itu adalah orang Aceh di sebelah utara, Siak di pesisir Timur Sumatera Tengah (kini Riau). Aceh, Siak, dan Minangkabau pada saat itu merupakan kerajaan-kerajaan yang kuat. Sumatera Timur saat itu, selepas runtuhnya kerajaan Haru, menjadi kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kota Pinang, Kualuh, Merbau—yang tunduk kepada dua imperium besar Islam di Sumatera, yaitu Aceh dan Siak. Dalam kondisi sedemikian ini, masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara, mengenal konsep: beraja ke Aceh, bersultan ke Siak. Yang bermakna bahwa mereka tetap mengakui kedaulatan dua imperium Islam di Sumatera itu, sekaligus juga sultan-sultan di Sumatera Timur. Kesultanan Aceh dan Siak inilah yang mengislamkan orang-orang Batak yang berada di pesisir timur Sumatera sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16.

Setelah terjadinya migrasi masyarakat Batak menuju pesisir timur, jarang terjadi hubungan antara mereka yang tinggal di pesisir dengan yang tinggal di dataran tinggi. Masing-masing mereka membentuk budaya baru walaupun masih terlihat berbagai persamaan dengan budaya asal mereka. Hal ini makin jelas terlihat ketika peradaban Hindu-Budha mulai memengaruhi dan memperkaya budaya mereka di Asahan sekitar abad ke-7 sampai ke-10.

Sampai awal tahun 1900-an, kelompok masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun, masyarakat Melayu Asahan hidup agak terisolasi. Masing-

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 5

masing mereka hidup dengan daerah, adat, bahasa, dan kepercayaan yang berbeza-beza (Cunningham, 1958:85).

Penduduk Batubara, berhubungan erat dengan Kerajaan Pagarruyung Minangkabau. Masyarakat Miangkabau datang ke pesisir timur Sumatera Utara diperkirakan secara historis sejak abad ke-14. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki tradisi merantau dan salah satu daerah tujuannya adalah pesisir timur Sumatera Utara, juga Riau dan Semenanjung Malaysia khsusnya kawasan Seremban. Tujuan utama mereka sebenarnya adalah mencari daerah tempat tinggal dan daerah untuk perniagaan dan persawahan. Adapun alasan merantau ini disebabkan faktor sosial penduduk di daerah mereka makin banyak dan mereka memerlukan tempat tinggal baru (Naim, 1984:94-95).

Menurut Naim (1984:62) munculnya Kerajaan Pagarruyung Minangkabau pada bad ke-14, telah terjadi beberapa pergantian berbagai kerajaan Minangkabau Timur seperti Kerajaan Melayu atau Kerajaan Damasraya di Jambi yang sebagaian besar penduduknya menganut agama Budha aliran Tantrayana (abad ke-12 sampai abad ke-14) yang pusat kerajaannya akhirnya dipindahkan ke Pagarruyung oleh Adityawarman, pendiri dan raja pertama Minangkabau (1347-1375).

Pada abad ke-17 sampai abad ke-18, wilayah pesisir timur Sumatera diperluas hingga ke dataran rendah Rokan sampai ke Panai, Bilah, dan Asahan. Bahkan Tamiang (daerah Melayu di Aceh) juga menjadi daerah perluasan Minangkabau. Perluasan sampai kedaerah ini karena Sultan Iskandar Muda mangkat (1636) dan Kerajaan Aceh mengalami degradasi politik. Di samping itu juga Kesultanan Melayu, Siak Sri Inderapura bertambah kuat karena adanya perdagangan langsung dengan Kerajaan Melaka dan Belanda. Dengan demikian kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang Asahan, Panai, Bilah yang sebelumnya takluk kepada Kerajaan Aceh kini dikuasai Siak (Naim, 1984:67).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dinasti Pagarruyung lenyap pada tahun 1809, setelah satu setengah abad mulai tahun 1809, daerah rantau Minangkabau seperti Kampar, Siak, Rokan, Panai, Kualuh, dan Asahan tidak lagi memiliki ikatan resmi dengan Sumatera Barat. Daerah rantau ini kemudian menjadi bagian Keresidenan Sumatera Timur. Masyarakat-masyarakat di daerah rantau tersebut kemudian menyesuaikan diri dengan budaya dan kehidupan setempat. Sekarang setelah beberapa generasi kemudian, mereka lebih menganggap dirinya sebagai putra daerah setempat, dan jika ditanya, mereka akan menjawab bahwa mereka juga turunan Minangkabau (Naim, 1984:74-94).

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 6

Pada abad ke-14 sampai ke-19 mulai masuknya pengaruh Aceh, Siak, dan Minangkabau ke Pesisir Timur, ada juga cerita-cerita sejarah yang dapat dikaitkan dengan kenyataan sejarah yang ada. Diceritakan bahwa raja Negeri Asahan mempunyai hubungan dengan Raja Aceh, Raja Panai, dan Kerajaan Pagarruyung. Raja Asahan adalah anak Raja Aceh dan merupakan keponakan Raja Panai, serta berguru pada salah seorang kerabat Kerajaan Pagarruyung yaitu Puti Bungsu. Raja Asahan yang bergelar Sultan Abdul Jalil inilah yang menurunkan raja-raja yang memerintah Negeri Asahan dan Kualuh. Menurut catatan statistik Kota Tanjungbalai, penobatan raja Asahan pertama adalah tanggal 27 Desember 1620. Tanggal ini kemudian ditetapkan menjadi hari jadi Kota Tanjungbalai. Keturunan Sultan yang ke-11 adalah Tengku Besar Syaibun yang dinobatkan menjadi Sultan Negeri Asahan tanggal 15 Juni 1933.

Adanya bukti-bukti sejarah hubungan antara Pagarruyung dengan Batubara ini, dipertegas lagi dengan adanya nama-nama kawasan di Batubara yang juga terdapat di wilayah budaya Minangkabau, misalnya nama Lima Puluh (di Minangkabau disebut Lima Puluah Koto), Lima Laras, Tanah Datar (di Minangkabau dialeknya Tanah Data), Pesisir (di Minangkabau adalah wilayah Pasisie di bagian pesisir Minangkabau sebelah baratnya) dan lain-lainnya. Namun demikian ada juga yang berhubungan dengan Semenanjung Malaysia, seperti Kampung Pahang, Kampung Perak, dan lainnya. Kemudian kita telisik sejarah Batubara secara khusus. Sejarah Batubara

Dari berbagai sumber sejarah dan keterangan para informan, wilayah Batubara secara administratif, lebih lama tidak bersatu dengan Asahan. Baik pada zaman kerajaan maupun penjajahan. Namun setelah Indonesia merdeka kedua afdeling ini disatukan dalam satu Kabupaten Asahan. Menurut sejarah, wilayah Batubara telah dihuni penduduk sejak 1720 M (Sinar, 1988). Ketika ini ada lima suku penduduk yang mendiami wilayah Batubara, yaitu suku: Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan Boga. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang Datuk sekaligus memimpin wilayah tertentu (Sahril 2006).

Dilihat dari nama-nama wilayah kesukuan di Batubara, memperlihat-kan keeratan hubungannya dengan wilayah Pagarruyung Minangkabau. Hal ini memperkuat pendapat masyarakatnya, bahwa mereka dahulu sebagian hijrah dari wilayah Minangkabau. Namun sesampainya di Batubara ini mereka mengamalkan adat Melayu dan disebut sebagai

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 7

masyarakat Melayu Batubara. Namun demikian sebilangan masyarakat Melayu Batubara ini ada pula yang berasal dari Aceh dan Batak. Mereka ini kemudian bergaul dan membentuk budaya Melayu Batubara (wawancara dengan Haji Yusufuddin, Januari 2019).

Para Datuk tunduk pada Kerajaan Siak Sri Inderapura di Riau dan Johor di Malaysia. Karena wilayah ini merupakan bagian dari Kerajaan Siak yang tunduk pada Johor. Yang mengangkat datuk pada lima wilayah Kedatukan itu adalah Raja Siak. Untuk mewakili kepentingan Kerajaan Siak sekaligus mengepalai Datuk-datuk yang ada, diangkat seorang bendahara secara turun-temurun. Ketika itu, Batubara telah memiliki struktur pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahannya adalah bendahara tersebut. Kemudian di bawahnya terdapat sebuah dewan anggotanya dipilih datuk-datuk yang ada (Sahril 2006:23).

Anggota dewan ini adalah seorang syahbandar tetap yang dipilih dari suku Tanah Datar, juru tulis dipilih dari suku Lima Puluh, mata-mata dari Limalaras, dan penghulu batangan dari kaum pesisir. Secara pemerintahan, Batubara tidak memiliki keterkaitan dengan kerajaan yang ada di Asahan (temubual dengan Haji Yusufuddin, Januari 2006).

Berbagai versi menceritakan asal mula nama Batubara. Nama Batubara sendiri sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 dengan istilah Batubahara. Dari laporan seorang utusan pemerintahan Inggris di Penang yang berkunjung ke Batubara tahun 1823, menyatakan bahwa di hulu sungai Batubara ketika itu terdapat sebuah bangunan batu yang tidak tercatat tanggal pembangunannya. Bangunan ini empat persegi. Di salah satu sudutnya ada tiang sangat tinggi. Pada dindingnya terdapat lukisan relief manusia. Mungkin dari bangunan inilah kawasan ini disebut sebagai Batubahara yang kemudian menjadi Batubara. Terdapat pula catatan kolonial Belanda masuk ke Sumatera Timur tahun 1862 ketika wilayah Pagurawan dan Tanjong (kawasan Indrapura sekarang) di bawah kekuasaan Datuk Limapuluh.

Pada tahun 1885 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Batubara dengan membayar ganti rugi pada Kerajaan Siak. Sejak ini dimulailah penjajahan Belanda di Batubara. Pada masa penjajahan, wilayah Batubara merupakan salah satu afdeeling (kabupaten) dari lima afdeeling yang ada di Sumatera Timur yang beribukota Medan. Kelima afdeeling itu adalah Deli yang langsung di bawah residen Medan, afdeling Batubara yang berkedudukan di Labuhanruku, afdeeling Asahan di Tanjungbalai, Labuhanbatu di Labuhanbatu dan afdeeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis (Sahril, 2006:23)..

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 8

Berdasarkan sejarah sejak dahulu Asahan dan Batubara baik kerajaan maupun afdeeling adalah dua daerah tetangga terpisah kekuasaannya. Bukan dua daerah yang disatukan. Wajar saja kalau masyarakat Batubara meminta sejajar dengan bekas afdeling lainnya, memiliki otonomi tersendiri terpisah dari Asahan, sebagaimana terjadi sejak zaman dahulu.

Pada zaman kemerdekaan yaitu mulai tahun 1945, wilayah Batubara menjadi satu Kewedanaan yang membawahi lima kecamatan, yaitu: Talawi, Tanjungtiram, Limapuluh, Airputih, dan Medangderas. Kemudian istilah kewedanaan itu pun dihapus. Hanya tinggal nama lima kecamatan itu menyatu dengan Kabupaten Asahan.

Pada awal era reformasi yaitu tahun 1998, warga Batubara kembali mengupayakan terwujudnya Kabupaten Batubara. Jika dibandingkan upaya pemekaran kabupaten lain, boleh dikatakan pemekaran Kabupaten Asahan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Pro dan kontra sesama warga Batubara pun tak terelakkan. Sudah dapat dibaca, yang kontra adalah pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan di Pemerintahan Kabupaten Asahan yang beribukota Kisaran. Apalagi ketika pada masa jabatannya pertama 2000-2005, Bupati Asahan, Drs. Risuddin ketika itu cukup kuat melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang mendukung pemekaran (Sahril 2006:23). Namun pada masa jabatan kedua terlihat sedikit mencair, sehingga pihak-pihak yang tadinya kontra mulai terlihat mendukung kembali berdirinya Kabupaten Batubara. Beberapa desa di wilayah Batubara yang sempat menyatakan menolak bergabung dengan Kabupaten Batubara, sampai 2006 hanya tinggal dua desa saja yang masih menolaknya selebihnya setuju (Sahril 2006:23). Akhirnya Batubara menjadi daerah kabupaten tersendiri sejak 2007. Demikian sekilas tentang aspek politik Asahan dan Batubara yang terus mengalami proses hingga dasawaarsa pertama 2000-an.1

Kabupaten Batubara ini diresmikan pada tanggal 15 Juni 2007, bersamaan dengan dilantiknya Penjabat Bupati Batu Bara, Drs. H. Sofyan

1Dalam konteks politik Indonesia selepas masa reformasi 1998, maka tahun 2001 dimunculkan

Undang-undang Otonomi daerah (Otda), yang mengatur kekuasaan daerah untuk memerintah secara otonomi di daerahnya sendiri. Demikian pula yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dengan semangat Undang-undang Otonomi Daerah itu, maka beberapa kabupaten mengembangkan diri. Di antaranya adalah Kabupaten Tapanuli Utara, yang akhirnya dipecah menjadi 4 kabupaten yaitu: Tapanuli Utara, Toba Samosir (Tobasa), Samosir, dan Humbang Hasundutan; kemudian Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padanglawas Utara, dan Padanglawas Selatan; selain itu Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat; Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi Kabupaten Deli Serang dan Serdang Bedagai (Sergei); serta Kabupaten Nias dimekarkan menjadi Kabupaten Nias Utara dan Kabupaten Nias Selatan.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 9

Nasution, S.H. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribu kota di Kecamatan Limapuluh. Songket dalam Koteks Adat

Adat merupakan inti atau nukleus dari peradaban atau sivilisasi Melayu. Dapat ditafsirkan bahwa adat dalam kebudayaan Melayu ini, telah ada sejak manusia Melayu ada. Adat selalu dikaitkan dengan bagaimana manusia mengelola dirinya, kelompok, serta hubungan manusia dengan alam (baik alam nyata maupun gaib atau supernatural), dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan demikian adat memiliki makna yang “sinonim” dengan kebudayaan. Menurut Husin Embi et al. (2004:85) adat merupakan peraturan yang dilaksanakan (diamalkan) secara tutun-temurun dalam sebuah masyarakat, hingga menjadi hukum dan peraturan yang harus dipatuhi. Sementara istiadat adalah peraturan atau cara melakukan sesuatu yang diterima sebagai adat. Adat dan istiadat memiliki hubungan yang rapat, dan dipandang sebagai alat yang berupaya mengatur kehidupan masyarakat, yang tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kerukunan hidup. Adat-istiadat membentuk budaya, yang kemudian mengangkat martabat masyarakat yang mengamalkannya.

Menurut Zainal Kling (2004), dari segi etimologis, adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini termasuk masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan tradisi (animisme dan dinamisme), atau telah menganut agama Kristen—seperti masyarakat Iban, Bidayuh, Kenyah, Kayan, dan Kalabit di Sarawak; Murut, Kadazan (Dusun) di Sabah; Dayak Kalimantan; Batak Toba, Karo, di Sumatera Utara; dan Toraja di Sulawesi, dan juga suku bangsa Filipina, hingga melahirkan sebuah kesatuan dasar budaya serantau yang sangat menarik. Dalam masyarakat tradisi Alam Melayu, konsep adat memancarkan hubungan mendalam dan bermakna di antara manusia dengan manusia juga manusia dengan alam sekitarnya, termasuk bumi dan segala isinya, alam sosiobudaya, dan alam gaib. Setiap hubungan itu disebut dengan adat, diberi bentuk tegas dan khas, yang diekspresikan melalui sikap,

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 10

aktivitas, dan upacara-upacara. Adat ditujukan maknanya kepada seluruh kompleks hubungan itu, baik dalam arti intisari eksistensi sesuatu, dasar ukuran buruk dan baik, peraturan hidup seluruh masyarakat, maupun tata cara perbuatan serta perjalanan setiap kelompok institusi.

Adat muncul sebagai struktur dasar dari seluruh kehidupan dan menegaskan ciri kepribadian suatu masyarakat. Oleh karena itu, adat biasanya memiliki cerita atau mitos suci, watak-watak asal-usul yang gagah dan unggul, serta memberikan dasar makna terhadap setiap peristiwa dalam siklus hidup manusia, serta eksistensi institusi dalam masyarakatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat tradisi, adat memiliki kedudukan suci hingga mencapai martabatnya; dipancarkan oleh kelakuan yang benar serta halus; sebuah ciri kehidupan yang menyerap sistem kepercayaan, hukuman, dan denda. Setiap individu yang melanggar, menyelewengkan, melebihi, mengurangi, atau menafikannya, akan menerima balasan dan hukuman, baik melalui pemegang kekuasaan adat itu sendiri maupun Tuhan dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya, setiap yang berhasil melaksanakan adat, akan berkuasa, berwibawa, juga memegang, menjalankan, dan patuh kepada adat.

Dalam rangka menentukan kebijakan dan arah peradaban Melayu, maka masyarakat Melayu mendasarkannya kepada institusi generik yang disebut adat. Dalam rangka menghadapi dan mengisi globalisasi, masyarakat Melayu telah membuat strategi budayanya. Strategi ini diarahkan dalam adat Melayu. Adat Melayu berasas kepada ajaran-ajaran agama Islam, yang dikonsepkan sebagai adat bersendikan syarak—dan sayarak bersendikan kitabullah.

Dalam melakukan arah budayanya orang Melayu memutuskan untuk menerapkan empat bidang (ragam) adat. Menurut Lah Husni (1986) adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat-istiadat. Keempat bidang adat ini saling bersinerji dan berjalin seiring dalam mengawal polarisasi kebudayaan Melayu secara umum. Apapun yang diperbuat orang Melayu seharusnya berdasar kepada ajaran-ajaran adat ini.

Adat yang sebenar adat adalah inti adat yang berdasar kepada ajaran agama Islam. Adat inilah yang tidak boleh dianjak-alih, diubah, dan ditukar. Dalam ungkapan adat dikatakan, dianjak layu, diumbat mati; bila diunjuk ia membunuh, bila dialih ia membinasakan.

Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut. Kemudian

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 11

pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang.

Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walaupun terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan, antara akhlak dan pengetahuan.

Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya. Adat-istiadat ini adalah ekspresi dari kebudayaan Melayu. Upacara di dalam kebudayaan Melayu juga mencerminkan pola pikir atau gagasan masyarakat Melayu. Upacara jamu laut misalnya adalah sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan rezeki melalui laut. Oleh karenanya kita mestilah bersyukur dengan cara menjamu laut. Begitu juga upacara seperti gebuk di Serdang yang mengekspresikan kepada kepercayaan akan pengobatan melalui dunia supernatural. Demikian pula upacara mandi berminyak, merupakan luahan dari sistem kosmologi Melayu yang mempercayai bahwa dengan hidayah Allah seseorang itu bisa kebal terhadap panasnya minyak makan yang dipanaskan di atas belanga. Demikian pula upacara mandi bedimbar dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai aplikasi dari ajaran Islam, bahwa selepas hubungan suami dan istri keduanya haruslah melakukan mandi wajib (junub). Seterusnya upacara raja mangkat raja menanam di Kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur adalah ekspresi dari kontinuitas kepemimpinan, yaitu dengan wafatnya sultan maka ia digantikan oleh sultan yang baru yang menanamkan (menguburkannya). Demikian juga untuk upacara-upacara yang lainnya dalam kebudayaan Melayu sebenarnya adalah aktivitas dalam rangka menjalankan strategi kebudayaan Melayu, agar berkekalan dan tidak pupus ditelan oleh ruang dan waktu. Dalam realitasnya, sejauh penelitian yang kami lakukan, adat-istiadat (upacara) Melayu itu dapat dikategorikan sebagai berikut. I. Adat-istiadat yang berkaitan dengan siklus hidup: 1. Adat-istiadat bersalin.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 12

a. Adat-istiadat melenggang perut, b. Adat-istiadat menempah mak bidan, c. Adat-istiadat mandi sampat, d. Adat-istiadat potong tali pusat, e. Adat-istiadat naik buaian (mengayun anak), f. Adat-istiadat mencecah tanah (turun tanah), g. Adat-istiadat bercukur. 2. Adat semasa anak-anak. a. Adat-istiadat bercukur, b. Adat-istiadat berkhitan (berkhatan atau sunnat), c. Adat-istiadat belajar dan mengaji, d. Adat-istiadat berkhatam Al-Qur’an, e. Adat-istiadat bertindik. 3. Adat-istiadat perkawinan. Adat-istiadat merisik, Adat-istiadat meminang, Adat-istiadat berinai, Adat-istiadat berandam dan menempah mak andam, Adat-istiadat berbesan, Adat-istiadat mandi bedimbar (berhias), Adat-istiadat bertandang, Adat-istiadat menyalang, Adat-istiadat menjemput atau berkampung. 4. Adat kematian. II. Adat yang berkait dengan kegiatan pertanian dan maritim. a. Adat-istiadat membuka tanah (mulaka ngerbah), b. Adat-istiadat bercocok tanam (tabur benih, mulaka nukal), c. Adat-istiadat berahoi (mengirik padi), d. Adat-istiadat turun perahu, e. Adat-istiadat bersimah berpuar, puja kampung, bersih kampung,

atau berobat kampung, f. Adat-istiadat menjamu laut. III. Adat pengobatan melalui bomoh (dukun, pawang). a. Adat-istiadat berobat, b. Adat-istiadat berkebas, c. Adat-istiadat memutus obat, d. Adat-istiadat menilik bomoh, e. Adat-istiadat gebuk. IV. Adat olahraga tradisi dan seni pertunjukan.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 13

1. Bersilat atau lintau. a. Adat-istiadat membuka gelanggang, b. Adat-istiadat menghadap guru atau sembah guru, c. Adat-istiadat tamat silat. 2. Pertujukan, musik, tari, dan teater, a. Adat-istiadat buka panggung, b. Adat-istiadat pertunjukan, c. Adat-istiadat tamat panggung. V. Adat makan atau jamuan. a. Adat-istiadat makan dan minum, b. Adat-istiadat berhidang: seperah, dulang, kepala lauk (menghidang), c. Adat-istiadat menjamu ketua atau pengurus adat, d. Adat-istiadat bersirih puan (sebelum makan), e. Adat-istiadat kenduri (jamu sukut). VI. Adat-istiadat pelantikan pengurus adat. VII. Adat-istiadat komunikasi budi bahasa. a. Adat-istiadat berbahasa, b. Adat-istiadat bertegur sapa. VIII. Adat-istiadat takwim Islam. a. Menyambut awal Muharram, b. Hari Asyura 10 Muharram, c. Safar, d. Maulid Nabi (Maulidur Rasul), e. Kenduri arwah (bulan Sya’ban), f. Puasa (Ramadhan), g. Hari Raya Idul Fitri, h. Hari Raya Kurban (Idul Adha), dan lain-lain. Dalam konteks perkembangan zaman, adat-istiadat yang bermakna kepada upacara atau ritual ini juga mengalami perkembangan perkembangan. Upacara ini ada yang berkaitan dengan kegiatan budaya seperti politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, agama, ekonomi, dan lain-lainnya. Hampir semua upacara adat Melayu selalu menggunakan pakaian adat, termasuk unsur utamanya adalah songket. Dalam Konteks Budaya Teknologi Songket Tempat Membuat Songket, bisa dilakukan di mana saja, misalnya di dalam rumah, di beranda rumah, di luar rumah (namun harus ada atapnya).

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 14

Namun umumnya tempat membuat songket dilakukan di beranda rumah. Misalnya di rumah Ibu Ratna membuat songket dilakukan di beranda sebelah kiri rumahnya. Beranda ini sudah disiapkan sejak awal kali ia membangun rumahnya. Di beranda ini kemudian ditempatkan enam buah okik, yaitu alat tenunan pembuat songket.

Gambar 1: Rumah Ibu Ratna Sekaligus Dijadikan Tempat Pembuatan Songket

Rumah Ibu Ratna terdiri dari beranda depan dan samping kiri, kemudian ruang tamu yang dilengkapi dengan pajangan untuk kain-kain songket yang diproduksi oleh para pegawainya, dengan jumlah sekitar 63 orang. Setelah itu ada pula ruangan keluarga di bagian tengah. Di belakang ada dapur tempat memasak makanan. Di sebelah kanan ada dua ruang tempat tidur.

Rumah Ibu Ratna dibina dalam gaya arsitektural Melayu dengan dominasi warna kuning dan putih dengan ukiran (tebuk) lebah bergantung di sisi-sisi bawah atap rumahnya yang terbuat dari seng. Pengadaan Bahan-bahan Okik

Bahan-bahan yang diperlukan dalam sebuah produksi tenunan songket yang utama adalah alat tenun (okik), yang dibuat oleh para pengrajin atau tukang di Desa Padang Genting. Pembuat alat tenun songket ini umumnya adalah kaum lelaki yang juga biasanya adalah tukang untuk membuat

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 15

perabot rumah tangga atau juga tukang membuat rumah Melayu, baik rumah Melayu tradisional maupun modern.

Khusus pembuat okik kumpulan Yusra ada dua orang, yaitu yang pertama adalah Sukiman (usia 55 tahun)2 dan Tajuddin bin Khayat (60 tahun). Biasanya Ibu Ratna memesan alat okik ini bila ada anggota penyongket yang baru bertambah atau juga untuk memperbaiki okik yang rusak.

Alat ini sebagian besar terbuat dari balok (kayu broti) dan papan. Adapun jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu apa saja, yang sering diistilahkan sebagai kayu sembarang, atau kayu sempengan. Namun untuk menjaga kualitas kayu, biasanya kelompok penenun songket Ibu Ratna ini memilih kayu-kayu yang baik kualitasnya seperti kayu meranti, merbau, durian, dan sejenisnya. Kayu-kayu ini dibeli di panglong-panglong kayu yang ada di kota Tanjung Tiram. Toko kayu itu selalu disebut dengan panglong, yang umumnya diusahakan dan diurus oleh orang-orang atau taukeh China.

Uang awal untuk mengadakan okik ini, boleh dibagi 50% oleh Ibu Ratna atau penuh ditanggung oleh Bapak Sukiman dan Tajuddin. Itu tergantung dari kesepakatan mereka.

Secara struktural, okik ini terdiri dari bagian-bagian seperti yang dijelaskan berikut ini: (1) gorub, (2) karab, (3) belero, (4) belebas, (5) papan pungguhan, (6) cucak, (7) sumbi, (8) poso, (9) tinjak, (10) turak, dan (11) rahat.

Gambar 2: Okik

2Bapak Sukiman ini adalah bersuku Jawa, yang lahir dan dibesarkan di Provinsi Sumatera Utara.

Isterinya Siti Asmah bersuku Melayu. Mereka sejak dari kecil memang duduk dan tinggal di Desa Padang Genting Batubara. Orang-orang Jawa yang dilahirkan di Sumatera Utara disebut dengan Pujakesuma, akronim dari Putra Jawa kelahiran Sumatera. Di antara masyarakat Jawa ini banyak yang kemudian mendukung kebudayaan Melayu dan menganggap dirinya juga sebagai bagian dari masyarakat Melayu. Masyarakat Jawa yang terdapat di Desa Padang Genting ini merupakan keturunan dari masyarakat Jawa Deli yang pada masa penjajahan Belanda sejak abad ke-18 didatangkan dari Jawa yang umumnya dipekerjakan di kebun-kebun teh, getah, dan sawit yang dibina oleh Belanda. Mereka juga disebut Jawa Kontrak (Jakon), karena melakukan kontrak kerja dengan Belanda (akte verklaring). Kemudian sesudah kemerdekaan terus berlaku migrasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atau atas keinginan dan usaha sendiri yang disebut dengan transmigrasi swakarsa.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 16

Secara umum fungsi okik adalah untuk merentang benang, melintang

benang, memadatkan tenunan, membuat lapisan benang tenunan. Selengkapnya okik itu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3: Okik, Alat Tenun Songket

Benang

Bahan lain untuk tenuan songket adalah benang katun (cotton). Di Desa Padang Genting, benang diimpor dari ibukota Indonesia Jakarta. Adapun jenama (merek) yang umum digunakan adalah benang yang diproduksi oleh P.T. Bentang Mutiara Tunggal Perkasa Cap Kapal. Menurut penjelasan Ibu Ratna, setiap minggunya ia menghabiskan dua kodi benang. Agak berbeda dengan yang ada pada budaya Batak, yang umumnya mencelup benang untuk pewarnaan, maka di desa ini, mereka

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 17

tidak lazim melakukan pewarnaan, mereka langsung membeli benang dengan warna-warna yang sesuai dengan keperluan untuk menenun.

Sejak dekade awal 2000-an, ada upaya pengembangan kualitas songket, dan sesuai dengan perkembangan permintaan pasar. Khususnya pada kelompok Ibu Ratna, ia menenun songket yang bahan dasarnya terbuat dari benang sutera. Benang ini bisa didapatkannya dari seorang pengusaha ternak ulat sutera yang menghasilkan benang sutera, tempatnya di Kota Tanjungmorawa, Kabupaten Deli Serdang, masih di kawasan Provinsi Sumatera Utara. Namun menurut penjelasan Ibu Ratna, harga songket yang terbuat dari sutera ini relatif mahal, karena benang sutera juga mahal. Selain itu, bagi para muslim, laki-laki tidak diperbolehkan memakai bahan-bahan sutera, sehingga peminatnya umumnya adalah ibu-ibu pejabat (elite), yang umumnya adalah orang kaya harta. Pembuatan songket sutera ini adalah disesuaikan saja dengan permintaan yang ada. Motif

Motif visual yang digunakan oleh para penenun songket Batubara, adalah masih meneruskan motif tradisi Melayu ang ada. Menurut penjelasan para informan, motif-motif yang digunakan adalah: (A) Motif dasar, terdiri dari empat jenis, yaitu: (i) pucuk betikam, (ii) pucuk perak, (iii) pucuk pandan, dan (iv) pucuk caul. (B) Motif tambahan, terdiri dari berbagai jenis motof seperti: bunga tanjung, bunga, pucuk parang, tampuk manggis, cempaka, bunga tabur, tolab bermukim (gabungan ari berbagai motif bunga), dan lain-lain. Motif dasar biasanya digunakan untuk kepala kain, hiasan utama pada songket, motif tambahan adalah menyertai motif utama. Pada bagian bawah atau atas songket yang diletakkan secara horizontal, biasanya digunakan motif apa saja yang diistilahkan dengan pinggir pahat. Sejak generasi penenun Ibu Ratna, para penenun songket melakukan berbagai inovasi (pembaharuan) motif-motif. Misalnya menggunakan motif yang berasal dari Trengganu Malaysia, dari Palembang, dari Minangkabau, dari tradisi ulos Batak, dan lainnya. Mereka dapat melihatnya dari berbagai buku dan majalah.

Pucuk betikam adalah motif dasar songket yang bentuknya adalah gabungan dua segitiga atau belah ketupat. Selanjutnya untuk pucuk perak bentuknya adalah enam bidang elips yang menyatu pada satu titik. Kemudian pucuk pandan adalah motif yang memimesis bentuk daun pandan, dan pucuk caul, adalah bentuk bunga yang kompleks tenunannya.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 18

Sebahagian besar motif songket adalah karya imajinasi seniman songket Melayu, yang menirukan bentuk-bentuk flora (tumbuhan), sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang tidak menggalakkan bentuk binatang atau manusia (antropomorfisme). Contoh-contoh motif itu adalah sebagai berikut.

Gambar 4: Motif Pucuk Betikam

Gambar 5: Motif Pucuk Perak

Gambar 6: Motif Pucuk Pandan

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 19

Gambar 7: Motif Pucuk Rebung

Gambar 8: Motif Tolab Bermukim

Gambar 9: Motif Cempaka

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 20

Gambar 10: Motif Pucuk Caul

Pada penelitian akhir, kami menemukan sumber-sumber motif yang

dipercayai telah berusia lebih dari seratus tahun. Motif ini disimpan oleh Ibu Salbiah. Kami berusaha ingin bertemu dengannya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, peneliti meminta bantuan Ibu Ratna untuk mendapatkan sumber motif songket yang disulam di selembar kain. Motif-motif itu berupa hewan dan tumbuhan. Motif hewan berbentuk dua naga yang saling berhadapan dengan menggunakan warna hitam, merah dan biru. Selain itu juga dijumpai motif hewan pelanduk dan harimau. Menurut penjelasan Ibu Ratna motif-motif hewan ini tidak lazim digunakan dalam budaya songket Melayu Batubara sejak ia kecil. Menurutnya Ibu Salbiah mewarisi motif-motif ini dari oyangnya. Karena mendapat warisan itu, ketika penulis pinjam, Ibu Salbiah melalui Ibu Ratna mengatakan: “Jangan sampai hilang kain motif ini, karena bagi saya itu adalah warisan yang tak ternilaikan harganya. Tak mungkin engkau bisa menggantinya dengan uang berapa pun nilainya.”

Berikut ini diperturunkan motif-motif hewan yang terdapat di Desa Padang Genting yang dianggap telah berusia lebih dari seratus tahun.

Gambar 11: Motif Dua Naga Berhadapan

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 21

Gambar 12: Motif Pelanduk

Gambar 13: Motif Pelanduk Bertongkat

Gambar 14: Motif Burung

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 22

Gambar 15: Motif Dua Singa

Tahap-tahap Pembuatan Dalam membuat songket, para penenun mestilah mengikuti tahap-

tahap dari awal sampai akhirnya menjadi sehelai songket. Mengikut keterangan Ibu Ratna, dalam membuat songket, dilakukan melalui berbagai tahapan.

(1) tahap pertama disebut dengan menorou, yaitu aktivitas menggulung benang dari gulungannya kepada gulungan kecil;

(2) tahap kedua adalah mengani, yaitu aktivitas menarik benang dengan diluruskan mengikut bentuk yang hendak dicapai;

(3) tahap ketiga adalah menggulung benang ke papan gulung dan direntang mengikut bentuk papan gulung tersebut;

(4) tahap keempat adalah menyosoh, yaitu menggulungnya ke papan karab;

(5) tahap kelima adalah memasukkan sisir; (6) tahap keenam adalah menaikkan ke okik;

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 23

(7) tahap ketujuh mengumut dan merancang motif apa yang akan disongket, yang tentu saja mengikutkan jalur benang;

(8) tahap kedelapan adalah menenun songket dengan cara mengarahkan benang dengan torak ke kiri dan kanan, kemudian diketatkan dengan tinjak yang ditekan dengan kedua telapak kaki di bagian bawah penyongket. Demikian sekilas proses pembuatan songket di Batubara ini.

Gambar 16: Sejubilang, Sumber Motif Kuno yang

Diturunkan kepada Ibu Salbiah

Menyongket ini akan memakan waktu yang lebih lama dengan menggunakan benang satu. Sedangkan benang dua dan tiga lebih memakan waktu yang lebih pendek. Namun para pelanggan umumnya memesan benang satu dan dua. Sesudah disongket dan selesai maka pada bagian tepi songket harus ditutup.

Setelah selesai songket lalu dilipat dengan rapi dan kemudian dipajang di lemari Ibu Ratna yang ada di rumah bahagian depan ruang rumahnya. Tujuannya adalah untuk dilihat, dan dijual kepada para pembeli yang datang ke rumah produksinya.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 24

Cara Memakai Songket dalam Adat Budaya Melayu

Dalam adat budaya Melayu, memakai songket dalam kesatuan busana (terutama untuk peristiwa adat), memiliki norma-normanya. Dalam realitas di lapangan, busana Melayu baik untuk perempuan maupun laki-laki wajib megikuti aturan adat. Yang pertama pakaian adat Melayu tidak memperlihatkan aurat menurut ajaran agama Islam. Yang kedua tidak tipis atau tembus pandang, wajib menutupi bidang tubuh yang harus ditutupi. Yang ketiga, pakaian adat Melayu tidak ketat atau sempit, seperti nagka dengan pembungkusnya.

Filsafat tentang norma ini adalah pakaian adat Melayu adalah mencerminkan diri orang Melayu yang menaati perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Tujuannya adalah setiap orang Melayu wajib mengarahkan dan menjadikan dirinya sebagai orang yang bertakwa. Bahwa setiap orang Melayu mestilah menghindarkan diri dari memperlihatkan auratnya dalam konteks pergaulan sosial sehari-hari, termasuk pertemuan dalam konteks adat.

Seterusnya, dalam realitas di lapangan, khususnya dalam memakai songket, ada tanda-tanda ketika seorang memakai songket. Secara umum, setiap laki-laki memakai songket dengan kepala kain di bahagian belakang. Untuk laki-laki yang telah menikah, maka kain songket mesti sampai di bawah lutut. Kalau masih bujang, belum kawin, maka songket boleh di atas lutut. Seorang wanita yang telah menikah maka kepala kain diletakkan di sebelah kiri. Sebaliknya seorang janda, kepala kain diletakkan di sebelah kanan. Masih banyak lagi aturan-aturan lainnya, termasuk warna, lipatan, tanjak yang dipakai, yang memiliki makna-makna tertentu, yang menggambarkan siapa yang memakai busana adat Melayu yang sedemikian rupa itu. Penutup

Dilihat dari konteks budaya bahwa budaya tenunan songket Melayu Batubara didukung oleh etnik Melayu Batubara yang secara kesejarahan merupakan dan terbentuk dari proses integrasi sosial antara masyarakat Melayu keturunan Batak Toba, Mandiling, Karo, Simalungun, Minangkabau serta orang-orang Melayu Riau, Semenanjung Malaysia, dan Aceh. Dilihat dari segi istilah-istilah yang digunakan tampaknya kuat mencerminkan budaya Melayu Sumatera Timur dan kemungkinan Riau serta Semnanjung Malaysia. Namun tak kalah pentingnya kemungkinan adanya hubungan kultural dengan songket di Minangkabau, walau

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 25

sampai saat ini peneliti belum menemukan jawabannya, dan masih perlu penelitian ke tahap berikutnya.

Songket adalah bahagian dari busana adat Melayu, yang biasa pemakaiannya adalah berkaitan dengan adat. Dalam kebudayaan Melayu terdapat empat konsep tentang adat, yakni adat yang sebenar adat (sebagai hukum dari Allah terhadap alam dan manusia), adat yang diadatkan (sistem kepemimpinan dalam pengertian luas), adat yang teradat (kebiasaan yang lama-lama menjadi adat), dan adat istiadat (yang merupakan upacara).

Sebagai unsur kebudayaan, maka teknologi yang digunakan dalam pembuatan songket Batubara lebih menekankan kepada teknologi tradisional Melayu, yang dapat ditandai dengan masih digunakannya alat tenun tradisional yang disebut okik, serta cara menyongket dan istilah-istilah teknis dan aktivitas yang digunakan. Namun demikian, kebudayaan tradisional ini juga mengikuti perkembangan-perkembangan teknologi modern, misalnya saja mereka menggunakan benang yang diproduksi secara modern begitu juga dengan sistem pewarnaan, dan lainnya.

Motif dasar songket Melayu Batubara umumnya berdasar kepada stilisasi tumbuh-tumbuhan dan alam. Namun sepanjang penelitian yang kami lakukan ditemukan motif-motif lama yang berbentuk stilisasi hewan. Kemungkinan besar Islam sebagai agama Ilahiyah dan samawiyah tidak menganjurkan bentuk-bentuk hewan atau manusia, yang dapat menjerumuskan manusia kepada penyembahan arca atau patung. Tentu untuk ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, wassalam.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran (ed.), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia

Melaka, Biro Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam. Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd Nefi Imran (ed.), 2004. Busana Melayu Serumpun. Melaka: Institut

Seni Malaysia Melaka (ISMMA). Andaya, Barbara Watson, 1987. The Cloth Trade in Jambi and Palembang During the 17th and 18th

Centuries. New York: t.p. Anderson, John, 1971. Mission to the east Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press. Cunningham, Clark E., 1958. The Postwar Migration of the Toba Bataks to East Sumatra. New Haven: Yale

University Southeast Asia Studies. Dada Meuraxa, 1973. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Waspada. Husin Embi (et al.), 2004. “Adat Perkawinan di Melaka.” di dalam, Abdul Latiff Abu Bakar dan

Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka.

Kamaruddin Haji Husin, 1993. Bahasa Melayu Bacaan Asas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mochtar Naim, 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press. Norwani Mohd. Nawawi, 2002. Songket Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 26

Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Sentuhan Sutra Mengawal Songket Batubara, Waspada, p. 22. Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Songket Batubara Melintasi Generasi Ketiga, Waspada, p. 22. Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Menanti Bapak Angkat, Waspada, p. 22. Pelzer, Karl J., 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947,

terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan. Sahril, 27 Februari 2006, “Penantian Panjang Kabupaten Batubara,” Waspada, p. 23 Sahril, 27 Februari 2006, “Batubara Negeri Bersinar yang Masih Redup,” Waspada, p. 23. Sahril, 27 Februari 2006, “Wisata Bahari P. Pandan Pesona Keterasingan” Waspada, p. 23. Steward, Julian H., 1976. Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution. London:

University of Illinois Press. Tengku Luckman Sinar, 1980. Ragam Hias Melayu Sumatera Timur. Medan: Perwira. Tengku Luckman Sinar, 1988. Sari Sejarah Serdang. Medan. Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004.

Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka DAFTAR INFORMAN 1. Hajjah Ratna binti Abdul Thalib, usia 59 tahun, pekerjaan ketua pengrajin songketvYusra, alamat

rumah Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara. 2. Zuraidah binti Abdullah, berumur 52 tahun, sebagai ketua pengrajin tenun songket, dengan alamat

Desa Padang Genting Dusun IV, Kecamatan Talawi, Batbara, Sumut. 3. Asmah binti Aiyub, 57 tahun, ketua pengrajin tenun songket, beralamat di Desa PadangGentiing

Dusun IV, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara. 4. Wan Sahib bin Wan Adnan, usia 62 tahun, ketua pengrajin songket, Desa Padang Genting,

Kecamatan Talawi, Batubara. 5. Suhaimi bin Tajuddin, berusia 48 tahun, mantan Sekretaris Desa Padang Genting, Batbara. 6. H. Yusufuddin bn Noer, usia 61 tahun, sebagai Pensiunan Polisi Pengamanan Laut Indonesia,

alamat Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara.

Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 27