Upload
deva-lathief-al-ghofur
View
82
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas pkn
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk,
selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan
dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau-pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi
geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran
rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat
peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang
berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi
proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya
jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan
meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan
kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa
dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman
budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman
budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam
konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia
mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah
pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai
jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu.
Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok suku
bangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia.
Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah
membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia Internasional pada saat itu.
Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang
1
penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia.
Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya
elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain
bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal
ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.
Bukti Sejarah
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya
kebudayaan Kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan
kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks
kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan
paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan
berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar
kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal
Ika”, dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya
mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada
konteks kebudayaan.
Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok suku bangsa kurang lebih
700’an suku bangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok
masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian
dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang
dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul
di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu
lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus
konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama
dan suku bangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh
isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab
yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus
konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang
2
keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya
dengan benar.
Peran pemerintah: penjaga keanekaragaman
Sesungguhnya peran pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman
kebudayaan adalah sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi
sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata
hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia.
Namun sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan
pelindung, dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup
bagi semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia. Misalnya bagaimana
pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok suku
bangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai dengan kebudayaannya.
Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai dengan suku bangsa ternyata
tidak dianggap serius oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan kelompok suku
bangsa minoritas tersebut telah tergantikan oleh kebudayaan daerah dominan
setempat, sehingga membuat kebudayaan kelompok suku bangsa asli minoritas
menjadi tersingkir. Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya
karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif
kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk
kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik
kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah
penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan
menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun
dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan
yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses
penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang
berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok
sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut.
Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa
untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa
sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan
daerah.
3
Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas
tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini
juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu. Keberadaan
kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan
biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara
untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal
dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akan tetapi dalam perjalanannya,
pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan
menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya.
Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha
untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk
mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan
warganya. Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah
gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik
dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan lokal
yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-
kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi
perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu
kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya,
dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya
adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Suparlan,1999). Dalam model multikultural ini, sebuah
masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai
mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut
yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang
seperti sebuah mosaik tersebut. Model multibudayaisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa
yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam
4
penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia)
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem
infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus
pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di
depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga
pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara
kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada
keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya
kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan
kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi
yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat dilihat
dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan tinggalan atau
produk kebudayaan pada masa lampau.
Menjaga keanekaragaman budaya
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan
dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan 3 wujud kebudayaan yaitu
pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih
berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau banguna.
Beberapa hal yang berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan tersebut yang dapat
dilihat adalah antara lain adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup,
sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini
lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada kini.
Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman
kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya.
Keragaman budaya adalah memotong perbedaan budaya dari kelompok-kelompok
masyarakat yang hidup di Indonesia. Jika kita merujuk kepada konvensi
UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of
Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural diversity”,
cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara
yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan
ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi
5
kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara dalam penciptaan artistik,
produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya, apapun makna dan
teknologi yang digunakannya. Atau diistilahkan oleh Unesco dalam dokumen
konvensi UNESCO 2005 sebagai “Ekpresi budaya” (cultural expression). Isi dari
keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada makna simbolik, dimensi
artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.
Dalam konteks ini pengetahuan budaya akan berisi tentang simbol-simbol
pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan
menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan
berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia,
dimana didalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku
bangsa setempat. Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang
tercerminkan dalam tradisi upacara-upacara tradisional dan karya seni kelompok
suku bangsa dan masyarakat adat yang ada di nusantara. Sedangkan tingkah laku
budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari
nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut bisa dirupakan
dalam bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsisten
masyarakat, dan sebagainya. Atau bisa kita sebut sebagai aktivitas budaya. Dalam
artefak budaya, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya
seni rupa atau benda budaya (cagar budaya). Jika kita melihat penjelasan diatas
maka sebenarnya kekayaan Indonesia mempunyai bentuk yang beragam. Tidak
hanya beragam dari bentuknya namun juga menyangkut asalnya. Keragaman
budaya adalah sesungguhnya kekayaan budaya bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Pluralitas suku dalam Masyarakat Indonesia.
2. Suku bangsa lain di Indonesia.
3. Makna Bhineka Tunggal Ika
4. Fenomena konflik antar daerah, antar suku, antar kelompok (golongan),
dan antar pemeluk agama.
5. Wawasan lokal dan wawasan nasional.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pluralitas Suku dalam Masyarakat Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yaitu secara
horizontal dan vertikal. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,
perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal
struktur Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku
bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut
sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Menurut Furnival,
suatu masyarakat majemuk (Plural Society) yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Sebagai masyarakat majemuk masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu
tipe masyarakat daerah tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang
dikuasai memiliki perbedaan ras.
Di dalam kehidupan politik, tanda paling jelas dari masyarakat indonesia
yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (Common Will).
Menurut Van den Berghe, ada beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari
suatu masyarakat majemuk yakni:
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok yang sering kali
memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non komplementer.
3. Secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok
yang satu dengan yang lain.
4. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang
memiliki unit-unit kekerabatan. Akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan
dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi yang tinggi. Suatu masyarakat
7
yang terbagi-bagi kedalam berbagai kelompok berdasarkan garis keturunan, akan
tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneus.
Di dalam arti yang demikian itulah, maka masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang bersifat majemuk. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian terjadi: Keadaan geografis yang
membagi wilayah Indonesia kurang lebih 12.637 pulau yang tersebar di suatu
daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari timur ke barat dan lebih
1000 mil dari utara ke selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap terciptanya suku bangsa Indonesia.
B. Suku Bangsa Lain di Indonesia
Selain suku bangsa Indonesia yang asli orang Indonesia, di Indonesia juga
terdapat suku bangsa lain seperti Tionghoa dimana populasinya 7.776 juta dengan
prosentase 3,7%. Dimana kawasan utamanya Jabotabek, Bandung, Kalbal,
Surabaya, Bangka Belitong, Riau, Jambi,Palembang, Makasar, dan Manado.
Leluhur orang Tionghoa berimigasi sejak ribuan tahun lalu melalui kegiatan
perdagangan. Karena faktor kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia berhubungan
erat dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok-Indonesia dan sebaliknya. Setelah
Indonesia merdeka orang Tionghoa WNI digolongkan sebagai salah satu suku
dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai pasal 2 UU no 12 tahun 2006.
Kemudian, terdapat suku Arab, sejarah adanya terdapat di Indonesia adalah
akibat terjadinya perpecahan besar diantara umat islam. Mulailah terjadi hijrah
besar-besaran keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Populasinya 5000 juta
dengan prosentase 2,4% yang berkawasan utama di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa
Tengah.
C. Makna Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini
berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Jika diterjemahkan per patah kata,
kata Bhinneka berarti "beraneka ragam" atau “berbeda-beda”. Kata Neka dalam
bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam
Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata Ika berarti "itu". Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna
8
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka
ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Garuda Pancasila sebagai Lambang
Negara Republik Indonesia. Lambang negara Indonesia adalah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika Lambang
negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah
kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang
digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang
dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II
dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno dan
diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang
Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Penggunaan
lambang negara diatur dalam UUD 1945 pasal 36A dan UU No 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN
2009 Nomor 109, TLN 5035). Sebelumnya lambang negara diatur dalam
Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, dan Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Pasal 36 A, yaitu Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dan Pasal 36 B: Lagu Kebangsaaan ialah Indonesia Raya.
Menurut risalah sidang MPR tahun 2000, bahwa masuknya ketentuan mengenai
lambang negara dan lagu kebangsaan kedalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang melengkapi pengaturan mengenai bendera negara
dan bahasa negara yang telah ada sebelumnya merupakan ikhtiar untuk
memperkukuh kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan
global dan hubungan internasional yang terus berubah.Dengan kata lain,
kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting, karena
menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam pergaulan
internasional. Atribut kenegaraan itu menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa
Indonesia ditengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam
9
keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa tak terkecuali bangsa dan
negara Indonesia.
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam buku Sutasoma, karangan Mpu
Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Dalam buku Sutasoma
(Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan
bidang kepercayaan juga keanekaragam agama dan kepercayaan di kalangan
masyarakat Majapahit.
Secara harfiah pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah Berbeda-beda tetapi
Satu Itu. Adapun makna Bhinneka Tunggal Ika adalah meskipun berbeda-beda
tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa
daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan
Kata Bhineka Tunggal Ika dapat pula dimakna bahwa meskipun bangsa dan
negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki
kebudayaan dan adat-istiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam
kepulauan wilayah negara Indonesia namun keseluruhannya itu merupakan suatu
persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Keanekaragaman tersebut bukanlah
merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru keanekaragaman itu
bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan
makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan dasar
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Perwujudan semboyan
Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dengan cara hidup
saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa
memandang suku bangsa,agama,bahasa,adat istiadat, warna kulit dan lain-lain.
Seperti di ketahui Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-
ribu pulau dimana setiap daerah memiliki adat istiadat,bahasa,aturan,kebiasaan
dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya
kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pastinya akan terjadi
berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika kita harus membuang jauh-jauh sikap
10
mementingkana dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli kepentngan
bersama. Bila hal tersebut terjadi pastinya negara kita ini akan terpecah
belah.Oleh sebab itu marilah kita jaga Bhineka Tunggal Ika dengan sebaik-
baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga.
D. Fenomena Konflik
1. Antar Daerah
Sengketa batas antar daerah maupun antar negara kian mengemuka. Di
tingkat internasional kita kenal masalah laut china selatan, juga ada persoalan
batas antara Kamboja dan Thailand, antara Indonesia dan Malaysia dan masih
banyak lagi yang lainnya. Begitu juga dengan konflik batas antar daerah di
Indonesia, misalnya sengketa batas antara Kabupaten Musirawas dengan Musi
Banyuasin yang dipicu oleh posisi sumur Gas Subhan 4, antara Kabupaten Blitar
dengan Kabupaten Kediri dalam hal memperebutkan kawah Gunung Kelud dan
sengketa batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau
terkait kepemilikan Pulau Berhala dll.
Batas Daerah Sesudah Era Reformasi
Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai
pada tahun 1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut
Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998) ke desentralisasi politik.
(Suyanto, 2002).
Pada Era Reformasi ini lahirlah dua paket undang-undang yang sangat besar
pengaruhnya terhadap batas daerah, yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya dua paket undang-
undang tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik,
administrasi dan fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah yang lebih luas
di Indonesia.
Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai peluang yang
lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan
ke daerah kecuali bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter,
pertahanan, keamanan, hukum dan keagamaan. Dengan demikian, semenjak era
11
otonomi daerah yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat
besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Adanya pelimpahan wewenang yang
luas kepada daerah untuk mengelola wilayahnya menciptakan suatu tantangan
sekaligus peluang bagi pemerintah daerah.
Dengan berbagai alasan memanfaatkan peluang otonomi daerah yang luas
memicu terjadinya pemekaran di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga
fenomena yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 1999 adalah
munculnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah berarti
penambahan segmen batas daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri (2010)
menyebutkan bahwa saat ini pada jumlah 34 provinsi dan 491 kabupaten/kota
kabupaten/kota di Indonesia terdapat 946 segmen (151 segmen batas provinsi,
795 segmen batas Kabupaten/Kota).
Menurut penelitian Decetralization Suport Facility (2007) ada berbagai faktor
penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor kesejarahan,
ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan publik dan tidak
terakomodasinya representasi politik. Sedangkan faktor penyebab pemekaran
yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa DAU
(Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Penentuan DAU
memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data jumlah penduduk, luas
wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat dan potensi
ekonomi daerah (Salamm, 2002).
Akibatnya aspek wilayah menjadi suatu yang sangat penting sebab cakupan
wilayah suatu daerah yang ditandai dengan keberadaan batas wilayah yang jelas
mencerminkan sejauh mana kewenangan daerah tersebut dapat dilaksanakan.
Cakupan wilayah merupakan aspek yang dapat menunjang kemampuan
penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah dapat dihasilkan pajak dan
retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumberdaya alam kepada daerah dimana
sumberdaya alam tersebut berada. Bahkan luas wilayah juga merupakan variable
dalam penentuan bobot yang mempengaruhi besarnya DAU yang diterima daerah.
Oleh sebab itu, pada era otonomi daerah ini, batas daerah menjadi sangat penting
dan bermakna bagi daerah.
Pentingnya batas wilayah daerah otonom yang tegas adalah demi:
12
1) kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan kewenangan administrasi
pemerintahan daerah,
2) menghindari tumpang tindih tata ruang daerah,
3) efisiensi-efektivitas pelayanan publik,
4) kejelasan luas wilayah,
5) kejelasan administrasi kependudukan,
6) kejelasan daftar pemilih (Pemilu, Pilkada),
7) kejelasan administrasi pertanahan,
8) kejelasan perijinan pengelolaan sumberdaya alam (Subowo, 2009).
Oleh sebab itu batas wilayah daerah otonom memiliki arti penting dan
strategis apabila dibandingkan dengan era sebelumnya, maka ketidakjelasan batas
wilayah daerah otonom selalu menjadi sumber penyebab sengketa batas antar
daerah (Kristiyono, 2008).
Peta Batas Daerah Yang Amburadul
Di dalam UU Pembentukan Daerah ditetapkan cakupan wilayah daerah yang
dibentuk dan biasanya dilampirkan dalam bentuk peta batas wilayah. Setelah batas
wilayah ditetapkan dalam undang-undang pembentukan daerah, seharusnya segera
ditindaklanjuti dengan penegasan batas wilayah yaitu memasang tanda-tanda
batas di lapangan. Namun saat ini masih banyak daerah-daerah yang telah
dibentuk belum melakukan penegasan batas daerahnya di lapangan dengan
berbagai alasan yaitu: terbatasnya anggaran, kondisi sulitnya medan/topografi,
terbatasnya SDM. Jumlah segmen batas yang telah selesai ditegaskan dan
memiliki kepastian hukum dan fisik di lapangan baru mencapai 155 segmen (16
%). Banyaknya batas daerah yang belum ditegasankan berpotensi menimbulkan
sengketa batas daerah (Subowo, 2012).
Menurut (Sumaryo,2013) dari berbagai permasalahan yang ditemukan,
banyak peta batas wilayah pada UUPD yang tidak memenuhi syarat teknis
kartografis bila digunakan sebagai dasar dalam penegasan batas daerah.
Persyaratan teknis tersebut meliputi: adanya skala, datum geodetik, sistem
koordinat dan sistem proyeksi peta. Penelitian yang telah dilakukan terhadap peta
batas wilayah pada UUPD periode 1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala.
13
Tidak adanya skala maka peta batas wilayah tersebut tidak dapat digunakan untuk
analisis spasial seperti mengukur panjang segmen batas atau luas wilayah.
Hampir semua peta batas wilayah UUPD produk era OTDA tidak
mencantuman datum geodetik yang sangat diperlukan untuk mentransformasi
garis batas dari peta kelapangan. Penegasan titik batas dengan alat Global
Positioning System (GPS) bila menggunakan datum geodetik perkiraan akan
mengakibatkan pergeseran garis batas dari yang seharusnya dan sangat berpotensi
menimbulkan sengketa dengan daerah tetangga terutama bila didaerah tersebut
terdapat sumber daya alam.
Sengketa batas wilayah bisa terjadi dalam hal adanya ketidaksepakatan batas
hasil penetapan dalam undang-undang pembentukan daerah maupun dalam
proses penegasan yaitu pemasangan tanda batas di lapangan. Dalam praktek di
lapangan, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan dengan
lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat
(Rere, 2008). Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah
mencakup 82 segemen yang melibatkan 19 Provinsi dan 81 Kabupaten/Kota dan
dari 449 segmen batas yang belum ditegaskan diduga berpotensi terjadi sengketa
(Subowo, 2012).
2. Konflik Antar Suku
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai
bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering
kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan
yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika”
nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai
warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini
hanya sekedar wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat konflik setelah
lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi adalah sebagai berikut:
a. Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM).
b. Krisis Ambon yang memicu perpecahan bangsa karena keyakinan.
c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah.
d. Gerakan Papua Merdeka.
e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah.
14
f. Peristiwa Ketapang di Jakarta.
g. Peristiwa Bom Bali.
h. Peristiwa seputar Jemaah Ahmadiyah.
i. Peristiwa Monas di Jakarta.
j. dan timbulnya lagi krisis Ambon saat ini.
Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibat konflik, seperti
adanya tindak anarkis antara karyawan dan perusahaan, warga masyarakat dan
perusahaan, dan aksi preman yang hampir di setiap kota besar terjadi.
Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan
bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis
dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”,
dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis
luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung
SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif
yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal
dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis,
lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata tajam.
Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis
yang lebih maju menguasai sektor ekonomi. Faktor ekonomi juga menjadi
penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di Bilangan
Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku Flores
yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut
mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak
yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya. Penguasaan sektor ekonomi
memicu besarnya sentimen etnis dan adanya prejudice membuat konflik meranah
ke agama. Konflik agama yang terjadi di Poso jika ditelusi secara mendalam
bermula dari pertikaian pemuda yang berbeda agama yang sedang mabuk hingga
karena sentimen kepercayaan hingga merambah ke konflik etnis dan agama.
Konflik Poso kian memanas ketika provokasi akan adanya masjid yang dibakar
oleh umat kristiani, agama memang sangat rentan. Aparat Pemerintah bukanya
sebagai penengah namun ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan
15
sosial ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi
membuat konflik menjadi lebih memanas.
Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah.
Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke
Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya
Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur
perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang
dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan.
Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura
yang lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Alternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan mengadakan
akomodasi merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini.
KH. Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu
bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi
adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia
dengan mutual of understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam
kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.
Soulusi Penyelesaian Konflik Antar Etnis
Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah
ada solusi konkritnya. Dalam bukunya Wirawan dengan judul Konflik dan
Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian menjelaskan bagaimana cara
menyelesaikan konflik antar etnis yang ada di sebuah Negara. Pertama, melalui
Intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya final
dan mengikat. Contoh adalah pengadilan. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara
penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator.
Ketiga, Rokosialisasi. Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum
konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai. Adapun
cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni:
1. Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang
hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang
dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang
16
sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu
harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo
Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta
menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari
kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight
diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru
diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu,
masyarakat terutama para pemuka agama dan etnis haruslah dibekali ilmu
Management Konflik setidak-tidaknya untuk tingkat dasar.
2. Merobah Sistem Pemahaman Agama.
Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu
mengajarkan untuk konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah
yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik.
Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara
berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat
masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih superior dari
pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk
menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua
agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini.
Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan
dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan
yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar
dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang
sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki
suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang
menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah
yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.
3. Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya
mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura hura. Hal ini
sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing
17
untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat
hebat dan luhur.
4. Redam Nafsu Distinksi untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah
satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong
seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan
baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada
kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat.
Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma
Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun,
sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa
mereka adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu
Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah
banyak orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena merasa memiliki
kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka
mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan
sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami
Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis,
seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah
melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan kelebiihan diri”. Dengan demikian
semua pihak akan mendapatkan manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di
samping mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan tambahan
pengalaman positif dari sesama dalam pergaulan sosial. Dengan melihat
kelebiihan sesama maka akan semakin tumbuh rasa persahabatan yang semakin
kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh dengan
sesama dalam hubungan sosial tersebut.
3. Konflik Antar Kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang
orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
18
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi
bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang
dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka
pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara
kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka.
Mengapa Konflik Timbul
Konflik di dalam kelompok biasanya disebabkan oleh :
1. Kurangnya komunikasi antar anggota kelompok.
2. Perbedaan pendapat mengenai topik yang sedang dibahas.
3. Perbedaan kepentingan antar sesama anggota kelompok.
4. Berbedanya informasi yang diterima oleh anggota kelompok mengenai suatu
persoalan.
Cara mengatasi konflik
1. Menghindar diri.
2. Difusi.
3. Konfrontasi (pertentangan).
4. Buatlah pilihan terbaik.
5. Pikir sesuatu terlebih dahulu.
Bagi kelompok yang menang dalam konflik akan berdampak pada:
1. Cohesion meningkat.
19
2. Ketegangan menururn.
3. Berkurangnya fight spirit.
4. Santai
5. Timbul kepasan diri
6. Positif terhadap kelompok sendiri
7. Negatif terhadap kelompok lain
8. Konsolidasi semakin kuat
Bagi kelompok yang kalah dalam konflik akan berdampak pada:
1. Mencari alasan kenapa kalah
2. Ketegangan meningkat
3. Kelompok bekerja lebih keras
4. Melakukan recovery
5. Mencari kambing hitam atas kekalahan
6. Konformitas menurun
7. Menggantikan pemimpin
8. Belajar lebih banyak
4. Konflik Antar Umat Beragama
Secara umum kondisi kerukunan antarumat beragama di Indonesia, peraturan
perundangan dan kebijakan pemerintah terhadap kerukunan cukup baik dan
kondusif. Namun terkadang masih muncul konflik atau ketegangan baik internail
maupun antar umat beragama.
Disebutkan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang
Hubungan Antar Negara KH Ma'ruf Amin di Aula Bappeda Provinsi Jambi, ada
beberapa faktor penyebab konflik inter dan antar umat beragama.
Beberapa penyebab konflik internal umat beragama seperti:
1. Pemahaman yang menodai atau menyimpang dari agama
2. Pemahaman yang radikal, menganggap alirannya benar dan orang lain
salah
3. Pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang
ada
20
Sementara itu konflik antar umat beragama umumnya tidak murni disebabkan
oleh faktor agama melainkan faktor ekonomi, politik dan sosial yang kemudian
diagamakan. Beberapa penyebabnya seperti:
1. Adanya paham radikal disebagian kecil kelompok agama.
2. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya
yang masih dipersoalkan, kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara
atau kurangnyakesadaran sebagai tokoh dan umat beragama.
3. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
4. Penistaan terhadap agama.
5. Adanya salah paham ayai informasi diantara pemeluk agama.
E. Wawasan Lokal dan Wawasan Internasional
Wawasan lokal pada dasarnya menjadi cara pandang suatu bangsa yang di
dalamnya menampakkan bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan
kondisi geografis dan social budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai
cara pandang nasional yang merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa
yang berisikan dorongan-dorongan (motives) dan rangsangan (drives) di dalam
merealisasikan dan mencapai aspirasi serta tujuan nasionalnya.
Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional tersebut, yaitu wawasan
‘nusantara’. Wawasan itu, tidak saja berlatar filosofis dan normative, akan tetapi
juga sekaligus sebagai analisis kajian empiric terhadap segala sesuatu yang
menjadi realitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai
wawasan nasional) hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan,
dan wawasan pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola
piker yang didasarkan pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga
dalam tata hokum nasional yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa
(ipoleksosbudhankam).
Namun demikian, dalam tatanan lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki
apa yang disebut dengan ‘wawasan lokal’. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia
yang terdiri atas berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda, berbicara dalam bahasa
21
daerah yang berbeda-beda, memiliki adat- kebiasaan (budaya daerah) yang
berbeda-beda pula.
Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah
karena dapat digunakan dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda-
beda. Ini adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah
kenyataan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan
menuju ke wawasan nasional.
Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan nasional
(wawasan nusantara) dengan wawasan lokal hendaknya tidak kita maknai sebagai
sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang
erat dan tak terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan
sampai sebagai sebab timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya
sekarang, bagaimanakah eksistensi wawasan nasional itu, jika dikaitkan dengan
keberadaan ‘wawasan lokal’ yang melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia
yang serba majemuk (pluralistis) ini? Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia, keberadaan wawasan nasional pada dasarnya digunakan sebagai
‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal yang terdapat di setiap
daerah atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada dasarnya boleh berbeda
dengan wawasan nasional, namun harus ada jembatan yang menghubungkan
kedua wawasan tersebut. Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan
dengan wawasan nasional, dalam arti tidak boleh keluar dari konteks wawasan
nasional. Keberbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan
sebagai variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat
dari keanekaragaman budaya yang ada. Dengan demikian, munculnya wawasan
nasional merupakan resultante (hasil) interaksi dari wawasan lokal yang
beranekaragam.
Konsekuensinya, perumusan kebijaksanaan nasional harus selalu
memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal.
Ragam kehidupan yang terjadi dalam sifat kemajemukan bangsa Indonesia,
hendaknya patut ditangkap dan dimaknai secara kritis bahwa mereka saling
memiliki ‘keunggulan’ di antara yang lain. Keunggulan inilah yang harus
dijadikan sebagai wacana Negara (pemerintah) atau juga suku – suku bangsa di
22
lingkungan wilayah Negara itu agar Negara atau suku bangsa tersebut itu sama –
sama merasa memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan kebersamaan dan
kekeluargaan. Kebijakan Negara tidak bisa hanya ditujukan kepada sebagian
wilayah dan masyarakat tertentu saja. Selain itu, kebijakan pemerintah kiranya
juga tidak benar jika diupayakan untuk ‘melebur’ berbagai perbedaan lokal
menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’. Apabila hal itu dilaksanakan
oleh Negara (pemerintah), sama halnya pemerintah (Negara) tidak menghormati
aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal. Lebih parah lagi, ini
menengarai munculnya suatu kebijakan yang tidak mendasarkan diri pada prinsip
demokrasi dan keadilan, atau bahkan menunjukkan tidak adanya keberadaan
(civilizing) Negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan bersama yang dimiliki oleh
bangsaIndonesia yang merupakan puncak tertinggi dari kebudayaan-kebudayaan
daerah. Kebudayaan nasional sendiri memiliki banyak bentuk karena pada
daasarnya berasal dari jenis dan corak yang beraneka ragam, namun hal itu
bukanlah menjadi masalah karena dengan hal itulah bangsa kita memiliki
karakteristik tersendiri. Untuk memelihara dan menjaga eksisitensi kebudayaan
bangsa kita, kita bisa melakukan banyak hal seperti mengadakan lomba-lomba
dan seminar-seminar yang bernafaskan kebudayaan nasional sehigga akan
terjagalah kebudayaan kita dari keterpurukan karenapersaingan dengan budaya
luar. Dan dalam menyikapi keberagaman yang ada kita harus bisa bercermin pada
inti kebudayaan kita yang beragam itu karena pada dasarnya segalanya bertolak
pada ideology pancasila.Untuk menghadapi dampak negatif keberagaman budaya
tentu perlu dikembangkan berbagai sikap dan paham yang dapat menikis
kesalahpahaman dan membangun benteng saling pengertian. Gagasan yang
23
menarik untuk diangkat dalam konteks ini adalah multikulturalisme dan sikap
toleransi dan empati.
B. Saran
1. Peran pemerintah harus mampu melaksanakan sebuah sistem politik
nasional yang dapat mengakomodasikan aprisiasi masyarakat yang
memiliki kebudayaan yang berbeda beda.
2. Peran masyarakat meminimalkan perbedaan yang ada dan berpijak pada
kesamaan kesamaan yang dimiliki oleh setiap budaya daerah.
24
DAFTAR PUSTAKA
http://etnobudaya.net/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/ (Online)
diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://jaltux.blogspot.com/2013/02/pluralitas-masyarakat-indonesia.html
(Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://komunitasgurupkn.blogspot.com/2014/08/pengertian-dan-makna-
bhinneka-tunggal.html (Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://politik.kompasiana.com/2014/06/28/konflik-antar-etnis-penyebab-
dan-solusi-664916.html (Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://rezadaniss.blogspot.com/2011/10/konflik-antar-kelompok.html
(Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://jambi.tribunnews.com/2013/05/23/ini-dia-penyebab-konflik-antar-
umat-beragama (Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
http://rizkaaiuflowersblog.blogspot.com/2013/02/800x600-normal-0-false-
false-false-in-x.html (Online) diakses pada tanggal 02 Februari 2015.
25