Upload
hariyadian-apriliyanto
View
32
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Contoh kasus tentang usaha budidaya ikan.
Seorang janda, Nyonya Karpiati, 45th di Desa Tambak Agung, Rembang,
Jawa Tengah, menghadapi proses hukum dan penegak hukum dalam
mempertahankan haknya. Kendati telah memenangkan perkara sampai ke Mahkamah
Agung, Karpiati sampai kini belum mendapatkan kembali tanahnya seluas 7.000 m2,
yang dikuasai lawannya beperkara, Haji Ali Munzi. Menurut dia, tanah berupa
tambak garam di Desa Tambak Agung, Rembang, Jawa Tengah, itu dikuasai Haji Ali
sejak 1981. Haji Ali, hanyalah penyewa tambaknya sejak suaminya masih hidup,.
Pada waktu 1977, ia diminta suaminya membubuhkan cap jempol pada kertas segel
kosong untuk perjanjian sewa-menyewa tanah dengan Haji Ali. Selama lima tahun,
Haji Ali berhak memakai tambaknya pada setiap musim kemarau dengan sewa Rp
110 ribu. Selama musim hujan tambak itu tetap dikerjakan Karpiati bersama
suaminya untuk beternak ikan. Sistem sewa begitu berjalan sampai suaminya
meninggal, 1980.
Masalah muncul ketika Karpiati menjanda. Tiba-tiba ia disodori surat segel
yang dulu diberinya cap jempol oleh Haji Ali. Ternyata, isi segel itu bukan sewa-
menyewa tanah, melainkan jual-beli. Haji Ali menuntut Karpiati menyerahkan
sertifikat tanah itu. Tentu saja, ia menolak. Haji Ali memang menggugat Karpiati ke
Pengadilan Negeri Rembang. Hakim Parwoto, yang mengadili perkara itu, Juli 1981,
memutuskan bahwa tambak itu milik Haji Ali. Karena itu, Karpiati harus
menyerahkan sertifikat tanahnya, dan membayar ganti rugi kepada penggugat Rp 1
juta. Karpiati menolak putusan itu, dan menyatakan banding. Ketika perkaranya
masih dalam proses banding, 1981 itu, Karpiati didatangi petugas kepolisian saat
mengerjakan tambaknya. Ia dipanggil kepala Polsek Kaliori, waktu itu, Letda Nasran,
dan diminta menyerahkan sertifikat tanahnya kepada Haji Ali. Ternyata, di tingkat
banding, 1983, ia dimenangkan. Menurut Pengadilan Tinggi, surat segel jual-beli
yang diajukan Haji Ali sebagai bukti diragukan kebenarannya. Sebab, pada segel itu
tertempel meterai 1978, padahal perjanjian itu terjadi 1977. Berdasarkan itu, Karpiati
kembali mengerjakan tambaknya. Tapi lagi-lagi ia didatangi petugas Polsek. Bersama
kedua pekerjanya, ia dipanggil ke kantor polisi oleh kepala Polsek, waktu itu, Letda
Santosa. Nasib baik baginya, Mahkamah Agung, akhir 1984, mengukuhkan putusan
pengadilan tinggi Berdasarkan keputusan itu, ia datang ke ketua Pengadilan Negeri
Rembang Soekardi untuk meminta tambaknya dikembalikan.
Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/07/27/HK/mbm.19850727.HK3931
2.id.html
Sesuai dengan UUBHP ( UU No. 16 / 1964 ) bahwa sewa-menyewa dan
gadai-menggadai tambak dilarang, kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak
selama jangka waktu terbatas atau keperluan penggaraman rakyat, setelah ada ijin
dari Asisten Wedana / Kepala Kecamatan yang bersangkutan.