43
Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting mengingat tidak semua urusan pemerintahan dapat dilakukan secara sentralisasi. Hal ini juga terkait dengan adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh peemrintah daerah sejak lahirnya era reformasi. Untuk mengakomodir tuntutan tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Diterbitkannya kedua undang-undang tersebut menjadi legalitas diberlakukannya otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah (Mardiasmo. 2002:59). Kedua undang-undang tersebut berpengaruh terhadap sistem pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur sendiri semua urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2004, pen). Selain itu, salah satu konsekuensi penting dari implementasi otonomi daerah adalah tersedianya sumber-sumber keuangan yang memadai (Jazuli Juwaini. 2007: 14). Maka dari itu, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri keuangannya dalam rangka memenuhi anggaran rumah tangga daerah tersebut dengan meningkatkan dan mendayagunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemberian kewenangan kepada daerah ini juga dimaksudkan agar daerah dapat menyelenggarakan pelayanan publik sesuai aspirasi dan tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. Pemerintah

Compile outline

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Compile outline

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting mengingat tidak semua

urusan pemerintahan dapat dilakukan secara sentralisasi. Hal ini juga terkait

dengan adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh

peemrintah daerah sejak lahirnya era reformasi. Untuk mengakomodir tuntutan

tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang

kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dan UU No. 25 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Diterbitkannya kedua undang-undang tersebut menjadi legalitas diberlakukannya

otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan

memajukan perekonomian daerah dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas

pengelolaan sumber daya daerah (Mardiasmo. 2002:59).

Kedua undang-undang tersebut berpengaruh terhadap sistem

pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah. Daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan

mengatur sendiri semua urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2004, pen).

Selain itu, salah satu konsekuensi penting dari implementasi otonomi daerah

adalah tersedianya sumber-sumber keuangan yang memadai (Jazuli Juwaini.

2007: 14). Maka dari itu, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk

mengatur sendiri keuangannya dalam rangka memenuhi anggaran rumah tangga

daerah tersebut dengan meningkatkan dan mendayagunakan Pendapatan Asli

Daerah (PAD).

Pemberian kewenangan kepada daerah ini juga dimaksudkan agar daerah

dapat menyelenggarakan pelayanan publik sesuai aspirasi dan tuntutan

masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah

melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. Pemerintah

Page 2: Compile outline

2

Universitas Indonesia

daerah juga diharapkan agar dapat menggali potensi yang dimilikinya untuk

meningkatkan pendapatannya. Dengan begitu, daerah memiliki kemandirian

dalam membiayai belanja pemerintahan dan kegiatan pembangunan di daerah

tanpa tergantung pada pusat (Peni Chalid, 2005 : 6).

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, salah satu sumber penerimaan

daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang termasuk dalam PAD yaitu

pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

dan lain-lain PAD yang sah (Jazuli Juwaini. 2007 : 64). Dalam hal PAD,

pemerintah daerah, propinsi, kabupaten dan kota memiliki kewenangan penuh atas

potensi daerah yang dapat meningkatkan PAD, termasuk didalamnya membuat

peraturan-peraturan daerah yang bertujuan untuk mengoptimalkan pendapatan

bagi daerah. Namun demikian, peraturan-peraturan tersebut tetap mengacu kepada

kapasitas lokal dan penciptaan iklim yang kondusif terhadap pertumbuhan

ekonomi dan tidak menyebabkan biaya ekonomi tinggi (Peni Chalid, 2005 : 26).

Hingga saat ini, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih menjadi

andalan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka memaksimalkan PAD.

Pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah diakomodasi dalam Undang-

undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 34 Tahun 2004

sebagaimana yang telah diganti dengan Nomor 28 Tahun 2009. Sehubungan

dengan peningkatan pendapatan daerah, pemungutan pajak daerah dan retribusi

daerah juga terkait dengan implemetasi kebijakan fiskal yang sampai batas-batas

tertentu telah didelegasikan kewenangannya kepada daerah melalui penerapan

desentralisasi fiskal. Kebijakan fiskal yang telah terdesentralisasi ini mencakup

proses identifikasi dan pendaftaran dari wajib pajak daerah dan wajib retribusi

daerah, perhitungan pajak daerah dan retribusi daerah, pemungutan pajak daerah

dan retribusi daerah, serta penegakan hukum atas pengenaan pajak daerah dan

retribusi daerah.

Pengoptimalan pendapatan daerah melalui pajak daerah dan retribusi

daerah dilakukan oleh seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali oleh Provinsi

DKI Jakarta. Sebagai Ibukota Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta menjadi

Page 3: Compile outline

3

Universitas Indonesia

pusat kegiatan pemerintahan, sekaligus pusat kegiatan ekonomi atau bisnis,

hiburan, sosial, kesehatan, juga pembangunan sehingga dengan posisi tersebut,

tentunya Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi pendapatan daerah yang besar.

Salah satunya yaitu dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Dari tahun ke tahun, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah

memiliki kontribusi yang besar dalam pemasukan kas Provinsi DKI Jakarta. Hal

ini dapat dilihat dari Laporan Arus Kas Pemerintah Tahun 2008 dan 2009 sebagai

berikut:

Tabel 1.1 Laporan Arus Kas Masuk Dari Aktivitas Operasi

Provinsi DKI Jakarta Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan31 Desember 2009 dan 2008

Uraian 2009 (Rp) 2008 (Rp)

Pajak Daerah 8.560.134.926.182,00 8.751.273.782.037,00

Retribusi Daerah 416.896.030.531,45 395.639.567.901,00

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

yang Dipisahkan181.130.584.183,00 163.151.310.356,00

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 1.417.146.941.623,83 1.067.227.306.428,03

Dana Bagi Hasil Pajak 8.580.181.348.268,00 8.526.794.672.392,00

Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA) 70.654.581.504,00 176.018.721.255,00

Dana Alokasi Umum - -

Pendapatan Lainnya 10.787.700.000,00 63.378.946.200,00

Total 19.236.923.112.292,30 19.143.484.306.569,03Sumber : Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta. www.jakarta.go.id

Dari tabel diatas, dapat terlihat pemasukan kas terbesar diperoleh dari

Dana Bagi Hasil Pajak, yang kemudian disusul dengan Pajak Daerah dan Lain-

lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Hal ini menggambarkan bahwa

Provinsi DKI Jakarta masih bergantung pada pemasukan yang berasal dari pajak

daerah dan retribusi daerah. Obyek dari pajak daerah dan retribusi daerah di

Provinsi DKI Jakarta cukup banyak dan beragam, salah satunya yang terkait

dengan transportasi.

Page 4: Compile outline

4

Universitas Indonesia

Sebagai kota dengan intensitas kegiatan di berbagai aspek yang tinggi,

kebutuhan akan transportasi di DKI Jakarta menjadi sangat besar. Hal ini

dikarenakan transportasi berperan dalam memobilisasi masyarakat dari satu

tempat ke tempat lainnya. Kondisi ini diperlihatkan dengan volume penggunaan

kendaraan pribadi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di Provinsi DKI

Jakarta, pertambahan jumlah kendaraan pribadi mencapai 1.127 per hari atau

sekitar 9% per tahun dengan pertambahan mobil sebanyak 236 dan motor

sebanyak 891. Data ini sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas

Perhubungan DKI Jakarta (Kompas, 2010). Pertambahan jumlah kendaraan di

Provinsi DKI Jakarta menjadi potensi bagi pendapatan Provinsi DKI Jakarta.

Berikut ini adalah tabel pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta yang terus

meningkat dari tahun 2004 hingga 2008 :

Tabel 1.2 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Bermotor

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 s.d Tahun 2008

Jenis

Kendaraan

Bermotor

2004 2005 2006 2007 2008

Roda 2 1.270.855 1.295.035 1.297.715 1.329.397 1.385.381

Roda 4 1.672.495 1.864.605 2.045.389 2.193.386 2.394.807

Jumlah 2.943.350 3.159.640 3.343.104 3.522.783 3.780.188

Sumber : Data Dinas Pelayanan Pajak Propinsi DKI Jakarta dalam bahan seminar “Tarif Pajak

Progresif PKB” oleh H. Edi Sumantri, M.Si Tahun 2009

Dari tabel diatas, dapat terlihat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan

bermotor rata-rata per tahun mengalami peningkatan sebesar 2,175% dimana

pertambahan paling banyak terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 55.984 unit.

Sementara itu, untuk kendaran roda empat rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya

mencapai 9,39% dimana pertambahan kendaraan roda empat paling banyak terjadi

pada tahun 2008 yaitu sebesar 201.421 unit.

Page 5: Compile outline

5

Universitas Indonesia

Penggunaan kendaraan pribadi tentunya melekat dengan hal perparkiran

karena pengguna kendaraan akan membutuhkan lahan parkir untuk memarkirkan

kendaraannya saat tidak digunakan. Sehubungan dengan penggunaan kendaraan

pribadi yang kian meningkat, penyediaan sarana dan prasarana berupa lahan

parkir pun sangat dibutuhkan untuk menampung kendaraan yang ditinggal

pemiliknya saat melakukan kegiatan. Penyediaan lahan parkir ini dapat dilakukan

di tepi jalan umum (on street) maupun di gedung-gedung atau bangunan (off

street) yang khusus disediakan untuk parkir.

Untuk penyediaan lahan parkir on street, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

dapat mengenakan retribusi kepada pemilik kendaraan yang menggunakan

layanan penyediaan lahan parkir tersebut. Retribusi tersebut dikenakan sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu (penggunaan lahan parkir) yang

diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan pemilik kendaraan. Pemilik

kendaraan mendapat kontraprestasi langsung dari pemerintah yaitu berupa izin

menggunakan lahan parkir dan pemerintah mendapatkan bayaran langsung

langsung bayaran atas pemberian izin tersebut.

Menurut Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 86 tahun 2006

tentang Tarif Parkir, titik parkir on street berjumlah 401 yang tersebar di 5

wilayah DKI Jakarta. Dari titik parkir tersebut, terdapat 12.280 satuan ruang

parkir (SRP). Di lingkungan, tercatat ada lima lokasi dengan 1.457 SRP yang

tersebar di Pasar Baru dan Pasar Mayestik. Titik parkir lainnya yaitu di pelataran

parkir terdapat 1.570 SRP yang tersebar di Lapangan Monas dan Boulevard Barat,

Kelapa Gading (http://bataviase.co.id/node/95710).

Jika melihat kondisi lalu lintas yang setiap hari mengalami kemacetan di

setiap ruas jalan di DKI Jakarta, parkir diharapkan dapat menjadi salah satu

instrumen dalam mengatasi kemacetan tersebut. Dengan begitu, sistem

perparkiran selain menjalankan fungsi budgetternya, juga dapat berperan

menjalankan fungsi regulerend nya sebagai penghambat atau pengendali

penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta.

Kemacetan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sudah berada hampir

diambang batasnya. Kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan di DKI Jakarta

Page 6: Compile outline

6

Universitas Indonesia

sudah tidak lagi dirasakan oleh sebagian orang saja, tetapi sudah menimbulkan

kerugian bagi semua pihak yang menjalankan aktivitasnya di Provinsi DKI

Jakarta. Menurut data yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya pada tahun 2009,

DKI Jakarta akan mengalami keadaan macet total pada tahun 2011 dimana jika

pertumbuhan rata-rata kendaraan bermotor tetap yakni 9% per tahun sedangkan

pertumbuhan rata-rata luas jalan juga tetap, yakni 0,01% per tahun (Kompas,

2010).

Kemacetan di Provinsi DKI Jakarta bukan hanya sebatas persoalan

transportasi, tetapi juga menyebabkan biaya tinggi akibat pemborosan energi,

waktu, dan polusi yang berpengaruh negatif terhadap perputaran perekonomian

nasional. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan yaitu berkurangnya

waktu bergerak dimana dari total waktu perjalanan hanya 40% yang digunakan

untuk bergerak. Selain itu, dari tahun 2007 hingga 2009, kecepatan kendaraan di

jalan turun 25% dari 26 km/jam menjadi 20 km/jam. Jika dilihat dampak

kemacetan pada lingkungan, udara bersih di Provinsi DKI Jakarta hanya 60 hari

dari 1 tahun. Hal ini karena kendaraan yang memenuhi persyaratan gas buang

hanya sedikit yaitu 43% kendaraan pribadi dan 18% kendaraan umum (Kompas,

2010).

Dalam hal ini, masyarakat tak urung menderita kerugian akibat kemacetan.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Kementerian Perhubungan, 63%

dari total penduduk Provinsi DKI Jakarta menghabiskan 20-30% pendapatannya

hanya untuk bertransportasi. Bukan hanya masyarakat yang terkena dampak

negatif dari kemacetan, bahkan negara pun ikut dirugikan. Wakil Menteri

Perhubungan, Bambang Susantono, mengatakan kepada harian Kompas pada hari

minggu 25 Juli 2010 sebagai berikut :

” Saat ini kerugian ekonomi akibat inefisiensi sistem transportasi Rp

5,5 triliun per tahun dan akibat kualitas udara buruk sebesar Rp2,8

triliun per tahun” (Harian Kompas, 26 Juli 2010)

Jika hal ini terus dibiarkan, tentunya kerugian yang diderita oleh

masyarakat maupun pemerintah akan semakin besar, mengingat peran Provinsi

Page 7: Compile outline

7

Universitas Indonesia

DKI Jakarta menjadi pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan. Salah satu

upaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untukmengurai

kemacetan yaitu dengan menaikkan tarif parkir. Kenaikan tarif parkir ini

diharapkan dapat menghentikan niat pengguna kendaraan pribadi untuk

menggunakan kendaraannya. Dengan mengenakan tarif parkir yang tinggi,

pemerintah mengarahkan pola pikir masyarakat untuk tidak menggunakan

kendaraan pribadinya dan beralih menggunakan transportasi umum. Gubernur

Daerah DKI Jakarta, Fauzi Bowo, usai bertemu dengan Kapolda Metro Jaya Irjen

Pol Sutarman, Markas Polda Metro Jaya, Kamis 7 Oktober 2010, mengatakan

rencana kenaikan retribusi parkir dan tarif parkir bertujuan untuk mengurangi

kemacetan dan menertibkan lalu lintas.

"Kenaikan harus dilihat dari konteks penerbitan lalulintas, karena

kalau tidak begitu akan selalu menjadi kendala bagi kelancaran

lalulintas," (www.beritadaerah.com, 2010)

Kenaikan tarif yang akan diberlakukan yaitu tarif parkir yang berlaku

untuk parkir on street maupun parkir of street yang akan dikenakan berdasarkan

zonasi. Zonasi tersebut dibagi berdasarkan tingkat kepadatan aktivitas di daerah-

daerah di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik

untuk membahas tentang bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berzonasi

dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.

I.2 Pokok Permasalahan

Sama seperti daerah lainnya, Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat

pemerintahan masih mengandalkan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai

sumber utama PAD nya. Salah satu jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang

dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu parkir. Melihat jumlah

penggunaan kendaraan pribadi yang sangat besar dan terus bertambah setiap

tahunnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi penerimaan dari parkir yang

besar. Namun pada kenyataannya, parkir belum dapat memberikan kontribusi

Page 8: Compile outline

8

Universitas Indonesia

yang optimal. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya diduga terdapat

kebocoran penerimaan dari pajak maupun retribusi parkir.

Selain menjalankan fungsinya sebagai sumber pendapatan, parkir juga

diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai pengendali penggunaan

kendaraan pribadi untuk mengatasi kemacetan. Untuk mewujudkan hal tersebut,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan untuk menaikkan tarif parkir

dalam mendukung terlaksananya fungsi regulerend parkir.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berdasarkan zonasi dalam

retribusi parkir di provinsi DKI Jakarta?

2. Apa saja kelebihan dan kelemahan kebijakan tarif parkir berzonasi dalam

retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta?

I.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan diatas, adapun

tujuan penelitian ini adalah :

1. Menggambarkan dan menganalisis formulasi kebijakan tarif parkir

berdasarkan zonasi di provinsi DKI Jakarta.

2. Menggambarkan dan menganalisis kelebihan dan kelemahan kebijakan

tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta

I.4 Signifikansi Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh signifikansi penelitian yang

positif baik secara akademis maupun praktis, yaitu:

1. Signifikansi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan

dan wawasan akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam

bidang perpajakan terutama yang berhubungan dengan kebijakan

penerapan sistem perparkiran di DKI Jakarta.

Page 9: Compile outline

9

Universitas Indonesia

2. Signifikansi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan instansi yang terkait dalam

penerapan sistem perparkiran di DKI Jakarta.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi ke dalam enam bab. Enam Bab tersebut akan

digambarkan melalui sistematika berikut ini:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah

yang menjadi tema penelitian. Selain itu peneliti juga

menjelaskan pokok permasalahan yang akan dibahas,

tujuan penelitian, signifikasni penelitian serta sistematika

penulisan skripsi ini.

BAB 2 KERANGKA TEORI

Bab ini merupakan penjabarkan sejumlah hasil penelitian

sejenis yang menjadi rujukan bagi penelitian ini. Peneliti

juga membahas mengenai konsep-konsep yang digunakan

sebagai landasan pemikiran terkait dengan permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini.

BAB 3 METODE PENELITIAN

Bab ini memaparkan metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini yang terdiri dari pendekatan penelitian,

jenis penelitian, metode penelitian, proses penelitian, site

penelitian, batasan penelitian, serta keterbatasan yang

dialami oleh peneliti selama penelitian ini berlangsung.

Page 10: Compile outline

10

Universitas Indonesia

BAB 4 GAMBARAN UMUM RETRIBUSI ATAS PARKIR DI

PROVINSI DKI JAKARTA

Pada bab ini berisi mengenai gambaran umum dari objek

penelitian. Gambaran umum yang dijelaskan yaitu terkait

dengan implementasi pajak parkir dan retribusi parkir di

Propinsi DKI Jakarta.

BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN TARIF

PARKIR BERZONASI DALAM RETRIBUSI

PARKIR DI PROVINSI DKI JAKARTA

Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang telah

dilakukan peneliti melalui kegiatan observasi, wawancara

mendalam, dan studi dokumen atau kepustakaan. Bagian

ini adalah inti dari penelitian karena memuat paparan

analisis yang telah dilakukan peneliti untuk menjawab

permasalahan penelitian yang telah diajukan.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini merupakan penutup skripsi yang berisikan

simpulan analisis dan jawaban permasalahan penelitian

serta rekomendasi yang dapat diberikan terkait

permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

Page 11: Compile outline

11

Universitas Indonesia

BAB 2

KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta bukanlah

suatu hal baru yang dijadikan tema penelitian. Oleh karena itu, peneliti

menjadikan beberapa penelitian terdahulu sebagai bahan referensi komparatif atau

tinjauan pustaka. Tinjauan kepustakaan yang pertama diambil dari penelitian yang

dilakukan oleh Dedyanto. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 ini berjudul

“Analisis Efektivitas Pendapatan Retribusi Parkir Propinsi DKI Jakarta”. Tujuan

dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui efektivitas administrasi

pendapatan penerimaan retribusi dan kontribusi parkir di DKI Jakarta

dibandingkan dengan kinerja administrasi pendapatan retribusi lainnya serta jika

dibandingkan dengan kinerja/efektivitas dan efisiensi pendapatan retribusi parkir

di Propinsi lain. Tujuan lainnya yaitu untuk mengetahui faktor-faktor apa yang

berpengaruh terhadap tingkat efektivitas pendapatan retribusi dan kontribusi

parkir di Propinsi DKI Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk

mengetahui seberapa jauh faktor-faktor diatas mempengaruhi pendapatan retribusi

dan kontribusi parkir di Propinsi DKI Jakarta.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif

dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

studi kepustakaan dan wawancara serta observasi. Dari penelitian tersebut

didapatkan hasil bahwa pendapatan retribusi parkir Propinsi DKI Jakarta secara

keseluruhan menunjukkan kinerja yang kurang efektif, dimana target yang telah

ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tidak pernah tercapai. Sementara

itu pengaruh premanisme terhadap efektivitas pendapatan retribusi parkir ternyata

sangat signifikan dan pola atau sistem pengendalian pemungutan retribusi parkir

mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pendapatan retribusi parkir.

Penelitian selanjutnya yang peneliti jadikan sebagai tinjauan pustaka yaitu

tesis yang berjudul “Kajian Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta Melalui

Page 12: Compile outline

12

Universitas Indonesia

Retribusi Parkir (Menuju Pelaksanaan Pajak Parkir)”. Penelitian ini dilakukan

oleh Sudiyono pada tahun 2003. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk

menjelaskan kondisi aktual penyelenggaraan perparkiran di Propinsi DKI Jakarta

berkaitan dengan proses menuju pelaksanaan pemungutan pajak parkir dan untuk

memformulasikan upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI

Jakarta dalam rangka mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor perparkiran.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis penelitian

eksplanatoris. Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengumpulkan

data primer yaitu dengan metode observasi dan wawancara (studi lapangan)

sedangkan untuk data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen seperti

laporan, karya tulis orang lain, koran, majalah atau mendapatkan informasi dari

orang lain.

Dari penelitian yang dilakukan, peneliti mendapatkan hasil bahwa

problematika pengelolaan atau penyelenggaraan perparkiran di Propinsi DKI

Jakarta sebagai Kota Metropolitan merupakan persoalan yang kompleks yang

terkait dengan berbagai aspek, khususnya aspek Keuangan (Pendapatan) Daerah

(melalui Retribusi Parkir), Lalu Lintas, Sumberdaya Manusia, dan lain-lain,

sehingga dalam penataannya harus diselesaikan dengan sistem yang terintegrasi

(integrated system). Sementara itu dari aspek Pendapatan Daerah, yakni melalui

Retribusi Parkir sangat berpotensi untuk di masa mendatang. Upaya Optimalisasi

Pendapatan Daerah melalui Retribusi Parkir sangat terkait dengan aspek-aspek

penataan dan pengembangan kawasan perkotaan.

Selain melakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian yang membahas

mengenai retribusi parkir, peneliti juga melakukan tinjauan pustaka terhadap

penelitian yang membahas tentang “Analisis Tarif Retribusi Kebersihan Di DKI

Jakarta”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Lenny Marlina pada tahun 2003 yang

bertujuan untuk mengetahui struktur tarif retribusi kebersihan di DKI Jakarta.

Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah tarif retribusi

kebersihan di DKI Jakarta sudah memenuhi prinsip cost recovery atau belum dan

untuk mengetahui peranan retribusi kebersihan terhadap biaya pengelolaan

kebersihan.

Page 13: Compile outline

13

Universitas Indonesia

Metode penelitian tersebut adalah kualitatif dengan jenis penelitian

deskriptif analitis. Sementara itu, pengumpulan data dilakukan dengan studi

kepustakaan dan studi lapangan melalui observasi dan wawancara. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tarif retribusi kebersihan yang pada saat itu

berlaku di DKI Jakarta belum menggambarkan semua pengeluaran yang

diperlukan untuk biaya pengelolaan kebersihan. Hasil berikutnya menunjukkan

struktur tarif retribusi kebersihanyang terdapat pada Perda sudah cukup baik

dimana struktur tarif disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk

membayar. Selain itu, peranan retribusi sampah terhadap biaya pegelolaan

kebersihan masih rendah.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian yang

dilakukan oleh peneliti mengambil judul “Analisis Formulasi Kebijakan Tarif

Parkir Berzonasi dalam Retribusi Parkir di Provinsi DKI Jakarta”. Penelitian yang

dilakukan pada tahun 2011 ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis

bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir di

Provinsi DKI Jakarta. Selain itu juga untuk menggambarkan dan menganalisis

kelebihan dan kelemahan dari tarif parkir berzonasi dalam retrusi parkir di

Provinsi DKI Jakarta. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu

pendekatan kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif. Adapun

teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dengan

mempelajari karya tulis ilmiah, jurnal, paper, sumber elektronik, media cetak dan

lain-lain. Selain itu peneliti juga menggunakan studi lapangan dengan melakukan

wawancara mendalam kepada narasumber yang kompeten dalam bidangnya.

Perbandingan tinjauan pustaka yang telah disebutkan diatas dapat digambarkan

dalam tabel sebagai berikut :

Page 14: Compile outline

14

Universitas Indonesia

Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Tinjauan Pustaka

Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti

Nama Dedyanto Susdiyono Lenny Marlina Dias Esantika Ningtias

Judul Analisis Efektivitas PendapatanRetribusi Parkir Propinsi DKIJakarta

Kajian Pendapatan DaerahPropinsi DKI Jakarta MelaluiRetribusi Parkir (MenujuPelaksanaan Pajak Parkir)

Analisis Tarif Retribusi KebersihanDi DKI Jakarta

Analisis Formulasi KebijakanTarif Parkir Berzonasi dalamRetribusi Parkir di Provinsi DKIJakarta

TujuanPenelitian

1. Untuk mengetahuiefektivitas administrasipendapatan penerimaanretribusi dan kontribusiparkir di DKI Jakartadibandingkan dengan kinerjaadministrasi pendapatanretribusi lainnya serta jikadibandingkan dengankinerja/efektivitas danefisiensi pendapatanretribusi parkir di Propinsilain.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berpengaruhterhadap tingkat efektivitaspendapatan retribusi dankontribusi parkir di PropinsiDKI Jakarta.

1. Untuk menjelaskan kondisiaktual penyelenggaraanperparkiran di Propinsi DKIJakarta berkaitan denganproses menuju pelaksanaanpemungutan pajak parkir.

2. Untuk memformulasikanupaya yang dapat dilakukanoleh Pemerintah PropinsiDKI Jakarta dalam rangkamengoptimalkan pendapatandaerah dari sektorperparkiran.

1. Untuk mengetahui struktur tarifretribusi kebersihan di DKIJakarta.

2. Untuk mengetahui apakah tarifretribusi kebersihan di DKIJakarta sudah memenuhi prinsipcost recovery atau belum.

3. Untuk mengetahui perananretribusi kebersihan terhadapbiaya pengelolaan kebersihan.

1. Untuk menggambarkan danmenganalisis bagaimanaformulasi kebijakan tarifparkir berzonasi dalamretribusi parkir di ProvinsiDKI Jakarta.

2. Untuk menggambarkan danmenganalisis kelebihan dankelemahan dari tarif parkirberzonasi dalam retrusi parkirdi Provinsi DKI Jakarta.

Page 15: Compile outline

15

Universitas Indonesia

Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti

3. Untuk mengetahui seberapajauh faktor-faktor diatasmempengaruhi pendapatanretribusi dan kontribusiparkir di Propinsi DKIJakarta.

MetodePenelitian

Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

JenisPenelitian

Deskriptif Deskriptif Deskriptif Deskriptif

TeknikPengumpulanData

1. Studi kepustakaan2. Studi lapangan (observasi

dan wawancara)

1. Studi kepustakaa2. Studi lapangan (observasi

dan wawancara)

1. Studi kepustakaa2. Studi lapangan (observasi dan

wawancara)

1. Studi kepustakaan2. Studi lapangan (observasi dan

wawancara)

HasilPenelitian

1. Pendapatan retribusi parkirPropinsi DKI Jakarta secarakeseluruhan menunjukkankinerja yang kurang efektif,dimana target yang telahditetapkan oleh PemerintahPropinsi DKI Jakarta tidakpernah tercapai.

2. Pengaruh premanismeterhadap efektivitaspendapatan retribusi parkirternyata sangat signifika.

3. Pola atau sistempengendalian pemungutanretribusi parkir mempunyai

1. Problematika pengelolaanatau penyelenggaraanperparkiran di Propinsi DKIJakarta sebagai KotaMetropolitan merupakanpersoalan yang kompleksyang terkait dengan berbagaiaspek, khususnya aspekKeuangan (Pendapatan)Daerah (melalui RetribusiParkir), Lalu Lintas,Sumberdaya Manusia, danlain-lain, sehingga dalampenataannya harusdiselesaikan dengan sistem

1. Tarif retribusi kebersihan yangpada saat itu berlaku di DKIJakarta belum menggambarkansemua pengeluaran yangdiperlukan untuk biayapengelolaan kebersihan. Hasilberikutnya menunjukkan strukturtarif retribusi kebersihanyangterdapat pada Perda sudah cukupbaik dimana struktur tarifdisesuaikan dengan kemampuanmasyarakat untuk membayar.Selain itu, peranan retribusisampah terhadap biayapegelolaan kebersihan masih

Page 16: Compile outline

16

Universitas Indonesia

Sumber : Hasil olahan peneliti

Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti

pengaruh terhadapefektivitas pendapatanretribusi parkir.

yang terintegrasi (integratedsystem).

2. Dari aspek PendapatanDaerah, yakni melaluiRetribusi Parkir sangatberpotensi untuk di masamendatang.

3. Upaya OptimalisasiPendapatan Daerah melaluiRetribusi Parkir sangatterkait dengan aspek-aspekpenataan danpengembangan kawasanperkotaan.

rendah.

Page 17: Compile outline

17

Universitas Indonesia

2.2 Konstruksi Model Teoritis

2.2.1 Kebijakan Publik

Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam

praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau

keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan

(goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design

(Jones, 1984 : 25). Sementara itu, Anderson menyatakan istilah kebijakan atau

policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang

pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor

dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita

gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa,

namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih

bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik (Anderson,

1969 : 4).

Definisi lainnya datang dari Eyestone, secara luas kebijakan publik dapat

didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya

(Eyestone, 1971 : 18). Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan

kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Sedangkan Dye merumuskan

kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan dan

tidak dilakukan (Dye, 1975 : 1).

Proses penyusunan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks

karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena

itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik

membagi proses penyusunan kebijakan publik menjadi beberapa tahap. Tujuan

pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji

kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap

ini dengan urutan yang berbeda. Seperti misalnya, tahap penilaian kebijakan

seperti yang tercantum dalam bagan di bawah ini bukan merupakan tahap akhir

dari proses kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yaitu tahap

Page 18: Compile outline

18

Universitas Indonesia

perubahan kebijakan dan terminas atau penghentian kebijakan. Menurut Dunn,

tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut (Dunn, 1999 : 5):

Gambar 2.1 Tahap-tahap Kebijakan Publik

Sumber : Dunn, Willian. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Press.Hal 33

Berdasarkan gambar di atas, kebijakan public dapat dibagi menjadi

beberapa tahap sebagai berikut :

1. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu

PenyusunanAgenda

FormulasiKebijakan

AdopsiKebijakan

EvaluasiKebijakan

ImplementasiKebijakan

Page 19: Compile outline

19

Universitas Indonesia

untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa

masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap

ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah

yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah

karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut

berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives /

policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah

untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan

kebijakan masing-masing aktor akan ‘bermain’ untuk mengusulkan

pemecahan masalah tersebut.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan

tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus

antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan

program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan

masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan

administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan

yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap

implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa

implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana

(implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh

para pelaksana.

Page 20: Compile outline

20

Universitas Indonesia

5. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilain atau

dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu

memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk

meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal itu, memecahkan masalah

yang dihadapi masyarakat.Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran

atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan

publik telah meraih dampak yang diinginkan.

2.2.2 Kebijakan Fiskal

Salah satu contoh dari kebijakan public yaitu kebijakan fiskal. Definisi

kebijakan fiskal dapat dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari pengertian yang luas

dan pengertian yang sempit. Menurut Tanzi, kebijakan fiskal menurut pengertian

yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat,

kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrument pemungutan

pajak dan pengeluaran belanja negara (Tanzi, 1991 : 9).

Kebijakan fiskal dalam pengertian luas bertujuan untuk mempengaruhi

jumlah total pengeluaran masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan jumlah seluruh

produksi masyarakat, banyaknya kesempatan kerja dan pengangguran, tingkat

harga umum dan inflasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, lazimnya

kebijakan fiskal disertai dengan kebijakan moneter (Mansury, 1999 :1). Menurut

Tanzi seperti yang dikutip oleh Mansury, kebijakan fiskal memiliki empat fungsi,

yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, fungsi stabilisasi dan fungsi untuk

mendorong pertumbuhan (Mansury, 1999 : 21).

Sementara itu, dalam pengertian sempit kebijakan fiskal disebut juga

kebijakan perpajakan. Definisi dari kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah

kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai

tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-

apa yang a kan dijadikan sebagai objek pajak, apa-apa saja yang dikecualikan,

bagaimana menentukan besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana

Page 21: Compile outline

21

Universitas Indonesia

menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terutang (Rosdiana, 2005 :

93).

Menurut Michael P. Devereux yang dikutip oleh Rosdiana dalam bukunya,

isu-isu penting yang harus diperhatikan dalam kebijakan pajak adalah sebagai

berikut :

1. What should the tax base be : income, expenditure, or a hybrid?

2. What should the tax rate schedule be?

3. How sould international income plows be taxed?

4. How should environmental taxes be designed? (Rosdiana, 2005 : 94).

2.2.3 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi

negara/pemerintah, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi

maupun kombinasi antara keempatnya. Pada hakikatnya fungsi pajak dibedakan

menjadi dua, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regurelend (Rosdiana, 2005 : 39).

1. Fungsi budgetair

Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas negara (to raise

government’s revenue). Fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi

penerimaan (revenue function). Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang

baik sudah seharusnya memenhi asas revenue productivity (Rosdiana, 2005 : 39).

Kemudian Mansyuri menyatakan fungsi pajak pertama yaitu mengisi kas negara

(budgetair) yang merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi

kas negara untuk kegiatan pemerintahan, baik pembiayaan rutin maupun

pembiayaan pembangunan (Mansury, 1999 : 3).

Brotodihadjo juga merumuskan fungsi budgetair sebagai fungsi yang

letaknya di sektor public, dan pajak-pajak disini merupakan suatu alat (atau suatu

sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang

pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara

(Brotodihardho, 1995 : 205). Lebih lanjut Nurmantu menyatakan bahwa fungsi

budgetair disebut fungsi utama fiskal (fiscal function) yaitu suatu fungsi dalam

mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke

Page 22: Compile outline

22

Universitas Indonesia

kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku (Nurmantu, 2003

: 30).

Yang dimaksud dengan memasukkan dana secara optimal ke kas negara

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku adalah :

1) Jangan sampai ada Wajib Pajak/Subjek Pajak yang tidak memenuhi

sepenuhnya kewajiban perpajakannya.

2) Jangan sampai ada Objek Pajak yang tidak dilaporkan oleh Wajib

Pajak kepada fiskus.

3) Jangan sampai ada Objek Pajak yang terlepas dari pengamatan atau

penghitungan fiskus. (Nurmantu, 2003 : 30).

Dengan demikian maka optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tidak

hanya tergantung kepada fiskus saja atau kepada Wajib Pajak saja, akan tetapi

kepada kedua-keduanya berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku

(Nurmantu, 2003 : 30).

2. Fungsi Regurelend

Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan,

yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat

untuk mencapai tujuan tertentu (Mansury, 1996 : 36). Pajak dalam fungsi

regulerend dimaksudkan agar pajak dapat dijadikan sebagai alat pengatur atau

sebagai alat regulasi. Senada dengan Mansury, Rosdiana juga menyatakan bahwa

pajak digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Rosdiana, 2005 : 39). Untuk

mencapai tujuan tersebut maka pajak digunakan sebagai alat kebijaksanaan.

Brotodihardjo mengatakan bahwa dengan fungsi mengaturnya, pajak

digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya

diluar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor

swasta (Brotodihardho, 1995 : 205). Dalam membuat peraturan tentang

perpajakan, pembuat undang-undang tidak hanya mementingkan unsur fungsi

budgetair, tetapi ada kalanya bahwa tujuan mengatur ini diutamakan sehingga

hasil pemungutan pajaknya tidak begitu lagi dianggap penting (Brotodihardho,

Page 23: Compile outline

23

Universitas Indonesia

1995 : 206). Mardiasmo juga merumuskan fungsi mengatur dari pajak yaitu pajak

sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam

bidang sosial dan ekonomi (Mardismo, 1997 : 2).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini,peneliti membahas bagaimana tarif

pajak dan retribusi parkir dapat menjalankan fungsi mengaturnya dengan

dijadikan instrumen dalam mengendalikan jumlah pemakaian kendaraan

bermotor. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengurangi tingkat kemacetan yang

terjadi di Provinsi DKI Jakarta.

2.2.4 Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian

atau karena jasa yang diberikan daerah. Lapangan retribusi adalah seluruh

lapangan pungutan yang diadakan untuk keuangan daerah sebagai pengganti jasa

daerah (Samudra, 1995 : 273). Suparmoko merumuskan retribusi daerah

merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

tertentu yang khusus disediakan pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau

badan (Suparmoko, 2002 : 106).

Retribusi pada umumnya terkait dengan adanya prestasi kembali yang

didapat secara langsung. Pembayaran retribusi memang ditujukan semata-mata

untuk mendapatkan suatu prestasi tertentu dari pemerintah. Retribusi juga

berdasarkan pula atas peraturan-peraturan yang berlaku umum, untuk menaatinya

yang berkepentingan dapat pula dipaksa, yaitu : barang siapa yang ingin mendapat

suatu prestasi tertentu dari pemerintah, harus membayar (Brotodihardho, 1995 :

7).

Pendapat lainnya mengenai retribusi yaitu datang dari Fisher yang

menyatakan sebagai berikut :

“User charges is prices charged by governments for specific

services or privilege and used to pay for all of part the cost of

providing those services, which one function is to make consumers

face the true costs of consumption decisions, and creating an

incentive for efficient choice.” (Fisher, 1996 : 174)

Page 24: Compile outline

24

Universitas Indonesia

Menurut Fisher, retribusi merupakan biaya yang langsung dilimpahkan

kepada konsumen yang menggunakan fasilitas atau mengkonsumsi barang dan

jasa serta menggunakan pelayanan yang disediakan pemerintah. Selain itu, senada

dengan Fisher, Davey memberikan pendapat mengenai retribusi, yakni

pembayaran langsung oleh mereka yang menikmati pelayanan yang disediakan

pemerintah dan dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya

pelayanannya (Davey, 1988 : 130).

Dari pengertian mengenai retribusi diatas, dapat diketahui pemungutan

retribusi berbeda dengan pemungutan pajak karena di dalam kebijakan

pemungutan retribusi pihak yang diwajibkan membayar adalah pengguna layanan

yang diberikan atau disediakan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh

Zorn mengenai retribusi sebagai berikut :

“User charges are defined as payments that can be avoided by not

using the services without regard to whether the service possesses

public good characteristics.” (Zorn, 1991 : 136)

Berdasarkan karakteristiknya, Zorn membagi retribusi ke dalam tiga jenis,

yaitu :

1. Utility charges

Yaitu biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang menggunakan

barang-barang publik tertentu yang disediakan pemerintah, yang

bertujuan untuk membatasi penggunaan masyarakat akan konsumsi

barang public tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya

kelangkaan. Contohnya seperti pengenaan biaya untuk listrik, air

bersih dan sebagainya.

2. User Charges and fees

Yaitu biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang menikmati

barang dan jasa yang disediakan pemerintah yang tidak sepenuhnya

dibebankan kepada pengguna, melainkan ada subsidi dari pemerintah.

Page 25: Compile outline

25

Universitas Indonesia

Contohnya adalah biaya yang dikenakan pada saat berobat di

puskesmas, biaya kunjungan ke museum, dan sebagainya.

3. License and permit fees

Yaitu biaya yang dibebankan pemerintah menyangkut pemberian izin

tertentu yang diberikan kepada masyarakat, sehingga penerimaannya

digunakan untuk mengurangi dampak negative dari pemberian izin

tersebut. contohnya adalah pembebanan biaya pengujian kendaraan

bermotor, izin mendirikan bangunan dan sebagainya. (Zorn, 1991 :

138)

Berdasarkan berbagai konsep yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa retribusi merupakan pembayaran sukarela yang dibebankan

kepada konsumen yang mendapatkan pelayanan ataupun mengkonsumsi barang

dan jasa yang disediakan pemerintah dengan tujuan untuk menutupi seluruh

ataupun sebagian dari biaya pelayanan yang diberikan, dan konsumen menerima

kontraprestasi secara langsung dari pembayaran retribusi tersebut.

Menurut Davey, jenis pelayanan yang dapat dikenakan retribusi antara lain

sebagai berikut :

1. Pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang sehingga

tidak wajar untuk membebankan biaya tersebut kepada para wajib

pajak yang tidak mengkonsumsi barang dan jasa tersebut.

2. Barang dan jasa yang melibatkan sumber yang langka dan mahal

sehingga diperlukan disiplin masyarakat dalam mengkonsumsinya.

3. Barang dan jasa yang bervariasi/bermacam-macam dan bukan

termasuk jenis kebutuhan primer sehingga hanya dibutuhkan sewaktu-

waktu.

4. Jasa-jasa yang dapat digunakan untuk kegiatan mencari keuntungan di

samping untuk memuaskan kebutuhan individu.

5. Jasa yang menguji arah dan skala permintaan masyarakat, dimana

kebutuhan pokok dan standar penyediaan tidak dapat ditentukan

dengan tegas. (Davey, 1988 : 135-136)

Page 26: Compile outline

26

Universitas Indonesia

Berdasarkan keterangan diatas, maka tidak semua jenis pelayanan dapat

dikenakan retribusi. Akan tetapi hanya jasa-jasa tertentu yang menurut

pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi

(Bratakusumah, 2001 : 283). Dengan demikian, retribusi daerah dapat

digolongkan ke dalam tiga jenis, antara lain :

1. Jasa umum, yaitu pelayanan yang disediakan pemerintah daerah

(pemda) untuk kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang

atau badan, dan tarif yang dikenakan harus memperhatikan

kemampuan masyarakat (aspek keadilan). Pembayaran retribusi dalam

jasa umum dapat dihindari dengan tidak mengkonsumsi barang dan

jasa yang disediakan pemda.

2. Jasa usaha, yaitu pelayanan pemda dengan menganut prinsip

komersial sehingga tarif yang dikenakan ditentukan berdasarkan tujuan

memperoleh keuntungan yang layak. Pembayaran retribusi jasa usaha

dapat dihindari dengan tidak mengkonsumsi barang dan jasa yang

disediakan pemda.

3. Perizinan tertentu, yaitu kegiatan pemda dalam rangka pemberian

izin kepada orang pribadi atau badan untuk pembinaan, pengaturan,

pengendalian dan pengawasan serta penggunaan fasilitas tertentu guna

melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, pembayarannya tidak dapat dihindari karena dengan

tidak membayar retribusi otomatis tidak mendapatkan izin pemda

untuk melakkan kegiatan.

Selanjutnya, menurut Zorn ada tiga sayarat utama yang harus dipenuhi

agar retribusi dapat membiayai pelayanan yang dilaksanakan. Adapun ketiga

syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Benefit separability

Identifikasi terhadap individu yang menggunakan pelayanan yang

secara langsung bermanfaat bagi individu bersangkutan atas konsumsi

suatu barang dan jasa. Hal ini dikarenakan biaya konsumsi atas barang

Page 27: Compile outline

27

Universitas Indonesia

dan jasa tersebut ditanggung oleh indivisu/kelompok yang

menggunakannya, bukan ditanggung oleh masyarakat umum.

b. Chargeability

Syarat ini mengharuskan adanya kemungkinan untuk meniadakan

individu dari kegiatan mengkonsumsi barang atau jasa apabila mereka

tidak membayar.

c. Voluntarism

Individu-individu harus memilih dengan benar pelayanan maupun

barang atau jasa yang akan dikonsumsi. (Zorn, 1991 : 143)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, retribusi hanya dikenakan

kepada orang atau badan yang menggunakan pelayanan tertentu yang

diberikan/disediakan oleh pemerintah. Mengingat tidak semua pengguna

layanan/jasa dari pemerintah adalah orang/badan yang memiliki kapasitas

ekonomi yang tinggi, maka pemungutan retribusi pun harus memenuhi prinsip

keadilan. Prinsip keadilan dapat diterapkan dalam menentukan kebijakan

penetapan harga retribusi. Zorn berpendapat ada dua pendekatan kebijakan

penetapan harga dalam pengenaan retribusi, yaitu sebagai berikut :

1. Full Cost Pricing

Dalam full cost pricing, penetapan besarnya biaya retribusi yang

dibebankan pada konsumen menutupi semua biaya yang dikeluarkan

dalam pelaksanaan layanan. Artinya, semua biaya tersebut sepenuhnya

ditanggung oleh konsumen penerima layanan.

2. Marginal Cost Pricing

Marginal cost pricing lebih bersifat ekonomis karena biaya yang

dibebankan oleh konsumen penerima layanan tidak sepenuhnya

ditanggung oleh konsumen, melainkan mendapatkan subsidi dari

pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh konsumen hanya biaya

operasional (variable cost)-nya saja, bahkan mungkin biaya

operasional tersebut tidak sepenuhnya dibayar oleh konsumen. (Zorn,

1991 : 147)

Page 28: Compile outline

28

Universitas Indonesia

Penetapan harga dengan menggunakan kebijakan marginal cost pricing ini

menuai kontra atau kritik karena biaya yang ditanggung konsumen tidak penuh

dapat menyebabkan tidak meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun

kebijakan ini dianggap sudah memenuhi unsur keadilan karena konsumen yang

berpenghasila rendah bisa mendapatkan jenis pelayanan tertentu yang telah

disediakan pemerintah daearh tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Davey

memberikan pendapat bahwa ada empat alasan utama mengapa penetapan harga

melalui kebijakan marginal cost pricing ini dilakukan, yaitu :

a. Pelayanan tersebut didasarkan oleh karena jenis barang public yang

disediakan bukan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi harus

dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi.

b. Pelayanan yang sebagian merupakan barang private dan sebagian lagi

merupakan barang public, dimana retribusi tidak hanya bertujuan

utnuk memberikan keuntungan bagi individu pemakai, tetapi

konsumsinya perlu didorong untuk kepentingan tabungan atau

keuntungan masyarakat.

c. Pelayanan yang seluruhnya merupakan barang private yang menjadi

kebutuhan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah tidak

membebankan masyarakat dengan full cost-nya.

d. Pelayanan yangmenyangkuyt barang-barang swasta yang mungkin

disubsidi karena dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan

kelompok-kelompok berpenghasilan rendah sehingga tidak mungkin

untuk menerapkan kebijakan harga full cost. (Davey, 1988 : 144-145)

2.2.5 Struktur Tata Ruang Kota

Pembagian kota menjadi beberapa zona atau wilayah pertama kali

dikemukakan oleh E.W. Burgess yang kemudian dikenal dengan Teori

Konsentris. Menurut Burgess seperti yang dikutip oleh Yunus, suatu kota akan

terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus

mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda. Keteraturan pola penggunaan

lahan merupakan hasil dari produk dan sekaligus proses interrelasi antar elemen-

Page 29: Compile outline

29

Universitas Indonesia

elemen di kota tersebut (Yunus, 1999 : 5). Pembagian kota menjadi beberapa zona

dapat dilihat dari gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Model Zona Konsentris

Sumber : Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, hal 5.

Berdasarkan gambar diatas, kota dapat dibagi menjadi beberapa zona sebagai

berikut :

1. Daerah Pusat Kegiatan (Central Bussiness District/CBD)

Daerah ini merupakan pusat dari segala kegitana kota antara lain

politik, sosial, ekonomi dan teknologi.

2. Zona Peralihan (Transition Zone)

Zona ini merupakan zona yang berada satu tingkat di luar CBD yang

menjadi penghubung antara CBD dengan zona perumahan para

pekerja. Zona ini sering disebut sebagai zona transisi penduduk ke

CBD. Namun seiring perkembangan kota, zona peralihan ini

5

4

3

21

Page 30: Compile outline

30

Universitas Indonesia

mengalami deteriorisasi lingkungan pemukiman yang diakibatkan

oleh interusi fungsi dari CBD.

3. Zona Perumahan Para Pekerja (Zone of Working Men’s Homes)

Zona yang menjadi tempat tinggal bagi penduduk yang menjadi

pekerja pabrik-industri (menengah ke bawah) yang menginginkan

tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya.

4. Zona Pemukiman yang Lebih Baik (Zone of Better Residences)

Zona ini dihuni oleh penduduk atau pekerja yang berstatus ekonomi

menengah ke atas. Biasanya terdiri dari pengusaha, profesional,

pegawai dan lain-lain.

5. Zona Para Penglaju (Zone of Commuters).

Zona yang terbentuk sebagai akibat dari interaksi dan interrelasi

elemen-elemen sistem kehidupan perkotaan.

Selanjutnya, pengembangan dari teori konsentris yang menggambarkan

mengenai penggunaan lahan terkait dengan teori nilai lahan yang dikemukaan

oleh Mather yang juga dikutip oleh Yunus. Teori ini menjelaskan bahwa nilai

lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang sangat erat. Nilai lahan ini

ditentukan oleh lokasi yang banyak berkaitan dengan masalah aksesibilitas.

Dalam hal ini, lokasi tertentu memiliki nilai yang lebih tinggi daripada lokasi

yang lain. Derajat aksesibilitas lah yang menyebabkan tinggi rendahnya nilai

lahannya. Semakin tinggi aksesibilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai

lahannya dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang

atau jasa. Tingkat aksesibilitas tersebut dipengaruhi oleh :

a) Potential Shoppers dalam jumlah yang besar;

b) Kemudahan untuk datang dan pergi atau ke dan dari lokasi tersebut.

(Yunus, 1999 : 88)

Oleh karena studi ini dilakukan di daerah perkotaan yang orientasi

penggunaan lahannya adalah non pertanian, maka penilaian atas lahan dilakukan

secara tidak langsung yaitu dengan mengukur produktivitas lahan yang

Page 31: Compile outline

31

Universitas Indonesia

diakibatkan oleh keberadaan lokasi. Atas dasar inilah struktur penggunaan lahan

kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar lahan tersebut.

Memang faktor ekonomi bukan merupakan faktor satu-satunya penentu

penggunaan lahan karena faktor-faktor lain seperti faktor sosial dan politik juga

berperanan besar, namun kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasi dan

tidak dapat diabaikan begitu saja dalam setiap analisa penggunaan lahan di dalam

dan di sekitar kota (Yunus, 1999 : 89).

Aksessibilitas juga didukung oleh adanya transportasi sebagai sarana

perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada dasarnya, peranan

transportasi juga mempengaruhi struktur keruangan kota. Ide ini pertama kali

dikemukakan oleh Babcock yang disadur oleh Yunus sebagai ide penyempurna

teori konsentris yang kemudian dikenal dengan teori poros. Dalam teori

konsentris, terdapat asumsi bahwa mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk

mempunyai intensitas yang dalam konfigurasi relief yang seragam. Oleh karena

pada kenyataannya terdapat faktor utama yang mempengaruhi mobilitas ini, maka

dalam beberapa hal mesti akan terjadi distorsi model (Yunus, 1999 : 42).

Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi

yang menghubungkan Central Bussiness District (CBD) dengan daerah bagian

luarnya. Keberadaan poros transportasi menurut Babcock akan mengakibatkan

distorsi pola konsentrasi karena sepanjang rute transportasi tersebut berasosiasi

dengan mobilitas yang tinggi. Daerah yang dilalui transportasi mempunyai

perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang berada di antara jalur-jalur

transportasi ini. Akibat kerugian yang timbul adalah suatu bentuk persebaran

keruangan yang disebut star-shapped/octopus like pattern. Dalam hal ini

aksesibilitas diartikan dalam perbandingan antara waktu dan biaya (time-cost

term) dalam hubungannya dengan sistem transportasi yang ada (Yunus, 1999 :

42).

Perkembangan zona-zona yang ada pada daerah sepanjang poros

transportasi akan terlihat lebih besar dengan daerah yang terletak di antaranya

(interstitial areas). Perkembangan di sepanjang poros “dibatasi” oleh persaingan

dengan daerah yang lebih dekat dengan CBD walau yang tersebut kedua ini tidak

Page 32: Compile outline

32

Universitas Indonesia

dilayani dengan fasilitas transportasi yang cepat. Dengan kata lain daerah yang

tidak dilayani oleh fasilitas transportasi yang cepat ini dapat bersaing dengan

daerah yang terlayani fasilitas transportasi dalam time cost karena jarak ke pusat

lebih kecil.

Konsekuensi logis dari adanya fasilitas transportasi, pemerintah juga harus

menyediakan lahan parkir sebagai tempat untuk meletakkan atau menitipkan

sementara kendaraan yang tidak digunakan oleh pemiliknya karena melakukan

aktivitas lainnya. Menurut Direktorat Jenderal Cipta karya, luas tempat parkir ini

sangat tergantun dari perencanaan komplek itu sendir di samping jumlah

kepemilikan kendaraan. Meskipun demikian sebagai pegangan dapatlah dipakai

angka ±3% dari luas daerah yang dilayani. Di pusat-pusat aktivitas sebaiknya

disediakan tempat parkir umum yang lokasinya dapat dikelompokkan atau dapat

juga menyebar di setiap aktivitas tergantung dari perencanaan (Dirjen Cipta

Karya, 1983 : 19). Lokasi parkir ini harus memenuhi beberapa persyaratan :

a. Merupakan pelengkap dari pusat-pusat aktivitas;

b. Sedapat-dapatnya sedekat mungkin dengan pusat aktivitas yang

dilayaninya;

c. Harus mudah dicapai dari/ke pusat tanpa gangguan/bahaya lalu lintas;

d. Harus mudah dicapai dari jalan.

Sementara itu, luas tempat parkir tergantung dari beberapa variabel, yaitu

sebagai berikut :

Jumlah kepemilikan kendaraan;

Jenis aktivitas dari pusat aktivitas yang akan dilayani;

Sistem parkir baik dari segi perencanaan fisik maupun dama

manajemennya.

Dari beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai pembagian kota

dalam beberapa zona dimana setiap zona memiliki nilai lahan berbeda-beda yang

ditentukan oleh tingkat aksessibilitas terhadap transportasi, peneliti berusaha

untuk mengkaji tarif parkir berdasarkan zonasi.

Page 33: Compile outline

33

Universitas Indonesia

2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di Provinsi

DKI Jakarta. Seperti kebanyakan kota-kota besar lainnya, pengguna kendaraan

pribadi terus meningkat sehingga kebutuhan akan lahan parkir pun akan

meningkat, sementara itu tidak ada pertumbuhan ruas jalan. Hal ini menyebabkan

adanya keterbasan lahan parkir sekaligus menyebabkan kemacetan yang

menimbulkan banyak kerugian. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya yang

memberikan solusi atas kedua permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dengan menerapkan

kebijakan tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir.

Adapun alur berfikir atau kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat

dilihat berdasarkan gambar di bawah ini :

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran

Sumber : Hasil olahan peneliti

Kebutuhan AkanLahan Parkir

PenggunaKendaraan PribadiTerus Meningkat

Tidak AdaPertumbuhan

Ruas Jalan

KeterbatasanLahan Parkir

KemacetanMenimbulkan

Banyak Kerugian

Tarif ParkirBerzonasi

Page 34: Compile outline

Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penggunaan metode penelitian merupakan salah satu hal yang harus

dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Pemilihan metode penelitian

yang tepat dan sesuai akan menjadikan hasil penelitian menjadi akurat. Metode

penelitian menunjukkan bagaimana suatu penelitian dikerjakan, dengan apa, dan

bagaimana prosedurnya. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur,

alat serta desain penelitian yang digunakan (Nazir, 1988 : 51).

Metode penelitian dapat diartikan pula sebagai totalitas cara yang dipakai

peneliti untuk menemukan kebenaran ilmiah (Irawan, 2000 : 56). Hasan

menyatakan metode penelitian sebagai keseluruhan proses berpikir yang dimulai

dari menemukan permasalahan, kemudian peneliti menjabarkannya dalam suatu

kerangka tertentu, serta mengumpulkan data bagi pengujian empiris untuk

mendapatkan penjelasan dalam penarikan kesimpulan atas gejala sosial yang

diteliti (Hasan, 2002 : 21). Berikut ini adalah uraian mengenai metode penelitian

yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, kerangka teoritik tidak lagi dijadikan dasar

dalam melakukan penelitian. Namun, kerangka teoritik lebih berperan sebagai

titik berangkat dari landasan bagi peneliti untuk menganalisis dan memahami

realitas yang ditelitinya, secara alamiah (Irawan, 2000 : 50).

Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong mendefinisikan metodologi

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Moleong, 2000 : 4). Sementara itu, menurut Creswell, pengertian kualitatif yaitu:

“A qualitative study is designed to be consistent with the

assumption of a qualitative paradigm. This duty is defined

as an inquiry process of understanding a social or human

Page 35: Compile outline

35

Universitas Indonesia

problem, based on building a complex, holistic picture,

formed with word, reporting detailed views of information,

and conducted in a natural setting” (Creswell, 2003 : 2)

Creswell menyatakan bahwa di dalam penelitian kualitatif permasalahan

penelitian dalam pendekatan kualitatif perlu dieksplorasi karena ketersediaan

informasi yang terbatas tentang topik yang diangkat di dalam suatu penelitian.

Menurutnya, sebagian besar variabelnya tidak diketahui dan peneliti ingin

memusatkan pada konteks yang dapat membentuk pemahaman dari fenomena

yang diteliti. Selain itu Creswell juga menambahkan bahwa salah satu

karakterikstik permasalahan penelitian kulitatif yaitu berusaha

menggambarkan/menjelaskan secara lebih mendalam suatu fenomena dan untuk

mengembangkan suatu teori.

Pendekatan kualitatif digunakan oleh peneliti karena melalui pendekatan

ini peneliti berusaha untuk memahami dan mengintrepretasikan gejala sosial yang

ada di masyarakat. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk

mendeskripsikan permasalahan mengenai formulasi kebijakan tarif parkir

berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis-jenis penelitian hanya sebuah upaya untuk mengklasifikasikan

penelitian yang sudah ada yang bertujuan untuk memudahkan peneliti (Prasetyo,

2006 : 37). Dalam penelitian ini, peneliti akan membagi jenis penelitian sebagai

berikut:

a. Berdasarkan Tujuan Penelitian

Dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan gambaran

yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Penelitian ini bisa juga

dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian eksploratif yang telah menyediakan

gagasan dasar sehingga penelitian ini menggambarkan lebih detail (Prasetyo, 2006

: 42).

Page 36: Compile outline

36

Universitas Indonesia

Penelitian deskriptif memungkinkan peneliti memilih satu objek penelitian

untuk dikaji secara mendalam dan bukan hanya membuat “peta umum” dari objek

penelitian tersebut (Irawan, 2000 : 60). Menurut Whitney yang dikutip oleh Nazir,

metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpetasi yang tepat. Penelitian

deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang

berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang

hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses yang

sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari setiap fenomena (Nazir, 1988 :

64). Sesuai dengan pokok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini,

peneliti bertujuan untuk menggambarkan bagaimana formulasi kebijakan tarif

parkir berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.

b. Berdasarkan Manfaat Penelitian

Dilihat dari manfaatnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni

karena peneliti bebas menentukan masalah dan subjek penelitian. Selain itu,

penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademis dan ditujukan kepada

pemenuhan kebutuhan peneliti sendiri yang hasilnya akan memberikan dasar

untuk pengetahuan dan pemahaman yang dapat dijadikan sumber metode, teori

dan gagasan yang dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya (Prasetyo, 2006

: 38).

c. Berdasarkan Dimensi Waktu

Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini termasuk ke dalam

klasifikasi penelitian cross sectional. Neuman memberikan gambaran mengenai

penelitian cross sectional seperti sebagai berikut :

“In cross-sectional research, researchers observe at one

point in time. Cross-sectional research is usually the

simplest and least costly alternative. Cross-sectional

research can be exploratory, descriptive, or explanatory

but it is most consistent with a descriptive approach to

research.” ( Neuman, 2003 : 31)

Page 37: Compile outline

37

Universitas Indonesia

Oleh karena itu, penelitian ini dikategorikan penelitian cross sectional

karena penelitian hanya dilakukan pada satu waktu tertentu yakni pada saat

mengumpulkan data di lapangan yang dimulai dari bulan Desember 2010 hingga

bulan Juni 2011.

d. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan dua teknik

pengumpulan data, yaitu sebagai berikut :

1. Studi Kepustakaan (Library Research)

Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan peneliti dengan

mengumpulkan data dan menelaah berbagai macam sumber informasi

mulai dari buku, jurnal, media massa, penelitian terdahulu, undang-

undang perpajakan, peraturan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta

yang terkait dengan parkir dan sebagainya. Menelusuri literature yang

ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan

yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian (Nazir, 1988 :

111).

Studi kepustakaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak

ada suatu penelitian ilmiah yang tidak melibatkan kajian kepustakaan

oleh penelitinya. Karena sumber utama data adalah kepustakaan, maka

kualitas penelitian kepustakaan ini juga sangat tergantung pada

kualitas dokumen-dokumen yang dikaji. Semakin otentik dokumen

semakin bagus data. Semakin up to date, semakin bagus hasil

penelitian dan seterusnya (Irawan, 2000 : 65). Hasil pengumpulan dan

penelaahan dari studi kepustakaan dijadikan sebagai data sekunder

dalam penelitian.

2. Studi Lapangan (Field Research)

Dalam studi lapangan, instrumen yang digunakan juga hanya berisi

tentang pedoman wawancara yang nantinya dapat berkembang sesuai

Page 38: Compile outline

38

Universitas Indonesia

dengan kondisi yang ada di lapangan (Prasetyo, 2006 : 50).

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk

mengonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,

motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang

yang diwawancarai (interviewee) (Bungin, 2007 : 155).

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti termasuk ke dalam jenis

wawancara mendalam yang bersifat terbuka. Wawancara mendalam

merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara

langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud

mendapatkan gambaran lengkap tentang topic yang diteliti.

Wawancara mendalam dilakukan secara intensif dan berulang-ulang

(Bungin, 2007 : 157). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan

wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan

pembuatan kebijakan tarif parkir berzonasi, baik dari sisi pemerintah

maupun dari akademisi dan aktivitis. Hasil wawancara mendalam akan

digunakan sebagai data primer penelitian.

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Paton yang dikutip oleh Moleong adalah proses

mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan

satuan uraian dasar. Paton membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan

arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, danmencari

hubungan diantara dimensi-dimensi uraian (Moleong, 2000 : 280). Sementara itu,

Moleong juga mengutip pendefinisian analisis data oleh Bogdan dan Taylor yaitu

proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan

merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai

usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu (Moleong,

2000 : 280). Dari dua definisi diatas, Moleong mendefinisikan analisis data

sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,

kategori,dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

Page 39: Compile outline

39

Universitas Indonesia

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000 :

280).

Teknis analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data

kualitatif. Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen seperti yang dikutip

oleh Irawan adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip

interview, catatan di lapangan, dan bahan-bahan lain yang didapatkan yang

dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu fenomena (Irawan,

2000 : 100). Proses dari analisis data kualitatif digambarkan oleh Moleong seperi

yang dikutipnya dari Seiddel, sebagai berikut :

Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi

kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensitesiskan,

membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.

Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai

makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan

membuat temuan-temuan umum.

3.4 Narasumber/Informan

Data primer yang dikumpulkan oleh peneliti berasal dari wawancara

mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan narasumber atau informan. Dalam

pemilihan informan, peneliti melihat dari kompetensi dan korelasi kedudukan atau

latar belakang pendidikan informan dengan penelitian yang dilakukan. Menurut

Neuman, informan yang baik harus memenuhi empat karakteristik sebagai berikut

:

a. The informant is totally familiar with the culture and is in

position to witness significant events .

b. The individual is currently involved in the field.

c. The person can spend time with the researcher.

d. Nonanalytic individual make better informant ( Neuman, 2003 : 94)

Page 40: Compile outline

40

Universitas Indonesia

Informan yang akan dijadikan sebagai narasumber oleh peneliti dalam

mengumpulkan data penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bapak Iwan Setiawandi selaku Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi

DKI Jakarta

2. Bapak Benyamin Bukit selaku Kepala Unit Pelaksanaan Teknis

Perparkiran Provinsi DKI Jakarta

3. Bapak Azas Tigor Nainggolan selaku Ketua Dewan Transportasi Kota

Jakarta

4. Bapak Tubagus Haryo Karbyanto selaku Koordinator Penyusunan

Naskah Akademik Raperda Perparkiran Jakarta, Koalisi Warga untuk

TDM

5. Bapak Tjip Ismail selaku Akademisi

3.5 Penentuan Site Penelitian

Peneliti memilih Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi untuk melakukan

penelitian karena sebagai Ibukota Negara, Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat

aktivitas yang tinggi di berbagai aspek termasuk salah satunya di bidang

transportasi. Permasalahan yang terjadi yaitu tidak seimbangnya penggunaan

jumlah kendaraan pribadi dengan ruas jalan yang ada sehingga menimbulkan

kemacetan. Parkir dapat menjadi salah satu instrumen dalam mengendalikan

kemacetan di Provinsi DKI Jakarta salah satunya yaitu dengan kebijakan tarif

berzonasi. Pemilihan Provinsi DKI Jakarta juga mempertimbangkan kemudahan

peneliti dalam melakukan pengumpulan data.

3.5 Batasan Penelitian

Pembatasan penelitian ini dilakukan agar pengumpulan data dan

pembahasan atau analisis permasalahan dalam penelitian ini tidak keluar atau

melenceng jauh dari pokok permasalahan yang peneliti ajukan. Oleh karena itu,

penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai formulasi kebijakan tarif parkir

berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.

Page 41: Compile outline

i

Universitas Indonesia

Daftar Referensi

Buku

Anderson, James. 1969. Public Policy Making. New York : Holt, Renehart, and

Winston.

Bratakusumah, Dedy Supriyadi dan Dadang Solichin. 2001. Otonomi

Penyelenggaraan Pemda. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Brotodihardjo, R. Santoso, 1995. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT

Eresco.

Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada.

Chalid, Pheni. 2005. “Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi : Tantangandan Hambatan”. Jakarta : Kemitraan

Cresswell, John W. 2003. Research Design Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.

Jakarta : KIK Press

Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1983. Pedoman Perencanaan Lingkungan

Pemukiman Kota. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah

Bangunan.

Dye, Thomas R.1975. Undertanding Public Policy. Englewood Cliff, New Jersey

: Prentice-Hall.

Dunn, Willian. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Press.

Eyestone, Robert. 1971. The Threads of Policy : A Study in Policy Leadership.

Indianapolis : Bobs-Merril.

Fisher, Irwin A. 1996. State and Local Public Finance (Pricing of Government

Goods : User Charges). USA : Times Mirror Higher Group Inc.

Hasan, Iqbal. 2002Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia

Irawan, Prasetya. 2000. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta : STIA-LAN

Press.

Mansury, R. 1999. Kebijakan Fiskal. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan

Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).

Page 42: Compile outline

ii

Universitas Indonesia

Mansyuri, R. 1996. PPh Lanjutan. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan

Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).

Mardiasmo. 1997. Perpajakan. Yogyakarta : Andi Offset.

Mardiasmo,MBA,Ak. 2002. “Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah”. ANDIYogyakarta

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rosda.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. Jakarta : Granit.

Juwaini, Jazuli. 2007. “ Otonomi Sepenuh Hati”. Jakarta : Al-I’tishom CahayaUmat.

Jones, Charles O. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Monterey :

Books / Cole Publishing Company.

Kenneth, J. Davey. 1983. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-praktek

Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta : UI Press.

Prasetyo, Bambang dan LIna Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian

Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. 2005. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta

: PT RajaGrafindo Persada.

Samudra, Azhari A.. 1995. Perpajakan Di Indonesia: Keuangan, Pajak dan

Retribusi Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan

Daerah. Yogyakarta : Andi Offset.

Tanzi, Vito. 1991. Public Finance in Developing Countries Vermont. USA :

Edward Elgar Publishing Company.

W, Laurence Neuman. 2003. Social Research Methods : Qualitative and

Quantitative Approaches, (University of Winsconsin at Whitewater),Pearson

Education Inc.

Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Page 43: Compile outline

iii

Universitas Indonesia

Zorn, C. Kurt. 1991. User Charges and Fees. Kumpulan artikel John E. Petersen

dan Denise R Strachorn. “Local Government Finance : Concept and

Practices”. Illinois, Chicago : Government Finance Officers Association of

United State and Canada).

Karya Ilmiah

Dedyanto. 2003. Analisis Efektivitas Pendapatan Retribusi Parkir Propinsi DKI

Jakarta. Depok : Universitas Indonesia.

Marlina, Lenny. 2003. Analisis Tarif Retribusi Kebersihan Di DKI Jakarta. Depok :

Universitas Indonesia.

Sumantri, H Edi. 2009. Bahan seminar “Tarif Pajak Progresif PKB”.

Susdiyono. 2003. Kajian Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta Melalui Retribusi

Parkir (Menuju Pelaksanaan Pajak Parkir). Depok : Universitas Indonesia.

Media ElektronikAnonim. 2010. “Tata Ulang Parkir Sudah Mendesak”.

http://bataviase.co.id/node/95710. Diunduh 19 November 2010 Pukul15.00 WIB.

Fajar, Nur R. 2010. “Tarif Parkir dan KemacetanJakarta”. http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=29882&sub=column&page=home. Diunduh tanggal 15 November2010, Pukul 22.00 WIB.

Suroso, GT. 2010. “Parkir, Meruwetkan Atau Menggiurkan”.http://bataviase.co.id/node/185412.

Winarno, Hery. 2010. “Target Penerimaan Pajak Parkir 2010 Tercapai Bila TarifNaik”.http://www.detiknews.com/read/2010/07/31/004619/1410632/10/target-penerimaan-pajak-parkir-2010-tercapai-bila-tarif-naik. Diunduh19 November 2010 Pukul 15.00 WIB.

www.jakarta.go.id

Kompas