42
LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Tn S Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 60 tahun Rekam Medis : 362481 Tanggal masuk RS : 11 Januari 2015 ANAMNESIS Keluhan utama : Sesak napas Anamnesis terpimpin : Sesak napas dialami sejak 2 tahun lalu dan memburuk 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dialami bahkan ketika pasien sedang beristirahat dan membaik dengan sendirinya. Dyspnea on effort (DOE) ada, orthopnea tidak ada, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) ada. Pasien juga mengeluh nyeri dada yang dialami sejak 7 tahun yang lalu. Nyeri dada terasa seperti ditekan dan tidak menjalar, berlangsung selama kurang dari 5 menit. Nyeri dada muncul ketika pasien sedang melakukan aktivitas berat dan berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa selalu berdebar-debar. Tidak ada keluhan demam, mual, dan muntah. Batuk ada sejak 1 tahun yang 1

CHF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat kardio

Citation preview

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn S

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 60 tahun

Rekam Medis : 362481

Tanggal masuk RS : 11 Januari 2015

ANAMNESIS

Keluhan utama : Sesak napas

Anamnesis terpimpin :

Sesak napas dialami sejak 2 tahun lalu dan memburuk 1 minggu sebelum masuk

rumah sakit. Sesak dialami bahkan ketika pasien sedang beristirahat dan membaik

dengan sendirinya. Dyspnea on effort (DOE) ada, orthopnea tidak ada, Paroxysmal

Nocturnal Dyspnea (PND) ada. Pasien juga mengeluh nyeri dada yang dialami

sejak 7 tahun yang lalu. Nyeri dada terasa seperti ditekan dan tidak menjalar,

berlangsung selama kurang dari 5 menit. Nyeri dada muncul ketika pasien sedang

melakukan aktivitas berat dan berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa

selalu berdebar-debar. Tidak ada keluhan demam, mual, dan muntah. Batuk ada

sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul dan memberat pada malam hari.

Tidak ada keluhan buang air kecil dan buang air besar.

Ada riwayat dirawat di rumah sakit 7 tahun yang lalu dengan diagnosis Coronary

artery disease (CAD) dan dilakukan pemasang balon dan cincin. Ada riwayat

merokok sejak 35 tahun yang lalu (1 bungkus per hari) dan berhenti sejak 7 tahun

yang lalu. Ada riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu tapi tidak berobat secara

teratur. Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus. Tidak ada riwayat demam, penyakit

jantung bawaan dan penyakit tiroid. Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit

jantung.

1

PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum:

Sakit Sedang/Gizi Baik/ Sadar (CM)

Tanda vital

TD : 130/60 mmHg

Nadi : 80 x / menit

Pernapasan : 25 x / menit

Suhu : 36,7 ° C

Regio Kepala dan Leher

Mata : Konjungtiva anemia (- / -), sclera ikterik (- / -)

Bibir : Sianosis (-)

Leher : Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan, JVP: R + 3 cmH2O

Kelenjar tiroid tidak teraba, tidak ada deviasi trakea

Regio Thorax

Paru:

Inspeksi: Simetris kiri = kanan

Palpasi: Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan,

fremitus vokal kiri = kanan

Perkusi: Sonor kiri = kanan,

Batas paru hepar:ICS VI anterior kanan.

Auskultasi: Bunyi pernapasan: vesikular

Suara tambahan: Ronchi (+ / +)basal, Wheezing (- / -)

Jantung:

Inspeksi: Tidak tampak ictus cordis

Palpasi: Tidak teraba ictus cordis

2

Perkusi: Batas jantung kanan pada linea parasternal kanan, batas jantung kiri

dua jari dari linea midclavicularis kiri ICS VI

Auskultasi: Jantung suara: SI / II reguler, tidak ada gallop, tidak ada bunyi jantung

tambahan, tidak ada murmur

Regio Abdomen:

Inspeksi: Datar, gerakan napas berikut

Auskultasi: Peristaltik (+), kesan normal

Palpasi: Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi: Timpani (+), asites (-)

Ekstremitas Superior dan Inferior

Edema pretibial - / -

Edema dorsum pedis - / -

PEMERIKSAAN EKG

Interpretasi EKG:

Atrial Fibrilasi

HR: 80x/menit, irreguler

3

Normoaxis

Gelombang P dan interval PR sulit dinilai

Kompleks QRS: 0,08 s dan Q.patologis di V1, V2,V3

Gelombang T sulit dinilai

Kesimpulan: Atrial Fibrilasi Normal Ventricular response, OMI anteroseptal

PEMERIKSAAN ECHOCARDIOGRAPHY

Kesimpulan echocardiography:

Disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri

Ejeksi Fraksi 33 %

Hipertropi Ventrikel kiri

Mitral Regurgitasi Trivial

Trombus di ventrikel kiri dengan diameter 2,8 x 3,6 cm

Akinetik basal anteroseptal, mid anteroseptal dan anterior, apikal anteroseptal,

anterior, segmen lain hipokinetik

PEMERIKSAAN FOTO THORAX

4

Kesimpulan:

- Kardiomegali dan dilatasi aorta

- Pulmo normal

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah lengkap

Test Result Normal value

WBC 11,1/ul 4.0 – 10.0 x 103

RBC 5,61/µl 4.0 – 6.0 x 106

HGB 16,7 gr/dl 14 – 18

HCT 49,1% 40 – 54

PLT 290.000/µl 150 – 400 x 103

Test Result Normal value

5

GDP 98 mg/dl <100

Ureum 22 mg/dl 10 – 50

Creatinine 0.5 mgr/dl < 1.3

SGOT 28 u/l <38

SGPT 34 u/l <41

Natrium

Kalium

Klorida

146 mmol/l

4,5 mmol/l

113 mmol/l/dl

136-145

3,5-5,1

97-111

CK 77.7 U/L <167

CK-MB 15.4 U/L <25

Troponin-T <0.02 <0.05

DIAGNOSIS

CHF NYHA IV e.c CAD (OMI Anteroseptal))

Atrial Fibrilasi Normal Ventricular Respon (AF NVR)

PENATALAKSANAAN

O2 2-4 lpm via nasal canul

IVFD NaCl 0.9% 10 tpm

Balance cairan

Inj. Furosemide 40 mg/12 hours/ IV

Fasorbid 10 mg 1-1-1

Aspilet 80 mg 0-1-0

6

Captopril 6,25 mg 1-1-1

Simvastatin 1 x 20mg

Digoxin 0.125 mg 1-0-0

RENCANA: EKG kontrol

DISKUSI CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

DEFENISI

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung memompa darah untuk memenuhi

kebutuhan jaringan yang memadai dalam kaitannya dengan aliran balik vena dan

dalam kaitannya dengan kebutuhan metabolisme jaringan.

Gagal jantung kongesti adalah suatu kondisi di mana terjadi bendungan sirkulasi

abnormal sebagai akibat dari gagal jantung.

ETIOLOGI

Penyebab Utama

Penyakit jantung iskemik (35% -40%)

Cardiomyopathy (30-40%)

Hipertensi (15-20%)

Penyebab lain

Aritmia

Penyakit jantung katup

Penyakit jantung bawaan

penyakit perikardial

sirkulasi hiperdinamik

Alkohol dan obat-obatan (kemoterapi)

7

Kriteria Framingham CHF

MAJOR MINOR

• PND or orthopnea

• Neck vein distension

• Rales

• Cardiomegaly

• Acute pulmonary edema

• Increased central venous pressure

(>16 cm H2O at right atrium)

• Hepatojugular reflux

• Ankle edema

• Night cough

• Dyspnea on exertion

• Hepatomegaly

• Pleural effusion

• Vital capacity decrease in by one

third from maximum capacity

• Tachycardia (heart rate>120

beats/min.)

MAJOR OR MINOR

Weight loss >4.5 kg in 5 days in response to treatment

Diagnosis ditegakkan minimal dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2

kriteria minor.

Catatan:

Kriteria minor dapat diterima jika tidak berhubungan dengan kondisi medis lain

(misalnya: hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis, sirosis, asites, sindrom

nefrotik)

8

PATOFISIOLOGI

9

PENATALAKSANAAN

Usaha pertama penanganan gagal jantung kongestif adalah mengatasi

sindrom gagal jantung yaitu meningkatkan cardiac output dan menurunkan

ventricular filling pressure. Kemudian mengobati fraktor presipitasi seperti aritmia,

anemia, tirotoksikosis, stres, infeksi dan lain-lain, serta memperbaiki penyakit

penyebab seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit katup serta

mencegah komplikasi seperti tromboemboli.

10

TREATMENT OF CHF

Managing afterload

Managing preload

Managing contractility

Inotropic agents : Cardiac glycosides B- adrenergicPhosphodiesterase inhibitors

Diuretics venodilator

ACE inhibitors Angiotensin receptor blocker β blockers CCB

A. Kasus Kronik

Penanganan gagal jantung kronik dapat dibagi atas dua yaitu penangan

farmakologik dan penangan non farmakologik. Penanganan non farmakologik

seperti memperbaiki oksigenasi jaringan, membatasi kegiatan fisik sesuai

beratnya keluhan dan diet rendah garam, cukup kalori dan protein. Sedangkan

penanganan farmakologik yaitu dengan memberikan obat-obatan yang bertujuan

untuk:

1. Menurunkan preload melalui pemberian diuretic termasuk aldosteron

receptor antagonist dan nitrat. Diuretic juga dipakai sebagai obat untuk

mengatasi retensi cairan tubuh.

2. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan

kontraktilitas miokard) melalui pemberian digitalis, ibopamin, β-blockers

generasi ketiga atau fosfodiaterase inhibitor.

3. Menurunkan afterload (bagi yang terjadi peningkatan afterload) dengan ACE

inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB), direct renin inhibitor, atau

calcium channel blockers (CCB) golongan dihidropiridin.

4. Mencegah miokardial remodeling dan menghambat progresivitas gagal

jantung dengan ACE inhibitor dan ARB.

5. Memperbaiki metabolism energy miokard dengan carnitine, Co-enzyme

Q10, D-ribose, magnesium dan vitamin-vitamin.

6. Intervensi khusus non farmakologis ditujukan bagi pasien yang gagal jantung

stadium D yang sudah tidak berespon terhadap obat-obatan.

1) Menurunkan preload

a. Diuretik

Merupakan pengobatan standar untuk memprtahankan kondisi

euvolemia. Diuretic yang sering digunakan adalah tiazid, furosemid dan

spironolakton. Hydro-chloro-tiazid (HCT) dan spironolakton dianjurkan

terutama pada gagal jantung NYHA kelas II. Apabila kondisi memburuk

barulah diberikan furosemid.

HCT harganya murah, namun memiliki efek hipokalemia dan

hipomagnesemia. Oleh karena itu dipakai dosis kecil 12,5 mg/hari

dengan obat substitusi kalium untuk mengurangi efek samping tersebut.

11

Spironolakton memiliki efek potassium sparing yang tidak

menyebabkan hipokalemia, namun merupakan antagonis reseptor

aldosteron. Dosis spironolakton yang dianjurkan tidak melebihi 25mg

karena dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama bila dikombinasikan

dengan ACE inhibitor.

Furosemid adalah loop diuretic yang kuat, yang bekerja dalam

30 menit setelah pemberian dengan masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih

memperlihatkan efek diuresisnya walaupun glomerular filtration rate

turun di bawah 25ml/jam dan aman untuk penderita gagal ginjal.

Pemberian furosemid kronis mengakibatkan resistensi furosemid

karena adanya proses adaptasi seperti peningkatan aktivitas saraf

simpatis dan sistem RAA, peninggian pelepasan arginin vasopressin,

sebaliknya menyebabkan penurunan pelepasan atrial natriuretic peptide

(ANP) sehingga terjadi penurunan curah jantung dan tekanan arteri

pulmonalis, juga penurunan respon terhadap ANP.

Resistensi furosemid dapat dihambat dengan pemberian ACE

inhibitor yang juhga bekerja mencegah hipokalemia dan

hipomagnesemia karena menurunkan plasma aldosteron.

Bagi penderita gagal jantung ringan sampai sedang digunakan

furosemid dengan dosis 20-40mg/hari dan untuk penderita gagal jantung

berat digunakan 40-80mg/hari dan dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.

Kontraindikasi pemberian diuretic adalah tamponade jantung,

infark miokard ventrikel kanan,hepatic failure, hipokalemia dan

hipersensitifitas.

b. Nitrat

Dipakai pada penderita gagal jantung dengan riwayat penyakit

jantung koroner atau bagi pasien yang telah diberikan furosemid dosis

tinggi namun belum teratasi gejala gagal jantungnya. Pemberiannya

harus dengan dosis awal kecil untuk mencegah sinkop.

Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena

dari pada dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulakn nitrat

menurunkan preload sehingga menurunkan ukuran ruang atrium kanan

12

dan kiri serta tekanan akhir diastolic, dengan demikian meningkatkan

perfusi miokard.

Kerja cepat efek singkat misalnya ISDN 2,5-5mg sublingual

dengan lama kerja 10-60 menit sedangkan kerja sedang misalnya

nitrogliserin 5-20mg oral (3-4 kali/hari) dengan lama kerja 6-8 jam dan

ISDN 10-60mg oral (3-4 kali/hari) dengan lama kerja 4-6 jam.

2) Meningkatkan kontraktilitas

Hanya digunakan pada pasien gagal jantung dengan gangguan kontraktilitas,

misalnya pada pemeriksaan fisis atau pada foto toraks tampak pembesaran

jantung, atau hasil ekokardiografi menunjukkan EF <40%.

a. Digitalis (digoksin)

Memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas)

dan efek kronotropik negative (menurunkan laju jantung). Obat ini

menurunkan laju jantung sehingga memberikan kesempatan bagi

ventrikel kiri untuk mengadakan relaksasi dan pengisian darah yang

efektif untuk kemudian dipompakan keluar.

Digoksin adalah digitalis kerj cepat yang dapat diberikan secara

oral dan intravena. Meknisme kerja digoksin yang pertama adalah

menghambat aktivitas pompa sodium yang memperlambat fase

repolarisasi, atau dngan kata lain mengakibatkan fase depolarisasi

miokard lebih lama dengan demikian banyak kalsium yang masuk ke

dalam sel, sehingga kontraktilitas miokard meningkat. Mekanisme

digoksin yang kedua adalah meningkatkan tomus vagus (parasimpatis)

sehingga menurunkan laju jantung.

Digoksin dapat diberikan peroral atau per intravenous. Digoksin

intravenous diberikan pada gagal jantung akibat fibrilasi atrium respon

cepat. Pemberian digoksin dimulai dengan loading dose yaitu 0,5mg

intravena perlahan-lahan kemudian dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan. Digoksin mral diabsorbsi lambat dan tidak sempurna

(hanya 30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulus

enterohepatik sehingga waktu paruh panjang yaitu 1,6 hari. Sifat-sifat ini

menyebabkan pemberian digoksin selalu dimulai dengan dosis muat

yaitu 3 kali 1 tablet (0,25mg) per hari selama 3 hari untuk orang dewasa,

13

kmudian dilanjutkan dengan pemliharaan. Pada umumnya dosis

pemeliharaan adalah 0,25mg/hari umutk umur di bawah 7 tahun dan

0,125mg/hari untuk diatas 70 tahun.

Efek toksik yang paling sering ialah aritmia berupa bradikardi,

interval PR memanjang atau ekstrasistol ventrikel. Apabila setelah

pemberian digoksin ditemukan tanda-tanda di atas maka pemberian

digoksin harus dihentikan. Efek toksis yang lain pada saluran pencernaan

adalah nausea, vomitus, diare dan nekrosis intestinal. Pada susunan saraf

pusat dapat berupa lethargy, stupor, amnesia, confussion sampai koma.

Sedangkan pada mata dapat berupa fotofobia, penglihatan berkilau dan

gangguan persepsi warna. Selain hipokalemia, factor lain yang

ikutberperan dalam intoksikasi digoksin adalah kondisi jantung itu

sendiri misalnya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung berat,

karena penyakit ini selalu menimbulkan asidosis dan peningkatan

aktivitas simpatis.

Pemberian digoksin dikontraindikasikan pada semua penderita

yang pernah mengalami intoksikasi digitalis. Selain itu, obat ini juga

tidak boleh diberikan pada penderita kardiomiopati hipertrofi dan

sindrom Wolf-Parkinson-White dan harus sangat hati-hati pada pasien

hipertiroidisme.

b. Ibopamin (inopamil)

Memiliki efek merangsang aktivasi dopamine-1 dan dopamine-2

yang menyebabkan vasodilatasi arteri. Aktivasi reseptor dopamine-2 dan

adrenoreseptor-α2 sentral menghambat pelepasan noradrenalin dan

penurunan aktivasi sistem RAA. Aktivasi adrenoreseptor-β1

meningkatkan kontraktilitas jantung.

Pemberian ibopamin 3x100mg/hari pada penderita gagal jantung

dapat menaikkan cardiac index sebesar 30% disertai penurunan resistensi

vaskuler, tanpa banyak mempenagruhi denyut jantung dan tekanan

darah. Dapat diberikan sebagai monoterapi menggantikan digitalis dan

diuretic atau diberikan sebagai terapi kombinasi dengan digitalis pada

gagal jantung NYHA II dan III.

c. β-bloker

14

Adrenoreseptor-β di miokard memegang peranan penting atas

terjadinya gagal jantung. Pemberian β-agonis yang terus menerus

menyebabkan gagal jantung dan kspresi berlebihan adrenoreseptor- β di

miokard menyebabkan dilated cardiomyopathy. adrenoreseptor- β1

menurun pada gagal jantung, sebaliknya adrenoreseptor- β3 meningkat

pada gagal jantung.

Β-bloker yang terbukti dapat meningkatkan fraksi ejeksi,

memperbaiki gejala dan menurunkan angka kematian pasien gagal jantug

adalah metoprolol, bisoprolol dan carvedilol.

Prinsip pemberiannya dalah start low dan go slow. Start low

artinya mulai denagn dosis awal sangat rendah yaitu 1/8-1/10 dosis

target, misalnya dosis target carvedilol adalah 25mg/hari atau bisoprolol

5mg/hari, maka mulai dengan 1/8 tablet/hari. Go slow artinya dosis

dinaikkan pelan-pelan dengan pemantauan ketatyaitu apabila kondisi

pasien membaik, maka setiap 1-2 minggu dosis ditingkan 1/8 tablet

sampai mencapai dosis target.

d. Fosfodiaterase inhibitor

Seperti milrinone, amrinone menghambat degradasi cAMP.

Peningkatan jumlah cAMP selular mengaktifkan protein kinase yang

pada jantung akan menyebabkan terjadinya peningkatan kontraktilitas,

sedangkan pada pembuluh darah menyebabkan vasodilatasi dan

venodilatasi. Selain meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan

afterload dan preload. Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan

peningkatan mortalitas pasien gagal jantung, jadi hanya digunakan pada

pasien gagal jantung akut dengan penggunaan singkat secara

intravenous.

e. Isoniazide (INH)

Memiliki struktur kimia yang mirip dengan potassium channel

bloker 4-aminopiridin yang dapat memprpanjang fase depolarisasi

sehingga meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau otot polos

vascular. Kerja INH adalah melalui blockade kanal kalium sehingga

memperpanjang fase depolarisasi.

15

3) Menurunkan afterload

a. Angiotensin Converting enzyme (ACE)-inhibitors

Memiliki efek langsung pada jantung dalam hal mencegah

terjadinya remodeling dan menghambat perluasan kerusakan miokard.

Selain itu juga berefek menurunkan afterload, menurunkan aktivitas saraf

simpatis, menurunkan sekresi aldosteron (sehingga meningkatkan

ekskresi natrium) dan menurunkan sekresi vasopressin yang semuanya

berguna untuk penderita gagal jantung kongestif.

Penderita gagal jantung kongestif dengan hipertensi merupakan

golonagn penderita yang aman untuk menerima ACE-inhibitors.

Biasanya dimulai dengan ACE inhibitor yang kerja pendek seperti

kaptopril dosis rendah yaitu 3 kali 6,25mg atau 12,5 mg/hari, atau

enalapril 2 kali 2,5mg/hari selama beberapa hari di bawah pengawasan

ketat, kemudian dosis dinaikkan secara bertahap. Apabila tampak

perbaikan dan hemodinamik stabil, obat golongan kerja pendek ini dapat

digani dengan golongan kerja panjang seperti lisinopril atau ramipril.

Dosis lisinopril untuk gagal jantung kongestif biasanya dimulai

5mg/hari. Dosis dapat dikurangi bila terjadi penurunan tekanan darah,

kemudian dinaikkan secara bertahap setiap 4 minggu.

Pengobatan gagal jantung kongestif dengan ACE inhibitor selalu

harus diberikan bersama diuretic (bukan denga potassium sparing

diuretic karena kombinasi kedua obat ini menyebabkan hiperkalemia).

Hal ini disebabkan karena mekanisme umpan balik antara volume

plasma dan aktivitas rennin angiotensin.

Kontraindikasi pemberian ACE inhibitor antara lain stenosis

aorta, stenosis arteri renalis atau carotis, anemia berat, gagal jantung

yang disertai angina karena kardiomiopati restriktif atau hipertropik, ibu

hamil atau yang sedang menyusui, hipotensi, hipovolemia, hiponatremia,

dan hiperkalemia.

Efek samping yang paling sering ialah batuk-batuk. Selain itu

ACE inhibitor dapat mengakibatkan angioedema, gatal-gatal,

hiperkalemia, anemia dan hilangnya rasa pengecap.

16

b. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)

Memblokade reseptor angiotensin-1 sehingga menghambat

sebagian besar efek negatif dari sistem RAA. Pemberian ARB

dianjurkan pada pasien gagal jantung kongestif yang kontraindikasi

dengan ACE inhibitor memberi manfaat yang sama seperti ACE

inhibitor. Kombinasi keduanya memiliki efek sinergis dalam

memperbaiki hemodinamik, remodeling dan profil neurohormon.

c. Direct Renin inhibitor

Penambahan direct renin inhibitor 150 mg pada pasien gagal jantung

yang stabil dengan obat-obat gagal jantung termasuk ACE inhibitor dan

ARB menurunkan konsentrasi N terminal pro-B-type natriuretic peptide

(NT proBNP), suatu petanda gagal jantung. Obat ini juga dilaporkan

mampu menurunkan hipertrofi ventrikel kiri.

d. Calcium channel blockers (CCB)

CCB dihidropiridin merupakan vasodilator kuat sehingga

biasanya diberikan paa pasien gagal jantung grade II yang tidak

takikardi. CCB kerja panjang seperti amlodipin dan nifedipin lebih baik

karena tidak mempresipitasi reflex takikardi dan dilaporkan bermanfaat

pada kasus yang belum maupun yang sudah terjadi gangguan fungsi

sistolik.

4) Mencegah remodeling

Obat-obatan seperti ACE inhibitors dan ARB dapat digunakan

namun dengan dosis maksimal. Sebenarnya hampir semua obat hipertensi

memiliki efek mencegah remodeling termasuk CCB, β-bloker dan diuretic.

5) Memperbaiki metabolisme energi miokard

Disfungsi miokard disebabkan oleh kekurangan produksi energy atau

ATP. D-riboe merupakan satu-satunya komponen yang dapat mengisi ulang

cadangan energy. Coenzyme Q10 menangkap electron yang keluar dari

siklus KREBS dan mengahantarkannya ke sitokrom dalam rantai transportasi

electron. L-carnitine berfungsi mengangkut asam lemak ke dalam

mitokondria. Magnesium merupakan kation yang terdpat dalam ATP yang

berperan dalam berbagai metabolism.

17

Pemberian D-ribose memperbaiki kapasitas latihan pada pasien PJK,

dan meningkatkan fungsi diastolic pada pasien gagal jantung. Dosis yang

dianjurkan adalah 5-15gr/hari tergantung jenis penyakit.

6) Intervensi khusus

a. Implantable Cardioverter Defibrillators (ICD)

Pemasangan ICD menurunkan mortalitas pasien gagal jantung

stadium D karena bisa menurunkan insiden mati mendadak akibat

ventricular takikardi.

b. Biventricular Pacing (resyncgronization) therapy

Pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi sistolik berat

(EF<30%) memiliki konduksi ventricular yang abnormal (durasi

QRS .120 ms), hal ini menyebabkan disinkronisasi kontraksi miokard

sehingga fungsi pompa jantung tidak efisien.

c. Revaskularisasi melalui PTCA atau CABG

Jika pada angiografi ditemukan lesi yang cocok maka PTCA

atau CABG akan memperbaiki gejala dan menghambat progresivitas.

CABG lebih unggul daripada PTCA karena operasi bypass member

revaskularisasi yang lebih sempurna.

d. Lain-lain

Transplantasi jantung, kardiomioplasti dan ventricular reduction

surgery untuk memperbaiki prognosis pasien gagal jantung stadium D,

namun prosedur tersebut masih memiliki resiko tinggi dan harganya

mahal.

18

Tabel 2. Obat-obat untuk penanganan gagal jantung kronik (EF <40%)

Setelah penegakan diagnosis gagal jantung, sangat penting untuk

mengobati retensi cairan pada pasien sebelum memulai pengobatan dengan

ACE inhibitor atau ARB. Beta bloker harus dimulai setelah retensi cairan

telah ditangani dan/atau ACE inhibitor telah dinaikkan titrasinya. Jika pasien

megalami gejala simtomatik, ARB, agonis aldosteron atau digoksin dapat

19

ditambahkan sebagai triple terapi. Kombinasi dosis tetap dari hidralazine/

isosorbid dinitrat harus ditambahkan pada pengobatan ACE inhibitor dan beta

bloker pada pasien gagal jantung NYHA kelas II–IV. Tepai denagn peralatan

harus dipertimbangkan sebagai tambahan terapi farmakologi pada pasien-

pasien yang cocok. Terapi dengan alat harus dipertimbangkan sebagai terapi

farmakologik pada pasien yang sesuai untuk terapi alat tersebut. (Keterangan

singkatan: HF, heart failure; ACE, angiotensin-converting enzyme; ARB,

angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT,

cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator).

B. Kasus Akut

Tindakan umum untuk pasien gagal jantung kongestif akut ialah

penderita dibaringkan pada posisi setengah duduk dan diberi oksigen karena

hampir semua pasien mengeluh sesak napas. Oksigen konsentrasi tinggi mutlak

diperlukan pada penderita yang PO2 kurang dari 70% atau terdapat tanda-tanda

edema paru yang berat.

Agar tidak terjadi kekeringan mukosa paru, pemberian okigen sebaiknya

disertai uap air. Pada pemberian oksigen konsentrasi sangat tinggi (60-100%)

maka setiap 5 jam harus dihentikan beberapa menit untuk mencegah keracunan

oksigen. Tanda-tanda keracunan oksigen antara lain perasaan lemah, nausea,

vomitus, batuk-batuk, perasaan terbakar di daerah substernal dan tanda-tanda

serebral seperti konvulsi.

1) Mengurangi preload

a. Furosemid

Pemberian furosemid intravena dengan dosis awal 40mg (bolus)

secara perlahan (1-2 menit) jelas meringankan gejala edema paru akibat

gagal jantung). Apabila pemberian furosemid yang pertama tidak

memberikan tanda-tanda diuresis maka 2 jam kemudian dapat diganti

dengan dosis yang sama atau ditingkatkan.

Jika pemberian furosemid secara intravena intermiten tidak

memberi efek diuretic yang optimal maka dapat diganti dengan infuse

secara kontinu (2-3mg/jam) selama beberapa hari.

20

Kontraindikasi pemberian furosemid adalah anuri dan oligouri

(obstruksi post renal), azotemia, sirosis hepatis, dehidarasi yang disertai

hiponatremia, metabolic alkalosis, hipokalemia, hipotensi dan syok

hipovolemik.

Furosemid meningkatkan ekskresi natrium, kalium dan klorida,

maka pemberian jangka lama membutuhkan suplemen kalium.

b. Nitrat

Nitrat intravena sangat efektif dalam menaggulangi gagal

jantung kongestif akut yang disebabkan karena infark miokard. Pada

dosis kecil nitrat menyebabkan venodilatasi sehingga menurunkan

preload. Kontraindikasi pemberian nitrat adalah panderita yang

hipersensitif, hipotensi, syok hipovolemik, peninggian tekanan

intracranial, perikarditis konstriktif dan tamponade jantung.

c. Morfin

Diberikan jika tidak ada perbaikan gejala oleh furosemid dan

nitrat. Dosisnya adalah 2,5-5mg intravena. Morfin menyababkan

venodilatasi, juga menurunkan tekanan kapiler pulmonalis serta

menghilangkan atau mengurangi kecemasan yang hampir selalu

menyertai penderita gagal jantung kongestif akut.

2) Meningkatkan kontraksi jantung dengan obat-obat inotropik (pada keadaan

curah jantung rendah dan disfungsi sistolik)

Digoksin sangat bermanfaat untuk gagal jantung kongestif akut

yang disebabkan oleh fibrilasi atrium cepat dan yang telah terjadi

kardiomegali. Sebelum pemberian digoksin, obat-obat yang menurunkan

preload seperti diuretic dan nitrat intravenous harus pertama diberikan. ACE

inhibitor dan vasodilator diberikan apabila tekanan darah meningkat.

Dosis muat untuk digoksin intravena adalah 8-12 mikrogram/kgBB

setiap 6 jam (dosis total tidak melebihi 1,5mg/hari) sampai tampak tanda-

tanda perbaikan, kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan. 1 ampul

digoksin (1mg/cc) diencerkan menjadi 5ml kemudian diberikan setengah

dosis (0,5mg) secara perlahan. Apabila belum ada respon, 3-4 jam

kemudian diberikan lagi setengan dosis yang sisa (0,25mg).

21

Pada gagal jantung yang disebabkan infark miokard, digoksin dapat

mempresipitasi iskemia lebih lanjut bahkan sampai terjadi takikardi

ventrikuler yang membahayakan. Jadi apabila digoksin merupakan indikasi

pada penderita gagal jantung akibat infark miokard, maka pemberiannya

baru dimulai setelah 24 jam serangan infark miokard dan dosis yang

digunakan hanya ¾ dosis seharusnya.

3) Mengurangi afterload (pada keadaan tekanan darah tinggi dan disfungsi

sistolik)

Pemberian vasodilator yang menurunkan tekanan darah 10-

20mmHg akan mengurangi afterload, sehingga terjadi peningkatan stroke

volume, namun hanya terjadi pada pasien dengan volume ventrikel kiri yang

besar. Indikasi pemberian vasodilator adalah tekanan darah sistolik di atas

100mmHg.

Jenis vasodilator yang tersedia adalah natrium nitroprusid, ACE

inhibitor, ARB dan pada keadaan khusus CCB golongan dihidropiridin.

22

Tabel 3. Obat-obat untuk penanganan gagal jantung akut.

PROGNOSIS

Gagal jantung secara umum memiliki prognosis yang buruk. 30-40% pasien

yang didiagnosis gagal jantung, meninggal dalam 1 tahun pertama dan 60-70%

sisanya dalam 5 tahun pertama. Hal ini bisa disebabkan oleh perburukan gagal

jantung itu sendiri atau karena kejadian lain misalnya ventrikular takikardi. Meskipun

sulit untuk menentukan prognosis masing-masing individu, pasien dengan gejala saat

istirahat (NYHA kelas IV) memiliki mortalitas 30-70% sedangkan pasien dengan

gejala saat beraktivitas sedang (NYHA kelas II) memiliki mortalitas 5-10%.

23

CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)

DEFINISI

Penyakit arteri koroner adalah penyempitan pembuluh darah yang memasok darah

dan oksigen ke otot jantung. CAD terjadi ketika arteri yang memasok darah ke otot

jantung (arteri koroner) menjadi mengeras dan menyempit karena penumpukan bahan

yang disebut plak (plaque) pada dindingnya. Hal ini dikenal sebagai aterosklerosis.

Akibatnya, aliran darah ke otot jantung berkurang dan otot jantung tidak menerima

jumlah oksigen yang dibutuhkan.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyakit arteri koroner (CAD) disebabkan oleh aterosklerosis (penebalan dan

pengerasan dinding dalam arteri). Beberapa pengerasan arteri terjadi secara normal

pada orang tua. Pada aterosklerosis, terjadi deposito plak di arteri. Plak terdiri dari

lemak, kolesterol, kalsium, dan zat lain dari darah. Penumpukan plak dalam arteri

kenbanyakan dimulai pada masa kanak-kanak.

Penyempitan arteri akan mengurangi jumlah darah dan oksigen yang mencapai otot

jantung. Blok total arteri akan menghentikan aliran darah ke otot jantung.

palak juga menyebabkan terbentuknya gumpalan darah. Hal ini dapat memblokir

arteri yang memasok darah ke otot jantung.

24

Plak dalam arteri dapat:

Keras dan stabil. Plak keras menyebabkan dinding arteri menebal dan

mengeras. Kondisi ini lebih terkait dengan angina dibandingkan dengan

serangan jantung, tetapi serangan jantung sering terjadi dengan plak keras.

Lembut dan tidak stabil. Plak yang lembut mungkin akan terbuka bila istirahat

atau ruptur dari dinding arteri dan menyebabkan pembekuan darah. Hal ini

dapat menyebabkan serangan jantung.

25

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit jantung koroner dimulai dari adanya plak aterosklerosis pada

pembuluh darah, plak tersebut semakin lama semaki besar dan menyumbat aliran

darah dipembuluh darah. Akibat dari hal tersebut aliran darah menjadi tidak lancar

pada arteri koroner, yang akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen pada otot

jantung. Akibat berkurangnya suplai oksigen, lama kelamaan otot jantung menjadi

hipoksia yang kemudian dapat menjadi iskemik. Semakin lama otot jantung

kekurangan suplai oksigen dan darah menyebabkan tidak dapat dibentuknya ATP

pada otot jantung sehingga dapat terjadi infark miokard.

26

Modified Risk Factors :

Usia dan jenis kelamin. Seperti bertambahnya usia, risiko untuk CAD meningkat.Pria, risiko meningkat setelah usia 45.Perempuan, risiko meningkat setelah usia 55 (atau menopause).Riwayat penyakit jantung dalam keluarga.Penyakit jantung didiagnosis sebelum usia 55 tahun pada ayah atau saudara-laki-laki.Penyakit jantung didiagnosis sebelum usia 65 tahun pada ibu atau saudara perempuan.

Non Modified Risk Factors :

Kolesterol darah tinggi (hiperlipidemia)Tekanan darah tinggi (hipertensi)MerokokDiabetesKegemukan atau obesitasKurangnya aktivitas fisik

TANDA DAN GEJALA

Gejala utama penyakit jantung koroner adalah angina pektoris. Angina pectoris

merupakan perasaan tidak enak (chest discomfort) akibat iskemia miokard. Perasaan

tidak enak didada ini dapat berupa nyeri, rasa terbakar, atau rasa tertekan. Kadang-

kadang tidak dirasakan di dada melainkan di leher, rahang bawah, bahu, atau di ulu

hati. Serangannya tidak berhubungan dengan perubahan posisi badan atau menarik

napas. Penyakit jantung koroner terbagi menjadi dua, yaitu stable angina pectoris dan

acute coronary syndrome. Acute coronary syndrome terbagi menjadi tiga, yaitu

unstable angina, Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST elevation

myocardial infarction (STEMI).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elektrokardiogram (EKG)

Uji Treadmill

Echocardiography

Angiografi Koroner

Multi-Slice Computed Tomography Scan (MSCT)

Jantung Magnetic Resonance Imaging (MRI Jantung)

Pengobatan Radionuclear

PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada penyakit jantung koroner dilakukan dengan perubahan gaya hidup,

yaitu dengan mengontrol faktor-faktor resiko serta diberikan pengobatan, seperti

pemberian nitrat sebagai anti angina, aspilet sebagai anti agregasi trombosit, warfarin

sebagai anti koagulan.

27

Prosedur Khusus

Angioplasty (PTCA)

Operasi bypass arteri koroner

Peningkatan Counterpulsation eksternal (EECP)

Rehabilitasi jantung

Exercise training

Pendidikan, konseling, dan pelatihan

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI 2010.

2. Manurung D. Gagal jantung akut. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V ed. Jakarta: Interna Publishing;

2009. p. 1586-95.

3. Kesehatan BPdPKDK. Riset Kesehatan Dasar. In: Kesehatan K, editor. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan; 2013.

4. O'Donnell MM, Carleton PF. Disfungsi mekanis jantung dan bantuan sirkulasi. In:

Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 6

ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 630-55.

5. Schoen FJ. The Heart. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins and Cotran

Pathologic Basis of Disease. 7 ed. China: Elsevier Saunders; 1999. p. 555-618.

6. Harrison. Heart Failure and Cor Pulmonal. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,

Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Principles of Internal

Medicine. 7 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.

29