Upload
shafira-r-khaerati
View
218
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat kardio
Citation preview
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Rekam Medis : 362481
Tanggal masuk RS : 11 Januari 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak napas
Anamnesis terpimpin :
Sesak napas dialami sejak 2 tahun lalu dan memburuk 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dialami bahkan ketika pasien sedang beristirahat dan membaik
dengan sendirinya. Dyspnea on effort (DOE) ada, orthopnea tidak ada, Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND) ada. Pasien juga mengeluh nyeri dada yang dialami
sejak 7 tahun yang lalu. Nyeri dada terasa seperti ditekan dan tidak menjalar,
berlangsung selama kurang dari 5 menit. Nyeri dada muncul ketika pasien sedang
melakukan aktivitas berat dan berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa
selalu berdebar-debar. Tidak ada keluhan demam, mual, dan muntah. Batuk ada
sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul dan memberat pada malam hari.
Tidak ada keluhan buang air kecil dan buang air besar.
Ada riwayat dirawat di rumah sakit 7 tahun yang lalu dengan diagnosis Coronary
artery disease (CAD) dan dilakukan pemasang balon dan cincin. Ada riwayat
merokok sejak 35 tahun yang lalu (1 bungkus per hari) dan berhenti sejak 7 tahun
yang lalu. Ada riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu tapi tidak berobat secara
teratur. Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus. Tidak ada riwayat demam, penyakit
jantung bawaan dan penyakit tiroid. Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit
jantung.
1
PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum:
Sakit Sedang/Gizi Baik/ Sadar (CM)
Tanda vital
TD : 130/60 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Pernapasan : 25 x / menit
Suhu : 36,7 ° C
Regio Kepala dan Leher
Mata : Konjungtiva anemia (- / -), sclera ikterik (- / -)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan, JVP: R + 3 cmH2O
Kelenjar tiroid tidak teraba, tidak ada deviasi trakea
Regio Thorax
Paru:
Inspeksi: Simetris kiri = kanan
Palpasi: Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan,
fremitus vokal kiri = kanan
Perkusi: Sonor kiri = kanan,
Batas paru hepar:ICS VI anterior kanan.
Auskultasi: Bunyi pernapasan: vesikular
Suara tambahan: Ronchi (+ / +)basal, Wheezing (- / -)
Jantung:
Inspeksi: Tidak tampak ictus cordis
Palpasi: Tidak teraba ictus cordis
2
Perkusi: Batas jantung kanan pada linea parasternal kanan, batas jantung kiri
dua jari dari linea midclavicularis kiri ICS VI
Auskultasi: Jantung suara: SI / II reguler, tidak ada gallop, tidak ada bunyi jantung
tambahan, tidak ada murmur
Regio Abdomen:
Inspeksi: Datar, gerakan napas berikut
Auskultasi: Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi: Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: Timpani (+), asites (-)
Ekstremitas Superior dan Inferior
Edema pretibial - / -
Edema dorsum pedis - / -
PEMERIKSAAN EKG
Interpretasi EKG:
Atrial Fibrilasi
HR: 80x/menit, irreguler
3
Normoaxis
Gelombang P dan interval PR sulit dinilai
Kompleks QRS: 0,08 s dan Q.patologis di V1, V2,V3
Gelombang T sulit dinilai
Kesimpulan: Atrial Fibrilasi Normal Ventricular response, OMI anteroseptal
PEMERIKSAAN ECHOCARDIOGRAPHY
Kesimpulan echocardiography:
Disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri
Ejeksi Fraksi 33 %
Hipertropi Ventrikel kiri
Mitral Regurgitasi Trivial
Trombus di ventrikel kiri dengan diameter 2,8 x 3,6 cm
Akinetik basal anteroseptal, mid anteroseptal dan anterior, apikal anteroseptal,
anterior, segmen lain hipokinetik
PEMERIKSAAN FOTO THORAX
4
Kesimpulan:
- Kardiomegali dan dilatasi aorta
- Pulmo normal
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah lengkap
Test Result Normal value
WBC 11,1/ul 4.0 – 10.0 x 103
RBC 5,61/µl 4.0 – 6.0 x 106
HGB 16,7 gr/dl 14 – 18
HCT 49,1% 40 – 54
PLT 290.000/µl 150 – 400 x 103
Test Result Normal value
5
GDP 98 mg/dl <100
Ureum 22 mg/dl 10 – 50
Creatinine 0.5 mgr/dl < 1.3
SGOT 28 u/l <38
SGPT 34 u/l <41
Natrium
Kalium
Klorida
146 mmol/l
4,5 mmol/l
113 mmol/l/dl
136-145
3,5-5,1
97-111
CK 77.7 U/L <167
CK-MB 15.4 U/L <25
Troponin-T <0.02 <0.05
DIAGNOSIS
CHF NYHA IV e.c CAD (OMI Anteroseptal))
Atrial Fibrilasi Normal Ventricular Respon (AF NVR)
PENATALAKSANAAN
O2 2-4 lpm via nasal canul
IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
Balance cairan
Inj. Furosemide 40 mg/12 hours/ IV
Fasorbid 10 mg 1-1-1
Aspilet 80 mg 0-1-0
6
Captopril 6,25 mg 1-1-1
Simvastatin 1 x 20mg
Digoxin 0.125 mg 1-0-0
RENCANA: EKG kontrol
DISKUSI CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
DEFENISI
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang memadai dalam kaitannya dengan aliran balik vena dan
dalam kaitannya dengan kebutuhan metabolisme jaringan.
Gagal jantung kongesti adalah suatu kondisi di mana terjadi bendungan sirkulasi
abnormal sebagai akibat dari gagal jantung.
ETIOLOGI
Penyebab Utama
Penyakit jantung iskemik (35% -40%)
Cardiomyopathy (30-40%)
Hipertensi (15-20%)
Penyebab lain
Aritmia
Penyakit jantung katup
Penyakit jantung bawaan
penyakit perikardial
sirkulasi hiperdinamik
Alkohol dan obat-obatan (kemoterapi)
7
Kriteria Framingham CHF
MAJOR MINOR
• PND or orthopnea
• Neck vein distension
• Rales
• Cardiomegaly
• Acute pulmonary edema
• Increased central venous pressure
(>16 cm H2O at right atrium)
• Hepatojugular reflux
• Ankle edema
• Night cough
• Dyspnea on exertion
• Hepatomegaly
• Pleural effusion
• Vital capacity decrease in by one
third from maximum capacity
• Tachycardia (heart rate>120
beats/min.)
MAJOR OR MINOR
Weight loss >4.5 kg in 5 days in response to treatment
Diagnosis ditegakkan minimal dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor.
Catatan:
Kriteria minor dapat diterima jika tidak berhubungan dengan kondisi medis lain
(misalnya: hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis, sirosis, asites, sindrom
nefrotik)
8
PENATALAKSANAAN
Usaha pertama penanganan gagal jantung kongestif adalah mengatasi
sindrom gagal jantung yaitu meningkatkan cardiac output dan menurunkan
ventricular filling pressure. Kemudian mengobati fraktor presipitasi seperti aritmia,
anemia, tirotoksikosis, stres, infeksi dan lain-lain, serta memperbaiki penyakit
penyebab seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit katup serta
mencegah komplikasi seperti tromboemboli.
10
TREATMENT OF CHF
Managing afterload
Managing preload
Managing contractility
Inotropic agents : Cardiac glycosides B- adrenergicPhosphodiesterase inhibitors
Diuretics venodilator
ACE inhibitors Angiotensin receptor blocker β blockers CCB
A. Kasus Kronik
Penanganan gagal jantung kronik dapat dibagi atas dua yaitu penangan
farmakologik dan penangan non farmakologik. Penanganan non farmakologik
seperti memperbaiki oksigenasi jaringan, membatasi kegiatan fisik sesuai
beratnya keluhan dan diet rendah garam, cukup kalori dan protein. Sedangkan
penanganan farmakologik yaitu dengan memberikan obat-obatan yang bertujuan
untuk:
1. Menurunkan preload melalui pemberian diuretic termasuk aldosteron
receptor antagonist dan nitrat. Diuretic juga dipakai sebagai obat untuk
mengatasi retensi cairan tubuh.
2. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan
kontraktilitas miokard) melalui pemberian digitalis, ibopamin, β-blockers
generasi ketiga atau fosfodiaterase inhibitor.
3. Menurunkan afterload (bagi yang terjadi peningkatan afterload) dengan ACE
inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB), direct renin inhibitor, atau
calcium channel blockers (CCB) golongan dihidropiridin.
4. Mencegah miokardial remodeling dan menghambat progresivitas gagal
jantung dengan ACE inhibitor dan ARB.
5. Memperbaiki metabolism energy miokard dengan carnitine, Co-enzyme
Q10, D-ribose, magnesium dan vitamin-vitamin.
6. Intervensi khusus non farmakologis ditujukan bagi pasien yang gagal jantung
stadium D yang sudah tidak berespon terhadap obat-obatan.
1) Menurunkan preload
a. Diuretik
Merupakan pengobatan standar untuk memprtahankan kondisi
euvolemia. Diuretic yang sering digunakan adalah tiazid, furosemid dan
spironolakton. Hydro-chloro-tiazid (HCT) dan spironolakton dianjurkan
terutama pada gagal jantung NYHA kelas II. Apabila kondisi memburuk
barulah diberikan furosemid.
HCT harganya murah, namun memiliki efek hipokalemia dan
hipomagnesemia. Oleh karena itu dipakai dosis kecil 12,5 mg/hari
dengan obat substitusi kalium untuk mengurangi efek samping tersebut.
11
Spironolakton memiliki efek potassium sparing yang tidak
menyebabkan hipokalemia, namun merupakan antagonis reseptor
aldosteron. Dosis spironolakton yang dianjurkan tidak melebihi 25mg
karena dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama bila dikombinasikan
dengan ACE inhibitor.
Furosemid adalah loop diuretic yang kuat, yang bekerja dalam
30 menit setelah pemberian dengan masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih
memperlihatkan efek diuresisnya walaupun glomerular filtration rate
turun di bawah 25ml/jam dan aman untuk penderita gagal ginjal.
Pemberian furosemid kronis mengakibatkan resistensi furosemid
karena adanya proses adaptasi seperti peningkatan aktivitas saraf
simpatis dan sistem RAA, peninggian pelepasan arginin vasopressin,
sebaliknya menyebabkan penurunan pelepasan atrial natriuretic peptide
(ANP) sehingga terjadi penurunan curah jantung dan tekanan arteri
pulmonalis, juga penurunan respon terhadap ANP.
Resistensi furosemid dapat dihambat dengan pemberian ACE
inhibitor yang juhga bekerja mencegah hipokalemia dan
hipomagnesemia karena menurunkan plasma aldosteron.
Bagi penderita gagal jantung ringan sampai sedang digunakan
furosemid dengan dosis 20-40mg/hari dan untuk penderita gagal jantung
berat digunakan 40-80mg/hari dan dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.
Kontraindikasi pemberian diuretic adalah tamponade jantung,
infark miokard ventrikel kanan,hepatic failure, hipokalemia dan
hipersensitifitas.
b. Nitrat
Dipakai pada penderita gagal jantung dengan riwayat penyakit
jantung koroner atau bagi pasien yang telah diberikan furosemid dosis
tinggi namun belum teratasi gejala gagal jantungnya. Pemberiannya
harus dengan dosis awal kecil untuk mencegah sinkop.
Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena
dari pada dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulakn nitrat
menurunkan preload sehingga menurunkan ukuran ruang atrium kanan
12
dan kiri serta tekanan akhir diastolic, dengan demikian meningkatkan
perfusi miokard.
Kerja cepat efek singkat misalnya ISDN 2,5-5mg sublingual
dengan lama kerja 10-60 menit sedangkan kerja sedang misalnya
nitrogliserin 5-20mg oral (3-4 kali/hari) dengan lama kerja 6-8 jam dan
ISDN 10-60mg oral (3-4 kali/hari) dengan lama kerja 4-6 jam.
2) Meningkatkan kontraktilitas
Hanya digunakan pada pasien gagal jantung dengan gangguan kontraktilitas,
misalnya pada pemeriksaan fisis atau pada foto toraks tampak pembesaran
jantung, atau hasil ekokardiografi menunjukkan EF <40%.
a. Digitalis (digoksin)
Memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas)
dan efek kronotropik negative (menurunkan laju jantung). Obat ini
menurunkan laju jantung sehingga memberikan kesempatan bagi
ventrikel kiri untuk mengadakan relaksasi dan pengisian darah yang
efektif untuk kemudian dipompakan keluar.
Digoksin adalah digitalis kerj cepat yang dapat diberikan secara
oral dan intravena. Meknisme kerja digoksin yang pertama adalah
menghambat aktivitas pompa sodium yang memperlambat fase
repolarisasi, atau dngan kata lain mengakibatkan fase depolarisasi
miokard lebih lama dengan demikian banyak kalsium yang masuk ke
dalam sel, sehingga kontraktilitas miokard meningkat. Mekanisme
digoksin yang kedua adalah meningkatkan tomus vagus (parasimpatis)
sehingga menurunkan laju jantung.
Digoksin dapat diberikan peroral atau per intravenous. Digoksin
intravenous diberikan pada gagal jantung akibat fibrilasi atrium respon
cepat. Pemberian digoksin dimulai dengan loading dose yaitu 0,5mg
intravena perlahan-lahan kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan. Digoksin mral diabsorbsi lambat dan tidak sempurna
(hanya 30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulus
enterohepatik sehingga waktu paruh panjang yaitu 1,6 hari. Sifat-sifat ini
menyebabkan pemberian digoksin selalu dimulai dengan dosis muat
yaitu 3 kali 1 tablet (0,25mg) per hari selama 3 hari untuk orang dewasa,
13
kmudian dilanjutkan dengan pemliharaan. Pada umumnya dosis
pemeliharaan adalah 0,25mg/hari umutk umur di bawah 7 tahun dan
0,125mg/hari untuk diatas 70 tahun.
Efek toksik yang paling sering ialah aritmia berupa bradikardi,
interval PR memanjang atau ekstrasistol ventrikel. Apabila setelah
pemberian digoksin ditemukan tanda-tanda di atas maka pemberian
digoksin harus dihentikan. Efek toksis yang lain pada saluran pencernaan
adalah nausea, vomitus, diare dan nekrosis intestinal. Pada susunan saraf
pusat dapat berupa lethargy, stupor, amnesia, confussion sampai koma.
Sedangkan pada mata dapat berupa fotofobia, penglihatan berkilau dan
gangguan persepsi warna. Selain hipokalemia, factor lain yang
ikutberperan dalam intoksikasi digoksin adalah kondisi jantung itu
sendiri misalnya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung berat,
karena penyakit ini selalu menimbulkan asidosis dan peningkatan
aktivitas simpatis.
Pemberian digoksin dikontraindikasikan pada semua penderita
yang pernah mengalami intoksikasi digitalis. Selain itu, obat ini juga
tidak boleh diberikan pada penderita kardiomiopati hipertrofi dan
sindrom Wolf-Parkinson-White dan harus sangat hati-hati pada pasien
hipertiroidisme.
b. Ibopamin (inopamil)
Memiliki efek merangsang aktivasi dopamine-1 dan dopamine-2
yang menyebabkan vasodilatasi arteri. Aktivasi reseptor dopamine-2 dan
adrenoreseptor-α2 sentral menghambat pelepasan noradrenalin dan
penurunan aktivasi sistem RAA. Aktivasi adrenoreseptor-β1
meningkatkan kontraktilitas jantung.
Pemberian ibopamin 3x100mg/hari pada penderita gagal jantung
dapat menaikkan cardiac index sebesar 30% disertai penurunan resistensi
vaskuler, tanpa banyak mempenagruhi denyut jantung dan tekanan
darah. Dapat diberikan sebagai monoterapi menggantikan digitalis dan
diuretic atau diberikan sebagai terapi kombinasi dengan digitalis pada
gagal jantung NYHA II dan III.
c. β-bloker
14
Adrenoreseptor-β di miokard memegang peranan penting atas
terjadinya gagal jantung. Pemberian β-agonis yang terus menerus
menyebabkan gagal jantung dan kspresi berlebihan adrenoreseptor- β di
miokard menyebabkan dilated cardiomyopathy. adrenoreseptor- β1
menurun pada gagal jantung, sebaliknya adrenoreseptor- β3 meningkat
pada gagal jantung.
Β-bloker yang terbukti dapat meningkatkan fraksi ejeksi,
memperbaiki gejala dan menurunkan angka kematian pasien gagal jantug
adalah metoprolol, bisoprolol dan carvedilol.
Prinsip pemberiannya dalah start low dan go slow. Start low
artinya mulai denagn dosis awal sangat rendah yaitu 1/8-1/10 dosis
target, misalnya dosis target carvedilol adalah 25mg/hari atau bisoprolol
5mg/hari, maka mulai dengan 1/8 tablet/hari. Go slow artinya dosis
dinaikkan pelan-pelan dengan pemantauan ketatyaitu apabila kondisi
pasien membaik, maka setiap 1-2 minggu dosis ditingkan 1/8 tablet
sampai mencapai dosis target.
d. Fosfodiaterase inhibitor
Seperti milrinone, amrinone menghambat degradasi cAMP.
Peningkatan jumlah cAMP selular mengaktifkan protein kinase yang
pada jantung akan menyebabkan terjadinya peningkatan kontraktilitas,
sedangkan pada pembuluh darah menyebabkan vasodilatasi dan
venodilatasi. Selain meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan
afterload dan preload. Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan
peningkatan mortalitas pasien gagal jantung, jadi hanya digunakan pada
pasien gagal jantung akut dengan penggunaan singkat secara
intravenous.
e. Isoniazide (INH)
Memiliki struktur kimia yang mirip dengan potassium channel
bloker 4-aminopiridin yang dapat memprpanjang fase depolarisasi
sehingga meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau otot polos
vascular. Kerja INH adalah melalui blockade kanal kalium sehingga
memperpanjang fase depolarisasi.
15
3) Menurunkan afterload
a. Angiotensin Converting enzyme (ACE)-inhibitors
Memiliki efek langsung pada jantung dalam hal mencegah
terjadinya remodeling dan menghambat perluasan kerusakan miokard.
Selain itu juga berefek menurunkan afterload, menurunkan aktivitas saraf
simpatis, menurunkan sekresi aldosteron (sehingga meningkatkan
ekskresi natrium) dan menurunkan sekresi vasopressin yang semuanya
berguna untuk penderita gagal jantung kongestif.
Penderita gagal jantung kongestif dengan hipertensi merupakan
golonagn penderita yang aman untuk menerima ACE-inhibitors.
Biasanya dimulai dengan ACE inhibitor yang kerja pendek seperti
kaptopril dosis rendah yaitu 3 kali 6,25mg atau 12,5 mg/hari, atau
enalapril 2 kali 2,5mg/hari selama beberapa hari di bawah pengawasan
ketat, kemudian dosis dinaikkan secara bertahap. Apabila tampak
perbaikan dan hemodinamik stabil, obat golongan kerja pendek ini dapat
digani dengan golongan kerja panjang seperti lisinopril atau ramipril.
Dosis lisinopril untuk gagal jantung kongestif biasanya dimulai
5mg/hari. Dosis dapat dikurangi bila terjadi penurunan tekanan darah,
kemudian dinaikkan secara bertahap setiap 4 minggu.
Pengobatan gagal jantung kongestif dengan ACE inhibitor selalu
harus diberikan bersama diuretic (bukan denga potassium sparing
diuretic karena kombinasi kedua obat ini menyebabkan hiperkalemia).
Hal ini disebabkan karena mekanisme umpan balik antara volume
plasma dan aktivitas rennin angiotensin.
Kontraindikasi pemberian ACE inhibitor antara lain stenosis
aorta, stenosis arteri renalis atau carotis, anemia berat, gagal jantung
yang disertai angina karena kardiomiopati restriktif atau hipertropik, ibu
hamil atau yang sedang menyusui, hipotensi, hipovolemia, hiponatremia,
dan hiperkalemia.
Efek samping yang paling sering ialah batuk-batuk. Selain itu
ACE inhibitor dapat mengakibatkan angioedema, gatal-gatal,
hiperkalemia, anemia dan hilangnya rasa pengecap.
16
b. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Memblokade reseptor angiotensin-1 sehingga menghambat
sebagian besar efek negatif dari sistem RAA. Pemberian ARB
dianjurkan pada pasien gagal jantung kongestif yang kontraindikasi
dengan ACE inhibitor memberi manfaat yang sama seperti ACE
inhibitor. Kombinasi keduanya memiliki efek sinergis dalam
memperbaiki hemodinamik, remodeling dan profil neurohormon.
c. Direct Renin inhibitor
Penambahan direct renin inhibitor 150 mg pada pasien gagal jantung
yang stabil dengan obat-obat gagal jantung termasuk ACE inhibitor dan
ARB menurunkan konsentrasi N terminal pro-B-type natriuretic peptide
(NT proBNP), suatu petanda gagal jantung. Obat ini juga dilaporkan
mampu menurunkan hipertrofi ventrikel kiri.
d. Calcium channel blockers (CCB)
CCB dihidropiridin merupakan vasodilator kuat sehingga
biasanya diberikan paa pasien gagal jantung grade II yang tidak
takikardi. CCB kerja panjang seperti amlodipin dan nifedipin lebih baik
karena tidak mempresipitasi reflex takikardi dan dilaporkan bermanfaat
pada kasus yang belum maupun yang sudah terjadi gangguan fungsi
sistolik.
4) Mencegah remodeling
Obat-obatan seperti ACE inhibitors dan ARB dapat digunakan
namun dengan dosis maksimal. Sebenarnya hampir semua obat hipertensi
memiliki efek mencegah remodeling termasuk CCB, β-bloker dan diuretic.
5) Memperbaiki metabolisme energi miokard
Disfungsi miokard disebabkan oleh kekurangan produksi energy atau
ATP. D-riboe merupakan satu-satunya komponen yang dapat mengisi ulang
cadangan energy. Coenzyme Q10 menangkap electron yang keluar dari
siklus KREBS dan mengahantarkannya ke sitokrom dalam rantai transportasi
electron. L-carnitine berfungsi mengangkut asam lemak ke dalam
mitokondria. Magnesium merupakan kation yang terdpat dalam ATP yang
berperan dalam berbagai metabolism.
17
Pemberian D-ribose memperbaiki kapasitas latihan pada pasien PJK,
dan meningkatkan fungsi diastolic pada pasien gagal jantung. Dosis yang
dianjurkan adalah 5-15gr/hari tergantung jenis penyakit.
6) Intervensi khusus
a. Implantable Cardioverter Defibrillators (ICD)
Pemasangan ICD menurunkan mortalitas pasien gagal jantung
stadium D karena bisa menurunkan insiden mati mendadak akibat
ventricular takikardi.
b. Biventricular Pacing (resyncgronization) therapy
Pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi sistolik berat
(EF<30%) memiliki konduksi ventricular yang abnormal (durasi
QRS .120 ms), hal ini menyebabkan disinkronisasi kontraksi miokard
sehingga fungsi pompa jantung tidak efisien.
c. Revaskularisasi melalui PTCA atau CABG
Jika pada angiografi ditemukan lesi yang cocok maka PTCA
atau CABG akan memperbaiki gejala dan menghambat progresivitas.
CABG lebih unggul daripada PTCA karena operasi bypass member
revaskularisasi yang lebih sempurna.
d. Lain-lain
Transplantasi jantung, kardiomioplasti dan ventricular reduction
surgery untuk memperbaiki prognosis pasien gagal jantung stadium D,
namun prosedur tersebut masih memiliki resiko tinggi dan harganya
mahal.
18
Tabel 2. Obat-obat untuk penanganan gagal jantung kronik (EF <40%)
Setelah penegakan diagnosis gagal jantung, sangat penting untuk
mengobati retensi cairan pada pasien sebelum memulai pengobatan dengan
ACE inhibitor atau ARB. Beta bloker harus dimulai setelah retensi cairan
telah ditangani dan/atau ACE inhibitor telah dinaikkan titrasinya. Jika pasien
megalami gejala simtomatik, ARB, agonis aldosteron atau digoksin dapat
19
ditambahkan sebagai triple terapi. Kombinasi dosis tetap dari hidralazine/
isosorbid dinitrat harus ditambahkan pada pengobatan ACE inhibitor dan beta
bloker pada pasien gagal jantung NYHA kelas II–IV. Tepai denagn peralatan
harus dipertimbangkan sebagai tambahan terapi farmakologi pada pasien-
pasien yang cocok. Terapi dengan alat harus dipertimbangkan sebagai terapi
farmakologik pada pasien yang sesuai untuk terapi alat tersebut. (Keterangan
singkatan: HF, heart failure; ACE, angiotensin-converting enzyme; ARB,
angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT,
cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator).
B. Kasus Akut
Tindakan umum untuk pasien gagal jantung kongestif akut ialah
penderita dibaringkan pada posisi setengah duduk dan diberi oksigen karena
hampir semua pasien mengeluh sesak napas. Oksigen konsentrasi tinggi mutlak
diperlukan pada penderita yang PO2 kurang dari 70% atau terdapat tanda-tanda
edema paru yang berat.
Agar tidak terjadi kekeringan mukosa paru, pemberian okigen sebaiknya
disertai uap air. Pada pemberian oksigen konsentrasi sangat tinggi (60-100%)
maka setiap 5 jam harus dihentikan beberapa menit untuk mencegah keracunan
oksigen. Tanda-tanda keracunan oksigen antara lain perasaan lemah, nausea,
vomitus, batuk-batuk, perasaan terbakar di daerah substernal dan tanda-tanda
serebral seperti konvulsi.
1) Mengurangi preload
a. Furosemid
Pemberian furosemid intravena dengan dosis awal 40mg (bolus)
secara perlahan (1-2 menit) jelas meringankan gejala edema paru akibat
gagal jantung). Apabila pemberian furosemid yang pertama tidak
memberikan tanda-tanda diuresis maka 2 jam kemudian dapat diganti
dengan dosis yang sama atau ditingkatkan.
Jika pemberian furosemid secara intravena intermiten tidak
memberi efek diuretic yang optimal maka dapat diganti dengan infuse
secara kontinu (2-3mg/jam) selama beberapa hari.
20
Kontraindikasi pemberian furosemid adalah anuri dan oligouri
(obstruksi post renal), azotemia, sirosis hepatis, dehidarasi yang disertai
hiponatremia, metabolic alkalosis, hipokalemia, hipotensi dan syok
hipovolemik.
Furosemid meningkatkan ekskresi natrium, kalium dan klorida,
maka pemberian jangka lama membutuhkan suplemen kalium.
b. Nitrat
Nitrat intravena sangat efektif dalam menaggulangi gagal
jantung kongestif akut yang disebabkan karena infark miokard. Pada
dosis kecil nitrat menyebabkan venodilatasi sehingga menurunkan
preload. Kontraindikasi pemberian nitrat adalah panderita yang
hipersensitif, hipotensi, syok hipovolemik, peninggian tekanan
intracranial, perikarditis konstriktif dan tamponade jantung.
c. Morfin
Diberikan jika tidak ada perbaikan gejala oleh furosemid dan
nitrat. Dosisnya adalah 2,5-5mg intravena. Morfin menyababkan
venodilatasi, juga menurunkan tekanan kapiler pulmonalis serta
menghilangkan atau mengurangi kecemasan yang hampir selalu
menyertai penderita gagal jantung kongestif akut.
2) Meningkatkan kontraksi jantung dengan obat-obat inotropik (pada keadaan
curah jantung rendah dan disfungsi sistolik)
Digoksin sangat bermanfaat untuk gagal jantung kongestif akut
yang disebabkan oleh fibrilasi atrium cepat dan yang telah terjadi
kardiomegali. Sebelum pemberian digoksin, obat-obat yang menurunkan
preload seperti diuretic dan nitrat intravenous harus pertama diberikan. ACE
inhibitor dan vasodilator diberikan apabila tekanan darah meningkat.
Dosis muat untuk digoksin intravena adalah 8-12 mikrogram/kgBB
setiap 6 jam (dosis total tidak melebihi 1,5mg/hari) sampai tampak tanda-
tanda perbaikan, kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan. 1 ampul
digoksin (1mg/cc) diencerkan menjadi 5ml kemudian diberikan setengah
dosis (0,5mg) secara perlahan. Apabila belum ada respon, 3-4 jam
kemudian diberikan lagi setengan dosis yang sisa (0,25mg).
21
Pada gagal jantung yang disebabkan infark miokard, digoksin dapat
mempresipitasi iskemia lebih lanjut bahkan sampai terjadi takikardi
ventrikuler yang membahayakan. Jadi apabila digoksin merupakan indikasi
pada penderita gagal jantung akibat infark miokard, maka pemberiannya
baru dimulai setelah 24 jam serangan infark miokard dan dosis yang
digunakan hanya ¾ dosis seharusnya.
3) Mengurangi afterload (pada keadaan tekanan darah tinggi dan disfungsi
sistolik)
Pemberian vasodilator yang menurunkan tekanan darah 10-
20mmHg akan mengurangi afterload, sehingga terjadi peningkatan stroke
volume, namun hanya terjadi pada pasien dengan volume ventrikel kiri yang
besar. Indikasi pemberian vasodilator adalah tekanan darah sistolik di atas
100mmHg.
Jenis vasodilator yang tersedia adalah natrium nitroprusid, ACE
inhibitor, ARB dan pada keadaan khusus CCB golongan dihidropiridin.
22
Tabel 3. Obat-obat untuk penanganan gagal jantung akut.
PROGNOSIS
Gagal jantung secara umum memiliki prognosis yang buruk. 30-40% pasien
yang didiagnosis gagal jantung, meninggal dalam 1 tahun pertama dan 60-70%
sisanya dalam 5 tahun pertama. Hal ini bisa disebabkan oleh perburukan gagal
jantung itu sendiri atau karena kejadian lain misalnya ventrikular takikardi. Meskipun
sulit untuk menentukan prognosis masing-masing individu, pasien dengan gejala saat
istirahat (NYHA kelas IV) memiliki mortalitas 30-70% sedangkan pasien dengan
gejala saat beraktivitas sedang (NYHA kelas II) memiliki mortalitas 5-10%.
23
CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)
DEFINISI
Penyakit arteri koroner adalah penyempitan pembuluh darah yang memasok darah
dan oksigen ke otot jantung. CAD terjadi ketika arteri yang memasok darah ke otot
jantung (arteri koroner) menjadi mengeras dan menyempit karena penumpukan bahan
yang disebut plak (plaque) pada dindingnya. Hal ini dikenal sebagai aterosklerosis.
Akibatnya, aliran darah ke otot jantung berkurang dan otot jantung tidak menerima
jumlah oksigen yang dibutuhkan.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Penyakit arteri koroner (CAD) disebabkan oleh aterosklerosis (penebalan dan
pengerasan dinding dalam arteri). Beberapa pengerasan arteri terjadi secara normal
pada orang tua. Pada aterosklerosis, terjadi deposito plak di arteri. Plak terdiri dari
lemak, kolesterol, kalsium, dan zat lain dari darah. Penumpukan plak dalam arteri
kenbanyakan dimulai pada masa kanak-kanak.
Penyempitan arteri akan mengurangi jumlah darah dan oksigen yang mencapai otot
jantung. Blok total arteri akan menghentikan aliran darah ke otot jantung.
palak juga menyebabkan terbentuknya gumpalan darah. Hal ini dapat memblokir
arteri yang memasok darah ke otot jantung.
24
Plak dalam arteri dapat:
Keras dan stabil. Plak keras menyebabkan dinding arteri menebal dan
mengeras. Kondisi ini lebih terkait dengan angina dibandingkan dengan
serangan jantung, tetapi serangan jantung sering terjadi dengan plak keras.
Lembut dan tidak stabil. Plak yang lembut mungkin akan terbuka bila istirahat
atau ruptur dari dinding arteri dan menyebabkan pembekuan darah. Hal ini
dapat menyebabkan serangan jantung.
25
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit jantung koroner dimulai dari adanya plak aterosklerosis pada
pembuluh darah, plak tersebut semakin lama semaki besar dan menyumbat aliran
darah dipembuluh darah. Akibat dari hal tersebut aliran darah menjadi tidak lancar
pada arteri koroner, yang akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen pada otot
jantung. Akibat berkurangnya suplai oksigen, lama kelamaan otot jantung menjadi
hipoksia yang kemudian dapat menjadi iskemik. Semakin lama otot jantung
kekurangan suplai oksigen dan darah menyebabkan tidak dapat dibentuknya ATP
pada otot jantung sehingga dapat terjadi infark miokard.
26
Modified Risk Factors :
Usia dan jenis kelamin. Seperti bertambahnya usia, risiko untuk CAD meningkat.Pria, risiko meningkat setelah usia 45.Perempuan, risiko meningkat setelah usia 55 (atau menopause).Riwayat penyakit jantung dalam keluarga.Penyakit jantung didiagnosis sebelum usia 55 tahun pada ayah atau saudara-laki-laki.Penyakit jantung didiagnosis sebelum usia 65 tahun pada ibu atau saudara perempuan.
Non Modified Risk Factors :
Kolesterol darah tinggi (hiperlipidemia)Tekanan darah tinggi (hipertensi)MerokokDiabetesKegemukan atau obesitasKurangnya aktivitas fisik
TANDA DAN GEJALA
Gejala utama penyakit jantung koroner adalah angina pektoris. Angina pectoris
merupakan perasaan tidak enak (chest discomfort) akibat iskemia miokard. Perasaan
tidak enak didada ini dapat berupa nyeri, rasa terbakar, atau rasa tertekan. Kadang-
kadang tidak dirasakan di dada melainkan di leher, rahang bawah, bahu, atau di ulu
hati. Serangannya tidak berhubungan dengan perubahan posisi badan atau menarik
napas. Penyakit jantung koroner terbagi menjadi dua, yaitu stable angina pectoris dan
acute coronary syndrome. Acute coronary syndrome terbagi menjadi tiga, yaitu
unstable angina, Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST elevation
myocardial infarction (STEMI).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektrokardiogram (EKG)
Uji Treadmill
Echocardiography
Angiografi Koroner
Multi-Slice Computed Tomography Scan (MSCT)
Jantung Magnetic Resonance Imaging (MRI Jantung)
Pengobatan Radionuclear
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada penyakit jantung koroner dilakukan dengan perubahan gaya hidup,
yaitu dengan mengontrol faktor-faktor resiko serta diberikan pengobatan, seperti
pemberian nitrat sebagai anti angina, aspilet sebagai anti agregasi trombosit, warfarin
sebagai anti koagulan.
27
Prosedur Khusus
Angioplasty (PTCA)
Operasi bypass arteri koroner
Peningkatan Counterpulsation eksternal (EECP)
Rehabilitasi jantung
Exercise training
Pendidikan, konseling, dan pelatihan
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI 2010.
2. Manurung D. Gagal jantung akut. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009. p. 1586-95.
3. Kesehatan BPdPKDK. Riset Kesehatan Dasar. In: Kesehatan K, editor. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan; 2013.
4. O'Donnell MM, Carleton PF. Disfungsi mekanis jantung dan bantuan sirkulasi. In:
Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 6
ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 630-55.
5. Schoen FJ. The Heart. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. 7 ed. China: Elsevier Saunders; 1999. p. 555-618.
6. Harrison. Heart Failure and Cor Pulmonal. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Principles of Internal
Medicine. 7 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.
29