Upload
ranu-ningtias
View
1
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Being A Good Person
Citation preview
BEING GOOD PERSON
Apa sih kriteria orang baik menurut orang-orang? Setiap orang pasti punya standar kebaikan.
Menurut survey yang awalnya saya lakukan pada satu temen kos saya yang bernama Mey, ia
mendefinisikan orang baik dengan satu kalimat, “Orang baik itu ya kayak aku” sambil sok
imut bilangnya. Jawaban yang sangat menyesal sekali telah terdengar di telinga saya.
Kemudian saya bertanya pada adik kos yang kelihatannya lebih bisa diharapkan.
“Feb, menurut kamu orang baik itu yang kayak apa?”
“Kayak aku.”
Saya langsung diem, jawaban macam apa itu, jawaban yang sungguh suram. Mendengar itu
saya langsung mengurungkan niat saya untuk mengadakan survey lebih lanjut. Oke, saya
sadari saya salah nanya ke orang, teman kos saya memang tidak bisa untuk diharapkan.
Sekarang, mari kita kembali ke konsepsi yang benar. Kalau di dalam sistem sosial
masyarakat ada istilah “sampah masyarakat”, jadi kalau kita ambil kebalikannya orang baik
adalah yang tidak tergolong ke dalam sampah masyarakat. Itu artinya orang baik adalah
orang yang tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang meresahkan warga, seperti mencuri
jemuran tetangga, mencuri ayam, melakukan mabuk dan perjudian, menggoda anaknya Pak
Lurah, dan lain-lain. Namun, untuk menjadi orang baik pastilah tidak mudah, pasti akan ada
suatu masa dimana seseorang akan ditekan oleh hasrat untuk berbuat kejahatan, untuk
menghindari terjebak dalam kondisi tersebut seseorang bisa mengarahkan dirinya untuk
mencari kesibukan lain, seperti menggalaukan diri misalnya.
Sedang menurut Undang-undang No. 20,5 Th. 2003 tentang Sistem Orang Baik Nasional,
orang baik adalah orang yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi diri sendiri agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kalau versi saya sendiri, orang baik adalah orang yang mau mendengarkan hatinya dan
menekan segala hasrat yang tidak baik yang ada dalam dirinya. Selain keluarga saya, saya
juga pernah bertemu dengan beberapa orang baik dalam hidup saya.
Salah satunya adalah Pak Irba, beliau adalah guru Bahasa Inggris ketika saya masih SMP.
Yang paling saya ingat dari beliau adalah ketika beliau menanyakan pada kami, “Apa
bedanya orang dan manusia?”
Kami sekelas terdiam, kemudian Pak Irba mengembangkan senyum lebar pada bibirnya,
beliau mengatakan, “Orang itu adalah manusia yang punya nilai, sedang manusia hanyalah
jiwa dan raga yang hidup tanpa nilai.”
Pak Irba tak pernah lelah mengajari kami tentang nilai-nilai kehidupan. Jadi kalau dalam
pembelajaran dinyatakan bahwa pendidikan karakter itu diperlukan, saya setuju. Apa jadinya
manusia tanpa nilai?
Setelah saya beranjak lebih dewasa. Saya bertemu dengan bapak Fifi, saya lupa nama
lengkapnya siapa, namanya begitu susah untuk dilafalkan. Bapak yang satu ini lucu, bijak,
baik, dan tidak sombong. Saya bertemu beliau hanya sekali, waktu itu saya pulang dari
Surabaya. Setelah lelah mencari pekerjaan di sana, saya memutuskan untuk pulang kampung.
Dalam perjalanan pulang, saya bertemu Pak Fifi di dalam bus. Beliau bercerita banyak
tentang pengalamannya. Dulu sewaktu SMA, beliau sekolah sambil berjualan, setelah lulus
beliau mencari pekerjaan. Dalam prosesnya tentu tak mudah, tapi beliau tidak mudah putus
asa. Sampai beliau menemukan pekerjaan yang hasilya lumayan, beliau melanjutkan
pendidikannya di sebuah Sekolah Tinggi Teknik di Surabaya, beliau kuliah sambil kerja.
Setelah lulus kuliah, beliau masih berjuang mencari pekerjaan yang layak. Hingga akhirnya
beliau menetap di sebuah PMA di Juanda.
“Kok bisa sih Pak, bisa diterima di sana?”
“Iya, jadi dulu waktu ngelamar kerja, saya pakai ijazah SMA. Tapi karena pengalaman kerja
saya sudah banyak, saya diterima. Padahal sarjana-sarjana yang ngelamar juga banyak lho.”
“Kok bisa?” saya makin penasaran.
“Saya kasih tahu rahasianya sedikit. Jadi tiap ada orang yang ngelamar kerja itu, surat
lamarannya disortir, yang lulusan SMA dipisahin dari yang Sarjana. Setelah itu bakal dipilih
siapa yang berkualitas. Misal, jika dibandingkan lulusan SMA berpengalaman sama Sarjana
yang baru lulus, pasti perusahaan bakal milih yang lulusan SMA tapi udah berpengalaman,
karena mereka sudah berpengalaman dan gajinya tidak akan setinggi tuntutan yang lulus
Sarjana.”
“Oooh, kalau bapak?”
“Saya dulu pakai ijazah SMA, jadi gajinya ya standar lulusan itu. Tapi setelah rekan kerja
saya tahu kalau saya lulusan Sekolah Tinggi Teknik, gaji saya disetarakan sama yang lulusan
S1.”
“So sweet,” ujar saya dengan mata berkaca-kaca.
Saya heran plus kagum banget, kok bisa gitu ada orang yang baik, sukses, tapi sama sekali
nggak sombong. Bapak Fifi mirip banget kayak padi yang semakin tua semakin merunduk.
Meski beliau sudah sukses, beliau tidak memandang rendah saya yang masih bawa amplop
lamaran kemana-mana. Belum lagi, saya dibayarin naik bus sama dibeliin donat buat oleh-
oleh sama beliau.
Setiap orang memang akan menjadi manik-manik dalam kehidupan kita. Setiap orang akan
meninggalkan kesan dalam benak kita. Ada orang yang bersama dengan kita setiap hari,
namun ia tidak memberikan kesan yang mendalam. Ada orang yang hanya bertemu sebentar
dengan kita, namun kita tak dapat lupa. Untuk pernyataan yang terakhir saya menempatkan
nama Pak Fifi di urutan pertama dalam daftar saya.
“Satu lagi, ada yang salah dengan persepsi orang. Sebagian orang menganggap kalau kuliah
itu segalanya, jadi kalau ada anak kuliahan itu kayaknya keren banget gitu. Padahal, pada
faktanya, kuliah hanyalah proses yang tujuan akhirnya mencari kerja hingga mendapatkan
pekerjaan. Jadi pada intinya, adalah bagaimana seseorang memperoleh pekerjaan yang layak
bukan bagaimana seseorang mendapatkan title Sarjana.” Beliau melanjutkan ceritanya.
Saya idem, meski pada akhirnya saya kuliah juga dan meninggalkan kerjaan saya yang
rasanya tidak cocok. Saya kuliah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih sesuai dengan hati
saya, sama seperti yang diungkapkan oleh beliau. Pendidikan memang penting, namun yang
lebih penting adalah bagiamana seseorang mampu mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya
dalam kehidupan, mencoba bermanfaat untuk orang lain, menggunakan ilmu memperbaiki
kehidupan.
Pertemuan yang hanya beberpa jam itu tampaknya sudah membekas dalam di hati saya. Saya
bersyukur, karena akhirnya saya tahu bahwa Tuhan selalu mengirimkan orang baik untuk
menolong orang-orang yang rentan galau seperti saya.
Tak hanya itu, beberapa teman yang saya temui sewaktu saya kuliah juga banyak
memberikan kesan. Ada Mas Rere, orang yang satu ini nggak bisa marah, biarpun dia dijahati
sesadis apapun. Lebih tepatnya, ia tak pernah mengungkapkan kemarahannya, meski ia tidak
terima, paling mentok dia diam. Orang yang dulunya suka dandan kayak anak metal ini,
paling nurut sama bapak ibunya, anak metal yang berbakti pada orang tua. Saya bertemu
dengan dia hanya sebentar, namun sepertinya ia sudah seperti kakak saya. My big brother.
Alif, saya baru dua kali bertemu orang ini. Anak sastra yang usianya lebih muda dari saya ini
sama sekali jauh dari yang saya pikirkan. Dia dengan motornya yang super gedhe itu sering
banget jadi perhatian kalo lagi lewat di jalan. Meski datang dari keluarga yang mapan, dia
sama sekali nggak sombong. Dia humble banget. Dia masih semester dua, kuliah sambil
kerja. Masih freelance sih, tapi pertanyaannya orang yang fasilitasnya serba tercukupi seperti
dia mengapa mau kerja sambilan?
Dia jawab, “Ya, nyoba mandiri aja, orang tua kita cari duit kan nggak mudah.” Saya hampir
nggak percaya, ternyata ia sangat mennghargai kerja keras.
Pertama kali saya bertemu dengannya, waktu ia meminjam jas hujan untuk Diklat organisasi
pencinta alam yang ia ikuti. Yang kedua, waktu saya mengajak dia ke perpustakaan pusat di
kampus.
Pria berwajah manis itu ternyata seorang aktivis. Selain ikut organisasi pecinta alam, ia juga
aktif di organisasi Islam di fakultasnya. Sampai saat itu, ia selalu berhasil membuat saya
kagum. Oh, ayolah pasti dia punya kekurangan, malaikat jahat mulai berbisik pelan.
Entahlah, semakin lama semakin banyak hal yang membuat saya penasaran. Saya pernah
menanyakan beberapa hal, seperti “Kamu berapa bersaudara?”
Ia jawab, “Lima.”
“Kamu anak terakhir?”
“Aku nomor empat.”
“Saudara kamu ceweknya berapa?”
“Laki-laki semua.”
“Hah? Jadi kalian itu sebenarnya pandawa atau boy band?” pertanyaan itu keluar begitu saja.
“Hah??” dia heran.
Saya suka mengirim pesan ke Alif, nanya ide, nanya tentang masakan, nanya apa aja, atau
sekadar iseng.
Lif, lagi apa? Salah satu pesan yang saya kirim, waktu itu malam Minggu. Lagi ngetik-ngetik
aja nih, jawabnya singkat. Ngetik apa?, saya heran. Bikin LKS, jawabnya masih singkat. Ibu
kamu guru ya?, tanya saya lagi.
Ibu? Ibu sudah nggak ada, ini bantu bapak kok.
Oops. Saya menyesal sekali mengataknnya.
Sewaktu di perpustakaan, ada hal yang masih membuat saya penasaran. Saya bertanya-tanya
lagi.
“Kamu di rumah berapa orang?”
“Dua.”
“Sama bapak?”
“Sama adik.”
“Hah? Kok bisa, lhah bapak kamu?”
“Tinggal sendiri. Aku di rumah sendiri kok.”
“Hah?”
Kali ini, saya bingung mesti kagum atau merasa miris? Di perpustakaan yang begitu tenang,
saya malah nggak konsen. Saya nggak tahu mesti merasa gimana. Saya dulu pernah berpikir,
kalau sudah lulus ke Kalimantan untuk mencari kerja – mungkin ke Derawan. Namun, saya
berpikir ulang mencoba mencari tempat kerja yang lebih dekat dengan pertimbangan agar
lebih dekat dengan orang tua, saya tidak ingin menggantikan kebersamaan keluarga dengan
uang. Karena saya tau, masa-masa saya bersama mereka semakin lama akan semakin habis.
Sedang, mencari uang, saya masih bisa mengusahakannya setiap saat. Bagi saya, rumah
adalah keluarga. Tak peduli tinggal dimana, disanalah rumah saya, tempat saya pulang.
Alif? Kondisinya sangat berbeda dengan saya. Mungkin itu adalah cara orang tuanya untuk
mendidik ia agar manjadi dewasa. It works. Dia mengurus rumah sendiri dan bertanggung
jawab atas segala hal dalam hidupnya, dia sangat dewasa untuk anak seumurannya.
Ditengah keheranan, saya mencoba melontarkan beberapa pertanyaan lagi. “Kamu di rumah
punya piaraan?”
“Enggak. Paling motor.”
“Hah?? Motor kamu kan nggak bisa ngomong?”
“Tapi kan bisa diajak kemana-mana.”
“Hahh??”
Saya bingung mesti jawab gimana lagi. Saya jadi kepikiran sama kucing-kucing saya di
rumah, rasanya ingin sekali saya menyumbangkan salah satunya buat nemenin Alif.
Setidaknya, kucing bisa bikin ramai rumah. Saya jadi nggak niat cari kekurangan dia lagi.
Perasaan saya semakin nggak karuan.
Ok, the next guy. Mas Yo, saya nggak pernah ketemu sama dia, tapi dia ada di saat saya
butuh. Dia yang selalu memberikan saya nasehat-nasehat yang rasional ketika pikiran saya
sedang kacau. Satu-satunya orang yang rajin banget bangunin saya buat sholat tahajud, meski
sering nggak berhasil soalnya saya putri tidur yang cuma bisa dibangunin dengan cara
diguyur. But, he’s really nice guy.
Teman-teman di SAR, kalau yang satu ini bukan teman lagi, tapi sudah seperti keluarga.
Sebuah keluarga dimana ada bapak-bapak, Om-om, mas-mas, dan beberapa saudara
perempuan. Keluarga yang sudah mengajari saya tentang arti berjuang dalam hidup, bertahan
dalam penderitaan tanpa banyak mengeluh, belajar bangun, belajar renang (tapi sayanya
nggak bisa-bisa), belajar banyak hal. Thanks for all.
Dalia, anak yang satu ini, she’s my big sister di kosan. Badannya kayak cowok, kakinya
kayak satpam, tapi hatinya lembut banget kayak es krim. Tingkahnya yang aneh-aneh dan
kadang nggak masuk akal sudah banyak membuat hari-hari yang saya lalui menjadi indah
(dibaca: nggak jelas). Sebenarnya saya nggak ikhlas bilangnya, namun saya banyak belajar
darinya. Thanks sista.
Yup, itu tadi adalah orang-orang yang berhasil membuat manik-manik keren dalam hidup
saya. Kalau kecantikan itu adalah apa yang ada di dalam hati, maka mereka adalah makhluk-
makhluk yang paling indah yang pernah saya temui.
Penjelasan di atas adalah penjelasan kebaikan orang secara batiniah. Kalau ditinjau dari segi
realita (sesuatu yang dapat dilihat), orang yang baik adalah orang yang enak dipandang.
Beberapa orang berpandangan good looking adalah punya tubuh yang proporsional. Tapi buat
saya, untuk menjadi good looking itu cukup dengan percaya diri dengan apa yang kita miliki.
Membuat diri kita merasa nyaman. One thing that i know, God never create a bad product.
Saya selalu heran dengan orang-orang yang tidak mampu menghargai kekurangan orang lain
atau bahkan kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri. Mengapa mereka mengeluhkan apa
yang sudah Tuhan ciptakan? What a fool them.
So, being a good person is not too dificult. Cukup dengan menjadi diri kita, menghargai diri
kita, dan melakukan apa yang terbaik dari kita.