14
LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH PENANDA KARYA PARA PENGARANG KALIMANTAN SELATAN Settings of Short Stories in Darah Penanda Antology by Kalimantan Selatan Writers Agus Yulianto Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan A. Yani, Km 32,2 Loktabat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Telp: 0511-4772641, Pos-el: [email protected] Diajukan: 18 Mei 2017, direvisi: 22 Agustus 2017 Abstract The aim of this research is to know the description of settings including setting of place, time, and social cultural condition in the antology Darah Penanda. The problem of this research is how those settings are described in the short stories. The research method used in this research is qualitative descriptive method and documentary method combined with reading-writing technique. Data analysis uses content analysis. Based on the analysis, it can be understood that settings of place of the short stories in Darah Penanda antology are town, rivers, peat bog houses, and food stalls. Settings of time show the relationship with factual time. Settings of socio cultural present all social classes in Banjarese society and the existence of cultural change phenomenon in Banjarese society in Kalimantan Selatan Province. Keywords: Settings, short story, antology Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendeskripsian latar yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah bagaimana pendeskripsian latar yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskripsi kualitatif serta metode dokumentasi yang dibantu dengan teknik baca dan catat. Adapun analisis data digunakan dengan menggunakan content analysis atau analisis konten. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa latar tempat yang terdapat dalam cerpen-cerpen dalam buku antologi Darah Penanda berupa kota-kota, sungai, rawa, rumah, dan warung. Latar waktu ditunjukkan dengan keterkaitannya dengan waktu faktual. Latar sosial budaya menampilkan seluruh lapisan kelas sosial dalam masyarakat Banjar serta adanya fenomena perubahan budaya dalam masyarakat Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan itu sendiri. Kata kunci: Latar, cerpen, antologi

LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

  • Upload
    others

  • View
    56

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH PENANDA KARYA PARA PENGARANG KALIMANTAN SELATAN

Settings of Short Stories in Darah Penanda Antology by Kalimantan Selatan Writers

Agus Yulianto

Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan A. Yani, Km 32,2 Loktabat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan,

Telp: 0511-4772641, Pos-el: [email protected] Diajukan: 18 Mei 2017, direvisi: 22 Agustus 2017

Abstract

The aim of this research is to know the description of settings including setting of place, time, and social cultural condition in the antology Darah Penanda. The problem of this research is how those settings are described in the short stories. The research method used in this research is qualitative descriptive method and documentary method combined with reading-writing technique. Data analysis uses content analysis. Based on the analysis, it can be understood that settings of place of the short stories in Darah Penanda antology are town, rivers, peat bog houses, and food stalls. Settings of time show the relationship with factual time. Settings of socio cultural present all social classes in Banjarese society and the existence of cultural change phenomenon in Banjarese society in Kalimantan Selatan Province.

Keywords: Settings, short story, antology

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendeskripsian latar yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah bagaimana pendeskripsian latar yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskripsi kualitatif serta metode dokumentasi yang dibantu dengan teknik baca dan catat. Adapun analisis data digunakan dengan menggunakan content analysis atau analisis konten. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa latar tempat yang terdapat dalam cerpen-cerpen dalam buku antologi Darah Penanda berupa kota-kota, sungai, rawa, rumah, dan warung. Latar waktu ditunjukkan dengan keterkaitannya dengan waktu faktual. Latar sosial budaya menampilkan seluruh lapisan kelas sosial dalam masyarakat Banjar serta adanya fenomena perubahan budaya dalam masyarakat Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan itu sendiri.

Kata kunci: Latar, cerpen, antologi

Page 2: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

138

1. Pendahuluan Sastrawan yang ada di

Kalimantan Selatan sangat banyak dan termasuk memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Salah satunya ditandai dengan keikutsertaan sastrawan Kalimantan Selatan dalam setiap perlombaan sastra yang diadakan.

Salah satu ajang lomba menulis sastra yang berupa menulis puisi dan cerpen pernah dilakukan oleh Dewan Kesenian Kota Banjarbaru pada tahun 2008. Puisi dan cerpen yang dianggap baik kemudian dibukukan menjadi sebuah antologi yang berjudul Darah Penanda. Dalam antalogi tersebut terdiri atas sepuluh buah puisi dan sepuluh buah cerpen. Sepuluh buah judul cerpen yang terdapat dalam antologi tersebut adalah: 1) Dara karya Wahyudi; 2) Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah; 3) Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana; 4) Intan karya Riska Yunida; 5) Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie; 6) Perempuan 28 karya Aliman Syahrani; 7) Sungaiku Hidupku karya bayu Yoga Dinata; 8) Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati; 9) Memancing Sepi karya M. Fitran Salam; 10) Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami.

Kesepuluh buah cerpen yang terdapat dalam buku antologi Darah Penanda ini dikarang oleh sastrawan asli Kalimantan Selatan. Mereka tersebar di beberapa kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan Selatan. Oleh sebab itu, latar cerita yang terdapat dalam kesepuluh buah cerpen tersebut juga sangat beraneka ragam dan variatif sesuai dengan domisili pengarang tersebut berada. Meskipun demikian tidak semua pengarang

menjadikan asal daerah mereka menjadi latar penceritaan.

Latar cerita pendek yang terdapat dalam buku antologi Darah Penanda menjadi menarik untuk dianilisis disebabkan memiliki aspek kelokalan yang sangat kuat. Hal itu menunjukkan betapa pengarang sangat memahami konstelasi kehidupan sosial budaya di mana mereka hidup. Latar sebuah cerita memang tidak harus di negeri antah berantah yang jauh dari kenyataan sosial yang dengan sendirinya menjadi sebuah menara gading yang berdiri sendiri, terputus dari kenyataan dan pemahaman pembacanya. Dengan memahami latar sebuah cerita secara tidak langsung ikut memahami kondisi sosial budaya suatu suku bangsa, baik karakternya maupun lanskap daerahnya.

Kalimantan Selatan memang secara mayoritas didiami oleh suku Banjar. Selain suku Banjar terdapat suku-suku yang merupakan perantauan di Kalimantan Selatan seperti suku Jawa, Sunda, Bugis, Madura, dan lain-lain. Interaksi yang terjadi antara berbagai-bagai suku tersebut menciptakan suatu pola sosial budaya yang egaliter apalagi keraton atau istana di Kalimantan Selatan secara sejarah sudah lama tidak ada. Polarisasi kehidupan keraton dengan rakyat jelata nyaris tidak terasa di Kalimantan Selatan. Latar seperti itulah yang kebanyakan terdapat dalam buku kumpulan antologi puisi dan cerpen Darah Penanda. Oleh Sebab itu, masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah bagaimana pendeskripsian latar yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendeskripsian latar yang

Page 3: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

139

meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku antologi Darah Penanda. Menurut Sungkowati (2013:359) latar merupakan salah satu unsur pembentuk karya sastra di samping tema, tokoh, plot, sudut pandang, dan gaya. Menurut Stanton (dalam Sungkowati, 2013:359) mengelompokkan latar ke dalam fakta cerita atau struktur faktual atau tingkatan faktual. Struktur factual atau tingkatan factual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang yang menggambarkan bagaimana detail-detail diorganisasikan untuk mengemban tema. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berhubungan dan berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat dapat berupa tempat, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun), cuaca, atau periode sejarah, dan dapat pula menyangkut perilaku orang-orang atau masyarakat. Menurut Abrams (1971:30) latar didefinisikan sebagai tempat umum dan waktu sejarah tempat terjadinya peristiwa. Latar fisik dapat menjadi elemen penting pembangun atmosfer karya satra.

Unsur latar dalam sebuah karya fiksi termasuk cerpen (cerita pendek) dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial (budaya). Ketiga unsur latar itu walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda sebenarnya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Menurut Nurgiyantoro (2013: 227) latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat

dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat dalam sebuah cerpen biasanya meliputi berbagai lokasi. Latar tempat akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Menurut Nurgiyantoro (2013: 230) latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ini biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat juga social sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan keadaan suatu yang diceritakan mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu. Menurut Nurgiyantoro (2013:233) latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Dengan demikian, latar sosial (budaya) berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang mencakupi kebiasaan hidup, tradisi, adat, pandangan hidup, cara berpikir, cara bersikap, perilaku kehidupan sosial masyarakat, dan keyakinan. Latar sosial juga menyarankan pada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa daerah,

Page 4: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

140

penamaan, dan status. Menurut Nurgiantoro ((2013:243) latar sosial berhubungan dengan budaya suatu masyarakat sehingga latar sosial budaya yang kuat akan mampu memberikan warna lokal terhadap suatu cerita, yang membuat cerita itu bersifat khas atau hanya dapat terjadi pada latar tersebut. Latar yang demikian disebut latar yang tipikal. Menurut Sutawijaya dan Rumini (1996:1) cerita pendek adalah cerita yang pada hakikatnya merupakan salah satu wujud pernyataan seni yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. Sebagai wujud pernyataan seni, dalam hal ini seni sastra, cerita pendek tentunya memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk karya sastra lain seperti novel, drama, dan sajak.

Lebih menspesifikasikan menurut Notosusanto (dalam Tarigan, 2011:3) cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Menurut Sumardjo (2007: 92) cerpen adalah seni keterampilan menyajikan cerita. Oleh karena itu, seorang penulis harus memiliki ketangkasan menulis dan menyusun cerita yang menarik. Perbedaan antara cerpen dengan novel dapat dilihat dari segi bentuk atau panjang ceritanya.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sunarto (2001:135) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Selain itu, menurut pendapat Bogdan dan Taylor (dalam

Moleong, 2010:4) penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yang dibantu dengan teknik baca dan catat. Teknik baca dilakukan karena data penelitian merupakan paparan narasi berbentuk prosa sedangkan teknik catat dilakukan untuk mengindentifikasi latar sosial budaya yang terdapat dalam cerpen-cerpen yang dinalisis. Adapun analisis data yang dilakukan dengan menggunakan conten analysis atau analisis konten. Menurut Endraswara (2011:161) analisis konten digunakan untuk menelaah isi teks untuk mengetahui penggambaran latar dalam cerpen. Analisis konten adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Latar Tempat Secara keseluruhan latar tempat yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda berada di provinsi Kalimantan Selatan. Latar tempat tersebut berada di Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan di beberapa kabupaten lainnya seperti Kabupaten Banjar, Barabai, Amuntai, Tanjung dan lain-lain. Kota dan kabupaten yang menjadi latar tempat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda benar-benar ada di Provinsi Kalimantan Selatan. Hal itu menunjukkan bahwa kisah-kisah yang ada di dalam buku antologi cerpen Darah Penanda merupakan kisah-kisah yang terinspirasi dari kejadian-kejadian yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan itu sendiri.

Page 5: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

141

Latar tempat yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda yang berlokasi di Kota Banjarmasin terdapat dalam cerpen Dara karya Wahyudi, Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah; Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana, dan Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami. Latar tempat yang terjadi di Kota Banjarbaru terdapat dalam cerpen Perempuan 28 karya Aliman Syahrani dan Memancing Sepi karya M. Fitran Salam. Latar tempat yang terjadi di Kabupaten Banjar terdapat dalam cerpen Intan karya Riska Yunida dan Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata. Latar tempat yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Utara tepatnya di Kota Amuntai terdapat dalam cerpen Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie dan Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati

Selain latar kota yang menjadi tempat dominan terjadinya peristiwa, latar tempat pendukung lainnya adalah di sungai seperti dalam cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah, Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata, dan Memancing Sepi karya M. Fitran Salam. Latar sungai yang terdapat di beberapa cerpen dalam buku antologi cerpen Darah Penanda sebenarnya tidak terlalu aneh. Hal itu disebabkan Provinsi Kalimantan Selatan memang memiliki banyak sekali sungai. Bahkan Kota Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan mendapat julukan Kota Seribu Sungai.

Latar tempat lain yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda adalah rawa. Latar tersebut terdapat dalam cerpen Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie. Hal itu dapat dipahami sebab topografi wilayah Kalimantan Selatan memang terdiri dari pegunungan, daratan, sungai, dan

rawa-rawa. Oleh sebab itu, tidak heran bila daerah Kalimantan Selatan terkenal dengan daerah rawa gambutnya. Latar tempat berikutnya yaitu di warung makan. Latar tempat itu terdapat dalam cerpen Dara karya Wahyudi dan Perempuan 28 karya Aliman Syahrani. Latar tempat berupa warung merupakan hal yang biasa di Kalimantan Selatan. Hal itu disebabkan budaya “ngewarung” memang masih sangat kental dalam kehidupan sosial masyarakat terutama masyarakat Banjar.

Akan tetapi, dari semua latar yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut latar tempat yang paling dominan tetap di rumah. Latar rumah ini hampir terdapat disemua cerpen yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda. Hal itu menandakan bahwa rumah masih merupakan basis tempat penceritaan yang terdapat dalam cerpen dalam semua karya sastrawan Kalimantan Selatan. Hal itu dapat dipahami sebab wilayah Kalimantan Selatan secara mayoritas masih didiami oleh penduduk asli atau penduduk lokal. Fenomena masyarakat urban beserta permasalahan yang meliungkupinya masih belum begitu terasa di Kalimantan Selatan. Orang-orang yang tidak mempunyai rumah masih merupakan tema yang sangat sulit ditemukan dalam khazanah sastra di Kalimantan Selatan. Hal itu sangat berbeda dengan permasalahan masyarakat urban yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan yang terkadang orang-orang pendatang terpaksa tinggal di bawah jembatan, di dalam gerobak, bahkan bergelandang begitu saja.

Page 6: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

142

3.2 Latar Waktu Latar waktu yang terdapat

dalam buku antologi cerpen Darah Penanda didominasi oleh latar waktu sezaman, yaitu waktu kehidupan di saat cerpen-cerpen tersebut di kirimkan ke panitia lomba menulis cerpen oleh Dewan Kesenian Banjarbaru, yaitu tahun 2008. Penunjukkan waktu yang terdapat dalam semua cerpen tersebut tidak dilakukan secara eksplisit berupa angka tahun secara jelas. Akan tetapi, penunjukkan waktu terjadi dengan keterkaitannya dengan waktu secara faktual, misalnya adanya penambangan-penambangan skala besar yang terjadi di Kalimantan Selatan yang terjadi sekitar tahun 1990-2000-an.

Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah menceritakan tentang keresahan seorang dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat yang sekaligus merupakan seorang budayawan terhadap maraknya penambangan yang terjadi di Kalimantan Selatan. Keresahan tersebut lebih disebabkan oleh rusaknya alam serta adanya pengaruh budaya negatif akibat adanya penambangan tersebut.

Selain itu indikator waktu yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda adalah maraknya penggunaan telepon genggam atau hp di tengah-tengah masyarakat. Pada mulanya telepon genggam hanya digunakan kalangan tertentu akibat harganya yang relatif mahal. Akan tetapi sekitar tahun 1990-2000-an telepon genggam sudah mewabah hampir di semua lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan harga telepon genggam yang sudah dapat dicapai oleh hampir semua kalangan. Cerpen

Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana sudah menjadikan telepon genggam sebagai sarana untuk komunikasi, bahkan oleh seorang anak siswa sekolah menengah sekalipun. Hal itu menunjukan bila telepon genggam sudah bukan menjadi barang mewah lagi, melainkan menjadi bagian kebudayaan masyarakat secara luas.

Cerpen Perempuan 28 karya Aliman Syahrani menceritakan tentang aktivitas masyarakat di tempat pelacuran atau lokalisasi di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Penamaan lokalisasi 28 merujuk pada tempat lokalisasi itu sendiri yang terletak di Jalan A. Yani km 28. Saat ini lokalisasi pelacuran pal 28 telah di tutup oleh Menteri Sosial ibu Kofifah Indah Parawangsa. Dengan demikian, aktivitas di lokalisasi pal 28 secara implisit merujuk pada tahun 1970—2000-an. Selain itu, profesi penulis sebuah tabloid dengan menggunakan istilah kuli flasdisc dalam cerpen ini secara tidak langsung merujuk pada waktu penceritaan. Hal itu disebabkan flashdisc baru terpakai di era sekitar tahun 2000-an sebelumnya masyarakat terbiasa menggunakan disket. Cerpen Sungaiku Hidupku karya bayu Yoga Dinata secara tidak langsung juga menunjukkan waktu penceritaan. Kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut salah satunya membahas tentang penggusuran rumah lanting (rumah di atas sungai) oleh pemerintah setempat karena dianggap kumuh. Kebijakan penggusuran rumah lanting ini mulai dilakukan di tahun 2000-an. Oleh sebab itu, waktu penceritaan cerpen ini adlah di tahun 2000-an. Cerpen Memancing Sepi karya M. Fitran Salam memceritakan tentang maraknya kasus illegal logging dan illegal mining. Hal itu secara tidak

Page 7: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

143

langsung merujuk pada waktu penceritaan. Maraknya kasus illegal logging dan illegal mining terjadi pada awal-awal tahun 2000-an. Ayah Surya dalam cerita ditangkap pihak yang berwajib karena tersebut. Setelah ayahnya dipenjara, Surya mulai mempunyai kebiasaan baru yaitu memancing. Selain itu, penunjuk waktu yang lain adalah adanya tokoh ulama kharismatik yang mengalami sakit yang berobat ke Singapura. Peristiwa sakitnya ulama tersebut juga terjadi di awal tahun 2000-an. S Sementara itu, waktu penceritaan yang terdapat dalam cerpen Intan karya Riska Yunida, Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati, dan Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami tidak memiliki penunjuk waktu penceritaan yang ekspilisit dan tidak memiliki petunjuk keterkaitan waktu faktual secara khusus pula. Oleh sebab itu, penunjuk waktu peristiwa dalam cerita hanya mengacu pada fenomena sosial dalam cerita. Cerpen Intan mengisahkan tentang kehidupan para penambang intan di daerah Cempaka, Kabupaten Banjar. Penambangan intan tersebut telah beroperasi sejak tahun 1960 hingga sekarang. Oleh sebab itu, dapat diasumsikan waktu kejadian peristiwa adalah di tahun 2000-an waktu pada saat cerpen tersebut di kirim ke panitia lomba menulis cerpen. Begitu juga cerpen Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati, dan Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami diasumsikan waktu kejadian peristiwa adalah di tahun 2000-an waktu pada saat cerpen tersebut di kirim ke panitia lomba menulis cerpen.

3.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam buku antologi cerpen Darah Penanda secara kelas sosial sangat variatif melingkupi latar sosial masyarakat kelas bawah, menengah bahkan kelas atas atau orang kaya. Latar sosial masyarakat kelas bawah diwakili oleh cerpen Intan karya Riska Yunida, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati, Perempuan 28 karya Aliman Syahrani, dan Sungaiku Hidupku karya bayu Yoga Dinata. Cerpen Intan menceritakan tentang masyarakat pendulangan intan yang secara sosial kemasyarakatan masih berada di bawah taraf sejahtera. Hal itu berbanding terbalik dengan mahalnya harga intan itu sendiri. Kemiskinan atau taraf hidup prasejahtera dalam cerpen intan ini terwakili oleh sosok Syarif seorang pendulang intan yang masih sangat muda yang karena faktor kemiskinan terpaksa putus sekolah. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut. “Syarif adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun. Di usianya yang sekarang, seharusnya Syarif sudah menjadi siswa SD kelas enam. Tapi kenyataannya tidak demikian. Di saat anak-anak lain sedang belajar di ruang kelas yang nyaman, ia malah berkubang dengan lumpur-lumpur di bawah teriknya matahari, hanya untuk mendapatkan sebutir harapan mayoritas masyarakat desa Pumpung: Intan! Bukan hanya Syarif yang menjadi pendulang intan di usianya yang masih sangat muda. Hampir sebagian dari anak-anak di desa itu memang tidak bersekolah dan ikut mendulang dengan alasan yang paling sering membuat sebagian orang menjadi tunduk, yaitu

Page 8: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

144

masalah keuangan. Mereka tidak sempat dan mungkin tidak akan pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun seumur hidup mereka” (Yunida:56-57).

Selain cerpen Intan yang

mengetengahkan permasalahan masyarakat kelas bawah, cerpen Sungaiku Hidupku juga membahas tentang masyarakat kelas bawah. Tokoh aku sebagai tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang tua yang tinggal di lanting yang pekerjaannya adalah malunta (menjala ikan) ikan di sungai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut. “Hati ini aku melakukan lagi kebiasaanku. Sembari menunggu ikan berserah masuk luntaku, aku mengumpulkan sampah-sampah plastik yang terapung di sungai kesayanganku. Membersihkan sungai ini adalah caraku, menunjukkan kasih sayang pada sungai tercintaku. Sampah yang kukumpulkan kujual pada para pengumpul plastik bekas, Rp 1000,- per-kilogramnya. Ya, lumayan untuk menyambung hidup hingga ajal menjemput tubuh tua ini” (Dinata:93).

Cerpen Senandungku dan

Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati juga mengisahkan masyarakat kelas bawah. Akibat kemiskinan, Lisna terpaksa menjadi TKW ke Arab Saudi untuk membantu perekonomian keluarganya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku memantapkan hatiku

untuk pergi ke Arab Saudi dengan menjadi seorang TKW. memang kalu dipikir-pikir di usiaku yang baru menginjak 17 tahun ini, aku telah mengambil suatu keputusan yang sangat penting dalam hidupku. Keputusan yang sama sekali tidak

pernah terbayangkan sebelumnya. Di saat teman-teman sebayaku tengah sibuk belajar menghadapi ujian kelulusan, aku juga tengah belajar untuk menata hatiku agar lebih bijaksana dalam memandang hidup. Pahit dan manis, sedih dan senang, semuanya harus dijalani” (Normuliati:112) Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah, Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana, Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie, dan Memancing Sepi karya M. Fitran Salam menceritakan tentang masyarakat kelas menengah. Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami menceritakan tentang kegelisahan seorang dosen FKIP Universititas Lambung Mangkurat terhadap maraknya penambangan di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan sedangkan cerpen Teratai-teratai menceritakan tentang kegelisahan seorang gadis dan seorang ibu akibat belum mendapatkan jodoh. Cerpen Memancing Sepi menceritakan tentang anak orang kaya yang orang tuanya ditangkap pihak yang berwajib karena telah melakukan tindak kejahatan korupsi. Akibatnya kehidupan mereka menjadi jatuh dan mulai menjalani hidup seperti orang kebanyakan.

Cerpen Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata menceritakan tentang latar sosial masyarakat Banjar yang terbiasa hidup di sungai. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang dari dahulu hidup berbasis sungai. Hampir seluruh aktivitas hidup melibatkan sungai. Budaya sungai sudah menjadi bagian integral bagi masyarakat Banjar. Akan tetapi, kemajuan infrastruktur di darat sedikit demi sedikit mengikis kehidupan sungai. Jalan-jalan yang baik telah dibangun oleh pemerintah. Dengan

Page 9: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

145

demikian, transportasi sungai lambat laun tergantikan oleh transportasi darat. Begitu juga rumah lanting (rumah yang dibangun di atas sungai) mulai terancam keberadaannya. Pemerintah daerah mulai menertibakan rumah-rumah lanting karena dianggap kumuh dan merusak pemandangan. Pemerintah mulai mencanangkan dan menggiatkan masyarakat untuk hidup di darat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Dua kali sudah aku mendapat teguran dari pemerintah daerah, aku minta penjaga warung dekat sungai ini untuk membacakannya untukku. Surat itu berisi perintah untuk membongkar rumah apungku yang telah berusia 15 tahun tertambat di bantaran sungai Martapura. Sebelumnya aku berpindah-pindah dari satu sungai ke sungai lainnya. Menjelajah sungai-sungai di Kalimantan merupakan suatu kebanggan untukku” (Dinata:94—95).

Pak tua sebenarnya tidak mau

pindah ke darat. Hal itu disebabkan rasa kecintaannya yang tinggi terhadap sungai. Oleh sebab itu, tidak heran bila rumah lanting milik pak tua dalam cerita akhirnya sengaja di bakar orang tak dikenal agar pak tua mau pindah ke darat.

“Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, mengendap-endap keluar dari rumah Pak Hamid yang bersedia menampungku. Beberapa warga mengaku melihat sebuah speed boad berpenumpang dua orang pria berjaket hitam mendekati rumahku sebelum kebakaran itu terjadi. Aku tidak memusingkannya lagi. Aku sudah pasrah” (Dinata:99—100).

Cerpen Dara karya Wahyudi dan cerpen Drama Terbaik dalam

Hidup karya Diena Rasya Umami. Menceritakan tentang kehidupan masyarakat kelas atas atau orang kaya. Cerpen Dara menceritakan tentang seorang pemborong yang memiliki banyak proyek di kabupaten-kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Pemborong tersebut terlibat cinta lokasi dengan seorang penjaga warung yang berparas cantik. Akan tetapi, pemborong tersebut dapat menahan diri sehingga tidak terlibat terlalu jauh dalam cinta terlarang tersebut. Cerpen Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami menceritakan tentang kehidupan anak orang kaya yang memiliki kehidupan pribadi menyimpang, yaitu menjadi seorang waria. Akibatnya, orang tua anak tersebut menjadi marah besar dan mengusirnya dari rumah mereka.

Latar sosial budaya yang terdapat dalam Perempuan 28 karya Aliman Syahrani terasa sangat unik sekali. Hal itu disebabkan masyarakat Banjar adalah masyarakat yang religius sehingga kota Martapura mendapat julukan Kota Serambi Mekkah. Akan tetapi, hanya beberapa kilometer dari Kota Martapura berdirilah lokalisasi Pal 28. Hal itu berarti hanya beberapa kilometer dari pesantren-pesantren yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan terletak lokalisasi pelacuran. Hal itu menciptakan suatu budaya toleransi yang unik. Para pemuka agama sebenarnya juga sudah berkali-kali menghimbau kepada pemerintah untuk menutup lokalisasi tersebut. Adanya lokalisasi dalam struktur masyarakat Banjar menunjukkan bahwa budaya luar yang negatif telah memasuki kehidupan masyarakat Banjar yang religius. Ha itu disebabkan pemerintah pusat mengizinkan atau membolehkan keberadaan lokalisasi asalkan mempunyai izin. Pada titik

Page 10: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

146

inilah terjadi perbenturan antara aturan agama dengan aturan pemerintah.

Selain itu, adanya pengaruh budaya luar yang negatif terhadap kehidupan masyarakat Banjar yang religus adalah tumbuhnya fenomena LGBT di tengah-tengah masyarakat. Cerpen Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami menceritakan tentang anak seorang kaya yang apabila malam berubah menjadi seorang waria dan menjajakan dirinya sebagai seorang pemuas seks menyimpang. Fenomena waria seperti ini sangat ditentang oleh kebanyakan masyarakat Banjar. Akan tetapi, atas nama hak asasi manusia kehidupan mereka di akui oleh Negara. Cerpen Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana juga menceritakan tentang pengaruh zaman dalam kehidupan anak muda sekarang ini. Kota Banjarmasin yang religius yang ditandai oleh banyaknya masjid sudah mendapat pengaruh buruk akibat kemajuan zaman. Hal itu disebabkan pergaulan bebas yang ditandai oleh seks bebas telah menjangkiti anak-anak sekolah yang ada di kota Banjarmasin. Tempat-tempat hiburan malam disinyalir sebagai salah satu sebab yang menyebabkan budaya seks bebas mulai menyebar di kota Banjarmasin yang masyarakatnya sangat religius. Faham liberal yang berasal dari budaya barat seakan-akan menjadi “payung hukum” maraknya fenomena seks bebas di kalangan remaja.

Cerpen Memancing Sepi karya M. Fitran Salam menceritakan tentang latar sosial buadaya masyarakat Banjar yang sangat suka sekali memancing. Hal itu disebabkan topografi wilayah Kalimantan Selatan yang terdiri atas banyak sekali rawa-rawa, sungai-sungai, dan sawah-sawah. Rawa-rawa, sungai-sungai, dan sawah-sawah

tersebut menjadi tempat pavorit untuk memncing. Kebiasaan memancing masyarakat Banjar ini telah menjadi budaya bahkan sampai sekarang ini. Istilah-istilah memancing seperti mamair (memancing ikan gabus dengan menggunakan galah bambu yang panjang), menyiam (memancing ikan sepat siam) dan lain-lain tercipta dari pola budaya memancing tersebut. Begitu juga tokoh Surya dalam cerita. Ia mulai menyukai memancing ikan akibat pergaulannya dengan Udin. Udin adalah seorang anak yang suka sekali memancing. Hampir disetiap kesempatan Udin pergi memancing. Kebiasaan Udin ini akhirnya mengenai Surya. Rupanya ada kenikmatan tersendiri ketika memancing sehingga menimbulkan rasa ketagihan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut. “Menunggu Minggu, maksudku menunggu Udin di hari liburnya itu yang masih beberapa hari lagi, janji kami memancing lagi, aku merasa kelamaan. Setelah dua hari lalu, hari ini aku sudah kepingin sekali memancing, mungkin ketagihan. Ah, ketagihan atau apapun namanya, hari ini aku akan pergi memancing sendirian. Juran pancing yang dititipkaan Udin di rumah ini merangsang keinginanku dan umpan sisa pun masih baik ku simpan di kulkas. Siap berangkat” (Salam:121—122).

Cerpen Intan karya Riska

Yunida juga berlatar sosial masyarakat Banjar, khususnya kehidupan masyarakat pendulang intan di Cempaka, Kabupaten Banjar. Kehidupan para pendulang pada umumnya secara ekonomi tidaklah terlalu sejahtera. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan mahalnya harga intan itu sendiri. Syarif adalah salah seorang anak yang memiliki profesi sebagai pendulang intan. Umur

Page 11: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

147

Syarif masih sangatlah muda, yaitu sebelas tahun. Syarif tidak bersekolah disebabkan alas an klasik, yaitu ketiadaan biaya. Anak-anak seperti Syarif cukup banyak di desanya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Syarif adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun. Di usianya yang sekarang, seharusnya Syarif sudah menjadi siswa SD kelas enam. Tapi kenyataannya tidak demikian. Di saat anak-anak lain sedang belajar di ruang kelas yang nyaman, ia malah berkubang dengan lumpur-lumpur di bawah teriknya matahari, hanya untuk mendapatkan sebutir harapan mayoritas masyarakat desa Pumpung: Intan! Bukan hanya Syarif yang menjadi pendulang intan di usianya yang masih sangat muda. Hampir sebagian dari anak-anak di desa itu memang tidak bersekolah dan ikut mendulang dengan alasan yang paling sering membuat sebagian orang menjadi tunduk, yaitu masalah keuangan. Mereka tidak sempat dan mungkin tidak akan pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun seumur hidup mereka” (Yunida:56-57).

Minimnya penghasilan yang didapat oleh para pendulang disebabkan adanya sistem kerja abian dalam mendulang intan. Sistem kerja abian adalah system kerja bagi hasil antara pemiliki lahan penambangan intan, pemilik mesin sedot, penggali lobang, dan pelinggang atau orang yang mengayak batu-batu hasil penambangan untuk mencari intan. Ada satu hal yang harus dipegang erat oleh tipa-tiap komponen tersebut, yaitu asas kejujuran.

Budaya kejujuran diantara penambang menjadi poin yang sangat penting. Hal itu disebabkan tiap-tiap orang dalam kelompok penambang itu

tidak dapat berdiri sendiri dalam mencari intan, melainkan harus bekerja sama dan bahu-membahu. Oleh sebab itu, sulit dibayangkan apabila ada komponen penambangan yang tidak jujur, tentu sangat merugikan bagi komponen yang lain. Dengan demikian, asas kejujuran menjadi mata rantai penghubung antar komponen yang sangat efektif dalam menciptakan kerja sama yang baik antar mereka.

Dengan demikian, apabila tidak ada satu pun intan yang ditemukan maka tidak akan ada pembagian rezeki diantara mereka dan itu artinya tidak ada penghasilan yang masuk untuk dapat menopang kehidupan mereka. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Untukku”” Tanya Syarif lagi dengan penuh ekspresi keheranan. “Aku tahu dari abah, hari ini Kau tidak bebagi. Jadi, Kau pasti tidak mendapatkan sepeser pun uang dari Amang Haji Sukri.” Kata Fiqoh dengan senyum halusnya, tanpa ada niat terselubung untuk merendahkan Syarif di hadapannya” (Yunida:61).

Latar sosial dalam cerpen

Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie cukup membuat miris para orang tua yang mempunyai anak gadis. Hal itu disebabkan adanya fenomena perawan tua yang terdapat dalam cerita. Banyak hal yang menyebabkan itu terjadi. Jumlah laki-laki yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita sehingga ada wanita yang tidak menemukan jodoh. Ditambah lagi dengan sikap wanita itu sendiri yang terlalu memilih calon suami sehingga akhirnya tidak mendapatkan jodohnya.

Ada satu hal yang menarik dalam filosofi para perawan yang belum mendapatkan jodoh. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Page 12: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

148

“Biarlah terus menjadi teratai yang indah meski hidup di rawa kemerahan. Menunggu ada yang memetik atau kalaupun layu menjadi telipuk yang bergizi tinggi” (Yantie:74).

4. Simpulan

Berdasarkan uraian yang

terdapat dalam pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, latar tempat yang terdapat dalam cerpen-cerpen di buku antologi Darah Penanda lebih banyak terdapat di kota-kota yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, baik di Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai dan lain-lain. Tidak ada satu cerpen pun yang memiliki latar tempat berada di luar Provinsi Kalimantan Selatan. Latar tempat lainnya yang ada di buku antologi Darah Penanda ini adalah di sungai dan rawa. Hal itu sangat dimungkinkan karena topografi wilayah Kalimantan Selatan terdiri atas banyak sungai dan rawa-rawa. Selain itu, latar tempat yang menjadi latar dominan dalam sebuah cerpen yang berjudul Dara adalah warung. Masyarakat Banjar yang ada di Kalimantan Selatan adalah salah satu masyarakat yang masih memiliki budaya “ngewarung” yang tinggi. Mereka tahan berjam-jam hanya sekedar mengobrol di warung.

Kedua, latar waktu yang terdapat dalam cerpen-cerpen di buku antologi Darah Penanda ini tidak ditunjukkan secara eksplisit berupa tahun kejadian. Akan tetapi, latar waktu yang terdapat dalam cerpen-cerpen di buku antologi ini dapat diketahui karena memiliki keterkaitan dengan waktu faktual berupa fenomena social yang terjadi dalam masyarakat Banjar. Misalnya, waktu mulai maraknya pemakaian hand phone atau telepon seluler di tengah-

tengah masyarakat, waktu adanya aktivitas penambangan yang sangat gencar di Kalimantan Selatan, waktu di larangnya pemakaian lanting di sungai sebagai tempat tinggal, waktu maraknya kasus ilegal logging dan illegal minning di tengah-tengah masyarakat dan lain-lain. Fenomena-fenomena social seperti itu secara tidak langsung dapat menunjukkan latar waktu yang terdapat dalam cerita.

Ketiga, latar sosial yang terdapat dalam cerpen-cerpun di buku antologi Darah Penanda ini secara kelas sosial mewakili seluruh lapisan kelas sosial yang ada di masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari masyarakat kelas rendah, menengah, sampai atas ada di dalam cerpen-cerpen di buku antaologi Darah Penanda ini. Selain itu, fenomena pergeseran norma-norma mayarakat Banjar yang religious juga terdapat dalam kumpulan cerpen ini. Hal itu ditunjukkan dengan adanya fenomena waria (LGBT) serta adanya pergaulan bebas di kalangan pelajar setingkat SLTA di kota Banjarmasin. Selain itu, pergeseran budaya masyarakat yang berbasis sungai menjadi budaya yang berbasis daratan juga terjadi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.

Daftar Acuan Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary

term. Third Edition. New York: Holt, Rinehart. And Wiston, inc.

Arsi, Ali Syamsuddin. 2008. Darah Penanda

(Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen). Banjarbaru: Dewan Kesenian Kota Banjarbaru.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi

Penelitian Sastra: Epistemologi,

Page 13: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)

149

Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nurgiantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian

Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumardjo, Jakob. 2007. Catatan Kecil

Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sungkowati, Yulitin. 2013. Latar Cerpen-

cerpen Majalah Penjebar Semangat Pada Era Reformasi (dalam jurnal Kandai volume 9, nomor 2, November 2013). Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sungkowati, Yulitin. 2013. Latar Cerpen-

cerpen Majalah Penjebar Semangat Pada Era Reformasi (dalam jurnal Kandai volume 9, nomor 2, November 2013). Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sutawijaya dan Rumini. 1996. Bimbingan

Apresiasi Sastra Cerita Pendek dan Novel. Jakarta: Depdikbud.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip

Dasar Sastra. Jakarta: Angkasa.

Page 14: LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH …

Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150

150