LATAR CERPEN-CERPEN PADA BUKU ANTOLOGI DARAH PENANDA KARYA PARA
PENGARANG KALIMANTAN SELATAN
Settings of Short Stories in Darah Penanda Antology by Kalimantan
Selatan Writers
Agus Yulianto
Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan A. Yani, Km 32,2
Loktabat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan,
Telp: 0511-4772641, Pos-el:
[email protected] Diajukan: 18 Mei
2017, direvisi: 22 Agustus 2017
Abstract
The aim of this research is to know the description of settings
including setting of place, time, and social cultural condition in
the antology Darah Penanda. The problem of this research is how
those settings are described in the short stories. The research
method used in this research is qualitative descriptive method and
documentary method combined with reading-writing technique. Data
analysis uses content analysis. Based on the analysis, it can be
understood that settings of place of the short stories in Darah
Penanda antology are town, rivers, peat bog houses, and food
stalls. Settings of time show the relationship with factual time.
Settings of socio cultural present all social classes in Banjarese
society and the existence of cultural change phenomenon in
Banjarese society in Kalimantan Selatan Province.
Keywords: Settings, short story, antology
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendeskripsian latar
yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat
di dalam buku antologi Darah Penanda. Masalah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah bagaimana pendeskripsian latar yang meliputi
latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di dalam buku
antologi Darah Penanda. Metode penelitian yang di gunakan adalah
metode deskripsi kualitatif serta metode dokumentasi yang dibantu
dengan teknik baca dan catat. Adapun analisis data digunakan dengan
menggunakan content analysis atau analisis konten. Berdasarkan
hasil analisis dapat diketahui bahwa latar tempat yang terdapat
dalam cerpen-cerpen dalam buku antologi Darah Penanda berupa
kota-kota, sungai, rawa, rumah, dan warung. Latar waktu ditunjukkan
dengan keterkaitannya dengan waktu faktual. Latar sosial budaya
menampilkan seluruh lapisan kelas sosial dalam masyarakat Banjar
serta adanya fenomena perubahan budaya dalam masyarakat Banjar di
Provinsi Kalimantan Selatan itu sendiri.
Kata kunci: Latar, cerpen, antologi
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
138
Kalimantan Selatan sangat banyak dan termasuk memiliki tingkat
produktivitas yang tinggi. Salah satunya ditandai dengan
keikutsertaan sastrawan Kalimantan Selatan dalam setiap perlombaan
sastra yang diadakan.
Salah satu ajang lomba menulis sastra yang berupa menulis puisi dan
cerpen pernah dilakukan oleh Dewan Kesenian Kota Banjarbaru pada
tahun 2008. Puisi dan cerpen yang dianggap baik kemudian dibukukan
menjadi sebuah antologi yang berjudul Darah Penanda. Dalam antalogi
tersebut terdiri atas sepuluh buah puisi dan sepuluh buah cerpen.
Sepuluh buah judul cerpen yang terdapat dalam antologi tersebut
adalah: 1) Dara karya Wahyudi; 2) Angin Besar Menggerus
Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah; 3) Hitam Putih Kotaku karya
Rismiyana; 4) Intan karya Riska Yunida; 5) Teratai-teratai karya
Reda Ari Yantie; 6) Perempuan 28 karya Aliman Syahrani; 7) Sungaiku
Hidupku karya bayu Yoga Dinata; 8) Senandungku dan Kenangan Tentang
Haur Kuning karya Sri Normuliati; 9) Memancing Sepi karya M. Fitran
Salam; 10) Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami.
Kesepuluh buah cerpen yang terdapat dalam buku antologi Darah
Penanda ini dikarang oleh sastrawan asli Kalimantan Selatan. Mereka
tersebar di beberapa kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan
Selatan. Oleh sebab itu, latar cerita yang terdapat dalam kesepuluh
buah cerpen tersebut juga sangat beraneka ragam dan variatif sesuai
dengan domisili pengarang tersebut berada. Meskipun demikian tidak
semua pengarang
menjadikan asal daerah mereka menjadi latar penceritaan.
Latar cerita pendek yang terdapat dalam buku antologi Darah Penanda
menjadi menarik untuk dianilisis disebabkan memiliki aspek
kelokalan yang sangat kuat. Hal itu menunjukkan betapa pengarang
sangat memahami konstelasi kehidupan sosial budaya di mana mereka
hidup. Latar sebuah cerita memang tidak harus di negeri antah
berantah yang jauh dari kenyataan sosial yang dengan sendirinya
menjadi sebuah menara gading yang berdiri sendiri, terputus dari
kenyataan dan pemahaman pembacanya. Dengan memahami latar sebuah
cerita secara tidak langsung ikut memahami kondisi sosial budaya
suatu suku bangsa, baik karakternya maupun lanskap daerahnya.
Kalimantan Selatan memang secara mayoritas didiami oleh suku
Banjar. Selain suku Banjar terdapat suku-suku yang merupakan
perantauan di Kalimantan Selatan seperti suku Jawa, Sunda, Bugis,
Madura, dan lain-lain. Interaksi yang terjadi antara berbagai-bagai
suku tersebut menciptakan suatu pola sosial budaya yang egaliter
apalagi keraton atau istana di Kalimantan Selatan secara sejarah
sudah lama tidak ada. Polarisasi kehidupan keraton dengan rakyat
jelata nyaris tidak terasa di Kalimantan Selatan. Latar seperti
itulah yang kebanyakan terdapat dalam buku kumpulan antologi puisi
dan cerpen Darah Penanda. Oleh Sebab itu, masalah yang terdapat
dalam penelitian ini adalah bagaimana pendeskripsian latar yang
meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di
dalam buku antologi Darah Penanda. Dengan demikian, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pendeskripsian latar
yang
Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)
139
meliputi latar tempat, waktu dan sosial budaya yang terdapat di
dalam buku antologi Darah Penanda. Menurut Sungkowati (2013:359)
latar merupakan salah satu unsur pembentuk karya sastra di samping
tema, tokoh, plot, sudut pandang, dan gaya. Menurut Stanton (dalam
Sungkowati, 2013:359) mengelompokkan latar ke dalam fakta cerita
atau struktur faktual atau tingkatan faktual. Struktur factual atau
tingkatan factual adalah cerita yang disorot dari satu sudut
pandang yang menggambarkan bagaimana detail- detail diorganisasikan
untuk mengemban tema. Latar adalah lingkungan yang melingkupi
sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berhubungan dan
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Latar dapat dapat berupa tempat, waktu-waktu tertentu (hari, bulan,
tahun), cuaca, atau periode sejarah, dan dapat pula menyangkut
perilaku orang-orang atau masyarakat. Menurut Abrams (1971:30)
latar didefinisikan sebagai tempat umum dan waktu sejarah tempat
terjadinya peristiwa. Latar fisik dapat menjadi elemen penting
pembangun atmosfer karya satra.
Unsur latar dalam sebuah karya fiksi termasuk cerpen (cerita
pendek) dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial (budaya). Ketiga unsur latar itu walaupun
masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda sebenarnya
saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.
Menurut Nurgiyantoro (2013: 227) latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Latar tempat dalam sebuah cerpen biasanya
meliputi berbagai lokasi. Latar tempat akan berpindah- pindah dari
satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan
tokoh. Menurut Nurgiyantoro (2013: 230) latar waktu berhubungan
dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ini biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu harus juga
dikaitkan dengan latar tempat juga social sebab pada kenyataannya
memang saling berkaitan keadaan suatu yang diceritakan mau tidak
mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan
berubah sejalan dengan perubahan waktu. Menurut Nurgiyantoro
(2013:233) latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan
status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah,
atau atas. Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan.
Dengan demikian, latar sosial (budaya) berkaitan dengan kehidupan
masyarakat yang mencakupi kebiasaan hidup, tradisi, adat, pandangan
hidup, cara berpikir, cara bersikap, perilaku kehidupan sosial
masyarakat, dan keyakinan. Latar sosial juga menyarankan pada
hal-hal yang berkaitan dengan bahasa daerah,
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
140
penamaan, dan status. Menurut Nurgiantoro ((2013:243) latar sosial
berhubungan dengan budaya suatu masyarakat sehingga latar sosial
budaya yang kuat akan mampu memberikan warna lokal terhadap suatu
cerita, yang membuat cerita itu bersifat khas atau hanya dapat
terjadi pada latar tersebut. Latar yang demikian disebut latar yang
tipikal. Menurut Sutawijaya dan Rumini (1996:1) cerita pendek
adalah cerita yang pada hakikatnya merupakan salah satu wujud
pernyataan seni yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasi.
Sebagai wujud pernyataan seni, dalam hal ini seni sastra, cerita
pendek tentunya memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk karya
sastra lain seperti novel, drama, dan sajak.
Lebih menspesifikasikan menurut Notosusanto (dalam Tarigan, 2011:3)
cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau
kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap
pada dirinya sendiri. Menurut Sumardjo (2007: 92) cerpen adalah
seni keterampilan menyajikan cerita. Oleh karena itu, seorang
penulis harus memiliki ketangkasan menulis dan menyusun cerita yang
menarik. Perbedaan antara cerpen dengan novel dapat dilihat dari
segi bentuk atau panjang ceritanya.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sunarto (2001:135)
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara
individual maupun kelompok. Selain itu, menurut pendapat Bogdan dan
Taylor (dalam
Moleong, 2010:4) penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yang dibantu
dengan teknik baca dan catat. Teknik baca dilakukan karena data
penelitian merupakan paparan narasi berbentuk prosa sedangkan
teknik catat dilakukan untuk mengindentifikasi latar sosial budaya
yang terdapat dalam cerpen-cerpen yang dinalisis. Adapun analisis
data yang dilakukan dengan menggunakan conten analysis atau
analisis konten. Menurut Endraswara (2011:161) analisis konten
digunakan untuk menelaah isi teks untuk mengetahui penggambaran
latar dalam cerpen. Analisis konten adalah strategi untuk menangkap
pesan karya sastra. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Latar Tempat Secara
keseluruhan latar tempat yang terdapat dalam buku antologi cerpen
Darah Penanda berada di provinsi Kalimantan Selatan. Latar tempat
tersebut berada di Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan di beberapa
kabupaten lainnya seperti Kabupaten Banjar, Barabai, Amuntai,
Tanjung dan lain-lain. Kota dan kabupaten yang menjadi latar tempat
dalam buku antologi cerpen Darah Penanda benar-benar ada di
Provinsi Kalimantan Selatan. Hal itu menunjukkan bahwa kisah-kisah
yang ada di dalam buku antologi cerpen Darah Penanda merupakan
kisah-kisah yang terinspirasi dari kejadian- kejadian yang terjadi
di Provinsi Kalimantan Selatan itu sendiri.
Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)
141
Latar tempat yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah Penanda
yang berlokasi di Kota Banjarmasin terdapat dalam cerpen Dara karya
Wahyudi, Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya
Hajriansyah; Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana, dan Drama Terbaik
dalam Hidup karya Diena Rasya Umami. Latar tempat yang terjadi di
Kota Banjarbaru terdapat dalam cerpen Perempuan 28 karya Aliman
Syahrani dan Memancing Sepi karya M. Fitran Salam. Latar tempat
yang terjadi di Kabupaten Banjar terdapat dalam cerpen Intan karya
Riska Yunida dan Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata. Latar
tempat yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Utara tepatnya di Kota
Amuntai terdapat dalam cerpen Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie
dan Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri
Normuliati
Selain latar kota yang menjadi tempat dominan terjadinya peristiwa,
latar tempat pendukung lainnya adalah di sungai seperti dalam
cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah,
Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata, dan Memancing Sepi karya
M. Fitran Salam. Latar sungai yang terdapat di beberapa cerpen
dalam buku antologi cerpen Darah Penanda sebenarnya tidak terlalu
aneh. Hal itu disebabkan Provinsi Kalimantan Selatan memang
memiliki banyak sekali sungai. Bahkan Kota Banjarmasin sebagai
ibukota Provinsi Kalimantan Selatan mendapat julukan Kota Seribu
Sungai.
Latar tempat lain yang terdapat dalam buku antologi cerpen Darah
Penanda adalah rawa. Latar tersebut terdapat dalam cerpen
Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie. Hal itu dapat dipahami sebab
topografi wilayah Kalimantan Selatan memang terdiri dari
pegunungan, daratan, sungai, dan
rawa-rawa. Oleh sebab itu, tidak heran bila daerah Kalimantan
Selatan terkenal dengan daerah rawa gambutnya. Latar tempat
berikutnya yaitu di warung makan. Latar tempat itu terdapat dalam
cerpen Dara karya Wahyudi dan Perempuan 28 karya Aliman Syahrani.
Latar tempat berupa warung merupakan hal yang biasa di Kalimantan
Selatan. Hal itu disebabkan budaya “ngewarung” memang masih sangat
kental dalam kehidupan sosial masyarakat terutama masyarakat
Banjar.
Akan tetapi, dari semua latar yang terdapat dalam kumpulan cerpen
tersebut latar tempat yang paling dominan tetap di rumah. Latar
rumah ini hampir terdapat disemua cerpen yang terdapat dalam buku
antologi cerpen Darah Penanda. Hal itu menandakan bahwa rumah masih
merupakan basis tempat penceritaan yang terdapat dalam cerpen dalam
semua karya sastrawan Kalimantan Selatan. Hal itu dapat dipahami
sebab wilayah Kalimantan Selatan secara mayoritas masih didiami
oleh penduduk asli atau penduduk lokal. Fenomena masyarakat urban
beserta permasalahan yang meliungkupinya masih belum begitu terasa
di Kalimantan Selatan. Orang-orang yang tidak mempunyai rumah masih
merupakan tema yang sangat sulit ditemukan dalam khazanah sastra di
Kalimantan Selatan. Hal itu sangat berbeda dengan permasalahan
masyarakat urban yang berada di kota- kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Medan yang terkadang orang- orang pendatang terpaksa
tinggal di bawah jembatan, di dalam gerobak, bahkan bergelandang
begitu saja.
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
142
3.2 Latar Waktu Latar waktu yang terdapat
dalam buku antologi cerpen Darah Penanda didominasi oleh latar
waktu sezaman, yaitu waktu kehidupan di saat cerpen-cerpen tersebut
di kirimkan ke panitia lomba menulis cerpen oleh Dewan Kesenian
Banjarbaru, yaitu tahun 2008. Penunjukkan waktu yang terdapat dalam
semua cerpen tersebut tidak dilakukan secara eksplisit berupa angka
tahun secara jelas. Akan tetapi, penunjukkan waktu terjadi dengan
keterkaitannya dengan waktu secara faktual, misalnya adanya
penambangan-penambangan skala besar yang terjadi di Kalimantan
Selatan yang terjadi sekitar tahun 1990-2000-an.
Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah
menceritakan tentang keresahan seorang dosen FKIP Universitas
Lambung Mangkurat yang sekaligus merupakan seorang budayawan
terhadap maraknya penambangan yang terjadi di Kalimantan Selatan.
Keresahan tersebut lebih disebabkan oleh rusaknya alam serta adanya
pengaruh budaya negatif akibat adanya penambangan tersebut.
Selain itu indikator waktu yang terdapat dalam buku antologi cerpen
Darah Penanda adalah maraknya penggunaan telepon genggam atau hp di
tengah-tengah masyarakat. Pada mulanya telepon genggam hanya
digunakan kalangan tertentu akibat harganya yang relatif mahal.
Akan tetapi sekitar tahun 1990-2000-an telepon genggam sudah
mewabah hampir di semua lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan
harga telepon genggam yang sudah dapat dicapai oleh hampir semua
kalangan. Cerpen
Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana sudah menjadikan telepon genggam
sebagai sarana untuk komunikasi, bahkan oleh seorang anak siswa
sekolah menengah sekalipun. Hal itu menunjukan bila telepon genggam
sudah bukan menjadi barang mewah lagi, melainkan menjadi bagian
kebudayaan masyarakat secara luas.
Cerpen Perempuan 28 karya Aliman Syahrani menceritakan tentang
aktivitas masyarakat di tempat pelacuran atau lokalisasi di Kota
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Penamaan lokalisasi 28 merujuk pada
tempat lokalisasi itu sendiri yang terletak di Jalan A. Yani km 28.
Saat ini lokalisasi pelacuran pal 28 telah di tutup oleh Menteri
Sosial ibu Kofifah Indah Parawangsa. Dengan demikian, aktivitas di
lokalisasi pal 28 secara implisit merujuk pada tahun 1970— 2000-an.
Selain itu, profesi penulis sebuah tabloid dengan menggunakan
istilah kuli flasdisc dalam cerpen ini secara tidak langsung
merujuk pada waktu penceritaan. Hal itu disebabkan flashdisc baru
terpakai di era sekitar tahun 2000-an sebelumnya masyarakat
terbiasa menggunakan disket. Cerpen Sungaiku Hidupku karya bayu
Yoga Dinata secara tidak langsung juga menunjukkan waktu
penceritaan. Kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut salah
satunya membahas tentang penggusuran rumah lanting (rumah di atas
sungai) oleh pemerintah setempat karena dianggap kumuh. Kebijakan
penggusuran rumah lanting ini mulai dilakukan di tahun 2000-an.
Oleh sebab itu, waktu penceritaan cerpen ini adlah di tahun
2000-an. Cerpen Memancing Sepi karya M. Fitran Salam memceritakan
tentang maraknya kasus illegal logging dan illegal mining. Hal itu
secara tidak
Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)
143
langsung merujuk pada waktu penceritaan. Maraknya kasus illegal
logging dan illegal mining terjadi pada awal-awal tahun 2000-an.
Ayah Surya dalam cerita ditangkap pihak yang berwajib karena
tersebut. Setelah ayahnya dipenjara, Surya mulai mempunyai
kebiasaan baru yaitu memancing. Selain itu, penunjuk waktu yang
lain adalah adanya tokoh ulama kharismatik yang mengalami sakit
yang berobat ke Singapura. Peristiwa sakitnya ulama tersebut juga
terjadi di awal tahun 2000-an. S Sementara itu, waktu penceritaan
yang terdapat dalam cerpen Intan karya Riska Yunida,
Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie, Senandungku dan Kenangan
Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati, dan Drama Terbaik dalam
Hidup karya Diena Rasya Umami tidak memiliki penunjuk waktu
penceritaan yang ekspilisit dan tidak memiliki petunjuk keterkaitan
waktu faktual secara khusus pula. Oleh sebab itu, penunjuk waktu
peristiwa dalam cerita hanya mengacu pada fenomena sosial dalam
cerita. Cerpen Intan mengisahkan tentang kehidupan para penambang
intan di daerah Cempaka, Kabupaten Banjar. Penambangan intan
tersebut telah beroperasi sejak tahun 1960 hingga sekarang. Oleh
sebab itu, dapat diasumsikan waktu kejadian peristiwa adalah di
tahun 2000-an waktu pada saat cerpen tersebut di kirim ke panitia
lomba menulis cerpen. Begitu juga cerpen Teratai-teratai karya Reda
Ari Yantie, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri
Normuliati, dan Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami
diasumsikan waktu kejadian peristiwa adalah di tahun 2000-an waktu
pada saat cerpen tersebut di kirim ke panitia lomba menulis
cerpen.
3.3 Latar Sosial
Latar sosial dalam buku antologi cerpen Darah Penanda secara kelas
sosial sangat variatif melingkupi latar sosial masyarakat kelas
bawah, menengah bahkan kelas atas atau orang kaya. Latar sosial
masyarakat kelas bawah diwakili oleh cerpen Intan karya Riska
Yunida, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri
Normuliati, Perempuan 28 karya Aliman Syahrani, dan Sungaiku
Hidupku karya bayu Yoga Dinata. Cerpen Intan menceritakan tentang
masyarakat pendulangan intan yang secara sosial kemasyarakatan
masih berada di bawah taraf sejahtera. Hal itu berbanding terbalik
dengan mahalnya harga intan itu sendiri. Kemiskinan atau taraf
hidup prasejahtera dalam cerpen intan ini terwakili oleh sosok
Syarif seorang pendulang intan yang masih sangat muda yang karena
faktor kemiskinan terpaksa putus sekolah. Hal itu terlihat dalam
kutipan berikut. “Syarif adalah seorang anak laki-laki berusia
sebelas tahun. Di usianya yang sekarang, seharusnya Syarif sudah
menjadi siswa SD kelas enam. Tapi kenyataannya tidak demikian. Di
saat anak-anak lain sedang belajar di ruang kelas yang nyaman, ia
malah berkubang dengan lumpur-lumpur di bawah teriknya matahari,
hanya untuk mendapatkan sebutir harapan mayoritas masyarakat desa
Pumpung: Intan! Bukan hanya Syarif yang menjadi pendulang intan di
usianya yang masih sangat muda. Hampir sebagian dari anak-anak di
desa itu memang tidak bersekolah dan ikut mendulang dengan alasan
yang paling sering membuat sebagian orang menjadi tunduk,
yaitu
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
144
masalah keuangan. Mereka tidak sempat dan mungkin tidak akan pernah
mengecap pendidikan formal sedikitpun seumur hidup mereka”
(Yunida:56-57).
Selain cerpen Intan yang
mengetengahkan permasalahan masyarakat kelas bawah, cerpen Sungaiku
Hidupku juga membahas tentang masyarakat kelas bawah. Tokoh aku
sebagai tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang tua yang
tinggal di lanting yang pekerjaannya adalah malunta (menjala ikan)
ikan di sungai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut. “Hati ini aku melakukan lagi kebiasaanku.
Sembari menunggu ikan berserah masuk luntaku, aku mengumpulkan
sampah-sampah plastik yang terapung di sungai kesayanganku.
Membersihkan sungai ini adalah caraku, menunjukkan kasih sayang
pada sungai tercintaku. Sampah yang kukumpulkan kujual pada para
pengumpul plastik bekas, Rp 1000,- per- kilogramnya. Ya, lumayan
untuk menyambung hidup hingga ajal menjemput tubuh tua ini”
(Dinata:93).
Cerpen Senandungku dan
Kenangan Tentang Haur Kuning karya Sri Normuliati juga mengisahkan
masyarakat kelas bawah. Akibat kemiskinan, Lisna terpaksa menjadi
TKW ke Arab Saudi untuk membantu perekonomian keluarganya. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut.
“Aku memantapkan hatiku
untuk pergi ke Arab Saudi dengan menjadi seorang TKW. memang kalu
dipikir-pikir di usiaku yang baru menginjak 17 tahun ini, aku telah
mengambil suatu keputusan yang sangat penting dalam hidupku.
Keputusan yang sama sekali tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Di saat teman-teman sebayaku tengah
sibuk belajar menghadapi ujian kelulusan, aku juga tengah belajar
untuk menata hatiku agar lebih bijaksana dalam memandang hidup.
Pahit dan manis, sedih dan senang, semuanya harus dijalani”
(Normuliati:112) Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami
karya Hajriansyah, Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana,
Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie, dan Memancing Sepi karya M.
Fitran Salam menceritakan tentang masyarakat kelas menengah. Cerpen
Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami menceritakan tentang
kegelisahan seorang dosen FKIP Universititas Lambung Mangkurat
terhadap maraknya penambangan di wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan sedangkan cerpen Teratai-teratai menceritakan tentang
kegelisahan seorang gadis dan seorang ibu akibat belum mendapatkan
jodoh. Cerpen Memancing Sepi menceritakan tentang anak orang kaya
yang orang tuanya ditangkap pihak yang berwajib karena telah
melakukan tindak kejahatan korupsi. Akibatnya kehidupan mereka
menjadi jatuh dan mulai menjalani hidup seperti orang
kebanyakan.
Cerpen Sungaiku Hidupku karya Bayu Yoga Dinata menceritakan tentang
latar sosial masyarakat Banjar yang terbiasa hidup di sungai.
Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang dari dahulu hidup berbasis
sungai. Hampir seluruh aktivitas hidup melibatkan sungai. Budaya
sungai sudah menjadi bagian integral bagi masyarakat Banjar. Akan
tetapi, kemajuan infrastruktur di darat sedikit demi sedikit
mengikis kehidupan sungai. Jalan-jalan yang baik telah dibangun
oleh pemerintah. Dengan
Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)
demikian, transportasi sungai lambat laun tergantikan oleh
transportasi darat. Begitu juga rumah lanting (rumah yang dibangun
di atas sungai) mulai terancam keberadaannya. Pemerintah daerah
mulai menertibakan rumah-rumah lanting karena dianggap kumuh dan
merusak pemandangan. Pemerintah mulai mencanangkan dan menggiatkan
masyarakat untuk hidup di darat. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.
“Dua kali sudah aku mendapat teguran dari pemerintah daerah, aku
minta penjaga warung dekat sungai ini untuk membacakannya untukku.
Surat itu berisi perintah untuk membongkar rumah apungku yang telah
berusia 15 tahun tertambat di bantaran sungai Martapura. Sebelumnya
aku berpindah- pindah dari satu sungai ke sungai lainnya.
Menjelajah sungai-sungai di Kalimantan merupakan suatu kebanggan
untukku” (Dinata:94—95).
Pak tua sebenarnya tidak mau
pindah ke darat. Hal itu disebabkan rasa kecintaannya yang tinggi
terhadap sungai. Oleh sebab itu, tidak heran bila rumah lanting
milik pak tua dalam cerita akhirnya sengaja di bakar orang tak
dikenal agar pak tua mau pindah ke darat.
“Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, mengendap-endap keluar dari
rumah Pak Hamid yang bersedia menampungku. Beberapa warga mengaku
melihat sebuah speed boad berpenumpang dua orang pria berjaket
hitam mendekati rumahku sebelum kebakaran itu terjadi. Aku tidak
memusingkannya lagi. Aku sudah pasrah” (Dinata:99—100).
Cerpen Dara karya Wahyudi dan cerpen Drama Terbaik dalam
Hidup karya Diena Rasya Umami. Menceritakan tentang kehidupan
masyarakat kelas atas atau orang kaya. Cerpen Dara menceritakan
tentang seorang pemborong yang memiliki banyak proyek di kabupaten-
kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Pemborong tersebut
terlibat cinta lokasi dengan seorang penjaga warung yang berparas
cantik. Akan tetapi, pemborong tersebut dapat menahan diri sehingga
tidak terlibat terlalu jauh dalam cinta terlarang tersebut. Cerpen
Drama Terbaik dalam Hidup karya Diena Rasya Umami menceritakan
tentang kehidupan anak orang kaya yang memiliki kehidupan pribadi
menyimpang, yaitu menjadi seorang waria. Akibatnya, orang tua anak
tersebut menjadi marah besar dan mengusirnya dari rumah
mereka.
Latar sosial budaya yang terdapat dalam Perempuan 28 karya Aliman
Syahrani terasa sangat unik sekali. Hal itu disebabkan masyarakat
Banjar adalah masyarakat yang religius sehingga kota Martapura
mendapat julukan Kota Serambi Mekkah. Akan tetapi, hanya beberapa
kilometer dari Kota Martapura berdirilah lokalisasi Pal 28. Hal itu
berarti hanya beberapa kilometer dari pesantren-pesantren yang ada
di Provinsi Kalimantan Selatan terletak lokalisasi pelacuran. Hal
itu menciptakan suatu budaya toleransi yang unik. Para pemuka agama
sebenarnya juga sudah berkali-kali menghimbau kepada pemerintah
untuk menutup lokalisasi tersebut. Adanya lokalisasi dalam struktur
masyarakat Banjar menunjukkan bahwa budaya luar yang negatif telah
memasuki kehidupan masyarakat Banjar yang religius. Ha itu
disebabkan pemerintah pusat mengizinkan atau membolehkan keberadaan
lokalisasi asalkan mempunyai izin. Pada titik
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
146
inilah terjadi perbenturan antara aturan agama dengan aturan
pemerintah.
Selain itu, adanya pengaruh budaya luar yang negatif terhadap
kehidupan masyarakat Banjar yang religus adalah tumbuhnya fenomena
LGBT di tengah-tengah masyarakat. Cerpen Drama Terbaik dalam Hidup
karya Diena Rasya Umami menceritakan tentang anak seorang kaya yang
apabila malam berubah menjadi seorang waria dan menjajakan dirinya
sebagai seorang pemuas seks menyimpang. Fenomena waria seperti ini
sangat ditentang oleh kebanyakan masyarakat Banjar. Akan tetapi,
atas nama hak asasi manusia kehidupan mereka di akui oleh Negara.
Cerpen Hitam Putih Kotaku karya Rismiyana juga menceritakan tentang
pengaruh zaman dalam kehidupan anak muda sekarang ini. Kota
Banjarmasin yang religius yang ditandai oleh banyaknya masjid sudah
mendapat pengaruh buruk akibat kemajuan zaman. Hal itu disebabkan
pergaulan bebas yang ditandai oleh seks bebas telah menjangkiti
anak-anak sekolah yang ada di kota Banjarmasin. Tempat- tempat
hiburan malam disinyalir sebagai salah satu sebab yang menyebabkan
budaya seks bebas mulai menyebar di kota Banjarmasin yang
masyarakatnya sangat religius. Faham liberal yang berasal dari
budaya barat seakan-akan menjadi “payung hukum” maraknya fenomena
seks bebas di kalangan remaja.
Cerpen Memancing Sepi karya M. Fitran Salam menceritakan tentang
latar sosial buadaya masyarakat Banjar yang sangat suka sekali
memancing. Hal itu disebabkan topografi wilayah Kalimantan Selatan
yang terdiri atas banyak sekali rawa-rawa, sungai- sungai, dan
sawah-sawah. Rawa-rawa, sungai-sungai, dan sawah-sawah
tersebut menjadi tempat pavorit untuk memncing. Kebiasaan memancing
masyarakat Banjar ini telah menjadi budaya bahkan sampai sekarang
ini. Istilah-istilah memancing seperti mamair (memancing ikan gabus
dengan menggunakan galah bambu yang panjang), menyiam (memancing
ikan sepat siam) dan lain-lain tercipta dari pola budaya memancing
tersebut. Begitu juga tokoh Surya dalam cerita. Ia mulai menyukai
memancing ikan akibat pergaulannya dengan Udin. Udin adalah seorang
anak yang suka sekali memancing. Hampir disetiap kesempatan Udin
pergi memancing. Kebiasaan Udin ini akhirnya mengenai Surya.
Rupanya ada kenikmatan tersendiri ketika memancing sehingga
menimbulkan rasa ketagihan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
“Menunggu Minggu, maksudku menunggu Udin di hari liburnya itu yang
masih beberapa hari lagi, janji kami memancing lagi, aku merasa
kelamaan. Setelah dua hari lalu, hari ini aku sudah kepingin sekali
memancing, mungkin ketagihan. Ah, ketagihan atau apapun namanya,
hari ini aku akan pergi memancing sendirian. Juran pancing yang
dititipkaan Udin di rumah ini merangsang keinginanku dan umpan sisa
pun masih baik ku simpan di kulkas. Siap berangkat”
(Salam:121—122).
Cerpen Intan karya Riska
Yunida juga berlatar sosial masyarakat Banjar, khususnya kehidupan
masyarakat pendulang intan di Cempaka, Kabupaten Banjar. Kehidupan
para pendulang pada umumnya secara ekonomi tidaklah terlalu
sejahtera. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan mahalnya harga
intan itu sendiri. Syarif adalah salah seorang anak yang memiliki
profesi sebagai pendulang intan. Umur
Latar Cerpn-Cerpen... (Agus Yulianto)
147
Syarif masih sangatlah muda, yaitu sebelas tahun. Syarif tidak
bersekolah disebabkan alas an klasik, yaitu ketiadaan biaya.
Anak-anak seperti Syarif cukup banyak di desanya. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
“Syarif adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun. Di
usianya yang sekarang, seharusnya Syarif sudah menjadi siswa SD
kelas enam. Tapi kenyataannya tidak demikian. Di saat anak-anak
lain sedang belajar di ruang kelas yang nyaman, ia malah berkubang
dengan lumpur-lumpur di bawah teriknya matahari, hanya untuk
mendapatkan sebutir harapan mayoritas masyarakat desa Pumpung:
Intan! Bukan hanya Syarif yang menjadi pendulang intan di usianya
yang masih sangat muda. Hampir sebagian dari anak-anak di desa itu
memang tidak bersekolah dan ikut mendulang dengan alasan yang
paling sering membuat sebagian orang menjadi tunduk, yaitu masalah
keuangan. Mereka tidak sempat dan mungkin tidak akan pernah
mengecap pendidikan formal sedikitpun seumur hidup mereka”
(Yunida:56-57).
Minimnya penghasilan yang didapat oleh para pendulang disebabkan
adanya sistem kerja abian dalam mendulang intan. Sistem kerja abian
adalah system kerja bagi hasil antara pemiliki lahan penambangan
intan, pemilik mesin sedot, penggali lobang, dan pelinggang atau
orang yang mengayak batu-batu hasil penambangan untuk mencari
intan. Ada satu hal yang harus dipegang erat oleh tipa-tiap
komponen tersebut, yaitu asas kejujuran.
Budaya kejujuran diantara penambang menjadi poin yang sangat
penting. Hal itu disebabkan tiap-tiap orang dalam kelompok
penambang itu
tidak dapat berdiri sendiri dalam mencari intan, melainkan harus
bekerja sama dan bahu-membahu. Oleh sebab itu, sulit dibayangkan
apabila ada komponen penambangan yang tidak jujur, tentu sangat
merugikan bagi komponen yang lain. Dengan demikian, asas kejujuran
menjadi mata rantai penghubung antar komponen yang sangat efektif
dalam menciptakan kerja sama yang baik antar mereka.
Dengan demikian, apabila tidak ada satu pun intan yang ditemukan
maka tidak akan ada pembagian rezeki diantara mereka dan itu
artinya tidak ada penghasilan yang masuk untuk dapat menopang
kehidupan mereka. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
“Untukku”” Tanya Syarif lagi dengan penuh ekspresi keheranan. “Aku
tahu dari abah, hari ini Kau tidak bebagi. Jadi, Kau pasti tidak
mendapatkan sepeser pun uang dari Amang Haji Sukri.” Kata Fiqoh
dengan senyum halusnya, tanpa ada niat terselubung untuk
merendahkan Syarif di hadapannya” (Yunida:61).
Latar sosial dalam cerpen
Teratai-teratai karya Reda Ari Yantie cukup membuat miris para
orang tua yang mempunyai anak gadis. Hal itu disebabkan adanya
fenomena perawan tua yang terdapat dalam cerita. Banyak hal yang
menyebabkan itu terjadi. Jumlah laki-laki yang lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah wanita sehingga ada wanita yang tidak
menemukan jodoh. Ditambah lagi dengan sikap wanita itu sendiri yang
terlalu memilih calon suami sehingga akhirnya tidak mendapatkan
jodohnya.
Ada satu hal yang menarik dalam filosofi para perawan yang belum
mendapatkan jodoh. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
Kelasa, Vol. 12, No. 2, Desember 2017: 137—150
148
“Biarlah terus menjadi teratai yang indah meski hidup di rawa
kemerahan. Menunggu ada yang memetik atau kalaupun layu menjadi
telipuk yang bergizi tinggi” (Yantie:74).
4. Simpulan
Berdasarkan uraian yang
terdapat dalam pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut. Pertama, latar tempat yang terdapat dalam cerpen-cerpen di
buku antologi Darah Penanda lebih banyak terdapat di kota-kota yang
ada di Provinsi Kalimantan Selatan, baik di Kota Banjarmasin,
Banjarbaru, Barabai dan lain-lain. Tidak ada satu cerpen pun yang
memiliki latar tempat berada di luar Provinsi Kalimantan Selatan.
Latar tempat lainnya yang ada di buku antologi Darah Penanda ini
adalah di sungai dan rawa. Hal itu sangat dimungkinkan karena
topografi wilayah Kalimantan Selatan terdiri atas banyak sungai dan
rawa-rawa. Selain itu, latar tempat yang menjadi latar dominan
dalam sebuah cerpen yang berjudul Dara adalah warung. Masyarakat
Banjar yang ada di Kalimantan Selatan adalah salah satu masyarakat
yang masih memiliki budaya “ngewarung” yang tinggi. Mereka tahan
berjam-jam hanya sekedar mengobrol di warung.
Kedua, latar waktu yang terdapat dalam cerpen-cerpen di buku
antologi Darah Penanda ini tidak ditunjukkan secara eksplisit
berupa tahun kejadian. Akan tetapi, latar waktu yang terdapat dalam
cerpen- cerpen di buku antologi ini dapat diketahui karena memiliki
keterkaitan dengan waktu faktual berupa fenomena social yang
terjadi dalam masyarakat Banjar. Misalnya, waktu mulai maraknya
pemakaian hand phone atau telepon seluler di tengah-
tengah masyarakat, waktu adanya aktivitas penambangan yang sangat
gencar di Kalimantan Selatan, waktu di larangnya pemakaian lanting
di sungai sebagai tempat tinggal, waktu maraknya kasus ilegal
logging dan illegal minning di tengah-tengah masyarakat dan
lain-lain. Fenomena- fenomena social seperti itu secara tidak
langsung dapat menunjukkan latar waktu yang terdapat dalam
cerita.
Ketiga, latar sosial yang terdapat dalam cerpen-cerpun di buku
antologi Darah Penanda ini secara kelas sosial mewakili seluruh
lapisan kelas sosial yang ada di masyarakat di Provinsi Kalimantan
Selatan. Dari masyarakat kelas rendah, menengah, sampai atas ada di
dalam cerpen- cerpen di buku antaologi Darah Penanda ini. Selain
itu, fenomena pergeseran norma-norma mayarakat Banjar yang
religious juga terdapat dalam kumpulan cerpen ini. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya fenomena waria (LGBT) serta adanya
pergaulan bebas di kalangan pelajar setingkat SLTA di kota
Banjarmasin. Selain itu, pergeseran budaya masyarakat yang berbasis
sungai menjadi budaya yang berbasis daratan juga terjadi dalam
masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
Daftar Acuan Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary
term. Third Edition. New York: Holt, Rinehart. And Wiston,
inc.
Arsi, Ali Syamsuddin. 2008. Darah Penanda
(Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen).
Banjarbaru: Dewan Kesenian Kota Banjarbaru.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi
Nurgiantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumardjo, Jakob. 2007. Catatan Kecil
Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sungkowati, Yulitin. 2013. Latar Cerpen-
cerpen Majalah Penjebar Semangat Pada Era Reformasi (dalam jurnal
Kandai volume 9, nomor 2, November 2013). Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sungkowati, Yulitin. 2013. Latar Cerpen-
cerpen Majalah Penjebar Semangat Pada Era Reformasi (dalam jurnal
Kandai volume 9, nomor 2, November 2013). Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sutawijaya dan Rumini. 1996. Bimbingan
Apresiasi Sastra Cerita Pendek dan Novel. Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip
Dasar Sastra. Jakarta: Angkasa.
150