Cerita Rakyat

Embed Size (px)

Citation preview

Asal Mula Burung Ntaapo-ApoDahulu, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan. Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing. Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak. Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu, begitu selalu kata La Ane. Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja? ujar ibunya. Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun, kata La Ane dengan cuek. Kalau begitu, makan saja itu gasingmu! tukas ibunya dengan nada kesal. La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan). Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas! geram sang ibu.

Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya. Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali, keluh La Ane. Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya. Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri, ucap La Ane. Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu. Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya. La Ane La Ane, kamu di mana anakku?! teriaknya. Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya. Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak! bujuk sang Ibu. Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selamalamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau. Ntaapo-apo Ntaapo-apo! demikian kicauan burung itu. Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu.

Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau ntaapo-apo itu dinamakan burung Ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.

Sepak Bola BinatangKonon, di sebuah daerah di Sulawasi Selatan, ada sebuah padang rumput yang terbentang luas yang menjadi tempat berbagai jenis binatang seperti sapi, kerbau, gajah, keledai, kijang, dan lain sebagainya untuk merumput. Pada suatu hari, gerombolan sapi dan kerbau bertemu di padang rumput tersebut. Kebetulan mereka datang bersamaan dan hendak merumput di bagian padang rumput yang hijau dan subur. Mereka bergerombol dan saling berebut untuk menguasai di tempat itu. Hei, Sapi! Rumput ini bagian kami. Kalian pindah ke tempat lain! seru seekor kerbau. Tidak! Kami juga berhak makan di sini. Lagi pula kita datang bersamaan, jawab seekor sapi. Oleh karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya mereka saling dorong dan akhirnya terjadilah perkelahian. Para binatang lainnya yang juga merumput di padang itu bersorak-sorai memberi semangat. Maka makin serulah perkelahian antara gerombolan sapi dan kerbau. Perkelahian tersebut tampak seimbang. Mereka saling tanduk dan saling dorong dengan sekuat tenaga. Sesekali gerombolan sapi itu mengeluarkan bunyi lenguh yang sangat keras. Mooohhhh......!!! Hingga siang hari, perkelahian tersebut masih berlangsung dan belum ada yang kalah atau pun menang. Tidak lama kemudian, Singa sang Raja Hutan, tiba-tiba muncul dari balik semak belukar di pinggir padang rumput. Melihat perkelahian itu, ia pun segera mengaung. Auuunngggg.........!!! Hei, hentikan perkelahian itu! seru sang Singa dengan marah. Mendengar seruan itu, gerombolan sapi dan kerbau itu pun berhenti berkelahi. Para binatang lain yang menjadi penonton pun berhenti bersorak-sorai. Semuanya

menundukkan kepala dan tidak berani bergerak sedikit pun, karena takut kepada sang Raja Hutan. Berkelahi lagi, berkelahi lagi...! Hampir setiap hari terjadi perkelahian di tempat ini. Kemarin rusa dengan kambing berkelahi karena rumput. Dua hari yang lalu keledai dan kuda juga berkelahi memperebutkan rumput. Sekarang kerbau dan sapi juga berkelahi. Semuanya gara-gara rumput, kata sang Raja Hutan. Oleh karena tidak ingin kembali terjadi pertikaian, Sang Raja Hutan menyuruh semua binatang untuk berkumpul di tengah padang rumput. Dengarkan kalian semua! Aku tidak ingin melihat lagi ada perkelahian di antara kalian. Untuk itu, aku ingin mengusulkan bagaimana kalau diadakan pertandingan sepak bola untuk membina persahabatan di antara penghuni hutan ini? usul sang Raja Hutan. Setujuuu....! teriak seluruh binatang yang hadir di tempat itu. Mereka menyambut gembira usulan itu, karena di samping dapat membina persahabatan juga menjadi hiburan bagi mereka, baik sebagai peserta maupun penonton. Mereka yang ingin mengikuti pertandingan itu segera mendaftarkan timnya. Tim yang paling pertama mendaftar adalah kerbau, kemudian menyusul sapi, gajah, keledai, kuda, kambing, domba, dan seterusnya. Sedangkan sang Raja Hutan hanya berperan sebagai wasit, karena jika timnya ikut dalam pertandingan tersebut, pasti binatang lain akan segan kepadanya. Keesokan harinya, pertandingan sepak bola antarbinatang itu pun dimulai. Pada pertandingan hari pertama, tim kambing berhadapan dengan tim domba. Kedua tim itu tampak bersiap-siap menempati posisi masing-masing. Sementara binatang lainnya yang menjadi penonton telah memenuhi pinggir lapangan. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menyaksikan pertandingan seru itu. Ayo...! Ayo..., kalian bisa...! terdengar suara penonton memberi semangat kepada tim kesayangan mereka. Setelah kedua tim bersiap, sang Wasit pun meniup peluitnya sebagai tanda pertandingan dimulai. Pertandingan itu pun berlansung seru dan menarik. Terkadang pula menimbulkan kelucuan, sehingga mengundang tawa para penonton. Pada

pertandingan itu tim kambing menang 2 1 atas tim domba. Pertandingan berikutnya dilanjutkan keesokan harinya dan seterusnya. Setelah pertandingan berlansung beberapa hari, maka tinggallah empat tim yang berhasil masuk ke babak semifinal, yaitu tim kuda, gajah, kerbau, dan sapi. Pada semifinal pertama, tim kuda berhadapan dengan tim sapi. Pada pertandingan itu, tim kuda tampil kurang bersemangat, karena sehari sebelumnya, raja mereka meninggal dunia dimakan usia. Akhirnya, pertandingan itu dimenangkan oleh tim sapi dan berhasil masuk ke babak final. Keesokan harinya, semifinal kedua, tim gajah berhadapan dengan tim kerbau. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba turun hujan deras sehingga lapangan padang rumput tergenang air. Melihat kondisi itu, tim gajah menolak untuk bertanding hari itu. Namun, tim kerbau merasa keberatan jika pertandingan itu ditunda. Oleh karena kedua tim tidak ada yang mau mengalah, akhirnya terjadilah pertengkaran. Melihat keadaan itu, sang Wasit pun segera turun tangan. Untuk tidak mengecewakan para penonton yang sudah berdatangan ingin menyaksikan permainan kalian, maka pertandingan semifinal kedua ini harus dilangsungkan hari ini juga, walaupun lapangan banjir, tegas sang Wasit. Oleh karena sudah merupakan keputusan wasit yang tidak dapat diganggu gugat, maka pertandingan antara tim gajah dan kerbau harus dilangsungkan pada hari itu juga. Akibatnya, tim gajah selalu mendapat serangan bertubi-tubi dari tim kerbau. Tim gajah tidak dapat bergerak dan berlari, karena lapangan becek dan licin. Beberapa kali tim gajah terjatuh dan terjungkal di lapangan, sehingga menjadi sebuah tontonan yang lucu dan menarik. Sementara itu, tim kerbau dengan leluasa bergerak dan berlari kesana kemari sambil menggiring bola, karena mereka sudah terbiasa bermain-main dan mandi di kubangan yang becek dan banjir. Sudah dapat dipastikan sebelumnya bahwa pertandingan itu dimenangkan oleh tim kerbau. Tim kerbau menang dengan skor 3 0 atas tim gajah. Akhirnya di babak final, tim kerbau bertemu dengan musuh bebuyutannya, yakni tim sapi yang sudah masuk babak final terlebih dahulu. Sebelum para pemain dan penonton bubar, wasit mengumumkan bahwa jadwal pertandingan babak final akan dilangsungkan dua hari lagi.

Saya sengaja menunda jadwal pertandingan babak final ini sampai dua hari lagi untuk memberi waktu para pemain untuk beristirahat, agar kedua tim tersebut dapat tampil lebih baik dan menarik, sehingga para penonton dapat terhibur, kata sang Wasit. Kami juga setuju jika pertandingan ini ditunda. Kami harus memulihkan tenaga terlebih dahulu, kata kapten kesebelasan tim sapi. Kami juga setuju, sahut kapten kesebelsan tim kerbau. Setelah itu, para penonton dan pemain membubarkan diri. Kedua tim yang akan bertanding di babak final beristirahat selama dua hari untuk memulihkan tenaga. Di samping itu, kedua tim juga sedang mempersiapkan dan menyusun strategi masingmasing. Tidak terasa, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, yakni pertandingan babak final antara tim kesebelasan kerbau berhadapan dengan tim kesebelasan sapi. Para penonton telah memadati pinggir lapangan ingin menyaksikan pertandingan seru itu. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari itu cuaca sangat panas. Oleh karena itu, kedua tim tersebut membuka baju masing-masing. Mereka pun bertanding tanpa pakaian. Sorak-sorai penonton pun semakin ramai. Tidak berapa lama, wasit pun meniup peluit sebagai tanda pertandingan babak final dimulai. Pertandingan itu berlansung seru dan menarik. Kedua tim saling memperlihatkan ketangkasan mereka menendang dan menggiring bola dengan teknik yang tinggi. Kedua tim silih berganti menyerang. Sudah beberapa menit pertandingan berlangsung, namun belum ada tim yang mencetak gol ke gawang tim lawan. Makin lama, permainan pun tampak keras. Mereka saling ganjal-mengganjal jika tim lawan membawa bola. Di tengah pertandingan itu berlansung, tiba-tiba cuaca menjadi mendung. Tak lama kemudian, turun hujan lebat disertai dengan angin kencang. Butiran-butiran air hujan yang turun dari langit sebesar batu-batu kerikil. Jika tertimpa air hujan itu, akan terasa sakit dan menusuk. Para penonton mulai panik. Mereka berlarian kesanakemari mencari tempat berteduh untuk menghindari air hujan. Para pemain pun sudah tidak mendengar lagi komando dari wasit. Kedua tim berlarian menuju ke tempat penyimpanan pakaian. Pada saat itu, tim kerbau yang

pertama kali berlari salah alamat, karena dilanda kepanikan dan kesakitan terkena hujan. Mereka berlari ke tempat penyimpanan pakaian tim sapi, lalu memakai pakaian sapi tersebut. Setelah itu, mereka berlari berpencar entah ke mana. Sementara tim sapi yang datang terlambat, terpaksa memakai pakaian tim kerbau yang tertinggal, lalu berlari berpencar untuk mencari tempat berteduh. Sejak kejadian itu, pakaian (kulit) sapi terlihat lebih longgar atau kebesaran, karena memakai pakaian kerbau. Demikian sebaliknya, pakaian (kulit) kerbau terlihat kesempitan atau kekecilan, karena memakai pakaian sapi. Itulah sebabnya, di punggung sapi terdapat bagian yang cekung (berongga) dan di bagian leher bawahnya bergelambir, sedangkan pada kerbau tidak demikian.

Asal-Usul Gunung Saba MpoluluKonon, di Sulawesi Tenggara, Indonesia, ada dua buah gunung yang terletak berjauhan. Yang satu terletak di daerah Labunoua (sebelah timur) dan yang satunya lagi terletak di daerah Kabaena (sebelah barat). Gunung yang berada di Labunoua bernama Gunung Kamonsope, sedangkan gunung yang berada di Kabaena bernama Gunung Mata Air. Di masing-masing gunung tersebut ada penunggu atau penjaganya. Gunung Kamonsope dijaga oleh seorang perempuan cantik, sedangkan Gunung Mata Air dijaga oleh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berambut gondrong. Pada suatu ketika, musim kemarau melanda daerah itu selama berbulan-bulan, sehingga seluruh daerah itu kekurangan air. Kecuali Gunung Kamonsope, persediaan airnya masih melimpah. Oleh penjaganya, air tersebut digunakan untuk mengairi daerah sekitar Gunung Kamonsope yang ditumbuhi oleh pepohonan dan tanaman. Sementara itu, Gunung Mata Air sangat kekurangan air. Jangankan untuk mengairi pepohonan dan tanaman, air untuk digunakan mandi pun sulit diperoleh. Memang aneh. Walaupun gunung itu bernama Gunung Mata Air, tetapi masih tetap kekurangan air. Suatu hari, penjaga Gunung Mata Air meminta air kepada penjaga Gunung Kamonsope untuk mengairi daerah sekitar Gunung Mata Air yang dilanda kekeringan. Maaf saudari, bolehkah aku meminta sebagian airmu? pinta penjaga Gunung Mata Air dengan sopan. Maaf Tuan, aku tidak dapat memberikanmu air, karena aku juga membutuhkan banyak air, jawab penjaga Gunung Kamonsope. Beberapa kali penjaga Gunung Mata Air meminta air, namun penjaga Gunung Kamonsope tetap menolak permintaannya. Hal ini membuat penjaga Gunung Mata air menjadi murka. Jika kamu tidak mau memberikan airmu, aku akan memaksamu! seru penjaga Gunung Mata Air dengan kesal. Jika aku tidak mau memberimu air, itu adalah hakku. Kenapa kamu memaksa? Tapi, kalau kamu berani, silahkan! tantang penjaga Gunung Kamonsope.

Dasar perempuan pelit! Kalau itu maumu, tunggu saja pembalasanku! seru penjaga Gunung Mata Air lalu segera kembali ke tempatnya dengan perasaan marah. Sesampainya di Gunung Mata Air, lelaki gemuk itu langsung merebahkan tubuh di pembaringannya. Pikirannya mulai berkecamuk memikirkan bagaimana cara memperoleh air dari perempuan itu dengan paksa. Kemudian, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya. Aku ini adalah laki-laki, sedangkan penjaga Gunung Kamonsope adalah perempuan. Ah, masa aku dilecehkan oleh perempuan itu. Aku akan menembaknya dengan meriamku, pikirnya. Rupanya penjaga Gunung Mata Air merasa harga dirinya diinjak-injak, sehingga membuatnya tambah marah dan memutuskan untuk memerangi penjaga Gunung Kamonsope dengan menggunakan kekuatan senjata. Ia pun mengeluarkan senjata meriamnya. Dengan meriam ini, aku akan menghancurkan Gunung Kamonsope sampai berkepingkeping, gumam penjaga Gunung Mata Air. Setelah itu, penjaga Gunung Mata Air segera menembakkan meriamnya. Duorr...! terdengar suara letusan. Tembakan pertama itu tidak mengenai sasaran. Tembakan kedua pun diluncurkan, namun masih meleset. Tembakan ketiga, peluru tidak sampai ke sasaran. Berkali-kali penjaga Gunung Mata Air meluncurkan peluru meriamnya, namun tidak ada yang mengenai sasaran. Ia pun semakin murka dan emosinya tidak terkendali. Ia menembakkan satu persatu peluru meriamnya ke arah Gunung Kamonsope, namun tidak satu pun yang mengenai sasaran. Tanpa disadarinya, ternyata ia telah kehabisan peluru. Sementara itu, penjaga Gunung Kamonsope yang mengetahui tempatnya diserang segera mengambil senjata untuk membalasnya. Ia pun mengeluarkan meriamnya yang ukurannya lebih besar daripada meriam milik penjaga Gunung Mata Air. Hanya sekali tembak, peluru meriamnya langsung mengenai sasaran. Duooorrr...!!! Booom....!!! terdengar suara letusan yang sangat dahsyat.

Peluru meriam itu tepat mengenai puncak Gunung Mata Air hingga terpongkah. Puncak gunung itu hilang sebagian sehingga membentuk seperti kapak yang terkena benda keras. Sejak peristiwa itu, Gunung Mata Air berganti nama menjadi Gunung Saba Mpolulu.

Asal-Mula Tari PatudduAlkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya. Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya! setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut. Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu, gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu, pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk. Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan

mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam. Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang. Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara! seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa. Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, persembunyiannya, lalu menghampirinya. Anak Raja pun keluar dari

Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis? tanya Anak Raja purapura tidak tahu. Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang, jawab Bidadari Bungsu. Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga, kata Anak Raja seraya bertanya, Maukah kamu menjadi istriku? Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja. Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan

penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah. Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan. Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi! Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.

Asal Usul Burung MoopooAlkisah, di sebuah daerah di Minahasa, Sulawesi Utara, hiduplah seorang kakek bersama dengan cucu laki-lakinya yang bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di tepi hutan lebat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, sang Kakek pergi ke hutan mencari hasil hutan dan menjualnya ke pasar. Sementara Nondo hanya bisa membantu kakeknya memasak dan membersihkan rumah, karena kakinya pincang. Kedua orang tua Nondo meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu, Nondo diasuh oleh kakeknya hingga dewasa. Setiap hari Nondo selalu bersedih hati. Ia ingin sekali membantu kakeknya mencari kayu bakar di hutan, namun apa daya kakinya tidak mampu berjalan jauh. Ia juga ingin sekali menyaksikan sendiri binatang-binatang yang hidup di hutan sebagaimana yang sering diceritakan oleh kakeknya setiap selesai makan malam. Setiap kakeknya bercerita, Nondo selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ia hanya bisa membayangkan seperti apakah binatang-binatang yang diceritakan kakeknya itu. Ia juga sering bermimpi bertemu dengan binatang-binatang itu. Bahkan, ia kerap menirukan bunyi burung-burung yang diceritakan kakeknya. Pada suatu hari, seperti biasanya, sang Kakek hendak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Kek! Bolehkah Nondo ikut ke hutan bersama Kakek? pinta Nondo kepada kakeknya. Kamu di rumah saja, Cucuku jawab sang Kakek. Tapi, Kek! Nondo ingin sekali melihat binatang-binatang yang sering Kakek ceritakan itu. Jangan, Cucuku! kesehatanmu. Bukankah kakimu sedang sakit? Kakek khawatir dengan

Kek! Nondo mohon, izinkanlah Nondo pergi ke hutan bersama Kakek sekali ini saja, bujuk Nondo sambil merengek-rengek. Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya. Baiklah! Kamu boleh ikut bersama Kakek, tapi selesaikan dulu pekerjaan rumahmu, ujar sang Kakek.

Dengan perasaan senang dan penuh semangat, Nondo segera membersihkan rumah dan memasak untuk makan siang sepulang dari hutan. Beberapa saat kemudian, Nondo telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Kek! Ayo kita berangkat! Pekerjaan Nondo sudah selesai, seru Nondo. Ya! jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir. Setelah itu, berangkatlah mereka ke hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya, karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya. Awalnya Nondo tidak menyadari keadaan itu. Ketika hari menjelang sore, ia baru tersadar jika ia tinggal sendirian di tengah hutan. Hari pun semakin gelap, suasana hutan semakin menyeramkan dengan suara-suara binatang yang menakutkan. Kakek...! Kakek....! Kakek di mana...? teriak Nondo memanggil kakeknya sambil menangis. Beberapa kali Nondo berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba mencari jalan pulang ke rumah, namun semakin jauh ia berjalan semakin jauh masuk ke tengah hutan. Ia pun bertambah bingung dan tersesat di tengah hutan. Malam semakin larut, Nondo belum juga menemukan kakeknya. Ia pun semakin takut oleh suara-suara burung yang bersahut-sahutan, seperti burung uwak, kedi-kedi, kakaktua, toin tuenden dan burung hantu. Apalagi ketika ia mendengar suara burung kuow yang keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan berteriak sekeraskerasnya agar suaranya didengar oleh kakeknya. Namun, usahanya sia-sia, karena tidak mendapat jawaban sama sekali. Sementara itu sang Kakek menjadi panik ketika menyadari cucunya sudah tidak ada lagi di belakangnya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan cucu kesayangannya itu. Nondo...! Nondo...! Kamu di mana? teriak sang Kakek.

Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang aneh.

`moo-poo..., moo-poo..., moo-poo.! terdengar suara burung aneh itu.Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya, gumam Kakek Nondo. Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat. Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti itu, gumamnya. Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, moo-poo. Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.

Asal Mula Nama Kota BalikpapanDahulu, di Tanah Pasir, Kalimantan Timur, terdapat sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh Raja Aji Muhammad yang terkenal adil dan bijaksana. Berkat kepemimpinan Sang Raja, negeri itu senantiasa aman, makmur, dan sentosa. Penduduknya hidup dari hasil laut dan pertanian yang melimpah. Negeri itu memiliki wilayah yang cukup luas, salah satunya adalah sebuah teluk dengan pemandangan yang amat indah. Raja Aji Muhammad memiliki seorang putri bernama Aji Tatin. Dialah calon tunggal pewaris tahta kerajaan. Itulah sebabnya, semua kasih sayang ayah dan ibunya tercurah kepada Aji Tatin. Puluhan dayang-dayang istana selalu mendampingi Aji Tatin untuk menjaga, merawat, melindunginya dan memastikan segala keperluan Aji Tatin terpenuhi. Setelah beranjak dewasa, Putri Aji Tatin dinikahkan dengan seorang putra bangsawan dari Kutai. Sebagai putri tunggal, pesta pernikahan Aji Tatin dilangsungkan sangat meriah. Puluhan sapi dan kerbau disembelih untuk dihindangkan kepada para tamu undangan dari berbagai penjuru negeri. Tidak hanya para pembesar dari kerajaan tetangga, tetapi juga seluruh rakyat negeri itu turut berpesta. Hari itu merupakan hari indah dan bahagia bagi kedua mempelai. Saat pesta sedang berlangsung, Raja Aji Muhammad bangkit dari singgasananya untuk memberikan hadiah kepada putri tercitanya. Putriku, Aji Tatin, di hari yang penuh bahagia ini Ayah memberikan wilayah teluk yang indah dan mempesona itu sebagai hadiah pernikahanmu, kata sang Raja di hadapan putri dan disaksikan oleh seluruh undangan, Kini, teluk itu telah menjadi wilayah kekuasaanmu. Engkau pun boleh memungut upeti dari rakyatmu. Terima kasih, Ayahanda. Semoga Ananda bisa menjaga amanat ini, ucap Putri Aji Tatin dengan perasaan bahagia. Sejak itulah, Putri Aji Tatin menjadi raja di teluk tersebut. Untuk memungut upeti dari rakyat, ia dibantu oleh suaminya dan seorang abdi setia bernama Panglima Sendong. Ketika itu, upeti yang dipungut dari rakyatnya berupa hasil bumi, terutama kayu yang sudah berbentuk papan. Papan tersebut akan digunakan untuk membangun istana.

Suatu hari, orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin yang dipimpin oleh Panglima Sendong sedang memungut upeti dari rakyat. Upeti berupa papan tersebut diangkut melalui laut dengan menggunakan perahu. Namun, ketika mereka telah hampir sampai di teluk, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Selang beberapa saat kemudian, gelombang laut yang amat dahsyat menerjang perahu yang mereka tumpangi. Seluruh penumpang perahu menjadi sangat panik. Ayo, cepat dayung perahunya ke teluk! teriak Panglima Sendong. Mendengar seruan itu, para pendayung pun segera mengayuh perahu mereka dengan cepat. Namun, semuanya sudah terlambat. Sebelum perahu itu mencapai teluk, gelombang laut yang semakin besar menabrak bagian lambung perahu. Air laut pun masuk dan memenuhi seluruh bagian perahu. Tak ayal, perahu yang dipenuhi papan kayu itu pun terbalik. Perahu yang sudah hampir tenggelam itu kemudian terbawa gelombang laut dan akhirnya terhempas ke sebuah karang di sekitar teluk sehingga pecah berantakan. Tokong (galah) para pendayung pun patah. Papan kayu yang memenuhi perahu itu sebagian hanyut ke laut dan sebagian yang lain terdampar di tepi teluk. Sementara itu, tak seorangpun dari penumpang perahu selamat, termasuk Panglima Sendong. Putri Aji Tatin dan suaminya amat bersedih atas musibah yang menimpa panglima dan orang-orang kepercayaannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, maka wilayah teluk tempat perahu itu terbalik dinamakan Balikpapan, yaitu dari kata balik dan papan. Sementara itu, karang tempat terhempasnya perahu itu semakin lama semakin besar sehingga menjadi sebuah pulau. Hingga kini, pulau itu disebut Pulau Tukung yang berasal dari kata tokong, yaitu tokong para awak perahu yang patah akibat terhempas di karang.