Upload
cep-risa
View
438
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
CERITA RAKYAT
Batu Golog
Oktober 29, 2008 pada 9:28 pm (Cerita Rakyat)
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat
hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama
Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa
menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari,
ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat
tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin
menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu
batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya,
“Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi
hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun,
Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama
makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan.
Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya
sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya.
Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat
memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi
tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa
Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat
yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan
batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh.
Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor
burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung
Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu
mengerami telurnya.
Cindelaras
September 3, 2008 pada 11:34 am (Cerita Rakyat)
Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati
dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan
dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri.
“Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan
permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib
istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh
racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata
sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera
memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara.
Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui
niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada
Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang
patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas
ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya
nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak
kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik
bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia
sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras
memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan
yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh
menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun
kelapa, ayahnya Raden Putra…”
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada
ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan.
Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan
kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani
oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung
ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah
ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu,
ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun
mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang
Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan
dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras
diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia
bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden
Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam
Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-
elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku.
Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera
membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya
segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun
kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra
terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan.
“Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda
Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda
dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera
memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan
hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan
Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras
menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
Asal Usul Kota Banyuwangi
September 3, 2008 pada 11:32 am (Cerita Rakyat)
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan
besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai
seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah
berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden
Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai
beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia
melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh
ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya.
“Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar
dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai
yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air
sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun
baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan
penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan
diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang.
“Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan
dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan
Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh.
Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar
ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja
Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak
lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati!
Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati
wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya
bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk
membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati
menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan
begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar
jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada
Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di
tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki
berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam
bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat
buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya.
Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah
mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius.
Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke
istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya.
Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang
telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau
merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh
Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda,
apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap
pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya.
Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan
istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai,
Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping
ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang
lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah
kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati
menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap
percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan
perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan
kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda
bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda
tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap
istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti
Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru
Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden
Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati
melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai.
Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa!
Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian
istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu
artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota
Banyuwangi.
Sumber: e-smartschool.com yang diambil dari elexmedia
Lutung Kasarung
Agustus 22, 2008 pada 8:05 am (Cerita Rakyat)
Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja
yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.
Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya
Purbasari.
Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri
bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu
Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat
menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai
penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya.
Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya.
Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai
Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam.
Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti
dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di
hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari.
Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang
Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.
Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik
kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi
kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu
menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-
buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang
sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa
Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung
merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat
yang sangat harum.
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di
telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak
lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih
seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia
bercermin ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama
tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan
adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti
semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut.
“Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya
Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut
Purbasari lebih panjang.
“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata
Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan.
Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-
lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi
monyet itu tunanganmu ?”.
Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban.
Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari
Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang
akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada
adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka.
Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang
ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
Legenda Aryo Menak
Agustus 22, 2008 pada 7:52 am (Cerita Rakyat)
Dikisahkan pada jaman Aryo Menak hidup, pulau Madura masih sangat subur. Hutannya
sangat lebat. Ladang-ladang padi menguning.
Aryo Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan. Pada
suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya
cahaya sangat terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber
cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari sedang mandi dan
bersenda gurau disana.
Ia sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya untuk memiliki seorang
diantara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan secepatnya diambil sebuah
selendang dari bidadari-bidadari itu.
Tak lama kemudian, para bidadari itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya
masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. Bidadari itu
tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis.
Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan: “Ini mungkin sudah
kehendak para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah
bersedih. Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu.”
Bidadari itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika
Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya
Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.
Dikisahkan, bahwa bidadari itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci
nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.
Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah
berkurang meskipun bidadari memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia
mengendap ke dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini
membuat kekuatan gaib isterinya sirna.
Bidadari sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak beras
dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang. Pada suatu
hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya bidadari itu ketika dilihatnya
tersembul selendangnya yang hilang.Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya
untuk pulang ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya.
Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.
Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, bidadari meninggalkannya.
Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan nasi
Si Rusa dan Si Kulomang
April 23, 2008 pada 6:36 pm (Cerita Rakyat)
Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa. Mereka
sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput, adalah
menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat mengalahkannya, rusa
itu akan mengambil tempat tinggal mereka.
Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana hiduplah siput
laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang cerdik dan sangat
setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu
untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat tinggal
sang siput laut.
Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang. Bukan saja
jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya
lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu
adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut di waktu
air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik matahari.
Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk menyaksikan
pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh teman-temannya.
Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas.
Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan. Diperintahkannya agar teman-
temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.
Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya mendahului si
Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung kedua. Nafasnya terengah-engah.
Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja.
Dengan sombongnya ia berteriak-teriak, “Kulomang, sekarang kau ada di mana?” Temannya
si Kulomang pun menjawab, “aku ada tepat di belakangmu.” Betapa terkejutnya si Rusa, ia
tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang langgang.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki tanjung ke
sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati. Dengan demikian si
Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai si Rusa yang congkak itu.
NINI-NINI MALARAT JEUNG DELEG (GABUS) KASAATAN[1]
Jaman baheula aya nini-nini malarat teu kinten-kinten, papakéanana geus butut sarta laip,
disampingna ogé, ngan ukur bisa nutupan orat. Kitu deui dahar leueutna salawasna ngan
sapoé sakali baé, malah-malah sakapeung mah datang ka potpisan sapoé dua poé henteu
manggih-manggih sangu, ngan ukur nginum cai wungkul. Ari buburuh dederep henteu
kaduga jeung geus henteu laku, wantu-wantu enggeus kolot kurang tanagana. Jadi
kahirupanana taya deui ngan tina ngaroroték baé dina tegal-tegal atawa kebon awi, ari
beubeunanganana dipaké nukeuran béas atawa cangkaruk ka tatanggana.
Pandéning imahna ngan sempil baé, ditangkodkeun kana pongpok imah baturna, kitu ogé
hateupna bilikna geus balocor, wantu-wantu henteu aya pisan, anu daék nulung
mangngoméankeun, ku tina henteu boga sanak baraya, sumawona anak incu, éstuning
nunggul pinang.
Ari éta nini-nini téh sakitu nya kokolotanana henteu pisan nyaho ka gusti Alah, ulahbon
ngalampahkeun téa kana paréntahna, jenenganana ogé henteu apal, pangrasana ieu bumi
jeung langit téh jadi sorangan baé, euweuh anu midamel.
Dina hiji mangsa éta nini-nini geus dua poé henteu manggih-manggih dadaharan, sosoroh
nukeuran sangu ka tatanggana taya nu méré.
Ti dinya manéhna tuluy ngajentul di imahna bari humandeuar pokna, “Aduh, cilaka teuing
diri aing ieu, nya ayeuna paéh langlayeuseun téh”.
Sanggeus ngomong kitu téh, tulcel, boga niat rék ngaroroték deui ka tegal, bari sugan
manggih dangdaunan atawa bongborosan nu ngeunah dihakan, keur tamba ulah
langlayeuseun teuing. Geus kitu bral leumpang ngajugjug ka tegal kaso urut nyundutan, anu
deukeut kana talaga, sarta di sabeulahna deui nyandingkeun walungan gedé. Barang datang
ka dinya, éta nini-nini téh manggih lauk deleg pirang-pirang, rék pindah tina walungan kana
talaga. Sanggeus nepi kana tengah-tengah éta tegal kabeurangan, panon poé geus kacida
teuing panasna, jadi deleg kabéh awakna taluhur kukumurna, ku tina seuseut datang ka
henteu bisa maju leumpangna. Kusabab éta deleg kabéh pada nyandang susah tanwandé
manggih bilahi paéh kasaatan.
Di dinya éta nini-nini téh bungah kacida, pikirna geus tangtu manggih untung meunang lauk
pirang-pirang boga keur nukeuran sangu. Tapi manéhna héran neuleu aya hiji deleg, anu
panggedéna ti sakabéh baturna, jeung deui leumpangna ogé pangheulana, kawas-kawas nu
jadi ratuna sarta bisaeun ngomong, pokna, “Samiun Alah kuring neda hujan! Samiun Alah
kuring neda hujan!” Kitu baé omongna bari tatanggahan ka luhur. Ari ku nini-nini téh
didéngékeun baé saomong-omongna éta deleg téh, hayang nyaho kumaha kajadianana.
Barang geus kira-kira satengah jam lilana datang hujan gedé naker wani cileungcangan, ti
dinya éta deleg barisaeun deui leumpang tuluy kebat lumakuna, ari nini-nini téh datang ka
ngadégdég awakna tina bawaning tiris kahujanan sarta léngoh balikna teu barang bawa.
Kacaritakeun éta nininini téh sanggeus datang ka imahna tuluy mikir bari ngomong di jero
haténa, “Ih boa lamun aing ogé neda widi ka nu ngaran Alah téh, meureun di paparin, ari
piomongeunana mah nya cara deleg téa baé, ngan bédana aing mah rék neda uwang.
Ti dinya éta nininini ség baé tapakur di imahna, bari ngomong tatanggahan ka luhur nurutan
sakumaha kalakuan deleg téa. “Samiun Alah kuring neda uwang! Samiun Alah kuring neda
uwang!” Kitu baé omongna teu eureun jeung pikirna anték kacida panedana ka gusti Alah,
datang ka geus teu aya pikiran deui ka nu séjén.
Ari jalma anu imahna di tangkodan ku imah nininini téh, banget ngéwaeunana, ku sabab
gandéng jeung bosen, saunggal poé unggal peuting ngadéngékeun omongna éta nininini,
ngan kitu baé, taya pisan répéhna. Tuluy baé nyentak ka nininini téh pokna, “Nini! Répéh
aing gandéng, ngan kitu baé euweuh deui kasab, moal enya Alah téh sumping ka dieu, seba
duit ka manéh; jeung kitu baé mah anggur ngala suluh, ngala daun ka leuweung meureun aya
hasilna; jeung deui; lamun manéh henteu beunang di carék, geura undur baé imah manéh ulah
ditangkodkeun ka imah aing.
Panyentakna éta nu boga imah ku nininini henteu digugu, tonggoy baé ngomong nyuhunkeun
duit ka Alah anggur beuki tambah maksudna.
Bareng geus nepi ka lima poéna, anu boga imah téh, beuki kacida garétékeunana, henteu
beunang dicarék, sarta dititah undur henteu los. Ti dinya éta jalma tuluy nyokot karung goni
beunang ngeusian ku beling, datang ka pinuh sarta dipékprékan, supaya jejel ambih beurat,
niatna rék dipaké ngabobodo ka nini-nini téa, sina di nyanaan duit paparin Alah ragrag ti
luhur, jeung sugan nyeurieun ditinggang tonggongna, ku éta karung ambih kapok moal
ngomong kitu-kitu deui.
Kira-kira geus wanci sareupna ku éta jalma karung téh dibawa naék ka para, tuluy
diponcorkeun tina sipandak ditindihkeun ka handap mener kana tonggongna nininini téh
kalengger tina bawaning nyeri. Ana geus inget, nénjo aya karung ngadungkuk kacida
atoheunnana, panyanana nya éta karung duit, paparin ti Alah.
Anu boga imah téh suka seuri nénjo kalakuan nini dug-dug deg-deg, semu banget atohna.
Geus kataksir piengkéeunana bakal meunang éra kabobodo, karana nu dikarungan téh tétéla
pisan yén beling.
Geus kitu karung téh disembah ku nini-nini téh bari ngomong kieu, “Nuhun Alah! Nuhun!
Naha loba-loba teuing maparin duit téh, mana ari keur ajengan, aya kénéh nun?” Ti dinya
tuluy geuwat dibuka. Geus kitu kersana nu agung, dumadakan éta beling kabéh jadi duit, aya
uwang emas aya uwang pérak, jeung deui kumaha gedéna baé aya nu jadi ringgit, aya nu jadi
ukon.
Ari isukna tatangga kabéh daratang ngadegdeg, yén éta nini-nini meunang bagja boga duit
pirang-pirang, asal tina dibobodo, malah kapala distrik sumping ka dinya ngalayad, sarta
tuluy dilaporkeun ka nagara jeung ditétélakeun asal purwana. Ari timbalan ti nagara, éta nini-
nini henteu kaidinan cicing di kampung, bisi aya nu nganiaya dipaling duitna, jeung diurus
dipangmeulikeun lembur imah, katut eusina. Ti wates harita éta nini-nini téh jadi sugih teu
kinten-kinten.
Kitu deui dipikanyaah ku menak-menak tina saregep kumawulana jeung tambah alus budina,
kalulutan ku jalma réa sobatna, tina suka tulung ka jalma-jalma nu miskin, sumawonna ka nu
keur kasusahan, margi ngaraskeun kadirina basa keur malarat kénéh.
Kacaritakeun éta jalma, anu méré karung beling téa, kabitaeun naker neuleu éta nini-nini téa
jadi beunghar, lantaran dibobodo karung beling ku manéhna. Geus kitu boga niat hayang
nurutan.
Ti dinya tuluy nganjang, sejana rék badami, supaya dibales ku éta nini-nini téa sina nindih ku
karung beling ka manéhna, pokna, “Nini saterangna éta duit téh asalna beling beunang kula
ngarungan, dipaké ngabobodo ka sampéan, kusabab satadina kaula giruk ngadéngékeun
ajengan ngomong baé nyuhunkeun duit ka Alah, tatapi ahir-ahir éta beling dumadakan wet
jadi duit kabéh. Ku prakara éta ayeuna kaula rék neda dibales ku sampéan, hayang
ditinggang ku karung beling, karana tanwandé jadi duit ogé cara nu geus kalampahan, tatapi
kaula mah hayang ditinggang ku dua karung, nu galedé, ambeuh kaula leuwih beunghar
manan nini. Wangsul nini téh, “Hadé heug baé geura tapakur, cara kaula baréto”. Ti dinya
éta jalma téh tuluy balik, sadatang ka imahna heug baé tapakur nurutan sakumaha polahna
nini-nini téa sarta ngomong, pokna, “Samiun Alah kuring neda uwang! Samiun Alah kuring
neda uwang!” Kitu baé omongna jeung pikirna ujub kacida nangtukeun yén bakal meunang
duit ti Alah dua karung goni parinuh. Bareng geus nepi ka lima poéna, nini-nini téh tuluy ka
imahna éta jalma nu keur tapakur téa, bari mawa dua karung beling beunang méprékan, sarta
tuluy dibawa naék nka para, ti dinya heug éta dua karunganana ditindihkeun kana
tonggongna.
Barang blug ninggang, sek baé kapaéhan malah-malah tulang tonggongna datang kapotong.
Arina inget ngageuwat ménta parukuyan ka pamajikanana, heug karung téh dikukusan, ari
mentas dikukusan tuluy disembah, bari ngomong nurutan cara omong nini-nini téa, pokna,
“Nuhun Alah! Nuhun! Naha maparin duit réa-réa teuing, mana ari keur ajengan? Aya deui?”
Barang geus tamat ngomong karungna dibuka, béh beling kénéh baé henteu daékeun jadi
duit, ti dinya kacida hanjakaleunana datang ka ngalembah rék ceurik tina bawaning aral, ség
baé bijil omongna suaban ngahina ka gusti Alah pokna, “Ih naha Alah téh wét pilih kasih,
dipangnyieunkeun duit sawaréh? Ari kaula henteu? Jeung deui: kumaha naha atawa Alah téh
geus diganti deui tayohna, da nu baréto mah bisa nyieun duit ku beling, ari Alah nu jeneng
ayeuna tayoh-tayoh henteu bisaeun?
Ti wates harita éta jalma gering heubeul pisan nyeri cangkéng, tatamba kapirang-pirang
dukun. Tina aya kénéh berkah Alah bisa cageur ogé, tatapi tanpadaksa, jadi bongkok
tonggongna, datang ka henteu kuat nyiar kahirupan rosa-rosa, lawas-lawas manéhna jadi
malarat cara nininini téa, kawas-kawas jadi tépa malaratna éta nini ka éta jalma téa.
[1] Nyutat ti Majalah Walanda, TIJDSCHRIFT voor INDISCHE TAAL, LAND EN
VOLKENKUNDE, wedalan taun 1872. Dongeng Sunda Buhun ieu dikukumpul ku J.A.
UILKENS, mangrupa carita ra’yat urang Ciamis.
POSTED BY ADMINISTRATOR ON 01.11.07 @ 1:23 PM | 0 COMMENTS
Aing Djago[1]
Aing Djago
Ku: S.A. Hikmat
,,Tah dada aing” Sorana mani handaruan. Kurang-kurangna teger mah nu ngadenge matak
baseuh tjalana. Song dada rubakna nu buluan diasongkeun. Sorot panonna nu buringhas siga
tembus kana hulu angen musuhna. Njaliara ka sakudjur awak nu keur disanghareupan.
Unggal rindat, usik djeung kereteg musuhna geus kaukur. Moal kapiheulaan babar manehna
mah. ,,Hajoh dia ulah ngadjedog bae.”
Si Gomar anu geus kasohor djago di daerah Tjibaliung, hatena rada hemar-hemir. Asa kakara
manggih lawan anu teuneung ludeung asup ka daerahna. Sanadjan manehna geus njaho kana
ngaranna oge, ari adu hareupan mah kakara, da di dunja kadjawaraan di sakuliah Banten mah
teu aja nu bireuk atuh ka si Djago the. Djago-djago di Labuan, Menes, Rangkas, Cilegon,
Pandeglang geus teter. Kabeh dipatjundang. Karek ku haok djeung polototna bae ge geus rea
nu taluk. Komo ieu bari diparag ku si Djago djeung baladna saperti ajeuna mah.
Kareret ku djuru panon Si Gomar, balad-balad[3] manehna sorangan bangun nu leungit
pangatjian. Renghap manehna narik napas pandjang, tajohna ngumpulkeun heula tanaga
djeung pangatjian.
,,Djadi asal idjen!” djawab Si Gomar neger-negerkeun maneh. Hatena mah teu wudu dag
diug dug. Srog madju ka hareup. Bedog Tjiomasna meh ngangsar kana taneuh. Geulang
bahar meulit dina pigeulang duanana. Dua djago geus adu hareupan. Nu saurang awak badag
sembada, nu saurang deui djangkung leutik.
Njeh Si Djago njerengeh semu nu ngahoa. Pikirna sageprak oge Si Gomar moal teu rubuh.
,,Heeet” Si Djago ngagigila musuhna. Dina kalangan pentja di Banten mah sora ieu teh
pikeun mere peringetan. Musuh kudu iatna sabab gorowok kieu the biasana disusul ku
panaradjang kilat nu bahja. Tapi da lain djawara sakatiga atuh si Gomar oge. Nangtungna
masing angger tagen. Teu seber ku geretak nu matak katorekan. Manehna tetep ngadago
gerakna musuhna. Tapi nu didago lebeng.
Ana barakatak the Si Djago ngagakgak ,,Heuh, heuh, heuh,” matak muringkak bulu
punduk. ,,Heuh heuheuh, bener djago dia, njah! Deungeun-deungeun mah karek dihetkeun
geh geus bidjil kokoneng.”
Rej beungeut Si Gomar beureum. Hatena ngentab panas. Leungit sagala kagimir. Ajeuna
paeh isuk paeh. La haula wa la kuwata, tjeuk hatena njambat. Teuing ka saha. Ngan nu
dipeleng ku mengingetna mah, guruna, nu nurunkeun sagala elmu pentja djeung kawedukan.
,,Hajoh dia madju”. Ragamang Si Djago rek ngarawel beuheung Si Gomar. Ieu pisan nu
diarep-arep[4] ku Si Gomar ge. Antara sasenti deui ngagilek, leungeun musuh digiwarkeun
kaluar. Tapi…. Meh wae manehna kaleungitan kasaimbangan badanna. Da leungeun Si
Djago sakilat: ,,leungit”. Sihoreng eta gerak tipu. Geuwat manehna menerkeun deui
tangtunganana.
,,Heuh, heuh heuh” Si Djago Tjeutjeuleukeuteukan. Seuri nu karasana asa balati nurih angen
Si Gomar. Saumur dumelah, karek ajeuna dipojok djeung digeuhgeujkeun dina kalang,
mangkaning di lembur sorangan deuih. Renghap deui narik napas. Huntuna kekerot. Napsuna
mimiti ngagudag-gudag. Gorowok manehna nantang. ,,Hajoh dia djago, madju Setan
……….”.
Djep nu njeungseurikeun djempe. Rej beungeut Si Djago beureum. Biwirna mani ngawet,
dadana beuki didjeberkeun. Panonna molotot bangun anu rek ngalegleg.
,,Disakalikeun dia ku aing ajeuna mah, moal diomberan,” gerentesna. Sebrut peureup
katuhuna nu sagede tjengkir ngahiuk. Djleng Si Gomar luntjat ka katuhueun musuhna, bari
nepak siku Si Djago ku leungeun kentja, bareng djeung suku katuhuna nedjeh palangkakan.
Mun nu sedjen mah dina tangtung kitu teh geus pasti beunang mamatihna.
Tapi Si Djago nu kakontjara maher pentjana, ngan ukur djero sasekon geus bisa ngomean
tangtungna. Sret narik leungeunna nu milepas, disikukeun bari ngarengkogkeun awakna.
Tulang siku diadu djeung tuur Si Gomar. Ngan sakilat duanana geus pada menerkeun deui
tangtungna. Sadjongdjonan papelong-pelong[5]. Napasna ngaharegak. Sebrut deui Si Djago
ngaheumbatkeun peureup katuhuna. Tapi harita keneh ditjentok deui bari ngagilirkeun
awakna ka katuhu. Atuh Si Gomar nu rek ngadua kalian mitjeun panaradjang musuhna kawas
tadi teh, ajeuna kapalingan tangtung. Karek ge djleng ka katuhu geus dipapag manten ku
peureup Si Djago nu ditudjukeun kana beungeutna. Gerak refleks Si Gomar teu kendor, lep
manehna ngelok, brek pasang depok. Peureup kentja Si Djago ngahiuk mani bangbaraan
milepas luhureun sirah musuhna. Kapaksa Si Djago ngalengkah ka hareup pikeun mere
kasaimbangan tangtungna nu lontjer. Tapi karek ge tjlek sukuna kana taneuh, geprak suku Si
Gomar ngagunting. Riek awak Si Djago njanggejeng. Arek dibeubeutkeun pisan, gewewek
ngaranggeum buuk Si Gomar. Nu laladjo mongkek napas. Gurindjal, djleng Si Gomar luntjat
heula. Geutih ngarej kana tarangna. Serepet bedogna dilugas. Gurilap-gurilap[6]katodjo
panon poe.
Si Djago, da beurat ku awak, teu kaburu nangtung. Kapaksa manehna ulin di handap, pikeun
nahan panaradjang Si Gomar. Seak sora bedog ngahiuk njabet beuheungna. Gilek Si Djago
ngagilek bari ngadepong, djekres sukuna ngagunting musuhna. Tapi Si Gomar rikat pisan
ngadjleng.
Djleng ka kentja, ketjek suku Si Djago dikadek, tapi poos digiwarkeun, bles bedogna nantjeb
kana taneuh. Si Gomar dina sikep nu nguntungkeun, terus njehtjer musuhna ……………….
Djlung-djleng ka kentja ka katuhu bari njabet-njabetkeun[7] bedogna. Si Djago napasna geus
mimiti ngahegak. Manehna kapaksa ngalawan musuhna ku karikatan sukuna wungkul.
Kaajaanana matak pikahariwangeun.
,,Tah, Ka ………. !” Salah saurang balad Si Djago ngagorowok. Belewer aja nu ngalajang
luhureun sirah Si Djago, manehna ngagilek bari njanggap bedog musuhna ku siku-siku.
Belentrang wadja pada wadja diadu, bareng djeung ngagoakna Si Gomar. Pluk bedogna
murag tina leungeunna. Sadjongdjongan ngadjengdjen, bru nu rubuh bari sesegor, Si Gomar
palastra-satria tengahing kalang. Aja nu djail ti luareun kalang!
Si Djago nu masih ngadepong bari ngahegak, olohok nendjo musuhna teu puguh-
puguh[8] rubuh. Djung manehna nangtung lalaunan. Breh katendjo aja peso nantjeb dina
tonggong Si Gomar. Barakatak manehna seuri. Geus biasa da, samangsa-mangsa manehna
kapeped dina tarung, geus tangtu aja pakarang ,,rasiah” nu digunakeun ku baladna. Bubuhan
rea pembela-pembela[9] njiliwuri djeung mopoek, maledog balati ka musuhna, ti luareun
kalang. Tapi nu sohor mah tetep Si Djago bae.
,,Heuh ……… heuh ……… heuh !” bari njampeurkeun musuhna. Djeprot disepak, ketjoh
ditjiduhan, bari ngahaok : ,,Hajoh dak, randjah imah-imahna[10].” Si Djago mere komando
bari ludjag-ledjeg, siga nu heueuh unggul ku djalan beresih. ,,Tjalukan djarona ka dieu.
Kumpulkeun djalma-djalma[11] kabeh.”
Teu kungsi saparapat djam, awewe-lalaki geus kumpul naragog hareupeun Si Djago, bangun
miris.
,,Mana djarona dak?” ,,Ieu jeuh Ka,” salasaurang baladna ngagorowok bari njuntrungkeun
djaro (lurah).
,,Saha ngaran dia, hah?”
,,Badi” djawabna bari ngadegdeg.
Sanadjan manehna urut djawara oge, ari njanghareupan Si Djago mah keder. Hatena ratug
tutunggulan.
,,Mimiti poe ieu dia dipotjot ku aing. Bagus keneh dia teu di podaran ge.” Ret panonna
nitenan wanita-wanita[12] nu naragog.
,,Tah nu ieu, nu ieu, tuh nu itu, itu” bari nundjukan awewe nu taregep. ,,Djang aing eta mah.
Ulah aja nu wani!”
Si Djago nu geus nalukkeun djawara-djawara di unggal kabupaten, katjamatan djeung desa,
ngaranna beuki sohor bae. Beuki gede pangaruhna djeung loba pakajana, beuki matjeuh
sarakahna, ngagalaksak ka rajat.
Angen-angen-na[13]mah hajang bisa nalukkeun kabeh djago di sakuliah Banten, ti Udjung
Kulon nepi ka Djampang Kulon. Ngaranna beuki dipikagimir bae, atuh beuki sombong,
adatna mahiwal ti batur. Sagala kahajangna teu meunang dipungpang, utjapna hajang digugu
bae. Lamun tjarekna : ,,Tjokot awewe itu!” djeun teuing pamadjikan batur, hih kudu wae
digugu. Dibantah saeutik ge make kolu ngadek. Tapi ana geus njaah ka djelema, babakuna nu
bisa ngadjilat, wah taja dunja kinasihan. Bro-broan, ka awewe mah. Sakalina mahugi oge tara
diitung deui, sok imahna, sawahna, kebonna, lengkep djeung ingon-ingonna[14]. Tapi lamun
seug kahajangna dihalang-halang. Beu, mani kawas nu ngadadak owah. Murang-maring,
djubras-djebris hahaok djeung sesentak babanting bari meupeus keujang, tapi baladna geus
teu helok deui. Lamun gegedugna keur ,,motah” tjara nu kasurupan teh, osok song we
diasongan awewe geulis ngadadak lindeuk, bari latam-letem tjara embe badot ngadeuleu Si
Bikang. Pajus disebut kolot-kolot[15] kokorobet teh, da umur Si Djago teh geus kawilang
kolot. Kitu lah kira-kira[16] 65 taun. TapiI kalakuanna ka wanita mah tara ieuh eleh ku nu
ngarora, mun teu rek disebut leuwih gembul teh. Madjar teh, ,,meungpeung aing kawasa,
sagala lubak-libuk.” Numatak Si Djago hirupna beuki kolot teh beuki mangprung. Tunggul
dirarud tjatang dirumpak. Djadjauheun kana babalik pikir teh. Ari pamadjikan salawasna
opat. Nu resmina kitu soteh. Ari ka saha-saha[17] ngakuna mah Islam. Tapi Islamna ngan
lebah njandung wungkul. Deugeulna (kepala batu) alahbatan budak halabhab.
Rarasaanana ,,aing pang benerna sorangan”; batur mah kabeh ge salah! Aing kudu digugu!
Dina hidji poe sore-sore[18] Si Djago diriung-riung ku baladna nu raket pisan. Manehna
ngabaheuhaj dina korsi males. Di kamar istimewa paranti leleson djeung sukan-sukan[19].
Gigireunana dua modjang nu barahenol tarapak deku bari mareuseulan bitisna. Saurang deui
modjang keur njiaran njabutan huisna, da hajang tetep siga ngora, magar teh.
,,Daak, Daak, ……….! Sora Si Djago ngagerem. Panonna peureum beunta. ,,Kumaha Si
Deugeul, djaro Mandalawangi tea geus dipotjot?”Djempling taja nu ngadjawab.
,,Pan euweuh nu njoara? Hajeh ngomong dararia!”
,,Ehm ….. Ehm …..” Si Patrik anak emasna Si Djago ngadehem.
,,Teu atjan Ka.”
,,Hah…….. ku naon?”
,,Eta…… eh…….. dihalang-halang ku anakna.”
,,Anakna? Djawara kitu?”
,,Sanes. Dja budak keneh, malah bedjana mah sakola keneh.”
,,Bating! Kapan ku budak bae bisa dihalangan. Naon daria geus djaradi bikang kitu?”
Kuniang Si Djago hudang. Bari molotot, manehna ngagorowok: ,,Mana Si Gada nu
diparentah ku aing ngaganti Si Deugeul?”
,,Tatjan dongkap Ka, di Mandalawangi keneh.”
,,Hajoh teang kaditu. Heran aing mah, boga balad ketjing kitu.”
,,Pan aing nu ngagadjih daria unggal poe. Aing nu maraban daria isuk-sore. Aing nu mere
pipamadjikaneun ka daria. Tjoba hajang njaho, saha nu adil djeung bageur tjara aing? Moal
aja sadunja geh. Aing nu pangdjagona, aing nu pangbageurna……”
Sabot kitu di luar aja sora ribut-ribut[20]. Djelema tinggorowok, tingdjarerit mani ajeuh-
ajeuhan.
,,Naon tah?” Si Djago tjuringhak. ,,Saha nu wani ribut-ribut[21] di imah aing? Kurang
adjar……..”.
Tjan oge anggeus ngomongna, ana berejek tej djelema-djelema[22] ti luar arasup. Panto
didjedjek parabot diubrak-abrik. Bru-bro barang petjah-belah kawas dibanting-bantingkeun.
Blak panto kamar Si Djago muka, aja nu nedjeh. Sampojong-sampojong aja djelema asup.
Badjuna ruwak-rawek, beungeutna pinuh ku getih. Bru rubuh hareupeun Si Djago. Blus tilu
djadjaka arasup. Narangtung adjeg, tapi sikepna sajaga. Pasemonna leber wawanen.
,,Tah…… Djago……! Balad andika Si Gada nu rek ngaganti Djaro Deugeul!!” tjeuk salah
saurang djadjaka. Ngomongna ajem teu aja sari-sari kasima, komo gimir mah. Bangun jakin
ka diri pribadi.
,,Haramjadah….” Si Djago ngagorowok. Ambekanana ngahegak panonna buntjelik. ,,Saha
dia hah? Deuk ngadjagoan hareupeun aing! Budak olol leho, hajoh ngomong, bisi hajang
dipekprek hulu dia ku aing. Saha ngaran dia?”
,,Kula” djawab pamingpin djadjaka-djadjaka tea, ,,Ti Mandalawangi. Katelah mah Pakih.”
,,Pakih? Tjan ngadenge ngaran kitu mah. Anak saha dia hah?”
,,Kula anak Djaro Deugeul nu ku andika deuk dipotjot. Kula sabatur-batur ngahadja datang
ka dieu deuk mere peringetan ka andika………..”
,,Peringetan……..? Aing deuk diingetan ku pantaran kitu? Budak bau djaringao? Heuh, heuh,
heuh, heuh……”
Belewer aja nu ngalajang luhureun sirah Si Djago. Tjleb peso balati nantjeb kana panto
tukangeunana. Manehna ngarendjag tuluj malik. Sabot malik serepet aja nu ngagaris kana
leungeun badjuna. Rikat manehna njingtjet. Tjleb deui peso balati nu kadua nantjeb dina
kosen panto.
,,Bangsat dia, nangtang gelut ka aing?” bari nepakan dadana. Si Djago sosoak: ,,Jeuh aing
Djago. Aing nu kawasa, aing nu ngereh sakuliah Banten. Dararia mah tjatjing tjau! Budak
olo-leho, tjan njaho di nu djagoan. Aing nu geus loba pangalaman, aing nu geus seubeuh
mandi geutih, aing…………….”
,,Ngadjedog ulah loba pidato andika!” tjeuk Pakih tetep ajem. ,,Geus bosen kami mah.
Tembongkeun ajeuna kadjagoan andika. Geus datang mangsana andika ngeureunan sagala
kadjahatan, kadoliman djeung kasarakahan. Rajat laleutik geus teu sabar deui digarong
pakajana, dirampas anak-pamadjikanana ku andika djeung balad andika. Meudjeuhna ajeuna
andika tobat ka Pangeran djeung sumpah hareupeun batur-batur[23] kami, jen moal deui-
deui[24] ngaruksak kaum wanita…….”
,,Heuh, heuh, heuh. Deuk njingsieunan dia ka aing? Heuh, heuh, heuh. Dak, dak! Deleh ku
daria ieu tjatjing-tjatjing[25] tjau, deuk maraksa ka aing kudu taluk? Heuh, heuh, heuh….”
Borobot djandela aja nu naradjang. Putjunghul sirah barudak narolol. Belewer-belewer batu
sagede-gede kaletji merekpek sirah djeung beungeut Si Djago. Manehna pakupis nakis, hut-
het, djlung-djleng, tapi atuda murubut datangna, sanadjan maher pentja, teu burung
baluntjunur tarang djeung sirahna.
Ambek njedek tanaga midek. Tungtungna mah ngadjendjen weh.
,,Eureun!” Pakih mere komando ka anak buahna. ,,Hajoh Djago kumaha karep andika
ajeuna? Sanggup sumpah? Sanggup ngeureunan sagala kadjahatan djeung kadoliman? Atawa
hajang digorok andika ku anak buah kami?”
,,Eh… eh… eh… Nanaonan ieu kasep. Kapan Mamang ti baheula geh tukang ngurus djelema
leutik. Njaah, deudeuh ka pakir-miskin. Teu rumasa Mamang mah. Demi Allah daek paeh
kasarad, tilok ngabinasa ka sasama manusa. Hiih haram geh hukumna ……”
,,Ari eta andika sok ngarusak kaom wanita. Tjruk-tjrek kawin ka ditu ka dieu, djaba
ngundeur. Pakaja batur dirampas, njawana dipegatkeun.”
,,Masja Allah, pitenah eta mah. Pitenah kasep, ulah sok dipertjaja. Mamang nu
ngarondjatkeun harkat kaom wanita mah. Mamang nu geus korban melaan rakjat djembel.
Sing pertjaja ka Mamang. Ulah kaosol ku batur Sep. Maranehna mah sirikeun ka urang…”
djawabna neger-negerkeun maneh. Tapi dina hatena mah njeungseurikeun. Lah pilakadar
bebenjit kamari ieu. Njaho ge moal urusan kolot.
Ari eta, pamadjikan andika nu ngarora, kapan pantesna mah djadi intju. Kabeh meunang
papaksa. Lain ngaruksak wanita ari kitu?”
,,Aih, aih kasep. Eta mah amal soleh, Mamang mah sosial ka saha-saha oge.”
Tajohna mah batur-batur[26] Pakih geus teu sabar; djlung-djleng laluntjatan tina djandela.
Rob ngalingkung Si Djago bari tinggorowok djeung mesat bedog. ,,Gebruskeun bae ka
Tjiliman! Tarandjangan, urang arak ka kota. Bui, bui, asupkeun ka pangbuian….gebugan
heula!”
,, Stop dak!” Pakih mere komando.
Djep djempling. Sanadjan ngarora keneh oge, ari kana disiplin mah njaraho. Nurut ka
pamingpin.
Srog Pakih madju bari ngomong : ,,Ieuh, Djago, bisi teu njaho batur-batur[27] andika kabeh
geus ditewakan ku anak buah kami djeung ku rajat. Digarebugan patingdjaropak. Kari andika
ulon-ulonna. Bisi panasaran hajang ngalawan, pek andika kari meta. Arek silih kadek ku
bedog, arek silih tewek ku peso, kami teu sieun.
Harta banda maneh nu asal meunang ngarampas sarta diaraku ku nu bogana, ku kami
dipulang-pulangkeun ka nu boga milik. Boh nu aja di andika, di pamadjikan andika, di anak,
di baraja, anu tetela meunang teu halal mah, kabeh dipulangkeun ka nu bogana.
Bisi teu njaho, rajat Tjibaliung ajeuna geus beunta, geus hudang, geus samiuk, kabeh
idjideun, ambekeun ka andika. Lamun ajeuna ku kami dihutjuhkeun, moal kungsi lima menit
andika djadi bangke! Ngarti?”
Lamun andika hajang salamet pandjang umur, ajeuna keneh talak pamadjikan andika
opatanana, sina mulang ka salaki-salakina nu bareto. Andika pribadi memeh surup mata poe
kudu geus indit ninggalkeun Banten. Hade tetep matuh di Banten, tapi kudu tarima hulu
andika misah tina awak.”
,,Gorowok ti luar rame : ,,Peuntjit bae ajeuna! Peuntjiiiit!”
Si Djago anu sok susumbar-gumagah teh, harita mani ,,peot” bawaning ku sieun. Ngolesed
tina korsi males bari njembah atjong-atjongan, menta hirup.
,,Haju urang tinggalkeun” Tjeuk Pakih ,,Kateuteuari ngalajanan nu burung…..”.
Asal dongeng
Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesanmoral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia khayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Seperti halnya di daerah dan negara lain, di daerah Sunda banyak sekali dongeng yang sangat menarik yang ditulis maupun diceritakan dalam bahasa Sunda atau basa Sunda. Sebenarnya, dongeng lebih condong pada kisah yang penyebarannya melalui lisan dan tidak diketahui pengarangnya (anonim).
Adapun dongeng-dongeng yang dibukukan merupakan dongeng yang dialihmediakan oleh seseorang. Contoh penulis yang sering membukukan dongeng basa Sunda adalah Ajip Rosidi. Namanya pun sudah bergeser menjadi dongeng modern.
Dongeng bertujuan untuk memberikan ajaran moral yang baik kepada masyarakat. Ajaran-ajaran tersebut ada yang disampaikan secara tersurat (langsung) maupun secara tersirat (tidak langsung).
Dongeng pun banyak macamnya, di antaranya:
Dongeng fabel (dongeng binatang), yaitu dongeng yang diperankan oleh tokoh-tokoh binatang. Contoh: Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet.
Dongeng biasa, yaitu dongeng yang tokoh-tokohnya manusia tetapi tidak mengandung unsur humor. Contoh: Situ Bagendit.
Dongeng lelucon, adalah dongeng yang bertujuan untukmenghibur. Isinya disertai dengan humor atau banyolan-banyolan. Contoh: Si Kabayan.
Tokoh-tokoh dalam dongeng Sunda biasanya raja, raksasa, lutung, kelinci, kura-kura, nenek-nenek dan kakek-kakek, putri kahyangan, dan sebagainya.
Dongeng basa Sunda yang paling fenomenal adalah cerita Si Kabayan. Dongeng Si Kabayan termasuk dalam jenis dongeng lelucon. Setiap orang Sunda pasti pernah mendengar dongeng Si Kabayan atau setidaknya pernah mendengar nama Si Kabayan.
Tokoh utama dongeng Si Kabayan adalah Si Kabayan, Nyi Iteung, Abah, dan Ambu. Dalam dongeng ini, terdapat beberapa banyolan yang sering terjadi antara tokoh Si Kabayan dengan Abah.
Perawakan dan penampilan Si Kabayan merupakan potret orang Sunda asli. Penampilannya sangat biasa, bahkan dapat dikatakan sangat berada di bawah tingkat sederhana. Wajahnya biasa saja, baju lusuh, peci miring, berselempang kain sarung, dan tidak pernah memakai alas kaki. Nyeker dalam bahasa Sunda.
Selain tampilan yang alakadarnya, watak atau sifat-sifat Si Kabayan hampir tidak ada yang baik. Ia digambarkan sebagai seorang pemalas, tukang tidur, tidak punya malu, berbicara ceplas-ceplos, suka mengejek, suka bercanda, suka menjahili mertua, sering ribut dengan istri, dan sebagainya.
Dalam kisahnya, Si Kabayan mencintai seorang gadis bernama Nyi Iteung, sedangkan Abah (ayah Nyi Iteung) tidak setuju kalau anaknya dinikahi Si Kabayan karena sifat-sifat Si Kabayan yang hampir tidak ada baiknya itu.
Dongeng Si Kabayan bukan hanya sebatas diceritakan lewat lisan, melainkan ada beberapa dongeng yang dialihmediakan ke dalam film. Pemeran Si Kabayan dalam film adalah aktor senior, Didi Petet, sedangkan Nyi Iteung pernah diperankan oleh almarhumah Nikeu Ardila.