12
SOKOLA CATATAN SUKARELAWAN

Catatan Tentang Sokola

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

SOKOLA

CATATAN SUKAREL AWAN

MOTOR TRIAL DAN KEBUN SAWITMotor Suzuki TS 125 berpenampilan garang melintas membelah jajaran pohon kelapa sawit, pengemudinya Ibu Guru Orang Rimba. Perempuan dengan trial sebagai alat transportasi untuk masuk dan keluar hutan tentu bukan hal yang biasa. Tetapi begitu-lah film dibuka. Guru dan aktivitas belajar mengajar menjadi cerita.

Lanskap yang dipenuhi perkebunan monokultur menjadi pemandangan yang se-harusnya menimbulkan perasaan miris bagi mereka yang melihatnya –itu pun kalau mereka tahu apa arti hutan rimba. Taman Nasional, suatu lokus tempat Orang Rimba

FILM SOKOLA RIMBA

1

1

©vicko

terus hidup dan melangsungkan budayanya, diceritakan dan juga dibuktikan secara visual, terkepung kebun kelapa sawit milik perusahaan-perusahaan besar.

Setelah menyimpan motor garangnya dan melepas helm merah yang digunakan-nya, Ibu Guru Butet kemudian melangkah menyandang ransel dan papan tulis di punggungnya. Ibu Guru Rimba berkeliling hutan menawarkan aksara dan ilmu penge-tahuan bagi anak-anak cerdas yang diabaikan oleh negara.

MALARIA, BUNGO, DAN MELANGUNMalaria menjadi ancaman nyata yang tidak dapat diabaikan. Ibu Guru Butet ambruk, itu juga terjadi di awal film. Tidak diceritakan bahwa guru rimba sebelum Butet pun terpaksa harus meninggal dunia oleh virus malaria yang masuk ke badannya. Cerita tersebut dapat ditemukan dalam buku Sokola Rimba.

Melalui kejadian ambruknya Ibu Guru Butet, penonton diajak untuk berkenalan dengan tokoh bernama Nyungsang Bungo (14). Dia adalah anak rimba yang menolong Sang Ibu Guru saat ambruk pingsan di tepian sungai; dan kelak dia pun ikut belajar calistung juga. Bungo, begitu dia disapa, adalah anggota dari rombong temenggung Be-laman Badai yang tinggal di wilayah hilir Sungai Makekal. Tokoh Bungo menjadi peng-gerak cerita di dalam film.

Meski awalnya diterima sebagai guru di rombong temenggung Belaman Badai, Ibu Guru Butet akhirnya terpaksa harus menelan pil pahit: ia diusir. Masyarakat Or-ang Rimba, terutama ibu-ibunya, merasa kutukan yang dibawa oleh pensil atau yang lazim dikenal dengan istilah “hantu bemato runcing” menjadi kenyataan. Temeng-gung meninggal dunia, dan peristiwa tersebut dihubung-hubungkan dengan aktivitas belajar calistung yang dibawa oleh Ibu Guru Butet. Dan Bungo yang sedang berada di puncak ketertarikan untuk belajar membaca merasa kehilangan dan sekaligus menga-lami dilema. Ia dilarang untuk ikut belajar meski hatinya berontak. Bungo ikut dalam rombongan keluarganya bergerak melangun (belangun).

Hampir mirip dengan perasaan kecewa yang dialami oleh Bungo, Ibu Guru Butet pun merasakan kekecewaan. Keinginannya untuk memberikan fasilitasi pendidikan calistung ke rombong Hilir Makekal tidak mendapat respon baik dari kolega kerjanya di LSM Wanaraya. Melalui tokoh Bahar, penonton diajak untuk melihat hubungan per-tentangan antara Bahar dan Butet. Melalui bagian itu juga terbaca upaya film agar pe-nonton memahami beroperasinya konsepsi tertentu dalam hal konservasi alam, yaitu ekofasisme. Boleh dibilang pada bagian itu pula konflik dalam narasi mengalami pe-muncakan dan klimaks.

2

EKOFASISME VS EKOPOPULISMEPada film Sokola Rimba, hutan rimba menjadi problem yang juga meminta perhatian. Hubungan oposisi biner antara ekofasisme dan ekopopulisme mengemuka. Orang Rimba berada dalam kondisi sulit yang terus menekan gerak kehidupan mereka. Pada satu sisi perkebunan monokultur skala besar dan invasi perkebunan masyarakat seki-tar (Melayu Jambi) menjadi ancaman nyata di samping ancaman pada sisi yang lain, yang tidak kalah serius, yang datang dari Negara melalui gagasan Taman Nasional yang diatur secara kaku dan menafikan hak hidup masyarakat Orang Rimba. Selain itu mengemuka pula kedudukan “pendonor” yang ditempatkan secara begitu dan ter-lalu “terhormat” oleh Wanaraya, bahkan secara sinis dapat disebut hanya setingkat berada di bawah posisi tuhan.

LAHIRNYA SOKOLA UNTUK KEHIDUPANKegelisahan yang memuncak pada benturan keras antara Butet dan Bahar menyebab-kan dirinya memilih hengkang dari Wanaraya dan kembali ke Jakarta. Melalui dialog antara dirinya dan Ibunda dapat diketahui betapa empati dan simpatinya pada persoa-lan hidup Orang Rimba masih terus menggelayuti pikiran Ibu Guru Butet. “Kamu punya banyak sekali modal, dan yang terpenting kau punya cinta.” Begitu Ibundanya bertutur menyemangati anaknya yang sedang terkulai dalam demam malaria yang membahayakan.

Beberapa bulan kemudian, berkat bantuan dari Doktor Astrid, Ibu Guru Butet da-pat kembali beraktivitas di Rimba Bukit 12 tanpa harus menjadi pegawai Wanaraya, LSM yang bergerak di bidang konservasi alam, dengan ekofasisme menjadi pilihan geraknya. Pada kesempatan itu Butet bersama sahabat-sahabatnya mendirikan kelom-pok baru yang dinamakan Sokola, Sokola Rimba.

Masuknya kembali Ibu Guru Butet bersama beberapa sahabatnya eks-Wanaraya setidaknya dapat menghidupkan kembali bara api yang sudah hampir padam di benak bocah Nyungsang Bungo. Si anak cerdas Bungo dapat kembali mempelajari pengeta-huan yang dibayangkan dapat membantu keluarga dan komunitasnya untuk bertahan dan melawan dari berbagai desakan yang tidak henti datang menantang.

Penonton diajak sama-sama melihat bagaimana pengetahuan membaca secara operasional dapat berperan menghambat peluang penipuan yang dilancarkan oleh Or-ang Terang. Bungo, dengan pengetahuannya, dapat menolak dan mengabarkan apa isi surat-surat perjanjian yang disorongkan kepada para tetua rombong temenggung Bela-man Badai. Pada scene ini saya menitikkan air mata. Bagaimana tidak, berfungsinya

3

ilmu pengetahuan untuk meningkatkan derajat kehidupan sungguh menjadi peristiwa yang mengharukan.

Film ini seperti membuat pernyataan kunci bahwa sesungguhnya Pendidikan dan Kehidupan adalah dua soal yang tidak seharusnya dipisahkan. Pendidikan yang membumi sejatinya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan yang lebih baik dan bukan justru mencerabut mereka dari akar budaya yang telah dihayati sejak ratusan tahun yang lalu. Pameo “Kata adalah senjata” atau “Ilmu Pengetahuan Menjadi Penerang” mewujud di dalam rimba Bukit 12 sebagaimana yang dapat dilihat dalam film Sokola Rimba.

REFLEKSI FILM DAN PALAWAISME Kang Sadikin (CP) memberi komentar menarik terhadap film tersebut, sesaat seusai acara nonton bersama Palawa Unpad di Blitz Grand Indonesia, kemarin malam (21/11). Baginya, “Menonton Sokola Rimba seperti menemukan halaman buku yang terce-cer. Sebelumnya hanya sempat mendengar cerita sepotong-sepotong saat bertemu dengannya sekitar 2004. Tak banyak yang saya tahu setelah itu. Tak ada komunikasi. Tak jarang juga berpikir a-priori karena lama tak berkomunikasi. Tadi malam bertemu.”

Lebih jauh, ada secercah romantisme yang juga ikut tersampaikan Kang Sadikin malam tadi, “Rasanya masih seperti dulu saat sering menghabiskan waktu bersama se-gerombolan ‘okem’ di Jl. Gagak, mencampur teh dengan vodka di tengah udara dingin gunung, berselisih pendapat di ruang kecil pojok parkir timur Unpad, dan mendamp-ingi 25 siswa Diklat Palawa. Tadi malam adalah reuni kecil dengan orang-orang seru-mah di Palawa Mungkin tampak biasa saja. Tapi bagi saya, sungguh memba-hagiakan.”

Selain itu ada juga komentar Kang Opik yang kembali mengingat pengalaman di awal tahun 2000an saat berkunjung ke Bukit Duabelas. Malam itu berkumpul be-berapa anggota palawa Unpad, ada Teh Butet, Bang Dodi, Kang Opik, Kang Sadikin, Kang Azzo, Kang Agung, dan Teh Hanoyz. Sampai jam dua dini hari baru saya bisa sampai kembali di rumah, masuk kamar dan segera menjemput mimpi. Sebelumnya, tentu akan baik jika terlebih dulu saya mengucapkan terimakasih kepada semua; se-nang sekali bisa ikut menyerap energi positif yang terpancar keluar malam kemarin itu.

Ada respon yang juga menarik dan memiliki relevansinya jika sedikit saya kutip-kan untuk menutup review singkat atas film Sokola Rimba. Teh Butet tadi menyampai-

4

kan, “Tamparan2 dari kalian, para pelatih, menguatkan langkah2 di kehidupan kami selanjutnya setelah Diklatdas Palawa Unpad... Termasuk marah dan tamparan ma-neh, Sadikin… pelatih nu pikasebelen, tapi lalu kita menjadi sobat erat... Trimakasih Ikin, terimakasih Palawa!”

“Rimba rindu memanggil di antara ramainya kota … rimba aku kan pergi ber-bekal cinta yang hanya bisa kau rasakan… walau hanya ada matahari yang terangi hari hingga senja menyapa… sinar bulan yang berikan cahaya temani malam hari hingga terang… jumlah daun jatuh, nama-nama hewan dan kapur di tangan. Dan kita ber-sama bermain berkejaran … Orang-orang rimba, ini sokola rimba…

“Kau tak akan mengira kecerdasan yang kulihat. Rimba rumah terbuka di antara pepohonan dan sungai mengalir. Rimba jangan kau usik tempat tinggal mereka dalam kedamaian. …sinar bulan yang jadi cahaya… dan kita tertawa bersama bermain beke-jaran… nama-nama hewan dan kapur di tangan. Orang-orang rimba… Hai Sokola Rimba.”

Ahmadhevicko,Jatinangor hujan

5

- Cerita Di balik Mabim non-operasional Seminar Nasional Perempuan dan Petualangan

Namaku Nida, angkatan Bajra Karana (BK) di Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Unpad. Aku sedang menjalankan masa bimbingan (Mabim), tahap ke-2 sebelum menjadi anggota biasa. Mabim tahun ini, ada dua macam, yaitu mabim non-operasional dan mabim operasional.

Pada mabim non-operasional, aku diberi kesempatan untuk mengelola sauda-raku yang lain di BK. Aku diberi kepercayaan untuk menjadi Ketua Pelaksana pada

SETELAH SEMINAR

2

6

©baihaqi

Seminar Nasional Perempuan dan Petualangan. Ini adalah pengalaman pertamaku menjadi seorang Ketua Pelaksana. Kemampuanku akan diuji dengan berbagai hal yang akan dihadapi.

Seminar Nasional dilaksanakan pada 19 Oktober 2013. Kami diberi kesempatan dalam waktu dua bulan untuk menyiapkan pelaksanaan tersebut. Mulai dari proposal, perizinan tempat, waktu, biaya, peralatan, dan hal-hal lain yang biasanya dipersiap-kan oleh seluruh panitia yang akan melakukan suatu kegiatan.

“Kamu itu belajar mengelola orang, bukan mengerjakan sendiri waktu kerjaan ga ada yang ngerjain. Ga bisa? Belum bisa? Ya di situ kamu belajarnya, gimana cara-nya orang lain bekerja dengan senang hati tanpa merasa ada paksaan, kamu yang kelola, itu PRnya,” kata Bunda lewat telepon.

Perasaan bercampur aduk ketika setiap anggota tim memiliki kesibukan yang ti-dak bisa ditinggalkan. Dua minggu menjelang pelaksanaan, anggota tim semakin be-bas pergerakannya. Seolah-olah hanya aku yang peduli pada acara ini, acara kami, mabim non-operasional kami. Apalagi ketika melihat anggota tim yang sibuk dengan kepanitiaan lain di depan mata, seolah mengacuhkan tugasnya di sini, bersama kami di Palawa. Atau setiap kali ditanya hasil pekerjaan selalu berkata “ini mau dikerja-kan”, atau “abis ini”, atau “belum sempet”, dsb.

Ingin marah rasanya. Teringat kata Kang Ayi, salah seorang anggota di Palawa, saat berbincang di acara halal bi halal di rumahnya. “Sabar bukan berarti diam saja. Marah itu boleh, tapi jangan menjadi seorang yang pemarah. Tapi harus jelas marah kenapa, misalnya karena kerjaan nggak beres,”

Ah, untunglah itu hanya perasaan seorang yang emosional ketika tidak bisa mem-bagi waktu di dua keorganisasian dengan tugas kuliah yang wajib menjadi prioritas, karena nyatanya, semua anggota tim berfikir, semua bekerja, semua bertanggung ja-wab, semua berkontribusi besar, melakukan pekerjaannya sebaik mungkin, dan mem-bantu pekerjaan lain.

Beberapa hari menjelang seminar, konsep yang ada mulai direalisasikan. Mem-beli, memesan, mencetak, memasang, dan melakukan hal teknis sebelum siap tempur pada Hari-H. Pemasangan baligo menjadi salah satu hal yang menjadi sorotan be-berapa hari menjelang pelaksanaan seminar, karena media publikasi yang telah kami pasang ini hilang, entah siapa pelakunya. Kami pun harus kembali memasang baligo untuk menunjukkan kegiatan kami.

H-1 pelaksanaan seminar, setiap anggota tim berkumpul dan sibuk mengerjakan pekerjaan yag belum selesai. Suasana di sekretariat terasa lebih hidup dari hari-hari kemarin. Kini anggota tim sedang sibuk mempersiapkan untuk acara esok hari.

7

Sabtu pagi, 19 Oktober. Seminar tinggal meghitung jam. Peserta yang mengonfir-masi ulang di H-3 sudah memenuhi kuota kursi yang ada di auditorium Balai Santika, tempat pelaksanaan seminar. Seratus pendaftar terpaksa tidak kami terima untuk menghindari ketidakkondusifan pelaksanaan seminar.

“Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”, begitu kira-kira kalimat yang aku baca di time line twitter Palawa. Hari itu menjadi pembuktian hasil kerja kami selama dua bulan. Segala bentuk teknis yang perlu dipersiapkan su-dah selesai dipersiapkan hingga pukul 12 siang, 50 menit menjelang open gate. Kami berdoa di backstage untuk kelancaran kegiatan.

Sepuluh menit menjelang waktu yang telah ditentukan akan dimulai acara, mc dan moderator belum kunjung hadir. Untunglah tak lama setelah itu, kami dapat me-mulai kegiatan karena seluruh perangkat seminar sudah hadir di lokasi. Aku tidak bisa mengikuti kegiatan seminar yang berjalan. Ya, memang pihak penyelenggara bu-kan fokus untuk mengikuti acara, tapi mempersiapkan, memastikan acara berjalan dengan baik sesuai rencana. Begitu bukan? Dan materi sudah didapat sebelum semi-nar dilaksanakan. Itulah salah satu tugas divisi acara, memastikan seluruh anggota tim telah terinformasi oleh materi yang akan disampaikan.

Setelah acara dibuka oleh saman HI, Butet Manurung dan Ami Kadarharutami beserta tim menceritakan pengalaman perjalanannya. Banyak cerita yang menggugah rasa penasaran sebelum pelaksanaan seminar. Aku dan tim dapat memahami isi semi-nar secara garis besar dari materi yang diberikan, ditambah cerita-cerita yang telah di-cari tahu sebelumnya. Betapa petualangan mampu memberikan manfaat bagi orang lain, bukan sekadar petualangan untuk memenuhi hasrat pribadi, tapi lebih dari itu, ada manfaat yang dapat diterima oleh sekitar. Mukti-mukti menutup acara seminar dengan syair-syair alamnya.

Memang selalu ada pelajaran berharga dari setiap pengalaman. Tentulah masih banyak kekurangan pada acara kali ini, dan hal tersebut menjadi pelajaran berharga bagi kami untuk terus belajar memperbaiki diri dan melakukan hal yang lebih baik lagi. Banyak pelajaran yang dapat aku ambil dari kepanitiaan ini, terlebih menjadi se-orang yang kebetulan mendapat bagian untuk mengelola tim dengan bijak.

Nida Choirun Nufus

8

"Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca tulis dan hitung..."

Kalimat tersebut merupakan pernyataan dari Peniti Benang, seorang anak rimba, yang ditulis dalam buku Sokola Rimba. Peniti Benang menyatakan bahwa itulah tantangan

MEMBANGUN LITERASI DAN LINGKUNGAN

3

9

©agungnugraha

yang dihadapi oleh orang-orang rimba tatkala kapitalisme mulai mengusik lingkun-gan keberadaan mereka. Saat lahan demi lahan mulai dikapitalisasi demi memenuhi kebutuhan orang-orang terang (sebutan orang rimba untuk orang luar rimba).

Gagasan tentang efek modernisasi terhadap lingkungan orang rimba, menjadi pembicaraan hangat dalam diskusi komprehensif yang diadakan di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta (30//6). Diskusi tersebut mengangkat sebuah tema, yaitu Mem-bangun Literasi dan Menyelamatkan Lingkungan. Pada diskusi tersebut, terdapat tiga sub-tema, yaitu tentang pemaparan buku sokola rimba, pengalaman Butet sebagai ak-tivis orang rimba, serta efek kapitalisme terhadap lingkungan orang rimba.

Pada sesi pertama, Herry Yogaswara sebagai Antropolog dan Peneliti dari LIPI melakukan pemaparan mengenai buku “Sokola Rimba”. Buku tersebut berisi tentang cerita keseharian Butet ketika bekerja sebagai aktivis pendidikan saat mengajari anak-anak rimba, serta cerita tentang berbagai konflik yang mengiringi perjalanan awal Butet bersama orang rimba. Melalui pemaparannya, Herry menjelaskan bahwa buku ini bersifat reflektif dan menceritakan keseharian Orang Rimba (suku pedalaman Jambi) serta interaksi Butet dengan anak-anak Orang Rimba yang menjadi muridnya. Buku tersebut memuat pula kritik-kritik terhadap pemerintah dan LSM yang khusus menangani pemberdayaan orang rimba. Sebuah penceritaan tentang pergulatan komu-nitas adat dalam menghadapi berbagai tantangan dari pembalakan liar, perkebunan, pendidikan dan sikap masyarakat di sekelilingnya.

Butet Manurung (Saur Marlina Manurung) kemudian melakukan pemaparan tentang pengalaman dia bersama rekan-rekannya dalam membangun literasi di suku pedalaman di Jambi. Melalui Sokola, LSM yang didirikan Butet dkk, Butet mulai men-genalkan dan memperluas wawasan literasi kepada orang-orang rimba tersebut. Lit-erasi kepada orang-orang rimba ini mengajarkan kepada mereka agar tahu risiko atas apa yang dilakukan. Maksudnya adalah baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih banyak pilihan karena hanya lewat pendidikanlah mereka mampu memosisikan diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka menentukan arah pemban-gunannya sendiri, melihat bahwa arus modernitas dan globalisasi mulai mengusik ke-hidupan rimba.

Banyak sekali stereotip yang dilekatkan pada orang-orang rimba oleh masyarakat kota sehingga pada akhirnya membuat mereka semakin mengasingkan diri. Seperti halnya orang kota sering menyebut mereka Kubu (bodoh, primitif, kafir dan miskin) padahal jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda dan dalam di-mensi mereka, mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan. Karena perbedaan pan-dangan dan nilai maka stereotip itu muncul, terlebih kepada kaum marjinal, sehingga

10

pada akhirnya hanya semakin membuat jarak di antara mereka dengan masyarakat kota.

Pembicara terkahir, yaitu Marco Kusumawijaya, memaparkan dari segi tata ling-kungan, bahwa tata kelola lingkungan yang terjadi saat ini bukan untuk menyudutkan orang rimba karena pengelolaan taman nasional yang tidak memperhatikan kebera-daan orang rimba bahwa mereka empunya dalam hutan adat mereka, tetapi justru ingin mengasingkan dan menjauhkan mereka dari wilayahnya sendiri agar wilayah ta-man nasional steril dari kehidupan manusia. Pemaparan singkat secara lisan dari Marco ini juga menjelaskan pentingnya orang rimba dalam mengenyam literasi untuk kebutuhan mereka dalam menghadapi pergolakan seperti ilegal loging tersebut.

Diskusi yang kurang lebih dihadiri 100 orang dari berbagai elemen, mulai dari pengajar, peneliti, mahasiswa dan masyarakat umum semakin seru dengan sesi per-tanyaan dalam diskusi terbuka. Berbagai argumen juga sempat menyinggung kegiatan pemerintah dalam membantu orang-orang pedalaman bahwa selama ini tidak tepat sasaran dan seperti terlihat sia-sia. Hal ini disebabkan dalam pendekatan kepada masyarakat pedalaman, digunakan metode dan cara yang sama pada umumnya. Pada-hal setiap masyarakat pedalaman tidak sama kebutuhan dan tantangan yang diha-dapi, sehingga metode yang sama tidak bisa digunakan untuk setiap daerah. Perlu as-sessment dan kajian mendalam dalam setiap kasus untuk menghadapi masyarakat pedalaman yang berbeda-beda.

Diskusi yang berlangsung selama hampir tiga jam ini sebenarnya tidak cukup karena terlihat banyak peserta yang ingin mengajukan pertanyaan lebih lanjut, na-mun sayang waktu yang disediakan terbatas. Diskusi pun akhirnya ditutup dengan me-lihat trailer film “Sokola Rimba” produksi Miles Film yang akan dirilis pada 21 Nopem-ber 2013.

Stefanus WongSebelumnya tulisan ini tebit di kolom Harian Kompas

11