Upload
anonymous-lygi1p
View
43
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Case Rep Anastesi Spinal
Citation preview
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
Keluhan Utama: Benjolan di paha kiri depan sejak 2 tahun sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan benjolan di paha kiri sejak 2 tahun SMRS. Dua tahun
SMRS, benjolan diakui berukuran sebesar telur puyuh yang kemudian tumbuh
perlahan menjadi sebesar seukuran telur bebek dalam waktu satu tahun. Sejak
satu tahun terakhir, benjolan diakui tidak bertambah besar. Benjolan diakui
pasien terasa di bawah kulit dan terasa keras. Benjolan tidak terasa nyeri,
kemerahan, panas, keluar nanah, maupun berbau. Riwayat demam disangkal.
Bagian kaki di bawah benjolan diakui tidak bengkak, pucat, nyeri, kesemutan,
baal, atau dingin. Riwayat benjolan di selangkangan atau di bagian tubuh lain,
penurunan berat badan, dan keluhan sesak disangkal pasien. Pasien tidak
memiliki riwayat pengobatan radiasi maupun riwayat keganasan pada
keluarga.
Habit: Tidak ada habit yang khusus, riwayat mengkonsumsi obat-obatan
terlarang, merokok, minum alkohol disangkal pasien.
Riwayat Operasi Sebelumnya:
Tidak ada
I. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 56 kg
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 150/73 mmHg
Frekuensi nadi : 53x/menit
Frekuensi nafas : 18x/menit
Suhu : 36,5 oC
Kepala : Normocephali, wajah simetris, tidak ada benjolan, tidak ada
oedema pada wajah.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Tidak ada deviasi septum nasi.
Leher : Tidak pendek, tidak teraba masa atau pembesaran, Mallampati 1,
leher bebas jarak tiromental > 7cm.
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris pada keadaan statis dan dinamis,
tidak tampak pelebaran sela iga.
Palpasi : Tidak teraba retraksi sela iga, pergerakan dinding dada simetris
pada saat keadaan statis dan dinamis, vokal fremitus kanan dan kiri simetris
dan tidak mengeras, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa pada dada.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, whezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen datar, tidak membuncit
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa pada abdomen, hati,
limpa, dan ginjal tidak teraba membesar.
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen, shifting dullnes –
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Ekstremitas Atas
o Otot : Normotonus, massa normal
o Sendi : Tidak kaku
o Gerakan : Aktif
o Kekuatan : +5/+5
1
Ekstremitas Bawah
o Otot : Normotonus, massa normal
o Sendi : Tidak kaku
o Gerakan : Aktif
o Kekuatan : +5/+5
o Palpasi: benjolan di paha kiri dengan ukuran 3x4 cm
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal: 17 Juni 2014
Nama Test Hasil Flag Unit Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Lekosit
Trombosit
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Neutrofil
Limfosit
Monosit
LED
HEMOSTASIS
BT
CT
PT
INR
13,2
37,0
4,40
7,471
284,000
0
1
0
34
58
7
21
2
11
13,2
0,85
*
*
*
*
*
*
*
*
g/dL
%
Juta/uL
/mm3
/mm3
%
%
%
%
%
%
mm/jam
menit
menit
detik
11 – 16,5
35 – 45
4 – 5
4.000 – 10.000
150.000 – 450.000
0 – 1
1 – 2
2 – 6
54 – 62
25 – 33
3 – 7
0 – 20
<5 menit
< 15 menit
12 – 19
2
PT Control
APTT
APTT Control
KIMIA KLINIK
Fungsi Liver
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
14,4
28,7
28,3
22
12
15
0,75
*
detik
detik
detik
U/L
U/L
mg/dL
mg/dL
12,3 – 18,9
27 – 43
27 – 43
<32
<33
15 – 50
0,6 – 1,3
III. STATUS FISIK (ASA)
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Advis pre- operatif: Puasa 8 jam pre-operasi
IV. DIAGNOSIS KERJA
Soft tissue tumor
Dasar Diagnosis Kerja:
Anamnesis: Benjolan di paha kiri depan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Pemeriksaan fisik: pada palpasi didapatkan benjolan dengan ukuran 3x4cm, tidak
nyeri, mobile
V. RENCANA TINDAKAN BEDAH
Bedah eksisi (BE) + Patologi anatomi (PA)
VI. RENCANA TEKNIK ANASTESI
Pre operasi:
1. Anamnesis:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan.
Pasien tidak pernah mendapat anestesi sebelumnya dan riwayat operasi (-)
Pasien mulai puasa 8 jam sebelum rencana operasi.
3
2. Pemeriksaan Fisik:
Airway paten, nafas spontan, ronki (-), wheezing (-)
Mallampati 1
Leher bebas, jarak tiromental > 7cm
Buka mulut > 3 jari
Gigi goyang (-), gigi palsu (-)
Tanda-tanda vital:
o Tekanan darah : 150/73 mmHg
o Frekuensi nadi : 53x/menit
o Frekuensi nafas : 18x/menit
o Suhu : 36,5 oC
Berat badan: 56 kg
3. Pemeriksaan Laboratorium
HB: 13,2 g/dL
HT: 37,0 %
E: 4,40 Juta/uL
L: 7,4711/ mm3
T: 284,000/ mm3
BT: 2 menit
CT: 12 menit
Teknik Anestesi : General Anesthesia
Teknik Intubasi : GA dengan LMA no. 7,0, cuff (+)
Lama Anestesi : 10.15 – 11.00
Lama Operasi : 10.25 – 10.50
4
Pre Operasi
1. Alat disiapkan dan pasien dengan posisi supine, memastikan kondisi pasien stabil
dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, memastikan cairan infus Ringer
Fudin berjalan lancar.
2. Diberikan premedikasi fentanyl 100 mcg secara intravena.
3. Mulai dilakukan induksi dengan propofol 120 mg secara intravena.
4. Sungkup muka dipasang dengan pemberian oksigen 100% sebesar 2 liter/ menit
dan anestesi inhalasi sevofluran dengan volume 2% selama kurang lebih 3 menit.
5. Memastikan pasien dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan
pemasangan LMA dengan memanggil nama pasien dan melakukan refleks bulu
mata.
6. Dilakukan pemasangan LMA nomor 7,0 , cuff (+)
7. LMA difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator.
8. Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 liter/ menit dan sevofluran volume 2%.
9. Setelah diyakini anestesi berhasil dan aman untuk dilakukan operasi, operasi
dimulai.
Intra Operasi:
1. Tanda-tanda vital dimonitor termasuk tekanan darah, frekuensi pernapasan, nadi
dan saturasi oksigen selama operasi.
2. Obat atropine dimasukkan pada saat denyut jantung pasien 40x/menit
3. Obat ondansentron 1x8 mg dan ketorolac 1x30 mg dimasukkan melalui intravena
ketika operasi hampir selesai.
4. Cairan yang masuk sepanjang operasi adalah Ringer Fundin sebanyak 1500 mL.
5. Pendarahan kurang lebih ± 100 mL
6. Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi, pasien bernafas spontan dan ada
refleks-refleks jalan nafas atas dan dapat menuruti perintah sederhana, pasien
dibawa ke ruang PACU.
Post Operasi (pasca bedah di ruang pulih sadar) :
Keluhan pasien: pasien sadar penuh dengan Glasgow Coma Scale (GCS) :15
5
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum : compos mentis, baik
Respirasi : 2 (sanggup diminta bernafas dalam dan batuk)
Sirkulasi : 2 (tekanan darah naik/ turun berkisar 20%)
Warna kulit : 2 (merah muda, cappilari refill < 3 detik)
Aktivitas : 2 (4 anggota tubuh bergerak aktif/ diperintah)
Tekanan darah 90/60 mmHg, CRT < 3 detik
BAK spontan (+), urin warna kuning jernih
Terapi pasca bedah:
Analgetik : Injeksi ketorolac 30 mg
Antiemetik : Injeksi ondansentron 8 mg
Terapi lain sesuai DPJP
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Kata anestesi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anestesia adalah
suatu keadaan depresi dari pusat - pusat saraf tertentu yang bersifat reversible, dimana seluruh
perasaan dan kesadaran hilang. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan
pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien
gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun. 1
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun,
obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan
lancar. 1
6
Anestesi Umum
Anestesi umum merupakan tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien
untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan,
mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.1
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:2
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
Cara pemberian anestesi umum : 4
Parenteral (IM/IV)
digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi. Umumnya diberikan
propofol, namun pada kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk
tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
Anestesi inhalasi
yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anesetsi yang mudah menguap
sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan.Zat anestetik yang digunakan berupa
campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan
parsialnya.
7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum
Faktor respirasi:5
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus).
Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika
akan berdifusi melalui membran alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam
arteri pulmonaris. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
o Konsentrasi zat anestesika yang dihirup atau diinhalasi, semakin tinggi
konsentrasinya, semakin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
o Ventilasi alveolus, semakin tinggi ventilasi alveolus, semakin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
Faktor Sirkulasi5
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Semakin banyak aliran
darah yang melalui paru semakin banyak zat anestesika yang diambil dari
alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan semakin lama
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
Faktor jaringan5
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
8
a. Jaringan kaya pembuluh darah: otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini
menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini
meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c. Lemak : jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah: relatif tidak ada aliran darah, ligamen dan
tendon.
Faktor zat anestesi
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration
atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada
tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang
sakit suprakmaksimal pada 50%. Semakin rendah nilai MAC, semakin tinggi potensi zat
anestesika tersebut.
Persiapan Anastesi Umum
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya
alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik.
2. Pemeriksaan fisik5
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
9
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin (Hb, lekosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4. Klasifikasi status fisik5
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan resiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
Kelas V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi menyebabkan keterbatasan fungsi
Kelas VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Bila operasi yang dilakukan darurat maka penggolongan ASA diikuti huruf E.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, pasien harus berpuasa selama periode tertentu.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
10
Premedikasi
Pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:5
o Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
o Menghilangkan rasa khawatir
Kunjungan pre anestesi
Pengertian masalah yang dihadapi
Keyakinan akan keberhasilan operasi
Memberikan ketenangan (sedative)
Membuat amnesia
Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
Mencegah mual dan muntah
o Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
o Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik
o Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
o Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
o Mengurangi rasa sakit
Induksi Anastesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan. Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:5
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope,
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang.
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
11
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.
Induksi dapat dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.
1. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Propofol
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1ml=10mg). Dosis bolus untuk induksi 2-3 mg/kg, suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan fentanyl
1-3 mcg/kg intravena.3
Ketamin
Dosis bolus 1-2 mg/kg. Dapat menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala pasca anestesia. Ketamin juga dapat menimbulkan halusinasi sehingga dianjurkan
pemberian sedativa seperti midazolam atau diazepam dengan dosis 0,1 mg/kg intravena
sebelumnya. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml=10mg)3
12
Efek samping:
Hingga 40% dari pasien mungkin mengalami efek samping, yaitu : 3
Delirium Eritema
Sakit kepala Nyeri pada tempat injeksi
Diplopia Fenomena psycotomimetik
Penglihatan kabur Euforia
Nistagmus Afasia
Hipertensi Vivid dreams
Takikardi Mimpi buruk
Hipersalivasi Gangguan atensi, memori
Mual dan muntah Ilusi dan Halusinasi
Emergency Delirium
Dapat terjadi pada periode pasca anestesi ketamin, mengenai visual, pendengaran,
prorioseptif, ilusi, bingung yang dapat berkembang menjadi delirium. Mimpi buruk dan
halusinasi dapat terjadi 24 jam sesudah anestesi ketamin dan biasanya akan hilang dalam
beberapa jam. Angka kejadian emergency delirium, berkisar antara 5-30%. Faktor yang
diduga dapat meningkatkan angka kejadian mimpi buruk dan halusinasi antara lain
wanita usia dari 16 tahun, dosis ketamin lebih dari 2 mg/kgBB dan mempunyai riwayat
sering mimpi buruk. Emergency delirium dapat dikurangi dengan memberikan obat
golongan benzodiazepin. Atropin dan droperidol meningkatkan terjadinya emergency
delirium.
2. Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan sevofluran atau isofluran. Cara induksi ini
dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang
takut untuk disuntik.
13
Sevofluran
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Rendahnya kelarutan darah/gas dan kenyamanan pemakaian sevofluran, membuat agent
ini jadi pilihan utama untuk induksi inhalasi cepat dengan recovery yang cepat.
Sevofluran sering digunakan untuk induksi pada anak karena berbau enak, tidak
merangsang jalan nafas dan tidak meningkatkan sekresi saluran nafas. Sevofluran
mungkin paling tidak iritasi pada saluran nafas dibanding agent inhalasi lain yang dipakai
saat ini. MAC ( Minimal Alveolar Concentration ) adalah konsentrasi agent inhalasi
minimal yang dapat mencegah gerakan pada 50% pasien terhadap respon stimulus
standar ( irisan operasi pertama ). MAC sevofluran pada manusia berkisar 1,7-2,05. Bila
diberikan dalam 64% N 2O – O2, MAC menjadi 0,66%, yang menandakan efek N2O
bersifat aditif terhadap sevofluran. Single breath induction sevofluran dengan 4-8%
dalam 50% N2O - O2 dapat terjadi dalam 1-3 menit.Kelarutan sevofluran jaringan yang
rendah menimbulkan eliminasi yang cepat sehingga terjaga cepat. Depresi ventilasi
mencerminkan efek depresi langsung terhadap pusat ventilasi medulla dan kemungkinan
efek perifer terhadap otot interkostal. Relaksasi otot polos bronkus dapat timbul melalui
efek langsung atau secara tidak langsung melalui reduksi lalu lintas saraf aferen atau
depresi secara sentral.4
Isofluran
Isofluran adalah agent inhalasi yang sering digunakan di klinik. Koefisien partisi
gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding agent inhalasi lainnya, kecuali
desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan konsentrasi isofluran
di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang dianestesi dengan
isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan perintah kira – kira 7 menit
setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih lama , yaitu selama 5 – 6 jam,
munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran
14
dihentikan. MAC isofluran berkisar 1,2. Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi
isofluran dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi dengan masker
pada konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif
saluran nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat
aksi pendek biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut. Komplikasi respirasi
sangat nyata pada bayi. Friesen dan Lichtor menyatakan bahwa induksi isofluran, dengan
konsentrasi inspirasi sampai 3,5 % menyebabkan tingginya frekuensi spasme laring dan
batuk yang tidak diinginkan. Pada bayi, induksi isofluran menyebabkan penurunan
bermakna pada laju jantung, tekanan darah sistolik,dan tekanan arteri rata–rata.
Premedikasi atropin dapat mengurangi bradikardi.4
Rumatan Anestesia
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 2:2
sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.4
15
Tatalaksana Jalan Napas
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesi posisi terlentang, tonus otot jalan nafas atas,
otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi
jalan nafas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan
dikoreksi dengan cara sebagai berikut.4
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas
atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
Gambar 1. Manuver Tripel Jalan Napas
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal
airway).
16
C. Sungkup muka
Sungkup muka (facemask) Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau
system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga
ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan
gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring
Sungkup laring (laryngeal mask) merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri
dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa
pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten
E. Pipa trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan
melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan Intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam
laringoskop:4
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
17
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Gambar 2. Derajat Mallampati
Tehnik anestesi LMA
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan
nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk
menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah
digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di
insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling
pintu masuk laring Dibawah ini tabel 1 keuntungan dan kerugian pemakaian LMA jika
dibandingkan dengan ventilasi facemask atau intubasi.2
18
Table 1: Keuntungan dan kerugian pemakaian LMA3
Indikasi:3
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA
bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi :3
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (pada emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang bertekanan
rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk
meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
19
Tehnik induksi dan insersi
Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman
anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA
dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna. Sebelum insersi,
kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-
respon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan
nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi
LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat
ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis
jantung. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset
cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ).
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing Position ) dan
akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA
harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi
berbasis air sebelum dilakukan insersi. Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff,
beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini
akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan men-
stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini
terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi
ringan pada tulang belakang leher bagian atas. Clma dipegang seperti memegang pensil pada
perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan.
Selama insersi, cLMA dimajuka ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian
dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama
insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya
sudah berada pada posisi yang tepat. 3,4
20
Gambar 1: Tehnik insersi LMA
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima tes
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:5
1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di
inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil
terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan
nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff
sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat
dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging dengan lembut. Yang
perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan
nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut,
ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan
nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung
reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus
dipindahkan dan di insersi ulang.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan capnograf, auskultasi,
dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan
obstruksi dari kesalahan tempat menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA
untuk menutupi laring dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa
kondisi dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi, resiko
regurgitasi faring rendah.4
21
Maintenance
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang dewasa sedang dan juga
pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas 20 cmH2O harus
dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari cLMA tetapi juga melebihi
tekanan sfingter esofagus. Pada tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut,
tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang akan
meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi.
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang lama kemungkinan
tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk
membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini
sering lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan
compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi
pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang bebas dan
penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang
dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring
dengan alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-
kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana untuk melepas
jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali
ke sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas. 1,2
Tehnik extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan mampu untuk
membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali.
Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-
stimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat
membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini
22
dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat
menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi
jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik
dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika
ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme. 2
Komplikasi LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung
dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko
meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus
simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese. Insidensi nyeri tenggorokan
dengan menggunakan LMA sekitar 28 %.3
Pasca Anestesia
Anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Penghentian anestesi inhalasi
disertai oksigenisasi.Oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi
inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Kesadaran penderita
juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi di dalam darah.
Setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus diobservasi
dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8
observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:1
Hal yang dinilai Nilai
1. Kesadaran:
Sadar penuh
Bangun bila dipanggil
2
1
23
Tidak ada respon 0
2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan
Apnoe
2
1
0
3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi
Perbedaan +- 20
Perbedaan +- 50
Perbedaan lebih dari 50
2
1
0
4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:
4 ekstremitas
2 ekstremitas
Tidak dapat
2
1
0
5. Warna kulit
Normal
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik
Cyanotic
2
1
0
Daftar Pustaka
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI; 2011.
2. Omoigui S. Buku saku obat-obatan anestesia. Edisi ke-2 Jakarta: EGC; 2012.
3. Desai AM. General Anesthesia. Accessed on Mey 21 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
4. Gwinnut CL. Catatan kuliah anestesi klinis. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2008.
5. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in
24
Anaesthesia : 32 - 42
25