Upload
dwisutiadi
View
55
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jnjn
Citation preview
Laporan Kasus
Penatalaksanaan Syok Hipovolemik ec Solusio
Plasenta pada Preeklampsia Berat dan HELLP
Syndrom dengan IUFD
Disusun Oleh:
Alven EdraLana Novia Ade Putri
Lidia WatiMuhammad Nasir
Nadya FitrianaNorra Purty Yolanda
NurwahidahRidho Maulana
Sukamto
Pembimbing:
Dr. dr. Syamsul Bahri, SpOG
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian ibu dan perinatal merupakan tolak ukur kemampuan pelayanan kesehatan
suatu negara dan merupakan salah satu indikator spesifik status kesehatan suatu masyarakat.
Mortalitas dapat dilihat dari indikator angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi
(AKB). Penyebab terbanyak kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan di
seluruh dunia adalah perdarahan sebanyak 28%.1
Tingginya angka kematian ibu terbanyak kedua ialah disebabkan oleh hipertensi
dalam kehamilan berupa preeklamsia-eklamsia sebanyak 24%. Menurut data kesehatan
indonesia 2010 angka kematian ibu (AKI) dinilai masih cukup tinggi dibandingkan dengan
target Millenium Development Goals (MDG’s). AKI pada tahun 2010 yaitu sekitar
214/100.000, sedangkan target MDG’s AKI tahun 2015 sebesar 102/100.000 kelahiran
hidup.2
Faktor penyebab kematian ibu dibagi menjadi dua yaitu, faktor penyebab langsung
dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia
masih didominasi oleh perdarahan post partum, preeklamsia-eklamsia dan infeksi. Sedangkan
faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus tiga terlambat
dan empat terlalu. Tiga terlambat yaitu terlambat memutuskan untuk memperoleh
pertolongan persalinan, terlambat sampai ke tempat pelayanan, dan terlambat mendapat
pertolongan medis, dan empat terlalu yaitu, terlalu muda melahirkan, terlalu dekat jarak
melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu tua melahirkan.3,4
Preeklamsia merupakan penyebab kedua terbanyak pada angka kematian ibu
disamping perdarahan dan infeksi. Preeklamsia hingga saat ini masih merupakan masalah
obstetri yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas.5
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami
hipertensi.5,6 Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga
kehamilan.6 Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi
definitifnya yaitu berupa terminasi kehamilan.7 Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada
ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP
(hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan,
solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran
1
premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD). Angka
kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia.6
Solusio plasenta merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia berat yang dapat
menimbulkan kematian ibu dan janin, dengan angka kematian maternal 15% dan angka
kematian perinatal 50-80%.6
Angka kematian ibu dan anak bergantung pada luasnya plasenta yang terlepas,
lamanya solusio plasenta berlangsung, usia janin dan banyaknya perdarahan yang terjadi,
sehingga ketepatan diagnosis dan pengobatan segera merupakan hal yang penting dalam
pengelolaannya. Keadaan ini tentunya menjadi tantangan untuk senantiasa agar dapat
mendeteksi secara dini kasus-kasus preeclampsia serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.1
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama pasien : Ny. P
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jl. Pasir Sialang Kec. Bangkinang Kampar
No. MR : 88 79 84
ANAMNESIS
Pasien masuk Kamar Bersalin IGD RSUD AA Pekanbaru pada tanggal 18 April 2015 Jam
18.50 WIB, rujukan dari RSU Bangkinang dengan G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu, belum
inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect solusio plasenta,
janin tunggal mati intrauterin. Infus terpasang 2 i.v line dan sudah resusitasi 1000 cc RL.
a. Keluhan Utama :
Tidak merasakan gerakan-gerakan janin
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien tidak merasakan gerakan janin ± 8 jam SMRS. Keluhan ini disertai nyeri perut
hebat dan perut terasa tegang, keluar darah dari jalan lahir ± 10 kali ganti pembalut,
darah berwarna merah kehitaman. Keluar darah yang sama sebelumnya disangkal.
Keluar air-air disangkal. Perdarahan teradi sudah 3 jam di rumah sebelum akhirnya
dibawa ke Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan lama perjalanan sekitar 1 jam.
Setelah dilakukan pemeriksaan dikatakan perdarahan akibat curiga lepasnya
perlengketan plasenta dengan rahim, kemudian pasien mengaku dipasang infus dan
diberi oksigen. Riwayat trauma dan riwayat diurut-urut disangkal. Pasien dirujuk ke
RSUD AA dengan lama perjalanan 2 jam.
Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan HPHT 15 Juli 2014 TP 22 April 2015 ~ 39-40
minggu. Pasien kontrol kehamilan tidak teratur, hanya 1 kali sejak awal kehamilan
saat usia kehamilan 6 bulan dan USG 1 kali saat usia kehamilan 6 bulan di RS swasta
3
di Bangkinang dikatakan ibu dan janin sehat. Keluhan nyeri kepala dan terasa berat
ditengkuk selama kehamilan ini disangkal. Pasien pertama kali merasakan gerakan
janin saat usia kehamilan 5 bulan dan sudah tidak aktif sejak ± 8 jam SMRS.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), Alergi (-), Penyakit Jantung (-), riwayat
perdarahan selama kehamilan sebelumnya (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi (+), Diabetes Melitus (-), Asma (-), Alergi (-), Penyakit Jantung (-)
e. Riwayat Ante Natal Care :
Pasien kontrol kehamilan tidak teratur, hanya 1 X sejak awal kehamilan saat usia
kehamilan 6 bulan dan USG 1 X saat usia kehamilan 6 bulan dan dikatakan janin
sehat, tidak pernah ANC lagi setelah itu karena merasa sehat-sehat saja.
f. Riwayat Haid:
Menarke usia 13 tahun, siklus teratur 30 hari, selama 5-6 hari, banyaknya 2-3 kali
ganti pembalut/ hari dan dismenore (-).
g. Riwayat Perkawinan :
1 kali saat usia 16 tahun
h. Riwayat Kehamilan/ Persalinan/ Abortus : hamil 6/ persalinan 5/ keguguran 0/
hidup 5
I. Perempuan, tahun 1998, sehat, ditolong suami
II. Perempuan, tahun 2000, sehat, ditolong suami
III. Laki-laki, tahun 2005, sehat, ditolong suami
IV. Laki-laki, tahun 2008, sehat,ditolong suami
V. Laki-laki, tahun 2010, sehat, ditolong suami
VI. Kehamilan ini
i. Riwayat KB :
Suntik 3 bulan dari anak 1 ke 2, selanjutnya tidak pernah KB lagi karena
mengeluhkan badan terasa tidak fit karena memakai KB tersebut.
j. Riwayat Sosial Ekonomi :
Suami bekerja sebagai buruh bangunan dengan gaji tidak tetap, gaji terbesar ±
3jt/bulan dan sering kurang, ibu sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan sekian untuk
7 orang. Memiliki 1 kendaraan sepeda motor untuk keperluan pekerjaan suami. Jarak
4
rumah dengan rumah tetangga terdekat sekitar ± 500 meter. Tidak ada bidan ataupun
tenaga kesehatan lain disekitar rumah.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Sakit sedang
b. Kesadaran
Komposmentis
c. Tanda Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Frek. Nadi : 120 x/menit
Frek. Nafas : 27x/menit
Suhu : Afebris
TB : 158 cm
BBSH/BBH : 65/70 kg
IMT : 26,10 kg/m2
d. Status Generalis
Kepala
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Leher
JVP tidak meningkat
Thoraks
Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I - II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Status Obstetrikus
Genetalia : Status Obstetrikus
Ekstremitas : edema (-), reflek patela pada kedua tungkai+/+
e. Status Obstetrikus
Muka : kloasma gravidarum (+)
Mammae : hiperpigmentasi areola mammae, mammae membesar dan menegang,
papilla mammae menonjol.
5
Abdomen
Inspeksi :
Perut tampak membesar sesuai dengan usia kehamilan, striae gravidarum (+),
hiperpigmentasi linea mediana (+), skar (-).
Palpasi :
TFU 3 jari dibawah prosesus xypoideus, perut teraba tegang seluruh abdomen, sulit
diraba bagian janin
TFU : 39 cm, TBJ : tidak bisa dinilai
His : tidak dapat dinilai
Auskultasi : DJJ tidak dapat dinilai
Genetalia eksterna
Inspeksi /palpasi : V/U tenang, tampak perdarahan berwarna merah kehitaman
didepan vulva.
Genetalia interna
VT/bimanual palpasi : portio kenyal, efficement 25%, posterior, φ 1 cm, ketuban
(+), menonjol . kepala floating
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium (18/04/2015)
Hemoglobin : 6,3 g/dl
Hematokrit : 18,3 %
Leukosit : 17.200/μL
Trombosit : 31.000/Μl
MCV : 88,2 μm3
MCH : 29,9 pg/sel
MCHC : 33,9 g/d
PT : 20,8 sec
INR : 1,760
APTT : Memanjang > 113 sec
Fibrinogen : 0,413
Glu 89, Ur/Cr 31.7/0.84, SGOT/SGPT 56.5/21, Alb 2.7, BILT/BILD 4.54/0.74, IND
BIL 3.8, BUN 14.8
Na + 137.6 / K + 2.78 / Cl- 111.0
Proteinurin +3 stik/lab
6
DIAGNOSIS KERJA
G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec solusio
plasenta, PEB, HELLP Syndrome, Janin tunggal mati intrauterine.
RENCANA
Hemodinamik ibu stabil Observasi KU, Tanda vital
Terminasi kehamilan perabdominam SC Cito alasannya apa?
Atasi Anemia Transfusi 2 PRC, 2 WB, 10 TC, 5 FFP jangan disingkat
Tatalaksana PEB MgSO4 40% loading 4gr iv. Maintenance dose 2gr/jam. Kontrol
tekanan darah jika TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4 tab/20 menit s.d ↓ MAP 20%
syaratnya apa aja? Urin tidak di laporkan
dasar PEB nya tidak jelas
kasi MgSO4 kalau syok hipovolemik sudah di koreksi, ini penanganan syok nya
tidak di laporkan.
Tatalaksana HELLP Syndrome hari I : Inj. Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg
Rencana perawatan Back up ICU
Motivasi KB Tubektomi Pomeroy (SIO +)
Koreksi albumin mana?
Koreksi kalium mana?
FOLLOW UP
Tanggal 18/04/2015 jam 19.00 WIB (VK IGD)
S = Nyeri kepala bagian depan (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)
O = TD 110/80 mmHg N 116x/menit P 26x/menit Saturasi 99%
A = G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec solusio
plasenta, PEB, Hellp Syndrome, Janin tunggal mati intrauterin
P = Pasang infus RL drip MgSO4 40%, guyur 200 cc, selanjutnya 20 tpm.
Reaksi alergi tidak ada, injeksi ceftriakson 1 gr/iv, injeksi deksametason 2 amp/iv
Informed consent suami, persiapan transfusi darah, persiapan ruangan operasi
Dilakukan amniotomi, ketuban berwarna kemerahan
Tanggal 18/04/2015 jam 20.30 WIB (VK IGD)
S = Nyeri kepala bagian depan (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)
7
O = TD 100/70 mmHg N 118 x/menit P28x/menit Saturasi 100%
A= G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec soluio
plasenta, PEB, Hellp Syndrome, Janin tunggal mati intrauterine
P = injeksi lasix 1 amp/iv
Transfusi TC 3 kantong
Pasien ke OK IGD
Laporan Sectio Caesarea (18/04/2015 jam 22.00-23.50 WIB)
Pasien posisi telentang diatas meja operasi dalam anestesi umum
A dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya
Insisi mediana ±10 cm, dinding abdomen dibuka lapis demi lapis. Peritoneum dibuka,
tampak uterus gravidus.
Plika vesikouterina dibuka, kandung kemih disisihkan kebawah. SBR disayat tajam
berbentuk semilunar, dilebarkan tumpul
Dengan meluksir kepala, lahir mati bayi laki-laki, BB 2600 gr, PB 46 cm, AS 0/0,
maserasi grade II
Plasenta berimplantasi di corpus anterior, dengan tarikan ringan pada tali pusat,
dilahirkan plasenta kesan lengkap, tampak hematom retroplasenter ±75%. Dilakukan
eksplorasi uterus, didapatkan uterus couvalaire, kontaksi uterus tidaak baik
diberikan utero tonika tidak berespon atonia uteri. Diskusi dnegan konsulen onsite
diputuskan untuk dilakukan histerektomi
Ligamentum rotundum kanan dan kiri diidentifikasi, diklem, dipotong dan diikat.
Ligamentum latum kanan dan kiri ditembus dari belakang, pangkal tuba dan ligamentum
ovarii proprium diklem dipotong dan diikat. Ligamentum latum kanan dan kiri dibuka
tajam, digunting sedekat mungkin ke uterus sampai setinggi plika vesikouterina.
Identifikasi arteri uterina kanan dan kiri, diklem, digunting dan ligasi. Ligamentum
cardinale dan scarouterina kanan dan kiri diklem, digunting dan diikat.
Identifikasi SBR uterus dipotong setinggi SBR, dijahit dengan safil no. 1 secara
jelujur. Diyakini tidak ada perdarahan, alat dan kasa lengkap. Dinding abdomen dijahit
lapis demi lapis. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic no.0. fascia dijahit jelujur
dengan safil no. 1. subkutis dijahit interupted dengan chromic. Kulit dijahit subkutikuler
dengan safil 3/0
Peritoneum dijahit secara jelujur dengan benang catgut no 2.0. Otot dijahit secara satu-
satu dengan catgut chromic no.2.0. Fascia dijahit secara jelujur dengan benang vicryl no.
8
1. subkutis dijahit satu-satu dengan benang catgut chromic no. 2.0. Kulit dijahit secara
jelujur dengan benang vicryl no 3.0
Intra op masuk 2 PRC dan 1 WB
Instruksi Perawatan Post Operasi
Hemodinamik ibu stabil :
Obs. KU, TV, TFU, kontraksi, perdarahan, diuresis per 15 menit selama 1 jam pertama,
per 30 menit selama 1 jam kedua
Cek DPL post op transfusi sampai Hb ≥8 gr/dl
Cek SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Albumin, PT/APTT, Fibrinogen
Cegah infeksi : Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam iv
Atasi Anemia Transfusi 2 PRC, 2 WB, 10 TC, 5 FFP
Tatalaksana PEB MgSO4 40% maintenance dose 2gr/jam. Kontrol tekanan darah jika
TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4 tab/20 menit s.d ↓ MAP 20%
Tatalaksana Hellp Syndrome hari I : Inj. Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg
Atasi nyeri : Pronalges supp / 8 jam
Cek DPL 2 jam post op : Hb < 8 gr/dl, rencana transfusi
Realimentasi Dini : Menunggu bising usus (+)
Atasi Hipokalemia : KCl 50 mEq + RL 500cc/8 jam
Rawat ICU
Tanggal 19/04/2015 jam 00.15 WIB (ICU)
Jam Kesadaran Pupil Reflek GCS TD MAP Nadi00.1501.0002.0003.0004.0005.0006.00
CMCMCMCMCMCMCM
2/22/22/22/22/22/22/2
+/++/++/++/++/++/++/+
456456456456456456456
139/85146/80142/75130/70
130/63
939088
75
86857680
87
Balance cairan :
I = 1070 cc
O = 800 cc
9
IWL = 150 cc
B = +120 cc
Tanggal 19/04/2015 jam 07.30 WIB (ICU)
S= Nyeri luka operasi minimal, demam (-), perdarahan pervaginam tidak ada.
O= Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: composmentis
TD : 129/60 mmHg N : 78x/i S : 36,5°C P : 22x/i Sat O2 : 98%
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (+), gallop (+)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : tampak perban menutupi luka bekas operasi, rembesan (-), pus (-),
darah (-), drain terpasang baik : produksi (+) 250 cc.
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, fluor (-), fluxus (-)
Io&VT tidak dilakukan
Balance cairan/ 6 jam
I : cairan 300 cc + darah 2000 cc = 2300cc
O : urin 800 cc + darah 250 cc = 1050cc
B : +1250cc
D : 2,2cc/kgbb/jam
A= Perawatan luka operasi hari ke I pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
Hemodinamik ibu stabil:
a. Obs KU, TTV, perdarahan, berkemih, tanda akut abdomen, produksi urin.
b. Balance cairan seimbang : cegah overload cairan
c. Target MAP > 65%, saturasi O2>95%.
10
Atasi anemia : pasien sudah masuk 5 TC, 2WB, 2 PRC, 2FFD, cek DPL post
operasi
Kontrol TD nifedipin 3 x 10 mg bila tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.
Cegah kejang : MgSO4 40% 2 gram/jam
Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 10 mg hari ke I, dilanjutkan
inj.Dexamethason hari ke II
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2200 kkal, putih telur 8 buah/hari.
Pindahan pasien dari ICU (20/04/2015 jam 11.45 WIB)
S = nyeri luka operasi (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), nyeri kepala depan (-),
demam (-)
O = keadaan umum tampak sakit ringan
TD : 116/68 mmHg N : 63x/i T : 36,5°C P : 26x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang
Diuresis :1200cc/4jam = 5 cc/kgbb/jam
Post transfusi 2 PRC, 10 cryo, 5 TC
Io&VT tidak dilakukan
DPL (19/04/2015) : 6,6/19,35/18.600/420.100//82,42/28,12/34,12
PT/APTT : 20,8/>113, Alb 2,7
A= Perawatan luka operasi hari ke 1,5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
Hemodinamik ibu stabil:
11
a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.
b. Balance cairan seimbang
c. Target MAP > 65%, saturasi O2>95%.
Atasi anemia : post transfusi 10 cryoprecipitate, 10TC, 2 PRC, 5 FFP.
Cek DPL post transfusi, PT/APTT/SGOT?SGPT diruangan
Kontrol TD nifedipin 3 x 10 mg bila tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.
Cegah kejang : MgSO4 40% 2 gram/jam
Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason hari ke II 2 x 5 mg
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 8 buah/hari.
Pasien sudah dirawat diruangan (HCU) setelah observasi 1 hari pindah ke camar I
Tanggal 20/04/2015 jam 17.50 WIB ( HCU Camar II)
S = nyeri luka operasi (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), nyeri kepala depan (-),
demam (-)
O = keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran komposmentis
TD : 115/69 mmHg N : 69x/i T : 36,5°C P : 25x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Post transfusi 2 PRC, 10 cryo, 5 TC
A= Perawatan luka operasi hari ke 1,5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
12
Hemodinamik ibu stabil:
a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.
b. Balance cairan seimbang
Atasi anemia : transfusi 3 PRC target Hb>8
Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 5 mg
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.
Tanggal 21/04/2015 jam 07.00 WIB (HCU Camar II)
S = nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)
O = keadaan umum baik
Kesadaran komposmentis
TD : 164/71 mmHg N : 99x/i T : 36,3°C P : 20x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Post transfusi tambahan 2 PRC
DPL (20/04/2015) : 6,8/21/13.400/64.000
PT/APTT : 1,08/0,8
A= Perawatan luka operasi hari ke 2 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
Hemodinamik ibu stabil:
a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.
b. Balance cairan seimbang
Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi
Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 5 mg selama 2 hari (sudah selesai)
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari. 13
Rencana rawat di Camar I
Tanggal 21/04/2015 jam 12.30 WIB
Diskusi dengan konsulen camar I dr. Zulmaeta, SpOG (K)
Pasien dengan permasalahan diatas, di acc untuk dirawat di Camar I dengan hemodinamik
stabil.
S = nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)
O = keadaan umum baik
Kesadaran komposmentis
TD : 160/75 mmHg N : 95x/i T : 36,4°C P : 20x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Post transfusi PRC 7, WB 2, FFP 8, TC 10, cryo 10
Rencana transfusi tambahan PRC 1 kolf
A= Perawatan luka operasi hari ke 3 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
Hemodinamik ibu stabil:
a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.
b. Balance cairan seimbang
Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.
Ranitidin 2 x 1 tab
Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1
14
Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1
Tanggal 22/04/2015 jam 06.30 WIB
S = nyeri kepala (-), nyeri ulu hati (-)
O = keadaan umum baik
Kesadaran komposmentis
TD : 140/90 mmHg N : 85x/i T : 36,3°C P : 18x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Post transfusi PRC 7, WB 2, FFP 8, TC 10, cryo 10
Na/K/Cl (21/04/2015) : 135,5/3,08/104,6
A= Perawatan luka operasi hari ke 4 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :
Pemanjangan PT/APTT e.c DIC
Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC
Anemia e.c perdarahan
Hipoalbuminemia
PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)
P=
Hemodinamik ibu stabil:
a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.
b. Balance cairan seimbang
Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.
Ranitidin 2 x 1 tab
Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1
Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1
15
Tanggal 23/04/2015 jam 12.30 WIB
S = nyeri pada luka operasi (-)
O = keadaan umum baik
Kesadaran komposmentis
TD : 130/80 mmHg N : 84x/i T : 36,7°C P : 16x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
DPL (22/04/2015) : 12,53/37,43/17.810/120.000//85,02/28,45/33,46
Glu 54 Bil direct/Bil total 0,39/2,37 ure /cre 47/1,48 Ast/Alt 16/22 Alb 3,58
A= Perawatan luka operasi hari ke 5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c
covulaire uterus e.c solusio plasenta
P= Hemodinamik ibu stabil: Obs KU, TTV, tanda akut abdomen.
Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.
Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1
Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1
Hasil konsultasi dengan dr. Zulmaeta, SpOG (K) pasien Ny. Purwati binti Sardi usia 36 tahun
dengan perawatan luka operasi hari ke 5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia
uterus e.c covulaire uterus e.c solusio plasenta di advise untuk aff drain hari ini dan pulang
besok.
Tanggal 24/04/2015 jam 06.30 WIB
S = keluhan (-)
O = keadaan umum baik
Kesadaran komposmentis
TD : 130/80 mmHg N : 74x/i T : 36,7°C P : 18x/i
St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
16
abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,
rembesan darah (-).
ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.
St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)
DPL (22/04/2015) : 12,53/37,43/17.810/120.000//85,02/28,45/33,46
Glu 54 Bil direct/Bil total 0,39/2,37 ure /cre 47/1,48 Ast/Alt 16/22 Alb 3,58
A= P6A0H5 post caesarean subtotal histerektomi a/i uterus couvelaire e.c atonia uteri dengan
perawatan luka operasi hari ke 6
P= Hemodinamik ibu stabil: Obs KU, TTV
Diet TKTP, putih telur
Rencana pulang
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Syok Hipovolemik
3.1.1 Difinisi
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik). 8
3.1.2 Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi
sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal,
dan sistem neuroendokrin.9
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan
akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga
melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur
pada sumber pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen,
yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan
darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari
bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna. 9
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal. 9
18
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan
sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi
angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang
keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu
vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air. 9
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari
glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah
(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang
dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.10
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam
memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi
cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan,
perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan
segera terjadi.10
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ. 10
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk penalaksanaan metabolism di jantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan
cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan kesediaan oksigen
19
dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang
melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ
akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu. 11
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain. 11
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.10
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang
mati dalam usus. Hal ini memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki sel dan menyebabkan depresi jantung. 11
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.
Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
20
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang
bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi urin. 11
Penyebab utama syok hipovolemik adalah perdarahan akut > 20% volume
darah total.12
3.1.3 Klasifikasi dan diagnosis
21
Perdarahan akut
Syok hipovolemik
Curah jantung berkurang
Tekanan darah arteri berkurang
Perfusi jaringan terganggu
Anoreksia jaringan
Metabolisme sel berubah dari aerobik menjadi anaerobik
Terbentuk banyak asam laktat
Asidosis metabolik
Kerusakan jaringan otak, ginjal, dll (gagal organ multipel)
Henti jantung
KEMATIAN
Klasifikasi syok perdarahan adalah sebagai berikut13
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IVJumlah darah yang hilang (ml)
>750 750 – 1500 1500 – 2000 >2000
Persentasi kehilangan darah
>15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
Frekuensi nadi (kali/menit)
<100 100 - 120 120-140 >140
Tekanan darah Normal atau meningkat
Menurun Menurun Menurun
Frekuensi napas (kali/menit)
>20 20 - 30 30 - 40 >35
Urin (ml/jam) >30 20 - 30 5 - 15 DiabaikanStatus mental Sedikit cemas Setengah
cemasCemas, bingung
Bingung, letargi
Cairan pengganti
Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah
Kristaloid dan darah
3.1.4 Penatalaksanaan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok
hipovolemik antara lain:
1) Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah
2) Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
3) Resusitasi cairan. 5
Penanganan awal syok perdarahan:
1. Tindakan umum
Dilakukan sebelum atau selama pengiriman pasien ke tempat rujukan.
Memastikan tidak ada sumbatan jalan napas, tidak memberikan minuman dan
makanan ke dalam mulut pasien karena sewaktu waktu dapat muntah dan terjadi
aspirasi ke dalam paru-paru. Cegah hipotermi. Menaikkan kaki pasien untuk
membantu lairan darah balik ke jantung.
2. Pemberian Oksigen
Pastikan bahwa jalan napas bebas. Oksigen diberikan dalam kecepatan 6-8
liter/menit.22
3. Pemberian cairan intravena
Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9% atau Ringer
Lactat dengan menggunakan jarum infus nomor 16-18 agar cairan dapat
dimasukkan secara cepat. Sebelum menyambungan jarum tersebut dengan infus
set diambil contoh darah untuk memilih jenis darah yang aka ditransfusikan.
Cairan dapat diberikan sebanyak 0,5-1 liter dalam waktu 15-20 menit.
Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infus dipertahankan dalam
kecepatan 1 liter per 6-8 jam.
4. Pemberian transfusi darah
Kehilangan darah dengan kadar Hb < 10 g/dl perlu penggantian darah
dengan transfusi sesuai kebutuhan.1 Keputusan untuk memberikan darah harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Resiko yang serius berkaitan dengan transfusi
darah mencakup penyebaran mikro organisme infeksius (HIV, virus hepatitis);
masalah yang berkaitan dengan imunologik (hemolisis intravaskular)’ dan
kelebihan cairan dalam sirkulasi darah.
Produk darah yang lazim ditransfusikan dalam perdaraha obstetri:
Produk Volume per UnitKandungan per
UnitEfek
Darah lengkap (Whole Blood)
Sekitar 500 mL; Ht 40%
RBC, plasma, 600-700 mg fibrinogen, tanpa trombosit
Memulihkan volume darah dan fibrinogen, meningkatkan Ht 3-4% volume per unit
Packed Red Cells (PRC)
Sekitar 250 mL plus larutan penambah; Ht 55% - 80%
Hanya RBC, tanpa fibrinogen, tanpa trombosit
Meningkatkan Ht 3-4 % volum per unit
Fresh-Frozen plasma (FFP)
Sekitar 250 mL; diperlukan pencairan 30 menit sebelum digunakan
Koloid plus 600 – 700 mg fibrinogen, tanpa trombosit
Memulihkan volume sirkulasi dan fibrinogen. Sering digunakan pada koagulopati konsumtif atau dilusi.
Kriopresipitat
Sekitar 15 mL, beku
Sekitar 200 mg fibrinogen plus faktor pembekuan lain, tanpa platelet
Sekitar 3000 – 4000 mg yang diperlukan untuk memulihkan fibrinogen hingga >150 mg/dL
Trombosit Sekitar 50 mL, Satu unit mening- Biasanya ditransfusikan
23
disimpan pada suhu ruang
katkan hitung trombosit sekitar 5000/µL (aferesis donor-tunggal “6 pak” lebih dianjurkan)
6-10 unit.
Transfusi darah tidak selalu dapat dilakukan di puskesmas, oleh karena itu
darah tidak selalu mudah diperoleh. Biasanya darah yang disediakan ialah darah
lengkap yang baru diambil dari donor darah.
Pada keadaan berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi
dulu. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60
mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP. 1
Dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian cairan, kondisi pasien dinilai
apakah stabil. Tanda tanda bahwa kondisi pasien sudah stabil atau ada perbaikan
antara lain sebagai berikut:
TD mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg
Frekuensi nadi stabil
Kondisi mental pasien membaik
Produksi urin bertambah (diharapkan produksi urin paling sedikit 100
mL/4 jam atau 30 mL/jam)
Apabila langkah untuk menstabilkan pasien telah dilakukan dan berhasil,
penanganan terhadap penyebab syok harus dilakukan. Jika penyakit yang menjadi
dasar penyebab syok tidak dapat ditangani di tempat itu, pasien harus dirujuk ke
fasilitas yang lebih mampu menangani.
3.2 Solusio Plasenta
3.2.1 Difinisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya
yang normal pada uterus, sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada
kehamilan dengan masa gestasi di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500
gram.
24
3.2.2 Patofisiologi
Bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korealis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada
trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)
yang disebabkna oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desudua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil
akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapis
tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikan, pada tingkat
permulaan sekali dari proses teridiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta pada sekelilingnya yang berdekatan.
Dalam beberapa kejadian pembentukan hematoma retroplasenter
disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenter
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta
ke sirkulasi janin. Hematoma dapat semakin membesar ke arah pinggir plasenta
sehingga jika amniokhorion sampai terlepas, perdarahan akan keluar melalui
ostium uteri (perdarahan keluar), sebaliknya apabila amniokhorion tidak terlepas,
perdarahan tertampung dalam uterus (perdarahan tersembunyi).
Perdarahan keluar Perdarahan tersembunyi
Keadaan umum penderita relatif lebih baik
Keadaan penderita lebih jelek
Plasenta terlepas sebagian atau inkomplit
Plasenta terlepas luas, uterus keras/tegang
Jarang berhubungan dengan hipertensi Sering berkaitan dengan hipertensi
3.2.3 Diagnosis
25
Gambaran klinis penderita bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau
luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang
klasik:
Perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus)
Nyeri perut
Uterus tegang terus menerus mirip his partus prematurus.
a. Solusio plasenta ringan
Hanya 30% kasus yang memiliki sedikit gejala. Pada keadaan yang sangat
ringan tidak ada gejala kecuali hematom retroplasenter berukuran beberapa
sentimeter pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih
ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui
vagina.
b. Solusio plasenta sedang
Gejala dan tanda sudah jelas, rasa nyeri pada perut yang terus menerus,
perut tegang sehingga sukar melakukan palpasi, denyut jantung janin biasanya
sudah menunjukkan gawat janin, perdarah nyata keluar dari vagina, takikardi,
hipotensi, kulit dingin dan keringatan, oliguria, kadar fibrinogen mulai berkurang
antara 150 sampai 250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan
gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.
c. Solusio plasenta berat
Perut sangat nyeri dan tegang hingga defance musculaire sehingga palpasi
bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada
yang seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah didalam rahim. Pada
inspeksi perut tampak membulat dan kulit di atasnya kencang dan mengkilat. Pada
auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi. Terjadi syok hipovolemik.
Hipofibrinogenemia dan oliguria telah ada sebagai komplikasi pembekuan darah
intravaskular yang luas (disseminated intravacular coagulation), dengan
gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinogen darah kurang dari 150mg% dan telah
ada trombositopenia.
26
Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah
partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenter. Pemeriksaan USG
berguna untuk membedakan dengan plasenta previa, akan tetapi pada pemeriksaan
USG ini dapat memberikan hasil positif palsu karena solusio plasenta sulit
dibedakan dengan plasenta itu sendiri kecuali pada 48 jam perdarahan karena
pembekuan darah anak tampak lebih ekogenik dan menjadi hipogenik dalam
waktu 1 sampai 2 minggu.
Alfa-feto-protein serum ibu (MSAFP) dan hCG serum ibu ditengarai bisa
melewati plasenta dalam keadaan dimana terdapat gangguan fisiologik dan
keutuhan anatomik dari plasenta. Kadar MSAFP yang tinggi tanpa sebab lain
(seperti kehamilan dengan kelainan kromosom, neural tube defect, hipertensi
karena kehamilan, plasenta previa, ancaman persalinan prematur dan hambatan
pertumbuhan janin) dapat dicurigai solusio plasenta.
3.2.4 Penatalaksanaan
27
Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih persalinan
pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi
darah yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki persalinan
dilakukan perabdominam. Hemostasis pada tempat implantasi plasenta
bergantung sekali kepada kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya pada
persalinan pervaginam perlu diupayakan stimulasi miometrium secara
farmakologik atau masase agar kontraksi miometrium diperkuat dan mencegah
perdarahan yang hebat pasca persalinan sekalipun pada keadaan masih ada
gangguan koagulasi. Harus diingat bahwa koagulopati berat merupakan faktor
resiko tinggi bagi bedah sesar berhubung kecenderungan perdarahan yang
berlangsung terus pada tempat insisi baik pada abdomen maupun pada uterus.
3.3 Preeklampsia Berat
3.3.1 Difinisi
Preeklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan yamg ditandai onset baru
hipertensi dan proteinuria atau tidak terdapatnya proteinuria tetapi ditandai dengan
tanda thrombositopenia, insufisiensi renal, gangguan fungsi ginjal, udema
pulmonal yang timbul setelah umur kehamilan 20 minggu disertai dengan
proteinuria.
3.3.2 Patofisiologi
Banyak teori yang menjelaskan tentang terjadinya preeklamsia-eklamsia
tetapi semua teori itu harus dapat menjelaskan bahwa preeklamsia jauh lebih besar
kemungkinannya timbul pada wanita yang :1
1. Terpajan vili korion untuk pertama kali
2. Terpajan vili korion dalam jumlah sangat besar seperti pada kehamilan
kembar atau mola hidatidosa
3. Sudah mengidap penyakit vaskular
4. Secara genetik rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil
Etiologi dari preeklamsia masih belum diketahui secara jelas.
Penyebabnya meliputi faktor dari maternal, plasenta dan fetal.4
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebuh
28
menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang
arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan
memberi cabang arteri spiralis.2
Pada hamil normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria
spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis. Dilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak penurunan
tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan
baik. Proses ini dinamakan ”Remodelling arteri spiralis”.2
Pada hipertensi pada kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya sehingga terjadi
kegagalan dari ”Remodelling arteri spiralis” yang menyebabkan arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.2
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan/radikal bebas. Oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh
tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Kerusakan
membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”
yang menyebabkan :2
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunya produksi prostasiklin
(PGE2): suatu vasodilator kuat.
b. Agregasi sel-sel trombosit menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang
mengalami kerusakan sehingga terjadi vasokontriksi dengan terjadinya
kenaikan tekanan darah.
c. Peningkatan permeabilitas kapilar.
d. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
29
3.3.3 Diagnosis
Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah sistolik mencapai ≥ 140 dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dalam 2 selang waktu yang
berbeda ≥ 4 jam tetapi tidak lebih dari 7 hari.1,2,4
30
Dikatakan severe preeklamsia apabila ditemukan satu atau lebih tanda-
tanda berikut :1,3,4
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg yang
didapatkan dari 2 kali hasil pengukuran dalam rentang waktu minimal
4 jam.
b. Thrombositopenia (Platelet < 100.000 /μL)c. Gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan naiknya enzim 2 kali
normal, nyeri yang hebat pada kuadran kanan atas atau nyeri pada
epigastrium yang tidak respon pada pengobatan.
d. Insufisiensi pada renal yang ditandai dengan creatinin > 1,1 mg/dL.\
e. Edema pulmonal
f. Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya.
3.3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada severe preeklampsia :4
- Wanita dengan preeklamsia berat dengan usia kehamilan 34 minggu atau di
atas 34 minggu, dan pada mereka dengan kondisi ibu atau janin tidak stabil
terlepas dari usia kehamilan, harus dilakukan terminasi. (ACOG 2013)
- Persalinan per vaginam harus dicoba kecuali dinyatakan adanya
kontraindikasi. Diagnosis preeklamsia bukan merupakan indikasi untuk
operasi caesar. Bahkan dengan serviks yang belum matang, lebih dari 60%
dari wanita dengan berat pre-eklampsia dapat mencapai kehamilan
pervaginam.
- Wanita dengan preeklamsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34
minggu dengan kondisi ibu dan janin stabil harus dirujuk ke perawatan tersier
yang mampu merawat bayi dan untuk konsultasi ke bagian Fetal Maternal.
(ACOG 2013)
- MgSO4 untuk profilaksis kejang
- Hindari pemberian cairan secara intravena yang berlebihan untuk mencegah
udema pulmonal (maksimal 150 cc/jam)
- Terapi hipertensi direkomendasikan pada pasien dengan tekanan sistolik >
160-165 mmHg dengan target terapi < 155 mmHg dan tekanan diastolik >
105-110 mmHg dengan target terapi < 100-105 mmHg.
31
- < 34 minggu : pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru. Bahkan jika
ada indikasi untuk dilakukan induksi persalinan karena status ibu atau janin,
kortikosteroid harus diberikan karena pentingnya manfaat kortikosteroid
terhadap neonatal dalam 12 jam pertama setelah dosis awal. Pada wanita
dengan hipertensi berat, dan status ibu dan janin stabil, pertimbangan dapat
diberikan untuk menunda inisiasi induksi atau pengiriman sampai 24-48 jam
setelah mulai kortikosteroid.
Cara pemberian magnesium sulfat :2
- Loading dose: initial dose
4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10cc) selama 15 menit
- Maintenance dose :
Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5
gram i.m. Selanjutnya maitenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4-6 jam.
Pemberian antihipertensi2
- Antihipertensi lini pertama
Nifedipin dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam.
- Antihipertensi lini kedua
Diazokside : 30-60 mg i.v/5 menit; atau i.v infus 10 mg/menit/ditritasi.
- Antihipertensi sedang dalam penelitian
Isradipin, nimodipin, ketan serin
3.4 HELLP Syndrom
3.4.1 Difinisi
Sindrom hellp adalah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya
hemolisis,peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
Kematian ibu bersalin pada Sindrom HELLP cukup tinggi yaitu 24 %. Penyebab
kematian dapat berupa kegagalan kardiopulmoner, gangguan pembekuan darah,
perdarahan otak, ruptur hepar, dan kegagalan organ multiple. Demian juga
kematian perinatal Sindrom HELLP cukup tinggi, terutama disebabkan oleh
persalinan preterm.
32
3.4.2 Patofisiologi
Penyebab sindrom HELLP secara pasti belum diketahui, sindrom
menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi platelet
intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan A dan
serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet,
serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan
terminasi kehamilan.
Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh
darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di
sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar
akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan
terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya
mempengaruhi organ lainnya.
Ada beberapa kondisi yang diduga sebagai penyebab terjadinya eklampsia
dan pre eklampsia. Salah satunya adalah adanya peningkatan sintesis bahan
vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator
yang menurun (prostasiklin), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel
yang luas. Manifestasinya adalah vasospasme arteriol, retensi Na dan air, serta
perubahan koagulasi.Penyebab lain eklampsia diduga terjadi akibat iskemia
plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah dengan
pencegahan keracunan, perubahan sistem imun, dan perubahan genetik.
Berkurangnya resistensi vaskuler serebral, ditambah dengan adanya
kerusakan endotel, menyebabkan terjadinya edema serebri. Meskipun dikatakan
bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklampsia tidak akan menyebabkan
kerusakan otak yang menetap, tetapi perdarahan intrakranial dapat terjadi.
3.4.3 Diagnosis
Didahului tanda dan gejala tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual
dan muntah ( semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus )
Adanya tanda dan gejala preeklamsia
Tanda-tanda hemolisis intravascular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan
kenaikan bilirubin indirek.
Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH
33
Trombositopenia (trombosit < 150.000/ml)
Berdasarkan trombosis darah, Sindrom HELLP diklasifikasikan dengan
nama “klasifikasi Mississipi”
Kelas 1 : Kadar trombosit : <50.000/ml
LDH > 600 IU/L
AST dan/atau ALT > 40 IU/L
Kelas 2 : Kadar trombosit : >50.000<10.000/ml
LDH > 600 IU/L
AST dan/atau ALT > 40 IU/L
Kelas 3 : Kadar trombosit : >100.000< 150.000/ml
LDH > 600 IU/L
AST dan/atau ALT > 40 IU/L
Klasifikasi tenesse
3.4.4 Penatalaksanaan
a. Terapi secara medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa preeklamsia-eklamsia dengan melakukan
monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila kadar trombosit : <50.000/ml atau
adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin,
tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pemberian dexametason rescue, pada
antepartum diberikan dalam bentuk double strenghy dexamethasone ( double
dose).
Jika didapatkan klasifikasi kelas 2 dan 3 sindrom help disertai tanda-tanda,
eklamsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan dexamethasone 10
mg i.v. /12 jam. Pada pospartum deksametason diberikan 10 mg i.v. /12 jam 2
kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametasone
dihentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml
dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala klinik preeklamsia-
eklamsia. Dapat dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit, bila kadar
trombosit <50.000/ml.
34
b. Sikap pengelolaan obstetrik
Sikap pengelolaan obstetrik pada Sindrom HELLP ialah aktif, yaitu
kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan
dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.
35
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Antenatal Care dan sistem rujukan
Terjadinya gangguan yang serius terhadap kehamilan ataupun keselamatan
ibu hamil adalah akibat tidak disiplin dalam melakukan ANC. Faktor yang
menyebabkan seorang ibu hamil melakukan ANC ada tiga faktor: (1) faktor
predisposisi (predisposing factor) diantaranya : pengetahuan, sikap, kepercayaan,
tradisi, keyakinan, nilai dan motivasi; (2) faktor pendukung (enabling factor)
adalah ketersediaan fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan; (3) faktor
pendorong (reinforcing factor) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan,
informasi kesehatan baik literature, media, atau kader (Natoatmodjo, 2003). Pada
kasus ini pasien hanya melakukan ANC satu kali saat usia kehamilan 6 bulan,
Seharusnya dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan. Alasan ibu hanya
melakukan ANC satu kali adalah karena pada ANC tersebut dikatakan oleh dokter
kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat, pasien merasa sehat sehat saja, tidak
mengeluhkan apapun selama kehamilan tersebut, pada 5 kali kehamilan
sebelumnya pasien juga mengaku tidak ada keluhan yang berarti dan dapat
melahirkan dengan normal dan anak semua dalam kondisi sehat. Jika dianalisa
pada kasus ini ada beberapa faktor yang tidak terpenuhi sehingga ibu tidak mau
melakukan ANC seperti tingkat pendidikan ibu, sesuai dengan beberapa penelitian
yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin baik tingkat
pengetahuan tentang ANC dan keinganan untuk melakukan kunjungan begitupula
sebaliknya. 19-21 Letak rumah sangat jauh dari fasilitas kesehatan atau tenaga
medis, kurang lebih 1 jam untuk sampai, hal ini juga faktor kendala pada
kunjungan ANC.
Pada kasus kehamilan dengan penyulit harus dilakukan perujukan yang
cepat dan tepat. Sistem rujukan pada kasus obstetri dapat menentukan efektifitas
penatalakasanaannya, sistem rujuk yang tidak baik akan meningkatkan angka
kematian ibu maupun bayi. Pada tahun 1992 Unicef melaporkan prakiraan lama
waktu sejak terjadi komplikasi dalam persalinan sampai ibu meninggal jika tidak
ditangani.18 Pada kasus ini pasien tiba di RSU Bangkinang 4 jam dari awal
36
perdarahan karena masalah transportasi tanpa terlebih dahulu ke puskesmas
terdekat. Menurut keterangan surat rujukan dari RSU Bangkinang, pasien tiba
disana sudah dalam keadaan syok hipovolemik tetapi tidak ada keterangan
termasuk pada kelas yang mana, ditatalaksana dengan pemberian oksigen, 2 IV
line dengan cairan 1000cc Ringer Lactat lalu pasien dirujuk ke RSUD AA karena
suspek solusio plasenta dengan PEB-HELLP Syndrom dengan menggunakan
mobil Ambulance, cairan dan oksigen tetap diberikan. Saat tiba di RSUD AA
pasien masih dalam keadaan syok hipovolemik.
Kebijakan yang ada pada saat ini difokuskan kepada penanganan ibu hamil
dengan komplikasi dan pencegahan terhadap Tiga Terlambat yakni terlambat
menangani keputusan, transportasi pengiriman ke Pusat Rujukan, dan penanganan
yang adekuat di RS Rujukan. Rujukan terlambat adalah kondisi ibu dan janin
dalam rahim sudah tidak dalam keadaan optomal bahkan sudah dalam keadaan
gawat atau gawat darurat, jarak waktu antara rumah dan rumah sakit rujukan
primer sangat panjang, dan pertolongan yang dibutuhkan tidak segera diberikan di
rumah sakit rujukan. Pada kasus ini pasien datang dengan keadaan sudah syok
hipovolemik kelas II dan DJJ tidak dapat dinilai lagi, jarak waktu antara RS
bangkinang ke RSUD AA pekanbaru sekitar 2 jam sehingga kasus ini disebut
rujukan terlambat. Rujukan terlambat terjadi karena adanya tiga kendala pokok
yaitu (1) perangkap geografis, dimana pulau atau desa-desa terpencil yang jauh
dari fasilitas kesehatan dan akses rujukan, sesuai pada kasus ini dimana jarak antar
rumah ke faskes dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke faskes terdekat;
(2) perangkap sosial budaya, terjadi di dalam masyarakat di mana prevalensi
persalinan rumah masih tinggi, kepercayaan tradisional kepada dukun masih
besar, dan pemanfaatan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah,
sesuai pada kasus ini yakni riwayat persalinan di rumah pada 5 anak sebelumnya;
(3) perangkap sosial ekonomi, terjadi pada msyarakat atau keluarga miskin/Gakin,
sesuai pada kasus ini dimana pemasukan pada keluarga hanya < 3 juta/bulan
untuk menanggung 7 orang dalam keluarga tersebut.
37
4.2 Syok Hipovolemik
Diagnosis masuk pada pasien ini adalah G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu,
belum inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect
solusio plasenta, janin tunggal mati intrauterin. Penegakan diagnosis syok
hipovolemik pada pasien ini didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dari anamnesis, pasien datang dengan
keluar darah dari jalan lahir ± 10 kali ganti pembalut, darah berwarna merah
kehitaman. Perdarahan terjadi sudah 3 jam di rumah sebelum akhirnya dibawa ke
Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Setelah
dilakukan pemeriksaan dikatakan perdarahan akibat curiga lepasnya perlengketan
plasenta dengan rahim, kemudian pasien mengaku dipasang infus dan diberi
oksigen. Pasien dirujuk ke RSUD AA dengan lama perjalanan 2 jam.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah pasien 90/60 mmHg,
Nadi 120 x/menit, frekuensi nafas 27x/menit. Dari status generalis didapatkan
konjungtiva anemis +/+, dan dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 6,3 g/dl.
Penyebab utama syok hipovolemik adalah perdarahan akut > 20% volume darah
total.12 Pada saat terjadi perdarahan akut, pada sistem kardiovaskuler pada
awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut
jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah
perifer. Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Tanda-tanda klinis yang terjadi adalah takikardi,
takipnea, dan tekanan darah menurun. Pada pasien ini termasuk kategori syok
hipovolemik kelas II. 13
4.3 PEB
Diagnosis PEB dapat ditegakkan apabila tekanan darah sistolik mencapai
≥ 140 dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dalam 2 selang waktu
yang berbeda ≥ 4 jam disertai dengan proteinuria.1,2,4 Pasien ini merupakan
rujukan dari RSU Bangkinang dengan G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu, belum
inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect
solusio plasenta, janin tunggal mati intrauterine. Tidak ada riwayat hipertensi pada
38
pasien ini sebelumnya. Tekanan darah pada saat pasien masuk adalah 90/60
mmHg dan didapatkan proteinuria +3. Pada saat masuk tidak didapatkan tekanan
darah sistolik mencapai ≥ 140 dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg tetapi
didapatkan proteinuria +3. Pasien ini didiagnosis dengan PEB karena pasien ini
dengan rujukan PEB dari RSU Bangkinang dan didapatkan proteinuria +3.
Tekanan darah pada pasien ini 90/60 mmHg karena terjadinya perdarahan akibat
solusio plasenta sehingga tidak didapatkan tekanan darah sistolik mencapai ≥ 140
dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pasien ini. Dari anamnesis tidak
didapatkan gejala impending eklampsia pada pasein ini seperti nyeri pada ulu hati,
padangan kabur, dan nyeri kepala yang hebat pada bagian depan tetapi didapatkan
tanda-tanda impending eklampsia seperti trombositopenia, peningkatan enzim
hati, peningkatan bilirubin, PT dan APTT memanjang, INR > 1.2, fibrinogen
0.413. Berdasarkan criteria mississipi didiagnosis dengan HELLP sindrom kelas
1.
Masalah PEB + HELLP Sindrom pada pasien ini kemudian ditatalaksana
dengan tatalaksana PEB MgSO4 40% loading 4gr iv. Maintenance dose
2gr/jam. Kontrol tekanan darah jika TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4
tab/20 menit s.d ↓ MAP 20% dan tatalaksana HELLP Syndrome hari I : Inj.
Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg. Pasien kemudian direncanakan
terminasi perabdominal cito.
4.4 HELLP SYNDROM
Berdasarkan teori pada pasien ini, pasien masuk dalam keadaan
preeklamsia berat ditabah dengan keluhan nyeri ulu hati ditambah hasil
laboratorium didapatkan : Trombosit : 31.000 /ml, LDH : -, AST : 56,2 IU/L dan
ALT : 21 IU/L, maka pasien di tegakakn diagnosa Hellp Sindrom, sesuai
klasifikasi Mississipi kelas 1.
Secara teori terapi Hellp sindrom adalah Mengikuti terapi medikamentosa
preeklamsia-eklamsia dengan melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam.
Bila kadar trombosit : <50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka
harus diperiksa waktu protrombin, tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pada
pasien ini mendapatkan : deksametasone 2 x 10 mg i.v. /12 jam pada hari 1 dan
39
deksametasone 2 x 5 mg i.v. /12 jam pada hari II. Penatalaksanaan pada kasus ini
sesuai dengan teori, Pemberian dexametason rescue telah dilakukan pada
antepartum, dalam bentuk double strenghy dexamethasone ( double dose).
Pada pasien ini hasil follow up hari ke 4 didapatkan kadar Trombosit
104.600 dan terapi dexametaon dihentikan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
Terapi deksametasone dihentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu
trombosit > 100.000/ml.
Karena pada pasien ini hasil labor trombositnya didapatkan 31.000 maka
dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit. Pada pasien ini telah mendpatkan
tranfusi 10 kantong trombosit konsentrat, Pasien juga mendpatkan terapi tranfusi
Kriopresipitat, TC, FFP, PRC. Hal ini sesui dengan teori bahwa jika di didapatkan
kadar trombosit <50.000/ml.dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit.
4.5 Solusio Plasenta
Pada pasien ini juga terjadi solusio plasenta. Solusio plasenta adalah
terlepasnya sebagian atau keseluruhan dari inplantasi normalnya setelah
kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir. Tanda dan gejala pasien ini
didiagnosis dengan solusio plasenta berat karena ditemukan perut yang tegang,
diffence muscular, nyeri tekan, adanya riwayat perdarahan dalam jumlah banyak
hingga ganti pembalut 10 X secara pervaginam yang berwarna kehitaman. Dari
konjungtiva mata pasien tampak anemis, sehingga kecurigaan akibat kehilangan
darah pada pasien. Pasien juga mengaku tidak terdapat gerakan janin dalam
kandungannya dan dari pemeriksaan DJJ hasilnya negatif. Hal tersebut merupakan
salah satu petanda telah terjadinya solusio plasenta berat. Pada saat plasenta lahir
ditemukan adanya hematoma retroplasenta ±> 75% pada plasenta janin.
Hematoma ini merupakan koagulum di belakang plasenta yang menjadi petanda
khas solusio plasenta dan dalam katagori berat karena >75% luas hematoma pada
plasenta. Penyebab solusio plasenta secara pasti belum jelas, namun salah satu
penyebabnya dapat disebabkan karena adanya riwayat PEB yang dialami pada
pasien. Hal ini berdasarkan diagnosa rujukan RSUD di Bangkinang. Dari
anamnesis tidak ada diketahui adanya riwayat tekanan darah tinggi karena pasien
melakukan pemeriksaan ANC tidak rutin sehingga riwayat kesehatan kehamilan
40
tidak diketahui jelas dan ketika dilakukan pemeriksaan spiromanometri, tekanan
darah pasien yaitu 90/60 dengan pemeriksaan protein urin yaitu 3+. Tekanan
darah yang rendah dapat disebabkan karena telah terjadi perdarahan yang banyak
dan telah tejadi syok pada pasien ini.
Penanganan solusio plasenta dengan kematian janin dapat dilakukan
dengan pilihan terminasi berupa pervaginam. Namun pada pasien ini dilakukan
terminasi perabdominal dengan pertimbangan berupa perdarahan yang terus
menerus dan dikhawatirkan tidak mampu diatasi dengan tranfusi darah yang
banyak. Koagulopati pada pasien juga merupakan pertimbangan dilakukan
terminasi secara abdominal.
4.6 Tatalaksana di IGD
4.6.1 Informed Consent
Informed Consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atau
keluarga pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong pasien disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi. Persetujuan tindakan medik yang dikaitkan dengan persetujuan
atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif, lebih dikenal sebagai
Surat Izin Operasi Universitas Sumatera Utara (SIO), surat perjanjian dan lain–
lain.
Pada kasus ini sudah dilakukan informed consent kepada suami pasien
dengan memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien, tindakan apa yang akan dilakukan mencakup tujuan, resiko,
manfaat dari tindakan yang akan dilaksanakan dan sudah menandatangani surat
izin dilakukannya tindakan tersebut.
4.6.3 Transfusi
Transfusi darah atau komponen darah darah ditujukan untuk menjaga
kadar fibrinogen diatas 1 g/L, menjaga Prothrombin Time (PT) dan Aktivated
Partial Thromboplastin Time (APTT) kurang dari 1,5 kali nilai kontrol, serta
menghentikan perdarahan aktif yang persisten dan berlanjut. Pada kasus ini pasien
41
mengalami anemia dan trombositopenia dengan kadar hemoglobin 6,3 g/dl dan
trombosit 31.000/Μl. Kemudian pasien mendapatkan transfusi Thrombocyte
Concentrate (TC) 3 kantong.
Thrombocyte Concentrate (TC) biasanya diberikan pada kelainan
trombosit baik pada kualitas maupun kuantitasnya dan dilakukan pada keadaan
dimana jumlah trombosit sekitar 20 000 - 50 000/ mm3 dan pemberian dilakukan
sesuai dengan golongan darah ABO. Indikasi utama transfusi TC adalah
trombositopeni, kemoterapi, keganasan, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), perdarahan massif.
4.6.3 Kadar trombosit yang boleh di SC
Jumlah trombosit normal dalam darah berkisar antara 150.000- 400.000
µm. Pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar
trombosit 31.000 µm. Untuk homeostasis pembedahan nilai trombosit antara
50.000 mm/3 sampai 100.000 mm/3 masih adekuat selama fungsi trombosit baik.
Kelainan pada trombosit sering di temukan saat persiapan pre operasi
berupa disfungsi trombosit atau jumlah trombosit rendah (trombositopenia). Nilai
trombosit di bawah atau sama 50.000/mm3 tidak meningkatkan kejadian
perdarahan saat operasi jika fungsi dari trombosit normal; tetapi trombosit yang
normal dengan disfungsi trombosit dapat meningkatkan kejadian perdarahan saat
operasi. Oleh karena itu persiapan perioperatif harus benar benar mengetahui
apakah terdapat kelainan pada thrombosit dan segera di atasi untuk menghindari
perdarahan saat operasi
4.7 Hipoalbuminemia
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil penurunan pada albumin.
Hal ini dianggap sebagai komplikasi yang didapat pasien. Kemungkinan terbesar
adanya hipoalbumin pada kasus ini adalah akibat syok, dimana syok dapat
menyebabkan gagal ginjal akut serta terdapat kebocoran kapiler sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia.
42