Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ULETIN TANAMAN TEMBAKAU, SERAT & MINYAK INDUSTRI merupakan jurnal ilmiah nasio-nal yang dikelola oleh Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan untuk menerbitkan hasil penelitian dan pengembangan, serta
tinjauan (review) tanaman pemanis, serat buah, serat batang/daun, tembakau, dan minyak industri, dengan bidang ilmu pemuliaan tanaman, plasma nutfah, perbenihan, ekofisiologi tanaman, entomologi, fitopatologi, teknologi pengolahan hasil, mekanisasi, dan sosial ekonomi. Buletin ini membuka kesempatan kepada para peneliti, pengajar perguruan tinggi, dan praktisi untuk mempublikasikan hasil penelitian dan reviewnya. Makalah harus dipersiapkan dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan penulisan yang disajikan pada setiap nomor penerbitan atau dapat diunduh di http://balittas.litbang.pertanian.go.id. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri diterbitkan dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober, satu volume terdiri atas 2 nomor.
Dewan Penyunting
Ketua Prof. Ir. Nurindah, Ph.D. (Entomologi)
Anggota Ir. Bambang Heliyanto, M.Sc., Ph.D. (Pemuliaan) Ir. Titiek Yulianti, M.Ag.Sc., Ph.D. (Fitopatologi)
Ir. Emy Sulistyowati, M.Ag., Ph.D. (Mikro Biologi Tanaman) Dr. Ir. Budi Hariyono, MP. (Agronomi)
Dr. Ir. Herman Subagio, MS (Sosial Ekonomi)
Penyunting Pelaksana Dra. Esti Sunaryuni; Kristiana Sri Wijayanti, SP.MP; Suminar Diyah Nugraheni, STP; Sadta Yoga, SE.
Grafis
Syaiful Bahri
Sekretariat Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat
Jln. Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199, Malang 65152 Telepon: 0341-491447; Fax. 0341-485121
E-mail: [email protected] Website: www.balittas.litbang.pertanian.go.id
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas
Untuk keperluan tukar-menukar dan sebagainya, surat-menyurat ditujukan kepada sekretariat.
Foto sampul depan oleh Syaiful Bahri (Pertanaman Tebu pada Penelitian Pengendalian Hara untuk Tanaman Tebu Rc.1 di KP Muktiharjo 2018)terangan foto/gambar cover depan: Komoditas Balittas
B
ISSN 2085-6717 e-ISSN 2406-8853
Volume 10, Nomor 1, April 2018 Terakreditasi No. 700/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Buletin
TANAMAN TEMBAKAU,
SERAT & MINYAK INDUSTRI
BALAI PENELITIAN TANAMAN PEMANIS DAN SERAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
MITRA BESTARI
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Ir. Emy Sulistyowati, MAg,PhD.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Balitbangtan
Jln. Raya Karangploso km. 4, Kotak Pos 199
Malang 65152, Indonesia
2. Dr. Ir. Ratna Komala Dewi, M.P
Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali. 80361, Indonesia
3. Ir. Hari Purnomo, M.Si., Ph.D., DIC
Universitas Negeri Jember
Jln. Kalimantan no 37, Kampus Tegalboto
Jember 68121, Indonesia
4. Prof. Dr. Deciyanto Soetopo, MS.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Balitbangtan
Jln. Tentara Pelajar no. 1
Bogor 16111, Indonesia
5. Dr. Araz Meilin, SP., MSi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jln. Samarinda Paal V,
Kotabaru 36128 Jambi, Indonesia
6. Dr. Ir. Budi Hariyono, MP.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Balitbangtan
Jln. Raya Karangploso km. 4, Kotak Pos 199
Malang 65152, Indonesia
Sebagai mitra bestari yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat di Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Volume 10, Nomor 1, April 2018
ISSN: 2085-6717 e-ISSN: 2406-8853
BULETIN TANAMAN TEMBAKAU, SERAT & MINYAK INDUSTRI
Volume 10, Nomor 1, April 2018
DAFTAR ISI
Skrining Klon Tebu Potensial Rendemen Tinggi Terhadap Salinitas Tantri Dyah Ayu Anggraeni dan Bambang Heliyanto . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1−12
Analisis Potensi Tebu dalam Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
Duwi Yunitasari, Endah Kurnia Lestari, dan Nanik Istiyani . . . . . . . . . .. . . . . . 13−20
Pengaruh Penambahan Biomasa di Lahan Kering terhadap Diversitas Arthropoda Tanah dan Produktivitas Tebu
Sujak Sujak, Dwi Adi Sunarto, dan Subiyakto Subiyakto . . . . . . . . . . . . . . . . 21−31
Uji Daya Hasil Genotipe Tebu Potensial di Lahan Kering
Abdurrakhman Abdurrakhman, Bambang Heliyanto, Djumali Djumali, Damanhuri Damanhuri, dan Noer Rahmi Ardiarini . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .
32–38
Strategi Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Nurindah dan Titiek Yulianti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39−53
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
1
Skrining Klon-Klon Tebu Potensial Rendemen Tinggi Terhadap Salinitas
Tantri Dyah Ayu Anggraeni dan Bambang Heliyanto
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso, Kotak Pos 199, Malang
E-mail: [email protected] Diterima: 23 Januari 2018; direvisi: 13 Febrauari 2018; disetujui: 28 Februari 2018
ABSTRAK
Pengembangan tebu saat ini terdorong ke lahan-lahan marjinal, salah satunya lahan dengan cekaman
salinitas. Penanaman tebu pada lahan salinitas dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan kehilangan hasil sampai 37%. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining klon-klonklon tebu
rendemen tinggi terhadap cekaman garam (salinitas). Penelitian menguji 58 klon tebu rendemen tinggi hasil
seleksi dari persilangan seri D tahun 2004-2006 beserta empat varietas pembanding terhadap perlakuan cekaman salinitas dengan 3 konsentrasi NaCl, 1) kontrol/ EC ± 0,1 dS/m), 2) EC ± 2 dS/m dan 3) EC > 4
dS/m). Penelitian disusun dalam rancangan kelompok lengkap faktorial dengan faktor pertama klon tebudan faktor kedua perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi. Hasil analisis varian menunjukkan adanya
perbedaan respon klon tebu pada semua parameter pertumbuhan yang diamati terhadap salinitas pada
cekaman dengan nilai EC diatas 4 dS/m). Dibandingkan kontrol, rata-rata panjang akar dari semua klon mengalami penurunan sebesar 3,41 %, rata-rata berat kering akar menurun sebesar 8,05 % dan tajuk
mengalami penurunan sebesar 9,46%. Sedangkan pertumbuhan diameter batang serta berat kering tajuk tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berdasarkan kajian indeks toleransi akar dan tajuk terhadap
salinitas secara bersama-sama, terdapat delapan klon yang tergolong toleran, yaitu PS.06.195, PS.04.259,
PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334, dan PS.04.162. Klon-klon ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran salinitas atau sebagai sumber introgresi gen toleran
salinitas untuk varietas varietas unggul yang berproduksi dan rendemen tinggi.
Kata kunci: klon tebu, salinitas, skrining, toleran
Screening of Potential Sugarcane Clones with High Sugar Content to Salinity
ABSTRACT Sugarcane development is currently being pushed to marginal areas, one of it is soil with salinity stress. Salinity stress could limit sugarcane growth and cause yield loss until 37 %. This study aimed to screen
sugarcane clone clones subjected to salinity stress. The research evaluated fiftyeight sugarcane clones with high yield, derived from series D hybridization, along with four control varieties to salinity stress with 3 NaCl
concentrations: 1) control / EC ± 0,1 dS/m, 2) EC ± 2 dS/m and 3) EC > 4 dS/m. The research was
arranged ion Factorial Completely Randomize Design with Two factors. The first factor were sugarcane clones and the second factor were NaCl concentrations. Analysis of variance resulted in difference responses
of sugarcane clones on all growth parameters observed in EC > 4 dS/m. Comparison As compared to with control/EC ± 0,1 dS/m, average of root length average derived from all tested clones significantly decreased
by 3,4 %, root dry weight decreased by 8,05 %, and shoot length decreased by 9,46 %. Whereas stem diameter and shoot dry weight did not has show significant changes. Based on tolerance index of root and
shoot parameters, eight clones had been determined as salinity tolerance to salinity, i.e. PS.06.195,
PS.04.259, PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334 and PS.04.162. These clones
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:1−12 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.1-9
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
2
could be tested, and then proposed as sugarcane clones that tolerant to salinity or become genetic resources for introgression salinity tolerance genes to high yielding variety.
Keywords: sugarcane clones, salinity, screening, tolerance
PENDAHULUAN
ebu merupakan salah satu komoditas
strategis nasional karena menjadi
bahan baku industri gula. Kebutuhan
gula dalam negeri diperkirakan akan semakin
meningkat sejalan dengan bertambahnya
penduduk. Produksi tebu pada tahun 2015
mencapai 2,53 juta ton, mengalami
penurunan 1,57% dari tahun sebelumnya.
Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan
gula dalam negeri, oleh karena itu pemerintah
mengimpor gula dari berbagai Negara (Badan
Pusat Statistik, 2015). Dalam usaha
memenuhi pasokan gula dalam negeri,
pemerintah telah mencanangkan prog-ram
swasembada gula melalui upaya on-farm,
yaitu peningkatan produktivitas gula dan
perluasan areal penanaman tebu (Mastur et
al., 2015). Perluasan areal tebu terkendala
persaingan dalam penggunaan lahan dengan
tanaman pangan, seperti padi, jagung dan
kedelai, sehingga pengembangan tebu
terdorong ke lahan-lahan marjinal. Lahan
marginal didefinisikan sebagai lahan yang
mempunyai potensi rendah sampai sangat
rendah untuk dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, karena adanya cekaman ling-
kungan yang berdampak pada penurunan
produktivitas tanaman tebu (Harsanti et al.,
2015; Santoso et al., 2015). Salah satu lahan
marjinal potensial adalah lahan dengan
cekaman salinitas.
Tanah dengan cekaman salinitas dide-
finisikan sebagai tanah dengan nilai konduk-
tivitas elektrik (EC = Electrical Conductivity
/DHL = Daya Hantar Listrik) mencapai 4
desiSiemens/m (dS/m) pada suhu 25ºC
(Shrivastava & Kumar, 2015). Nilai EC yang
tinggi tersebut disebabkan oleh kandungan
garam-garam terlarut terutama NaCl yang
merupakan unsur salinitas yang mendominasi
kandungan air tanah. Salinitas tanah dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembang-
an tanaman melalui dua cara, yaitu 1) dengan
meningkatkan tekanan osmosis dari air tanah,
sehingga membatasi pengambilan air oleh
tanaman, dan 2) meningkatkan kandungan
ion toksik dari air tanah yang dapat meracuni
tanaman (Sheldon et al., 2004; Shrivastava &
Kumar, 2015). Tanaman tebu digolongkan
sebagai tanaman glikofit, karena menunju-
kkan gejala keracunan akibat cekaman salini-
tas, diantaranya terhambatnya perkecam-
bahan bibit, ketidakseimbangan nutrisi dalam
sel tanaman dan penurunan pertumbuhan
antara 15-86 % pada cekaman NaCL 200 mM
(Cha-um et al., 2012), yang akhirnya dapat
menurunkan produktivitas tanaman hingga
37% pada populasi jumlah batang terpanen
sebesar 37% (Tiku et al., 2014). Tanaman
tebu menunjukkan sensitivitas yang tinggi
terhadap cekaman salinitas pada berbagai
tahap pertumbuhan. Simoes et al. (2016)
melaporkan peningkatan nilai EC tanah
sebesar 4–8 dS/m telah menurunkan tinggi
tanaman dan jumlah batang tebu hingga lebih
dari 30%. Beberapa penelitian lain juga
melaporkan penurunan komponen pertum-
buhan dan proses fisiologis (laju fotosintesis,
konduktansi stomata dan sintesis klorofil)
tanaman tebu akibat peningkatan nilai EC
tanah (Wahid, 2004; Patade et al., 2011).
Cara paling efisien mengatasi perma-
salahan salinitas adalah dengan menanam
varietas toleran (Oyiga et al., 2016).
Tanaman memiliki mekanisme tertentu dalam
mengatasi cekaman salinitas, yaitu melalui: 1)
toleransi pada tekanan osmosis, 2) ekslusi ion,
dan 3) toleransi dari jaringan tanaman (Roy et
al., 2014). Penggunaan varietas toleran dapat
mengurangi penurunan pertumbuhan dan
kehilangan hasil tanaman padi yang tercekam
salinitas (Ferreira et al., 2015; Hariadi et al.,
T
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
3
2015). Oleh karena itu penggunaan varietas
tebu yang toleran terhadap salinitas juga
diharapkan mampu mengatasi masalah
cekaman salinitas pada pertanaman tebu.
Pengujian cekaman salinitas pada
tanaman dapat dilakukan dengan meng-
gunakan larutan NaCl atau Na2SO4 dengan
berbagai cara pemberian perlakuan, salah
satunya adalah memberikan penyiraman
larutan NaCl pada konsentrasi yang meng-
akibatkan cekaman salinitas sebesar 2–4 dS/m
pada periode tertentu (Tanimoto & Nickell,
1965; Putri et al., 2012; Dachlan et al., 2013).
Karakter biomasa pertumbuhan dan fisiologis
digunakan sebagai kriteria untuk meng-
identifikasi klon-klon yang toleran salinitas
(Wahid et al., 1997; Cha-um et al., 2012;
Oyiga et al., 2016). Program persilangan
untuk merakit varietas tebu unggul rendemen
tinggi dan sesuai untuk lahan marjinal sedang
dilakukan di Balittas dan saat ini telah
diperoleh 58 klon potensial rendemen tinggi
namun belum diketahui tingkat toleransinya
terhadap cekaman salinitas (Heliyanto et al.,
2014). Penelitian ini bertujuan untuk menguji
respon klon klon-klon terpilih tebu rendemen
tinggi terhadap cekaman salinitas sehingga
dapat diketahui tingkat toleransi klon tebu
tersebut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di rumah kasa
Kelompok Peneliti Pemuliaan Tanaman,
Plasma Nutfah dan Perbenihan, Balai Pene-
litian Tanaman Pemanis dan Serat Malang
pada bulan Januari–Desember 2013. Bahan
penelitian terdiri dari 58 klon tebu potensial
rendemen tinggi, hasil seleksi dari persilangan
seri D tahun 2004–2006, beserta empat
varietas pembandingnya (Tabel 1). Bahan
tanaman berupa bagal tebu mata satu
(budset). Budset ditanam pada media tanah
dengan komposisi media tanah alluvial steril
dalam polybag ukuran 5 kg yang telah
dilubangi bagian bawah dan sampingya.
Sebelum ditanami, media diberi SP36 seba-
nyak 8 g/polibag dan disiram air. Perlakuan
disusun dalam rancangan kelompok lengkap
faktorial dengan faktor pertama klon tebu,
sebanyak 62 klon (Tabel 1) dan faktor kedua
perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi
yaitu: 1) 0 g/5 kg tanah (kontrol); 2) 7,69 g/5
kg tanah, dan 3) 17,95 g/5 kg tanah
(Tanimoto & Nickell, 1965; Putri et al., 2012),
sehingg terdapat 186 set perlakuan yang
diulang 2 kali. Tiap set perlakuan terdiri dari
dua polybag tanaman.
Tabel 1. Klon-klon potensial tebu rendemen tinggi
dan varietas pembandingnya
No Klon No Klon No Klon
1 PS.04.401 22 PS.05.251 43 PS.04.162 2 PS.06.195 23 PS.04.194 44 PS.06.305 3 PS.04.120 24 PS.05.258 45 PS.06.199 4 PS.04.129 25 PS.04.237 46 PS.06.281 5 PS.04.259 26 PS.06.400 47 PS.06.290 6 PS.04.257 27 PS.04.380 48 PS.06.222 7 PS.05.390 28 PS.05.333 49 PS.06.391 8 PS.06.356 29 PS.05.124 50 PS.06.365 9 PS.04.125 30 PS.04.253 51 PS.04.158 10 PS.05.311 31 PS.05.246 52 PS.06.370 11 PS.06.188 32 PS.05.455 53 PS.05.166 12 PS.04.117 33 PS.05.327 54 PS.04.244 13 PS.05.526 34 PS.05.393 55 PS.06.103 14 PS.06.395 35 PS.05.193 56 PS.04.303 15 PS.06.401 36 PS.04.392 57 PS.05.130 16 PS.05.123 37 PS.05.465 58 PS.05.551 17 PS.06.324 38 PS.06.204 59 PSJT 941 (K/AT) 18 PS.05.165 39 PS.06.181 60 PS 862 (K/AT) 19 PS.04.165 40 PS.06.334 61 BL (K/L) 20 PS.06.121 41 PS.05.428 62 Kentung (K/AT) 21 PS.06.369 42 PS.04.430
Keterangan: no. 1–58 adalah klon tebu rendemen tinggi yang diuji, no. 59–62 adalah varietas pembanding. AT: Kategori masak awal tengah, L: Kategori masak lambat
Perlakuan Cekaman Salinitas
Perlakuan cekaman salinitas menggu-
nakan NaCl diberikan pada saat tanaman
berumur 3,5 bulan. Perlakuan terdiri atas 3
konsentrasi NaCl, yaitu perlakuan 1 = 0 g/5
kg tanah (kontrol), perlakuan 2 = 7,69 g/5 kg
tanah, dan perlakuan 3 = 17,95 g/5 kg tanah
(Tanimoto & Nickell, 1965; Putri et al., 2012).
Cekaman NaCl diberikan dalam bentuk
penyiraman sebanyak 5 kali dalam kurun
waktu 21 hari. Penyiraman diberikan sesuai
dengan volume air kapasitas lapang dari
media tanah yang digunakan. Penghitungan
kapasitas lapang dilakukan menurut metode
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
4
penetapan kadar air tanah kapasitas lapang
menurut Hakim et al. (1984). Pasir
dimasukkan kedalam gelas piala hingga
tingginya kira-kira 1/4 bagian dari dasar gelas,
selanjutnya pipa kaca diletakkan di tengah-
tengahnya, kemudian dituangkan kembali
sejumlah tanah contoh kering udara dengan
tinggi ¾ dari dasar gelas. Pipa kaca berfungsi
untuk mengalirkan udara. Selanjutnya air
disiramkan dengan hati-hati ke permukaan
tanah, sampai air merembes ke batas pasir.
Kemudian, gelas piala ditutup dengan
lembaran plastik untuk mencegah penguapan
air dan diletakkan di tempat yang sejuk,
selama 24 jam. Setelah 24 jam, sejumlah
contoh tanah dipindahkan ke cawan timbang.
Setelah menyisihkan tanah di permukaan,
contoh tanah ditimbang (w), sebanyak 6
ulangan. Kemudian contoh tanah tersebut
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C
selama 3 jam atau sampai tidak terjadi
penurunan berat, kemudian ditimbang (x).
Perhitungan kapasitas lapang dilakukan
mengikuti rumus berikut:
Kapasitas lapang (𝑎) =w−x
x X 100%
Keterangan:
kapasitas lapang tanah 5 kg = a x X massa
jenis air (1 gram/cm3) x 5.000 gram.
Hasil perhitungan kapasitas lapang
adalah 1,25 l (Tabel 2). Jadi NaCl sesuai
dengan konsentrasi yang dikehendaki dila-
rutkan dalam 1,25 l air dan diberikan pada
tiap polybag setiap tiga hari sekali selama 21
hari (Putri et al., 2012; Oyiga et al., 2016).
Satu hari setelah perlakuan penyiraman,
dilakukan pengukuran EC tanah untuk
mengetahui kadar garam dalam tanah akibat
perlakuan cekaman NaCl.
Tabel 2. Perhitungan kapasitas lapang
Ulang-an
Berat awal (w)
(dalam gram)
Berat akhir (x)
(dalam gram)
Kapasitas lapang (a) (dalam %)
kapasitas la-pang untuk tanah 5 kg
(dalam liter)
1 82,8062 65,4677 26,48 1,324 2 87,8940 70,7931 24,15 1,207 3 91,8500 74,8667 22,68 1,134 4 93,8194 75,3771 24,26 1,223 5 93,7628 76,9496 21,84 1,092 6 89,0755 71,3853 12,39 1,239
Rata-rata 1,25 liter
Pengamatan karakter pertumbuhan
Pengamatan karakter pertumbuhan dila-
kukan pada 3 HSP (hari setelah penyiraman
larutan NaCl terakhir). Pengamatan dilak-
sanakan secara destruktif pada 4 tanaman
sampel dari tiap klon dan tiap perlakuan NaCl.
Pengamatan meliputi panjang akar (cm),
berat kering akar (gram), panjang tajuk (cm),
diameter batang (cm), dan berat kering tajuk
(gram).
Analisa data
Data karakter pertumbuhan yang
diamati di analisis ANOVA menggunakan
program R versi 3.3.3 (R Core Team, 2017).
Indeks toleransi klon terhadap cekaman
salinitas ditentukan dengan menggunakan
rumus yang dimodifikasi oleh Sulistyowati et
al. (2010), yaitu sebagai berikut:
𝑆 =1 −
𝑌𝐷𝑌𝑃
𝐷
Keterangan:
YD: pengamatan pertumbuhan pada
perlakuan dengan NaCl,
YP: pengamatan pertumbuhan pada
perlakuan kontrol,
D : intensitas cekaman salinitas yang nilainya
adalah
1 −𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑌𝐷 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑔𝑒𝑛𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑌𝑃 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑔𝑒𝑛𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
5
Kategori toleransi terhadap perlakuan
cekaman salinitas ditentukan berdasarkan
(Clarke et al., 1984; Sulistyowati et al., 2010)
sebagai berikut: relatif toleran terhadap
salinitas bila S < 0,95, toleransi moderat bila S
0,95–1,10, dan relatif tidak toleran terhadap
salinitas (atau peka) bila S > 1,10. Analisa
korelasi dilakukan antara parameter per-
tumbuhan pada kondisi cekaman EC > 4 dS/m
dengan skor kriteria toleransi yang didapatkan
dari perhitungan kategori menggunakan in-
deks toleransi (S). Skor kriteria toleransi
terhadap cekaman salinitas ditetapkan se-
bagai berikut: 1 untuk kategori peka, 2 untuk
kategori moderat, dan 3 untuk kategori
toleran. Korelasi dihitung berdasar koefisien
korelasi Pearson dengan software Minitab 17
Statistical Software (Minitab 17 Statistical
Softwre, 2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai konduktivitas listrik (EC) tanah akibat perlakuan salinitas
Untuk memastikan bahwa respon
tanaman disebabkan oleh perlakuan salinitas
dan bukan oleh faktor yang lain, maka
dilakukan pengukuran terhadap konduktivitas
listrik (EC) media tanah. Pada kontrol yang
tidak diberi larutan NaCl (P1), nilai EC tanah
stabil dari awal perlakuan sampai akhir.
Sedangkan nilai EC pada P2, meningkat
sampai penyiraman keempat (0,95–2,55
dS/m), dan mengalami penurunan pada
penyiraman kelima dan keenam, namun nilai
EC masih di atas 2 dS/m. Sedangkan pada P3
nilai EC tanah meningkat sampai penyiraman
terakhir (Gambar 1). Hasil ini menunjukkan
pemberian NaCL pada kedua konsentrasi yang
diuji berhasil mengkondisikan media tanah
menjadi tanah dengan cekaman salinitas.
Tanah dengan nilai EC di bawah 2 dS/m
(perlakuan kontrol) dilaporkan tidak
memberikan cekaman pada tanaman.
Sedangkan EC antara 2–4 dS/m menyebabkan
Gambar 1. Hasil pengukuran nilai EC media tanah
akibat perlakuan penyiraman larutan
NaCl
beberapa pengaruh tanaman tercekam namun
dapat pulih kembali. EC di atas 4 dS/m
menyebabkan pengaruh cekaman yang cukup
besar pada pertumbuhan tanaman hingga
menyebabkan kematian jaringan dan
kehilangan hasil (Wahid, 2004; Patel et al.,
2010; Joseph & Mohanan, 2013).
Pengaruh cekaman salinitas NaCl pada parameter pertumbuhan klon-klon tebu
Hasil analisis varian menunjukkan ada-
nya perbedaan respon klon–klon tebu pada
semua parameter pertumbuhan yang diamati
terhadap salinitas pada cekaman dengan nilai
EC diatas 4 dS/m (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh klon, salinitas, interaksi klon
dan salinitas terhadap parameter pertum-buhan genotipa tebu
Sumber keragaman
PA BKA PT DB BKT
Klon ** ** ** ** **
Salinitas * ** ** ns ns
Klon* Salinitas Ns ns ns ns ns
Keterangan: PA panjang akar, BKA berat kering akar, PT panjang tajuk, DB diameter batang, BKT berat kering tajuk.
** berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * berbeda nyata pada taraf 5%, ns tidak berbeda nyata pada taraf
Jika dibandingkan dengan kontrol yang
tidak diberi cekaman, rata-rata panjang akar
dari semua klon mengalami penurunan
0.15 0.1 0.1 0.1 0.1 0.15
0.951.2 1.25
2.552.35
2.152
2.5 2.6
4.3 4.2 4.3
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6
Nila
i D
HL t
anah (
dS/m
)
Penyiraman larutan NaCl ke-
P1 (0 g NaCl/5 kg tanah)
P2 (7,69 g NaCl/5 kg tanah)
P3 (17,95 g NaCl/5 kg tanah)
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
6
sebesar 3,41%, rata-rata berat kering akar
menurun sebesar 8,05% dan tajuk mengalami
penurunan panjang sebesar 9,46%.
Sedangkan diameter dan berat kering tajuk
mengalami perubahan yang tidak signifikan.
Berdasar hasil analisis varian, parameter
panjang akar, berat kering akar dan panjang
tajuk mengalami perubahan signifikan akibat
salinitas. Oleh karena itu ketiga parameter
tersebut menentukan toleransi 58 klon tebu
terhadap cekaman salinitas. Sedangkan
parameter diameter batang dan berat kering
tajuk tidak dapat digunakan sebagai indikator
toleransi klon–klon tebu terhadap cekaman
salinitas yang diuji. Pada penelitian ini
perlakuan salin salinitas diberikan pada stadia
bibit tanaman tebu yang berumur 3,5 bulan
(stadia bibit). Pada stadia tersebut tanaman
tebu memasuki masa awal pertumbuhan
cepat (Khuluq & Hamida, 2014), sehingga
cekaman yang diberikan belum terlalu
menghambat perbesaran pertumbuhan
diameter tebu. Begitu pula dengan parameter
berat kering tajuk yang merupakan gabungan
dari berat batang dan daun tebu.
Pengaruh cekaman salinitas terhadap parameter pertumbuhan akar
Hasil perhitungan indeks toleransi
terhadap salinitas pada panjang akar
ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Toleransi klon tebu terhadap salinitas
berdasarkan panjang akar. Mendatar adalah nomor klon yang diuji. Garis
merah (1,1) adalah batas kategori peka dan garis hitam (0,95) batas kategori
toleran.
Klon-klon yang diuji dikelompokkan
menjadi peka dan tahan terhadap salinitas,
yaitu dua puluh tujuh klon termasuk kelompok
tahan dan 35 klon termasuk kelompok peka.
Pada parameter ini, tidak ada klon yang
termasuk kelompok moderat. Klon-klon
PS.04.162, PS.04.380, PS.06.222, dan
PS.05.193 pada kelompok termasuk klon yang
paling tahan dengan indeks toleransi yang
paling besar. Sedangkan varietas komersial
PSJT 941 dan Kentung masuk ke dalam
kategori peka dan PS 862 dan BL masuk
dalam kategori tahan.
Toleransi klon-klon tebu terhadap
salinitas berdasarkan berat kering akar
ditunjukkan pada gambar Gambar 3. Terdapat
26 klon dengan kategori tahan, 3 klon dengan
kategori moderat dan 33 klon termasuk dalam
golongan peka terhadap cekaman salinitas.
Keempat klon komersial yang digunakan
sebagai pembanding termasuk dalam kategori
peka. Berdasar parameter panjang dan berat
kering akar secara bersama-sama, terdapat
14 klon yang termasuk kategori tahan
berdasar panjang dan berat kering akar, yaitu
klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.124,
PS.05.455, PS.06.204, PS.06.334, PS.04.430,
PS.04.162, PS.06.305, dan PS.06.281.
Gambar 3. Toleransi klon tebu terhadap salinitas
berdasarkan berat kering akar.
Mendatar adalah nomor klon yang diuji.
Garis merah (1,1) adalah batas kategori peka dan garis hitam (0,95) batas
kategori toleran.
Kadar salinitas yang tinggi dalam tanah
dapat menghambat pengambilan air oleh
akar. Akar merupakan bagian tanaman yang
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
7
pertama kali terkena dampak cekaman. Murad
et al. (2014) melaporkan penurunan berat
akar tanaman tebu, baik pada varietas yang
toleran maupun yang peka, namun terdapat
per-bedaan penurunan antara kedua tipe
varietas tersebut. Varietas toleran memiliki
massa yang lebih tinggi karena memiliki
sistem perakaran yang lebih dalam sehingga
dapat mengambil air dari lapisan tanah yang
lebih dalam. Dalam penelitian ini klon-klon
toleran mengalami peningkatan berat akar
pada kondisi tercekam dibanding tanpa
cekaman. Peningkatan berat ini diduga
merupakan mekanisme adaptasi akar
terhadap kondisi tercekam, yaitu melalui
penebalan epidermis, peningkatan jumlah
akar, maupun pembesaran vakuola sebagai
kompartemensi ion toksik. Hasil yang berbeda
dilaporkan oleh Karjunita (2016) yang
menyatakan bahwa genotipe tanaman
hotong/ foxtail millet (Setaria italica L. Beauv.)
yang peka menunjukkan penebalan epidermis
dan jumlah akar yang lebih banyak daripada
genotipe toleran akibat cekaman salinitas.
Hal ini disebabkan genotipe toleran
beradaptasi terhadap salinitas melalui
mekanisme peng-hindaran penyerapan Na+
yang berlebihan dengan membatasi
pertumbuhan dan perkem-bangan rambut
akar. Hal ini menjadi indikasi bahwa masing-
masing jenis tanaman memiliki mekanisme
adapatasi cekaman yang berbeda.
Pengaruh cekaman salinitas terhadap parameter pertumbuhan tajuk
Nilai indeks toleransi klon tebu terhadap
salinitas pada parameter panjang tajuk,
diameter batang dan berat kering tajuk
ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5. Pada
Gambar 4 (panjang tajuk) terdapat 32 klon
tebu yang termasuk kategori tahan, 5 klon
tebu moderat dan 26 klon peka. Klon-klon
komersial yang digunakan sebagai
pembanding menun-jukkan respon yang
beragam. PSJT 941 termasuk ke dalam
golongan moderat sedangkan Varietas PS 862,
BL dan Kentung digolongkan menjadi klon
yang peka. Jika didasarkan pada kajian
parameter akar dan tajuk secara bersama-
sama, ada delapan klon yang tergolong tahan,
yaitu PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,
PS.06.334, dan PS.04.162 (Tabel 4).
Gambar 4. Toleransi klon tebu terhadap salinitas berdasarkan panjang tajuk.
Mendatar adalah nomor klon tebu yang
diuji. Garis merah (1,1) adalah batas kategori
peka dan garis hitam (0,95) batas kategori
toleran.
Selain akar bagian atas dari tanaman
tebu juga dilaporkan menunjukkan respon
terhadap cekaman salinitas. (Gomathi &
Thandapani (2014) melaporkan penurunan
panjang tajuk (42,37%), diameter batang
(38,88%), jumlah ruas (26,66%) dan berat
batang (44,30%) dari tanaman tebu yang
tercekam salinitas. Berat kering tajuk dari
tanaman tebu yang tercekam salinitas dengan
EC 8 dS/m juga dilaporkan mengalami
penurunan sebesar 77% (Simoes et al., 2016).
Akumulasi garam pada tajuk menyebabkan
penutupan stomata daun dan penghambatan
pemanjangan tajuk, yang akan berakibat pada
penurunan produksi daun baru dan
pertumbuhan tajuk (Roy et al., 2014).
Tanaman yang toleran mampu menurunkan
efek keracunan dengan cara mengurangi
akumulasi ion toksisk, yaitu ion Na dan Cl
yang berlebihan pada helaian daun dengan
cara eklusi ion–ion tersebut atau dengan
mening-katkan kemampuannya untuk
mentoleransi kandungan garam dengan
kompartementasi pada vakuola.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
8
Tabel 4. Toleransi 62 genotipa tebu terhadap salinitas berdasar indeks toleransi (S)
No Genotipa PA BKA PT
1 PS.04.401 P P P 2 PS.06.195 T T T 3 PS.04.120 P P T 4 PS.04.129 P P P 5 PS.04.259 T T T 6 PS.04.257 T P T 7 PS.05.390 P T T 8 PS.06.356 T P P 9 PS.04.125 P P P 10 PS.05.311 T T T 11 PS.06.188 T T T 12 PS.04.117 P P P 13 PS.05.526 T P T 14 PS.06.395 T T P 15 PS.06.401 T P P 16 PS.05.123 P T T 17 PS.06.324 T T P 18 PS.05.165 T M P 19 PS.04.165 T T T 20 PS.06.121 T P P 21 PS.06.369 P T P 22 PS.05.251 P P P 23 PS.04.194 T P T 24 PS.05.258 T T T 25 PS.04.237 T P P 26 PS.06.400 T P M 27 PS.04.380 T P P 28 PS.05.333 P T P 29 PS.05.124 T T P 30 PS.04.253 P T T 31 PS.05.246 T M P 32 PS.05.455 T T T 33 PS.05.327 P P T 34 PS.05.393 P T T 35 PS.05.193 T P T 36 PS.04.392 P T T 37 PS.05.465 P P T 38 PS.06.204 T T P 39 PS.06.181 P T T 40 PS.06.334 T T T 41 PS.05.428 P T T 42 PS.04.430 T T P 43 PS.04.162 T T T 44 PS.06.305 T T P 45 PS.06.199 T P T 46 PS.06.281 T T P 47 PS.06.290 P T T 48 PS.06.222 T P T 49 PS.06.391 T P T 50 PS.06.365 P P T 51 PS.04.158 P P T 52 PS.06.370 T P M 53 PS.05.166 P P P 54 PS.04.244 P P M 55 PS.06.103 P P M 56 PS.04.303 T P P 57 PS.05.130 P P P 58 PS.05.551 P M T 59 PSJT 941 P P M 60 PS 862 T P P 61 BL T P P 62 Kentung P P P
Keterangan: PA panjang akar, BKA berat kering akar, PT
panjang tajuk, Kategori toleransi T toleran, M
moderat dan P peka.
Gambar 5. Penurunan panjang tajuk pada klon
tebu yang tahan (atas) dan peka (bawah)
terhadap cekaman salinitas
Gandonou et al. (2012) menyatakan
varietas tebu yang toleran mampu bertahan
dari kematian akibat cekaman salinitas
meskipun mengalami penurunan
pertumbuhan tajuk. Pada penelitian ini,
tanaman yang peka tidak mengalami
kematian. Klon peka menunjukkan
penurunan pertumbuhan yang lebih besar
daripada klon tahan, yang ditunjukkan pada
Gambar 5. Pada grafik, kemiringan garis klon
peka lebih tajam daripada klon tahan. Hal ini
mengindikasikan penurunan panjang tajuk
yang lebih besar akibat pemberian cekaman
salinitas.
Pengaruh Salinitas Terhadap Rasio Panjang Akar-Tajuk
Rataan rasio panjang akar-tajuk secara
keseluruhan dari klon tebu yang mengalami
cekaman menunjukkan kenaikan dari kondisi
tanpa cekaman (Tabel 5).
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
9
Tabel 5. Nilai rasio panjang akar–tajuk pada kondisi tanpa cekaman dan dengan cekaman salinitas
No Klon
Rasio panjang akar-tajuk
Tanpa cekaman
Cekaman EC> 4 dS/m
1 PS.04.401 1,32 1,67 2 PS.06.195 1,17 1,43 3 PS.04.120 1,10 0,88 4 PS.04.129 1,34 1,07 5 PS.04.259 1,13 1,09 6 PS.04.257 1,13 1,13 7 PS.05.390 1,79 1,65 8 PS.06.356 1,24 1,59 9 PS.04.125 0,87 1,01 10 PS.05.311 1,15 1,30 11 PS.06.188 1,06 1,22 12 PS.04.117 1,65 1,46 13 PS.05.526 1,28 1,28 14 PS.06.395 0,75 0,89 15 PS.06.401 0,93 1,11 16 PS.05.123 1,67 1,27 17 PS.06.324 0,79 0,95 18 PS.05.165 0,86 1,04 19 PS.04.165 2,08 1,62 20 PS.06.121 0,70 0,96 21 PS.06.369 0,81 0,92 22 PS.05.251 1,41 1,67 23 PS.04.194 0,98 1,18 24 PS.05.258 1,20 1,45 25 PS.04.237 1,08 1,28 26 PS.06.400 1,70 2,18 27 PS.04.380 1,23 2,13 28 PS.05.333 1,31 1,63 29 PS.05.124 1,12 1,42 30 PS.04.253 1,36 1,33 31 PS.05.246 0,92 1,01 32 PS.05.455 1,19 1,21 33 PS.05.327 1,18 1,08 34 PS.05.393 1,42 1,05 35 PS.05.193 0,91 1,24 36 PS.04.392 1,05 0,90 37 PS.05.465 1,51 0,87 38 PS.06.204 0,92 1,04 39 PS.06.181 0,94 0,76 40 PS.06.334 1,44 1,21 41 PS.05.428 1,69 1,64 42 PS.04.430 0,63 0,95 43 PS.04.162 0,99 1,35 44 PS.06.305 1,18 1,22 45 PS.06.199 1,04 1,18 46 PS.06.281 0,95 1,24 47 PS.06.290 1,76 1,21 48 PS.06.222 1,22 1,69 49 PS.06.391 1,34 1,52 50 PS.06.365 1,00 0,98 51 PS.04.158 1,15 1,04 52 PS.06.370 0,91 1,03 53 PS.05.166 1,28 1,20 54 PS.04.244 0,76 0,74 55 PS.06.103 0,66 0,59 56 PS.04.303 1,02 1,26 57 PS.05.130 0,88 0,76 58 PS.05.551 1,58 1,26 59 PSJT 941 1,03 1,10 60 PS 862 0,83 1,29 61 BL 0,82 1,19 62 Kentung 1,18 1,17
Rata-rata 1,15 1,22
Salah satu indikasi dari cekaman
salinitas adalah menurunnya pertumbuhan
tajuk, yang pada akhirnya mengubah alokasi
biomassa antara akar dan tajuk. Pertumbuhan
tajuk terganggu, namun pertumbuhan akar
tetap berjalan sehingga meningkatkan
biomassa akar (Negrao et al., 2017). Klon
tahan PS.06.195 (Tabel 4) menunjukkan
kenaikan rasio panjang akar -tajuk pada
kondisi tercekam, mengindikasikan klon
tersebut tetap dapat mempertahankan
pertumbuhan akar sebagai mekanisme dari
adaptasi terhadap cekaman salinitas.
Sulistyowati et al. (2010) melaporkan
genotipe kapas yang tahan terhadap salinitas
me-nunjukkan nilai rasio akar–tunas yang
lebih besar dibandingkan genotipe yang peka,
karena genotipe tahan memiliki perakaran
yang lebih dalam dan panjang sehingga
mampu menyerap air dan mendukung
pertumbuhan tunas kapas.
Korelasi antara Parameter Pertumbuhan Tebu dengan Toleransi Salinitas
Analisa korelasi antara parameter
pertumbuhan genotipa klon-klon tebu yang
diuji dengan kategori salinitas dilakukan untuk
mengetahui parameter yang berkaitan erat
dengan sifat toleran salinitas. Toleransi
dikuantitatifkan dengan skor 1 untuk sifat
peka, 2 untuk sifat moderat dan 3 untuk
toleran (lihat metodologi). Hasil analisa
ditunjukkan pada Tabel 6. Parameter panjang
dan berat kering akar memiliki korelasi positif
dengan sifat toleransi. Semakin besar nilai
panjang dan berat kering akar, maka klon
tergolong toleran. Sedangkan parameter
berat kering tajuk memiliki korelasi negatif
dengan kriteria toleransi.
Korelasi antara parameter pertumbuhan
dengan sifat toleransi dapat menjadi indikator
penting bagi seleksi kriteria ketahanan
terhadap kondisi cekaman abiotik sehingga
memudahkan proses seleksi pada kegiatan
pemuliaan tanaman (Cha-um et al., 2012).
Dengan hasil penelitian ini, pemilihan klon –
klon toleran terhadap salinitas pada 58 klon
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
10
tebu yang diuji dapat dilakukan dengan
memilih klon–klon yang memiliki panjang dan
berat kering akar yang lebih besar daripada
klon lainnnya. Parameter berat kering tajuk
kurang tepat untuk digunakan sebagai para-
meter seleksi salinitas pada penelitian ini.
Analisa varian (Tabel 3.) menunjukkan ceka-
man salinitas tidak berpengaruh secara
signifikan pada parameter berat kering tajuk.
Hasil korelasi juga menunjukkan korelasi
negatif, yang berarti bahwa semakin berat
tajuk maka klon semakin peka. Hasil pene-
litian ini bertolak belakang dengan beberapa
hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa
klon dengan toleransi yang tinggi terhadap
cekaman kekeringan tetap dapat memper-
tahankan biomassa tanaman (Widyasari et al.,
2009; Gomathi & Thandapani, 2014). Pada
kedua penelitian tersebut, umur tanaman tebu
yang digunakan lebih tua (5–6 bulan),
sedangkan pada peneli tian ini tanaman tebu
masih berumur 3,5 bulan, dan pengamatan
pertumbuhan akibat cekaman salinitas dilaku-
kan pada saat tanaman berumur 4,5 bulan.
Pada tanaman tebu, biomassa tanaman
merupakan komponen hasil, sehingga tana-
man dengan biomassa yang tinggi merupakan
indi-kasi produksi yang tinggi pula. Oleh
karena itu diperlukan penentuan stadia
pertumbuhan yang tepat dalam pengukuran
toleransi salinitas. Toleransi salinitas meru-
pakan mekanisme biologi kompleks yang
didorong oleh beberapa faktor fisiologis dan
genetik dan spesifik pada stadia pertumbuhan
tertentu (Haq et al., 2010; Oyiga et al., 2016).
Tabel 6. Korelasi antara parameter pertumbuhan
genotipa tebu dengan toleransi salinitas
Parameter pertumbuhan Toleransi salinitas
Panjang akar 0,409**
Berat kering akar 0,261*
Panjang tajuk -0,013 ns
Diameter batang -0,184 ns
Berat kering tajuk -0,359**
Pada penelitian ini, stadia bibit terbukti
kurang dapat memberikan respon salinitas
yang stabil pada parameter berat kering tajuk,
sehingga perlu adanya penelitian lanjutan
yang dilakukan pada stadia pertumbuhan tebu
berikutnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini klon-klon tebu
yang diuji memiliki perbedaan respon akibat
cekaman salinitas pada semua parameter
tajuk dan akar. Jika dibandingkan dengan
perlakuan kontrol/EC ± 0,1 dS/m, cekaman
salinitas sebesar EC > 4 dS/m menyebabkan
penurunan pada parameter panjang akar
sebesar 3,41%, berat kering akar 8,05% dan
menurunkan panjang tajuk sebesar 9,46%.
Sedangkan parameter diameter batang dan
berat kering tajuk menunjukkan perubahan
yang tidak signifikan. Berdasarkan hasil
perhitungan indeks toleransi klon-klon tebu
digolongkan menjadi kategori toleran,
moderat dan peka terhadap salinitas. Klon-
klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,
PS.06.334 dan PS.04.162 memiliki kriteria
toleran untuk semua parameter yang diamati,
sehingga kedua klon tersebut dapat
digolongkan menjadi klon-klon toleran
salinitas. Klon-klon ini dapat diuji lebih lanjut
untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran
salinitas atau sebagai sumber introgresi gen
toleran salinitas untuk varietas rendemen
tinggi. Parameter berat kering tajuk kurang
dapat menggam-barkan respon salinitas jika
diamati pada stadia bibit, sehingga perlu
dilakukan penelitian pada stadia pertumbuhan
yang lebih lanjut mengingat parameter berat
kering tajuk merupakan parameter yang
berhubungan dengan komponen hasil
tanaman tebu.
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
11
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pemerintah cq. Balai Penelitian
Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian
Pertanian yang telah membiayai penelitian ini
dan kepada Kebun Percobaan Karangploso
yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Ir. Siwi Sumartini dan Ruly Hamida, M.Sc. atas
bantuan dan dorongan morilnya sehingga
penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2015. Statistik Tebu
Indonesia 2015 72. Cha-um, S., Chuencharoen, S., Mongkolsiriwatana,
C., Ashraf, M., Kirdmanee, C., 2012. Screening sugarcane (Saccharum sp.)
genotypes for salt tolerance using
multivariate cluster analysis. Plant Cell. Tissue Organ Cult. 110, 23–33.
https://doi.org/10.1007/s11240-012-0126-9 Clarke, J., Smith, F., Craig, T., Green, D., 1984.
Growth analysis of spring wheat cultivars of
varying drought resistance. Crop Sci. 24, 537–541.
Dachlan, A., Kasim, N., Sari, A.K., 2013. Uji Ketahanan Salinitas Beberapa Varietas
Jagung (Zea mays L.) Dengan Menggunakan Agen Seleksi NaCl. Biogenesis 1, 9–17.
Ferreira, L.J., Azevedo, V., Maroco, J., Oliveira,
M.M., Santos, A.P., 2015. Salt tolerant and sensitive rice varieties display differential
methylome flexibility under salt stress. PLoS One 10, 1–19.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.012406
0 Gandonou, C.B., Gnancadja, L.S., Abrini, J., 2012.
Salinity tolerance of some sugarcane ( Saccharum sp .) cultivars in hydroponic
medium. Int. SUGAR J. 114, 190–196.
Gomathi, R., Thandapani, P., 2014. Influence of Salinity Stress on Growth Parameters and
Yield of Sugarcane 9, 28–32. Hakim, N., Nyakpa, M., Lubis, A., Pulung, A., Saul,
R., Diha, M., Hong, G., Bailey, H., 1984. Bahan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Badan Kerjasama Ilmu Tanah. BKs-
PTN/USAID -University of. Kentucky. WUAE Project, University of. Kentucky. WUAE
Project. Haq, T.U., Gorham, J., Akhtar, J., Akhtar, N.,
Steele, K.A., 2010. Dynamic quantitative trait loci for salt stress components on
chromosome 1 of rice. Funct. Plant Biol. 37,
634–645. https://doi.org/10.1071/FP09247 Hariadi, Y.C., Nurhayati, A.Y., Soeparjono, S., Arif,
I., 2015. Screening Six Varieties of Rice (Oryzasativa) for Salinity Tolerance. Procedia
Environ. Sci. 28, 78–87.
https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.07.012 Harsanti, R.S., Hartatik, S., Syamsunihar, A.,
Soeparjono, S., Avivi, S., 2015. Uji Toleransi Beberapa Varietas Tebu Pada Berbagai Tinggi
Penggenangan. Berk. Ilm. Pertan. 1, 1–6. Heliyanto, B., Sumartini, S., Basuki, S., 2014.
Perakitan varietas tebu dengan produktivitas
dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering.
Joseph, E.A., Mohanan, K., 2013. A Study on the Effect of Salinity Stress on the Growth and
Yield of Some Native RiceCultivars of Kerala
State of India. Agric. For. Fish. 2, 141. https://doi.org/10.11648/j.aff.20130203.14
Karjunita, N., 2016. Respon akar terhadap cekaman salinitas dan isolasi gen SiNAC065
pada empat genotipe hotong (Setaria italica L beauv]. INSTITUT PERTANIAN BOGOR.
Khuluq, A.D., Hamida, R., 2014. Peningkatan
produktivitas dan rendemen tebu melalui rekayasa fisiologis pertunasan. Perspektif 13,
13–24. Mastur, Syafaruddin, Syakir, M., 2015. Peran Dan
Pengelolaan Hara Nitrogen Pada Tanaman
Tebu Untuk Peningkatan Produktivitas Tebu. J. Littri 14, 73–86.
Minitab 17 Statistical Softwre, 2010. Minitab 17 Statistical Software.
Murad, A.M., Molinari, H.B.C., Magalhães, B.S.,
Franco, A.C., Takahashi, F.S.C., De Oliveira, N.G., Franco, O.L., Quirino, B.F., 2014.
Physiological and proteomic analyses of Saccharum spp. grown under salt stress.
PLoS One 9. https://doi.org/10.1371/journal.pone.009846
3
Negrao, S., Schmockel, S., Tester, M., 2017. Evaluating physiological responses of plants
to salinity stress. Ann. Bot. 119, 1–11. https://doi.org/10.1093/aob/mcw191
Oyiga, B.C., Sharma, R.C., Shen, J., Baum, M.,
Ogbonnaya, F.C., Léon, J., Ballvora, A., 2016. Identification and Characterization of Salt
Tolerance of Wheat Germplasm Using a Multivariable Screening Approach. J. Agron.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
12
Crop Sci. 202, 472–485. https://doi.org/10.1111/jac.12178
Patade, V.Y., Bhargava, S., Suprasanna, P., 2011. Salt and drought tolerance of sugarcane
under iso-osmotic salt and water stress:
Growth, osmolytes accumulation, and antioxidant defense. J. Plant Interact. 6, 275–
282. https://doi.org/10.1080/17429145.2011.5575
13
Patel, P., Kajal, S., Patel, V., 2010. Impact of saline water stress on nutrient uptake and growth
of cowpea. Brazilian J. 22, 43–48. https://doi.org/00.0000/S00000-000-0000-0
Putri, R.S.J., Nurhidayati, T., W, W.B., 2012. Uji ketahanan tanaman tebu hasil persilangan
(Sacharaum spp. Hybrid) pada kondisi
lingkungan cekaman garam (NaCl). Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
R Core Team (R Foundation for Statistical, 2017. No Title.
Roy, S.J., Negrão, S., Tester, M., 2014. Salt
resistant crop plants. Curr. Opin. Biotechnol. 26, 115–124.
https://doi.org/10.1016/j.copbio.2013.12.004 Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni, S.D.,
2015. Tebu lahan kering Budi Santoso.pdf. J. Littri 21, 109–116.
Sheldon, A., Menzies, N.W., So, H.B., Dalal, R.,
2004. The effect of salinity on plant available water, in: SuperSoil 2004: 3rd Australian New
Zealand Soils Conference, 5 – 9 December 2004, University of Sydney, Australia. pp. 1–
5.
Shrivastava, P., Kumar, R., 2015. Soil salinity: A serious environmental issue and plant growth
promoting bacteria as one of the tools for its alleviation. Saudi J. Biol. Sci. 22, 123–131.
https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2014.12.001
Simoes, W.L., Calgaro, M., Coelho, D.S., dos Santos, D.B., de Souza, M.A., 2016. Growth
of sugar cane varieties under salinity. Rev. Ceres 63, 265–271.
https://doi.org/10.1590/0034-
737X201663020019 Sulistyowati, E., Sumartini, S., Abdurrakhman,
2010. Toleransi 60 aksesi kapas terhadap cekaman salinitas pada fase vegetatif. Jur 16,
20–26.
Tanimoto, T., Nickell, L., 1965. Estimation of drought resistence of sugarcane varieties, in:
Proceedings of the Twelfth Congress of The International Society of Sugarcane
Technologist. Puerto Rico, pp. 893–897. Tiku, M.F., Mohammed, H., Gebrekidan, H., 2014.
Screening of introduced sugarcane genotypes
for their salinity tolerance based on yield components at Metahara sugar estate,
Ethiopia. Time Journals Agric. Vet. Sci. 2, 107–113.
Wahid, A., Rao, A.U.R., Rasul, E., 1997.
Identification of salt tolerance traits in sugarcane lines. F. Crop. Res. 54, 9–17.
https://doi.org/10.1016/S0378-4290(97)00038-5
Wahid, a, 2004. Analysis of toxic and osmotic effects of sodium chloride on leaf growth and
economic yield of sugarcane. Bot. Bull. Acad.
Sin. 45, 133–141. Widyasari, W., Damanhuri, Sugiyarta, E., 2009.
Pengujian 20 klon koleksi tebu hibrida terhadap kondisi kekurangan air. Maj. Penelit.
Gula 45, 1–18.
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
13
Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada
Gula di Kabupaten Bondowoso
Duwi Yunitasari, Nanik Istiyani, dan Endah Kurnia Lestari
Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jember (UNEJ) Jalan Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: [email protected] Diterima: 21 Januari 2018; direvisi: 9 April 2018; disetujui: 20 April 2018
ABSTRAK
Impor gula mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Walaupun penelitian yang mendukung pencapaian
swasembada gula telah banyak dilakukan, namun penelitian terkait analisis potensi suatu wilayah untuk pengembangan komoditas tebu belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
potensi tebu dalam mendukung pencapaian swasembada gula di Kabupaten Bondowoso. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan pendekatan sistem
dinamik untuk menghitung share tebu terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan analisis Shift Share Esteban Marquillas untuk menghitung potensi/spesialisasi komoditas tebu di Kabupaten Bondowoso. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Bondowoso selama kurun waktu 2010–2015 mempunyai
keunggulan kompetitif dan spesialisasi pada komoditas tebu, sehingga Kabupaten Bondowoso mempunyai peluang untuk keberlanjutan komoditas tebu ke depan. Strategi yang dapat dilakukan adalah membuka
lahan-lahan perkebunan tebu baru di wilayah lain yang belum terdapat komoditas tebu seperti Kecamatan Binakal, Sempol, dan Pakem.
Kata kunci: Tebu, Kabupaten Bondowoso, Sistem Dinamik, Shift Share, Produk Domestik Regional Bruto
Analysis of Sugar Cane Potential to Support the Achievement of SelfSufficiency of Sugar in Bondowoso District
ABSTRACT
Sugar importation increases in the last decade. Several studies have been conducted to achieve self-
sufficiency in sugar, but few studies have looked at whether a region/area has an excellence potenty for further sugarcane development. This study aims to analyze the sugarcane potency in supporting
achievement of sugar self-sufficiency in Bondowoso District. The analysis method used in this research is quantitative analysis using dynamic system approach to calculate sugarcane share to Gross Regional
Domestic Product, and Shift Share Esteban Marquillas analysis to calculate potency/specialty of sugar cane commodity in Bondowoso regency. The analysis showed that Bondowoso district during 2010-2015 has
competitive advantage and specialization in sugarcane, so that Bondowoso district has an opportunity for
sustainable sugarcane development in the future. Strategies that can be done is to open new sugarcane plantations fields in other regions that have no sugarcane plantation such as in Binakal, Sempol, and Pakem
sub-district.
Keywords: Sugar cane, Bondowoso district, Dynamic System, Shift share, Gross Regional Domestic Product
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:13−20 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.%p
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
14
PENDAHULUAN
ula merupakan salah satu bahan
pangan yang sangat strategis (Ali et
al., 2015). Data menunjukkan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri, beberapa negara mengimpor gula.
Impor di beberapa negara di Asia dan Afrika
tercatat meningkat 33% dan 50% (Koo &
Taylor, 2011), termasuk Indonesia, impor gula
meningkat 16,4% dan konsumsi juga
diprediksi meningkat 20,5%.
Dalam rangka mendukung swasembada
gula, Jawa Timur sebagai salah satu penyum-
bang gula terbesar (49,14%), dibutuhkan
peranannya dalam rangka memenuhi kebu-
tuhan penyediaan produksi gula (Pertanian
2016). Kabupaten Bondowoso sebagai salah
satu Kabupaten penghasil tebu/gula di Jawa
Timur diharapkan eksistensinya sebagai
wilayah yang berpotensi untuk mendukung
swasembada gula nasional. Potensi ini perlu
dipetakan agar terdapat keberlanjutan dari
pasokan tebu untuk menunjang pencapaian
swasembada gula nasional.
Sebagai penghasil gula, di Kabupaten
Bondowoso terdapat Pabrik Gula Pradjekan
yang memiliki kapasitas giling sebesar 3.200
ton cane per day (TCD) (P3GI, 2017) dan luas
lahan tebu di Kabupaten Bondowoso seluas
6.905 ha. Perkembangan perekonomian
suatu daerah dapat diketahui melalui data
pendapatan regional suatu daerah. Pe-
rubahan tahun dasar memberikan pengaruh
pada perubahan klasifikasi lapangan usaha
pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
PDRB Kabupaten Bondowoso menunjuk-
kan tren yang selalu meningkat dari tahun
2010–2015 (BPS Provinsi Jawa Timur, 2015).
PDRB berdasarkan harga yang berlaku, pada
tahun 2010 sebesar Rp. 8,515 miliar dan
sebesar Rp. 14,484 miliar pada tahun 2015,
sedangkan atas dasar harga konstan, pada
tahun 2010 PDRB Kabupaten Bondowoso
sebesar Rp. 8,515 miliar dan sebesar
Rp.11,178 Miliar pada tahun 2015.
Gambar 1. Causal loop diagram kontribusi tebu terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab Bondowoso
Gambar 1 menunjukkan hubungan
sebab akibat pada perhitungan kontribusi
tanaman tebu terhadap PDRB. Kontribusi
tersebut didapat dari proses produksi tebu
menjadi gula, dikalikan harga gula dikurangi
biaya usaha tani. Semakin tinggi rendemen
tebu, maka semakin banyak jumlah gula yang
dihasilkan, sedangkan pada harga gula, se-
makin tinggi harga gula, dan semakin rendah
biaya usaha tani dan biaya antara dapat
ditekan, maka kontribusi tebu terhadap PDRB
semakin besar.
Sistem adalah keseluruhan interaksi
antar unsur dari sebuah obyek dalam batas
lingkungan tertentu yang bekerja mencapai
tujuan (Muhammadi et al., 2001; Coyle,
1996). Sebuah dinamika perilaku sistem
sangat ditentukan oleh struktur lingkar umpan
balik (feedback loops) (Sterman, 2000). Pada
suatu sistem tertutup terlihat adanya ciri-ciri
dinamis dari suatu sistem. Oleh karena itu
dalam metode sistem dinamik arah perhatian
lebih ditujukan pada sistem yang tertutup
atau sistem umpan balik. Morecrofta &
Wolstenholme (2007), menyatakan bahwa
sistem dinamik meliputi strategi, masalah
penataan struktur dan simulasi secara diskrit.
Tanaman perkebunan merupakan pe-
nyumbang terbesar ketiga setelah tanaman
pangan dan peternakan. Tanaman pangan
menyumbang sebesar 43,79%, peternakan
G Luas Lahan
Produksi Tebu
Rendemen
Produksi Gula
Tetes
Harga Gula Harga Tetes
Penerimaan Gula
Penerimaan Tetes
Kontribusi Tebu terhadap
PDRB
Total penerimaan
PBB
Biaya umum
Biaya bibit
Biaya kebunTMA
Total biaya
+
-
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
15
menyumbang sebesar 21,98%, dan tanaman
perkebunan menyumbang sebesar 21,43%.
Potensi ini perlu dipetakan agar dapat
ditemukan kebijakan-kebijakan untuk me-
nunjang pencapaian swasembada gula nasi-
onal. Nevez et al. (2009)menyatakan bahwa
gula mempunyai dampak energi, sosial serta
finansial, pekerjaan dan Gross Domestic Product (GDP).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisa peran komoditas tebu di Kabu-
paten Bondowoso dalam rangka mendukung
swasembada gula nasional.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kuantitatif, yaitu merupakan metode
penelitian yang dapat menggambarkan atau
mendeskripsikan fenomena-fenomena ber-
dasarkan angka-angka (kuantitatif) (Hamdi
2014).
Jenis data yang digunakan adalah data
kuantitatif. Sedangkan sumber data yang
digunakan adalah data primer, sekunder dan
studi literatur, yang diperoleh dari wawancara
dengan petani tebu, Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Jawa Timur, BPS Kabupaten
Bondowoso, dan Kementerian Pertanian.
Perhitungan Output sektor perkebunan
tanaman tebu
Perhitungan output tanaman tebu dide-
kati dengan menghitung produksi dari tanam-
an tebu dan biaya-biaya yang dikeluarkan
selama proses produksi hingga menjadi gula.
Perhitungan tersebut dilakukan menggunakan
metode sistem dinamik, baik pada komoditas
tanaman tebu di Kabupaten Bondowoso dan
komoditas tanaman tebu di Jawa Timur.
Dalam rumus Shift Share Esteban
Marquillas, terdapat unsur baru, yaitu
homothetic employment (E′ij) sebagai nilai tambah yang dicapai sektor i di suatu wilayah
jika struktur kesempatan kerja di wilayah
tersebut sama dengan struktur di tingkat
nasional. Unsur homothetic employment (E′ij)
dapat dirumus-kan sebagai berikut:
E′ij = Eij (Ein/En)
dimana: E′ij: homothetic employment Eij: PDRB sektor i di kabupaten Bondowoso Ein: PDRB sektor i di Provinsi Jawa Timur En: PDRB total Provinsi Jawa Timur
Analisis Shift Share Esteban Marquillas Alat Analisis Shift Share digunakan
untuk mengetahui kinerja perekonomian wila-
yah yang direfleksikan dalam bentuk partum-
buhan wilayah, kecepatan pertumbuhan relatif
sektor-sektor wilayah, dan daya saing sektor-
sektor wilayah (Harun & Canon 2006).
Analisis Shift Share digunakan untuk
mengetahui kinerja atau produktivitas kerja
perekonomian daerah (Khusaini, 2015), diban-
dingkan dengan produktivitas kerja perekono-
mian nasional yang digambarkan dari kinerja
sektor perekonomian suatu wilayah yang
dapat dilihat dari pergeseran differensial, yaitu
sebuah nilai untuk mengetahui seberapa
komparatif sektor tertentu suatu daerah di-
bandingkan dengan nasional. Jika bernilai
positif, berarti sektor i mempunyai kecepatan
untuk tumbuh dibandingkan dengan sektor i
di tingkat nasional. Jika bernilai negatif,
berarti sektor i cenderung menghambat
pertumbuhan dibandingkan tingkat nasional.
Berikut merupakan rumus perhitungan Shift Share:
Dij = Nij + Mij + Cij + Aij
dimana:
Dij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso
Nij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur
Mij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan sektor i di Provinsi Jawa Timur
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
16
Cij: Perubahan PDRB sektor i di Provinsi Jawa Timur yang disebabkan oleh keunggulan kompetitif sektor/subsektor i di Kabupaten Bondowoso
Aij: Bagian dari pengaruh keunggulan kompetitif yang menunjukkan adanya tingkat spesialisasi di sektor i di kabupaten Bondowoso
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Produksi Tebu
Dari 23 kecamatan yang ada di
Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Tapen
merupakan penghasil tebu terbesar di
Kabupaten Bondowoso dalam rentang waktu
tahun 2009–2015 (Gambar 2). Total produksi
Tebu yang dihasilkan (tahun 2009–2015) di
Kecamatan Tapen sebesar 174.130 ton.
Setelah Kecamatan Tapen, berturut turut
adalah Kecamatan Tamanan dan Sukosari
sebagai penghasil tebu terbesar dengan nilai
produksi masing-masing sebesar 87,602 ton
dan 48,549 ton. Selain terdapat penghasil
tebu terbesar, terdapat tiga kecamatan yaitu
Binakal, Sempol, dan Pakem, yang belum
terdapat tanaman tebu. Kecamatan Jambe-
sari dan Curahdami memproduksi tebu mulai
tahun 2011. Kecamatan Sumber Wringin
mulai tahun 2011 mengembangkan tebu dan
menunjukkan kecenderungan produksi yang
meningkat.
Total produksi tebu tertinggi dicapai
pada tahun 2014, yaitu sebesar 38.518 ton,
sedangkan produksi terendah pada tahun
2010 dengan jumlah produksi tebu sebesar
22.453 ton (Gambar 3). Walaupun per-
tumbuhan produksi tebu berfluktuasi, rata-
rata pertumbuhan produksi tebu di Bondowo-
so menunjukkan pertumbuhan sebesar 4,86%
per tahun.
Gambar 2. Data produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Bondowoso tahun 2009–2015 (ton/ha).
Kecamatan: 1. Maesan; 2. Grujugan; 3. Taman; 4. Jambersari; 5. Pujer; 6. Tlogosari; 7. Sukosari; 8. Sumber Wringin; 9. Tapen;10. Kecamatan Wonosari; 11. Tenggarang; 12.
Bondowoso; 13. Curahdami; 14. Binakal; 15 . Pakem; 16. Wringin; 17. Tegalampel; 18. Taman Krocok; 19. Klabang; 20. Botolinggo; 21. Sempol; 22. Prajekan; 23. Cerme
Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2017.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pro
du
ksi (
Ton
)
Lokasi (Kecamatan)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
17
Gambar 3. Total Produksi tebu di Kabupaten Bondowoso tahun 2009–2015 (BPS,
2016)
Shift Share Analisis
Terdapat dua keunggulan yang se-
tidaknya harus dimiliki dalam pengembangan
ekonomi lokal. Selain potensi keunggulan komparatif
perlu diketahui pula keunggulan kompetitif.
Untuk memahami pergeseran struktur komo-
ditas tebu atau sub sektor perkebunan serta
menghitung berapa besar share sub sektor
perkebunan atau aktivitas komoditas tebu di
Kabupaten Bondowoso dibandingkan dengan
wilayah Provinsi Jawa Timur dalam periode
waktu 2010–2016, digunakan analisis Shift-Share. Dengan memahami struktur aktivitas
komoditas tebu, dari hasil analisis Shift-Share dapat digunakan untuk menjelaskan ke-
mampuan berkompetisi (competitiveness) ko-
moditas tebu di Kabupaten Bondowoso secara
dinamis, terutama dalam hubungannya dengan
pertumbuhan wilayah. Suatu wilayah di-
katakan memiliki keunggulan kompetitif jika
dalam kurun waktu yang dianalisis, wilayah
tersebut mengalami pergeseran yang positif
(meningkat) untuk luas areal dan produksi
suatu komoditas, yang dapat dibandingkan
dengan wilayah lain. Berdasarkan hasil analisis
Shift Share Esteban Marquillas di sektor perkebunan khususnya tanaman tebu, maka
PDRB pada komoditas tebu mengalami pertam-
bahan nilai absolut atau mengalami kenaikan
kinerja perekonomian sebesar Rp. 5,925 Miliar,
yang dilihat dari nilai Dij yang positif. Untuk
keunggulan kompetitif, kabupaten Bondowoso
mempunyai keunggulan kompetitif, dan
spesialisasi. Keunggulan kompetitif tersebut
ditunjukkan Cij yang positif selama periode
pengamatan, sebesar 0,054 (Tabel 1).
Terdapat dua keunggulan yang
setidaknya harus dimiliki dalam pengembangan
ekonomi lokal. Selain potensi keunggulan
komparatif perlu diketahui pula keunggulan
5,925 Miliar, yang dilihat dari nilai Dij yang
positif. Untuk keunggulan kompetitif,
kabupaten Bondowoso mempunyai keunggulan
kompetitif, dan spesialisasi. Keunggulan
kompetitif tersebut ditunjukkan Cij yang positif
selama periode pengamatan, sebesar 0,054
(Tabel 1).
Tabel 1 Hasil analisis Shift Share tahun 2010-2015
Komoditas rij rin rn E'ij Eij-E'ij rij-rin
Gula 0,41 0,08 0,04 0,98 45,28 0,334
C'ij Aij Nij Mij Dij Spesia
lisasi
Keung
gulan
0,054 2,372 1,581 1,919 5,925 ADA ADA
Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2017 (Data
diolah)
Komoditas tebu mempunyai keunggulan
kompetitif dan spesialisasi, sehingga komodi-
tas tersebut sesuai untuk dikembangkan di
Kabupaten Bondowoso untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten tersebut.
Komoditas yang mempunyai keunggulan dan
spesialiasi rata-rata mampu berkembang
setiap tahunnya. Komoditas tebu mampu
menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar
2,372 karena adanya efek alokasi meskipun
mengalami kenaikan dan penurunan yang
berfluktuatif. Hal ini sesuai dengan pernya-
taan Nazara (1994) salah satu aspek penting
dalam perencanaan pembangunan ekonomi
adalah perencanaan pembangunan regional.
Dalam perencanaan terlebih dahulu harus
ditentukan prioritas tujuan sesuai dengan
karakteristik dan keadaan suatu daerah. Hasil
pada analisis shift share menunjukkan bahwa
Kabupaten Bondowoso memiliki spesialisasi
15,000.00
20,000.00
25,000.00
30,000.00
35,000.00
40,000.00
To
n
Produksi Tebu (Ton)
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
18
dan keunggulan kompetitif pada gula, se-
hingga sebagai salah satu kabupaten
penghasil tebu, maka tidak berlebihan jika
peningkatan produksi tebu dapat lebih di-
maksimalkan. Strategi yang dapat diterapkan
yakni membuka lahan-lahan tebu baru di
wilayah yang telah terdapat maupun yang
belum terdapat tanaman tebu serta me-
ningkatkan produktivitas pada lahan yang
telah ada.
Untuk mendukung pembangunan eko-
nomi Kabupaten Bondowoso, pemerintah
kabupaten sebaiknya memperhatikan potensi
daerah. Kebijakan yang diambil harus sesuai
dengan sektor pendukung perekonomian yang
ada di daerah tersebut (Tarigan, 2004).
Menurut Hidayah (2010) komoditas
unggulan adalah komoditas yang layak di-
usahakan karena memberikan keuntungan
kepada petani baik secara biofisik, sosial dan
ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak
secara biofisik jika komoditas tersebut di-
usahakan sesuai dengan zona agroekologi,
layak secara sosial jika komoditas tersebut
memberi peluang berusaha, menyerap tenaga
kerja, dan menguntungkan.
Implementasi pengembangan ekonomi
lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pe-
kerjaan dan kesempatan, serta memunculkan
strategi untuk menjaga agar sebagian besar
kesempatan memperoleh pendapatan berta-
han di daerah yang bersangkutan. Daerah
akan menerima manfaat berupa peningkatan
kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pening-
katan pendapatan rumah tangga, di samping
memperoleh pendapatan langsung (Boulle,
2002). Menurut Blakely & Bradshaw (2002)
konsep pembangunan ekonomi tersebut
mengabaikan konteks kewilayahan dan par-
tisipasi masyarakat lokal. Pembangunan eko-
nomi dan penciptaan lapangan kerja akan
lebih berhasil dan efektif jika disesuaikan
dengan kondisi dan potensi masing-masing
wilayah atau komunitas. Solusi-solusi yang
bersifat umum dan global terhadap semua
komunitas tidak akan berhasil karena meng-
abaikan konteks kewilayahan dan partisipasi
masyarakat pada masing-masing komunitas
atau wilayah.
Selain potensi lokal, penting untuk
mengetahui metode pertanian dan iklim yang
mempengaruhi produktivitas tebu. Hassan
(2008) menyatakan pengembangan tebu sa-
ngat tergantung pada curah hujan/iklim dan
sistem irigasi. Mengingat curah hujan di
Indonesia juga tidak bisa diprediksi pada
bulan-bulan tertentu. Penelitian Solomon & Li
(2016) menyatakan Indonesia menduduki
peringkat ketiga terbesar di dunia dalam
mengimpor dan mengkonsumsi gula.
Peningkatan produksi gula dan perdagangan
sangat diperlukan. Sejalan dengan penelitian
Li et al. (2006), menjelaskan bahwa industri
gula di Cina berkembang dengan pesat karena
didukung oleh kebijakan pemerintah, kreati-
vitas manajemen, dan inovasi teknologi. Hal
ini didukung oleh Kementerian Perindustrian
yang menyatakan bahwa menciptakan daya
saing daerah tidaklah mudah karena
menghadapi banyak hambatan, yaitu: 1)
kelembagaan, 2) keamanan, politik, sosial,
dan budaya, 3) wilayah ekonomi, 4) tenaga
kerja, dan 5) infrastruktur.
Mengingat Kabupaten Bondowoso mem-
punyai keunggulan kompetitif, dan spesialisasi
dibidang gula, maka sangat penting dalam
rangka mendukung swasembada gula dan
proses pembangunan dengan memperhatikan
potensi wilayah. Pengembangan perkebunan
tebu juga didukung keberadaan Pabrik Gula
(PG) Pradjekan di Kabupaten Bondowoso dan
PG-PG di sekitar Kabupaten Bondowoso,
seperti PG Semboro di Kabupaten Jember dan
PG Pandji, Olean dan Asembagus, di Kabu-
paten Situbondo. Sehingga produksi tebu
yang dihasilkan, tidak perlu takut tidak akan
tergiling, karena PG tersebut bisa menampung
tebu yang dihasilkan oleh petani. Kedepan,
diharapkan dapat dibuka daerah-daerah keca-
matan penghasil tebu baru untuk mendukung
swasembada gula nasional. Berdasarkan data
penyumbang tebu per Kecamatan, maka
Kecamatan Binakal, Sempol, dan Pakem
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
19
memiliki peluang yang besar sebagai
penyumbang tebu di Kabupaten Bondowoso.
Berdasarkan penelitian Khusaini (2015),
meningkatkan daya saing wilayah merupakan
hal yang tidak mudah dan tidak bisa dilakukan
dalam jangka pendek. Selain dukungan
potensi wilayah yang ada, perlu juga
dukungan pemerintah dengan peningkatan
infrastruktur yang lebih baik pada lahan-lahan
penghasil tebu, sehingga pada saat panen
kegiatan muat-angkut tebu bisa lebih mudah
dan meminimalisir berkurangnya rendemen
karena proses yang terlalu lama di lahan.
Dukungan pemerintah pada sarana produksi
juga diperlukan, mengingat tebu merupakan
bahan makanan yang sangat penting dan
tanaman yang sangat komersial (Tarimo &
Takamura, 1998). Tebu juga memberikan
kontribusi signifikan dalam ekonomi pertanian
(Ali et al., 2015). Pentingnya ketersediaan
gula dalam pencapaian swasembada dapat
dilakukan melalui peningkatan jumlah pasokan
gula dan rasionalisasi pada konsumsi. Ke-
naikan pasokan gula ditingkatkan melalui
produksi pada sumber dasarnya yaitu, dengan
mempertahankan lahan tebu dan meningkat-
kan luas lahan, serta produktivitasnya (El-
Sharif et al., 2015; Yunitasari et al., 2015).
Sedangkan untuk mendukung pencapaian
swasembada gula diperlukan luas lahan, letak,
dan daya dukung lahan sehingga akan
tercapai peningkatan kesejahteraan dan
kelangsungan hidup manusia di masa men-
datang (Lahamendu, 2015; Idjudin, 2013).
KESIMPULAN
Dalam kurun waktu 2010–2015, Kabu-
paten Bondowoso mempunyai potensi dan
keunggulan kompetitif dalam komoditas tebu
untuk mendukung program peningkatan
produksi tebu untuk pencapaian swasembada
gula nasional. Kecamatan Binakal, Sempol,
dan Pakem memiliki peluang yang besar
sebagai penyumbang tebu di Kabupaten
Bondowoso. Selain pengembangan potensi
lokal, perlu juga dukungan pemerintah dalam
peningkatan infrastruktur dan penyediaan
sarana produksi yang terjangkau.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang
telah memberikan dana hibah DRPM tahun
anggaran 2017 untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S., Badar, N., Fatima, H., 2015. Forecasting
production and yield of sugar cane and
cotton crops of Pakistan for 2013-2030. Sarhad J. Agric. 31, 1–9.
Blakely, Bradshaw, 2002. Planning local economic development: Theory and Practice, 3rd Ed,
SAGE Publication, California-USA.
Boulle, J., 2002. 13 Langkah KPEL untuk pengembangan ekonomi lokal, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional–United Nations Development Programme–United
Nations Human Settlements Programme
Jakarta. BPS Provinsi Jawa Timur, 2015. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten/ Kota Menurut Lapangan Usaha 2010–2014,.
Coyle, R., 1996. System Dynamics Modelling: Practical Approach, Chapman & Hall, London
9.
El-Sharif, L., Khairy, H., El-Eshmawiy, K., Awad, A., Rania, M., 2015. Economic Potentialities
Achieve Self-Sufficiency from Egyptian Sugar under the International Variables, American-
Eurasian Journal of Agriculture and Environ-
mental Sciences 5, 566–663. Hamdi, A., 2014. Metode Penelitian Aplikasi
dalam Pendidikan, Yogyakarta: Deepublish. 13.
Harun, U., Canon, S., 2006. Analisis, LQ shift
share untuk Mengukur Dampak Perluasan Kota terhadap Kinerja Ekonomi Regional,. J.
Perenc. Wil. dan Kota 17, 21–40. Hassan, S., 2008. Development of sugar industry
in Africa, Sugar Tech Journal 10, 197–203.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
20
Hidayah, I., 2010. Analisis Prioritas Komoditas Unggulan Perkebunan Daerah Kabupaten
Buru. J. Agrika 4, 1–8. Idjudin, A., 2013. Peranan Konservasi Lahan
dalam Pengelolaan Perkebunan. J. Sum-
berdaya Lahan 5, 103–116. Khusaini, M., 2015. A Shift Share Analysis on
Regional Competitiveness–A Case of Banyuwangi District, East Java, Indonesia,.
Procedia Soc. Behav. Sci. 211 738–744.
Koo, W., Taylor, R., 2011. Outlook of the US and world sugar markets, 2010–2020. US
Agricultural Economics Report No. 444, July 2000, North Dakota State University.
Lahamendu, V., 2015. Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan yang Berkelanjutan di
Pulau Bunaken Manado, Jurnal Sabua. 7,
383–388. Li, Rui, Y., Wei, An, Y., 2006. Sugar Industry in
China : R & D and Policy Initiatives to Meet Sugar and Biofuel Demand of Future, Sugar
Tech 4, 203–216.
Morecrofta, J., Wolstenholme, E., n.d. System dynamics in the U.K.: A Journey from
Stirling to Oxford and Beyond, Syst. Dyn. Rev. 2007 23, 205–214.
Muhammadi, Aminullah, E., Soesilo, B., 2001. Analisis sistem dinamis: Lingkung. hidup
Sos. Ekon. dan manajemen, Jakarta UMJ Press.
Nazara, S., 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Nevez, M., Vinicius, G., Consoli, M., 2009. The
sugar energy map of Brazil 18. P3GI, 2017. Data Kapasitas Giling Pabrik Gula di
Jawa Timur, Excel Worksheet. Pasuruan. Pertanian, K., 2016. Outlook Tebu 2016, Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian
Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian 17.
Solomon, S., Li, R., 2016. Editorial-The Sugar Industry of Asian Region. Sugar Tech 18,
557–558. Tarigan, R., 2004. Teori basis ekonomi, Bina
Grafika. Jakarta.
Tarimo, A., Takamura, Y., 1998. Sugarcane Production, Processing and Marketing in
Tanzania. Afr. Study Monogr. Yunitasari, D., Hakim, D., Juanda, B., Nurmalina,
R., 2015. Menuju Swasembada Gula
Nasional: Model Kebijakan untuk meningkatkan Produksi Gula dan
Pendapatan Petani Tebu di Jawa Timur. J. Ekon. dan Kebijak. Publik 1–15.
21
Pengaruh Penambahan Biomassa di Lahan Kering terhadap Diversitas Arthropoda Tanah dan Produktivitas Tebu
Sujak, Dwi Adi Sunarto, dan Subiyakto
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang
Email: [email protected] Diterima: 29 Maret 2018; direvisi: 20 Mei 2018; disetujui: 26 Mei 2018
ABSTRAK
Program pengembangan tebu saat ini diarahkan ke lahan kering yang memiliki ketersediaan air dan
kesuburan tanah yang terbatas, sehingga menjadi pembatas produktvitas tebu. Penambahan biomassa ke
lahan dapat meningkatkan kesuburan dan populasi arthropoda tanah/detrivora. Penelitian penambahan biomassa Crotalaria juncea pada lahan tebu dilaksanakan di Kebun Percobaan Asembagus, Situbondo mulai
bulan Januari - Juli 2015. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa pengaruh penambahan biomassa terhadap diversitas arthropoda tanah dan pengaruhnya terhadap produksi tebu. Perlakuan terdiri atas lahan
dengan penambahan biomassa (serasah tebu dan pupuk hijau C. juncea) dan lahan yang tanpa penambahan biomassa. Pengamatan kelimpahan arthropoda tanah dan tingkat diversitas dilakukan dengan
pemasangan pitfall traps dan yellow pan traps, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Collembola dan
Hymenoptera merupakan arthropoda tanah yang dominan. Indeks diversitas arhropoda tanah pada lahan dengan penambahan biomassa lebih tinggi (0,82–0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penambahan
biomassa (0,75–0,79). Untuk memperbaiki kondisi ekosistem diperlukan penambahan biomassa secara terus menerus. Penambahan biomassa pada tahun pertama berhasil meningkatkan kandungan C Organik tanah
dari 0,76 menjadi 1,06, dan meningkatkan kandungan N dari 0,03 menjadi 0,11, serta meningkatkan
produksi tebu dari 70,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.
Kata kunci: Biomassa Clotalaria juncea, lahan kering, diversitas arthropoda tanah.
Effect of Biomass Addition in Dry Land to Diversity of Soil Arthropods and Productivity of Sugarcane
ABSTRACT
The current sugarcane development program is directed to dry lands that have limited water availability and
soil fertility, thereby limiting the productivity of sugarcane. In order to restore soil fertility and reduce the evaporation of groundwater, the addition of biomass in the form of trash (dried leaves) of sugarcane as well
as the addition of green manure (Clotalaria juncea). Biomass addition to the land could increase soil fertility and the population of soil arthropods/detrivores. The experiment was conducted at Asembagus
Experimental Station, Situbondo from January 2015–July 2015. The purpose of this research was to analyze
the effect of biomass addition to the diversity of soil arthropods and sugarcane productivity. Treatments consisted of land with the addition of biomass (sugarcane/sugarcane and green manure C. juncea) and
control. Observation of the abundance of soil arthropods and diversity level was done by setting pitfall traps and yellow pan traps, observation was done monthly. The results showed that the order of Collembola and
Hymenoptera were dominant arthropods. The diversity index of ground arhropods on the land with biomass
increments was higher (0.82–0.84) than that in the land without biomass addition (0.75–0.79). In order to improve the ecosystems condition, it is required the addition of biomass continuously. The addition of
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:21−31 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.21–31
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
22
biomass in the first year succeeded in increasing the organic C content of soil from 0.62 to 1.06 and increasing the production of sugar cane from 70.4 tons/ha to 101.4 tons/ha.
Keywords: Clotalaria juncea biomass, dry land, soil arthropods diversity.
PENDAHULUAN
rogram pengembangan tebu saat ini
diarahkan ke lahan kering, dimana di
lahan tersebut tingkat kesuburan tanahnya
rendah dengan ketersediaan air yang ter-
batas. Tanah di lahan kering umumnya mis-
kin unsur hara dan miskin bahan organik,
sehingga tidak mengherankan poduktivitas
tebu di lahan kering lebih rendah dibanding di
lahan sawah. Sulistyaningsih et al. (1994)
melaporkan bahwa kendala utama rendahnya
produktivitas tebu dilahan kering adalah
rendahnya kesuburan tanah dan terjadinya
cekaman kekeringan. Rendahnya produkti-
vitas tebu akibat semakin menurunnya/ ter-
degradasi kesuburan tanah di lahan pe-
ngembangan tebu hingga mencapai kategori
rendah hingga sangat rendah yaitu kan-
dungan N 0,06% (sangat rendah), P2O5 7,26
ppm (sangat rendah), K2O 53,97 ppm
(rendah) dan bahan organik 1,11 (sangat
rendah) (Hariyono 2017). Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas
tanah, dengan penambahan biomassa berupa
pupuk hijau (Clotalaria juncea) dan serasah
tebu. Menurut Suma & Savitha (2015)
penambahan biomassa merupakan prioritas
dalam menciptakan pertanian berkelanjutan.
Penambahan biomassa dapat menyebabkan
perbaikan kualitas tanah, terutama pening-
katan bahan organik tanah (Purwanti, 2017).
Pada tanaman tebu penambahan unsur hara
ke lahan baik berupa hara anorganik maupun
organik sangat diperlukan. Hal ini karena
setiap panen tebu 100 ton/ha akan terbawa
sekitar 195 kg N, 30-82 kg/ha P2O5 dan 117–
600 kg/ha K20 dari dalam tanah (Hunsigi,
1993). Penambahan bahan organik ke tanah,
selain memperbaiki kualitas tanah diharapkan
dapat memicu peningkatan diversitas
arthropoda tanah sebagai dekomposer.
Purwanti (2017) melaporkan bahwa
keragaman spesies serangga, utama-nya
serangga tanah (detrivora) akan meningkat
setelah perlakuan mulsa jerami.
Penambahan biomassa ke lahan perta-
nian merupakan salah satu cara upaya memo-
difikasi habitat, untuk meningkatkan kinerja
arthropoda tanah sebagai bagian dari sistem
pengelolaan hama, antara lain dengan menye-
diakan habitat yang sesuai untuk per-
kembangannya (Mudjiono, 1993; Nurindah,
2013). Menurut Soebandrijo et al. (2001)
pemanfaatan serasah tanaman yang diletak-
kan diantara baris tanaman selain dapat
meningkatkan kandungan bahan organik
tanah, juga dapat berfungsi sebagai penarik
arthropoda tanah antara lain ekor pegas
sebangsa Collembola. Penambahan biomassa
pada lahan memperbesar komposisi detrivora,
jenis detrivora yang dominan adalah Colem-
bolla (Purwanti, 2017). Keberadaan
arthropoda tanah sangat diperlukan terutama
dalam proses dekomposisi serasah.
Penambahan biomassa kelahan tebu
diharapkan dapat meningkatkan populasi
arthropoda tanah yang akan diikuti juga
meningkatnya populasi musuh alami sehingga
akan menekan keberadaan hama. Peranan
arthropoda tanah dalam suatu ekosistem
adalah sebagai pelaku perombakan bahan
organik.
Beberapa mikroarthropoda tanah yaitu
Collembola mempunyai mulut yang mampu
mencacah bahan organik sambil memakan
mikroflora yang menempel pada serasah.
Frakmentasi dan reduksi menjadi partikel-
partikel lembut mempunyai dampak penting
dalam proses perombakan dan mineralisasi
(Elkins & Whitford, 1982). Pencacahan
serasah menjadi potongan kecil-kecil
P
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
23
dilakukan oleh mikroarthropoda tanah
(Peoletti et al., 1991). Peran kedua
mikroarthropoda tanah berperan dalam alih
energi dan pengaliran mineral (Seasteadt,
1984).
Penelitian diversitas arthropoda tanah
pada tanaman tebu di Indonesia dengan
berbagai jenis ekosistem sangat terbatas.
Oleh karena itu penelitian penambahan bio-
massa dan pengaruhnya terhadap diversitas
arthropoda tanah pada pertanaman tebu di
lahan kering tanah berpasir serta pengaruh-
nya terhadap produksi tebu akan memberikan
informasi yang berguna dalam pengelolaan
habitat, termasuk pengelolaan hama dan
tanah. Hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk menilai kestabilan suatu ekosistem.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
pengaruh penambahan biomassa C. juncea dan serasah tebu dilahan kering terhadap
diversitas arthropoda tanah pada tebu ratoon.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Perco-
baan Asembagus, Situbondo mulai bulan
Januari 2015 sampai dengan Juli 2015. Lahan
di KP Asembagus berjenis tanah pasir dengan
kandungan pasir >90%, tergolong lahan
kering beriklim kering (jumlah curah hujan
652,7 mm dan jumlah hari hujan dalam
setahun 56 hari). Lahan tebu seluas 0,6 ha
dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu (1) lahan
dengan penambahan biomassa serasah (12,5
ton/ha) dan pupuk hijau (15 ton/ha) dan (2)
lahan tanpa penambahan biomassa dan tidak
ditanami C. juncea. Serasah diperoleh dari
daun dan pucuk tebu dari tebu tanam
pertama (PC). Serasah diberikan setelah
panen kemudian dikepras. Pupuk hijau
diperoleh dari tanaman C. juncea yang di-
tanam setelah kepras dan dipanen pada umur
50 hari. Selanjutnya biomassa C. juncea ditaruh dekat barisan tebu dan dibumbun
dengan tanah.
Sistem tanam juring ganda 170–50 cm.
Tanaman yang digunakan adalah tanaman
tebu kepras pertama varietas Bululawang.
Penyulaman dilakukan pada tanaman 1 bulan
setelah kepras. Dosis pupuk yang digunakan
400 kg pupuk majemuk NPK + 600 kg pupuk
tunggal N yang mengandung Sulfur.
Pemupukan pertama diberikan satu bulan
setelah kepras, yaitu seluruh pupuk majemuk
dan 1/3 dosis pupuk tunggal N yang
mengandung Sulfur dan pemupukan kedua
diberikan 3 bulan setelah kepras yaitu 2/3
pupuk tunggal N yang mengandung Sulfur.
Pengambilan sampel/koleksi arthropoda
tanah dilakukan setiap bulan mulai Januari–
April dengan sistem koleksi masal dengan
menggunakan pitfall traps dengan ukuran
diameter 7 cm dan tinggi 10 cm serta yellow pan traps dengan ukuran diameter 15 cm dan
tinggi 6 cm. Pitfall traps digunakan untuk
menangkap microarthropoda tanah, sedang-
kan yellow pan traps digunakan untuk
menangkap arthropoda permukaan tanah.
Pada masing-masing perlakuan dipasang 16
pitfall traps (4 titik x 4 ulangan) dan 16 yellow pan traps (4 titik x 4 ulangan) dipasang
secara diagonal memotong tengah kebun
dengan jarak 10 meter. Pitfall traps dibenamkan ke dalam tanah dengan per-
mukaan rata dengan tanah. Yellow pan traps diletakkaan di dekat titik perangkap pitfall traps dengan jarak 1 m. Yellow pan traps diletakkan di atas tanah yang di sekitarnya
terbuka, setiap perangkap diisi air dicampur
deterjen agar arthropoda yang terperangkap
mati, pengisian air dicampur deterjen seper-
tiga tinggi gelas dan diatasnya diberi peneduh
plastik untuk menghindarkan masuknya air
hujan. Perangkap dipasang mulai bulan Ja-
nuari sampai dengan April. Arthropoda yang
teperangkap pada masing-masing perangkap
diambil setelah 24 jam lalu dimasukkan dalam
kantong plastik secara terpisah kemudian
dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
24
Preservasi dan Identifikasi Spesimen hasil koleksi dipisahkan
berdasarkan ordo dan kemudian di preservasi.
Dalam penelitian ini digunakan tiga teknik
preservasi yaitu preservasi basah dilakukan
dengan menempatkan arthropoda ke dalam
botol yang telah diisi alkohol 80%; preservasi
kering menggunakan jarum serangga standar
dan atau dengan kertas mounting (mounting cards) tergantung kelompoknya. Spesiemen
yang disimpan pada slide dilakukan proses
yang sesuai dengan kelompoknya dengan
medium Hoyer (Henderson, 2001). Identifi-
kasi dilakukan di Laboratorium Entomologi,
Balittas Malang., dengan mencocokkan
dengan koleksi serangga yang ada di Balittas
atau dengan bantuan buku Panduan
Pengenalan Pelajaran Serangga (Donald et al.,
1992) dan buku Pest of Crop in Indonesia (Kalshoven, 1981).
Untuk melengkapi data pengaruh
penambahan biomassa dibandingkan dengan
lahan tanpa penambahan biomassa juga
dilakukan analisa tanah untuk mengetahui
kandungan C organik tanah dengan metode
Walkley Black dengan sistem Spektrofoto-
meter dan N dengan metode Kjeldahl dengan
sistem Titrimetri.
Pengamatan produktivitas dilakukan
dengan pengambilan sampel sebanyak 5 titik
secara diagonal pada masing–masing perla-
kuan, setiap titik diamati 10 m dengan cara
dipanen dan ditimbang.
Analisa Data Diversitas serangga yang berasosiasi
dengan tanaman tebu dihitung dengan indeks
diversitas yang dikembangkan oleh Shanon–
Weaver (Southwood, 1978) sebagai berikut:
H’ = – ∑ [(ni/n)Ln(ni/n)]
H’ = Indeks diversitas ni = Jumlah total individu dari satu spesies n = Total individu dari seluruh spesies Ln = Logaritma naturalis.
Rumus indeks kemerataan (El) dari Pielou.
EL=H'
LnS
H’ = indeks diversitas,
S = Jenis seluruhnya
Ln = Bilangan logaritma
Kekayaan Jenis (R) adalah banyaknya spesies
didalam komunitas. Kekayaan jenis (R)
dientukan dari rumus Margalef (Ludwig,
1998).
R =S-1
LnN
S = Jenis seluruhnya
N = Jumlah seluruhnya
Indeks dominansi (λ) ditentukan dari
Southwood (1978).
= ∑Ni(ni − 1)
𝑛 (𝑛 − 1)
ni = adalah jumlah total individu dari satu
spesies, N = total individu dari seluruh
spesies.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan Arthropoda Tanah Arthropoda tanah yang tertangkap
terdapat 5–6 ordo. Jumlah arthropoda tanah
yang terperangkap oleh pitfall traps dan
yellow pan traps lebih lebih banyak pada
lahan dengan penambahan biomassa dari
pada lahan tanpa penambahan biomassa.
Pada lahan dengan penambahan biomassa
jumlah arthropoda yang terperangkap pitfall traps dan yellow pan traps ada 1.374 dan
1.148 ekor, sedangkan pada lahan tanpa
penambahan biomassa 905 dan 893 ekor.
Penambahan biomassa ke lahan dapat me-
ningkatkan kelembaban tanah, menurunkan
suhu permukaan tanah dan menjadikan ha-
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
25
bitat yang lebih sesuai untuk kehidupan
arthropoda tanah (Boror et al., 1996). Pada
lahan penelitian yang ditambahkan biomassa
rata-rata suhu tanah 26oC, sedangkan pada
lahan tanpa penambahan biomassa suhu
tanah 29oC. Hal yang sama terjadi pada
penambahan mulsa jerami padi di lahan
perkebunan kapas. Menurut (Subiyakto et
al., 2005); 2016) penambahan biomassa
jerami padi pada lahan perkebunan kapas
dapat meningkatkan kelembaban, menurun-
kan suhu permukaan tanah, meningkatkan
ketersediaan dan kualitas pakan serta suhu
yang optimum untuk perkembangan arthro-
poda tanah.
Tabel 1. Kelimpahan arthropoda tanah hasil
penangkapan dengan pitfall traps dan
yellow pan traps pada lahan tebu dengan penambahan biomassa dan C. juncea (BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)
No Ordo Pitfall traps Yellow pan traps
BC TB BC TB
1 Collembola 635 a 544 a 947 a 733 a 2 Hymenoptera 693 a 302 a 92 a 76 a 3 Diptera 0 a 0 a 0 a 2 a 4 Coleoptera 7 a 16 a 36 a 26 a 5 Araneae 27 a 35 a 25 a 28 a 6 Hemiptera 12 a 8 a 48 a 28 a
Jumlah 1.374 905 1.148 893
Lahan yang kaya bahan organik populasi
arthropoda tanah relatif tinggi dibanding lahan
yang miskin bahan organik (Settle & Whitten,
2000). Atekan (2016) melaporkan bahwa
bahan organik selain dapat memperbaiki sifat
fisik dan kimia tanah juga merupakan sumber
energi bagi aktivitas mikroba tanah. Erwinda
et al. (2017) dan Warino et al. (2017)
menyebutkan bahwa populasi Colembolla
tertinggi ditemukan pada daerah pangkal
pohon sawit dan daerah gawangan kompos,
dimana kedua tempat tersebut banyak
mengandung bahan organik.
Zulfika (1990) melaporkan bahwa pem-
berian penutup tanah berupa jerami dapat
meningkatkan kadar air 17,17%–27,02%.
Penambahan biomassa pada lahan berpasir
dapat memperkecil terjadinya evaporasi dan
meningkatkan absorbsi air tanah. Penambah-
an biomassa juga dapat mempertahankan
kelembapan tanah, karena penambahan bio-
massa merupakan salah satu usaha
menambah bahan organik pada tanah
sehingga absorbsi air meningkat, selain itu
juga memperbesar kapasitas menahan air dan
memperkecil terjadinya kehilangan air serta
mengendalikan gulma (Sutedjo & Mulyadi,
1996; Suripin, 2002; Basuki, 2014).
Berdasarkan Tabel 1. Metode pitfall traps lebih banyak menangkap ordo Hyme-
noptera, Ordo Hymenoptera yang dominan
adalah jenis semut (Formicidae) baik semut
hitam (Myrmica sp.) maupun semut merah,
populasi semut yang paling melimpah ter-
dapat pada perlakuan lahan dengan penam-
bahan biomassa dibanding lahan tanpa
penambahan biomassa dengan perbandingan
693 dan 302 ekor. Semut adalah kelompok
organisme teristrial karena memiliki kera-
gaman yang tinggi dan mendominasi di
banyak ekosistem (Permana et al., 2012).
Neves et al (2010) melaporkan bahwa semut
menempati berbagai tingkat trofik dan ber-
kontribusi sangat besar dalam berbagai proses
yang terjadi dalam ekosistem. Semut juga
berperan sebagai perombak biomassa/ bahan
organik (detrivora), sehingga dapat me-
ningkatkan kondisi untuk pertumbuhan ta-
naman dengan mengembalikan hara dan
nutrisi tanah, serta sebagai predator serangga
hama (Lange et al., 2008; Purwanti, 2017).
Metode yellow pan traps lebih banyak
menangkap ordo Collembola dan populasi
Colembolla lebih banyak ditemukan pada
perlakuan lahan dengan penambahan bio-
massa dibanding lahan tanpa penambahan
biomassa dengan perbandingan 947 dan 733
ekor. Colembola merupakan organisme yang
hidup didalam tanah dan dikelompokkan
sebagai mesofauna karena ukurannya yang
kecil. Colembolla sangat berperan dalam
ekosistem tanah karena jumlahnya yang sa-
ngat besar. Colembola berperan secara tidak
langsung sebagai perombak biomassa/bahan
organik tanah dan sebagai indicator pe-
rubahan keadaan tanah (Suhardjono et al.,
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
26
13.25
11
13.2512.25
BC TB
Jumlah/Jenis Arthropoda
Pitfall traps Yellow pan traps
2012). Colembola juga dijadikan indikator
untuk pemantauan suatu ekosistem (Migliorini
et al., 2005) Colembola berperan juga untuk
menjaga keberlangsungan hidup predator
sebagai musuh alami serangga hama (Ponge
et al., 2003; Kanal, 2004). Metode yellow pan traps selama pengamatan mampu menangkap
ordo Coleoptera pada lahan dengan penam-
bahan biomassa sebanyak 36 ekor, sedangkan
lahan tanpa penambahan biomassa 26 ekor,
ordo Hemiptera pada lahan dengan penam-
bahan biomassa sebanyak 48 ekor sedangkan
lahan tanpa penambahan biomassa 28 ekor.
Metode pitfall traps menangkap ordo Coleop-
tera pada lahan dengan penambahan
biomassa sebanyak 16 ekor, sedangkan lahan
tanpa penambahan biomassa 7 ekor. Ordo
Coleop-tera sangat berperan penting dalam
fungsi ekosistem, disamping itu memiliki
keaneka-ragaman yang tinggi dan melimpah
(Schowalter, 2011). Selain sebagai herbivora
dan predator, ordo Coleoptera juga sebagai
dekomposer dalam proses penguraian bahan
organik (Price et al., 2011). Ordo Hemiptera
pada lahan dengan penambahan biomassa
sebanyak 12 ekor, sedangkan lahan tanpa
penambahan biomassa 8 ekor. Oleh karena
itu dalam merancang penelitian analisa
diversitas arthropoda tanah pemilihan metode
trap sangat diperlukan.
Diversitas arthropoda tanah Nilai indeks diversitas (H’) pada lahan
dengan penambahan biomassa lebih tinggi,
baik dengan metode pitfall traps (0,82)
maupun dengan metode yellow pan traps (0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penam-
bahan biomassa hanya 0,79 dan 0,75
(Gambar 1). Walaupun indeks diversitas pada
lahan dengan penambahan biomassa secara
kuan-titatif lebih tinggi, namun pada dua
lahan nilai indeks diversitasnya masing-masing
masih berada di bawah 1 (H’< 1,0). Nilai H’ <
1,0 berarti lahan yang digunakan untuk
penelitian memiliki kategori diversitas rendah,
mengindi-kasikan di lahan tersebut jumlah
jenis dan individu kurang beragam dan
ekosistemnya tidak stabil.
Gambar 1. Indeks diversitas artropoda pada lahan tebu dengan penambahan biomassa
(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB).
Indeks jenis individu Indeks jenis individu pada lahan
dengan penambahan biomassa baik peng-amatan dengan menggunakan metode pitfall trapsdan yellow pan trap membe-rikan hasil yang sama, rata-rata 13,25. Pada lahan tanpa penambahan biomassa metode pitfall traps menghasilkan 11 dan metode yellow pan traps menghasilkan 12,25 (Gambar 2).
Gambar 2. Indeks jumlah/jenis Artropoda pada
lahan tebu dengan penambahan bio-
massa (BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)
Indeks kemerataan Indeks kemerataan (E) adalah total
individu yang didapatkan tersebar dalam
setiap spesiesnya. Indeks kemerataan di-
gunakan untuk mengukur tingkat kemerataan
atau kelimpahan jenis yang terdistribusi di
antara jenis dalam suatu komunitas (Ludwig,
0.82
0.79
0.84
0.75
BC TB
Pitfall traps Yellow pan traps
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
27
1998). Krebs (1972) melaporkan bahwa
semakin kecil indeks kemerataan maka
semakin kecil pula kemerataan populasi, yang
berarti penyebaran jumlah individu jenis tidak
sama dan ada kecenderungan satu spesies
mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin
besar indeks kemerataan maka semakin besar
penyebaran jumlah individu setiap jenis sama
dan tidak ada kecenderungan dominasi salah
satu.
Indeks kemerataan (E) pada lahan
dengan penambahan biomassa dan lahan
tanpa penambahan biomassa dengan peng-
amatan pitfall traps dan yellow pan traps nilainya sangat rendah berkisar 0,25–0,29
Gambar 3). Nilai indeks kemerataan yang
rendah mengindikasikan terjadi dominasi pada
jenis tertentu, dalam hal ini Collembola dan
Hymenoptera. Ordo Hymenoptera didominasi
oleh jenis semut. Hal ini menunjukkan bahwa
distribusi arthropoda tanah tidak merata baik
pada lahan dengan penambahan biomassa
maupun lahan tanpa penambahan biomassa.
Gambar 3. Indeks kemerataan artropoda pada
lahan tebu dengan penambahan bio-massa (BC) dan tanpa penambahan
biomassa (TB)
Kekayaan Jenis Kekayaan jenis (R) pada lahan dengan
penambahan biomassa lebih tinggi 2,20 di-
banding lahan tanpa penambahan biomassa
yaitu 2,00 (Gambar 4). Tingginya nilai (R)
pada lahan dengan penambahan biomassa
disebabkan karena secara kumulatif jenis
seluruh arthropoda (S) pada lahan dengan
penambahan biomassa lebih tinggi dari pada
lahan tanpa penambahan biomassa.
Gambar 4. Indeks kekayaan artropoda pada lahan
tebu dengan penambahan biomassa (BC) dan tanpa biomassa (TB)
Indeks dominansi
Indeks dominansi (λ) menunjukkan
besarnya peranan suatu spesies organisme
dalam hubungannya dalam komunitas secara
keseluruhan. Nilai indeks dominansi berkisar
antara 0–1, semakin kecil nilai indeks
dominasi maka semakin kecil pula dominansi
populasi yang berarti penyebaran jumlah
individu setiap jenis sama dan tidak ada
kecenderungan dominasi dari satu jenis.
Begitu pula sebaliknya semakin besar nilai
indeks dominansi, maka ada kecenderungan
dominansi dari salah satu jenis (Krebs, 1972).
Gambar 5. Indeks dominasi artropoda pada lahan
tebu dengan penambahan biomassa
(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)
Dominansi jenis arthropoda (λ) pada
lahan dengan penambahan biomassa dan
lahan tanpa penambahan biomassa berkisar
0,53–0,57 (Gambar 5). Indeks dominansi
(λ)>0,5 menunjukkan bahwa ada kecende-
rungan jenis arthropoda yang mendominansi
2.22
1.88
2.162.09
BC TB
Pitfall traps Yellow pan traps
0.53
0.54
0.55
0.57
BC TBPitfall traps Yellow pan traps
0.28
0.27
0.29
0.25
BC TB
Pitfall traps Yellow pan traps
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
28
dari kedua lahan, dengan demikian di
dapatkan populasi yang tinggi pada
arthropoda tertentu. Rata-rata dominansi
arthropoda pada lahan tanpa penambahan
biomassa lebih tinggi dari pada lahan dengan
penambahan biomassa hal ini karena pada
lahan tanpa penambahan biomassa diversitas
dan kemerataan jenis lebih kecil dari pada
lahan dengan penambahan biomassa.
Subiyakto et al. (2005) melaporkan bahwa
lahan yang diberi mulsa jerami padi menye-
babkan mikroarthropoda tanah (Collembola
dan Akarina) lebih melimpah dibanding
dengan lahan tanpa diberi mulsa jerami padi.
Dilihat dari aspek pengendalian hama
penambahan biomassa pada lahan kering dan
tanah berpasir pada tahun yang sama dapat
meningkatkan diversitas (H’), meningkatkan
indek kemerataan (E) dan menurunkan indeks
dominansi (λ) arthropoda tanah walaupun
belum maksimal. Penambahan bahan organik
ke lahan yang terus menerus diharapkan
dapat meningkatkan kualitas tanah, me-
ningkatkan Collembola dan meningkatkan
indeks diversitas arthropoda tanah.
Arthropoda tanah seperti Colembolla
merupakan mangsa alternatif bagi predator
sebelum inang utama datang. Penambahan
biomassa ke lahan tebu selain menjadikan
permukaan tanah menjadi lembab juga me-
nyediakan pakan yang cukup untuk arthro-
podda tanah. Arthropoda tanah memakan
bahan organik seperti serasah tebu (Buckman
& Brady, 1982; Adianto, 1993). Moore (1988)
melaporkan bahwa mulsa jerami/serasah
merupakan basis makanan mikroarthropoda
tanah, sedang mikroarthropoda tanah adalah
mangsa alternatif arthropoda predator.
Dengan tersedianya mangsa yang cukup
maka arthropoda predator akan melimpah,
populasi serangga hama akan turun.
Keragaman hayati yang tinggi dapat
digunakan sebagai indikator stabilnya suatu
ekosistem (Inayat & Rana 2010).
Tabel 2. Hasil analisa tanah lahan dengan penambahan biomassa dan C. juncea
(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB) dan produktivitas tebu.
Perla-kuan
Kadar air (%)
C-Organik (%)
N (%)
Produktivitas tebu (on/ha)
BC 1,39 1,06 0,11 101,4
TB 1,38 0,76 0,03 76,4
Penambahan biomassa dan C. juncea
telah meningkatkan C Organik tanah dari 0,76
menjadi 1,06 dan meningkatkan N dari 0,03
menjadi 0,11 serta meningkatkan produksi
tebu dari 76,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.
Keragaman fauna pada lahan dengan penam-
bahan biomassa meningkat sehingga akan
me-ningkatkan karbon-nitrogen dan dekom-
posisi berbagai senyawa menjadi hara
(Kennedy & Islam, 2001). Dengan demikian
terjadi perbaikan senyawa kimia tanah (Tabel
2). Hal ini menunjukkan bahwa ada siklus
hara yang juga tersedia sebagai salah satu
layanan ekologi dalam agro-ekosistem.
Basuki et al. (2014) melaporkan bahwa
pengembalian serasah dan C. juncea dapat
meningkatkan produksi tebu dibanding
perlakuan pemberian brangkasan kacang
tanah, pupuk kandang dan kontrol. Pemberian
mulsa sisa tanaman dapat menekan laju
penguapan dan menjaga agre-gasi tanah dan
porositas tanah. Suhu yang optimal untuk
arthropoda tanah akibat penambahan bio-
massa sangat menguntungkan bagi Colem-
bolla sebagai decomposer sebab tingginya
populasi Colembolla akan mempercepat pe-
mecahan bahan organic menjadi senyawa
nutrisi yang tersedia bagi tanaman (Purwanti,
2017). Pemberian mulsa sisa tanaman ka-
cang tanah dan C. juncea di Bobonaro Timor
Timur dengan kondisi lingkungan yang kering
dapat meningkatkan hasil kacang hijau 233%
(Indrawati, 1998). Demikian juga dengan
pemberian mulsa 12 ton/ha dapat me-
ningkatkan jumlah polong kacang tanah
pertanaman 96%, berat kacang tanah 117%,
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
29
berat biji 123% dan persentase biji normal
28% (Ispandi, 1998). Dengan demikian
sistem budi daya tebu dengan penambahan
bio-massa dapat direkomendasikan sebagai
solusi untuk meningkatkan kesuburan tanah
karena meningkatnya kelimpahan arthropoda
tanah dan meningkatkan produktivitas tebu
dilahan kering berpasir. Kesuburan tanah bisa
dipelihara oleh arthropoda tanah/ detrivora
melalui dua mekanisme, yaitu dengan
meningkatkan dekomposisi dan meningkatkan
populasi dekomposer sekunder yang akan
menyederhanakan bahan organik kompleks
menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman
(Culliney, 2013).
KESIMPULAN
Collembola dan Hymenoptera merupa-
kan arthropoda tanah yang dominan di lahan
kering berpasir. Penambahan biomassa
menyebabkan populasi arthropoda tanah/
detrivora lebih melimpah bila dibandingkan
dengan lahan tanpa penambahan biomassa.
Penambahan biomassa berhasil meningkatkan
indeks diversitas (H’) dan indeks kemerataan
(E), tetapi menurunkan indeks dominansi (λ)
arthropoda tanah. Untuk memperbaiki kondisi
ekosistem diperlukan penambahan biomassa
secara terus menerus. Penambahan biomassa
C. juncea pada tahun pertama telah mening-
katkan C Organik tanah dari 0.62 menjadi
1,06, mwningkatkan N dari 0,11 menjadi 0,03,
serta meningkatkan produksi tebu dari 76,4
ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada para penelaah naskah ini yang telah
memberikan masukan yang berharga.
Penelitian ini didanai dari DIPA Balitas Tahun
Anggaran 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto, 1993. Biologi Pertanian, Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni, Bandung.
Atekan, 2016. Kompos limbah tebu dan bakteri pelarut fosfat untu memperbaiki ketersediaan san serapan tanaman jagung di Alfisol. Universitas Brawijaya.
Basuki, T., Djumali, Verona, L., 2014. Penggu-naan Clotalaria juncea L. dalam Peningkatan Bahan Organik Tanah Hemat Biaya di Lahan Kering Pengem-bangan Tebu, in: Prosiding Seminar Nasional Tebu. Badan Litbang Pertanian, Malang, pp. 169–172.
Boror, Donald J., Triplehorn, Charles A., Johnson, N., 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Buckman, H.O., Brady, N.C., 1982. Ilmu tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Culliney, T., 2013. Role of Arthropods in Maintaining Soil Fertility. Agriculture 3, 629–659. https://doi.org/10.3390/agriculture3040629
Donald J. Borror, Charles A, T., Norman F, J., 1992. Pengenalan pelajaran serangga, 6th ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Elkins, N.Z., Whitford, W.G., 1982. The role of microarthropods and nematodes in decomposition in a semi-arid ecosystem. Oecologia 55, 303–310. https://doi.org/10.1007/BF00376916
Erwinda, Widyastuti, R., Djajakirana, G., Suhardjono, Y.R., 2017. Keanekara-gaman dan fluktuasi kelimpahan Collembola di sekitar tanaman kelapa sawit di perkebunan Cikasungka, Kabupaten Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia 13, 99.
Hariyono, B., 2017. Perbaikan kualitas tanah untuk peningkatan produktivitas tebu >10 ton hablur/ha. Malang.
Henderson, R.C., 2001. Technique for positional slide-mounting of Acari. Journal Systematic and Applied Acarology. 7, 1–4.
Hunsigi, G., 1993. Production of Sugarcae. Theory and Practise, 1st ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin, Germany.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
30
https://doi.org/10.1007/978-3-642-78133-9
Inayat, T., Rana, S., Khan, H., Rehman, K., 2010. Diversity of insect fauna in cropland of district Faisalabad. Pak. J. Agri. Sci 47, 245–250.
Indrawati, 1998. Pengelolaan lengas tanah dalam usahatani lahan kering, in: Prossiding Seminar Nasional Dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. p. 185.
Ispandi, A., 1998. Pengaruh bagas terhadap status hara tanah dan produksi ubi jalar/kacang tanah di tanah alfisol, in: Prossiding Seminar Nasional Dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. pp. 135–136.
Kalshoven, L.G., 1981. Pest of crop in Indonesia. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Kanal, A., 2004. Effects of fertilisation and edaphic properties on soil-associated Collembola in crop rotation. Journal Agronomy Research 2, 153–168.
Kennedy, I., Islam, N., 2001. The current and potential contribution of asymbiotic nitrogen fixation to nitrogen require-ments on farms. a review. Austr J of Experi Agriculture 41, 447–457.
Krebs. C.J., 1972. Ecology the Experimental Analysis of Distribotion and Abudance. Harper and Row., New York.
Ludwig, J., Reynolds, J., 1998. Stastitical Ecology, A Primer o. ed. Jonh Wiley & Sons, New York.
Migliorini, M., Pigino, G., Caruso, T., Fanciulli, P., Leonzio, C., Bernini, F., 2005. Soil Communities (Acari Oribatida; Hexapoda Collembola) in a Clay pigeon Shooting range. Pedobiologis 49, 1–13.
Moore, J., Walter, D., Hunt, H., 1988. Arthropods regulation of micro and mesobiota in below-ground detrital food webs 33, 419–435.
Mudjiono, G., 1993. Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Neves, F., Rodrigo, F., Mario, M., Jacques, H., Fernandes, G., Azofeifa, G., 2010. Diversity of Arboreal Ants in a Brazilian Tropical Dry Forest: Effects of Seasonelity and Succesional Stage. Sociobiology 56, 1–18.
Peoletti, M., Favretto, M., Stinner, B., Parrington, F., Bater, B., 1991. Invertebrate as Bioindicators of soil Use. Agric. Ecs. Environ 34, 341–362.
Permana, Y., Nur, F.F., Khalimun, A., 2012. Keragaman jenis dan Peranan Semut (Hymenoptera; Formicidae) pada Perta-naman Cabai dan Buah Naga di Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembang-an Pertanian (KP4) UGM. Prosiding Kongres VIII dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia. Peran dan Tantangan Entomologi di Era Global. Bogor 24-25 Januari 2012. 99–106.
Ponge, J., Gillet, D.F., Fedoroff, E., Haese, L., Sousa, J., Lavelle, P., 2003. Collembola Communities as bioidicators of landuse Intensification. Soil Biology and Biochemistry. 35, 813–826.
Price, T., Brownell, K., Raines, M., Smith, C., Gandhi, K., 2011. Multiple detections of two exotic Auger Beetles of the genus Sinoxylon (Coleoptera: Bostrichidae) in Georgia, USA. Florida Entomol 94, 354-355.
Purwanti, E.W., 2017. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Berbasis Konservasi dan Augmentasi Detrivora di Lahan Padi Sawah (Oryza sativa L.). Universitas Brawijaya, Malang.
Schowalter TD, 2011. Insect Ecology An Ecosistem Approach. Oxford.
Seasteadt, T.R., 1984. The Role of Microarthropods in Decomposition and Mineralization Processes, 29th ed. Rev. Entomol, Annu.
Settle, W.H., Whitten, M.J., 2000. The Rule of Small Scale Farmers in Stengthening Linkages Between Biodiversity and Sustainable Agriculture. XXI Intenational Congres of Entomology, Brazil, pp. 20–26.
Soebandrijo, S. Hadiyani, S.A. Wahyuni, dan M.S., 2001. Peranan Seresah dan Gulma dalam Meningkatkan diversitas Hayati dan Pengendalian Serangga Hama Kapas di Indonesia. Prosiding Simposiun Keanekaragan Hayati pada system Pertaian, Bogor.
Southwood, T.R.W., 1978. Ecological Methods, Second Edi. ed. Champman and Hall.
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
31
Subiyakto, 2016. Pengendalian hama dan penyakit penting pada tanaman tebu. Bogor.
Subiyakto, Chailani, S.R., Mujiono, G., Syekhfani, S., 2005. “Pengaruh Bobot Mulsa Jerami Padi Terhadap Kelimpahan Mikroarthropoda Tanah Pada Tumpangsari Kapas Dan Kedelai., in: Prossiding Seminar Nasional Dan Kongres Biologi XIII,. CV. Prima Garafika., Yogyakarta, p. 314–323.
Suhardjono, Y., Deharveng, L., Bedos, A., 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (ekor pegas). Vegamedia., Bogor.
Sulistyaningsih, Y.C., Dorly, Hilda, A., 1994. Studi Anatomi Daun Saccharum spp. sebagai Induk dalam Pemuliaan Tebu. Hayati 1, 32–36.
Suma, R., Savitha, C., 2015. Integrated Sugarcane Trash Management: A Novel Technology for Sustaining Soil Health and Sugarcane Yield. Adv Crop Sci Tech 3.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sutedjo dan M. Mulyadi, 1996. Makro Biologi Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Warino, J., Rahayu Widyastuti, Yayuk R Suhardjono, B.N., 2017. Keanekaragaman dan kelimpahan Colembolla pada perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Bajubang. Jurnal Entomologi Indonesia 14, 51–57.
Zulfika, F., 1990. Pengaruh Penutup Tanah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Universitas Sriwijaya.
32
Daya Hasil Genotipe Harapan Tebu di Lahan Kering
Abdurrakhman 1,2), Bambang Heliyanto2), Djumali 2), Damanhuri1), dan Noer Rahmi Ardiarini1)
1)Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya,
Jl. MT Haryono 169 Malang 65145 Indonesia 2)Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat,
Jalan Raya Karangploso Km.4, Kotak Pos 199, Malang-65152 Email: [email protected]
Diterima: 23 Januari 2018; direvisi: 20 Maret 2018; disetujui: 22 Juni 2018
ABSTRAK
Pengembangan tebu di Indonesia saat ini sebagian besar terdapat di lahan kering, oleh karena itu perakitan
varietas toleran kekeringan merupakan suatu langkah yang bijaksana, karena merupakan pendekatan yang paling mudah aplikasinya dan ekonomis. Saat ini telah diperoleh beberapa genotipe harapan tebu untuk lahan
kering. Penelitian ini bertujuan unuk mengkaji daya hasil genotipe tebu hasil persilangan untuk pengembangan
di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Ngemplak, Pati dari bulan Januari sampai dengan November 2017, menggunakan 8 genotipe tebu yang berpotensi toleran kering dibandingkan dengan 2
varietas PS 864 dan Kenthung) sebagai pembanding. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok yang diulang tiga kali. Petak yang digunakan berukuran 5 m x 10 m, serta jarak pusat ke pusat (PKP) 1 m,
atau 10 juring dengan panjang masing-masing 5 m. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah batang per meter juring, jumlah ruas, panjang batang, bobot batang, nilai brix nira batang
bagian atas, tengah dan bawah, rendemen serta hasil hablur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe
berpengaruh terhadap keragaan hasil tebu dan komponen hasilnya. Genotipe MLG 1308 mempunyai produksi hablur tertinggi diantara genotipe lain, 21% lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding PS 864 dan 156%
dibandingkan dengan Kenthung. Dengan demikian genotipe MLG 1308 adalah genotipe harapan untuk pengembangan tebu di lahan kering.
Kata kunci: Saccharum officinarum, uji daya hasil, lahan kering, genotipe unggul
Yield of Promising Genotypes of Sugarcane in Dry Land
ABSTRACT
Sugarcane cultivation in Indonesia have been mostly done in dry lands, therefore consructing tolerant varieties
to dry-agro-ecological condition is a wise decision as it is easily applicable and economically feasible. Currently, some genotypes tolerant to dry condition have been identified. This research was aimed to test the yield
performance of potentially drought tolerant genotypes. The reserch was done in Research Station Ngemplak, Pati on January to December 2018, used 8 genotypes and two varieties (PS 864 and Kenthung) as comparision
varieties. The research used randomized block design with 3 replicates. Plot size was 5 m x 10 m and the distance from center to center was 1 m, 10 rows with length 5 m per row. The parameters observed were
plant height, stem diameter, number of stalk per m row, number of internode per stalk, length and weight of
stalk, upper stem brix, mid and lower, sugar content/sucrose content and sugar yield per ha. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by Duncan Multiple Range Test at 5% level. Results
showed that genotypes affected the performances of yield and its component characters. MLG 1308 showed
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:32–38 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018. 32–38
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
33
the highest sugar yield per ha among the other genotypes, 21 % and 156 % higher than that of variety PS 864 and Kenthung varieties, respectively. Therefore, genotype MLG 1308 is considered as a promising
genotype to support the development of sugarcane in dry areas.
Keywords: Saccharum officinarum, yield test, dry land, superior genotypes
PENDAHULUAN
ebu (Saccharum officinarum L.)
merupakan tanaman yang memiliki nilai
ekonomis tinggi, baik sebagai penghasil gula
untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga,
industri minuman,dan makanan serta farmasi
(Nurmalasari & Murdiyatmo, 2012). Pada era
tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi
negara eksportir gula terbesar di dunia, namun
kini Indonesia adalah salah satu importir
terbesar dunia (Susila & Sinaga, 2005) dengan
nilai sekitar US$ 900 juta atau ekivalen 2 juta
ton gula setiap tahun (Anonim, 2010).
Penyebabnya, selain konsumsi gula dalam
negeri semakin meningkat, juga akibat
kebijakan pertanian yang kurang mendukung,
meningkatnya konversi lahan pertanian di
Jawa, peralihan penanaman tebu dari lahan
sawah ke lahan kering dan marginal, akibat
persaingan yang ketat dengan tanaman
pangan, serta penurunan produktivitas tebu
dan rendahnya rendemen (Heliyanto et al., 2016) (Mardianto et al., 2005). Pergeseran
lahan pengembangan tebu di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa, dari yang semula di
lahan sawah ke lahan kering perlu diantisipasi
dengan bijaksana. Lahan kering pada umum-
nya dicirikan mempunyai tingkat kesuburan
yang rendah sampai sedang dan ketersediaan
air sebagai faktor pembatas. Penggunaan va-
rietas unggul baru tebu yang toleran terhadap
cekaman kekeringan merupakan langkah yang
tepat. Teknologi ini diharapkan dapat men-
dukung pengembangan tebu di wilayah yang
mempunyai agroekologi kering. Hasil evaluasi
terhadap program akselerasi peningkatan pro-
duksi gula nasional selama tiga tahun terakhir
menunjukkan bahwa penggunaan varietas
unggul mampu memberikan kontribusi yang
besar, yaitu melalui peningkatkan produktivitas
sebesar 23-46% (Rasyid,et al., 2006).
Upaya perakitan varietas tebu untuk
lahan kering telah dilakukan baik secara kon-
vensional maupun inkonvensional. Secara
konvensional, upaya persilangan intra dan inter
spesifik telah dilakukan Balittas sejak tahun
2010. Persilangan ini melibatkan tetua proven parent dengan produktivitas dan rendemen
tinggi serta tetua donor ketahanan kekeringan
dari spesies lain (Saccharum spontaneum dan
Erianthus sp.) (Heliyanto et al., 2013; Heliyanto
et al., 2016). Hasil persilangan ini telah
menghasilkan 3 genotipe potensial tahan ke-
ring yaitu, MLG 1308, MLG 10189 dan MLG
10198 (Heliyanto, et al., 2014; 2015). Secara
inkonvensional, peneliti dari Universitas Jem-
ber bekerjasama dengan PTP N XI telah
melakukan pengembangan produk rekayasa
genetika (PRG) dengan mentransfer gen
ketahanan kekeringan dari Rhizobium meliloti ke genom tebu varietas BL dan diperoleh
beberapa PRG toleran kering, salah satunya
NXI-1T (Nurmalasari & Murdiyatmo, 2012).
Disamping upaya persilangan dan seleksi
di atas, beberapa genotipe potensial tahan
kering juga diperoleh dari hasil pertukaran
dengan institusi/perorangan, yaitu, HCW 438,
HCW 40, HCW 440 dan GMP 4 (Heliyanto, et
al., 2015). Tujuan penelitian ini adalah untuk
menguji daya hasil genotipe-genotipe potensial
tebu tahan kering pada lahan dengan
agroekologi kering. Diharapkan dari penelitian
ini dapat diperoleh genotipe tebu harapan
untuk mendukung pengem-bangan tebu di
lahan dengan kondisi agroekologi kering.
T
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
34
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada akhir
Januari sampai November 2017 di Kebun
Percobaan (KP) Ngemplak Muktiharjo, Pati,
Jawa Tengah. Lokasi penelitian memiliki
ketinggian 5 m dpl, dengan tipe iklim D
menurut klasifikasi Oldeman (1975) dengan
bulan basah berturut-turut 4-5 bulan, bulan
kering kurang dari 8 bulan, curah hujan rata-
rata 1.500 mm/tahun dan jenis tanah Alfisol.
Bahan tanam yang digunakan terdiri dari
delapan genotipe tebu toleran kering, hasil
hibridisasi dan evaluasi serta korespon-densi
plasma nutfah beserta 2 varietas pembanding,
yakni PS 864 dan Kenthung. Pupuk yang
diberikan sebanyak 180 kg N + 60 kg P2O5 +
60 kg K2O per ha setara dengan 600 kg ZA +
400 kg NPK (15:15:15) per ha.
Kegiatan dilaksanakan menggunakan
rancangan acak kelompok dengan tiga ula-
ngan. Ukuran petak yang digunakan adalah 5
x 10 m2 dengan panjang juring (sistem tanam
tebu dalam baris) 5 m, jarak pusat ke pusat
(PKP) 1 m, sehingga terdapat 10 juring dalam
1 petak. Pengambilan sampel dilakukan de-
ngan terlebih dahulu menentukan titik sampel,
yaitu 1 m dalam juring yang telah ditentukan
sebelumnya. Tanaman yang diamati adalah 2
tanaman yang berada dalam 1 m titik sampel.
Pengamatan dilakukan setiap bulan dengan
parameter yang diamati meliputi tinggi ta-
naman, diameter batang, jumlah batang per
meter juring, jumlah ruas, panjang batang,
bobot batang, persen brix nira batang bagian
atas, tengah dan bawah, produktivitas,
rendemen serta hasil hablur. Data yang di-
peroleh dianalisis dengan Analysis of Variance
(ANOVA) pada tingkat keperca-yaan 95%.
Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
5%. Pemilihan genotipe harapan didasarkan
pada pemban-dingan dengan varietas kontrol
pada tiga karakter utama yaitu produksi hablur,
produktivitas dan rendemen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan parameter pertumbuhan dan
hasil tebu serta komponen produksinya dari 10
genotipe tebu pada kondisi agroekologi kering
disajikan pada Tabel 1-3. Pertumbuh-an dan
hasil tebu beragam antar genotipe. Hal ini
menunjukkan bahwa respon tanaman tebu
sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, dalam
hal ini genotipe yang digunakan. Hasil yang
sama dilaporkan oleh (Gomathi, et al., 2013)
dan Smiullah et al. (2013) untuk karakter tinggi
tanaman, Santoso et al. (2015), Gomathi et al.
(2013) dan Ahmed et al. (2014) pada karakter
diameter batang Ahmed et al. (2014) pada
karakter jumlah dan panjang ruas serta Khan
et al. (2012) dan Tolera et al. (2014) pada
karakter bobot batang. Tabel 1 menunjukkan bahwa diantara
genotipe yang diuji, pertumbuhan keatas
tertinggi, baik pada 8 BST maupun 10 BST,
dihasilkan oleh MLG 10189 disusul oleh MLG
1308, HCW 90 dan NXI-1T. Rata-rata
pertumbuhan ke lima genotipe tersebut tidak
berbeda dengan dua varietas pembanding (PS
864 dan Kenthung) pada 8 BST dan pada 10
BST (Tabel 1). Untuk pertumbuhan diameter
batang umur 8 BST dan 10 BST, genotipe MLG
10189 secara konsisten menunjukkan ukuran
terbesar dan berbeda dengan kedua varietas
pembanding, sedangkan untuk karakter jumlah
ruas umur 8 BST dan 10 BST, genotipe NXI-1T
mempunyai jumlah ruas terbanyak dibanding-
kan yang lain dan varietas pembanding.
Angka brix menunjukkan persen jumlah
zat padat terlarut yang terkandung dalam
batang tebu. Menurut Panwar, et al. (2014)
angka brix berperan penting dalam menen-
tukan kadar sukrosa tebu. Tabel 2 menunjuk-
kan bahwa pada 8 genotipe yang diuji.
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
35
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah ruas pada sepuluh genotipe tebu di lahan kering
Genotipe Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Jumlah Ruas
8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST
HCW 438 122,67 bc 163,00 c 2,81 bc 2,81 b 11,53 d 15,67 b-e HCW 90 168,40 a 209,33 ab 3,11 ab 3,14 a 12,33 b-d 16,07 bc HCW 440 97,00 c 117,33 d 3,24 a 3,24 a 11,67 cd 14,40 de N XI- 1T 165,13 a 199,00 a-c 2,84 b-c 2,84 b 14,20 a 18,13 a GMP 4 140,00 ab 179,00 bc 2,30 d 2,31 d 12,87 bc 14,20 e MLG 10189 176,00 a 215,67 ab 3,27 a 3,27 a 14,20 a 16,33 b MLG 10198 166,67 a 204,00 ab 2,59 cd 2,59 cd 12,53 b-d 15,93 b-d MLG 1308 174,67 a 204,00 ab 2,47 d 2,51 cd 13,13 ab 16,00 bc PS 864 (Kontrol) 172,00 a 221,00 a 2,85 bc 2,85 b 12,80 b-d 15,67 b-e Kentung (Kontrol) 149,00 ab 179,33 bc 2,90 bc 2,90 bc 12,13 b-d 14,53 c-e
KK/CV (%) 14,18 10,90 6,24 4,47 5,53 5,61
Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
Tabel 2. Keragaan brix atas, brix tengah dan brix bawah sepuluh genotipe tebu di lahan kering
Genotipe Brix atas Brix tengah Brix bawah
8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST
HCW 438 21,10 ab 21,17 bc 22,07 a-c 23,90 a 22,57 bc 23,90 a HCW 90 18,17 d-f 18,67 de 19,50 de 20,17 c 20,57 de 20,23 d HCW 440 17,17 ef 18,83 de 20,90 cd 20,83 c 22,47 bc 21,17 cd N XI- 1T 20,37 a-c 22,67 ab 23,40 ab 23,67 a 24,00 ab 24,07 a GMP 4 17,83 e-f 22,17 ab 20,67 cd 23,87 a 21,33 c-e 24,53 a MLG 10189 19,83 b-d 23,70 a 21,63 bc 23,83 a 22,10 cd 24,00 a MLG 10198 18,70 c-e 21,03 bc 21,23 cd 21,50 bc 21,60 c-e 22,47 a-c MLG 1308 20,07 b-d 21,27 bc 21,30 cd 22,67 ab 21,83 c-e 23,10 ab PS 864 (Kontrol) 16,33 f 20,43 cd 18,73 e 21,07 bc 20,13 e 21,70 bc Kentung (Kontrol) 18,23 d-f 20,20 cd 21,60 bc 20,57 c 20,83 de 21,97 bc
KK (%) 8,673 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76
Keterangan : angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
Angka brix terbesar pada umumnya pada
batang bagian bawah kemudian disusul tengah
dan atas. Hal ini disebabkan karena selama
proses pemasakan, tebu menyimpan sukrosa
mulai dari batang bawah menuju ke atas
sampai ke pucuk tanaman. Dengan demikian
semakin ke atas kandungan sukrosanya
semakin kecil. Hasil ini sejalan dengan Toppa,
et al. (2010) yang melaporkan bahwa tiga ruas
dari batang bawah mengandung sukrosa lebih
tinggi dibanding-kan dengan ruas di atasnya,
begitu pula seterusnya. Angka brix terbesar,
baik pada umur 8 maupun 10 BST dan hampir
pada semua bagian batang (bawah, tengah,
dan atas) dimiliki oleh genotipe MLG 10189
disusul oleh NXI-1T, HCW 438 dan MLG 1308;
angka brix yang dihasilkan oleh 5 genotipe ini
lebih besar dibandingkan kedua varietas pem-
banding.
Produktivitas tertinggi dihasilkan oleh
genotipe MLG 1308 (85,96 ton/ha) disusul oleh
MLG 10198 (71,56 ton/ha) (Tabel 3). Produkti-
vitas kedua genotipe ini lebih tinggi dibanding-
kan varietas Kenthung, namun tidak berbeda
bila dibandingkan dengan PS 864 (74,70
ton/ha). Rata-rata produkivitas nasio-nal tebu
dibawah 70 ton/ha (Ditjenbun, 2017),
sedangkan Santoso, et al. (2015) menyatakan
bahwa produktivitas tebu diatas 70 ton/ha di
lahan kering sudah tergolong tinggi.
Rendemen tebu merupakan komponen
utama kedua dalam budidaya tebu. Dalam
penelitian ini, rendemen dipengaruhi oleh
genotipe yang digunakan (Tabel 3). Hasil yang
sama dilaporkan oleh Santoso, et al. (2015)
dan Heliyanto, et al. (2015). Tabel 3
menunjukkan bahwa rendemen genotipe yang
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
36
Tabel 3. Keragaan panjang batang, jumlah batang, bobot batang, produktivitas, brix , rendemen dan hablur umur 10 bulan pada sepuluh genotipe tebu di lahan kering
Genotipe Panjang Batang (Cm)
Jumlah batang/m
Bobot Batang
(kg)
Produktivitas (ton/ha)
Brix Rata2
Rendemen (%)
Hablur (ton/ha)
HCW 438 132,33 d 5,67 de 1,031 cd 49,04 de 22,99 ab 10,89 ab 5,35 d
HCW 90 175,33 a 4,60 e 1,700 a 65,88 bc 19,69 e 9,32 e 6,16 b-d
HCW 440 93,33 e 6,53 cd 0,961 cd 55,15 cd 20,28 de 9,60 de 5,22 d
N XI-IT 165,00 a-c 5,53 de 1,245 bc 55,21 cd 23,47 a 11,11 a 6,10 cd
GMP 4 145,00 cd 8,00 bc 0,762 d 51,03 cd 23,54 a 9,44 de 5,06 d
MLG 10189 181,67 a 5,60 de 1,381 b 63,13 b-d 23,84 a 11,29 a 7,13 bc
MLG 10/198 170,00 ab 8,27 b 1,032 cd 71,56 ab 21,67 b-d 10,26 b-d 7,16 bc
MLG 1308 170,00 ab 10,13 a 1,049 cd 85,96 a 22,34 a-c 10,58 a-c 9,04 a
PS 864 (Kontrol) 187,00 a 6,40 d 1,432 b 74,70 ab 21,07 c-e 9,97 c-e 7,43 b
Kentung (Kontrol) 147,00 b-d 4,20 e 1,031 cd 35,70 e 20,53 de 9,72 de 3,53 e
KK/CV (%) 8,6 19,76 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76
Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
diuji bervariasi dari 9,32 sampai 11,29.
Rendemen tertinggi dihasilkan oleh genotipe
MLG 10189 (11,29%) disusul oleh GMP4
(11,11%), HCW 438 (10,89%), dan MLG1308
(10,58). Rendemen ketiga genotipe tersebut
berbeda nyata dengan varietas pembanding
PS864 (9,97%) dan Kenthung (9,72%).
Genotipe tebu yang ditanam di lahan kering
dengan rendemen diatas 10% merupakan
genotipe yang berpotensi tinggi untuk pe-
ngembangan tebu di lahan kering.
Hasil hablur dipengaruhi oleh genotipe
tebu yang digunakan (Tabel 3). Genotipe MLG
1308 menghasilkan hablur tertinggi (9,04
ton/ha) dan berbeda dengan varietas pem-
banding PS 864 (7,43 ton/ha) dan Kenthung
(3,53 ton/ha), sedangkan 3 genotipe lainnya
(MLG 10198, MLG 10189 dan HCW 90) memiliki
hasil hablur yang tidak berbeda dengan PS 864,
masing-masing sebesar 7,16 ton/ha, 7,13
ton/ha, dan 6,16 ton/ha.
Uji Daya Hasil adalah tahap akhir dalam
upaya perakitan varietas tanaman (Kuswanto,
et al., 2009). Genotipe terpilih akan dievaluasi
lebih lanjut daya adaptasinya di beberapa
lokasi sebelum dilepas sebagai varietas unggul
baru. Genotipe dengan stabilitas luas akan
dilepas sebagai varietas unggul nasional,
sedangkan genotipe unggul dengan adaptasi
sempit akan dilepas sebagai varietas spesifik
lokasi. Dalam penelitian ini, secara kompre-
hensif, genotipe MLG 1308 terpilih sebagai
genotipe harapan untuk pengembangan tebu
di lahan dengan agroekologi kering. Genotipe
MLG 1308 merupakan hasil persilangan
biparental antara tebu (S. officinarum) dengan
gelagah (S. spontaneum). Menurut Pandey et
al. (2010), S. officinarum merupakan jenis tebu
dengan kandungan sukrosa tinggi dan batang
besar namun memiliki kandungan serat yang
rendah, sedangkan S. spontaneum adalah jenis
tebu liar yang mempunyai sifat ketahanan
terhadap hama/penyakit serta biomasa tinggi
(dicirikan dengan jumlah anakan banyak). Dengan demikian, diduga sifat unggul genotipe
MLG 1308 berasal dari kedua tetuanya.
Menarik untuk dicatat bahwa produksi
hablur genotipe MLG 1308 melampaui genotipe
NXI-1T, yang merupakan produk rekayasa
genetik (PRG) (Nurmalasari & Murdiyatmo,
2012) (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa
keragaan PRG tidak selalu memberikan hasil
yang superior dibandingan dengan keragaan
genotipe hasil persilangan konvensional. Kom-
pleksitas dan besarnya pengaruh lingkungan di
lapang seringkali menghambat kemampuan
meng-ekspresikan gen kekeringan yang telah
ditransfer ke genotipe NX1-1T, sehingga hasil
akhir berupa produktivitas tinggi yang diharap-
kan pada tanaman trasngenik tidak tercapai.
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
37
Fenomena yang sama dijumpai pada budidaya
kapas transgenik tahan hama Bt Bollgard (Nu
Cotton) di Sulawesi Selatan pada MT 2001 dan
2002. Gen Bt (gen penyandi ketahanan ter-
hadap penggerek buah dan pucuk) yang
ditransfer ke genom tanaman kapas ternyata
tidak mampu memberikan hasil dan
keuntungan yang berbeda dengan kapas lokal
hasil persilangan konvensional. Lebih lanjut
dilaporkan oleh (Hasnam & Sulistyowati, 2007)
bahwa serangan hama non target yaitu
Amrasca biguttula (wereng kapas) yang cukup
parah (akibat pekanya varietas transgenik Nu
Cotton) dan mahalnya harga benih kapas
transgenik adalah dua faktor yang menyebab-
kan gagalnya pengembangan kapas transge-
nik di Propinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena
itu perakitan varietas menggunakan metode
konvensional melalui persilangan masih dapat
diandalkan untuk memperoleh varietas unggul.
KESIMPULAN
Pertumbuhan dan hasil tebu di lahan
dengan agroekologi kering beragam antar
genotipe. MLG 1308 adalah genotipe harapan
untuk mendukung pengembangan tebu di
lahan kering. Oleh karena itu, genotipe ini
perlu diuji multilokasikan agar dapat dilepas
sebagai varietas unggul baru (VUB) untuk
pengembangan tebu di lahan kering.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada para penelaah naskah ini yang telah
memberikan masukan yang sangat
bermanfaat. Penelitian ini biayai oleh DIPA
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat
(Balittas) tahun anggaran 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M., Baiyeri, K.P., Echezona, B.C., 2014. Evaluation of organic mulch on the growth and yield of sugarcane (Saccharum ojficinarum L.)
in a southern guinea savannah of Nigeria. The Journal of Animal &. Plant Sciences 24, 329–335.
Anonim, 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 35 p.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. In: Tebu 2015-2017. p. 40 pp.
Gomathi, R., Rao, P.N.G., Rakhiyappan, P., Sundara, B.P., Shiyamala, S., 2013. Physiological studies on ratoonability of sugarcane varieties under tropical Indian condition. American Journal of Plant Sciences 4, 274–281.
Hasnam, M., Sulistyowati, E., 2007. Kemajuan Genetik Varietas Unggul Kapas Indonesia Yang Dilepas Tahun 1990-2003. Perspektif. 6, 19–28.
Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S., 2015. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 45 p.
Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S., 2016. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 51.
Heliyanto, B., Marjani, Anggraini, T.A., Sumartini, S., Sulistyowati, E., 2013. Perakitan varietas unggul tebu tahan lingkungan sub optimal secara konvensional dan transgenik untuk mendukung swa sembada gula. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 55 p.
Heliyanto, H., Sumartini, S., Basuki, S., 2014. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 52 p.
Khan, I.A., Bibi, S., Yasmin, S., Khatri, A., Seema, N., Abro, S.A., 2012. Correlation studies of agronomic traits for higher sugar yield in sugarcane. Pakistan Journal ofBotany. 44, 969–971.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
38
Kuswanto, Waluyo, B., Sutopo, L., Affandi, A., 2009. Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kacang Panjang Toleran Hama Aphid dan Berdaya Hasil Tinggi. Agrivita 31, 31–40.
Mardianto, S., Simatupang, P., Hadi, P.U., Malian, H., Susmiadi, A., 2005. Peta jalan (Road map) dan kebijakan pengembangan industri gula nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23, 19–37.
Nurmalasari, M., Murdiyatmo, U., 2012. Keragaan tebu produk rekayasa genetika (PRG) toleran kekeringan pada berbagai tipe lahan dan iklim. Makalah Seminar Kongress IKAGI di Surabaya, 8-9 Februari 2012.
Oldeman, L.R., 1975. An Agroclimatic Map of Java. Central Research Institut for Agricultur., Bogor.
Pandey, D.K., Kumar, S., Singh, P.K., Singh, J., Swapna, M., Singh, R.K., 2010. Biodiversity of Sugarcane (Saccharum Species) for Development and Poverty Alleviation. National. Conference on Biodiversity, Development and Poverty Alleviation 22nd May 2010. IISR, Lucknow. 57–60.
Panwar, R.N., Keerio, H.K., Keerio, A.R., 2014. Evaluation of sugarcane genotypes for yield contributing traits under thatta conditions. Pakistan J. Agric. Res. 18, 34–36.
Rasyid, A., Mulyadi, M., Sofiah, S., 2006. Kebun peragaan dan kesesuian varietas tebu unggul terhadap fisik lingkungan. Agritek. 15, 1–11.Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni, S.D., 2015. Uji adaptasi varietas unggul tebu pada kondisi agroekologi kering. Jurnal Littri 21, 109–116.
Sinaga, B.M., Susila W R, 2005. Pengembangan industri gula Indonesia yang kompetitif pada situasi persaingan yang adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24, 1–9.
Smiullah, F.A., Khan, U., Ijaz, L., Abdullah, M., 2013. Genetic variability of different morphological and yield contributing traits in different accession of Saccharum ojficinarum L. Universal Journal of Plant Science. 1(2): 43-4, 43–48.
Tolera, B., Diro, M., Belew, D., 2014. Effects of 6-benzyl aminopurine and kinetin on in vitro shoot multiplication of sugarcane (Saccharum officinarum L.) varieties. Advances in Crop Sciences and Technology. 2, 1–5.
Toppa, E.V.B., Jadoski, C.J., Julianetti, A., Hulshof, T., Ono, E.O., Rodrigues, J.D., 2010. Toppa, E.V.B., C.J. Jadoski, Physiology Aspects of Sugarcane Production. http://revistas.unicentro.br/index.php/repaa/article/viewFile/ 1065/1257. [Diunduh Tgl. 19 Juni 2013].
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
39
Strategi Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Nurindah dan Titiek Yulianti
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang
Email: [email protected] Diterima: 4 April 2018; direvisi: 20 Mei 2018; disetujui: 26 Mei 2018
ABSTRAK
Fenomena perubahan iklim terjadi karena aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan, diantaranya adalah deforestasi, emisi gas dari kegiatan industri, dan pembakaran biomassa. Komponen iklim yang
berubah, yaitu peningkatan suhu udara, konsentrasi CO2 dalam atmosfer, dan hujan berpengaruh terhadap tanaman tebu, serangga serta mikro organisme yang berasosiasi dengan tanaman tebu. Perubahan iklim
lebih banyak menyebabkan pengaruh negatif terhadap tanaman tebu dan interaksi trofik antara tanaman
tebu, serangga herbivora dan mikro organisme penyebab penyakit tanaman dan musuh alami herbivora maupun antagonis mikro organisme. Peningkatan suhu udara menyebabkan perubahan fisiologis pada
tanaman tebu yang berakibat meningkatnya infestasi serangga herbivora dan infeksi patogen penyebab penyakit tanaman. Peningkatan komposisi CO2 dalam atmosfer menurunkan sistem ketahanan tanaman
terhadap herbivora, sehingga dapat memicu terjadinya out break; dan berpengaruh positif, negatif, maupun tidak berpengaruh terhadap perkembangan penyakit tanaman. Perubahan iklim mengharuskan sistem
pengelolaan serangga hama dan penyakit tanaman tebu untuk menerapkan aksi mitigasi maupun adaptasi
perubahan iklim untuk memperoleh produksi tebu yang optimal dan sistem budidaya tebu yang berkelanjutan. Dalam tinjauan ini dibahas pengaruh perubahan iklim terhadap perkembangan serangga
hama dan patogen penyebab penyakit pada tanaman tebu, serta strategi pengelolaannya.
Kata kunci: penggerek tebu, luka api, tebu, perubahan iklim
Management Strategy for Sugarcane Pests to Anticipate the Climate Change
ABSTRACT
Climate change phenomenon occurs due to human activities in managing the environment, such as deforestation, gas emissions from industrial activities, and biomass burning. The changing of climate
components, ie, rising air temperatures, CO2 concentration in atmosphere, and precipitation have an effect on sugarcane, as well as on insects and micro-organisms associated with sugarcane. Climate change causes
negative effects on sugar cane and trophic interactions between sugarcane crops, herbivorous insects and
plant-causing micro-organisms and natural enemies of herbivores as well as micro-organism antagonists. Increased temperatures lead to physiological changes in sugarcane resulting in increased insect infestation
of herbivores and pathogenic infections o the plant. Increased CO2 composition in atmosphere decreases the plant resistance system to herbivores, thus triggering an outbreak; and may have a positive, negative, or no
effect on the development of the diseases. Climate change requires pest and sugarcane pest control systems to implement climate change mitigation and adaptation actions to obtain optimal cane production and
sustainable sugarcane cultivation systems. In this review, we discussed the effects of climate change on the
development of insect pests and pathogen causes of disease in sugarcane crops, and the strategy to manage them.
Keywords: climate change, sugarcane borer, sugarcane smut
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:39−53 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v9n1.2018.39−54
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
40
PENDAHULUAN
klim dalam suatu wilayah didefinisikan
sebagai suatu kondisi atau keadaan rata-
rata cuaca pada suatu daerah yang luas,
ditentukan berdasarkan perhitungan waktu
yang lama (11 hingga 30 tahun) dan
dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi
wilayah tersebut. Aktivitas di bidang
pertanian yang berhubungan dengan
kebutuhan tanaman atas komponen iklim,
misalnya ketersediaan air dari curah hujan,
suhu, kelembapan udara, dan intensitas
penyinaran matahari, ditentukan berdasarkan
pola iklim yang ada, sehingga waktu tanam
maupun tindakan antisipasi proteksi tanaman
dari cekaman biotik maupun abiotik dapat
direncanakan. Pada saat sekarang, telah
banyak bukti bahwa telah terjadi perubahan
iklim dimana perubahan ini disebabkan karena
aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan
hidupnya. Deforestasi, emisi pabrik hasil
kegiatan industri, pembakaran biomassa
karena alih fungsi lahan maupun dalam
rangka manajemen lahan, secara nyata telah
menyebabkan perubahan komposisi gas
dalam atmosfer serta meningkatkan emisi
gas-gas radioakif, yang dikenal sebagai
greenhouse gases, seperti gas CO2, methane,
dan oksidasi N. Akibat lanjut dari terjadinya
perubahan komposisi gas dalam atmosfer
tersebut antara lain adalah perubahan pola
hujan, waktu siklus kering dan banjir yang
memendek, meningkanya inensitas dan
frekuensi gelombang panas dan dingin. Rata-
rata kenaikan suhu pada permukaan bumi
adalah 0.74±0.18°C pada abad lalu, dan akan
terjadi kenaikan 1.1°C-6.0°C pada awal
hingga akhir abad ini (Stefan Rahmstorf et al.,
2007). Perubahan iklim berdampak luas
terhadap sistem pertanian yang meliputi
sumber daya, infrastruktur pertanian, dan
sistem produksi, hingga ketahanan pangan,
kesejahteraan petani dan masyarakat pada
umumnya (Hannah et al ., 2005).
Di Indonesia, salah satu dampak dari
perubahan iklim dikenal sebagai anomali iklim,
yaitu berubahnya pola curah hujan dan makin
meningkatnya intensitas kejadian iklim
ekstrim, misalnya fenomena El-Nino dan La-Nina, serta naiknya permukaan air laut akibat
pencairan gunung es di kutub utara (Las et
al., 2011). Perubahan unsur iklim tersebut
berdampak pada pergeseran musim, yaitu
semakin singkatnya musim hujan namun
dengan curah hujan yang lebih besar yang
akhirnya menyebabkan kerusakan pada
budidaya tanaman. Pada umunya dampak dari
perubahan faktor abiotik tersebut menyebab-
kan terjadinya penurunan hasil pertanian
karena adanya perubahan dalam keragaman
tanaman yang dibudayakan dan meningkat-
nya kejadian infestasi serangga hama dan
infeksi oleh patogen penyebab penyakit
tanaman. Pergeseran musim hujan dan
perubahan suhu akan berakibat terhadap
periode ketersediaan air sehingga terjadi
perubahan musim tanam dan panen tebu.
Perubahan iklim ini juga akan mempengaruhi
ketersediaan lahan, transpirasi, fotosintesis,
dan produksi biomasa.
Perubahan iklim yang terjadi di India
menyebabkan kerusakan oleh serangga pada
tanaman yang dibudidayakan sangat beragam
pada zona agroklimat yang berbeda, karena
adanya perbedaan pengaruh dari beberapa
faktor abiotik, seperti suhu, kelembapan dan
curah hujan (Sharma, 2016). Di Indonesia,
pada kondisi El Nino, kedelai, padi sawah, dan
jagung mengalami penurunan produksi
masing-masing sebesar 10,7%, 2,9%, dan
7,4%, sebaliknya pada kondisi La-Nina padi
dan jagung mengalami peningkatan produksi
masing-masing sebesar 2,4% dan 3,9%
(Santoso, 2016).
Menurut Srivastava (2012), pertumbuh-
an tanaman tebu sangat tergantung jumlah
dan lama presipitasi, sinar matahari, curah
hujan, kelembapan, serta suhu dan kadar air
tanah. Sebagai contoh, Fageria et al. (2010)
menyatakan bahwa suhu optimum untuk tebu
adalah 32-38oC. Suhu di atas 38oC akan
meningkatkan respirasi tetapi mengurangi
kecepatan fotosintesis. Bahkan suhu di atas
I
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
41
35oC sudah membahayakan tunas dan daun
muda. Sementara itu, Gouvêa et al. (2009)
memprediksi bahwa potensi produksi tanaman
tebu akan meningkat dengan meningkatnya
suhu udara karena suhu udara kenaikan suhu
meningkatkan efisiensi fotosintesis tanaman
C4. Curah hujan 600-3000 mm dibutuhkan
tebu untuk pertumbuhan vegetatifnya, baik
pemanjangan ruas, maupun pembentukan
buku, namun saat pembentukan gula
dibutuhkan curah hujan yang lebih rendah.
Dengan demikian, fenomena perubahan iklim
global, maupun perubahan kondisi cuaca lokal
akan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi tebu.
Komponen iklim, seperti suhu,
kelembapan udara, konsentrasi CO2 pada
atmosfer, tidak hanya berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan tanaman tebu, tetapi
juga berpengaruh negatif terhadap mikroorga-
nisme yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam pertumbuhan maupun
produksi tebu. (Park et al., 2008) melaporkan
bahwa perubahan suhu dapat berakibat
terjadinya infestasi serangga hama spesies
baru dan infeksi patogen penyebab penyakit
jenis baru di areal pertanaman tebu.
Fenomena perubahan iklim berpenga-
ruh terhadap agroekosistem dan secara
langsung maupun tidak langsung, yaitu
adanya perubahan penyebaran geografis
serangga hama dan musuh alaminya,
perubahan ketersediaan sumber pakan yang
selanjutnya berpengaruh terhadap perubahan
jenis hama. Perubahan-perubahan tersebut
memungkinkan berkurangnya spesies hama
dan berpotensi munculnya hama sekunder
dengan penyebaran yang lebih luas (Tripathi
et al. 2016; War et al., 2016; Sharma, 2014).
Peningkatan suhu dan kelembapan udara
akibat perubahan iklim sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan daya
hidup serangga (Sharma, 2014). Perubahan
iklim menyebabkan Helicoverpa armigera
(Hubner) yang sebelumnya hanya dilaporkan
ditemukan di Asia, telah dilaporkan sebagai
hama baru di Brazil dan Amerika Utara
sebagai akibat perubahan iklim (Tay et al.,
2013; War et al. 2016), sementara kutu putih
Ceratovacuna lanigera Zehntner menjadi
hama utama tebu di Maharastra, India (Bade
& Ghorpade, 2009).
Komponen iklim yang berpengaruh
terhadap perkembangan, penyebaran, dan
daya hidup patogen penyebab penyakit
tanaman adalah suhu, hujan, kelembapan,
embun, radiasi, dan kecepatan angin
(Linnenluecke et al., 2018). Peningkatan
suhu, kelembapan udara, dan curah hujan
berakibat pada percepatan penyakit tanaman,
karena kondisi vegetasi yang basah
memberikan lingkungan yang optimal bagi
perkecambahan spora dan perkembangbiakan
bakteri dan jamur, serta berpengaruh
terhadap siklus hidup nematoda tanah dan
organisme lainnya.
Tindakan pencegahan terhadap
perubahan iklim agar tidak berpengaruh
negatif terhadap sistem produksi pertanian
tidak mungkin dilakukan, tetapi upaya untuk
mengurangi dampak negatif (mitigasi)
perubahan iklim masih mungkin dilakukan.
Selain mitigasi yang merupakan strategi
mengatasi dampak dalam jangka pendek,
strategi adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan tindakan yang harus dilakukan
untuk mengatasi pengaruh negatifnya terha-
dap sistem budidaya tebu yang berkelanjutan
dan untuk jangka panjang. Terjadinya
perubahan iklim dan perubahan teknik
budidaya tanaman menyebabkan perlunya
dilakukan penyusunan strategi untuk mitigasi
dan adapasi terhadap perubahan iklim
tersebut, diantaranya adalah strategi dalam
pengelolaan hama dan penyakit tanaman,
sehingga penurunan hasil yang disebabkan
oleh hama dan penyakit dapat ditekan. Untuk
pengembangan tindakan adaptasi terhadap
perubahan iklim dalam sistem pengelolaan
serangga hama dan penyakit tanaman tebu
memerlukan pemahaman tentang pengaruh
langsung perubahan komponen iklim terhadap
serangga hama dan patogen penyebab
penyakit, serta interaksi yang ada antara
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
42
tanaman dan serangga maupun mikro
organisme yang berasosiasi dengan tanaman
tebu. Tinjauan ini membahas dampak
perubahan iklim terhadap serangga dan mikro
organisme yang berasosiasi dengan tanaman
tebu, termasuk dinamika infestasi hama dan
infeksi patogen penyebab penyakit pada tebu,
serta penyusunan strategi pengelolaannya
sebagai aksi mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim tersebut
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SERANGGA YANG
BERASOSIASI DENGAN TANAMAN TEBU
Perubahan iklim yang merupakan
kondisi adanya perubahan komponen iklim, diantaranya adalah peningkatan suhu udara, peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer, dan kelembapan udara, atau biasanya disebut faktor abiotik, mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap serangga-serangga, baik herbivora (pemakan tumbuh-an) maupun karnivora (pemakan serangga lain atau musuh alami serangga) yang berasosiasi dengan tanaman tebu. Pengaruh langsung perubahan faktor abiotik tersebut terhadap serangga meliputi pengaruh terhadap perubahan fisiologi, perilaku, dan penyebaran populasi (Lastvka, 2009). Pengaruh tidak langsung perubahan faktor abiotik berhubungan dengan perubahan yang terjadi pada tanaman tebu sebagai sumber pakan serangga herbivora yang juga berpengaruh terhadap perilaku, kebugaran, dan penyebaran populasi.
Kenaikan suhu udara akibat dari perubahan iklim diproyeksikan berpengaruh terhadap fisiologis tanaman tebu yang berakibat pada peningkatan pertumbuhan pada waktu musim dingin dan meningkatkan efisiensi panen di Zimbabwe, akan tetapi berpengaruh terhadap peningkatan populasi serangga hama dan luas infeksi penyakit (Chandiposha, 2013). Kenaikan suhu udara berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kecambah benih tebu (Rizwan Rasheed et al.,
2011), sehingga berakibat pada penurunan populasi tanaman. Selain itu, kondisi suhu udara di atas 32°C menyebabkan ruas memendek, jumlah ruas bertambah banyak, kandungan serat dalam batang tebu meningkat, dan kandungan sukrosa menurun (Bonnett, 2014).
Perubahan fenologi dan fisiologi tanaman sebagai akibat dari perubahan iklim, berpengaruh terhadap perkembangan herbivora, ketersediaan inang dan mangsa bagi musuh alami serangga herbivora (Boullis et al., 2015; Walther et al., 2002). Perubahan iklim menyebabkan tanaman seringkali mengalami cekaman kekeringan, hal ini akan menurunkan sistem pertahanan tanaman (Dhaliwal et al., 2010). Perubahan komponen iklim sebagai akibat dari fenomena perubahan iklim, seperti peningkaan suhu, CO2, kelembapan udara, dan pola hujan, akan mengubah sistem dalam tanaman maupun herbivora. Pengaruh perubahan iklim ini terhadap interaksi antara tanaman dan herbivora di daerah tropis sangat nyata (Zvereva & Kozlov, 2006; Niziolek et al., 2012).
Perubahan pada tanaman, yang merupakan inang bagi herbivora, menyebab-kan perubahan juga terhadap penyebaran dan dinamika populasi serangga hama, interaksi antara serangga dan tanaman inangnya, aktivitas dan kelimpahan populasi musuh alami, serta efektivitas teknik pengen-dalian hama. Seringkali dengan menurunnya sistem pertahanan tanaman akibat fenomena perubahan iklim menyebabkan terjadinya peningkatan populasi serangga hama yang drastis (pest outbreak). Selama tahun 2002 hingga 2003, di India terjadi kehilangan hasil tebu hingga 30% yang disebabkan karena adanya infestasi aphis Ceratovacuna lanigera yang menyerang daun, sehingga menurunkan daya pemulihan tanaman (Joshi & Viraktamath, 2003; Srikanth et al. 2009).
Pengelolaan hama pada tanaman tebu di Indonesia pada umumnya menerapkan sistem pengendalian secara hayati, yaitu memanfaatkan musuh alami dalam sistem pengendalian hama. Oleh karena itu perlu pemahaman yang menyeluruh tentang
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
43
pengaruh perubahan iklim terhadap fisiologi dan fenologi tanaman, dinamika populasi serangga hama dan musuh alaminya, sehingga dapat dilakukan pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Hal yang penting untuk dipahami adalah pengaruh lingkungan abiotik akibat perubahan iklim terhadap interaksi tritrofik antara tanaman inang, herbivora, dan musuh alaminya, sehingga dapat dikembangkan teknik pengendalian hayati yang efektif.
Perkembangan serangga sangat dipengaruhi oleh suhu udara (ecothermal) (Tripathi et al., 2016; Bale et al., 2002), sehingga perubahan suhu akan berpengaruh terhadap interaksi serangga dengan tanaman, musuh alami, polinator, dan organisme lain, yang berperan penting dalam pelayanan ekologi (Boullis et al., 2015; Sharma, 2014). Pada suhu yang masih dalam batas toleransi, kenaikan suhu dapat meningkatkan laju perkembangan serangga, sehingga siklus hidup lebih pendek dan jumlah generasi dalam satuan waktu lebih banyak. Suhu yang tinggi akan memperpendek umur serangga. Perubahan suhu juga mengubah pola aktivitas diurnal serangga dan interkasi interspesifik, sehingga juga mengubah efektivitas musuh alami, misalnya pengaruh terhadap fekunditas dan sex ratio parasitoid (Dhillon & Sharma, 2009). Dengan demikian, peningkatan suhu akan berpengaruh dalam strategi pengelolaan hama secara hayati. .
Selain suhu, CO2 dilaporkan dapat menurunkan pertahanan tanaman terhadap serangga hama (IPCC, 2014; Niziolek et al., 2012). Meningkatnya konsentrasi CO2 menye-babkan menurunnya kandungan nitrogen dalam daun, sehingga terjadi peningkatan komsumsi oleh serangga pemakan daun hingga 40% (Belskaya & Vorobeichik, 2013). Pada kondisi kekeringan dan adanya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer, menyebabkan terjadinya outbreak populasi herbivora (Sharma, 2014). Peningkatan CO2, suhu dan hujan menyebabkan menurunnya kualitas nutrisi tanaman bagi herbivora yang selanjutnya berpengaruh terhadap kebugaran herbivora tersebut. Penurunan kebugaran herbivora akan berpengaruh negatif terhadap
perkembangan musuh alaminya (parasitoid dan predator) (Boullis et al. 2015; Huang et al. 2008; Selvaraj 2013). Tanaman yang mempunyai daya adaptasi rendah terhadap perubahan iklim akan berdampak positif terhadap herbivora yang memnfaatkan tanaman tersebut. Interaksi antara serangga herbivora dengan musuh alaminya dipenga-ruhi oleh toleransi herbivora terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim dan laju pergerakannya (War et al., 2016). Selain dipengaruhi oleh kondisi inangnya, perkem-bangan musuh alami serangga hama juga dipengaruhi secara langsung oleh komponen iklim. Parasitisasi oleh parasitoid telur Trichogramma spp meningkat dengan menu-runnya jumlah curah hujan, dan sebaliknya menurun dengan meningkatnya jumlah curah hujan (Prasad & Bambawale, 2010).
Interaksi interspesies antara tanaman dan herbivora melibatkan senyawa volatil, yaitu senyawa metabolit sekunder yang diproduksi oleh tanaman yang dapat dideteksi oleh herbivora, sehingga terjadi penemuan inang tanaman (host location) oleh serangga. Interaksi tritrofik antara tanaman, herbivora dan musuh alaminya juga melibatkan senyawa volatil, baik yang diproduksi oleh tanaman maupun oleh herbivora, sehingga musuh alami dapat menemukan inang atau mangsanya. Perubahan iklim, khususnya suhu dan konsentrasi CO2, berpengaruh terhadap penyebaran dan emisi senyawa volatil yang diproduksi oleh tumbuhan (dikenal sebagai Herbivore Induced Plant Volatiles-HIPV) dan digunakan oleh musuh alami untuk menemukan inang atau mangsanya (Helmig et al., 2007; Thomson et al., 2010). Selain itu, peningkatan CO2 juga berpengaruh terhadap persepsi musuh alami pada volatil tersebut, sehingga kemampuan untuk menemukan inang atau mangsa berkurang (Yuan et al., 2009; Thomson et al., 2010; Veromann et al., 2013). Adanya perubahan emisi volatil ini menyebabkan hos location oleh musuh alami menjadi tergang-gu, sehingga berakibat pada efektivitas pengendalian alami hama oleh parasioid atau predatornya.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
44
Hasil interaksi trofik dapat diamati sebagai suatu kondisi dalam satu ekosistem, misalnya tingkat kerusakan tanaman oleh serangga herbivora, tingkat parasitisasi serangga herbivora oleh parasitoidnya atau tingkat pemangasaan oleh predatornya, dipengaruhi oleh komponen iklim. Cekaman akan keterbatasan air (water stress) juga berpengaruh terhadap pelepasan senyawa volatil oleh tanaman (Takabayashi et al., 1994), sehingga berpengaruh juga terhadap host location herbivora terhadap tanaman inangnya. (Pare & Tumlinson, 1999) melaporkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan lebih mudah ditemukan oleh herbivora dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengalami cekaman kekeringan. Adanya perubahan interaksi multitrofik ini berakibat pada berubahnya dinamika populasi serangga hama (Stavrinides et al., 2010), sehingga srategi pengelolaan hama juga harus berubah untuk meningkatkan efektivitas teknik pengendalian dan menekan kehilangan hasil.
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PATOGEN PENYEBAB
PENYAKIT TEBU
Penyakit juga merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap penurunan produksi
tebu di Indonesia. Diperkirakan kerugian
akibat penyakit ini mencapai 0,6-1,2 trilyun
rupiah setiap tahunnya. Ada tiga faktor
utama yang saling berinteraksi sehingga
menyebabkan munculnya suatu penyakit
(Francl, 2001), inang yang rentan, kebera-
daan patogen yang virulen, dan lingkungan
yang optimum bagi pertumbuhan suatu
patogen penyebab penyakit termasuk
manusia dan serangga vektor (Rott et al.,
2013). Jika ketiga faktor tersebut tidak
selaras, maka tidak akan terjadi suatu
penyakit.
Hansen et al. (2006) menyatakan bahwa
dalam tiga dasa warsa terakhir, suhu udara
telah meningkat sekitar 0.6 oC sehinga
menyebabkan perubahan siklus air. Kondisi
ini memicu terjadinya cuaca ekstrim
(kekeringan atau curah hujan yang berlebih-
an). Kenaikan suhu dan perubahan iklim
secara global adalah akibat naiknya
konsentrasi CO2, dan gas-gas ‘green house’
lainnya dalam atmosfer. Menurut Canadell et
al. (2007), sejak tahun 2000, laju peningkatan
konsentrasi CO2 di udara sangat cepat
dibanding beberapa dasa warsa sebelumnya.
Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman tebu maupun patogen
penyebab penyakit. Bahkan Srivastava & Rai,
(2012) menyebutkan bahwa perubahan iklim
juga berpengaruh terhadap semua
mikroorganisme yang berperan secara
langsung maupun tidak langsung dalam
pertumbuhan maupun produksi gula.
Perubahan cuaca baik musim dan curah hujan
serta suhu akan berpengaruh terhadap masa
tanam tebu dan kesesuaian lahan, dan ini
akan berkaitan erat dengan dinamika populasi
dan sebaran patogen. Pergeseran serta
introduksi tanaman tebu ke area baru untuk
menyesuaikan perubahan iklim ini juga
berpotensi menyebarkan patogen ke daerah
baru atau menginfeksi tanaman inang lain
yang baru. Kondisi tersebut akan
mempengaruhi dinamika populasi patogen
dan juga epidemiologi suatu penyakit. Genus-
genus seperti Rhizoctonia, Sclerotinia
Sclerotium dan jamur nekrotrofik lainnya bisa
membentuk strain baru yang lebih agresif
dengan inang yang lebih luas, dan migrasi
dari agroekosistem ke ekosistem alam.
Bahkan patogen-patogen penghuni ekosistem
alam yang tadinya kurang agresif akan
migrasi ke agroekosistem yang monokultur di
dekatnya dan menimbulkan kerusakan
(Chakrabortya et al., 2000) Hal ini terjadi
karena jamur mampu beradaptasi dengan
cepat dalam lingkungan yang baru
(Chakraborty & Datta, 2003) Peningkatan konsentrasi CO2 dan suhu
di udara dapat berpengaruh positif, negatif,
atau tidak terlalu berpengaruh terhadap
kehidupan patogen penyebab penyakit.
Banyak pakar memprediksi bahwa peningkat-
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
45
an kadar CO2 akan meningkatkan
pertumbuhan daun, batang, dan akar, bahkan
juga jumlah anakan dan biomasa tanaman
serta kualitas nutrisi yang otomatis akan
menaikkan produksi. Meningkatnya pertum-
buhan tanaman akan meningkatkan
konsentrasi karbohidrat yang dihasilkan oleh
tanaman, akibatnya patogen-patogen yang
sangat tergantung dengan karbohidrat akan
semakin tinggi populasinya. Kerapatan kanopi
dan tanaman yang lebih subur akan
meningkatkan kelembapan sehingga sporulasi
dan penyebaran jamur-jamur tersebut juga
meningkat (Ghini et al., 2008) sehingga
kejadian penyakit-penyakit daun lebih
meningkat akibat naiknya kelembapan mikro
dan luas area daun (Burdon, 1987).
Akibatnya, penggunaan pestisida diprediksi
naik 15-20 kali (Chakraborty & Newton,
2011). Peningkatan CO2 juga meningkatkan
persaingan tanaman dengan gulma yang juga
mengalami peningkatan pertumbuhan. Hal ini
juga berarti terjadi peningkatan kesempatan
patogen untuk tumbuh di dalam inang lain.
Itulah sebabnya, Torriani et al., (2007)
menyatakan bahwa di negara-negara tropis,
perubahan iklim global secara tidak langsung
menyebabkan produksi beberapa komoditas
pertanian menurun meskipun secara teori
seharusnya meningkat. Biaya produksipun
diperkirakan meningkat.
Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu
Meningkat akibat Perubahan Iklim
Global
Keparahan beberapa penyakit tanaman
meningkat disertai kisaran yang lebih luas
akibat perubahan iklim global (Evans et al.,
2008). Dalam kondisi cukup air, meningkatnya
kadar CO2 meningkatkan perumbuhan dan
produksi biomasa kering tanaman C4 rumput-
rumputan dari famili Poaceae (Wand et al.
1999; Ziska et al. 1999). Pada tanaman tebu
luas area daun naik 56%, berat kering naik
74% dan volume nira naik 164% ketika
ditumbuhkan dalam ruang yang mengandung
konsentrasi CO2 dua kali normal (700
umol/mol) dan suhu 5oC di atas normal (Vu et
al., 2002). Suhu optimum untuk fostosintesis
bagi tanaman tebu (C4) lebih tinggi
dibandingkan tanaman kelompok C3,
kapasitas fotosintesis tanaman C4 juga lebih
tinggi pada suhu yang lebih tinggi
dibandingkan tanaman C3 (Matsuoka et al.,
2001). Sementara itu, Vara Prasad et al.
(2009) menambahkan bahwa pertumbuhan
vegetatif lebih besar pada suhu 36/26 °C
dibanding pada suhu 30/20°C. Meningkatnya
biomasa tanaman serta pengembalian residu
tanaman tebu ke lahan berpotensi meningkat-
kan sumber inokulum patogen-patogen yang
mampu hidup sebagai saprofit. Sementara
itu, meningkatnya CO2 di dalam tanah akan
memperlambat proses dekomposisi (Ball,
1997) sehingga penumpukan sisa-sisa
tanaman yang digunakan sebagai mulsa atau
sumber nutrisi bagi tanaman tebu menjadi
tempat yang paling sesuai untuk bertahan
hidup bagi jamur-jamur patogen tular tanah
seperti Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Tanatheporus cucumeris, Xylaria warbugii dan Fusarium moniliforme. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Melloy et al. (2010) yang
melaporkan bahwa kemampuan Fusarium graminearum penyebab penyakit busuk pada
gandum bertahan hidup sebagai saprofitik
tidak berubah pada kondisi di mana
konsentrasi CO2 dalam tanah meningkat,
sementara biomasa gandum pun meningkat,
sehingga inokulum patogen yang bertahan
pada sisa sisa tanaman maupun tunggul
gandum semakin tinggi. Peningkatan CO2
juga menyebabkan peningkatan kejadian
penyakit rebah kecambah oleh Rhizoctonia solani pada tanaman kapas (Runion et al. 1994). Garrett et al. (2006) menyatakan
bahwa kenaikan suhu akibat pemanasan
global meningkatkan kemampuan jamur-
jamur patogen tular tanah bertahan hidup dan
kisaran inangnya menjadi lebih banyak.
Dengan demikian, kenaikan suhu juga akan
meningkatkan kemampuan jamur-jamur yang
menginfeksi akar sehingga kejadian penyakit
diprediksi akan meningkat di musim berikut-
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
46
nya, meskipun keparahnnya tergantung
kepada kelembapan tanah (Sukumar &
Chakraborty, 2008). Pengendalian yang
paling efektif untuk kasus ini adalah dengan
menambahkan mikroba antagonis yang
sekaligus memiliki kemampuan dekomposisi
baik ke dalam serasah tebu atau di dalam
tanah yang ditutup mulsa/residu daun tebu.
Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis
yang sangat populer sekaligus mampu
sebagai dekomposer (Sharma et al., 2012).
Penambahan vermicompost atau introduksi
cacing ke dalam tanah juga akan
meningkatkan ketahanan tanaman karena
meningkatkan aktivitas dan keragaman
mikroorganisme-mikroorganisme yang mampu
berfungsi sebagai antagonis, penghasil
hormon & enzim perangsang pertumbuhan
(Pathma & Sakthivel, 2012).
Meskipun peningkatan CO2 mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun
peningkatan suhu udara akan meningkatkan
evapotranspirasi sehingga tanaman akan
kehilangan air lebih banyak, dan menga-
kibatkan tanaman mengalami stres air
(Coakley et al., 1999). Tanaman yang stress
cenderung rentan terhadap serangan
patogen. Kondisi panas namun sedikit lembab
di malam hari merupakan kondisi yang cocok
bagi jamur luka api (Sporisorium scitamineum). Suhu optimum bagi jamur ini
adalah 30-31oC. Penyakit luka api merupakan
penyakit yang paling banyak ditemui di
hampir seluruh perkebunan tebu di Indonesia,
terutama di Jawa. Kerugian yang diakibatkan
oleh penyakit ini semakin tinggi akibat kepras
yang lebih dari tiga kali. Pada tahun 2016
terjadi ledakan penyakit luka api di beberapa
sentra perkebunan tebu di Jawa dan Sulawesi.
Bahkan varietas BL yang dulu merupakan
varietas yang toleran-tahan, hampir 80%
terserang (Eka Sugiharta, komunikasi pribadi).
Menurut (Rott et al. 2013) ketahanan tebu
terhadap S. scitamineum hampir konsisten
sampai beberapa dekade, meskipun ada 2-3
ras yang berbeda di Hawai, Pakistan, Filipina,
dan Taiwan. Namun sejarah membuktikan
bahwa penanaman satu jenis varietas tebu
selama kurun waktu yang lama akan
menimbulkan masalah penyakit baru
(Magarey et al., 2011). Varietas BL
merupakan varietas yang paling disukai petani
dan ditanam secara luas sejak tahun 2003.
Tampaknya selain sistem ketahanan
berdasarkan interaksi gen to gen (Rott et al.,
2013), perubahan iklim juga ikut berpengaruh
terhadap ledakan penyakit ini.
Cuaca ekstrim seperti hujan di musim
kemarau akan memicu terjadinya ledakan
penyakit noda kuning yang disebabkan oleh
jamur Mycovellosiella koepkei. Jamur ini akan
berkembang pesat pada suhu antara 28oC
(optimum) dan 34°C (maksimum) dan
kelembapan udara di atas 80% disertai
frekuensi mendung yang lebih sering dan
periode hujan yang lama (Ricaud & Autrey,
1989). Koike & Gillaspie (1989) juga
menyatakan bahwa kondisi tersebut di atas
juga akan meningkatkan kejadian penyakit
mosaik. Selain itu, meningkatnya populasi
serangga vektor akibat meningkatnya suhu
udara juga akan meningkatkan kejadian
penyakit mosaik, terutama saat tanaman tebu
masih muda dan rentan.
Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu
Menurun akibat Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim diperkirakan akan
memberikan perubahan terhadap morfologi,
fisiologi, nutrisi, dan keseimbangan air yang
berakibat kepada perubahan ketahanan
tanaman. Perilaku, stadia maupun perkem-
bangan dan siklus hidup patogen juga
berubah sehingga perubahan iklim ini secara
tidak langsung akan berpengaruh terhadap
interaksi antara tanaman dan patogen
(Chakraborty & Datta, 2003). Spora
Colletotrichum gloeosporides terhambat
perkecambahannya dalam ruangan yang
mengandung CO2 400-700 ppm (Hibberd et
al., 1996). Sementara itu, jumlah stomata
tanaman yang menutup kerapatan stomata
mengalami penurunan pada kondisi CO2 tinggi
sehingga kesempatan jamur (terutama yang
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
47
masuk melalui stomata) penetrasi ke dalam
tanaman makin berkurang, semakin untuk
meskipun produksi spora meningkat. Jadi,
dalam kasus ini perkembangan penyakit
menjadi terhambat. Penyakit nanas yang
disebabkan oleh Ceratocystis paradoxa juga
akan menurun dengan meningkatnya suhu
udara karena penyakit ini lebih sesuai jika
suhu tanah rendah (Wismer & Bailey, 1989).
Kejadian Penyakit Tidak Terpengaruh
oleh Perubahan Iklim Global
Untuk patogen-patogen yang bersifat
sistemik seperti Clavibacter xyli subsp. xyli, penyebab penyakit kerdil pada tanaman
keprasan (Gillaspie and Teakle, 1989) dan
Xanthomonas albilineans penyebab penyakit
blendok tidak begitu terpengaruh oleh
perubahan iklim ini karena hampir seluruh
siklus hidupnya ada di dalam tanaman inang.
Mereka lebih tergantung kepada kondisi
inang. Jika ketersediaan bahan makanan
dalam inang melimpah, sementara kondisi
tanaman lemah, maka penyakit-penyakit
sistemik akan berkembang cepat.
STRATEGI PENGENDALIAN SERANGGA
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TEBU
Tanaman tebu sangat peka terhadap
suhu, curah hujan, intensitas cahaya, dan
komponen-komponen iklim lainnya. Oleh
karena itu, perubahan iklim sangat
berpengaruh terhadap perubahan produktivi-
tasnya. Pengembangan varietas tebu yang
cepat beradaptasi terhadap perubahan iklim,
persiapan lahan yang sesuai dengan waktu
dan pola tanam, pengelolaan hama dan
penyakit yang optimal,dan pengelolaan air
yang tepat merupakan tindakan mitigasi dan
adaptasi yang perlu dilakukan dalam
menghadapi perubahan iklim, sehingga
diperoleh produktivitas tebu dan gula yang
optimal. Perakitan varietas tebu yang
mempunyai karakter toleran terhadap panas
lebih bermanfaat daripada perakitan varietas
yang tahan kekeringan. Selain itu,
pengembangan tebu pada areal yang
beririgasi merupakan aksi adaptasi yang
efektif untuk mengurangi dampak negatif
perubahan iklim terhadap pertanaman tebu.
Perubahan kelimpahan dan keragaman
spesies karena adanya fenomena perubahan
iklim berpengaruh terhadap efektivitas
pengelolaan hama, oleh karena itu perlu
penajaman sistem monitoring untuk
menditeksi potensi perubahan disribusi,
penghitungan kerusakan, dan kehilangan hasil
(Dhaliwal et al., 2010). Pengembangan
varietas tahan hama dan penyakit tanaman,
pemanfaatan musuh alami, dan praktek-
praktek agronomi yang mendukung
konservasi musuh alami merupakan tidakan
pengelolaan hama dan penyakit yang efektif.
Akan tetapi, tindakan pengelolaan hama dan
penyakit tanaman akan berubah dengan
adanya fenomena pemanasan global akibat
perubahan iklim. Keberhasilan pengendalian
hayati yang dipertimbangkan sebagai satu
komponen pengelelolaan hama terpadu (PHT)
yang efektif sangat dipengaruhi oleh
perubahan iklim, karena interaksi tritrofik
yang menghasilkan pengendalian populasi
hama juga mengalami perubahan.
Serangga hama tebu yang sampai saat
ini dipertimbangkan sebagai hama utama
tanaman tebu adalah kompleh penggerek
batang dan penggerek pucuk. Pengendalian
hayati dengan menggunakan parasitoid
merupakan tindakan pengendalian yang telah
lama dilakukan untuk mengatasi masalah
infestasi kompleks penggerek tebu tersebut.
Pelepasan parasitoid Trichogramma japonicum telah dilakukan untuk pengendalian
kompleks penggerek pucuk ebu sejak tahun
1970an. Hasil evluasi (Nurindah et al., 2016)
tentang efektivitas pelepasan parasitoid telur
dengan menggunakan spesies T. japonicum menunjukkan bahwa pelepasan parasitiod
tersebut tidak efektif dalam menyebabkan
kejadian parasitisasi pada telur penggerek
pucuk maupun penggerek batang tebu.
Secara alami, telur penggerek pucuk banyak
diparasit oleh Telenomus spp, dan telur
penggerek batang oleh T. chilonis dan
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
48
Telenomus spp. Hasil eavluasi ini
merekomendasikan untuk mempertimbangkan
kembali pelepasan massal parasitoid telur T. japonicum, sehingga juga mengubah sistem
produksi massal dan aplikasi spesies
parasitoid tersebut.
Dalam sistem pengelolaan hama tebu
berbasis pemanfaatan musuh alami,
peningkatan atau konservasi populasi musuh
alami (parasitoid dan predator) pada
pertanaman tebu perlu dilakukan. Konservasi
musuh alami dapat dilakukan dengan
memberikan lingkungan yang optimal bagi
musuh alami untuk berperan sebagai faktor
mortalitas biotik yang efektif, sedangkan
peningkatan populasi musuh alami dapat
dilakukan dengan menyediakan lingkungan
yang dapat mendukung perkembangan
populasi musuh alami melalui penyediaan
pakan yang sesuai. Kedua pendekatan ini
dapat dilakukan dengan pengembangan
varietas yang menghasilkan volatil yang dapat
diterima oleh parasitoid dan predator untuk
menemukan inang atau mangsanya.
Penambahan keragaman vegetasi pada
pertanaman tebu melalui penanaman
tanaman-tanaman berbunga yang menyedia-
kan nektar bagi parasitoid dan predator juga
dapat meningkatkan populasi musuh alami
pada agroekosistem tersebut. Selain iu,
penambahan tanaman yang berfungsi sebagai
tanaman perangkap dapat dilakukan untuk
mengurangi infestasi hama pada pertanaman
tebu. Spesies tebu liar Erianthus arundinaceus dilaporkan oleh Nibouche et al. (2012) disukai oleh imago C. sacchariphagus (penggerek batang tebu bergaris) sebagai
tempat peletakan telur, tetapi daya ketahanan
hidup larva penggerek tebu tersebut sangat
rendah pada E. arundinaceus. Oleh karena
itu, E. arundinaceus dapat digunakan sebagai
tanaman perangkap.
Sistem pemantauan hama dan
penyakit tanaman tebu berdasarkan kondisi
cuaca perlu dikembangkan untuk mendukung
analisis risiko terjadinya out break hama pada
kondisi iklim yang berbeda, sehingga out
break hama dapat diantisipasi dan kehilangan
hasil dan kerugian ekonomi karena hama
dapat dicegah.
Pengendalian Penyakit Tanaman Tebu
dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Global
Penyakit Luka Api merupakan salah
satu penyakit yang terdampak oleh perubahan
iklim global. Untuk mengantisipasi agar
kejadian penyakit ini tidak meluas maka
diperlukan penggantian varietas baru yang
lebih tahan terhadap penyakit ini dan lebih
mampu beradaptasi terhadap suhu tinggi dan
kekeringan. Adanya variasi genetik patogen
menyebabkan mereka mampu beradaptasi
dengan cepat terhadap varietas yang tahan
(Strange & Scott, 2005). Penggantian
varietas secara berkala atau peningkatan
keragaman varietas akan memperkecil
kemungkinan jamur bermutasi atau
beradaptasi dengan varietas yang baru.
Karena menurut (McDonald & Linde, 2002),
patogen mampu berubah dengan cepat
menjadi tahan terhadap pestisida maupun
dalam beradaptasi/mengatasi ketahanan
suatu varietas yang baru atau terhadap
perubahan lingkungan. Penyakit luka api
merupakan penyakit yang terbawa angin dan
bahan tanaman yang terinfeksi jamur secara
sistemik. Monitoring secara berkala diikuti
sanitasi dan eradikasi ‘cambuk’ akan
membantu mengurangi penyebaran penyakit;
Sanitasi kebun dengan membersihkan gulma
atau tumbuhan inang alternatif yang tumbuh
di sekitar pertanaman tebu; Penggunaan
bahan tanaman bebas patogen merupakan
alternatif pengendalian yang sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya
ledakan penyakit luka api di daerah baru.
Perawatan bahan tanaman dengan air panas
(PAP) suhu 52 oC selama 30-45 menit atau
perendaman bahan tanaman dengan fungisida
yang mengandung bahan aktif cyproconazole,
propiconazole, triadimefon atau azoxystrobin.
Penggunaan fungisida tersebut pada benih
sebelum tanam mampu mengendalikan luka
api sampai 6−9 bulan (Bhuiyan et al., 2012).
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
49
Penyakit lain yang perlu diwaspadai
adalah penyakit mosaik bergaris. Penyakit ini
baru ditemukan pertengahan 2000, di Jawa
Timur, namun saat ini sudah menyebar di 59
perkebunan tebu di Jawa dengan tingkat
keparahan penyakit 1−62% (Damayanti &
Putra, 2011). Perkembangannya yang cukup
pesat akibat penanaman varietas yang rentan
dan penyebaran bahan tanaman yang
terinfeksi ke luar Pulau Jawa. Hasil survei
ACIAR (belum dipublikasi) menunjukkan
bahwa penyebaran penyakit ini sudah terlihat
di beberapa perkebunan tebu di Sumatera
Utara dan Selatan serta Sulawesi Selatan.
Kenaikan suhu yang terjadi akhir-akhir ini
mempercepat perkembangan penyakit ini.
Penggunaan varietas yang tahan dan bahan
bebas penyakit, terutama di daerah baru
merupakan pencegahan tersebarnya mosaik
bergaris. PAP dengan suhu 53oC selama 10
menit pada bagal sebelum ditanam
mengurangi keparahan penyakit mosaik
bergaris meskipun virus mosaik bergaris tidak
tereliminasi 100% (Damayanti et al., 2010).
Untuk mengeliminasi virus, PAP dengan suhu
55oC selama 30 menit atau 60oC selama 10
menit, namun viabilitas benih menurun
(Damayanti et al., 2010). Salaudeen et al. (2016) menyarankan untuk menggunakan
pengendalian biologis terhadap vektor dan
rekayasa genetika untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap virus
Untuk mencegah serasah digunakan sebagai
sumber makanan dan tempat bertahan hidup
patogen-patogen tular tanah, maka klenthek
dan sanitasi seludang secara berkala dan
pemberian antagonis pada serasah daun.
KESIMPULAN
Perubahan iklim berpengaruh terhadap
tanaman tebu, perkembangan serangga dan
patogen tanaman serta interaksi multitrofik
yang ada. Komponen iklim yang sangat
berpengaruh adalah suhu, kandungan CO2
dalam atmosfer, dan curah hujan. Fenomena
perubahan iklim mengharuskan dilakukan aksi
mitigasi dan adaptasi sehingga sistem
pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.
Oleh karena itu, pengelolaan hama dan
penyakit tanaman tebu memerlukan
penyusunan strategi pengelolaan dengan
mempertimbangkan pengaruh abiotik,
terutama suhu, kandungan CO2 dalam
atmosfer, dan curah hujan, terhadap
perkembangan serangga dan patogen
tanaman serta interaksi multitrofik pada
ekosistem pertanaman tebu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada para mitra bestari yang telah
memberikan saran dan masukan yang baik,
sehingga tulisan review ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bade, B., Ghorpade, S., 2009. Life fecundity tables of sugarcane woolly aphid, Ceratovacuna lanigera Zehntner. J. Insect Sci. 22, 402–405.
Bale, J.S., Masters, G.J., Hodkinson, I.D., Awmack, C., Bezemer, T.M., Brown, V.K., Butterfield, J., Buse, A., Coulson, J.C., Farrar, J., Good, J.E.G., Harrington, R., Hartley, S., Jones, T.H., Lindroth, R.L., Press, M.C., Symrnioudis, I., Watt, A.D., Whittaker, J.B., 2002. Herbivory in global climate change research: direct effects of rising temperature on insect herbivores. Glob. Chang. Biol. 8, 1–16. https://doi.org/doi.org/10.1046/j.1365-2486.2002.00451.x
Ball, A., 1997. Microbial decomposition at elevated CO2 levels: effect of litter quality. Glob. Chang. Biol. 3, 379–386. https://doi.org/.1046/j.1365-2486.1997.t01-1-00089.x
Belskaya, E.A., Vorobeichik, E.L., 2013. Responses of leaf-eating insects feeding on aspen to emissions from the Middle Ural copper smelter. Russ. J. Ecol. 44, 108–117. https://doi.org/10.1134/S1067413613020045
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
50
Bhuiyan, S.A., Croft, B.J., James, R.S., Cox, M.C., 2012. Laboratory and field evaluation of fungicides for the management of sugarcane smut caused by Sporisorium scitamineum in seedcane. Australas. Plant Pathol. 41, 591–599.
Bonnett, G.D., 2014. Developmental Stages (Phenology), in: Moor, P.H., Botha, F.C. (Eds.), Sugarcane Physiology, Biochemistry & Functional Biology. John Wiley & Sons, Inc., Iowa, USA. Boonpradub, pp. 35–53.
Boullis, A., Francis, F., Verheggen, F., 2015. Climate Change and Tritrophic Interactions: Will Modifications to Greenhouse Gas Emissions Increase the Vulnerability of Herbivorous Insects to Natural Enemies? Environ. Entomol. 44, 277–286. https://doi.org/10.1093/ee/nvu019
Burdon, J., 1987. Diseases and Population Biology, 1st ed. Cambridge Univ. Press, New York.
Canadell, J.G., Le Quéré, C., Raupach, M.R., Field, C.B., Buitenhuis, E.T., Ciais, P., Conway, T.J., Gillett, N.P., Houghton, R.A., Marland, G., 2007. Contributions to accelerating atmospheric CO2 growth from economic activity, carbon intensity, and efficiency of natural sinks. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 104, 18866–70. https://doi.org/10.1073/pnas.0702737104
Chakraborty, S., Datta, S., 2003. How will plant pathogens adapt to host plant resistance at elevated CO2 under a changing climate? New Phytol. 159, doi:10.1046/j.1469-8137.2003.00842.x.
Chakraborty, S., Newton, A.C., 2011. Climate change, plant diseases and food security: an overview. Plant Pathol. 60, 2–14. https://doi.org/doi:10.1111/j.1365-3059.2010.02411.x
Chakrabortya, S.., Tiedemann, V., Teng, S., 2000. Environmental Pollution Keynote review Climate change: potential impact on plant diseases. Environ. Pollut. 108, 317–326.
Chandiposha, M., 2013. Potential impact of climate change in sugarcane and mitigation strategies in Zimbabwe. African J. Agric. Res. 8, 2814–2818. https://doi.org/10.5897/AJAR2013.7083
Coakley, S.M., Scherm, H., Chakraborty, S., 1999.
Climate Change and Plant Disease Management. Annu. Rev. Phytopathol. 37, 399–426.
Damayanti, T.A., Putra, L.K., 2011. First occurrence of sugarcane streak mosaic virus infecting sugarcane in Indonesia. J. Gen. Plant Pathol. 77, 72–74. https://doi.org/httphttps://doi.org/10.1007/s10327-010-0285-7
Damayanti, T.A., Putra, L.K., Giyanto, 2010. Hot Water Treatment of Cutting-Cane Infected With Sugarcane Streak Mosaic Virus ( Scsmv ). J. Int. Soc. Southeast Asian Agric. Sci. 16, 17–25.
Dhaliwal, G., Jindal, V., Dhawan, A., 2010. Insect pest problems and crop losses: Changing trends. Indian J. Ecol. 37, 1–7.
Dhillon, M., Sharma, H., 2009. Temperature influences the performance and effectiveness of field and laboratory strains of the ichneumonid parasitoid, Campoletis chlorideae. Biocontrol 54, 743–750.
Evans, N., Baierl, A., Semenov, M.A., Gladders, P., Fitt, B.D.., 2008. Range and severity of a plant disease increased by global warming. J. R. Soc. Interface 5, 525–531. https://doi.org/10.1098/rsif.2007.1136
Fageria, N.K., Baligar, V.C., Jones, C.A., 2010. Growth and Mineral Nutrition of Field Crops, 3rd ed. CRC Press.
Francl, L.J., 2001. The Disease Triangle: A plant pathological paradigm revisited. Plant Heal. Instr. https://doi.org/10.1094/PHI-T-2001-0517-01
Garrett, K.A., Dendy, S.P., Frank, E.E., Rouse, M.N., Travers, S.E., 2006. Climate Change Effects on Plant Disease: Genomes to Ecosystems. Annu. Rev. Phytopathol. 44, 489–509.
Ghini, R., Hamada, E., Bettiol, W., 2008. Climate change and plant diseases. Sci. Agric. 65, 98–107. https://doi.org/10.1590/S0103-90162008000700015
Gillaspie, A., Teakle, D., 1989. Ratoon stunting disease, in: Ricaud, C., Egan, B.. T., Gillaspie, A.G., Hughes, C.. G. (Eds.), Diseases of Sugarcane Major Diseases. Elsevier, Amsterdam, pp. 59–80.
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
51
Gouvêa, J., Sentelhas, P., Gazzola, S., Santos, M., 2009. Climate changes and technological advances: impacts on sugarcane productivity in tropical southern Brazil. Sci. Agric. 66, 593–605.
Hannah, L., Lovejoy, T.E., Schneider, S.H., 2005. Biodiversity and climate change in context, in: Lovejoy, T.E., Hannah, L. (Eds.), Climate Change and Biodiversity. New Haven, Yale, pp. 3–14.
Helmig, D., Ortega, J., Duhl, T., Tanner, D., Guenther, A., Harley, P., Wiedinmyer, C., Milford, J., Sakulyanontvittaya, T., 2007. Sesquiterpene Emissions from Pine Trees − Identifications, Emission Rates and Flux Estimates for the Contiguous United States. Enviromental Sci. Technol. 41, 1545–1553. https://doi.org/10.1021/es0618907
Hibberd, J.M., Whitbread, R., Farrar, J.F., 1996. Effect of elevated concentrations of CO2 on infection of barley by Erysiphe graminis. Physiol. Mol. Plant Pathol. 48, 37–53. https://doi.org/10.1006/pmpp.1996.0004
Huang, F., Leonard, R., Moore, S., Yue, B., Parker, R., Reagan, T., Stout, M., Cook, D., Akbar, W., Chilcutt, C., White, W., Lee, D., Biles, S., 2008. Geographical susceptibility of Louisiana and Texas populations of the sugarcane borer , Diatraea saccharalis ( F .) ( Lepidoptera : Crambidae ) to Bacillus thuringiensis Cry1Ab protein. Crop Prot. 27, 799–806. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2007.11.007
IPCC, 2014. Climate change 2014: synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Pachauri RK., Meyer LA (Eds). Geneva, Switzerland.
Joshi, S., Viraktamath, C.A., 2003. The sugarcane woolly aphid, Ceratovacuna lalligera Zehntner (Hemiptera: Aphididae): its biology, pest status and control. Curr. Sci. 87, 307–316.
Koike, H., Gillaspie, A.G.J., 1989. Mosaic, in: Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, J.A.G., Hughes, C.. (Eds.), Diseases of Sugarcane: Major Diseases. Elsevier Science, Amsterdam, pp. 301–322.
Las, I., Pramudia, A., Runtunuwu, E., Setyanto, P., 2011. Antisipasi Perubahan Iklim Dalam
Mengamankan Produksi Beras Nasional. Pengemb. Inov. Pertan. 4, 76–86.
Linnenluecke, M.K., Nucifora, N., Thompson, N., 2018. Implications of climate change for the sugarcane industry. Wiley Interdiscip. Rev. Clim. Chang. 9, 1–34. https://doi.org/10.1002/wcc.498
Magarey, R., Royal, A., Williams, D., Bull, J., 2011. A brief history of disease epidemics in Queensland and of some economic outcomes [WWW Document].
Matsuoka, M., Furbank, R.T., Fukayama, H., Miyao, M., 2001. Molecular Engineering Of C4 Photosynthesis. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 52, 297–314.
McDonald, B.A., Linde, C., 2002. Pathogen Population Genetics, Evolutionary Potential, And Durable Resistance. Annu. Rev. Phytopathol. 40, 349–379.
Melloy, P., Hollaway, G., Luck, J., Norton, R., Aittken, E., Chakraborty, S., 2010. Production and fitness of Fusarium pseudograminearum inoculum at elevated carbon dioxide in FACE. Glob. Chang. Biol. 16, 3363–3373. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02178.x
Nibouche, S., Tibère, R., Costet, L., 2012. The use of Erianthus arundinaceus as a trap crop for the stem borer Chilo sacchariphagus reduces yield losses in sugarcane : Preliminary results. Crop Prot. 42, 10–15. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.06.003
Niziolek, O., Berenbaum, M., DeLucia, E., 2012. Impact of elevated CO2 and temperature on Japanese beetle herbivory. Insect Sci. 20, 513–23.
Nurindah, N., Sunarto, D.A., Sujak, S., 2016. Evaluasi pelepasan Trichogramma spp. untuk pengendalian penggerek pucuk dan batang tebu. J. Entomol. Indones. 13, 107–116. https://doi.org/10.5994/jei.13.2.107
Pare, P.W., Tumlinson, J.H., 1999. Update on plant-insect interactions plant volatiles as a defense against insect herbivores. Plant Physiol. 121, 325–331. https://doi.org/10.1104/pp.121.2.325
Park, S., Creighton, C., Howden, M., Matthieson, L., 2008. Climate change and the Australian Sugarcane Industry : Impacts, adaptation and
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
52
R&D opportunities. Sugar Research Australia Ltd, Brisbane.
Pathma, J., Sakthivel, N., 2012. Microbial diversity of vermicompost bacteria that exhibit useful agricultural traits and waste management potential. Springerplus 1, 1–19. https://doi.org/10.1186/2193-1801-1-26
Prasad, Y.G., Bambawale, O.M., 2010. Effects of Climate Change on Natural Control of Insect Pests. Res. Dev 25, 1–12.
Rizwan Rasheed, Wahid, A., Farooq, M., Hussain, I., Basra, S.M.A., 2011. Role of proline and glycinebetaine pretreatments in improving heat tolerance of sprouting sugarcane (Saccharum sp.) buds. Plant Growth Regul. 65, 35–45.
Rott, P.C., Girard, J.-C., Comstock, J.C., 2013. Impact of pathogen genetics on breeding for resistance to sugarcane diseases. Int. Soc. Sugar Cane Technol. 28, 1–11.
Runion, G.B.., Curl, E.A.., Rogers, H.H.., Backman, P.A.., Rodriguez-Kabana, R., Helms, B.., 1994. Effects of free-air CO2 enrichment on microbial populations in the rhizosphere and phyllosphere of cotton. Agric. For. Meteorol. 70, 117–130.
Salaudeen, M., Adama, C., Abdullahi, A., Ayeleke, D., Ibrahim, A., 2016. Climate change and viral diseases in relation to crop productivity and food security: A REVIEW. Int. J. Appl. Biol. Res. 7, 56–65.
Santoso, A.B., 2016. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Produksi Tanaman Pangan di Provinsi Maluku. Penelit. Pertan. Tanam. Pangan 35, 29–38.
Sharma, B.L., Singh, S.P., Sharma, M.L., 2012. Bio-degradation of Crop Residues by Trichoderma Species vis-à vis Nutrient Quality of the Prepared Compost. Sugar Tech 14, 174–180.
Sharma, H.C., 2016. Climate change vis-a-vis pest management:Conference on National Priorities in Plant Health Management February 4-5,2016, Tirupati. Int. Crop. Res. Inst. Semi-Arid Trop. (ICRISAT), Patancheru 502324, Telengana, India 17–25.
Sharma, H.C., 2014. Climate Change Effects on Insects: Implications for Crop Protection and Food Security. J. J. Crop Improv. 28, 229–
2259.
Srikanth, J., Mukunthan, N., Singaravelu, B., Kurup, N.K., Santhalakshmi, G., 2009. Rearing dipha aphidivora, the pyralid predator of sugarcane woolly aphid Ceratovacuna lanigera, on its frozen host may be unfeasible. Sugar Tech 11, 80–82. https://doi.org/10.1007/s12355-009-0015-7
Srivastava, A.K., 2012. Sugarcane production: Impact of climate change and its mitigation. Biodiversitas, J. Biol. Divers. 13, 214–227. https://doi.org/10.13057/biodiv/d130408
Stavrinides, M.C., Lara, J.R., Mills, N.J., 2010. Comparative influence of temperature on development and biological control of two common vineyard pests (Acari: Tetranychidae). Biol. Control 55, 126–131. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2010.07.006
Stefan Rahmstorf, Cazenave, A., Church, J.A., Hansen, J.E., Keeling, R.F., Parker, D.E., Somerville, R.C.J., 2007. Recent Climate Observations Compared to Projections. Science (80-. ). 316, 709. https://doi.org/10.1126/science.1136843
Strange, R.N., Scott, P.R., 2005. Plant Disease: A Threat to Global Food Security. Annu. Rev. Phytopathol. 43, 83–116. https://doi.org/10.1146/annurev.phyto.43.113004.133839
Sukumar Chakraborty, S., 2008. Impacts of global change on diseases of agricultural crops and forest trees. CAB Rev. Perspect. Agric. Vet. Sci. Nutr. Nat. Resour. 3. https://doi.org/10.1079/PAVSNNR20083054
Takabayashi, J., Dicke, M., Posthumus, M.A., 1994. Volatile herbivore-induced terpenoids in plant-mite interactions: Variation caused by biotic and abiotic factors. J. Chem. Ecol. 20, 1329–1354. https://doi.org/10.1007/BF02059811
Tay, W., Soria, M., Walsh, T., Thomazoni, D., Silvie, P., 2013. A brave new world for an old world pest: Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) in Brazil. PLoS ONE 8 8. https://doi.org/journal.pone.0080134 24.
Thomson, L.J., Macfadyen, S., Hoffmann, A. a., 2010. Predicting the effects of climate change on natural enemies of agricultural pests. Biol.
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
53
Control 52, 296–306. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2009.01.022
Torriani, D., Calanca, P., Lips, M., Ammann, H.B., Jürg, M., 2007. Regional assessment of climate change impacts on maize productivity and associated production risk in Switzerland. Reg. Environ. Chang. 7, 209–221.
Tripathi, A., Tripathi, D.K., Chauhan, D.K., Kumar, N., Singh, G.S., 2016. Paradigms of climate change impacts on some major food sources of the world: A review on current knowledge and future prospects. Agric. Ecosyst. Environ. 216, 356–373. https://doi.org/10.1016/j.agee.2015.09.034
Vara Prasad, P. V., Vu, J.C. V., Boote, K.J.., Allen, L.H.J., 2009. Enhancement in leaf photosynthesis and upregulation of Rubisco in the C4 sorghum plant at elevated growth carbon dioxide and temperature occur at early stages of leaf ontogeny. Funct. Plant Biol. 36, 761–769. https://doi.org/https://doi.org/10.1071/FP09043
Veromann, E., Toome, M., Kännaste, A., Kaasik, R., Copolovici, L., Flink, J., Kovács, G., Narits, L., Luik, A., Niinemets, Ü., 2013. Effects of nitrogen fertilization on insect pests, their parasitoids, plant diseases and volatile organic compounds in Brassica napus. Crop Prot. 43, 79–88. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.09.001
Vu, J., Allen, L.J., Gallo-Meagher, M., 2002. Crop plant responses to rising CO2 and climate change, in: Pessarakli, M. (Ed.), ‘Handbook of Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker, New York, pp. 35–55.
Wand, S.J., Midgley, G.F., Jones, M.H., Curtis, P.S., 1999. Responses of wild C4 and C3 grass (Poaceae) species to elevated atmospheric CO2 concentration: a meta‐analytic test of current theories and perceptions. Glob. Chang. Biol. 5, 723–741. https://doi.org/10.1046/j.1365-2486.1999.00265.x
War, A.R., Taggar, G.K., War, M.Y., Hussain, B., 2016. Impact of climate change on insect pests, plant chemical ecology, tritrophic interactions and food production. Int. J. Clin. Biol. Sci. 1, 16–29.
Wismer, C., Bailey, R., 1989. Pineapple disease, in: Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, A.G., Hughes, C.G. (Eds.), Diseases of Sugarcane -Major Diseases. Elsevier, Amsterdam, p. 145–1 56.
Yuan, J.S., Himanen, S.J., Holopainen, J.K., Chen, F., Stewart, C.N., 2009. Smelling global climate change: mitigation of function for plant volatile organic compounds. Trends Ecol. Evol. 24, 323–331. https://doi.org/10.1016/j.tree.2009.01.012
Ziska, L.H., Sicher, R.C., Bunce, J.A., 1999. The impact of elevated carbon dioxide on the growth and gas exchange of three C4 species differing in CO2 leak rates. Physiol. Plant. 105, 74–80. https://doi.org/10.1034/j.1399-3054.1999.105112.x
Zvereva, E., Kozlov, M., 2006. Consequences of simultaneous elevation of carbon dioxide and temperature for plant-herbivore interactions: a metaanalysis. Glob. Chang. Biol. 12, 27–41.