59

bultas - Pertanian

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ULETIN TANAMAN TEMBAKAU, SERAT & MINYAK INDUSTRI merupakan jurnal ilmiah nasio-nal yang dikelola oleh Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan untuk menerbitkan hasil penelitian dan pengembangan, serta

tinjauan (review) tanaman pemanis, serat buah, serat batang/daun, tembakau, dan minyak industri, dengan bidang ilmu pemuliaan tanaman, plasma nutfah, perbenihan, ekofisiologi tanaman, entomologi, fitopatologi, teknologi pengolahan hasil, mekanisasi, dan sosial ekonomi. Buletin ini membuka kesempatan kepada para peneliti, pengajar perguruan tinggi, dan praktisi untuk mempublikasikan hasil penelitian dan reviewnya. Makalah harus dipersiapkan dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan penulisan yang disajikan pada setiap nomor penerbitan atau dapat diunduh di http://balittas.litbang.pertanian.go.id. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri diterbitkan dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober, satu volume terdiri atas 2 nomor.

Dewan Penyunting

Ketua Prof. Ir. Nurindah, Ph.D. (Entomologi)

Anggota Ir. Bambang Heliyanto, M.Sc., Ph.D. (Pemuliaan) Ir. Titiek Yulianti, M.Ag.Sc., Ph.D. (Fitopatologi)

Ir. Emy Sulistyowati, M.Ag., Ph.D. (Mikro Biologi Tanaman) Dr. Ir. Budi Hariyono, MP. (Agronomi)

Dr. Ir. Herman Subagio, MS (Sosial Ekonomi)

Penyunting Pelaksana Dra. Esti Sunaryuni; Kristiana Sri Wijayanti, SP.MP; Suminar Diyah Nugraheni, STP; Sadta Yoga, SE.

Grafis

Syaiful Bahri

Sekretariat Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Jln. Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199, Malang 65152 Telepon: 0341-491447; Fax. 0341-485121

E-mail: [email protected] Website: www.balittas.litbang.pertanian.go.id

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas

Untuk keperluan tukar-menukar dan sebagainya, surat-menyurat ditujukan kepada sekretariat.

Foto sampul depan oleh Syaiful Bahri (Pertanaman Tebu pada Penelitian Pengendalian Hara untuk Tanaman Tebu Rc.1 di KP Muktiharjo 2018)terangan foto/gambar cover depan: Komoditas Balittas

B

ISSN 2085-6717 e-ISSN 2406-8853

Volume 10, Nomor 1, April 2018 Terakreditasi No. 700/AU/P2MI-LIPI/10/2015

Buletin

TANAMAN TEMBAKAU,

SERAT & MINYAK INDUSTRI

BALAI PENELITIAN TANAMAN PEMANIS DAN SERAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

MITRA BESTARI

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Ir. Emy Sulistyowati, MAg,PhD.

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Balitbangtan

Jln. Raya Karangploso km. 4, Kotak Pos 199

Malang 65152, Indonesia

2. Dr. Ir. Ratna Komala Dewi, M.P

Universitas Udayana

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali. 80361, Indonesia

3. Ir. Hari Purnomo, M.Si., Ph.D., DIC

Universitas Negeri Jember

Jln. Kalimantan no 37, Kampus Tegalboto

Jember 68121, Indonesia

4. Prof. Dr. Deciyanto Soetopo, MS.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Balitbangtan

Jln. Tentara Pelajar no. 1

Bogor 16111, Indonesia

5. Dr. Araz Meilin, SP., MSi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jln. Samarinda Paal V,

Kotabaru 36128 Jambi, Indonesia

6. Dr. Ir. Budi Hariyono, MP.

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Balitbangtan

Jln. Raya Karangploso km. 4, Kotak Pos 199

Malang 65152, Indonesia

Sebagai mitra bestari yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat di Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Volume 10, Nomor 1, April 2018

ISSN: 2085-6717 e-ISSN: 2406-8853

BULETIN TANAMAN TEMBAKAU, SERAT & MINYAK INDUSTRI

Volume 10, Nomor 1, April 2018

DAFTAR ISI

Skrining Klon Tebu Potensial Rendemen Tinggi Terhadap Salinitas Tantri Dyah Ayu Anggraeni dan Bambang Heliyanto . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1−12

Analisis Potensi Tebu dalam Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso

Duwi Yunitasari, Endah Kurnia Lestari, dan Nanik Istiyani . . . . . . . . . .. . . . . . 13−20

Pengaruh Penambahan Biomasa di Lahan Kering terhadap Diversitas Arthropoda Tanah dan Produktivitas Tebu

Sujak Sujak, Dwi Adi Sunarto, dan Subiyakto Subiyakto . . . . . . . . . . . . . . . . 21−31

Uji Daya Hasil Genotipe Tebu Potensial di Lahan Kering

Abdurrakhman Abdurrakhman, Bambang Heliyanto, Djumali Djumali, Damanhuri Damanhuri, dan Noer Rahmi Ardiarini . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .

32–38

Strategi Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Nurindah dan Titiek Yulianti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39−53

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

1

Skrining Klon-Klon Tebu Potensial Rendemen Tinggi Terhadap Salinitas

Tantri Dyah Ayu Anggraeni dan Bambang Heliyanto

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso, Kotak Pos 199, Malang

E-mail: [email protected] Diterima: 23 Januari 2018; direvisi: 13 Febrauari 2018; disetujui: 28 Februari 2018

ABSTRAK

Pengembangan tebu saat ini terdorong ke lahan-lahan marjinal, salah satunya lahan dengan cekaman

salinitas. Penanaman tebu pada lahan salinitas dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan kehilangan hasil sampai 37%. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining klon-klonklon tebu

rendemen tinggi terhadap cekaman garam (salinitas). Penelitian menguji 58 klon tebu rendemen tinggi hasil

seleksi dari persilangan seri D tahun 2004-2006 beserta empat varietas pembanding terhadap perlakuan cekaman salinitas dengan 3 konsentrasi NaCl, 1) kontrol/ EC ± 0,1 dS/m), 2) EC ± 2 dS/m dan 3) EC > 4

dS/m). Penelitian disusun dalam rancangan kelompok lengkap faktorial dengan faktor pertama klon tebudan faktor kedua perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi. Hasil analisis varian menunjukkan adanya

perbedaan respon klon tebu pada semua parameter pertumbuhan yang diamati terhadap salinitas pada

cekaman dengan nilai EC diatas 4 dS/m). Dibandingkan kontrol, rata-rata panjang akar dari semua klon mengalami penurunan sebesar 3,41 %, rata-rata berat kering akar menurun sebesar 8,05 % dan tajuk

mengalami penurunan sebesar 9,46%. Sedangkan pertumbuhan diameter batang serta berat kering tajuk tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berdasarkan kajian indeks toleransi akar dan tajuk terhadap

salinitas secara bersama-sama, terdapat delapan klon yang tergolong toleran, yaitu PS.06.195, PS.04.259,

PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334, dan PS.04.162. Klon-klon ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran salinitas atau sebagai sumber introgresi gen toleran

salinitas untuk varietas varietas unggul yang berproduksi dan rendemen tinggi.

Kata kunci: klon tebu, salinitas, skrining, toleran

Screening of Potential Sugarcane Clones with High Sugar Content to Salinity

ABSTRACT Sugarcane development is currently being pushed to marginal areas, one of it is soil with salinity stress. Salinity stress could limit sugarcane growth and cause yield loss until 37 %. This study aimed to screen

sugarcane clone clones subjected to salinity stress. The research evaluated fiftyeight sugarcane clones with high yield, derived from series D hybridization, along with four control varieties to salinity stress with 3 NaCl

concentrations: 1) control / EC ± 0,1 dS/m, 2) EC ± 2 dS/m and 3) EC > 4 dS/m. The research was

arranged ion Factorial Completely Randomize Design with Two factors. The first factor were sugarcane clones and the second factor were NaCl concentrations. Analysis of variance resulted in difference responses

of sugarcane clones on all growth parameters observed in EC > 4 dS/m. Comparison As compared to with control/EC ± 0,1 dS/m, average of root length average derived from all tested clones significantly decreased

by 3,4 %, root dry weight decreased by 8,05 %, and shoot length decreased by 9,46 %. Whereas stem diameter and shoot dry weight did not has show significant changes. Based on tolerance index of root and

shoot parameters, eight clones had been determined as salinity tolerance to salinity, i.e. PS.06.195,

PS.04.259, PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334 and PS.04.162. These clones

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:1−12 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.1-9

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

2

could be tested, and then proposed as sugarcane clones that tolerant to salinity or become genetic resources for introgression salinity tolerance genes to high yielding variety.

Keywords: sugarcane clones, salinity, screening, tolerance

PENDAHULUAN

ebu merupakan salah satu komoditas

strategis nasional karena menjadi

bahan baku industri gula. Kebutuhan

gula dalam negeri diperkirakan akan semakin

meningkat sejalan dengan bertambahnya

penduduk. Produksi tebu pada tahun 2015

mencapai 2,53 juta ton, mengalami

penurunan 1,57% dari tahun sebelumnya.

Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan

gula dalam negeri, oleh karena itu pemerintah

mengimpor gula dari berbagai Negara (Badan

Pusat Statistik, 2015). Dalam usaha

memenuhi pasokan gula dalam negeri,

pemerintah telah mencanangkan prog-ram

swasembada gula melalui upaya on-farm,

yaitu peningkatan produktivitas gula dan

perluasan areal penanaman tebu (Mastur et

al., 2015). Perluasan areal tebu terkendala

persaingan dalam penggunaan lahan dengan

tanaman pangan, seperti padi, jagung dan

kedelai, sehingga pengembangan tebu

terdorong ke lahan-lahan marjinal. Lahan

marginal didefinisikan sebagai lahan yang

mempunyai potensi rendah sampai sangat

rendah untuk dimanfaatkan sebagai lahan

pertanian, karena adanya cekaman ling-

kungan yang berdampak pada penurunan

produktivitas tanaman tebu (Harsanti et al.,

2015; Santoso et al., 2015). Salah satu lahan

marjinal potensial adalah lahan dengan

cekaman salinitas.

Tanah dengan cekaman salinitas dide-

finisikan sebagai tanah dengan nilai konduk-

tivitas elektrik (EC = Electrical Conductivity

/DHL = Daya Hantar Listrik) mencapai 4

desiSiemens/m (dS/m) pada suhu 25ºC

(Shrivastava & Kumar, 2015). Nilai EC yang

tinggi tersebut disebabkan oleh kandungan

garam-garam terlarut terutama NaCl yang

merupakan unsur salinitas yang mendominasi

kandungan air tanah. Salinitas tanah dapat

menghambat pertumbuhan dan perkembang-

an tanaman melalui dua cara, yaitu 1) dengan

meningkatkan tekanan osmosis dari air tanah,

sehingga membatasi pengambilan air oleh

tanaman, dan 2) meningkatkan kandungan

ion toksik dari air tanah yang dapat meracuni

tanaman (Sheldon et al., 2004; Shrivastava &

Kumar, 2015). Tanaman tebu digolongkan

sebagai tanaman glikofit, karena menunju-

kkan gejala keracunan akibat cekaman salini-

tas, diantaranya terhambatnya perkecam-

bahan bibit, ketidakseimbangan nutrisi dalam

sel tanaman dan penurunan pertumbuhan

antara 15-86 % pada cekaman NaCL 200 mM

(Cha-um et al., 2012), yang akhirnya dapat

menurunkan produktivitas tanaman hingga

37% pada populasi jumlah batang terpanen

sebesar 37% (Tiku et al., 2014). Tanaman

tebu menunjukkan sensitivitas yang tinggi

terhadap cekaman salinitas pada berbagai

tahap pertumbuhan. Simoes et al. (2016)

melaporkan peningkatan nilai EC tanah

sebesar 4–8 dS/m telah menurunkan tinggi

tanaman dan jumlah batang tebu hingga lebih

dari 30%. Beberapa penelitian lain juga

melaporkan penurunan komponen pertum-

buhan dan proses fisiologis (laju fotosintesis,

konduktansi stomata dan sintesis klorofil)

tanaman tebu akibat peningkatan nilai EC

tanah (Wahid, 2004; Patade et al., 2011).

Cara paling efisien mengatasi perma-

salahan salinitas adalah dengan menanam

varietas toleran (Oyiga et al., 2016).

Tanaman memiliki mekanisme tertentu dalam

mengatasi cekaman salinitas, yaitu melalui: 1)

toleransi pada tekanan osmosis, 2) ekslusi ion,

dan 3) toleransi dari jaringan tanaman (Roy et

al., 2014). Penggunaan varietas toleran dapat

mengurangi penurunan pertumbuhan dan

kehilangan hasil tanaman padi yang tercekam

salinitas (Ferreira et al., 2015; Hariadi et al.,

T

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

3

2015). Oleh karena itu penggunaan varietas

tebu yang toleran terhadap salinitas juga

diharapkan mampu mengatasi masalah

cekaman salinitas pada pertanaman tebu.

Pengujian cekaman salinitas pada

tanaman dapat dilakukan dengan meng-

gunakan larutan NaCl atau Na2SO4 dengan

berbagai cara pemberian perlakuan, salah

satunya adalah memberikan penyiraman

larutan NaCl pada konsentrasi yang meng-

akibatkan cekaman salinitas sebesar 2–4 dS/m

pada periode tertentu (Tanimoto & Nickell,

1965; Putri et al., 2012; Dachlan et al., 2013).

Karakter biomasa pertumbuhan dan fisiologis

digunakan sebagai kriteria untuk meng-

identifikasi klon-klon yang toleran salinitas

(Wahid et al., 1997; Cha-um et al., 2012;

Oyiga et al., 2016). Program persilangan

untuk merakit varietas tebu unggul rendemen

tinggi dan sesuai untuk lahan marjinal sedang

dilakukan di Balittas dan saat ini telah

diperoleh 58 klon potensial rendemen tinggi

namun belum diketahui tingkat toleransinya

terhadap cekaman salinitas (Heliyanto et al.,

2014). Penelitian ini bertujuan untuk menguji

respon klon klon-klon terpilih tebu rendemen

tinggi terhadap cekaman salinitas sehingga

dapat diketahui tingkat toleransi klon tebu

tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di rumah kasa

Kelompok Peneliti Pemuliaan Tanaman,

Plasma Nutfah dan Perbenihan, Balai Pene-

litian Tanaman Pemanis dan Serat Malang

pada bulan Januari–Desember 2013. Bahan

penelitian terdiri dari 58 klon tebu potensial

rendemen tinggi, hasil seleksi dari persilangan

seri D tahun 2004–2006, beserta empat

varietas pembandingnya (Tabel 1). Bahan

tanaman berupa bagal tebu mata satu

(budset). Budset ditanam pada media tanah

dengan komposisi media tanah alluvial steril

dalam polybag ukuran 5 kg yang telah

dilubangi bagian bawah dan sampingya.

Sebelum ditanami, media diberi SP36 seba-

nyak 8 g/polibag dan disiram air. Perlakuan

disusun dalam rancangan kelompok lengkap

faktorial dengan faktor pertama klon tebu,

sebanyak 62 klon (Tabel 1) dan faktor kedua

perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi

yaitu: 1) 0 g/5 kg tanah (kontrol); 2) 7,69 g/5

kg tanah, dan 3) 17,95 g/5 kg tanah

(Tanimoto & Nickell, 1965; Putri et al., 2012),

sehingg terdapat 186 set perlakuan yang

diulang 2 kali. Tiap set perlakuan terdiri dari

dua polybag tanaman.

Tabel 1. Klon-klon potensial tebu rendemen tinggi

dan varietas pembandingnya

No Klon No Klon No Klon

1 PS.04.401 22 PS.05.251 43 PS.04.162 2 PS.06.195 23 PS.04.194 44 PS.06.305 3 PS.04.120 24 PS.05.258 45 PS.06.199 4 PS.04.129 25 PS.04.237 46 PS.06.281 5 PS.04.259 26 PS.06.400 47 PS.06.290 6 PS.04.257 27 PS.04.380 48 PS.06.222 7 PS.05.390 28 PS.05.333 49 PS.06.391 8 PS.06.356 29 PS.05.124 50 PS.06.365 9 PS.04.125 30 PS.04.253 51 PS.04.158 10 PS.05.311 31 PS.05.246 52 PS.06.370 11 PS.06.188 32 PS.05.455 53 PS.05.166 12 PS.04.117 33 PS.05.327 54 PS.04.244 13 PS.05.526 34 PS.05.393 55 PS.06.103 14 PS.06.395 35 PS.05.193 56 PS.04.303 15 PS.06.401 36 PS.04.392 57 PS.05.130 16 PS.05.123 37 PS.05.465 58 PS.05.551 17 PS.06.324 38 PS.06.204 59 PSJT 941 (K/AT) 18 PS.05.165 39 PS.06.181 60 PS 862 (K/AT) 19 PS.04.165 40 PS.06.334 61 BL (K/L) 20 PS.06.121 41 PS.05.428 62 Kentung (K/AT) 21 PS.06.369 42 PS.04.430

Keterangan: no. 1–58 adalah klon tebu rendemen tinggi yang diuji, no. 59–62 adalah varietas pembanding. AT: Kategori masak awal tengah, L: Kategori masak lambat

Perlakuan Cekaman Salinitas

Perlakuan cekaman salinitas menggu-

nakan NaCl diberikan pada saat tanaman

berumur 3,5 bulan. Perlakuan terdiri atas 3

konsentrasi NaCl, yaitu perlakuan 1 = 0 g/5

kg tanah (kontrol), perlakuan 2 = 7,69 g/5 kg

tanah, dan perlakuan 3 = 17,95 g/5 kg tanah

(Tanimoto & Nickell, 1965; Putri et al., 2012).

Cekaman NaCl diberikan dalam bentuk

penyiraman sebanyak 5 kali dalam kurun

waktu 21 hari. Penyiraman diberikan sesuai

dengan volume air kapasitas lapang dari

media tanah yang digunakan. Penghitungan

kapasitas lapang dilakukan menurut metode

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

4

penetapan kadar air tanah kapasitas lapang

menurut Hakim et al. (1984). Pasir

dimasukkan kedalam gelas piala hingga

tingginya kira-kira 1/4 bagian dari dasar gelas,

selanjutnya pipa kaca diletakkan di tengah-

tengahnya, kemudian dituangkan kembali

sejumlah tanah contoh kering udara dengan

tinggi ¾ dari dasar gelas. Pipa kaca berfungsi

untuk mengalirkan udara. Selanjutnya air

disiramkan dengan hati-hati ke permukaan

tanah, sampai air merembes ke batas pasir.

Kemudian, gelas piala ditutup dengan

lembaran plastik untuk mencegah penguapan

air dan diletakkan di tempat yang sejuk,

selama 24 jam. Setelah 24 jam, sejumlah

contoh tanah dipindahkan ke cawan timbang.

Setelah menyisihkan tanah di permukaan,

contoh tanah ditimbang (w), sebanyak 6

ulangan. Kemudian contoh tanah tersebut

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C

selama 3 jam atau sampai tidak terjadi

penurunan berat, kemudian ditimbang (x).

Perhitungan kapasitas lapang dilakukan

mengikuti rumus berikut:

Kapasitas lapang (𝑎) =w−x

x X 100%

Keterangan:

kapasitas lapang tanah 5 kg = a x X massa

jenis air (1 gram/cm3) x 5.000 gram.

Hasil perhitungan kapasitas lapang

adalah 1,25 l (Tabel 2). Jadi NaCl sesuai

dengan konsentrasi yang dikehendaki dila-

rutkan dalam 1,25 l air dan diberikan pada

tiap polybag setiap tiga hari sekali selama 21

hari (Putri et al., 2012; Oyiga et al., 2016).

Satu hari setelah perlakuan penyiraman,

dilakukan pengukuran EC tanah untuk

mengetahui kadar garam dalam tanah akibat

perlakuan cekaman NaCl.

Tabel 2. Perhitungan kapasitas lapang

Ulang-an

Berat awal (w)

(dalam gram)

Berat akhir (x)

(dalam gram)

Kapasitas lapang (a) (dalam %)

kapasitas la-pang untuk tanah 5 kg

(dalam liter)

1 82,8062 65,4677 26,48 1,324 2 87,8940 70,7931 24,15 1,207 3 91,8500 74,8667 22,68 1,134 4 93,8194 75,3771 24,26 1,223 5 93,7628 76,9496 21,84 1,092 6 89,0755 71,3853 12,39 1,239

Rata-rata 1,25 liter

Pengamatan karakter pertumbuhan

Pengamatan karakter pertumbuhan dila-

kukan pada 3 HSP (hari setelah penyiraman

larutan NaCl terakhir). Pengamatan dilak-

sanakan secara destruktif pada 4 tanaman

sampel dari tiap klon dan tiap perlakuan NaCl.

Pengamatan meliputi panjang akar (cm),

berat kering akar (gram), panjang tajuk (cm),

diameter batang (cm), dan berat kering tajuk

(gram).

Analisa data

Data karakter pertumbuhan yang

diamati di analisis ANOVA menggunakan

program R versi 3.3.3 (R Core Team, 2017).

Indeks toleransi klon terhadap cekaman

salinitas ditentukan dengan menggunakan

rumus yang dimodifikasi oleh Sulistyowati et

al. (2010), yaitu sebagai berikut:

𝑆 =1 −

𝑌𝐷𝑌𝑃

𝐷

Keterangan:

YD: pengamatan pertumbuhan pada

perlakuan dengan NaCl,

YP: pengamatan pertumbuhan pada

perlakuan kontrol,

D : intensitas cekaman salinitas yang nilainya

adalah

1 −𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑌𝐷 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑔𝑒𝑛𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒

𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑌𝑃 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑔𝑒𝑛𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

5

Kategori toleransi terhadap perlakuan

cekaman salinitas ditentukan berdasarkan

(Clarke et al., 1984; Sulistyowati et al., 2010)

sebagai berikut: relatif toleran terhadap

salinitas bila S < 0,95, toleransi moderat bila S

0,95–1,10, dan relatif tidak toleran terhadap

salinitas (atau peka) bila S > 1,10. Analisa

korelasi dilakukan antara parameter per-

tumbuhan pada kondisi cekaman EC > 4 dS/m

dengan skor kriteria toleransi yang didapatkan

dari perhitungan kategori menggunakan in-

deks toleransi (S). Skor kriteria toleransi

terhadap cekaman salinitas ditetapkan se-

bagai berikut: 1 untuk kategori peka, 2 untuk

kategori moderat, dan 3 untuk kategori

toleran. Korelasi dihitung berdasar koefisien

korelasi Pearson dengan software Minitab 17

Statistical Software (Minitab 17 Statistical

Softwre, 2010)

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai konduktivitas listrik (EC) tanah akibat perlakuan salinitas

Untuk memastikan bahwa respon

tanaman disebabkan oleh perlakuan salinitas

dan bukan oleh faktor yang lain, maka

dilakukan pengukuran terhadap konduktivitas

listrik (EC) media tanah. Pada kontrol yang

tidak diberi larutan NaCl (P1), nilai EC tanah

stabil dari awal perlakuan sampai akhir.

Sedangkan nilai EC pada P2, meningkat

sampai penyiraman keempat (0,95–2,55

dS/m), dan mengalami penurunan pada

penyiraman kelima dan keenam, namun nilai

EC masih di atas 2 dS/m. Sedangkan pada P3

nilai EC tanah meningkat sampai penyiraman

terakhir (Gambar 1). Hasil ini menunjukkan

pemberian NaCL pada kedua konsentrasi yang

diuji berhasil mengkondisikan media tanah

menjadi tanah dengan cekaman salinitas.

Tanah dengan nilai EC di bawah 2 dS/m

(perlakuan kontrol) dilaporkan tidak

memberikan cekaman pada tanaman.

Sedangkan EC antara 2–4 dS/m menyebabkan

Gambar 1. Hasil pengukuran nilai EC media tanah

akibat perlakuan penyiraman larutan

NaCl

beberapa pengaruh tanaman tercekam namun

dapat pulih kembali. EC di atas 4 dS/m

menyebabkan pengaruh cekaman yang cukup

besar pada pertumbuhan tanaman hingga

menyebabkan kematian jaringan dan

kehilangan hasil (Wahid, 2004; Patel et al.,

2010; Joseph & Mohanan, 2013).

Pengaruh cekaman salinitas NaCl pada parameter pertumbuhan klon-klon tebu

Hasil analisis varian menunjukkan ada-

nya perbedaan respon klon–klon tebu pada

semua parameter pertumbuhan yang diamati

terhadap salinitas pada cekaman dengan nilai

EC diatas 4 dS/m (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh klon, salinitas, interaksi klon

dan salinitas terhadap parameter pertum-buhan genotipa tebu

Sumber keragaman

PA BKA PT DB BKT

Klon ** ** ** ** **

Salinitas * ** ** ns ns

Klon* Salinitas Ns ns ns ns ns

Keterangan: PA panjang akar, BKA berat kering akar, PT panjang tajuk, DB diameter batang, BKT berat kering tajuk.

** berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * berbeda nyata pada taraf 5%, ns tidak berbeda nyata pada taraf

Jika dibandingkan dengan kontrol yang

tidak diberi cekaman, rata-rata panjang akar

dari semua klon mengalami penurunan

0.15 0.1 0.1 0.1 0.1 0.15

0.951.2 1.25

2.552.35

2.152

2.5 2.6

4.3 4.2 4.3

0

1

2

3

4

5

1 2 3 4 5 6

Nila

i D

HL t

anah (

dS/m

)

Penyiraman larutan NaCl ke-

P1 (0 g NaCl/5 kg tanah)

P2 (7,69 g NaCl/5 kg tanah)

P3 (17,95 g NaCl/5 kg tanah)

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

6

sebesar 3,41%, rata-rata berat kering akar

menurun sebesar 8,05% dan tajuk mengalami

penurunan panjang sebesar 9,46%.

Sedangkan diameter dan berat kering tajuk

mengalami perubahan yang tidak signifikan.

Berdasar hasil analisis varian, parameter

panjang akar, berat kering akar dan panjang

tajuk mengalami perubahan signifikan akibat

salinitas. Oleh karena itu ketiga parameter

tersebut menentukan toleransi 58 klon tebu

terhadap cekaman salinitas. Sedangkan

parameter diameter batang dan berat kering

tajuk tidak dapat digunakan sebagai indikator

toleransi klon–klon tebu terhadap cekaman

salinitas yang diuji. Pada penelitian ini

perlakuan salin salinitas diberikan pada stadia

bibit tanaman tebu yang berumur 3,5 bulan

(stadia bibit). Pada stadia tersebut tanaman

tebu memasuki masa awal pertumbuhan

cepat (Khuluq & Hamida, 2014), sehingga

cekaman yang diberikan belum terlalu

menghambat perbesaran pertumbuhan

diameter tebu. Begitu pula dengan parameter

berat kering tajuk yang merupakan gabungan

dari berat batang dan daun tebu.

Pengaruh cekaman salinitas terhadap parameter pertumbuhan akar

Hasil perhitungan indeks toleransi

terhadap salinitas pada panjang akar

ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Toleransi klon tebu terhadap salinitas

berdasarkan panjang akar. Mendatar adalah nomor klon yang diuji. Garis

merah (1,1) adalah batas kategori peka dan garis hitam (0,95) batas kategori

toleran.

Klon-klon yang diuji dikelompokkan

menjadi peka dan tahan terhadap salinitas,

yaitu dua puluh tujuh klon termasuk kelompok

tahan dan 35 klon termasuk kelompok peka.

Pada parameter ini, tidak ada klon yang

termasuk kelompok moderat. Klon-klon

PS.04.162, PS.04.380, PS.06.222, dan

PS.05.193 pada kelompok termasuk klon yang

paling tahan dengan indeks toleransi yang

paling besar. Sedangkan varietas komersial

PSJT 941 dan Kentung masuk ke dalam

kategori peka dan PS 862 dan BL masuk

dalam kategori tahan.

Toleransi klon-klon tebu terhadap

salinitas berdasarkan berat kering akar

ditunjukkan pada gambar Gambar 3. Terdapat

26 klon dengan kategori tahan, 3 klon dengan

kategori moderat dan 33 klon termasuk dalam

golongan peka terhadap cekaman salinitas.

Keempat klon komersial yang digunakan

sebagai pembanding termasuk dalam kategori

peka. Berdasar parameter panjang dan berat

kering akar secara bersama-sama, terdapat

14 klon yang termasuk kategori tahan

berdasar panjang dan berat kering akar, yaitu

klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,

PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.124,

PS.05.455, PS.06.204, PS.06.334, PS.04.430,

PS.04.162, PS.06.305, dan PS.06.281.

Gambar 3. Toleransi klon tebu terhadap salinitas

berdasarkan berat kering akar.

Mendatar adalah nomor klon yang diuji.

Garis merah (1,1) adalah batas kategori peka dan garis hitam (0,95) batas

kategori toleran.

Kadar salinitas yang tinggi dalam tanah

dapat menghambat pengambilan air oleh

akar. Akar merupakan bagian tanaman yang

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

7

pertama kali terkena dampak cekaman. Murad

et al. (2014) melaporkan penurunan berat

akar tanaman tebu, baik pada varietas yang

toleran maupun yang peka, namun terdapat

per-bedaan penurunan antara kedua tipe

varietas tersebut. Varietas toleran memiliki

massa yang lebih tinggi karena memiliki

sistem perakaran yang lebih dalam sehingga

dapat mengambil air dari lapisan tanah yang

lebih dalam. Dalam penelitian ini klon-klon

toleran mengalami peningkatan berat akar

pada kondisi tercekam dibanding tanpa

cekaman. Peningkatan berat ini diduga

merupakan mekanisme adaptasi akar

terhadap kondisi tercekam, yaitu melalui

penebalan epidermis, peningkatan jumlah

akar, maupun pembesaran vakuola sebagai

kompartemensi ion toksik. Hasil yang berbeda

dilaporkan oleh Karjunita (2016) yang

menyatakan bahwa genotipe tanaman

hotong/ foxtail millet (Setaria italica L. Beauv.)

yang peka menunjukkan penebalan epidermis

dan jumlah akar yang lebih banyak daripada

genotipe toleran akibat cekaman salinitas.

Hal ini disebabkan genotipe toleran

beradaptasi terhadap salinitas melalui

mekanisme peng-hindaran penyerapan Na+

yang berlebihan dengan membatasi

pertumbuhan dan perkem-bangan rambut

akar. Hal ini menjadi indikasi bahwa masing-

masing jenis tanaman memiliki mekanisme

adapatasi cekaman yang berbeda.

Pengaruh cekaman salinitas terhadap parameter pertumbuhan tajuk

Nilai indeks toleransi klon tebu terhadap

salinitas pada parameter panjang tajuk,

diameter batang dan berat kering tajuk

ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5. Pada

Gambar 4 (panjang tajuk) terdapat 32 klon

tebu yang termasuk kategori tahan, 5 klon

tebu moderat dan 26 klon peka. Klon-klon

komersial yang digunakan sebagai

pembanding menun-jukkan respon yang

beragam. PSJT 941 termasuk ke dalam

golongan moderat sedangkan Varietas PS 862,

BL dan Kentung digolongkan menjadi klon

yang peka. Jika didasarkan pada kajian

parameter akar dan tajuk secara bersama-

sama, ada delapan klon yang tergolong tahan,

yaitu PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,

PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,

PS.06.334, dan PS.04.162 (Tabel 4).

Gambar 4. Toleransi klon tebu terhadap salinitas berdasarkan panjang tajuk.

Mendatar adalah nomor klon tebu yang

diuji. Garis merah (1,1) adalah batas kategori

peka dan garis hitam (0,95) batas kategori

toleran.

Selain akar bagian atas dari tanaman

tebu juga dilaporkan menunjukkan respon

terhadap cekaman salinitas. (Gomathi &

Thandapani (2014) melaporkan penurunan

panjang tajuk (42,37%), diameter batang

(38,88%), jumlah ruas (26,66%) dan berat

batang (44,30%) dari tanaman tebu yang

tercekam salinitas. Berat kering tajuk dari

tanaman tebu yang tercekam salinitas dengan

EC 8 dS/m juga dilaporkan mengalami

penurunan sebesar 77% (Simoes et al., 2016).

Akumulasi garam pada tajuk menyebabkan

penutupan stomata daun dan penghambatan

pemanjangan tajuk, yang akan berakibat pada

penurunan produksi daun baru dan

pertumbuhan tajuk (Roy et al., 2014).

Tanaman yang toleran mampu menurunkan

efek keracunan dengan cara mengurangi

akumulasi ion toksisk, yaitu ion Na dan Cl

yang berlebihan pada helaian daun dengan

cara eklusi ion–ion tersebut atau dengan

mening-katkan kemampuannya untuk

mentoleransi kandungan garam dengan

kompartementasi pada vakuola.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

8

Tabel 4. Toleransi 62 genotipa tebu terhadap salinitas berdasar indeks toleransi (S)

No Genotipa PA BKA PT

1 PS.04.401 P P P 2 PS.06.195 T T T 3 PS.04.120 P P T 4 PS.04.129 P P P 5 PS.04.259 T T T 6 PS.04.257 T P T 7 PS.05.390 P T T 8 PS.06.356 T P P 9 PS.04.125 P P P 10 PS.05.311 T T T 11 PS.06.188 T T T 12 PS.04.117 P P P 13 PS.05.526 T P T 14 PS.06.395 T T P 15 PS.06.401 T P P 16 PS.05.123 P T T 17 PS.06.324 T T P 18 PS.05.165 T M P 19 PS.04.165 T T T 20 PS.06.121 T P P 21 PS.06.369 P T P 22 PS.05.251 P P P 23 PS.04.194 T P T 24 PS.05.258 T T T 25 PS.04.237 T P P 26 PS.06.400 T P M 27 PS.04.380 T P P 28 PS.05.333 P T P 29 PS.05.124 T T P 30 PS.04.253 P T T 31 PS.05.246 T M P 32 PS.05.455 T T T 33 PS.05.327 P P T 34 PS.05.393 P T T 35 PS.05.193 T P T 36 PS.04.392 P T T 37 PS.05.465 P P T 38 PS.06.204 T T P 39 PS.06.181 P T T 40 PS.06.334 T T T 41 PS.05.428 P T T 42 PS.04.430 T T P 43 PS.04.162 T T T 44 PS.06.305 T T P 45 PS.06.199 T P T 46 PS.06.281 T T P 47 PS.06.290 P T T 48 PS.06.222 T P T 49 PS.06.391 T P T 50 PS.06.365 P P T 51 PS.04.158 P P T 52 PS.06.370 T P M 53 PS.05.166 P P P 54 PS.04.244 P P M 55 PS.06.103 P P M 56 PS.04.303 T P P 57 PS.05.130 P P P 58 PS.05.551 P M T 59 PSJT 941 P P M 60 PS 862 T P P 61 BL T P P 62 Kentung P P P

Keterangan: PA panjang akar, BKA berat kering akar, PT

panjang tajuk, Kategori toleransi T toleran, M

moderat dan P peka.

Gambar 5. Penurunan panjang tajuk pada klon

tebu yang tahan (atas) dan peka (bawah)

terhadap cekaman salinitas

Gandonou et al. (2012) menyatakan

varietas tebu yang toleran mampu bertahan

dari kematian akibat cekaman salinitas

meskipun mengalami penurunan

pertumbuhan tajuk. Pada penelitian ini,

tanaman yang peka tidak mengalami

kematian. Klon peka menunjukkan

penurunan pertumbuhan yang lebih besar

daripada klon tahan, yang ditunjukkan pada

Gambar 5. Pada grafik, kemiringan garis klon

peka lebih tajam daripada klon tahan. Hal ini

mengindikasikan penurunan panjang tajuk

yang lebih besar akibat pemberian cekaman

salinitas.

Pengaruh Salinitas Terhadap Rasio Panjang Akar-Tajuk

Rataan rasio panjang akar-tajuk secara

keseluruhan dari klon tebu yang mengalami

cekaman menunjukkan kenaikan dari kondisi

tanpa cekaman (Tabel 5).

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

9

Tabel 5. Nilai rasio panjang akar–tajuk pada kondisi tanpa cekaman dan dengan cekaman salinitas

No Klon

Rasio panjang akar-tajuk

Tanpa cekaman

Cekaman EC> 4 dS/m

1 PS.04.401 1,32 1,67 2 PS.06.195 1,17 1,43 3 PS.04.120 1,10 0,88 4 PS.04.129 1,34 1,07 5 PS.04.259 1,13 1,09 6 PS.04.257 1,13 1,13 7 PS.05.390 1,79 1,65 8 PS.06.356 1,24 1,59 9 PS.04.125 0,87 1,01 10 PS.05.311 1,15 1,30 11 PS.06.188 1,06 1,22 12 PS.04.117 1,65 1,46 13 PS.05.526 1,28 1,28 14 PS.06.395 0,75 0,89 15 PS.06.401 0,93 1,11 16 PS.05.123 1,67 1,27 17 PS.06.324 0,79 0,95 18 PS.05.165 0,86 1,04 19 PS.04.165 2,08 1,62 20 PS.06.121 0,70 0,96 21 PS.06.369 0,81 0,92 22 PS.05.251 1,41 1,67 23 PS.04.194 0,98 1,18 24 PS.05.258 1,20 1,45 25 PS.04.237 1,08 1,28 26 PS.06.400 1,70 2,18 27 PS.04.380 1,23 2,13 28 PS.05.333 1,31 1,63 29 PS.05.124 1,12 1,42 30 PS.04.253 1,36 1,33 31 PS.05.246 0,92 1,01 32 PS.05.455 1,19 1,21 33 PS.05.327 1,18 1,08 34 PS.05.393 1,42 1,05 35 PS.05.193 0,91 1,24 36 PS.04.392 1,05 0,90 37 PS.05.465 1,51 0,87 38 PS.06.204 0,92 1,04 39 PS.06.181 0,94 0,76 40 PS.06.334 1,44 1,21 41 PS.05.428 1,69 1,64 42 PS.04.430 0,63 0,95 43 PS.04.162 0,99 1,35 44 PS.06.305 1,18 1,22 45 PS.06.199 1,04 1,18 46 PS.06.281 0,95 1,24 47 PS.06.290 1,76 1,21 48 PS.06.222 1,22 1,69 49 PS.06.391 1,34 1,52 50 PS.06.365 1,00 0,98 51 PS.04.158 1,15 1,04 52 PS.06.370 0,91 1,03 53 PS.05.166 1,28 1,20 54 PS.04.244 0,76 0,74 55 PS.06.103 0,66 0,59 56 PS.04.303 1,02 1,26 57 PS.05.130 0,88 0,76 58 PS.05.551 1,58 1,26 59 PSJT 941 1,03 1,10 60 PS 862 0,83 1,29 61 BL 0,82 1,19 62 Kentung 1,18 1,17

Rata-rata 1,15 1,22

Salah satu indikasi dari cekaman

salinitas adalah menurunnya pertumbuhan

tajuk, yang pada akhirnya mengubah alokasi

biomassa antara akar dan tajuk. Pertumbuhan

tajuk terganggu, namun pertumbuhan akar

tetap berjalan sehingga meningkatkan

biomassa akar (Negrao et al., 2017). Klon

tahan PS.06.195 (Tabel 4) menunjukkan

kenaikan rasio panjang akar -tajuk pada

kondisi tercekam, mengindikasikan klon

tersebut tetap dapat mempertahankan

pertumbuhan akar sebagai mekanisme dari

adaptasi terhadap cekaman salinitas.

Sulistyowati et al. (2010) melaporkan

genotipe kapas yang tahan terhadap salinitas

me-nunjukkan nilai rasio akar–tunas yang

lebih besar dibandingkan genotipe yang peka,

karena genotipe tahan memiliki perakaran

yang lebih dalam dan panjang sehingga

mampu menyerap air dan mendukung

pertumbuhan tunas kapas.

Korelasi antara Parameter Pertumbuhan Tebu dengan Toleransi Salinitas

Analisa korelasi antara parameter

pertumbuhan genotipa klon-klon tebu yang

diuji dengan kategori salinitas dilakukan untuk

mengetahui parameter yang berkaitan erat

dengan sifat toleran salinitas. Toleransi

dikuantitatifkan dengan skor 1 untuk sifat

peka, 2 untuk sifat moderat dan 3 untuk

toleran (lihat metodologi). Hasil analisa

ditunjukkan pada Tabel 6. Parameter panjang

dan berat kering akar memiliki korelasi positif

dengan sifat toleransi. Semakin besar nilai

panjang dan berat kering akar, maka klon

tergolong toleran. Sedangkan parameter

berat kering tajuk memiliki korelasi negatif

dengan kriteria toleransi.

Korelasi antara parameter pertumbuhan

dengan sifat toleransi dapat menjadi indikator

penting bagi seleksi kriteria ketahanan

terhadap kondisi cekaman abiotik sehingga

memudahkan proses seleksi pada kegiatan

pemuliaan tanaman (Cha-um et al., 2012).

Dengan hasil penelitian ini, pemilihan klon –

klon toleran terhadap salinitas pada 58 klon

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

10

tebu yang diuji dapat dilakukan dengan

memilih klon–klon yang memiliki panjang dan

berat kering akar yang lebih besar daripada

klon lainnnya. Parameter berat kering tajuk

kurang tepat untuk digunakan sebagai para-

meter seleksi salinitas pada penelitian ini.

Analisa varian (Tabel 3.) menunjukkan ceka-

man salinitas tidak berpengaruh secara

signifikan pada parameter berat kering tajuk.

Hasil korelasi juga menunjukkan korelasi

negatif, yang berarti bahwa semakin berat

tajuk maka klon semakin peka. Hasil pene-

litian ini bertolak belakang dengan beberapa

hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa

klon dengan toleransi yang tinggi terhadap

cekaman kekeringan tetap dapat memper-

tahankan biomassa tanaman (Widyasari et al.,

2009; Gomathi & Thandapani, 2014). Pada

kedua penelitian tersebut, umur tanaman tebu

yang digunakan lebih tua (5–6 bulan),

sedangkan pada peneli tian ini tanaman tebu

masih berumur 3,5 bulan, dan pengamatan

pertumbuhan akibat cekaman salinitas dilaku-

kan pada saat tanaman berumur 4,5 bulan.

Pada tanaman tebu, biomassa tanaman

merupakan komponen hasil, sehingga tana-

man dengan biomassa yang tinggi merupakan

indi-kasi produksi yang tinggi pula. Oleh

karena itu diperlukan penentuan stadia

pertumbuhan yang tepat dalam pengukuran

toleransi salinitas. Toleransi salinitas meru-

pakan mekanisme biologi kompleks yang

didorong oleh beberapa faktor fisiologis dan

genetik dan spesifik pada stadia pertumbuhan

tertentu (Haq et al., 2010; Oyiga et al., 2016).

Tabel 6. Korelasi antara parameter pertumbuhan

genotipa tebu dengan toleransi salinitas

Parameter pertumbuhan Toleransi salinitas

Panjang akar 0,409**

Berat kering akar 0,261*

Panjang tajuk -0,013 ns

Diameter batang -0,184 ns

Berat kering tajuk -0,359**

Pada penelitian ini, stadia bibit terbukti

kurang dapat memberikan respon salinitas

yang stabil pada parameter berat kering tajuk,

sehingga perlu adanya penelitian lanjutan

yang dilakukan pada stadia pertumbuhan tebu

berikutnya.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini klon-klon tebu

yang diuji memiliki perbedaan respon akibat

cekaman salinitas pada semua parameter

tajuk dan akar. Jika dibandingkan dengan

perlakuan kontrol/EC ± 0,1 dS/m, cekaman

salinitas sebesar EC > 4 dS/m menyebabkan

penurunan pada parameter panjang akar

sebesar 3,41%, berat kering akar 8,05% dan

menurunkan panjang tajuk sebesar 9,46%.

Sedangkan parameter diameter batang dan

berat kering tajuk menunjukkan perubahan

yang tidak signifikan. Berdasarkan hasil

perhitungan indeks toleransi klon-klon tebu

digolongkan menjadi kategori toleran,

moderat dan peka terhadap salinitas. Klon-

klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,

PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,

PS.06.334 dan PS.04.162 memiliki kriteria

toleran untuk semua parameter yang diamati,

sehingga kedua klon tersebut dapat

digolongkan menjadi klon-klon toleran

salinitas. Klon-klon ini dapat diuji lebih lanjut

untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran

salinitas atau sebagai sumber introgresi gen

toleran salinitas untuk varietas rendemen

tinggi. Parameter berat kering tajuk kurang

dapat menggam-barkan respon salinitas jika

diamati pada stadia bibit, sehingga perlu

dilakukan penelitian pada stadia pertumbuhan

yang lebih lanjut mengingat parameter berat

kering tajuk merupakan parameter yang

berhubungan dengan komponen hasil

tanaman tebu.

TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas

11

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada pemerintah cq. Balai Penelitian

Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian

Pertanian yang telah membiayai penelitian ini

dan kepada Kebun Percobaan Karangploso

yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada

Ir. Siwi Sumartini dan Ruly Hamida, M.Sc. atas

bantuan dan dorongan morilnya sehingga

penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2015. Statistik Tebu

Indonesia 2015 72. Cha-um, S., Chuencharoen, S., Mongkolsiriwatana,

C., Ashraf, M., Kirdmanee, C., 2012. Screening sugarcane (Saccharum sp.)

genotypes for salt tolerance using

multivariate cluster analysis. Plant Cell. Tissue Organ Cult. 110, 23–33.

https://doi.org/10.1007/s11240-012-0126-9 Clarke, J., Smith, F., Craig, T., Green, D., 1984.

Growth analysis of spring wheat cultivars of

varying drought resistance. Crop Sci. 24, 537–541.

Dachlan, A., Kasim, N., Sari, A.K., 2013. Uji Ketahanan Salinitas Beberapa Varietas

Jagung (Zea mays L.) Dengan Menggunakan Agen Seleksi NaCl. Biogenesis 1, 9–17.

Ferreira, L.J., Azevedo, V., Maroco, J., Oliveira,

M.M., Santos, A.P., 2015. Salt tolerant and sensitive rice varieties display differential

methylome flexibility under salt stress. PLoS One 10, 1–19.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.012406

0 Gandonou, C.B., Gnancadja, L.S., Abrini, J., 2012.

Salinity tolerance of some sugarcane ( Saccharum sp .) cultivars in hydroponic

medium. Int. SUGAR J. 114, 190–196.

Gomathi, R., Thandapani, P., 2014. Influence of Salinity Stress on Growth Parameters and

Yield of Sugarcane 9, 28–32. Hakim, N., Nyakpa, M., Lubis, A., Pulung, A., Saul,

R., Diha, M., Hong, G., Bailey, H., 1984. Bahan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah.

Badan Kerjasama Ilmu Tanah. BKs-

PTN/USAID -University of. Kentucky. WUAE Project, University of. Kentucky. WUAE

Project. Haq, T.U., Gorham, J., Akhtar, J., Akhtar, N.,

Steele, K.A., 2010. Dynamic quantitative trait loci for salt stress components on

chromosome 1 of rice. Funct. Plant Biol. 37,

634–645. https://doi.org/10.1071/FP09247 Hariadi, Y.C., Nurhayati, A.Y., Soeparjono, S., Arif,

I., 2015. Screening Six Varieties of Rice (Oryzasativa) for Salinity Tolerance. Procedia

Environ. Sci. 28, 78–87.

https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.07.012 Harsanti, R.S., Hartatik, S., Syamsunihar, A.,

Soeparjono, S., Avivi, S., 2015. Uji Toleransi Beberapa Varietas Tebu Pada Berbagai Tinggi

Penggenangan. Berk. Ilm. Pertan. 1, 1–6. Heliyanto, B., Sumartini, S., Basuki, S., 2014.

Perakitan varietas tebu dengan produktivitas

dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering.

Joseph, E.A., Mohanan, K., 2013. A Study on the Effect of Salinity Stress on the Growth and

Yield of Some Native RiceCultivars of Kerala

State of India. Agric. For. Fish. 2, 141. https://doi.org/10.11648/j.aff.20130203.14

Karjunita, N., 2016. Respon akar terhadap cekaman salinitas dan isolasi gen SiNAC065

pada empat genotipe hotong (Setaria italica L beauv]. INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

Khuluq, A.D., Hamida, R., 2014. Peningkatan

produktivitas dan rendemen tebu melalui rekayasa fisiologis pertunasan. Perspektif 13,

13–24. Mastur, Syafaruddin, Syakir, M., 2015. Peran Dan

Pengelolaan Hara Nitrogen Pada Tanaman

Tebu Untuk Peningkatan Produktivitas Tebu. J. Littri 14, 73–86.

Minitab 17 Statistical Softwre, 2010. Minitab 17 Statistical Software.

Murad, A.M., Molinari, H.B.C., Magalhães, B.S.,

Franco, A.C., Takahashi, F.S.C., De Oliveira, N.G., Franco, O.L., Quirino, B.F., 2014.

Physiological and proteomic analyses of Saccharum spp. grown under salt stress.

PLoS One 9. https://doi.org/10.1371/journal.pone.009846

3

Negrao, S., Schmockel, S., Tester, M., 2017. Evaluating physiological responses of plants

to salinity stress. Ann. Bot. 119, 1–11. https://doi.org/10.1093/aob/mcw191

Oyiga, B.C., Sharma, R.C., Shen, J., Baum, M.,

Ogbonnaya, F.C., Léon, J., Ballvora, A., 2016. Identification and Characterization of Salt

Tolerance of Wheat Germplasm Using a Multivariable Screening Approach. J. Agron.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12

12

Crop Sci. 202, 472–485. https://doi.org/10.1111/jac.12178

Patade, V.Y., Bhargava, S., Suprasanna, P., 2011. Salt and drought tolerance of sugarcane

under iso-osmotic salt and water stress:

Growth, osmolytes accumulation, and antioxidant defense. J. Plant Interact. 6, 275–

282. https://doi.org/10.1080/17429145.2011.5575

13

Patel, P., Kajal, S., Patel, V., 2010. Impact of saline water stress on nutrient uptake and growth

of cowpea. Brazilian J. 22, 43–48. https://doi.org/00.0000/S00000-000-0000-0

Putri, R.S.J., Nurhidayati, T., W, W.B., 2012. Uji ketahanan tanaman tebu hasil persilangan

(Sacharaum spp. Hybrid) pada kondisi

lingkungan cekaman garam (NaCl). Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

R Core Team (R Foundation for Statistical, 2017. No Title.

Roy, S.J., Negrão, S., Tester, M., 2014. Salt

resistant crop plants. Curr. Opin. Biotechnol. 26, 115–124.

https://doi.org/10.1016/j.copbio.2013.12.004 Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni, S.D.,

2015. Tebu lahan kering Budi Santoso.pdf. J. Littri 21, 109–116.

Sheldon, A., Menzies, N.W., So, H.B., Dalal, R.,

2004. The effect of salinity on plant available water, in: SuperSoil 2004: 3rd Australian New

Zealand Soils Conference, 5 – 9 December 2004, University of Sydney, Australia. pp. 1–

5.

Shrivastava, P., Kumar, R., 2015. Soil salinity: A serious environmental issue and plant growth

promoting bacteria as one of the tools for its alleviation. Saudi J. Biol. Sci. 22, 123–131.

https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2014.12.001

Simoes, W.L., Calgaro, M., Coelho, D.S., dos Santos, D.B., de Souza, M.A., 2016. Growth

of sugar cane varieties under salinity. Rev. Ceres 63, 265–271.

https://doi.org/10.1590/0034-

737X201663020019 Sulistyowati, E., Sumartini, S., Abdurrakhman,

2010. Toleransi 60 aksesi kapas terhadap cekaman salinitas pada fase vegetatif. Jur 16,

20–26.

Tanimoto, T., Nickell, L., 1965. Estimation of drought resistence of sugarcane varieties, in:

Proceedings of the Twelfth Congress of The International Society of Sugarcane

Technologist. Puerto Rico, pp. 893–897. Tiku, M.F., Mohammed, H., Gebrekidan, H., 2014.

Screening of introduced sugarcane genotypes

for their salinity tolerance based on yield components at Metahara sugar estate,

Ethiopia. Time Journals Agric. Vet. Sci. 2, 107–113.

Wahid, A., Rao, A.U.R., Rasul, E., 1997.

Identification of salt tolerance traits in sugarcane lines. F. Crop. Res. 54, 9–17.

https://doi.org/10.1016/S0378-4290(97)00038-5

Wahid, a, 2004. Analysis of toxic and osmotic effects of sodium chloride on leaf growth and

economic yield of sugarcane. Bot. Bull. Acad.

Sin. 45, 133–141. Widyasari, W., Damanhuri, Sugiyarta, E., 2009.

Pengujian 20 klon koleksi tebu hibrida terhadap kondisi kekurangan air. Maj. Penelit.

Gula 45, 1–18.

D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso

13

Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada

Gula di Kabupaten Bondowoso

Duwi Yunitasari, Nanik Istiyani, dan Endah Kurnia Lestari

Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jember (UNEJ) Jalan Kalimantan 37, Jember 68121

E-mail: [email protected] Diterima: 21 Januari 2018; direvisi: 9 April 2018; disetujui: 20 April 2018

ABSTRAK

Impor gula mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Walaupun penelitian yang mendukung pencapaian

swasembada gula telah banyak dilakukan, namun penelitian terkait analisis potensi suatu wilayah untuk pengembangan komoditas tebu belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

potensi tebu dalam mendukung pencapaian swasembada gula di Kabupaten Bondowoso. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan pendekatan sistem

dinamik untuk menghitung share tebu terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan analisis Shift Share Esteban Marquillas untuk menghitung potensi/spesialisasi komoditas tebu di Kabupaten Bondowoso. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Bondowoso selama kurun waktu 2010–2015 mempunyai

keunggulan kompetitif dan spesialisasi pada komoditas tebu, sehingga Kabupaten Bondowoso mempunyai peluang untuk keberlanjutan komoditas tebu ke depan. Strategi yang dapat dilakukan adalah membuka

lahan-lahan perkebunan tebu baru di wilayah lain yang belum terdapat komoditas tebu seperti Kecamatan Binakal, Sempol, dan Pakem.

Kata kunci: Tebu, Kabupaten Bondowoso, Sistem Dinamik, Shift Share, Produk Domestik Regional Bruto

Analysis of Sugar Cane Potential to Support the Achievement of SelfSufficiency of Sugar in Bondowoso District

ABSTRACT

Sugar importation increases in the last decade. Several studies have been conducted to achieve self-

sufficiency in sugar, but few studies have looked at whether a region/area has an excellence potenty for further sugarcane development. This study aims to analyze the sugarcane potency in supporting

achievement of sugar self-sufficiency in Bondowoso District. The analysis method used in this research is quantitative analysis using dynamic system approach to calculate sugarcane share to Gross Regional

Domestic Product, and Shift Share Esteban Marquillas analysis to calculate potency/specialty of sugar cane commodity in Bondowoso regency. The analysis showed that Bondowoso district during 2010-2015 has

competitive advantage and specialization in sugarcane, so that Bondowoso district has an opportunity for

sustainable sugarcane development in the future. Strategies that can be done is to open new sugarcane plantations fields in other regions that have no sugarcane plantation such as in Binakal, Sempol, and Pakem

sub-district.

Keywords: Sugar cane, Bondowoso district, Dynamic System, Shift share, Gross Regional Domestic Product

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:13−20 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.%p

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20

14

PENDAHULUAN

ula merupakan salah satu bahan

pangan yang sangat strategis (Ali et

al., 2015). Data menunjukkan bahwa

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam

negeri, beberapa negara mengimpor gula.

Impor di beberapa negara di Asia dan Afrika

tercatat meningkat 33% dan 50% (Koo &

Taylor, 2011), termasuk Indonesia, impor gula

meningkat 16,4% dan konsumsi juga

diprediksi meningkat 20,5%.

Dalam rangka mendukung swasembada

gula, Jawa Timur sebagai salah satu penyum-

bang gula terbesar (49,14%), dibutuhkan

peranannya dalam rangka memenuhi kebu-

tuhan penyediaan produksi gula (Pertanian

2016). Kabupaten Bondowoso sebagai salah

satu Kabupaten penghasil tebu/gula di Jawa

Timur diharapkan eksistensinya sebagai

wilayah yang berpotensi untuk mendukung

swasembada gula nasional. Potensi ini perlu

dipetakan agar terdapat keberlanjutan dari

pasokan tebu untuk menunjang pencapaian

swasembada gula nasional.

Sebagai penghasil gula, di Kabupaten

Bondowoso terdapat Pabrik Gula Pradjekan

yang memiliki kapasitas giling sebesar 3.200

ton cane per day (TCD) (P3GI, 2017) dan luas

lahan tebu di Kabupaten Bondowoso seluas

6.905 ha. Perkembangan perekonomian

suatu daerah dapat diketahui melalui data

pendapatan regional suatu daerah. Pe-

rubahan tahun dasar memberikan pengaruh

pada perubahan klasifikasi lapangan usaha

pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

PDRB Kabupaten Bondowoso menunjuk-

kan tren yang selalu meningkat dari tahun

2010–2015 (BPS Provinsi Jawa Timur, 2015).

PDRB berdasarkan harga yang berlaku, pada

tahun 2010 sebesar Rp. 8,515 miliar dan

sebesar Rp. 14,484 miliar pada tahun 2015,

sedangkan atas dasar harga konstan, pada

tahun 2010 PDRB Kabupaten Bondowoso

sebesar Rp. 8,515 miliar dan sebesar

Rp.11,178 Miliar pada tahun 2015.

Gambar 1. Causal loop diagram kontribusi tebu terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab Bondowoso

Gambar 1 menunjukkan hubungan

sebab akibat pada perhitungan kontribusi

tanaman tebu terhadap PDRB. Kontribusi

tersebut didapat dari proses produksi tebu

menjadi gula, dikalikan harga gula dikurangi

biaya usaha tani. Semakin tinggi rendemen

tebu, maka semakin banyak jumlah gula yang

dihasilkan, sedangkan pada harga gula, se-

makin tinggi harga gula, dan semakin rendah

biaya usaha tani dan biaya antara dapat

ditekan, maka kontribusi tebu terhadap PDRB

semakin besar.

Sistem adalah keseluruhan interaksi

antar unsur dari sebuah obyek dalam batas

lingkungan tertentu yang bekerja mencapai

tujuan (Muhammadi et al., 2001; Coyle,

1996). Sebuah dinamika perilaku sistem

sangat ditentukan oleh struktur lingkar umpan

balik (feedback loops) (Sterman, 2000). Pada

suatu sistem tertutup terlihat adanya ciri-ciri

dinamis dari suatu sistem. Oleh karena itu

dalam metode sistem dinamik arah perhatian

lebih ditujukan pada sistem yang tertutup

atau sistem umpan balik. Morecrofta &

Wolstenholme (2007), menyatakan bahwa

sistem dinamik meliputi strategi, masalah

penataan struktur dan simulasi secara diskrit.

Tanaman perkebunan merupakan pe-

nyumbang terbesar ketiga setelah tanaman

pangan dan peternakan. Tanaman pangan

menyumbang sebesar 43,79%, peternakan

G Luas Lahan

Produksi Tebu

Rendemen

Produksi Gula

Tetes

Harga Gula Harga Tetes

Penerimaan Gula

Penerimaan Tetes

Kontribusi Tebu terhadap

PDRB

Total penerimaan

PBB

Biaya umum

Biaya bibit

Biaya kebunTMA

Total biaya

+

-

D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso

15

menyumbang sebesar 21,98%, dan tanaman

perkebunan menyumbang sebesar 21,43%.

Potensi ini perlu dipetakan agar dapat

ditemukan kebijakan-kebijakan untuk me-

nunjang pencapaian swasembada gula nasi-

onal. Nevez et al. (2009)menyatakan bahwa

gula mempunyai dampak energi, sosial serta

finansial, pekerjaan dan Gross Domestic Product (GDP).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisa peran komoditas tebu di Kabu-

paten Bondowoso dalam rangka mendukung

swasembada gula nasional.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif kuantitatif, yaitu merupakan metode

penelitian yang dapat menggambarkan atau

mendeskripsikan fenomena-fenomena ber-

dasarkan angka-angka (kuantitatif) (Hamdi

2014).

Jenis data yang digunakan adalah data

kuantitatif. Sedangkan sumber data yang

digunakan adalah data primer, sekunder dan

studi literatur, yang diperoleh dari wawancara

dengan petani tebu, Badan Pusat Statistik

(BPS) Provinsi Jawa Timur, BPS Kabupaten

Bondowoso, dan Kementerian Pertanian.

Perhitungan Output sektor perkebunan

tanaman tebu

Perhitungan output tanaman tebu dide-

kati dengan menghitung produksi dari tanam-

an tebu dan biaya-biaya yang dikeluarkan

selama proses produksi hingga menjadi gula.

Perhitungan tersebut dilakukan menggunakan

metode sistem dinamik, baik pada komoditas

tanaman tebu di Kabupaten Bondowoso dan

komoditas tanaman tebu di Jawa Timur.

Dalam rumus Shift Share Esteban

Marquillas, terdapat unsur baru, yaitu

homothetic employment (E′ij) sebagai nilai tambah yang dicapai sektor i di suatu wilayah

jika struktur kesempatan kerja di wilayah

tersebut sama dengan struktur di tingkat

nasional. Unsur homothetic employment (E′ij)

dapat dirumus-kan sebagai berikut:

E′ij = Eij (Ein/En)

dimana: E′ij: homothetic employment Eij: PDRB sektor i di kabupaten Bondowoso Ein: PDRB sektor i di Provinsi Jawa Timur En: PDRB total Provinsi Jawa Timur

Analisis Shift Share Esteban Marquillas Alat Analisis Shift Share digunakan

untuk mengetahui kinerja perekonomian wila-

yah yang direfleksikan dalam bentuk partum-

buhan wilayah, kecepatan pertumbuhan relatif

sektor-sektor wilayah, dan daya saing sektor-

sektor wilayah (Harun & Canon 2006).

Analisis Shift Share digunakan untuk

mengetahui kinerja atau produktivitas kerja

perekonomian daerah (Khusaini, 2015), diban-

dingkan dengan produktivitas kerja perekono-

mian nasional yang digambarkan dari kinerja

sektor perekonomian suatu wilayah yang

dapat dilihat dari pergeseran differensial, yaitu

sebuah nilai untuk mengetahui seberapa

komparatif sektor tertentu suatu daerah di-

bandingkan dengan nasional. Jika bernilai

positif, berarti sektor i mempunyai kecepatan

untuk tumbuh dibandingkan dengan sektor i

di tingkat nasional. Jika bernilai negatif,

berarti sektor i cenderung menghambat

pertumbuhan dibandingkan tingkat nasional.

Berikut merupakan rumus perhitungan Shift Share:

Dij = Nij + Mij + Cij + Aij

dimana:

Dij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso

Nij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur

Mij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten Bondowoso yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan sektor i di Provinsi Jawa Timur

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20

16

Cij: Perubahan PDRB sektor i di Provinsi Jawa Timur yang disebabkan oleh keunggulan kompetitif sektor/subsektor i di Kabupaten Bondowoso

Aij: Bagian dari pengaruh keunggulan kompetitif yang menunjukkan adanya tingkat spesialisasi di sektor i di kabupaten Bondowoso

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Produksi Tebu

Dari 23 kecamatan yang ada di

Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Tapen

merupakan penghasil tebu terbesar di

Kabupaten Bondowoso dalam rentang waktu

tahun 2009–2015 (Gambar 2). Total produksi

Tebu yang dihasilkan (tahun 2009–2015) di

Kecamatan Tapen sebesar 174.130 ton.

Setelah Kecamatan Tapen, berturut turut

adalah Kecamatan Tamanan dan Sukosari

sebagai penghasil tebu terbesar dengan nilai

produksi masing-masing sebesar 87,602 ton

dan 48,549 ton. Selain terdapat penghasil

tebu terbesar, terdapat tiga kecamatan yaitu

Binakal, Sempol, dan Pakem, yang belum

terdapat tanaman tebu. Kecamatan Jambe-

sari dan Curahdami memproduksi tebu mulai

tahun 2011. Kecamatan Sumber Wringin

mulai tahun 2011 mengembangkan tebu dan

menunjukkan kecenderungan produksi yang

meningkat.

Total produksi tebu tertinggi dicapai

pada tahun 2014, yaitu sebesar 38.518 ton,

sedangkan produksi terendah pada tahun

2010 dengan jumlah produksi tebu sebesar

22.453 ton (Gambar 3). Walaupun per-

tumbuhan produksi tebu berfluktuasi, rata-

rata pertumbuhan produksi tebu di Bondowo-

so menunjukkan pertumbuhan sebesar 4,86%

per tahun.

Gambar 2. Data produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Bondowoso tahun 2009–2015 (ton/ha).

Kecamatan: 1. Maesan; 2. Grujugan; 3. Taman; 4. Jambersari; 5. Pujer; 6. Tlogosari; 7. Sukosari; 8. Sumber Wringin; 9. Tapen;10. Kecamatan Wonosari; 11. Tenggarang; 12.

Bondowoso; 13. Curahdami; 14. Binakal; 15 . Pakem; 16. Wringin; 17. Tegalampel; 18. Taman Krocok; 19. Klabang; 20. Botolinggo; 21. Sempol; 22. Prajekan; 23. Cerme

Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2017.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Pro

du

ksi (

Ton

)

Lokasi (Kecamatan)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso

17

Gambar 3. Total Produksi tebu di Kabupaten Bondowoso tahun 2009–2015 (BPS,

2016)

Shift Share Analisis

Terdapat dua keunggulan yang se-

tidaknya harus dimiliki dalam pengembangan

ekonomi lokal. Selain potensi keunggulan komparatif

perlu diketahui pula keunggulan kompetitif.

Untuk memahami pergeseran struktur komo-

ditas tebu atau sub sektor perkebunan serta

menghitung berapa besar share sub sektor

perkebunan atau aktivitas komoditas tebu di

Kabupaten Bondowoso dibandingkan dengan

wilayah Provinsi Jawa Timur dalam periode

waktu 2010–2016, digunakan analisis Shift-Share. Dengan memahami struktur aktivitas

komoditas tebu, dari hasil analisis Shift-Share dapat digunakan untuk menjelaskan ke-

mampuan berkompetisi (competitiveness) ko-

moditas tebu di Kabupaten Bondowoso secara

dinamis, terutama dalam hubungannya dengan

pertumbuhan wilayah. Suatu wilayah di-

katakan memiliki keunggulan kompetitif jika

dalam kurun waktu yang dianalisis, wilayah

tersebut mengalami pergeseran yang positif

(meningkat) untuk luas areal dan produksi

suatu komoditas, yang dapat dibandingkan

dengan wilayah lain. Berdasarkan hasil analisis

Shift Share Esteban Marquillas di sektor perkebunan khususnya tanaman tebu, maka

PDRB pada komoditas tebu mengalami pertam-

bahan nilai absolut atau mengalami kenaikan

kinerja perekonomian sebesar Rp. 5,925 Miliar,

yang dilihat dari nilai Dij yang positif. Untuk

keunggulan kompetitif, kabupaten Bondowoso

mempunyai keunggulan kompetitif, dan

spesialisasi. Keunggulan kompetitif tersebut

ditunjukkan Cij yang positif selama periode

pengamatan, sebesar 0,054 (Tabel 1).

Terdapat dua keunggulan yang

setidaknya harus dimiliki dalam pengembangan

ekonomi lokal. Selain potensi keunggulan

komparatif perlu diketahui pula keunggulan

5,925 Miliar, yang dilihat dari nilai Dij yang

positif. Untuk keunggulan kompetitif,

kabupaten Bondowoso mempunyai keunggulan

kompetitif, dan spesialisasi. Keunggulan

kompetitif tersebut ditunjukkan Cij yang positif

selama periode pengamatan, sebesar 0,054

(Tabel 1).

Tabel 1 Hasil analisis Shift Share tahun 2010-2015

Komoditas rij rin rn E'ij Eij-E'ij rij-rin

Gula 0,41 0,08 0,04 0,98 45,28 0,334

C'ij Aij Nij Mij Dij Spesia

lisasi

Keung

gulan

0,054 2,372 1,581 1,919 5,925 ADA ADA

Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2017 (Data

diolah)

Komoditas tebu mempunyai keunggulan

kompetitif dan spesialisasi, sehingga komodi-

tas tersebut sesuai untuk dikembangkan di

Kabupaten Bondowoso untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi di Kabupaten tersebut.

Komoditas yang mempunyai keunggulan dan

spesialiasi rata-rata mampu berkembang

setiap tahunnya. Komoditas tebu mampu

menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar

2,372 karena adanya efek alokasi meskipun

mengalami kenaikan dan penurunan yang

berfluktuatif. Hal ini sesuai dengan pernya-

taan Nazara (1994) salah satu aspek penting

dalam perencanaan pembangunan ekonomi

adalah perencanaan pembangunan regional.

Dalam perencanaan terlebih dahulu harus

ditentukan prioritas tujuan sesuai dengan

karakteristik dan keadaan suatu daerah. Hasil

pada analisis shift share menunjukkan bahwa

Kabupaten Bondowoso memiliki spesialisasi

15,000.00

20,000.00

25,000.00

30,000.00

35,000.00

40,000.00

To

n

Produksi Tebu (Ton)

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20

18

dan keunggulan kompetitif pada gula, se-

hingga sebagai salah satu kabupaten

penghasil tebu, maka tidak berlebihan jika

peningkatan produksi tebu dapat lebih di-

maksimalkan. Strategi yang dapat diterapkan

yakni membuka lahan-lahan tebu baru di

wilayah yang telah terdapat maupun yang

belum terdapat tanaman tebu serta me-

ningkatkan produktivitas pada lahan yang

telah ada.

Untuk mendukung pembangunan eko-

nomi Kabupaten Bondowoso, pemerintah

kabupaten sebaiknya memperhatikan potensi

daerah. Kebijakan yang diambil harus sesuai

dengan sektor pendukung perekonomian yang

ada di daerah tersebut (Tarigan, 2004).

Menurut Hidayah (2010) komoditas

unggulan adalah komoditas yang layak di-

usahakan karena memberikan keuntungan

kepada petani baik secara biofisik, sosial dan

ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak

secara biofisik jika komoditas tersebut di-

usahakan sesuai dengan zona agroekologi,

layak secara sosial jika komoditas tersebut

memberi peluang berusaha, menyerap tenaga

kerja, dan menguntungkan.

Implementasi pengembangan ekonomi

lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pe-

kerjaan dan kesempatan, serta memunculkan

strategi untuk menjaga agar sebagian besar

kesempatan memperoleh pendapatan berta-

han di daerah yang bersangkutan. Daerah

akan menerima manfaat berupa peningkatan

kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pening-

katan pendapatan rumah tangga, di samping

memperoleh pendapatan langsung (Boulle,

2002). Menurut Blakely & Bradshaw (2002)

konsep pembangunan ekonomi tersebut

mengabaikan konteks kewilayahan dan par-

tisipasi masyarakat lokal. Pembangunan eko-

nomi dan penciptaan lapangan kerja akan

lebih berhasil dan efektif jika disesuaikan

dengan kondisi dan potensi masing-masing

wilayah atau komunitas. Solusi-solusi yang

bersifat umum dan global terhadap semua

komunitas tidak akan berhasil karena meng-

abaikan konteks kewilayahan dan partisipasi

masyarakat pada masing-masing komunitas

atau wilayah.

Selain potensi lokal, penting untuk

mengetahui metode pertanian dan iklim yang

mempengaruhi produktivitas tebu. Hassan

(2008) menyatakan pengembangan tebu sa-

ngat tergantung pada curah hujan/iklim dan

sistem irigasi. Mengingat curah hujan di

Indonesia juga tidak bisa diprediksi pada

bulan-bulan tertentu. Penelitian Solomon & Li

(2016) menyatakan Indonesia menduduki

peringkat ketiga terbesar di dunia dalam

mengimpor dan mengkonsumsi gula.

Peningkatan produksi gula dan perdagangan

sangat diperlukan. Sejalan dengan penelitian

Li et al. (2006), menjelaskan bahwa industri

gula di Cina berkembang dengan pesat karena

didukung oleh kebijakan pemerintah, kreati-

vitas manajemen, dan inovasi teknologi. Hal

ini didukung oleh Kementerian Perindustrian

yang menyatakan bahwa menciptakan daya

saing daerah tidaklah mudah karena

menghadapi banyak hambatan, yaitu: 1)

kelembagaan, 2) keamanan, politik, sosial,

dan budaya, 3) wilayah ekonomi, 4) tenaga

kerja, dan 5) infrastruktur.

Mengingat Kabupaten Bondowoso mem-

punyai keunggulan kompetitif, dan spesialisasi

dibidang gula, maka sangat penting dalam

rangka mendukung swasembada gula dan

proses pembangunan dengan memperhatikan

potensi wilayah. Pengembangan perkebunan

tebu juga didukung keberadaan Pabrik Gula

(PG) Pradjekan di Kabupaten Bondowoso dan

PG-PG di sekitar Kabupaten Bondowoso,

seperti PG Semboro di Kabupaten Jember dan

PG Pandji, Olean dan Asembagus, di Kabu-

paten Situbondo. Sehingga produksi tebu

yang dihasilkan, tidak perlu takut tidak akan

tergiling, karena PG tersebut bisa menampung

tebu yang dihasilkan oleh petani. Kedepan,

diharapkan dapat dibuka daerah-daerah keca-

matan penghasil tebu baru untuk mendukung

swasembada gula nasional. Berdasarkan data

penyumbang tebu per Kecamatan, maka

Kecamatan Binakal, Sempol, dan Pakem

D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso

19

memiliki peluang yang besar sebagai

penyumbang tebu di Kabupaten Bondowoso.

Berdasarkan penelitian Khusaini (2015),

meningkatkan daya saing wilayah merupakan

hal yang tidak mudah dan tidak bisa dilakukan

dalam jangka pendek. Selain dukungan

potensi wilayah yang ada, perlu juga

dukungan pemerintah dengan peningkatan

infrastruktur yang lebih baik pada lahan-lahan

penghasil tebu, sehingga pada saat panen

kegiatan muat-angkut tebu bisa lebih mudah

dan meminimalisir berkurangnya rendemen

karena proses yang terlalu lama di lahan.

Dukungan pemerintah pada sarana produksi

juga diperlukan, mengingat tebu merupakan

bahan makanan yang sangat penting dan

tanaman yang sangat komersial (Tarimo &

Takamura, 1998). Tebu juga memberikan

kontribusi signifikan dalam ekonomi pertanian

(Ali et al., 2015). Pentingnya ketersediaan

gula dalam pencapaian swasembada dapat

dilakukan melalui peningkatan jumlah pasokan

gula dan rasionalisasi pada konsumsi. Ke-

naikan pasokan gula ditingkatkan melalui

produksi pada sumber dasarnya yaitu, dengan

mempertahankan lahan tebu dan meningkat-

kan luas lahan, serta produktivitasnya (El-

Sharif et al., 2015; Yunitasari et al., 2015).

Sedangkan untuk mendukung pencapaian

swasembada gula diperlukan luas lahan, letak,

dan daya dukung lahan sehingga akan

tercapai peningkatan kesejahteraan dan

kelangsungan hidup manusia di masa men-

datang (Lahamendu, 2015; Idjudin, 2013).

KESIMPULAN

Dalam kurun waktu 2010–2015, Kabu-

paten Bondowoso mempunyai potensi dan

keunggulan kompetitif dalam komoditas tebu

untuk mendukung program peningkatan

produksi tebu untuk pencapaian swasembada

gula nasional. Kecamatan Binakal, Sempol,

dan Pakem memiliki peluang yang besar

sebagai penyumbang tebu di Kabupaten

Bondowoso. Selain pengembangan potensi

lokal, perlu juga dukungan pemerintah dalam

peningkatan infrastruktur dan penyediaan

sarana produksi yang terjangkau.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang

telah memberikan dana hibah DRPM tahun

anggaran 2017 untuk penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S., Badar, N., Fatima, H., 2015. Forecasting

production and yield of sugar cane and

cotton crops of Pakistan for 2013-2030. Sarhad J. Agric. 31, 1–9.

Blakely, Bradshaw, 2002. Planning local economic development: Theory and Practice, 3rd Ed,

SAGE Publication, California-USA.

Boulle, J., 2002. 13 Langkah KPEL untuk pengembangan ekonomi lokal, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional–United Nations Development Programme–United

Nations Human Settlements Programme

Jakarta. BPS Provinsi Jawa Timur, 2015. Produk Domestik

Regional Bruto Kabupaten/ Kota Menurut Lapangan Usaha 2010–2014,.

Coyle, R., 1996. System Dynamics Modelling: Practical Approach, Chapman & Hall, London

9.

El-Sharif, L., Khairy, H., El-Eshmawiy, K., Awad, A., Rania, M., 2015. Economic Potentialities

Achieve Self-Sufficiency from Egyptian Sugar under the International Variables, American-

Eurasian Journal of Agriculture and Environ-

mental Sciences 5, 566–663. Hamdi, A., 2014. Metode Penelitian Aplikasi

dalam Pendidikan, Yogyakarta: Deepublish. 13.

Harun, U., Canon, S., 2006. Analisis, LQ shift

share untuk Mengukur Dampak Perluasan Kota terhadap Kinerja Ekonomi Regional,. J.

Perenc. Wil. dan Kota 17, 21–40. Hassan, S., 2008. Development of sugar industry

in Africa, Sugar Tech Journal 10, 197–203.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20

20

Hidayah, I., 2010. Analisis Prioritas Komoditas Unggulan Perkebunan Daerah Kabupaten

Buru. J. Agrika 4, 1–8. Idjudin, A., 2013. Peranan Konservasi Lahan

dalam Pengelolaan Perkebunan. J. Sum-

berdaya Lahan 5, 103–116. Khusaini, M., 2015. A Shift Share Analysis on

Regional Competitiveness–A Case of Banyuwangi District, East Java, Indonesia,.

Procedia Soc. Behav. Sci. 211 738–744.

Koo, W., Taylor, R., 2011. Outlook of the US and world sugar markets, 2010–2020. US

Agricultural Economics Report No. 444, July 2000, North Dakota State University.

Lahamendu, V., 2015. Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan yang Berkelanjutan di

Pulau Bunaken Manado, Jurnal Sabua. 7,

383–388. Li, Rui, Y., Wei, An, Y., 2006. Sugar Industry in

China : R & D and Policy Initiatives to Meet Sugar and Biofuel Demand of Future, Sugar

Tech 4, 203–216.

Morecrofta, J., Wolstenholme, E., n.d. System dynamics in the U.K.: A Journey from

Stirling to Oxford and Beyond, Syst. Dyn. Rev. 2007 23, 205–214.

Muhammadi, Aminullah, E., Soesilo, B., 2001. Analisis sistem dinamis: Lingkung. hidup

Sos. Ekon. dan manajemen, Jakarta UMJ Press.

Nazara, S., 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Nevez, M., Vinicius, G., Consoli, M., 2009. The

sugar energy map of Brazil 18. P3GI, 2017. Data Kapasitas Giling Pabrik Gula di

Jawa Timur, Excel Worksheet. Pasuruan. Pertanian, K., 2016. Outlook Tebu 2016, Pusat

Data dan Sistem Informasi Pertanian

Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian 17.

Solomon, S., Li, R., 2016. Editorial-The Sugar Industry of Asian Region. Sugar Tech 18,

557–558. Tarigan, R., 2004. Teori basis ekonomi, Bina

Grafika. Jakarta.

Tarimo, A., Takamura, Y., 1998. Sugarcane Production, Processing and Marketing in

Tanzania. Afr. Study Monogr. Yunitasari, D., Hakim, D., Juanda, B., Nurmalina,

R., 2015. Menuju Swasembada Gula

Nasional: Model Kebijakan untuk meningkatkan Produksi Gula dan

Pendapatan Petani Tebu di Jawa Timur. J. Ekon. dan Kebijak. Publik 1–15.

21

Pengaruh Penambahan Biomassa di Lahan Kering terhadap Diversitas Arthropoda Tanah dan Produktivitas Tebu

Sujak, Dwi Adi Sunarto, dan Subiyakto

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang

Email: [email protected] Diterima: 29 Maret 2018; direvisi: 20 Mei 2018; disetujui: 26 Mei 2018

ABSTRAK

Program pengembangan tebu saat ini diarahkan ke lahan kering yang memiliki ketersediaan air dan

kesuburan tanah yang terbatas, sehingga menjadi pembatas produktvitas tebu. Penambahan biomassa ke

lahan dapat meningkatkan kesuburan dan populasi arthropoda tanah/detrivora. Penelitian penambahan biomassa Crotalaria juncea pada lahan tebu dilaksanakan di Kebun Percobaan Asembagus, Situbondo mulai

bulan Januari - Juli 2015. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa pengaruh penambahan biomassa terhadap diversitas arthropoda tanah dan pengaruhnya terhadap produksi tebu. Perlakuan terdiri atas lahan

dengan penambahan biomassa (serasah tebu dan pupuk hijau C. juncea) dan lahan yang tanpa penambahan biomassa. Pengamatan kelimpahan arthropoda tanah dan tingkat diversitas dilakukan dengan

pemasangan pitfall traps dan yellow pan traps, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Collembola dan

Hymenoptera merupakan arthropoda tanah yang dominan. Indeks diversitas arhropoda tanah pada lahan dengan penambahan biomassa lebih tinggi (0,82–0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penambahan

biomassa (0,75–0,79). Untuk memperbaiki kondisi ekosistem diperlukan penambahan biomassa secara terus menerus. Penambahan biomassa pada tahun pertama berhasil meningkatkan kandungan C Organik tanah

dari 0,76 menjadi 1,06, dan meningkatkan kandungan N dari 0,03 menjadi 0,11, serta meningkatkan

produksi tebu dari 70,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.

Kata kunci: Biomassa Clotalaria juncea, lahan kering, diversitas arthropoda tanah.

Effect of Biomass Addition in Dry Land to Diversity of Soil Arthropods and Productivity of Sugarcane

ABSTRACT

The current sugarcane development program is directed to dry lands that have limited water availability and

soil fertility, thereby limiting the productivity of sugarcane. In order to restore soil fertility and reduce the evaporation of groundwater, the addition of biomass in the form of trash (dried leaves) of sugarcane as well

as the addition of green manure (Clotalaria juncea). Biomass addition to the land could increase soil fertility and the population of soil arthropods/detrivores. The experiment was conducted at Asembagus

Experimental Station, Situbondo from January 2015–July 2015. The purpose of this research was to analyze

the effect of biomass addition to the diversity of soil arthropods and sugarcane productivity. Treatments consisted of land with the addition of biomass (sugarcane/sugarcane and green manure C. juncea) and

control. Observation of the abundance of soil arthropods and diversity level was done by setting pitfall traps and yellow pan traps, observation was done monthly. The results showed that the order of Collembola and

Hymenoptera were dominant arthropods. The diversity index of ground arhropods on the land with biomass

increments was higher (0.82–0.84) than that in the land without biomass addition (0.75–0.79). In order to improve the ecosystems condition, it is required the addition of biomass continuously. The addition of

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:21−31 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.21–31

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31

22

biomass in the first year succeeded in increasing the organic C content of soil from 0.62 to 1.06 and increasing the production of sugar cane from 70.4 tons/ha to 101.4 tons/ha.

Keywords: Clotalaria juncea biomass, dry land, soil arthropods diversity.

PENDAHULUAN

rogram pengembangan tebu saat ini

diarahkan ke lahan kering, dimana di

lahan tersebut tingkat kesuburan tanahnya

rendah dengan ketersediaan air yang ter-

batas. Tanah di lahan kering umumnya mis-

kin unsur hara dan miskin bahan organik,

sehingga tidak mengherankan poduktivitas

tebu di lahan kering lebih rendah dibanding di

lahan sawah. Sulistyaningsih et al. (1994)

melaporkan bahwa kendala utama rendahnya

produktivitas tebu dilahan kering adalah

rendahnya kesuburan tanah dan terjadinya

cekaman kekeringan. Rendahnya produkti-

vitas tebu akibat semakin menurunnya/ ter-

degradasi kesuburan tanah di lahan pe-

ngembangan tebu hingga mencapai kategori

rendah hingga sangat rendah yaitu kan-

dungan N 0,06% (sangat rendah), P2O5 7,26

ppm (sangat rendah), K2O 53,97 ppm

(rendah) dan bahan organik 1,11 (sangat

rendah) (Hariyono 2017). Oleh karena itu

perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas

tanah, dengan penambahan biomassa berupa

pupuk hijau (Clotalaria juncea) dan serasah

tebu. Menurut Suma & Savitha (2015)

penambahan biomassa merupakan prioritas

dalam menciptakan pertanian berkelanjutan.

Penambahan biomassa dapat menyebabkan

perbaikan kualitas tanah, terutama pening-

katan bahan organik tanah (Purwanti, 2017).

Pada tanaman tebu penambahan unsur hara

ke lahan baik berupa hara anorganik maupun

organik sangat diperlukan. Hal ini karena

setiap panen tebu 100 ton/ha akan terbawa

sekitar 195 kg N, 30-82 kg/ha P2O5 dan 117–

600 kg/ha K20 dari dalam tanah (Hunsigi,

1993). Penambahan bahan organik ke tanah,

selain memperbaiki kualitas tanah diharapkan

dapat memicu peningkatan diversitas

arthropoda tanah sebagai dekomposer.

Purwanti (2017) melaporkan bahwa

keragaman spesies serangga, utama-nya

serangga tanah (detrivora) akan meningkat

setelah perlakuan mulsa jerami.

Penambahan biomassa ke lahan perta-

nian merupakan salah satu cara upaya memo-

difikasi habitat, untuk meningkatkan kinerja

arthropoda tanah sebagai bagian dari sistem

pengelolaan hama, antara lain dengan menye-

diakan habitat yang sesuai untuk per-

kembangannya (Mudjiono, 1993; Nurindah,

2013). Menurut Soebandrijo et al. (2001)

pemanfaatan serasah tanaman yang diletak-

kan diantara baris tanaman selain dapat

meningkatkan kandungan bahan organik

tanah, juga dapat berfungsi sebagai penarik

arthropoda tanah antara lain ekor pegas

sebangsa Collembola. Penambahan biomassa

pada lahan memperbesar komposisi detrivora,

jenis detrivora yang dominan adalah Colem-

bolla (Purwanti, 2017). Keberadaan

arthropoda tanah sangat diperlukan terutama

dalam proses dekomposisi serasah.

Penambahan biomassa kelahan tebu

diharapkan dapat meningkatkan populasi

arthropoda tanah yang akan diikuti juga

meningkatnya populasi musuh alami sehingga

akan menekan keberadaan hama. Peranan

arthropoda tanah dalam suatu ekosistem

adalah sebagai pelaku perombakan bahan

organik.

Beberapa mikroarthropoda tanah yaitu

Collembola mempunyai mulut yang mampu

mencacah bahan organik sambil memakan

mikroflora yang menempel pada serasah.

Frakmentasi dan reduksi menjadi partikel-

partikel lembut mempunyai dampak penting

dalam proses perombakan dan mineralisasi

(Elkins & Whitford, 1982). Pencacahan

serasah menjadi potongan kecil-kecil

P

Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu

23

dilakukan oleh mikroarthropoda tanah

(Peoletti et al., 1991). Peran kedua

mikroarthropoda tanah berperan dalam alih

energi dan pengaliran mineral (Seasteadt,

1984).

Penelitian diversitas arthropoda tanah

pada tanaman tebu di Indonesia dengan

berbagai jenis ekosistem sangat terbatas.

Oleh karena itu penelitian penambahan bio-

massa dan pengaruhnya terhadap diversitas

arthropoda tanah pada pertanaman tebu di

lahan kering tanah berpasir serta pengaruh-

nya terhadap produksi tebu akan memberikan

informasi yang berguna dalam pengelolaan

habitat, termasuk pengelolaan hama dan

tanah. Hasil penelitian ini dapat digunakan

untuk menilai kestabilan suatu ekosistem.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa

pengaruh penambahan biomassa C. juncea dan serasah tebu dilahan kering terhadap

diversitas arthropoda tanah pada tebu ratoon.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Perco-

baan Asembagus, Situbondo mulai bulan

Januari 2015 sampai dengan Juli 2015. Lahan

di KP Asembagus berjenis tanah pasir dengan

kandungan pasir >90%, tergolong lahan

kering beriklim kering (jumlah curah hujan

652,7 mm dan jumlah hari hujan dalam

setahun 56 hari). Lahan tebu seluas 0,6 ha

dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu (1) lahan

dengan penambahan biomassa serasah (12,5

ton/ha) dan pupuk hijau (15 ton/ha) dan (2)

lahan tanpa penambahan biomassa dan tidak

ditanami C. juncea. Serasah diperoleh dari

daun dan pucuk tebu dari tebu tanam

pertama (PC). Serasah diberikan setelah

panen kemudian dikepras. Pupuk hijau

diperoleh dari tanaman C. juncea yang di-

tanam setelah kepras dan dipanen pada umur

50 hari. Selanjutnya biomassa C. juncea ditaruh dekat barisan tebu dan dibumbun

dengan tanah.

Sistem tanam juring ganda 170–50 cm.

Tanaman yang digunakan adalah tanaman

tebu kepras pertama varietas Bululawang.

Penyulaman dilakukan pada tanaman 1 bulan

setelah kepras. Dosis pupuk yang digunakan

400 kg pupuk majemuk NPK + 600 kg pupuk

tunggal N yang mengandung Sulfur.

Pemupukan pertama diberikan satu bulan

setelah kepras, yaitu seluruh pupuk majemuk

dan 1/3 dosis pupuk tunggal N yang

mengandung Sulfur dan pemupukan kedua

diberikan 3 bulan setelah kepras yaitu 2/3

pupuk tunggal N yang mengandung Sulfur.

Pengambilan sampel/koleksi arthropoda

tanah dilakukan setiap bulan mulai Januari–

April dengan sistem koleksi masal dengan

menggunakan pitfall traps dengan ukuran

diameter 7 cm dan tinggi 10 cm serta yellow pan traps dengan ukuran diameter 15 cm dan

tinggi 6 cm. Pitfall traps digunakan untuk

menangkap microarthropoda tanah, sedang-

kan yellow pan traps digunakan untuk

menangkap arthropoda permukaan tanah.

Pada masing-masing perlakuan dipasang 16

pitfall traps (4 titik x 4 ulangan) dan 16 yellow pan traps (4 titik x 4 ulangan) dipasang

secara diagonal memotong tengah kebun

dengan jarak 10 meter. Pitfall traps dibenamkan ke dalam tanah dengan per-

mukaan rata dengan tanah. Yellow pan traps diletakkaan di dekat titik perangkap pitfall traps dengan jarak 1 m. Yellow pan traps diletakkan di atas tanah yang di sekitarnya

terbuka, setiap perangkap diisi air dicampur

deterjen agar arthropoda yang terperangkap

mati, pengisian air dicampur deterjen seper-

tiga tinggi gelas dan diatasnya diberi peneduh

plastik untuk menghindarkan masuknya air

hujan. Perangkap dipasang mulai bulan Ja-

nuari sampai dengan April. Arthropoda yang

teperangkap pada masing-masing perangkap

diambil setelah 24 jam lalu dimasukkan dalam

kantong plastik secara terpisah kemudian

dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31

24

Preservasi dan Identifikasi Spesimen hasil koleksi dipisahkan

berdasarkan ordo dan kemudian di preservasi.

Dalam penelitian ini digunakan tiga teknik

preservasi yaitu preservasi basah dilakukan

dengan menempatkan arthropoda ke dalam

botol yang telah diisi alkohol 80%; preservasi

kering menggunakan jarum serangga standar

dan atau dengan kertas mounting (mounting cards) tergantung kelompoknya. Spesiemen

yang disimpan pada slide dilakukan proses

yang sesuai dengan kelompoknya dengan

medium Hoyer (Henderson, 2001). Identifi-

kasi dilakukan di Laboratorium Entomologi,

Balittas Malang., dengan mencocokkan

dengan koleksi serangga yang ada di Balittas

atau dengan bantuan buku Panduan

Pengenalan Pelajaran Serangga (Donald et al.,

1992) dan buku Pest of Crop in Indonesia (Kalshoven, 1981).

Untuk melengkapi data pengaruh

penambahan biomassa dibandingkan dengan

lahan tanpa penambahan biomassa juga

dilakukan analisa tanah untuk mengetahui

kandungan C organik tanah dengan metode

Walkley Black dengan sistem Spektrofoto-

meter dan N dengan metode Kjeldahl dengan

sistem Titrimetri.

Pengamatan produktivitas dilakukan

dengan pengambilan sampel sebanyak 5 titik

secara diagonal pada masing–masing perla-

kuan, setiap titik diamati 10 m dengan cara

dipanen dan ditimbang.

Analisa Data Diversitas serangga yang berasosiasi

dengan tanaman tebu dihitung dengan indeks

diversitas yang dikembangkan oleh Shanon–

Weaver (Southwood, 1978) sebagai berikut:

H’ = – ∑ [(ni/n)Ln(ni/n)]

H’ = Indeks diversitas ni = Jumlah total individu dari satu spesies n = Total individu dari seluruh spesies Ln = Logaritma naturalis.

Rumus indeks kemerataan (El) dari Pielou.

EL=H'

LnS

H’ = indeks diversitas,

S = Jenis seluruhnya

Ln = Bilangan logaritma

Kekayaan Jenis (R) adalah banyaknya spesies

didalam komunitas. Kekayaan jenis (R)

dientukan dari rumus Margalef (Ludwig,

1998).

R =S-1

LnN

S = Jenis seluruhnya

N = Jumlah seluruhnya

Indeks dominansi (λ) ditentukan dari

Southwood (1978).

= ∑Ni(ni − 1)

𝑛 (𝑛 − 1)

ni = adalah jumlah total individu dari satu

spesies, N = total individu dari seluruh

spesies.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan Arthropoda Tanah Arthropoda tanah yang tertangkap

terdapat 5–6 ordo. Jumlah arthropoda tanah

yang terperangkap oleh pitfall traps dan

yellow pan traps lebih lebih banyak pada

lahan dengan penambahan biomassa dari

pada lahan tanpa penambahan biomassa.

Pada lahan dengan penambahan biomassa

jumlah arthropoda yang terperangkap pitfall traps dan yellow pan traps ada 1.374 dan

1.148 ekor, sedangkan pada lahan tanpa

penambahan biomassa 905 dan 893 ekor.

Penambahan biomassa ke lahan dapat me-

ningkatkan kelembaban tanah, menurunkan

suhu permukaan tanah dan menjadikan ha-

Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu

25

bitat yang lebih sesuai untuk kehidupan

arthropoda tanah (Boror et al., 1996). Pada

lahan penelitian yang ditambahkan biomassa

rata-rata suhu tanah 26oC, sedangkan pada

lahan tanpa penambahan biomassa suhu

tanah 29oC. Hal yang sama terjadi pada

penambahan mulsa jerami padi di lahan

perkebunan kapas. Menurut (Subiyakto et

al., 2005); 2016) penambahan biomassa

jerami padi pada lahan perkebunan kapas

dapat meningkatkan kelembaban, menurun-

kan suhu permukaan tanah, meningkatkan

ketersediaan dan kualitas pakan serta suhu

yang optimum untuk perkembangan arthro-

poda tanah.

Tabel 1. Kelimpahan arthropoda tanah hasil

penangkapan dengan pitfall traps dan

yellow pan traps pada lahan tebu dengan penambahan biomassa dan C. juncea (BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)

No Ordo Pitfall traps Yellow pan traps

BC TB BC TB

1 Collembola 635 a 544 a 947 a 733 a 2 Hymenoptera 693 a 302 a 92 a 76 a 3 Diptera 0 a 0 a 0 a 2 a 4 Coleoptera 7 a 16 a 36 a 26 a 5 Araneae 27 a 35 a 25 a 28 a 6 Hemiptera 12 a 8 a 48 a 28 a

Jumlah 1.374 905 1.148 893

Lahan yang kaya bahan organik populasi

arthropoda tanah relatif tinggi dibanding lahan

yang miskin bahan organik (Settle & Whitten,

2000). Atekan (2016) melaporkan bahwa

bahan organik selain dapat memperbaiki sifat

fisik dan kimia tanah juga merupakan sumber

energi bagi aktivitas mikroba tanah. Erwinda

et al. (2017) dan Warino et al. (2017)

menyebutkan bahwa populasi Colembolla

tertinggi ditemukan pada daerah pangkal

pohon sawit dan daerah gawangan kompos,

dimana kedua tempat tersebut banyak

mengandung bahan organik.

Zulfika (1990) melaporkan bahwa pem-

berian penutup tanah berupa jerami dapat

meningkatkan kadar air 17,17%–27,02%.

Penambahan biomassa pada lahan berpasir

dapat memperkecil terjadinya evaporasi dan

meningkatkan absorbsi air tanah. Penambah-

an biomassa juga dapat mempertahankan

kelembapan tanah, karena penambahan bio-

massa merupakan salah satu usaha

menambah bahan organik pada tanah

sehingga absorbsi air meningkat, selain itu

juga memperbesar kapasitas menahan air dan

memperkecil terjadinya kehilangan air serta

mengendalikan gulma (Sutedjo & Mulyadi,

1996; Suripin, 2002; Basuki, 2014).

Berdasarkan Tabel 1. Metode pitfall traps lebih banyak menangkap ordo Hyme-

noptera, Ordo Hymenoptera yang dominan

adalah jenis semut (Formicidae) baik semut

hitam (Myrmica sp.) maupun semut merah,

populasi semut yang paling melimpah ter-

dapat pada perlakuan lahan dengan penam-

bahan biomassa dibanding lahan tanpa

penambahan biomassa dengan perbandingan

693 dan 302 ekor. Semut adalah kelompok

organisme teristrial karena memiliki kera-

gaman yang tinggi dan mendominasi di

banyak ekosistem (Permana et al., 2012).

Neves et al (2010) melaporkan bahwa semut

menempati berbagai tingkat trofik dan ber-

kontribusi sangat besar dalam berbagai proses

yang terjadi dalam ekosistem. Semut juga

berperan sebagai perombak biomassa/ bahan

organik (detrivora), sehingga dapat me-

ningkatkan kondisi untuk pertumbuhan ta-

naman dengan mengembalikan hara dan

nutrisi tanah, serta sebagai predator serangga

hama (Lange et al., 2008; Purwanti, 2017).

Metode yellow pan traps lebih banyak

menangkap ordo Collembola dan populasi

Colembolla lebih banyak ditemukan pada

perlakuan lahan dengan penambahan bio-

massa dibanding lahan tanpa penambahan

biomassa dengan perbandingan 947 dan 733

ekor. Colembola merupakan organisme yang

hidup didalam tanah dan dikelompokkan

sebagai mesofauna karena ukurannya yang

kecil. Colembolla sangat berperan dalam

ekosistem tanah karena jumlahnya yang sa-

ngat besar. Colembola berperan secara tidak

langsung sebagai perombak biomassa/bahan

organik tanah dan sebagai indicator pe-

rubahan keadaan tanah (Suhardjono et al.,

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31

26

13.25

11

13.2512.25

BC TB

Jumlah/Jenis Arthropoda

Pitfall traps Yellow pan traps

2012). Colembola juga dijadikan indikator

untuk pemantauan suatu ekosistem (Migliorini

et al., 2005) Colembola berperan juga untuk

menjaga keberlangsungan hidup predator

sebagai musuh alami serangga hama (Ponge

et al., 2003; Kanal, 2004). Metode yellow pan traps selama pengamatan mampu menangkap

ordo Coleoptera pada lahan dengan penam-

bahan biomassa sebanyak 36 ekor, sedangkan

lahan tanpa penambahan biomassa 26 ekor,

ordo Hemiptera pada lahan dengan penam-

bahan biomassa sebanyak 48 ekor sedangkan

lahan tanpa penambahan biomassa 28 ekor.

Metode pitfall traps menangkap ordo Coleop-

tera pada lahan dengan penambahan

biomassa sebanyak 16 ekor, sedangkan lahan

tanpa penambahan biomassa 7 ekor. Ordo

Coleop-tera sangat berperan penting dalam

fungsi ekosistem, disamping itu memiliki

keaneka-ragaman yang tinggi dan melimpah

(Schowalter, 2011). Selain sebagai herbivora

dan predator, ordo Coleoptera juga sebagai

dekomposer dalam proses penguraian bahan

organik (Price et al., 2011). Ordo Hemiptera

pada lahan dengan penambahan biomassa

sebanyak 12 ekor, sedangkan lahan tanpa

penambahan biomassa 8 ekor. Oleh karena

itu dalam merancang penelitian analisa

diversitas arthropoda tanah pemilihan metode

trap sangat diperlukan.

Diversitas arthropoda tanah Nilai indeks diversitas (H’) pada lahan

dengan penambahan biomassa lebih tinggi,

baik dengan metode pitfall traps (0,82)

maupun dengan metode yellow pan traps (0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penam-

bahan biomassa hanya 0,79 dan 0,75

(Gambar 1). Walaupun indeks diversitas pada

lahan dengan penambahan biomassa secara

kuan-titatif lebih tinggi, namun pada dua

lahan nilai indeks diversitasnya masing-masing

masih berada di bawah 1 (H’< 1,0). Nilai H’ <

1,0 berarti lahan yang digunakan untuk

penelitian memiliki kategori diversitas rendah,

mengindi-kasikan di lahan tersebut jumlah

jenis dan individu kurang beragam dan

ekosistemnya tidak stabil.

Gambar 1. Indeks diversitas artropoda pada lahan tebu dengan penambahan biomassa

(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB).

Indeks jenis individu Indeks jenis individu pada lahan

dengan penambahan biomassa baik peng-amatan dengan menggunakan metode pitfall trapsdan yellow pan trap membe-rikan hasil yang sama, rata-rata 13,25. Pada lahan tanpa penambahan biomassa metode pitfall traps menghasilkan 11 dan metode yellow pan traps menghasilkan 12,25 (Gambar 2).

Gambar 2. Indeks jumlah/jenis Artropoda pada

lahan tebu dengan penambahan bio-

massa (BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)

Indeks kemerataan Indeks kemerataan (E) adalah total

individu yang didapatkan tersebar dalam

setiap spesiesnya. Indeks kemerataan di-

gunakan untuk mengukur tingkat kemerataan

atau kelimpahan jenis yang terdistribusi di

antara jenis dalam suatu komunitas (Ludwig,

0.82

0.79

0.84

0.75

BC TB

Pitfall traps Yellow pan traps

Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu

27

1998). Krebs (1972) melaporkan bahwa

semakin kecil indeks kemerataan maka

semakin kecil pula kemerataan populasi, yang

berarti penyebaran jumlah individu jenis tidak

sama dan ada kecenderungan satu spesies

mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin

besar indeks kemerataan maka semakin besar

penyebaran jumlah individu setiap jenis sama

dan tidak ada kecenderungan dominasi salah

satu.

Indeks kemerataan (E) pada lahan

dengan penambahan biomassa dan lahan

tanpa penambahan biomassa dengan peng-

amatan pitfall traps dan yellow pan traps nilainya sangat rendah berkisar 0,25–0,29

Gambar 3). Nilai indeks kemerataan yang

rendah mengindikasikan terjadi dominasi pada

jenis tertentu, dalam hal ini Collembola dan

Hymenoptera. Ordo Hymenoptera didominasi

oleh jenis semut. Hal ini menunjukkan bahwa

distribusi arthropoda tanah tidak merata baik

pada lahan dengan penambahan biomassa

maupun lahan tanpa penambahan biomassa.

Gambar 3. Indeks kemerataan artropoda pada

lahan tebu dengan penambahan bio-massa (BC) dan tanpa penambahan

biomassa (TB)

Kekayaan Jenis Kekayaan jenis (R) pada lahan dengan

penambahan biomassa lebih tinggi 2,20 di-

banding lahan tanpa penambahan biomassa

yaitu 2,00 (Gambar 4). Tingginya nilai (R)

pada lahan dengan penambahan biomassa

disebabkan karena secara kumulatif jenis

seluruh arthropoda (S) pada lahan dengan

penambahan biomassa lebih tinggi dari pada

lahan tanpa penambahan biomassa.

Gambar 4. Indeks kekayaan artropoda pada lahan

tebu dengan penambahan biomassa (BC) dan tanpa biomassa (TB)

Indeks dominansi

Indeks dominansi (λ) menunjukkan

besarnya peranan suatu spesies organisme

dalam hubungannya dalam komunitas secara

keseluruhan. Nilai indeks dominansi berkisar

antara 0–1, semakin kecil nilai indeks

dominasi maka semakin kecil pula dominansi

populasi yang berarti penyebaran jumlah

individu setiap jenis sama dan tidak ada

kecenderungan dominasi dari satu jenis.

Begitu pula sebaliknya semakin besar nilai

indeks dominansi, maka ada kecenderungan

dominansi dari salah satu jenis (Krebs, 1972).

Gambar 5. Indeks dominasi artropoda pada lahan

tebu dengan penambahan biomassa

(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB)

Dominansi jenis arthropoda (λ) pada

lahan dengan penambahan biomassa dan

lahan tanpa penambahan biomassa berkisar

0,53–0,57 (Gambar 5). Indeks dominansi

(λ)>0,5 menunjukkan bahwa ada kecende-

rungan jenis arthropoda yang mendominansi

2.22

1.88

2.162.09

BC TB

Pitfall traps Yellow pan traps

0.53

0.54

0.55

0.57

BC TBPitfall traps Yellow pan traps

0.28

0.27

0.29

0.25

BC TB

Pitfall traps Yellow pan traps

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31

28

dari kedua lahan, dengan demikian di

dapatkan populasi yang tinggi pada

arthropoda tertentu. Rata-rata dominansi

arthropoda pada lahan tanpa penambahan

biomassa lebih tinggi dari pada lahan dengan

penambahan biomassa hal ini karena pada

lahan tanpa penambahan biomassa diversitas

dan kemerataan jenis lebih kecil dari pada

lahan dengan penambahan biomassa.

Subiyakto et al. (2005) melaporkan bahwa

lahan yang diberi mulsa jerami padi menye-

babkan mikroarthropoda tanah (Collembola

dan Akarina) lebih melimpah dibanding

dengan lahan tanpa diberi mulsa jerami padi.

Dilihat dari aspek pengendalian hama

penambahan biomassa pada lahan kering dan

tanah berpasir pada tahun yang sama dapat

meningkatkan diversitas (H’), meningkatkan

indek kemerataan (E) dan menurunkan indeks

dominansi (λ) arthropoda tanah walaupun

belum maksimal. Penambahan bahan organik

ke lahan yang terus menerus diharapkan

dapat meningkatkan kualitas tanah, me-

ningkatkan Collembola dan meningkatkan

indeks diversitas arthropoda tanah.

Arthropoda tanah seperti Colembolla

merupakan mangsa alternatif bagi predator

sebelum inang utama datang. Penambahan

biomassa ke lahan tebu selain menjadikan

permukaan tanah menjadi lembab juga me-

nyediakan pakan yang cukup untuk arthro-

podda tanah. Arthropoda tanah memakan

bahan organik seperti serasah tebu (Buckman

& Brady, 1982; Adianto, 1993). Moore (1988)

melaporkan bahwa mulsa jerami/serasah

merupakan basis makanan mikroarthropoda

tanah, sedang mikroarthropoda tanah adalah

mangsa alternatif arthropoda predator.

Dengan tersedianya mangsa yang cukup

maka arthropoda predator akan melimpah,

populasi serangga hama akan turun.

Keragaman hayati yang tinggi dapat

digunakan sebagai indikator stabilnya suatu

ekosistem (Inayat & Rana 2010).

Tabel 2. Hasil analisa tanah lahan dengan penambahan biomassa dan C. juncea

(BC) dan tanpa penambahan biomassa (TB) dan produktivitas tebu.

Perla-kuan

Kadar air (%)

C-Organik (%)

N (%)

Produktivitas tebu (on/ha)

BC 1,39 1,06 0,11 101,4

TB 1,38 0,76 0,03 76,4

Penambahan biomassa dan C. juncea

telah meningkatkan C Organik tanah dari 0,76

menjadi 1,06 dan meningkatkan N dari 0,03

menjadi 0,11 serta meningkatkan produksi

tebu dari 76,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.

Keragaman fauna pada lahan dengan penam-

bahan biomassa meningkat sehingga akan

me-ningkatkan karbon-nitrogen dan dekom-

posisi berbagai senyawa menjadi hara

(Kennedy & Islam, 2001). Dengan demikian

terjadi perbaikan senyawa kimia tanah (Tabel

2). Hal ini menunjukkan bahwa ada siklus

hara yang juga tersedia sebagai salah satu

layanan ekologi dalam agro-ekosistem.

Basuki et al. (2014) melaporkan bahwa

pengembalian serasah dan C. juncea dapat

meningkatkan produksi tebu dibanding

perlakuan pemberian brangkasan kacang

tanah, pupuk kandang dan kontrol. Pemberian

mulsa sisa tanaman dapat menekan laju

penguapan dan menjaga agre-gasi tanah dan

porositas tanah. Suhu yang optimal untuk

arthropoda tanah akibat penambahan bio-

massa sangat menguntungkan bagi Colem-

bolla sebagai decomposer sebab tingginya

populasi Colembolla akan mempercepat pe-

mecahan bahan organic menjadi senyawa

nutrisi yang tersedia bagi tanaman (Purwanti,

2017). Pemberian mulsa sisa tanaman ka-

cang tanah dan C. juncea di Bobonaro Timor

Timur dengan kondisi lingkungan yang kering

dapat meningkatkan hasil kacang hijau 233%

(Indrawati, 1998). Demikian juga dengan

pemberian mulsa 12 ton/ha dapat me-

ningkatkan jumlah polong kacang tanah

pertanaman 96%, berat kacang tanah 117%,

Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu

29

berat biji 123% dan persentase biji normal

28% (Ispandi, 1998). Dengan demikian

sistem budi daya tebu dengan penambahan

bio-massa dapat direkomendasikan sebagai

solusi untuk meningkatkan kesuburan tanah

karena meningkatnya kelimpahan arthropoda

tanah dan meningkatkan produktivitas tebu

dilahan kering berpasir. Kesuburan tanah bisa

dipelihara oleh arthropoda tanah/ detrivora

melalui dua mekanisme, yaitu dengan

meningkatkan dekomposisi dan meningkatkan

populasi dekomposer sekunder yang akan

menyederhanakan bahan organik kompleks

menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman

(Culliney, 2013).

KESIMPULAN

Collembola dan Hymenoptera merupa-

kan arthropoda tanah yang dominan di lahan

kering berpasir. Penambahan biomassa

menyebabkan populasi arthropoda tanah/

detrivora lebih melimpah bila dibandingkan

dengan lahan tanpa penambahan biomassa.

Penambahan biomassa berhasil meningkatkan

indeks diversitas (H’) dan indeks kemerataan

(E), tetapi menurunkan indeks dominansi (λ)

arthropoda tanah. Untuk memperbaiki kondisi

ekosistem diperlukan penambahan biomassa

secara terus menerus. Penambahan biomassa

C. juncea pada tahun pertama telah mening-

katkan C Organik tanah dari 0.62 menjadi

1,06, mwningkatkan N dari 0,11 menjadi 0,03,

serta meningkatkan produksi tebu dari 76,4

ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada para penelaah naskah ini yang telah

memberikan masukan yang berharga.

Penelitian ini didanai dari DIPA Balitas Tahun

Anggaran 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Adianto, 1993. Biologi Pertanian, Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni, Bandung.

Atekan, 2016. Kompos limbah tebu dan bakteri pelarut fosfat untu memperbaiki ketersediaan san serapan tanaman jagung di Alfisol. Universitas Brawijaya.

Basuki, T., Djumali, Verona, L., 2014. Penggu-naan Clotalaria juncea L. dalam Peningkatan Bahan Organik Tanah Hemat Biaya di Lahan Kering Pengem-bangan Tebu, in: Prosiding Seminar Nasional Tebu. Badan Litbang Pertanian, Malang, pp. 169–172.

Boror, Donald J., Triplehorn, Charles A., Johnson, N., 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Buckman, H.O., Brady, N.C., 1982. Ilmu tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Culliney, T., 2013. Role of Arthropods in Maintaining Soil Fertility. Agriculture 3, 629–659. https://doi.org/10.3390/agriculture3040629

Donald J. Borror, Charles A, T., Norman F, J., 1992. Pengenalan pelajaran serangga, 6th ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Elkins, N.Z., Whitford, W.G., 1982. The role of microarthropods and nematodes in decomposition in a semi-arid ecosystem. Oecologia 55, 303–310. https://doi.org/10.1007/BF00376916

Erwinda, Widyastuti, R., Djajakirana, G., Suhardjono, Y.R., 2017. Keanekara-gaman dan fluktuasi kelimpahan Collembola di sekitar tanaman kelapa sawit di perkebunan Cikasungka, Kabupaten Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia 13, 99.

Hariyono, B., 2017. Perbaikan kualitas tanah untuk peningkatan produktivitas tebu >10 ton hablur/ha. Malang.

Henderson, R.C., 2001. Technique for positional slide-mounting of Acari. Journal Systematic and Applied Acarology. 7, 1–4.

Hunsigi, G., 1993. Production of Sugarcae. Theory and Practise, 1st ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin, Germany.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31

30

https://doi.org/10.1007/978-3-642-78133-9

Inayat, T., Rana, S., Khan, H., Rehman, K., 2010. Diversity of insect fauna in cropland of district Faisalabad. Pak. J. Agri. Sci 47, 245–250.

Indrawati, 1998. Pengelolaan lengas tanah dalam usahatani lahan kering, in: Prossiding Seminar Nasional Dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. p. 185.

Ispandi, A., 1998. Pengaruh bagas terhadap status hara tanah dan produksi ubi jalar/kacang tanah di tanah alfisol, in: Prossiding Seminar Nasional Dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. pp. 135–136.

Kalshoven, L.G., 1981. Pest of crop in Indonesia. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

Kanal, A., 2004. Effects of fertilisation and edaphic properties on soil-associated Collembola in crop rotation. Journal Agronomy Research 2, 153–168.

Kennedy, I., Islam, N., 2001. The current and potential contribution of asymbiotic nitrogen fixation to nitrogen require-ments on farms. a review. Austr J of Experi Agriculture 41, 447–457.

Krebs. C.J., 1972. Ecology the Experimental Analysis of Distribotion and Abudance. Harper and Row., New York.

Ludwig, J., Reynolds, J., 1998. Stastitical Ecology, A Primer o. ed. Jonh Wiley & Sons, New York.

Migliorini, M., Pigino, G., Caruso, T., Fanciulli, P., Leonzio, C., Bernini, F., 2005. Soil Communities (Acari Oribatida; Hexapoda Collembola) in a Clay pigeon Shooting range. Pedobiologis 49, 1–13.

Moore, J., Walter, D., Hunt, H., 1988. Arthropods regulation of micro and mesobiota in below-ground detrital food webs 33, 419–435.

Mudjiono, G., 1993. Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Neves, F., Rodrigo, F., Mario, M., Jacques, H., Fernandes, G., Azofeifa, G., 2010. Diversity of Arboreal Ants in a Brazilian Tropical Dry Forest: Effects of Seasonelity and Succesional Stage. Sociobiology 56, 1–18.

Peoletti, M., Favretto, M., Stinner, B., Parrington, F., Bater, B., 1991. Invertebrate as Bioindicators of soil Use. Agric. Ecs. Environ 34, 341–362.

Permana, Y., Nur, F.F., Khalimun, A., 2012. Keragaman jenis dan Peranan Semut (Hymenoptera; Formicidae) pada Perta-naman Cabai dan Buah Naga di Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembang-an Pertanian (KP4) UGM. Prosiding Kongres VIII dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia. Peran dan Tantangan Entomologi di Era Global. Bogor 24-25 Januari 2012. 99–106.

Ponge, J., Gillet, D.F., Fedoroff, E., Haese, L., Sousa, J., Lavelle, P., 2003. Collembola Communities as bioidicators of landuse Intensification. Soil Biology and Biochemistry. 35, 813–826.

Price, T., Brownell, K., Raines, M., Smith, C., Gandhi, K., 2011. Multiple detections of two exotic Auger Beetles of the genus Sinoxylon (Coleoptera: Bostrichidae) in Georgia, USA. Florida Entomol 94, 354-355.

Purwanti, E.W., 2017. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Berbasis Konservasi dan Augmentasi Detrivora di Lahan Padi Sawah (Oryza sativa L.). Universitas Brawijaya, Malang.

Schowalter TD, 2011. Insect Ecology An Ecosistem Approach. Oxford.

Seasteadt, T.R., 1984. The Role of Microarthropods in Decomposition and Mineralization Processes, 29th ed. Rev. Entomol, Annu.

Settle, W.H., Whitten, M.J., 2000. The Rule of Small Scale Farmers in Stengthening Linkages Between Biodiversity and Sustainable Agriculture. XXI Intenational Congres of Entomology, Brazil, pp. 20–26.

Soebandrijo, S. Hadiyani, S.A. Wahyuni, dan M.S., 2001. Peranan Seresah dan Gulma dalam Meningkatkan diversitas Hayati dan Pengendalian Serangga Hama Kapas di Indonesia. Prosiding Simposiun Keanekaragan Hayati pada system Pertaian, Bogor.

Southwood, T.R.W., 1978. Ecological Methods, Second Edi. ed. Champman and Hall.

Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu

31

Subiyakto, 2016. Pengendalian hama dan penyakit penting pada tanaman tebu. Bogor.

Subiyakto, Chailani, S.R., Mujiono, G., Syekhfani, S., 2005. “Pengaruh Bobot Mulsa Jerami Padi Terhadap Kelimpahan Mikroarthropoda Tanah Pada Tumpangsari Kapas Dan Kedelai., in: Prossiding Seminar Nasional Dan Kongres Biologi XIII,. CV. Prima Garafika., Yogyakarta, p. 314–323.

Suhardjono, Y., Deharveng, L., Bedos, A., 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (ekor pegas). Vegamedia., Bogor.

Sulistyaningsih, Y.C., Dorly, Hilda, A., 1994. Studi Anatomi Daun Saccharum spp. sebagai Induk dalam Pemuliaan Tebu. Hayati 1, 32–36.

Suma, R., Savitha, C., 2015. Integrated Sugarcane Trash Management: A Novel Technology for Sustaining Soil Health and Sugarcane Yield. Adv Crop Sci Tech 3.

Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Sutedjo dan M. Mulyadi, 1996. Makro Biologi Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Warino, J., Rahayu Widyastuti, Yayuk R Suhardjono, B.N., 2017. Keanekaragaman dan kelimpahan Colembolla pada perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Bajubang. Jurnal Entomologi Indonesia 14, 51–57.

Zulfika, F., 1990. Pengaruh Penutup Tanah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Universitas Sriwijaya.

32

Daya Hasil Genotipe Harapan Tebu di Lahan Kering

Abdurrakhman 1,2), Bambang Heliyanto2), Djumali 2), Damanhuri1), dan Noer Rahmi Ardiarini1)

1)Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya,

Jl. MT Haryono 169 Malang 65145 Indonesia 2)Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat,

Jalan Raya Karangploso Km.4, Kotak Pos 199, Malang-65152 Email: [email protected]

Diterima: 23 Januari 2018; direvisi: 20 Maret 2018; disetujui: 22 Juni 2018

ABSTRAK

Pengembangan tebu di Indonesia saat ini sebagian besar terdapat di lahan kering, oleh karena itu perakitan

varietas toleran kekeringan merupakan suatu langkah yang bijaksana, karena merupakan pendekatan yang paling mudah aplikasinya dan ekonomis. Saat ini telah diperoleh beberapa genotipe harapan tebu untuk lahan

kering. Penelitian ini bertujuan unuk mengkaji daya hasil genotipe tebu hasil persilangan untuk pengembangan

di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Ngemplak, Pati dari bulan Januari sampai dengan November 2017, menggunakan 8 genotipe tebu yang berpotensi toleran kering dibandingkan dengan 2

varietas PS 864 dan Kenthung) sebagai pembanding. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok yang diulang tiga kali. Petak yang digunakan berukuran 5 m x 10 m, serta jarak pusat ke pusat (PKP) 1 m,

atau 10 juring dengan panjang masing-masing 5 m. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah batang per meter juring, jumlah ruas, panjang batang, bobot batang, nilai brix nira batang

bagian atas, tengah dan bawah, rendemen serta hasil hablur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe

berpengaruh terhadap keragaan hasil tebu dan komponen hasilnya. Genotipe MLG 1308 mempunyai produksi hablur tertinggi diantara genotipe lain, 21% lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding PS 864 dan 156%

dibandingkan dengan Kenthung. Dengan demikian genotipe MLG 1308 adalah genotipe harapan untuk pengembangan tebu di lahan kering.

Kata kunci: Saccharum officinarum, uji daya hasil, lahan kering, genotipe unggul

Yield of Promising Genotypes of Sugarcane in Dry Land

ABSTRACT

Sugarcane cultivation in Indonesia have been mostly done in dry lands, therefore consructing tolerant varieties

to dry-agro-ecological condition is a wise decision as it is easily applicable and economically feasible. Currently, some genotypes tolerant to dry condition have been identified. This research was aimed to test the yield

performance of potentially drought tolerant genotypes. The reserch was done in Research Station Ngemplak, Pati on January to December 2018, used 8 genotypes and two varieties (PS 864 and Kenthung) as comparision

varieties. The research used randomized block design with 3 replicates. Plot size was 5 m x 10 m and the distance from center to center was 1 m, 10 rows with length 5 m per row. The parameters observed were

plant height, stem diameter, number of stalk per m row, number of internode per stalk, length and weight of

stalk, upper stem brix, mid and lower, sugar content/sucrose content and sugar yield per ha. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by Duncan Multiple Range Test at 5% level. Results

showed that genotypes affected the performances of yield and its component characters. MLG 1308 showed

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:32–38 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018. 32–38

Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering

33

the highest sugar yield per ha among the other genotypes, 21 % and 156 % higher than that of variety PS 864 and Kenthung varieties, respectively. Therefore, genotype MLG 1308 is considered as a promising

genotype to support the development of sugarcane in dry areas.

Keywords: Saccharum officinarum, yield test, dry land, superior genotypes

PENDAHULUAN

ebu (Saccharum officinarum L.)

merupakan tanaman yang memiliki nilai

ekonomis tinggi, baik sebagai penghasil gula

untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga,

industri minuman,dan makanan serta farmasi

(Nurmalasari & Murdiyatmo, 2012). Pada era

tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi

negara eksportir gula terbesar di dunia, namun

kini Indonesia adalah salah satu importir

terbesar dunia (Susila & Sinaga, 2005) dengan

nilai sekitar US$ 900 juta atau ekivalen 2 juta

ton gula setiap tahun (Anonim, 2010).

Penyebabnya, selain konsumsi gula dalam

negeri semakin meningkat, juga akibat

kebijakan pertanian yang kurang mendukung,

meningkatnya konversi lahan pertanian di

Jawa, peralihan penanaman tebu dari lahan

sawah ke lahan kering dan marginal, akibat

persaingan yang ketat dengan tanaman

pangan, serta penurunan produktivitas tebu

dan rendahnya rendemen (Heliyanto et al., 2016) (Mardianto et al., 2005). Pergeseran

lahan pengembangan tebu di Indonesia,

khususnya di Pulau Jawa, dari yang semula di

lahan sawah ke lahan kering perlu diantisipasi

dengan bijaksana. Lahan kering pada umum-

nya dicirikan mempunyai tingkat kesuburan

yang rendah sampai sedang dan ketersediaan

air sebagai faktor pembatas. Penggunaan va-

rietas unggul baru tebu yang toleran terhadap

cekaman kekeringan merupakan langkah yang

tepat. Teknologi ini diharapkan dapat men-

dukung pengembangan tebu di wilayah yang

mempunyai agroekologi kering. Hasil evaluasi

terhadap program akselerasi peningkatan pro-

duksi gula nasional selama tiga tahun terakhir

menunjukkan bahwa penggunaan varietas

unggul mampu memberikan kontribusi yang

besar, yaitu melalui peningkatkan produktivitas

sebesar 23-46% (Rasyid,et al., 2006).

Upaya perakitan varietas tebu untuk

lahan kering telah dilakukan baik secara kon-

vensional maupun inkonvensional. Secara

konvensional, upaya persilangan intra dan inter

spesifik telah dilakukan Balittas sejak tahun

2010. Persilangan ini melibatkan tetua proven parent dengan produktivitas dan rendemen

tinggi serta tetua donor ketahanan kekeringan

dari spesies lain (Saccharum spontaneum dan

Erianthus sp.) (Heliyanto et al., 2013; Heliyanto

et al., 2016). Hasil persilangan ini telah

menghasilkan 3 genotipe potensial tahan ke-

ring yaitu, MLG 1308, MLG 10189 dan MLG

10198 (Heliyanto, et al., 2014; 2015). Secara

inkonvensional, peneliti dari Universitas Jem-

ber bekerjasama dengan PTP N XI telah

melakukan pengembangan produk rekayasa

genetika (PRG) dengan mentransfer gen

ketahanan kekeringan dari Rhizobium meliloti ke genom tebu varietas BL dan diperoleh

beberapa PRG toleran kering, salah satunya

NXI-1T (Nurmalasari & Murdiyatmo, 2012).

Disamping upaya persilangan dan seleksi

di atas, beberapa genotipe potensial tahan

kering juga diperoleh dari hasil pertukaran

dengan institusi/perorangan, yaitu, HCW 438,

HCW 40, HCW 440 dan GMP 4 (Heliyanto, et

al., 2015). Tujuan penelitian ini adalah untuk

menguji daya hasil genotipe-genotipe potensial

tebu tahan kering pada lahan dengan

agroekologi kering. Diharapkan dari penelitian

ini dapat diperoleh genotipe tebu harapan

untuk mendukung pengem-bangan tebu di

lahan dengan kondisi agroekologi kering.

T

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38

34

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada akhir

Januari sampai November 2017 di Kebun

Percobaan (KP) Ngemplak Muktiharjo, Pati,

Jawa Tengah. Lokasi penelitian memiliki

ketinggian 5 m dpl, dengan tipe iklim D

menurut klasifikasi Oldeman (1975) dengan

bulan basah berturut-turut 4-5 bulan, bulan

kering kurang dari 8 bulan, curah hujan rata-

rata 1.500 mm/tahun dan jenis tanah Alfisol.

Bahan tanam yang digunakan terdiri dari

delapan genotipe tebu toleran kering, hasil

hibridisasi dan evaluasi serta korespon-densi

plasma nutfah beserta 2 varietas pembanding,

yakni PS 864 dan Kenthung. Pupuk yang

diberikan sebanyak 180 kg N + 60 kg P2O5 +

60 kg K2O per ha setara dengan 600 kg ZA +

400 kg NPK (15:15:15) per ha.

Kegiatan dilaksanakan menggunakan

rancangan acak kelompok dengan tiga ula-

ngan. Ukuran petak yang digunakan adalah 5

x 10 m2 dengan panjang juring (sistem tanam

tebu dalam baris) 5 m, jarak pusat ke pusat

(PKP) 1 m, sehingga terdapat 10 juring dalam

1 petak. Pengambilan sampel dilakukan de-

ngan terlebih dahulu menentukan titik sampel,

yaitu 1 m dalam juring yang telah ditentukan

sebelumnya. Tanaman yang diamati adalah 2

tanaman yang berada dalam 1 m titik sampel.

Pengamatan dilakukan setiap bulan dengan

parameter yang diamati meliputi tinggi ta-

naman, diameter batang, jumlah batang per

meter juring, jumlah ruas, panjang batang,

bobot batang, persen brix nira batang bagian

atas, tengah dan bawah, produktivitas,

rendemen serta hasil hablur. Data yang di-

peroleh dianalisis dengan Analysis of Variance

(ANOVA) pada tingkat keperca-yaan 95%.

Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan

Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf

5%. Pemilihan genotipe harapan didasarkan

pada pemban-dingan dengan varietas kontrol

pada tiga karakter utama yaitu produksi hablur,

produktivitas dan rendemen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan parameter pertumbuhan dan

hasil tebu serta komponen produksinya dari 10

genotipe tebu pada kondisi agroekologi kering

disajikan pada Tabel 1-3. Pertumbuh-an dan

hasil tebu beragam antar genotipe. Hal ini

menunjukkan bahwa respon tanaman tebu

sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, dalam

hal ini genotipe yang digunakan. Hasil yang

sama dilaporkan oleh (Gomathi, et al., 2013)

dan Smiullah et al. (2013) untuk karakter tinggi

tanaman, Santoso et al. (2015), Gomathi et al.

(2013) dan Ahmed et al. (2014) pada karakter

diameter batang Ahmed et al. (2014) pada

karakter jumlah dan panjang ruas serta Khan

et al. (2012) dan Tolera et al. (2014) pada

karakter bobot batang. Tabel 1 menunjukkan bahwa diantara

genotipe yang diuji, pertumbuhan keatas

tertinggi, baik pada 8 BST maupun 10 BST,

dihasilkan oleh MLG 10189 disusul oleh MLG

1308, HCW 90 dan NXI-1T. Rata-rata

pertumbuhan ke lima genotipe tersebut tidak

berbeda dengan dua varietas pembanding (PS

864 dan Kenthung) pada 8 BST dan pada 10

BST (Tabel 1). Untuk pertumbuhan diameter

batang umur 8 BST dan 10 BST, genotipe MLG

10189 secara konsisten menunjukkan ukuran

terbesar dan berbeda dengan kedua varietas

pembanding, sedangkan untuk karakter jumlah

ruas umur 8 BST dan 10 BST, genotipe NXI-1T

mempunyai jumlah ruas terbanyak dibanding-

kan yang lain dan varietas pembanding.

Angka brix menunjukkan persen jumlah

zat padat terlarut yang terkandung dalam

batang tebu. Menurut Panwar, et al. (2014)

angka brix berperan penting dalam menen-

tukan kadar sukrosa tebu. Tabel 2 menunjuk-

kan bahwa pada 8 genotipe yang diuji.

Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering

35

Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah ruas pada sepuluh genotipe tebu di lahan kering

Genotipe Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Jumlah Ruas

8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST

HCW 438 122,67 bc 163,00 c 2,81 bc 2,81 b 11,53 d 15,67 b-e HCW 90 168,40 a 209,33 ab 3,11 ab 3,14 a 12,33 b-d 16,07 bc HCW 440 97,00 c 117,33 d 3,24 a 3,24 a 11,67 cd 14,40 de N XI- 1T 165,13 a 199,00 a-c 2,84 b-c 2,84 b 14,20 a 18,13 a GMP 4 140,00 ab 179,00 bc 2,30 d 2,31 d 12,87 bc 14,20 e MLG 10189 176,00 a 215,67 ab 3,27 a 3,27 a 14,20 a 16,33 b MLG 10198 166,67 a 204,00 ab 2,59 cd 2,59 cd 12,53 b-d 15,93 b-d MLG 1308 174,67 a 204,00 ab 2,47 d 2,51 cd 13,13 ab 16,00 bc PS 864 (Kontrol) 172,00 a 221,00 a 2,85 bc 2,85 b 12,80 b-d 15,67 b-e Kentung (Kontrol) 149,00 ab 179,33 bc 2,90 bc 2,90 bc 12,13 b-d 14,53 c-e

KK/CV (%) 14,18 10,90 6,24 4,47 5,53 5,61

Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.

Tabel 2. Keragaan brix atas, brix tengah dan brix bawah sepuluh genotipe tebu di lahan kering

Genotipe Brix atas Brix tengah Brix bawah

8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST

HCW 438 21,10 ab 21,17 bc 22,07 a-c 23,90 a 22,57 bc 23,90 a HCW 90 18,17 d-f 18,67 de 19,50 de 20,17 c 20,57 de 20,23 d HCW 440 17,17 ef 18,83 de 20,90 cd 20,83 c 22,47 bc 21,17 cd N XI- 1T 20,37 a-c 22,67 ab 23,40 ab 23,67 a 24,00 ab 24,07 a GMP 4 17,83 e-f 22,17 ab 20,67 cd 23,87 a 21,33 c-e 24,53 a MLG 10189 19,83 b-d 23,70 a 21,63 bc 23,83 a 22,10 cd 24,00 a MLG 10198 18,70 c-e 21,03 bc 21,23 cd 21,50 bc 21,60 c-e 22,47 a-c MLG 1308 20,07 b-d 21,27 bc 21,30 cd 22,67 ab 21,83 c-e 23,10 ab PS 864 (Kontrol) 16,33 f 20,43 cd 18,73 e 21,07 bc 20,13 e 21,70 bc Kentung (Kontrol) 18,23 d-f 20,20 cd 21,60 bc 20,57 c 20,83 de 21,97 bc

KK (%) 8,673 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76

Keterangan : angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.

Angka brix terbesar pada umumnya pada

batang bagian bawah kemudian disusul tengah

dan atas. Hal ini disebabkan karena selama

proses pemasakan, tebu menyimpan sukrosa

mulai dari batang bawah menuju ke atas

sampai ke pucuk tanaman. Dengan demikian

semakin ke atas kandungan sukrosanya

semakin kecil. Hasil ini sejalan dengan Toppa,

et al. (2010) yang melaporkan bahwa tiga ruas

dari batang bawah mengandung sukrosa lebih

tinggi dibanding-kan dengan ruas di atasnya,

begitu pula seterusnya. Angka brix terbesar,

baik pada umur 8 maupun 10 BST dan hampir

pada semua bagian batang (bawah, tengah,

dan atas) dimiliki oleh genotipe MLG 10189

disusul oleh NXI-1T, HCW 438 dan MLG 1308;

angka brix yang dihasilkan oleh 5 genotipe ini

lebih besar dibandingkan kedua varietas pem-

banding.

Produktivitas tertinggi dihasilkan oleh

genotipe MLG 1308 (85,96 ton/ha) disusul oleh

MLG 10198 (71,56 ton/ha) (Tabel 3). Produkti-

vitas kedua genotipe ini lebih tinggi dibanding-

kan varietas Kenthung, namun tidak berbeda

bila dibandingkan dengan PS 864 (74,70

ton/ha). Rata-rata produkivitas nasio-nal tebu

dibawah 70 ton/ha (Ditjenbun, 2017),

sedangkan Santoso, et al. (2015) menyatakan

bahwa produktivitas tebu diatas 70 ton/ha di

lahan kering sudah tergolong tinggi.

Rendemen tebu merupakan komponen

utama kedua dalam budidaya tebu. Dalam

penelitian ini, rendemen dipengaruhi oleh

genotipe yang digunakan (Tabel 3). Hasil yang

sama dilaporkan oleh Santoso, et al. (2015)

dan Heliyanto, et al. (2015). Tabel 3

menunjukkan bahwa rendemen genotipe yang

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38

36

Tabel 3. Keragaan panjang batang, jumlah batang, bobot batang, produktivitas, brix , rendemen dan hablur umur 10 bulan pada sepuluh genotipe tebu di lahan kering

Genotipe Panjang Batang (Cm)

Jumlah batang/m

Bobot Batang

(kg)

Produktivitas (ton/ha)

Brix Rata2

Rendemen (%)

Hablur (ton/ha)

HCW 438 132,33 d 5,67 de 1,031 cd 49,04 de 22,99 ab 10,89 ab 5,35 d

HCW 90 175,33 a 4,60 e 1,700 a 65,88 bc 19,69 e 9,32 e 6,16 b-d

HCW 440 93,33 e 6,53 cd 0,961 cd 55,15 cd 20,28 de 9,60 de 5,22 d

N XI-IT 165,00 a-c 5,53 de 1,245 bc 55,21 cd 23,47 a 11,11 a 6,10 cd

GMP 4 145,00 cd 8,00 bc 0,762 d 51,03 cd 23,54 a 9,44 de 5,06 d

MLG 10189 181,67 a 5,60 de 1,381 b 63,13 b-d 23,84 a 11,29 a 7,13 bc

MLG 10/198 170,00 ab 8,27 b 1,032 cd 71,56 ab 21,67 b-d 10,26 b-d 7,16 bc

MLG 1308 170,00 ab 10,13 a 1,049 cd 85,96 a 22,34 a-c 10,58 a-c 9,04 a

PS 864 (Kontrol) 187,00 a 6,40 d 1,432 b 74,70 ab 21,07 c-e 9,97 c-e 7,43 b

Kentung (Kontrol) 147,00 b-d 4,20 e 1,031 cd 35,70 e 20,53 de 9,72 de 3,53 e

KK/CV (%) 8,6 19,76 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76

Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.

diuji bervariasi dari 9,32 sampai 11,29.

Rendemen tertinggi dihasilkan oleh genotipe

MLG 10189 (11,29%) disusul oleh GMP4

(11,11%), HCW 438 (10,89%), dan MLG1308

(10,58). Rendemen ketiga genotipe tersebut

berbeda nyata dengan varietas pembanding

PS864 (9,97%) dan Kenthung (9,72%).

Genotipe tebu yang ditanam di lahan kering

dengan rendemen diatas 10% merupakan

genotipe yang berpotensi tinggi untuk pe-

ngembangan tebu di lahan kering.

Hasil hablur dipengaruhi oleh genotipe

tebu yang digunakan (Tabel 3). Genotipe MLG

1308 menghasilkan hablur tertinggi (9,04

ton/ha) dan berbeda dengan varietas pem-

banding PS 864 (7,43 ton/ha) dan Kenthung

(3,53 ton/ha), sedangkan 3 genotipe lainnya

(MLG 10198, MLG 10189 dan HCW 90) memiliki

hasil hablur yang tidak berbeda dengan PS 864,

masing-masing sebesar 7,16 ton/ha, 7,13

ton/ha, dan 6,16 ton/ha.

Uji Daya Hasil adalah tahap akhir dalam

upaya perakitan varietas tanaman (Kuswanto,

et al., 2009). Genotipe terpilih akan dievaluasi

lebih lanjut daya adaptasinya di beberapa

lokasi sebelum dilepas sebagai varietas unggul

baru. Genotipe dengan stabilitas luas akan

dilepas sebagai varietas unggul nasional,

sedangkan genotipe unggul dengan adaptasi

sempit akan dilepas sebagai varietas spesifik

lokasi. Dalam penelitian ini, secara kompre-

hensif, genotipe MLG 1308 terpilih sebagai

genotipe harapan untuk pengembangan tebu

di lahan dengan agroekologi kering. Genotipe

MLG 1308 merupakan hasil persilangan

biparental antara tebu (S. officinarum) dengan

gelagah (S. spontaneum). Menurut Pandey et

al. (2010), S. officinarum merupakan jenis tebu

dengan kandungan sukrosa tinggi dan batang

besar namun memiliki kandungan serat yang

rendah, sedangkan S. spontaneum adalah jenis

tebu liar yang mempunyai sifat ketahanan

terhadap hama/penyakit serta biomasa tinggi

(dicirikan dengan jumlah anakan banyak). Dengan demikian, diduga sifat unggul genotipe

MLG 1308 berasal dari kedua tetuanya.

Menarik untuk dicatat bahwa produksi

hablur genotipe MLG 1308 melampaui genotipe

NXI-1T, yang merupakan produk rekayasa

genetik (PRG) (Nurmalasari & Murdiyatmo,

2012) (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa

keragaan PRG tidak selalu memberikan hasil

yang superior dibandingan dengan keragaan

genotipe hasil persilangan konvensional. Kom-

pleksitas dan besarnya pengaruh lingkungan di

lapang seringkali menghambat kemampuan

meng-ekspresikan gen kekeringan yang telah

ditransfer ke genotipe NX1-1T, sehingga hasil

akhir berupa produktivitas tinggi yang diharap-

kan pada tanaman trasngenik tidak tercapai.

Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering

37

Fenomena yang sama dijumpai pada budidaya

kapas transgenik tahan hama Bt Bollgard (Nu

Cotton) di Sulawesi Selatan pada MT 2001 dan

2002. Gen Bt (gen penyandi ketahanan ter-

hadap penggerek buah dan pucuk) yang

ditransfer ke genom tanaman kapas ternyata

tidak mampu memberikan hasil dan

keuntungan yang berbeda dengan kapas lokal

hasil persilangan konvensional. Lebih lanjut

dilaporkan oleh (Hasnam & Sulistyowati, 2007)

bahwa serangan hama non target yaitu

Amrasca biguttula (wereng kapas) yang cukup

parah (akibat pekanya varietas transgenik Nu

Cotton) dan mahalnya harga benih kapas

transgenik adalah dua faktor yang menyebab-

kan gagalnya pengembangan kapas transge-

nik di Propinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena

itu perakitan varietas menggunakan metode

konvensional melalui persilangan masih dapat

diandalkan untuk memperoleh varietas unggul.

KESIMPULAN

Pertumbuhan dan hasil tebu di lahan

dengan agroekologi kering beragam antar

genotipe. MLG 1308 adalah genotipe harapan

untuk mendukung pengembangan tebu di

lahan kering. Oleh karena itu, genotipe ini

perlu diuji multilokasikan agar dapat dilepas

sebagai varietas unggul baru (VUB) untuk

pengembangan tebu di lahan kering.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada para penelaah naskah ini yang telah

memberikan masukan yang sangat

bermanfaat. Penelitian ini biayai oleh DIPA

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

(Balittas) tahun anggaran 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M., Baiyeri, K.P., Echezona, B.C., 2014. Evaluation of organic mulch on the growth and yield of sugarcane (Saccharum ojficinarum L.)

in a southern guinea savannah of Nigeria. The Journal of Animal &. Plant Sciences 24, 329–335.

Anonim, 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 35 p.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. In: Tebu 2015-2017. p. 40 pp.

Gomathi, R., Rao, P.N.G., Rakhiyappan, P., Sundara, B.P., Shiyamala, S., 2013. Physiological studies on ratoonability of sugarcane varieties under tropical Indian condition. American Journal of Plant Sciences 4, 274–281.

Hasnam, M., Sulistyowati, E., 2007. Kemajuan Genetik Varietas Unggul Kapas Indonesia Yang Dilepas Tahun 1990-2003. Perspektif. 6, 19–28.

Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S., 2015. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 45 p.

Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S., 2016. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 51.

Heliyanto, B., Marjani, Anggraini, T.A., Sumartini, S., Sulistyowati, E., 2013. Perakitan varietas unggul tebu tahan lingkungan sub optimal secara konvensional dan transgenik untuk mendukung swa sembada gula. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 55 p.

Heliyanto, H., Sumartini, S., Basuki, S., 2014. Perakitan varietas tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi untuk pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 52 p.

Khan, I.A., Bibi, S., Yasmin, S., Khatri, A., Seema, N., Abro, S.A., 2012. Correlation studies of agronomic traits for higher sugar yield in sugarcane. Pakistan Journal ofBotany. 44, 969–971.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38

38

Kuswanto, Waluyo, B., Sutopo, L., Affandi, A., 2009. Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kacang Panjang Toleran Hama Aphid dan Berdaya Hasil Tinggi. Agrivita 31, 31–40.

Mardianto, S., Simatupang, P., Hadi, P.U., Malian, H., Susmiadi, A., 2005. Peta jalan (Road map) dan kebijakan pengembangan industri gula nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23, 19–37.

Nurmalasari, M., Murdiyatmo, U., 2012. Keragaan tebu produk rekayasa genetika (PRG) toleran kekeringan pada berbagai tipe lahan dan iklim. Makalah Seminar Kongress IKAGI di Surabaya, 8-9 Februari 2012.

Oldeman, L.R., 1975. An Agroclimatic Map of Java. Central Research Institut for Agricultur., Bogor.

Pandey, D.K., Kumar, S., Singh, P.K., Singh, J., Swapna, M., Singh, R.K., 2010. Biodiversity of Sugarcane (Saccharum Species) for Development and Poverty Alleviation. National. Conference on Biodiversity, Development and Poverty Alleviation 22nd May 2010. IISR, Lucknow. 57–60.

Panwar, R.N., Keerio, H.K., Keerio, A.R., 2014. Evaluation of sugarcane genotypes for yield contributing traits under thatta conditions. Pakistan J. Agric. Res. 18, 34–36.

Rasyid, A., Mulyadi, M., Sofiah, S., 2006. Kebun peragaan dan kesesuian varietas tebu unggul terhadap fisik lingkungan. Agritek. 15, 1–11.Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni, S.D., 2015. Uji adaptasi varietas unggul tebu pada kondisi agroekologi kering. Jurnal Littri 21, 109–116.

Sinaga, B.M., Susila W R, 2005. Pengembangan industri gula Indonesia yang kompetitif pada situasi persaingan yang adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24, 1–9.

Smiullah, F.A., Khan, U., Ijaz, L., Abdullah, M., 2013. Genetic variability of different morphological and yield contributing traits in different accession of Saccharum ojficinarum L. Universal Journal of Plant Science. 1(2): 43-4, 43–48.

Tolera, B., Diro, M., Belew, D., 2014. Effects of 6-benzyl aminopurine and kinetin on in vitro shoot multiplication of sugarcane (Saccharum officinarum L.) varieties. Advances in Crop Sciences and Technology. 2, 1–5.

Toppa, E.V.B., Jadoski, C.J., Julianetti, A., Hulshof, T., Ono, E.O., Rodrigues, J.D., 2010. Toppa, E.V.B., C.J. Jadoski, Physiology Aspects of Sugarcane Production. http://revistas.unicentro.br/index.php/repaa/article/viewFile/ 1065/1257. [Diunduh Tgl. 19 Juni 2013].

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

39

Strategi Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Nurindah dan Titiek Yulianti

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang

Email: [email protected] Diterima: 4 April 2018; direvisi: 20 Mei 2018; disetujui: 26 Mei 2018

ABSTRAK

Fenomena perubahan iklim terjadi karena aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan, diantaranya adalah deforestasi, emisi gas dari kegiatan industri, dan pembakaran biomassa. Komponen iklim yang

berubah, yaitu peningkatan suhu udara, konsentrasi CO2 dalam atmosfer, dan hujan berpengaruh terhadap tanaman tebu, serangga serta mikro organisme yang berasosiasi dengan tanaman tebu. Perubahan iklim

lebih banyak menyebabkan pengaruh negatif terhadap tanaman tebu dan interaksi trofik antara tanaman

tebu, serangga herbivora dan mikro organisme penyebab penyakit tanaman dan musuh alami herbivora maupun antagonis mikro organisme. Peningkatan suhu udara menyebabkan perubahan fisiologis pada

tanaman tebu yang berakibat meningkatnya infestasi serangga herbivora dan infeksi patogen penyebab penyakit tanaman. Peningkatan komposisi CO2 dalam atmosfer menurunkan sistem ketahanan tanaman

terhadap herbivora, sehingga dapat memicu terjadinya out break; dan berpengaruh positif, negatif, maupun tidak berpengaruh terhadap perkembangan penyakit tanaman. Perubahan iklim mengharuskan sistem

pengelolaan serangga hama dan penyakit tanaman tebu untuk menerapkan aksi mitigasi maupun adaptasi

perubahan iklim untuk memperoleh produksi tebu yang optimal dan sistem budidaya tebu yang berkelanjutan. Dalam tinjauan ini dibahas pengaruh perubahan iklim terhadap perkembangan serangga

hama dan patogen penyebab penyakit pada tanaman tebu, serta strategi pengelolaannya.

Kata kunci: penggerek tebu, luka api, tebu, perubahan iklim

Management Strategy for Sugarcane Pests to Anticipate the Climate Change

ABSTRACT

Climate change phenomenon occurs due to human activities in managing the environment, such as deforestation, gas emissions from industrial activities, and biomass burning. The changing of climate

components, ie, rising air temperatures, CO2 concentration in atmosphere, and precipitation have an effect on sugarcane, as well as on insects and micro-organisms associated with sugarcane. Climate change causes

negative effects on sugar cane and trophic interactions between sugarcane crops, herbivorous insects and

plant-causing micro-organisms and natural enemies of herbivores as well as micro-organism antagonists. Increased temperatures lead to physiological changes in sugarcane resulting in increased insect infestation

of herbivores and pathogenic infections o the plant. Increased CO2 composition in atmosphere decreases the plant resistance system to herbivores, thus triggering an outbreak; and may have a positive, negative, or no

effect on the development of the diseases. Climate change requires pest and sugarcane pest control systems to implement climate change mitigation and adaptation actions to obtain optimal cane production and

sustainable sugarcane cultivation systems. In this review, we discussed the effects of climate change on the

development of insect pests and pathogen causes of disease in sugarcane crops, and the strategy to manage them.

Keywords: climate change, sugarcane borer, sugarcane smut

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:39−53 Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v9n1.2018.39−54

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

40

PENDAHULUAN

klim dalam suatu wilayah didefinisikan

sebagai suatu kondisi atau keadaan rata-

rata cuaca pada suatu daerah yang luas,

ditentukan berdasarkan perhitungan waktu

yang lama (11 hingga 30 tahun) dan

dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi

wilayah tersebut. Aktivitas di bidang

pertanian yang berhubungan dengan

kebutuhan tanaman atas komponen iklim,

misalnya ketersediaan air dari curah hujan,

suhu, kelembapan udara, dan intensitas

penyinaran matahari, ditentukan berdasarkan

pola iklim yang ada, sehingga waktu tanam

maupun tindakan antisipasi proteksi tanaman

dari cekaman biotik maupun abiotik dapat

direncanakan. Pada saat sekarang, telah

banyak bukti bahwa telah terjadi perubahan

iklim dimana perubahan ini disebabkan karena

aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan

hidupnya. Deforestasi, emisi pabrik hasil

kegiatan industri, pembakaran biomassa

karena alih fungsi lahan maupun dalam

rangka manajemen lahan, secara nyata telah

menyebabkan perubahan komposisi gas

dalam atmosfer serta meningkatkan emisi

gas-gas radioakif, yang dikenal sebagai

greenhouse gases, seperti gas CO2, methane,

dan oksidasi N. Akibat lanjut dari terjadinya

perubahan komposisi gas dalam atmosfer

tersebut antara lain adalah perubahan pola

hujan, waktu siklus kering dan banjir yang

memendek, meningkanya inensitas dan

frekuensi gelombang panas dan dingin. Rata-

rata kenaikan suhu pada permukaan bumi

adalah 0.74±0.18°C pada abad lalu, dan akan

terjadi kenaikan 1.1°C-6.0°C pada awal

hingga akhir abad ini (Stefan Rahmstorf et al.,

2007). Perubahan iklim berdampak luas

terhadap sistem pertanian yang meliputi

sumber daya, infrastruktur pertanian, dan

sistem produksi, hingga ketahanan pangan,

kesejahteraan petani dan masyarakat pada

umumnya (Hannah et al ., 2005).

Di Indonesia, salah satu dampak dari

perubahan iklim dikenal sebagai anomali iklim,

yaitu berubahnya pola curah hujan dan makin

meningkatnya intensitas kejadian iklim

ekstrim, misalnya fenomena El-Nino dan La-Nina, serta naiknya permukaan air laut akibat

pencairan gunung es di kutub utara (Las et

al., 2011). Perubahan unsur iklim tersebut

berdampak pada pergeseran musim, yaitu

semakin singkatnya musim hujan namun

dengan curah hujan yang lebih besar yang

akhirnya menyebabkan kerusakan pada

budidaya tanaman. Pada umunya dampak dari

perubahan faktor abiotik tersebut menyebab-

kan terjadinya penurunan hasil pertanian

karena adanya perubahan dalam keragaman

tanaman yang dibudayakan dan meningkat-

nya kejadian infestasi serangga hama dan

infeksi oleh patogen penyebab penyakit

tanaman. Pergeseran musim hujan dan

perubahan suhu akan berakibat terhadap

periode ketersediaan air sehingga terjadi

perubahan musim tanam dan panen tebu.

Perubahan iklim ini juga akan mempengaruhi

ketersediaan lahan, transpirasi, fotosintesis,

dan produksi biomasa.

Perubahan iklim yang terjadi di India

menyebabkan kerusakan oleh serangga pada

tanaman yang dibudidayakan sangat beragam

pada zona agroklimat yang berbeda, karena

adanya perbedaan pengaruh dari beberapa

faktor abiotik, seperti suhu, kelembapan dan

curah hujan (Sharma, 2016). Di Indonesia,

pada kondisi El Nino, kedelai, padi sawah, dan

jagung mengalami penurunan produksi

masing-masing sebesar 10,7%, 2,9%, dan

7,4%, sebaliknya pada kondisi La-Nina padi

dan jagung mengalami peningkatan produksi

masing-masing sebesar 2,4% dan 3,9%

(Santoso, 2016).

Menurut Srivastava (2012), pertumbuh-

an tanaman tebu sangat tergantung jumlah

dan lama presipitasi, sinar matahari, curah

hujan, kelembapan, serta suhu dan kadar air

tanah. Sebagai contoh, Fageria et al. (2010)

menyatakan bahwa suhu optimum untuk tebu

adalah 32-38oC. Suhu di atas 38oC akan

meningkatkan respirasi tetapi mengurangi

kecepatan fotosintesis. Bahkan suhu di atas

I

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

41

35oC sudah membahayakan tunas dan daun

muda. Sementara itu, Gouvêa et al. (2009)

memprediksi bahwa potensi produksi tanaman

tebu akan meningkat dengan meningkatnya

suhu udara karena suhu udara kenaikan suhu

meningkatkan efisiensi fotosintesis tanaman

C4. Curah hujan 600-3000 mm dibutuhkan

tebu untuk pertumbuhan vegetatifnya, baik

pemanjangan ruas, maupun pembentukan

buku, namun saat pembentukan gula

dibutuhkan curah hujan yang lebih rendah.

Dengan demikian, fenomena perubahan iklim

global, maupun perubahan kondisi cuaca lokal

akan sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan produksi tebu.

Komponen iklim, seperti suhu,

kelembapan udara, konsentrasi CO2 pada

atmosfer, tidak hanya berpengaruh negatif

terhadap pertumbuhan tanaman tebu, tetapi

juga berpengaruh negatif terhadap mikroorga-

nisme yang secara langsung maupun tidak

langsung terlibat dalam pertumbuhan maupun

produksi tebu. (Park et al., 2008) melaporkan

bahwa perubahan suhu dapat berakibat

terjadinya infestasi serangga hama spesies

baru dan infeksi patogen penyebab penyakit

jenis baru di areal pertanaman tebu.

Fenomena perubahan iklim berpenga-

ruh terhadap agroekosistem dan secara

langsung maupun tidak langsung, yaitu

adanya perubahan penyebaran geografis

serangga hama dan musuh alaminya,

perubahan ketersediaan sumber pakan yang

selanjutnya berpengaruh terhadap perubahan

jenis hama. Perubahan-perubahan tersebut

memungkinkan berkurangnya spesies hama

dan berpotensi munculnya hama sekunder

dengan penyebaran yang lebih luas (Tripathi

et al. 2016; War et al., 2016; Sharma, 2014).

Peningkatan suhu dan kelembapan udara

akibat perubahan iklim sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan daya

hidup serangga (Sharma, 2014). Perubahan

iklim menyebabkan Helicoverpa armigera

(Hubner) yang sebelumnya hanya dilaporkan

ditemukan di Asia, telah dilaporkan sebagai

hama baru di Brazil dan Amerika Utara

sebagai akibat perubahan iklim (Tay et al.,

2013; War et al. 2016), sementara kutu putih

Ceratovacuna lanigera Zehntner menjadi

hama utama tebu di Maharastra, India (Bade

& Ghorpade, 2009).

Komponen iklim yang berpengaruh

terhadap perkembangan, penyebaran, dan

daya hidup patogen penyebab penyakit

tanaman adalah suhu, hujan, kelembapan,

embun, radiasi, dan kecepatan angin

(Linnenluecke et al., 2018). Peningkatan

suhu, kelembapan udara, dan curah hujan

berakibat pada percepatan penyakit tanaman,

karena kondisi vegetasi yang basah

memberikan lingkungan yang optimal bagi

perkecambahan spora dan perkembangbiakan

bakteri dan jamur, serta berpengaruh

terhadap siklus hidup nematoda tanah dan

organisme lainnya.

Tindakan pencegahan terhadap

perubahan iklim agar tidak berpengaruh

negatif terhadap sistem produksi pertanian

tidak mungkin dilakukan, tetapi upaya untuk

mengurangi dampak negatif (mitigasi)

perubahan iklim masih mungkin dilakukan.

Selain mitigasi yang merupakan strategi

mengatasi dampak dalam jangka pendek,

strategi adaptasi terhadap perubahan iklim

merupakan tindakan yang harus dilakukan

untuk mengatasi pengaruh negatifnya terha-

dap sistem budidaya tebu yang berkelanjutan

dan untuk jangka panjang. Terjadinya

perubahan iklim dan perubahan teknik

budidaya tanaman menyebabkan perlunya

dilakukan penyusunan strategi untuk mitigasi

dan adapasi terhadap perubahan iklim

tersebut, diantaranya adalah strategi dalam

pengelolaan hama dan penyakit tanaman,

sehingga penurunan hasil yang disebabkan

oleh hama dan penyakit dapat ditekan. Untuk

pengembangan tindakan adaptasi terhadap

perubahan iklim dalam sistem pengelolaan

serangga hama dan penyakit tanaman tebu

memerlukan pemahaman tentang pengaruh

langsung perubahan komponen iklim terhadap

serangga hama dan patogen penyebab

penyakit, serta interaksi yang ada antara

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

42

tanaman dan serangga maupun mikro

organisme yang berasosiasi dengan tanaman

tebu. Tinjauan ini membahas dampak

perubahan iklim terhadap serangga dan mikro

organisme yang berasosiasi dengan tanaman

tebu, termasuk dinamika infestasi hama dan

infeksi patogen penyebab penyakit pada tebu,

serta penyusunan strategi pengelolaannya

sebagai aksi mitigasi dan adaptasi terhadap

perubahan iklim tersebut

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SERANGGA YANG

BERASOSIASI DENGAN TANAMAN TEBU

Perubahan iklim yang merupakan

kondisi adanya perubahan komponen iklim, diantaranya adalah peningkatan suhu udara, peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer, dan kelembapan udara, atau biasanya disebut faktor abiotik, mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap serangga-serangga, baik herbivora (pemakan tumbuh-an) maupun karnivora (pemakan serangga lain atau musuh alami serangga) yang berasosiasi dengan tanaman tebu. Pengaruh langsung perubahan faktor abiotik tersebut terhadap serangga meliputi pengaruh terhadap perubahan fisiologi, perilaku, dan penyebaran populasi (Lastvka, 2009). Pengaruh tidak langsung perubahan faktor abiotik berhubungan dengan perubahan yang terjadi pada tanaman tebu sebagai sumber pakan serangga herbivora yang juga berpengaruh terhadap perilaku, kebugaran, dan penyebaran populasi.

Kenaikan suhu udara akibat dari perubahan iklim diproyeksikan berpengaruh terhadap fisiologis tanaman tebu yang berakibat pada peningkatan pertumbuhan pada waktu musim dingin dan meningkatkan efisiensi panen di Zimbabwe, akan tetapi berpengaruh terhadap peningkatan populasi serangga hama dan luas infeksi penyakit (Chandiposha, 2013). Kenaikan suhu udara berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kecambah benih tebu (Rizwan Rasheed et al.,

2011), sehingga berakibat pada penurunan populasi tanaman. Selain itu, kondisi suhu udara di atas 32°C menyebabkan ruas memendek, jumlah ruas bertambah banyak, kandungan serat dalam batang tebu meningkat, dan kandungan sukrosa menurun (Bonnett, 2014).

Perubahan fenologi dan fisiologi tanaman sebagai akibat dari perubahan iklim, berpengaruh terhadap perkembangan herbivora, ketersediaan inang dan mangsa bagi musuh alami serangga herbivora (Boullis et al., 2015; Walther et al., 2002). Perubahan iklim menyebabkan tanaman seringkali mengalami cekaman kekeringan, hal ini akan menurunkan sistem pertahanan tanaman (Dhaliwal et al., 2010). Perubahan komponen iklim sebagai akibat dari fenomena perubahan iklim, seperti peningkaan suhu, CO2, kelembapan udara, dan pola hujan, akan mengubah sistem dalam tanaman maupun herbivora. Pengaruh perubahan iklim ini terhadap interaksi antara tanaman dan herbivora di daerah tropis sangat nyata (Zvereva & Kozlov, 2006; Niziolek et al., 2012).

Perubahan pada tanaman, yang merupakan inang bagi herbivora, menyebab-kan perubahan juga terhadap penyebaran dan dinamika populasi serangga hama, interaksi antara serangga dan tanaman inangnya, aktivitas dan kelimpahan populasi musuh alami, serta efektivitas teknik pengen-dalian hama. Seringkali dengan menurunnya sistem pertahanan tanaman akibat fenomena perubahan iklim menyebabkan terjadinya peningkatan populasi serangga hama yang drastis (pest outbreak). Selama tahun 2002 hingga 2003, di India terjadi kehilangan hasil tebu hingga 30% yang disebabkan karena adanya infestasi aphis Ceratovacuna lanigera yang menyerang daun, sehingga menurunkan daya pemulihan tanaman (Joshi & Viraktamath, 2003; Srikanth et al. 2009).

Pengelolaan hama pada tanaman tebu di Indonesia pada umumnya menerapkan sistem pengendalian secara hayati, yaitu memanfaatkan musuh alami dalam sistem pengendalian hama. Oleh karena itu perlu pemahaman yang menyeluruh tentang

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

43

pengaruh perubahan iklim terhadap fisiologi dan fenologi tanaman, dinamika populasi serangga hama dan musuh alaminya, sehingga dapat dilakukan pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Hal yang penting untuk dipahami adalah pengaruh lingkungan abiotik akibat perubahan iklim terhadap interaksi tritrofik antara tanaman inang, herbivora, dan musuh alaminya, sehingga dapat dikembangkan teknik pengendalian hayati yang efektif.

Perkembangan serangga sangat dipengaruhi oleh suhu udara (ecothermal) (Tripathi et al., 2016; Bale et al., 2002), sehingga perubahan suhu akan berpengaruh terhadap interaksi serangga dengan tanaman, musuh alami, polinator, dan organisme lain, yang berperan penting dalam pelayanan ekologi (Boullis et al., 2015; Sharma, 2014). Pada suhu yang masih dalam batas toleransi, kenaikan suhu dapat meningkatkan laju perkembangan serangga, sehingga siklus hidup lebih pendek dan jumlah generasi dalam satuan waktu lebih banyak. Suhu yang tinggi akan memperpendek umur serangga. Perubahan suhu juga mengubah pola aktivitas diurnal serangga dan interkasi interspesifik, sehingga juga mengubah efektivitas musuh alami, misalnya pengaruh terhadap fekunditas dan sex ratio parasitoid (Dhillon & Sharma, 2009). Dengan demikian, peningkatan suhu akan berpengaruh dalam strategi pengelolaan hama secara hayati. .

Selain suhu, CO2 dilaporkan dapat menurunkan pertahanan tanaman terhadap serangga hama (IPCC, 2014; Niziolek et al., 2012). Meningkatnya konsentrasi CO2 menye-babkan menurunnya kandungan nitrogen dalam daun, sehingga terjadi peningkatan komsumsi oleh serangga pemakan daun hingga 40% (Belskaya & Vorobeichik, 2013). Pada kondisi kekeringan dan adanya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer, menyebabkan terjadinya outbreak populasi herbivora (Sharma, 2014). Peningkatan CO2, suhu dan hujan menyebabkan menurunnya kualitas nutrisi tanaman bagi herbivora yang selanjutnya berpengaruh terhadap kebugaran herbivora tersebut. Penurunan kebugaran herbivora akan berpengaruh negatif terhadap

perkembangan musuh alaminya (parasitoid dan predator) (Boullis et al. 2015; Huang et al. 2008; Selvaraj 2013). Tanaman yang mempunyai daya adaptasi rendah terhadap perubahan iklim akan berdampak positif terhadap herbivora yang memnfaatkan tanaman tersebut. Interaksi antara serangga herbivora dengan musuh alaminya dipenga-ruhi oleh toleransi herbivora terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim dan laju pergerakannya (War et al., 2016). Selain dipengaruhi oleh kondisi inangnya, perkem-bangan musuh alami serangga hama juga dipengaruhi secara langsung oleh komponen iklim. Parasitisasi oleh parasitoid telur Trichogramma spp meningkat dengan menu-runnya jumlah curah hujan, dan sebaliknya menurun dengan meningkatnya jumlah curah hujan (Prasad & Bambawale, 2010).

Interaksi interspesies antara tanaman dan herbivora melibatkan senyawa volatil, yaitu senyawa metabolit sekunder yang diproduksi oleh tanaman yang dapat dideteksi oleh herbivora, sehingga terjadi penemuan inang tanaman (host location) oleh serangga. Interaksi tritrofik antara tanaman, herbivora dan musuh alaminya juga melibatkan senyawa volatil, baik yang diproduksi oleh tanaman maupun oleh herbivora, sehingga musuh alami dapat menemukan inang atau mangsanya. Perubahan iklim, khususnya suhu dan konsentrasi CO2, berpengaruh terhadap penyebaran dan emisi senyawa volatil yang diproduksi oleh tumbuhan (dikenal sebagai Herbivore Induced Plant Volatiles-HIPV) dan digunakan oleh musuh alami untuk menemukan inang atau mangsanya (Helmig et al., 2007; Thomson et al., 2010). Selain itu, peningkatan CO2 juga berpengaruh terhadap persepsi musuh alami pada volatil tersebut, sehingga kemampuan untuk menemukan inang atau mangsa berkurang (Yuan et al., 2009; Thomson et al., 2010; Veromann et al., 2013). Adanya perubahan emisi volatil ini menyebabkan hos location oleh musuh alami menjadi tergang-gu, sehingga berakibat pada efektivitas pengendalian alami hama oleh parasioid atau predatornya.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

44

Hasil interaksi trofik dapat diamati sebagai suatu kondisi dalam satu ekosistem, misalnya tingkat kerusakan tanaman oleh serangga herbivora, tingkat parasitisasi serangga herbivora oleh parasitoidnya atau tingkat pemangasaan oleh predatornya, dipengaruhi oleh komponen iklim. Cekaman akan keterbatasan air (water stress) juga berpengaruh terhadap pelepasan senyawa volatil oleh tanaman (Takabayashi et al., 1994), sehingga berpengaruh juga terhadap host location herbivora terhadap tanaman inangnya. (Pare & Tumlinson, 1999) melaporkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan lebih mudah ditemukan oleh herbivora dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengalami cekaman kekeringan. Adanya perubahan interaksi multitrofik ini berakibat pada berubahnya dinamika populasi serangga hama (Stavrinides et al., 2010), sehingga srategi pengelolaan hama juga harus berubah untuk meningkatkan efektivitas teknik pengendalian dan menekan kehilangan hasil.

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PATOGEN PENYEBAB

PENYAKIT TEBU

Penyakit juga merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap penurunan produksi

tebu di Indonesia. Diperkirakan kerugian

akibat penyakit ini mencapai 0,6-1,2 trilyun

rupiah setiap tahunnya. Ada tiga faktor

utama yang saling berinteraksi sehingga

menyebabkan munculnya suatu penyakit

(Francl, 2001), inang yang rentan, kebera-

daan patogen yang virulen, dan lingkungan

yang optimum bagi pertumbuhan suatu

patogen penyebab penyakit termasuk

manusia dan serangga vektor (Rott et al.,

2013). Jika ketiga faktor tersebut tidak

selaras, maka tidak akan terjadi suatu

penyakit.

Hansen et al. (2006) menyatakan bahwa

dalam tiga dasa warsa terakhir, suhu udara

telah meningkat sekitar 0.6 oC sehinga

menyebabkan perubahan siklus air. Kondisi

ini memicu terjadinya cuaca ekstrim

(kekeringan atau curah hujan yang berlebih-

an). Kenaikan suhu dan perubahan iklim

secara global adalah akibat naiknya

konsentrasi CO2, dan gas-gas ‘green house’

lainnya dalam atmosfer. Menurut Canadell et

al. (2007), sejak tahun 2000, laju peningkatan

konsentrasi CO2 di udara sangat cepat

dibanding beberapa dasa warsa sebelumnya.

Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman tebu maupun patogen

penyebab penyakit. Bahkan Srivastava & Rai,

(2012) menyebutkan bahwa perubahan iklim

juga berpengaruh terhadap semua

mikroorganisme yang berperan secara

langsung maupun tidak langsung dalam

pertumbuhan maupun produksi gula.

Perubahan cuaca baik musim dan curah hujan

serta suhu akan berpengaruh terhadap masa

tanam tebu dan kesesuaian lahan, dan ini

akan berkaitan erat dengan dinamika populasi

dan sebaran patogen. Pergeseran serta

introduksi tanaman tebu ke area baru untuk

menyesuaikan perubahan iklim ini juga

berpotensi menyebarkan patogen ke daerah

baru atau menginfeksi tanaman inang lain

yang baru. Kondisi tersebut akan

mempengaruhi dinamika populasi patogen

dan juga epidemiologi suatu penyakit. Genus-

genus seperti Rhizoctonia, Sclerotinia

Sclerotium dan jamur nekrotrofik lainnya bisa

membentuk strain baru yang lebih agresif

dengan inang yang lebih luas, dan migrasi

dari agroekosistem ke ekosistem alam.

Bahkan patogen-patogen penghuni ekosistem

alam yang tadinya kurang agresif akan

migrasi ke agroekosistem yang monokultur di

dekatnya dan menimbulkan kerusakan

(Chakrabortya et al., 2000) Hal ini terjadi

karena jamur mampu beradaptasi dengan

cepat dalam lingkungan yang baru

(Chakraborty & Datta, 2003) Peningkatan konsentrasi CO2 dan suhu

di udara dapat berpengaruh positif, negatif,

atau tidak terlalu berpengaruh terhadap

kehidupan patogen penyebab penyakit.

Banyak pakar memprediksi bahwa peningkat-

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

45

an kadar CO2 akan meningkatkan

pertumbuhan daun, batang, dan akar, bahkan

juga jumlah anakan dan biomasa tanaman

serta kualitas nutrisi yang otomatis akan

menaikkan produksi. Meningkatnya pertum-

buhan tanaman akan meningkatkan

konsentrasi karbohidrat yang dihasilkan oleh

tanaman, akibatnya patogen-patogen yang

sangat tergantung dengan karbohidrat akan

semakin tinggi populasinya. Kerapatan kanopi

dan tanaman yang lebih subur akan

meningkatkan kelembapan sehingga sporulasi

dan penyebaran jamur-jamur tersebut juga

meningkat (Ghini et al., 2008) sehingga

kejadian penyakit-penyakit daun lebih

meningkat akibat naiknya kelembapan mikro

dan luas area daun (Burdon, 1987).

Akibatnya, penggunaan pestisida diprediksi

naik 15-20 kali (Chakraborty & Newton,

2011). Peningkatan CO2 juga meningkatkan

persaingan tanaman dengan gulma yang juga

mengalami peningkatan pertumbuhan. Hal ini

juga berarti terjadi peningkatan kesempatan

patogen untuk tumbuh di dalam inang lain.

Itulah sebabnya, Torriani et al., (2007)

menyatakan bahwa di negara-negara tropis,

perubahan iklim global secara tidak langsung

menyebabkan produksi beberapa komoditas

pertanian menurun meskipun secara teori

seharusnya meningkat. Biaya produksipun

diperkirakan meningkat.

Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu

Meningkat akibat Perubahan Iklim

Global

Keparahan beberapa penyakit tanaman

meningkat disertai kisaran yang lebih luas

akibat perubahan iklim global (Evans et al.,

2008). Dalam kondisi cukup air, meningkatnya

kadar CO2 meningkatkan perumbuhan dan

produksi biomasa kering tanaman C4 rumput-

rumputan dari famili Poaceae (Wand et al.

1999; Ziska et al. 1999). Pada tanaman tebu

luas area daun naik 56%, berat kering naik

74% dan volume nira naik 164% ketika

ditumbuhkan dalam ruang yang mengandung

konsentrasi CO2 dua kali normal (700

umol/mol) dan suhu 5oC di atas normal (Vu et

al., 2002). Suhu optimum untuk fostosintesis

bagi tanaman tebu (C4) lebih tinggi

dibandingkan tanaman kelompok C3,

kapasitas fotosintesis tanaman C4 juga lebih

tinggi pada suhu yang lebih tinggi

dibandingkan tanaman C3 (Matsuoka et al.,

2001). Sementara itu, Vara Prasad et al.

(2009) menambahkan bahwa pertumbuhan

vegetatif lebih besar pada suhu 36/26 °C

dibanding pada suhu 30/20°C. Meningkatnya

biomasa tanaman serta pengembalian residu

tanaman tebu ke lahan berpotensi meningkat-

kan sumber inokulum patogen-patogen yang

mampu hidup sebagai saprofit. Sementara

itu, meningkatnya CO2 di dalam tanah akan

memperlambat proses dekomposisi (Ball,

1997) sehingga penumpukan sisa-sisa

tanaman yang digunakan sebagai mulsa atau

sumber nutrisi bagi tanaman tebu menjadi

tempat yang paling sesuai untuk bertahan

hidup bagi jamur-jamur patogen tular tanah

seperti Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Tanatheporus cucumeris, Xylaria warbugii dan Fusarium moniliforme. Hal ini didukung

oleh hasil penelitian Melloy et al. (2010) yang

melaporkan bahwa kemampuan Fusarium graminearum penyebab penyakit busuk pada

gandum bertahan hidup sebagai saprofitik

tidak berubah pada kondisi di mana

konsentrasi CO2 dalam tanah meningkat,

sementara biomasa gandum pun meningkat,

sehingga inokulum patogen yang bertahan

pada sisa sisa tanaman maupun tunggul

gandum semakin tinggi. Peningkatan CO2

juga menyebabkan peningkatan kejadian

penyakit rebah kecambah oleh Rhizoctonia solani pada tanaman kapas (Runion et al. 1994). Garrett et al. (2006) menyatakan

bahwa kenaikan suhu akibat pemanasan

global meningkatkan kemampuan jamur-

jamur patogen tular tanah bertahan hidup dan

kisaran inangnya menjadi lebih banyak.

Dengan demikian, kenaikan suhu juga akan

meningkatkan kemampuan jamur-jamur yang

menginfeksi akar sehingga kejadian penyakit

diprediksi akan meningkat di musim berikut-

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

46

nya, meskipun keparahnnya tergantung

kepada kelembapan tanah (Sukumar &

Chakraborty, 2008). Pengendalian yang

paling efektif untuk kasus ini adalah dengan

menambahkan mikroba antagonis yang

sekaligus memiliki kemampuan dekomposisi

baik ke dalam serasah tebu atau di dalam

tanah yang ditutup mulsa/residu daun tebu.

Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis

yang sangat populer sekaligus mampu

sebagai dekomposer (Sharma et al., 2012).

Penambahan vermicompost atau introduksi

cacing ke dalam tanah juga akan

meningkatkan ketahanan tanaman karena

meningkatkan aktivitas dan keragaman

mikroorganisme-mikroorganisme yang mampu

berfungsi sebagai antagonis, penghasil

hormon & enzim perangsang pertumbuhan

(Pathma & Sakthivel, 2012).

Meskipun peningkatan CO2 mampu

meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun

peningkatan suhu udara akan meningkatkan

evapotranspirasi sehingga tanaman akan

kehilangan air lebih banyak, dan menga-

kibatkan tanaman mengalami stres air

(Coakley et al., 1999). Tanaman yang stress

cenderung rentan terhadap serangan

patogen. Kondisi panas namun sedikit lembab

di malam hari merupakan kondisi yang cocok

bagi jamur luka api (Sporisorium scitamineum). Suhu optimum bagi jamur ini

adalah 30-31oC. Penyakit luka api merupakan

penyakit yang paling banyak ditemui di

hampir seluruh perkebunan tebu di Indonesia,

terutama di Jawa. Kerugian yang diakibatkan

oleh penyakit ini semakin tinggi akibat kepras

yang lebih dari tiga kali. Pada tahun 2016

terjadi ledakan penyakit luka api di beberapa

sentra perkebunan tebu di Jawa dan Sulawesi.

Bahkan varietas BL yang dulu merupakan

varietas yang toleran-tahan, hampir 80%

terserang (Eka Sugiharta, komunikasi pribadi).

Menurut (Rott et al. 2013) ketahanan tebu

terhadap S. scitamineum hampir konsisten

sampai beberapa dekade, meskipun ada 2-3

ras yang berbeda di Hawai, Pakistan, Filipina,

dan Taiwan. Namun sejarah membuktikan

bahwa penanaman satu jenis varietas tebu

selama kurun waktu yang lama akan

menimbulkan masalah penyakit baru

(Magarey et al., 2011). Varietas BL

merupakan varietas yang paling disukai petani

dan ditanam secara luas sejak tahun 2003.

Tampaknya selain sistem ketahanan

berdasarkan interaksi gen to gen (Rott et al.,

2013), perubahan iklim juga ikut berpengaruh

terhadap ledakan penyakit ini.

Cuaca ekstrim seperti hujan di musim

kemarau akan memicu terjadinya ledakan

penyakit noda kuning yang disebabkan oleh

jamur Mycovellosiella koepkei. Jamur ini akan

berkembang pesat pada suhu antara 28oC

(optimum) dan 34°C (maksimum) dan

kelembapan udara di atas 80% disertai

frekuensi mendung yang lebih sering dan

periode hujan yang lama (Ricaud & Autrey,

1989). Koike & Gillaspie (1989) juga

menyatakan bahwa kondisi tersebut di atas

juga akan meningkatkan kejadian penyakit

mosaik. Selain itu, meningkatnya populasi

serangga vektor akibat meningkatnya suhu

udara juga akan meningkatkan kejadian

penyakit mosaik, terutama saat tanaman tebu

masih muda dan rentan.

Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu

Menurun akibat Perubahan Iklim Global

Perubahan iklim diperkirakan akan

memberikan perubahan terhadap morfologi,

fisiologi, nutrisi, dan keseimbangan air yang

berakibat kepada perubahan ketahanan

tanaman. Perilaku, stadia maupun perkem-

bangan dan siklus hidup patogen juga

berubah sehingga perubahan iklim ini secara

tidak langsung akan berpengaruh terhadap

interaksi antara tanaman dan patogen

(Chakraborty & Datta, 2003). Spora

Colletotrichum gloeosporides terhambat

perkecambahannya dalam ruangan yang

mengandung CO2 400-700 ppm (Hibberd et

al., 1996). Sementara itu, jumlah stomata

tanaman yang menutup kerapatan stomata

mengalami penurunan pada kondisi CO2 tinggi

sehingga kesempatan jamur (terutama yang

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

47

masuk melalui stomata) penetrasi ke dalam

tanaman makin berkurang, semakin untuk

meskipun produksi spora meningkat. Jadi,

dalam kasus ini perkembangan penyakit

menjadi terhambat. Penyakit nanas yang

disebabkan oleh Ceratocystis paradoxa juga

akan menurun dengan meningkatnya suhu

udara karena penyakit ini lebih sesuai jika

suhu tanah rendah (Wismer & Bailey, 1989).

Kejadian Penyakit Tidak Terpengaruh

oleh Perubahan Iklim Global

Untuk patogen-patogen yang bersifat

sistemik seperti Clavibacter xyli subsp. xyli, penyebab penyakit kerdil pada tanaman

keprasan (Gillaspie and Teakle, 1989) dan

Xanthomonas albilineans penyebab penyakit

blendok tidak begitu terpengaruh oleh

perubahan iklim ini karena hampir seluruh

siklus hidupnya ada di dalam tanaman inang.

Mereka lebih tergantung kepada kondisi

inang. Jika ketersediaan bahan makanan

dalam inang melimpah, sementara kondisi

tanaman lemah, maka penyakit-penyakit

sistemik akan berkembang cepat.

STRATEGI PENGENDALIAN SERANGGA

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TEBU

Tanaman tebu sangat peka terhadap

suhu, curah hujan, intensitas cahaya, dan

komponen-komponen iklim lainnya. Oleh

karena itu, perubahan iklim sangat

berpengaruh terhadap perubahan produktivi-

tasnya. Pengembangan varietas tebu yang

cepat beradaptasi terhadap perubahan iklim,

persiapan lahan yang sesuai dengan waktu

dan pola tanam, pengelolaan hama dan

penyakit yang optimal,dan pengelolaan air

yang tepat merupakan tindakan mitigasi dan

adaptasi yang perlu dilakukan dalam

menghadapi perubahan iklim, sehingga

diperoleh produktivitas tebu dan gula yang

optimal. Perakitan varietas tebu yang

mempunyai karakter toleran terhadap panas

lebih bermanfaat daripada perakitan varietas

yang tahan kekeringan. Selain itu,

pengembangan tebu pada areal yang

beririgasi merupakan aksi adaptasi yang

efektif untuk mengurangi dampak negatif

perubahan iklim terhadap pertanaman tebu.

Perubahan kelimpahan dan keragaman

spesies karena adanya fenomena perubahan

iklim berpengaruh terhadap efektivitas

pengelolaan hama, oleh karena itu perlu

penajaman sistem monitoring untuk

menditeksi potensi perubahan disribusi,

penghitungan kerusakan, dan kehilangan hasil

(Dhaliwal et al., 2010). Pengembangan

varietas tahan hama dan penyakit tanaman,

pemanfaatan musuh alami, dan praktek-

praktek agronomi yang mendukung

konservasi musuh alami merupakan tidakan

pengelolaan hama dan penyakit yang efektif.

Akan tetapi, tindakan pengelolaan hama dan

penyakit tanaman akan berubah dengan

adanya fenomena pemanasan global akibat

perubahan iklim. Keberhasilan pengendalian

hayati yang dipertimbangkan sebagai satu

komponen pengelelolaan hama terpadu (PHT)

yang efektif sangat dipengaruhi oleh

perubahan iklim, karena interaksi tritrofik

yang menghasilkan pengendalian populasi

hama juga mengalami perubahan.

Serangga hama tebu yang sampai saat

ini dipertimbangkan sebagai hama utama

tanaman tebu adalah kompleh penggerek

batang dan penggerek pucuk. Pengendalian

hayati dengan menggunakan parasitoid

merupakan tindakan pengendalian yang telah

lama dilakukan untuk mengatasi masalah

infestasi kompleks penggerek tebu tersebut.

Pelepasan parasitoid Trichogramma japonicum telah dilakukan untuk pengendalian

kompleks penggerek pucuk ebu sejak tahun

1970an. Hasil evluasi (Nurindah et al., 2016)

tentang efektivitas pelepasan parasitoid telur

dengan menggunakan spesies T. japonicum menunjukkan bahwa pelepasan parasitiod

tersebut tidak efektif dalam menyebabkan

kejadian parasitisasi pada telur penggerek

pucuk maupun penggerek batang tebu.

Secara alami, telur penggerek pucuk banyak

diparasit oleh Telenomus spp, dan telur

penggerek batang oleh T. chilonis dan

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

48

Telenomus spp. Hasil eavluasi ini

merekomendasikan untuk mempertimbangkan

kembali pelepasan massal parasitoid telur T. japonicum, sehingga juga mengubah sistem

produksi massal dan aplikasi spesies

parasitoid tersebut.

Dalam sistem pengelolaan hama tebu

berbasis pemanfaatan musuh alami,

peningkatan atau konservasi populasi musuh

alami (parasitoid dan predator) pada

pertanaman tebu perlu dilakukan. Konservasi

musuh alami dapat dilakukan dengan

memberikan lingkungan yang optimal bagi

musuh alami untuk berperan sebagai faktor

mortalitas biotik yang efektif, sedangkan

peningkatan populasi musuh alami dapat

dilakukan dengan menyediakan lingkungan

yang dapat mendukung perkembangan

populasi musuh alami melalui penyediaan

pakan yang sesuai. Kedua pendekatan ini

dapat dilakukan dengan pengembangan

varietas yang menghasilkan volatil yang dapat

diterima oleh parasitoid dan predator untuk

menemukan inang atau mangsanya.

Penambahan keragaman vegetasi pada

pertanaman tebu melalui penanaman

tanaman-tanaman berbunga yang menyedia-

kan nektar bagi parasitoid dan predator juga

dapat meningkatkan populasi musuh alami

pada agroekosistem tersebut. Selain iu,

penambahan tanaman yang berfungsi sebagai

tanaman perangkap dapat dilakukan untuk

mengurangi infestasi hama pada pertanaman

tebu. Spesies tebu liar Erianthus arundinaceus dilaporkan oleh Nibouche et al. (2012) disukai oleh imago C. sacchariphagus (penggerek batang tebu bergaris) sebagai

tempat peletakan telur, tetapi daya ketahanan

hidup larva penggerek tebu tersebut sangat

rendah pada E. arundinaceus. Oleh karena

itu, E. arundinaceus dapat digunakan sebagai

tanaman perangkap.

Sistem pemantauan hama dan

penyakit tanaman tebu berdasarkan kondisi

cuaca perlu dikembangkan untuk mendukung

analisis risiko terjadinya out break hama pada

kondisi iklim yang berbeda, sehingga out

break hama dapat diantisipasi dan kehilangan

hasil dan kerugian ekonomi karena hama

dapat dicegah.

Pengendalian Penyakit Tanaman Tebu

dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Global

Penyakit Luka Api merupakan salah

satu penyakit yang terdampak oleh perubahan

iklim global. Untuk mengantisipasi agar

kejadian penyakit ini tidak meluas maka

diperlukan penggantian varietas baru yang

lebih tahan terhadap penyakit ini dan lebih

mampu beradaptasi terhadap suhu tinggi dan

kekeringan. Adanya variasi genetik patogen

menyebabkan mereka mampu beradaptasi

dengan cepat terhadap varietas yang tahan

(Strange & Scott, 2005). Penggantian

varietas secara berkala atau peningkatan

keragaman varietas akan memperkecil

kemungkinan jamur bermutasi atau

beradaptasi dengan varietas yang baru.

Karena menurut (McDonald & Linde, 2002),

patogen mampu berubah dengan cepat

menjadi tahan terhadap pestisida maupun

dalam beradaptasi/mengatasi ketahanan

suatu varietas yang baru atau terhadap

perubahan lingkungan. Penyakit luka api

merupakan penyakit yang terbawa angin dan

bahan tanaman yang terinfeksi jamur secara

sistemik. Monitoring secara berkala diikuti

sanitasi dan eradikasi ‘cambuk’ akan

membantu mengurangi penyebaran penyakit;

Sanitasi kebun dengan membersihkan gulma

atau tumbuhan inang alternatif yang tumbuh

di sekitar pertanaman tebu; Penggunaan

bahan tanaman bebas patogen merupakan

alternatif pengendalian yang sangat

bermanfaat untuk mencegah terjadinya

ledakan penyakit luka api di daerah baru.

Perawatan bahan tanaman dengan air panas

(PAP) suhu 52 oC selama 30-45 menit atau

perendaman bahan tanaman dengan fungisida

yang mengandung bahan aktif cyproconazole,

propiconazole, triadimefon atau azoxystrobin.

Penggunaan fungisida tersebut pada benih

sebelum tanam mampu mengendalikan luka

api sampai 6−9 bulan (Bhuiyan et al., 2012).

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

49

Penyakit lain yang perlu diwaspadai

adalah penyakit mosaik bergaris. Penyakit ini

baru ditemukan pertengahan 2000, di Jawa

Timur, namun saat ini sudah menyebar di 59

perkebunan tebu di Jawa dengan tingkat

keparahan penyakit 1−62% (Damayanti &

Putra, 2011). Perkembangannya yang cukup

pesat akibat penanaman varietas yang rentan

dan penyebaran bahan tanaman yang

terinfeksi ke luar Pulau Jawa. Hasil survei

ACIAR (belum dipublikasi) menunjukkan

bahwa penyebaran penyakit ini sudah terlihat

di beberapa perkebunan tebu di Sumatera

Utara dan Selatan serta Sulawesi Selatan.

Kenaikan suhu yang terjadi akhir-akhir ini

mempercepat perkembangan penyakit ini.

Penggunaan varietas yang tahan dan bahan

bebas penyakit, terutama di daerah baru

merupakan pencegahan tersebarnya mosaik

bergaris. PAP dengan suhu 53oC selama 10

menit pada bagal sebelum ditanam

mengurangi keparahan penyakit mosaik

bergaris meskipun virus mosaik bergaris tidak

tereliminasi 100% (Damayanti et al., 2010).

Untuk mengeliminasi virus, PAP dengan suhu

55oC selama 30 menit atau 60oC selama 10

menit, namun viabilitas benih menurun

(Damayanti et al., 2010). Salaudeen et al. (2016) menyarankan untuk menggunakan

pengendalian biologis terhadap vektor dan

rekayasa genetika untuk meningkatkan

ketahanan tanaman terhadap virus

Untuk mencegah serasah digunakan sebagai

sumber makanan dan tempat bertahan hidup

patogen-patogen tular tanah, maka klenthek

dan sanitasi seludang secara berkala dan

pemberian antagonis pada serasah daun.

KESIMPULAN

Perubahan iklim berpengaruh terhadap

tanaman tebu, perkembangan serangga dan

patogen tanaman serta interaksi multitrofik

yang ada. Komponen iklim yang sangat

berpengaruh adalah suhu, kandungan CO2

dalam atmosfer, dan curah hujan. Fenomena

perubahan iklim mengharuskan dilakukan aksi

mitigasi dan adaptasi sehingga sistem

pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.

Oleh karena itu, pengelolaan hama dan

penyakit tanaman tebu memerlukan

penyusunan strategi pengelolaan dengan

mempertimbangkan pengaruh abiotik,

terutama suhu, kandungan CO2 dalam

atmosfer, dan curah hujan, terhadap

perkembangan serangga dan patogen

tanaman serta interaksi multitrofik pada

ekosistem pertanaman tebu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada para mitra bestari yang telah

memberikan saran dan masukan yang baik,

sehingga tulisan review ini menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bade, B., Ghorpade, S., 2009. Life fecundity tables of sugarcane woolly aphid, Ceratovacuna lanigera Zehntner. J. Insect Sci. 22, 402–405.

Bale, J.S., Masters, G.J., Hodkinson, I.D., Awmack, C., Bezemer, T.M., Brown, V.K., Butterfield, J., Buse, A., Coulson, J.C., Farrar, J., Good, J.E.G., Harrington, R., Hartley, S., Jones, T.H., Lindroth, R.L., Press, M.C., Symrnioudis, I., Watt, A.D., Whittaker, J.B., 2002. Herbivory in global climate change research: direct effects of rising temperature on insect herbivores. Glob. Chang. Biol. 8, 1–16. https://doi.org/doi.org/10.1046/j.1365-2486.2002.00451.x

Ball, A., 1997. Microbial decomposition at elevated CO2 levels: effect of litter quality. Glob. Chang. Biol. 3, 379–386. https://doi.org/.1046/j.1365-2486.1997.t01-1-00089.x

Belskaya, E.A., Vorobeichik, E.L., 2013. Responses of leaf-eating insects feeding on aspen to emissions from the Middle Ural copper smelter. Russ. J. Ecol. 44, 108–117. https://doi.org/10.1134/S1067413613020045

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

50

Bhuiyan, S.A., Croft, B.J., James, R.S., Cox, M.C., 2012. Laboratory and field evaluation of fungicides for the management of sugarcane smut caused by Sporisorium scitamineum in seedcane. Australas. Plant Pathol. 41, 591–599.

Bonnett, G.D., 2014. Developmental Stages (Phenology), in: Moor, P.H., Botha, F.C. (Eds.), Sugarcane Physiology, Biochemistry & Functional Biology. John Wiley & Sons, Inc., Iowa, USA. Boonpradub, pp. 35–53.

Boullis, A., Francis, F., Verheggen, F., 2015. Climate Change and Tritrophic Interactions: Will Modifications to Greenhouse Gas Emissions Increase the Vulnerability of Herbivorous Insects to Natural Enemies? Environ. Entomol. 44, 277–286. https://doi.org/10.1093/ee/nvu019

Burdon, J., 1987. Diseases and Population Biology, 1st ed. Cambridge Univ. Press, New York.

Canadell, J.G., Le Quéré, C., Raupach, M.R., Field, C.B., Buitenhuis, E.T., Ciais, P., Conway, T.J., Gillett, N.P., Houghton, R.A., Marland, G., 2007. Contributions to accelerating atmospheric CO2 growth from economic activity, carbon intensity, and efficiency of natural sinks. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 104, 18866–70. https://doi.org/10.1073/pnas.0702737104

Chakraborty, S., Datta, S., 2003. How will plant pathogens adapt to host plant resistance at elevated CO2 under a changing climate? New Phytol. 159, doi:10.1046/j.1469-8137.2003.00842.x.

Chakraborty, S., Newton, A.C., 2011. Climate change, plant diseases and food security: an overview. Plant Pathol. 60, 2–14. https://doi.org/doi:10.1111/j.1365-3059.2010.02411.x

Chakrabortya, S.., Tiedemann, V., Teng, S., 2000. Environmental Pollution Keynote review Climate change: potential impact on plant diseases. Environ. Pollut. 108, 317–326.

Chandiposha, M., 2013. Potential impact of climate change in sugarcane and mitigation strategies in Zimbabwe. African J. Agric. Res. 8, 2814–2818. https://doi.org/10.5897/AJAR2013.7083

Coakley, S.M., Scherm, H., Chakraborty, S., 1999.

Climate Change and Plant Disease Management. Annu. Rev. Phytopathol. 37, 399–426.

Damayanti, T.A., Putra, L.K., 2011. First occurrence of sugarcane streak mosaic virus infecting sugarcane in Indonesia. J. Gen. Plant Pathol. 77, 72–74. https://doi.org/httphttps://doi.org/10.1007/s10327-010-0285-7

Damayanti, T.A., Putra, L.K., Giyanto, 2010. Hot Water Treatment of Cutting-Cane Infected With Sugarcane Streak Mosaic Virus ( Scsmv ). J. Int. Soc. Southeast Asian Agric. Sci. 16, 17–25.

Dhaliwal, G., Jindal, V., Dhawan, A., 2010. Insect pest problems and crop losses: Changing trends. Indian J. Ecol. 37, 1–7.

Dhillon, M., Sharma, H., 2009. Temperature influences the performance and effectiveness of field and laboratory strains of the ichneumonid parasitoid, Campoletis chlorideae. Biocontrol 54, 743–750.

Evans, N., Baierl, A., Semenov, M.A., Gladders, P., Fitt, B.D.., 2008. Range and severity of a plant disease increased by global warming. J. R. Soc. Interface 5, 525–531. https://doi.org/10.1098/rsif.2007.1136

Fageria, N.K., Baligar, V.C., Jones, C.A., 2010. Growth and Mineral Nutrition of Field Crops, 3rd ed. CRC Press.

Francl, L.J., 2001. The Disease Triangle: A plant pathological paradigm revisited. Plant Heal. Instr. https://doi.org/10.1094/PHI-T-2001-0517-01

Garrett, K.A., Dendy, S.P., Frank, E.E., Rouse, M.N., Travers, S.E., 2006. Climate Change Effects on Plant Disease: Genomes to Ecosystems. Annu. Rev. Phytopathol. 44, 489–509.

Ghini, R., Hamada, E., Bettiol, W., 2008. Climate change and plant diseases. Sci. Agric. 65, 98–107. https://doi.org/10.1590/S0103-90162008000700015

Gillaspie, A., Teakle, D., 1989. Ratoon stunting disease, in: Ricaud, C., Egan, B.. T., Gillaspie, A.G., Hughes, C.. G. (Eds.), Diseases of Sugarcane Major Diseases. Elsevier, Amsterdam, pp. 59–80.

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

51

Gouvêa, J., Sentelhas, P., Gazzola, S., Santos, M., 2009. Climate changes and technological advances: impacts on sugarcane productivity in tropical southern Brazil. Sci. Agric. 66, 593–605.

Hannah, L., Lovejoy, T.E., Schneider, S.H., 2005. Biodiversity and climate change in context, in: Lovejoy, T.E., Hannah, L. (Eds.), Climate Change and Biodiversity. New Haven, Yale, pp. 3–14.

Helmig, D., Ortega, J., Duhl, T., Tanner, D., Guenther, A., Harley, P., Wiedinmyer, C., Milford, J., Sakulyanontvittaya, T., 2007. Sesquiterpene Emissions from Pine Trees − Identifications, Emission Rates and Flux Estimates for the Contiguous United States. Enviromental Sci. Technol. 41, 1545–1553. https://doi.org/10.1021/es0618907

Hibberd, J.M., Whitbread, R., Farrar, J.F., 1996. Effect of elevated concentrations of CO2 on infection of barley by Erysiphe graminis. Physiol. Mol. Plant Pathol. 48, 37–53. https://doi.org/10.1006/pmpp.1996.0004

Huang, F., Leonard, R., Moore, S., Yue, B., Parker, R., Reagan, T., Stout, M., Cook, D., Akbar, W., Chilcutt, C., White, W., Lee, D., Biles, S., 2008. Geographical susceptibility of Louisiana and Texas populations of the sugarcane borer , Diatraea saccharalis ( F .) ( Lepidoptera : Crambidae ) to Bacillus thuringiensis Cry1Ab protein. Crop Prot. 27, 799–806. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2007.11.007

IPCC, 2014. Climate change 2014: synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Pachauri RK., Meyer LA (Eds). Geneva, Switzerland.

Joshi, S., Viraktamath, C.A., 2003. The sugarcane woolly aphid, Ceratovacuna lalligera Zehntner (Hemiptera: Aphididae): its biology, pest status and control. Curr. Sci. 87, 307–316.

Koike, H., Gillaspie, A.G.J., 1989. Mosaic, in: Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, J.A.G., Hughes, C.. (Eds.), Diseases of Sugarcane: Major Diseases. Elsevier Science, Amsterdam, pp. 301–322.

Las, I., Pramudia, A., Runtunuwu, E., Setyanto, P., 2011. Antisipasi Perubahan Iklim Dalam

Mengamankan Produksi Beras Nasional. Pengemb. Inov. Pertan. 4, 76–86.

Linnenluecke, M.K., Nucifora, N., Thompson, N., 2018. Implications of climate change for the sugarcane industry. Wiley Interdiscip. Rev. Clim. Chang. 9, 1–34. https://doi.org/10.1002/wcc.498

Magarey, R., Royal, A., Williams, D., Bull, J., 2011. A brief history of disease epidemics in Queensland and of some economic outcomes [WWW Document].

Matsuoka, M., Furbank, R.T., Fukayama, H., Miyao, M., 2001. Molecular Engineering Of C4 Photosynthesis. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 52, 297–314.

McDonald, B.A., Linde, C., 2002. Pathogen Population Genetics, Evolutionary Potential, And Durable Resistance. Annu. Rev. Phytopathol. 40, 349–379.

Melloy, P., Hollaway, G., Luck, J., Norton, R., Aittken, E., Chakraborty, S., 2010. Production and fitness of Fusarium pseudograminearum inoculum at elevated carbon dioxide in FACE. Glob. Chang. Biol. 16, 3363–3373. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02178.x

Nibouche, S., Tibère, R., Costet, L., 2012. The use of Erianthus arundinaceus as a trap crop for the stem borer Chilo sacchariphagus reduces yield losses in sugarcane : Preliminary results. Crop Prot. 42, 10–15. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.06.003

Niziolek, O., Berenbaum, M., DeLucia, E., 2012. Impact of elevated CO2 and temperature on Japanese beetle herbivory. Insect Sci. 20, 513–23.

Nurindah, N., Sunarto, D.A., Sujak, S., 2016. Evaluasi pelepasan Trichogramma spp. untuk pengendalian penggerek pucuk dan batang tebu. J. Entomol. Indones. 13, 107–116. https://doi.org/10.5994/jei.13.2.107

Pare, P.W., Tumlinson, J.H., 1999. Update on plant-insect interactions plant volatiles as a defense against insect herbivores. Plant Physiol. 121, 325–331. https://doi.org/10.1104/pp.121.2.325

Park, S., Creighton, C., Howden, M., Matthieson, L., 2008. Climate change and the Australian Sugarcane Industry : Impacts, adaptation and

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53

52

R&D opportunities. Sugar Research Australia Ltd, Brisbane.

Pathma, J., Sakthivel, N., 2012. Microbial diversity of vermicompost bacteria that exhibit useful agricultural traits and waste management potential. Springerplus 1, 1–19. https://doi.org/10.1186/2193-1801-1-26

Prasad, Y.G., Bambawale, O.M., 2010. Effects of Climate Change on Natural Control of Insect Pests. Res. Dev 25, 1–12.

Rizwan Rasheed, Wahid, A., Farooq, M., Hussain, I., Basra, S.M.A., 2011. Role of proline and glycinebetaine pretreatments in improving heat tolerance of sprouting sugarcane (Saccharum sp.) buds. Plant Growth Regul. 65, 35–45.

Rott, P.C., Girard, J.-C., Comstock, J.C., 2013. Impact of pathogen genetics on breeding for resistance to sugarcane diseases. Int. Soc. Sugar Cane Technol. 28, 1–11.

Runion, G.B.., Curl, E.A.., Rogers, H.H.., Backman, P.A.., Rodriguez-Kabana, R., Helms, B.., 1994. Effects of free-air CO2 enrichment on microbial populations in the rhizosphere and phyllosphere of cotton. Agric. For. Meteorol. 70, 117–130.

Salaudeen, M., Adama, C., Abdullahi, A., Ayeleke, D., Ibrahim, A., 2016. Climate change and viral diseases in relation to crop productivity and food security: A REVIEW. Int. J. Appl. Biol. Res. 7, 56–65.

Santoso, A.B., 2016. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Produksi Tanaman Pangan di Provinsi Maluku. Penelit. Pertan. Tanam. Pangan 35, 29–38.

Sharma, B.L., Singh, S.P., Sharma, M.L., 2012. Bio-degradation of Crop Residues by Trichoderma Species vis-à vis Nutrient Quality of the Prepared Compost. Sugar Tech 14, 174–180.

Sharma, H.C., 2016. Climate change vis-a-vis pest management:Conference on National Priorities in Plant Health Management February 4-5,2016, Tirupati. Int. Crop. Res. Inst. Semi-Arid Trop. (ICRISAT), Patancheru 502324, Telengana, India 17–25.

Sharma, H.C., 2014. Climate Change Effects on Insects: Implications for Crop Protection and Food Security. J. J. Crop Improv. 28, 229–

2259.

Srikanth, J., Mukunthan, N., Singaravelu, B., Kurup, N.K., Santhalakshmi, G., 2009. Rearing dipha aphidivora, the pyralid predator of sugarcane woolly aphid Ceratovacuna lanigera, on its frozen host may be unfeasible. Sugar Tech 11, 80–82. https://doi.org/10.1007/s12355-009-0015-7

Srivastava, A.K., 2012. Sugarcane production: Impact of climate change and its mitigation. Biodiversitas, J. Biol. Divers. 13, 214–227. https://doi.org/10.13057/biodiv/d130408

Stavrinides, M.C., Lara, J.R., Mills, N.J., 2010. Comparative influence of temperature on development and biological control of two common vineyard pests (Acari: Tetranychidae). Biol. Control 55, 126–131. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2010.07.006

Stefan Rahmstorf, Cazenave, A., Church, J.A., Hansen, J.E., Keeling, R.F., Parker, D.E., Somerville, R.C.J., 2007. Recent Climate Observations Compared to Projections. Science (80-. ). 316, 709. https://doi.org/10.1126/science.1136843

Strange, R.N., Scott, P.R., 2005. Plant Disease: A Threat to Global Food Security. Annu. Rev. Phytopathol. 43, 83–116. https://doi.org/10.1146/annurev.phyto.43.113004.133839

Sukumar Chakraborty, S., 2008. Impacts of global change on diseases of agricultural crops and forest trees. CAB Rev. Perspect. Agric. Vet. Sci. Nutr. Nat. Resour. 3. https://doi.org/10.1079/PAVSNNR20083054

Takabayashi, J., Dicke, M., Posthumus, M.A., 1994. Volatile herbivore-induced terpenoids in plant-mite interactions: Variation caused by biotic and abiotic factors. J. Chem. Ecol. 20, 1329–1354. https://doi.org/10.1007/BF02059811

Tay, W., Soria, M., Walsh, T., Thomazoni, D., Silvie, P., 2013. A brave new world for an old world pest: Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) in Brazil. PLoS ONE 8 8. https://doi.org/journal.pone.0080134 24.

Thomson, L.J., Macfadyen, S., Hoffmann, A. a., 2010. Predicting the effects of climate change on natural enemies of agricultural pests. Biol.

Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim

53

Control 52, 296–306. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2009.01.022

Torriani, D., Calanca, P., Lips, M., Ammann, H.B., Jürg, M., 2007. Regional assessment of climate change impacts on maize productivity and associated production risk in Switzerland. Reg. Environ. Chang. 7, 209–221.

Tripathi, A., Tripathi, D.K., Chauhan, D.K., Kumar, N., Singh, G.S., 2016. Paradigms of climate change impacts on some major food sources of the world: A review on current knowledge and future prospects. Agric. Ecosyst. Environ. 216, 356–373. https://doi.org/10.1016/j.agee.2015.09.034

Vara Prasad, P. V., Vu, J.C. V., Boote, K.J.., Allen, L.H.J., 2009. Enhancement in leaf photosynthesis and upregulation of Rubisco in the C4 sorghum plant at elevated growth carbon dioxide and temperature occur at early stages of leaf ontogeny. Funct. Plant Biol. 36, 761–769. https://doi.org/https://doi.org/10.1071/FP09043

Veromann, E., Toome, M., Kännaste, A., Kaasik, R., Copolovici, L., Flink, J., Kovács, G., Narits, L., Luik, A., Niinemets, Ü., 2013. Effects of nitrogen fertilization on insect pests, their parasitoids, plant diseases and volatile organic compounds in Brassica napus. Crop Prot. 43, 79–88. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.09.001

Vu, J., Allen, L.J., Gallo-Meagher, M., 2002. Crop plant responses to rising CO2 and climate change, in: Pessarakli, M. (Ed.), ‘Handbook of Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker, New York, pp. 35–55.

Wand, S.J., Midgley, G.F., Jones, M.H., Curtis, P.S., 1999. Responses of wild C4 and C3 grass (Poaceae) species to elevated atmospheric CO2 concentration: a meta‐analytic test of current theories and perceptions. Glob. Chang. Biol. 5, 723–741. https://doi.org/10.1046/j.1365-2486.1999.00265.x

War, A.R., Taggar, G.K., War, M.Y., Hussain, B., 2016. Impact of climate change on insect pests, plant chemical ecology, tritrophic interactions and food production. Int. J. Clin. Biol. Sci. 1, 16–29.

Wismer, C., Bailey, R., 1989. Pineapple disease, in: Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, A.G., Hughes, C.G. (Eds.), Diseases of Sugarcane -Major Diseases. Elsevier, Amsterdam, p. 145–1 56.

Yuan, J.S., Himanen, S.J., Holopainen, J.K., Chen, F., Stewart, C.N., 2009. Smelling global climate change: mitigation of function for plant volatile organic compounds. Trends Ecol. Evol. 24, 323–331. https://doi.org/10.1016/j.tree.2009.01.012

Ziska, L.H., Sicher, R.C., Bunce, J.A., 1999. The impact of elevated carbon dioxide on the growth and gas exchange of three C4 species differing in CO2 leak rates. Physiol. Plant. 105, 74–80. https://doi.org/10.1034/j.1399-3054.1999.105112.x

Zvereva, E., Kozlov, M., 2006. Consequences of simultaneous elevation of carbon dioxide and temperature for plant-herbivore interactions: a metaanalysis. Glob. Chang. Biol. 12, 27–41.