20
BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL (Studi Komparatif Aspek Budaya Hukum Pelaku Kontrak Bisnis Antara Masyarakat Penganut Sistem Hukum Civil Law Dan Common Law) Liza Marina, SH, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Abstract Legal cultural, perspective in international business contract generally is influenced by civil law and common law systems. Legal cultural in civil law system is strongly influenced by legal positive and the other hand, common law system is strongly influence by living law. That’s why how to get certainty in law is the legal culture of orientation business contracts which are based on civil law, and how to get legal justice is relevan to the legal culture of orientation of business contracts which are based on common law. Key words : Business, contract, culture, living law, common law, civil law. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu ciri pada setiap masyarakat adalah sifatnya yang selalu berkembang dan berubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi cerminan wajah masyarakatnya, yang oleh Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim sosial lainnya (Satjipto Rahardjo, 1983:149) Dalam masyarakat yang sedang membangun dan sedang beranjak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, pergeseran nilai-nilai dan perubahan-perubahan yang terjadi perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum, karena hukum tersebut harus sesuai dengan nilai- nilai dan kebutuhan yang sudah berubah, serta aspirasi masyarakat yang cenderung dipengaruhi oleh kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi. Oleh karena antara hukum dan kenyataan sosial tidak selalu sama. Ada jarak diantara mereka, terkadang demikian jauhnya, terkadang jaraknya hanya setipis mata pisau. Jarak ini selalu didekatkan melalui penerapan hukum. Dan dari penerapan hukum ini kita masuk dalam permasalahan tentang wibawa hukum. Kewibawaan hukum menjadi penting artinya, karena hukum yang berwibawa akan mampu mendekatkan jarak antara fakta dan idealisme. Sedangkan hukum yang tidak berwibawa akan membuat jarak yang semakin lebar dan dengan demikian akan timbul ketidak adilan, hukum akan menjadi tumpul dan tidak berguna. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Secara garis besar aktifitas tersebut berupa pembuatan hukum dan penegakan hukum. Pembuatan hukum disini merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan, dan merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Pada masyarakat modern, hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dan inilah

BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

  • Upload
    vuhanh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL(Studi Komparatif Aspek Budaya Hukum Pelaku Kontrak Bisnis Antara

Masyarakat Penganut Sistem Hukum Civil Law Dan Common Law)

Liza Marina, SH, MHDosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

AbstractLegal cultural, perspective in international business contract generally is influenced by civil law and common law systems. Legal cultural in civil law system is strongly influenced by legal positive and the other hand, common law system is strongly influence by living law. That’s why how to get certainty in law is the legal culture of orientation business contracts which are based on civil law, and how to get legal justice is relevan to the legal culture of orientation of business contracts which are based on common law.

Key words : Business, contract, culture, living law, common law, civil law.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Salah satu ciri pada setiap masyarakat adalah sifatnya yang selalu berkembang dan berubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi cerminan wajah masyarakatnya, yang oleh Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim sosial lainnya (Satjipto Rahardjo, 1983:149)

Dalam masyarakat yang sedang membangun dan sedang beranjak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, pergeseran nilai-nilai dan perubahan-perubahan yang terjadi perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum, karena hukum tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan yang sudah berubah, serta aspirasi masyarakat yang cenderung dipengaruhi oleh kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Oleh karena antara hukum dan kenyataan sosial tidak selalu sama. Ada jarak diantara mereka, terkadang demikian jauhnya, terkadang jaraknya hanya setipis mata pisau. Jarak ini selalu didekatkan melalui penerapan hukum. Dan dari penerapan hukum ini kita masuk dalam permasalahan tentang wibawa hukum. Kewibawaan hukum menjadi penting artinya, karena hukum yang berwibawa akan mampu mendekatkan jarak antara fakta dan idealisme. Sedangkan hukum yang tidak berwibawa akan membuat jarak yang semakin lebar dan dengan demikian akan timbul ketidak adilan, hukum akan menjadi tumpul dan tidak berguna.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Secara garis besar aktifitas tersebut berupa pembuatan hukum dan penegakan hukum. Pembuatan hukum disini merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan, dan merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum.

Pada masyarakat modern, hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dan inilah

Page 2: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrumen (Satjipto Rahardjo, 1991 : 206)

Sorokin (Satjipto Rahardjo, 1991:206-207) menggambarkan pandangan dari masyarakat modern tentang hukum itu dengan cukup tajam, yaitu sebagai berikut : “hukum buatan manusia, yang sering hanya berupa instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lain. Tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian, keselamatan hidup mansia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Norma-norrnanya bersifat relatif, bisa diubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci...”

Hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk dalam kategori hukum yang modern. (Satjipto Rahardjo, 1991:214) menggambarkan modernitas ini mempunyai ciri-ciri : (1) mempunyai bentuk tertulis, (2) hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara, (3) hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakat.

Proses pembentukan negara modern memberikan suatu pelajaran tentang bagaimana masyarakat diorganisasikan, yang didalamnya dibicarakan juga tentang masalah hukum. Menurut Gianfranco Poggi (Satjipto Rahardjo, 1991: 215) bahwa proses pembentukan negara modern merupakan bagian dari sejarah diferensiasi kelembagaan, yang menunjukan bagaimana fungsi-fungsi utama dalam masyarakat itu sampai ke depan sepanjang berlcngsungnya proses tersebut. Disitu terlihat terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat, melalui berbagai elaborasi dari fungsi-fungsi tersebut di atas.

Dalam tulisannya tersebut, Poggi memberikan gambaran jelas tentang bagaimana hukum itu berkembang sesuai dengan lingkungannya. Dalam uraiannya dikemukakan, bahwa hukum itu berkembang sesuai dengan fungsi-fungsi yang dijalankan dalam masyarakatnya. Dengan demikian dapat diungkapkan, bahwa hukum dan sistem hukum di Eropa tidak akan menjadi seperti sekarang ini apabila tidak ditempatkan dan dihadapkan kepada lingkungan sosial mengikuti perkembangan negara dan masyarakat Eropa.

Salah satu konsepsi hukum modern sebagaimana David M Trubek (Wukir Prayitno, 1991: 39) mengemukakan bahwa hukum modern merupakan suatu proses yang ditempuh secara sadar untuk merumuskan kebijakan-kebijakan dan kemudian menerapkannya dalam masyarakat, maka dapat dikatakan, bahwa ia mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat secara efektif dengan menggunakan peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja.

Marc Galanter dalam hal ini memberikan beberapa petunjuk ke arah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu sebagai ciri hukum modern, dan beberapa diantaranya dapat disebut: bahwa perundangundangan modern bersifat transaksional. Disini hak dan kewajiban diberikan secara berbanding menurut hasil-hasil tranksaksi, baik berupa kontrak, kerugian, kriminal, antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dan tidak terhimpun secara tak berubah-ubah pada seseorang karena faktor-faktor di luar transaksi seperti umur, kelas, agama, kelamin. Kumpulan status hak dan kewajiban yang ada itu didasarkan pada kondisi dan fungsi duniawi bukan pada perbedaan nilai-nilai yang hakiki atau pada kehormatan yang disucikan (Wukir Prayitno, 1991: 40).

Ciri hukum modern tersebut melukiskan suatu mesin guna mendesak secara terus menerus mengenai aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang berlaku dari pusat ke segenap penjuru. Tidak pernah terdapat suatu sistem hukum yang sempurna dalam pemusatan, keseragaman dan keuniversalannya. Oleh karena itu kita perlu meninjau sumber-sumber

Page 3: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

perbedaan. keragaman, ketidak teraturan dan hal-hal yang bersifat spesifik dalam sistem hukum yang ada menuju hukum modern yang sinkron, agar sesuai dengan kebutuhan hukum daripada masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat modern adalah masyarakat bisnis. Dalam satu atau lain cara, semua manusia, baik di kota maupun di desa, punya hubungan dengan bisnis. Tidak ada orang modern yang tidak tersentuh kegiatan bisnis, termasuk kegiatan bisnis perusahaan-perusahaan besar dan multinasional, bahkan bisnis internasional. Karena itu secara tak terelakkan bisnis menjadi bagian hidup manusia modern.

Sebagaimana halnya realita pada dunia masyarakat modern sekarang ini, ketika World Trade Organization (WTO) berdiri beberapa tahun silam, orang tidak menyangka bahwa sejak saat itu dunia telah dikatakan menjadi the global village.

Pertanyaan kemudian, apakah globalisasi ini merupakan suatu fenomena ekonomi, sosial ataukah fenomena budaya? Apakah globalisasi itu identik dengan kolonialisme atau kapitalisme? DR. John Flood dari Unibersity of Westminster, London menegaskan bahwa globalisasi tidak saja membuat bisnis mendunia tetapi juga telah membuat hukum dan kehidupan sosial-budaya menjadi mendunia pula (Amir Syamsuddin, 2001: iii).

Dalam realita tersebut tentunya perlu ditinjau bagaimana masyarakat modern menciptakan alat-alat yang dapat menahan gerakan modernisasi perundang-undangan, kontrak-kontrak dan cara-cara baru yang lebih luwes. Namun Marc Galanter dalam hal ini mengomentari bahwa perundang-undangan modern sebagai ciri hukum modern bukanlah suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi sekedar pedoman untuk perkembangan masyarakat. Tetapi justru kekuatan-kekuatan yang mendukung perkembangan ini dan yang ditimbulkan olehnya juga yang bisa mengalihkan perkembangan dari tujuan-tujuannya yang nampak (Wukir Prayitno, 1991: 48).

Untuk itu globalisasi, tidak saja membawa manfaat dan perubahan yang besar bagi dunia bisnis, tetapi juga membawa pengaruh yang besar bagi pertumbuhan dan perubahan kehidupan politik, hukum, sosial dan budaya suatu negara. Akibatnya, sekarang ini telah tercipta apa yang dinamakan bisnis global, dan lain-lainnya. Jadi ternyata globalisasi adalah fenomena universal yang melintas batas negara dan membentuk sebuah perkampungan global (the global village). Tentunya dunia yang dihuni oleh berbagai bangsa yang berbeda budaya serta tingkat kehidupan ini rawan konflik. Dan untuk mengantisipasi konflik yang ada, maka sudah saatnya negara-negara di dunia rnengatur secara universal kehidupan mereka di dalam tata dunia baru yang dicita-citakan ke dalam suatu sistem hukum. Dimana pengaruh globalisasi menunjukan adanya peningkatan kontrak-kontrak bisnis internasional dengan berbagai macam bentuk perkembangan pilihan jenis kontrak yang ada sebagaimana sifat kontraktual dari perjanjian/kontrak itu sendiri.

Kenyataan ini menunjukan bahwa bisnis mempengaruhi kehidupan manusia. Dan itu berarti, bisnis sangat menentukan baik buruknya kehidupan dan budaya manusia modern. Bisnis sangat menentukan maju mundurnya, serta kualitas kebudayaan manusia modern. Bahkan, boleh dikatakan bahwa bisnis adalah kebudayaan modern itu sendiri. Atau paling kurang, bisnis mewarnai dan memberi isi kepada kebudayaan modern. Ini menyadarkan kita untuk berpikir serius tentang bagaimana bisnis itu perlu dijalani, perlu diarahkan atau dikendalikan sedemikian rupa agar wajah kebudayaan modern benar-benar manusiawi. Dalam hal tersebut, bisnis tidak boleh dibiarkan berkembang dengan logikanya sendiri, dan secara sepihak mematut wajah kebudayaan kita sekehendaknya. Dibutuhkan berbagai sikap dan langkah agar manusia tidak hanyut dan tergilas oleh hukum kontrak bisnis.

Ketiga elemen hukum tersebut, struktur, substansi dan legal kulture adalah pemikiran dari Friedman mengenai elemen dari sistem hukum yang terdapat di Amerika. Hal ini tidak menutup

Page 4: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

kemungkinan penggunaan ketiga elemen tersebut sebagai alat untuk mengadakan analisis terhadap sistem hukum. Struktur sistem hukum adalah kerangka yang memberi bentuk dan pengertian dari keseluruhan sistem hukum tersebut. Selain itu struktur adalah bagian dari sistem hukum yang paling kuat (This is the structure of the legal system-its skeleton of framework, the durable pat, which gives a kind of shape and definition to the whole). Substansi adalah suatu bentuk peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berupa norma-norma dan tingkah laku yang membentuk masyarakat dalam sistem tersebut (By this is meant the actual rules, norms, and behaviour pattern of people inside the system). Legal kulture adalah sikap masyarakat dalam memandang hukum dan sistem hukum, mengenai keyakinan mereka, nilai-nilai, pikiran-pikiran dan harapan-harapan. Dengan kata lain legal kulture adalah bagian dari kebudayaan yang berkaitan dengan sistem hukum.

Lebih lanjut Friedman dalam hal ini memperkenalkan konsepsi hukum- hukum sebagai bagian dari sistem hukum, pada saat terdapatnya permasalahan perbedaan dalam kehidupan hukum diantara negara yang satu dengan yang lain, khusus dalam hal ini adalah negara-negara penganut system hukum civil law dan common law, dimana perbedaan diantara kedua sistem hukum tersebut tidak lain merupakan pencerminan dari perbedaan diantara ciri-ciri kehidupan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mencoba mengkaji persoalar. kultur hukum dimaksud dalam suatu makalah ilmiah dengan judul: “Budaya Hukum Dalam Kontrak Bisnis Internasional (Studi Komparatif Aspek Budaya Hukum Pelaku Kontrak Bisnis Antara Masyarakat Penganut Sistem Civil Law Dan Common Law) “

2. Perumusan MasalahGlobalisasi merupakan fenomena yang tidak dapat dimengerti. Globalisasi bergerak tanpa

dapat dihentikan, walaupun diakui masih berusia sangat muda. Tapi apakah itu globalisasi Kebanyakan teori globalisasi menekankan transendensi zona waktu sebagai pasar finansial dan perdagangan yang bergabung dan mengalir dalam kerjasama yang erat satu dengan yang lainnya. Penekanan ini menghilangkan aspek penting globalisasi lainnya, seperti hukum, sosial dan budaya.

Globalisasi harus dilihat sebagai suatu sistem, baik sebagai sistim abstrak yang penuh dengan sistem nilai baru (value loaded), maupun sebagai sistem fisik dalam bentuk mobilitas barang, orang dan jasa yang menggunakan standar-standar baku yang bersifat global. Untuk itu sistem hukum, baik struktur, substansi maupun kulturnya harus disisipkan untuk menghadapinya.

Dalam dunia bisnis, kita telah memasuki suatu kehidupan yang sama sekali baru a new universal life style dimana the world is becoming more and cosmopolitan. Hal ini terjadi karena kehidupan bisnis global memulai suatu era baru dalam manner dan teknologi bisnis seperti munculnya leasing, franchise, negotiable instrument, a new law of contract, maraknya pemakaian the wireless terminal seperti telepon genggam sampai kepada komputer global (internet). Kehidupan dunia baru ini menimbulkan perilaku baru dan memerlukan aturan baru (new rules) untuk dapat mengikuti dan mengaturnya.

Dalam dunia kontrak bisnis ini ada ketidakseimbangan penempatan dan pemilikan modal sehingga para pemodal besar dengan mudahnya melakukan pemaksaan terhadap pemilik modal minimal. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa sebagai dengan mudahnya memaksakan syarat-syarat minimal bagi investasi dan kerja sama ekonomi yang pada umumnya negara-negara kecil, disamping faktor sistem hukum yang berbeda sangat mempengaruhi dalam hal pembuatan kontrak.

Page 5: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Oleh karena itu, masalah pokok yang akan dikaji dalam penulisan ini adalah ; “Sampai Sejauhmanakah Perbedaan Aspek Budaya Hukum Pada Masyarakat Dengan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law Mempengaruhi Pelaku Usaha Dalam Kontrak Bisnis Internasional ?”

3. Metode PenulisanDalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis dan preskriptif,

dimana penguraiannya dilandasi suatu pemikian untuk mengungkapkan sampai sejauhmana pengaruh adanya perbedaan system hukum civil law dan common law terhadap pelaku usaha kontrak bisnis di era globalisasi dalam melakukan perjanjian/kontrak bisnis internasional.

Untuk itu maka kajian aspek Budaya Hukum terhadap masing-masing sistem hukum dimaksud akan dikaji dalam upaya mengungkapkan bagaimana penentuan dan penyelesaian sengketa pelaku bisnis dalam melakukan kontrak bisriis internasional dengan adanya perbedaan sistem hukum dimaksud.

B. TINJAUAN TEORETIS TERHADAP ASPEK BUDAYA HUKUM1. Pengertian dan Pemahaman Terhadap Budaya Hukum

Menurut Lawrence M. Friedman, untuk kepentingan analisis, sistem hukum yang beroperasi dapat dianggap sebagai sesuatu yang berisi tiga komponen. Jurnal Hukum Supremasi, Vol. 1, No.2, April 2008-September 2008 Komponen Pertama adalah komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme. Komponen kedua adalah substansi, yaitu hasil sebenarnya yang dikeluarkan oleh sistem hukum. Dan struktur dan substansi sebenarnya merupakan apa yang pada umumnya disebut sistem hukum. Komponen ketiga berupa sikap dan nilainilai yang menjadi pegangan masyarakatyang akan menentukan apakah pengadilan akan dimanfaatkan atau tidak, apabila menghadapi suatu masalah hukum. Dalam beberapa kebudayaan maksud untuk berperkara di muka pengadilan dianggap sebagai unaya terakhir, sedangkan pada kebudayaan lain berperkara di muka pengadilan merupakan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari.

Dengan demikian yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan faktorfaktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima didalam kerangka budaya masyarakat.

Lawrence M. Friedman lebih lanjut menguraikan, bahwa menurut para ahli anthropologi, budaya tidak sekedar berarti kumpulan bentuk tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya diartikan sebagai kategori sisa sehingga didalamnya termasuk keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap-sikap yang mernpengaruhi bekerjanya hukum tetapi yang bukan merupakan hasil dedul:si dari substansi dan struktur. Sehingga termasuk didalamnya rasa hormat atau tidak hormat kepada hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan atau tidak menggunakan pengadilan karena memilih cara-cara informal untuk menyelesaikan suatu sengketa. Termasuk pula kedalam budaya hukum adalah sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan terhadap hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnis, ras, agama, lapangan pekerjaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda-beda (Ronny Hanitijo Soemitro, 1989: 10).

Dengan demikian yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya Dengan kata lain, bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jika orang mengatakan bahwa orang

Page 6: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Amerika suka memperkarakan ke pengadilan (litigious) yaitu cepat-cepat ke Pengadilan orang tersebut sedang berbicara sesuatu tentang budaya hukum (lepas dari apakah yang dikatakan benar atau tidak). Kita berbicara budaya hukum setiap saat tanpa sadar. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalah gunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya (Lawrence Friedman, 2002: 50-51).

T.O. Ihromi, membicarakan tentang budaya hukum menyatakan, bahwa: “Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (T.O, Ihromi, 1980: 13).

Pada hakekatnya budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karenanya dalam membahas budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum, misalnya bagaimana tentang sikap perilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap perilaku dan pandangan masyarakat yang lain. Jadi tanggapan yang sama dapat bersifat menerima atau bersifat menolak budaya hukum yang lain, begitu pula terhadap norma-norma hukum sendiri yang dikehendaki berlaku atau terhadap norma-norma hukum lain.

Dikatakan oleh Rusdi Kantaprawira (Hilman Hadikusuma, 1986: 52) bahwa; “Dikarenakan pemahaman (persepsi) budaya hukum itu pada kenyataaanya sering nampak berkaitan dengan peradaban dan teknologi, maka tidak salahnya budaya hukum itu disebut peradaban hukum, seperti halnya budaya politik dapat diartikan sebagai peradaban politik”.

Adapun masalah yang akan timbul, karena budaya hukum itu meliputi orientasi pribadi yang berlatar belakang pada pengetahuan dan pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya penilaian, sehingga ia menyetujui atau menolak, atau mendiamkan peristiwaperistiwa hukum yang terjadi.

Dengan demikian budaya hukum itu merupakan tanggapan yang bersifat menerima atau menolak terhadap peristiwa hukum. Ia menunjukan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam hal melakukan kontrak bisnis tersebut dilakukan oleh mereka yang sistem dan aturan dalam melakukan perjanjiannya memiliki pandangan yang berbeda, seperti antara masyarakat dengan sistem hukum civil law dan masyarakat dengan system hukum common law.

Oleh karena sistem hukum itu merupakan hubungan kait mengait diantara manusia, masyarakat, kekuasaan dan aturan-aturan, maka perlu mendapat perhatian disini adalah perilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kaitan antara perilaku manusia dengan budaya hukumnya terletak pada tanggapannya terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis. Antara keduanya, bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi, oleh karenanya dapat dikaji sejauhmana pengaruh perbedaan budaya hukum dimaksud antara pelaku usaha bisnis internasional untuk kemudian setuju atau tidak setuju terhadap cara penyelesaian hukum mengenai suatu perselisihan hukum didalam kontrak bisnis internasional.

Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, yang merupakan pencerminan budaya hukum, yaitu pencerminan dari nilai-nilai budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki dan dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan. Memang tidak ada

Page 7: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

kebenaran yang mutlak, karena kebenaran yang mutlak adalah dari kekuasaan Tuhan, namun dari pandangan hidup masyarakat yang hidup akan dapat digambarkan bagaimana budaya hukum masyarakat itu.

Menurut E.B. Tylor yang dikutip oleh Harsojo merumuskan: “Kebudayaan” sebagai suatu keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung unsur-unsur ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai Jurnal Hukum Supremasi, Vol. I, No. 2, April 2008-September 2008 126 anggota masyarakat (Budiono Kusumohamidjojo, 1999: 168). Unsur-unsur kebudayaan itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling bertalian dan bahkan saling mempengaruhi. Namun, jika kita memusatkan diri pada hukum sebagai salah satu unsur kebudayaan, maka hukum itu diantaranya terkondisikan sebagai suatu sistem, dimana hukum itu mempunyai struktur, yaitu bangunan konseptual yang terdiri dari bagian-bagian yang integratif sifatnya, antara lain, struktur hukum mengenal unsur pembuat hukum serta pelaksanaannya, perangkat hukum material, prosedur pelaksanaan hukum, prasarana pelaksanaan hukum, dan sebagainya. Ketiadaan atau tidak berfungsinya salah satu hagian akan mempengaruhi seluruh struktur hukum itu.

2. Budaya Hukum Sebagai Sub Sistem Hukum Dalam MasyarakatHukum sebagai unsur kebudayaan tidak dapat dipikirkan tanpa manusia, dan sebaliknya

manusia tidak dapat dipikirkan tanpa hukum, demikian juga halnya dengan korelasi antara manusia dan kebudayaan. Meskipun demikian, jika pembedaan dan korelasi antara individu dan kolektif adalah relevan bagi filsafat dan hukum, bagi kebudayaan, manusia hanya relevan sebagai masyarakat. Bagi kebudayaan, individu adalah relevan sejauh dia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dengan perkataan lain, dalam konteks fenomenologi eksistensial, kebudayaan itu hanya mempunyai ruang lingkup sosial dan tidak mempunyai ruang lingkup individual. Kebudayaan dengan demikian dapat dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sedangkan masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa keseluruhan karyanya itu, yang sekaligus membuatnya spesifik dan dengan demikian membedakannya dari masyarakat yang lain. Mungkin tidak berlebihan jika kebudayaan dipahami sebagai “kepribadian” dari suatu masyarakat.

Dorodjatun Kontjoro-Jakti, sambil mengacu pada para ilmuwan dunia, berpendapat bahwa kebudayaan berfungsi sebagai parameter, karena dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa dunia, sektor kebudayaan merupakan sektor yang tidak gampang berubah dan tidak mudah hilang, walaupun berbenturan dengan sektor-sektor lain, (Budiono Kusumohamidjojo, 1999: 170).

Lalu, apakah sebenarnya masyarakat itu? Tanpa mengesampingkan definisi yang telah dirintis bagi pengertian “masyarakat”, kita bisa mernahami masyarakat sebagai kelompok manusia yang hidup relatif sebagai kebersamaan berdasarkan suatu tatanan kebudayaan tertentu. Sebagai kelompok, masyarakat mengenal prinsip-prinsip pengelompokan yang didasarkan pada aneka kategori, seperti etnik, kcpercayaan, profesi yang sama atau sejatah yang relatif sama.

Tetapi, untuk menjadi suatu masyarakat, suatu kelompok manusia biasanya menganut beberapa kategori relatif sekaligus. Ada sejumlah masyarakat yang mengikatkan diri karena faktor ras, bahasa, agama dan kebiasaan yang sama. Tetapi tidak sedikit juga kelompok manusia yang mengikatkan diri sebagai masyarakat, sekalipun para anggota masyarakat itu terdiri dari berbagai ras, berbicara dalam berbagai bahasa, menganut berbagai agama, serta dilatarbelakangi oleh adat kebiasaan yang berbeda juga. Karena itu, untuk dapat merupakan kelompok, proses

Page 8: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

penyusunan masyarakat sebagai organisasi dengan suatu struktur tertentu memainkan peranan yang lebih menentukan, terutama seperti yang dapat diamati pada masyarakat modern.

Struktur sosial itu terjalin dari “hubungan antar bagian yang tersusun dalam keseluruhan, dengan suatu tatanan dimana elemen-elennen kehidupan sosialnya terkait satu sama lain. Dalam struktur itu anggota masyarakat mengenal status dan peranannya masing-masing. Anggota masyarakat itu dalam statusnya masing-masing, baik yang diperoleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha sendiri menjalankan peranannya dengan mengacu kepada pranata-pranata sosial.

Sejak Auguste Comte merintis sosiologi, para pemikir bidang filsafat dan ilmu sosial sudah menyadari bahwa masyarakat sebenarnya merupakan suatu kenyataan yang kompleks. Demikian juga halnyaa dengan pranata-pranata yang menempatinya. Usaha mereka, terutama Talcott Parsons dan N. Luhmann, untuk menempatkan masyarakat ke dalam suatu titian yang memungkinkan mereka untuk memahami masyarakat dengan lebih transparan telah mengembangkan apa yang kita kenal dengan “Teori sistem”.

Dengan “sistem” dipahami suatu besaran dari berbagai elemen serta jalinan yang menghubungkan berbagai elemen. Jalinan hubungan antar elemen itu membangun struktur dari sistem.

Dalam kerangka hukum, masyarakat menjadi relevan karena anggota masyarakat sebagai individu maupun sebagai kelompok-kelompok menjalankan peranannya dengan tindakan. Dengan demikian, tidak dapat dihindari bahwa masyarakat sebagai suatu sistem terdiri dari tindakan dari perilaku yang “dikemudikan” sesuai dengan keinginan masyarakat. Kebenaran (atau kesalahan) dari tindakan dan perilaku itu ditetapkan berdasarkan tujuannya, yang dalam kerangka hukum adalah keadilan. (Budiono Kusumohamidjojo, 1999: 172).

Dalam pada itu perlu diingat bahwa sebagai sistem, masyarakat itu mengatur dan mengorganisasikan dirinya secara dinamis. Masyarakat yang mengatur dan mengorganisasikan dirinya secara dinamis itulah yang menjadi objek dari sibernetika, yaitu suatu cabang ilmu yang oleh Deutsch, (Budiono Kusumohamijoio, 1999: 172) tugasnya dirumuskan sebagai “memperoleh kejelasan tentang bagaimana aturan-aturan undang-undang atau pranata-pranata yang khusus berfungsi dalam kerangka sistem politik atau sosial tertentu, dan perubahan fungsi apa yang akan terjadi jika aturan-aturan undang undang atau pranata-pranata yang khusus itu diterapkan dalam suatu sistem yang lain”.

Teori Talcott Parsons merupakan penggambaran yang lengkap mengenai tingkah laku manusia dengan semua perkaitannya. Menurut Talcott Parsons (Ronny Hanitijo Soemitro, 1989: 29), tingkah laku individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam sub sistemsub sistem. Dalam garis besarnya, tingkah laku individu dibatasi oleh dua lingkungan dasar yang masing-masing bersifat fisik dan idial, yaitu lingkungan fisik-organik dan lingkungan realitas tertinggi. Diantara kedua lingkungan dasar tersebut terdapat sub sistem yang merupakan suatu kesatuan hirarkis, yaitu sub sistem budaya dengan fungsi mempertahankan pola, sub sistem sosial dengan fungsi integrasi, sub sistem politik dengan fungsi mencapai tujuan dan sub sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi.

Uraian dimaksud dapat dilihat dalam bagan tersebut di bawah ini ;

Page 9: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Dalam kerangka sub sistem - sub sistem tersebut, hukum dapat masuk ke dalam sub sistem budaya dan dapat masuk ke dalam sub sistem sosial. Sebagai sub sistem budaya hukum mempertahankan pola nilai-nilai budaya yang merupakan pedoman bagi tingkah laku-tingkah laku individu. Sebagai sub sistem sosial, hukum berfungsi melakukan integrasi mengatur kegiatan individu dalam memenuhi kepentingannya serta mencegah timbulnya konflik-koriflik dan hal-hal lain yang mengganggu kelancaram pergaulan sosial dan produktivitas masyarakat. Sebagai sub sistem yang paling dekat dengan lingkungan fisik organik, sub sistem ekonomi melakukan adaptasi terhadap lingkungan kehidupan manusia yang bersifat bio-fisik. Tanpa fungsi adaptasi yang dilakukan oleh sub sistem ekonomi, masyarakat tidak dapat mempertahankan hidupnya di tengah-tengah lingkungannya. Kegiatan ekonomilah yang dapat merubah berbagai sumber daya yang terdapat di sekitar manusia sehingga berguna untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Bagan Talcott Parsons juga menunjukan hubungan yang dinamakan hubungan sibernetika. Hubungan sibernetika antara sub sistem sub sistem dalam masyarakat berlangsung melalui proses arus informasi dari sub sistem dengan tingkat informasi tinggi ke sub sistem dengan tingkat informasi rendah. Sebaliknya juga terjadi anus dari sub sistem dengan tingkat informasi yang lebih rendah, yang dalam hal ini dikondisikan oleh sub sistem sub sistem yang lebih tinggi kemampuannya untuk memberikan energi. Pada bagan dapat dilihat bahwa meskipun sub sistem sosial berada pada kedudukan untuk memberikan ants informasi kepada sub sistem politik dan sub sistem ekonomi, tetapi dari segi sinergi dua sub sistem tersebut menempati kedudukan yang lebih tinggi (Ronny Hanitijo Soemitro, 1989: 30).

Dalam kerangka Parsons, terdapat tiga referensi bagi perilaku manusia dalam dinamika sibernetik, yaitu perilaku yang mengacu kepada sistem yang pribadi, kepada sistem sosial, serta kepada sistem kebudayaan.

Baik Parsons maupun Luhmann mengkonsentrasikan diri lebih jauh kepada perilaku yang mengacu kepada sistem sosial, yang oleh Luhmann dirumuskan sebagai “jalinan keterkaitan makna dari perilaku sosial”. Artinya, fokus diletakkan pada perilaku yang menimbulkan dampak pada hubungan antara anggota masyarakat. Jalinan dari berbagai perilaku sosial itu tidak berlangsung secara acak, melainkan mengenal suatu tingkat stabilitas tertentu. (Budiono Kusumohamidjojo, 1999: 172).

Pengembangan konsep Talcott Parsons secara lebih terperinci dilakukan oleh Harry C. Bredemeier. Dengan mendasarkan pada konsep Talcott Parsons, Bredemeier menggambarkan teriadinya proses pertukaran diantara sub sistem - sub sistem yang dikemukakan oleh T. Parsons.

Page 10: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Bredemeier mengemukakan bahwa tinjauannya bersifat common-law sentries, sehingga Pengadilan menempati posisi sentral. Pengadilan mewakili fungsi integrasi yang dilakukan oleh subsistem sosial.

Pada bagan tersebut dapat diuraikan bahwa integrasi yang dilakukan oleh Pengadilan dengan cara memproses masukan-masukan yang berasal dari sub sistem-sub sistem lain menjadi keluaran (Ronny Hanitijo Soemitro, 1989: 32). Fungsi mengintegrasikan yang dilakukan oleh hukum adalah mengkoordinasikan berbagai kepentingan-kepentingan yang berjalan sendiri-sendiri, bahkan yang mungkin bertentangan menjadi satu hubungan yang tertib sehingga menjadi produktif bagi masyarakat tersebut. Fungsi adaptif ini oleh Bredemeier diperinci lagi selain meliputl kegiatan ekonomi menambahkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sub sistem ini mencakup semua kegiatan dalam memproses sumber daya alam untuk kemanfaatan manusia. Benturan-benturan kepentingan di bidang ini memberikan isyarat kepada sub sistem sosial yang diwakili oleh lembaga pengadilan agar sengketa yang terjadi diselesaikan.

Keluaran dari penyelesaian ini berbentuk penertiban terhadap hubunganhubungan kepentingan yang tidak serasi, sehingga kepentingan-kepentingan yang bertentangan itu dapat diorganisasikan menjadi tertib. Pengorganisasian ini dapat berupa penegasan kewajiban-kewajiban, jawab, pengganti sebagainya.

Akan halnya dibidang hkum kontrak bisnis, terhadap pandangan teori diatas, secara ironis dapat dikemukakan bahwa adanya apa yang dinamakan kerjasama regional dan bahkan organisasi perdagangan dunia (WTO) justru mempertajam (setidak-tidaknya dari segi hukum) batas-batas antar negara. Kerja sama regional di wilayah Indonesia sekatipun, ASEAN misalnya, belum melangkahkan kakinya untuk menghapus perbedaan-perbedaan di bidang hukum antara negara. Kendati, setidak-tidaknya harmonisasi antar sistem hukum sangat dibutuhkan, khususnya guna memperlancar jalannya perlindungan atas karya intelektual antar negara di era globalisasi.

Menurut Taryana Soenandar dalam Jurnal Keadilan, No. 1, Maret 2001, hat 33, bahwa masyarakat hkum Amerika Serikat misalnya yang tergabung dalam American Law Institute (ALI), dalam hal pengaturan hukum kontrak mengajukan program yang dikenal dengan “Restatement of the Law of Contract” (RLOC) yang diajukan oleh para ahli hukum yang aktif dalam Inter-American Commerce and Trade. Mereka ingin mengatasi ketidakpastian dan kompleksitas hukum yang disebabkan oleh sifat federal dari sistem hukum Amerika. Anggota komisi terdiri atas perwakilan dari Mahkamah Agung (Supreme Court) peradilan banding (United State Circuit Courts of Appeals), Asosiasi Sekolah Hukum Amerika, American and state Bar Association, National Conference of Commissioners on Uniforma State Laws seperti

Page 11: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

prinsip-prinsip UNIDROIT, “restatement” dirancang oleh organisasi swasta dengan menunjuk para rapposteurs untuk merancang berbagai bidang hukum kontrak dan rancangan final. Aturan-aturan hukum dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam “Restatement” dirancang sebagai “black letter law” yang dilengkapi (supplement) dengan rangkaian “Restatement in the court” yang menunjukan dan cara bagaimana “Restatement” digunakan oleh Pengadilan, dan anotasi resmi (State Annotations) yang menunjukan bilamana dan sejauhmana prinsip-prinsip yang tertuang didalamnya telah digunakan oleh negara-negara bagian Amerika Serikat.

Kaitan uraian dimaksud dapat dikaji dalam teori yang dikembangkan Bredemeier (Ronny Hanitijo, 1989: 32) tersebut diatas bahwa dalam sub sistem budaya, anggota masyarakat harus tergerak untuk membawa sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka ke Pengadilan. Sikap ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengadilan adalah tempat yang dapat memberikan keadilan kepada anggota-anggota masyarakat itu. Sehingga setelah sengketa diputuskan, keluaran dari pengadilan berupa keadilan. Namun apakah hal tersebut akan demikian realitanya jika sengketa tersebut terjadi antara pelaku usaha kontrak bisnis internasional yang memiliki pandangan budaya hukum yang berbeda, sebagaimana halnya antara negara dengan sistem hukum civil law dan common law.

Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan tehnologi informatika modern, issue modernisasi menjadi mendunia dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi, yang menuntut perubahan struktur hubungan hukum (legal structure), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) yang sering sama sekali bare. Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut tuduhan-tuduhan selanjutnya pasti muncul, seperti penguasa tidak dapat menjamin kepastian hukum, akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, semua akan menjadi pasti dan tidak tertib serta rasa tidak terlindungi.

C. ANALISIS TERHADAP ASPEK BUDAYA HUKUM PELAKU USAHA KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL DALAM ERA GLOBALISASI

1. Analisis Terhadap Hukum Kontrak Bisnis Internasional Dalam Era GlobalisasiGlobalisasi mengandung makna yang dalam. Dalam bisnis misalnya, globalisasi bukan

hanya sekedar melakukan transaksi bisnis di beberapa negara di dunia. Globalisasi hanis ditafsirkan sebagai berdagang di seluruh dunia dengan cara baru (new way), menjadi keseimbangan kualitas global hasil produksi atau pelayanan di satu pihak dengan kebutuhan-kebutuhan khas (unique needs) yang berbasis pada berbagai macam konsumen. Lebih jauh lagi globalisasi mematahkan kualitas-kualitas yang melekat pada bisnis yang sudah terbentuk atas dasar pandangan-pandangan cultural etnosentrik yang sempit (the culturally ethnocentric hidebound), tanpa memandang nasionalitasnya.

Muladi mengungkapkan globalisasi melibatkan, apa yang dinamakan “recognizing the particular genius of employes” dari perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia, tanpa melihat kewarganegaraannya (Muladi, 2001: 28).

Melakukan bisnis dalam nuansa seperti ini mengharuskan para pelaku bisnis tersebut untuk dapat mempertimbangkan pendekatan global terhadap hasil produksi dan jasa untuk melayani para. konsumen atau langganan (customer), yang kemungkinan juga beroperasi (dalam bentuk kontrak-kontrak) di seluruh dunia. Mereka baik secara individual maupun kolektif, melalui sistem informasi yang canggih mengharapkan standar produksi dan pelayanan yang sama, dimanapun mereka berada (the global traveler). Dalam kondisi global seperti ini

Page 12: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

memungkinkan mereka untuk berkompetisi, mengikuti perkembangan tehnologi dan menggali keuntungan dari berbagai kesempatan bisnis yang ada.

Dari segi hukum, hal-hal diatas tidak dapat diberikan begitu saja, karena kehidupan umat manusia yang didasarkan atas pemikiran yang bersifat global (global vision) diatas dengan segala kompleksitasnya tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa norma (anomie of success) dan tanpa “rule of law”. Persiapan masing-masing negara baik secara internal maupun eksternal harus dilakukan apabila bangsa dan negara tersebut ingin menjadi “independent variable” dalam era globalisasi tersebut.

Globalisasi bisnis membawa akibat yang beragam terhadap pola hubungan antara negara atau antar manusia yang satu dengan manusia yang lain, salah satunya dibidang hukum kontrak bisnis internasional.

Menurut Hakim Yahya Harahap dalam tulisannya yang berjudul, “Globalisasi Bisnis dan Manfaat Yurisprudensi Tetap”, (Jurnal Keadilan, No. 4: Oktober, 2001: 2) mengatakan bahwa kita membutuhkan suatu standar hukum (law standar) yang dapat melayani kebutuhan dan kepertingan masyarakat bisnis. Standar hukum tersebut merupakan unified legal frame dan unified legal opinion, dan hal ini dapat dicapai melalui maksimalisasi peran yurisprudensi sebagai bagian dari prinsip judge made law. Hal ini perlu dilakukan agar putusan-putusan pengadilan mengenai kasus yang sama, tidak bercorak fluktuatif, dan membuat disparitas antara yang satu dengan yang lain.

Kontrak bisnis internasional, juga ada yang menyebut dengan istilah kontrak bisnis transnasional (antara negara) ataupun “cross-border business contract”, apabila suatu kontrak bisnis tertentu mengandung unsur-unsur asing, baik ditinjau dari segi pihak-pihaknya maupun ditinjau dari segi substansi kontraknya. Dengan demikian apabila suatu kontrak umpamanya, melibatkan disatu pihak, pribadi atau badan hukum, yang tunduk pada hukum asing (misal Amerika) dengan pihak lain, pribadi atau badan hukum, yang tunduk pada hukum Indonesia, maka bisa dikatakan kontrak bisnis tersebut merupakan kontrak bisnis internasional.

Hukum apakah (atau hukum negara manakah) yang berlaku bagi suatu kontrak bisnis internasional ? Secara prinsipil, apakah ada suatu aturan hukum tertentu, dalam arti aturan hukum yang berlaku secara internasional, dilebih dari suatu negara yang mengatur kontrak--kontrak bisnis internasional tersebut ?

Masalah-masalah hukum dalam suatu kontrak bisnis internasional diselesaikan oleh ketentuan hukum perdata internasional. Ketentuan hukum perdata internasional berupaya mencari jawaban bagaimana sebenarnya bunyi hukum Indonesia sendiri dalam menghadapi kontrak-kontrak bisnis internasional berupaya mencari jawaban bagaimana sebenarnya bunyi hukum Indonesia sendiri dalam menghadapi kontrak-kontrak bisnis internasional tadi dari segi yuridisnya.

Akan tetapi, sebagaimana diungkap S. Gautama, hendaknya diingat, sekalipun suatu kontrak bisnis internasional dikuasai oleh bidang hukum yang dikenal dengan nama hukum privat internasional, tidaklah berarti bahwa di seluruh dunia ini hanya ada satu hukum privat internasional saja. Tiap-tiap negara, tiap sistem hukum tertentu memiliki kelompok aturan hukumnya sendiri yang mengatur hubungan-hubungan hukum internasional ditinjau dari segi kaca mata negara atau sistem hukum tertentu tadi.

Oleh karenanya istilah yang lebih sesuai menggambarkan sifat hukum perdata internasional ialah yang berasal dari Common law System. Sistem common law menggunakan istilah Conflict of Laws Rules : kaidah hukum yang mengatur (dalam anti memberi penyelesaian) bilamana dalam suatu perjanjian atau transaksi tertentu ada benturan (konflik) antara dua sistem

Page 13: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

hukum atau lebih. Kaidah hukumnya yang memberikan pengaturan atau penyelesaian itu sebenarnya merupakan bagian dari sistem hukum nasional negara tertentu. Dengan kata lain, tidak ada suatu hukum privat internasional yang berlaku bagi semua negara di dunia, karena setiap negara memiliki hukum private internasionalnya sendiri. Masalah inilah sebenarnya yang sebenarnya menjadi pokok pangkal kesulitan guna memahami suatu kontrak bisnis internasional dari segi yuridis.

Memang ada suatu upaya menyusun ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum yang bisa berlaku bagi semua negara di dunia ini, khususnya di bidang transaksi bisnis. Salah satu contohnya adalah “United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods”, yang ditandatangani di Wina pada tahun 1980, dan efektif berlaku 1986, sementara Indonesia sendiri belum meratifikasinya. Dalam praktek, kontrak bisnis internasional yang sering dilakukan meliputi beberapa jenis kontrak, akan tetapi yang sering dijumpai, diantaranya kontrak jual beli (sales contracts), kontrak investasi (investment contracts), kontrak pembiayaan (financing contracts) dan kontrak di bidang jasa (services contracts).

Perkembangan praktek jenis kontrak bisnis internasional dapat dikaji, pada masa lalu manakala tehnologi komunikasi belum berkembang, maaka apabila para pihak tidak memilih hukum baik secara tegas maupun secara diam-diam, maka hukum yang berlaku adalah berdasarkan asas Lex Loci Contractus yang berarti hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana kontrak itu dibuat atau tempat disetujuinya kontrak. Atau ada juga yang menerapkan asas “Lex loci solutionis”, yaitu hukum dari tempat kontak dilaksanakan.

Dalam perkembangan selanjutnya tatkala tehnologi transportasi sudah mulai berkembang dan diiringi perkembangan tehnologi komunikasi, maka didalam melakukan kegiatan kontrak bisnis internasional mulai memanfaatkan sarana telekomunikasi melalui telephone, faximile, bahkan sekarang menggunakan internet, maka penerapan dalam praktek bisnis, yurisprudensi mengembangkan dua teori untuk menentukan tempat terjadinya kontrak, yaitu, Pertama, teori Post Box yang dianut di negara-negara Anglo Saxon atau negara yang menganut common law system. Menurut teori ini yang penting adalah tempat dimana seseorang yang menerima offerte memasukkan surat penerimaan penawaran dalam kotak pas “tempat pengiriman surat”, dan kotak pos inilah dianggap sebagai “locus contractus “ dari perjanjian tersebut.

Kedua, adalah teori Penerimaan yang umumnya dianut di negara-negara yang menganut civil law system. Menurut teori ini, yang biasa juga dikenal dengan Theory of Arrival, Theory of Declaration, maka penerimaan offerte harus sampai pada pihak yang melakukan penawaran. Surat penerimaan ini juga harus diterima oleh pihak yang melakukan offerte dan harus dinyatakan (declarated) dan harus sungguh-sungguh diketahui oleh pembuat penawaran itu. Tempat dimana pembuat penawaran itu menerima surat balasan itu dianggap sebagai “locus contractus” sehingga menjadi patokan untuk menentukan hukum yang berlaku dengan asas lex loci contractus.

Dalam perkembangan kemudian, oleh karena masyarakat bisnis juga tidak puas dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam penerapan teori-teori tersebut diatas, maka kemudian muncul teori modern yang dikenal dengan “Teori The Proper Law of the Contract”. Menurut teori ini kita harus mencari hukum daripada negara dimana kontrak yang bersangkutan mempunyai apa yang dinamakan “the most real connection”. Untuk itu kontrak yang bersangkutan supaya dapat dicari titik berat ke arah hukum negara perjanjian itu lebih condong dan dicari titik-titik laut yang terbanyak dan kearah itulah hukum yang harus dipergunakan.

Akan tetapi terhadap terori modern ini masih ada kesulitan dan ketidak puasan dari masyarakat bisnis internasional, karena teori ini baru dapat diterapkan bilamana telah terjadi

Page 14: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

suatu sengketa, baru dicari titik laut yang lebih beratnya. Ini dianggap tidak efisien jika harus berperkara lebih dahulu barn dapat ditentukan hukum yang berlaku.

Beranjak dari tolak pikir ini lahir lagi teori yang paling modern, yang dikenal dengan teori “The Most Characteristic Connection”. Menurut teori ini di dalam setiap kontrak dapat dilihat piliak mana yang melakukan prestasi yang paling karakteristik dan hukum dari pihak yang melakukan prestasi paling karakteristik ini adalah hukum yang dianggap harus dipergunakan, karena hukum inilah yang terberat dan sewajarnya dipergunakan.

Uraian diatas dapat dianalisis bahwa globalisasi ekonomi menjadi faktor pendorong penyeragaman atau harmonisasi hukum kontrak bisnis internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya yang terus menerus oleh para teoritisi dan praktisi hukum untuk menciptakan prinsip-prinsip kontrak bisnis internasional. Walaupun diketahui salah satu faktor yang mempengaruhi proses harmonisasi hukum dimaksud adalah budaya hukum yang berbeda antar negara yang satu dengan negara yang lainnya, termasuk perbedaan prinsip pandangan sistem hukum common law dan civil law.

2. Telaah Terhadap Kontrak Bisnis Internasional Pertautannya Dengan Budaya Hukum Antara Negara Dengan Sistem Civil Law dan Common Law

Dalam trend globalisasi pada umumnya, mitra kerja dari berbagai bangsa semakin lama semakin banyak berinteraksi dan bekerjasama, terutama dalam perusahaan-perusahaan joint-venture. Karena itu dimensi kultur (budaya hukum) harus diperhitungkan bukan sebagai dimensi yang statis, melainkan sebagai suatu variable interaksi yang dinamis dan harus dikelola oleh kedua belah pihak.

Sebagaimana pengetahuan dan pengalaman menunjukan bahwa perilaku pelaku usaha bisnis dengan adanya globalisasi ekonomi, dalam hal ini kontrak bisnis internasional, secara umum akan mempengaruhi nilai-nilai sikap dan perilaku individu. Analisis atas dimensi budaya memberikan pengaruh pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam berbagai bangsa. Di Indonesia, deregulasi terhadap penanaman modal asing telah meningkatkan jumlah joint venture antara pengusaha lokal dengan mitra asing, dengan budaya dimaksud dalam lingkungan kontrak bisnis internasional, dalam hal ini melihat pembedaan antara sistem hukum common law dan civil law.

Sebagai penganut sistem hukum civil law, pelaku kontrak bisnis internasional di Indonesia tentunya perlu mengetahui dan mempelajari hukum kontrak common law, guna menentukan pengambilan keputusan dalam melakukan hubungan kontrak bisnis dengan pihak dari negara penganut sistim hukum common law. Common law lahir dan berkembang dalam keadaan-keadaan khusus dalam sejarah dan budaya Inggris dan negara-negara lain yang dahulu terkait dengan Inggris. Prinsip-prinsip common law yang dibentuk dalam keadaan-keadaan yang demikian khususnya tentu tidak akan sesuai dengan Indonesia. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa pengaruh common law makin terasa di Indonesia dan di negara-negara lain sehingga pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan perkembangannya perlu untuk praktisi hukum atau lawyers Indonesia agar dapat melakukan penilaian prinsip-prinsip tersebut apabila menghadapi masalahmasalah hukum kontrak di Indonesia.

Untuk melihat pembedaan sistem hukum common law dan civil law pada kontrak bisnis tcrsebut, dapat dianalisis melalui prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Syarat-syarat sahnya kontrak

Page 15: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Pasal 1320 BW menentukan 4 (empat) syarat sahnya kontrak, yaitu kesepakatan, kecakapan, dan obyek tertentu clan causa yang halal. Menurut common law, kesepakatan., kecakapan, dan obyek tertentu juga disyaratkan untuk sahnya kontrak, tetapi ditambah unsur yang vital, yaitu consideration. Makna causa adalah apa yang diinginkan oleh para pihak. Causa adalah tidak lain daripada isi perjanjian. Jadi causa yang halal berarti kontrak harus rnengandung isi yang halal, yang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Di negara civil law, Causa adalah streking (tujuan) perjanjian. Didalam Code Civil Perancis, makna causa sama dengan consideration, yaitu prestasi yang dilakukan atau yang disanggupkan oleh pihak lawan.b. Kontrak Khusus

Praktek hukum di Indonesia sudah terbiasa dengan adanya aturan-aturan tersendiri untuk kontrak-kontrak khusus, sehingga para pihak dapat menyimpang dalam melakukan kontrak. Terbukanya kesempatan yang begitu luas untuk membuat kontrak berlandasan pada prinsip kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 (1) BW. Jadi, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan masuknya kontrak-kontrak gaya Anglo Amerika mengenai kontrak-kontrak khusus barulah dibuat ketika timbul kebutuhan akan aturan-aturan khusus yang bersifat memaksa (imperative). Perbedaan lain adalah tidak adanya ketentuan-ketentuan umum dalam hukum kontrak Anglo-Amerika.

c. Persesuaian Kehendak Inti hukum kontrak adalah persesuaian kehendak (meeting of minds) para pihak. Hal ini

berlaku dalam hukum kontrak Anglo Amerika dan hukum kontrak civil law, juga di Indonesia. Kalau para pakar civil law bergumul dengan teori-teori sekitar kesempatan dalam kontrak, sebaliknya masalah-masalah tersebut dalam hukum kontrak Anglo-Amerika didasarkan pada penyelesaian praktis dan pragmatis. Dan ini memang salah satu sifat khas hukum Anglo-Amerika, dimana hal ini tampak dalam perjanjian antara para pihak yang tidak berhadapan langsung, tetapi melalui saranasarana komunikasi tertentu.

Para pakar hukum civil law berkutat dengan berbagai teori untuk memecahkan masalah saat timbulnya perjanjian. Ada empat teori; teori pernyataan, pengiriman, penerimaan dan pengetahuan. Yang dianut adalah teori pengetahuan. Jadi, consensus baru ada ketika penerimaan atau akseptasi (acceptance) sudah diketahui oleh pihak yang menawarkan (offeror). Tetapi ada juga pendapat lain, yaitu yang menganut teori penerimaan.

Dalam hukum Anglo-Amerika tidak dipikirkan teori-teori dalam bidang ini. Berasaskan case law, yang menentukan dalam kontrak korespondensi adalah saat pengiriman acceptance yang didasarkan pada argumen praktis, penerima harus percaya dalam praktek bahwa kontrak telah ditutup jika akseptasinya telah dikirimkan atau diposkan. Inilah yang dinamakan “mailbox rule”.

d. Parol Evidence Rule : Kata-Kata yang Jelas dalam Kontrak;Suatu perbedaan lain antara common law dan civil law adalah bahwa pada umumnya

negara-negara civil law lebih liberal dalam memperkenankan pengajuan jenis-jenis bukti tertulis di pengadilan dalam menafsirkan suatu kontrak. Menurut common law, jenis-jenis bukti yang dibolehkan dalam interpretasi kontrak dibatasi oleh parol evidence rule”. Pada dasarnya yang dimaksud adalah apabila makna (meaning) suatu kontrak jelas, maka bukti lisan (dan bukti lain yang tertulis) tidak diperkenankan mengubah makna kontrak tersebut.

Page 16: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Penerapan Parol Evidence Rule sebelum menandatangani suatu kontrak tertulis, para pihak berunding dulu secara lisan. Mereka mungkin saling memberikan lembaran-lembaran tentu aran kertas yang tidak dimaksudkan sebagai kontrak tersendiri. Ketika kontrak tertulis tersebut akhirnya ditandatangani, mungkin saja didalamnya tidak termasuk pembicaraan tentang hal-hal yang muncul dalam rundingan lisan pendahuluan atau dokumen-dokumen tertulis, atau hal-hal tersebut diatur lain daripada yang telah mereka sepakati dalam pembicaraan sebelumnya. Apabila ini terjadi, sejauhmana pihak yang satu kemudian dapat mencoba membuktikan di pengadilan bahwa pembahasan-pembahasan lisan atau tertulis sebelumnya adalah bagian dari kontrak, walaupun hal-hal tersebut tidak tercantum di dalamnya.

Prinsip umum dalam hukum kontrak common law (yang juga dianut di negara-negara civil law) menentukan bahwa persetujuan yang kemudian mengungguli persetujuan sebelumnya, jika para pihak memaksudkan demikian. Prinsip ini juga berlaku walaupun persetujuan semula tertulis dan yang kemudian lisan. Tetapi, parol evidence rule diterapkan hanya jika persetujuan semula tertulis dan yang kemudian dibuat tertulis. Jika persetujuan yang kemudian secara lisan (dan parol evidence rule tidak berlaku), maka jury biasanya menentukan apakah para pihak bermaksud bahwa persetujuann lisan tersebut mengungguli sesuatu persetujuan sebelumnya. Tetapi jika persetujuan yang kemudian tertulis (jadi parol evidence rule berlaku), maka hakim yang menentukan apakah para pihak bermaksud persetujuan tertulis itu mengungguli persetujuan sebelumnya.

Akibat pembatasan umum ini seakan-akan parol evidence rule beralih menjadi plain meaning rule. Intinya adalah kata-kata yang jelas dalam perjanjian tidak boleh disimpangi melalui interpretasi. Dan aturan ini sama saja dengan rumusan pasal 1342 BW.

Peran hakim dalam menilai jelas tidaknya kata-kata dalam kontrak tentu sangat besar. Bisa saja hakim menilai bahwa kata-kata suatu kontrak tidak jelas - walaupun dari segi bisa saja hakim menilai bahwa kata-kata suatu kontrak tidak jelas - walaupun dari segi bahasa sebenarnya jelas - sehingga parol evidence rule tidak lagi mempunyai arti yang lebih praktis dibandingkan dengan pasal 1342 BW.

Tetapi kenyataannya lain, jika kontrak tertulis, hukum Anglo-Amerika tidak begitu mudah menyimpulkan bahwa isinya tidak jelas dibandingkan dengan hakim di negara-negara civil law. Ini termasuk persoalan interpretasi. Di negaranegara Anglo-Amerika pada umumnya dianut interpretasi restriktif dan gramatikal terhadap undang-undang. Dibandingkan dengan praktek di Inggris, interpretasi undang-undang di Amerika Serikat lebih bebas.e. Ingkar Janji; Breach of Contract

Menurut BW, jika terjadi wanprestasi oleh debitur, maka timbullah kewajibannya untuk membayar ganti rugi berdasarkan pasal 1236, 139, 1242 dan 1243 BW dan pengaturannya lebih lanjut dalam pasal 1246- 1250 13W.

Jika terjadi “breach of contract” oleh pihak debitur, menurut common law kreditur dapat menggugat debitur hanya untuk membayar ganti rugi (damages) dan bukan pemenuhan prestasi (performance). Tetapi adanya kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang lebih umum akhirnya dimungkinkan berdasarkan equity, sehingga disamping legal remedy (ganti rugi), ada equitable remedy (pemenuhan prestasi). Disamping kedua gugatan tersebut, dalam hukum Anglo Amerika tidak dibutuhkan suatu gugatan khusus untuk pembubaran - lain dengan hukum Indonesia - karena dapat dilakukan repudiation (penolakan terhadap perjanjian sejauh dimungkinkan) tanpa campur tangan hakim.

Tidak setiap breach of contract menimbulkan hak membubarkan perjanjian karena terbatas pada pelanggaran (breach) yang berat (substansial). Gejala ini juga terdapat dalam

Page 17: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

hukum Indonesia, khususnya dalam yursprudensi berkenaan dengan pasal 1266 BW. Berbeda dengan kesan yang ditimbulkan oleh rumusan pasal 1266 BW seakan-akan setiap wanprestasi akan membubarkan perjanjian, di dalam praktek hakim tidak akan membubarkan perjanjian sebagai akibat wanprestasi yang ringan. Selain itu pasal 1266 BW bersifat pelengkap jadi dapat disimpangi oleh para pihak dalam kontrak.

Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa kemungkinan pembubaran perjanjian di Indonesia lebih luas dibandingkan dengan dalam common law. Gugatan ganti rugi yang normal akibat wanprestasi adalah real damages, juga dinamakan oridinary damages. Sering terjadi para pihak waktu penutupan kontrak sudah menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar apabila terjadi wanprestasi, yang dinamakan liquidated damages dapat bermakna positif bagi para pihak. Kreditur akan bebas dari beban pembuktian yang berat tentang besarnya jumlah kerugian yang dideritanya. Debitur juga diuntungkan karena ia tidak akan dihadapkan dengan kejutan tentang besarnya ganti rugi yang harus dipikulnya.

Apabila pemenuhan prestasi dinilai lebih adil daripada rugi menurut common law, maka hakim berdasarkan equity dapat memerintahkan pemenuhan prestasi melalui decree of specific performance oleh pihak yang wanprestasi. Tetapi syaratnya adalah jika upaya ganti rugi menurut common law tidak layak. Ini berarti tidak dapat langsung memintakan specific performance. Demikian beberapa prinsip perbedaan sistem hukum common law dan civil law yang dianut di Indonesia dalam hukum kontrak bisnis. Berdasarkan realita pembedaan budaya hukum dimaksud, maka sewajarnyalah di era globalisasi ini, karena kecenderungan seringnya masyarakat Indonesia melakukan kegiatan transaksi bisnis dengan masyarakat dengan sistim common law, untuk melakukan pembaharuan dalam hukum kontrak.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap RUU Hukum Perikatan, ada dua prinsip yang menjadi titik tolak pemikiran pembaharuan asas hukum kontrak, yaitu prinsip konsensualisme sesuai dengan prinsip BW, dan prinsip riii berdasarkan Hukum Adat. Prof. Wirjono Prodjodikoro, pertama kali mengajukan gagasan pembaharuan hukum kontrak. Pendiriannya di dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Perjanjian” didasarkan pada semangat untuk menghidupkan prinsip-prinsip hukum adat ke dalam hukum kontrak yang akan datang. Sebab, prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam BW didasarkan pada prinsip hukum Romawi yang menitikberatkan pada cara yakni mementingkan tindakan yang bersifat suatu cara belaka, dengan kurang menggugat di muka hakim. Akibatnya pelaksanaan hukum BW bersifat formalitas mengindahkan kepentingan sejati dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Dengan demikian Wirjono Prodjodikoro mengusulkan agar dalam kondifikasi Hukum Perjanjian diikuti system hukum adat yang tidak mengenal perbedaan antara sifat perseorangan dan sifat perbendaan dari suatu hak, yang berdasarkan atas suatu perjanjian antara dua orang. Berdasarkan pemikiran tersebut, Wirjono mengusulkan agar dalam Hukum Perjanjian yang baru dititikberatkan pada prinsip perjanjian kontan (Riil) berdasarkan Hukum Adat, yang sesuai dengan pemikiran masyarakat Indonesia, dan sebaiknya tidak mengikuti prinsip BW yang menganut prinsip “Consensueel”.

Namun demikian, Wirjono Prodjodikoro mengakui, sebagaimana ditulis Taryana Soenandar (Jurnal Keadilan No. 1, Maret 2001 : 35) bahwa terdapat adanya kesukaran mempertahankan prinsip ini dalam lalulintas modern dan internasional, yang sekarang makin lama makin maju dalam mempengaruhi kehidupan hukum dari orang-orang Indonesia asli. Maka disamping perlu diakomodasi prinsip perjanjian riil juga harus dibuka kemungkinan adanya pengikatan bagi kedua belah pihak dalam hal adanya kesepakatan saja dari mereka (consensuil).

Page 18: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Sedangkan Setiawan, dalam Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perikatan; sebagaimana dikutip Taryana Soenandar (Jurnal Keadilan No. 1, Maret 2001 : 35) berpendapat ketentuan hukum perikatan kita untuk sebagian sudah “out dated” disamping masih hanyak yang dapat diterima. Setiawan lebih menekankan pada asas yang dianut BW, yaitu asas “konsensualisme” dengan menyatakan bahwa asas konsensualisme ini yang akan dijadikan dasar bagi Hukum Perikatan kita dimasa yang akan datang. Oleh karena di era globalisasi ini, bidang hukum, khususnya hukum perikatan, mulai terkena pengaruh apa yang dinamakan “Convention Law” sebagaimana misalnya The Vienna Convention on the Sale of Goods (CISG) “ dan “Community Law” sebagaimana misalnya “directives” bagi negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa. Dan hukum perikatan dalam konteks internasional dihadapkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan harmonisasi hukum.

Demikian pula Prof. Subekti mencampurkan kedua prinsip tersebut, yakni antara prinsip konsensualisme dan prinsip riil.

Namun yang jelas bahwa dengan ikut sertanya Indonesia pada perjanjian-perjanjian Internasional yang menyepakati berlakunya perdagangan bebas, maka Indonesia akan tunduk pada hukum memaksa internasional. Hukum memaksa tersebut, misalnya norma-norma perdagangan dari GATT, WTO yang mewajibkan untuk meminimalkan campur tangan negara terhadap kegiatan bisnis.

Dan globalisasi ekonomi menjadi faktor pendorong penyeraganan atau harmonisasi hukum komersial internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya yang terus menerus oleh para teoritisi dan praktisi hukum komersial untuk menciptakan prinsip-prinsip kontrak bisnis internasional.

D. PENUTUPHukum kontrak di Indonesia dalam bidang-bidang tertentu mirip dengan hukum kontrak

common law, tetapi dalam bidang-bidang lain ternyata berbeda. Hal ini tidak mengherankan karena latar belakang budaya dan tradisi yang mendasari memang berbeda. Untuk Indonesia yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana memahami ciri-ciri khas hukum kontrak common law dalam kerangka globalisasi dewasa ini, seperti betapa rincinya sikontrak common law, sampai hal-hal yang kecilpun diatur, yang dapat menyulitkan lawyer Indonesia.

Transaksi bisnis antara para pengusaha dari negara-negara common law dan para pengusaha negara-negara civil law (diantaranya Indonesia) dapat didasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak yang memang berlaku universal. Ini tidak berarti hukum kontrak tidak perlu diubah dan diperbaharui. Perubahan dan pembaharuan ini mutlak karena hukum kontrak di Indonesia misalnya, sudah ketinggalan zaman. Upaya ini seyogyanya dilakukan dengan memanfaatkan studi perbandingan hukum, seperti yang dilakukan dalam penyusunan BW baru Belanda, yang memuat sejumlah ketentuan yang berasal dari common law.

Untuk itu, dalam kondisi pergeseran dan perubahan sosial dalam masyarakat pada saat sekarang ini, karena pengaruh globalisasi, niscaya terjadi kesenjangan paradigma (pola dan struktur berpikir) antara rezim baru dengan paradigma yang tercermin dalaam budaya hukum yang masih membekas dalam pemikiran masyarakat sebagai sisa budaya hukum rezim kekuasaan sebelumnya.

Ada tiga faktor yang harus diperhatikan dalam memperbaharui hukum, yaitu: (1) budaya hukum lama sebagai hukum yang sedang berlaku (as it is); (2) budaya hukum yang diinginkan (as it should be); dan (3) adanya kegelisahan sosial (social unrest). Penanganannyapun harus difokuskan terhadap ketiga hat tersebut, dengan pendekatan yang berbeda. Misalnya ada yang

Page 19: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

harus ditangani melalui program jangka panjang dan ada pula yang harus ditangani secara terus menerus dalam jangka waktu segera.

Kenyataaan menunjukan terdapat berbagai perbedaan prinsip budaya dalam sistem hukum negara-negara common law dan civil law dalam ketentuan hukum kontrak bisnis, dan hal tersebut membawa pengaruh bagi para pihak pelaku usaha dalam melakukan kegiatan bisnis di era globalisasi ini.

Selama ini mungkin kita berpikir bahwa globalisasi hanya memberikan keuntungan pada sektor bisnis dan organisasi bisnis. Akibat perbedaan hukum, budaya dan sosial mengakibatkan masyarakat di dunia menginginkan suatu hukum yang dapat mengatur kehidupan global.

Dengan demikian, sistem hukum harus diintegrasikan baik yang ada pada negara-negara dengan sistim common law maupun pada negara-negara dengan sistim civil law dalam pengaturan hukum kontrak bisnis, dan dengan dipadukannya konsep-konsep dasar hukum kontrak dimaksud diharapkan akan tercipta suatu harmonisasi hukum yang memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Dan globalisasi tidak dapat dijelaskan secara lengkap apabila hanya dilihat dari segi ekonomis dan bisnis. Globalisasi hanya dapat diuji secara jelas dengan aspek-aspek kekuatan sosial dan budaya sehingga didapati suatu pemahaman yang lebih jelas tentang kompleksitas dari situasi global. Kita tidak dapat mengabaikan dalamnya retaken sejarah, nasionalitas, hudaya dan bahasa. Fenomena globalisasi hanya dapat dipahami melalui framework hukum yang mengartikulasi kehidupan modern.

E. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. BukuBadan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Pertemuan Ilmiah Tentang

Perkembangan Hukum Kontrak Dalam Bisnis Di Indonesia, Desember, 1994

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999.

Dam Podgorecki dan Whelan, Christoper J., Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional, (Ekspor Impor dan Imbal Beli); Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, . Bandung, 2000.

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.

John Rex, Analisa Sistem Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Juajir Sumadir, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Munir Fuady, Hukum Bisnis; Dalam Teori dan Praktek, Buku ke IV; Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Page 20: BUDAYA HUKUM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALFull... · Parsons diistilahkan dengan proses diferensiasi, yaitu evolusi perkembangan masyarakat yang paralel dengan perkembangan sistim

Prayitno Wukir, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991.

Program Kerjasama, Proyek ELIPS dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hukum Kontrak Di Indonesia, Seri Dasar Hukum Ekonomi 5; Elips, Jakarta, 1998.

Richard Buton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV. Agung, Semarang, 1989.

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.

____________, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

TO Ihromi, Antropologi Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1980,

2. Majalah & Jurnal

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Majalah Hukum Nasional, No. 1, 1999.

Jurnal Keadilan, Vol. 1, No.1, Desember 2000

Jurnal Keadilan, Vol. 1, No. 1, Maret 2001

Jurnal Keadilan, Vol. 1, No. 4, Oktober 2.001

Jurnal Keadilan, Vol. 2, No. 1, Maret 2002

LP3ES, Prisma, Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial; (Budaya Lokal versus Budaya Global) no. 6, 1996

_____________, Prisma, Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial (Reformasi Ekonomi dan Demokratisasi) nomor 5, 1997