Blok 18 Difteri Frida Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pasien didiagnosa menderita difteria tonsil faring (fausial difteria) yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae dengan ditemukannya manifestasi klinik berupa sesak napas yang sebelumnya didahului dengan demam, batuk, dan nyeri menelan . Diagnosa pasti ditegakkan dengan ditemukannya psudomembran dan bull neck pada pemeriksaan fisik, serta diketahui riwayat imunisasi yang tidak lengkap melalui anamnesis.

Citation preview

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    1/23

    1

    Difteri pada Anak dengan Riwayat Imunisasi Tidak Lengkap

    Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

    Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510.

    Pendahuluan

    Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada membrane

    mukosa atau kulit yang disebabkan oleh basil gram positif, Corynebacterium diphtheriae.

    Infeksi ini biasanya terjadi di saluran napas bagian atas yang ditandai oleh terbentuknya

    pseudomembran pada tempat infeksi dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan

    oleh eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri ini.

    Manifestasi klinis dari difteria tergantung dari lokasi infeksi, imunitas penderita, dan

    ada/tidaknya toksin difteri yang beredar di dalam sirkulasi darah. Gejalanya mulai dari yang

    paling ringan seperti gejala influenza biasa, sampai kepada yang paling berat yang

    menimbulkan obstruksi saluran napas yang tidak jarang menimbulkan kematian.

    Anamnesis

    Keluhan Sesak Napas

    Riwayat penyaki t sekarang

    Sudah berapa lama sesak napas?

    Bagaimana awalnya: mendadak atau bertahap? Apa yang sedang dilakukan pasien

    saat awal gejala: berbaring, berlari, berjalan, dan sebagainya?

    Apakah sesak napas semakin memburuk? Apakah yang memicunya dan apakah yang meredakannya? (postur, obat, atau

    oksigen)

    Adakah ortopnea?

    Adakah gejala penyerta? (nyeri dada, batuk, palpitasi, hemoptisis, dan mengi)3

    Riwayat penyakit dahul u

    Adakah episode serupa sebelumnya?

    Adakah riwayat penyakit kardiovaskular atau pernapasan? (khususnya gagal jantung,asma, PPOK, atau emboli paru)

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    2/23

    2

    Adakah sebab potensial untuk asidosis? (misalnya ketoasidosis diabetikum, gagal

    jantung)

    Adakah alergi?

    Riwayat pengobatan Terapi apa yang pernah dilakukan pasien? Adakah pajanan pada obat dengan efek

    samping pernapasan (misalnya amiodaron dan fibrosis paru)?

    Apakah pasien menggunakan oksigen/nebiliser/inhaler di rumah?

    Riwayat social

    Bagaimana pengaruh sesak pada aktivitas?

    Pernahkah ada pajanan di tempat tinggal?

    Keluhan batuk

    Sudah berapa lama?3

    Akut (3 minggu)

    Penyebabnya antara lain adalah infeksi saluran napas atas (misalnya

    influenza), pneumonia, oedem paru, eksaserbasi PPOK, rhinitis alergika, dan

    pertusis.

    Subakut (3-8 minggu)

    Penyebab di antaranya: batuk pasca infeksi, sinusitis, dan asma.

    Kronis ( 8 minggu)

    Penyebab di antaranya: postnasal drip, asma, refluks gastroesofagus, kanker

    paru, bronkiektasis, TB, dan PPOK.

    Apakah ada sputum? Apa warna dan berapa banyak sputum?

    Adakah darah?

    Apakah disertai gejala yang menunjukkan penyakit serius? (hemoptisis, sesak napas,

    nyeri dada, penurunan berat badan)

    Adakah demam, takikardi, takipnea?

    Adakah riwayat penyakit pernapasan kronis?

    Adakah tanda-tanda sinusitis (missal nyeri gigi maksilaris, secret hidung purulen, atau

    nyeri wajah) ?

    Apakah pasien terpajan penyebab infeksi khusus (misalnya pertusis, allergen, atau

    obat)

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    3/23

    3

    Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit serupa?

    Riwayat imunisasi?

    Pemeriksaan Fisik

    Keadaan umum

    Keluhan sesak napas

    Apakah pasien sakit berat dan memerlukan resusitasi seperti intubasi dan ventilasi

    buatan?

    Apakah pasien perlu masker oksigen? (gunakan aliran oksigen terkontrol jika ada

    riwayat PPOK dan pantau analisis gas darah untuk hiperkapnia)

    Adakah takipnea, takikardia, demam, sianosis, anemia, atau syok?

    Adakah penggunaan otot bantu pernapasan, mengi yang terdengar jelas, atau stridor?

    Adakah tanda-tanda gagal jantung atau kelebihan cairan (misalnya ronki, irama

    gallop, peningkatan JVP, dan oedem perifer) ?

    Adakah tanda-tanda yang menunjukkan adanya infeksi (misalnya demam, sputum,

    dan tanda-tanda konsolidasi) ?

    Adakah tanda-tanda efusi pleura (perkusi tumpul, suara napas menurun) ?

    Adakah tanda-tanda pneumotoraks (perkusi hiperesonansi, suara napas menurun) ?

    Adakah tanda-tanda emboli paru (JVP meningkat, gesekan pleura) ?

    Tanda-tanda distress pernapasan ? (takipnea, penggunaan otot bantu pernapasan,

    takikardia, tidak mampu menyelesaikan satu kalimat karena sesak, kecemasan,

    sianosis, stridor, mengantuk atau bingung)3

    Keluhan batuk

    Adakah tanda-tanda konsolidasi, oedem paru, jari tabuh, atau ronkhi ?3

    Pemeriksaan mulut dan far ing

    Pemeriksaan fisik pada kasus ini lebih difokuskan pada pemeriksaan bagian faring.

    Pemeriksaan faring pada anak dapat dilakukan setelah pemeriksaan fisik lainnya selesai

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    4/23

    4

    dilakukan karena pada pemeriksaan faring ini akan membutuhkan bantuan orangtua untuk

    memegang dan menenangkan anaknya.

    Jika pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan spatel lidah, teknik yang terbaik

    adalah dengan mendorong spatel tersebut ke bawah dan sedikit menariknya ke depan (seraya

    ditekan), sementara anak mengatakan ah. Hati-hati, jangan sampai meletakkan spatel

    terlalu belakang pada lidah karena akan memicu refleks muntah. Kadang-kadang anak yang

    kecil dan merasa cemas harus dipegangi; anak ini akan mengatupkan mulutnya dan

    mengerutkan bibirnya. Dalam menghadapi kasus ini, spatel harus diselipkan dengan hati-hati

    di antara kedua baris giginya dan kemudian menekan lidahnya. Tindakan ini memungkinkan

    Anda mendorong lidah ke bawah atau memicu refleks muntah yang membuat Anda dapat

    melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya.4

    Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil.

    Ukuran tonsil bervariasi cukup luas pada anak dan sering kali digolongkan dalam skala 1+

    hingga 4+; angka 1+ menunjukkan adanya celah yang terlihat jelas di antara kedua tonsil dan

    angka 4+ memperlihatkan bahwa kedua tonsil saling menyentuh pada garis tengah ketika

    mulut dibuka lebar-lebar. Tonsil pada anak sering terlihat lebih obstruktif daripada kenyataan

    yang sebenarnya.4

    Lakukan pula inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan

    warna serta kesimetrisannya, dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran

    tonsil. Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah

    tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat

    (pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat tersumbat

    karena adanya oedem pada faring, tonsil, atau laring.4

    Pemeriksaan leher (kelenjar l imfe)

    Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau

    jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan

    perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.

    Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk serta jari

    tengah, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada setiap daerah. Pasien

    harus berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit difleksikan ke depan dan jika

    diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak diperiksa. Biasanya, pemeriksaan

    kedua sisi leher dapat dilakukan dalam satu pemeriksaan. Namun, untuk memeriksa nodus

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    5/23

    5

    limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan yang satu sementara bagian puncak

    kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya merupakan maneuver yang akan membantu

    pemeriksaan ini.4

    Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasinya di

    sebelah anterior dan superficial muskulus sternomastoideus. Kemudian, lakukan palpasi

    rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang muskulus trapezius

    (tepi anterior) dan muskulus sternomastoideus (tepi posterior). Fleksikan leher pasien agak ke

    depan kea rah sisi yang hendak diperiksa.4

    Pada kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus

    submandibular dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali

    membesar. Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan

    oleh karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras member kesan

    adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.

    Pemeriksaan paru

    Pemeriksaan ini lebih ditekankan pada teknik auskultasi. Jika Anda meminta anak

    kecil untuk menarik napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut akan menahan napas,

    sehingga menyulitkan dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak prasekolah akan

    lebih mudah untuk membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi pernapasan

    dengan memperhatikan intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler

    yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas.4

    Pada keadaan terdapatnya obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan

    disertai tanda lain seperti stridor, batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan

    yang khas pada penderita difteria. Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher

    daripada pada dinding dada. Stridor menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan

    memerlukan tindakan segera.4

    Pemeriksaan Penunjang

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    6/23

    6

    Kultur

    Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu

    tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama

    eksudat di bawahnya.5 Idealnya, specimen harus diambil oleh dokter atau personel yang

    terlatih. Pasien harus duduk menghadap sumber cahaya. Sambil lidah ditekan dengan spatula,

    sebuah lidi kapas steril diusapkan dengan kuat pada setiap tonsil, melalui dinding belakang

    faring dan semua tempat yang meradang. Hati-hati jangan sampai menyentuh lidah atau

    permukaan pipi bagian dalam (bukal). Sebaiknya mengambil dua usapan dari daerah yang

    sama. Usapan yang satu dapat digunakan untuk membuat sediaan apus, sedangkan usapan

    yang lain dimasukkan ke dalam wadah kaca atau plastic dan dikirim ke laboratorium.Alternative lainnya adalah menempatkan kedua usapan dalam suatu wadah dan

    mengirimkannya ke laboratorium. Jika specimen tidak dapat diproses dalam 4 jam, usapan

    harus dimasukkan dalam media transport (misalnya Amies atau Stuart).6

    Walaupun basil difteri tumbuh baik pada agar darah biasa, pertumbuhannya lebih baik

    dengan melakukan inokulasi pada salah satu atau dua media khusus:6

    1. Loeffler coagulated serum atau Dorset egg medium. Walaupun tidak selektif, kedua

    media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah

    inkubasi semalaman. Lagipula morfologi selular basil ini lebih khas, yaitu batang

    yang agak bengkok, terwarna tidak beraturan, pendek sampai panjang, menunjukkan

    granula metakromatik, dan tersusun dalam bentuk V atau palisade sejajar. Granula

    metakromatik lebih jelas setelah diwarnai dengan biru metilen atau pulasan Albert

    daripada dengan pulasan Gram.

    2. Agar darah telurit yang selektif. Media ini memudahkan isolasi saat bakteri berjumlah

    sedikit, misalnya pada kasus karier yang sehat. Pada media ini, koloni basil difteri

    berwarna keabuan sampai hitam dan berkembang sempurna hanya setelah 48 jam.

    Koloni mencurigakan, yang mengandung basil dengan morfologi coryneform pada

    pulasan Gram, harus disubkultur pada lempeng agar darah untuk memeriksa

    kemurniannya dan keberadaan morfologi yang khas. Harus diingat pula bahwa C.

    diphteriae biotipe mitis, yang paling banyak ditemukan, menunjukkan zona hemolisis-

    yang jelas pada agar darah.

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    7/23

    7

    Suatu laporan dugaan adanya C. diphteriae seringkali dapat diberikan pada tahap ini.

    Walaupun demikian, ini harus dipastikan atau disingkirkan dengan beberapa uji biokimia

    sederhana dan dengan menunjukkan adanya toksigenesitas. Karena uji toksigenesitas

    mensyaratkan inokulasi pada kelinci percobaan atau suatu uji toksigenik in vitro (Elek) dan

    harus dilakukan di laboratorium pusat, hanya identifikasi biokimia cepat yang akan dibahas

    di sini. C. diphteriae bersifat katalase positif dan nitrat positif. Urea tidak dihidrolisis. Asam

    tanpa gas dihasilkan dari glukosa dan maltose, umumnya tidak dari sakarosa. Fermentasi

    glukosa dapat diuji pada media Kliger. Aktivitas urease dapat ditunjukkan pada MIU dan

    reduksi nitrat pada kaldu nitrat seperti pada Enterobacteriaceae. Untuk fermentasi maltose

    dan sakarosa, air pepton Andrade dapat digunakan sebagai pelarut dengan konsentrasi akhir

    1% untuk tiap karbohidrat. Hasil biasanya dapat dibaca setelah 24 jam, walaupun

    kemungkinan perlu diinkubasi lagi semalaman. Harus ditekankan bahwa peran laboratorium

    mikrobiologi adalah untuk memastikan diagnosis klinis difteri. Terapi tidak boleh ditunda

    karena menunggu hasil laboratorium.6

    Diagnosis klinis difteria tidak selalu mudah ditegakkan, dan oleh klinikus-klinikus

    berpengalaman dinyatakan sebagai salah satu penyakit yang cenderung untuk salah

    didiagnosis. Kesalahan yang sering terjadi ialah dalam membedakan difteria dengan infeksi-

    infeksi lain seperti tonsillitis, faringitis streptokokal dan infeksi Vincent. Diperlukan waktubeberapa hari bagi laboratorium mikrobiologi untuk memastikan toksigenitas kuman difteri

    yang diasingkan.7

    Laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis difteri hanya berdasarkan

    pemeriksaan mikroskopis saja karena strain C. diphteriae baik yang toksigenik maupun yang

    nontoksigenik tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya secara mikroskopik, lagipula

    spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Oleh karena itu,

    apabila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman-kuman berbentuk khas difteri,

    maka hasil presumtif yang diberikan adalah ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal

    ini menunjukkan pentingnya diagnosis bakteriologik laboratorium untuk mendapatkan cara-

    cara yang mudah, cepat, sederhana, dan dipercaya yang dapat membantu klinikus dalam

    menegakkan diagnosisnya. Walaupun demikian, dalam kasus-kasus tersangka klinis difteri,

    janganlah hendaknya pemeriksaan laboratorium menjadi penyebab ditundanya pengobatan

    terhadap penyakit tersebut.7

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    8/23

    8

    Diagnosis bakteriologik harus dianggap sebagai penunjang dan bukan sebagai

    pengganti diagnosis klinik. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus

    diambil sebelum pemberian antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.7

    Shick Test

    Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada/tidaknya antibody terhadap toksin

    difteri (antitoksin). Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus difteri ringan dan kasus yang

    mengalami kontak dengan difteri, sehingga bisa diobati dengan sempurna. Untuk

    mendiagnosis difteri secara dini, tes ini tidak dianjurkan karena membutuhkan waktu untuk

    membaca hasilnya.8

    Reaksi Schick dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml toksin difteria 1/50 M.L.D.

    secara intrakutan pada lengan bagian voler. Sebagai control, dilakukan penyuntikan serupa

    dengan toksin yang telah dipanaskan terlebih dahulu 60C selama 30 menit untuk

    menghilangkan aktivitas toksinnya. Reaksi positif ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi

    setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4-7 hari, untuk selanjutnya menghilang

    secara perlahan-lahan. Reaksi positif menunjukkan tidak adanya imunitas terhadap toksin

    difteri. Reaksi negative menunjukkan bahwa kadar antitoksin dalam darah sudah lebih dari

    0,03 unit/ml dan berarti bahwa orang tersebut kebal terhadap difteria. Reaksi alergi kadang-kadang dijumpai pada orang dewasa dan anak-anak menjelang dewasa, terutama di daerah di

    mana difteria bersifat endemic.7

    Pemeriksaan darah

    Pada perhitungan sel darah tepi, ditemukan leukositosis moderat dan trombositopenia.

    Pemeriksaan enzim jantung

    Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi adanya miokarditis.

    Diagnosis Banding

    Abses retrofar ing

    Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring.

    Biasanya pada anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    9/23

    9

    Kuman penyebab infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber

    infeksi berasal dari infeksi akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen

    menyebabkan infeksi kelenjar limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis

    cervikal.

    Demam, leher kaku, nyeri dan sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring

    ke arah yang sehat. Anak kecil akan menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat

    timbul sesak napas, stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak

    benjolan hiperemis yang teraba lunak.

    Abses peritonsil ar

    Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

    bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya

    sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak

    yang lebih tua dan dewasa muda.

    Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang

    bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah

    Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan

    Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah

    Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.

    Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme

    aerobik dan anaerobik.

    Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang

    hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),

    mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan

    kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula

    dengan nyeri tekan.

    Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in

    neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk

    (cervical muscle inflammation).

    http://wikimed.blogbeken.com/tag/traumahttp://wikimed.blogbeken.com/tag/traumahttp://wikimed.blogbeken.com/tag/trauma
  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    10/23

    10

    Prosedur diagnosis dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat

    aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar

    (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material

    yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

    Trakeit is bakter ial is

    Trakeitis bakterialis merupakan infeksi akut saluran pernapasan atas, tidak melibatkan

    epiglottis, tetapi seperti epiglotitis dan croup, trakeitis bakterialis mampu menyebabkan

    obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa. S. aureus adalah pathogen yang paling lazim

    diisolasi. Virus parainfluenza tipe 1, Moraxella catarrhalis, dan H. influenzae terlibat pada

    infeksi ini. Kebanyakan penderita berumur kurang dari 3 tahun, walaupun anak yang lebih

    tua kadang-kadang telah terkena. Trakeitis bakterialis biasanya terjadi pasca infeksi virus

    pernapasan yang jelas (terutama laringotrakeitis). Trakeitis mungkin merupakan komplikasi

    bakteri penyakit virus, bukannya penyakit bakteri primer.

    Khasnya, pada anak timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian dari

    laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan toksisitas dengan kegawatan pernapasan dapat

    terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan yang tampak. Pengobatan yang biasa

    digunakan untuk croup tidak efektif. Intubasi dan trakeostomi biasanya diperlukan. Patologi

    utama yang tampak adalah pembengkakan mukosa yang setinggi kartilago krikoid,

    dikomplikasi oleh sekresi purulen, kental banyak sekali. Pengisapan sekresi ini, walaupun

    kadang-kadang memberikan pelegaan sementara, biasanya tidak cukup menghindarkan

    perlunya jalan napas buatan.

    Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit salauran pernapasan atas bakteri

    yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang, demam tinggi, dan sekresi

    jalan napas purulen dan tidak adanya tanda-tanda klasik epiglotitis.

    Faringitis bakter iali s

    Faringitis bakterialis paling sering disebabkan oleh Streptococcus hemolitikus grup A.

    manifestasi klinis pada anak di atas umur 2 tahun mulai dengan keluhan nyeri kepala, nyeriperut, dan muntah. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan demam setinggi 40C; kadang-

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    11/23

    11

    kadang kenaikan suhu tidak tampak selama 12 jam atau lebih. Beberapa jam setelah keluhan

    awal, tenggorokan dapat menjadi nyeri, dan pada sepertiga penderita ditemukan pembesaran

    tonsil, eksudasi, dan eritema faring. Parahnya nyeri faring tidak selalu sama dan dapat

    bervariasi dari ringan hingga berat, sehingga anak sukar menelan. Dua pertiga penderita

    hanya menderita eritema ringan, tanpa pembesaran tonsil dan tanpa eksudat. Limfadenopati

    servikal anterior biasanya terjadi awal, dan limfonodi sering nyeri. Demam dapat berlanjut

    selama 1-4 hari; pada kasus yang amat berat anak dapat tetap sakit selama 2 minggu.

    Temuan-temuan fisik paling mungkin yang berkaitan dengan penyakit streptococcus

    adalah kemerahan difus pada tonsil dan dinding penyangga tonsil dengan bintik petekie

    palatum molle, dapat ditemukan adanya limfadenitis atau eksudasi folikuler, atau tidak.

    Tanda-tanda ini walaupun lazim dijumpai pada faringitis bakterialis, namun tidak bersifat

    diagnostic dan sering ditemukan juga pada faringitis virus. Konjungtivitis, rhinitis, batuk, dan

    serak jarang terjadi pada faringitis yang terbukti disebabkan streptococcus, dan adanya dua

    tau lebih tanda atau gejala ini member kesan diagnosis infeksi virus.

    Biasanya anak berumur 6 bulan sampai 3 tahun menderita sakit yang paling berat.

    Koriza dengan cairan (discharge) postnasal. Kemerahan faring yang difus, demam, muntah,

    dan anoreksia adalah gejala awal. Selama beberapa hari biasanya demam 38 39,5C yangberlanjut secara tidak teratur selama 4 8 minggu, dan secara bertahap menjadi normal.

    Dalam beberapa hari setelah penyakit mulai, limfonodus mulai membesar dan menjadi nyeri;

    perjalanan adenopati secara khas parallel dengan perjalanan demam.

    Faringitis Akut

    (Acute Pharingitis) merupakan keradangan pada daerah faring yang terjadi kurang

    dari 7 hari. Di masyarakat, peradangan pada daerah ini sering dikanal dengan radang

    tenggorokan. Proses keradangan ini dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme, salah

    satunya disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Karena posisinya berada dalam jalur

    pernafasan (hidungparu-paru) dan jalur makanan (mulut-esofagus), maka sumber

    pencemaran pada daerah faring dapat terjadi melalui dua jalur tersebut. Pada penderita yang

    mengalami pilek, faringitis dapat terjadi oleh karena lendir yang mengalir ke belakang

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    12/23

    12

    (posterior) saluran hidung, dan jatuh ke daerah faring. Faringitis yang terjadi oleh karena

    aliran lendir ke belakang sering diakibatkan oleh virus influenza (contohnya rhinovirus dan

    adenovirus) ataupun H. Influenza.

    Faringitis dengan gejala batuk disertai dahak kekuningan sangat sering dikaitkan dengan

    sumber infeksi bakteri. Pada kasus radang tenggorokan yang sulit untuk sembuh, dan sering

    muncul berulang dengan, maka patut dicurigai adanya infeksi Streptokokus. Kelompok

    bakteri Streptokokus yang patut mendapatkan penanganan serius oleh karena komplikasinya

    yang berbahaya adalah Streptokokus Beta-hemolitikum grup A (Group A beta-hemolitic

    Streptocaccal/GAS).

    Faktor lain yang dapat menyebabkan peradangan faring adalah infeksi jamur, alergi,

    keganasan tumor, racun yang tertelan dan trauma (misalnya karena tulang ikan saat makan).

    Diagnosis Kerja

    Diagnosis kerja kasus tersebut adalah difteria yang merupakan toksikoinfeksi yang

    disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

    Etiologi

    Difteria berupa infeksi akut terutama pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh

    C. diphteriae yang toksigenik. Kadang-kadang kulit, konjungtiva, dan vulva dapat terinfeksi.

    Difteria kulit lebih sering dijumpai di daerah-daerah tropic. Penyakit difteria terutama

    menyerang anak-anak umur kurang dari 15 tahun yang tidak diimunisasi, terutama antara

    umur 1-9 tahun, tetapi mungkin pula terdapat pada orang-orang dewasa yang tidak

    divaksinasi atau pada bayi-bayi baru lahir. Pada saluran pernapasan, lesi primer umum

    dijumpai dalam tenggorok/nasofaring di mana tampak terbentuknya pseudomembran

    berwarna keabu-abuan. Pada kasus-kasus ringan, membrane ini mungkin tidak terbentuk.

    Strain-strain non-toksigenik mungkin pula membentuk membrane yang khas, hal mana

    menunjukkan bahwa eksotoksin agaknya bukan merupakan penyebabnya. Kuman difteri

    berkembang biak pada tempat tersebut, sedangkan eksotoksin yang dihasilkan terbawa oleh

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    13/23

    13

    aliran darah ke jaringan tubuh lainnya dan menimbulkan hemoragik serta nekrotik pada

    berbagai macam organ.7

    Genus Corynebacterium meliputi banyak sekali spesies, baik yang bersifat saprofit

    atau yang patogen bagi tanaman, hewan, dan manusia. C. diphteriae merupakan satu-satunya

    spesies yang pathogen pada manusia. Ketiga biotip C. diphteriae adalah gravis, mitis, dan

    intermedius. Nama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya.

    Gravis berarti berat/parah, mitis berarti lunak/ringan, dan intermedius berarti menengah. Kini

    nama-nama ini sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang

    toksigenik maupun yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih tetap

    dipergunakan karena penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi koloni, morfologi

    sel, serta sifat-sifat biokimiawi yang berguna dalam epidemiologi.7

    Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 m dan biasanya salah satu

    ujungnya menggembung, sehingga berbentuk gada, tidak berspora, tidak bergerak, positif

    Gram, dan tidak tahan asam. Di dalam preparat sering tampak membentuk susunan huruf V,

    L, Y, tulisan cina atau anyaman pagar (palisade). Bentuk-bentuk pleomorfik sering dijumpai

    terutama bila kuman dibiakkan dalam perbenihan suboptimal. Granula metakromatik Babes-

    Ernst dapat dilihat dengan pewarnaan menurut Neisser atau biru metilen Loeffler.

    Pemeriksaan terhadap granula metakromatik ini tidak spesifik.7

    Meskipun C. diphteriae bersifat anaerob fakultatif, pertumbuhan optimal diperoleh

    dalam suasana aerob. Untuk mengasingkan dan produksi toksin kuman, diperlukan

    perbenihan-perbenihan kompleks. Untuk membiakkan kuman ini dapat dipergunakan

    perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler, atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan

    serum, kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni-koloni kecil mengkilap berwarna putih

    keabu-abuan setelah pengeraman selama 12-24 jam pada 37C. Perbenihan serum Loeffler ini

    juga berguna karena perbenihan ini tidak menunjang pertumbuhan Streptokokus dan

    Pneumokokus yang mungkin terdapat di dalam bahan pemeriksaan.7

    Penambahan garam-garam telurit ke dalam perbenihan seperti perbenihan agar darah

    telurit dan perbenihan McLeod, akan mengurangi jumlah pencemaran pada waktu

    pengasingan, dan juga menyebabkan koloni-koloni kuman difteri berwarna hitam/hitam

    kelabu. Sifat-sifat ini dapat dipakai untuk membantu diferensiasi ketiga biotip kuman difteri

    tersebut. Pada perbenihan-perbenihan ini, tipe mitis bersifat hemolitik, sedangkan tipe-tipe

    gravis dan intermedius tidak. Dalam perbenihan kaldu, tipe gravis cenderung untuk

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    14/23

    14

    membentuk selaput (pellicle) pada permukaan perbenihan, tipe mitis tumbuh merata (difus),

    sedangkan tipe intermedius akan membentuk suatu endapan (sedimen). Asam tanpa gas

    dibentuk dari berbagai karbohidrat.7

    Dibandingkan dengan kuman-kuman lain yang tak berspora, C. diphteriae lebih tahan

    terhadap pengaruh cahaya, pengeringan, dan pembekuan. Dalam pseudomembran kering,

    tahan selama 14 hari, tetapi dalam air mendidih hanya tahan selama 1 menit, dan pada 58C

    tahan selama 10 menit. Kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.7

    Secara imunologik, semua toksin difteri adalah identik, tetapi kumannya sendiri

    secara antigenic merupakan spesies heterogen. Ketiga tipe (gravis, mitis, intermedius)

    menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pada permukaan sel kuman. Perbedaan dalam

    komponen-komponen permukaan sel dapat juga diketahui dengan bacteriophaga typing dan

    pembentukan bakteriosin.7

    Antigen yang erat kaitannya dengan spesifisitas tipe dari strain-strain C. diphteriae

    adalah antigen K yang berupa protein termolabil dan terdapat pada permukaan dinding sel

    kuman. Antigen ini berperan penting dalam imunitas anti bakteri dan hipersensitivitas, tetapi

    tidak ada hubungannya dengan imunitas anti-toksin. Antigen K bersama-sama dengan

    glikolipid merupakan penentu-penentu utama dalam kemampuan invasi dan virulensi kumandifteri. Antigen O (suatu polisakarida) yang termostabil merupakan antigen grup yang umum

    dijumpai pada Corynebacteria yang bersifat parasit bagi manusia dan hewan. Selain antigen

    K, kuman difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid yang merupakan penunjang

    virulensi kuman. Aktivitas cord factor C. diphteriae ini mirip dengan cord factor yang

    terdapat pada M. tuberculosis.7

    Pada difteria, eksotoksin yang dihasilkan oleh C. diphteriae merupakan penentu

    biokimia utama dalam pathogenesis infeksi. Toksin hanya dibentuk oleh strain-strain C.

    diphteriae yang lisogenik bagi bakteriofaga yang membawa gen toks (tox gene). Meskipun

    demikian, strain-strain non-toksigenik dapat dijadikan toksigenik dan lisogenik bila diinfeksi

    memakai Tox + bakteriofaga yang sesuai. Toksin dihasilkan sebelum partikel-partikel faga

    dibentuk, dan tidak dibentuk lagi apabila sel mengalami lisis. Pembentukan toksin secara in

    vitro sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, terutama kadar Fe inorganic dalam

    perbenihan. Strain yang dipergunakan untuk pembuatan toksin guna keperluan komersial

    adalah strain Park Williams 8 yang mampu tumbuh dan membentuk toksin dalam perbenihan

    yang mengandung kadar Fe yang sangat rendah.7

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    15/23

    15

    Toksin difteri berupa rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul kira-kira

    62.000. toksin ini terdiri dari 2 fragmen, fragmen A dan B, dengan BM masing-masing

    24.000 dan 38.000. kedua fragmen ini diperlukan dalam efek toksin pada hewan dan sel-sel

    biakan jaringan. Hewan berbeda-beda dalam kepekaanya terhadap toksin difteri. Toksin ini

    letal bagi manusia, kelinci, marmot, dan burung dalam dosis 160 nanogram/kg BB.

    Epidemiologi

    Difteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi

    aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama

    menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Manusia merupakan satu-satunya hospes alam, dan

    karenanya merupakan satu-satunya reservoir penting dari infeksi. Kuman kuman difteri

    menghuni saluran pernapasan bagian atas dan dari sini dapat menyebar ke orang lain melalui

    droplet. Dalam klinik, luka-luka pasca bedah kadang-kadang dapat terinfeksi oleh kuman ini.

    Discharge ekstra respiratorik seperti yang berasal dari ulkus pada kulit dapat juga menjadi

    sumber infeksi faringeal.7

    Patofisiologi

    Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang

    disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local

    diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling

    utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C.

    diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan

    superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit

    atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local.5Di sana, eksotoksinnya diuraikan,

    menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada

    kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis

    protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local.5 Respons dari peradangan membentuk

    suatu pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang

    mengalami nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada

    tonsil atau pada bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    16/23

    16

    lunak dan keras dan ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan

    specimen dari daerah yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan

    edema submukosa.7Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal.

    Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia,

    miokardiopati, dan demielinasi saraf.5

    Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada

    saluran napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit

    yang juga memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi

    sekunder pada luka gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung

    Streptococcus beta hemolyticus atau Staphylococcus aureus atau keduanya.7

    Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung,

    mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis

    yang disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan.

    Beberapa Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C.

    pyogenes, dan C. ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada

    selaput mukosa saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa

    juga menyebabkan penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi

    jarang menyerang manusia.7

    Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang

    normal, dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria

    bisa menjadi oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka

    kematian yang tinggi (C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada

    pasien-pasien yang imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu

    infeksi superficial pada daerah-daerah ketiak dan pubis.7

    Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau

    tidak setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada

    adanya antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik

    klinik maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat

    dipindahkan secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan

    seperti pada transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden

    difteria pada anak-anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan

    seseorang terhadap toksin difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.7

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    17/23

    17

    Manifestasi Klinis

    Manifestasi klinis difteri tergantung pada lokasi infeksi, imunitas penderita, dan

    ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Masa inkubasi difteri

    umumnya 2 5 hari. Kemudian pasien akan memperlihatkan keluhan-keluhan yang tidak

    spesifik, seperti:8

    Demam dan kadang-kadang menggigil

    Kerongkongan sakit dan suara parau

    Perasaan tidak enak, mual dan muntah

    Sakit kepala

    Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah

    Teraba benjolan dan sembab pada daerah leher

    Fokus infeksi primer difteri adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan

    laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari,

    terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39C.

    Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen,

    serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah

    dalam adalah khas.5

    Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,

    tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia,

    serak, malaise, atau nyeri kepala. Infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan

    membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,

    palatum molle, orofaring posterior, hipofaring, dan daerah glottis. Oedem jaringan lunak di

    bawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Tingkat

    perluasan local berkorelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull

    neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.5

    Membrane pelekat seperti kulit meluas ke posterior daerah tenggorok, relative tidak

    panas, dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena

    Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan

    thrombosis vena jugularis, serta mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker

    biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeksi laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan

    perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    18/23

    18

    tenggorok (croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglotis bakteri, laringotrakeitis virus

    berat, dan trakeitis staphylococcus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda

    dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri, dan terutama pada visualisasi perlekatan

    pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.5

    Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena oedem jaringan

    lunak dan penyumbatan lepas epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan

    saluran napas buatan dan pemotongan psudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada

    komplikasi obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. C.

    diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti

    telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital

    (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane, dan

    perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.5

    Penatalaksanaan

    Antitoksin

    Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis

    klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini

    tersedia adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris

    didasarkan pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit. Kebanyakan

    pakar lebih menyukai lewat intravena, dengan infuse di atas 30-60 menit. Antitoksin mungkin

    tidak bermanfaat untuk manifestasi local difteri kulit, tetapi penggunaannya hati-hati karena

    dapat terjadi sekuele toksik.

    Tabel 1. Pemberian Antitoksin untuk Pengobatan Difteri.5

    Dasar Dosis Dosis Antitoksin (U)

    Hanya lesi kulit 20.00040.000

    Penyakit faring/laring, lamanya 48 jam 20.00040.000

    Lesi nasofaring 40.00060.000

    Penyakit meluas lama 72 jam 80.000100.000

    Pembengkakan leher difus 80.000100.000

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    19/23

    19

    Sebanyak 10% individu sebelumnya menderita hipersensitivitas terhadap protein

    kuda, bahkan penderita yang sangat sakit pun harus diuji sebelum diinfus antitoksin. Uji

    intradermal yang digunakan adalah 0,02 mL antitoksin yang dilarutkan dalam garam

    fisiologis 1 : 100 atau antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 1000 jika

    individu tersebut memiliki riwayat alergi binatang atau terpajan sebelumnya oleh serum

    binatang.5 Reaksi segera ditentukan sebagai indurasi dengan eritema sekitarnya sekurang-

    kurangnya 3 mm lebih besar daripada uji control negative, dibaca pada 15 sampai 20 menit

    dengan dosis sebagai berikut:8

    0,1 ml larutan 1 : 20, subkutan (dalam cairan NaCl 0,9%)

    0,1 ml larutan 1 : 10, subkutan

    0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan

    0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuscular

    0,5 ml tanpa dilarutkan, intramuscular

    0,1 ml tanpa dilarutkan, intravena

    Untuk mereka dengan hasil uji negative, dosis awal 0,5 mL antitoksin diencerkan

    dalam 10 mL garam fisiologis atau larutan glukosa 5% diberikan selambat mungkin dengan

    pengamatan 30 menit; sisanya kemudian dilarutkan 1 : 20 dan diberikan pada kecepatan tidak

    melebihi 1 mL/menit.5

    Antimikroba

    Terapi antimikroba terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati

    infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak C. diphteriae

    biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,

    rifampin, dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat

    jika obat telah digunakan secara luas. Antimikroba yang dianjurkan hanya penisilin atau

    eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan

    pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau

    parenteral (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan

    secara intramuskuler atau intravena (100.000 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis),

    atau penisilin prokain (25.000 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara

    intramuskuler. Terapi antibiotic bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama

    14 hari. Terapi diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-

    kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    20/23

    20

    dengan interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika

    hasil biakan positif.5

    Terapi Lainnya

    Penderita dengan difteri faring ditempatkan dalam isolasi yang ketat, dan penderita

    dengan difteri kulit ditempatkan pada isolasi kontak sampai biakan yang diambil sesudah

    penghentian terapi menunjukkan hasil negative. Luka kulit dibersihkan menyeluruh dengan

    dengan sabun dan air. Tirah baring sangat penting pada fase akut penyakit, dengan

    pengembalian aktivitas fisik berpedoman pada tingkat toksisitas dan keterlibatan jantung.

    Komplikasi penyumbatan jalan napas dan aspirasi harus secara agresif dicegah pada

    penderita difteria orofaring dan laring, dengan pembentukan jalan napas artificial terlebih

    dahulu. Gagal jantung kongestif dan malnutrisi harus dipikirkan dan dicegah.5

    Komplikasi

    Kegagalan napas

    Difteri pada saluran pernapasan dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat

    menimbulkan kesulitan bernapas karena terjadi sumbatan/hambatan jalan masuknya udara.8

    Sumbatan pada saluran napas terjadi karena oedem pada faring, laring, trakea, maupun

    bronkus oleh adanya inflamasi pada area tersebut. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

    kesulitan bernapas, takikardi, dan pucat.

    Miokardiopati toksik

    Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan

    menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi

    pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang

    berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local

    eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.5

    Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika

    penyakit faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila

    berkemungkinan hasil akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit

    minggu ke-6. Takikardi di luar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    21/23

    21

    toksisitas jantung atau disfungsi system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan

    perubahan pada gelombang ST-T pada EKG relative merupakan tanda lazim.5

    Disritmia jantung tunggal atau disritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade

    jantung derajat I, II, dan III, disosiasi atrioventrikuler, dan takikardi ventrikuler. Gagal

    jantung kongesti klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar

    aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disritmia

    berat meramalkan kematian. Penemuan histologik pada kepentingan forensic menunjukkan

    sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Penderita yang bertahan hidup

    dari disritmia berat dapat memiliki efek hantaran permanen, sedangkan yang lain,

    penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.5

    Neuropati toksik

    Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia

    dan paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis

    posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko

    kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan

    paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan

    kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulansesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex

    tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering

    kelemahan distal yang menyebar kea rah proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi.

    Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada

    disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.5

    Prognosis

    Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies

    gravis mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan

    pemberian antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan

    komplikasi miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas

    hampir 10% untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri

    terindikasi untuk menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita

    mengembangkan antibodi pascainfeksi.5

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    22/23

    22

    Pencegahan

    Imunisasi aktif dengan toksoid merupakan cara pencegahan terbaik. Imunisasipertama dilakukan pada bayi berumur antara 2-3 bulan, biasanya berupa 2 dosis APT (alum

    precipitated toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis, yang

    diberikan dengan interval 2, 4, dan 6 bulan.7Dosis booster diberikan usia 18 dan 24 bulan,

    serta pada anak sekolah berumur 5 tahun.9-11

    Imunisasi pasif dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat

    diberikan kepada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen.

    Oleh karena proteksi semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat

    menimbulkan hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya

    pernah kontak dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-

    keadaan yang memang sangat gawat.7

    Kesimpulan

    Pasien didiagnosa menderita difteria tonsil faring (fausial difteria) yang disebabkan

    oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae dengan ditemukannya manifestasi klinik berupa

    sesak napas yang sebelumnya didahului dengan demam, batuk, dan nyeri menelan . Diagnosa

    pasti ditegakkan dengan ditemukannya psudomembran dan bull neck pada pemeriksaan fisik,

    serta diketahui riwayat imunisasi yang tidak lengkap melalui anamnesis.

    Daftar Pustaka

    1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.

    2. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. ed

    8. Jakarta: EGC; 2009.

    3. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak volume 2. ed 15.

    Jakarta: EGC; 2000.

    4.

    Vandepitte J, Verhaegen J, Engbaek K, Rohner P, Piot P, Heuck CC. Prosedur

    laboratorium dasar untuk bakteriologi klinis. ed 2. Jakarta: EGC; 2011.

  • 5/21/2018 Blok 18 Difteri Frida Fix

    23/23

    23

    5. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi

    kedokteran. ed revisi. Tangerang: Binarupa Aksara; 2012.

    6.

    Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan

    Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

    7. Anwar Z. Imunisasi pada bayi dan anak. Jurnal Kedokteran & Kesehatan Publikasi

    Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2007 Januari; 39(1):1605-7.

    8. Cahyono JBSB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta: Kanisius;

    2010.

    9. Gupte S. Panduan perawatan anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2004.