39
Makalah PBL Blok 18 Pseudomembran Pada Tonsil Anak Pertanda Difteri Stevany NIM 102011368 – D4 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida Alamat korespondensi Stevany Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected] Pendahuluan Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi

Makalah PBL Blok 18 Pseudomembran Pada Tonsil Anak Pertanda Difteri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pseudomembran pada tonsil

Citation preview

Makalah PBL Blok 18Pseudomembran Pada Tonsil Anak Pertanda Difteri

StevanyNIM 102011368 D4Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Alamat korespondensi

Stevany

Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected]

PendahuluanDifteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

Anamnesis1. Identitas Pasien

Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: 1 Nama lengkap pasien

Umur pasien

Tanggal lahir

Jenis kelamin

Agama

Alamat

Umur (orang tua)

Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)

Suku bangsa

2. Keluhan Utama

Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : anak tampak sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.3. Riwayat Penyakit SekarangMenanyakan perjalanan penyakit pasien, dimana keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu, demam tinggi, nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu serta anak tidak mau makan. 4. Riwayat Penyakit DahuluApakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Jika ya, apakah sudah berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan. 5. Riwayat Imunisasi Menanyakan apakah riwayat imunisasi anak lengkap terutama imunisasi DPT bila mencurigai anak terkena difteri. Tanyakan apakah sudah diimunisasi dan apakah imunisasi diulang setelah 1 tahun.6. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.7. Riwayat Status Sosial Ekonomi

Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Apakah pasien tinggal ditempat yang cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis. Bagaimana pola makan dan kebersihan diri anak. 8. Riwayat PengobatanObat apa saja yang sudah diminum pasien untuk mengatasi sesak pada anak.Pemeriksaan FisikPemeriksaan tanda tanda vital serta keadaan umum pasienKesadaran compos mentis, tampak sesak dan agitasi. Frekuensi nafas 50 x/menit, denyut nadi 30x/menit, suhu 40 derajat celcius, tekanan darah. AntopometriUntuk mengetahui berat badan dan tinggi badan anak apakah normal atau tidak.Pemeriksaan mulut dan faringPemeriksaan fisik pada kasus ini lebih difokuskan pada pemeriksaan bagian faring. Pemeriksaan faring pada anak dapat dilakukan setelah pemeriksaan fisik lainnya selesai dilakukan karena pada pemeriksaan faring ini akan membutuhkan bantuan orangtua untuk memegang dan menenangkan anaknya.

Jika pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan spatel lidah, teknik yang terbaik adalah dengan mendorong spatel tersebut ke bawah dan sedikit menariknya ke depan (seperti ditekan), sementara anak mengatakan ah. Hati-hati, jangan sampai meletakkan spatel terlalu belakang pada lidah karena akan memicu refleks muntah. Kadang-kadang anak yang kecil dan merasa cemas harus dipegangi karena anak ini akan mengatupkan mulutnya dan mengerutkan bibirnya. Dalam menghadapi kasus ini, spatel harus diselipkan dengan hati-hati di antara kedua baris giginya dan kemudian menekan lidahnya. Tindakan ini memungkinkan untuk mendorong lidah anak ke bawah atau memicu refleks muntah sehingga kita dapat melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya.

Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil. Ukuran tonsil bervariasi cukup luas pada anak dan sering kali digolongkan dalam skala 1+ hingga 4+. Angka 1+ menunjukkan adanya celah yang terlihat jelas di antara kedua tonsil dan angka 4+ memperlihatkan bahwa kedua tonsil saling menyentuh pada garis tengah ketika mulut dibuka lebar-lebar. Tonsil pada anak sering terlihat lebih obstruktif daripada kenyataan yang sebenarnya.

Lakukan juga inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna serta kesimetrisannya dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil. Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat (pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat tersumbat karena adanya udem pada faring, tonsil, atau laring.

Pemeriksaan leher (kelenjar limfe)

Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.

Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk serta jari tengah, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada setiap daerah. Pasien harus berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak diperiksa. Biasanya, pemeriksaan kedua sisi leher dapat dilakukan dalam satu pemeriksaan. Namun, untuk memeriksa nodus limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan yang satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya akan membantu pemeriksaan ini.

Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasinya di sebelah anterior dan superficial muskulus sternomastoideus. Kemudian, lakukan palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang muskulus trapezius (tepi anterior) dan muskulus sternomastoideus (tepi posterior). Fleksikan leher pasien agak ke depan kearah sisi yang hendak diperiksa.

Pada kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar. Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras memberi kesan adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.

Pemeriksaan thoraxDiawali dengan inspeksi untuk melihat bentuk thorax, pergerakan dada saat statis maupun dinamis, keadaan sela iga.

Palpasi secara acak dan terstruktur thorax anterior dan posterior, meraba sela iga, pergerakan thorax saat statis maupun dinamis, pemeriksaan vocal fremitus.

Perkusi secara acak dan terstuktur.

Auskultasi dengan meminta anak untuk menarik napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut akan menahan napas, sehingga menyulitkan dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak prasekolah akan lebih mudah untuk membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperhatikan intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas.Pada keadaan terdapatnya obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor, batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria. Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.Pemeriksaan PenunjangPada penderita difteri hasil akan menunjukkan :

Ronsen menunjukkan adanya sumbatan pada faring maupun laring.

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan. 2 Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium difteriae.

Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood. 3 Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di bawahnya. Idealnya, spesimen harus diambil oleh dokter atau personil yang terlatih. Pasien harus duduk menghadap sumber cahaya. Sambil lidah ditekan dengan spatula, sebuah lidi kapas steril diusapkan dengan kuat pada setiap tonsil, melalui dinding belakang faring dan semua tempat yang meradang. Hati-hati jangan sampai menyentuh lidah atau permukaan pipi bagian dalam (bukal). Sebaiknya mengambil dua usapan dari daerah yang sama. Usapan yang satu dapat digunakan untuk membuat sediaan apus, sedangkan usapan yang lain dimasukkan ke dalam wadah kaca atau plastic dan dikirim ke laboratorium. Alternatif lainnya adalah menempatkan kedua usapan dalam suatu wadah dan mengirimkannya ke laboratorium. Jika spesimen tidak dapat diproses dalam 4 jam, usapan harus dimasukkan dalam media transport (misalnya Amies atau Stuart).Walaupun basil difteri tumbuh baik pada agar darah biasa, pertumbuhannya lebih baik dengan melakukan inokulasi pada salah satu atau dua media khusus: 41. Loeffler coagulated serum atau Dorset egg medium. Walaupun tidak selektif, kedua media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah inkubasi 1 malam. Morfologi selular basil ini lebih khas, yaitu batang pleomorfik yang agak bengkok, terwarna tidak beraturan, pendek sampai panjang, menunjukkan granula metakromatik (granula babes Ernst), dan tersusun dalam bentuk V atau palisade sejajar. Granula metakromatik lebih jelas setelah diwarnai dengan biru metilen atau pulasan Albert daripada dengan pulasan Gram.

2. Agar darah telurit yang selektif. Media ini memudahkan isolasi saat bakteri berjumlah sedikit, misalnya pada kasus karier yang sehat. Pada media ini, koloni basil difteri berwarna keabuan sampai hitam dan berkembang sempurna hanya setelah 48 jam. Koloni mencurigakan, yang mengandung basil dengan morfologi coryneform pada pulasan Gram, harus disubkultur pada lempeng agar darah untuk memeriksa kemurniannya dan keberadaan morfologi yang khas. Harus diingat pula bahwa C. diphteriae biotipe mitis, yang paling banyak ditemukan, menunjukkan zona hemolisis- yang jelas pada agar darah.

Suatu laporan dugaan adanya C. diphteriae seringkali dapat diberikan pada tahap ini. Walaupun demikian, ini harus dipastikan atau disingkirkan dengan beberapa uji biokimia sederhana dan dengan menunjukkan adanya toksigenesitas. Karena uji toksigenesitas mensyaratkan inokulasi pada kelinci percobaan atau suatu uji toksigenik in vitro (Elek-ouchterlony test) dan harus dilakukan di laboratorium pusat, hanya identifikasi biokimia cepat yang akan dibahas di sini. C. diphteriae bersifat katalase positif dan nitrat positif. Urea tidak dihidrolisis. Asam tanpa gas dihasilkan dari glukosa dan maltose, umumnya tidak dari sakarosa. Fermentasi glukosa dapat diuji pada media Kliger. Aktivitas urease dapat ditunjukkan pada MIU dan reduksi nitrat pada kaldu nitrat seperti pada Enterobacteriaceae. Untuk fermentasi maltose dan sakarosa, air pepton Andrade dapat digunakan sebagai pelarut dengan konsentrasi akhir 1% untuk tiap karbohidrat. Hasil biasanya dapat dibaca setelah 24 jam, walaupun kemungkinan perlu diinkubasi lagi semalaman. Harus ditekankan bahwa peran laboratorium mikrobiologi adalah untuk memastikan diagnosis klinis difteri. Terapi tidak boleh ditunda karena menunggu hasil laboratorium.

Kesalahan yang sering terjadi ialah dalam membedakan difteria dengan infeksi-infeksi lain seperti tonsillitis, faringitis streptokokal dan infeksi Vincent. Diperlukan waktu beberapa hari bagi laboratorium mikrobiologi untuk memastikan toksigenitas kuman difteri yang diasingkan.

Laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis difteri hanya berdasarkan pemeriksaan mikroskopis saja karena strain C. diphteriae baik yang toksigenik maupun yang nontoksigenik tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya secara mikroskopik, spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Oleh karena itu, apabila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman-kuman berbentuk khas difteri, maka hasil presumtif yang diberikan adalah ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya diagnosis bakteriologik laboratorium untuk mendapatkan cara-cara yang mudah, cepat, sederhana, dan dipercaya yang dapat membantu klinikus dalam menegakkan diagnosisnya.

Diagnosis bakteriologik harus dianggap sebagai penunjang dan bukan sebagai pengganti diagnosis klinik. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.Anatomi Saluran Pernapasan Atas

Sistem pernapasa nmerupakan saluran penghantar udara yang terdiri dari beberapa organ dasar seperti hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan paru-paru. Organ-organ ini bekerja sama dalam menerima udara bersih, pergantian udara dari darah, dan mengeluarkan udara yang telah dimodifikasi.5Sistem pernapasan dapat dibagi menjadi 2 bagian tergantung fungsinya, yaitu konduksi, sebagai bagian yang berfungsi dalam proses penghantaran dan bagian respiratorik yang terdiri atas alveoli dan regio distal lainnya yang berfungsi dalam pertukaran gas. Organ-organ respirasi dapat dibagi lagi menurut letaknya, yaitu upper respiratory tract yang terdiri dari daerah dari hidung hingga laring dan lower respiratory tract yang terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan paru-paru

Hidung (Nares)

Hidung merupakan pintu masuk udara pertama kali sebelum masuk ke dalam saluran pernapasan dalam. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit tipis dengan jaringan subkutan yang cukup kuat di bawahnya. Hidung tersusun atas osteon pada bagian atas dan kartilago pada bagian bawah. Osteon pada hidung tersusun oleh os nasale, processus frontalis os maxillaris, dan bagian nasal dari os frontalis. Sedangkan bagian kartilago, disusun oleh cartilago septal nasi, kartilago nasi lateralis, serta kartilago ala nasi mayor dan minor.

Hidung memiliki struktur yang terbuka ke arah wajah melalui Nares dan struktur yang terbuka ke arah Nasopharynx melalui Choana. Hidung bagian kanan dan hidung bagian kiri dipisahkan oleh suatu sekat yang disebut Septum Nasi. Septum Nasi dibentuk oleh Lamina Perpendicular Ossis Ethmoidalis, Os Vomer, dan Cartilago Septum Nasi.

Hidung diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh nadi dan vena, meliputi A. Lateralis Nasi cabang A. Facialis, A. Dorsalis Nasi cabang A. Ophtalmica, A. Infra Orbitalis cabang A. Maxilaris Internus, V. Facialis, dan V. Opthalmica. Otot-otot hidung terdiri atas M. Nasalis, yang berfungsi untuk memperkecil lubang hidung dan M. Depressor Septi Nasi untuk memperlebar lubang hidung. Otot-otot motorik ini dipersarafi oleh N. VII (N. Fasialis). Persarafan sensoris pada sisi medial punggung hidung sampai ujung hidung oleh N. Infra Trochlearis dan N. Nasalis Externus cabang N.V1, sedangkan sisi lateral oleh N. Infra Orbitalis cabang N. V2.

Rongga Hidung

Rongga hidung berada di sebelah superior Palatum Durum dan terpisah satu sama lain oleh Septum Nasi di garis tengah. Masing-masing rongga hidung memiliki pintu anterior dan pintu posterior, dasar, atap, dinding lateral, dan dinding medial yang terbentuk oleh Septum Nasi. Sementara itu, masing-masing lubang hidung membentuk muara di sebelah anterior untuk masing-masing ronggahidung dan Choana membentuk pintu hidung di sebelah posterior. Kedua Choana merupakan pintu-pintu bertulang yang kaku yang membentuk saluran penghubung antara rongga-rongga hidung dan Nasopharynx. Choana memiliki arah bidang frontal kepala. Atap rongga hidung terdiri atas 3 regio, yaitu:

Regio Sphenoidalis

Merupakan bagian posterior atap rongga hidung yang dibentuk oleh sisi anterior dan inferior badan os Sphenoidale.

Regio Ethmoidalis

Merupakan atap medial yang dibentuk oleh bidang horizontal Lamina Kribroformis os. Ethmoidale.

Regio Fronto-Nasale

Merupakan bagian anterior yang landai, sesuai dengan permukaan inferior tulang hidung yang landai pada jembatan hidung.

Rongga hidung diperdarahi oleh Aa. Ethmoidalis Anterior dan Posterior, A. Sphenopalatina cabang A. Maxillaris Internus, A. Palatina Major, serta A. Labialis Superior. Vena-vena rongga hidung yang meliputi V. Fasialis, V. Sphenopalatina, V. Ethmoidalis Anterior, dan V. Opthalmica membentuk Plexus Cavernosus.

Selaput lendir rongga hidung dipersarafi oleh N. Olfaktorius (I) dan N. Trigeminus (V). N. Olfaktorius merupakan saraf sensoris khusus yang mempersarafi selaput lendir atap rongga hidung. Saraf ini dimulai dari Bulbus Olfaktorius, kemudian lintasan-lintasan olfaktorius melewati traktus-traktus olfaktorius sampai ke otak. Pada rongga hidung juga dapat dijumpai serabut saraf sensorik yang membawa sensasi nyeri, suhu, raba, dan tekan. Saraf tersebut adalah N. Ethmoidalis Anterior. Terdapat pula N. Infraorbitalis yang cabang akhirnya memasuki vestibulum hidung dari kulit yang menutupi lubang hidung. Sebagian besar selaput lendir dinding lateral hidung dipersarafi oleh cabang menurun N. Palatinus Mayor yang berasal dari kutub inferior ganglion Pterigopalatinum.

Pharynx

Pharynx merupakan sebuah pipa musculomembranosa yang membentang dari bassis cranii sampai setinggi vertebra cervical 6 atau tepi bawah cartilago cricoidea dan melebar di bagian superior. Di sebelah caudal dilanjutkan dengan oesophagus dan pada batas antara Pharynx dengan Oesophagus menyempit dengan lebar sekitar 1,5 cm. Pharynx dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Nasopharynx (Epipharynx), Oropharynx (Mesopharynx), dan Laryngopharynx (Hypopharynx). Batas-batas Pharynx antara lain:

Batas Cranial: bagian posterior Corpus Ossis Sphenoidalis dan Pars Basilaris Ossis Occipitalis.

Batas Dorsal + Lateral: jaringan penyambung longgar yang menempati spatium peripharyngeale.

Batas Ventral: Pharynx terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, dan Larynx, sehingga dinding anterior tidak sempurna.

Batas Superior-Inferior: Lamina Medialis Processus Pterygoidei, Raphe Pterygomandibularis, Mandibulla, lidah, os Hyoideum, cartilago thyreoidea, dan cartilago cricoidea.

Batas Lateral: hubungan ke Cavum Tympani melalui Tuba Eustachii.

Lapisan-lapisan otot pharynx (Tunica Muscularis) terdiri atas 3 otot lingkar/sirkular, yaitu M. Constrictor Pharyngis Inferior, M. Constrictor Pharyngis Medius, dan M. Constrictor Pharyngis Superior, serta 3 otot yang masing-masing turun dari Processus Styloideus, Torus Tubarius, dan Palatum Molle, yaitu M. Stylopharyngeus, M. Salpingopharyngeus, dan M. Palatopharyngeus.

M. Constrictor Pharyngis Inferior

Merupakan otot sirkular paling tebal. Terdiri atas 2 bagian otot kecil, yaitu M. Cricopharyngeus dan M. Thyreopharyngeus. M. Cricopharyngeus melekat pada sisi lateral cartilago cricoidea. M. Thyreopharyngeus berasal dari Linea Obliqua Lamina Cartilaginis Thyroidei dan Cornu Inferius Cartilago Thyreoidea. Sewaktu menelan, M. Cricopharyngeus berfungsi sphincter dan M. Thyreopharyngeus sebagai pendorong.

M. Constrictor Pharyngis Medius

Terdiri atas dua bagian otot kecil. Sebelah anterior, melekat pada Cornu Minus Ossis Hyoidei dan bagian bawah ada Lig. Stylohyodeum sebagai M. Chondropharyngeus.

M. Constrictor Pharyngis Superior

Merupakan lembaran otot tipis. Pada bagian anteriornya melekat pada Hamulus Pterygoideus, Raphe Pterygomandibularis, ujung dorsal Linea Mylohyoidea Ossis Mandibulae, dan sisi Radix Linguae. Perlekatan ini membagi M Constrictor Pharyngis Superior menjadi otot-otot yang lebih kecil, yaitu M. Pterygopharyngeus, M. Buccopharyngeus, M. Mylopharyngeus, dan M. Glossopharyngeus.

Perdarahan pharynx berasal dari A. Pharyngea Ascendens, A. Palatina Ascendes dan Ramus Tonsillaris cabang A. Facialis, A. Palatina Major dan A. Canalis Pterygoidei cabang A. Maxillaris Interna, serta Rami Dorsales Linguae cabang A. Lingualis.3 Pembuluh-pembuluh balik membentuk sebuah plexus yang ke atas berhubungan dengan plexus pterygoideus dan ke arah bawah bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Facialis.

Persarafan Pharynx berasal dari Plexus Pharyngeus yang dibentukoleh Rami Pharyngei N. Glossopharyngeus, N. Vagus, dan serabut-serabut simpatik postganglioner dari Ganglion Cervicale Superius. Saraf motorik utama Pharynx adalah Pars Cranialis N. Accessorius yang melintasi cabang-cabang N. Vagus, mempersarafi semua otot Pharynx dan Palatum, kecuali M. Stylopharyngeus dan M. Constrictor Pharyngis Superior yang dipersarafi oleh N. Glossopharyngeus. M. Constrictor Pharyngis Inferior dipersarafi lewat Ramus Externus N. Laryngeus Superior dan N. Recurrents.

Saraf sensoris utama Pharynx adalah N. Glossopharyngeus dan N. Vagus, tetapi sebagian besar mukosa nasopharynx dipersarafi oleh N. Maxillaris lewat Ganglon Pterygopalatinum. Mukosa Palatum Molle dan Tonsilla Palatina dipersarafi oleh Nn. Palatini Minores lewat Ganglion Pterygopalatinumdan N. Glossopharyngeus.

Larynx

Larynx merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk suara, membentang antara lidah sampai trachea atau pada laki-laki dewasa setinggi vertebra cervical 3 sampai 6 , tetapi sedikit lebih tinggi pada anak-anak dan perempuan dewasa. Larynx berada di antara pembuluh-pembuluh besar leher dan di sebelah ventral tertutup oleh kulit, fascia, otot, dan depressor lidah. Ke arah superior, Larynx terbuka ke dalam Laryngopharynx, dinding posterior Larynx menjadi dinding anterior Laryngopharynx. Kearah posterior, Larynx dilanjutkan sebagai trachea.Larynx terdiri atas cartilago thyreoidea, cartilago cricoidea, dan cartilago epiglottis, cartilago arytaenoidea, cartilago cuneiforme, dan cartilago corniculatum. Cartilago Thyroidea merupakan tulang rawan larynx terbesar, terdiri atas 2 lamina persegi empat yang tepi anteriornya menyatu ke arah inferior, membentuk sebuah sudut yang menonjol yang dikenal sebagai Prominentia Laryngea (sangat jelas terlihat pada laki-laki (jakun)). Cartilago Cricoidea berbentuk semu cincin stempel dan membentuk bagian inferior dinding Larynx. Cartilago Arytaenoidea terletak di posterior Larynx, sebelah superolateral Lamina Cartilago Cricoidea. Cartilago Corniculatum terletak di sebelah posterior, dalam Plica Aryepiglottica, dan bersandar pada apex Cartilago Arytaenoidea. Tiap sisi epiglottis dilekatkan ke masing-masing Cartilago Arytaenoidea oleh Plica Aryepiglottica.

Otot-otot Larynx dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot ekstrinsik menghubungkan Larynx dengan struktur-struktur sekitar. Otot-otot ekstrinsik meliputi M. Sternothyreoideus yang menarik Larynx ke bawah, M. Thyreohyoideus yang menarik Larynx ke atas, dan M. Constrictor Pharyngis Inferior.

Otot-otot intrinsik mempunyai tempat lekat yang terbatas pada Larynx, yaitu M. Cricothyreoideus, M. Cricoarytaenoideus Posterior, M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M. Arytaenoideus Transversus, M. Arytaenoideus Obliquus, M. Aryepiglotticus, dan M. Thyreoarytaenoideus.

Fungsi otot-otot intrinsik Larynx dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:1. Otot-otot yang mengubah glottis

Membuka glottis: M. Cricoarytaenoideus Posterior.

Menutup glottis: M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M. Arytaenoideus Obliquus, M. Arytaenoideus Transversus, M. Thyreoarytaenoideus, M. Cricothyreoideus.

2. Otot-otot yang mengatur ketegangan Lig. Vocale

Menegangkan Lig. Vocale: M. Cricothyreoideus dan M. Cricoarytaenoideus Posterior.

Mengendurkan Lig. Vocale: M. Thyreoarytaenoideus, M. Vocalis, dan M. Cricoarytaenoideus Lateralis.

3. Otot-otot yang mengubah Aditus Laryngeus

Menutup Aditus Laryngis: M. Arytaenoideus Obliquus, M. Aryepiglotticus, dan M. Thyreoarytaenoideus.

Membuka Aditus Laryngis: M. Thyreoepiglotticus.

Perdarahan utama Larynx berasal dari cabang-cabang A. Thyreoidea Superior dan A. Thyreoidea Inferior. Terdapat pula V. Thyreoidea Superior yang bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Thyreoidea Inferior yang bermuara ke dalam V. Brachiocephalica Sinistra. Persarafan Larynx berasal dari cabang-cabang internus dan externus N. Laryngeus Superior, N. Recurrents, dan saraf simpatis.

Diagnosa KerjaDiagnosis kerja kasus tersebut adalah difteria yang merupakan toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae strain penghasil toksin.

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu : Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien : Difteri hidungGejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial )Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring. Difteri laring dan trakeaLebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bulls neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama. Difteri kutaneus dan vaginalDengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, TelingaDiphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.Jadi diagnose kerjanya adalah tonsilitis difteri ec Corynebacterium diphteriae starin toksin dengan derajat infeksi sedang. Etiologi

Difteria berupa infeksi akut terutama pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh C. diphteriae yang toksigenik. Kadang-kadang kulit, konjungtiva, dan vulva dapat terinfeksi tetapi sangat jarang sekali. Difteria kulit lebih sering dijumpai di daerah-daerah tropic. Penyakit difteria terutama menyerang anak-anak umur kurang dari 15 tahun yang tidak diimunisasi, terutama antara umur 1-9 tahun, tetapi mungkin pula terdapat pada orang-orang dewasa yang tidak divaksinasi atau pada bayi-bayi baru lahir. Pada saluran pernapasan, lesi primer umum dijumpai dalam tenggorok/nasofaring di mana tampak terbentuknya pseudomembran berwarna keabu-abuan. Pada kasus-kasus ringan, membrane ini mungkin tidak terbentuk. Strain-strain non-toksigenik mungkin pula membentuk membrane yang khas, hal mana menunjukkan bahwa eksotoksin bukan merupakan penyebabnya. Kuman difteri berkembang biak pada tempat tersebut, sedangkan eksotoksin yang dihasilkan terbawa oleh aliran darah ke jaringan tubuh lainnya dan menimbulkan hemoragik serta nekrotik pada berbagai macam organ.

Genus Corynebacterium meliputi banyak sekali spesies, baik yang bersifat saprofit atau yang patogen bagi tanaman, hewan, dan manusia. C. diphteriae merupakan satu-satunya spesies yang pathogen pada manusia. Ketiga biotip C. diphteriae adalah gravis, mitis, dan intermedius. Nama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya. Gravis berarti berat/parah, mitis berarti lunak/ringan, dan intermedius berarti menengah. Kini nama-nama ini sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih tetap dipergunakan karena penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi koloni, morfologi sel, serta sifat-sifat biokimiawi yang berguna dalam epidemiologi.

Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 m dan biasanya salah satu ujungnya menggembung, sehingga berbentuk gada, tidak berspora, tidak bergerak, positif Gram, dan tidak tahan asam. Di dalam preparat sering tampak membentuk susunan huruf V, L, Y, tulisan cina atau anyaman pagar (palisade). Bentuk-bentuk pleomorfik sering dijumpai terutama bila kuman dibiakkan dalam perbenihan suboptimal. Granula metakromatik Babes-Ernst dapat dilihat dengan pewarnaan menurut Neisser atau biru metilen Loeffler. Pemeriksaan terhadap granula metakromatik ini tidak spesifik.

Meskipun C. diphteriae bersifat anaerob fakultatif, pertumbuhan optimal diperoleh dalam suasana aerob. Untuk mengasingkan dan produksi toksin kuman, diperlukan perbenihan-perbenihan kompleks. Untuk membiakkan kuman ini dapat dipergunakan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler, atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan serum, kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni-koloni kecil mengkilap berwarna putih keabu-abuan setelah pengeraman selama 12-24 jam pada 37C. Perbenihan serum Loeffler ini juga berguna karena perbenihan ini tidak menunjang pertumbuhan Streptokokus dan Pneumokokus yang mungkin terdapat di dalam bahan pemeriksaan.

Penambahan garam-garam telurit ke dalam perbenihan seperti perbenihan agar darah telurit dan perbenihan McLeod, akan mengurangi jumlah pencemaran pada waktu pengasingan, dan juga menyebabkan koloni-koloni kuman difteri berwarna hitam/hitam kelabu. Sifat-sifat ini dapat dipakai untuk membantu diferensiasi ketiga biotip kuman difteri tersebut. Pada perbenihan-perbenihan ini, tipe mitis bersifat hemolitik, sedangkan tipe-tipe gravis dan intermedius tidak. Dalam perbenihan kaldu, tipe gravis cenderung untuk membentuk selaput (pellicle) pada permukaan perbenihan, tipe mitis tumbuh merata (difus), sedangkan tipe intermedius akan membentuk suatu endapan (sedimen). Asam tanpa gas dibentuk dari berbagai karbohidrat.

Dibandingkan dengan kuman-kuman lain yang tak berspora, C. diphteriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan, dan pembekuan. Dalam pseudomembran kering, tahan selama 14 hari, tetapi dalam air mendidih hanya tahan selama 1 menit, dan pada 58C tahan selama 10 menit. Kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.

Secara imunologik, semua toksin difteri adalah identik, tetapi kumannya sendiri secara antigenic merupakan spesies heterogen. Ketiga tipe (gravis, mitis, intermedius) menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pada permukaan sel kuman. Perbedaan dalam komponen-komponen permukaan sel dapat juga diketahui dengan bacteriophaga typing dan pembentukan bakteriosin.

Antigen yang erat kaitannya dengan spesifisitas tipe dari strain-strain C. diphteriae adalah antigen K yang berupa protein termolabil dan terdapat pada permukaan dinding sel kuman. Antigen ini berperan penting dalam imunitas anti bakteri dan hipersensitivitas, tetapi tidak ada hubungannya dengan imunitas anti-toksin. Antigen K bersama-sama dengan glikolipid merupakan penentu-penentu utama dalam kemampuan invasi dan virulensi kuman difteri. Antigen O (suatu polisakarida) yang termostabil merupakan antigen grup yang umum dijumpai pada Corynebacteria yang bersifat parasit bagi manusia dan hewan. Selain antigen K, kuman difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid yang merupakan penunjang virulensi kuman. Aktivitas cord factor C. diphteriae ini mirip dengan cord factor yang terdapat pada M. tuberculosis.

Pada difteria, eksotoksin yang dihasilkan oleh C. diphteriae merupakan penentu biokimia utama dalam pathogenesis infeksi. Toksin hanya dibentuk oleh strain-strain C. diphteriae yang lisogenik bagi bakteriofaga yang membawa gen toks (tox gene). Meskipun demikian, strain-strain non-toksigenik dapat dijadikan toksigenik dan lisogenik bila diinfeksi memakai Tox + bakteriofaga yang sesuai. Toksin dihasilkan sebelum partikel-partikel faga dibentuk, dan tidak dibentuk lagi apabila sel mengalami lisis. Pembentukan toksin secara in vitro sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, terutama kadar Fe inorganic dalam perbenihan. Strain yang dipergunakan untuk pembuatan toksin guna keperluan komersial adalah strain Park Williams 8 yang mampu tumbuh dan membentuk toksin dalam perbenihan yang mengandung kadar Fe yang sangat rendah.

Toksin difteri berupa rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul kira-kira 62.000. toksin ini terdiri dari 2 fragmen, fragmen A dan B, dengan BM masing-masing 24.000 dan 38.000. kedua fragmen ini diperlukan dalam efek toksin pada hewan dan sel-sel biakan jaringan. Hewan berbeda-beda dalam kepekaanya terhadap toksin difteri. Toksin ini letal bagi manusia, kelinci, marmot, dan burung dalam dosis 160 nanogram/kg BB. 6Epidemiologi

Difteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Manusia merupakan satu-satunya hospes alam, dan karenanya merupakan satu-satunya reservoir penting dari infeksi. Kuman kuman difteri menghuni saluran pernapasan bagian atas dan dari sini dapat menyebar ke orang lain melalui droplet. Dalam klinik, luka-luka pasca bedah kadang-kadang dapat terinfeksi oleh kuman ini. Discharge ekstra respiratorik seperti yang berasal dari ulkus pada kulit dapat juga menjadi sumber infeksi faringeal.Patofisiologi

Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C. diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan, menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local. Respons dari peradangan membentuk suatu pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf. 7Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau Staphylococcus aureus atau keduanya.

Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C. ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang manusia.

Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal, dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi (C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada daerah-daerah ketiak dan pubis.

Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.

Reaksi Schick dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml toksin difteria 1/50 M.L.D. secara intrakutan pada lengan bagian voler. Sebagai kontrol, dilakukan penyuntikan serupa dengan toksin yang telah dipanaskan terlebih dahulu 60C selama 30 menit untuk menghilangkan aktivitas toksinnya. Reaksi positif ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4-7 hari, untuk selanjutnya menghilang secara perlahan-lahan. Reaksi positif menunjukkan tidak adanya imunitas terhadap toksin difteri. Reaksi negative menunjukkan bahwa kadar antitoksin dalam darah sudah lebih dari 0,03 unit/ml dan berarti bahwa orang tersebut kebal terhadap difteria. Reaksi alergi kadang-kadang dijumpai pada orang dewasa dan anak-anak menjelang dewasa, terutama di daerah di mana difteria bersifat endemic.

Manifestasi Klinis

Fokus infeksi primer difteri adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39C. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas.

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise, atau nyeri kepala. Infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring, dan daerah glottis. Udem jaringan lunak di bawahnya dan dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Tingkat perluasan local berkorelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.

Membrane pelekat seperti kulit meluas ke posterior daerah tenggorok, relative tidak panas, dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan thrombosis vena jugularis, serta mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeksi laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorok (croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglotis bakteri, laringotrakeitis virus berat, dan trakeitis staphylococcus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri, dan terutama pada visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.

Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena udem jaringan lunak dan penyumbatan lepas epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan saluran napas buatan dan pemotongan psudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. C. diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane, dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.

Diagnosa Banding

Abses retrofaringAbses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring. Biasanya pada anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Kuman penyebab infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber infeksi berasal dari infeksi akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen menyebabkan infeksi kelenjar limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis cervikal.

Demam, leher kaku, nyeri dan sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah yang sehat. Anak kecil akan menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul sesak napas, stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan hiperemis yang teraba lunak. 8Abses peritonsilar

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. 8Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation).

Prosedur diagnosis dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Pengobatan

Antitoksin

Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini tersedia adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris didasarkan pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit. Kebanyakan pakar lebih menyukai lewat intravena, dengan infuse di atas 30-60 menit. Antitoksin mungkin tidak bermanfaat untuk manifestasi local difteri kulit, tetapi penggunaannya hati-hati karena dapat terjadi sekuele toksik. 8Sebanyak 10% individu sebelumnya menderita hipersensitivitas terhadap protein kuda, bahkan penderita yang sangat sakit pun harus diuji sebelum diinfus antitoksin. Uji intradermal yang digunakan adalah 0,02 mL antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 100 atau antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 1000 jika individu tersebut memiliki riwayat alergi binatang atau terpajan sebelumnya oleh serum binatang. Reaksi segera ditentukan sebagai indurasi dengan eritema sekitarnya sekurang-kurangnya 3 mm lebih besar daripada uji control negative, dibaca pada 15 sampai 20 menit. Desensitisasi dilakukan pada mereka yang menunjukkan reaksi segera menurut protocol yang dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics dengan dosis berturut-turut setiap 15 menit.

Untuk mereka dengan hasil uji negative, dosis awal 0,5 mL antitoksin diencerkan dalam 10 mL garam fisiologis atau larutan glukosa 5% diberikan selambat mungkin dengan pengamatan 30 menit; sisanya kemudian dilarutkan 1 : 20 dan diberikan pada kecepatan tidak melebihi 1 mL/menit.

AntibiotikTerapi antibiotik terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak C. diphteriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin, dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Antibioik yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau intravena (100.000 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau penisilin prokain (25.000 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara intramuskuler. Terapi antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari. Terapi diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil dengan interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif.

Terapi Lainnya

Penderita dengan difteri faring ditempatkan dalam isolasi yang ketat, dan penderita dengan difteri kulit ditempatkan pada isolasi kontak sampai biakan yang diambil sesudah penghentian terapi menunjukkan hasil negative. Luka kulit dibersihkan menyeluruh dengan dengan sabun dan air. Tirah baring sangat penting pada fase akut penyakit, dengan pengembalian aktivitas fisik berpedoman pada tingkat toksisitas dan keterlibatan jantung. Komplikasi penyumbatan jalan napas dan aspirasi harus secara agresif dicegah pada penderita difteria orofaring dan laring, dengan pembentukan jalan napas artificial terlebih dahulu. Gagal jantung kongestif dan malnutrisi harus dipikirkan dan dicegah. Trakeostomi apabila terdapat sumbatan saluran nafas. KomplikasiNeuropati toksik

Komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulalinya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering kelemahan distal yang menyebar kearah proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.

Miokardiopati toksik

Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.

Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi di luar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada EKG relative merupakan tanda lazim.

Prognosis

Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies gravis mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan komplikasi miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas hampir 10% untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri terindikasi untuk menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita mengembangkan antibodi pascainfeksi.

Pencegahan

Imunisasi aktif dengan toksoid merupakan cara pencegahan terbaik. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berumur antara 2-3 bulan, biasanya berupa 2 dosis APT (alum precipitated toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis, yang diberikan dengan interval 2, 4, dan 6 bulan. Dosis booster diberikan usia 18 dan 24 bulan, serta pada anak sekolah berumur 5 tahun.

Imunisasi pasif dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat diberikan kepada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen. Oleh karena proteksi semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat menimbulkan hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya pernah kontak dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-keadaan yang memang sangat gawat.

Ringkasan

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Gejala klinik yang paling khas dari difteri adalah adanya pseudomembran, demam ringan, dan adanya eksotoksin dari Corynebacterium diphtheria. Difteri dapat diobati dengan pemberian antitoksin maupun antibiotic. Komplikasi dari difteri dapat berupa miokardiopati toksik maupun neuropati toksik. Prognosis buruk apabila terjadi gagal nafas maupun komplikasi miokardiopati toksik. Pencegahan difteri dapat dilaksanakan dengan imunisasi DPT dengan total 5x pemberian. KesimpulanJadi diagnose kerjanya adalah tonsilitis difteri ec Corynebacterium diphteriae strain toksin dengan derajat infeksi sedang. Hipotesis diterima.Daftar Pustaka

1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga, 2007.h.1-17.2. Rudolph AM, Hoffman JIE. Pediatri. Jakarta : EGC, 2010. h. 635-39.

3. Mansjoer A, Triyanti K. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia, 2000.h.119.

4. Syahrurachman A. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia, 2010.h. 156.5. Berhman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatric. Jakarta : EGC, 2010.h.556.6. Robbins, Cotran. Dasar patologis penyakit. Jakarta : EGC, 2009. h. 222.7. Sudoyo AR. Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009.h. 2956.8. Latief A. Ilmu kesehatananak. Jakarta : Infomedika, 2007.h. 555. 24