25
Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK 18 Difteri Pada Anak Vivi Silfia 10.2009.064 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 16 Jakarta Barat 11510 Telepon: (021) 5694-2061 Fax: (021) 563-1731 Pendahuluan Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. 1 Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi- bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insdensi penyakit tersebut. 2 1 Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Telephone: (021) 5694-2061 (hunting), Fax: (021) 563-1731 Email: [email protected]

blok 18 difteri anak pbl

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah PBL (Problem based learning) difteri pada anak

Citation preview

Skenario 10-Difteri pada anak|BLOK 18Difteri Pada AnakVivi Silfia10.2009.064Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 16 Jakarta Barat 11510Telepon: (021) 5694-2061Fax: (021) 563-1731

PendahuluanDifteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga.1 Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insdensi penyakit tersebut.2

Skenario Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD RS karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap.

Anamnesis Sesak napas merupakan manifestasi klinis dari berbagai macam penyakit. Untuk pendekatan diagnosis, bisa melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Riwayat penyakit sekarang1. Sejak kapan demam yang dialami oleh anak ini dan sudah berapa lama?2. Bagaimana sifat demam anak ini?3. Bagaimana pola makannya, apakah ada nafsu makan atau tidak?4. Sejak menderita sakit ini bagaimana cara makan anak?5. Apakah bayi rewel (gelisah)?6. Sejak kapan sesak nafas yang dialami7. Keadaan apa saja yang dapat memperburuk keadaan anak?8. Apa yang lebih dulu timbul apakah sesak nafas dulu atau demam dulu, atau bersamaan9. Bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya untuk anak ini?10. Bagaimana riwayat penyakit keluarga?11. Bagaimana riwayat pemberian ASI pada anak?Difteri1. Bagaimana kebersihan dari anak?2. Bagaimana riwayat imunisasi anak?3. Bagaimana suara nafas anak? (Khas Difteri: Serak dan Stridor)

Pemeriksaan Fisik3 Tanda Vital.Tekanandarah,temperature,frekuensinadi dan frekuensi napas menentukan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengantanda-tanda vital normal biasanya hanya menderita penyakit kronikatau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya perubahan nyata padatanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.a. Temperatur di bawah 35oC atau di atas 41oC atau tekanan darah sistolik dibawah 90mmHg menandakan keadaan gawat darurat.b. FrekuensiNapas kurangdari5kali/menitmengisyaratkan hipoventilasi dan kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepatdapatterlihat beberapa jam sebelumotot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas. Inspeksi Kontraksi otot bantu napas dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot bantu pernapasan di leher dan otot interkostal akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adanya obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dindingdada atau deviasi trakeal dapat puladideteksi selama pemeriksaan otot-otot napas.Pada tensionpneumotoraks suatu keadaangawat darurat-sisi yangterkenaakan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorongke sisiyang disebelahnya.Pasiendenganobstruksisalurannapasdapat memperlihatkan rongga dada yang hiperekspansi atau kontraksi otot-ototbantunapas.Penyakitparenkimsepertipneumonia, fibrosis intersisial dan edemaparu biasanya meimbulkansuara ronki.Pneumoniajuga dapat menyebabkan melemahnya suara napas, pekak pada perkusi dan fremitus yang mengeras. Palpasi. Tertinggalnya pengembangan satu hemitoraks (salah satu sisi paru) yang dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau efusi pleura. Fremitustaktil.Menurunnyafremitustaktilyangdiperoleh dengan memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuhberulang-ulangterpalpasipadaareayangmengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan olehkonsolidasiparenkim padasuatu areayang mengalami inflamasi. Perkusi hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi selama serangan asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks. redup padaperkusimenunjukkan konsolidasiparu atauefusi pleura Auskultasi Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau pneumotoraks. Ronki kasar dannyaringsesuai dengan obstruksiparsialatau penyempitan saluran napas Ronki basahhalus terdengar pada parenkimparu yang berisi cairan. Adanyaegofoni(diucapkanhurufIsepertiedatar) menandakan konsolidasie. Pada pasien dengansesakdanrasasakitdidadaharus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub, bila 2 komponen merupakanciripleuritisdansuara3komponenseperti perikarditis.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti : Media Biakan Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membrane harus diambil dan diserahkan bersama eksudat dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk menggunakan media khusus. C. diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang jauh, specimen pulas dapat ditempatkan pada bungkus silika gel dan dikirim ke labolatorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung dengan menggunakan warna Gram atau antibody fluresens spesifik tidak dapat dipercaya. Organisme coryneform harus didentifikasi sampai tingkat spesies dan uji toksigenizsitasnya serta kerentanan antimikrobanya harus dilakukan untuk isolate C. diphtheria.4 Schick test Uji untuk kerentanan pada toksin Corynebacterium diphtheria. Toksin uji schick disuntikan ke dalam kulit, individu yang tidak mempunyai antibody parenteral toksin mungkin memberi hasil positif, yang terdiri dari daerah kemerahan.5

Patofisiologi Batuk dan Sesak napas1. BatukBatuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah. Bronkus dan trakea memiliki respon yang sangat peka terhadap benda asing yang masuk ataupun iritasi di tempat tersebut sehingga dapat menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus) sangat peka, dan bronkiolus terminalis serta alveolus terutama peka terhadap rangsang kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor.32. Sesak Napas3Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru. Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut dapat dibagi sebagai berikut:- Oksigenasi jaringan menurun- Kebutuhan oksigen meningkat- Kerja pernapasan meningkat- Rangsangan pada sistem saraf pusat- Penyakit neuromuskuler

Anatomi Sistem Pernapasana. Saluran PernapasanSaluran Pernapasan atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke dalam alveolus. Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan berdinding lebih tipis pada saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila dinding-dinding tersebut sudah tidak bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm, memiliki dinding-dinding otot polos, dan berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah kolumner bersilia di dalam jalan napas besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus distal. Sel-sel goblet penghasil mukus juga ada, khususnya di dalam bronkus besar. Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat pada membran basal diantara sel-sel epitel dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel neuroendokrin yang mengandung serotonin, bombesin, dan polipeptida lainnya. Sel-sel klara kecil berbentuk kubah di dalam bronkiolus terminal menyekresi protein yang melapisi jalan napas kecil.b. Parenkim paruTerdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7 bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas bronkiolus respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus.c. PleuraParu dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang memungkinkan gerakan paru sesuai dinding dada.

Fisiologi Sistem PernapasanSistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. CO2 ini bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Proses respirasi berlangsung beberapa tahap yaitu:6- InspirasiInspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga toraks mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura menurun dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan intraalveol, maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.6- EkspirasiEkspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru. Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.6

Working Diagnosis: Difteri EtiologiSpesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.7Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.1

Patogenesis dan PatofisiologisKuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes kesekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.7

Diagnosis Banding Abses Retrofaring Suatu kondisi yang ditandai dengan akumulasi nanah dibelakang tenggorokan yang menyebabkan kesulitan bernapas. Hal ini dapat terjadi karena peradangan kelenjar getah bening di leher. Gejalanya adalah leher kaku, nyeri, sulit menelan, sesak nafas, stridor, dan juga terdapat benjolan.8

Abses PeritonsilerPenyakit infeksi yang sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses terbentuk karena penyakit penyebaran mikroorganisme. Gejalanya nyeri menelan, dehidrasi, muntah, bau mulut (hot potato voice), sukar membuka mulut, sakit kepala, demam, dan pembengkakan kelenjar submandibula.8

Manifestasi KlinisTergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.9

Pengobatan dan Penatalaksanaan Tujuan pengobata penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diteria. A. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. B. Pengobatan Khusus 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena

Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000 100.000 Intravena

Terlambat berobat (>72 jam) 80.000 100.000 Intravena

2. AntibiotikAntibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-). Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin. Rifampisin. Klindamisin.Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.

PrognosisUmumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%).1

PencegahanPencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuantentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatankarier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaandemikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

Rencana (Jadwal) : Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun). Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yangmengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dandosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua. Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.7

KesimpulanDifteri disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian terutama karena obstruksi saluran napas dan kegagalan jantung. Penanganan yang tepat dan sedini mungkin dapat menyelamatkan nyawa penderita. Selain itu penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi yang telah disiapkan oleh pemerintah yang dapat menurunkan insiden penderita.

Daftar Pustaka

1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-182. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-1763. Djojodibroto D. Respirologi ( respiratory medicine ). Jakarta:AGC, 2009. 52-704. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta : EGC, 2000.h.955-8, 1477.5. Stedman. Kamus ringkasan kedokteran. Ed 4. Jakarta : EGC, 2004.h.1025. 6. Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 20017. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm8. Benrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; .h.955-99. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm

13Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731Email: [email protected]