73
REDAKSI Penanggung Jawab Roy V. Salomo Pemimpin Editor Eko Prasojo Dewan Editor Agus Maulana, Amy S. Rahayu, Azhar Kasim, Bob Waworuntu, Bhenyamin Hoessein, Chandra Wijaya, Eko Prasojo, Ferdinand D. Saragih, Martani Huseini, Roy V. Salomo, Sudarsono Hardjosukarto, Gunadi, Haula Rosdiana, Irfan Ridwan Maksum, Lisman Manurung Redaktur Pelaksana Rachma Fitriati Sekretaris Redaktur Eko Sakapurnama Editor Teknik Defny Holidin Kesekretariatan Eliyani Noor, Gema Fikri A.P Diterbitkan Oleh: Pusat Kajian Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Alamat Redaksi Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi Gedung Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Lantai 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424 Telp/Fax: 021 78849145 Email: [email protected], [email protected] http://www.jurnalbisnisbirokrasi.com ISSN 0854-3844 STT NO.2239/SK/DITJENPPG/STT/1996 Volume 16, Nomor 2, MeiAgustus 2009 JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinil tentang pengetahuan dan informasi riset atau aplikasi riset, beserta pengembangan terkini dalam bidang administrasi dan kebijakan publik, bisnis, dan fiskal. Jurnal ini merupakan sarana publikasi dan ajang berbagi karya riset dan pengembangannya dalam bidang-bidang yang bersangkutan. Pemuatan artikel pada jurnal ini dialamatkan ke ruang redaksi. Informasi lengkap mengenai pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia pada setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi mitra bestari dan atau dewan editor. Sejak 1993, jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali dalam setahun (Januari, Mei, dan September). JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI is a scientific journal which publishes original articles on the most recent knowledge, researches or applied researches and other developments in the fields of public, business, and fiscal administration and policies. The journal provides a broad-bases forum for the publication and sharing of ongoing researches and development efforts in the respective fields. Articles should be sent to the editorial office. Detailed information on how to submit articles and instructions to the authors are available in every edition. All submitted articles will be subjected to peer-review and may be edited. Since 1993, this journal has been published three times a year (January, May, and September).

Bisnis-Birokasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bisnis-Birokasi

REDAKSI

Penanggung JawabRoy V. Salomo

Pemimpin EditorEko Prasojo

Dewan EditorAgus Maulana, Amy S. Rahayu, Azhar Kasim, Bob Waworuntu, Bhenyamin Hoessein, Chandra Wijaya, Eko Prasojo, Ferdinand D. Saragih, Martani Huseini, Roy V. Salomo,

Sudarsono Hardjosukarto, Gunadi, Haula Rosdiana, Irfan Ridwan Maksum, Lisman Manurung

Redaktur PelaksanaRachma Fitriati

Sekretaris Redaktur Eko Sakapurnama

Editor TeknikDefny Holidin

KesekretariatanEliyani Noor, Gema Fikri A.P

Diterbitkan Oleh:Pusat Kajian Ilmu Administrasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia

Alamat RedaksiRuang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi

Gedung Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Lantai 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424

Telp/Fax: 021 78849145Email: [email protected], [email protected]

http://www.jurnalbisnisbirokrasi.com

ISSN 0854-3844 STT NO.2239/SK/DITJENPPG/STT/1996

Volume 16, Nomor 2, Mei—Agustus 2009

JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinil tentang pengetahuan dan informasi riset atau aplikasi riset, beserta pengembangan terkini dalam bidang administrasi dan kebijakan publik, bisnis, dan fiskal. Jurnal ini merupakan sarana publikasi dan ajang berbagi karya riset dan pengembangannya dalam bidang-bidang yang bersangkutan. Pemuatan artikel pada jurnal ini dialamatkan ke ruang redaksi. Informasi lengkap mengenai pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia pada setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi mitra bestari dan atau dewan editor. Sejak 1993, jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali dalam setahun (Januari, Mei, dan September).

JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI is a scientific journal which publishes original articles on the most recent knowledge, researches or applied researches and other developments in the fields of public, business, and fiscal administration and policies. The journal provides a broad-bases forum for the publication and sharing of ongoing researches and development efforts in the respective fields. Articles should be sent to the editorial office. Detailed information on how to submit articles and instructions to the authors are available in every edition. All submitted articles will be subjected to peer-review and may be edited. Since 1993, this journal has been published three times a year (January, May, and September).

Page 2: Bisnis-Birokasi

Volume 16, Nomor 2, Mei—Agustus 2009

DAFTAR ISI

Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah untuk Mencapai Titik Impas (Break Even Point) dengan Pendekatan Model Profit Testing

Consumers Perception under the Construct of Nationalism, Worldmindedness, “Made In” Label, and Brands

Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik

Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai

Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai Perangkat Daerah

Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan

Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah di Indonesia

Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan

Sugeng Soedibjo,Rachma Fitriati

Guido Benny Sunardi

Roy V. Salomo

Sam’un Jaja Rahardja

Rozy Afrial Jafar

Erwin Harinurdin

Yusuf Wibisono

Teguh Kurniawan

59-67

68-73

74-81

82-86

87-95

96-104

105-115

116-121

Page 3: Bisnis-Birokasi

Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariahuntuk Mencapai Titik Impas

dengan Pendekatan Model Profit Testing

SUGENG SOEDIBJO1* & RACHMA FITRIATI2**

1Teknik Asuransi BRIngin Life2Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract. This research aimed to give illustration of profit achievement through determination of premium income based ontechnical assumptions that could be controlled by the company. This model could generally be used as a management toolto take the decision and to arrange the company work planning through allocation of company’s resources. The researchwas carried out at BRIngin Life Syariah (BLS) company. The results of this study showed that premium incomeachievement to reach the break even point depended on the kind of insurance products marketed, the operational cost,the investment yield and the risk level of clients. Based on the analyses of profit testing and sensitivity, the product ofTabarru’ produced a better break even point and profit indicator than the insurance products that had the savingselement. The results showed that the product of Tabarru with the operational cost between IDR 247,500.0 – IDR302,500.00per year would reach the break even point between 3.60–5.26 a year. The savings products that had the same operationalcosts could reach the break even point at 3.91–5.47 a year.

Keywords: premium income, operational cost, tabarru’, profit testing

PENDAHULUAN

Perkembangan perolehan premi asuransi syariah diIndonesia sampai tahun 2006 menunjukkan peningkatanyang cukup signifikan yaitu sebesar rata-rata 45,17%dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sampai denganbulan Juni 2006 total perolehan premi asuransi syariahsebesar Rp 231,524 miliar. Namun secara makro, kontribusipremi asuransi syariah hanya menyumbangkan sebesar1,5% dari target premi asuransi nasional. Dibandingkandengan negara lain yang penduduknya mayoritasmuslim, diperkirakan bahwa peranan asuransi syariah diIndonesia, seharusnya dapat memberikan sumbanganterhadap target perolehan premi nasional sekurang-kurangnya sebesar 10% (Majalah Proteksi, 2006).

Dalam rangka mendorong pengembangan bisnisasuransi jiwa syariah, diperlukan sejumlah indikator untukmeyakinkan para investor bahwa bisnis asuransi jiwasyariah di Indonesia mempunyai prospek yang sangatbaik. Di samping masih terbukanya peluang pasarasuransi jiwa syariah di Indonesia yang penduduknyamayoritas muslim, juga beberapa indikator keuanganlainnya yang menjadi acuan kegiatan operasionalperusahaan memberikan daya tarik untuk dibukanyaindustri asuransi jiwa syariah. Menurut data makroekonomi yang telah diolah, bahwa potensi pasar asuransijiwa di Indonesia (lihat tabel 1).

Sampai dengan tahun 2004, jumlah pemegang polisasuransi jiwa di Indonesia baru berjumlah 33,6 juta or-ang atau sekitar 15,29% dari total populasi. Hal ini berartibahwa setiap enam orang penduduk Indonesia hanyamemiliki satu polis asuransi jiwa. Artinya terdapat potensipasar asuransi jiwa yang demikian besar kurang lebihsekitar 85% dari populasi Indonesia atau sekitar 190 Jutajiwa penduduk Indonesia yang belum memiliki polisasuransi jiwa. Sedangkan, sumbangan sektor asuransijiwa terhadap PDB kurang dari 1%, yaitu baru sekitar0,77% terhadap PDB tahun 2004. Ini berarti masih terbukapeluang untuk meningkatkan pendapatan premi asuransijiwa di masa datang. Peningkatan pendapatan premiasuransi jiwa ini sangat tergantung pada iklimperekonomian nasional yang memungkinkanpeningkatan pendapatan per kapita penduduk danperanan industri asuransi dalam memobilisasi danamasyarakat untuk bersaing dengan industri keuanganlainnya.

Disamping potensi pasar asuransi, tumbuhnyaperusahaan asuransi dipengaruhi pula pada perananyang saling ketergantungan dari berbagai bidang.Pertama, pada bidang pemasaran, mobilisasi aparatpemasaran dan pembuatan strategi pemasaran yangsesuai dengan visi dan misi perusahaan diharapkandapat meningkatkan volume penjualan. Kedua, padabidang teknism perusahaan asuransi harus melakukanvaluasi-valuasi kekayaan dan kewajiban perusahaanterhadap nasabahnya, pembuatan produk-produk yangsesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan penetapanstandar operasional teknis dan seleksi terhadap risikocalon peserta asuransi. Ketiga, pada bidang keuangan,

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 59-67 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

*Korespondensi: +6221 5261260, +6221 5261261;[email protected]** Korespondensi: +62812 969323; [email protected]

Page 4: Bisnis-Birokasi

perusahaan asuransi harus dapat melakukan pengelolaandana masyarakat agar memberikan hasil yang optimal,pengendalian terhadap alokasi biaya-biaya perusahaan,dan penyusunan terhadap rencana anggaranperusahaan agar sedini mungkin ditetapkan rencana tar-get perolehan keuntungan perusahaan. Padaperusahaan dengan prinsip syariah peranan ketigabidang ini, harus senantiasa memenuhi karakteristik yangselaras dengan etika dan bisnis perusahaan yangberlandaskan pada etika bisnis Islam (Gillian, 1999; Alma,2003). Selain itu, misi yang harus diemban asuransisyariah adalah misi akidah, ibadah (ta’awun), ekonomi(iqtisadl), dan pemberdayaan umat (sosial) (Anshori,2007).

Pada perusahaan asuransi syariah (ta’min, takaful,atau tadhamum), hubungan kerjasama antar kedua belahpihak akan terjadi jika transaksi dilakukan berdasarkanprinsip mudharabah, yang bertujuan untuk melindungitertanggung dari risiko keuangan masa depan yang tidakterduga (Billah, 1998). Peranan perusahaan hanyaberstatus sebagai pengelola dana atau mudharib,sedangkan pemegang polis atau peserta asuransi ataushahibul maal merupakan pemilik dana sepenuhnya(Billah, 1998). Hubungan muamalah keduanya disebuthubungan mudharabah (lihat gambar 1 & 2).

Prinsip asuransi syariah harus mampu menciptakankeadilan, membangun moral, menetapkan bahwa uangbukan merupakan komoditas transaksi, diberlakukannyakebebasan dalam bertransaksi, menghindari adanyakekayaan beku dan kegiatan yang bersifat monopoli dantidak menganut ‘economic value of time (Roy, 1991;Billah, 1999). Selain itu, asuransi syariah juga tidak bolehmengandung unsur gharar (penipuan), maysir(perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap),barang haram dan maksiat (Anshory, 2007). Penempatandana investasi pada asuransi syariah juga harusmemperhatikan kaidah yang berlaku dalam sistemsyariah, misalnya tidak menempatkan dana pada lembagakeuangan yang berbasis bunga, atau pembelian sahamperusahaan yang memperjualbelikan komoditi haramsecara syariah (Antonio, 2004 dan Sula, 2004). Selainitu, pembagian keuntungan investasi dana didasarkanpada akad asuransi yang disepakati dengan pesertayaitu dasar akad bagi hasil investasi (al–mudharabah)(Yusof , 1996; Karim, 2001).

Sumber-sumber pendapatan perusahaan secara umum

bersumber dari ujrah atau fee (fee pengelolaan penjualanproduk asuransi, nisbah bagi hasil investasi dan ataudari surplus operasional dari pengelolaan risiko) yangsebagian besar bersifat variabel, tergantung dari vol-ume penjualan dan jumlah dana kelolaan olehperusahaan, sedangkan sumber-sumber pengeluaranperusahaan dikelompokkan pada pengeluaran biayavariabel (variable cost)-biaya-biaya yang dikeluarkantergantung pada besarnya volume penjualan; dan biayatetap (fix cost) - yaitu biaya-biaya yang dikeluarkanperusahaan untuk mendukung kegiatan operasionalyang tidak tergantung langsung pada volume penjualan.Biaya tetap ini menjadi indikator langsung terhadaptingkat efisiensi suatu perusahaan.

Kegiatan operasional perusahaan asuransi syariahini dibiayai dari hasil perolehan ujrah (fee) atas seberapabesar fee yang diperoleh perusahaan untuk menutupseluruh biaya operasional yang telah dikeluarkan dalamkurun waktu tertentu. Selain itu, indikator pembagiankeuntungan perusahaan ditentukan oleh besarnya danayang dikelola baik yang bersumber dari dana tabungan(tabarru’) atau dana tabungan peserta sesuai denganjenis produk dan akad asuransi yang diterapkan.

Pada perusahaan asuransi jiwa syariah, sumber danadikaitkan dengan akad asuransi yang akan diterapkandan, daya saing terhadap tingkat persaingan pasar yangdihadapi, salah satunya melalui inovasi. Inovasi-inovasidalam bisnis berorientasi pada upaya pemenuhankeinginan dan kebutuhan konsumen melalui penciptaanmanfaat atau nilai (Soeling, 2005), termasuk pada produkasuransi syariah.

Inovasi terhadap produk asuransi syariah mengacupada kebutuhan pasar. Inovasi pada produk asuransisyariah sangat bergantung pada penerapan akad yangmenjadi acuan pembagian hak dan kewajiban antaraperusahaan dan calon peserta asuransi. Namun, hal initidak berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa syariahyang baru, mengingat biaya awal operasionalperusahaan yang telah dikeluarkan belum mampu ditutupdari pendapatan perusahaan yang bersumber daribeberapa fee tersebut di atas.

Pada kenyataannya biaya awal perusahaan yangtinggi digunakan untuk membiayai awal operasiperusahaan dalam bentuk pembangunan infrastrukturkantor dan pembukaan kantor-kantor cabang baru untukmendukung pemasaran produk-produk perusahaan.

60 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Sumber: Bank Indonesia, BPS, Dewan Asuransi Indonesia (DAI), 2005

Keterangan 2001 2002 2003 2004 PDB pada harga berlaku (miliar Rp.) 1.449.398.10 1.610.016,00 1.786.691,00 2.303.030,00 Pendapatan per Kapita (Rp.) 6.938.000,00 7.594.000,00 9.572.480,00 10.641.730,00 Total Premi Asuransi Jiwa (miliar Rp.) 8.815,73 10.872,72 13.311,60 17.795,61 % Premi Asuransi Jiwa terhadap PDB 0,61 0,68 0,74 0,77 Pemegang Polis Asuransi Jiwa 25.293.099,00 24.246.485,00 30.867.931,00 33.600.000,00 Jumlah Penduduk (juta) 208,90 211,10 215,00 220,00 % Pemegang Polis Asuransi Jiwa terhadap Jumlah Penduduk 12,11 11,49 11,51 15,29

Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro tentang Potensi Pasar Asuransi di Indonesia Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), Premi dan Polis Asuransi Jiwa Tahun 2001–2004

Page 5: Bisnis-Birokasi

Biaya-biaya awal operasional perusahaan tersebutbersifat biaya tetap atau fix cost sebagai Initial Invest-ment perusahaan yang diharapkan akan ditutup dariperolehan fees di tahun-tahun mendatang. Sedangkansumber-sumber pendapatan perusahaan, sebagian besarbersumber dari fee penjualan produk yang meningkatberdasarkan omset penjualan dari waktu ke waktu, feebagi hasil mudharabah dari hasil investasi yangtergantung pada jumlah dana kelolaan dan kondisieksternal iklim investasi maupun dari fee surplusoperasional pengelolaan risiko oleh manajer risikoperusahaan yang tergantung pada besarnya pembayaranklaim dan manfaat asuransi jiwa pada peserta.

Terjadinya gap di awal operasi perusahaan diharapkandapat dicapai dengan bertambahnya jumlah pesertaasuransi dari tahun ke tahun. Penetapan waktu titik impas(break even point) yaitu terjadinya keseimbangan antaratotal biaya operasional perusahaan dan sumberpendapatan menjadi indikator penting bagi para inves-tor untuk mengkaji kelayakan bisnis perusahaan.

Masalah lain yang terjadi dalam pengelolaanperusahaan asuransi jiwa syariah adalah, penetapanpengembalian hasil investasi dari dana kelolaan peserta.Dengan akad asuransi syariah, perolehan hasil investasiyang maksimal akan mempercepat tercapainya titik impasdan mempercepat perolehan keuntungan perusahaan

dan sebaliknya. Hal ini tergantung akad asuransi danpenetapan nisbah bagian perusahaan yangmemungkinkan untuk mampu bersaing dalam lingkunganpemasaran. Semakin kecil nisbah bagi perusahaanmemberi indikasi semakin efisiennya biaya-biaya operasiperusahaan dan sebaliknya.

Korelasi lainnya adalah semakin tingginya tingkatpengembalian hasil investasi menunjukkan perusahaanmemiliki kemampuan dalam mengelola dana peserta. Halini memberikan dampak terhadap meningkatnyakepercayaan peserta terhadap kemampuan perusahaan,dan mendorong tumbuhnya perusahaan dalammenjaring peserta-peserta asuransi lainnya. Pada sisilain, secara agregat masalah yang dihadapi perusahaanadalah menetapkan target premi total peserta yang harusdikelola agar mencapai titik impas dan keuntunganperusahaan (Emms, Haberman, Savoulli, 2007).Pencapaian target premi ini dipengaruhi oleh jenis produkyang akan dipasarkan, jaringan pemasaran, penerapanakad asuransi, dan kualitas pelayanan perusahaan.

Pada PT AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi BisnisSyariah, analisa tentang penetapan target premi pesertaadalah merupakan penjumlahan dari setiap unit bisnispemasaran yang telah dibuka, baik yang bersumber daribisnis asuransi jiwa individu maupun asuransi jiwakumpulan. Keragaman perusahaan berasal dari

SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 61

Gambar 1. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah dengan Unsur Tabungan

Gambar 2. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah tanpa Unsur Tabungan

Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007

Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007

Page 6: Bisnis-Birokasi

akumulatif keragaan bisnis-bisnis yang dibangunnya.Untuk memberikan penilaian terhadap kinerjaperusahaan, senantiasa dibutuhkan alat ukur dalammenggambarkan keragaan tersebut secara kuantitatifmelalui indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator iniantara lain penetapan target perolehan premi, penetapanwaktu tercapainya titik impas, analisa profitabilitasperusahaan, dan analisa kepekaan (sensitivity analy-sis) sesuai dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan.

Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini dilakukanuntuk menganalisis cara menetapkan target premi agartercapai titik impas (break even point) yang mengacupada produk-produk asuransi yang dipasarkan dari akad-akad asuransi yang diterapkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dengan pendekatan kuantitatif inimenggunakan model Profit Testing (Hare danMcCutcheon,1996; Mungall,1993), yaitu modelmatematis yang berupa proses iterasi dari keseimbangancash flow antara sumber pendapatan dengan sumberpengeluaran perusahaan pada setiap tahun produksi.Dalam model ini dilakukan identifikasi secara akuratbesaran sumber-sumber pendapatan perusahaan melaluidimensi waktu yang ditetapkan dan mampumengidentifikasi sumber-sumber pengeluaranperusahaan dari periode waktu pengamatan.

Beberapa asumsi yang digunakan sebagai dasarpenetapan perhitungan profit testing dalam penelitianini, adalah sebagai berikut. Pertama, asumsi teknis yangmeliputi tabel mortalita yang digunakan, asumsi hasilinvestasi yang akan dicapai dalam tahun-tahunmendatang, penetapan bagi hasil investasi, besarnyaprofit sharing yang ditetapkan dalam mengelola risiko,penetapan biaya aktuaria (actuarial load) yaitu biayayang dibebankan pada calon peserta untuk mengikuti

Tabel 2. Tarif Premi Resiko (Tabarru’) per Rp. 1.000,00 Dana Kebajikan program asuransi yang dipilih, biaya mortalitas (mor-tality load) yaitu penetapan tingkat kematianberdasarkan tabel mortalita yang dipilih sebagai dasarmenghitung tarif premi Tabarru’, dan asumsi tingkathasil investasi per tahun yang menggambarkankemampuan perusahaan untuk mengelola dana peserta.

Kedua, asumsi data pertanggungan yang meliputirata-rata usia peserta yang akan menjadi nasabahperusahaan yang bersangkutan, rata-rata dana kebajikanyang akan dikelola perusahaan yang mencerminkansegmen pasar yang akan dituju oleh perusahaan, rata-rata masa asuransi yang akan masuk sebagai pilihancalon peserta, jumlah polis peserta baru (New Business= NB) yang diharapkan oleh perusahaan pada setiaptahunnya, dan asumsi kenaikan produksi baru per tahunyang mencerminkan target pertumbuhan usahaperusahaan pada setiap tahunnya.

Ketiga, asumsi biaya dan beban perusahaan yangmeliputi asumsi biaya pemasaran yaitu biaya-biaya yangdigunakan untuk memasarkan produk-produkperusahaan, investasi awal perusahaan (Initial Invest-ment) yaitu dana awal yang dibutuhkan perusahaanpada awal beroperasi, biaya over head yaitu biaya yangdigunakan untuk membiayai kegiatan kantor-kantor, danasumsi kenaikan biaya over head per tahun untukmengatisipasi pertumbuhan biaya akibat koreksi faktorinflasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Cost of Insurance (Premi Tabarru’)Berdasarkan Tabel Mortalita Indonesia II 1993 (TMI

II 1993), dengan asumsi hasil investasi 8% per tahundan ditetapkan biaya sebesar 30% dari Premi Tabarru’,diperoleh tarif premi Tabarru’ untuk setiap Rp 1.000,00dana kebajikan (lihat tabel 2).

Hal ini memberikan beberapa gambaran bahwa (a)dengan semakin meningkatnya usia calon peserta makarisiko yang dihadapi perusahaan semakin tinggisehingga peserta yang berusia lebih tinggi akanmembayar secara adil lebih mahal dibandingkan dengancalon peserta yang berusia lebih muda; (b) Denganasumsi hasil investasi 6% ini menunjukkan bahwaapabila perusahaan dalam mengelola dana Tabarru’tersebut memperoleh hasil investasi lebih dari 6%, marjinyang diperoleh dari hasil investasi ini menjadi penambahpooling fund dana Tabarru’ yang dikelola perusahaan.Sebaliknya, apabila hasil investasi kurang dari asumsiyang ditetapkan maka defisit ini menyebabkanberkurangnya Pooling Fund dana Tabarru’; (c)Penetapan asumsi biaya sebesar 30% menunjukkanbahwa dari setiap premi Tabarru’ yang dihimpunperusahaan mempunyai alokasi biaya yang digunakanuntuk operasional sebesar 30%. Apabila realisasi biayaoperasional kurang dari 30% memberikan gambaranselisih tersebut merupakan keuntungan perusahaan atasefisiensi biaya yang dilakukan. Sebaliknya apabila

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Usia Tarif Usia Tarif Usia Tarif Usia Tarif 20 1.97 40 3.06 60 20.28 80 131.17 21 1.98 41 3.26 61 22.30 81 143.60 22 1.95 42 3.49 62 24.51 82 157.12 23 1.93 43 3.77 63 26.94 83 171.82 24 1.87 44 4.11 64 29.61 84 187.79 25 7.85 45 4.56 65 32.55 85 205.11 26 7.83 46 5.11 66 35.78 86 223.85 27 1.82 47 5.78 67 39.29 87 244.14 28 1.83 48 6.54 68 43.17 88 266.02 29 1.85 49 7.36 69 47.41 89 289.61 30 1.85 50 8.21 70 52.06 90 314.97 31 1.87 51 9.06 71 57.17 91 342.17 32 1.91 52 9.84 72 62.76 92 371.27 33 1.98 53 10.57 73 68.89 93 402.30 34 2.09 54 11.33 74 75.59 94 435.32 35 2.21 55 12.24 75 82.94 95 470.31 36 2.36 56 13.38 76 90.96 96 507.26 37 2.53 57 14.82 77 99.73 97 546.13 38 2.71 58 16.56 78 109.31 98 586.82 39 2.88 59 18.45 79 119.77 99 629.20

62 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Page 7: Bisnis-Birokasi

realisasi biaya operasional melebihi asumsi yang telahditetapkan, maka kerugian ini harus ditutupi dari premi-premi lanjutan dimasa yang akan datang.

B. Analisis BiayaBerdasarkan data yang diperoleh dari laporan

keuangan perusahaan tahun 2003-2005, diperolehsejumlah hasil. Pada awal berdirinya perusahaan tahun2003 biaya umum dan administrasi masih relatif rendah,yaitu sebesar Rp 256.845.793,71. Hal ini dikarenakanoleh masih terbatasnya jumlah sumber daya manusia,baik aparat penjualan maupun pegawai organik. Saranakantor masih sangat terbatas dan jumlah kantor cabangyang dibuka baru satu kantor cabang. Pada tahun 2004biaya umum dan administrasi mengalami kenaikansebesar Rp 1.269.274.728,60 atau kenaikan 394,17% daritahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan kebijakanperusahaan untuk menambah sarana dan sumber daya

beberapa kota besar. Pada tahun 2005 terjadi perluasanjaringan distr ibusi dengan membentuk tujuhdepartemen pemasaran korporasi yang dikhususkanuntuk memasarkan produk-produk asuransi kumpulansecara korporasi. Hal ini mengakibatkan peningkatanjumlah biaya umum dan administrasi menjadi Rp3.144.030.197,23 atau terjadi peningkatan sebesar147,75% dari tahun 2004.

Hasil yang kedua, berdasarkan data pada hasil

(diasumsikan) akan meningkat sebesar 10% pada tahun-tahun berikutnya dari tahun sebelumnya.

Hasil keempat, merujuk pada biaya underwriting danbiaya produksi/penjualan yang sangat tergantung padabesaran portofolio premi yang diperoleh selama periodeberjalan. Biaya-biaya ini bersifat variabel dari premi

SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 63

pertama di atas, terlihat bahwa setiap pembukaan satukantor cabang atau satu departemen pemasaranperusahaan harus mengalokasikan biaya per tahunnyaberkisar antara Rp 250 juta-Rp 275 juta. Biaya ini dalamanalisis perhitungan profitabilitas diperlakukan biayamodal kerja atau overhead cost kantor pemasaran.

Hasil yang ketiga,dengan memperhatikan faktorinflasi, tanpa adanya penambahan julah kantorpemasaran, diperkirakan biaya modal kerja tahunan

yang dihimpun. Dengan demikian, keuntunganperusahaan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnyaportofolio premi yang akan dihimpun. Jika portofolioyang dikelola sangat rendah mengakibatkan sumber

dikeluarkan. Sebaliknya, jika portofolio premi yangdikelola sangat besar maka keuntungan perusahaanmenjadi sangat besar pula karena sumber-sumberpendapatan perusahaan mampu menutup biaya umumdan administrasi.

Hasil kelima besaran biaya underwriting dan biayaproduksi/penjualan ditentukan berdasarkan pada jenisproduk dan sesuai kebijakan perusahaan dalammenetapkan prosentase biaya. Selanjutnya biaya-biaya

1) Asumsi Teknis a Tabel Mortalita: TMI II 1999

b Hasil Investasi (Gross): 12,00%

ini dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan targetportofolio premi yang harus dicapai, agar pencapaiantarget tersebut mampu menutup semua biaya dalammasa tertentu serta menghasilkan keuntungan danpencapaian titik impas sesuai dengan target yang telahditetapkan.

C. Analisis Portofolio Premi dan ProfitabilitasAnalisis premi dan portofolio yang pertama adalah

produk tabungan. Dalam menganalisa portofolio premidan profitabilitas dari jenis produk non tabungan(Tabarru’) ini, terdapat beberapa asumsi teknis yangharus ditetapkan untuk menyusun perencanaanproduksi setiap tahunnya.

pendapatan perusahaan tidak akan cukup untukmenutup biaya umum dan administrasi yang telah

2) Data Pertanggungan

Kenaikan Produksi Polis NB/ Tahun: 10%

3) Biaya dan Beban

Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan danrencana anggaran biaya sebagaimana tersebut di atasdapat diperoleh proyeksi kepesertaan dan pendapatanpremi tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 sepertidalam tabel 3. Berdasarkan análisis portofolio premi danprofitabilitas, maka diperoleh grafik premi, klaim, dan laba(rugi) term insurance (yearly renewable term) SyariahProduk Non Tabungan (tabarru’), seperti pada gambar3.

Jika Kantor Cabang memenuhi pencapaianpendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiaptahunnya selama 10 tahun produksi kedepan sesuaidengan target yang telah ditetapkan dan asumsi teknisdan rencana anggaran terpenuhi, maka profitabilitasyang dicapai oleh kantor cabang adalah seperti dalampoin nomor 4.

Analisis produk premi dan portofolio yang berikutnyaadalah produk tabungan. Dalam menganalisa portofoliopremi dan profitabilitas dari jenis produk dengan unsurtabungan, terdapat beberapa asumsi teknis yang harusditetapkan untuk menyusun perencanaan produksisetiap tahunnya.

manusia dengan dukungan lima kantor cabang di c Mudharabah: Hasil Investasi (Netto 60%

a. Pesert 80,00% b. Perusahaa 20,00%

d Profit Shari 30,00% e Loading Aktua 30,00% f Mortality Lo 90,00% g Hasil Investasi Tekn 6,00%

a Usia Masuk (Tahun): 40 b JU P (Rupiah) 15.000.000,00 c Masa Asuransi (Tahun): 10 d Jumlah Polis NB: 20.000

a Biaya Pemasaran 20,00% b Initial Investment: 500.000.000,00 c OHC: 275.000.000,00 d +/- OHC/ Thn 10,00%

Page 8: Bisnis-Birokasi

Tabel 3. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan PremiProduk Asursni Jiwa Syariah Non Tabungan (Tabarru’)

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 3.Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk Non Tabungan (Tabarru’)Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tabel 4. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan PremiProduk Asuransi Jiwa Syariah Tabungan (Mudharabah)

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tahun Jumlah Peserta

Premi Tahunan

GROSS NETTO 2006 400,00 4.000 .0 00.0 00,00 3 .6 00.000.000,00

2007 799,18 7.991 .8 28.0 00,00 7 .4 79.991.440,00

2008 1.205,18 12.051.751.278,62 11.423.516.253,04

2009 1.624,59 16.245.946.120,27 15.495.107.197,86

2010 2.063,41 20.634.128.579,28 19.752.934.007,69

2011 2.527,22 25.272.224.236,90 24.251.416.552,16

2012 3.021,43 30.214.264.830,57 29.043.080.013,96

2013 3.551,39 35.513.939.200,53 34.180.070.944,52

2014 4.122,58 41.225.816.802,21 39.715.352.046,97

2015 4.740,64 47.406.449.914,53 45.703.777.655,12

Gambar 4. Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk TabunganSumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tahun Jumlah Peserta Premi 2006 20,0000.00 917,789,757.41 2007 41,959.14 1,986,006,444.74 2008 66,070.72 3,227,361,456.31 2009 92,547.04 4,674,771,879.41 2010 121,620.92 6,364,253,460.13 2011 153,547.78 8,351,182,730.29 2012 188,607.21 10,696,016,881.93 2013 227,105.36 13,468,676,395.96 2014 269,377.51 16,733,478,592.64 2015 315,791.49 20,556,561,037.31

64 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Page 9: Bisnis-Birokasi

Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan, danrencana anggaran biaya, dapat diperoleh proyeksikepesertaan dan pendapatan premi tahun 2006 sampaidengan tahun 2015 pada tabel 4.

SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 65

dibandingkan dengan produk tabungan. Hal inidisebabkan porsi keuntungan perusahaan yangbersumber dari biaya dan hasil investasi produk Tabarru’lebih besar dibandingkan dengan produk tabungan.

Kedua, ROI, IRR dan profit margin produk Tabarru’lebih besar dari produk tabungan. Hal ini dikarenakanproduk Tabarru’ tidak memberikan nilai tunai kepadapeserta dalam masa kontrak asuransi sehinggaperusahaan dapat memperoleh keuntungan lebih besardibandingkan dengan produk tabungan.

Ketiga, Produk Tabarru’ memberikan potensikeuntungan dan pencapaian titik impas lebih baik dariproduk tabungan. Namun demikian, pencapaian targetportofolio premi harus dicapai dalam jumlah pesertayang jauh lebih besar dibandingkan dengan produktabungan mengingat premi yang dipasarkan sangatmurah.

Keempat, Tingkat kesulitan memasarkan produkTabarru’ lebih tinggi dibandingkan dengan produktabungan. Hal ini dikarenakan karena rancangan produkini sangat sederhana - hanya memiliki satu manfaatasuransi. Sedangkan untuk produk tabungan dapatdirancang berbagai kombinasi produk sesuai dengankebutuhan konsumen.

Analisis portofolio premi dan profitabilitas yang

kepekaan produk Tabarru’ dan Tabungan akan diujisensitivitas profit margin, ROI, IRR, dan payback pe-riod terhadap perubahan hasil investasi, overhead cost(OHC), dan mortality. Asumsi-asumsi teknis lainnyadianggap tetap (cateris paribus). Berdasarkanperhitungan profit testing, dapat diketahui masing-masing kepekaan terhadap perubahan variabel tersebutdiatas sebagai berikut.

Kepekaan terhadap perubahan variabel tersebut yangpertama adalah produk non tabungan (Tabarru’). Untuksensitivitas hasil investasi, peningkatan dan penurunanhasil investasi sebesar 1% akan menyebabkan perubahanterhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapatpada tabel 5.

Peningkatan hasil investasi sebesar 1% dari asumsisemula menjadi akan menyebabkan peningkatan PM,ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,87%, 4,08%, dan3,55%. Sedangkan payback period akan dicapai lebihcepat 0,10 tahun.

Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsisemula menjadi 11 % akan menyebabkan penurunan PM,ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,85%, 4,01% dan

Berdasarkan análisis portofolio premi dan profitabilitasdiperoleh grafik premi, klaim, dan laba (rugi) term insur-ance (yearly renewable term) Syariah Produk Tabungansebagai gambar 4.

Seandainya kantor cabang memenuhi pencapaianpendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiaptahunnya selama sepuluh tahun produksi kedepansesuai dengan target yang telah ditetapkan dan asumsiteknis dan rencana anggaran terpenuhi, profitabilitasyang dicapai oleh kantor cabang adalah sebagai berikut.

Analisa portofolio premi dan profitabilitas yang ketigaadalah analisis produk. Berdasarkan hasil perhitunganprofit testing dari kedua produk di atas diperolehgambaran sebagai berikut:

Pertama, pencapaian titik impas kantor cabang dalammemasarkan produk asuransi Tabarru’ lebih cepat

4) Profitability:

d Internal Rate of Return (IRR): e Return on Investment (ROI): 43.98%

4) Profitability: a PVF Premium: 122,794,211,151.36 b PVF Profit: 1,157,869,601.78 c Profit Margin: 0.94%

d Internal Rate of Return (IRR): 20.13%

e Return on Investment (ROI): 54.94%

f Payback Period (year): 4.66

1) Asumsi Teknis a Tabel Mortalita: TMI II 1999 b Hasil Investasi (Gross): 12,00%

Hasil Investasi (Netto): 9,60% c Mudharabah:

a. Peserta: 80,00% b. Perusahaan: 20,00%

d Profit Sharing: 30,00% e Loading Aktuaria Thn-1: 10,00%

Loading Aktuaria Thn-2, dst: 2,00% f Mortality Load: 90,00% g Tingkat hasil Investasi Teknis: 6,00%

2) Data Pertanggungan a Usia Masuk (Tahun): 40 b Jumlah Uang Pertanggungan: 10.000.000,00 c Premi per Tahun (Rupiah): 10.000.000,00

d Masa Asuransi (Tahun): 10

e Jumlah Polis NB: 400 f Kenaikan P roduksi Pol is NB/ Tahun: 10%

3) Biaya dan B eban a Biaya P ema saran Thn-1: 8,0%

c Initial Investme nt: 500,000,000.00 d OHC: 275.000.000,00

e +/- O HC/ Thn: 10,0%

a PVF Premium: 4,676,695,967.51 b PVF Profi 2,445,750,376.43 c Profit Margi 5.47%

19.75%

f Payback Period (th 3.60

b Biaya P ema saran Thn-2, dst 2,0% keempat adalah analisis kepekaan. Dalam menganalisis

Page 10: Bisnis-Birokasi

3,60%. Sedangkan payback period akan dicapai lebihlama 0,11 tahun.

Sementara pada sensitivitas overhead cost (OHC)10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikatorprofitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel 6.

Peningkatan OHC sebesar 10%, dari asumsi semulamenjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkan penurunanPM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 10,69%,15,71%, dan 9,88%. Sedangkan payback period akandicapai lebih lama 0,55 tahun. Penurunan OHC sebesar10%, dari asumsi semula menjadi Rp 247.500.000,00 akanmenyebabkan peningkatan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 10,71%, 20,73% dan 10,14%. Sedangkanpayback period akan dicapai lebih cepat 0,51 tahun.

Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan danpenurunan sebesar 10% akan menyebabkan perubahanterhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapatdalam tabel 7.

Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsisemula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRRmasing-masing sebesar 33,42%, 27,51% dan 26,00%.Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,93tahun. Penurunan mortality load sebesar 10%, dariasumsi semula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI,dan IRR masing-masing sebesar 33,42%, 31,65% dan22,82%, sedangkan payback period akan dicapai lebihcepat 0,73 tahun.

Kepekaan terhadap peubahan variabel tersebut yangkedua adalah produk tabungan. Untuk sensitivitas hasilinvestasi, peningkatan dan penurunan hasil investasisebesar 1% akan menyebabkan perubahan terhadapindikator profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel

8.Peningkatan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi

semula menjadi 13% akan menyebabkan peningkatanPM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,46%,12,67%, dan 10,63%. Sedangkan payback period akandicapai lebih cepat 0,38 tahun.

Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsisemula menjadi 11% akan menyebabkan penurunan PM,ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,33%, 11,79%,dan 10,99%, sedangkan payback period akan dicapailebih lama 0,44 tahun.

Sementara pada sensitivitas overhead cost, peningkatandan penurunan OHC sebesar 10% akan menyebabkanperubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 9).

Peningkatan overhead cost sebesar 10%, dari asumsisemula menjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkanpenurunan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar17,25%, 22,11%, dan 16,03%. Sedangkan payback pe-riod akan dicapai lebih lama 0,79 tahun. Penurunanoverhead cost sebesar 10%, dari asumsi semula menjadiRp 247.500.000,00 akan menyebabkan peningkatan PMdan ROI 15,94%. Sedangkan payback period akandicapai lebih cepat 0,77 tahun.

Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan danpenurunan mortality load sebesar 10% akan menyebabkanperubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 10).

Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsisemula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, danIRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,8%.Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,03tahun.

Tabel 9. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead Cost ProdukTabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tabel 10. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load Produk Tabunganterhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Scenario Overhead Cost PM ROI IRR Pay Back

(year) 1 275,000,000.0 0.93% 54.53% 19.97% 4.68 2 302,500,000.0 0.77% 42.47% 16.77% 5.47 3 247,500,000.0 1.09% 71.58% 23.15% 3.91

Scenario Mortality Load PM ROI IRR

Pay Back (year)

1 100.0% 0.93% 54.53% 19.97% 4.68 2 110.0% 0.92% 54.11% 19.81% 4.71 3 90.0% 0.94% 54.94% 20.13% 4.66

66 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Tabel 7. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load ProdukTabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Scenario Mortality Load PM ROI IRR Pay Back

(year) 1 100.0% 4.10% 60.67% 26.69% 4.33 2 110.0% 2.73% 43.98% 19.75% 5.26 3 90.0% 5.47% 79.87% 32.78% 3.60

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Skenario Hasil Investasi PM ROI IRR Pay Back

(Tahun) 1 12,0% 0,93% 54,53% 19,97% 4,68 2 13,0% 1,04% 61,44% 22,09% 4,30 3 11,0% 0,83% 48,10% 17,77% 5,12

Tabel 8. Sensitivitas Perubahan Asumsi Hasil InvestasiProduk Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Skenario Hasil Investasi PM ROI IRR Pay Back

(Tahun) 1 12,0% 4,10% 60,67% 26,69% 4,33 2 13,0% 4,26% 63,14% 27.64% 4,23 3 11,0% 3,95% 58,24% 25,73% 4,44

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tabel 6. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead CostProduk Tabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Scenario Overhead Cost PM ROI IRR Pay Back (year)

1 275,000,000.0 4.10% 60.67% 26.69% 4.33 2 302,500,000.0 3.66% 51.14% 24.05% 4.88 3 247,500,000.0 4.54% 73.25% 29.40% 3.82

Sumber : Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tabel 5. Sensitivitas Perubahan Asumsi Hasil InvestasiProduk Tabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan

Page 11: Bisnis-Birokasi

produk secara kombinasi yaitu produk Tabarru’ danatau tabungan agar tercapai target yang optimum. Serta,diperlukan kajian analisa investasi yang lebih mendalamdan seleksi risiko yang ketat mengingat kedua faktor inimemberikan kontribusi keuntungan yang signifikan bagiperusahaan. Manajemen perlu menganalis biaya-biayayang lebih dalam mengingat perubahan-perubahanindikator ekonomi secara makro yang berdampak padatarget perusahaan yang diluar kemampuan perusahaanuntuk mengendalikannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alma, Buchari. 2003. Dasar-dasar Etika Bisnis Islami. Cetakanke 3. Bandung: CV Alfabeta

Anshori, H.Abdul Ghofur. 2007. Asuransi Syariah di Indonesia:Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam KerangkaHukum Positif di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani Press.

Billah, Mohd. Masum. 1998. Islamic Insurance: Its Origins andDevelopment, Arab Law Quarterly, Vol. 13, No. 4 (1998).

____. 1999. Quantum of Damages in Takaful (Islamic Insur-ance): A Reappraisal of the Possibility of Adopting the Doc-trines of Al-Diyah and Al-Daman Arab Law Quarterly, Vol.14, No. 4 (1999).

Emms, I. Haberman, dan I.S. Savoulli, I. 2007. Optimal Strate-gies for Pricing General Insurance, Insurance: Mathematicsand Economics 40 (2007).

Hare, D.J.P. dan J.J. McCutcheon. 1996. Some Remarks onProfit-Testing, NMG. Singapore: TRAINING COURSE.

Karim, Rifaat Ahmed Abdel. 2001. International AccountingHarmonization, Banking Regulation, and Islamic Banks.Accounting and Auditing Organization for Islamic Finan-cial Institutions 36 (2001).

Majalah Proteksi. 2006. No. 189, Tahun XXVII (Oktober).Mungall, John, R, FFA, 1993. Profit Testing. Konferensi Aktuaris

Indonesia II, Cimacan, Jawa Barat.Rice, Gillian. 1999. Islamic Ethics and the Implications for Busi-

ness, Journal of Business Ethics, Vol. 18, No. 4 (Februari).Roy, Delwin A. 1991. Islamic Banking, Middle Eastern Studies,

Vol. 27, No. 3 (Juli).Soeling, Pantius D. 2005. Mendorong Munculnya Gagasan-

Gagasan Inovatif bagi Eksistensi dan Daya Saing Bisnis. JurnalIlmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. Vol.3,No. 1 (Januari).

Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and Gen-eral): Konsep dan Sistem Operasional, Cetakan 1 Jakarta :Gema Insani Press

Yusof, Mohd Fadzli. 1996. Takaful: Sistem Insuransi Islam, KualaLumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd.

Penurunan mortality load sebesar 10%, dari asumsisemula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, danIRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,80%.Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat0,02 tahun.

KESIMPULAN

Dari penjabaran sebelumnya dapat disimpulkanbeberapa hal. Pertama, pencapaian portofolio premidalam mencapai titik impas sangat tergantung pada jenisproduk yang dipasarkan, biaya operasional, hasilinvestasi, dan tingkat resiko calon peserta asuransi.Kedua, berdasarkan analisa profit testing dansensitivitas, produk asuransi jenis Tabarru’menghasilkan titik impas dan indikator profitabilitas lebihbaik dari pada produk yang mempunyai unsur tabungan.Namun demikian jumlah portofolio peserta produkTabarru’ harus besar agar dapat menutup segala biaya.Ketiga, pencapaian target portofolio peserta dari produktabungan membutuhkan jumlah populasi yang lebihkecil mengingat premi untuk produk tabungan ini jauhlebih mahal dibandingkan dengan produk Tabarru’.Keempat, setiap unit pemasaran membutuhkan biayaoperasional per tahun antara Rp 247.500.000 hingga Rp302.500.000. Untuk produk Tabarru’, unit pemasaran akanmencapai titik impas pada selang 3,60 tahun sampai 5,26tahun. Sementara produk Tabungan akan mencapai titikimpas pada selang 3,91 tahun sampai 5,47 tahun. Kelima,faktor mortalita untuk produk Tabarru’ memilki tingkatkepekaan yang kuat dibandingkan dengan faktor-faktorlainnya yaitu hasil investasi dan biaya, sedangkan untukproduk Tabungan faktor yang paling sensitif adalahperubahan hasil investasi. Keenam, tingkatpengembalian dan profit marjin produk Tabarru’ lebihbaik dibandingkan dengan produk tabungan.

Sehingga sebelum melakukan aktivitas pemasaran,manajemen menetapkan sasaran yang akan dicapaiberdasarkan protofolio premi, kepesertaan, danindikator-indikator profitabilitas yang telah dirumuskan.Manajemen perlu melakukan kajian terhadap beberapaasumsi dan indikator profitabilitas setiap tahunnya untukmengukur penyimpangan terhadap asumsi dan indikatorprofitabilitas agar sesuai dengan sasaran perusahaan.

Kantor pemasaran perlu melakukan pemasaran

SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 67

Page 12: Bisnis-Birokasi

INTRODUCTION

The implementation of South East Asian CountriesEconomic Integration, named The ASEAN Communitywas accelerated to 2015. To compete in the globaleconomy, the domestic business should prepare for thetighter competition. Goods and services are designed,made, and marketed all over the world through a dynamicproduction chain order and they have been able to gobeyond country boundaries as well as across enterprises(Sangkala, 2005).

According to some experts in marketing sciences,building brand is one of the key to win consumer choice(Kotler, 2003). From the consumers’ perspective, a brandoffers guarantee for consistent performance and givethe signal of higher benefits than the unbrandedproducts. For the consumers, brand is also perceived asthe “contract” with the provider of the products that theproducts bearing the brand name are guaranteed todel iver qual i ty, comfor ts, sta tus, and otherconsiderations which are important for consumers’purchase.

The leading expert of economics for competitiveness,Michael Porter (1994) had revealed brand as one of thefactors that form the competitive advantage (Rosinta,2007). Brand can be a key to differentiate the offer of acompany from its competitors. Brand is also able toprotect the company from fierce price war in the oligopolycompetitive market. A strong brand can become a barrierof entry for competitors who are willing to entry to abusiness. Finally, brands make it possible for a companyto attract and maintain loyal and profitable customers.

In global competition context, consumers give higher

Consumers Perception Under the Construct of Nationalism,Worldmindedness, “Made In” Label, and Brands

GUIDO BENNY SUNARDI1*

1Bussiness Administration, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia

Abstract. The implementation of economic integration under the ASEAN Community is accelerated to 2015. Manyobservers argued that Indonesian businesses were not ready to compete. Then, a study was conducted to examine howJakarta consumers perceived the competitiveness of domestic shoes products, a leading Indonesian export products,against similar products made in some ASEAN and other developed and newly industrialized countries. The studyemployed six dimensions of Country Image for shoes products in revealing consumers’ perception of “made in” labels andconsumers’ perception of brands. The study also adopted the constructs of consumers’ nationalism and worldmindedness.To increase the validity of the study, the respondents were carefully selected with judgemental quota sampling, usinggender, area and cohort variables. The research revealed some interesting results that would be important for businesspeople and government as regulator.

Keywords: consumers, nationalism, worldmindedness, brand origin, country of origin

attention to the brand’s origin. Studies of country oforigin (COO) effects in the discipline of internationalmarketing observed the country image as the multidimensional constructs that influence perceived quality(Han, 1989).

Stereotyping the products based on COO is universalbut the level in which it applied and occurred to theevaluation of the products varied. The consumers’sensitivity to COO image varied from one country toother country (Papadopoulus et al, 1990). It also variedby the level of consumers’ knowledge (Schaefer, 1997).Other study found the tendency that consumer maygive positive attitude in evaluating their domesticproducts (Kaynak and Cavusgil, 1983).

The tendency of consumer to prefer domesticproducts was mentioned in some study as consumernationalism (Rawwas, Rajendran, and Wuehrer, 1996).Nationalist consumer regards that buying importedproducts as a wrong manner because it is unpatriotic,can ruin domestic economy, and lead to the loss ofdomestic working opportunity.

Observing the nationalist consumer, Shimp andSharma (1987) found that consumers with highnationalism tended to pay attention to the positiveaspects of domestic products and tend to ignore thepositive aspects of the imported ones.

However, not every consumer is nationalist. In manycountries, consumers face so many alternatives ofproducts to choose (Netemeyer et al, 1991). Furthermore,with the increasing level of immigration, foreign childrenadoption, international marriage, and continuoustransformation in the world because of the high adoptionof information and communication technology, a newculture was created in many countries (Weiner, 1994).This hybrid culture gave birth to the appreciation of the“shared world” and public welfare. The citizen of those* Correspondence: +6285 6923 69807; [email protected]

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 68-73 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 13: Bisnis-Birokasi

countries then showed empathy and understanding toother countries’ society. In the international businesscontext, this phenomenon is called “consumerworldmindedness” by Sampson and Smith (1957).

This study used the constructs of consumernationalism and consumer worldmindedness revealedby Rawwas, Rajendran, and Wuehrer (1996). The studyalso used the study of Mohamad, et al (2000) thatexamined the perception of the consumer on Malaysianand imported clothing products. Inspired by thosestudies, the writer then carried a study in Indonesia.Shoes, as product from Indonesia with high value ofexport, was choosen as the object of study. The researchalso studied the construct of brand origin that measurethe consumer perception to the products marketed withthe brands of several countries. Then, the purposes ofthis paper were (1) to reveal the nationalism andworldmindedness attitudes of Indonesian consumers;(2) to describe the perceived quality of shoes productsmade in several ASEAN and developed countries; (3)to describe the perceived quality of shoes productsmarketed under the brand name from several ASEANand developed countries.

RESEARCH METHOD

To collect primary data, field survey was conductedto 288 consumers in the greater Jakarta area onNovember 2-14, 2007. The area consisted of ninedistricts; those are five districts of Jakarta (Central,North, South, East and West) and four neighboringdistricts (Bogor, Tangerang, Bekasi, and Depok).

The study used judgmental quota samplingtechnique with gender, area, and cohort as the criteriavariables. Each respondent is interviewed using astructured questionnaire. Each indicator in the consumernationalism and consumer worldmindedness constructswas measured using 5-likert scale. The qualityperceptions constructs were measured using 5 pointssecondary scale descriptors. The answers then wereanalyzed using descriptive data analyses and paired t-test to test the difference of quality perception ofproducts and brands.

Details of respondents’ identity are shown in Table1. Respondents were chosen balanced based on quota

of gender, four cohort groups and nine district areas.The majority of respondents’ education were senior highschool or above.

RESULT AND DISCUSSION

A. Consumer Nationalism and WorldmindednessIn the study, consumer nationalism was measured

by fourteen indicators. The indicators can be simplifiedinto three dimensions: attitude toward domesticproducts, toward imported products, and perceivedimpact of import products to the national economy. Table2 shows the consumer nationalism attitude.

The majority of respondents agreed with thestatements of attitude toward domestic products:Indonesian citizen should always buy Indonesianproducts, purchasing Indonesian product will alwaysbe the best option, and products made in Indonesiashould be the first choice. However, they were not agreenor disagree if they wanted to stop buying importedproducts and wanted to shift to buy products made inIndonesia. This result revealed that, the nationality ofIndonesian consumers was still high. However, theywere hesitant to shift to the Indonesian productsbecause they were not convinced enough thatIndonesian products would satisfy their needs anddesires.

Under the attitude toward imported productsdimension, majority of respondents agreed that: tradeor purchase of goods from other countries should bepressed to the minimum level; prohibition to all importedproducts should be imposed on, except they were badlyneeded; they should only purchase the importedproducts that were not produced in the country; andonly the goods that were not available in our countrycan be imported. However, most respondents showstheir hesitant that they choose not to buy importedproducts that are subsidized by their government. Thisproved that, although respondents regarded themselvesas nationalist, the pragmatism still their main attitude; ifthe imported products were to made available with lowerprice, they would choose the products.

Under the third dimension of nationalism, theperceived impact of imported products to the nationaleconomy, majority of respondents agreed to all the

Table 1. Description of Respondent’s Identity n = 288 Respondents

Source: data by author

Variable Category / Groups Number of Respondents Valid

percentage

Gender Male 141 49% Female 147 51%

Cohort / age

15 to 19 years old 73 25.35% 20 to 34 years old 72 25.00% 35 to 49 years old 70 24.31%

50 years old or more 73 25.35%

Districts Jakarta North, Central, West, South, East, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok

Each 32 respondents Each 11.11%

SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 69

Page 14: Bisnis-Birokasi

statements. They admitted if imported goods will impactadversely to our economy; that government shouldprotect domestic industries by creating trade barriers andimported goods that threaten local industry should bebanned; if they should not buy imported productsbecause it was harmful for Indonesian business andemployment; and they should only accept importedgoods from countries that accepted exports fromIndonesia. Under this dimension, the nationality ofrespondents was high.

Indonesian consumers’ attitude under theworldmindedness construct is exhibited in table 3. Majorityof respondent showed their disagreement if they foundimported goods more desirable than domestically producedproducts. Even, majority of respondents disagree if qualityof life would improve when more imported goods available.However, when the third question is asked, that where agood is produced does not affect their decision to purchasethe item, most respondents agreed.

This results were consistent with previos the resultunder nationalism construct. It implied that the purchase

decision of respondents was not influenced highly bythe place of production of a product or brand. Ifproducts are available with acceptable quality andreasonable price, the products will get enoughopportunity to obtain consumer preference.

B. Consumer Perception on the Quality of ProductUnder “Made in” Label

The perceived quality of products under made in labelwas measured using questionnaire that ask respondentsto rate the quality of shoes from eight countries/regions,as shown in Table 4. In general, consumer perceivedthat the shoes with highest quality of eight countries/regions are the shoes made in Europe. Together withshoes made in USA and Japan, the quality is perceivedto be good. Then, the shoes from five other countriesare perceived to be in ‘so-so’ quality.

How about the quality of shoes under each dimensionof quality? The result are shown below (1) Productinnovation and comfort of use: European shoes wereperceived to be the highest, followed by the USA’s, and

Dimensions of Consumer Nationalism Very disagree and Disagree

Not agree nor disagree

Agree and Very agree Average Value Modus

1. Dimension 1: Attitude toward Domestic Products We should always buy Indonesian products 16.32% 30.21% 53.47% 3.52 Agree I am willing to stop buying imported products and shift to buy the

products made in Indonesia. 18.06% 37.50% 44.44% 3.33 Not agree nor disagree

Purchasing Indonesian product will always be the best option. 21.88% 33.33% 44.79% 3.33 Agree The products made in Indonesia should be the first choice. 5.56% 27.78% 66.67% 3.82 Agree 2. Dimension 2: Attitude toward Imported Products Trade or purchase of goods from other countries should be pressed

to the minimum level, except if the goods are badly needed. 10.42% 18.06% 71.53% 3.77 Agree

Prohibition to all imported products should be imposed on, except the products are badly needed. 21.88% 22.22% 55.90% 3.42 Agree

We should only purchase the imported products that we do not produce in our country. 18.75% 23.96% 57.29% 3.45 Agree

Only the goods that were not available in our country can be imported.

19.10% 14.93% 65.97% 3.58 Agree

I choose not to buy imported products that are subsidized by their government. 13.89% 44.79% 41.32% 3.33 Not agree nor disagree

3. Dimension 3: Perceived Impact Of Imported Products To The National Economy We should not buy imported products because it is harmful for

Indonesian business and employment. 25.69% 24.0% 50.35% 3.37 Agree

Imported goods will affect negatively to our economy. 25.35% 28.47% 46.18% 3.28 Agree Government should protect domestic industries by creating trade

barriers. 21.53% 29.51% 48.96% 3.30 Agree

Imported goods that threaten local industry should be banned 13.54% 23.61% 62.85% 3.66 Agree We should only accept imported goods from countries that accept

our exports. 22.22% 25.69% 52.08% 3.35 Agree

Table 2. The Consumer Nationalism Attitude

Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. N = 288

Table 3. Consumer Worldmindedness Attitude

Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. (N = 288)

Source: data by author

Source: data by author

Dimensions of Consumer Worldmindedness Very disagree and Disagree

Not agree nor disagree

Agree and Very agree

Average Value

Modus

I find imported goods more desirable than domestically produced products.

40.28% 28.47% 31.25% 2.88 Disagree

My quality of life would improve if more imported goods were available.

52.78% 27.08% 20.14% 2.58 Disagree

Where a good is produced does not affect my decision to purchase that item.

16.67% 16.32% 67.01% 3.56 Agree

70 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73

Page 15: Bisnis-Birokasi

Japan’s; while the Indonesian stood in the 4th rank; (2)product design, product prestige and workmanship:European shoes were perceived to be the highest,followed by the USA’s, and Japan’s; while the Indonesianstood in the 6th rank.

From paired t-test statistics, in general the shoes madein Indonesia was perceived significantly lower thanshoes made in Europe (t = -12.00; sig = 0.00), USA (t = -10.18; sig = 0.00), Japan (t = -7.45; sig = 0.00). Shoesmade in Indonesia was perceived not significantlydifferent in shoes from Singapore (t = -0.85; sig = 0.39)and Hongkong (t = -0.03; sig = 0.98). However, shoesmade in Indonesia were perceived better in quality thanChina’s (t = 4.77; sig = 0.00) and Malaysia’s (t = -5.61; sig= 0.00).

Furthermore, the competitiveness of shoes made inIndonesia in each dimension of quality was as follow (1)In product innovation dimension, product designdimension and workmanship dimension, shoes made inEurope, USA and Japan was perceived significantlyhigher than Indonesian. The shoes from Indonesia wasperceived insignificantly different with Singapore’s andHongkong’s. However, Indonesian shoes was perceivedsignificantly higher than Chinese and Malaysian. (2)Shoes made in Europe, USA and Japan was perceived assignificantly higher in product prestige than Indonesianwas. Shoes made in Indonesia was perceived in the sameprestige level with Hongkong’s. However, Indonesianshoes was perceived significantly higher than Chineseand Malaysian. (3) Finally, in comfort to use dimension,shoes made in Europe, USA, and Japan was perceivedhigher than Indonesia’s. Indonesian shoes product wasperceived insignificantly different from Hongkong’s.While, Indonesian made shoes was perceived assignificantly better than Singaporean, Chinese, andMalaysian.

The finding of this study then confirmed the similarstudy in Malaysia (Mohamad et al, 2000). Products made

in more developed countries (USA, Europe, and Japan)were perceived higher in quality than the less developedcountries’. The result was also consistent with theprevious research (Tan and Farley, 1987; Hulland,Todino, and Lecraw, 1996).

What interesting is that there was tendency thatIndonesian consumers perceived Indonesian products’quality as higher than several neighboring countries’product, which was the developing countries. The sameresult shown in Mohamad et al. study (2000) inMalaysia, than Malaysian consumer tend to see theproduct of Malaysia higher than the other South EastAsian countries’ products. Both of the study supportthe result of Kaynak and Cavusgil’s research (1983) thatthere is a tendency that consumers may be more positivein evaluating the products from their own country.

More interestingly, Indonesian consumers putMalaysian products as the lowest. Some incidents withthis neighboring country, (Rasa Sayange Song, Batik,Indonesian workers, etc) might hurt Indonesian feelingsand then provoke Indonesian consumers’ nationality.

C. Brand Origin: Consumer Perception on the Qualityof Product Under National Brand

How is Indonesian consumers’ perception on thequality of products under national brands and foreignbrands? Table 5 shows the result under brand originconstruct; that is the perception on the quality of shoesunder Indonesian brands compared with othercountries’ brands. In general, consumer perceived theshoes brands’ quality from Europe, USA and Japan wasthe high. While, shoes under the brands from 5 othercountries rated middle in quality. Brand origin’sperceived quality under each dimension were as follows(1) for product innovation, product prestige, andworkmanship, the brands from Europe were perceivedto be the highest, followed by the USA, and Japan;while Indonesian stood in the sixth rank; (2) for product

Table 4. The Consumer Perception on Quality of Shoes Made in Indonesia Compared with Shoes Made in Seven Other Countries

Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable.Numbers in parenthesis were the value of significance’s 2 tailed test with df = 287; N = 288.Source: data by author

Rank Country/Region

Product Innovation Product Design Product Prestige Workmanship Comfort to use Quality Average

Mean

t-test value and

signifi-cance

Mean

t-test value and

signifi-cance

Mean

t-test value and signifi-cance

Mean t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-cance

Mean

t-test value and

signifi- cance

-9.23 -9.41 -13.01 -10.68 -7.75 -12.00 (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

2 USA 3.88 -7.24 3.92 -7.60 4.0 -11.44 3.99 -9.82 3.98 -7.10 3.95 -10.18 (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

3 Japan 3.72 -5.66 3.7 -5.65 3.7 -8.30 3.68 -6.17 3.73 -3.97 3.71 -7.45 (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

4 Singapore. 3.4 -0.24 3.43 -0.63 3.39 -3.29 3.41 -1.00 3.44 1.56 3.41 -0.85 (0.81) (0.70) (0.00) (0.32) (0.12) (0.39)

5 Hongkong 3.32 1.03 3.42 -0.38 3.31 -1.81 3.39 -0.64 3.42 2.03 3.37 -0.03 (0.30) (0.53) (0.07) (0.52) (0.04) (0.98)

6 Indonesia 3.38 - 3.4 - 3.21 - 3.34 - 3 .52 - 3.37 -

7 China 3.11 4.88

3.23 3.28

3.09 2.51

3.2 2.89

3.27 4.85

3.18 4.77

(0.00) (0.00) (0.01) (0.00) (0.00) (0.00)

8 Malaysia 3.08 5.18

3.14 4.59

3.06 4.59

3.14 3.79

3.15 6.82

3.11 5.61

(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 71

1 Europe 3.99 3.97 4.09 4.02 4.0 4.01

Page 16: Bisnis-Birokasi

design, USA’s brands were perceived to be the highest,followed by the European brands, and Japan’s; whileIndonesian stood in the sixth rank; (3) for comfort touse, brands from Europe were perceived to be thehighest, followed by the USA, and Japan; whileIndonesian stood in the fourth rank.

From paired t-test statistics, in general the Indonesiashoes’ brands was perceived significantly lower thanshoes made in Europe (t = -14.25; sig = 0.00), USA (t = -12.59; sig = 0.00), Japan (t = -9.77; sig = 0.00) andSingapore (t = -2.99; sig = 0.00). Indonesian brands wereperceived not significantly different from the brands fromHongkong (t = -1.47; sig = 0.00). However, shoes madein Indonesia were perceived better in quality than China’s(t = 3.08; sig = 0.00) and Malaysia’s (t = -4.33; sig = 0.00).

Furthermore, the position of competitiveness ofIndonesian brands in each dimension of quality was asfollows (1) in product innovation, the brands of shoesfrom Europe, USA, Japan, and Singapore was perceivedsignificantly higher than Indonesian. The brands fromIndonesia was perceived insignificantly different withthe Hongkong’s. However, Indonesian brands wasperceived significantly higher than Chinese andMalaysian (2) in product design and workmanship,shoes with brands from Europe, USA, and Japan wasperceived significantly higher than Indonesian. Thebrands from Indonesia was perceived insignificantlydifferent with Singapore’s and Hongkong’s. However,Indonesian brands was perceived significantly higherthan Chinese and Malaysian (3) shoes with brands fromEurope, USA, Japan, Singapore, and Hongkong wasperceived as significantly higher in product prestige thanthe Indonesian. However, Indonesian brands wasperceived significantly higher than Chinese andMalaysian (4) finally, in comfort to use, brands fromEurope, USA, and Japan was perceived higher thanIndonesian. Indonesian brands was perceivedinsignificantly different from Singaporean andHongkong. While, Indonesian brands was perceived as

significantly better than Chinese and Malaysian.Comparing the result of quality perception of shoes

made in Indonesia and shoes that was marketed underIndonesian brands, there were some interestingphenomena. In the dimension of product innovation,Indonesian brands were perceived lower in positioncompared to when they were marketed using the ‘madein Indonesia’ label, but marketed using the moredeveloped countries’ brands. In other dimensions,consistently Indonesian brands obtained lower ratingthan when they were using the ‘made in Indonesia’ labelbut also were marketed under the more developedcountries’ brands. From this phenomena, we can seethat Indonesian consumer had not yet had enough trustto domestic brands that they can maintain good qualityof their products. This was an important note fordomestic business to strive for trust from Indonesianconsumers.

CONCLUSION

In this globalized world, tighter competition could bethe nightmare for the companies who do not wellprepared. Some experts have shown their worries thatthe Indonesia people was just be the market in the moreintegrated ASEAN economy.

From consumer nationalism perspective, theIndonesian consumer showed that their nationalisticattitude was still high. They still showed positive attitudeto domestic products, compared to imported products.Generally, they perceived that imported products mightharm the national economy.

However, pragmatism were shown by the majority ofconsumer. If imported products were cheaper, theytended to choose them. Moreover, they showed hesitantto stop buying imported goods and to shift toIndonesian products. This prove that Indonesianconsumers were not ready to change if there was nochange in Indonesian products those were perceived

Table 5. The Consumer Perception on the Quality of Shoes with Indonesian Brands Compared with Shoes with the Brands from Other Countries

Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable.Numbers in parenthesis were the value of significance’s 2 tailed test with df = 287; while number of samples were 288.Source: data by author

Rank Country/ Region

Product Innovation Product Design Product Prestige Workmanship Comfort to use Quality Average

Mean t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-

cance Mean

t-test value and signifi-

cance

1 Europe 4.04 -11.32

4.04 -9.23

4.15 -15.61

4.15 -12.35

4.06 -8.60

4.09 -14.25

(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

2 USA 3.99 -9.95

4.08 -11.10

4.04 -5.86

4.05 -10.33

4.03 -7.98

4.04 -12.59

(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

3 Japan 3.76 -7.23

3.76 -6.72

3.72 -10.16

3.83 -8.53

3.80 -5.44

3.77 -9.77

(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

4 Singapore. 3.43 -2.37

3.43 -1.13

3.47 -5.86

3.44 -1.08

3.46 0.18

3.45 -2.99

(0.02) (0.26) (0.00) (0.28) (0.86) (0.00)

5 Hongkong 3.37 -0.93

3.40 -0.38

3.34 -3.89

3.39 -1.26

3.44 0.69

3.39 -1.47

(0.35) (0.70) (0.00) (0.21) (0.49) (0.14)

6 Indonesia 3.31 - 3.38 - 3.11 - 3.31 - 3.47 - 3.32 -

7 China 3.15 2.87

3.25 2.49

3.03 1.72

3.09 4.16

3.20 0.88

3.14 3.08

(0.00) (0.01) (0.09) (0.00) (0.38) (0.00)

8 Malaysia 3.08 4.09

3.08 3.04

3.04 1.46

3.18 2.43

3.22 0.80

3.12 4.33

(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

72 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73

Page 17: Bisnis-Birokasi

as lower in quality or more expensive than some importedproducts.

The study also found that Indonesian consumerswere heavily influenced by the country of origin of aproduct. In this case, the products made in or marketedunder brands from more developed countries wereperceived better than the products made in or marketedunder the brands from developing countries.

The study also proved that there was a tendency thatIndonesian consumers were more positive in evaluatingthe products made in and marketed under Indonesianbrands, comparing to other developing countriesproducts.

Furthermore, the study showed that Indonesianconsumers give higher rating to the products with foreignbrands although their products were made in Indonesia.Their ratings were higher than the products withIndonesian brands, although both the products weremade in Indonesia.

The study implies that country of origin can be apowerful tool that can be used in position the product.From the result of study, it is apparent that Indonesianconsumers prefer foreign brand-names than domesticbrand-names. One of brand-naming strategy was givinga foreign-image name to domestic made products. Forexamples, the Eagle and Spotec brands in shoesproducts; Lea jeans, Henry Adams, and The Executivefor apparel products; Polytron, Digitec, B/Y/O/N, A-Noteand Zyrex for electronic, etc. As the result, the productsmarketed under those brand names were impressed ashigh in quality, although the brands are originallydomestic.

Finally, for the government as regulator, it isrecommended that they should be aware to thecompetitiveness of Indonesian products and brands inthe global competition. While the time limits of ASEANCommunity is approaching, government should prepareIndonesian business and consumers. Campaign forloving Indonesian products and brands can be promotedto increase the nationalism attitude of Indonesianconsumers.

ACKNOWLEDGEMENT

This paper have been presented and reviewed bycolleagues in the 14th Euro-Asia Conference/the 3rd

International Conference on Business and Management

SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 73

struct?. Journal of Marketing Research, Vol.26 (May).____. 1988. The Effects of Cue Familiarity on Cue Utilization:

The Case of Country of Origin . Paper presented to theConference of the Academy of International Business, SanDiego, CA.

Kotler, Philip, and Kevin Lane Keller. 2006. MarketingManagement¸12th Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Mohamad, Osman, et al. 2000. Does ‘Made In…’ Matter toConsumers? A Malaysian Study of Country of Origin Effect.Multinational Business Review, Vol. 8, No.2 (Fall); ABI/IN-FORM Global.

Netemeyer, R.G., Durvasula, S. and Lichtenstein, D.R.. 1991. ACross-National Assessment of the Reliability and Validity ofthe CETSCALE. Journal of Marketing Research, Vol. 28(August).

Papadopoulos, N., and Heslop, L.A. 1990. A Comparative Im-age Analysis of Domestic versus Imported Products. Inter-national Journal of Research in Marketing, Vol. 7 (Decem-ber).

Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Jakarta: Bina RupaAksara,.

Rawwas, M..Y.A., K.N. Rajendran, and G.A. Wuehrer. 1996.The Influence of Worldmindedness and Nationalism on Con-sumer Evaluation of Domestic and Foreign Products. Inter-national Marketing Review, Vol.13 No.2.

Ries, Al and Laura Ries. 22 Immutable Law of Branding. 2000.Rosinta, Febrina. 2007. Pengaruh Citra Merk terhadap Loyalitas

Pelanggan Museum Nasional. Jurnal Ilmu Administrasi danOrganisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari).

Samiee, S. 1994. Customer Evaluation of Products in a GlobalMarket. Journal of International Business Studies, ThirdQuarter.

Sampson, D.L., and H.P. Smith. 1957. A Scale to MeasureWorldminded Attitudes. The Journal of Social Psychology,Vol.45.

Sangkala. 2005. Intellectual Capital Management Pattern in theAdvertisement Companies in Jakarta. Jurnal IlmuAdministrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13,No.3 (September).

Shimp, T.A. and S. Sharma. 1987. Consumer Ethnocentrism:Construction and Validation of the CETSCALE. Journal ofMarketing Research, Vol.24, (August).

Weiner, E. 1994. The Last Approaching Future. Arthur Andersen,Retailing Issues Letter, Vol.6.

Research (ICBMR), Bali-Indonesia, 27 – 29th August 2008.The author expressed his gratitude to the Committee

of A3 Program of the Department of AdministrativeSciences FISIP UI, the Center of Research andDevelopment on Domestic Trade – The Ministry ofTrade; and all the research assistants who made thisresearch possible.

REFERENCES

Han, C.M. 1989. Country Image: Halo or Summary Con-

Page 18: Bisnis-Birokasi

Scenario Indonesia Tahun 2025dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik

Abstract. The research aimed to construct the scenario of sub-national government administration in Indonesia and itsavailable alternatives. The approach used was qualitative approach with the method of focus group discussion (FGD)and in-depth interview with economic and social politicians and bureaucrats. In addition secondary data were used tosupport the result. Two scenarios of the environment of Indonesian sub-national administration for 2025 are gainedfrom two FGDs: the Utopian Scenario and Tumble into the Gutter Scenario. According to the first FGD, the utopianscenario is less likely to happen within the next 20 years, while the tumble-into-the-gutter scenario is considered morelikely, especially if the recent condition is long-drawn-out, the homework is never done, and there is lack of awarenessfrom national and local political elites on the recent crisis.

Keywords: scenario planning, public policy, public administration, governance, civil society

PENDAHULUAN

Lahirnya sejumlah undang-undang yang mengaturtentang Pemerintahan Daerah seperti UU Nomor 22Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusatdan Daerah seperti UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UUNomor 33 Tahun 2004 telah membawa banyak perubahandalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, danharapan dari banyak warga masyarakat akan adanyaperubahan nasib mereka. Perubahan sistempenyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut antaralain dapat dilihat dari semakin besarnya kewenanganyang ada pada pemerintah daerah, kabupaten dan kota,membesarnya peran DPRD dalam pengawasan (Maksum,2006), pembuatan anggaran daerah dan pembuatanperaturan daerah. Harapan akan adanya perubahan nasibmasyarakat daerah sangat berkaitan dengan usaha-usahauntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat denganlebih cepat dan lebih baik melalui pelayanan publik danakses terhadap pelayanan publik.

Proses desentralisasi yang drastis, yang muncul daridan bersama-sama proses reformasi politik telahmenuntut banyak hal. Salah satu yang dituntut olehmasyarakat dalam proses perubahan ini adalahakuntabilitas dan transparansi serta partisipasimasyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan(Abidin, 2004; Gardono, 2001). Tuntutan di atasmerupakan gejala yang memperlihatkan bahwaperubahan yang sedang terjadi bukanlah sekedarperubahan struktur, atau cara ataupun gaya dalammenjalankan pemerintahan lokal. Namun lebih dari itu,terjadi perubahan model atau pola, perubahan kerangka

berpikir yang dipacu oleh perubahan nilai-nilai tentangtata cara penyelenggaraan pemerintahan. Gejala ini dapatdikategorikan sebagai perubahan paradigma atau yangoleh Khum disebut sebagai model for thinking (Clarkedan Stewart Clegg, 1998).

Selain adanya tuntutan yang datang dari masyarakat,tidak dapat disangkal pula banyak harapan diletakkanpada reformasi sistem pemerintahan daerah yang sedangterjadi. Masyarakat (di daerah) berharap pelayananpublik akan menjadi baik dalam arti kuantitas dan kualitas,termasuk akses kepadanya (PSKK UGM, 2001). Besarpula harapan agar KKN dapat diberantas, setidak-tidaknya dikurangi. Berbagai harapan di atas sangatwajar mengingat desentralisasi dimengerti dandipercayai sebagai cara untuk mencapai berbagaiharapan di atas (Rondinelli dkk., 1983).

Nyatanya setelah kurang lebih satu dasawarsareformasi pemerintahan daerah (macro administrativereform) dijalankan, selain muncul banyak perubahanyang bersifat positif, banyak pula terjadi perubahan yangbersifat negatif yang sangat mengecewakan rakyat.Pelayanan publik tidak menjadi lebih baik (Suwandi, dkk.,2004), partisipasi tidak banyak berubah, bahkan KKNsemakin merajalela di daerah. Kemiskinan,pengangguran, busung lapar, dan banyak masalah sosiallain semakin parah keadaannya.

Sejumlah literatur dan penelitian memperlihatkanterjadinya kegagalan dalam melakukan reformasipemerintahan daerah, terutama yang berkaitan dengansubstansi desentralisasi. Breton mengemukakansejumlah literatur yang secara eksplisit ataupun implisitmemperlihatkan bahwa kompetisi antar daerah berakibatterjadinya inefisiensi, yang berarti tidak terjadi maxi-mum social welfare. Daerah meningkatkan biayainformasi, biaya partisipasi politik, biaya kordinasi, di-minishing supply cost, dan dynamic instability (Breton,

Roy V. Salomo1*

1Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

*Korespondensi: +6221 7884 9078; [email protected]

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 74-81 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 19: Bisnis-Birokasi

2002). Jenie dkk. mendapatkan bahwa desentralisasibukan merupakan hal yang baik dan juga bukan hal yangburuk bagi efisiensi, keadilan, dan stabilitas ekonomi.Pengaruh desentralisasi tergantung pada desainkelembagaan yang spesifik (Litvack, 1998). SementaraTanzi berpendapat bahwa desentralisasi meningkatkankorupsi, menimbulkan konflik dalam koordinasi kebijakanekonomi makro, kesulitan dalam transparansi fiskal sertameningkatkan kesenjangan antar wilayah (Tanzi, 2001).Azfar dkk. (2001) juga mengatakan bahwa desentralisasitidak selalu mendorong allocative efficiency, mengurangikorupsi, dan memfasilitasi cost recovery. Tambahan puladikatakan bahwa hanya bentuk tertentu daridesentralisasi atau hanya dengan kelembaggaan tertentuyang membawa desentralisasi berhasil.

Bagi Indonesia, berbagai pendapat di atas sangatrelevan. Ini berarti bahwa desentralisasi dan otonomidaerah merupakan hal yang penting namun tidak cukupuntuk melakukan perubahan kemakmuran dankesejahteraan masyarakat daerah. Terdapat banyak halyang harus dibenahi pada birokrasi pemerintah daerah.Oleh karena itu, mau tidak mau reformasi administrasiharus dilakukan untuk menjawab berbagai tantanganyang dihadapi birokrasi daerah. Untuk itulah perlu dibuatgrand strategy reformasi administrasi pemerintah lokal.

Upaya membangun grand strategy reformasiadministrasi pemerintah lokal dihadapkan pada kondisiketidakpastian lingkungan yang tinggi dan berkaitandengan sejumlah strategyc issue, maka perlu dilakukanupaya memetakan beberapa kemungkinan masa depan,yang dikenal dengan skenario, yang terkait denganperkembangan administrasi pemerintah lokal. Kerangkaanalisis yang dianggap paling relevan untuk menghadapikeadaan di atas adalah scenario planning (Schoemaker,1991; Maami dan Cavana, 2000).

Scenario planning merupakan suatu kerangka analisisyang dipakai untuk membangun strategi organisasidengan menggali berbagai kemungkinan kondisi yangdapat terjadi di masa yang akan datang dengan rentangwaktu dua puluh tahun. Scenario planning bukanlahusaha memproyeksikan masa kini ke masa depan melaluiekstrapolasi. Maani dan Cavana (2008) mengatakan “ascenario is not a forcast or an intention to describe acertain future state, but it is intended to provide a pos-sible set of future conditions”.

Porter dalam bukunya Competitive Advantagemendefinisikan skenario sebagai ‘an internally con-sistent view of what the future might turn out to be-not a forecast, but one possible future outcome’.2

Ringland sendiri mendefinisikan scenario planningsebagai ‘that part of strategic planning which relatesto the tools and technologies for managing the uncer-tainties of the future’. Mengacu pada sejumlahpengertian tentang scenario planning di atas, dapatdisimpulkan bahwa scenario planning merupakan usahauntuk menggambarkan kemungkinan yang dapat terjadipada masa depan tanpa melakukan ekstrapolasi keadaanmasa kini ke depan. Scenario planning juga dikaitkan

dengan ketidakpastian masa depan. Oleh karena itu,dalam membangun scenario seringkali terdapat scenarioalternatif.

Selanjutnya Becker mengatakan “preparing scenariosas a future history requires that a possible evolution ofevents and trends be described as an integral part ofthe scenario.” Hasil penelitian berisi evolusi berbagaikejadian dengan memasukkan sejumlah kecenderungandan disajikan sebagai sebuah cerita “sejarah masadepan” dan merupakan bagian integral dari scenarioplanning itu sendiri.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas makayang menjadi tujuan penelitian ini adalah untukmendeskripsikan scenario (optimis, status quo, danpesimis) lingkungan administrasi pemerintah lokalsampai dengan tahun 2025dan tantangannya bagiadministrasi lokal.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam rangka membangunskenario terhadap ketiga change drivers, yaitu aspeksosial, politik, dan ekonomi. Penelitian dilakukan melaluiteknik focused group discussion (FGD) sebanyak duakali, dengan pakar ilmu sosial (sosiolog), pakar ilmupolitik, dan pakar ilmu ekonomi dari Universitas Indone-sia. FGD pakar merupakan metode yang banyak dipakaidalam membangun experts’ scenarios (Ringland, 1998),atau experts panels (Lindgren dan Bandhold). Selain itudilakukan pula sejumlah wawancara mendalam dengansejumlah pakar politik, sosiolog dan ekonom dari Uni-versitas Hassanudin yang dianggap mewakili centre ofexcellence di kawasan timur Indonesia. Teknik lain yangjuga digunakan adalah penelitian dengan menelusuri dataskunder berdasarkan hasil dari pihak lain, seperti HDI,indeks korupsi, data demografi, data kecenderunganpengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah datalainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Daya Dorong Perubahan (DrivingForces)

Skenario lingkungan administrasi pemerintah lokalpada awalnya dibahas dalam tiga faktor daya dorongperubahan (driving forces), yaitu faktor sosial, faktorpolitik, dan faktor ekonomi. Faktor sosial politik mencakupsejumlah keadaan yaitu keadaan kohesi sosial,keberadaan civil society, dan kondisi demokrasi. Dalamfaktor ekonomi keadaan yang dievaluasi adalah keadaandemografi, angkatan kerja dan pengangguran,kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan peran ’pasar’pada tingkat lokal. Berikut ini adalah gambaran kondisisosial politik dan trennya.

Gambaran kondisi sosial politik dan tren yang pertamaadalah kohesi sosial. Focused group discussion (FGD)menyimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya telahkehilangan kesabaran terhadap masa transisi atau

SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 75

Page 20: Bisnis-Birokasi

perubahan yang tidak kunjung membawa hasil yangdiharapkan. Rasa frustasi yang mendalam muncul karenadi satu sisi Indonesia berada dalam keadaan yangdianggap lebih demokrasi. Namun di sisi lain, kehidupanmasyarakat semakin sulit.

Masa transisi telah membawa masyarakat Indonesiaberubah menjadi masyarakat yang tidak peduli akankepentingan orang lain atau pihak lain asalkan tujuantercapainya. Ketidakpedulian antara lain berkaitandengan pengguna lalu lintas; pedagang yang memakaiformalin dan pewarna untuk mengawetkan danmeningkatkan daya tarik makanan; pedagang kaki limayang memacetkan jalan; anak sekolah atau bahkanmahasiswa yang tawuran di tempat umum danmembahayakan bagi orang lain; kelompok yang sedangpro ataupun kontra terhadap suatu rancangan kebijakanatau kebijakan tertentu yang ada; birokrat dan etikakerjanya; wakil rakyat di DPR/DPRD yang lebihmementingkan partainya dan dirinya; pemilihan umumpusat maupun daerah yang masih penuh kecurangan;pilkada yang diwarnai dengan money politics,kemarahan dan pembakaran; penegakan hukum yangselalu melibatkan suap dalam prosesnya, dan seterusnya.Masing-masing bertindak untuk kepentingan dirinya,kelompoknya tanpa menaruh perhatian akan akibatnyabagi kepentingan orang lain atau pihak lain, bahkan bagikepentingan sistem secara menyeluruh, sertakepentingan bangsa dan negara.

Kondisi seperti ini, antara lain, dapat dikatakansebagai salah satu gejala social disobedience dan masihterus menjadi kecenderungan yang kuat dan belum adausaha signifikan pada tingkat kebijakan untukmengatasinya. Para pakar mengatakan kondisi sepertiini dikarenakan kohesi sosial berada pada derajat yangsangat rendah. Suatu keadaan yang sangat jauh danbertentangan dalam konteks proses terbentuknya civilsociety di Indonesia, yaitu masyarakat yang kritis danrasional dalam public discourse. Public discourse yangberlaku bagi wacana (ucapan) maupun tindakan atauperbuatan (Chandoke; Nordholt, 2003).

Dalam menggambarkan keadaan di atas, Pilliang (2006)mengatakan, “Ruang kehidupan bangsa kini dibangunoleh ruang, kotak, dan pagar-pagar ‘ekslusivisme’, yangdi dalamnya setiap kelompok (sosial, politik, ekonomi,cultural, dan keagamaan) merayakan ruang-ruangeksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa amandan nyaman secara ekstensial, namun dengan caramenutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain.Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruangkehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangunoleh prinsip ‘fundamentalisme’-the politics of fundamen-talism.”. Pilliang berpendapat bahwa munculnya prinsipfundamentalisme di atas dikarenakan negara telah gagalmenciptakan ruang dialog di atas bangsa ini sehinggapintu komunikasi antar kelompok tertutup rapat.Akibatnya adalah amarah menjadi model psikologisdalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasanmenjadi strategi politik dalam mencapai tujuan (Piliang,

2006).Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang

kedua adalah keberadaan civil society. Sejak prosesreformasi politik bergulir, Indonesia memasuki babakbaru. Babak baru tersebut antara lain ditandai olehproses demokratisasi yang sangat signifikan jikadibandingkan kondisi sebelumnya. Pemilu tahun 1999yang berlangsung umum bebas dan rahasia disebut-sebut sebagai salah satu indikator kuat prosesdemokratisasi yang berhasil di Indonesia. Pers bebasjuga menjadi indikator kuat lainnya yang juga dapatdiberi acungan jempol. Indikator lainnya yang jugadisebut-sebut sebagai salah satu indikator prosesdemokratisasi adalah meningkatnya jumlah lembagaswadaya masyarakat (LSM) atau dikenal pula dengannon-governmental organization (NGO).

Dari ketiga indikator di atas, indikator ketiga adalahindikator yang masih diragukan reliabilitasnya. Jikadilihat dari jumlah LSM yang secara resmi telah terdaftar,sebagai LSM nasional maupun LSM lokal, dapat dilihatjumlah kenaikan yang sangat signifikan. Namun, jikadilihat dari kemurnian pendiriannya maka jumlah yangbanyak tersebut patut di waspadai atau dicurigai.Menayan2 mengatakan dari seluruh LSM yang ada diIndonesia sekarang mungkin kurang dari separuh yangmurni berdiri sebagai LSM untuk memperjuangkankepentingan publik dan sisanya kontraktor pencari kerja.

Kondisi LSM di Indonesia memang masihmemprihatinkan, salah satu contoh buruk adalah kasusyang terjadi di Sulawesi Selatan. Di daerah ini LSM-LSM di Makasar, bahkan di Sulawesi Selatan sempatberembuk untuk mengganti nama panggilan menjadiORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Alasanpenggantian dari LSM ke ORNOP adalah karenamasyarakat Sulawesi Selatan tidak percaya lagi denganLSM yang ada disana. hal ini disebabkan LSM diSulawesi Selatan mempunyai reputasi atau citra yangsangat buruk3. Menurut Dwi lebih lanjut, Kredit UsahaTani (KUT) di Sulawesi Selatan yang disalurkan kepadamasyarakat paling banyak diselewengkan oleh LSM. Halsenada juga diutarakan oleh Haris yang mengatakan diSulawesi Selatan LSM adalah singkatan dari Lao SalaManeng (semuanya dibawa pergi dan tidak ada yangberes/salah semua).4 Singkatan di atas dibuat sebagaisuatu sinisme terhadap LSM. Dalam kenyataan tentuada LSM yang baik dan ada LSM yang dapat dilihatdengan pesimisme.5

Pernyataan di atas sangat mungkin terjadi dalamkeadaan demokrasi Indonesia belum terwujud dantingkat pengguran sangat tinggi (kurang lebih 30% dariangkatan kerja). Pernyataan di atas juga sekaligus ingin

2 Hasil wawancara dengan Rio Menayang, Direktur IPKOS3 Hasil wawancara dengan Dr. Dwia Aries Tina P., MA, Pemerhati LSMdi Sulawesi Selatan. Yang bersangkutan juga merupakan dosen FISIP-UNHAS, pada tanggal Kamis 8 Desember 2005.4 Hasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamatmayarakat dari FISIP-UNHAS

76 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

Page 21: Bisnis-Birokasi

mengatakan bahwa jumlah LSM, nasional maupun lokal,tidak dapat dijadikan patokan atau indikator tingkatkemajuan atau peran civil society. FGD juga sepakatbahwa pada saat ini di Indonesia belum terbentuk civilsociety. Kondisi Indonesia masih jauh dari keberadaandan peran civil society, baik di tingkat nasional maupunlokal.

Nordholt mengutip pernyataan Romo Mangunwijayayang berpendapat bahwa tahun 2045 sebagai patokanwaktu (Nordholt, 2003). Pendapat para pakar dalam FGD-pun sepakat bahwa pembentukan civil society di Indo-nesia akan memakan waktu yang sangat lama, palingtidak lebih dari dua puluh tahun.

Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yangketiga adalah demokrasi dan partai politik (lokal). Euforiademokrasi yang muncul dari reformasi politik pada tahun1998 antara lain telah memunculkan sistem multi partaidi Indonesia. Litbang Kompas mengidentifikasibertambahnya jumlah partai politik dari 3 partai sebelumreformasi menjadi 181 partai hanya dalam kurun waktukurang dari setahun. Namun, hanya 48 partai politikyang lolos seleksi dan ikut dalam pemilu 1999.

Pada kenyataan kondisi demokrasi di Indonesia padasaat ini belum masuk pada demokrasi substansial, masihpada indikator formal seperti perkembangan jumlahpartai politik dan pelaksanaan pemilu. Wakil-wakil rakyatyang terpilih dalam pemilu pada kenyataanya lebihmemperjuangkan kepentingan dirinya sendiri, partainya,atau kelompoknya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat didaerah belum mengarah pada kepentingan publik danmeningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagimasyarakat banyak.

Indikator demokrasi yang telah mendapat pujianhanya pelaksanaan pemilu secara nasional dankebebasan pers. Pemilu nasional yang banyak dipuji-puji adalah pemilu 1999 dan 2004. Namun, kebebasanpers pada saat ini ada kecenderungan akan diperlakukankembali seperti masa pemerintahan Orde Baru, pers dibawah kontrol Pemerintah (Departemen Penerangan).

Pada saat ini apa yang terjadi Indonesia padademokrasi di Indonesia adalah demokrasi oligarki.Konfigurasi politik Indonesia sekarang ini adalahkonfigurasi politik oligarkis, yakni suatu konfigurasipolitik yang didominasi kelompok elit yang mengerjakanpolitik melalui transaksi-transaksi yang salingmemberikan keuntungan di antara para elit sendiri(Mahfud MD, 2006). Hal ini terjadi pula pada demokrasidi tingkat lokal. Dimana elit lokallah (terutama anggotaDPRD dan Kepala Daerah) yang paling banyakmelakukan korupsi di daerah.

Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yangkeempat adalah kondisi ekonomi. Indonesia merupakannegara di Asia yang pada saat dilanda krisis ekonomipada tahun 1997 mengalami pukulan paling parah. Hal

ini antara lain dapat dilihat dari nilai tukar rupiah terhadapdolar Amerika yang pada mulanya berada pada kisarandua ribuan rupiah per dolar Amerika terdepresiasi sampainilai kurang lebih lima belas ribuan per dolar Amerika.Pada tahun-tahun pertama terjadinya krisis, pertumbuhanekonomi bahkan mengalami nilai negatif. Dunia perbankanhancur dan harus diselamatkan dengan mengucurkandana ratusan triliun untuk menyelematkannya. Berbagaiperusahaan di berbagai bidang, terutama bidang properticollapse.

Yang menarik adalah ternyata pertumbuhan ekonomiIndonesia belum dapat membantu mengurangi tingkatpengangguran di Indonesia. Situasi seperti inidiperkirakan karena pertumbuhan yang terjadimerupakan hasil dari berkembangnya sektor keuangan,bukan sektor riil yang selama ini justru merupakan sektoryang menampung tenaga kerja paling banyak. Tingkatkemiskinan yang masih tinggi pada tahun 2006 di Indo-nesia juga merupakan fenomena yang memperburukkondisi ekonomi Indonesia.

Selain masalah sumber daya alam dari minyak, sumberdaya hutan yang selama ini menjadi tumpuan penghasildevisa juga semakin mengkhawatirkan. Jika tidak adaperubahan terhadap kebijakan penebangan hutan, makaIndonesia akan kehilangan 15 juta sampai 32,5 juta hektarhutan lagi pada tahun 2020.6 Bukan hanya sekedar kayutimber yang semakin sulit, tetapi kehilangan hutansebesar itu akan membawa bencana mata pencaharianbagi banyak orang yang selama ini hidupnya sangattergantung dari hasil hutan. Tambahan pula masalahlingkungan hidup menjadi semakin serius.

Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yangkelima adalah demografi Indonesia tahun 2000 dan 2025.Focus Group Discussion (FGD) pertama ‘dipicu’ dengandata tentang demografi Indonesia tahun 2000 dan tahun2025 yang bersumber pada US Census Bureau. Datademografi tersebut disajikan pada gambar 1 untuk tahun2000 dan gambar 2 untuk tahun 2025.

Yang menjadi perhatian anggota FGD adalahkelompok penduduk dari usia 0–24 tahun pada gambar1. Kelompok usia ini pada tahun 2000 adalah merekayang sedang mengalami proses pertumbuhan fisik danotak dilihat dari aspek kesehatan dan pertumbuhanpengetahuan dan keterampilan dilihat dari aspekpendidikan. Kelompok yang sangat membutuhkanpelayanan kesehatan adalah usia pada kelompok 0–19tahun, yaitu mereka yang sedang membutuhkanperkembangan fisik yang baik. Kelompok ini merupakanjumlah terbanyak. Kelompok yang sangat membutuhkanpendidikan pada tahun 2000 adalah mereka yang berusia5 sampai 24 tahun.

Penduduk pada kelompok usia 0–24 tahun mendapatperhatian khusus karena mereka pada tahun 2025

5

6 Merupakan analisis skenario Indonesia tahun 2025 yang dibuat oleh

SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 77

mayarakat dari FISIP-UNHAS World Resources InstituteHasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamat Charles Victor Barber dengan judul The Case Study of Indonesia, dari

Page 22: Bisnis-Birokasi

merupakan angkatan kerja produktif di Indonesia. Merekapada saat itu berusia 25–49 tahun (lihat gambar 2) danmereka merupakan kelompok dengan jumlah yang cukupbanyak. Dengan nilai HDI kesehatan dan pendidikanyang relatif rendah, diperkirakan mereka adalah angkatankerja yang tidak potensial. Penyebabnya kelompok inimerupakan generasi yang tumbuh dengan gizi dan tingkatkesehatan yang buruk serta dididik dalam sistempendidikan yang sekarang merupakan salah satu yangterburuk di ASEAN. Diperkirakan kelompok ini akanmenjadi angkatan kerja yang tidak mampu bersaingdengan tenaga kerja lainnya di kawasan ASEAN. Padahalpada tahun 2025 diperkirakan intensitas globalisasi sudahsemakin tinggi dan batas-batas di antara negara-negaraASEAN semakin terbuka. Pada saat itu diperkirakantenaga kerja Indonesia akan menjadi pekerja menengahke bawah, sedangkan pekerja menengah ke atas (tingkatmanajer) akan diisi oleh tenaga kerja negara-negaratetangga. Pada saat yang sama daya saing Indonesia dikawasan Asia–Pasifik juga akan rendah. Kondisi sepertiini akan membuat bangsa Indonesia menjadi sangat

frustasi dan mempunyai potensi konflik yang tinggi.Masih dalam konteks kelompok usia, pada tahun 2025,

Indonesia akan menghadapi masalah baru yang belumpernah ada sebelumnya. Masalah tersebut adalahmembesarnya jumlah penduduk usia tua yaitu kelompokusia 65 tahun ke atas. Kelompok usia ini diperkirakansudah tidak produktif lagi dan lonjakan jumlahnya cukupbesar. Pada saat itu berbagai kebijakan bagi warga negarasenior sudah merupakan kebijakan yang perlu mendapatperhatian khusus terutama dalam konteks pelayanan.Hal ini berarti akan terjadi fiscal preasure bagipemerintah subnasional untuk mengurus kelompoklansia ini.

Kesimpulan yang dibuat pada FGD pertama adalahbahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menghadapipotensi konflik yang cukup serius. Potensi konfliktersebut dikarenakan di sa tu pihak banyakkecenderungan yang mengarah ke pesimisme. Di pihaklain, ada banyak ketidakpastian yang dihadapi dalamperkembangan masa transisi reformasi sosial politik danekonomi.

Gambar 1. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2000Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000

Gambar 2. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2025Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000

78 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

Page 23: Bisnis-Birokasi

Kesimpulan kedua yang dibuat oleh FGD, walaupuntidak sepenuhnya disetujui oleh seluruh peserta FGD,bahwa walaupun terjadi banyak kecenderungan yangbersifat negatif dan banyak ketidakpastian, namun In-donesia akan dapat keluar dari masalah ini pada tahun2025. Alasannya adalah sejarah memperlihatkan Indone-sia selalu dapat bangkit dari keterpurukannya. Senantiasaada orang-orang brilian, cream of the cream7, yang dapatmembawa pembaharuan dan membawa Indonesia keluardari masalah. Sejumlah best practices di daerah-daerahjuga menjadi acuan optimisme yang berhati-hati ini.

B. Skenario Indonesia 2025Skenario pertama, pertumbuhan dan pemerataan

ekonomi baik (sedang sampai tinggi dan pada sektor riil),demokrasi dan civil society berkembang dengan baik.Skenario ini merupakan the best case scenario baik driv-ing forces maupun kecenderungan yang terjadimendukung. Namun tampaknya untuk kondisi Indone-sia sekarang, skenario pertama merupakan Skenario Uto-pia sehingga merupakan Scenario yang ditolak oleh parapakar, terutama pada FGD pertama. Para pakarberpendapat bahwa kondisi kedua aspek dengan berbagaiindikatornya sekarang ini menunjukkan trend yang tidakmenggembirakan. Oleh karena itu, skenario pertamadianggap mempunyai kemungkinan yang sangat keciluntuk terjadi dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.Walaupun skenario ini ditolak pada FGD pertama, akantetapi skenario ini justru diterima di FGD kedua dengancatatan bahwa optimisme dibangun secara hati-hati.Optimisme secara berhati-hati melihat adanya best prac-tice yang terjadi di Indonesia dengan berbagaikelemahannya. Optimisme berhati-hati juga dengansejumlah catatan, yaitu jika muncul aktor terakhir lebihsulit dicapai karena melibatkan jumlah aktor yang sangatbanyak.

Skenario kedua, pertumbuhan ekonomi lambandemikian pula halnya dengan demokrasi danperkembangan civil society. Ini merupakan skenarioterburuk yang mungkin terjadi, namun dibangunberdasarkan kecenderungan berbagai fakta yang ada.Pada FGD pertama skenario inilah yang dianggap palingbesar kemunginannya terjadi. Skenario ini terutama terjadijika kondisi yang ada sekarang dibiarkan berlarut-larut,banyak ‘pekerjaan rumah’ tidak dibuat, kesadaran elitpolitik nasional, terutama lokal akan krisis tidak ada.Skenario ini akan berakhir dengan konflik berkepanjanganyang sulit diredakan. Skenario ini dapat pula dinamakansebagai Skenario Masuk Kubangan.

C. Peran, Desain, dan Kinerja Pemerintah yangDituntut sampai Tahun 2025

Pada saat ini pemerintah subnasional (provinsi,kabupaten ,dan kota) dapat dikatakan sudah tidak dapat

lagi menjalankan fungsi dan perannya dengan kualitastinggi melalui administrasi publik yang ada. Kondisiadministrasi publik pemerintah subnasional tersebutpada saat ini sudah terbukti tidak mampu menjawabtantangan yang ada sekarang apalagi untuk mengejartantangan Indonesia tahun 2025. Oleh karena itu,administrasi publik pemerintah subnasional harus segeradireformasi.

Hal yang harus segera di reformasi administrasi publikyang pertama adalah peran pemerintahan subnasional.Kondisi change drivers pada Skenario Utopiamemungkinkan state berkolaborasi dengan unsur-unsuryang ada dalam lingkungannya. Unsur-unsur tersebutadalah civil society yang semakin mapan, politisi yangmemberikan dukungan penuh terhadap reformasiadministrasi, serta pasar yang semakin kuat yangdihasilkan dari kompetisi yang semakin sehat dangood corporate governance yang semakin kuat. Iniberarti bahwa reformasi administrasi publik pemerintahsubnasional menjelang berakhirnya jangka waktu 20tahun ke depan akan menghasilkan posisi stateberdampingan dengan peran civil society dan pasar.Jika Skenario Utopia terjadi di kota-kota besar sepertiJakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar,posisi civil society dan pasar dapat semakin kuatsehingga dapat menjadi partner state yang signifikan.Namun, posisi state sebagai partner civil society danpasar tidak berarti state menjadi lemah (weak state). Kuatlemahnya posisi state merupakan pilihan politik dariregim yang berkuasa. Hal ini akan dibahas lebih detailkemudian.

Keadaan akan berbeda jika skenario yang akanmuncul adalah Skenario Masuk Kubangan. Padaskenario ini ‘infrastruktur’ sosial-politik dan ekonomidalam kondisi buruk, maka posisi state akan dominan.Civil society belum dapat diandalkan sebagai kelompokpenekan, elit politik masih mengalami disorientasi, danpasar belum didukung oleh karakteristik kompetisi dangood corporate governance. Pemain ekonomi (inves-tor) yang adapun dalam jumlah yang terbatas. Olehkarena itu, reformasi administrasi akan didorong olehkekuatan birokrasi (bureaucracy-driven). Sedangkanpolitisi, civil society, dan pasar akan mempengaruhireformasi administrasi secara terbatas.

Sejumlah hal secara spesifik dapat dituntut daripemerintah pusat dan pemerintah subnasional (provinsi,kabupaten dan kota) sejak saat ini sampai tahun 2025untuk dilakukan. Pertama, pemerintah harus mampumembuat berbagai kebijakan yang tepat untuk mengatasimasalah ekonomi, masalah pembangunan demokrasi danpembangunan civil society. Pemerintah dituntut untuksegera membuat kebijakan dalam rangka merespons krisisminyak dunia dan nasional, krisis pangan, serta krisislingkungan hidup. Pemerintah juga dituntut untuk dapatmemberantas KKN, dan menciptakan good governanceyaitu good and clean government, good corporategovernance dan vibrant civil society. Lebih dari itu,

7 Istilah yang dilontarkan oleh Prof.Dr. Maswadi Rauf dalamFGD kedua untuk menggambarkan orang-orang pilihan dariantara banyak orang Indonesia.

SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 79

Page 24: Bisnis-Birokasi

pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuandan daya saing masyarakat dan pemerintah subnasionalitu sendiri di tingkat regional dan internasional. Padaakhirnya pemerintah dituntut untuk dapatmenyejahterakan masyarakatnya paling tidak padatingkat yang signifikan, yaitu sejajar dengan rata-ratakesejahteraan negara-negara tetangga di ASEAN.Kedua, untuk dapat mendorong laju pertumbuhanekonomi yang cukup tinggi dalam jangka panjang (20tahun), maka pemerintah dituntut untuk memperbaikipembangunan sektor pendidikan, pembangunan sektorkesehatan dan pembangunan infrastruktur secepatnya.Untuk itu dibutuhkan program-program pembangunanyang kondusif, kinerja yang tinggi, dan alokasi anggaranyang memadai agar pemerintah mampu menyejahterakanmasyarakat. Ketiga, untuk dapat mewujudkan hal-hal diatas pemerintah harus mempunyai kemampuan (a)membuat kebijakan yang berkualitas dan mendesainprogram yang baik yang berkaitan dengan changedrivers dan masalahnya, dan dengan menomorsatukankepentingan bangsa; (b) melaksanakan kebijakan danprogram-programnya dengan kinerja yang tinggi danbertanggungjawab. Keempat, pemerintah dituntut untukmenjadi profesional dalam menjalankan kewajibannyadan dapat memberikan pelayanan yang prima kepadamasyarakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan danmeningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima,pemerintah dituntut mempersiapkan dirinya sendiri danmasyarakat untuk dapat bersaing di tingkat regional danglobal pada saat praktik globalisasi semakin intensif danmeluas dijalankan. Keenam, pemerintah dituntut untuktetap menjaga integrasi bangsa dan Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasiladan UUD 1945, dengan menghindari sejauh mungkinkonflik dan perpecahan.

Berbagai tuntutan di atas memperlihatkan terfokusnyapenekanan pada state-led development dan enhancingstate capacity. Menurut Chung hal ini sebenarnya tidakaneh bagi negara-negara Asia dalam melakukan reformasiadministrasinya karena secara tradisional state di negara-negara Asia bersifat interventionist. Jepang, Singapura,Cina, Vietnam, India, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia,Thailand, dan Indonesia adalah contoh dari sejumlahnegara Asia dimana state berperan secara dominan dalamproses pembangunan bangsa. Chung memperlihatkanbahwa Singapura yang telah melakukan empat tahapanreformasi administrasi sejak merdeka pada tahun 1965,secara terus menerus reformasi administrasinyabertujuan untuk memperkuat sektor publiknya. Secararinci Chung mengatakan ‘Singapore has gone throughfour stages of public service reforms since independencein 1965 – from “survival” (1960s) and ‘efficiency’(1970s) to ‘people’ (1980s) and ‘change’ (1990s). Allof these reform processes aimed to strengthen andenhance the efficiency and leadership capacity of thecivil service bureaucracy.’

Oleh karena itu, Chung berpendapat sebaiknyanegara-negara yang secara tradisi mempunyai state yang

bersifat interventionist melakukan empowering ratherthan denigrating the bureaucracy. Tujuannya adalahuntuk menghasilkan suatu struktur atau sistem yangdiperbaharui, yang dapat memperbaiki kapasitas stateatau birokrasi pemerintah agar dapat memimpinpembangunan bangsa dan usaha-usaha pembangunanekonomi. Dengan demikian state-led atau dominatedeconomic development di negara-negara Asia tidakkonsisten dengan ideologi the private-led sebagaidasar dari reformasi institusi neo liberalisme. Bahkannegara seperti Malaysia yang mengadopsi reformasiadministrasi dengan orientasi New Public Managementtetap menolak resep-resep ekonomi neo liberalisme.

Hal yang harus direformasi di administrasi publikpemerintah subnasional yang ketiga adalah desain.Dalam rangka merespons berbagai tuntutan lingkungandi atas desain administrasi publik yang didasarkan padaaspek-aspek the Seven S’s harus ditetapkan.Berdasarkan potret administrasi publik saat ini danberdasarkan berbagai tuntutan di atas, maka berikut iniakan ditetapkan desain administrasi publik yang harusdibangun mulai dari sekarang sampai tahun 2025.Adapun desain tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, struktur yang ada harus ramping, efisien,dan mendorong profesionalisme sumber daya manusiadalam birokrasi. Kedua, sistem penganggaran yang adaharus menjamin terjadinya efisiensi, alokasi padakepentingan publik dan menekan KKN secara signifikan.Ketiga, sistem pengelolaan dan Kualitas SDM harusmemungkinkan munculnya SDM profesional danditerapkannya sistem merit. Keempat, setiap pemerintahsubnasional harus mempunyai strategi yang baik dandigunakan dalam proses pembangunan (eksternallingkungan mapun internal organisasi). Kelima, yangdibutuhkan dalam desain administrasi publik masadepan adalah budaya organisasi yang kondusif bagiterciptanya kinerja yang tinggi, good and clean gov-ernment yaitu profesionalisme, dan berorientasi padapelayanan publik. Keenam, desain administrasi publiklokal yang baik harus pula ditunjang oleh desainhubungan Pemerintah Pusat dengan PemerintahSubnasional yang baik. Baik dalam arti desain sistemnyamaupun dalam arti komitmen untuk mendorongpelaksanaan program-program otonomi daerah. Ketujuh,hubungan pemerintah dan masyarakat harus dibangunmenuju partnership dan empowerment. Paradigmadalam melihat masyarakat adalah masyarakat sebagaicitizen dan stakeholders, bukan sebagai konsumen (cus-tomers) saja. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintahtidak dapat hanya terfokus kepada politisi melaluilembaga perwakilan saja, namun juga kepada masyarakat.Karena itu prinsip partisipasi, akuntabilitas, responsive-ness serta transparansi merupakan prinsip yang dipakaidalam merekayasa hubungan pemerintah danmasyarakat selain the three Es. Dengan demikian ukurankeberhasilan pemerintah (kinerja) tidak dapat hanyadiukur melalui indikator output dan outcome, tetapi juga

80 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

Page 25: Bisnis-Birokasi

proses menjadi sangat penting. Kedelapan, kualitaskebijakan dalam bentuk peraturan perundangan harusbaik. Saat ini banyak terjadi ‘tabrakan’ dalam berbagaiperaturan perundangan yang ada. Pada tingkat lokalhal ini diperlihatkan dengan buruknya kualitas Perda.Demikian pula rule of law harus menjadi prinsip yangdiimplementasikan dengan komitmen tinggi. Hal inidiperlukan untuk menghilangkan ’sektor informal’ dalambirokrasi dan menjamin kepastian hukum bagimasyarakat dan pelaku bisnis/investor. Rule of law jugasangat dipentingkan untuk memberantas KKN.

Hal yang harus direformasi di administrasi publikpemerintah subnasional yang ketiga adalah kinerja.Kinerja yang harus dicapai sebagai respon dari tuntutanlingkungan administrasi publik adalah kinerja yangsangat tinggi. Kinerja yang dimaksud disini adalahefisiensi, effektivitas, dan ekonomisnya administrasipublik dalam menjalankan fungsinya sebagai birokrasipemerintahan, maupun dalam konteks pembuatankebijakan dan penyediaan pelayanan publik. Kinerjayang optimum dibutuhkan bagi tercapainya targetpembangunan dengan akselerasi yang tinggi untukmengejar ketertinggalan.

Oleh karena itu, untuk menjawab semua tantanganagar Skenario Masuk Kubangan tidak terjadi danskenario Utopia-lah yang terjadi, Pemerintah Pusat danPemerintah Lokal dituntut untuk melakukan reformasiadministrasi publik dalam rangka menjawab semuatantangan di atas.

KESIMPULAN

Scenario Indonesia tahun 2025 didominasi olehskenario yang cenderung pesimis dan dinamakanSkenario Masuk Kubangan. Kondisi ekonomi dansosial-politik yang memprihatinkan dapat membawa In-donesia terpuruk lebih jauh. Alternative scenariolainnya adalah Skenario Utopia yang dibangunberdasarkan pendapat optimisme yang dilontarkan olehbeberapa pakar. Terdapat sejumlah tantangan untukperubahan yang dihadapi oleh administrasi publik diIndonesia sehingga perlu untuk dilakukan administra-tive reform baik di tingkat pusat maupun lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Azfar, Omar, dkk,. 2001. “Decentralization, Governance, andPublic Services the Impact of Institutional Arrangement: Areview of the Literature”. Working Paper. Maryland; USA:IRIS Center, University of Maryland, College Park.

Breton, Albert. 1969. An Introduction To Decentralization Fail-ure, dalam Ehtisham Ahmad dan Gerald Vito Caiden. Ad-

SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 81

ministrative Reform. London: Allen Lane The Penguin Press.Chandoke, Neera. 1995. State and Society, Exploration in Politi-

cal Theory. New Delhi: Sage Production India Pvt Ltd.Cheema, G Shabir and Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentraliza-

tion and Development: Policy Implementation in DevelopingCountries. Beverly Hills: Sage Publication.

Clarke, Thomas, and Stewart Clegg. 1998. Changing Paradigm:The Transformation of Management Knowledge for the 21 th

Century. London: Haper Collins Business.Gardono, Iwan. 2001. Masyarakat Aktif, Transparansi dan Korupsi.

Makalah yang dibawakan dalam Seminar Nasional MenciptakanTransparansi Penyeleggaraan Pemerintahan Daerah:Memberdayakan Momentum Reformasi, Kerjasama FISIP-UIdan The Foundation, Jakarta: (Juni).

Ghez R. Gilbert dan Becker Gary S, 1975. The Alocation of Timeand Goods Over the Life Cycle. New York: Collumbia Univer-sity Press.

Hoessein, Bhenyamin,. Hubungan Penyelenggaraan PemerintahanPusat Dengan Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmu Administrasidan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume I Nomor 1, (Juli).

Lindgren, Mats dan Hans Bandhold, Scenario Planning: The LinkBetween future and Strategy,.New York: PALGRAVEMACMILLAN.

Litvack, Jenie, Junaidi Ahmad dan Richard Bird. 1998. RethinkingDecentralization in Developing Countries, Washington, D.C.:The World Bank.

Maami, Kambiz E. dan Robert Y. Cavana. 2000. System Thinkingand Modeling: Understanding Change and Complexity .Auckland: Pearson Education NZ Limited.

Made, Suwandi, I, et.al. 2004. Menggagas Format Otonomi daerahMasa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama.

Mahfud MD, Moh., Hukum dalam Politik Oligarkis, KOMPAS,Jumat, 5 Mei 2006.

Maksum, Irfan Ridwan. 2006. Pengawasan Internal Daerah Otonomoleh DPRD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis& Birokrasi. Volume XIV, Nomor 4 (Desember).

Mats Lindgren dan Hans Bandhold. Scenario Planning: The LinkBetween future and Strategy . New York: PALGRAVEMACMILLAN.

Newman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualita-tive Approach. Boston: Pearson Education, Inc. Edisi kelima.

Oentarto SM, Suwandi, dan Dosi Riyadmadji. 2004. MenggagasFormat Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Me-dia Utama.

Pilliang, Y.A., “ Demokrasi Fundamentalis”, KOMPAS, 29 April2006.

Prasojo, Eko, KOMPAS, 6 November 2004.Ringland, Gill. 2006. Scenario Planning. West Sussex: John Willey

& Sons Ltd.Schoemaker Paul J.H.1991. When and How to Use Scenario Plan-

ning: A Heuristic Approach With Illustration. Journal ofForescasting, Vol. 10, No.6 (November).

Schoemaker, Pamela and Stephen D. Reese. 1991. Mediating theMessage Theories of Influence on Mass Media Content. USA:Longman.

Schulte Nordholt, Nico. 2003. Pelembagaan Civil Society dalamProses Desentralisasi di Indonesia, dalam Henk SchulteNordholtdan Gusti Asnan, ed, Indonesia in Transsition.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tanzi, ed,, 2002. Managing Fiscal Decentralization. London:Routlege.

Zainal Abidin, Said. 2004. Akuntabilitas dan TransparansiPemerintahan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis& Birokrasi Vol.12, No.I (Januari).

Page 26: Bisnis-Birokasi

Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai

SAM’UN JAJA RAHARJA1*

1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

PENDAHULUAN

Air merupakan sumberdaya alam yang makin langka dan kritis akibat berbagai tekanan kehidupan. Di dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3% merupakan air laut dan 2,7% merupakan air di permukaan bumi. Dari 2,7% air di permukaan bumi, 77,3% merupakan salju dan geyser; 22,4% air tanah dan resapan (itupun yang dapat dijangkau hanya 0,79%); air rawa dan danau 0,0035%; uap air 0,004%; dan air sungai 0,00001%.

Dari beberapa sumber air di atas, sumber air yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah air tanah yaitu dari sumur dangkal dan artesis sebesar 0,79%; air sungai; dan sumber mata air yang belum dikuasai oleh sektor swasta atau produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Namun kondisi sungai yang merupakan penyedia sumber daya air, memiliki masalah tersendiri. Pergantian musim hujan dan kemarau membuat kondisi sungai tidak stabil antara banjir dan kekeringan, ditambah lagi masalah pencemaran berbagai limbah industri dan domestik yang menjadikan air di sungai menjadi tidak layak dikonsumsi.

Sungai atau daerah aliran sungai merupakan suatu sumber daya air yang memiliki karakteristik yang khas dan sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya. Keberadaan sungai dengan sifatnya yang mengalir dari hulu ke hilir memiliki potensi opportunity value dan externality effect antara hulu-hilir atau di sepanjang aliran sungai (Pangesti, 2000, 2002). Sifat sungai yang mengalir dan melintasi batas wilayah administratif dan bahkan negara, banyak pihak yang berkepentingan dan

atas nama “hak” yang dimilikinya, terjadi eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing yang spesifik. Keadaan ini berpotensi memunculkan kompetisi dan konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Konflik yang dimaksud antara lain konflik kuantitas berkaitan dengan kelangkaan, konflik kualitas karena pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik organisasional, karena pengelolaan yang fragmentaris dan sektoral atau kewilayahan administratif, konflik nilai berkaitan dengan pandangan penguasaan dan pemanfaatan sumber air sebagai barang publik atau privat dan komoditas ekonomi global. Ironisnya dan sekaligus juga paradoks, yaitu manakala terjadi hal-hal negatif pada aliran sungai, seperti pencemaran, banjir, dan kekeringan, masing-masing pihak cenderung saling menyalahkan. Melihat banyaknya organisasi yang terlibat atau memanfaatkan Sungai Citarum memperlihatkan bahwa pengelolaan tidak dapat di lakukan oleh satu pihak saja. Tetapi harus melibatkan pihak lainnya dalam suatu konsep multipihak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen kebijakan sektor publik pada pengelolaan Sungai Citarum denagn paradigma Governance berdasarkan tiga pilar: state, civil society dan private.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan mengambil obyek pada pengelolaan Sungai Citarum. Di lintasan Sungai Citarum, terdapat berbagai instansi pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan yang mengelola dan memanfaatkan keberadaan Sungai Citarum tersebut. Instansi pemerintah dan perusahaan antara lain PLTA, PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS, dll,

Abstract. The aim of this research is to analyze the public sector policy management in the management of Citarum river by using governance paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources techniques consisting of: the state, civil society, and private sector. The result shows that the management of drainage basin becomes a public matter involving the three main governance actors. However, the involvement of these three actors entails three implications: (1) the addition of core competence principle to the distribution of authority among actors, apart from ultra vires and general competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness criteria in the affair distribution among the actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and (3) the revision of Government Regulation Number 38 year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state elements (civil society and private sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to revise the regulations related to the management of drainage basin.

Keywords: governance, public policy, civil society, drainage basin

*Korespondensi: +6281 2200 3228; [email protected]

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 82-86 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 27: Bisnis-Birokasi

Sedangkan organisasi kemasyarakatan antara lain Mitra Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat Cinta Citarum, dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan menggunakan pendekatan atau paradigma governance.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Konsisten dengan metode, data dikumpulkan dengan teknik triangulasi sumber, meliputi studi pustaka, angket, wawancara mendalam, dan diskusi stakeholder. Unit analisis penelitian ini pada level organisasi, sesuai dengan pokok bahasan governance yang meliputi tiga pilar: state, civil society, dan private.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan dan Urusan Pengelolaan Sungai dalam Tinjauan Teknis dan Organisasi

Ada persoalan prinsip yang melekat dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pertama, dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan masing-masing wilayah administratif membagi aliran sungai sesuai dengan wilayah masing-masing. Hal ini memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan kepentingan. Kedua, sungai merupakan sumberdaya yang mengalir, tidak mengenal batas-batas wilayah administratif dan secara teknis tidak memungkinkan aliran sungai dihentikan atau dialihkan ke wilayah lain, sesuai dengan kewenangan setiap instansi atau organisasi. Konsekuensinya pengelolaan daerah aliran sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan secara sektoral-mandiri oleh masing-masing instansi pemerintah atau organisasi yang berkepentingan dan yang berada dalam lintasan daerah aliran sungai tersebut.

Urusan pemerintahan, khususnya urusan pemerintahan daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Namun banyak makna dalam desentralisasi. Pada konteks ini, terdapat ketidaksepakatan mengenai makna desentralisasi itu sendiri. Banyak pihak yang sepakat bahwa pengalihan kekuasan dan sumberdaya kepada pemerintahan daerah bukanlah suatu bentuk desentralisasi. Meskipun begitu, banyak yang mengasumsikan bahwa desentralisasi pada konteks ini juga termasuk transfer kekuasaan dan sumberdaya dari pemerintahan pusat (Schneider, 2003).

Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan kekuasaan, pelimpahan kekuasaan, penyebaran dan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi juga didefinisikan sebagai penyerahan urusan (function) dan kewenangan (authority) dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga ditingkat yang lebih rendah atau kepada individu (Agusalim, 2007). Cheema , Nellis, dan Rondinelli (1983) juga memberikan pengertian desentralisasi dalam arti yang lebih luas “...the transfer of authority to plan, make decision and manage public function from higher level of government to any individual organization or agency at lower level” Pendapat Cheema dkk. ini menggariskan bahwa kendati desentralisasi itu berasal dari pemerintah

(pusat), tapi penyerahannya tidak selalu kepada pemerintah daerah saja. Penyerahan ini dapat pula diberikan kepada suatu organisasi, badan atau bahkan kepada individu. Terkadang desentralisasi dijadikan bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran ganda, antara sebagai administrasi lapangan dengan sebagai perangkat pemerintahan umum (Ridwan, 2005).

Pengelolaan daerah aliran sungai merupakan salah satu kewenangan pemerintah yang dapat didesentralisasikan berdasarkan authority maupun urusan (fungsi). Bentuknya sendiri dapat mengacu kepada model pembagian Cheema dan Rondinelli (Agusalim, 2007) yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada organisasi parastral atau semi otonom, devolusi, privatisasi atau transfer urusan dari pemerintah kepada lembaga non pemerintah.

Konteks penyerahan urusan sendiri dikenal dengan tiga pendekatan yaitu ultra vires, general competence, dan campuran perpaduan keduanya. Pengelolaan DAS secara eksplisit merupakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. Namun, sebagaimana diketahui dalam DAS, melekat juga wilayah sungai yang mengalir. Urusan pengelolaan sungai secara eksplisit menjadi urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Dengan demikian terdapat dua instansi pemerintah yang bersama-sama mengurusi satu entitas dalam daerah aliran sungai.

Pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menetapkan tiga kriteria sebagai dasar pembagian yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah kriteria pembagian dengan memperhatikan dampak yang timbul dari penyelenggaraan suatu urusan apakah lokal, regional, atau nasional. Kriteria akuntabilitas, kriteria pembagian urusan berdasarkan tanggung jawab penyelenggaraan urusan kepada masyarakat bersifat lokal, regional atau nasional. Kriteria efisiensi yaitu pembagian urusan berdasarkan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Kriteria tersebut tidak memadai jika diterapkan pada pengelolaan sungai. Hal ini dikarenakan, pertama, berdasarkan pada kriteria eksternalitas, dampak aliran sungai bukan hanya dampak lintas daerah atau regional tetapi juga dampak lintas stakeholder, lintas fungsi, dan lintas departemen/instansi/organisasi. Kedua, mendasarkan pada kriteria efisiensi, apabila diserahkan pada satu instansi saja tidak cukup karena pengelolaan sungai bersifat sangat kompleks dan mahal. Ketiga, penerapan kriteria akuntabilitas pada satu tingkatan pemerintahan juga tidak cukup. Hal ini karena dalam kenyataan aliran sungai tidak benar-benar secara eksak berada dalam satu lingkup/batas wilayah administrasi pemerintahan tertentu, tetapi selalu bersambung dengan wilayah administrasi lainnya.

Jika dicermati, pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 masih menggunakan paradigma

RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 83

Page 28: Bisnis-Birokasi

lama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu pada government. Penggunaan paradigma lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dapat ditelaah dalam pasal-pasal maupun penjelasannya. Pasal 1 ketentuan umum tentang urusan pemerintahan menjelaskan “ .... urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.....”. Hal ini juga dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “.... Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan...”. Ketentuan umum maupun pasal dalam dalam PP 38 tahun 2007 tersebut sama sekali tidak menyinggung atau menyebut sektor privat atau civil society sebagai unsur yang terlibat atau dilibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang desentralisasi juga menyiratkan dan menyuratkan tidak dilibatkannya unsur di luar pemerintah dalam urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan.

Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah bergeser dari government ke governance yang bercirikan “...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan pemerintahan, aktor tersebut meliputi state, civil society dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan” (Prasojo, 2007; Muluk).

Berdasarkan terminologi umum, governance dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan lembaga publik dalam formulasi dan implementasi kebijakan, serta terhubungnya berbagai organisasi untuk melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004). Perluasan makna tentang governance juga dikemukakan Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate governance, (2) governance sebagai new public management, (3) governance sebagai good governance, (4) governance sebagai international interdependence, (5) governance sebagai socio cybernetic system, (6) governance sebagai new political economy, dan (7) governance sebagai network.

Governance sebagai networks juga memiliki beberapa makna yaitu (1) cara para stakeholder berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola atau struktur yang muncul dalam sistem sosial politik sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang

terlibat, (3) koordinasi antar swasta dan publik baik secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial (Laffer, 2002; Pierre)

Konsep networks sebagai bentuk spesifik dari governance dalam menganalisis relasi antar aktor/organisasi diimplementasikan dalam berbagai bentuk (mode of governance) atau mode of governing. Koiman mengemukakan beberapa mode of governing yaitu co-governing dan mixed mode governing (Kooiman, 2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi hubungan yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar pihak yang berelasi. Pada co-governing, para pihak bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa terlalu didominasi oleh aktor pengatur.

Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu (1) public private partnership yang menekankan co-operation ; (2) communicative governing, yaitu suatu proses belajar dan penyesuaian pola perilaku dalam pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung jawab bersama; (3) responsive regulation, dimana institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial (masyarakat, negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung.

Mixed mode governing mencirikan berperannya masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed (bercampur). Pada saat bersamaan peran sentral pemerintah secara langsung menurun, sehingga bergeser menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk pengaturan bersama (shared governance). Argumentasi model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah kolektif bersifat kompleks dan dinamis yang dalam penanganannya memerlukan pembagian tanggung jawab dan aransemen bersama.

Mengacu kepada makna governance sebagai network maka keterlibatan aktor non state dalam pengelolaan sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, penerapan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu, dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan itu, perlu ditambahkan setidaknya dua kriteria tambahan yaitu aksesibilitas dan efektivitas.

Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan urusan dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi apa yang (1) paling dekat dengan lokasi, (2) paling mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku, serta (3) paling dekat dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan dijalankan. Penelitian di Sungai Citarum Jawa Barat misalnya ditemukan bahwa kendati masalah yang terjadi secara organisatoris merupakan urusan pemerintah pusat, justru masyarakat mengajukan tuntutan kepada pemerintah daerah setempat melalui LSM. Berdasarkan ini, maka terdapat dua organisasi yang memenuhi kriteria aksesibilitas yaitu organisasi pemerintah daerah setempat dan organisasi swadaya masyarakat (non-state).

Pada kerangka yang lebih luas, kriteria ini juga terkait dengan konsep kebijakan publik dan otonomi daerah.

84 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

Page 29: Bisnis-Birokasi

Sebagaimana diketahui sasaran kebijakan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan publik yang lebih baik. Implementasinya harus sesuai dengan content, context, dan kondisi lapangan. Dalam hal ini masyarakat setempat lebih tahu apa yang harus dilakukan. Di samping masyarakat merupakan target group dalam implementasi kebijakan yang secara teoritis target group merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, di samping pelaksana kebijakan (Suwaryo, 2005).

Kriteria efektivitas adalah pengelolaan urusan dengan mempertimbangkan hasil guna tertinggi yang diperoleh dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan. Kriteria hasil guna diukur bukan hanya dalam perspektif berjalannya program dan tercapainya tujuan/urusan pemerintahan saja, tetapi tercapainya tujuan berdasarkan perspektif para stakeholder lainnya. Kriteria efektivitas juga berkaitan dengan kebijakan publik dan otonomi daerah. Berhasil tidaknya suatu kebijakan tergantung kepada insterest affected dari suatu masyarakat yaitu sejauh mana kepentingan masyarakat terakomodasi oleh suatu kebijakan dan dapat memberi ruang gerak, partisipasi dan berbagi kekuasaan dengan masyarakat (Grindle, 2005; Suwaryo).

Perlunya penerapan kriteria aksesibilitas maupun efektivitas diperkuat oleh temuan penelitian Atmanto di Citarum dan Ciliwung (2007). Atmanto mengemukakan empat hal yang terkait dengan partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sungai. Pertama, penerapan ekohidraulik dalam pengelolan kualitas air sulit berhasil tanpa melibatkan masyarakat. Kedua, adanya modal sosial yang kuat dengan member ruang gerak peran serta masyarakat. Ketiga, penerapan sosio hidraulik pada Sungai Citarum telah berhasil dengan baik karena didukung oleh konstribusi masyarakat. Keempat, pengelolaan air sungai berbasis masyarakat terjadi penguatan karena masyarakat memiliki kemampuan dalam mengelola sungai khususnya dalam hal kualitas. Pengelolaan sumber daya air dengan model Dharma Tirta menunjukan bahwa aksesibilitas dan efektifitas ini berkaitan dengan kelembagaan birokrasi pada level pelaksana daerah dan pola paternalisme keterlibatan masyarakat setempat (Ridwan, 2006).

B. Pergeseran Prinsip dalam Ultra Vires and General Competence ke Core Competence

Tidak ditemukannya penjelasan tentang pembagian kewenangan atau urusan yang bersifat perpaduan antara doktrin ultra vires dan general competence mengundang satu pertanyaan penting. Hal itu berkaitan dengan tidak ada penjelasan resmi pembagian kewenangan campuran tersebut seperti kewenangan apa saja? Apa dasar pembagian? Apa kriteria distribusi pembagian? Dan penetapan mana yang harus dibagi dan tidak dibagi?

Oleh karena itu, perlu diajukan satu doktrin atau kriteria berdasarkan kompetensi inti (core competence). Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap organisasi pada umumnya memiliki satu atau lebih

kompetensi inti. Penerapan doktrin ini, khususnya pada pengelolaan sungai ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama, instansi atau organisasi tertentu yang terlibat pada dasarnya memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam urusan atau kasus tertentu. Kedua, kelebihan-kelebihan seperti (1) sektor society (masyarakat) pada edukasi dan motivasi masyarakat, (2) kelebihan sektor pemerintahan lokal pada aksesibilitas, artikulasi persoalan dan urgensi penyelesaian kasus, (3) kelebihan departemen teknis pada aspek teknis, (4) kelebihan sektor private pada pengelolaan secara efisien, dan (5) masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Ketiga, pengelolaan sungai pada dasarnya adalah otonomi bersama di antara organisasi yang terlibat dengan menggabungkan kompetensi inti masing-masing.

C. Ilustrasi Empirik dalam Pengelolaan DAS Citarum

Dalam Pengelolaan DAS Citarum masih kuat terlihat ego sektoral masing-masing instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa temuan penelitian yang dikompilasi dari persepsi atau berdasarkan perspektif pengelola saat ini. Temuan penelitian diringkas sebagai berikut.

Pertama, dalam praktik pengelolaan DAS Citarum masih terjadi benturan otoritas antara instansi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bahkan dengan masyarakat khususnya dalam menetapkan wilayah kewenangan. Hal ini terlihat dalam otoritas pengelolaan dan pemberian izin dalam area in-stream dan off –stream untuk DAS yang sama.

Kedua, beberapa benturan kepentingan secara lebih luas dapat dipaparkan sebagai berikut (1) perbedaan kehendak antara masyarakat dengan instansi lain dalam pemanfaatan lahan di sekitar DAS; (2) benturan kepentingan antara pemerintah Kabupaten Bandung dengan Propinsi Jawa Barat, khususnya dalam pemanfaatan air permukaan; (3) benturan antara kemanfaatan ekonomi dan kebutuhan akan pengendalian dampak lingkungan yang terjadi karena inkonsistensi dan perbedaan sikap dan posisi organisasi pengendali dampak lingkungan; (4) benturan kepentingan antara pemerintah daerah, khususnya di perbatasan. Aktivitas pemerintah daerah tertentu di perbatasan, membawa dampak ke wilayah pemerintah lainnya di seberang perbatasan; (5) benturan kepentingan berkaitan dengan peran dan fungsi tiap instansi baik antara instansi di daerah maupun antar instansi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

KESIMPULAN

Pengelolaan sungai merupakan urusan bersama di antara organisasi, baik organisasi pemerintah pusat maupun daerah (government sector), society (lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal setempat), serta private. Implementasi kebijakan dari pengelolaan

RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 85

Page 30: Bisnis-Birokasi

sungai sebagai urusan bersama memiliki implikasi. Pertama, implikasi prinsip pembagian urusan pemerintahan yaitu perlu ditambahkannya prinsip pembagian kewenangan dari dua prinsip (ultra vires dan general competence) menjadi tiga prinsip (ultra vires, general competence, dan core competence). Kedua, implikasi kriteria pembagian urusan dari tiga kriteria (eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas) menjadi lima kriteria (eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas, aksesibilitas dan efektivitas). Ketiga, implikasi kebijakan yaitu perlunya penyempurnaan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Pada hal ini khususnya dalam pembagian urusan yang memasukan unsur nonstate sesuai dengan paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan, governance, yang multi aktor yang terdiri unsur state, civil society, dan private. Peraturan khusus terkait dengan sungai secara umum juga perlu ditinjau kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Agusalim, Gadjong Andi. 2007. Pemerintah Daerah : Kajian Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Atmanto, Dwi. 2007. Pendekatan Sosio Hidraulik dalam Pengelo-laan Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Citarum. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Cheema, G. Shaber et.al.1983. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Paper.

Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Penerbit Gava Media

86 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

Michaels S., Nancy P. Goucher, Dan McCarthy. 2006. Policy Windows, Policy Change, and Organizational Learning: Watersheds in the Evolution of Watershed Management. Environt Manage Journal. 38:983–992.

Muluk, MR Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Malang, Penerbit Bayu Media.

Pangesti, Dyah Rahayu. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad–21. Orasi Ilmiah APU, Depkimbangwil.

____. 2002. Sungai sebagai Sumberdaya Alam Yang Mengalir, dalam Kodoatie (ed) Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Pierre, Jon. 2000, Debating Governance : Authority, Steering, and Democracy. London: Oxford Univerisity Press

Raharja, Sam’un Jaja. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI.

Ridwan, Irfan. 2005. Dekonstentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan Kritis UU No.32 Tahun 2004). Jurnal Ilmu Administasi dan Organisasi, Bisnis & Brokrasi, Vol.12, No.2 (Mei).

____. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Air Model Dharma Tirta di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari).

Rodhes, RAW, 1999. Foreword in Walter JM Kickert et.al. (ed) Managing Complex Network : Strategies for the Public Sector. London: Sage Publication.

Schneider, Aaron. 2003. Decentralization: Conceptualization and Measurement. Comparative International Development, (Fall), Vol.38, No. 3.

Suwaryo, Utang. 2005. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Disertasi, Bandung, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Page 31: Bisnis-Birokasi

Kualitas Pelayanan Publik Kecamatansetelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat

sebagai Perangkat Daerah

ROZY AFRIAL J.1*

1Micronutrient Initiative Indonesia

Abstract. This research aims to analyze the quality of subdistrict public services in decentralization era, identifyservices dimensions or attributes that are prioritized by subdistrict for a better performance, and conduct comparativestudy to analyze whether a subdistrict with larger delegated authorities has a better quality of public services. The analysiswas conducted using the Service Quality (ServQual) that had been developed into Importance Performance Analysis (IPA).The research was conducted through surveys in two locations i.e. Katapang Subdistrict in Bandung and Dramaga Subdistrictin Bogor, on three types of services namely 1) civil administration/registration services 2). Business license services and 3).Building construction license services.The research result showed that although the subdistricts had legally and formallyshifted into local government institution, the quality of public service performance is still not optimal. This was indicatedby the lower performance index as well as the importance index of the respondents for both subdistricts, in other wordsthere were gaps between respondents perception and respondents expectation on public service quality.

Keywords: local government institution, subdistrict, service quality, importance performance analysis

PENDAHULUAN

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004telah membawa perubahan paradigma yang mendasardalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.Reformasi pemerintahan daerah ini diwujudkan dalambentuk pergeseran model dan paradigma pemerintahandari pendekatan “structural efficiency model” yangmenekankan peningkatan efisiensi, efektivitas dankeseragaman. Penyelenggaraan pemerintahan menjadipendekatan “local democracy model” yangmenekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalampenyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring denganpergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran daripengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaandesentralisasi (Hoessein, 2002), atau dari paradigmapemerintahan yang sentralistik kearah desentralistik.

Salah satu perubahan mendasar dengandiberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UUNomor 32 Tahun 2004 adalah dihapuskannya wilayahadministrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kota ke bawah. Wilayah administrasi yang masih adahanya wilayah administrasi propinsi (Ridwan, 2005),sehingga pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kotakebawah sepenuhnya menjalankan asas desentralisasi,kecuali untuk lima kewenangan pemerintah pusat, iniyang dinamakan dengan Split Model (BC Smith, 1985,

dalam Wasistiono, 2005). Penggabungan asasdesentralisasi dan dekonsentrasi atau disebut denganFused Model hanya terjadi pada tingkat provinsi. Propinsisebagai wilayah administrasi merupakan wakil pemerintahpusat (menjalankan asas dekonsentrasi) sekaligus jugaadalah daerah otonom yang melaksanakan asasdesentralisasi.

Perubahan mendasar tersebut telah secara nyatamempengaruhi pula kedudukan, peran, dan fungsi camatdan kecamatan. Dengan dihapuskannya wilayahadministrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kotake bawah, kecamatan bukanlah lagi wilayah administrasi.Camat adalah perangkat daerah kabupaten/ kota bukanlagi kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti padamasa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 (lihat UU Nomor22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004). Sebagaikonsekuensinya camat bukan lagi penguasa tunggal yangberfungsi sebagai administrator pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan. Camat kini tidak lagisecara otomatis memiliki kewenangan untuk menjalankanurusan pemerintahan umum (Hoessein, 2002; Rosyidi,2007). Dengan demikian, kecamatan bukan lagi wilayahadministrasi pemerintahan (Ambs-kring), melainkansebagai wilayah kerja (Werk-kring) kecamatan bukan lagiwilayah kekuasaan camat melainkan menjadi areal tempatcamat bekerja (Wasistiono, 2005). Camat tidak lagi menjadipusat dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi,namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang hanyamemiliki Werk-kring dalam lingkungan wilayah kecamatan(Kertapradja; Kinseng, 2008).

Pelayanan publik merupakan unsur paling pentingdalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalammasyarakat manapun (Saragih, 2006). Reformasi

*Koresponding penulis: +6221 7981 651, 7987 130;[email protected]; www.micronutrient.org

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 87-95 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 32: Bisnis-Birokasi

pelayanan publik ter jadi dalam konteks usaha“pembangunan” dan promosi proses globalisasi ekonomi(Reed, 2002). Reformasi pelayanan publik merupakanprime mover (penggerak utama) yang dinilai strategisuntuk memulai pembaharuan praktik governance(Dwiyanto, 2005). Sesuai dengan paradigma ReinventingGovernment maupun Good Governance, pendelegasiansebagian kewenangan pemerintahan dari bupati/walikotakepada camat harus dapat memaksimalkan prinsip 4E,yakni efektivitas, efisiensi, equity/keadilan danekonomis. (Terry, 1961, Frederickson, 1997 dan E.S.Savas, 1987; Wasistiono, 2005). Pendelegasiankewenangan bukan hanya sekedar memindahkankewenangan yang dijalankan secara langsung olehbupati/walikota kepada camat, melainkan dalam rangkameningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberianpelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.

Dewasa ini kualitas merupakan bahasan yang pentingdalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk padaorganisasi atau institusi pemerintah sebagai lembagapenyedia pelayanan publik. Negara dan sistempemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negaradalam memperoleh jaminan atas hak-haknya karenanyapeningkatan kualitas pelayanan (quality of services) akanmenjadi penting (Zauhar, 2001, Prasojo, Pradana danHiqmah, 2006). Lembaga atau organisasi pemerintahsemakin dituntut untuk menciptakan kualitas pelayananyang dapat mendorong dan meningkatkan kegiatanekonomi masyarakat. Karena itu, pelayanan (aparatur)pemerintah harus lebih proaktif dan cermat dalammengantisipasi paradigma baru global agarpelayanannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakatyang dinamis.

Sejumlah ahli menjelaskan konsep kualitas denganpengertian yang saling menguatkan sesuai denganperspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciripelayanan yang spesifik (Feigenbaum, 1986; Albrechtdan Zemke, 1990; Bahill dan Gissing, 1998; Goetsh danDavis, 1994, Mulyawati, 2003; WE. Deming;Sinambeladkk., 2006). Kualitas pelayanan merupakan perbandinganantara kenyataan atas pelayanan yang diterima denganharapan atas pelayanan yang ingin diterima (Brady danConin, 2001). Pada awalnya instrumen untuk mengukurkualitas pelayanan (service quality) dikembangkan olehpeneliti pemasaran untuk melakukan evaluasi terhadapkualitas pelayanan yang dapat memenuhi kepuasanpelanggan (Jiang, Klein, dan Carr, 2002). Kaitannyadengan kualitas pelayanan publik yang diberikan olehbirokrasi didalam negara demokrasi paling tidak harusmemenuhi tiga indikator , yakni responsiveness,responsibility, dan accountability (Lenvine, 1990).Dalam hal ini kinerja pelayanan publik terdiri dari aspekproduksi, mutu, efisiensi, fleksibilitas, dan kepuasanuntuk ukuran jangka pendek, sedangkan aspekpersaingan dan pengembangan untuk jangka menengahserta aspek kelangsungan hidup untuk jangka panjang.

Selain itu, ukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh

banyak faktor yang bersifat intangible (tidak nyata/tidakberwujud) dan memiliki banyak aspek psikologis yangrumit untuk diukur (Zaithaml, Parasuraman dan Berry,1990). Idealnya pengukuran kualitas pelayanan dilakukanterhadap dua dimensi yang saling terkait dalam prosespelayanan, yakni penilaian kepuasan pada dimensipengguna layanan/pelanggan (service users) danpenilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan(service providers). Pengembangan service quality gapmodel kedalam suatu instrumen skala pengukuran multidimensi yang dinamakan Servqual (Zathaml, dkk., 1990).Dalam perkembangannya, Zaithaml, Parasuraman danBery kemudian menyederhanakan sepuluh dimensimenjadi lima dimensi Servqual (Zaithaml dkk., 1990),yakni Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility(Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap),Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati).

Kaitannya dengan reformasi pemerintahan daerahdimana camat tidak lagi menjadi pusat dalam menjalankantugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadiperangkat daerah yang hanya memiliki wilayah kerjadalam lingkungan wilayah kecamatan. Sudah selayaknyaapabila kecamatan dijadikan sebagai Pusat PelayananMasyarakat (Pusyanmas) untuk jenis-jenis pelayananyang sederhana, cepat, dan murah untuk meningkatkankualitas pelayanan kepada masyarakat. Penelitian inibertujuan mengetahui dan memperbandingkan kualitaspelayanan Kecamatan Katapang dan KecamatanDramaga setelah perubahan kedudukan dan fungsikecamatan sebagai perangkat daerah. Selain itu,penelitian ini membandingkan tiga jenis pelayanankecamatan yakni pelayanan administrasi kependudukan,pelayanan izin-izin usaha, dan izin gangguan sertapelayanan IMB.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yangmenggunakan pendekatan kuantitatif-positivistik.Metode ini dilakukan untuk mengetahui arah dan fokuspenelitian yang ditujukan untuk menguraikan danmenggambarkan secara obyektif dan logis sifat-sifat darifenomena atau gejala sosial yang diteliti - dalam hal iniadalah adalah kualitas pelayanan publik kecamatan-dengan cara verifikasi langsung melalui data empirikal.

Untuk dapat melakukan analisis komparatif kualitaspelayanan publik kecamatan, maka diperlukan dua lokusatau daerah penelitian, yaitu Kecamatan Katapang diKabupaten Bandung dan satu lagi Kecamatan Dramagadi Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitiandilakukan secara purposive yang didasarkanpertimbangan adanya kekhasan delegasi kewenangandari bupati kepada camat, pada masing-masingkabupaten. Pemilihan Kabupaten Bandung danKabupaten Bogor didasarkan pertimbangan bahwa padakedua kabupaten tersebut telah ada pendelegasiankewenangan bupati kepada camat dengan jumlah, jenis

88 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Page 33: Bisnis-Birokasi

serta besaran kewenangan yang berbeda. KabupatenBandung merupakan representasi dari kabupaten yangmelimpahkan cukup besar kewenangan kepada camat,sedangkan Kabupaten Bogor adalah representasikabupaten yang minim melimpahkan kewenangankepada camat (gambar 1).

Obyek penelitian terdiri dari tiga jenis kelompokpelayanan yang umumnya terdapat pada kecamatan,yaitu (1) Pelayanan administrasi kependudukan (KTP,KK dll), (2) Pelayanan izin usaha/ izin tempat usaha(SITU, SIUP, HO dll), dan (3) Pelayanan izin bangunanatau IMB. Sampel penelitian diperoleh secara purposiveterhadap responden yang sudah atau pernahmenggunakan pelayanan kecamatan denganmenggunakan teknik gabungan “accidental samplingdan snowballing sampling”. Pada accidental sampling,responden adalah siapa saja yang ditemukan penelitiketika sedang mengurus atau mendapatkan pelayananpublik di kantor kecamatan. Sedangkan snowballingsampling dilakukan melalui penelusuran baik dari datayang ada pada kecamatan maupun dari responden yangtelah diwawancarai untuk mendapatkan respondenberikutnya dengan sampel dalam tabel 1.

Survei dengan kuesioner Service Quality yangdirancang untuk menjaring: (1) data kualitas pelayanankecamatan yang diharapkan dan (2) data kualitaspelayanan kecamatan yang diterima oleh masyarakatpengguna layanan. Setiap jenis kuesioner terdiri dari duabagian. Pertama adalah penilaian responden terhadapkualitas pelayanan publik kecamatan yang diterima ataudialami (tingkat kinerja) dan kedua adalah penilaianresponden terhadap kualitas pelayanan publik kecamatanyang diharapkan (tingkat kepentingan) dengan dimensidan indikator (tabel 2).

Selanjutnya, analisis data dilakukan dua tahap,pertama menggunakan teknik analisis kuantitatif denganImportance-Performance analysis/IPA atau analisatingkat kepentingan-kinerja (Martila dan James, 1977;Supranto 1997) dan Focus Group Discussion (FGD). IPA,pelayanan yang diharapkan (expected service)masyarakat pengguna layanan dikonversi menjadi“tingkat kepentingan” akan pelayanan, sedangkanpelayanan yang diterima masyarakat (perceived service)dikonversi menjadi “tingkat kinerja” pelayanan. Datayang diperoleh ditransformasikan menjadi data kuantitatifdengan pembobotan menggunakan skala likert yangterdiri dari 5 skala kontinum. Perhitungan pembobotan

setiap indikator dituangkan dalam tabel frekuensi untukseluruh 20 indikator kualitas pelayanan, baik untukindikator kinerja maupun indikator kepentinganpelayanan. Kemudian ,dihitung tingkat kesesuaian antaratingkat kinerja dengan tingkat kepentingan, sebagaiberikut.

Tki = Xi X 100%,Yi

Dimana:Tki = Tingkat kesesuaian responden untuk

indikator iXi = Skor penilaian kinerja pelayanan indikator iYi = Skor penilaian kepentingan indikator i

Setelah seluruh analisis kuantitatif selesai, makadilakukan FGD untuk mengklarifikasi, menggali, danmenelusuri lebih mendalam permasalahan dan kendalayang dihadapi oleh kecamatan untuk dapat menghasilkankualitas pelayanan yang lebih baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kualitas Pelayanan Publik KecamatanHasil perhitungan IPA menunjukkan belum optimalnya

kualitas pelayanan publik kecamatan. Belum optimalnyakualitas pelayanan ditunjukkan oleh indeks kinerjaseluruh 20 atribut pada ketiga jenis pelayanan (PelayananAdminsitrasi Kependudukan, Pelayanan Izin Usaha.,dan Izin Gangguan dan Pelayanan IMB) yang lebihrendah dari indeks kepentingan. Kualitas layanan publikkecamatan dapat dilihat melalui perbandingan pelayananpublik pada kecamatan Katapang dan Dramaga. Secaraumum dapat dilihat pada gambar 1-7.

B. Perbandingan Pendelegasian Kewenangan Bupatikepada Camat

Pemerintah Kabupaten Bandung memiliki komitmenuntuk mendelegasikan kewenangan kepada camat yangjauh lebih baik dibanding pemerintah Kabupaten Bogor.Keputusan Bupati Bandung Nomor 21 Tahun 2001 BupatiKabupaten Bandung melimpahkan 27 BidangKewenangan yang mencakup 110 Rincian Kewenangankepada camat. Jumlah, jenis, serta besaran kewenanganyang dilimpahkan bupati kepada camat kemudianditingkatkan menjadi 25 bidang kewenangan dan 614

No Jenis Layanan Jumlah sampel

Kec. Katapang Kec. Dramaga

1 Administrasi kependudukan, (KTP, KK dll) 100 100 2 Izin usaha/ izin tempat usaha (SITU, SIUP, HO dll) 60 100 3 Pelayanan izin bangunan atau IMB 50 36 Jumlah 210 236

Tabel 1. Sampel Penelitian

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 89

Page 34: Bisnis-Birokasi

Tabel 2 . Dimensi dan Indikator Survey Kualitas Pelayanan Kecamatan

Gambar 1. Kerangka Analisis Sumber: Hasil olahan penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

90 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Page 35: Bisnis-Birokasi

pelayanan langsung kepada masyarakat yang harusdiselenggarakan Kecamatan Katapang Bandung. Statushukum pendelegasian kewenangan bupati kepada camatini kemudian ditingkatkan dimana pada tahun 2007berhasil disahkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2007mengenai pendelegasian sebagian kewenangan bupatikepada pemerintah kecamatan. Selain itu, pemerintahKabupaten Bandung telah menata ulang organisasikecamatan kemudian, mengisi organisasi kecamatandengan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan sertamerencanakan dan melaksanakan pendidikan teknisfungsional bagi personil yang akan ditempatkan dikecamatan sesuai kebutuhan lapangan. Walaupunbelum memenuhi kebutuhan, diklat-diklat teknis tetapdilaksanakan bertahap bagi personel yang telahditempatkan di kecamatan. Demikian pula peralatan danperlengkapan secara bertahap mulai diisi untukmemenuhi kebutuhan kantor kecamatan dalammenyelengarakan pelayanan publik yang kini menjadikewenangannya. Komitmen untuk implementasipendelegasian kewenangan bupati kepada camatdiwujudkan secara kongkrit dengan mengalokasikananggaran bagi masing-masing kecamatan sesuai denganbeban tugasnya dengan mempertimbangkan kemampuankeuangan pemerintah daerah sehingga kecamatan diKabupaten Bandung adalah pengguna anggaran samaseperti satuan perangkat daerah lainnya.

Kabupaten Bogor hanya melimpahkan 12 bidangkewenangan yang meliputi 31 rincian kewenangankepada camat. Akibat ketiadaan political will dari BupatiBogor untuk sungguh-sungguh mendelegasikankewenangan kepada camat dari 12 bidang kewenanganyang dilimpahkan Bupati Bogor kepada Camat Dramaga.Hanya satu bidang kewenangan yang berjalan efektifdan merupakan kewenangan penuh camat, yaitupelayanan administrasi kependudukan (KTP/KK) yangmerupakan kewenangan penuh camat untukmenyelenggarakannya (lihat gambar 2). Sementarapelayanan lainnya seperti dalam pelayanan perijinanusaha, izin gangguan atau HO dan izin bangunan (IMB),kewenanganan kecamatan hanya mengeluarkan suratketerangan atau surat rekomendasi. Kewenanganmengeluarkan IMB yang sebelumnya pernah diserahkankepada camat khusus untuk bangunan dengan luas dibawah 200 m2 kemudian pada tahun 2007 ditarik kembalioleh dinas pemukiman. Kecamatan Dramaga bukanpengguna anggaran sebagaimana perangkat daerahlainnya. Anggaran kecamatan masih dikelola olehlembaga atau instansi lain seperti bagian otonomi daerah,sekretariat daerah, dan dinas catatan sipil di kabupaten.Kondisi SDM, peralatan, dan perlengkapan untukmenyelenggarakan pelayanan juga nampak seadanyasaja pada Kecamatan Dramaga. Dua kondisi yangberbeda dari dua daerah ini, tentunya berimplikasiterhadap kualitas pelayanan yang diselenggarakan olehkedua kecamatan yang diuraikan pada pembahasanberikut ini.

Gambar 2. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks KepentinganPelayanan Adminsitrasi Kependudukan, KecamatanKetapang, Kabupaten Bandung.

Gambar 3. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks KepentinganPelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, KecamatanKetapang, Kabupaten Bandung

Gambar 4. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks KepentinganPelayanan IMB, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 91

rincian kewenangan melalui keputusan Bupati BandungNo. 8 Tahun 2004. Dari 614 rincian kewenangan yangdilimpahkan Bupati Bandung kepada KecamatanKatapang (dan kecamatan lain di Kabupaten Bandung),empat puluh dua diantaranya adalah kewenangan

Page 36: Bisnis-Birokasi

C. Perbandingan Kualitas Pelayanan KecamatanKatapang dan Kecamatan Dramaga

Untuk mengetahui perbandingan antara kualitaspelayanan publik di Kecamatan Katapang, KabupatenBandung dan kualitas pelayanan publik di KecamatanDramaga maka dilakukan analisis komparatif kualitaspelayanan di dua kecamatan tersebut. Analisis dilakukandengan membandingkan kinerja pelayanan dan tingkatkesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yangdiharapkan oleh responden) untuk ketiga jenis pelayanan(pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan izinusaha dan izin gangguan, dan pelayanan izin mendirikanbangunan) pada dua Kecamatan (lihat tabel 3).

administrasi kependudukan di kecamatan Katapang dankecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayananpublik di Kecamatan Katapang lebih baik dari kecamatanDramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rataindeks kinerja pelayanan administrasi kependudukanKecamatan Katapang yang lebih tinggi (3.27) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan administrasi kependudukanKecamatan Dramaga (2.90) serta rata-rata tingkatkesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yangdiharapkan oleh responden) yang lebih tinggi padaKecamatan Katapang (75%) dibanding tingkat

kesesuaian pada Kecamatan Dramaga (67,99%).Analisis lebih jauh lagi, hampir seluruh atribut

pelayanan publik Kecamatan Katapang memiliki indekskinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian yang lebihtinggi dibanding indeks kinerja pelayanan dan tingkatkesesuaian Kecamatan Dramaga. Dari dua puluh atributpelayanan administrasi kependudukan kecamatan,kecuali atribut nomor 2, yaitu kenyamanan, kebersihan,dan kerapihan ruang pelayanan, seluruh atributpelayanan lainnya menunjukkan kualitas pelayananKecamatan Katapang lebih baik dari kualitas pelayananKecamatan Dramaga (lihat gambar 8).

Gambar 8 memperlihatkan hanya atribut nomor 2, yaitukenyamanan, kebersihan dan kerapihan ruang pelayananindeks kinerja pelayanan Kecamatan Dramaga lebih baikdari Kecamatan Katapang. Kondisi yang sama juga terjadipada tingkat kesesuaian antara persepsi responden akankualitas pelayanan dengan harapan responden akankualitas pelayanan kecamatan (gambar 9), dimanaKecamatan Katapang memiliki tingkat kesesuaian yanglebih tinggi dari Kecamatan Dramaga untuk hampirseluruh atribut pelayanan.

Terdapat perbandingan kualitas pelayanan izin-izinusaha dan izin gangguan di Kecamatan Ketapang danKecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayananpublik di Kecamatan Katapang lebih baik dari KecamatanDramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata

Gambar 5. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan PelayananAdminsitrasi Kependudukan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

Pelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, KecamatanDramaga, Kabupaten Bogor

Pelayanan IMB, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

92 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Gambar 6. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Gambar 7. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan

Terdapat perbandingan kualitas pelayanan

Page 37: Bisnis-Birokasi

indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha (SITU, SIUP)dan izin gangguan (HO) Kecamatan Katapang yang lebihtinggi (3.34) dari rata-rata indeks kinerja pelayananpelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan KecamatanDramaga (3.03). Selain itu, rata-rata tingkat kesesuaianyang lebih tinggi pada Kecamatan Katapang (76.70%)dibanding tingkat kesesuaian pada Kecamatan Dramaga(71,49%).

Jika ditinjau dari masing-masing atribut pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan, sebagian besar atributpelayanan Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerjayang lebih tinggi dibanding indeks kinerja KecamatanDramaga (gambar 10). Hanya pada atribut nomor 2 yaknikenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruangpelayanan dan atribut nomor 3 yakni pengaturan loketpelayanan indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha danizin gangguan Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari padaindeks kinerja Kecamatan Katapang.

Sedangkan jika ditinjau dari tingkat kesesuaian untukmasing-masing atribut, Kecamatan Katapang jugamemiliki tingkat kesesuaian antara persepsi respondenakan kualitas pelayanan dengan harapan responden akankualitas pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguanyang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (gambar 11).Atribut nomor 2 yakni kenyamanan, kebersihan, dankerapihan ruang pelayanan, atribut nomor 3 yaknipengaturan loket pelayanan dan atribut nomor 20 yaknikemudahan menghubungi pegawai, jika ada masalahdalam pengurusan SITU dan HO Kecamatan Dramagamemiliki tingkat kesesuain pelayanan yang sedikit lebih

atri

but

Kecamatan Katapang Kecamatan Dramaga

Adm Kpddk Izin usaha dan gangguan IMB Adm Kpddk Izin usaha dan

gangguan IMB

Indeks kinerja

Tkt ke- sesuaian

Indeks kinerja

Tkt ke- sesuaian

Indeks kinerja

Tkt ke- sesuaian

Indeks kiner ja

Tkt ke- sesuaian

Indeks kinerja

Tkt ke- sesuaian

Indeks kiner ja

Tkt ke- sesuaian

1 3.60 88 .24% 3.53 90.21% 3.56 86.41% 3.40 84.16% 3.48 85.29% 3.39 89.71% 2 3.32 76 .15% 3.48 80.69% 3.36 80.77% 3.36 80.77% 3.52 83.02% 3.42 84.83% 3 3.36 80 .77% 3.38 77.19% 3.36 77.78% 3.24 74.31% 3.48 78.38% 3.33 75.95% 4 3.08 68 .75% 3.33 74.07% 3.12 71.56% 3.00 63.56% 3.28 71.30% 3.11 68.71% 5 3.60 81 .08% 3.32 78.66% 3.48 85.29% 3.12 70.91% 3.32 74.11% 3.31 71.69% 3.39 79.00% 3.41 80 .16% 3.38 80.36% 3.22 74.74% 3.42 78.42% 3.31 78.18%

6 3.20 72 .73% 3.13 68.61% 3.40 77.98% 2.92 64.04% 2.68 60.36% 2.47 53.61% 7 3.08 66 .38% 2.93 64.71% 3.20 73.39% 2.76 62.16% 2.80 63.06% 2.72 64.05% 8 3.52 79 .28% 3.43 75.46% 3.52 78.57% 3.28 73.21% 3.12 72.90% 3.28 73.75% 9 3.12 70 .27% 3.38 75.75% 3.20 73.39% 2.64 60.00% 2.52 59.43% 2.67 59.63%

10 3.16 75 .24% 3.32 75.38% 3.20 74.77% 2.76 62.73% 2.84 67.62% 2.67 60.38% 3.22 72.78% 3.24 71 .98% 3.30 75.62% 2.87 64.43% 2.79 64.67% 2.76 62.28%

11 3.20 68 .97% 3.15 70.79% 3.52 78.57% 2.76 63.89% 2.80 66.04% 3.03 70.78% 12 3.24 71 .05% 3.55 79.48% 3.48 79.09% 2.88 69.23% 2.92 69.52% 2.86 67.76% 13 3.44 76 .79% 3.45 79.62% 3.60 85.71% 2.96 68.52% 3.28 78.85% 2.97 68.15%

3.29 72.27% 3.38 76 .63% 3.53 81.13% 2.87 67.21% 3.00 71.47% 2.95 68.90% 14 3.20 76 .19% 3.10 79.49% 3.24 80.20% 2.20 47.41% 2.40 53.57% 2.64 61.69% 15 2.92 72 .28% 3.25 77.38% 3.08 73.33% 2.68 70.53% 2.88 75.79% 3.06 85.27% 16 3.24 75 .00% 3.45 76.95% 3.52 83.81% 2.92 68.87% 2.84 68.93% 2.92 70.95% 17 3.04 70 .37% 3.55 80.08% 3.44 79.63% 3.08 71.30% 3.32 79.05% 3.47 73.10%

3.10 73.46% 3.34 78 .47% 3.32 79.24% 2.72 64.53% 2.86 69.34% 3.02 72.75% 18 3.48 81 .31% 3.22 76.89% 3.56 81.65% 2.96 75.51% 3.12 74.29% 3.22 76.82%

19 3.24 73 .64% 3.47 80.31% 3.44 78.90% 2.52 60.00% 3.04 72.38% 3.11 75.17%

20 3.32 75 .45% 3.30 72.26% 3.40 75.22% 2.64 68.75% 3.04 76.00% 3.14 70.63%

3.35 76.80% 3.33 76 .49% 3.47 78.59% 2.71 68.09% 3.07 74.22% 3.16 74.20% ¶ 3.27 75.00% 3.34

76 .70%

3.38 78.80% 2.90 67.99% 3.03

71.49% 3.04 71.13%

Tabel 3. Perbandingan Kinerja Pelayanan dan Tingkat Kesesuaian Pelayanan Publik antara Kecamatan Katapang dan KecamatanDramaga

Gambar 8. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut PelayananAdministrasi Kependudukan pada Kecamatan Katapang danKecamatan Dramaga

Gambar 9. Perbandingan Tingkat Kesesuaian AtributPelayanan Administrasi Kependudukan pada KecamatanKatapang dan Kecamatan Dramaga

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 93

Page 38: Bisnis-Birokasi

Gambar 10. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut PelayananIzin-Izin Usaha dan Izin Gangguan pada Kecamatan Katapang

Gambar 11. Perbandingan Tingkat Kesesuaian AtributPelayanan Izin-Izin Usaha dan Izin Gangguan

tinggi dibanding Kecamatan Katapang.Terdapat perbandingan kualitas izin mendirikan

bangunan di Kecamatan Katapang dan KecamatanDramaga. Tabel 4 diatas juga menggambarkanperbandingan kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaianuntuk seluruh atribut pelayanan izin mendirikanbangunan (IMB) pada Kecamatan Kecamatan Katapangdan Kecamatan Dramaga. Sama seperti pada pelayananadministrasi kependudukan dan pelayanan izin-izinusaha izin gangguan, pada pelayanan izin mendirikanbangunan pun secara umum kualitas pelayananKecamatan Katapang lebih baik dari Kecamatan Dramaga(tabel 6). Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rataindeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Katapang lebihtinggi (3.38) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan IMBKecamatan Dramaga (3.04) serta rata-rata tingkatkesesuaian pelayanan Kecamatan Katapang lebih tinggi(78.80%) dibanding tingkat kesesuaian pelayananKecamatan Dramaga (71,13%).

Jika ditinjau dari indeks kinerja masing-masing atribut

Gambar 12. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut PelayananIMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga

pelayanan IMB, sebagian besar atribut pelayananKecamatan Katapang memiliki indeks kinerja yang lebihtinggi dibanding indeks kinerja Kecamatan Dramaga(gambar 12). Hanya untuk atribut 2 yakni Kenyamanan,kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan dan atribut17 yakni jaminan keamanan dalam pelayanan IMB(keamanan surat2/berkas), keamanan diruang tungguindeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Dramaga lebihbaik dari Kecamatan Katapang.

Mengenai kesesuaian pelayanan IMB, KecamatanKatapang memiliki tingkat kesesuaian yang lebih baikdari Kecamatan Dramaga (gambar 13). Hanya pada atribut1 yaitu Fasilitas dan keadaan fisik gedung kantorKecamatan, atribut yaitu kenyamanan, kebersihan, dankerapihan ruang pelayanan dan atribut 15 yaitumekanisme atau jalur pengaduan, jika pengguna layananmengalami masalah dalam pengurusan IMB KecamatanDramaga memiliki tingkat kesesuaian pelayanan IMByang lebih baik dari Kecamatan Katapang. Untuk atribut-atribut lainnya tingkat kesesuaian pelayanan IMB

Gambar 13. Perbandingan Tingkat Kesesuaian AtributPelayanan IMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

94 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Page 39: Bisnis-Birokasi

AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 95

Kecamatan Katapang lebih baik dari Dramaga.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwaKecamatan Katapang, Kabupaten Bandung memilikikualitas pelayanan yang lebih baik dibanding KecamatanDramaga, Kabupaten Bogor. Seperti pendelegasiankewenangan bupati kepada camat yang relatif berjalanlebih efektif di Kabupaten Bandung dibandingKabuputen Bogor. Komitmen kuat pemerintahKabupaten Bandung juga diperlihatkan meningkatkanproduk hukum pendelegasian kewenangan bupati kepadacamat dari Keputusan Bupati menjadi peraturan daerah.

Meski demikian, masih terdapat sejumlah catatan yangmenandai bahwa kualitas pelayanan publik kecamatan,setelah perubahan kedudukan dan fungsi kecamatansebagai perangkat daerah, masih belum optimal. Hal iniditunjukkan oleh indeks kinerja seluruh dua puluh atributpada ketiga jenis pelayanan (pelayanan adminsitrasikependudukan, pelayanan izin usaha dan izin gangguan,dan pelayanan IMB) yang lebih rendah dari indekskepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Bahill, A.T. and B. Gissing.1998. Re-evaluating systems engi-neering concepts using systems thinking, IEEE Transactionson Systems, Man and Cybernetics, Part C: Applications andReviews, Vol. 28, No. 4 (November).

Brady, Michael K. Brady and J. Joseph Cronin Jr. 2001. SomeNew Thoughts on Conceptualizing Perceived Service Qual-

ity: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65,No. 3 (July).

Dwiyanto, Agus 2005. Mewujudkan Good Governance melaluiPelayanan Publik . Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi. JurnalAdministrasi Negara Vol. I, No. 02, (Maret).

Jiang, James J., Gary Klein, L. Christopher. Carr. 2002. Measur-ing Information System Service Quality: SERVQUAL fromthe Other Side. MIS Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Juni).

Kinseng A. Rulius. 2008. Kecamatan di Era Otonomi Daerah:Kekuasaan dan Wewenang serta Konflik Sosial.

Prasojo, Eko, Aditya Perdana dan Nor Hiqmah. 2006. KinerjaPelayanan Publik, Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja,Keterlibatan dan Partispasi Masyarakat dalam PelayananBidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan ,YAPPIKA. Jakarta.

Reed, Daryl. 2002. Corporate Governance Reforms in Develop-ing Countries. Journal of Business Ethics, Vol. 37, No. 3,Corporate Governance Reforms in Developing Countries(May).

Ridwan, Irfan. 2005. Desentralisasi dan Instansi Vertikal: CatatanKritis UU No. 32 Tahun 2004. Jurnal Ilmu Administrasi danOrganisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume XII, Nomor 2 (Mei).

Rosyidi, Unifah. 2007. Reformasi Administrasi Sub Nasional:Analisis Reformasi Pemerintahan Kecamatan Kota Bogor.Disertasi, Program Pasca Sarjana Ilmu Adminsitrasi FISIPUniversitas Indonesia.

Saragih, Ferdinand D. 2005. Menciptakan Pelayanan Publik yangPrima Melalui Metode Benchmarking Prakts. Jurnal IlmuAdministrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3(September).

Wasistiono, Sadu. 2005. Optimalisasi Peran dan FungsiKecamatan, Modul Badan Diklat Depdagri-JICA.

Zaithaml, A. Vallerie, A Passuraman and Leonard L. Berry. 1990.Delivering Quality Service: balancing Customer Perceptionand Expectation: Maxwell Macmillan, Canada.

Zauhar, Susil. 2001. Administrasi Pelayanan Publik: SebuahPerbincangan Awal. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 No.2, (Maret).

Page 40: Bisnis-Birokasi

Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak BadanERWIN HARINURDIN1*

1Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Abstract. This research was carried out to research the behavior of the company’s tax compliance especially the big company that was registered in the Large Tax Of ce in Jakarta. The design of this research was the survey research by using the instrument of the questionnaire. The data in the analysis by using Structural Equation Modeling (SEM) with the LISREL program 8,54. This research found proof that was the same as the research beforehand Bradley (1994), Bobek (2003), Lussier (200), Sihaan (2005) and Mustikasari (2007) those are (1) the Perception of the control behavior have positive and signi cant the professional intention to the tax compliance. (2) the professional intention have in uential tax positive and signi cant of the company’s tax compliance, (3) the Perception of the condition for the company’s have positive and signi cant of the company’s tax compliance, (4) the Perception of the company’s facilities have positive and signi cant the company’s tax compliance, (5) the Perception of the Climate Organization have positive and signi cant of the company’s tax compliance. Whereas the variable (6) the perception of the control behavior have not signi cant was directly of the company’s tax compliance.

Keywords: perceived behavioral control, tax professional intention, company’s tax compliance.

PENDAHULUAN

Perpajakan merupakan salah satu instrumen kebijakan skal yang dinamis, penerapannya harus senantiasa mengikuti dinamika perekonomian, baik domestik maupun internasional (Rosdiana, 2006). Mengingat adanya dua fungsi yang melekat pada pajak (budgetair dan regulerend), maka dalam pemungutan pajak bukan hanya ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan momentum pertumbuhan ekonomi, juga menggenjot penerimaan negara. Oleh karena itu, setiap tahun Dirjen Pajak dituntut untuk selalu meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan (Rahayu, 2007).

Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, penerimaan dari sektor pajak di Indonesia mengalami tren yang selalu meningkat. Hingga saat ini tidak kurang dari 76% anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2008 dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak. Sebagai sebuah kebijakan yang lebih memandang ke dalam (inward looking policy), penerimaan dari sektor pajak diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta mampu membangkitkan kembali kepercayaan diri bangsa Indonesia. Ini selaras dengan misi yang diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas pajak yang berkompeten di negeri ini, yaitu menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak guna menunjang kemandirian pembiayaan APBN (Iswahyudi, 2005).

Pada akhir tahun 2005, tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia sebesar 12,3% menurun dibandingkan pada tahun 2003 yaitu 13,5%. Tax ratio Indonesia masih di bawah angka rata-rata internasional yang

mencapai sebesar 20%. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa negara yang berpendapatan perkapita lebih rendah, tax ratio Indonesia masih dibawah Pa-kistan dan Srilangka yang memiliki tax ratio 13,76% dan 19,8% (Gunadi, 2005).

Dari gambaran sebelumnya, ada dua implikasi utama berkaitan dengan rendahnya tax ratio. Pertama, pada satu sisi mencerminkan rendahnya kepatuhan pajak (tax com-pliance) masyarakat sehingga jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan masih relatif sedikit dibandingkan dengan basis pajak (tax base) yang ada. Kedua, relatif rendahnya jumlah pajak yang dikumpulkan dibanding dengan basis pajak yang ada juga memberikan harapan untuk peningkatan peneriman pajak selanjutnya. Dengan kata lain, masih tersedia ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak (Gunadi, 2005).

Menurut Simon (2003) seperti yang dikutip oleh Gunadi (2005) pengertian kepatuhan pajak (tax com-pliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu ada pemeriksaan, investigasi sek-sama (obtrusive investigation), peringatan, ancaman, dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajak-kannya akan meningkatkan penerimaan negara dan pada gilirannya akan meningkatkan besarnya rasio pajak (Nurmantu, 2007).

Melayani wajib pajak berarti melakukan komuni-kasi dengan wajib pajak. Isi pesan yang disampaikan skus adalah tangibles terkait pada lingkungan layan-an itu disampaikan; reability terkait pada kinerja dan kepercayaan; responsiveness terkait dengan kemauan untuk membantu langganan; courtesy terkait dengan perilaku pihak yang melayani seperti kesopanan dan keramah-tamahan; communication terkait pada ke-*Korespondensi: +6281 8715 832; [email protected], [email protected]

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 96-104 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 41: Bisnis-Birokasi

kemampuan menyampaikan pesan sehingga dapat dipahami oleh pelanggan (Nurmantu, 2007). Berla-kunya ‘self assessment” di Indonesia mempunyai pe-ranan wajib pajak dalam menentukan penerimaan negara dari sektor pajak. Masalahnya, apakah kepa-tuhan pajak sudah mendukung pelaksanaan sistem tersebut (Mansury, 2000). Sistem self assessment,wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang ter-hutang. Sistem self assesment diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada wajib pajak (Rahayu, 2007). Implikasi dari sistem ini adalah bahwa instansi yang bertugas memungut pajak harus memiliki kemampuan baik untuk mengadministrasikan pajak, serta wajib pajak harus diawasi oleh skus sehingga dapat diketahui apakah kewajiban perpajakan telah dijalankan dengan benar oleh wajib pajak. Dari data wajib pajak yang telah diadministrasikan akan terlihat apakah wajib pajak tersebut telah patuh atau belum (Brotodihardjo, 1998).

Tax Compliance atau kepatuhan pajak diartikan sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilannya secara akurat dan jujur. Dari kondisi ideal tersebut, kepatuhan pajak dide nisikan sebagai suatu keadaan

wajib pajak yang memenuhi semua kewajiban per-pajakan dan melaksanakan hak perpajakannya dalam bentuk formal dan kepatuhan material. Konsep ke-patuhan perpajakan di atas sesuai dengan pendapat Yoingco (1997) yang menyebutkan tingkat kepatuhan perpajakan sukarela memiliki tiga aspek yaitu aspek formal, material (honestly), dan pelaporan (reporting).

Penelitian terhadap kepatuhan pajak dapat menggunakan indikator perilaku wajib pajak berdasarkan kerangka mo-del Theory of Planned Behavior (TPB) atau perilaku yang direncanakan. Teori tersebut digunakan untuk menje-laskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Adapun pe-nelitian terhadap persepsi kontrol perilaku dan niat tax professional dapat dilihat pada tabel 1.

Penelitian terdahulu mengenai pengaruh persepsi kontrol perilaku dan Niat Tax Professional terhadap kepatuhan (tabel 1) memperlihatkan bahwa sikap, norma subyektif, niat, dan persepsi kontrol perilaku atau perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Perilaku yang dimunculkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk ber-perilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku di-tentukan oleh 3 faktor penentu, yaitu behavioral be-liefs, normative beliefs, dan control beliefs. Secara ber-urutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap dan niat terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs

control beliefs menghasilkan kontrol perilaku yang dipersepsikan (Ajzen, 2002)

Teori ini menggunakan tiga indikator dalam mengukur kontrol keprilakuan, yaitu pertama, kemungkinan diperiksa oleh skus; kedua, kemungkinan dikenakan sanksi dan; ketiga, kemungkinan pelaporan pihak ketiga (Blathorne, 2000, Bobek dan Har led, 2003, Mustikasari, 2003). Se-dangkan, untuk menjelaskan variabel niat menggunakan indikator kecenderungan dan memutuskan. Hasil penelitian tersebut dapat menunjukkan bahwa variabel kontrol perilaku mempengaruhi secara positif dan signi kan terhadap ni-at. Selanjutnya niat berpengaruh positif dan signi kan terhadap kepatuhan pajak. Persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh yang positif dan signi kan terhadap kepatuhan pajak. Namun menurut hasil penelitian lain, persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh yang negatif dan signi kan terhadap kepatuhan (Mustikasari, 2003).

Penelitian kepatuhan wajib pajak badan/perusahaan berdasarkan indikator perilaku organisasi/perusahaan, yang menggunakan indikator kondisi keuangan, fasilitas perusahaan dan iklim organisasi telah banyak dilakukan. Adapun daftar peneliti yang telah melakukan studi terhadap kepatuhan pajak badan dapat dilihat pada tabel 2.

Dari tabel 2, lebih lanjut Slemrod (1989) menjelaskan pengaruh pro tability dan arus kas terhadap kepatuhan. Perusahaan yang mempunyai pro tabilitas yang tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari pada perusahaan yang mempunyai pro tabilitas ren-

HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 97

Peneliti Hasil Blanthorne (2000) Persepsi – kontrol – perilaku

berpengaruh – positif – terhadap Niat

Bobek dan Hatfield (2003)

Persepsi – kontrol – perilaku dan niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan

Mustikasari (2007) Persepsi – kontrol – perilaku berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan

Tabel 1. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku dan Niat Tax Professional terhadap Kepatuhan

Tabel 2. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kondisi Keuangan, Persepsi Fasilitas Perusahan, dan Persepsi Iklim Organisasi terhadap Kepatuhan

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Peneliti Hasil Reichers dan Scheider (1990)

Iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan

Slemrod (1992) Profitabilitas dan arus kas berpengaruh terhadap kepatuhan

Bradley (1994) Fasilitas – perusahaan – mempunyai pengarauh terhadap kepatuhan pajak

Vardi (2001) Iklim – keorganisasian – berpengaruh terhadap perilaku perusahaan

Lussier (2005) iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan

Siahaan (2005) Perilaku Organisasi bepengaruh positif terhadap kepatuhan

menghasilkan tekanan soial yang dipersepsikan dan

Page 42: Bisnis-Birokasi

98 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104

dah. Perusahaan dengan pro tabilitas rendah pada umumnya mengalami kesulitan keuangan ( nancial dif culty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan pajak. Demikian pula, perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas ada kemungkinan tidak mematuhi peraturan perpajakan dalam rangka upaya untuk mem-pertahankan arus kasnya.

Iklim keorganisasian yang sering digunakan dalam melihat perilaku perusahaan menggunakan tujuh di-mensi, yaitu struktur, kewajiban, imbalan, keakraban, dukungan, identitas organisasi dan loyalitas, dan risiko

(Luissier, 2005). Indikator tersebut dapat digunakan dalam melihat perilaku perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan (Siahaan, 2005).

Lebih jauh lagi, terdapat bukti empiris bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak badan dan bukti tersebut juga telah diteliti lebih lanjut oleh Siahaan (2005) (Bradley, 2005). Ha-sil dari penelitian Siahaan juga memperkuat hasil pe-nelitian Bradley terhadap fasilitas perusahaan.

Perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk mencapai target pajak. Hal ini untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan, maka perlu secara in-tensif dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi ke-patuhan pajak, khususnya wajib pajak badan.

Penelitian mengenai kepatuhan pajak sudah banyak dilakukan. Bradley (1994), Siahaan (2005), dan Mus-tikasari (2007) melakukan penelitian kepatuhan wajib pajak badan dengan responden tax professional. Pe-nelitian tersebut bukan merupakan penelitian perilaku. Tax professional adalah profesional di perusahaan yang ahli di bidang perpajakan. Oleh karena itu, untuk menjelaskan perilaku wajib pajak badan yang diwakili oleh tax professional perlu menggunakan teori perilaku individu dan perilaku organisasi. Perilaku kepatuhan (compliance) atau tidak patuh (noncompliance) wajib pajak sangat dipengaruhi oleh variabel persepsi kon-trol perilaku (Blanthorne, 2000, Bobek, 2003). Ber-dasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian tentang kepatuhan wajib pajak badan adalah (1) mengetahui pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat tax professional untuk berperilaku patuh, (2) mengetahui persepsi kontrol perilaku berpengaruh langsung ter-hadap kepatuhan (3) mengetahui pengaruh niat tax professional terhadap kepatuhan, (4) mengetahui pe-ngaruh persepsi kondisi keuangan perusahaan ter-hadap kepatuhan, (5) mengetahui pengaruh persepsi kondisi fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan, dan (6) mengetahui pengaruh persepsi kondisi iklim organisasi terhadap kepatuhan

METODE PENELITIAN

Berdasarkan pemikiran dan tinjauan literatur serta penelitian-penelitian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis pengaruh perilaku tax profesional dan kondisi organisasi/perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Model yang diba-ngun dalam studi ini melibatkan enam variabel laten, yaitu persepsi kontrol perilaku untuk berperilaku pa-tuh; persepsi kondisi keuangan; persepsi fasilitas pe-rusahaan; persepsi iklim organisasi; niat tax profes-sional dan; kepatuhan pajak badan. Berdasarkan hi-potesis penelitian maka predicted sign dapat dilihat dalam gambar 1, sedangkan model penelitian dilihat

X1_1

X1_2

X1_3

X1_4

X1_5

X1_6

X2_1

X2_2

X3_1

X3_2

X3_3

X4_1

X4_2

X4_3

X4_4

Y1_1

Y1_2

Y2_2

Y2_3

Y2_4

Y2_5

Y2_6

Y2_7

Y2_8

Y2_1

X4_5

X4_6

PERILAKU

KEUANGAN

Fasilitas

Iklim_Or

KEPATUHAN

NIAT

H5 (+)

H4 (+)

H2(+) H3 (+)

H1 (+)

H6 (+)

Gambar 1. Gambar Model Penelitian dengan Predicted SignSumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

PERILAKU

KEUANGAN

Fasilitas

Iklim_Or

KEPATUHAN

NIAT

Blanthorne (2000), Bobek & Hatfield

Blanthorne (2000), Bobek & Hatfield (203)

Hanno & Violette (1996)

Blanthore (2000)

Bobek (2003)

Slemrod (1992),

Slemrod (1992)

Bradley (1994),

Reicher & Schneider (1990)

Vardi (2001)

Gambar 2. Gambar Model PenelitianSumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Page 43: Bisnis-Birokasi

HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 99

pada gambar 2.Penelitian ini akan menguji hipotesis pengaruh

perilaku individu dan kondisi organisasi atau per-usahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan mengguna-kan analisis untuk mendapatkan gambaran penga- ruh perilaku individu dan kondisi organisasi atau perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan perangkat lunak yang disebut Linear Structural Relationship (LISREL). Peneliti menggunakan SEM karena ada salah satu variabel laten endogen yang berfungsi sebagai variabel dependen dan berfungsi juga sebagai variabel independen untuk varaibel laten lainnya serta pengujiannya dilakukan secara simultan dan bersamaan sehingga tidak bisa menggunakan analisis multiple regresi. Selain itu, penggunaan SEM untuk menggambarkan model al-ternatif dan menguji kecocokan model serta hipotesis model berdasarkan data sampel.

Populasi penelitian ini adalah perusahaan besar yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar karena pada umumnya perusahaan besar memiliki sistem informasi akuntansi formal (Bouwens dan Abernethy, 2000; Siahaan, 2005) memungkinkan tax professional untuk menyusun pelaporan pajak badannya. Lokasi penelitian adalah kantor pajak per-tama yang menerapkan administrasi perpajakan mo-dern berdasarkan sistem teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan, kepatuhan, dan penerimaan negara.

Data-data yang diperoleh dari survei lapangan dianalisis dengan menggunakan model Structural Equation Model-ing (SEM). Oleh karena itu, ukuran sampel yang sesuai jika menggunakan teknik Maximum Likelihood Estimation dalam pemodelan ini antara 100–150 sampel (Ferdinand, 2002). Teknik pengambilan sampel dila-kukan dengan cara strati ed random sampling yaitu pengambilan sampel perusahaan besar. Populasinya adalah seluruh wajib pajak badan kantor pelayanan pajak (KPP) Wajib Pajak Besar. Kuesioner dikirimkan ke perusahaan melalui Account Representative yang terdapat di KPP tersebut untuk selanjutnya dikirimkan kepada wajib pajak.

Responden yang dijadikan sasaran adalah ahli pajak atau staf pajak atau yang lebih dikenal dengan sebutan tax professional yang bekerja pada perusahaan tersebut dengan kriteria perusahaan telah terdaftar minimal dua tahun, dan pernah mengisi SPT. Persyaratan tersebut dibuat agar sampel yang diambil dapat obyektif dalam mengukur kepatuhan pajak. Adapun kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, adalah wajib pajak patuh yang memenuhi semua syarat se-bagai berikut. (a) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan tahunan dalam dua tahun terakhir; (b) dalam tahun terakhir, penyampaian SPT Masa yang

terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; (c) SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; (d) tidak mempunyai tung-gakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pa-jak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk dua masa pajak terakhir; dan (e) tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.

Pada penelitian ini, variabel perilaku yang diteliti menggunakan kerangka Theory of Planned Behavior (TPB), untuk menggali keyakinan-keyakinan perilaku (behavioral beliefs), dan keyakinan-keyakinan kendali (control beliefs) responden, yang mendorong wajib pajak berperilaku patuh dan tidak patuh.

Variabel teramati merupakan variabel yang dapat diamati atau diukur secara empiris, sering pula disebut sebagai indikator (Wijanto, 2006). Pada penelitian ini setiap pertanyaan yang ada dalam kuesioner mewakili sebuah variabel teramati. Semua jawaban atas butir-butir pertanyaan akan diukur dalam skala likert 7 point. Penggunaan skala likert 7 points telah digunakan oleh Siahaan (2005) dan Mustika (2007).

Untuk melihat klasi kasi variabel laten dan vari-abel indikator dalam penelitian ini dapat dilihat pa-pada tabel 3. Data yang terkumpul melalui daftar kuesioner yang telah diisi oleh responden dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan alat aplikasi program yang disebut LISREL. Model yang akan dianalisis dengan SEM harus me-miliki kerangka teori yang mendukungnya, yaitu teori tax compliance dengan pendekatan teori perilaku in-dividu dan teori perilaku organisasi. Kontrol kepe-rilakuan dalam kerangka konsep dan teori sudah di-paparkan memberikan pengaruh yang kuat dalam niat perilaku individu, sementara teori tax compliance yang menyatakan bahwa kepatuhan perpajakan dipengaruhi oleh kontrol keperilakuan, niat, kondisi dan perilaku organisasi seperti struktur, rewards, punishment, tek-nologi informasi, perpustakaan.

Korelasi antarvariabel merupakan alat ukur yang utama dalam SEM dengan menggunakan faktor-faktor utama tipe skala pengukuran: rentang nilai (range of values) yang homogen, timpang atau kurtosis, linear, jumlah sampel yang cukup (mewakili dan tepat), signi kan, dan kuat (Schumacker dan Lomax, 1996). Skala pengukuran yang digunakan dapat memakai skala nominal, ordinal, interval, atau rasio, akan tetapi tidak direkomendasikan untuk menggunakan skala yang berbeda dalam matriks korelasi.

Korelasi pearson product-moment digunakan sebagai dasar analisis regresi, path, analisis faktor, dan structural equation modeling. Mengukur nilai variabel digunakan skala numerical (1-7 atau 1-9) sehingga

Page 44: Bisnis-Birokasi

100 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104

mendapatkan pengukuran interval atau rasio (Schuma-cker dan Lomax, 1996). Skala pengukuran yang sama akan sangat membantu dan memudahkan interpretasi hasil dan perbandingan variabel.

Kerangka teori yang digunakan akan sangat menentukan dalam menginterpretasikan korelasi antar variabel. Bisa saja didapatkan korelasi antar variabel yang kuat, akan tetapi hubungan antar variabel tersebut tidak bermakna sama sekali. Hubungan antar variabel yang digunakan sebagai dasar sebuah model berasal dari kerangka teori yang jelas dan masuk akal, serta telah menjadi kesepakatan di antara pakar dalam disiplin ilmu tersebut.

Model yang akan diuji dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi kontrol perilaku, niat, kondisi keuangan, iklim organisasi, dan perilaku organisasi terhadap kepatuhan pajak. Pengujian model menggunakan structural equation modeling (SEM), yang akan mengestimasi model hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen.

Prosedur SEM dilakukan dengan langkah-langkah (1) spesi kasi model; (2) identi kasi; (3) estimasi; (4) uji kecocokan; dan (5) respesi kasi (Bollen dan Long, tt; Wijanto, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Structural Equation ModelingBerdasarkan output analisis SEM diperoleh nilai-

nilai yang digunakan sebagai acuan dalam pengujian model secara keseluruhan. Pengujian kesesuaian ke-seluruhan model berdasarkan daftar ukuran goodness of t yang dikompilasi dari Hair dkk. (1995), Chin dan Todd (1985), Doll, Xia, dan Tordadeh (1994), Joreskog dan Sorbon (1993), dan Byrne (1998) dalam Wijanto (2006). Berdasarkan tabel 4 maka dapat disimpulkan bahwa keseluruhan nilai memenuhi model t. Semua variabel memenuhi kriteria dan derajat kesesuaian model pengukuran adalah baik (good- t). Jadi, dapat disimpulkan bahwa model isi secara keseluruhan me-miliki kecocokan yang tinggi di antara semua variabel laten dan semua variabel teramati ( lihat tabel 4).

Kecocokan model dengan tingkat kecocokan yang baik. Diperoleh nilai P-Value sebesar 0,08737 yang berada di atas nilai minimal yang disyaratkan yaitu sebesar 0,050. Nilai P-Value ini mendukung kecocokan, sementara itu kecocokan model ini juga didukung oleh nilai GFI yang disyaratkan mendekati 1. Nilai GFI diperoleh sebesar 0,96. Nilai RMSEA sebesar 0.037 menunjukan model yang baik karena lebih kecil di 0,050. Nilai NNFI sebesar 0.96 (bernilai lebih besar di 0.90) menunjukkan model baik (good t). Semakin tinggi nilai NNFI atau nilainya mendekati (1), maka semakin baik model. Berdasarkan pada nilai-nilai koe sien, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum, model yang diperoleh memiliki tingkat

No Variabel Variabel Indikator

1 Niat tax professional berperilaku patuh (Y1)

1. Kecenderungan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak 2. Keputusan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak

2 Kepatuhan pajak badan (Y2) 1. Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance) 2. Kepatuhan pembayaran (payment compliance) 3. Kepatuhan pelaporan (reporting compliance)

3 Persepsi kontrol perilaku (X1) 1. Kemungkinan diperiksa pihak fiskus 2. Kemungkinan dikenai sanksi 3. Kemungkinan pelaporan oleh pihak ketiga

4 Persepsi tentang kondisi keuangan (X2)

1. Kondisi arus kas tahun terakhir 2. Laba sebelum pajak tahun terakhir

5 Persepsi tentang fasilitas perusahaan (X3)

1. Kecukupan tax professional perusahaan 2. Perpustakaan 3. Sistem informasi

6 Persepsi tentang Iklim Organisasi (X4)

1. Struktur 2. Imbalan (reward) dan hukuman ( punishment) 3. Dukungan atasan 4. Dukungan sesama (keakraban) 4. Risiko 6. Kewajiban

Tabel 3. Klasi kasi Variabel Laten dan Variabel Indikator

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Tabel 4. Uji Kecocokan pada Beberapa Kriteria Goodness of Fit Index

Page 45: Bisnis-Birokasi

HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 101

kecocokan yang baik.

B. Pengujian Jalur Individual–Measurement ModelSetelah dilakukan pengujian secara keseluruhan,

langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian se-secara individual, yaitu untuk melihat apakah seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki tingkat signi kansi yang tinggi atau tidak. Untuk mengetahui apakah ma-sing-masing jalur memiliki tingkat signi kansi yang tinggi atau tidak dilakukan dengan melihat nilai t-hitung yang diperoleh. Sebuah jalur dikatakan signi kan jika nilai t-hitung untuk jalur tersebut lebih besar dari 1,96 (lihat gambar 3, berisikan nilai-nilai T-Value dan Standardized Solution untuk seluruh koe sien jalur).

Dari gambar 4 terlihat bahwa seluruh jalur dari model pengukuran memiliki nilai t-hitung yang lebih besar dari 1,96 dan dapat disimpulkan bahwa seluruh koe sien jalur model pengukuran tersebut signi kan. Rangkuman hasil P-values dan standarized solution pada hasil output LISREL 8.54 dapat dilihat pada tabel 4.

Dari gambar dan tabel sebelumnya terlihat bahwa seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki t-hitung lebih besar dari 1.96 dan p-value di bawah 0.05 se-hingga dapat disimpulkan bahwa seluruh koe sien jalur tersebut signi kan.

C. Pengujian Jalur Individual – Structural ModelUntuk pengujian jalur individual masing-masing

variabel dapat dilihat dari nilai T-Value masing-masing variabel. Nilai T-Value masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 5.

Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap ke-patuhan pajak menghasilkan variabel persepsi kontrol perilaku tidak signi kan mempengaruhi kepatuhan. Ini

ditunjukkan oleh nilai signi kansi P-value 0.184 lebih besar dari alpha 0.05 dan lebih kecil nilai nilai T-Value yaitu 1.33 dari pada T-tabel 1.96.

Koe sien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.14 (0.0196). Karena memiliki T-value yang lebih kecil dari T-tabel, maka nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang diukur sertakan dalam model, variable persepsi kontrol perilaku tidak memiliki pengaruh yang signi kan dalam pembentukan kepatuhan (compliance).

Tidak sini kannya pengaruh langsung persepsi kontrol perilaku terhadap kepatuhan (compliance) dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang disimpulkan sama oleh Bobek dan Hat eld (2003) dan Blanthorne (2000). Variabel persepsi kontrol perilaku bisa membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap kepatuhan (Bobek dan Hat eld, 2003, Blanthorne, 2000. Sedangkan peneliti lain membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak badan (Mustikasari, 2007). Tidak signi kannya hasil pene-litian terhadap variabel persepsi kontrol perilaku mem-pengaruhi kepatuhan berarti bahwa persepsi kontrol tax professional atas kontrol yang dimilikinya tidak mampu mendorong badan untuk berperilaku patuh. Semakin rendah persepsi atas kontrol yang dimiliki tax professional, maka akan mendorong perilaku tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan ba-dan yang diwakilinya.

Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap niat tax professional menghasilkan variabel persepsi kontrol perilaku signi kan mempengaruhi niat un-tuk berperilaku patuh. Ini ditunjukkan oleh nilai sig-ni kansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 3.84 dan

Gambar 3. Gambar T-Value dari Persamaan Model StrukturalSumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54

Gambar 4. Gambar Standarized Solution untuk Model Persamaan StrukturalSumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54

Page 46: Bisnis-Birokasi

102 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104

P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05

Koe sien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.41 (0.1681). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang di-ikut sertakan dalam model, persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan niat untuk berperilaku patuh.

Adanya pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat dalam penelitian ini ternayata juga disimpulkan sama oleh Bobek dan Hat eld (2003) dan Hanno dan Violette (1996). Variabel persepsi kontrol prilaku berpengaruh positif terhadap niat (Bobek dan Hat eld, 2003, Hanno dan Violette, 1996).

Pengujian niat tax profesional terhadap kepatuhan pajak menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi se-cara signi kan oleh variabel niat. Ini ditunjukkan oleh

nilai signi kansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 2,99 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.003 masih lebih kecil dari alpha 0.05.

Koe sien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.116 (0.0256). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang di-ukur sertakan dalam model, variabel niat memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan kepatuhan.

Adanya pengaruh niat terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Bobek dan Hat eld (2003) dan Hanno dan Violette (1996). Keempat peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan. Niat yang diwakili oleh kecenderungan dan keputusan berarti bahwa niat seseorang belum tentu diwujudkan dalam perilakunya. Pengaruh teka-nan orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk ber-perilaku patuh.

Pengujian kondisi keuangan perusahaan menghasil-kan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signi kan oleh variabel kondisi keuangan. Ini ditunjukkan oleh nilai signi kansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 4.41 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05.

Adanya pengaruh kondisi keuangan terhadap kepa-tuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Slemrod dan Watts Zimmerman (Siahaan, 2005) dan Bradley (1994). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variable kondisi keuangan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan.

Pengujian kondisi fasilitas perusahaan menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signi kan oleh variabel fasilitas perusahaan. Ini ditunjukkan oleh nilai signi kansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 5.57 nilai P-Value-nya sebesar 0.050 masih lebih kecil sama dengan dari alpha 0.05.

Adanya pengaruh fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Siahaan (2005) dan Bradley (1994). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel fasilitas berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan.

Pengujian iklim organisasi menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signi kan oleh variabel iklim organisasi. Ini ditunjukkan oleh nilai signi kansi yang sama dari 1,96 yaitu 1.96 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05.

Adanya pengaruh iklim organisasi terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Vardi (2001) dan Lussier (2005). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan.

Nilai pengaruh dari persepsi kontrol perilaku terhadap niat dan persepsi kontrol perilaku, kondisi keuangan perusahaan, kondisi fasilitas perusahaan, dan kondisi iklim perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan hasil pengaruhnya secara keseluruhan

Variabel Indikator Faktor Muatan T-Value P-Value

KONTROL PERILAKU

Sikap WP Diperiksa 0.84 10.76 0,000 Sikap WP Dikenai Sanksi 0.83 10.25 0,000 Sikap WP Dilaporkan Pihak Ketiga 0.74 8.72 0,000 Sikap Perusahaan Diperiksa 0.86 10.64 0,000 Sikap Perusahaan Dikenai Sanksi 0.85 10.81 0,000 Sikap perusahaan Dilaporkan Pihak Ketiga 0.72 8.42 0,000

KONDISI KEUANGAN

Arus Kas 0.95 12.79 0,000 Laba Sebelum Pajak 0.99 13.86 0,000

KONDISI FASILITAS

Jumlah Tax Profesional 0.87 11.06 0,000 Perpustakaan 0.89 11.33 0,000 Sistem Informasi 0.88 11.11 0,000

KONDISI IKLIM ORGANISASI

Wewenang 0.77 8.98 0,000 Reward 0.76 8.91 0,000 Dukungan dari atasan 0.85 10.54 0,000 Dukungan sesame rekan 0.73 8.40 0,000 Resiko pribadi 0.84 10.36 0,000 Resiko perusahaan 0.81 9.74 0,000

NIAT Cenderung 0.85 ------ ----- Memutuskan 1.06 9.36 0,000

KEPATUHAN

Denda SPT Masa 0.85 ------ ------ Denda SPT Tahunan 0.91 12.89 0,000 Bunga Keterlambatan 0.77 9.75 0,000 Bunga Kekurangan 0.87 11.92 0,000 Akuntan yang tdk masalah 0.85 10.67 0,000 Wajar Tanpa Pengecualian 0.87 12.08 0,000 Koreksi Fiskal 0.84 8.88 0,000 Tindak Pidana 0.85 11.31 0,000

Tabel 5. Faktor Muatan (Loading Factor) dan Nilai t Hasil

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel 2003

Tabel 6. T-Value dan Signi kansi2003

Perhitungan

Page 47: Bisnis-Birokasi

HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 103

ditampilkan pada tabel 6.Terlihat dari tabel 7 bahwa pengaruh total terhadap

niat adalah sebesar 0,17, sedangkan terhadap kepatuhan pajak badan adalah sebesar 0,75. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari empat variabel laten yang diteliti, variabel kondisi keuangan perusahaan, fasilitas perusahaan kondisi perusahaan, dan iklim perusahaan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tax professional untuk patuh dalam menjalankan ke-wajiban perpajakan perusahaannya sedangkan variabel persepsi control perilaku tidak dapat mendorong tax professional untuk berperilaku patuh. Variabel kontrol tax professional hanya berpengaruh cukup kecil terhadap niat untuk berperilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya kontrol perilaku, niat, dan kondisi organisasi atau pe-rusahaan serta manfaat patuh terhadap peraturan per-pajakan bagi banyak pihak. Bagi organisasi atau peru-sahaan dapat memberikan gambaran mengenai kondi-si perusahaan sangat berpengaruh terhadap kepatuhan pajak sehingga sangat penting untuk meningkatkan kinerja kondisi perusahaan. Bagi tax profesional niat untuk patuh sangat dipengaruhi oleh kontrol perilaku. Jadi, penting untuk mengetahui dan menjaga kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh terhadap pajak. Terakhir bagi pemerintah, kondisi pelayanan dan teknologi juga mempengaruhi wajib pajak untuk bersikap patuh.

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, persepsi kontrol perilaku tidak signi kan berpengaruh langsung pada kepatuhan pajak. Perihal bahwa persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya tidak sesuai dengan badan yang dilayaninya. Kedua, persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh positif yang signi kan terhadap niat. Berarti semakin tinggi persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong ke-patuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Badan yang dilayani. Ketiga, kondisi keuangan mempunyai pengaruh positif yang signi kan terhadap Kepatuhan Pajak. Jadi, jika tax professional mempunyai persepsi bahwa kondisi keuangan perusahaan baik, maka akan mendorong kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan yang diwakilinya. Keempat,

kondisi fasilitas perusahaan mempunyai pengaruh posi-tif yang signi kan terhadap kepatuhan pajak. Karena itu, jika tax professional berpersepsi bahwa fasilitas yang disediakan perusahaan tinggi atau mencukupi, maka kepatuhan pajak akan tinggi. Kelima, kondisi iklim organisasi mempunyai pengaruh positif yang signi kan terhadap kepatuhan pajak sehingga jika persepsi ik-lim organisasi positif atau baik akan berpengaruh terhadap tingginya kepatuhan pajak, Keenam, niat mempunyai pengaruh yang signi kan terhadap kepa-tuhan pajak. Apabila tax professional memiliki niat kepatuhan pajak tinggi, kepatuhan pajak badan yang dimilikinya tinggi begitu pula sebaliknya. Hal ini memperkuat pendapat Ajzen bahwa niat seseorang diwujudkan dalam perilakunya. Ketujuh, kesimpulan terakhir berkenaan terhadap niat dan kepatuhan ialah apabila tax professional memiliki kontrol perilaku terhadap kepatuhan positif, niat kepatuhan pajaknya tinggi dan pengaruh lingkungan perusahaan yang kuat mempengaruhi tax professional untuk berperilaku patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan yang diwakilinya.

DAFTAR PUSTAKA

Blanthorne, Cynthia M. 2000. The Role of Opportunity and Beliefs On Tax Evasion: A Structural Equation Analysis. Dissertation. Arizona State University.

Bobek, D dan Richard C. Hat eld. 2003. An Investigation of Theory of Planned Behavior and the Role of Moral Obligation in Tax Compliance. Behavioral Research in Accounting.

Bradley, Cassie Francies. 1994. An Empirical Investigation of Factor Affecting Corporate Tax Compliance Behavior. Dissertation, The University of Alabama, USA.

Brown, Robert E. and Mazur Mark J. 2003. IRS’s Comprehensive Approach to Compliance Measurement. National Tax Journal. Vol. 56, Iss.: 3 (September).

Ferndinand, Augusty. 2002. Structural Equation Modelling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Fishbein, M. and I Ajzen . 1975. Beleif, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading, MA: Addison-Wesley.

Gunadi. 2002. Indonesian Taxation; A Reference Guide. Jakarta: Multi Utama Publishing.

———. 2005. Kebijakan Pemeriksaan Pajak Pasca Berlakunya Undang Undang Perpajakan Baru, Berita Pajak.

Hanno, D.M. dan G.R. Violette. 1996. An Analysis of Moral and Social In uences on Taxpayer Behavior. Behavioral Research in Accounting.

Husnan, Suad. 1998. Manajemen Keugan Teori dan Penerapan (Keputusan jangka panjang). Buku 1, Edisi 4, Yogyakarta: BPFE.

Icek, Ajzen., dan Fishbein, M. 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. Prentice-Hall, Englewood Scliffs, NJ.

Icek, Ajzen. 1988. Attitudes, Personality, dan Behavior. Dorsey

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel

Tabel 7. Nilai Pengaruh Secara Keseluruhan

2003

Page 48: Bisnis-Birokasi

104 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104

Press, Chicago.Icek, Ajzen. 2005. Attitudes, Personality and Behavior,. (2nd edition),

Berkshire, UK: Open University Press-McGraw Hill Education_____. 2002. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and

Methodological Considerations. (September )._____. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational

Behavior and Human Decision Processes.Iswahyudi. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan

Pajak, Berita Pajak . JakartaKiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendaliuan

Intern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Memenuhi Pajak Penghasilannya. Makalah dalam Simposium Nasional Akuntansi II.

Koeswara, E. 1989. Motivasi, Teori dan Penelitiannya. Bandung: Penerbit Angkasa.

Lussier, Robert N. 2005. Human Relations In Organization, Irwin, USA.

Mustikasari Elia. 2007. Kajian Empriris Tentang Kepatuhan Wajib pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. Simposium Nasional Akuntansi X, Universitas Hasanudin Makassar.

Nurmantu, Safri. 2007. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Pelayanan Perpajakan. Jurnal Ilmu Adminstrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.1 (Januari).

Rahayu, Ning. 2007. Kebijakan Baru Direktorat Jenderal Pajak Dalam Pengajuan Restitusi PPN dan Perencanaan Pajak untuk Menghadapinya. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari).

Reichers, A.E. dan Schneider, B. 1990. Climate and Culture: An Evolution of Constructs. In B. Schneider (Ed.) Organizational

Climate and Culture. San Francisco: Jossey-Bass.Riyanto, Bambang. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan,

Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada.Schumacker, Randall E dan Ricard G Lomax. 1996. A Beginner’s

Guideto Structural Equation Modeling. Lawrence Erlbaum Associates. New Jersey.

Siahaan, Fadjar O.P. 2005. Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Perilaku Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Tidak Dipublikasikan.

Slemrod, J. 1989. Complexity, Compliance Cost, and Tax Evasion. An Agenda for Compliance Research, Vol. 2. Philadelphia: University of Pensylvania Press.

Turner Mark and David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development : Making the State Work. London: Macmilan Press Ltd.

Vardi, N. 2001. Deviant Workplace Behavior and the Organization’s Ethical Climate, Journal of Business and Psychology, Springer Netherlands.

Violette, G. 1989. Effect of Communication Sanctions on Taxpayer Compliance. The Journal of American Taxation Association (Fall).

Wijanto, Setyo Hari. 2006. Catatan Kuliah : Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.7. FE UI Pascasarjana Ilmu Manajemen. Jakarta.

Yoingco, Angel Q. 1977. Taxation in the Asia Pasicif Region : A Salute to the years of RegionalCooperation in Tax Administration and research. Dalam studi Group in Asian Tax Administrtion & Research.Manila.

Page 49: Bisnis-Birokasi

Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan

Regulasi Industri Perbankan Syariah

YUSUF WIBISONO1*

1Pusat Ekonomi Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstract. Building an effective legal and regulatory framework for Islamic banking is imperative. Initiative to enact Islamic banking laws in Indonesia can be regarded in this respect. The objective of this paper is to examine the critical issues in Islamic banking laws. This paper examines and highlights the main features of Islamic banking laws. It is suggested that the main goal of the laws are to enhance Shari’ compliance and promoting stability of the system. Despite the progress achieved through this approach, it is recommended that Islamic banking development needs more efforts and initiatives. This paper also attempts to provide an analysis of future direction in the development of Islamic banking industry in Indonesia.

Keywords: regulation and business law, islamic banks

PENDAHULUAN

Perkembangan perbankan syariah yang telah men-dapat momentum sejak 1970-an, secara umum meng-ambil dua pola. Pertama, mendirikan bank syariah berdampingan dengan bank konvensional (dual ban-king system) seperti kasus di Mesir, Malaysia, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Bahrain, Bangladesh, dan Indonesia. Kedua, merestrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full fledged Islamic financial system) seperti kasus Sudan, Iran, dan Pakistan. Peranan regulasi menjadi titik kritis terpenting dalam kedua kasus tersebut. Seluruh inisiasi awal perbankan syariah dimulai dengan dukungan regulasi yang memadai.1

Di Iran, bank syariah beroperasi setelah UU Per-bankan Bebas-Bunga disahkan pada Agustus 1983 dan berlaku pada Maret 1984. Faisal Islamic Bank of Sudan mulai beroperasi sejak 1978 dengan dekrit khusus dan seluruh sistem perbankan Sudan “di-Islamisasi” pada September 1984. Bank Islam Malaysia Berhad beroperasi pada Juli 1983 setelah disahkannya UU Perbankan Islam Nomor 276 pada Maret 1983. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment berdiri pada 1978 berdasarkan UU Sementara Khusus Nomor 13 yang kemudian diperkuat oleh UU Permanen Nomor 62 pada 1985.

Kemajuan perkembangan industri perbankan sya-riah selalu dapat ditelusuri dari dukungan regulasi yang diperolehnya. Dan sebaliknya, lambannya perkem-

bangan perbankan syariah hampir selalu berasosiasi dengan minimnya regulasi yang mendukung. Bank syariah pertama di Kuwait, Kuwait Finance House, berdiri pada 1977. Namun hingga kini, Kuwait baru memiliki dua bank syariah dan dua puluh sembilan perusahaan investasi syariah. Minimnya jumlah bank syariah di Kuwait dikarenakan regulasi yang dibu-tuhkan baru dikeluarkan pada tahun 2003, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2003, sebagai tambahan terhadap Bab 3 UU Nomor 32 Tahun 1968. Praktek perbankan syariah di Indonesia baru dimulai pada tahun 1992 dan stagnan selama hampir 7 tahun sesudahnya, dika-renakan oleh minimnya dukungan regulasi.

Perkembangan pesat perbankan syariah di Indonesia saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan re-gulasi. Kehadiran bank syariah pertama, Bank Mua-malat Indonesia, pada 1992, terjadi berkat dukungan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Per-kembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999 juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh UU Nomor 3 Tahun 2004.

Terhitung sejak 17 Juni 2008, industri perbankan syariah Indonesia secara resmi memasuki era baru. RUU Perbankan Syariah yang telah masuk ke DPR sejak pertengahan 2005 sebagai RUU inisiatif DPR, telah disahkan sehingga Indonesia kini resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun

*Korespondensi: +62815972 7904; [email protected], [email protected] Sebagian besar negara di dunia mengadopsi common law atau civil law sehingga kerangka hukum mereka tidak mendukung perkembangan perbankan syariah yang memiliki karakteristik unik. Sebagai misal, aktivitas utama perbankan syariah adalah jual beli (murabahah) dan penyertaan modal (musyarakah dan mudharabah). Namun hukum dan regulasi perbankan pada umumnya justru melarang bank komersial untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Lihat Habib Ahmed and Tariqullah Khan, “Risk Management in Islamic Banking”, in M. Kabbir Hasan and Mervyn K. Lewis (Eds.). Handbook of Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar, 2007, hal. 146.

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 105-115 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 50: Bisnis-Birokasi

2008 tentang Perbankan Syariah. UU PS sebagai regulasi terhadap perbankan syariah,

memiliki banyak argumentasi. Rasionalitas utama ada-lah pertimbangan sistemik, kegagalan sebuah bank akan berimplikasi luas pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomi secara keseluruhan. UU PS juga men-jadi penting untuk melindungi konsumen/nasabah. Bank harus menjaga risiko dengan bersikap rasional dan hati-hati dalam keputusan investasi, menghindari mis-manajemen, dan tidak mengambil tindakan yang berisiko tinggi.

UU PS juga diharapkan dapat menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah da-lam operasionalnya. Dan terakhir, UU PS ini diharapkan dapat memuluskan langkah perbankan syariah nasional di pasar antarbank internasional. Perbankan syariah nasional dituntut untuk menerapkan standar regulasi perbankan internasional untuk berkiprah di tingkat internasional.

Namun regulasi yang terlalu ketat dan komprehensif, dapat menjadi bumerang. Regulasi yang berlebihan da-pat meningkatkan biaya kepatuhan serta menghambat inovasi dan kreativitas. Trade-off antara stabilitas dan efisiensi harus mendapat perhatian yang memadai. Hal ini mengingat bahwa industri perbankan syariah masih kecil dan sangat membutuhkan pertumbuhan yang signifikan.

PEMBAHASAN

A. Kerangka Regulasi Perbankan Syariah Indonesia

Jejak rekam regulasi terhadap perbankan syariah nasional selama ini sudah positif. Tonggak sejarah penting dari kerangka regulasi perbankan syariah di-mulai pada tahun 1990 dengan diselenggarakannya simposium MUI yang menyepakati pendirian bank syariah di Indonesia. Simposium MUI ini mendorong lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memperkenalkan “bank bagi hasil”. Dengan aturan pelaksana PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, maka lahirlah bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Mua-malat Indonesia di tahun 1992.

Eksperimen dual banking system di Indonesia berpuncak di tahun 1998 dengan lahirnya UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 yang mengizinkan perbankan konvensional un-tuk membuka unit usaha syariah. Regulasi baru ini memicu ekspansi industri perbankan syariah nasional secara signifikan setelah mengalami stagnasi selama lebih dari 7 tahun dan sekaligus secara resmi menandai penerimaan Bank Indonesia terhadap eksistensi bank syariah dalam dual banking system.

UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) menegaskan tanggung jawab bank sentral atas regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional ter-masuk bank syariah dan BPR syariah. Melalui UU ini,

bank sentral juga mendapat kewenangan untuk me-lakukan pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa BI berkewajiban mengembangkan bank syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah.

Dukungan undang-undang inilah yang kemudian melahirkan Biro Perbankan Syariah di BI pada tahun 2001 yang kemudian pada tahun 2004 ditingkatkan statusnya menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Berbekal otoritas ini pula, BI memperkenalkan ins-trumen moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wa-diah BI (SWBI) di tahun 1999. Di tahun 2000, BI bergerak maju dengan memperkenalkan Pasar Uang Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Peran BI ini semakin diperkuat dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999.

Di tahun 2002, BI memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui PBI Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 yang mengatur tentang: [1] konversi bank konvensional menjadi bank syariah; [2] konversi cabang konvensional menjadi cabang syariah; [3] konversi kantor kas konvensional menjadi cabang syariah; [4] pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional; dan [5] pembukaan unit syariah di ca-bang konvensional.

Di bulan Maret 2006, BI meluncurkan kebijakan syariah office channeling (layanan syariah) melalui PBI Nomor 8/3/PBI Tahun 2006, yaitu mekanisme kerjasama penghimpunan dana antara kantor cabang syariah sebagai bank induk dengan kantor cabang konvensional bank yang sama. Ketentuan ini kemu-dian disempurnakan melalui PBI Nomor 9/7/PBI Ta-hun 2007, ketentuan pembukaan office channeling diperlonggar dan fungsinya diperluas dimana semula hanya menghimpun dana menjadi dapat melakukan pembiayaan dan pelayanan jasa keuangan. Ketentuan office channeling ini secara efektif memperluas ja-ringan pelayanan dan menaikkan aset perbankan sya-riah. Sampai dengan bulan Desember 2008, jumlah jaringan office channeling lebih dari 1.400 outlet dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun telah menembus Rp1 triliun.

Melalui berbagai dukungan regulasi inilah, industri perbankan syariah tumbuh pesat. Di tahun 1992, hanya terdapat 1 bank umum syariah (BUS) yaitu Bank Mua-malat Indonesia dan 9 BPR Syariah (BPRS). Di tahun 1999, berdiri BUS kedua yaitu Bank Syariah Mandiri dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang pertama yaitu UUS Bank IFI, dan jumlah BPRS melonjak mencapai 78. Di tahun 2004, berdiri BUS ketiga yaitu Bank Syariah Mega Indonesia dan jumlah UUS dan BPRS melonjak berturut-turut menjadi 15 dan 86.

Dan kini, per Desember 2008, terdapat 5 BUS, 27 UUS, dan 131 BPRS dengan total jaringan kantor BUS, UUS, dan BPRS mencapai 951 kantor. Pada November 2008 berdiri BUS keempat yaitu Bank

106 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115

Page 51: Bisnis-Birokasi

Syariah BRI dan pada Desember 2008 berdiri BUS kelima yaitu Bank Syariah Bukopin. Per Desember 2008, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 49,55 trilyun. Per November 2008, aset perbankan syariah ini telah mencapai 2,05% dari total aset perbankan nasional, sedangkan aset BPRS mencapai 4,8% dari total aset BPR nasional.

Selain UU tentang Perbankan dan Bank Sentral, terdapat beberapa perundang-undangan yang terkait industri perbankan syariah antara lain UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia serta beberapa regulasi yang sedang dipersiapkan seperti RUU Pembiayaan (leasing), RUU Jaring Pe-ngaman Sektor Keuangan, dan RUU PPN.

B. Rasionalitas Undang-Undang Perbankan SyariahRasionalitas utama dari regulasi terhadap perbankan

adalah alasan sistemik, begitupun halnya dengan perbankan syariah. Regulasi terhadap perbankan sya-riah sangat dibutuhkan sebagaimana halnya terhadap perbankan konvensional untuk beberapa alasan (Er-rico dan Farahbaskh,1998; Chapra dan Khan, 2000): [1] risiko kebangkrutan perbankan syariah tidak bisa diabaikan, terutama ketika operasi bank dijalankan ber-dasarkan skema two-tier mudharabah dimana si-si aset dan kewajiban dari neraca bank secara penuh diintegrasikan3; [2] risiko kerugian ekonomi sebagai hasil dari buruknya keputusan investasi, yang bisa dikarenakan oleh kombinasi berbagai faktor seperti lingkungan usaha yang rentan, lemahnya tata kelola internal dan rendahnya disiplin pasar; [3] bank yang lemah akan menurunkan kinerja makroekonomi se-perti efisiensi sistem pembayaran dan efektivitas ke-bijakan moneter khususnya kebijakan yang diimple-mentasikan melalui instrumen tidak langsung, serta dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik ter-hadap sistem finansial secara keseluruhan; dan [4] sistem perbankan yang lemah akan menghalangi per-ekonomian untuk mendapat manfaat dari globalisasi dan liberalisasi pasar finansial domestik.

Secara umum, kerangka regulasi untuk perbankan adalah penting untuk memberi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan pengembangan industri serta stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Hal ini sangat relevan untuk perbankan syariah dimana terdapat beragam jenis investasi yang rumit dan ha-rus mematuhi ketentuan syariah dan dengan inovasi yang terus berlanjut beserta implikasi risiko yang terkandung didalamnya. Ketersediaan regulasi yang sesuai akan berkontribusi pada perbaikan pembinaan dan pengawasan, peningkatan efektivitas kebijakan moneter dan kredit, serta stabilitas dan jaring pe-ngaman sistem.

Kerangka regulasi untuk perbankan syariah harus mengakomodasi karakter dasar perbankan syariah dengan pada saat yang sama mengatur isu-isu yang umum bagi semua lembaga intermediasi keuangan seperti manajemen kontrak, kepailitan, jaminan, dan pemulihan aset. Regulasi perbankan syariah juga harus memberi definisi yang tegas tentang lembaga bank syariah sejalan dengan persyaratan perizinan, permodalan, cakupan aktivitas, dan hubungannya de-ngan otoritas regulator. Regulasi perbankan syariah juga harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko yang inheren di dalam aktivitas per-bankan syariah.

Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi in-dustri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsi-nya pasar dan penetrasi ke pasar global. Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsinya pasar dan penetrasi ke pasar global4.

Peranan pemerintah dan otoritas pengawasan bu-kanlah untuk mendikte industri atau memaksakan aturan, namun untuk memfasilitasi pengembangan perbankan syariah dengan menciptakan lingkungan usaha yang kompetitif dan sehat. Tujuan dari setiap usaha regulasi

3 Secara teoritis, terdapat dua jenis sistem operasi perbankan syariah: [i] Two-tier mudharabah: di sisi kewajiban, dana masuk dengan kontrak mudharabah, dan di sisi aset, bank menyalurkan dana juga dengan kontrak mudharabah. Sebagai tambahan, bank juga diizinkan menerima demand deposits yang tidak menerima return dan bank berhak mengenakan biaya. Dengan skema ini, tidak ada reserve requirement yang dibutuhkan; [ii] two windows: sisi kewajiban bank terbagi dua jenis yaitu rekening giro dan rekening investasi. Dengan skema ini, 100% reserve requirement diterapkan untuk demand deposit, dan tidak ada reserve requirement untuk rekening investasi. Namun dalam prakteknya hal ini sulit dilakukan. IFSB (Islamic Financial Services Board) menetapkan ketentuan kecukupan modal untuk perbankan syariah adalah 8% dari total modal.4 Meski demikian, perbankan syariah masih tetap menghadapi legal risk terutama lintas wilayah yurisdiksi yang berasal dari interaksi antara hukum komersial dan syariah. Jika terdapat konflik antara ke-duanya, terdapat peluang bagi pihak yang mengalami gagal bayar untuk menghindari tanggungjawab dengan cara tidak patuh terhadap syariah. Hal ini terjadi di pengadilan Inggris antara Shamil Bank of Bahrain E.C. dan Beximco Pharmaceuticals Ltd and Others. Lihat Yusuf Talal DeLorenzo and Michael J.T. McMillen. “Law and Islamic Finance: An Interactive Analysis”, in Simon Archer and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). Islamic Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John

WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 107

Page 52: Bisnis-Birokasi

adalah untuk mempertahankan kepercayaan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan, melindungi konsumen, dan mendorong kesadaran publik.

Regulasi juga harus memberi kerangka untuk kebijakan, standar, kontrol, dan instrumen pengawasan yang baik dan efektif, sesuai dengan syariah dan standar internasional.5 Kerangka pengawasan bank konvensional dapat dijadikan benchmark, dalam hal ini, seperti ketentuan tentang kecukupan modal, pe-ngelolaan likuiditas, tata kelola perusahaan, trans-paransi, disclosure, disiplin pasar, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Kontribusi benchmarking sendiri dapat dimanifestasikan melalui pengkajian ulang secara fundamental kualitas pelayanan menurut standar nilai terbaik (Saragih, 2006). Terkait hal ini, kerangka re-gulasi yang ditujukan pada perbankan konvensional sering dijadikan rujukan seperti kerangka regulasi dari Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)6.

Sebagai bagian integral dari proses regulasi, per-bankan syariah adalah pengembangan infrastruktur pasar keuangan syariah untuk menjamin keberlanjutan dan berfungsinya perbankan syariah. Fokus dari usaha ini adalah dengan membangun instrumen syariah yang efektif untuk memfasilitasi pengelolaan dana perbankan syariah di pasar modal. Keberadaan industri penunjang, seperti perusahaan sekuritas dan asuransi, juga penting untuk mendukung pengembangan per-bankan syariah.

Pada kasus Indonesia, kehadiran UU Perbankan Syariah akan menjadi legitimasi paling akurat untuk berjalannya praktik perbankan syariah. Selain itu, kehadiran UU Perbankan Syariah juga akan menjadi daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah serta pihak-pihak lain untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan syariah. Tanpa undang-undang, sosialisasi dan pengembangan perbankan syariah dinilai akan kurang efektif.

Kehadiran UU Perbankan Syariah di Indonesia seharusnya tidak hanya sebagai kekuatan akselerator bagi industri perbankan syariah yang sedang tumbuh cepat, namun juga sebagai kekuatan transformatif bagi industri perbankan nasional secara keseluruhan agar lebih berorientasi kepada sektor riil dan beroperasi

sesuai syariah sehingga mendorong terciptanya perekonomian yang sehat dan kuat. Keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan tidak hanya sekedar mempercepat perkembangan syariah sebagai alternatif, namun lebih dari itu menjadikan perbankan syariah sebagai solusi bagi perekonomian yang kuat dan dinamis7.

Regulasi terhadap perbankan syariah di Indonesia harus memperhatikan beberapa hal krusial. Pertama, regulasi harus mampu mendukung kegiatan operasional perbankan syariah yang sehat dan sesuai dengan karakteristik operasionalnya. Kedua, regulasi harus mampu mendorong perkembangan bank syariah di masa depan. Regulasi harus mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, termasuk pemain asing dan bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional.

Ketiga, regulasi harus mampu memberi landasan dan menjawab ketiadaan institusi-institusi pendukung yang diperlukan bagi industri perbankan syariah, Dewan Syariah Nasional, Badan Arbitrase Syariah Nasional, auditor syariah, lembaga penjamin sim-panan dan pembiayaan syariah, peradilan syariah, serta pusat informasi dan data keuangan syariah. Institusi pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien berperan penting untuk memastikan stabilitas dan pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan.

C. Pokok-Pokok Pikiran UU Perbankan SyariahPembahasan RUU PS membutuhkan waktu yang

panjang, terhitung sejak digulirkan pada tahun 2000, masuk ke parlemen pada 2005, dan disahkan pada 17 Juni 2008. Namun yang menarik, pembahasan intensif RUU PS dengan pemerintah sendiri berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama, bahkan pembahasan intensif hanya dilakukan pada bulan-bulan terakhir menjelang 17 Juni 2008.

Dari naskah RUU PS April 2008, RUU PS usu-lan DPR terdiri dari 15 bab dan 75 pasal. Secara umum, pokok-pokok pikiran RUU PS ini dapat di-

5 Perbankan syariah menghadapi resiko sebagaimana perbankan konvensional sehingga juga membutuhkan pengawasan yang efektif untuk menjamin stabilitas sistem secara keseluruhan. Perbankan syariah menghadapi credit risk lebih besar terkait masalah adverse selection, moral hazard dan costly state verification. Begitupun halnya dengan liquidity risk terkait cash flow yang lebih tidak terprediksi dan keterbatasan instrumen keuangan untuk menutup defisit. Namun perbankan syariah menghadapi inflation risk dan market risk yang lebih rendah karena pada instrumen bagi hasil melekat fungsi indeksasi penuh secara otomatis. Lihat Tarsidin dan Perry Warjiyo. “Perbankan Syariah dan Perbankan Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal?”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2006.6 BCBS pada 2004 mengeluarkan dokumen berjudul International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards: A Revised Framework, dokumen yang dikenal sebagai Basel II, menggantikan Basel I yang dikeluarkan pada 1988. Struktur Basel II terdiri dari tiga ”pilar”, yaitu: (i) ketentuan modal minimum, dengan pendekatan baru terhadap resiko kredit dan resiko operasional; (ii) proses tinjauan pengawasan, dari sudut pandang regulator untuk mempromosikan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan; dan (iii) disiplin pasar; menguraikan ketentuan pengungkapan publik (disclosure) minimum terkait resiko dan manajemen resiko. 7 Secara teoritis, perbankan syariah dengan sistem bagi hasil memiliki dua karakter utama yaitu cost of fund bank selalu lebih kecil daripada pendapatan operasionalnya dan risk sharing antara nasabah penyimpan dana dan bank terkait resiko aktivitas pembiayaan bank. Dua hal ini sangat penting untuk optimalitas fungsi intermediasi perbankan dan stabilitas sistem keuangan.

108 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115

Page 53: Bisnis-Birokasi

BAB I: KETENTUAN UMUMBAB II: ASAS, TUJUAN DAN FUNGSIBAB III: PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR DAN KEPEMILIKAN Bagian Pertama: Perizinan Bagian Kedua: Bentuk Badan Hukum Bagian Ketiga: Anggaran Dasar Bagian Keempat: Pendirian dan Kepemilikan Bank SyariahBAB IV: JENIS, KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS Bagian Pertama: Jenis dan Kegiatan Usaha Bagian Kedua: Kelayakan Penyaluran Dana Bagian Ketiga: Larangan Bagi Bank Syariah dan UUSBAB V: PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI, DAN TENAGA KERJA ASING Bagian Pertama: Pemegang Saham Pengendali Bagian Kedua: Dewan Komisaris dan Direksi Bagian Ketiga: Dewan Pengawas Syariah Bagian Keempat: Penggunaan Tenaga Kerja AsingBAB VI: TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH Bagian Pertama: Tata Kelola Perbankan Syariah Bagian Kedua: Prinsip Kehati-hatian Bagian Ketiga: Kewajiban Pengelolaan RisikoBAB VII: RAHASIA BANK Bagian Pertama: Cakupan Rahasia Bank Bagian Kedua: Pengecualian Rahasia BankBAB VIII: PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama: Pengaturan dan Pengawasan Bagian Kedua: Tindak Lanjut PengawasanBAB IX: PENYELESAIAN SENGKETABAB X: SANKSI ADMINISTRATIFBAB XI: KETENTUAN PIDANABAB XII: KETENTUAN PERALIHANBAB XIII: KETENTUAN PENUTUP

Tabel 2. Struktur UU Perbankan Syariah

Sumber: UU Perbankan Syariah, 17 Juni 2008.

Tabel 1. Komparasi Struktur RUU Perbankan Syariah

Sumber: Naskah DIM RUU Perbankan Syariah, April 2008.

WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 109

Page 54: Bisnis-Birokasi

pilah ke dalam empat kelompok besar: [1] regulasi terhadap operasional perbankan syariah yang khas seperti jenis dan kegiatan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; [2] regulasi terhadap infra-struktur yang dibutuhkan perbankan syariah, seperti pembentukan komite perbankan syariah; [3] regulasi terhadap perbankan syariah sebagai bagian dari sis-tem perbankan dan keuangan nasional seperti ke-tentuan perizinan, pemegang saham pengendali, dan kerahasiaan bank; dan [4] regulasi terhadap tata kelola dan disiplin pasar perbankan syariah.

Naskah RUU PS April 2008 usulan pemerintah cukup jauh berbeda dengan naskah usulan DPR. Beberapa perubahan penting yang terlihat dari naskah RUU PS usulan pemerintah adalah [1] penghapusan bab VI tentang Komite Perbankan Syariah; [2] perubahan di bab IV tentang ketentuan pelaksanaan prinsip syariah dengan masuknya DSN MUI menggantikan Komite Perbankan Syariah; [3] penghapusan Dewan Pengawas Syariah di bab V bagian kedua dan men-jadikannya di bagian baru dengan ketentuan lebih ringkas; [4] penghapusan komisaris yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah; [5] penambahan ketentuan tata kelola yang baik (good governance) dan prinsip akuntansi syariah pada bab VII; [6] penghapusan bab X tentang jaring pengaman sistem perbankan syariah; [7] penghapusan bab XI tentang kewenangan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perbankan; dan [8] penambahan satu bab tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Selain itu, terdapat berbagai perubahan lainnya dari naskah usulan DPR baik teknis maupun substantif yang tersebar di berbagai tempat.

Dengan demikian, naskah RUU PS usulan peme-rintah secara umum lebih ramping dibandingkan nas-kah usulan DPR yaitu terdiri dari 13 bab dan 68 pasal (lihat tabel 1).

Yang menarik, UU PS yang disahkan sangat mirip dengan RUU PS usulan pemerintah, baik dari sisi struktur maupun substansi (lihat tabel 2). Dengan kata lain, walau UU PS adalah UU inisiatif DPR, dan telah masuk secara resmi di DPR sejak pertengahan 2005, namun pemerintah ternyata jauh lebih dominan dalam pembahasan RUU yang ternyata berlangsung relatif lancar dan singkat.

Secara umum, substansi ketentuan dalam UU PS memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggu-nakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha,

ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, pe-nyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS, kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa.

Kedua, menjamin kepatuhan syariah (shari’ah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pem-bentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta pembentukan Komite Pe-ngawas Syariah di Bank Indonesia (BI).

Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini ter-lihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan ten-tang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewa-jiban pengelolaan risiko serta pembinaan dan pe-ngawasan.8 Semangat “stabilitas sistem” ini semakin terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi administratif dan ketentuan pidana.

Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak sudah berada pada arah yang tepat antara lain, [1] ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau BPR; [2] mengizinkan kepemilikan asing secara ke-mitraan dengan investor domestik; [3] mendorong spin-off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketika aset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [4] saat terjadi merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus menjadi bank syariah; [5] dana zakat dan sosial yang dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke or-ganisasi pengelola zakat; [6] bank syariah dapat meng-himpun wakaf uang; [7] penegasan dan landasan yang kuat untuk BPR Syariah; dan [8] kewajiban tata ke-lola yang baik dan penyampaian laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi syariah.

Melihat kecenderungan tersebut, UU PS akan me-miliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan sya-riah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta per-lindungan konsumen, dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan ren-cana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru, ter-masuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring proses sosialisasi.

D. Evaluasi UU Perbankan SyariahHasil evaluasi UU Perbankan Syariah menunjukkan

terdapat beberapa masalah substantif ekonomi dan

8 BCBS dalam dokumen berjudul Core Principles for Effective Banking Supervision (1997) menetapkan 25 prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan untuk sistem pengawasan perbankan yang efektif, yaitu: pra-kondisi untuk pengawasan yang efektif (prinsip 1), perizinan dan struktur (prinsip 2-5), regulasi dan persyaratan kehati-hatian (prinsip 6-15), metode pengawasan perbankan yang berkelanjutan (prinsip 16-20), persyaratan pengungkapan informasi (prinsip 21), otoritas pengawasan formal (prinsip 22), dan cross-border banking (prinsip 23-25).

110 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115

Page 55: Bisnis-Birokasi

beberapa masalah yuridis-formal. Pada dasarnya age-nda terpenting industri perbankan syariah saat ini adalah peningkatan daya tarik dan daya saing untuk membesarkan dirinya. Daya tarik dan daya saing per-bankan syariah akan meningkat jika setidaknya empat hal terpenuhi yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat efisien dan kompetitif; [2] variasi produk-produk perbankan syariah yang be-ragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapatnya jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang memiliki produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif dan likuid.

Sudahkah UU PS bergerak ke arah sana? Dari pem-bahasan sebelumnya terlihat bahwa semangat utama UU PS adalah semangat kepatuhan syariah (shari’ah compliance) dan stabilitas sistem. Tidak ada yang salah dengan kecenderungan ini. Menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah dan prinsip-prinsip kesehatan bank syariah jelas merupakan hal positif.

Permasalahannya adalah UU PS ini sangat minim insentif untuk pengembangan dan peningkatan daya saing perbankan syariah. Belum terlihat upaya serius untuk membesarkan size perbankan syariah dalam UU PS ini. Aturan kepemilikan asing di industri perbank-an syariah nasional sudah diakomodasi namun belum memberi insentif yang memadai. Insentif yang mema-dai bagi bank konvensional yang ingin konversi men-jadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum mendapat perhatian.

Namun memang harus diakui bahwa banyak inisiatif yang dibutuhkan untuk membesarkan size perbankan syariah, berada di luar cakupan UU PS ini seperti netralitas pajak untuk transaksi keuangan syariah, insentif pajak untuk investor syariah, dan instrumen syariah utang pemerintah untuk pengembangan pasar modal syariah.

Sementara itu, aturan yang ekstensif tentang ke-giatan usaha dan akad syariah yang digunakan, dikha-watirkan akan memasung inovasi dan kreatifitas per-bankan syariah. Di tengah kebutuhan yang tinggi untuk produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan masyarakat, tidak seharusnya perbankan syariah ter-pasung oleh ketentuan yang tidak perlu.

Seharusnya yang lebih dibutuhkan disini adalah ketegasan tentang kewenangan DSN untuk product development dan shari’ah approval. DSN seharusnya diperkuat dengan kewenangan dan sumberdaya untuk melakukan riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima permintaan fatwa dari industri.

Wacana DSN dilebur ke dalam Komite Perbankan Syariah dan berada di bawah BI (usulan DPR) yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas dan independensi DSN, akhirnya dihilangkan, namun memiliki rasionalitas kuat terkait eratnya kaitan antara fatwa dan regulasi yang berada dibawah otoritas BI. Hal ini kemudian diselesaikan dengan kompromi bah-wa kedudukan DSN dan MUI dikukuhkan dan Ko-

mite Perbankan Syariah di BI tetap ada namun dengan kewenangan untuk menterjemahkan fatwa MUI ke da-lam regulasi BI.

Di sisi lain, telah terdapat arah positif untuk pe-ngembangan jaringan perbankan syariah yaitu dengan penegasan ketentuan UUS, ketentuan bank syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, memfasilitasi spin-off UUS menjadi BUS, dan pe-negasan kewenangan BI terkait perizinan pembukaan kantor cabang.

Di saat yang sama, pengembangan pasar modal sya-riah ke depan diprediksi akan semakin baik dan ce-pat pasca dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN pada 9 April 2008 yang lalu. Sementara itu, pasar uang syariah semakin kompetitif dengan hadirnya SBI syariah yang memiliki fitur hampir sa-ma dengan SBI konvensional. SBI syariah terbit ber-dasarkan PBI Nomor 10/11/PBI Tahun 2008 pada 31 Maret 2008, menggantikan SWBI yang memiliki imbal hasil jauh lebih rendah dari SBI konvensional. Namun ke depan, SBI syariah ini sebenarnya tidak diperlukan karena kini, seiring dengan kehadiran UU Surat Berharga Syariah Negara, telah ada sukuk pemerintah. Instrumen moneter syariah secara bertahap harus diarahkan sepenuhnya pada sukuk pemerintah untuk menggantikan SBI syariah.

Selain beberapa masalah substantif-ekonomi, UU PS juga masih menyimpan sejumlah masalah yuridis-formal. Pertama, terkait ketentuan tentang penye-lesaian sengketa perbankan syariah. Pada Bab IX UU PS tercantum bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, namun dimungkinkan penyelesaian dilakukan di pengadilan umum sepanjang sesuai isi Akad. Ketentuan ini merupakan hasil kompromi dari rancangan awal dimana penyelesaian sengketa dilakukan oleh pengadilan umum. Secara yuridis, ke-tentuan kompromi ini tetap bermasalah karena secara jelas bertabrakan dengan ketentuan yang telah ada di UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimana peradilan agama berwenang secara penuh untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Ketentuan ini juga konflik dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah memberi legitimasi kompetensi absolut peradilan agama sebagai peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara dalam ranah hukum Islam, termasuk didalamnya ekonomi syariah. Secara metodologis, ma-suknya aturan penyelesaian sengketa dalam UU PS merupakan hal tidak lazim dan berpotensi menyalahi UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pe-raturan Perundang-undangan. Penyelesaian sengketa masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ra-nah bisnis sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU PS ini.

Pengalaman negara-negara lain tentang penyele-

WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 111

Page 56: Bisnis-Birokasi

saian sengketa perbankan syariah menunjukkan ke-simpulan yang ambigu. Di Malaysia, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman digabung pada Oktober 2004, sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah.

Kedua, terkait ketentuan kepemilikan asing dalam sektor perbankan syariah. UU PS menetapkan bahwa BUS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh pihak asing secara kemitraan dengan investor domestik. Sedangkan maksimum kepemilikan asing di BUS di-tetapkan oleh BI. Ketentuan ini berpotensi konflik dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menetapkan kebebasan berusaha di semua bidang untuk penanaman modal, baik dalam negeri maupun asing. Bidang usaha yang tertutup atau terbuka dengan persyaratan diatur oleh pemerintah melalui Perpres. Perpres Nomor 77 Tahun 2007 sebagai pe-raturan pelaksana UU Nomor 25 Tahun 2007 yang ber-laku selama 3 tahun, telah menetapkan bahwa mak-simum kepemilikan asing di sektor perbankan syariah adalah 99%.

Ketiga, tidak terselesaikannya permasalahan hu-kum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). LKMS direpresentasikan oleh BPRS, koperasi (KSP, USP, KJKS, UJKS) syariah, dan BMT. BPRS diakomodasi dalam UU PS ini dan kini memiliki dasar hukum yang kuat, namun yang lain tidak terakomodasi. Koperasi syariah belum diakomodasi dalam UU Koperasi dis-amping koperasi itu sendiri bukan merupakan bentuk badan hukum yang ideal untuk LKMS, sedangkan BMT sama sekali tidak memiliki payung hukum (infor-mal). Akibatnya, sebagian besar BMT memilih badan hukum koperasi. Ketiadaan regulasi yang memadai membuat LKMS informal memiliki banyak kelemahan sebagaimana halnya LKM konvensional yaitu high-risk bagi nasabah deposan, high-cost bagi nasabah pe-minjam dan tingkat kesehatan usaha yang rendah.

Arah kebijakan ke depan, harus ada dukungan regulasi yang memadai untuk mendorong perkem-bangan LKMS dengan mengakomodasi eksistensi dan segala karakter yang melekat padanya. Langkah terbaik adalah mengatur LKMS dalam UU terpisah mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang ber-beda dari perbankan syariah. Namun dalam UU PS seharusnya ada inisiatif untuk mendorong kemajuan LKMS, terutama BMT dan koperasi syariah, melalui insentif bagi BUS/UUS untuk akuisisi LKMS dan menjadikannya sebagai unit mikro dari BUS/UUS. Hal ini secara efektif akan mendorong kemajuan LKMS dengan menghapus permasalahan kesenjangan antara besarnya pembiayaan dengan terbatasnya sumber pen-danaan dan meningkatkan tata kelola LKMS.

E. Dukungan yang Diharapkan Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal

penting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk

tumbuh dan berkembang. Namun kita membutuhkan lebih banyak lagi dukungan regulasi yang progresif, visioner, dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat persaingan global yang semakin sengit. Berbagai negara telah jauh melangkah mem-beri dukungan regulasi untuk mengembangkan per-bankan syariah dan untuk menjadi pusat keuangan syariah global. Salah satu yang paling progresif dan ambisius adalah Malaysia.

Sebagai misal, untuk pengembangan pasar su-kuk-nya, Malaysia melibatkan berbagai inisiatif yang luas dan ekstensif seperti memfasilitasi proses pener-bitan yang efisien, mendorong proses penetapan har-ga, menciptakan benchmark yield, memperluas basis investor, mempromosikan likuiditas di pasar sekun-der, dan memperkuat kerangka hukum, regulasi dan syariah. Inisiatif-inisiatif ini juga didukung dengan pembangunan infrastruktur finansial yang luas ter-masuk sistem settlement dan sistem informasi sukuk.

Untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk global, sejumlah langkah liberalisasi pasar dilakukan untuk mendorong masuknya perusahaan asing guna menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk global. Hal itu dilakukan untuk menghimpun dana di pasar sukuk Malaysia dana yang dihimpun dapat digunakan untuk membiayai investasi di wilayah yurisdiksi lain. Pada tahun 2006, sukuk berdenominasi mata uang asing di-izinkan diterbitkan di pasar sukuk Malaysia. Pemerin-tah Malaysia juga memberikan dukungan berupa ne-tralitas pajak untuk mengakomodasi penerbitan sukuk serta pembebasan pajak untuk pendapatan dari sekuri-tas syariah yang diterbitkan di Malaysia.

Sektor perbankan syariah Malaysia diliberalisasi pada tahun 2004 dengan penerbitan izin untuk institusi keuangan Islam asing untuk mendorong keterkaitan sektor finansial domestik dengan global. Kepemilikan asing di institusi keuangan Islam dinaikkan hingga 49% dari total saham. Izin baru juga diperluas untuk perusahaan yang menjalankan bisnis perbankan sya-riah, takaful, dan retakaful dalam mata uang inter-nasional untuk institusi ini kepemilikan asing di-perbolehkan hingga 100%. Keleluasaan operasional dengan mendirikan kantor cabang atau pembantu, dan fasilitas tax holiday selama 10 tahun berdasarkan UU Pajak Pendapatan Malaysia.

Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan ja-ringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical mass. Perbankan syariah dengan tercaainya critical mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saingnya terhadap perbankan konvensional. Ji-ka hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif.

Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk transaksi

112 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115

Page 57: Bisnis-Birokasi

murabahah yang hingga kini masih harus menunggu pembahasan RUU PPn. Perbankan syariah juga tidak semestinya secara dini dihadapkan pada persaingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Sukuk pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk investor besar dan luar negeri.

Selain itu, perbankan syariah membutuhkan ke-berpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana (cash management) baik pemerintah pusat maupun daerah. Katakan se-tidaknya 15-20%, pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerima negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konven-sional menjadi bank syariah.

Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Per-pres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun, harus ada upaya agar proses ma-suknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra do-mestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank konvensional yang telah ada dan mengkonversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu mem-beri arahan kebijakan yang tepat disini.

Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan sya-riah, seperti kewajiban setoran haji melalui perban-kan syariah dan hanya menunjuk bank syariah se-bagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah melalui perbankan syariah. Sebagai contoh, UU No-mor 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima setoran dana haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Se-lain itu, perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah.

Selain itu, mendorong pengembangan industri perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara si-multan dengan pengembangan SDM dan riset. Di sini hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator.

Hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu namun ketersediaan SDM sangat minim karena memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven.

DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya un-tuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan de-ngan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena di-topang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.

F. Mengembalikan Paradigma Asli Perbankan Syariah

Pengalaman terkini di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang lebar antara paradigma asli dengan praktek nya-ta perbankan syariah, antara lain: [1] seluruh dana na-sabah secara implisit dan eksplisit dijamin, termasuk dana di rekening investasi; [2] prinsip-prinsip bagi hasil belum diterapkan secara ketat; [3] pembiayaan bank didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil; dan [4] diskresi yang luas dalam ketentuan jaminan, ter-masuk dalam pembiayaan bagi hasil.

Secara umum terlihat bahwa perbankan syariah, alih-alih semakin menuju sistem bagi hasil, kini justru semakin bersandar pada sistem debt-like financing seperti murabahah dan ijarah. Sejumlah faktor ber-kontribusi dalam pergeseran perbankan syariah dari paradigma aslinya ini, antara lain: [1] kerangka re-gulasi dan institusional yang tidak kondusif bagi pe-ngembangan perbankan syariah, terutama bagi adopsi sistem bagi-hasil; [2] pembiayaan bagi-hasil memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dan sebaliknya pembiayaan non bagi-hasil lebih rendah risiko-nya dan lebih mudah dikelola; [3] nasabah penyimpan dana telah lama ter-biasa dengan pola risk-free deposits dari perbankan konvensional sehingga tidak siap berbagi kerugian; dan [4] pada dual banking system, perbankan syariah harus bersaing juga dengan perbankan konvensional dimana seluruh dana pihak ketiga dijamin.9

Secara teknis, untuk masuk ke pembiayaan bagi hasil, diperlukan banyak persyaratan yang harus di-penuhi perbankan syariah untuk meminimalisir moral hazard, menekan risiko pembiayaan, dan sekaligus menghindari masalah mismatch dana, antara lain: [1]

9 Di ranah teori perbankan konvensional, kini muncul proposal bailing-in banks dimana pemegang saham bank dimungkinkan menanggung kerugian dari kredit. Ketika modal bank tidak mencukupi untuk menutup kerugian yang besar, maka implikasinya bank dimungkinkan gagal sehingga penyimpan dana juga akan menanggung kerugian ketika jaminan penuh tidak tersedia dari lembaga penjamin simpanan. Lihat Chapra and Khan. Op. Cit., hal. 8-9.10 Lihat Shamim Ahmad Siddiqui. “An Evaluation of Research on Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System”, in the Proceedings of the 7th International Conference on Islamic Economics, Jeddah, April 1-3, 2008, hal. 235-270.11 Untuk kajian yang mendalam tentang dukungan regulasi yang dibutuhkan untuk mendorong pembiayaan bagi hasil dan menekan pembiayaan debt-like financing di Indonesia, lihat Ascarya dan Diana Yumanita. “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005.

WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 113

Page 58: Bisnis-Birokasi

kemampuan memahami bisnis mudharib dan cara mengawasinya; [2] transparansi usaha mudharib; [3] perlindungan hukum yang kuat ketika terjadi dispute; [4] ketersediaan data rate of return dari setiap sektor usaha untuk penetapan rasio bagi hasil yang fair dan sekaligus untuk menghindari penggunaan suku bunga sebagai benchmarking; dan [5] ketersediaan dana jangka panjang yang siap untuk berbagi risiko dalam investasi di sektor riil.

Kita membutuhkan dukungan regulasi dalam jang-ka panjang untuk mendorong penerapan sistem bagi hasil yang lebih luas. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan untuk mendorong sistem bagi hasil dan menahan laju sistem murabahah antara lain10: [1] perubahan aturan mudharabah yang membuat bank dapat terlibat dalam keputusan bisnis mudharib dan mendapat akses yang memadai tentang semua informasi terkait tingkat keuntungan mudharib; [2] pembentukan pengadilan yang cepat untuk menyelesaikan sengketa antara bank dan mudharib; [3] pembentukan departemen evaluasi mudharib, evaluasi proyek dan monitoring bisnis di setiap bank syariah; dan [4] pembentukan lembaga keuangan khusus di bawah pemerintah yang menangani pembiayaan konsumer barang tahan lama.

Dibutuhkan banyak dukungan regulasi untuk men-dorong pembiayaan dalam kasus Indonesia antara lain11: [1] mencetak SDM yang memahami bisnis perbankan syariah secara utuh dan mendalam; [2] memastikan ke-murnian pembiayaan murabahah, yang disinyalir ban-yak mengalami penyimpangan dalam praktiknya; [3] memberikan target indikatif pembiayaan murabahah dan memberlakukan margin maksimum pembiayaan murabahah; dan [4] memberikan kelonggaran tingkat kolektibilitas pembiayaan bagi hasil.

Aspek lain yang penting diperhatikan adalah ada-nya jaminan eksplisit terhadap semua simpanan di perbankan syariah. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 dinyatakan bahwa penjaminan simpanan juga berlaku bagi perbankan syariah. Dan dalam PP Nomor 39 Tahun 2005 disebutkan bahwa penjaminan ini berlaku baik untuk giro dan tabungan dengan akad wadiah maupun tabungan dan deposito dengan akad mudharabah. Hal ini tidak sesuai dengan paradigma asli perbankan sya-riah rekening investasi mudharabah tidak dijamin.

KESIMPULAN

Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal pen-ting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk tum-buh dan berkembang. Namun kita membutuhkan lebih banyak lagi dukungan regulasi yang progresif, visioner, dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat persaingan global yang semakin sengit.

Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical

mass. Perbankan syariah dengan tercapainya critical mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saingnya terhadap perbankan konvensional. Jika hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif.

Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk tran-saksi murabahah yang hingga kini masih harus me-nunggu pembahasan RUU PPN. Perbankan syariah juga tidak semestinya secara dini dihadapkan pada per-saingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Su-kuk pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk in-vestor besar dan luar negeri.

Selain itu, perbankan syariah membutuhkan keber-pihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan sya-riah dalam pengelolaan dana (cash management) baik pemerintah pusat maupun daerah, katakan setidaknya 15-20%. Pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank sya-riah, menunjuk bank syariah sebagai Bank Penghim-pun Setoran Penerima Negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional menjadi bank syariah.

Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Perpres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun harus ada upaya agar pro-ses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mi-tra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau mem-beli bank konvensional yang telah ada dan meng-konversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini.

Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan syariah, seperti kewajiban setoran haji melalui per-bankan syariah dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah melalui perbankan syariah. Sebagai misal, UU Nomor 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima setoran dana haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain itu perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pen-didikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah.

Selain itu, mendorong pengembangan industri per-bankan syariah seharusnya juga diikuti secara simul-tan dengan pengembangan SDM dan riset. Hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. Hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu

114 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115

Page 59: Bisnis-Birokasi

namun ketersediaan SDM sangat minim karena me-mang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven.

DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ausaf. 2000. Instruments of Regulation and Control of Islamic Banks by Central Banks. Jeddah: IRTI-IDB.

Archer, Simon and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). 2007. Islamic Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.

Ascarya dan Diana Yumanita. 2005. “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (Juni).

Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Syariah Desember 2008. Jakarta: BI.

____. 2003. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2005. Jakarta: BI.

____. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun

2006. Jakarta: BI.____. 2008. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun

2007. Jakarta: BI.Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan.2000. Regulation and

Supervision of Islamic Banks. Jeddah: IRTI-IDB.Errico, Luca and Mitra Farahbaksh.1998. “Islamic Banking: Issues

in Prudential Regulations and Supervision”, IMF Working Paper (March).

Hasan, M. Kabbir and Mervyn K. Lewis (Eds.).2007. Handbook of Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar.

Lewis, Mervyn and Latifa Algaoud. Islamic Banking (terj.). 2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Naskah Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah, April 2008.

Undang-Undang Perbankan Syariah, 17 Juni 2008. Saragih, Ferdinand D. 2006. Menciptakan Pelayanan Publik yang

Prima Melalui Metode Benchmarking Praktis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14. No. 3 (September).

Siddiqui, Shamim Ahmad. 2008. An Evaluation of Research on Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System, in the Proceedings of the 7th International Conference on Islamic Economics, Jeddah (April).

Tarsidin dan Perry Warjiyo. 2006. Perbankan Syariah dan Perbankan Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal? Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, (Oktober).

The National Bureau of Asian Research. 2008. Islamic Finance: Global Trends and Challenges, NBR Analysis, Vol. 18, No. 4 (March).

WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 115

Page 60: Bisnis-Birokasi

Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan

TEGUH KURNIAWAN1*

1Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract. This article attempts to give the picture concerning the importance of public accountability and citizen participation as one of the instruments to eradicate bureaucratic corruption, seen from various theories. This paper provides equal and adequate understanding of the role of public accountability and citizen participation in the eradication process of corruption and the various efforts that can be done to strengthen it. The results of this literature review shows that the efforts taken to eradicate corruption in Indonesia is still partial and tend not to have a clear design strategy so that in many cases is not able to reduce signi cantly the level of corruption that occurred. Besides that, the important role of public accountability and citizen participation in the eradication of corruption has not received much attention as well as has not been thoroughly studied. Therefore we need further study of the various aspects of public accountability and citizen participation in the eradication of corruption in Indonesia.

Keywords: corruption, public accountability, citizen participation

PENDAHULUAN

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lem-baga internasional selalu menempatkan Indonesia da-lam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia.1 Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa ko-rupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005).

Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar (77%) adalah kasus tindak pida-na korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa (Hardjowiyono, 2006). Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di Indonesia adalah korupsi birokrasi atau menurut Mahmood (2005) korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi

dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di ta-hun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Peme-rintahan Daerah yang semakin meningkat dengan ta-jam (Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti, 2007).

Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara signi kan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya dua kemungkinan dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam mencapai tujuannya, yaitu akibat kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang ber-pengaruh serta akibat diagnosa yang salah terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005). Sementara itu terkait dengan penyusunan strategi anti-

*Korespondensi: +6281 1833 093; [email protected] 1 Lihat misalnya dari hasil Survey Transparency International Tahun 2008 dimana Indonesia berada di urutan 126 dari 180 Negara yang di survey dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,6. Skor ini hanya naik 0,3 poin dari skor sebelumnya (2007) sebesar 2,3. Pada tahun 2006 skor IPK Indonesia sebesar 2,4 sementara tahun 2005 sebesar 2,2. Angka-angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Negara-Negara ASEAN lainnya. Untuk Tahun 2008 saja, hanya Filipina, Laos, Kamboja dan Myanmar saja yang skornya berada di bawah Indonesia yakni masing-masing sebesar 2,3; 2,0; 1,8 dan 1,3, sementara Negara lainnya memiliki skor jauh di atas Indonesia. Bandingkan dengan skor IPK dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing memiliki skor IPK sebesar 9,2; 5,1 dan 3,5. Survey lainnya yang dapat menunjukkan peringkat korupsi di Indonesia dilakukan oleh PERC (Political & Economic Risk Consultancy) Ltd melalui the annual graft ranking serta World Economic Forum melalui Growth Competitiveness Index (GCI). Dalam survey PERC tahun 2006 Indonesia mendapatkan skor 8,6 yang menurun apabila dilihat dari skor tahun 2005 (9,10) serta skor tahun 2004 (9,25). Namun demikian angka ini tetap di atas Negara-Negara ASEAN lainnya, dimana untuk tahun 2006 Singapura mendapatkan Skor 1,30; Malaysia 6,13; Thailand 7,64; Philipina 7,80; dan Vietnam 7,91. Sementara itu, dalam GCI Index tahun 2008, Indonesia mendapatkan skor 4,25 dan memiliki peringkat 55. Peringkat ini mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2007) meskipun skor-nya mengalami kenaikan dimana Indonesia menempati peringkat 54 dengan skor 4,24. Angka ini juga tetap berada jauh lebih kecil dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang memiliki skor di tahun 2008 masing-masing sebesar 5,53; 5,04 dan 4,60. Dari data-data di atas dapat menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia termasuk Negara yang paling korup di Dunia (Waluyo, 2006, 5-10).

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 116-121 Volume 16, Nomor 2ISSN 0854-3844

Page 61: Bisnis-Birokasi

korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat bahwa strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi peme-rintah serta penguatan akuntabilitas publik.

Pentingnya peran partisipasi masyarakat dan akun-tabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ter-nyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Hal ini dapat dili-hat, misalnya dari kesulitan yang penulis dapatkan dalam upaya pencarian dan penggalian informasi mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, ter-dapat pernyataan dari sejumlah pihak yang mene-gaskan mengenai pentingnya peran masyarakat dan akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.2

Minimnya perhatian dan kajian terhadap peran partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan korupsi telah memberikan dampak terhadap kualitas yang tidak memadai da-ri partisipasi masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat misalnya dari laporan pengaduan masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No-mor 71 Tahun 2000 yang diterima oleh KPK yang se-bagian besar diantaranya tidak mengindikasikan ada-nya suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan buku laporan tahunan KPK tahun 2007 diperoleh informasi bahwa pada tahun 2005, 2006, dan 2007 telah di-terima laporan pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia masing-masing sejumlah 7.361; 6.938; dan 6.510. Namun demikian, pengaduan masyarakat yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korup-si untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 tersebut ma-sing-masing hanya berjumlah 2.466 (33,5%); 1.628 (23,4%); dan 1.229 (18,8%). Aturan dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai tata cara pelaporan oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu tindak pidana korupsi, padahal, untuk melakukan itu diperlukan upaya penguatan masyarakat sehingga masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih baik dan dapat menghasilkan laporan yang berkualitas.

Sementara itu, terkait akuntabilitas publik, kita dapat menemukan adanya aturan mengenai Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003.

Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana diatur oleh sejumlah peraturan tersebut belum meme-nuhi kriteria akuntabilitas publik sebagaimana di-maksud oleh sejumlah pakar seperti Dubnick, Rom-zek, dan Ingraham, Fesler dan Kettl, serta Shafritz (Callahan, 2007). Mekanisme akuntabilitas yang diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal kepada atasan saja serta hanya mengukur sejauh mana target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam rangka pelaksanaan misi organisasi. Akuntabilitas publik yang seharusnya dibangun dalam pandangan para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007) adalah akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan secara internal (pemerintah atasan saja), tetapi ju-ga ditujukan kepada para pemangku kepentingan la-innya seperti masyarakat. Selain itu, mekanisme akuntabilitas publik juga tidak hanya ditujukan untuk mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau pe-rilaku dari pejabat publik agar sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku. Minimnya kajian yang mendalam terhadap permasalahan akuntabilitas publik pada akhirnya telah menyebabkan pemahaman yang berbeda mengenai akuntabilitas publik serta ketidakmampuan dari sistem akuntabilitas publik yang ada untuk dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah.

Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan berusaha untuk memberikan gambaran men-genai pentingnya akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat sebagai salah satu instrumen dalam pem-berantasan korupsi di pemerintahan dari berbagai per-spektif teori yang ada.

PEMBAHASAN

A. Korupsi: Konteks, De nisi, Jenis, dan PenyebabKorupsi dalam sejarah peradaban manusia meru-

pakan salah satu masalah yang senantiasa menyertai perjalanan kehidupan manusia. Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan korupsi seperti pe-nyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno ma-syarakat Yahudi, Cina, Jepang, Yunani, dan Romawi (Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan skala besar yang mempengaruhi kehidupan masyara-kat telah terjadi pada masa peradaban India kuno (Thakur, 1979, Padhy, 1986; Khan, 2000).

Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi juga telah berlangsung lama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Smith (1971). Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak mulai masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke In-donesia pada abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu apabila dilihat dari perilaku tradisional yang diprak-tikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era sejumlah kerajaan nusantara. Karenanya dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan endemik yang

2 Hal ini dapat dilihat misalnya dari pendapat Teten Masduki mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi (http://satudunia.oneworld.net/?q=node/2235). Menurut Teten Masduki, tidak dapat dipungkiri bahwa peran aktif masyarakat dalam mendorong program pemberantasan korupsi pada tingkat tertentu relatif besar. Namun demikian, fondasi gerakan sosial anti korupsi belum cukup kuat sehingga pengaruhnya belum terlalu kuat untuk memotivasi masyarakat luas, bisnis dan pemerintah untuk bersama-sama melawan korupsi. Lihat pula permasalahan di dalam partisipasi itu sendiri, misalnya partisipasi termanipulasi (Muluk, 2006:683).

KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 117

Page 62: Bisnis-Birokasi

118 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 116-121

dapat ditemukan pada semua negara di dunia dengan berbagai tingkatan aplikasinya.

Menurut Gillespie dan Okruhlik (1991), terdapat lima isu utama dalam literatur mengenai korupsi, yak-ni de nisi, penyebab, dampak, konteks, dan tipe ak-tivitas yang termasuk korupsi. Menyangkut de nisi itu sendiri, dalam pandangan Gillespie dan Okruhlik (1991), (1) sebuah de nisi konseptual membutuhkan dua kualitas yaitu sebuah de nisi, (2) harus cukup umum dan memungkinkan komparasi lintas budaya serta harus cukup berguna secara empirik. Dua kriteria tersebut telah terbukti menimbulkan kontroversi dalam upaya sejumlah pakar untuk mencoba mende nisikan konsep dari korupsi.

Berbagai de nisi yang berbeda dari korupsi ter-sebut, pada intinya menurut Desta (2006) dapat di-bagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu de nisi yang ber-pusat pada jabatan publik (public of ce centred de nitions); de nisi yang berpusat pada pasar (market centred de nitions); serta de nisi yang berpusat pada kepentingan publik (public interest centred de nitions).

De nisi yang berpusat pada jabatan publik misal-nya de nisi yang disampaikan oleh Nye (1967; Desta, 2006), yaitu perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi.

De nisi yang berpusat pada pasar dapat dilihat dari de nisi yang dikemukakan oleh van Klaveren (1957; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu seorang pegawai negeri yang korup menganggap kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. Sementara itu, de nisi yang berpusat pada kepentingan publik dapat dilihat dari kutipan pernyataan Friederick (1966; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk me-lakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, men-dukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik.

Berdasarkan tiga de nisi tersebut, de nisi yang penulis gunakan adalah de nisi yang berpusat pada jabatan publik (Nye, 1967). De nisi tersebut dalam pandangan penulis lebih sesuai dengan de nisi seba-gaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ber-dasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi seba-gaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU tersebut. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana ko-rupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan

negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; serta grati kasi (KPK, 2006).

Selain de nisi, para pakar juga mencoba untuk membuat kategori dari korupsi. Terkait hal tersebut, korupsi dapat dibagi ke dalam jumlah kategori ber-dasarkan besarannya maupun berdasarkan kategori pe-lakunya. Pembagian korupsi berdasarkan besarannya dapat dilihat misalnya dari pendapat Jayawickrama (1998; Feng, 2004). Menurut Jayawickrama, korupsi dapat dibedakan menjadi dua yakni korupsi kecil (petty corruption) dan korupsi besar (grand corruption).

Sementara itu, dilihat dari kategori pelakunya, Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara yang terdiri dari tiga kategori (korupsi eksekutif, korupsi peradilan, dan korupsi legislatif); korupsi yang dilakukan oleh ranah pubik (media, dan lembaga pembentuk opi-ni publik lainnya); korupsi yang dilakukan oleh ma-syarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar.

Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi dan jenisnya, aspek selanjutnya yang perlu diketahui adalah terkait penyebab dari terjadinya tindak pidana korupsi. Merujuk berbagai literatur yang tersedia dapat diketahui sejumlah kondisi yang disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya korup-si. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur ter-sebut dapat diketahui bahwa pada intinya, korupsi dikarenakan sejumlah faktor baik yang memiliki kontribusi secara langsung maupun secara tidak lang-sung. Selain itu, faktor penyebab korupsi juga dapat dibedakan antara faktor yang terkait dengan ka-rakteristik individual maupun pengaruh struktural.

Pemahaman mengenai penyebab korupsi yang dikarenakan oleh faktor penyebab langsung dan tidak langsung dapat dilihat dalam tulisan Tanzi (1998). Menurut Tanzi, terdapat setidaknya enam faktor penyebab lang-sung dari korupsi, yakni (1) pengaturan dan otorisasi; (2) perpajakan; (3) kebijakan pengeluaran/anggaran; (4) penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar; (5) kebijakan diskresi lainnya; serta (6) pembiayaan partai politik. Sementara itu, penyebab tidak langsung dari korupsi terdiri dari setidaknya enam faktor, yak-ni (1) kualitas birokrasi; (2) besaran gaji di sektor pub-lik, (3) sistem hukuman; (4) pengawasan institusi; (5) transparansi aturan, hukum dan proses; serta (6) te-ladan dari pemimpin.

Adapun penjelasan mengenai faktor penyebab korupsi yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural dapat diihat dalam tulisan Nas, Price, dan Weber (1986). Menurut Nas dkk., korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika seorang individu itu serakah atau tidak bisa menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika se-bagai seorang pejabat publik, sementara penyebab korupsi dari sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal, yakni (1) birokrasi atau organisasi yang gagal; (2)

Page 63: Bisnis-Birokasi

KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 119

kualitas keterlibatan masyarakat; dan (3) keserasian sistem hukum dengan permintaan masyarakat.

Pendapat lain mengenai penyebab korupsi dapat dilihat dari tulisan Bull dan Newell (2003) dalam kaitannya dengan korupsi politik. Mereka membagi penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang diang-gap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya korupsi yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Keempat faktor penyebab korupsi menurut Bull dan Newell adalah (1) budaya politik; (2) struktur dan institusi politik; (3) sistem kepartaian, partai pemerintah, partai politik, dan politisi; serta (4) ekonomi politik antara sektor publik dan sektor privat.

Sementara itu, dalam pandangan Shah (2007), ter-jadinya korupsi di sektor publik akan sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni (1) kualitas manajemen sektor publik; (2) sifat alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat; (3) kerangka hukum; serta (4) tingkatan proses sektor publik dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi informasi. Upaya mengatasi korupsi tanpa memper-timbangkan keempat faktor ini menurut Shah akan menyebabkan hasil yang kurang mendalam dan tidak berkelanjutan.

Pada kasus Indonesia sendiri, terdapat sejumlah analisis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa korupsi begitu berkembang di Indonesia. Salah satu analisis tersebut adalah sebagaimana diungkapkan Snape (1999). Menurut Snape, setidaknya ada tiga faktor yang disinyalir menjadi sebab berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, yakni faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor bu-daya Jawa.

Berdasarkan pandangan Snape, faktor politik yang dicirikan dengan adanya kesenjangan akuntabilitas, transparansi, institusi demokrasi, dan pers yang bebas merupakan faktor penting yang memberikan kontri-busi terhadap meluasnya korupsi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di era Orde Lama dan era Orde Baru. Sementara itu, terkait faktor ekonomi, inter-vensi pemerintah yang ekstensif dalam perekonomian dinilai Snape sebagai penyebab dari korupsi di Indo-nesia. Melalui intervensi ini memunculkan sejumlah keuntungan secara nansial bagi sejumlah kecil ma-syarakat Indonesia, khususnya mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki patron politik dengan penguasa.

Faktor ketiga yang dinilai Snape memberikan kon-tribusi bagi praktek KKN di Indonesia adalah faktor yang terkait dengan penjelasan budaya. Praktek-prak-tek KKN yang terjadi di masa Orde Baru memiliki akar pada tradisi budaya masa lalu Indonesia, khususnya budaya yang berlaku di Jawa (Snape, 1999; Schwartz, 1994). Terkait hal ini, sejumlah praktek KKN menu-rut Snape mengakar pada kebiasaan Jawa kuno se-hingga untuk kemudian dianggap sebagai sesuatu hal

yang wajar. Kebiasan-kebiasan ini meliputi kebiasaan dalam memberikan hadiah kepada penguasa; loyalitas kepada keluarga yang lebih kuat dibandingkan kepada negara; serta konsep kekuasaan Jawa yang hierarkis, tetap dan patrimoni.

B. Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Mem-berantas Korupsi: Penguatan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat

Permasalahan korupsi telah ada sejak lama dan memiliki besaran/tingkatan kompleksitas permasala-han yang tinggi. Oleh karena itu, upaya pemberan-tasan korupsi akan membutuhkan usaha dan kerja keras, serta pendekatan yang komprehensif, efektif, dan memadai. Penentuan upaya apa yang paling efektif dalam memberantas korupsi juga merupakan perdebatan dalam banyak literatur mengenai korupsi (Gillespie dan Okruhlik, 1991). Perdebatan ini pada intinya berupaya untuk menawarkan pendekatan multi perspektif/komprehensif yang dianggap dapat memberikan hasil yang substansial dan berkelanjutan dalam mengatasi korupsi. Terdapat setidaknya empat strategi pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan, yakni (1) strategi terkait masyarakat; (2) strategi terkait hukum; (3) strategi terkait pasar; serta (4) strategi terkait politik.

Strategi terkait masyarakat menurut Gillespie dan Okruhlik ditekankan pada tiga hal utama, yakni norma etika, pendidikan, dan kewaspadaan publik. Adapun strategi terkait dengan hukum adalah berkenaan de-ngan pengenaan aturan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Namun demikian, sanksi hukum terhadap tin-dak pidana korupsi akan lebih efektif jika diperkuat oleh strategi pendukung lain seperti keberadaan au-ditor dan investigator independen, komisi khusus yang dapat melakukan tindakan hukum terhadap pelaku korupsi, serta peningkatan besar hukuman bagi pelaku korupsi.

Strategi terkait pasar menurut Gillespie dan Okruhlik (1991) adalah dengan mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian serta mengurangi regulasi yang kompleks dan berlapis. Sementara stra-tegi terkait politik menekankan pada tiga perhatian, yakni kewenangan, akses terhadap proses politik, serta reformasi administrasi/birokrasi.

Pendapat lainnya mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah seba-gaimana disampaikan oleh Klitgaard (1998b). Me-nurut Klitgaard, terdapat 4 (empat) komponen uta-ma dari strategi anti korupsi, yakni dimulai deng-an “menggoreng ikan yang besar”, melibatkan masyarakat guna menghasilkan kampanye yang berhasil, mem-perbaiki sistem yang korup, serta meningkatkan peng-hasilan pegawai negeri.

Terdapat empat strategi yang dapat dilakukan guna memberikan hasil yang berbeda dalam upaya pemberantasan korupsi, yakni memfokuskan pada

Page 64: Bisnis-Birokasi

120 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 116-121

penegakkan hukum dan penghukuman terhadap pelaku, melibatkan masyarakat dalam mencegah dan mendeteksi korupsi, melakukan upaya reformasi sektor publik yang utama, termasuk di dalamnya kegiatan penguatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan, serta memperkuat aturan hukum, me-ningkatkan kualitas UU anti korupsi, penanganan tindakan pencucian uang, dan mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik (Widjajabrata dan Zaechea, 1991). Sistem politik diharapkan membantu proses recruitment maupun pengembangan anggota parlemen menadi wakil rakyat yang tangguh (Isworo, 2007).

Menyangkut korupsi di pemerintahan daerah, menurut de Asis (2006) terdapat lima strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi, yakni meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, peni-laian keinginan politik dan titik masuk untuk memulai, mendorong partisipasi masyarakat, mendiagnosa ma-salah yang ada, serta melakukan reformasi dengan menggunakan pendekatan yang holistik.

Sejalan dengan pendapat de Asis (2006) khususnya menyangkut poin mengenai diagnosa terhadap per-masalahan yang ada, Shah (2007) berpendapat bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan pemahaman terhadap penyebab dari munculnya masalah korupsi tersebut pada sebuah negara/daerah. Karenanya, perlu dipertimbangkan pula kondisi pengaruh dari korupsi atau kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada di masing-masing negara/daerah tersebut. Pemilihan prioritas anti korupsi pada suatu negara/daerah harus disesuaikan dengan kondisi pengaruh dari korupsi atau kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada seb-agaimana.

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam pem-berantasan korupsi di Indonesia masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara signi kan tingkat korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Strategi antikorupsi yang baik adalah strategi yang telah mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh dan dengan melakukan diagnosa yang benar terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi. Selain itu, strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pen-tingnya peran akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia.

Akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat me-rupakan instrumen yang dianggap mampu mengatasi

tindak pidana korupsi baik yang terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor yang bersifat langsung dan tidak langsung maupun akibat dari faktor-faktor yang ber-asal dari karakteristik individual dan struktural. Akun-tabilitas publik dan partisipasi masyarakat juga dapat sejalan dilakukan sebagai strategi yang berfokus baik terhadap masyarakat, hukum, pasar, maupun politik. Karenanya, dalam upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif, e sien dan tepat sasaran di masa mendatang, perlulah kiranya dilakukan berbagai ka-jian yang mendalam terhadap berbagai aspek dari akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bull, Martin J and James L. Newell eds. 2003. Corruption in Con-temporary Politics, New York: Palgrave Macmillan.

Callahan, Kathe. 2007. Elements of Effective Governance: Measure-ment, Accountability and Participation. Florida: CRC Taylor & Francis Group.

De Asis, Maria Gonzales. 2006. Reducing Corruption at the Local Level. Washington: World Bank Institute.

Desta, Yemane. 2006. Designing Anti-Corruption Strategies for Developing Countries: A Country Study of Eritrea. Journal of Developing societies, Vol. 22 No. 4.

Feng, Kenny. 2004. The Human Rights Implications of Corruption: An Alien Tort Claims-Act Based Analysis, Wharton Research Scholars Journal, WH-299-301 (April).

Gillespie, Kate and Gwenn Okruhlik. 1991. The Political Dimen-sions of Corruption Cleanups: A Framework for Analysis. Com-parative Politics, Vol. 24, No. 1.

Hardjowiyono, Budihardjo. 2006. Pengadaan Barang dan Jasa yang Bersih dari Korupsi. Bahan Presentasi dalam Rapat Regional Pemprov, Pemkab, Pemkot Sumatera dalam rangka Kormonev Inpres 5 Tahun 2004, Batam, 22-23 November.

Isworo, Waluyo Iman.2007. Akuntabilitas, Responsibilitas, dan Etika dalam Administrasi Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No. 1 (Januari).

Khan, Mohammad Mohabbat. 2000. Problems of Democracy: Ad-ministrative Reform and Corruption, paper presented at the Norwegian Association for Development Research Annual Conference on the State under Pressure, Bergen, Norway 5-6 October 2000.

Klitgaard, Robert. 1998a. International Cooperation Against Cor-ruption. Finance & Development, Vol. 35, No. 1.

_____. 1998b. Combating Corruption. United Nations Chronicle, Vol. 35, No. 1.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Ko-rupsi. Jakarta: KPK.

_____. 2007. Laporan Tahunan 2007: Pemberdayaan Penegakan Hukum. Jakarta: KPK.

Lubis, Todung Mulya. 2005. Index Persepsi Korupsi Indonesia. Ba-han Presentasi. Jakarta: Transparency International Indonesia.

Mahmood, Mabroor. 2005. Corruption in Civil Administration: Causes and Cures. Humanomics, Vol. 21, No. 3 / 4.

Muluk, M.R. Khairul. 2006. Menggagas Tangga Partisipasi Baru dalam Pemerintah Daerah di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.4

Page 65: Bisnis-Birokasi

(Desember). Nas, Tev k F, Albert C Price, and Charles T Weber. 1986. A Policy-

Oriented Theory of Corruption. The American Political Science Review, Vol. 80, No. 1.

Rinaldi, Tau k, Marini Purnomo dan Dewi Damayanti. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, Bank Dunia: Justice for the Poor Project.

Senior, Ian. 2006. Corruption - the World’s Big C: Cases, Causes, Consequences, Cures. London: The Institute of Economic Af-fairs.

Shah, Anwar, (Editor). 2007. Performance Accountability and Com-bating Corruption. Washington DC: The World Bank.

Smith, Theodore M. 1971. Corruption, Tradition and Change. In-

donesia, Vol. 11.Snape, Fiona Robertson. 1999. Corruption, Collution and Nepotism

in Indonesia. Third World Quarterly, Vol. 20, No. 3.Tanzi, Vito. 1998. Corruption Around The World: Causes, Conse-

quences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4.Waluyo. 2006. Sambutan Pimpinan KPK di Rapat Koordinasi

Regional Kormonev Inpres 5/2006. Bahan Presentasi dalam Rapat Regional Kormonev, Bali 8-9 November.

Warren, Mark E. 2004. What Does Corruption Mean in a Democracy. American Journal of Political Science, Vol. 48, No. 2

Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea. 2004. International Corruption: The Republic of Indonesia is Strengthening the Ability of Its Auditors to Battle Corruption. The Journal of Government Financial Management, Vol. 53, No. 3.

KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 121

Page 66: Bisnis-Birokasi

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei--Agus 2009ISSN 0854-3844

Volume 16, Nomor 2

Index PenulisVolume 16, Nomor 2

Fitriati, Rachma, 59.Harinurdin, Erwin, 96.Jafar , Rozy Afrial, 87.Kurniawan, Teguh, 116.

Rahardja, Sam’un Jaja, 82.Salomo, Roy Valiant, 74.Soedibjo, Sugeng, 59.Sunardi, Guido Benny, 68.Wibisono, Yusuf, 105.

Administrasi Publik, 74.Akuntabilitas Publik, 116.Consumer Perception, 68.Fungsi Camat, 96.Governance, 82.Indonesia Consumer, 68.Kecamatan Dramaga Kabupaten

Bogor, 92.Kecamatan Ketapang Kabupaten

Bandung, 92.Label and Brands, 74.Manajemen Kebijakan, 86.Partisipasi Masyarakat, 120.Pelayanan Publik, 91.Peluang, 99.Pemberantasan Korupsi, 120.Pengelolaan Sungai, 82.

Index SubyekVolume 16, Nomor 2

Perangkat Daerah, 89.Perbankan Syariah, 105.Perilaku Kepatuhan, 105.Perubahan Kedudukan, 87.Perspektif Teoritis, 120.Politik ekonomi, 99.Premi Asuransi, 59Profit Testing, 60.PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa

Sejahtera, 59.Regulasi Industri, 105.Scenario Indonesia, 74.Sektor Publik, 82.Tantangan, 99.Titik Impas, 59.Wajib Pajak, 105.

Page 67: Bisnis-Birokasi

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agus 2009ISSN 0854-3844

Volume 16, Nomor 2

PERSANTUNAN

Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi mengucapkan terima kasih kepada Dewan Editor dan Mitra Bestari yang telah berpartisipasi pada Volume 16 Nomor 2, Mei - Agustus 2009

Amy S. Rahayu, Pakar Kualitas Pelayanan Publik, Pengajar Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Azhar Kasim, Pakar Pembuatan Keputusan dan Teori Organisasi, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia

Dewa Made Budiarta, Pakar Pemeriksaan Transaksi Khusus Perpajakan, Kasubdit Pemeriksaan Transaksi Khusus Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI

Eko Prasojo, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Endang Wirjatmi Trilestari, Pakar Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara Bandung

Gunadi, Pakar Perpajakan Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Har yah Widiawati, Konsultan Bahasa dan Editor Ahli, Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran

Liberty P Sihombing, Penulis Buku , Pakar Linguistik, dan Konsultan Bahasa dari Antar Bahasa Language Service

Lisman Manurung, Pakar Kebijakan Publik, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Martani Huseini, Pakar Pemasaran Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI

M.R. Khairul Muluk, Pakar Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Ngadisah, Pakar Otonomi Daerah, Staf Ahli Menteri Departemen Dalam Negeri

Ningky Sasanti Munir, Pakar Manajemen Pengetahuan, Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Sadu Wasistiono, Pakar Manajemen Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri

Safri Nugraha, Pakar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Salim Al-Bakry, Pakar Asuransi Syariah, Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti, Jakarta

Sigit Pramono, Pakar Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, Jakarta

Page 68: Bisnis-Birokasi

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agust 2009ISSN 0854-3844

Volume 16, Nomor 2

Penulis diharapkan berpedoman kepada ketentuan yang dibuat ketika menyiapkan naskahnya. Semua naskah yang dikirim akan ditelaah oleh satu editor dan paling sedikit dua reviewer. Penulis bisa mengajukan nama-nama calon reviewer.

Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi memegang prinsip anonymous (tanpa nama) ketika dilakukan review terhadap naskah dimana identitas baik penulis maupun reviewer akan dijaga kerahasiaannya.

I. BENTUK NASKAHJurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (research article), ulasan (review), baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Inggris.1. Hasil Penelitian (Research Article), ide penting dan asli

(original) dalam ilmu administrasi yang memiliki ruang lingkup penelitian yang luas, serta pembahasan temuan yang mendalam, baik dalam bentuk field research maupun desk research.

2. Ulasan (Review) dapat berupa perkembangan keilmuan terkini, ringkasan hasil beberapa penelitian dengan penekanan

pada ide penelitian selanjutnya (what next research idea),

perkembangan kebijakan di tingkat nasional dan internasional,

pemikiran mendalam peneliti, perkembangan telaah buku-buku yang menjadi pokok

ilmu.

Catatan:Kepioniran isi tulisan ditentukan oleh kemutakhiran state-of the art ilmu dan teknologi yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan pendekatan, kebaruan temuan bagi ilmu (novelties, new to science) yang disajikan, ketuntasan penggarapan (tidak hanya mengulang penelitian sejenis sebelumnya, tidak memermutasikan metodologi dan objek, tidak memecah satu persoalan penelitian dalam serangkaian tulisan), dan kehebatan teori serta keluasan perampatan setiap artikel yang dimuatnya. (Sumber: Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006, hal. 9)

II. PENGIRIMAN NASKAHNaskah dikirim keRuang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Gedung B Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi Lantai 2 Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok 16424Atau kirim email ke: [email protected], [email protected], atau telp/faks +6221 78849145

Penulis diharap menyebutkan bentuk naskah yang dikirim: Hasil Penelitian (Research Article), atau Ulasan (Review) di POJOK KANAN ATAS HALAMAN JUDUL ARTIKEL.

PEDOMAN PENULISAN NASKAHJURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI,

BISNIS & BIROKRASINaskah dikirim dalam tiga hard copy, satu soft copy dalam bentuk CD atau melalui email [email protected] dan [email protected].

III. FORMAT NASKAH1. Naskah dapat berupa hasil pemikiran maupun hasil

penelitian. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya naratif. Pembabakan dibuat sederhana sedapat mungkin menghindari pembabakan bertingkat. Tabel dan gambar harus mencantumkan sumber. Tabel dan gambar diberi nomor secara berurut sesuai dengan kemunculannya. Semua kutipan dan referensi dalam naskah harus tercantum dalam daftar pustaka dan sebaliknya, sumber bacaan yang tercantum dalam daftar pustaka harus ada dalm naskah.

2. Nomor halaman diletakkan di ujung kanan atas. Bagian pertama tulisan tidak perlu diberi halaman.

3. Nomor baris diletakkan di sebelah kiri tiap kalimat4. Halaman cover harus menunjukkan judul tulisan, nama

penulis, institusinya, dan korespondensi berupa nomor telepon dan e-mail (diharapkan e-mail institusi).

5. Angka dilafalkan dari satu sampai sepuluh, kecuali jika digunakan dalam tabel atau daftar dan ketika digunakan dalam unit atau kuantitas matematika, statistik, atau teknis, misalnya empat hari, 5 kilometer, 25 tahun. Semua angka lainnya disajikan secara numerik.

6. Persentase dan desimal untuk penggunaan teknis dapat menggunakan simbol (%) dan (,).

7. Tabel dan gambar diletakkan pada halaman yang terpisah dan diletakkan pada akhir teks. Masing-masing tabel atau gambar diberi nomor dan judul lengkap yang menunjukkan isi tabel atau gambar.

8. Acuan ke masing-masing tabel atau gambar harus ada dalam teks.

IV. URUTAN NASKAHNaskah disusun dengan urutan sebagai berikut :1. Judul dalam Bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah

Bahasa Indonesia, Judul dalam Bahasa Inggris untuk naskah bahasa Inggris (judul maksimum 14 kata)

2. Nama lengkap penulis tanpa gelar 3. Nama, telepon, dan email penulis untuk korespondensi4. Abstrak dalam bahasa Inggris (diutamakan di bawah

200 kata). Abstrak diharapkan mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan kontribusi penelitian

5. Kata kunci (keywords) dalam Bahasa Inggris paling banyak 3-5 kata kunci yang akan memudahkan pemberian indeks. Kata pertama menjadi kata yang paling penting, dan diurut seterusnya

6. Korespondensi penulis pada catatan kaki halaman pertama7. Bentuk naskah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu (1) Hasil Penelitian (Research Article). Naskah dibuat

menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin

Page 69: Bisnis-Birokasi

2 cm untuk semua sisi serta jumlah halaman tidak melebihi 25 halaman termasuk daftar pustaka. Untuk kepentingan penyuntingan naskah seluruh bagian naskah (termasuk tabel, gambar, dan persamaan matematika) dibuat dalam format yang dapat disunting oleh editor. Editor dapat meminta data yang digunakan dalam gambar untuk kepentingan penyuntingan.

Struktur artikel ini meliputi 1. Judul 2. Nama penulis 3. Jabatan institusi 4. Abstrak dan Keywords 5. Pendahuluan (termasuk kerangka teori dan tujuan

penelitian) 6. Metode Penelitian 7. Hasil dan Pembahasan 8. Kesimpulan 9. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan

melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir,

b. semakin tinggi pustaka primer yang diacu, semakin tulisan bermutu,

c. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal.

7. Ucapan terima kasih jika ada.

(2) Ulasan (Review). Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin 2 cm untuk semua sisi serta jumlah halam tidak melebihi 20 halaman termasuk daftar pustaka.

Struktur artikel ini meliputi 1. Abstrak dan Keywords 2. Pendahuluan (termasuk kerangka teori) 3. Pembahasan 4. Kesimpulan 5. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan

melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir,

b. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal.

6. Ucapan terima kasih jika ada.

V. DOKUMENTASIAcuanKarya yang diacu harus menggunakan format penulis-tahun. yang mengacu pada karya pada daftar acuan. Dalam teks, karya diacu dengan cara berikut : nama akhir/

keluarga penulis dan tahun dalam tanda kurung. Contoh (Andi, 1984), dua penulis (Andi dan Clark, 1984), lebih dari dua penulis (Andi dkk., 1984), lebih dari dua sumber diacu bersamaan (Andi, 1984; Cipta, 1990), dua tulisan atau lebih oleh satu penulis (Andi, 1984; 1990).

Acuan penulisan yang merupakan karya institusional sedapat mungkin harus menggunakan akronim atau singkatan sependek mungkin. Contoh: (Komite SAK-IAI, PSAK28, 1984)

Catatan KakiCatatan kaki tidak digunakan untuk acuan. Catatan kaki digunakan hanya untuk perluasan informasi yang jika dimasukkan ke dalam teks bisa mengganggu kontinuitas bacaan. Catatan kaki diketik dalam spasi 1 dan ditempatkan pada akhir teks.

Daftar Acuan (Daftar Pustaka)Setiap naskah harus mencantumkan daftar Acuan (Daftar Pustaka) yang isinya hanya karya yang diacu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penulisan daftar pustaka adalah1. nama penulis didahului dengan penulisan nama belakang

atau nama keluarga,2. disusun secara urut berdasarkan abjad,3. tidak menyebutkan nomor halaman,4. penulisan dilakukan dengan sistem paragraf menggantung.

Contoh :Buku:Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interests and Institutions,

the Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell.

Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline Fieldbook: the Art and Practice of the Learning Organization. New York: Currency-Doubleday.

____. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook: Strategies and Tools for Building a Learning Organization. New York: Currency-Doubleday.

Keterangan: jika ada lebih dari satu buku yang dikarang oleh seorang penulis, tidak perlu menulis nama lagi, hanya membuat garis sepanjang empat ketukan.

Peraturan Perundang-Undangan:Republik Indonesia. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara.____. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32.

Jurnal :Chotim, Erna E dan Yulia I. Sari. 1999. Krisis: Peluang

bagi Usaha Kecil?. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 4 No. 1 (Januari).

Hardjosoekarto, Sudarsono. 1993. Perubahan Kelembagaan: Teori, Implikasi, dan Kebijakan Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume 1, Nomor 1 (Januari).

Internet :Depdiknas Libatkan Elemen Masyarakat Dalam Berantas Buta

Huruf. 2005. www.kompas.com. 27 Januari.Kramadibrata, Ade Moetangad. 2004. Pengelolaan Sampah

Terpadu. www.detik.com. 13 Mei.

SUMBER :Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006.HAYATI Journal of Biosciences, Penerbit: Perhimpunan Biologi Indonesia dan Departemen Biologi FMIPA IPB, ISSN 0854-8587

PEDOMAN PENULISAN

Page 70: Bisnis-Birokasi
Page 71: Bisnis-Birokasi

Jurnal Ilmu Administrasi dan OrganisasiBISNIS & BIROKRASI

Naskah yag diserahkan penulis haruslah sebuah karya yang tidak melanggar hak cipta (copyright)yang ada. NAskah yang dimasukkan harus yang belum pernah diterbitkan dan tidak dikirimkan padawaktu yang bersamaan kepada penerbit lain. Hak cipta atas semua material termasuk yangberbentuk cetak, elektronik dan bentuk lainnya dipegang oleh Jurnal Ilmu Administrasi dan OrganisasiBISNIS dan BIROKRASI. Untuk itu penulis perlu menyetujui pengalihan hak cipta dengan mengisidan menandatangani Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dibawah ini untuk diserahkan bersamaandengan penyerahan naskah. Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dalam bentuk softcopy (hasilpemindaian/scan). Setelah naskah telah melewati proses penyuntingan substansi dan positif diterima,penulis mengirimkan berkas Pernyataan Hak Cipta dalam bentuk hardcopy asli ke alamat redaksiJurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI.

Pernyataan Pengalihan Hak Cipta Tulisan

Hak Cipta dari tulisan yang tertera dibawah ini dialihkan kepada Jurnal Ilmu Administrasi danOrganisasi BISNIS & BIROKRASI dan berlaku efektif sejak tulisan diterima dan dipublikasikan.Pengalihan Hak Cipta mencakup hak ekslusif untuk mencetak kembali dan mendistribusikan tulisan,termasuk menerjemahkan, reproduksi fotografi, microform, bntuk elektronik atau bentuk reproduksilainnya.

Penulis menjamin tulisan ini adalah hasil karya asli dan penulis mempunyai wewenang penuh untukmengalihkan hak cipta. Penulis menandatangani dan menerima tanggung jawab untuk memberikanTulisan ini atas nama penulis yang lain.

Judul Tulisan :

………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………

Penulis (sebutkan semua) :

………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………… ……………….Tanda Tangan Penulis (atas nama) Tanggal

Untuk diisi oleh Ketua Dewan Editor:

Diterbitkan pada Volume…………….., Nomor …………………, Tahun …………………..

FORMULIR INI DAPAT DIFOTOKOPI

Page 72: Bisnis-Birokasi
Page 73: Bisnis-Birokasi

Kepada yth : Redaksi Jurnal Bisnis dan Birokrasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Kampus Baru FISIP UI Gedung B Lt.2 Ruang Jurnal Bisnis & Birokrasi

Telp/fax : (021)78849145 E-mail : [email protected], [email protected]

FORMULIR BERLANGGANANJURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI

BISNIS & BIROKRASI

Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Bisnis & Birokrasi

Nama Lengkap :

Pekerjaan :

Alamat Rumah :

Telepon/Hp :

Nama Institusi :

Alamat :

Telepon :

Bersama ini kami mohon dikirimkan Jurnal Bisnis & Birokrasi untuk :

1 kali 6 bulan sebanyak……………..expl. @ Rp.30.000,- = Rp. ………………………………….

1 tahun sebanyak……………………expl. @ Rp.30.000,- = Rp. …………………………………..

Pembayaran di muka melalui :

Tunai Rp. …………………………………………

Terbilang :

Transfer ke : BNI Cab UI Depok a/n : FISIP UI Non BP No. Rek . 127 3000 295

Hormat kami, , 20.....

( ) Nama Pelanggan