74
(Sebagai Sumber Belajar Pada Subkonsep Spermatophyta di SMA Kelas X) SKRIPSI Oleh RUYATUN HASANAH 051297

Bambu di CA Rawa Danau, Banten

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jenis dan kerapatan bambu di CA Rawa Danau

Citation preview

Page 1: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

(Sebagai Sumber Belajar Pada Subkonsep Spermatophyta di SMA Kelas X)

SKRIPSI

Oleh

RUYATUN HASANAH

051297

Page 2: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

(Sebagai Sumber Belajar Pada Subkonsep Spermatophyta Di SMA Kelas X)

Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

RUYATUN HASANAH

051297

Page 3: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI : KERAPATAN POPULASI BAMBU DI KAWASAN CAGAR

ALAM RAWA DANAU – TUKUNG GEDE BANTEN

NAMA : RUYATUN HASANAH

NIM : 051297

SKRIPSI INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI

SERANG, 17 APRIL 2010

PEMBIMBING I

EVI AMELIA, M.Si

NIP. 197207272005012001

PEMBIMBING II

NANA HENDRACIPTA, M.Pd

MENGETAHUI,

KETUA PROGRAM STUDI BIOLOGI

SUROSO MUKTI LEKSONO, M.Si

NIP. 132 310 195

Page 4: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

MENGESAHKAN

1. DEWAN PENGUJI

Ketua : Evi Amelia, M.Si ( )

Penguji I : Nana Hendracipta, M.Pd ( )

Penguji II : Suroso Mukti Leksono, M.Si ( )

2. DEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Drs. H. Nandang Fathurohman, M.Pd

NIP. 195807211986101001

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 April 2010

 

Page 5: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Sang Khalik Raja penguasa alam

semesta yang selalu memberikan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulus

dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Kerapatan Populasi Bambu Di Kawasan

Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede Banten” ini. Shalawat serta salam

semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW beserta

para keluarga dan sahabatnya.

Mungkin banyak kendala yang dihadapi pemulis selama penyusunan skripsi ini,

tetapi berkat izin Allah SWT yang disertai usaha dan kesabaran akhirnya penulis

dapat menyelesaikannya. Terselesaikannya skripsi inipun tidak luput dari

dukungan dan bantuan berbagai pihak yang terlibat, untuk itulah pada kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tiada henti memberikan segala yang

penulis butuhkan tanpa menuntut balasan apapun. “Ayah, Ibu... kasih sayang

kalian takkan tergantikan oleh apapun..”

2. Ibu Evi Amelia, M.Si selaku dosen pembimbing I dengan sabar telah

memberikan pengarahan, bimbingan dan saran yang sangat berharga bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Nana Hendra Cipta, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan serta sarab yang penulis butuhkan.

4. Bapak Suroso Mukti Leksono, M.Si selaku dosen penelaah dan penguji yang

telah memberikan saran dan telaahnya dalam penyusunan skripsi ini.

Page 6: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  vi

5. Ibu Mila Ermila Hendriyani, S.Si selaku dosen wali akademik yang telah

sabar membimbing serta memberikan dorongan, semangat dan wejangan

kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

6. Para ahli (Dosen dan Guru bidang studi Biologi) yang telah bersedia

memberikan penilaian, kritik serta srannya terhadap sumber belajar berupa

buku saku hasil penelitian dalam skripsi ini.

7. Tim dosen peneliti Rawa Danau Bapak Suroso Mukti Leksono, M.Si., Bapak

Nana Hendra Cipta, M.Pd., Ibu Evi Amelia, M.Si. dan Bapak A. Syachruroji,

S.Pd. yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis

untuk melakukan penelitian di Rawa Danau dan sekitarnya.

8. Segenap dosen pengajar Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNTIRTA

yang telah mencurahkan ilmu-ilmunya.

9. Keluarga besar Bapak Uwang dan Bapak Wari serta seluruh warga kampung

Pari yang telah membantu penulis pada saat penelitian skripsi ini berlangsung.

10. Kakakku dan adik-adikku tersayang, Teh Yayah, si Kembar (Ana & Ani) dan

Khaidir yang selalu memberikan motivasi dan doa kepada penulis.

11. D’REAL Darkness Famz: Gembull, Nyi Dukun, Gembrott dan Bocil yang

tanpa bosan selalu memberikan motivasi serta bantuannya kepada penulis.

“kebersamaan yang terindah adalah saat dimana aku bersama kalian melewati

hari dengan penuh kegilaan, narsis serta canda dan tawa.... Loph U Lurrz..”.

12. Teman-teman seperjuangan Tim RD: Abank, Nka, Dede, Maya, Nenek, Nci,

Iin, Mang Ali, Amar, Encep, AM dan Kiking. “terimakasih untuk kerja sama

dan bantuannya selama penelitian”.

Page 7: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  vii

13. Sepupuku tersayang ‘Nasrul’ juga sahabat-sahabatku ‘Vivi jLex, Asep Dudull,

Adik Cacingku & pangerannya dan Syifa Iprit’.

14. Teman-teman Bio ’05 semuanya. “ I Loph U pull Plendzz”.

15. Pihak- pihak lain yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Terimakasih

atas bantuannya hingga terwujudmya skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai apa yang penulis

sampaikan dalam skripsi ini.

Serang, Maret 2010

Penulis

Page 8: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  viii

ABSTRAK Rawa Danau dan Tukung Gede merupakan dua kawasan Cagar Alam yang berada di Kabupaten Serang, Banten, yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan dan hewan cukup tinggi. Bambu merupakan tumbuhan dari kelompok rumput raksasa yang terdapat di kedua kawasan Cagar Alam tersebut. Penelitian dengan judul Kerapatan Populasi Bambu di Kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede, Serang – Banten ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan populasi bambu yang terdapat di kedua Cagar Alam tersebut serta kelayakan buku saku yang merupakan penerapan hasil penelitian sebagai sumber belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2009, menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan data kombinasi antara sistem petak tunggal dan sistem jalur. Kerapatan tertinggi pada masing-masing jalur penelitian antara lain: pada jalur I G. pseudoarundinacea sebesar 553 batang/ha, sedangkan pada jalur II G. atroviolacea sebesar 363 batang/ha. Buku saku hasil penelitian sangat baik dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta.

Kata kunci: bambu, cagar alam, kerapatan, sumber belajar

Page 9: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  ix

ABSTRACT Rawa Danau and Tukung Gede are two Nature Preserves in Serang Regency in Banten Province which have wealth enough species of plants and animals. Bamboo forms of giant grass that found in these Nature Preserves region. This research entitled The Population Density of Bamboo in Rawa Danau – Tukung Gede Nature Preserves, Serang – Banten had purpose to know how about density of bamboo population in those region above and how worthines of pocket book that apperence assembling product of research as learning source for tenth grader of Senior High School on subconcept Spermatophyta. This research realized on Juny – July 2009 using deskriptive quantitative research method by combination sampling about single partition system and traffict lane system. Highest density in each of traffict lane are: in traffict lane I G. Pseudoarundinacea 553 stems/ha and in traffict lane II G. atroviolacea 363 stems/ha. Pocket book as research product is very well as learning source for tenth grader of Senior High School on subconcept Spermatophyta. Key words: bamboo, density, learning source, nature preserve

Page 10: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  x

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

ABSTRACT.................................................................................................... v

DAFTAR ISI................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL........................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... x

I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 3

1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4

1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5

2.1. Bambu ........................................................................................... 5

2.1.1. Morfologi Bambu.............................................................. 5

2.1.2. Habitat Bambu .................................................................. 10

2.1.3. Persebaran Bambu............................................................. 10

2.1.4. Manfaat Bambu................................................................. 11

2.2. Populasi dan Kerapatan Populasi .................................................. 12

2.3. Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede ................................ 13

2.3.1. Cagar Alam Rawa Danau.................................................. 13

2.3.2. Cagar Alam Tukung Gede ................................................ 14

2.4. Materi Subkonsep Spermatophyta di SMA................................... 14

Page 11: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  xi

2.4.1. Ciri dan Struktur Tumbuhan Berbiji ................................. 14

2.4.2. Reproduksi Tumbuhan Berbiji .......................................... 15

2.4.3. Klasifikasi Tumbuhan Berbiji ........................................... 16

2.4.4. Manfaat Tumbuhan Berbiji ............................................... 16

2.5. Sumber Belajar ............................................................................. 17

III. METODE PENELITIAN ................................................................... 20

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 20

3.2. Alat dan Bahan ............................................................................. 20

3.3. Metode Penelitian ......................................................................... 20

3.4. Analisis Data ................................................................................ 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 25

4.1. Jenis-jenis Bambu yang ditemukan............................................... 25

4.2. Deskripsi Jenis-Jenis bambu yang ditemukan .............................. 26

4.3. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Bambu ......................................... 36

4.4. Penerapan Hasil Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan........ 41

V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 43

5.1. Simpulan .................................................................................. ... 43

5.2. Saran.............................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44

LAMPIRAN

Page 12: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sebaran spesies bambu yang ditemukan di Cagar Alam Rawa Danau –

Tukung Gede .................................................................................... 26

2. Kerapatan jenis bambu...................................................................... 36

3. Frekuensi Relatif jenis bambu........................................................... 39

Page 13: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Dinochloa scandens ....................................................................... 26

2. Gigantochloa apus ......................................................................... 28

3. G. atroviolacea............................................................................... 29

4. G. pseudoarundinace ..................................................................... 30

5. Schizostachyum iraten.................................................................... 31

6. Bambusa vulgaris........................................................................... 32

7. Dendrocalamus asper .................................................................... 33

8. G. atter ........................................................................................... 35

Page 14: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Lokasi ................................................................................... 46

2. Format Penilaian Uji Kelayakan Buku Saku ............................... 47

3. Tabel Perhitungan Data................................................................ 50

4. Tabel Perhitungan Uji Kelayakan Buku Saku ............................. 51

5. Surat-surat

 

Page 15: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cagar alam merupakan suatu kawasan yang dilindungi oleh pemerintah dan

merupakan salah satu tempat untuk mewujudkan upaya konservasi dalam

melestarikan keanekaragaman hayati. Rawa Danau terletak di provinsi Banten

bagian barat, menurut Whitten (1999) kawasan ini merupakan salah satu tempat

upaya konservasi yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun

1921 dengan luas sekitar 2.500 ha. Cagar Alam Rawa Danau (CARD) merupakan

salah satu cagar alam berbentuk rawa yang menyimpan kekayaan jenis tumbuhan

dan hewan yang cukup tinggi.

Tukung Gede merupakan daerah perbukitan dengan luas sekitar 1.700 ha yang

berada di pinggiran kawah gunung api purba yang telah ditetapkan sebagai

kawasan cagar alam pada tahun 1980 (Whitten, 1999). Cagar Alam Tukung Gede

memiliki tipe vegetasi hutan pegunungan yang terbagi ke dalam dua kelompok,

yaitu hutan alam dan hutan tanam. Cagar alam Tukung Gede ditumbuhi oleh

berbagai jenis vegetasi, salah satunya adalah vegetasi dari suku rerumputan,

contohnya bambu.

Widjaja (2001) menyebutkan bahwa bambu merupakan tumbuhan bernilai

ekonomi tinggi di Jawa, dan pemakaiannya sangat luas baik untuk keperluan

sehari-hari maupun untuk hasil hasil yang diperdagangkan. Bambu termasuk

dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae atau Graminae atau suku

rerumputan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia terutama oleh

Page 16: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  2

masyarakat Jawa. Penggunaan bambu sudah mendarah daging dalam diri

masyarakat Jawa, karena masyarakat Jawa telah memanfaatkan bambu mulai dari

akar hingga daunnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka

Indonesia diperkirakan memiliki 157 jenis bambu yang merupakan lebih dari 10%

jenis bambu di dunia. Di antara jenis-jenis bambu tersebut, 50% di antaranya

merupakan jenis bambu endemik dan lebih dari 50 % merupakan jenis bambu

yang telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk

dikembangkan (Widjaja E.A & Karsono, 2005). Upaya pengembangan ini dapat

dilakukan melalui budidaya tanaman bambu yang dimaksudkan untuk tetap

melestarikan tanaman bambu.

Dalam pengembangan kurikulum saat ini, melalui KTSP (Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan) pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak sekolah

dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi,

tuntutan, kebutuhan dan karakteristik serta sosial budaya masyarakat setempat.

Kewenangan yang dimaksud adalah pengembangan materi belajar, kegiatan

belajar dan indikator pencapaian serta penilaiannya (Mulyasa, 2008).

Pengembangan materi belajar ini dapat dicapai melalui penyediaan sumber belajar

yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.

Menurut Rohani (2004) sumber belajar adalah segala daya yang diperlukan untuk

kepentingan proses atau akltivitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak

langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan) yang melengkapi diri mereka

Page 17: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  3

pada saat pengajaran berlangsung. Menurut U. S. Winataputra dan R. Ardiwinata

dalam Djamarah (2006) terdapat 5 macam sumber belajar, yaitu (1) manusia, (2)

buku/perpustakaan, (3) media massa, (4) alam lingkungan yang meliputi alam

lingkungan terbuka, alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejaran dan alam

lingkungan manusia, (5) media pendidikan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka keanekaragaman hayati yang terdapat di

kawasan Cagar Alam Rawa danau – Tukung Gede, terutama jenis bambu yang

terdapat di kawasan cagar alam tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

belajar untuk satuan pendidikan yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu,

penelitian mengenai kerapatan populasi bambu di kawasan CARD - CATG dirasa

sangat diperlukan karena selain dapat mengetahui jenis bambu yang terdapat di

kawasan cagar alam tersebut, hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai sumber

belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta, salah satunya adalah

sumber belajar dalam bentuk saku.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kerapatan populasi bambu yang terdapat di kawasan Cagar Alam

Rawa Danau - Tukung Gede ?

2. Apakah buku saku yang merupakan hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep

Spermatophyta ?

Page 18: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  4

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana kerapatan populasi bambu di kawasan Cagar Alam

Rawa Danau - Tukung Gede

2. Mengetahui apakah buku saku hasil penelitian dapat dijadikan sebagai

salah satu sumber belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep

Spermatophyta

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai berbagai jenis bambu yang terdapat di

kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede serta bagaimana

kerapatan populasinya di kawasan tersebut

2. Buku saku sebagai hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta

 

Page 19: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bambu

Menurut Whitten (1999), bambu termasuk ke dalam salah satu kelompok suku

rumput raksasa yang banyak digunakan secara luas oleh sebagian besar

masyarakat Jawa dan Bali, terutama sebagai pengganti kayu bangunan. Tanaman

bambu sangat mudah didapatkan baik dari bambu liar yang tumbuh di mana saja

maupun dari bambu yang ditanam di dekat pemukiman. Menurut Widjaja dan

Karsono (2005), bambu merupakan jenis tanaman hasil hutan non kayu yang

banyak tumbuh hampir di seluruh hutan-hutan Indonesia, baik hutan sekunder

maupun hutan terbuka, walaupun di antaranya ada yang tumbuh di hutan primer.

Menurut Widjaja (2001), bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan

lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-

ruas, percabangannya kompleks, setiap daunnya bertangkai, bunganya terdiri atas

sekam kelopak dam sekam mahkota serta 3-6 buah benang sari. Di Jawa

diperkirakan terdapat 60 jenis bambu yang tumbuh tersebar. Di antara 60 jenis-

jenis yang ada di Jawa, hanya 14 jenis yang merupakan jenis bambu asli pulau

Jawa yang tumbuh liar.

1.1.1. Morfologi bambu

2.1.1.1. Akar

Akar merupakan bagian terpenting bagi tanaman karena memiliki fungsi utama

dalam penyerapan mineral dan air dari tanah. Bambu memiliki akar rimpang yang

Page 20: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  6

tumbuh di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat

digunakan untuk membedakan kelompok bambu. Akar rimpang ini memiliki

bagian pangkal yang lebih sempit dibandingkan dengan bagian ujungnya dan

setiap ruas akar rimpang mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang

akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjang dan menghasilkan

buluh (Widjaya, 2001).

Dransfield (1995) menyatakan bahwa terdapat dua tipe dasar akar rimpang pada

bambu, yaitu pakimorf dan leptomorf. Tipe akar pakimorf dicirikan oleh akar

rimpangnya yang simpodial, sedangkan tipe akar leptomorf dicirikan oleh akar

rimpang yang monopodial.dari kedua tipe dasar akar rimpang tersebut, jenis-jenis

bambu di Indonesia pada umumnya mempunyai sistem perakaran tipe pakimorf.

Tipe akar pakimorf ini dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang

pendek juga.

2.1.1.2. Rebung

Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh

yang tua. Struktur rebung yang bervariasi dapat digunakan untuk membedakan

jenis bambu karena menunjukkan ciri khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu

yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya berwarna hitam,

tapi ada juga yang berwarna coklat atau putih. Beberapa jenis bambu memiliki

bulu rebung yang dapat menyebabkan kulit menjadi sangat gatal (Widjaya, 2001).

Page 21: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  7

1.1.1.3. Buluh

Buluh bambu berkembang dari rebung. Buluh tumbuh sangat cepat dan dapat

mencapai tinggi maksimum dalam waktu beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas

dan buku-buku. Beberapa mempunyai ruas yang panjang, misalnya Scizostachyum

lima, dan ada juga yang mempunyai ruas pendek, misalnya Bambusa vulgaris dan

Bambusa blumeana (Widjaya, 2001). Menurut Dransfield (1995) ukuran diameter

buluh bambu tergantung pada jenis bambu dan lingkungan pertumbuhannya,

variasi diameternya berkisar antara 0.5 – 20 cm. Jenis Dendrocalamus asper

merupakan jenis bambu yang memiliki buluh dengan diameter terbesar

dibandingkan dengan jenis yang lain.

Pada umumnya buluh bambu tumbuh tegak, tetapi ada beberapa marga bambu

yang buluhnya tumbuh merambat, misalnya marga Dinochloa dan ada juga yang

tumbuhnya serabutan, misalnya bambu dari marga Nastus. Buku-buku pada buluh

bagian pangkal beberapa jenis bambu ada tertutup oleh akar udara, ada yang

tertutup lampang pelepah buluh yang sangat kasar, ada yang berlutut bahkan ada

juga yang tanpa tanpa ketiganya. Perbedaan dari setiap jenis bambu juga dapat

dilihat dari permukaan ruasnya, karena permukaan ruas setiap jenis bambu

tidaklah sama, mungkin memiliki bulu atau rambut halus yang gundul atau

bahkan lebat (Widjaya, 2001).

2.1.1.4. Pelepah buluh

Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas

yang terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah bulu dan ligula. Daun

Page 22: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  8

pelepah buluh terdapat pada bagian atas pelepah, sedangkan kuping pelepah buluh

dan ligulanya terdapat pada sambungan antara pelepah dan daun pelepah buluh.

Pelepah buluh memiliki fungsi yang sangat penting sebagai penutup buluh ketika

muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi, pada beberapa jenis bambu pelepah

buluh ini akan luruh. Pada bambu marga Dinochloa, ketika pelepah buluh luruh

akan tertinggal lampang buluh yang sangat kasar, ciri khas ini dapat digunakan

untuk membedakan bambu yang termasuk ke dalam marga ini.

Daun pelepah pada beberapa jenis bambu tampak tegak, tetapi pada umumnya

daun pelepah ini tumbuh menyebar, menyadak atau terkeluk balik. Beberapa jenis

bambu mempunyai kuping pelepah buluh dan ligula yang berkembang baik, tetapi

pada beberapajenis lainnya kuping pelepah buluh dan ligula ini berukuran kecil

atau hampir tidak tampak. Kuping pelepah buluh dan ligula merupakan ciri

penting yang dapat digunakan untuk membedakan suatu jenis bahkan marga

bambu, keduanya terkadang dengan bulu kejur atau tanpa bulu kerjur sama sekali

(Widjaya, 2001).

2.1.1.5. Percabangan

Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku bambu. Cabang dapat

digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan suatu marga bambu.

Contohnya pada marga Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem

percabangannya mempunyai satu cabang yang lebih besar dibandingkan cabang

lainnnya yang lebih kecil. Cabang lateral bambu yang tumbuh pada batang utama

biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum.

Page 23: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  9

Pada beberapa marga, cabang muncul tepat di atas tanah, misalnya marga

Bambusa dan menjadi rumpun padat di dekitar dasar rumpun dengan duri atau

tanpa duri. Tetapi pada marga lain, cabangnya tumbuh jauh di atas permukaan

tanah, misalnya marga Dendrocalamus, Gigantochloa dan Schizostachyum. Duri

yang terdapat pada beberapa jenis bambu merupakan anak cabang aksiler dari

bambu atau cabanh yang tumbuh pada batang lateral yang melengkung dan

berujung lancip (Widjaya, 2001).

2.1.1.6. Helai daun dan pelepah daun

Helai daun bambu mempunyai urat daun yang sejajar seperti pada rumput atau

padi, dan setiap daunnya mampunyai tulang daun utama yang sangat menonjol.

Daunnya ada yang lebar bahkan ada juga yang kecil dan sempit seperti pada

Bambusa multiplex. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai

daunyang berukuran panjang ataupun pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping

pelepah dan ligula. Kuping pelepah daun dapat berukuran besar ataupun kecil,

bahkan tidak tampak sama sekali dan pada beberapa jenis bambu kuping pelepah

ini memiliki cuping besar dan melipat keluar. Ligula pada beberapa jenis bambu

berukuran panjang dan beberapa jenis lainnya memiliki ligula yang berukuran

kecil dengan bulu kejur panjang atau tanpa bulu kejur. Ligula bambu kadang

mempunyai sisi atau pinggir yang menggerigi tidak teratur, menggerigi,

menggergaji atau rata (Widjaya, 2001).

Page 24: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  10

1.1.2. Habitat bambu

Bambu merupakan salah satu tanaman hasil hutan non kayu yang banyak tumbuh

di hutan sekunder dan hutan terbuka walaupun diantaranya ada yang tumbh di

hutan primer (Widjaya dan Karsono, 2005). Menurut Danaatmadja (2006),

tanaman bambu sangat mudah ditemui di daerah atau wilayah beriklim tropis

seperti Indonesia mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 400 m dpl. Tempat

tumbuhnya pada tanah aluvial dengan tekstur tanah berpasir sampai berlampung

dengan ketinggian optimal 0-500 m dpl.

1.1.3. Persebaran bambu

Menurut Holtum dalam Dransfield (1995), penyebaran geografis bambu sebagian

besar dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Bambu tersebar luas di daerah atau

wilayah yang memiliki iklim tropis, subtropis serta beberapa wilayah kontinental

kecuali Eropa dan Asia Barat mulai dari dataran rendah hingga pada ketinggian

4000 m dpl. Terdapat dua jenis bambu yang memiliki penyebaran paling luas,

yaitu Bambusa vulgaris dan Bambusa multiplex. Bambusa vulgaris merupakan

tanaman bambu daerah tropis yang dapat tumbuh alami di semua habitat

terkecuali bambu yang berada di daerah sepanjang tepi sungai karena bambu

tersebut belum diketahuia sal mulanya. Sedangkan Bambusa multiplex luas di

setiap daerah beriklim tropis, subtropis dan daerah yang dipengaruhi oleh suhu

(Dransfield, 1995).

Menurut Danaatmadja (2006), beberapa jenis bambu yang terdapat di Indonesia

berasal dari 8 marga yang tersebar luas hampir di seluruh Indonesia. Tanaman

Page 25: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  11

bambu di Indonesia ditemukan di daerah dataran rendah sampai pegunungan

dengan ketinggian sekitar 300 m dpl dan pada umumnya ditemukan di tempat

terbuka serta terbebas dari genangan air. Masing-masing jenis bambu yang

terdapat di Indonesia tidak dikenal baik oleh masyarakat Indonesia khususnya

masyarakat Jawa, karena hanya beberapa jenis bambu yang tumbuh tersebar di

Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika masih dijumpai beberapa jenis

bambu yang persebarannya terbatas, kadang hanya tumbuh pada tempat tertentu,

misalnya di daerah berkapur .

1.1.4. Manfaat bambu

Tanaman bambu merupakan salah satu kelompok rumput raksasa yang digunakan

secara luas di Pulau Jawa dan Bali, terutama sebagai bahan pengganti kayu

bangunan. Selain memiliki kegunaan utama sebagai bahan alternatif pengganti

kayu bangunan, tanaman bambu juga memiliki manfaat lain yang beragam.

Pemanfaatan ini disesuaikan dengan masing-masing dari jenis bambu tersebut,

sehingga menyebabkan suatu jenis bambu tertentu hanya baik digunakan untuk

suatu hasil kerajinan tertentu.

Bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daunnya. Akar umumnya

dimanfaatkan untuk membuat ukiran bambu, sedangkan buluh bambu biasanya

dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan,

keranjang, mebel, alat-alat pertanian dan perikanan, alat rumah tangga, pipa air,

kertas, sumpit, tusuk gigi, tusuk sate dan lain sebagainya.selain itu, buluh bambu

Page 26: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  12

juga dapat digunakan untuk membuat alat musik bambu tradisional maupun alat

musik bambu modern (Widaja, 2001).

2.2. Populasi dan Kerapatan Populasi

Menurut Leksono (2007), yang dimaksud dengan populasi adalah sekumpulan

individu organisme dari spesies yang sama dan menempati daeraha atau wilayah

tertentu pada suatu waktu yang tertentu pula. Dari pengertian ini, terdapat batasan

tersendiri untuk menyebut bahwa sekumpulan individu tersebut dapat dinyatakan

sebagai suatu populasi. Batasan tersebut adalah bahwa suatu kumpulan individu

sejenis dapat disebut sebagai suatu populasi jika antaranggota populasi tersebut

memiliki kemampuan untuk berbiak secara silang. Di luar itu, menurut Campbell

(2004) di dalam setiap populasi terdapat dua karakteristik penting, yaitu kerapatan

populasi dan penyebarannya.

Parameter paling fundamental dalam populasi adalah densitas atau kerapatan.

Kerapatan merupakan ukuran populasi atau jumlah individu dalam suatu populasi,

dengan demikian kerapatan dapat dinyatakan dalam jumlah individu perkelompok

atau persatuan panjang, luas atau volume (Leksono, 2007). Hal ini senada dengan

pendapat Campbell (2004) yang menyatakan bahwa kepadatan populasi (untuk

tumbuhan kerapatan) adalah jumlah individu persatuan luas atau volume. Nilai

kerapatan yang diperoleh dapat menggambarkan bahwa suatu jenis yang

memperoleh hasil perhitungan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian

yang besar (Fachrul, 2007).

Page 27: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  13

2.3. Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede

1.3.1. Cagar Alam Rawa Danau

Rawa Danau merupakan salah satu satu tempat upaya konservasi yang telah

ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1921 dengan luas sekitar

2.500 ha (Whitten, 1999). Cagar Alam Rawa Danau ini terletak di provinsi Banten

bagian barat dan merupakan tipe lahan basah pegunungan yang diapit oleh

pegunungan Tukung Gede Barat dan Tukung Gede Timur. Menurut Bapeda

Provinsi Banten dalam Prasdiyanto (2004), lahan basah seperti Cagar Alam Rawa

Danau merupakan bagian integral dari siklus hidrologi yang memainkan peran

kunci dalam membagi dan mengatur kualitas dan kuantitas air bagi kehidupan.

Daerah lahan basah seringakali terhubung dengan lahan basah lainnya dan kadang

terdapat transisi yang beragam antara ekosistem perairan dan ekosistem darat

hutan rawa atau padang rumput.

Cagar Alam Rawa Danau memiliki vegetasi tipe ekosistem rawa air tawar

pegunungan. Jenis tumbuhan berkayu yang mendominasi kawasan ini adalah

Ficus retusa. Alstonia spatulata, Gluta rhengas, Engenia spicata. Untuk

tumbuhan bawah didominasi oleh jenis rumput-rumputan (Dinas Kehutanan

Provinsi Jawa Barat, 2007). Terdapat empat tipe vegetasi utama yang dikenali di

Rawa Danau, yaitu hutan rawa campuran, hutan rawa yang didominasi oleh jejawi

(Ficus retusa), hutan perdu dan berbagai tipe vegetasi sekunder (Whitten, 1999).

Page 28: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  14

1.3.2. Cagar Alam Tukung Gede

Tukung Gede merupakan daerah perbukitan dengan luas sekitar 1.700 ha yang

berada di pinggiran kawah gunung api purba pada ketinggian ± 450 m dpl dengan

suhu rata-rata 19o-25oC serta curah hujan rata-rata 2.151 mm per tahun. Tukung

Gede telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada tahun 1980 (Whitten,

1999). Cagar Alam Tukung Gede Cagar Alam Tukung Gede memiliki tipe

vegetasi hutan pegunungan yang terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu hutan

alam dan hutan tanam. Vegetasi hutan alamnya ditumbuhi oleh berbagai jenis

pepohonan seperti Langerstroemi sp., Sterculia coccinea dan Quercus javanicus

serta jenis tumbuhan memanjat Liana dan Epifit (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

Barat, 2007).

Menurut Whitten (1999), Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede memiliki

keanekaragaman satwa yang hampir sama, karena letaknya yang sangat

berdekatan. Di kedua kawasan Cagar Alam tersebut terdapat hewan mamalia

meliputi surili yang terancam punah secara global serta owa dan berbagai jenis

lain yang menunjukkan bahwa kawasan hutan ini relatif tidak terganggu.

2.4. Materi Subkonsep Spermatophyta di SMA

2.4.1. Ciri dan Struktur Tumbuhan Berbiji

Tumbuhan berbiji atau spermatophyta merupakan tumbuhan kormus sejati. Ciri

khas spermatophyta adalah adanya biji yang dihasilkan melalui peristiwa

pembuahan atau fertilisasi. Tumbuhan berbiji memiliki jaringan pembuluh angkut,

yaitu jaringan pembuluh xilem dan floem.

Page 29: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  15

2.4.2. Reproduksi Tumbuhan Berbiji

Tumbuhan berbiji atau spermatophyta berkembangbiak melalui 2 cara, yaitu

secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi vegetatif

merupakan cara perkembang biakan tanpa melewati proses peleburan dua gamet

(fertilisasi) dan akan menghasilkan keturunan yang memiliki sifat identik dengan

induknya. Sedangkan reproduksi generatif merupakan cara perkembangbiakan

tumbuhan yang melibatkan proses peleburan gamet jantan dan gamet betina

(fertilisasi) yang biasa disebut pembuahan. Dalam reproduksi generatif terdapat

dua tahap yang dilalui sebelum tumbuhan yang berkembang biak tersebut

menghasilkan keturunan, yaitu tahap penyerbukan atau polinasi dan pembuahan

atau fertilisasi.

2.4.3. Klasifikasi Tumbuhan Berbiji

Tumbuhan berbiji dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Gymnospermae

(tumbuhan berbiji terbuka) dan Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup).

Gymnospermae dicirikan oleh biji-bijinya yang tidak tertutup dan terdapat pada

permukaan sporofit yang merupakan daun pembawa sporangia. Menurut

Campbell (2003), dari sebelas divisi dalam dunia tumbuhan, empat diantaranya

dikelompokkan sebagai tumbuhan gymnospermae. Keempat divisi tumbuhan itu

adalah Cycadophyta (Sikad), Gynkgophyta), Gnetophyta dan Coniferophyta

(Konifer).

Angiospermae atau tumbuhan berbunga merupakan tumbuhan yang memiliki biji

terbungkus dalam suatu badan atau daging yang berasal dari daun buah.

Page 30: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  16

Berdasarkan daun lembaga yang dimiliki, angiospermae dibedakan menjadi dua

kelas yaitu kelas Monocotyledonae ( memiliki satu daun lembaga) dan

Dicotyledonae (memiliki dua daun lembaga).

2.4.4. Manfaat Tumbuhan Berbiji

Tumbuhan berbiji, baik Gymnospermae maupun Angiospermae memiliki banyak

manfaat bagi kehidupan manusia. Masing-masing manfaatnya antara lain

a. Gymnospermae memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi manusia, misalnya

kayu dari pohon konifer yang banyak digunakan sebagai bahan baku kontruksi

bangunan, bahan baku kertas, penghasil getah, bahan makanan atau minuman

dan bahan obat-obatan.

b. Angiospermae memiliki manfaat yang lebih banyak lagi dibandingkan

Gymnospermae. Beberapa manfaat tersebut antara lain: sebagai bahan

bangunan, bahan pangan, bahan sandang, bahan obat-obatan serta bahan

pemberi rasa nikmat pada makanan, minuman atau lainnya

2.5. Sumber Belajar

Sumber belajar mencakup semua bahan yang dapat digunakan oleh setiap orang

dalam melakukan kegiatan belajar untuk menambah wawasan dan menggali

kompetensi yang dimilki. Menurut Rohani (2004), sumber belajar adalah segala

daya yang diperlukan untuk kepentingan proses atau akltivitas pengajaran baik

secara langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan)

yang melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Hal ini senada

dengan pendapat Djamarah (2006) yang menyatakan bahwa sumber belajar adalah

Page 31: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  17

bahan atau materi yang dapat menambah ilmu pengetahuan yang mengandung

hal-hal baru bagi si pelajar (peserta didik), sebab pada hakikatnya bekajar itu

merupakan proses untuk mendapatkan hal-hal yang baru sehingga terjadi

perubahan. Menurut Sudrajat (2008), yang dimaksud dengan sumber belajar atau

learning resources adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud

tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara

terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam

mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Jadi, sumber belajar

adalah segala sesuatu yang dapat digunakan oleh setiap orang terutama peserta

didik untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam kegiatan belajar.

Dari beberapa pengertian di atas, diketahui bahwa pada hakikatnya sumber belajar

itu begitu luas dan lebih dari sekedar media pembelajaran. Oleh karena itu, segala

sesuatu baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang

sekiranya dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk keberhasilan kegiatan belajar

dapat dipertimbangkan sebagai sumber belajar.

Ada bermacam-macam sumber belajar, menurut Winataputra dan Ardiwinata

(Djamarah, 2006), sekurang-kurangnya terdapat 5 macam sumber belajar, yaitu

(1) manusia, (2) buku/perpustakaan, (3) media massa, (4) alam lingkungan yang

meliputi alam lingkungan terbuka, alam lingkungan sejarah atau peninggalan

sejarah dan alam lingkungan manusia, (5) media pendidikan. dari kelima sumber

belajar tersebut, lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat

penting karena lingkungan kaya akan sumber yang dapat meningkatkan dan

memperkaya bahan pembelajaran dalam kegiatan belajar. Menurut Sudrajat

Page 32: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  18

(2008), lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari :

(1) lingkungan sosial dan (2) lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat

dijadikan sebagai sumber belajar yang digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu

sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk

mempelajari tentang gejala-gejala alam dan keanekaragaman makhluk hidup di

alam serta dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan kecintaan mereka

terhadap alam sehingga dapat berpartispasi dalam memelihara dan melestarikan

alam.

Diantara sumber belajar yang disebutkan oleh Djamarah tersebut di atas, buku

merupakan salah satu sumber belajar yang sangat menunjang kegiatan belajar

mengajar. Menurut Hayat (DIKTI, 2003), buku pelajaran meliputi buku teks

utama dan buku teks pelengkap. Buku teks utama berisi bahan-bahan pelajaran

suatu bidang studi yang digunakan sebagai buku pokok bagi siswa dan guru,

sedangkan buku teks pelengkap adalah buku yang sifatnya membantu atau

merupakan tambahan bagi buku teks utama dan digunakan oleh guru dan siswa.

 

Page 33: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

19

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede

yang secara administratif termasuk dalam tiga kecamatan, yaitu kecamatan

Padarincang, kecamatan Pabuaran dan kecamatan Mancak, kabupaten Serang.

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Desember 2009 sedangkan untuk

pengambilan data dilakukan pada bulan Juni – Juli 2009.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain

meteran, cutter atau gunting, pisau, patok, tali rapia, pensil, kertas untuk mencatat

data yang diperoleh serta buku panduan lapangan berupa buku identifikasi bambu.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian mengenai Kerapatan Populasi Bambu di Kawasan Cagar Alam Rawa

Danau – Tukung Gede ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang

menggunakan metode kombinasi antara sistem petak tunggal dan sistem jalur

(Soerianegra dan Indrawan dalam Kalima, 1996)

Page 34: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  20

3.3.1. Penentuan Pengambilan Data

Penelitian ini tidak mencakup seluruh kawasan Cagar Alam Rawa Danau –

Tukung Gede tetapi hanya mengambil beberapa lokasi yang dianggap mewakili

kawasan tersebut, yaitu tiga jalur yang tersebar di kawasan tersebut. Pada masing-

masing jalur tersebut dibagi menjadi tiga titik atau stasiun pengamatan, yaitu titik

atas, titik tengah dan titik bawah.

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data yang digunakan adalah kombinasi antara sistem petak

tunggal dan sistem jalur. Petak contoh berupa jalur sepanjang 2 km dibuat di tiga

jalur kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede. Tiap jalur terdiri atas

200 petak berukuran 20 x 10 m (Mueller dan Ellenberg dalam Kalima, 1996) yang

tersebar di tiga jalur kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede. Dengan

demikian banyaknya seluruh petak ada 600 buah dengan luas 12 hektar. Parameter

yang diukur adalah jenis-jenis bambu yang ditemukan serta kerapatan populasi

dari masing-masing jenis bambu yang ditemukan.

Gambar. Posisi jalur petak yang digunakan untuk pendataan

populasi bambu

Page 35: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  21

3.3.2. Identifikasi Jenis

Identifikasi jenis bambu dilakukan dengan metode eksplorasi dari petak contoh

yang dibuat di sepanjang jalur. Pengamatan secara morfologis dan identifikasi

jenis dilakukan secara langsung di lapangan dengan mengacu pada Widjaja

(2001). sedangkan untuk spesimen (jenis bambu) yang belum diketahui namanya,

dilakukan pembuatan herbarium untuk keperluan identifikasi di Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Pusat Penelitian Pengembangan

Biologi, LIPI Bogor dengan menggunakan acuan spesimen herbarium maupun

pustaka yang ada.

3.4. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.4.1 Kerapatan

Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi

memiliki pola penyesuaian yang besar. Untuk mengetahui kerapatan jenis bambu

di kawasan Cagar Alam Rawa Danau - Tukung Gede maka digunakan rumus:

Jumlah batang atau jumlah individu Kerapatan =

Luas plot (ha)

Kerapatan suatu jenis (ha) Kerapatan Relatif = x 100%

KR Kerapatan seluruh jenis (ha)

(Fachrul, 2007:46)

Page 36: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  22

3.4.2 Frekuensi

Frekuensi dipakai sebagai parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi

atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Frekuensi ini dapat diketahui

dengan menggunakan rumus:

Jumlah petak ditemukan suatu jenis Frekuensi =

Jumlah seluruh petak

Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif = x 100% FR Frekuensi seluruh jenis (ha)

(Fachrul, 2007)

3.5. Penerapan Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan

3.5.1. Buku Saku

Hasil penelitian yang telah dilakukan akan diterapkan sebagai salah satu sumber

belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta berupa buku

pelajaran. Menurut Bahrul Hayat dalam DIKTI (2003), buku pelajaran meliputi

buku teks utama dan buku teks pelengkap. Adapun buku pelajaran yang dimaksud

dalam penerapan hasil penelitian ini adalah buku teks pelengkap yang dikemas

dalam bentuk buku saku yang berisi mengenai jenis bambu yang terdapat di

kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede dan bagaimana keadaan

populasinya di kawasan tersebut

.

Bahasa yang digunakan dalam pembuatan buku saku adalah bahasa Indonesia

yang ringan dan mudah difahami, hal ini bertujuan agar siswa lebih mudah

Page 37: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  23

mengerti dan paham mengenai bambu dan berbagai manfaatnya. Penerapan hasil

penelitian dalam bentuk buku saku ini merupakan upaya penggunaan alam

sebagai sumber belajar yang diharapkan mampu menjadikan siswa lebih

mengetahui mengenai potensi yang ada di lingkungan sekitar. Hal ini ditegaskan

oleh Sudrajat (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan alam dapat digunakan

untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan keanekaragaman makhluk

hidup di alam serta dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan kecintaan

mereka terhadap alam sehingga dapat berpartispasi dalam memelihara dan

melestarikan alam. Pernyataan ini senada dengan yang dikemukakan oleh

Mulyasa (2008) mengenai hal yang perlu dipahami dalam KTSP, yaitu KTSP

dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi, karakteristik

daerah serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.

3.5.2 Standar Penilaian Buku Saku

Buku pelajaran merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi siswa di sekolah

dan merupakan sarana yang sangat menunjang proses kegiatan belajar mengajar.

Oleh karena itu, buku pelajaran diharapkan dapat memenuhi standar-standar

tertentu yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan (siswa dan guru), perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kurikulum.standar yang dimaksud

dalam pedoman penilaian ini meliputi persyaratan, karakteristik dan kompetensi

minimum yang harus terkandung di dalam suatu buku. Standar penilaian ini

dirumuskan dengan melihat tiga aspek utama, yaitu materi, penyajian, dan

bahasa/keterbacaan (DIKTI, 2003).

Page 38: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  24

Setelah buku saku selesai dibuat, maka untuk mengetahui kelayakannya dilakukan

uji kelayakan terhadap buku saku tersebut. Uji kelayakan ini dilakukan melalui

penilaian oleh 9 orang ahli sebagai penguji yang terdiri atas 4 orang dosen dan 5

orang guru bidang studi Biologi.

 

Page 39: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Bambu yang Ditemukan

Setelah dilakukan penelitian di kawasan Cagar Alam Rawa Danau - Tukung

Gede, terdapat 8 spesies bambu yang termasuk ke dalam 5 marga, yaitu

Bambusa, Dendrocalamus, Dinochloa, Gigantochloa dan Schizostachyum. Jumlah

marga bambu yang ditemukan dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan

dengan jumlah marga bambu yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan

oleh Misonah (2006) yang hanya menemukan 4 marga, yaitu Bambusa,

Dendrocalamus, Gigantochloa dan Phyllostachys. Berikut ini adalah tabel

mengenai jenis-jenis bambu yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Tukung

Gede beserta dengan lokasi ditemukannya:

Tabel 1. Sebaran jenis-jenis bambu yang ditemukan di kawasan Cagar Alam

Rawa Danau - Tukung Gede

Lokasi ditemukan No Spesies

Jalur I Jalur II Jalur III Luar Jalur

1. Bambusa vulgaris - - - √

2. Dendrocalamus asper - - - √

3. Dinochlooa scandens - √ - -

4. Gigantochloa apus - √ - -

5. G. atroviolacea √ √ - -

6. G. atter - - - √

7. G. pseudoarundinacea √ - - √

8. Schizostachyum iraten √ - - -

Page 40: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  26

Gambar 1. Dinochloa scandens

Keterangan:

Jalur I : Gunung Cinini √ : ditemukan

Jalur II : Gunung Cilik - : tidak ditemukan

Jalur III : Gunung Batu Lawang

Dari data di atas dapat terlihat bahwa pada jalur I ditemukan 3 jenis bambu, yaitu

G. pseudoarundinacea, G. atroviolaceae dan S. iraten. Pada jalur II juga

ditemukan 3 jenis bambu, yaitu G. apus, G. atroviolacea dan D. scandens.

Sedangkan pada jalur III tidak ditemukan jenis bambu. Selain itu, ditemukan juga

4 jenis bambu di luar jalur penelitian dengan 1 jenis yang sama dengan jenis yang

ditemukan di jalur I, yaitu G. Pseudoarundinacea dan 3 jenis lagi berbeda dengan

kelima jenis yang ditemukan di dalam jalur penelitian. Ketiga jenis bambu

tersebut adalah B.vulgaris, D. asper dan G. atter.

4.2 Deskripsi Jenis-jenis Bambu yang ditemukan

Berikut adalah deskripsi atau penggambaran mengenai jenis-jenis bambu yang

terdapat di kawasan Cagar Alam Tukung Gede:

1. Dinochloa scandens

Bambu ini dikenal oleh masyarakat sekitar

dengan nama bambu merambat atau awi

ngarambat, cangkoreh (Sunda). D.

Scandens memiliki rumpun yang menjalar

dan terbuka dengan panjang buluh

Page 41: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  27

mencapai 20 m dan tumbuh menjalar. Pelepah buluhnya mudah gugur dan

tertutup rambut halus berwarna putih atau gundul. Daun pelepah buluh terkeluk

balik dan menyegitiga dengan pangkal yang menyempit sedangkan daun

bambunya gundul tanpa tertutupi rambut halus. Menurut Widjaja (2001), bambu

ini memiliki rebung keunguan, gundul dan terkadang berlilin putih. Percabangan

hanya tumbuh jauh dari permukaan tanah yang terdiri atas 1-2 cabang di setiap

bukunya tetapi hanya ada 1 cabang besar yang hanya akan tumbuh jika batang

utama terpotong. Daunnya berukuran 11-23 x 1,4-4,9 cm, kuping pelepah buluh

kecil dengan rambut kejur pendek dan ligula rata yang disertai rambut kejur yang

panjangnya mencapai 8 mm.

D. scandens tumbuh di tanah berpasir dan berkapur di hutan basah tropis dan

merupakan tanaman bambu endemik daerah Jawa bagian barat, sehingga hanya

ditemukan di daerah Jawa Barat dan Banten (Widjaja, 2001). Masyarakat sekitar

CARD – CATG belum memanfaatkan bambu jenis D. Scandens ini. Akan tetapi

menutut Widjaja (2001), bambu ini sering digunakan oleh masyarakat sebagai tali

pengikat di hutan jika tidak ada tumbuhan lain yang dapat digunakan sebagai tali.

2. Gigantochloa apus

G. apus dikenal oleh masyarakat sekitar dengan nama pring tali, pring apus

(Jawa), awi tali (Sunda). Bambu ini memiliki rumpun simpodial yang rapat dan

tegak. Rebungnya berwarna hijau tertutup rambut halus berwarna coklat dan

hitam sedangkan buluh mudanya hanya tertutup rambut halus berwarna coklat

yang tersebar di seluruh permukaan buluh. Buluh bambu yang tua tidak tertutup

Page 42: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  28

Gambar 2. Gigantochloa apus

rambut halus tersebut, sehingga buluh

bambu tampak berwarna hijau.

Batangnya berwarna hijau keabu-abuan

atau cenderung kuning mengkilap. Daun

bambu tali memiliki permukaan bawah

yang agak berambut serta kuping

pelepah daun yang kecil dan membulat.

Menurut Widjaja (2001), rambut halus

yang tersebar pada seluruh permukaan buluh saat muda akan luruh ketika buluh

mulai menua hingga akhirnya tampak batang bambu yang berwarna hijau.

Percabangannya 1,5 m dari permukaan tanah dengan satu cabang lateral yang

berukuran lebih besar dari pada cabang lainnya., memiliki ruas yang panjangnya

mencapai 20-60 cm dengan diameter batang 4-15 cm dan tebal dindingnya

mencapai 15 mm. Daun bambu tali berukuran antara 13-49 x 2-9 cm, memiliki

kuping pelepah daun yang kecil, membulat dan gundul, juga memiliki ligula yang

rata dengan tinggi 2-4 mm.

G. apus tumbuh tersebar di Pulau Jawa dan pada daratan yang lembab di dataran

rendah hingga berbukit-bukit, bahkan dapat juga tumbuh di tanah liat berpasir

(Widjaja, 2001). Bambu tali dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk membuat

pagar, taraje (tangga sederhana), layes, reng serta kerajinan anyaman bambu

seperti bakul, tampah, kipas, irigan dan bilik.

Page 43: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  29

Gambar 3. G. atroviolacea

3. Gigantochloa atroviolacea

G. atroviolacea dikenal oleh masyarakat

sekitar dengan nama bambu hitam, pring

wulung atau pring ireng (Jawa) dan awi

hideung (Sunda). Bambu ini memiliki

rumpun simpodial yang tegak dan rapat.

Rebung bambu hitam berwarna hijau

kehitaman dan jingga pada ujungnya,

tertutup rambut halus berwarna coklat hingga hitam. Buluh bambu ini tegak dan

tingginya mencapai 15 m. Buluh mudanya tertutup rambut halus berwarna coklat

hingga hitam yang akan meluruh ketika buluh menua sehingga buluh tua menjadi

keunguan. Pelepah buluh juga tertutup rambut halus berwarna hitam hingga

coklat, kuping pelepah buluhnya kecil membulat dengan tinggi kira-kira 1 mm.

Daun pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal menyempit

dan memiliki daun yang gundul. Menurut Widjaja (2001), percabangannya

tumbuh jauh di atas permukaaan tanah dengan satu cabang lateral yang lebih besar

daripada cabang lainnya dan ujung cabang yang melengkung. Batang G. Apus

memiliki ruas yang panjangnya 40-50 cm dengan diameter 6-8 cm dan tebal

dindingnya mencapai 8 mm. Rambut halus berwarna coklat atau hitam yang

menutupi buluh bambu bersifat mudah luruh. Daunnya berukuran 20-28 x 2-5 cm,

memililki ligula yang menggerigi, gundul dan tingginya mencapai 2 mm.

Page 44: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  30

Gambar 4. G. pseudoarundinacea

G. atroviolacea hanya terdapat di Pulau Jawa, tumbuh baik dan subur di daerah

yang memiliki tanah kering dan berkapur juga dapat tumbuh di tanah vulkanik

yang berwarna kemerahan (Widjaja, 2001). Masyarakat sekitar memanfaatkan

bambu hitam untuk membuat kerajinan tangan seperti kursi bambu, bilik dan

dipan. Selain itu, masyarakat juga menggunakannya untuk membuat taraje, pagar

dan tiang jemuran.

3. Gigantochloa pseudoarundinacea

G. pseudoarundinacea dikenal oleh

masyarakat sekitar dengan nama bambu

gombong, bambu ater surat atau pring

surat. Rumpun G. Pseudoarundinacea

simpodial, tegak dan padat. Rebung bambu

berwarna hijau dengan garis-garis kuning

yang tertutup rambut halus coklat atau

hitam. Bambu ini memiliki buluh yang

tingginya mencapai 7-30 m. Pada saat masih muda, buluh ini tertutup rambut

halus berwarna coklat dan ketika tua rambut halus tersebut rontok dan buluh

menjadi hijau bergaris kuning. Pelepah buluh tertutup rambut halus berwarna

coklat dan mudah luruh, kuping pelepahnya berbentuk bingkai yang

bergelombang dengan pelepah buluh yang terkeluk balik, menyetiga dengan

pangkal yang menyempit. Daunnya gundul tanpa rambut halus. Menurut Widjaja

(2001), percabangannya terletak jauh di atas permukaan tanah dengan satu cabang

lateral yang lebih besar daripada cabang lainnya. Batang bambu ini memiliki ruas

Page 45: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  31

Gambar 5. Schizostachyum iraten

yang panjangnya mencapai 40-45 cm bahkan terkadang mencapai 60 cm, diameter

5-13 cm dan tebal dinding mencapai 20 mm. Daunnya berukuran 22-25 x 2,5-5

cm dengan kuping pelepah buluh seperti bingkai dan ligula yang rata sampai

menggerigi.

G. pseudoarundinacea merupakan tanaman bambu endemik pulau Jawa, sehingga

dapat dijumpai di seluruh wilayah Pulau Jawa. Bambu ini tumbuh baik dan subur

di daerah tropis yang lembab dengan suhu 200-320C dan kelembaban relatif

sekitar 70% (Widjaja, 2001). G. pseudoarundinacea biasanya digunakan oleh

masyarakat sekitar untuk bahan bangunan, pipa air, pagar, tusuk sate, dipan,

taraje, tiang dan rebungnya dapat dijadikan sebagai bahan sayuran.

5. Schizostachyum iraten

S. iraten dikenal oleh masyarakat sekitar

dengan namna bambu suling, bambu jepang

atau awi tamiyang (Sunda). Bambu ini

memiliki rumpun simpodial yang rapat,

rebung hijau tertutup ranbut halus berwrna

coklat, buluhnya lurus dan tegak dengan

ujung yang melengkung dan tinggi buluhnya

mencapai 12 m. Buluh muda hijau tertutup

rambut halus yang pucat dan cincin putih yang melingkar di bawah buku-buku

yang tampak jelas. Pelepah buluh tidak mudah luruh, tertutup rambut halus

berwarna coklat dan pucat. Kuping pelepah buluh tidak tampak atau seperti

bingkai yang tertutupi bulu kejur, bagian ujung pelepah merompang, daun pelepah

Page 46: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  32

Gambar 6. Bambusa vulgaris

buluh tegak, menyegitiga dengan pangkal yang melebar. Daun bambu ini gundul

atau tidak tertutupi oleh rambut halus. Menurut Widjaja (2001), S. iaraten

memiliki percabangan yang terletak jauh dari permukaan tanah dengan cabang

yang sama besar. Batang bambu ini memiliki ruas yang panjangnya 50-120 cm,

diameter 2-5 cm, dengan dinding tpis yang tebalnya kira-kira mencapai 3-7 mm.

Daunnya berukuran 21,5-40 x 3,5-7 cm, kuping pelepah buluhnya tidak tampak

atau kecil pada tepi ujung pelepah dengan bulu kejur mencapai 8 mm, dan ketika

muda pelepah tertutup rambut halus berwarna putih kecoklatan.

S. iaraten dapat dijumpai di seluruh wilayah Pulau Jawa, bambu ini akan tumbuh

baik dan subur di daerah dengan curah hujan yang cukup. (Widjaja,2001). S.

iraten kurang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, tetapi ada saja yang

menggunakannya untuk membuat suling dan tusuk sate.

Selain kelima jenis bambu yang ditemukan pada 3 jalur penelitian, di kawasan

CARD – CATG juga terdapat beberapa jenis bambu yang tidak ditemukan di

sepanjang jalur penelitian. Beberapa jenis bambu tersebut antara lain:

1. Bambusa vulgaris

B. vulgaris dikenal oleh masyarakat sekitar

dengan nama bambu ampel. Bambu ini

ditemukan di daratan sekitar rawa (CARD)

dan daratan yang terdapat aliran airnya. B.

Page 47: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  33

Gambar 7. Dendrocalamus asper

Vulgaris memiliki rumpun simpodial yang tumbuh tegak dan tidak terlalu rapat.

Tinggi buluhnya mencapai 20 m, tumbuh tegak dengan percabangan yang tumbuh

1,5 m dari permukaan tanah. Bambu ini memiliki pelepah buluh yang mudah

luruh, tertutup rambut halus berwarna hitam hingga coklat tua, kuping pelepah

buluh membulat dengan ujung melengkung keluar. Daunnya gundul karena tidak

tertutup rambut halus seperti pada buluhnya. Menurut Widjaja (2001), Rebung B.

vulgaris berwarna kuning atau hijau dan tertutup rambut halus berwarna coklat

hingga hitam.Batang bambunya memiliki ruas-ruas dimana setiap ruas terdiri atas

2-5 cabang dengan satu cabang lebih besar daraipada cabang lainnya. Panjang

ruas-ruas batangnya mencapai 20-45 cm dengan diameter batang 5-10 cm dan

dinding yang tebalnya 7-15 mm.daunnya berukuran 9-30 x 1-4 cm dengan kuping

pelepah buluh kecil dan ligula rata yang tingginya 1-2 mm.

B .vulgaris ditanam di seluruh Pulau Jawa dan tumbuh baik di daerah yang sangat

kering atau lembab bahkan pada daerah yang tergenang air sekalipun (Widjaja,

2001). B. vulgaris yang ditemukan di kawasan CARD merupakan B. vulgaris

dengan varietas hijau. Bambu ini dimanfaatkan masyarkat sekitar untuk membuat

pagar, tusuk sate, tusuk gigi, tiang penyangga jemuran dan galah.

2. Dendrocalamus asper

D. asper banyak dikenal masyarakat sekitar

dengan nama pring kasap (Jawa). Hal ini

dikarenakan batangnya memiliki permukaan

yang agak kasar atau kasap. D. asper ini

memiliki rumpun simpodial yang tegak dan

Page 48: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  34

padat. Rebungnya hitam keunguan dan tertutup rambut halus membeledu

berwarna coklat hingga kehitaman. Buluh bambu berwarna hijau atau hijau tua

dan bertotol-totol putih serta buku-bukunya di kelilingi oleh akar udara. Tinggi

buluh bambu ini mencapai 20 m, tegak dengan ujung yang melengkung. Daun

pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan dasar menyempit. Daunnya

gundul tidak tertutupi rambut halus. Menurut Widjaja (2001), bambu ini memiliki

percabangan di tengah buluh atau 1.5-3 m dari permukaan tanah, cabang terdiri

atas 5-11 cabang di setiap ruas dengan sebuah cabang yang lebih besar daripada

cabang lainnya. Bambu D. asper memiliki ruas batang yang panjangnya mencapai

40-50 m dan diameter 12-18 cm. Pelepah buluhnya mudah luruh, tertutup rambut

halus berwarna hitam hingga coklat tua membeledu, kupingnya membulat dan

kadang mengeriting hingga dasar daun pelepah buluh. Daunya berukuran 24-30 x

2,5-4 cm dengan bagian bawah yang agak berambut dan kuping pelepah daun

yang bearukuran kecil.

Di daearah lain, D. asper ini dikenal dengan nama bambu betung (Indonesia) atau

awi bitung (Sunda). D. asper tumbuh tersebar di seluruh pulau Jawa dan tumbuh

baik di tanah alluvial tropis yang lembab dan basah, tetapi juga dapat tumbuh di

daerah kering di dataran rendah maupun dataran tinggi (Widjaja, 2001). D. asper

dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai bahan kontruksi bangunan, seperti untuk

membuat tiang penyangga rumah bambu atau saung. Selain itu bambu ini juga

digunakan untuk membuat kursi bambu, dipan, taraje, tiang penyangga dan

rebungnya dapat dijadikan sebagai sayuran.

Page 49: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  35

Gambar 8. Gigantochloa atter

3. Gigantochloa atter

G. atter dikenal oleh masyarakat sekitar

dengan nama bambu ater atau awi ater

(Sunda). Bambu ini memilliki rumpun

simpodial dan tegak. Tinggi buluhnya

mencapai 22 m, saat masih muda buluh ini

masih tertutupi rambut halus berwarna

hitam tetapi menjadi gundul ketika buluh

menua sehingga batang bambu terlihat berwarna hijau hingga hijau tua. Daun

pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit serta

memiliki kuping pelepah yang membulat atau membulat dengan ujung

melengkung keluar. Daunnya gundul dan memiliki kuping pelepah daun kecil

yang tingginya sekitar 1 mm. Menurut Widjaja (2001), bambu ini memiliki

rebung hijau hingga keunguan yang tertutup rambut halus berwarna hitam.

Percabangannya tumbuh jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral yang

lebih besar daripada cabang lainnya dengan ujung cabang yang melengkung.

Batang bambu ini memiliki ruas yang panjangnya mencapai 50 cm, diameter 5-10

cm dan dinding yang tebalnya mencapai 8 mm. Pada daun pelepah buluh terdapat

bulu kejur sepanjang 6 mm , memiliki ligula menggerigi yang tingginya mencapai

3-6 mm. Sedangkan untuk daunnya, bambu ini memiliki daun berukuran 20-44

x3-9 cm dan ligula daun yang rata.

G. atter tumbuh tersebar di Pulau Jawa juga di pulau lain di Indonesia. Tumbuh

baik di daerah tropis yang lembab, tetapi masih dapat tumbuh di daaerah kering di

Page 50: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  36

dataran rendah hingga dataran tinggi (Widjaja, 2001). G. atter banyak digunakan

oleh masyarakat sekitar sebagai tiang penyangga pada rumah bambu dan saung.

Selain itu, bambu ini juga digunakan masyarakat untuk membuat taraje, pagar

bambu, tiang jemuran, tusuk sate, layes atau reng serta untuk membuat dipan.

4.3 Kerapatan dan Frekuensi Jenis Bambu

4.3.1. Kerapatan Populasi Bambu

Hasil perhitungan kerapatan populasi jenis bambu pada masing-masing jalur

penelitian di Cagar Alam Tukung Gede dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Kerapatan (Ki) Jenis Bambu

Ki (batang/ha) No Spesies

Jalur I Jalur II Jalur III

1 D. scandens - 16,7 -

2 G. apus - 137 -

3 G. atroviolacea 107 363 -

4 G. pseudoarundinacea 553 - -

5 S. iraten 120 - -

Dari tabel di atas, diketahui kerapatan rata-rata masing-masing jenis bambu yang

ditemukan pada masing-masing jalur/stasiun. Pada jalur I kerapatan jenis bambu

tertinggi dimiliki oleh jenis bambu G. pseudoarundinacea dengan nilai kerapatan

sebesar 553 batang/ha. Untuk bambu jenis S. iraten memiliki nilai kerapatan

sebesar 120 batang/ha yang berarti nilai tertinggi kedua untuk kerapatan jenis

bambu di jalur I. Sedangkan untuk nilai kerapatan terendah di jalur I, dimiliki oleh

bambu jenis G. atroviolacea dengan nilai 107 batang/ha.

Page 51: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  37

Perbedaan nilai kerapatan tersebut dikarenakan oleh kondisi lingkungan pada jalur

I memiliki tanah yang relatif lembab sehingga lebih sesuai untuk pertumbuhan

bambu jenis G. pseudoarundinacea yang menurut Widjaja (2001) dapat tumbuh

subur pada kondisi tanah yang cenderung lembab. Kondisi tanah yang lembab

seperti itu juga sesuai untuk habitat bambu jenis S. iraten, karena bambu jenis ini

cenderung dapat tumbuh dengan baik pada keadaan tanah yang relatif lebih

lembab (Widjaja, E, 2001). Oleh sebab itulah bambu S. iraten memiliki nilai

kerapatan pada urutan kedua setelah bambu G. pseudoarundinacea. Sedangkan

untuk bambu jenis G. atroviolacea, memiliki nilai kerapatan terendah

dibandingkan dengan kedua bambu tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi

lingkungan yang cenderung lembab kurang sesuai untuk pertumbuhan bambu

jenis ini.

Pada jalur II, kerapatan jenis bambu tertinggi dimiliki oleh jenis bambu G.

atroviolacea dengan nilai kerapatan sebesar 363 batang/ha. Untuk bambu jenis G.

apus memiliki nilai kerapatan sebesar 137 batang/ha yang berarti nilai tertinggi

kedua untuk kerapatan jenis bambu di jalur II. Sedangkan untuk nilai kerapatan

terendah di jalur II, dimiliki oleh bambu jenis D. scandens dengan nilai 16,7

batang/ha.

Kerapatan bambu jenis G. atroviolacea memiliki nilai kerapatan paling tinggi

dibanding dengan II jenis bambu lain yang ditemukan di jalur II karena keadaan

lingkungan di titik bawah pada jalur II dimana banyak ditemukan bambu jenis G.

Page 52: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  38

atroviolacea memiliki kondisi tanah yang agak kering, berwarna kemerahan serta

cenderung berkapur dan berpasir. Hal ini menyebabkan bambu jenis G.

atroviolacea ini tumbuh lebih subur pada jalur II dibandingkan dengan

pertumbuhannya pada jalur I yang memiliki kondisi tanah relatif lebih lembab.

Kondisi tanah yang cenderung agak kering seperti ini juga sesuai untuk

pertumbuhan bambu jenis G. apus. Walaupun bambu jenis ini tumbuh lebih subur

pada tanah yang lembab, tetapi dapat juga tumbuh pada tanah yang relaif kering

atau agak kering (Widjaja, 2001). Dan untuk jenis bambu yang memiliki nilai

kerapatan terendah adalah bambu jenis D. scandens. Bambu jenis ini ditemukan

hanya pada jalur penelitian II di daerah puncak Gunung Cilik karena daerah pada

sekitar puncak Gunung Cilik memiliki kondisi tanah yang berpasir dan sedikit

agak berkapur sehingga sesuai untuk pertumbuhan bambu jenis D. Scandens, hal

ini sesuai dengan peernyataan Widjaja (2001) yang menyatakan bahwa D.

scandens dapat tumbuh di tanah berkapur dan berpasir.

Sedangkan pada jalur III tidak ada jenis bambu dengan kerapatan tertinggi

maupun terendah, karena tidak ditemukan jenis bambu pada jalur ini. Hal ini

disebabkan oleh kondisi lingkungan terutama kondisi tanah pada jalur III yang

berkerikil dan berbatu-batu cukup besar dengan keadaan lereng yang cukup curam

sehingga tanaman bambu tidak dapat menyesuaikan diri akibat tidak tercukupinya

kebutuhan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Keadaan ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Misonah (2006) yang menyatakan

bahwa setiap jenis bambu mempunyai tingkat kemampuan/toleransi yang berbeda

Page 53: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  39

dalam menanggapi kondisi lingkungan, sehingga pada area di luar batas ambang

toleransinya jenis bambu yang bersangkutan tidak dapat tumbuh dan berkembang.

4.3.2. Frekuensi Jenis Populasi Bambu

Frekuensi jenis dapat menunjukkan bagaimana distribusi atau penyebaran

populasi jenis bambu yang terdapat di Cagar Alam Tukung Gede.

Tabel 3. Frekuensi Relatif (FR) Jenis Bambu

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa FR yang tertinggi pada masing-masing

jalur penelitian. Pada jalur I, FR tertinggi yaitu pada G. pseudoarundinacea

sebesar 66,7% dan pada jalur II FR tertinggi yaitu pada G. apus sebesar 50,2%,

sedangkan pada jalur III tidak ada jenis bambu yang memiliki FR tertinggi karena

tidak ditemukan jenis bambu pada jalur ini.

FR jenis bambu tertinggi pada masing-masing jalur penelitian memiliki nilai yang

besarnya berbeda-beda, hal ini disebabakan oleh faktor lingkungan terutama

kondisi tanah yang dimiliki masing-masing jalur berbeda-beda. Selai itu,

perbedaan ini juga disebabkan oleh kemampuan masing-masing jenis bambu

untuk dapat tumbuh dengan baik sesuai dengan keadaan lingkungan yang

FR (batang/ha) No Spesies

Jalur I Jalur II Jalur III

1 D. scandens - 24,9% -

2 G. apus - 50,2% -

3 G. atroviolacea 16,7% 24,9% -

4 G. pseudoarundinacea 66,7% - -

5 S. iraten 16,7% - -

Page 54: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  40

mendukung pertumbuhannya. Pada jalur I FR jenis bambu tertinggi dimiliki oleh

jenis bambu gombong atau pring surat (G. pseudoarundinaceae) dengan nilai

66,7%. Nilai ini menunjukkan bahwa bambu jenis G. pseudoarundinaceae

memiliki distribusi paling luas di jalur I dibandingkan dengan bambu jenis G.

atroviolacea dan S. iraten yang memiliki nilai FR sama yaitu sebesar 16,7%. Hal

ini dikarenakan pada jalur I memiliki kondisi lingkungan yang sesuai untuk

pertumbuhan bambu jenis G. pseudoarundinacea, baik dari segi kondisi tanah

maupun ketersediaan mineral tanah yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya.

Tetapi tidak demikian untuk bambu jenisn G. atroviolacea dan S. IrateN. Kedua

jenis bambu ini kurang sesuai untuk tumbuh pada kondisi tanah yang terdapat di

jalur I, hal tersebut mungkin dikarenakan mineral yang dibutuhkan keduanya

kurag terpenuhi sehingga keduanya tidak dapat tumbuh dengan baik.

Pada jalur II, nilai FR tertinggi dimiliki oleh bambu jenis G. apus dengan nilai

sebesar 50%.. Nilai ini menunjukkan bahwa bambu jenis G. apus memiliki

distribusi lebih luas di jalur II dibandingkan dengan bambu jenis G. atroviolacea

dan D. scandens yang memiliki nilai FR sama yaitu sebesar 24,9% karena G. apus

ditemukan di lebih dari 1 petak di titik tengah pada jalur pengamatan II saat

penelitian. Sedangkan untuk G. atroviolacea dan D. scandens hanya ditemukan di

1 petak pengamatan yang berbeda. G. atroviolacea ditemukan di petak pada titik

bawah jalur pengamatan II dan D. scandens ditemukan di petak pada titik atas

jalur pengamatan II. Titik bawah pada daerah pengamatan di jalur II memiliki

kondisi lingkungan dengan kondisi tanah yang sedikit agak kering dan berwarna

kemerahan seperti tanah liat. Kondisi tanah seperti ini cocok untuk pertumbuhan

Page 55: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  41

bambu jenis G. atroviolacea, karena bambu ini dapat tumbuh dengan dengan baik

pada kondisi tanah liat berpasir atau pada tanah yang berwarna kemerahan.

Sedangkan untuk titik atasnya memiliki kondisi tanah yang sedikit mengandung

kapur sehingga pada titik pengamatan ini ditemukan bambu jenis D. scandens

yang memang cocok untuk tumbuh pada daerah yang tanahnya mengandung

kapur dan agak berpasir.

Berbeda halnya dengan keadaan FR pada jalur III, pada jalur penelitian ini tidak

ditemukan jenis bambu apapun. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan terutama

kondisi tanah pada jalur III yang berkerikil dan berbatu-batu menyebabkan tidak

tercukupinya kebutuhan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bambu

karena mengandung sedikit tanah. Hasil ini senada dengan pendapat Lessard

(Hugraheni dalam Misonah, 2006) yang menyatakan bahwa beberapa pengamatan

menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah berpengaruh terhadap ukuran batang

baik panjang ruas maupun diameter tebal dinding, tetapi tidak terhadap jumlah

ruas. Pada umumnya jenis bambu yang kecil membutuhkan tanah-tanah yang

tingkat kesuburannya sedang, baik pada tanah yang curam maupun datar, asal

tidak terlalu lereng dan berbatu.

4.4 Penerapan Hasil Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan

Hasil penelitian yang telah dilakukan kemudian diterapkan sebagai sumber belajar

bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta dalam bentuk buku saku

yang berisi tentang jenis-jenis bambu yang terdapat di kawasan CARD – CATG

serta manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Buku saku yang dibuat berpedoman

Page 56: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  42

pada standar kurikulum nasional yang berlaku yaitu Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dengan berdasarkan pada:

Standar Kompetensi (SK) : Memahami Manfaat Keanekaragaman Hayati

Kompetensi Dasar (KD) : Mendeskripsikan Ciri-ciri Divisio dalam Dunia

Tumbuhan dan Peranannya bagi Kelangsungan Hidup

di Bumi

Untuk mengetahui bagaimana kelayakannya sebagai sumber belajar, maka telah

dilakukan penilaian atau uji kelayakan terhadap buku saku tersebut. Uji kelayakan

ini telah dilakukan oleh 9 orang ahli yang terdiri atas 4 orang Dosen dan 5 orang

Guru bidang studi Biologi yang berasal dari 3 SMA berbeda.

Berdasarkan tabel hasil uji kelayakan (lampiran 5: 54), dapat diketahui bahwa

setelah dilakukan uji ahli, buku saku yang merupakan penerapan hasil penelitian

dalam bidang pendidikan memiliki skor kelayakan rata-rata sebesar 31,8 atau

dengan persentase kelayakan sebesar 88,1%. Angka tersebut menunjukkan bahwa

buku saku mengenai jenis-jenis bambu yang terdapat di kawasan CATG –CARD

sangat baik digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada

subkonsep Spermatophyta. Buku saku ini dianggap sangat baik dijadikan sebagai

sumber belajar karena materi dan cara penyajiannya yang menarik disertai dengan

gambar dan foto yang menunjang memudahkan siswa untuk memahami konsep

yang ingin disampaikan sehingga dinilai dapat dijadikan sebagai sumber belajar

yang baik dan bermanfaat untuk menambah wawasan pengayaan siswa. Adapun

saran yang diberikan penguji untuk perbaikan buku saku antara lain mengenai

Page 57: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  43

penggunaan istilah sebaiknya disesuaikan dengan pokok bahasan serta pemaparan

penjelasan gambar hendaknya lebih diperjelas lagi.

 

Page 58: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

44

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Kerapatan populasi bambu di tiga jalur penelitian di kawasan CATG berbeda-

beda. Kearapatan tertinggi pada masing-masing jalur penelitian antara lain:

pada jalur I G. pseudoarundinacea memiliki nilai kerapatan tertinggi yaitu

sebesar 553 batang/ha dan G. atroviolacea memiliki angka kerapatan terkecil

dengan 170 batang/ha, pada jalur II G. atroviolacea memiliki angka kerapatan

tertinggi dengan nilai 363 batang/ha dan D. scandens memiliki angka

kerapatan terkecil dengan 16,7 batang/ha.

2. Hasil penelitian yang diterapkan dalam bentuk buku saku sangat baik

dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep

Spermatophyta

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman jenis bambu

yang terdapat di kawasan CARD – CATG karena diperkirakan masih ada jenis

bambu lain yang tidak teramati saat penelitian ini

2. Dalam pembuatan buku saku, penggunaan istilah hendaknya disesuaikan

dengan pokok bahasan serta penjelsan atau keterangan gambar perlu lebih

diperjelas.

Page 59: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

45

DAFTAR PUSTAKA Campbell, N. A, Jane B. Reece dan L. G Mitchell. 2003. Biologi jilid II. Erlangga.

Jakarta: xxii+572 hlm.

__________. 2004. Biologi jilid III. Erlangga. Jakarta: xxi+510 hlm.

Danaatmadja, O. 2006. Bambu, Tanaman Tradisional yang Terlupakan. http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Bambu-Tanaman-Tradisional-yang-Terlupakan,1. 4 Mei 2009. pk. 17.38

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains. Pusat Perbukuan DEPDIKNAS.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2007. CA Rawa Danau http://www.google.co.id/gwt/n?u=http%3A%2F%2Fwww.dishut.jabarprov.go.id%2Findex.php%3Fmod%3DmanageMenu%3D474%26idMenu%3D477&_gwt_pg=1&hl=in&source=m. 24 Maret 2009. pk. 15.46

_____________. 2007. CA Tukung Gede http://www.google.co.id/gwt/n?q=CA+TUKUNG+GEDE&hl=in&eivQ3LSZDlIpPu7APS9dXiAw&source=m&sa=X&oi=blended&ct=rest&cd=1&rd=1&u=http%3A%2F%2Fwww.dishut.jabarprov.go.id%2Findex.php%3Fmod%3DmanageMenu%3D474%26idMenu%3D476. 26 Maret 2009. pk. 12.30

Djamarah, S. B dan A. Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta. Jakarta: xi+226 hlm.

Dransfield, S. dan E. A. Widjaya. 1995. Plant Resources op South-East Asia 7: Bamboos. Backhuys Publisher. Leiden: 189 hlm.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta: viii+198 hlm.

Kalima, T. 1996. Flora Rotan di Pulau Jawa serta Kerapatan dan Persebaran Populasi Rotan di Tiga Wilayah kawasan Taman nasional Gunung

Page 60: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  46

HalimunJawa Barat. Tidak diterbitkan. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok: 110 hlm.

Leksono, A. 2007. Ekologi: Pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Bayumedia Publishing, Malang.

Misonah. 2006. Distribusi Tumbuhan Bambu di Kabupaten Temanggung. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Mulyasa. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung: ix+302 hlm.

Rohani. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Rhineka Cipta. Jakarta: i+245 hlm.

Sudjadi, B dan S. Laila. 2006. Biologi Sains dalam Kehidupan 1B untuk SMA Kelas X. Yudhistira. Surabaya.

Sudrajat, A. 2008. Sumber Belajar untuk Mengefektifkan Pembelajaran siswa. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/15/sumber-belajar-untuk-mengefektifkan-pembelajaran-siswa/. 29 April 2009. pk. 16.36

Whitten, T., R.E. Soeriaatnadja dan S.A. Afiff. 1999. Ecologi Jawa dan Bali Jilid II. Prenhallindo. Jakarta. xxii+972 hlm.

Widjaya, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor.

_________. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor.

Widjaya, E. A dan Karsono. 2004. Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba. Biodiversitas 2 (6): 95-99.

 

Page 61: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

47  

Lampiran 1

KUNCI IDENTIFIKASI

1. Akar rimpang simpodial dengan leher pendek hingga panjang........................2

2. . a. Buluh serabutan atau menjalar......................................................................3

b. Buluh tegak...................................................................................................4

3. Buluh menjalar, lampang pelepah buluh tampak jelas...................................11

4. Akar rimpang dengan leher pendek, rumpun tertutup dan padat, bagian ujung

pelepah buluh tidak mencembung....................................................................5

5. a. Percabangan sama besar pada buku-buku bagian tengah buluh..................,6

b. Percabangan lebih besar pada buku-buku bagian tengah buluh...................7

6. Rebung berwarna hijau hingga kuning coklat dengan bulu coklat hingga

hitam, cabang tumbuh pada buluh bagian atas setelah 1-2 m di atas tanah....12

7. Percabangan menyebar, cabang terdiri atas banyak cabang.............................8

8. Buluh agak padat, hijau, dengan garis kunig, kuning dengan garis hijau, hitam

atau hijau tutul coklat, umumnya pelepah buluh tertutup bulu coklat hingga

hitam jarang yang putih, daun melanset.............................................................9

9. a. Buluh berbuku-buku, ruas pendek pada buluh tengah, pelepah buluh

tertutup bulu hitam, daun pelepah buluh tegak hingga menyebar..............13

b. buluh tegak, lurus, ruas lebih panjang pada buluh tengah, pelepah buluh

tertutup bulu coklat muda hingga coklat tua, daun pelepah buluh tegak,

menyebar hingga terkeluk balik pada bagian tengah.................................10

10. a. Buluh bawah relatif pendek, buluh tengah lebih panjang, buluh muda tidak

ditutupi lilin, akar udara hanya terdapat di bagian pangkal buluh.............14

Page 62: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

 

 

48

b. Buluh bawah pendek, buluh tengah lebih panjang, akar udara terdapat pada

bagian pangkal hingga tengah buluh, buluh muda sering ditutupi oleh lilin,

bagian bawah buluh muda tertutup bulu coklat

beledu..........................................................................Dendrocalamus asper

11. Rebung keunguan, gundul, kuping pelepah buluh tidak jelas, sering diakhiri

bulu kejur yang panjangnya mencapai 3 mm, ligula kupung pelepah buluhnya

rata, ligula pelepah daun rata dengan bulu kejur mencapai 8

mm.................................................................................Dinochloa scandens

12. Daun pelepah buluh terkeluk balik, buluh berdiameter lebih kecil dari 3 cm,

kuping pelepah buluh tidak tampak, ujung pelepah buluh merompang dan

rata.................................................................................Schizostachyum iraten

13. Buluh tanpa duri, daun pelepah buluh tegak dan mudah luruh, buluh muda

hijau tanpa garis kuning, memiliki kuping pelepah buluh dengan bulu coklat

hingga hitam, daunnya melanset tanpa garis putih, kuping pelepah buluh

membulat, melengkung keluar dengan bulu kejur

melimpah..............................................................................Bambusa vulgaris

14. a. Kuping pelepah buluh bercuping dan membulat tanpa bulu kejur, tepi

pelepah buluh tidak melengkung ke dalam................................................15

b. Kuping pelepah buluh berbingkai, bulu pada pelepah buluh dan ruas cooklat

hingga kehitaman.......................................................................................16

15. a. Buluh hijau tua keunguan, rebung kehitaman dengan ujung

jingga...................................................................Gigantochloa atroviolacea

b. Buluh hijau tua, rebung hijau keunguan.............................................G. atter

Page 63: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

 

 

49

16. a. Buluh hijau dengan garis kekuningan, pelepah buluh mudah luruh, kuping

pelepah buluh tanpa bulu kejur..................................G. pseudoarundinacea

b. Buluh hijau, pelepah buluh tidak mudah luruh, kuping pelepah buluh tanpa

apendiks, daun pelepah buluh terkeluk balik, bulu kejur pada pelepah buluh

panjang...............................................................................................G. apus

Page 64: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  50

Lampiran 2 

PETA LOKASI 

Kawasan

Gn.Gede

Page 65: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

51

Lampiran 3

FORMAT PENILAIAN UJI KELAYAKAN BUKU SAKU

Petunjuk pengisian

1. Mohon Bapak/Ibu memberi jawaban yang sejujurnya pada setiap

aspek/indikator pada tabel penilaian.

2. Bari tanda (√) pada setiap indikator yang sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu.

Keterangan:

a) Skor 1 apabila hanya satu kriteria yang dipenuhi.

b) Skor 2 apabila hanya dua kriteria yang dipenuhi.

c) Skor 3 apabila ketiga kriteria dipenuhi.

3. Jawaban dan saran dari Bapak/Ibu sangat diharapkan demi perbaikan kualitas

buku selanjutnya.

4. Skor Kelayakan:

a) 0-12 = Cukup layak

b) 13-24 = Layak

c) 25-36 = Sangat layak

PenilaianNo. Aspek Indikator 1 2 3

1.

Kelengkapan materi a) Mencakup materi yang ada dalam kurikulum

yang berlaku. b) Meliputi kompetensi dasar. c) Tidak terjadi pengulangan yang berlebihan.

2.

Keakuratan materi a) Kebenaran konsep (definisi, rumus, hukum dan

sebagainya) b) Aplikasi konstektual dalam kehidupan nyata. c) Informasi jelas, akurat dan memungkinkan

dapat menambah pemahaman konsep sesuai dengan pokok bahasan.

3.

Materi

Materi mengikuti sistematika keilmuan. a) Materi disajikan dari yang sederhana ke yang

sulit.

Page 66: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  52

b) Menekankan pada pengalaman langsung. c) Memungkinkan dapat mengembangkan

keterampilan proses

4.

Materi dapat meningkatkan kompetensi sains. a) Merencanakan dan melakukan kerja ilmiah. b) Mengidentifikasi objek dan fenomena dalam

sistem yang ada di alam. c) Menerapkan konsep sains dengan teknologi

dan kehidupan.

5.

Sistematika penyajian a) Materi disajikan secara sederhana dan jelas. b) Materi disajikan scara sistematis dan logis. c) Terdapat penjelasan awal (advace organizer)

dan tujuan pembelajaran.

6.

Tampilan umum. a) Gamabar ilustrasi, gambar nyata dan lainya

sesuai dengan konsep. b) Judul dan keterangan gambar sesuai dengan

gambar. c) Gambar disajikan dengan jelas, menarik dan

berwarna.

7.

Penyajian mempertimbangkan kebermakanaan dan kebermanfaatan a) Mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata b) Menawarkan kegiatan yang dapat

mengembangkan ketrampilan proses. c) Memudahkan siswa dalam memahami suatu

konsep.

8.

Penyajian

Melibatkan siswa secara aktif. a) Terdapat kegiatan siswa yang bermanfaat. b) Melakukan pengamatan/observasi. c) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil

karya pada orang lain.

9.

Bahasa Indonesia yang baik dan benar. a) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan

benar. b) Menggunakan aturan EYD c) Menggunakan bahasa ilmiah populer.

10.

Bahasa

Peristilahan a) Menggunakan peristilahan yang sesuai dengan

konsep pokok bahasan.

Page 67: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  53

b) Terdapat penjelasan untuk peristilahan yang sulit dan tidak umum.

c) Penulisan peristilahan berbeda dengan teks lain

11.

Kejelasan bahasa a) Bahsa yang digunakan sederhana dan lugas. b) Bahasa yang digunakan tidak berbelit-belit dan

mudah dipahami. c) Tidak terlalu banyak anak kalimat.

12.

Kesesuaian bahasa a) Bahasa disesuaikan dengan tahap

perkembangan siswa (komunikatif) b) Struktur kalimat sesuai dengan tingkat

penguasaan kognitif siswa. c) Bahasa mengembangkan kemampuan berpikir

logis dalam memahami konsep-konsep IPA.

Jumlah skor Kelayakan

Sumber: Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains, 2003: 10-13)

Komentar/saran:

....................................................................................................................................

....................................................................................................................................

....................................................................................................................................

....................................................................................................................................

....................................................................................................................................

....................................................................................................................................

Serang, .......................2010

Penguji,

.......................................

NIP

 

Page 68: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  54

Lampiran 4

Tabel 4. Data Kr dan Fr di jalur 1 (Gunung Cinini)                                      

                                                T1 T2 T3

No Jenis P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15

∑ F L (ha) Ki Kr (%) Fi Fr (%)

1 Gigantochloa pseudoarundinacea - - - - - - 29 - - - - - 16 - 121 166 4 0,3 553 70,9 0,27 66,7

2 Gigantocchloa atroviolaceae - - - - - - - - - - - - - 32 - 32 1 0,3 107 13,7 0,07 16,7

3 Schyzostachyum iraten - - - - - - - - - - 36 - - - - 36 1 0,3 120 15,4 0,07 16,7

Jumlah 0 0 0 0 0 0 29 0 0 0 36 0 16 32 121 234 6 0,9 780 100 0,4 100

   

Tabel 5. Data Kr dan Fr di jalur 2 (Gunung Cilik)

T1 T2 T3 No Jenis

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 ∑ F L (ha) Ki Kr (%) Fi Fr (%)

1 Gigantochloa apus - - - - - 14 - - - - 27 - - - - 41 2 0,3 137 26,5 0,13 50

2 Gigantocchloa atroviolacea - - - - - - - - - - - - 109 - - 109 1 0,3 363 70,3 0,07 25

3 Dinochloa scandens - - - - - - 5 - - - - - - - - 5 1 0,3 16,7 3,23 0,07 25

jumlah 0 0 0 0 0 14 5 0 0 0 27 0 109 0 0 155 4 0,9 517 100 0,27 100

  

Page 69: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  55

Lampiran 5

Tabel 6. Hasil uji kelayakan buku saku

Skor Kelayakan* No Penguji (Ahli)

Materi Penyajian Bahasa ∑ skor

(%)

1 Dosen 1 12 11 12 35 97,222222

2 Dosen 2 10 12 8 30 83,333333

3 Dosen 3 12 10 7 29 80,555556

4 Dosen 4 9 10 8 27 75

5 Guru 1 12 11 11 34 94,444444

6 Guru 2 12 12 10 34 94,444444

7 Guru 3 9 10 11 30 83,333333

8 Guru 4 12 11 11 34 94,444444

9 Guru 5 10 12 11 33 91,666667

Total 98 99 89 286

Rata-rata 10,888889 11 9,8888889 31,77777888,11 

 *dihitung menggunakan rumus :

Skor mentah % kelayakan = x 100% Skor maksimum  

Page 70: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

56

Lampiran 6

SILABUS

Nama Sekolah : SMA/MA Mata Pelajaran : Bilologi Kelas/Semester : X (Sepuluh)/Genap Standar Kompetensi : 3. Memahami manfaat keanekaragaman Hayati.

Kompetensi Dasar

Materi pembelajaran Kegiatan pembelajaran Indikator Penilaian

Alokasi waktu (menit)

Sumber/Bahan/Alat

3.3 Mendeskrip sikan ciri-ciri Divisio dalam dunia tumbuhan dan peranannya dalam kelangsung-an hidup di bumi.

Plantae • Ciri-ciri umum plantae

organisme eukariotik multiseluler, autotrof, vaskuler dan nonvaskuler, reproduksi secara generatif dan vegetatif. Meliputi tumbuhan lumut, tumbuhan paku dan tumbuhan biji.

• Tumbuhan lumut

Tumbuhan yang sudah menyesuaikan dengan lingkungan darat yang lembab dan basah. Memiliki pergiliran keturunan. Belum memiliki jaringan pengangkut, tidak berkormus. Meliputi lumut daun dan lumut hati.

• Tumbuhan paku Tumbuhan yang hidup di

• Menggunakkan contoh tumbuhan

yang dibawa siswa (lumut, paku, tumbuhan biji) menemukan cirri-ciri umum plantae dan cirri-ciri tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.

• Menemukan dasar

pengelompokkan tumbuhan lumut, paku, dan tumbuhan biji.

• Melakukan studi literatur

menemukan penggolongan aneka tumbuhan pada tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.

• Mengidentifikasi alat reproduksi

lumut dan paku dari lingkungan sekitar.

• Mengamati alat reproduksi

• Mengidentifikasi cirri-ciri

umum plantae. • Membedakan tumbuhan

lumut, paku dan biji berdasarkan ciri-cirinya.

• Klasifikasi pada

tumbuhan lumut, tumbuhan paku, dan tumbuhan biji.

• Menjelaskan cara-cara

perkembangbiakan tumbuhan lumut,paku dan biji.

• Membuat charta

perkembangbiakan dan siklus hidup tumbuhan

Jenis tagihan: Tugas individu, tugas kelompok, unjuk kerja, ulangan. Bentuk instrumen: Produk (laporan hasil pengamatan ciri-ciri umum plantae, cirri-ciri khusus tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji, dan klasifikasi tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji), pengamatan unjuk kerja, pengamatan sikap, tes pilihan ganda, tes uraian.

4X45’

Sumber: buku acuan yang relevan. Alat: OHP/computer, LCD, kaca pembesar, pisau, centong, cangkul. Bahan: LKS,bahan presentasi, berbagai jenis tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.

Page 71: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

  57

darat yang basah dan lembab, memiliki jaringan pengangkut, berkormus, dan bermetagenesis. Meliputi paku homospor, paku heterospor, dan paku peralihan.

• Tumbuhan biji (Spermatophyta) Spermatophyta berkembangbiak menggunakan biji. Meliputi Angiosppermae dan Gymnospermae.

• Peranan plantae bagi kelangsungan hidup di bumi Plantae amat penting bagi kelangsungan hidup di bumi yaitu sebagai sumber produsen dan sumber oksigen.

tumbuhan biji (angiospermae dan gymnospermae).

• Melakukan studi literatur tentang

perkembangbiakan, dan karakteristik lainnya menemukan daur hidup dari tumbuhan lumut, paku dan biji melalui kerja kelompok.

• Menggali informasi nama-nama

daerah tanaman yang tumbuh di lingkungan sekitarnya, peran dan manfaatnya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar (misalnya tanaman obat, peneduh, penghasil getah, bumbu masak, dll).

• Membuat tabel hasil penggalian informasi pemanfaatan plantae sesuai kegunaannya di lingkungan masyarakat.

lumut, tumbuhan paku dan tumbuahan biji.

• Menemukan peranan

berbagai jenis plantae tertentu yang ada di lingkungannya terhadap ekonomi dan lingkungan.

• Menyatakan data contoh plantae Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai kebutuhan.

• Membuat tabel hasil penggalian informasi pemanfaatan plantae.

2X45’ 2X45’

 

Page 72: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

58  

Lampiran 7

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Sekolah : SMA / MA Mata Pelajaran : Biologi Kelas / Semester : X (sepuluh) / 2 (dua) Alokasi waktu : 4 x 45 menit

Standar Kompetensi : Memahami manfaat keanekaragaman

hayati

Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan ciri-ciri Divisio dalam dunia

tumbuhan dan peranannya dalam

kelangsungan hidup di bumi.

I. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Siswa mampu mengidentifikasi cirri-ciri umum Spermatophyta.

2. Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis bambu yang teramati

3. Siswa dapat menjelaskan manfaat dan peranan bambu bagi masyarakat

II. INDIKATOR PEMBELAJARAN

1. Siswa mampu mengidentifikasi cirri-ciri umum Spermatophyta.

2. Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis bambu yang teramati

3. Siswa dapat menjelaskan manfaat dan peranan bambu bagi masyarakat

III. MATERI AJAR

1. Spermatophyta

2. Identifikasi bambu

3. Peranan plantae bagi kehidupan di bumi

Page 73: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

 

 

59

IV. METODE PENGAJARAN:

1. Ceramah

2. Pengamatan

V. KEGIATAN PEMBELAJARAN

1. Kegiatan Awal

Absensi

Mengulas materi pertemuan sebelumnya

Motivasi: Apakah kalian tahu jenis-jenis bambu apa saja yang sering

kalian jumpai di sekitar rumah?

2. Kegiatan Inti

Guru membawa siswa ke daerah sekitar wilayah sekolah untuk melakukan

pengamatan jenis-jenis dan kerapatan populasi bambu secara langsung

Guru menjelaskan materi menggunakan metode ceramah tentang

Spermatophyta dan metode demonstrasi mengenai cara dan teknik

identifikasi serta pengamatan yang tepat

Guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok pengamatan dan

membagikan lembar pengamatan Bambu kepada masing-masing

kelompok

Masing-masing kelompok observasi langsung di lokasi pengamatan

kemudian mencatat dan mengidentifikasi jenis-jenis bambu yang

ditemukan dengan menggunakan kunci Identifikasi yang terdapat dalam

buku saku disertai penghitungan jumlahnya

Guru membimbing siswa dalam identifikasi bambu dan perhitungan

kerapatan populasinya

3. Kegiatan Penutup

Guru dan siswa menyimpulkan kembali materi yang telah dipelajari

Memberi tugas individu tentang hasil pengamatan yang dilakukan

Salam penutup

Page 74: Bambu di CA Rawa Danau, Banten

 

 

60

VI. SUMBER BELAJAR

1. Buku Paket Biologi X B

2. Laboratorium Alam

3. Buku saku Jenis-jenis Bambu di Kawasan CARD - CATG

VII. PENILAIAN

- Jenis Tagihan: Laporan kerja praktek, tugas kelompok

- Bentuk Insrument: uraian bebas

Instrument

1. Laporan Kerja Praktek

Tabel hasil pengamatan Bambu

No Nama

Marga Jenis Jumlah Frekuensi

Kerapatan

Jenis

Frekuensi

Jenis

2. Uraian bebas

Jawablah dengan singkat dan jelas!

1. Sebutkan 3 ciri utama tumbuhan Spermatophyta!

2. Jelaskan mengapa bambu dijuluki sebagai rumput raksasa?

3. Jelaskan bagaimana ciri utama bambu dari marga Gigantochloa, Dinochloa dan

Schizostachyum?

4. Bagaimanakah manfaat bambu terhadap kehidupan manusia? Jelaskan dan

sebutkan manfaatnya!

5. Apa saja peran dan manfaat keberadaan tanaman bambu bagi lingkungan?