12
BAHASA JAWA-KITABI DIALEK MADURA DALAM NASKAH 'CARETA QIYAMA T' Moch. Ali Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya Abstract This research study aims to describe sociolinguistic phenomenon in the Hybrid Javanese Kitabi in the Madurese manuscript as a language monument. The study only describes the text of Careta Qiyamat linguistically, one aspect of the manuscript to understand the transformation of the Javanese literary episteme in the Madurese mind-set among the santris. The study employed a descriptive qualitative approach to collect the linguistic data in the Madurese manuscript. The data were the Madurese tembang macapat in three genres (i) puh kasmaradana, (ii) puh durma, and (iii) puh artate. The data were collected by reading the text and writing down the linguistic evidences descriptively. The study reveals the following findings. First, there are many words of the Madurese dialect in the Javanese-Kitabi manuscript which were originally written in Madura in the eighteenth century. Second, there is a code mixing in the text through the process of substitution of the Javanese affix with the Madurese affix, such as the affix /nga/which becomes la/in the text. Key words: the Hybrid-Javanese-Kitabi, Madurese-Kitabi, text, manuscript, tembang, pegon, peggu, code mixing, sociolinguistic, bilingualism A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra Madura dapat dikatakan sebagai karya sastra trans- formatif dari karya sastra Jawa yang secara kultural sangat mendominasi pemikiran lokal Madura, terutama sejak era Mataram-Islam. Oalam konteks ini, hal penting yang menyangkut ke- khasan kesusastraan Madura adalah pengaruh kesusastraan Islam-Jawa. Fakta ini tidak hanya dibuktikan ada- nya penggunaan aksara Jawa (Carakan) dan aksara Arab-Jawa (Pegon), tapi juga ditemukannya genre sastra Jawa dalam karya sastra Madura. Chambert-Loir dan Fathurahman (1999:127) di dalam "Khasanah Naskah, Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia" menyatakan bahwa kebanyakan naskah berbahasa Madura di Jawa Timur dan Madura ditulis- dalam aksara Jawa. Oalam buku panduan ini juga, disebut- kan bahwa koleksi naskah-naskah ber- bahasa Madura kebanyakan tersimpan di dalam negeri dan luar negeri; di antaranya di PNRI, Fakultas Sastra UI, Museum Istiqlal, British Library, Royal Asiatic Society, dll. Selain fakta adaptasi aksara dan genre sastra Jawa dalam khasanah kesusastraan Madura, fakta ini diper- kuat pula dengan substansi karya sastra Madura yang kebanyakan merupakan hasil karya sastra 'terjemahan', bahkan 'saduran.' Pigeaud (1932) misalnya, menyatakan bahwa proses penyaduran dan penerjemahan karya sastra Madura 21 ----

BAHASA JAWA-KITABI DIALEK MADURA DALAM NASKAH … · sehingga sulit membedakan antara ... bahasa Jawa-Kitabi yang secara historis diadopsi dari dialek bahasa ... kan kenyataan sosio-kultural

Embed Size (px)

Citation preview

BAHASA JAWA-KITABI DIALEK MADURADALAM NASKAH 'CARETA QIYAMA T'

Moch. Ali

Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya

AbstractThis research study aims to describe sociolinguistic phenomenon in the

Hybrid Javanese Kitabi in the Madurese manuscript as a language monument. Thestudy only describes the text of Careta Qiyamat linguistically, one aspect of themanuscript to understand the transformation of the Javanese literary episteme inthe Madurese mind-set among the santris.

The study employed a descriptive qualitative approach to collect thelinguistic data in the Madurese manuscript. The data were the Madurese tembangmacapat in three genres (i) puh kasmaradana, (ii) puh durma, and (iii) puh artate. Thedata were collected by reading the text and writing down the linguistic evidencesdescriptively.

The study reveals the following findings. First, there are many words of theMadurese dialect in the Javanese-Kitabi manuscript which were originally writtenin Madura in the eighteenth century. Second, there is a code mixing in the textthrough the process of substitution of the Javanese affix with the Madurese affix,such as the affix /nga/which becomes la/in the text.

Key words: the Hybrid-Javanese-Kitabi, Madurese-Kitabi, text, manuscript,tembang, pegon, peggu, code mixing, sociolinguistic, bilingualism

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang MasalahKarya sastra Madura dapat

dikatakan sebagai karya sastra trans-formatif dari karya sastra Jawa yangsecara kultural sangat mendominasipemikiran lokal Madura, terutama sejakera Mataram-Islam. Oalam konteks ini,hal penting yang menyangkut ke-khasan kesusastraan Madura adalah

pengaruh kesusastraan Islam-Jawa.Fakta ini tidak hanya dibuktikan ada-nya penggunaan aksara Jawa (Carakan)dan aksara Arab-Jawa (Pegon), tapi jugaditemukannya genre sastra Jawa dalamkarya sastra Madura. Chambert-Loirdan Fathurahman (1999:127) di dalam"Khasanah Naskah, Panduan KoleksiNaskah-naskah Indonesia Sedunia"

menyatakan bahwa kebanyakan naskahberbahasa Madura di Jawa Timur danMadura ditulis- dalam aksara Jawa.Oalam buku panduan ini juga, disebut-kan bahwa koleksi naskah-naskah ber-

bahasa Madura kebanyakan tersimpandi dalam negeri dan luar negeri; diantaranya di PNRI, Fakultas Sastra UI,Museum Istiqlal, British Library, RoyalAsiatic Society, dll.

Selain fakta adaptasi aksaradan genre sastra Jawa dalam khasanahkesusastraan Madura, fakta ini diper-kuat pula dengan substansi karya sastraMadura yang kebanyakan merupakanhasil karya sastra 'terjemahan', bahkan'saduran.' Pigeaud (1932) misalnya,menyatakan bahwa proses penyadurandan penerjemahan karya sastra Madura

21

----

22

bersumber dari bahasa Jawa yangditransformasikan ke dalam bahasaMadura (Soeratno, 2003: 15). Voorhoeve(1964:178 via Edi Setyawati dkk, 2001:83) juga membenarkan bahwa keba-nyakan naskah Madura merupakankarya sastra terjemahan atau karyasastra adaptasi dari karya sastra Jawasehingga sulit membedakan antarakarya sastra asli Madura dan yang non-Madura, yakni sastra Jawa. Munculnyaterjemahan atau pun saduran kesu-sastraan Jawa, khususnya Islam-Jawa,yang ditemukan di Madura merupakanbukti kongkrit adanya pengembangantradisi pemikiran para intelektualMadura traditional, yang meneruskantradisi tulis Jawa yang sebelumnyatelah dikembangkan oleh para pujang-ga Keraton Jawa pada abad XVIII - XIX.Fenomena ini sekaligus menepis ang-gapan adanya kemandekan tradisi tulisMadura era koloni Mataram-Islam yangmeneruskan kembali khasanah kesu-sastraan Jawa Renaisans. Pada ranahini, transformasi kesusastraan JawaRenaisans dalam kultur Madura tanpadisadari mencitrakan kedekatan psiko-kultural masyarakat Madura terhadappemikiran Islam-Jawa, yang akhimyadijadikan sebagai prototipe pengem-bangan kesusastraanya.

Di Madura, sejak awal abadXVIII, hegemoni bahasa Jawa-Kitabitelah menggeser posisi bahasa Jawaarus utama sebagai 'lingua academica.'Fakta kemapanan bahasa Jawa-Kitabiyang merupakan salah satu bentukpelembagaan bahasa Jawa pesisiran,temyata patut dikaji secara sosiologi-~.istoris. Sebagai bahasa akademis pe-santren, bahasa Jawa-Kitabi yang secarahistoris diadopsi dari dialek bahasaJawa marginal, yang mencoba inginkeluar dari kungkungan hegemonibahasa Jawa-Keraton yang dalam

tradisi sastranya dimotori para pujang-ga Jawa, temyata pada era islamisasijustru tumbuh berkembang di pesisirutara pulau Jawa sebagai bahasakeilmuan. Dan, pada akhimya, posisipenting bahasa Jawa-Kitabi sebagaibahasa akademis juga merembet keMadura. Fakta ini tidak lepas daripengaruh 'Pax-Islamica' kultur pes an-tren Jawa. Tentu saja, dalam prosesislamisasi Madura, bahasa Jawa-Kitabi

di Madura merupakan salah s~tuvarian bahasa Jawa-Kitabi di pulauJawa. Fenomena kebahasaan itu diper-kuat dengan ditemukannya sebuah ma-nuskrip asal Madura 'Cerita Qiyamat',yang merupakan salah satu khasanahkesusastraan Madura yang berakar daritradisi sastra Jawa-Renaisans. Naskahini berkolofon 1243 Hijriyah (1822Masehi), ditulis di Sumenep.

Manuskrip ini unik, ada jejakmedia bahasa yang disebut sebagai theHybrid javanese-Kitabi, sebab teksnyamenggunakan bahasa Jawa-Kitabidialek Madura, yang disusun sesuaistruktur bahasa 'tembang' macapat,yang mengikuti aturan-aturan kaidahpuisi Jawa untuk menonjolkan aspeklicentia poetica. Selain itu, ada semacamcode witching diksi-diksi bahasa Jawadan Madura yang tentu saja menis-cayakan penggunaan aksara Peggu(Arab-Madura) dalam bahasa Jawa-Kitabi dialek Madura-Sumenep sebagairepresentasi identitas kultur kesusas-traan lokal Madura.

Aksara dalam naskah ini

d~ebut Peggu karena teksnya ditulisdengan mengadopsi dan mengadaptasiaksara Pegon (Arab-Jawa) yang kemu-dian dilengkapi dengan tanda-tandadiakritik yang disesuaikan dengan lafalMadura, khususnya diksi-diksiMadura-Sumenep. Meskipun teks'Careta Qiyamat 'ditulis dengan bahasa

Litera, Volume 6, Nomor 1, Januari 2007

Jawa-Kitabi, tetapi banyak diksiMadura yang sering muncul dalam tekstersebut, sehingga terjadi semacam.percampuran unsur bahasa yang meng-akar pada dua tradisi, Jawa Pesantrendan Madura.

Islam dalam konteks ini telah

mempengaruhi budaya penyadur, yangsecara tidak langsung telah mempe-ngaruhi gaya penulisannya. Maka,munculnya diksi-diksi Madura dalamteks tersebut meniscayakan pengguna-kan aksara Arab khas lokal Madura,yang disebut Peggu sebagai bagianekspresi gaya penulisan teks. Begitujuga, sebutan bahasa Jawa-Kitabi yangdigunakan untuk menulis teks tersebutsebenamya merujuk pada bahasa JawaPesisiran ragam tulis, yang biasanyadipakai di kalangan para santri untukmenciptakan karya-karya sastra ber-nuansa keislaman, atau digunakanuntuk memaknai maupun menerjemah-kan Kitab-kitab Islam - di Jawa disebutKitab Kuning - dari bahasa Arab kebahasa Jawa. Oengan demikian, dapatdikatakan bahwa bahasa Jawa Pesisiranyang awalnya merupakan tuturanragam lisan/ dialek pesisir Jawa yangmelalui proses islamisasi kemudian di-adopsi sebagai bahasa Jawa Pesantren;dan berasal dari bahasa Jawa Pesantrenragam tulis itulah bahasa Jawa-Kitabimempunyai posisi penting. Maka,sebagai salah satu ragam bahasa Jawa,bahasa Jawa-Kitabi yang notabenemerupakan bahasa keilmuan di Pesan-tren, sistem penulisannya selalu dieks-presikan dengan menggunakan aksaraPegan(Piqeaud, 1967:34).

2.Tujuan PenelitianPokok masalah dalam peneliti-

an ini berkaitan dengan eksistensibahasa Jawa-Kitabi dialek Maduradalam naskah 'Careta Qiyamat' sebagai

23

salah satu khasanah kesusastraan lokal

Madura. Oengan demikian, tujuanpenelitian ini mendeskripsikan danmengungkap bahasa Jawa-Kitabi dialekMadura sebagai medium bahasakesusastraan Madura.

3. Landasan Teori

Oalam ranah ini, penulis meng-gunakan teori sosiolinguistik. Teorisosiolinguistik diterapkan untukmenguak pola bahasa Jawa-Kitabi yangterdapat dalam naskah yang notabenesebagai "dokumen bahasa" (Teeuw1986:16). Hal ini bertujuan untuk mem-buktikan bahwa bahasa Jawa-Kitabidialek Madura-Sumenep yang merupa-kan salah satu varian bahasa 'Jaw a-Kitabi Hibrida' (the Hybrid Javanese-Kitabi) yang terekam dalam teks terse-but dapat membentuk akulturasi buda-ya' Jawa dengan budaya Madura, ter-utama dalam konteks masyarakatsantri. Kajian aspek sosioliguistik da-lam teks 'Cerita Qiyamat' ini juga ber-tujuan untuk memperkuat asumsi bah-wa dalam ranah bahasa, termasuk ra-gam bahasa tulis, pasti terdapat variasi,baik dalam fonologis, morfologis, mau-pun sintaksis yang disebabkan olehperbedaan latar belakang geografis dansosial penulis naskah/ pemakai bahasa.Variasi dalam bahasa ini lazim kemu-

dian melahirkan apa yang disebut'dialek.'

PerIu disadari bahwa bahasa

bukanlah merupakan satu bentuk saja(manalitik) dan bahwa dalam ekspresiberbahasa, khususnya bahasa tulis,suatu masyarakat bahasa bukanlahhomogen, tetapi heterogen. Masyarakatbahasa secara sosiologis berjalinkelin-dan dengan heterogenitas/keragamansosial budaya suatu masyarakat, yangmempunyai pengaruh yang cukupbesar terhadap bahasa itu sendiri, baik

Bahasa Jawa-Kitabi Oialek Madura dalam Naskah 'Careta Qiyamat'

- --

24

yang berstatus vemakuler /kedaerahan

maupun yang nasional. Dengan katalain bahwa bahasa itu merupakanakibat serta fenomena yang diproduksioleh dan bersangkutan dengan proseskultur /kebudayaan manusia (Kridalak-sana, 1985:20). Dengan demikian,keragarnan suatu masyarakat dapatmemberi peluang yang sangat besarpula memunculkan bahasa yangberagam pula. Juga, bahasa yang bera-gam itu dapat menimbulkan adanyasaling pengaruh, baik secara langsungmaupun tidak langsung. Kenyataanbahwa hubungan saling pengaruhyang terjadi di antara bahasa-bahasayang digunakan dalam masyarakatyang sarna sebagai akibat "kontakbahasa" dan "kontak budaya" merupa-kan kenyataan sosio-kultural yangtidak hanya terjadi di antara bahasa-bahasa yang digunakan dalam masya-rakat yang sarna itu, tetapi juga terjadipada masyarakat yang berbeda. Maka,saling pengaruh antara dua bahasatersebut akan menimbulkan perubahanstruktur dan pemakaian bahasa(Blount, 1977:6). Namun demikian, hu-bungan saling pengaruh itu yangpaling menonjol hanya dalam hu-bungan perbendaharaan kata, sedang-kan tata bunyi dan tata bahasa,hubungan saling pengaruh itu terbatasjumlahnya.

Kontak bahasa oleh Weinreich

(1970) diartikan sebagai kontak yangterjadi apabila dua bahasa atau lebihdigunakan secara bergantian oleh orangyang sarna. Dengan demikian, kontakbahasa itu terjadi dalam diri penutursecara individu; sehingga pemakaiandua bahasa atau lebih secara bergantianoleh seorang penutur disebut dengankedwibahasaan.

"two or more languageswill besaid to be in contact if they areused by the same person. Thelanguage - using individuals arethus the locus of the contact. Thepractice of alternatively using twolanguages will be calledbilingualism and the personsinvolved, bilingual" (Weinreich,1970:1).

Pada masyarakat dwibahasamaupun masyarakat multilingual,biasanya memunculkan penggunaandua bahasa/lebih yang sifatnya"diglosia"; yaitu di dalam masyarakatterdapat pilihan-pilihan penggunaanbahasa secara baik, sesuai dengankonteks dan fungsi sosial yang berbeda-beda. Dalarn konteks ini, masyarakatdwibahasa/multilingual tuturannyatidak hanya terbatas pada satu ragamsuatu kode dalam 'repertoimya' atauterbatas pada suatu bahasa yangmonoton dan tidak berubah, yang tidakmenunjukkan rasa hormat, kejenakaan,dan jarak peran sosial melalui peralihansuatu ragam kode ke ragam lainnya.Hymes (dalam Sankof, 1971:33) menya-takan bahwa tidak mungkin seseorangatau pun suatu komunitas bahasamengekspresikan tuturannya hanyapada satu macarn variasi kode bahasa.Oleh karena itu, pemakaian bahasayang berganti-ganti dan berbeda-bedaoleh penutur atau masyarakat bahasadalarn kehidupan sehari-hari tersebut,menurut Poejosudarmo (1983:509) akanmenimbulkan beberapa kecenderunganyakni adanya saling pengaruh antarakedua kecenderungan yang dipakaidan adanya gejala bahasa yang disebut'campur kode' (code mixing) ataupun'alih kode' (codeswitching).Kenyataanbahwa di dalam masyaraI<at dwi-bahasa/multibahasa tidak mungkin

Litera, Volume 6, Nomor 1,Januari 2007

....

seorang penutur menggunakan satubahasa secara mutlak mumi tanpasedikitpun memanfaatkan bahasa atauunsur bahasa lain. Oleh karena itu, alihkode dan campur kode itu merupakansalah satu aspek ketergantungan baha-sa di dalam masyarakat multilingual.

Selain itu, peristiwa peralihankode ataupun campur kode tidak hanyaterjadi dalam tataran bahasa lisan saja,melainkan juga terjadi pada tataranbahasa tulisan. Berkaitan dengan per-alihan bahasa 'lisan' ke 'tulisan' sebe-

namya tidak banyak pengaruhnya(Pateda, 1987:88). Hal ini jelas menun-jukkan bahwa di dalam masyarakattradisi tulis, yang mengekpresikan ke-budayaannya melalui tradisi kesas-traan, kecenderungan alih kode dancampur kode senantiasa muncul. Juga,melalui aspek ketergantungan bahasadalam 'format alih kode dan campurkode itulah representasi kultural seba-gai 'produksi makna dalam konsep pe-mikiran melalui bahasa' merupakansuatu hal yang natural (Hall, 1997: 16-17).

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakanmetode 'deskriptif. Metode deskriptifdimanfaatkan agar dapat mengungkappengetahuan yang seluas-Iuasnyaterhadap objek penelitian - dalam halini berupa naskah (Ndraha via Widodo,2000 :15). Objek penelitian ini berupanaskah dan teks 'Careta Qiyamat:Berdasarkan penelitian, peneliti mene-mukan naskah tersebut tercatat pada (i)Dokumentasi/Inventarisasi KoleksiMuseum Negeri Mpu Tantular PropinsiJawa Timur: Koleksi Naskah/ Fila-logika, thn. 1992/1993, Surabaya, Mu-seum Mpu Tantular dan (ii) Doku-mentasi/lnventarisasi Koleksi Museum

Negeri Mpu Tantular Propinsi Jawa

25

Timur: Koleksi Naskah/Filologika, thn.1993/1994, Surabaya: Museum MpuTantular yang keduanya disusun olehEndang Purwaningsih sebagai editor.

Teks Careta Qiyamat tersebutmerupakan salah satu bagian darinaskah 'Careta Syeh Ngarip'; dan tekstersebut terdapat pada halaman 24-65;berbentuk tembang macapat. Juga, kolo-fon pada halaman 65, berbunyi 'tamatcareta hari qiyamat wallahu a'lam bil haq,ing dina Salasa.'

Data linguistik dalam teks'Careta Qiyamat' diperoleh melaluiproses pembacaan intensif agar dapatmenemukan monum'en bahasa yangpemah berlaku pada karya sastraMadura, terutama yang mengeksposbahasa Jawa-Kitabi dialek Madura yangterekam di dalarnnya. Analisis datadilakukan dengan teknik deskriptifkualitatif. Adapun langkah-Iangkahnyaadalah (i) melakukan proses pemba-caan teks 'Careta Qiyamat' agar dapatmemperoleh gambaran umum ten tangkarakteristik bahasanya (ii) meng-alihaksarakan teks 'Careta Qiyamat'dari aksara Peggu ke aksara Latin, (iii)memaparkan temuan-temuan bahasaJawa-Kitabi dialek Madura yang di-anggap representatif dalam teks 'CaretaQiyamat', (iv) menganalisis teks berda-sarkan kajian sosiolinguistik melaluipembahasan secara deskriptif.

C. HasH Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan tujuan penelitian,berikut ini disajikan hasil penelitiandan langsung diikuti dengan pem-bahasannya.

1. Campur Kode dalam Teks 'CaretaQiyamat'

Interelasi antara tradisi Jawadan tradisi Islam dalam kultur pesan-tren Madura, salah satunya dapat

Bahasa Jaw.a-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah 'Careta Qiyamat'

- - - - - -

26

diamati melalui bahasa teks yangterdapat dalam naskah ICeritaQiyamat.' Paduan kultural antaratradisi Jawa-Keraton dan tradisi Jawa-Pesantren sangat kentara dalam teksitu. Berdasarkan analisis substansi isi

teks, ceritanya merupakan sastra pesan-tren genre 'non-Kitabi' yang bemuansakeislaman, sedangkan teksnya ber-bentuk tembang macapat Jawa yang se-cara historis akrap digunakan dikalangan Pujangga istana di Jawa.Dengan demikian, teks tersebut yangditulis oleh Abdul Aziz Muhammad

Amin, asal Sumenep, Madura ini,memiliki corak yang lebih khas, baikdari unsur bahasa, maupun bentuksastranya. Apalagi bahasa Jawa-Kitabiyang digunakan dalam teks ini ber-dialek Madura-Sumenep. Meskipunidentitas bahasa Jawa-nya begitu nam-pak, tetapi diksi-diksi dialek Maduradapat diidentifikasi, sehingga bahasateksnya terkesan unik, misalnya; padaPuh Kasmaradana (d. Jawa: PupuhAsmaradana); bait ke-l, berbunyisebagai berikut.

/ /Wangi tigi miluwa ngawi,.J..[orangtiga ikut mengarangsyair)apaksa angapus gita,.J..[akan mengarang lagu)

den samaya ngaweruhi,.J..[berjanji memberi tahu)

mangku antuki mung laki,.J..[supaya mendapatkan suami)

barangta den samya ngapuraha,.J..[semua sama-sama memaafkan)

ing basa Ian tandukipun,.J..(pada bahasa dan kelakuannya)

dining satera tuna liwat 8

[pada perbuatannya yang telah lalu)

Pada Puh Durma Oawa: PupuhDurma), bait ke-13 (baris ke-l; ke4) danbait ke-14 (baris ke-2; ke-4), ditemukanfakta yang sama.

I ISing wong wadon kangabakti ing lakina, .J..[Seorang istri yang berbaktikepada suaminya]tan widaha Ian sariki, .b[tidak berbohongkepadasuami]oleh sapangat, .b[mendapat pertolonganlsafa'at]sa king lakina punika, .b[darisuaminya itu]lawan sapangat Nabine,.bUugapertolongan dari Nabi][hlm.23] wadon Padimah, .b[Putri Fatimah]wus samnya anyapakatie[semua sudah memberi per-tolongan]

Kosakata 'laki' (baris ke-4),merupakan diksi dari bahasa Jawa yangmerujuk pada makna 'suami.' Namun,patut dicatat bahwa istilah tersebut jugamerupakan diksi bahasa Madura. Per-soalannya, apakah diksi bahasa Maduratersebut diadopsi dari bahasa Jawaataukah tidak? Apakah istilah 'laki' da-lam bahasa Jawa dan Madura itu di-turunkan dari bahasa induk yangsama? Hal ini masih memerlukan pene-litian linguistik historis lebih lanjut.Namun, semen tara ini, peneliti berke-simpulan bahwa istilah 'laki' telahmengalami 'kemapanan' dalam bahasaJawa dialek Pesisiran yang berkembangdalam tradisi Pesantren secara oral, se-

hingga istilah tersebut akhimya men-jadi kosakata baku dalam formatbahasa Jawa-Kitabi yang merupakanekspresi ragam tulis. Pada perkem-bangannya kemudian, secara historis,temyata istilah 'laki' merupakan diksibahasa Jawa-Kitabi yang sering kalidipakai dalam Kitab Kuning, dan istilahtersebut secara oral/tuturan digunakansecara khas oleh masyarakat Gresik,Jawa Timur, yang tentu maknanya juga

Litera, Volume 6, Nomor 1,Januari 2007

.'

merujuk pada referen 'suami: Tatkaladiksi tersebut diadopsi dalam kulturbahasa Madura, perlu adanya penye-:;uaian bentukan kata melalui prosesmorfologis. Coba perhatikan padakosakata 'laki' dan 'lakina' dalarn teks

Puh Durma bait ke-13-14 yang sangatkentara merujuk pada proses morfo-logis, sehingga bukti 'campur kode'(codemixing) berupa gabungan antara'kata benda' (bahasa Jawa-Kitabi) dan'kata ganti milik' (bahasa Madura),menunjukkan adanya adopsi danadaptasi dalam 'kultur bahasa Madura,'yang akhimya terbentuklah diksi ra-gam bahasa Jawa-Kitabi dialek Madura.Hal ini ditandai dengan munculnyaakhiran /na/yang bermakna 'miliknya'sebagai ciri 'morfem terikat' dari kaidahketatabahasaan bahasa Madura. Begitupula dengan melacak istilah/ penamaanPuh Artate IV yang dalam pelafalanbahasa Jawa-Pesisiran (bahasa oral pe-santren di Jawa) diucapkan PupuhArtati, lihat teks tembang hlm.8-17. Tekstersebut merupakan pengaruh daripenamaan tembang Artati atau Hartatiyang sering kali dipakai sebagai se-butan tembang Jawa genre DhandhangGula oleh masyarakat Gresik. Palingtidak, penggunaa nama ini dapat di-pakai sebagai indikasi darimana penga-ruh Islam itu masuk dalam naskah'Careta Qiyamat:

Perhatikan juga kosakata'abakti' yang dalam bahasa Jawa di-ucapkan 'ngabekti' yang bermakna'berbakti', merupakan bukti kuat adanyaproses adopsi sebagai ekspresi lokalitasMadura. Dalam tata bahasa Madura,vokal / a/bukan hanya merujuk padaidentitas huruf vokal, yang terbedakandengan huruf konsonan, tetapi jugadapat merujuk pada identitas afiks,terutama dalam konstruksi 'pemben-tukan kata' secara morfologis. Afiks

27

/ a/ dalam hal ini, berperan menjadi'suku kata sendiri', yakni 'a + bakti' ,dansekaligus berperan membentuk katakerja transitif. Perhatikan juga diksi'abakti' dalam kalimat di atas. Pad a saat

pembacaan teks, biasanya jugadiucapkan 'abekte' yang maknanya jugasarna dengan 'abekti! Fonem /i!ataupun fonem /e/sering kali dipertukar-kan dalam tuturan, sebab fonem/e/merupakan alofon dari fonemIi/(lihat Alan Stevens, 1978). Kasusfonetis ini juga menjadi catatan khususdalam bahasa Madura, terutamamencermati identitas vokal yang dapatdilafalkan ganda; antara yang tertulisdengan yang terucap.

Fakta 'campur kode' dalam tekstersebut diperkuat pula dengan tembangmacapat, pada bait 2.2. Dalam teks tem-bang tersebut terdapat kalimat 'jubakbecikna ngamali' (buruk baiknya amal).Diksi 'jubak' yang dalam bahasa Ma-dura bermakna 'jelek' merupakan terje-mahan diksi 'ala' dari bahasa Jawaataupun Jawa-Kitabi yang juga ber-makna 'jeIek', sedangkan 'becikna' me-rupakan kombinasi antara 'kata sifat'dan 'kata ganti milik orang ketigatunggal', yakni becik + na.

Bukti lain yang dapat dijadikanindikasi lokalitas dialek Madura adalah'hilangnya' konsonan /h/ dalam suatukata, terutama ketika konstruksinyaberada pada suku kata terakhir. Dalambait-bait tembang yang lain, seringmuncul kosakata 'wung, padahal dalamteks Jawa seharusnya 'wang' ; juga diksi'sapulu' dan 'iwu' sering muncul dalamteks, padahal dalam bahasa Jawa-Keraton maupun Jawa-Pesantren se-harusnya tertulis 'sapuluh' dan 'iwuh.'Bisa jadi, penghilangan konsonan /h/dalam teks 'Careta Qiyamat' merupa-kan ciri khas Madura-Sumenep padawaktu itu. Abdul Aziz Muhammad

Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah 'Careta Qiyamat'

- '-"'.'=>.-

28

Amin, asal Sumenep yang menuIisnaskah tersebut dalam bahasa Jawa-Kitabi dialek Madura sengaja meng-adopsi dan mengadaptasi kosakataMadura, kemungkinan hal itu dilaku-kan karena beberapa alasan. Pertama,penulis ingin memasukkan kosakataMadura-Sumenep sebagai cara adaptasitradisi lokal setempat, agar pembaca/pendengar tembang tersebut secarapsikologi ada perasaan semacam 'rasamemiliki' (sense of belonging) teks ataucerita tersebut, sekaligus secara emotif

mencuatkan 'rasa keindahan' (sense ofbeauty). Kedua, penggunaan kosakataMadura-Sumenep itu akan menambahbobot kesastraan teks itu sebagaikarakter identitas kesastraan Madura-

Timur. Ketiga, adopsi dan adaptasi inidilakukan oleh penyadur naskahkarena dituntut oleh guru lagu dan guruwilanganjenis tembangyang digunakan-nya ketika teks ini dibaca saat acara,macapadhan.'

Bila asumsi ini benar, apalagidiperkuat dengan kolofon naskah ter-sebut yang mencantumkan angkatahun 1243 H (1822 M), maka bisadipastikan bahwa pola 'campur kode'yang menjadi ciri khas teks tersebutdalam paradigma analisis sosiolinguis-tik merupakan 'jembatan bahasa' se-belum bahasa 'Madura-Kitabi' mem-

peroleh kemapanan di pesantrenMadura. Bahasa Madura-Kitabi' yangdimaksud peneliti adalah bahasaMadura baku/ formal ragam tuIis yangdipakai di kalangan pesantren diMadura, yang tidak tergantung pad apenggunaan bahasa Jawa-Kitabi atauFmanfaatan diksi-diksi dari bahasaJawa-Kitabi. Fakta ini bisa dicermatipada Kitab Kuning berbahasa Madurayang sudah melalui proses cetak.Dengan demikian, teks 'CaretaQiyamat' yang muncul hampir 2 abad

yang lalu merupakan bukti adanyakategori bahasa yang dapat disebutsebagai bahasa 'Jawa-Kitabi Hibrida'yang merupakan salah satu bentukekspresi identitas dialek Madura se-bagai penanda lokalitas sebelum mun-culnya bahasa ,Madura-Kitabi' dalamkultur pesantren Madura.

2. Bahasa Jawa-Kitabi sebagai LinguaAcademica di Pesantren Madura

Budaya Madura yang selaludikatakan sebagai sulrkultur budayaJawa cenderung dikondisikan dalamoposisi yang relatif lemah bila ber-hadapan dengan kebudayaan Jawayang dominan dalam kehidupan ma-syarakat Madura. Masyarakat Madurasebagai pewaris nilai-nilai budaya Jawayang mapan, yang memiliki peradabanmaju dan kuat, sebenamya menyirat-kan perbedaan yang mencolok dalamkonsep budaya. Dari sudut ini, budayaJawa sudah memiliki aksara berupaaksara Jawa dan aksara Pegon dalamkorpus bahasa Jawa, sedangkan masya-rakat Madura masih dalam lingkupkelisanan, akibatnya terjadi kesen-jangan peradaban, termasuk tradisi ke-sastraannya, di antaranya sastra tem-bang.Di kalangan masyarakat Madura,tembang-tembangberbahasa Jawa selaludipakai dalam acara macapadhan.Misal-nya, dalam acara Ruwadhan Oawa:Ruwatan), bacaan ritual diambilkan darikisah Pandawa dan Batarakala. Lain

lagi bila ritual selamatan PeretKandungOawa : Mitoni, 'tujuh bulanan') dibaca-kan kisah-kisah dari Serat Yusuf, jugabila memperingati acara [sra'Mi'rajdibacakan dari Serat Mi'raj Nabi. Semuaitu di-tembang-kan dalam bahasa Jawayang kemudian diterjemahkan olehseorang penerjemah yang tentunyaseorang bilingual.

Litera, Volume 6, Nomor 1, Januari 2007

- - ~- - -- -

Peradaban Jawa yang sudahmengenal lebih dulu keberaksaraanjuga menduduki posisi penting dalamkerangka pengembangan tradisi ke-ilmuan, khususnya di lingkunganPesantren. Aksara Pegan, yang diguna-kan di Pesantren Jawa sebagai aksaraakademik memang sebenamya menjadikarakteristik aksara Pesisiran. Sebab, didaerah pesisiran pulau Jawa inilahmuncul pusat-pusat keislaman sepertipondok pesantren yang berfungsisebagai tempat pendidikan agamaIslam. Di tempat seperti itulah lahirperadaban baru di Jawa; (1) aksarapesantren Jawa, yang disebut Pegan, (2)bahasa Jawa-Islam, yang disebutsebagai bahasa Jawa-Kitabi, (3) teks-tekskeagamaan Islam atau kesusastraanIslam, yang oleh Poerbaljaraka (1950:75) disebut sebagai sastra Pesantren.Dan, ketika Madura di-islam-kan, adasemacam tuntutan budaya yangdidorong oleh faktor kebutuhan akansarana tulis-menulis sebagai bentukekspresi masyarakat pesantren Madura.Itulah sebabnya, orang-orang Madurayang belajar di pesantren Jawa, melaluihegemoni hubungan patron-klien didomain pesantren Jawa, mengadopsiaksara Pegan dan bahasa Jawa-Kitabisebagai aksara & bahasa keilmuan(lingua academica), bukan sekadarbahasa formal, ataupun bahasa "kelassosial." Apalagi bahasa Jawa-Kitabi,sebagai salah satu ragam bahasa Jawa,mempunyai fungsi sebagai bahasa ilmupengetahuan, digunakan pada saatmembaca dan menginterpretasikankitab-kitab klasik Islam yang memangmayoritas tertulis dalam bahasa Jawa-Kitabi, yang disebut Kitab Kuning (d.Madura: Ketab Kaneng). Dengan be-gitu, melalui 'jembatan kultur pe-santren' para santri Madura secaratanpa sadar telah menjadi pendukung

29

bahasa Jawa, terutama bahasa pesan-tren Jawa. Dengan menerima bahasaJawa-Kitabi secara natural akademik,sekaligus mempengaruhi interelasikedua budaya yang berbeda ; Jawa danMadura. Juga, bagi santri Madt1ra,bahasa Jawa-Kitabi merupakan bahasakedua yang harus dikuasai setelahbahasa Madura. Kesanggupan menulisdan membaca dalam bahasa Jawa-Kitabi memungkinkan mereka dalammenuangkan gagasan atau ide-idemenjadi suatu wacana ; yang tidak lainsebagai representasi 'pernik iranMadura' yang berupa kelisanan digan-tikan dengan simbol-simbol tertulisdalam korpus aksara Pegandan bahasaJawa-Kitabi. Mengingat pengapdosianbahasa Jawa-Kitabi dalam kapasitasnyasebagai bahasa keilmuan, maka tradisiyang diadopsi oleh kalangan santriMadura adalah tradisi pemikiran yangbertingkat; (1) tradisi pemikiran Jawa,(2) tradisi pemikiran Islam-Jawa, (3)tradisi pemikiran Islam-Arab yangketiganya berjalinkelindan tatkala ter-jadi transformasi ilmu pengetahuandalam ranah pemikiran Madura. Dalamhal ini, kesusastraan Jawa, baik genresastra Keraton maupun genre sastraPesantren yang diwariskan melaluitradisi keilmuan mengalami semacam'reproduksi kebudayaan' di Madura.Terbukti dengan banyaknya karya-karya kesusastraan Jawa yang ditulisulang oleh orang Madura, khususnyapara santri, dalam bahasa Jawa-Kitabi,atau disadur dalam bahasa Jawa-Kitabidialek Madura- Timur maupun dialekMadura-Barat. Bahkan diterjemahkandalam format bahasa Madura-Kitabi.

Karya sastra Madura, khususnya karyasastra Pesantren, yang demikian,banyak ditemui di Madura, misalnyaSerat Mi'raj Nabi, Serat Yusuf, SeratDamarwulan, Serat Angling Darma

Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah 'Careta Qiyamat'

30

Ambiya', dan lain-lain. Di pesantrenMadura, bahkan adak jarang bila teksyang berbahasa Jawa-Kitabi, ketika tekstersebut dibaea/ di-daras-kan kemudianditerjemahkan ke dalam bahasa Ma-dura. Fakta ini sekaligus mengindikasi-kan bahwa bahasa Madura dalam

konteks ini sebagai "paneges" bahasa]awa-Kitabi, yang akhimya melaluikonvensi tradisi lokal di kalanganpesantren Ma9ura mengadopsi tradisi'paneges' sebagai kanon bahasa Madura-Kitabi, yang sekaligus sebagai salah satubentuk varian bahasa Madura formal.

Fakta ini diperkuat dengan earamengadopsi aksara Pegon dan sekaligusbahasa Jawa-Kitabi dalam kulturpesantren Madura. Melalui prosesrekaan yang diadaptasi dari modelaksara Pegon yang dilengkapi dengantanda-tanda diakritik yang disesuaikandengan lafal Madura, terciptalah'aksara pesantren' ala Madura, yangdisebut sebagai aksara Peggu. Jadi,sangat tidak tepat bila istilah peggudalam konteks ini, dipahami sekadarmerujuk pada 'eara pelafalan orangMadura' ketika menyebut istilah"Pegon", yakni jenis aksara 'Arab-Jawa'yang banyak dipakai di kalangankomunitas pesantren di Jawa. Namun,dibalik istilah Peggu itu sendiri adasemaeam 'penciptaan budaya baru'yang sekaligus sebagai refleksi 'iden-titas lokal' yang menyiratkan beberapahal. Pertama, penegasan eksistensiaksara 'Arab-Madura' sebagai symbolofidentity yang ban yak dipakai dipesantren Madura yang justru ber-koeksistensi dengan aksara Arab-Jawa(Degon). Kedua, penegasan eksistensibahasa Madura yang berkoeksistensidengan bahasa Jawa. Ketiga, penegasanidentitas kesusastraan Madura yangsejajar dengan kesusastraan Jawa.Keempat, penegasan ideologi kultural

Madura yang berkoeksistensi denganideologi kultural Jawa. Meskipun polaini berakar pad a konsep 'peniruankebudayaan Jawa', tetapi dalam ranahbudaya hal ini sifatnya natural.

Sementara', fungsi bahasa Jawa:...Kitabi sebagai bahasa keilmuan atau'bahasa akademisi' (lingua academica)dipesantren Madura, khususnya MaduraSumenep tidak dapat dipisahkanperanannya sebagai 'bahasa ilmuagama' yang tentu saja fakta bahasaakademisi keagamaan dalam kulturMadura tersebut mengacu pada konsep'hirarki bahasa' atau 'tingkatankebahasaan' dalam suatu komunitas

pesantren.. Pola hirarkhi bahasa ini dikalangan komunitas santri Maduramirip sekali dengan tradisi keilmuan dikalangan komunitas brahmacari yangberlatar keagamaan Hindu di Bali. Dikalangan masyarakat Bali, bahasa San-sekerta dianggap sebagai bahasa KitabSuci (Vaidikf-bhaSil), sedangkan bahasaJawa-Kuna dipakai sebagai bahasamediator keilmuan, yang disebutPadartha, sedangkan bahasa Bali itusendiri disebut sebagai bahasa Teges,yang bersifat memperjelas atau mem-pertegas makna teks Kitab Suci Wedayang sedang dipelajari. Begitu juga dikalangan masyarakat Madura, bahasaArab dianggap sebagai bahasa KitabSuci (al-Lughilh al-llilhiyyah), bahasaJawa-Kitabi sebagai bahasa mediatorkeilmuan, sedangkan bahasa Maduraitu sendiri disebut sebagai bahasaPaneges,yang bersifat memperjelas ataumempertegas makna teks Kitab-kitabKuning yang sedang dipelajari.

D. Simpulan dan Saran1. Simpulan

Oalam tulisan ini, ada beberapahal yang dapat disimpulkan. Pertama,naskah 'Cereta Qiyamat' yang

Litera, Volume 6, Nomor 1, Januari 2007

menggunakan bahasa Jawa-Kitabidialek Madura merupakan salah satubentuk hasil penerjemahan Islam ke~alam budaya lokal, khususnyaMadura-Sumenep. Hal ini mengindi-kasikan bahwa proses islamisasi diMadura meniscayakan munculnyakontak intelektual (belajar-mengajar)antara guru-murid, yang meniscayakanpula memunculkan adanya teks sumberdan teks terjemahan/saduran. Kontakintelektual keagamaan inilah akhimyamemunculkan dua kategori naskahreligi; naskah berbahasa Jawa-Kitabi,dan naskah berbahasa daerah Madura(bahasa Madura-Kitabi). Kedua, mun-culnya kosakata Madura-Sumenep se-bagai bukti adanya 'campur kode' yangbertebaran dalam naskah 'Careta

Qiyamat' ini merupakan identitas lokalbahasa Madura yang belum mapan.Fakta ini dapat dipahami sebagai sub-kultur Jawa yang mengedepankanbahasa Jawa-Kitabi sebagai mediabahasa keilmuan di pesantren Madura.Ketiga, bahasa Jawa-Kitabi yang dipakaidalam manuskrip, merupakan bahasa'bentuk peralihan' sebelum dimapan-kannya 'bahasa Madura-Kitabi' yangterekam dalam bentuk 'cetakan.' Oalam

konteks ini, dengan pendekatansosiolinguistik, dimungkinkan semakinterkuak misteri identitas bahasa 'pra-Madura-Kitabi' di kalangan masyarakatpesantren Madura; yakni bahasaMadura dialek Pesisiran ragam lisansebelum proses islamisasi di Madura.

2. Saran

Kajian sosiolinguistik terhadapnaskah 'Careta Qiyamat' ini pentingagar dapat dimanfaatkan oleh paralinguis, terutama yang hendak meng-kaji asal-usul dan perkembanganbahasa Madura. Sebagian besar paralinguis kurang begitu tertarik mem-

31

pelajari naskah. Padahal naskahmerupakan salah satu altematif yangsangat valid untuk mengjai fenomenabahasa, terutama yang bersifat linguis-tik diakronik, sebab bagaimanapunbahasa naskah merupakan monumenlinguistik yang paling sahih. Olehkarena itu, peneliti berharap kiranyapenelitian naskah ini dapat diman-faatkan oleh para ahli bahasa.

Daftar Pustaka

Blount, Bent dan Sanches. 1977. So-ciocultural Dimensions ofLanguage Change. Orlando:Florida Academic Press. Inc.

Hall, Stuart. 1997. Representation:Cultural Representations andSignifying Practices. New Oelhi-London: Sage-Thousand Oaks.

Kridalaksana, Harimukti. 1985. Fungsidan Sikap Bahasa. Ende-Flores:Nusa Indah.

Loir, Chambert and Oman Faturahman,1999, Khasanah Naskah: PanduanKoleksi Naskah-naskah Indonesia

Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor-Ecole Francais d'Extreme-Orient.

Pateda, Mansur. 1987. Sosiolinguistik:Suatu Pengantar. Jakarta:Gramedia Pus taka Utama.

Piqeaud, Th. 1967.LiteratureofJava,vol.I. 's-Gravenhage: MartinusNijhoff.

Poejosudarmo, S. 1983. "Interferensidan Integrasi dalam SituasiKeanekaragaman" via AmranHalim (ed.), Kongres BahasaIndonesia III. Jakarta: Pusat

Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah 'Careta Qiyamat'

------

32

Pembinaan dan PengembanganBahasa.

Poerbaljaraka, R.M.Ng. dan TardjanHadiwidjaja. 1957. KepustakaanDjawa. Kolff Jakarta: Djam-batan.

Purwaningsih, Endang (ed.). 1993.Dokumentasi/lnventarisasi Koleksi

Museum Negeri Mpu TantularPropinsi Jawa Timur: KoleksiNaskah/Filologika, thn. 1992/1993,Surabaya: Museum MpuTantular.

. 1994. Dokumentasi/lnventari-

sasi Koleksi Museum Negeri MpuTantular Propinsi Jawa Timur:Koleksi Naskah/Filologika, thn.1993/1994, Surabaya: MuseumMpu Tantular.

Sankof, G. 1971. "Language Use inMultilingual Societies: SomeAltematief Approaches" viaPaolo Giglioli (ed.), Languag~and Social Context. London:

Penguin Books Ltd.

Setyowati, Edi (ed.). 2001. Sastra Jawa:Suatu Tinjauan Umum. Jakarta:Balai Pustaka.

Soeratno, Siti Chamamah. 2003.

"Filologi Sebagai PengungkapOrisinalitas dan Transformasi

Produk Budaya", makalahdisampaikan pada pembukaankuliah Program Pasca Sarjanatahun akademik 2003/2004,

pada tanggal1 September 2003,Yogyakarta: UuniversitasGadjah Mada.

Stevens, Alan M. 1969. MaduresePhonology and Morphology,American Oriental Series, vol.52. New Haven: American

Oriental Society.

Teeew, A. 1986. "De Tekst: Er staat nieter wat staat-of toch soms?"Bahan kuliah di

Rijksuniversiteit Leiden, padatanggal12 September 1986.

Weinreich. 1970. Language in Contact:Findings and Problems. TheHague-Paris: Mouton.

Widodo, Ema danKonstruksi ke

DeskriptifAvyrouz.

Mukhtar. 2000.Arah Penelitian

Yogyakarta:

Litera, Volume 6, Nomor 1, Januari 2007