21
353 SAWERIGADING Volume 20 No. 3. Desember 2014 Halaman 353—362 PENDAHULUAN Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mere- ka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota- anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG DAN DIALEK ENNAK (Buginese Phonemic Correspondence of Soppeng and Ennak Dialects) Musayyedah Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat Jalan Sultan Alauddin Km 7/ Tala Salapang, Makassar Telepon (0411) 882403, Faksimile (0411) 882403 Pos-el: [email protected] Diterima: 14 Mei 2014; Direvisi: 26 Agustus 2014; Disetujui: 7 Oktober 2014 Abstract Phonemic correspondence could not be separated from sound changes law. Sound changes among cognate languagesin reflecting sounds found in proto-language resulted different language or dialect, it happened systematically or sporadically. The research is important to find out sound changes arising in Soppeng and Ennak dialects, even both dialects are the same language. The aim of the research is to uncover the form of phonemic correspondence using recurrence, co-occurrence, or analogy. Method used is descriptive qualitative through formal and informal phonemic correspondence. Result of the research finds out sound variations of both dialects, they are [/a: ~ a / # -], [/a: ~ a/#k -], [/u: ~ u/# -], [/u: ~ u/# -], [/o ~ ə / -k# ], [/o: ~ ə / -k# ], [w(w) ~ h (Ø)/ # -] , [w ~ n/ v – v], [Ø ~ w/ v – v], [Ø ~ h/ # -], [b ~ h (Ø )/ # -], [l:l ~ llv]. Keywords: phonemic correspondence, Soppeng dialect, Ennak dialect Abstrak Korespondensi bunyi tidak terlepas dari hukum perubahan bunyi. Perubahan bunyi di antara bahasa-bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada proto bahasa yang mengakibatkan perbedaan bahasa atau dialek, ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis). Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan bunyi yang muncul antaradialek Soppeng dengan dialek Ennak, meskipun kedua dialek tersebut satu bahasa. Tujuan penelitian ini untuk menemukan pola korespondensi fonemis dari kedua dialek tersebut melalui rekurensi fonemisnya, ko-okurensinya, atau analoginya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif melalui analisis korespondensi fonemis secaraformal dan informal. Hasil penelitian ini menemukan bentuk-bentuk variasi bunyi dari kedua dialek tersebut adalah [/a: ~ a / # -], [/a: ~ a/#k -], [/u: ~ u/# -], [/u: ~ u/# -], [/o ~ ə / -k# ], [/o: ~ ə / -k# ], [w(w) ~ h (Ø)/ # -] , [w ~ n/ v – v], [Ø ~ w/ v – v], [Ø ~ h/ # -], [b ~ h (Ø )/ # -], [l:l ~ llv]. Kata kunci: korespondensi fonemis, dialek Soppeng, dialek Ennak secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan- bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya yang memungkinkan

KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

352 353

SAWERIGADING

Volume 20 No. 3. Desember 2014 Halaman 353—362

PENDAHULUAN

Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mere-ka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan

KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG DAN DIALEK ENNAK

(Buginese Phonemic Correspondence of Soppeng and Ennak Dialects)

MusayyedahBalai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat

Jalan Sultan Alauddin Km 7/ Tala Salapang, MakassarTelepon (0411) 882403, Faksimile (0411) 882403

Pos-el: [email protected]: 14 Mei 2014; Direvisi: 26 Agustus 2014; Disetujui: 7 Oktober 2014

AbstractPhonemic correspondence could not be separated from sound changes law. Sound changes among cognate languagesin reflecting sounds found in proto-language resulted different language or dialect, it happened systematically or sporadically. The research is important to find out sound changes arising in Soppeng and Ennak dialects, even both dialects are the same language. The aim of the research is to uncover the form of phonemic correspondence using recurrence, co-occurrence, or analogy. Method used is descriptive qualitative through formal and informal phonemic correspondence. Result of the research finds out sound variations of both dialects, they are [/a: ~ a / # -], [/a: ~ a/#k -], [/u: ~ u/# -], [/u: ~ u/# -], [/o ~ ə / -k# ], [/o: ~ ə / -k# ], [w(w) ~ h (Ø)/ # -] , [w ~ n/ v – v], [Ø ~ w/ v – v], [Ø ~ h/ # -], [b ~ h (Ø )/ # -], [l:l ~ llv].

Keywords: phonemic correspondence, Soppeng dialect, Ennak dialect

AbstrakKorespondensi bunyi tidak terlepas dari hukum perubahan bunyi. Perubahan bunyi di antara bahasa-bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada proto bahasa yang mengakibatkan perbedaan bahasa atau dialek, ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis). Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan bunyi yang muncul antaradialek Soppeng dengan dialek Ennak, meskipun kedua dialek tersebut satu bahasa. Tujuan penelitian ini untuk menemukan pola korespondensi fonemis dari kedua dialek tersebut melalui rekurensi fonemisnya, ko-okurensinya, atau analoginya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif melalui analisis korespondensi fonemis secaraformal dan informal. Hasil penelitian ini menemukan bentuk-bentuk variasi bunyi dari kedua dialek tersebut adalah [/a: ~ a / # -], [/a: ~ a/#k -], [/u: ~ u/# -], [/u: ~ u/# -], [/o ~ ə / -k# ], [/o: ~ ə / -k# ], [w(w) ~ h (Ø)/ # -] , [w ~ n/ v – v], [Ø ~ w/ v – v], [Ø ~ h/ # -], [b ~ h (Ø )/ # -], [l:l ~ llv].

Kata kunci: korespondensi fonemis, dialek Soppeng, dialek Ennak

secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya yang memungkinkan

Page 2: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

354 355

integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Keraf, 1990: 5).

Pada umumnya orang beranggapan bahwa suatu bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam (suku) bangsa, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, di dalam usaha menentukan batas-batas pemakaian suatu bahasa pun, hal itu biasanya didasarkan pada kenyataan-kenyataan tersebut. Pada tingkat dialek pun, demikian pula halnya. Perkembangan sesuatu bahasa atau dialek sangat tergantung kepada sejarah daerah yang bersangkutan (Guiraud dalam Ayatrohaedi,1979:5).

Ada dua ciri yang dimiliki dialek yaitu, (1) dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa, (Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979:2).

Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan menurut peta bahasa yang dikeluarkan oleh ‘The Australia Academy of the Humanitas’ menunjukkan pengelompokan ditekankan pada situasi geografis. Pengelompokan tersebut adalah; (1) Bugis terdiri atas Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sidenreng, Pare-pare, dan Sawitto; (2) Makassar terdiri atas Lakiung, Turatea, Bantaeng, Konjo, dan Selayar; (3) Mandar terdiri atas Balanipa, Majene, dan Botteng Tapppalang; (4) Saqdan Toraja terdiri atas Rongkong, Makki, Mamasa, Mappapama, Kesuq Rantepao, Makale, Sillanan, Dandang Batu dan Sangalla; (5) Mamuju; (6) Massenrempuluq terdiri atas Enrekang Duri dan Maiwa; (7) Seko dan (8) Pitu Ulunna Salu (Keraf dalam Jerniati, 2012:208).

Pengelompokan bahasa di Sulawesi dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa Indonesia dikeluarkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas (Sugono, 2008:71) menunjukkan bahwa bahasa daerah di Sulawesi ada 58 dan khusus di Sulawesi Selatan ada 14 bahasa. Pengelompokan tersebut

telah memberikan informasi baru mengenai pemetaan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia. Khusus di wilayah Sulawesi Selatan ditemukan beberapa bahasa yaitu bahasa Bugis, bahasa Makassar, bahasa Toraja, bahasa Massenrepulu, bahasa Pamona, bahasa Wotu, bahasa Seko, bahasa Rampi, bahasa Lemolang, bahasa Bugis De’, bahasa Bonerate, bahasa Konjo, bahasa Laiyolo, dan bahasa Bajo. Sedangkan SIL dalam Bahasa dan Peta bahasa di Indonesia (Sugono, 2008:76) membagi dialek Bugis menjadi sebelas dialek yaitu, dialek Palakka, dialek Pangkajene, dialek Camba, dialek Sidrap, dialek Pasangkayu (Ugi Riawa), dialek Sinjai (Ennak), dialek Soppeng (Kessi), dialek Wajo, dialek Barru, dialek Sawitto (Pinrang), dan dialek Luwu.

Palengkahu (1974:15) mengelompokkan bahasa Bugis dengan lambang B dari kata Bugis, sekalipun didalam bahasa Bugis, lebih dikenal istilah “Ugi”. Kelompok ini meliputi sepuluh dialek yang pada umumnya berlokasi sesuai wilayah-wilayah kerajaan di masa lalu. Dialek-dialek tersebut yaitu, dialek Luwu, dialek Wajo, dialek Palakka, dialek Ennak, dialek Soppeng, dialek Sidenreng, dialek Pare-pare, dialek Sawitto, dialek Tallumpanua, dialek Ugi Riawa. Ada pendapat bahwa bahasa Bugis tertua terdapat dalam dialek Luwu, sedangkan bahasa standar biasanya disebut dialek Palakka. Hal ini berkaitan dengan mitologi Bugis yang dianggap bersumber di Luwu, dan Kerajaan Bugis yang besar serta dipandang berperanan dalam sejarah ialah Bone, yang menggunakan dialek Palakka.

Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini merupakan penelitian dialektologi yang bertujuan membuat deskripsi perbedaan dialektal atau subdialektal pada tataran fonologi, khususnya pada bahasa Bugis dialek Soppeng dan dialek Ennak di Kabupaten Sinjai. Selain itu untuk mendeskripsikan tentang perbedaan realisasi bunyi yang terdapat dalam kedua dialek tersebut. Pemilihan kedua dialek tersebut berdasarkan pengamatan penulis bahwa kedua bahasa ini walaupun satu bahasa,tetapi dari segi bunyi maupun dialek tampak berbeda. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 353—362

Page 3: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

354 355

Musayyedah: Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek ...

korespondesi bunyi bahasa Bugis dari dialek yang berbeda tersebut. Dalam pemilihan data untuk korespondensi bunyi penulis hanya menggunakan 200 kosakata dasar Swades sebagai bahan perbandingan.

Beberapa korespondensi khusus antara bahasa-bahasa Austronesia lain dengan bahasa Bugis, yaitu:

1. Semua konsonan ekspolsif pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan berubah menjadi konsonan glotal dalam bahasa Bugis. Misalnya kata /apit/ Melayu, Gayo /səpit/ akan menjadi /pipi?/ dalam bahasa Bugis.

2. Semua konsonan sengau dalam bahasa-bahasa lain akan menjadi /ŋ/ dalam bahasa Bugis: /pohon/ Melayu menjadi /poŋ/ dalam bahasa Bugis.

3. Begitu pula konsonan pada suku kedua dari yang mengikuti /ə/ akan mengalami geminasi, misalnya kata /pədəm/ memejamkan mata dalam bahasa Karo, akan menjadi /pəddəŋ/, kata /səsal/ dalam bahasa Melayu, /basol/ dalam bahasa Bisaya menjadi /səssə?/ dalam bahasa Bugis.

4. Konsonan /l/ pada akhir kata dalam bahasa Bugis berubah menjadi konsonan glotal, tetapi akan menjadi /rr/ -- geminasi, kalau diikuti akhiran, misalnya /səssə?/ ‘sesal’ tetapi akan menjadi /pasəssərrəŋ/.

5. Demikian pula konsonan /s/ pada akhir kata dalam bahasa Bugis akan berubah menjadi konsonan glotal, tetapi /s/ itu akan kembali kalau mendapat akhiran, misalnya /nipi?/ ‘tipis’, tetapi karena akhiran –i, konsonan /s/ akan kembali /nipisi/ (Keraf,1991:46-47).

Istilah korespondensi bermula dari hukum bunyi yang dikumandangkan oleh aliran Junggramatiker dengan tokohnya Jacob Grim, bahwa bunyi-bunyi akan memiliki pergeseran secara teratur antara bahasa satu dengan bahasa lain tanpa kecuali. Mengingat hukum bunyi dirasakan mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat, istilah ini diganti dengan

korespondensi fonemis atau kesepadanan bunyi. Maksudnya segmen-segmen yang berkorespondensi bagi glos yang sama baik dilihat dari segi bentuk maupun makna dalam bermacam-macam bahasa diperbandingkan satu sama lain. Kesejajaran atau kesesuaian ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti (Crowley, 1987: 91).

Penelitian tentang korespondensi ini pernah dilakukan oleh Ardana (2011) dengan tesisnya yang berjudul “Korespondensi fonem Proto-Austronesia dalam bahasa Kaili dan bahasa Uma di Sulawesi Tengah” yang menganalisis korespondensi fonem Proto-Austronesia dan mendeskripsikan tipe-tipe perubahan bunyinya. Selain itu, Tiani (2010) dari Fakultas Ilmu Budaya dari Universitas Diponegoro yang membahas “Korespondensi Fonemis Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa” dengan melihat perubahan bunyi dari kedua bahasa tersebut.

Berbeda dari penelitian sebelumnya yang membahas korespondensi fonem dari dua bahasa yang berbeda, penelitian ini membahas bahasa yang sama tetapi hanya dialek yang berbeda, uniknya kedua dialek ini ditemukan beberapa perubahan bunyi dengan pola-pola tertentu dengan kekhasan sendiri.

Berdasarkan permasalahan di atas dirumuskan beberapa masalah yaitu, pertama bagaimana tipe-tipe perubahan bunyi dari kedua dialek tersebut, dan kedua, perubahan-perubahan bunyi apa saja yang terjadi dari kedua dialek tersebut

KERANGKA TEORI

Pembahasan tentang korespondensi bunyi tidak terlepas dari hukum perubahan bunyi. Perubahan bunyi dikuasai oleh prinsip kenalaran. Prinsip ini secara umum menyatakan bahwa syarat yang menguasai perubahan bunyi adalah semata-mata fonetik.

Pada dasarnya, perubahan bunyi di antara bahasa-bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada proto bahasa yang mengakibatkan perbedaan bahasa atau

Page 4: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

356 357

dialek, ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis). Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi. Dari aspek linguistik korespondensi merupakan perubahan bunyi yang terjadi karena persyaratan lingkungan tertentu (Mahsun, 1995:28-29). Perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur (berupa variasi), antara lain adalah: (1) lenisi (pelemahan), (2) epintesis, (3) apokope, (4) sinkope, (5) aferesis, (6)kompresi (perampatan), (7) asimilasi, (8) disimilasi, (9) metatesis, (10) kontraksi (Crowley dan Lehmann dalam Mahsun, 1995:56)Adapun cara mengorespondensi bunyi yaitu:

a. Daftarkan kata-kata dari bahasa yang diteliti,

b. Perbandingkan fonem demi fonem pada posisi yang sama,

c. Cari pasangan yang mengandung perangkat sama.

Untuk menyusun atau menetapkan suatu perangkat korespondensi bunyi yang absah, ada prosedur yang harus diperhatikan untuk mendapat status yang kuat jangan sampai ada korespondesi yang harusnya ada, ternyata diabaikan, atau bukan korespondensi tetapi diperlakukan sebagai suatu korespondesi. Prosedur yang dimaksud adalah: rekurensi fonemis, ko-okurensi, dan analogi (Keraf,1991:52).

a. Rekurensi FonemisBila indikasi adanya perangkat

korespondensi fonemis pada sepasang kata sudah tercatat, yang harus dilakukan adalah menemukan pasangan-pasangan yang mengandung perangkat korespondensi bunyi, untuk menemukan perang-kat bunyi itu yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain disebut rekurensi fonemis (phonemic recurrence). Setiap perangkat korespondensi fonemis harus diperkuat dengan sejumlah rekurensi pada pasangan kata yang lain.

b. Ko-okurensiSuatu perangkat korespondensi bunyi selalu

diturunkan dari kata-kata yang mirip bentuk dan

maknanya. Dengan adanya prinsip bentuk dan makna, dapat terjadi bahwa bentuk-bentuk tertentu diabaikan sebagai bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk yang lain dalam bahasa kerabat, padahal bentuk semacam ini bentuk kerabat juga. Masalah seperti ini yang dibicarakan dalam ko-okurensi. Yang dimaksud dengan ko-okurensi adalah gejala-gejala yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat mengaburkan baik kemiripan bentuk dan maknanya maupun korespondensi fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya.

c. AnalogiKorespondensi fonemis biasanya mulai

terjadi antarbahasa kerabat ketika muncul perubahan-perubahan. Hal ini merupakan suatu proses yang memang dapat dipahami. Namun analogi dapat muncul dalam suatu situasi peralihan dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa nonkerabat. Pola perubahan antara bahasa kerabat dari nonkerabat sehingga dapat diterima dalam bahasa sendiri. Penyesuaian bentuk-bentuk nonkerabat ke dalam bahasa mengikuti pola-pola korespondensi tertentu yang sebenarnya terjadi karena masalah analogi.

Linguistik historis komparatif adalah ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu tertentu, serta mengkaji perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tertentu (Keraf ,1991:22).

Linguistik bandingan historis hanya mempergunakan kesamaan bentuk dan makna sebagai pantulan dari sejarah warisan yang sama. Bahasa-bahasa kerabat yang berasal dari bahasa proto yang sama selalu akan memperlihatkan kesamaan-kesamaan berikut:

(1) kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologis);

(2) kesamaan morfologis, yaitu kesamaan dalam bentuk kata dan kesamaan dalam bentuk gramatikal;

(3) kesamaan sintaksis, yaitu kesamaan relasi antara kata-kata dalam sebuah kalimat (Keraf, 1991:34)

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 353—362

Page 5: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

356 357

Musayyedah: Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek ...

Prinsip dasar yang harus dipegang dalam linguistik historis komparatif adalah dua bahasa atau lebih dapat dikatakan kerabat apabila bahasa-bahasa tersebut berasal dari satu bahasa yang dipakai pada masa lampau.Selama pemakaiannya, semua bahasa mengalami perubahan dan bahasa bisa pecah menjadi dua atau lebih bahasa turunan.Adanya hubungan kekerabatan antara dua bahasa atau lebih ditentukan oleh adanya kesamaan bentuk dan makna.

Bentuk-bentuk kata yang sama antara berbagai bahasa dengan makna yang sama, diperkuat lagi dengan kesamaan-kesamaan unsur-unsur tata bahasa, dapat dijadikan dasar penentuan bahwa bahasa-bahasa tersebut berkerabat, yang diturunkan dari satu bahasa proto yang sama.

Aspek bahasa yang tepat dijadikan objek perbandingan adalah bentuk dan makna. Kesamaan-kesamaan bentuk dan makna itu akan lebih meyakinkan, karena bentuk-bentuk tersebut memperlihatkan kesamaan semantik. Kesamaan bentuk dan makna tersebut sebagai pantulandari sejarah warisan yang sama. Bahasa-bahasa kerabat yang berasal dari bahasa proto yang sama selalu akan memperlihatkan kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologis).

Korespondensi fonemis, selain digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fonemis yang teratur pada bahasa-bahasa kerabat yang diperbandingkan, pun digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatanantarbahasa yang diperbandingkan. Keteraturan fonemis tersebut oleh Grimm disebut dengan istitah Hukum Bunyi, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Korespondensi Bunyi (Phonemic Correspondence) (Keraf, dalam Tiani, 2010:6)

Di sisi lain, di dalam kesepadanan-kesepadanan terdapat perubahan-perubahan yang teratur dan yang tidak teratur. Perubahan yang teratur disyarati oleh lingkungan tertentu, sedangkan perubahan yang tidak teratur hanya terjadi pada beberapa kata, tidak tergantung pada lingkungan yang ditempati oleh bunyi itu (Bynon, 1979: 29-30).

METODE

Metode analisis korespondensi fonemis dilakukan dengan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Mendaftar gloss yang diduga memiliki nilai korespondensi.

b. Membandingkan fonem demi fonem dari tiap segmen yang terdapat pada posisi yang sama, dimasukkan dalam satu perangkat korespondensi.

c. Memeroleh perangkat korespondensi.d. Menentukan perubahan-perubahan bunyi

yang terjadi dalam sejumlah gloss yang diperbandingkan.

Penyajian terhadap hasil-hasil penelitian ini dilakukan secara formal dan informal.Artinya, hasil penelitian berupa kaidah-kaidah disajikan secara formal dan informal. Dengan metode formal, hasil penelitian disajikan dalam bentuk lambang-lambang atau tanda dengan maksud agar lebih ringkas dan padat, sekali pandang kaidah yang disajikan dapat ditangkap secara utuh. Lambang-lambang linguistik yang digunakan di antaranya, tanda kurang (-), tanda kurung siku ([…]), tanda kurung miring (/…/), tanda sendi turun (#), tanda tilde (~), dan sebagainya. Lambang-lambang konvensional tersebut digunakan terutama untuk merumuskan pola-pola kaidah perubahan bunyi bahasa.Tidak semua hasil penelitian dan kaidah dapat dilambangkan. Oleh karena itu, hasil penelitian yang tidak dapat disajikan dengan lambang atau tanda, dirumuskan dengan pengungkapan atau pendeskripsian menggunakan kata-kata biasa.Cara penyajian seperti ini menganut metode informal (Sudaryanto, 1993:144—157).

PEMBAHASAN

Keteraturan fonemis oleh Grimm disebut dengan istilah Hukum Bunyi, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Korespondensi Bunyi (Phonemic Correspondence) (Keraf, 1984:40). Istilah korespondensi bunyi diganti dengan istilah korespondensi fonemis atau kesepadanan bunyi. Korespondensi fonemis, selain digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fone-

Page 6: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

358 359

mis yang teratur pada bahasa-bahasa kerabat yang diperbandingkan, juga digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antarbahasa yang diperbandingkan.

Dalam pengambilan data melewati bebe-rapa tahapan penyediaan data agar data yang diperoleh itu mencerminkan keterwakilan populasi penelitian, berikut adalah 200 kosakata dasar swades yang menjadi penelitian dari bahasa Bugis dialek Soppeng dan dialek Ennak.

Tabel I. Kosakata Dasar Swades Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

/Ø//w/ : tua, muda

Peluang korespondensi bunyi dari daftar di atas cukup banyak, sehingga sebelum menemukan rekurensi masing-masing perangkat, sudah dapat dipastikan bahwa tidak mungkin peluang itu terjadi hanya karena kebetulan. Untuk lebih jelasnya akan dibuktikan dengan bunyi fonem dengan melihat perangkat korespondensi yang diturunkan dari kata-kata yang mirip bentuk dan maknanya.

Untuk lebih jelasnya akan diklasifikasi terlebih dahulu bentuk, bunyi, dan makna yang sama dari kedua dialek tersebut pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Korespondensi Bunyi yang Sama Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 353—362

Korespondensi fonemis yang terjadi antara dialek Soppeng dan dialek Ennak ditemukan beberapa ciri-ciri rekurensi fonemis dan muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata dan kekhasan dari kedua dialek tersebut, seperti dalam contoh berikut ini./a:/ /a/ : abu, anak, angin, apa, api, beri,

debu, hati, kaki, nama, hutan, bagaimana, balik, baru, batu, berenang, ikan, jahit, t a n a h , laut, mata, hati, orang, sungai.

/w//h/ : malam/b(Ø)/ /h(Ø)/ : bulu, istri, buah, bulan, bunga,

bunuh, lelaki./w(w)//h/ : air, abu, baring, kabut, debu /w//n/ : apung

Perangkat Korespondensi Fonemis Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Berdasarkan penerapan metode kores-pondensi fonemis dalam dialek Soppeng dan dialek Ennak didapat delapan perangkat korespondensi fonemis. Pertama, perangkat korespondensi fonemsi /a: ~ a/, kedua, perangkat korespondensi fonemis /u: ~ u/ , ketiga, perangkat korespondensi fonemis /o ~ ə/,keempat, perangkat korespondensi fonemis / o: ~ ə /, kelima, perangkat korespondensi fonemis /w ~ h(n) /, keenam, perangkat korespondensi fonemis /Ø ~ w (h)/, ketujuh, perangkat korespondensi fonemis /b ~ h(Ø), kedelapan, perangkat korespondensi

No Glos Dialek

Soppeng Dialek Ennak

1 Abu a:wu ahu 2 Air uwwa:E uhaE 3 Akar u:r|? ur|? 4 alir (me) masso:lo? macc|l|? 5 Anak a:na? ana?

6 Angin a:ƞiG aGiG 7 Anjing a:su: a:su 8 Apa a:ga: aga 9 Api a:fi afi

10 apung (me) ma:waG monaG 11 Asap rum:pu rumpu 12 Awan |lluG |lluG 13 Ayah am:bo? ambe? 14 bagaimana ma:gai maragai

No Glos Dialek Soppeng

Dialek Ennak

12 Awan |lluG |lluG 15 Baik makessiG: mak|ssiG 44 Busuk mak|bboG mak|bboG 47 Cuci bissa bissa 151 Pasir k|ssi? k|ssi? 165 Satu seddi seddi 176 Tahun tauG tauG 191 Tiga t|llu t|llu 195 Tongkat t|kk|G t|kk|G

Page 7: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

358 359

Musayyedah: Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek ...

fonemis /l:l ~ ll/. berikut tabel korespondensi fonemis dialek Soppeng dan dialek Ennak

Tabel 3. Perangkat Koresponensi Fonemis /a: ~ a/Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Tabel 4. Perangkat Koresponensi Fonemis /u: ~ u/Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Bunyi Korespodensi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak

Glos

a: ~ a / # - /a:wu/ /awu/ Abu/a:na/ /ana/ Anak/a:ŋiŋ/ /aŋiŋ/ angin/a:ga/ /aga/ Apa/a:fi/ /afi/ Api/a:leŋ/ /aleŋ/ Beri/a:wu/ /awu/ debu/a:te/ /ate/ hati/a:je/ /aje/ kaki/a:ssəŋ/ /assəŋ/ nama/a:le/ /ale/ hutan

a: ~ a/ # k - /ma:gai/ /maragai/ bagaimana/ba:le?/ /bale? balik/ba:ru/ /baru/ baru/ba:tu/ /batu/ batu/na:ŋe/ /naŋe/ berenang/ba:le/ /bale/ ikan/jai/ /ja:i/ jahit/ta:na/ /tana/ tanah/ta:si/ /tasi/ laut/ma:ta/ /mata/ mata/ma:te/ /mate/ mati/ta:u/ /tau/ orang/sa:lo/ /salo/ sungai

Perangkat korespondensi fonemis //a: ~ a/#- , /a: ~ a/#k -// merupakan refleksi dari proto Fonem Austronesia. Proto fonem PAN */a/ dalam bahasa Bugis direfleksikan menjadi fonem /a:/ dalam dialek Soppeng dan fonem /a/ dalam dialek Ennak. Perubahan fonem tersebut pada posisi ultima terbuka dan tertutup pada awal kata atau setelak konsona pertama. Perubahan fonem terjadi pada posisi ultima tertutup, apabila mengikuti konsonan / m /, / n / , / b /, / t /, / s /, / j /.

Bunyi Korespondensi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak

Glos

u: ~ u/ #k- /du:a/ /duwa/ Dua

/bu:a/ /uha/ Buah

/matau:/ /matau?/ Takut

/luttu:/ /luttu?/ terbang

/su:su/ /susu/ Susu

/tu:lu:/ /tulu?/ Tali

u: ~ u /# - /u:laŋ/ /huləŋ/ Bulan/u:ŋa/ /huŋa/ Bunga/u:no/ /hunə/ Bunuh

Perangkat korespondensi fonemis //u: ~ u/#- , /u: ~ u/#k -//, merupakan refleksi dari fonem proto PAN */u/. Dalam bahasa Bugis direflkesikan menjadi fonem /u:/ dalam dialek Soppeng dan fonem /u/ dalam dialek Ennak pada posisi ultima terbuka pada awal kata atau setelah konsonan pertama. Hal ini menunjukkan perubahan yang terjadi hanya pada segi penyebutan atau pelafalannya pada posisi ultima terbuka diawal kata. Perubahan fonem tertutup terjadi apabila mengikuti konsonan palatal / l /, / s /, / t /, / d /, / b /. dan diakhiri konsonan /ŋ/.

Tabel 5. Bunyi Korespondensi /o ~ ə/ -k/#/Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Bunyi Korespondensi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak Glos

/o ~ ə / -k#

t|ttoG t|tt|G diri (ber) so:roG s|r|G Dorong ikko? ikk|? Ekor i:ko ik|/idi? Engkau tuwo tuw| Hidup in:do? ind|? Ibu narekko narekk| Kalau i:ko ik| Kamu tin:do matinr| Tidur

Page 8: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

360 361

Tabel 6. Bunyi Korespondensi /o: ~ ə/ -k# Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

direfleksikan menjadi fonem /h , n/. Perubahan fonem tersebut pada posisi di awal kata atau berada di antarvokal.

Tabel 8. Perangkat Koresponensi Fonemis / Ø ~ w(h) /Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 353—362

Bunyi Korespondensi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak

Glos

w ~ h (Ø)/ # - /wenni/ /henni/ malam/wi:ta/ /itai/ lihat /wissəŋ/ /issəŋ/ tahu

w(w) ~ h / v – v /uwwa:e/ /uhae/ air/a:wu/ /ahu/ abu/le:wu/ /lehu/ baring/sala:wu/ /salahu?/ kabut/a:wu/ /ahu lulu/ debu

w ~ n/ v – v /ma:waŋ/ /monaŋ/ apung

Pada tabel 5 dan tabel 6 di atas, perangkat korespondensi fonemis //o ~ ə/- k# , /o ~ ə /-k#//, merupakan refleksi dari fonem proto PAN */o/. Dalam bahasa Bugis direfleksikan menjadi fonem /o: / dalam dialek Soppeng dan fonem /ə/ dalam dialek Ennak pada posisi ultima terbuka pada akhir kata atau sebelum konsonan akhir. Ini menunjukkan perubahan yang terjadi hanya pada segi penyebutan atau pelafalannya pada posisi ultima terbuka dan diakhiri konsonan /ŋ/ dan glotal /?/.

Tabel 7. Perangkat Koresponensi Fonemis /w(w) ~ h(n,Ø)/ Dialek Soppeng dan Dialek

Ennak

Perangkat korespondensi fonemis /w ~ h dan w ~ n/, merupakan refleksi dari proto fonem Austronesia. Proto fonem PAN */w/ dalam dialek Soppeng direfleksikan menjadi fonem /w/, sedangkan dalam dialek Ennak

Bunyi Korespondensi

Dialek Soppeng

Dialek ennak

Glos

Ø ~ w / v – v /tua/ /matnwa/ tua/du:a/ /duwa/ dua

Ø ~ h / # - /u:laŋ/ /huləŋ/ bulan/u:ŋa/ /huŋa/ bunga/u:no/ /hunə/ bunuh/ura:ne/ /hura:ne/ lelaki

Bunyi Korespondensi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak

Glos

b ~ h (Ø) /# - /bulu/ /hulu/ bulu/bae:ne/ /hine/ istri/bu:a/ /uha/ buah

Perangkat korespondensi fonemis / Ø ~ w/ dan / Ø ~ h /, merupakan refleksi dari proto fonem Austronesia. Proto fonem PAN */w/,/h/ dalam dialek Soppeng direfleksikan menjadi lesap /Ø/ pada ultima terbuka, sedangkan dalam dialek Ennak direfleksikan menjadi fonem /h, w/. Perubahan fonem tersebut pada posisi di awal kata dan berada di antarvokal.

Tabel 9. Perangkat Korespondensi Fonemis / b ~ h(Ø) / Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Perangkat korespondensi fonemis / b ~ h(Ø) /, merupakan refleksi dari proto fonem Austronesia. Proto fonem PAN */ b / dalam di-alek Soppeng direfleksikan menjadi fonem / b / pada ultima terbuka, sedangkan dalam dialek Ennak direfleksikan menjadi fonem /h / dan fo-nem lesap / Ø/ pada ultima terbuka. Perubahan fonem tersebut pada posisi di awal kata. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi analogi, yaitu menghilangnya bunyi /b/ pada posisi awal kata atau terjadi perubahan bunyi /b/ menjadi /h/ pada dialek Ennak.

Korespondensi Bunyi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak Glos

/o: ~ ə / - k# okko: |kk|? Gigit

i:so: is|? Hisap sio: se|? Ikat narakko: marakk| Kering maro:ta? mar|ta?/ma Kotor l|GGo: mal|GG|? Licin mata |sso: mata |ss| matahari

sa:lo: sal|? Sungai

Page 9: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

360 361

Musayyedah: Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek ...

Tabel 10. Perangkat Korespondensi Fonemis / l:l ~ ll / Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Tabel 12. Perangkat Rekurensi Fonemis /u: ~ u/ Pada Posisi Ultima Terbuka Pada Awal

Kata dalam Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Glos /a: ~ a / # - dan /a: ~ a/ #k -Dialek

SoppengDialek Ennak

abu /a:wu/ /awu/anak /a:na/ /ana/angin /a:ŋiŋ/ /aŋiŋ/apa /a:ga/ /aga/api /a:fi/ /afi/beri /a:leŋ/ /aleŋ/debu /a:wu/ /awu/hati /a:te/ /ate/ kaki /a:je/ /aje/nama /a:ssəŋ/ /assəŋ/hutan /a:le/ /ale/bagaimana

/ma:gai/ /maragai/

balik /ba:le?/ /bale?baru /ba:ru/ /baru/

Perangkat korespondensi fonemis/ l:l ~ ll /, merupakan refleksi dari proto fonem Austronesia. Proto fonem PAN */ l / dalam dialek Soppeng direfleksikan menjadi fonem / l: /, sedangkan dalam dialek Ennak direfleksikan menjadi fonem /l / pada posisi antarvokal.

Rekurensi Fonemis Setiap korespondensi yang didapat harus

diperkuat dengan sejumlah rekurensi fonemis (phonetic recurrence), yaitu prosedur untuk menemukan perangkat bunyi yang muncul secara berulang-ulang pada sejumlah pasang kata.

Hasil proses rekurensi pada pasangan-pasangan kata mengindikasikan korespondensi fonemis pada dialek yang diperbandingkan.

Tabel 11.Perangkat Rekurensi Fonemis /a: ~ a/Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

batu /ba:tu/ /batu/berenang /na:ŋe/ /naŋe/ikan /ba:le/ /bale/ jahit /jai/ /ja:i/tanah /ta:na/ /tana/laut /ta:si/ /tasi/mata /ma:ta/ /mata/mati /ma:te/ /mate/orang /ta:u/ /tau/sungai /sa:lo/ /salo/

Tabel 13. Perangkat Rekurensi Fonemis / o: ~ ə / Pada Posisi Ultima Terbuka di Awal Kata

dalam Dialek Soppeng dan Dialek Ennak

Korespondensi Bunyi

Dialek Soppeng

Dialek Ennak Glos

/l:l ~ ll/v – v c|l:la? maS|lla? merah f|l:la maf|lla panas

Glos /u: ~ u / #k – dan /u: ~ u/ # - Dialek Soppeng Dialek

Ennak Dua /du:a/ /duwa/ Buah /bu:a/ /uha/ Bulan /u:laŋ/ /huləŋ/ Bunga /u:ŋa/ /huŋa/ bunuh /u:no/ /hunə/

Glos Dialek Soppeng

Dialek Ennak

gigit okko: |kk|? hisap i:so: is|? ikat sio: se|? kering narakko: marakk| kotor maro:ta? mar|ta?/ma licin l|GGo: mal|GG|? matahari mata |sso: mata |ss| sungai sa:lo: sal|?

Page 10: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

362 363

PENUTUP

Korespondesi bunyi yang terjadi antara dialek Soppeng dan dialek Ennak yang berada di wilayah Kabupaten Sinjai ditemukan beberapa ciri-ciri dan kekhasan tersendiri. Bentuk-bentuk kata yang sama antara kedua dialek tersebut memiliki makna dan bahasa yang sama, diperkuat lagi dengan kesamaan-kesamaan unsur-unsur tata bahasa dapat dijadikan dasar penentuan bahwa bahasa-bahasa tersebut berkerabat, yang diturunkan dari satu bahasa proto yang sama.

Bentuk-bentuk variasi bunyi dari kedua dialek tersebut adalah [/a: ~ a / # -], [/a: ~ a/#k -], [/u: ~ u/# -], [/u: ~ u/# -], [/o ~ ə / -k# ], [/o: ~ ə / -k# ], [w(w) ~ h (Ø)/ # -] , [w ~ n/ v – v], [Ø ~ w/ v – v], [Ø ~ h/ # -], [b ~ h (Ø )/ # -], [l:l ~ llv]. Dari beberapa variasi bunyi dari kedua dialek tersebut menunjukkan bahwa bunyi /a:/ dalam dialek Soppeng bervariasi dengan bunyi /a/ dalam dialek Ennak. Bunyi /w/ dalam dialek Soppeng berkorespondensi dengan bunyi /h/ dan bunyi /n/ dalam dialek Ennak. Bunyi /b/ dalam dialek Soppeng berkorespondensi dengan bunyi /h/ atau terkadang lesap (/Ø/) dalam dialek Ennak atau sebaliknya terkadang bunyi /h/ dalam dialek Ennak lesap dalam dialek Soppeng. Hal ini dapat disimpulkan bahwa bunyi /w/ atau /b/ dalam dialek Soppeng berubah menjadi bunyi /h/ atau lesap dalam dialek Ennak.

DAFTAR PUSTAKA

Ardana, I Komang. 2011. “Korespondensi Fonem Proto-Austronesia dalam Bahasa Kaili dan Bahasa Uma di Sulawesi Tengah”. Tesis. Denpasar. Universitas Udayana.

Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bynon, Theodora. 1979. Historical Linguistics. London: Cambridge.University Press.

Crowley, Terry. 1987. An Introduction to Historical Linguistics. Papua New Guinea: University of Papua New Guinea Press.

Keraf, Gorys, 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Umum.

__________. 1991. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Jerniati I, 2014. “Analisis Leksikostatistik Bahasa Toraja dengan Bahasa Mandar: Suatu Upaya Pelestarian untuk Pemerkayaan Bahasa Nasional” Dalam Prosiding Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan 23-28 Oktober 2012.Makassar: Balai Bahasa Prov. Sulawesi Selatan dan Prov. Sulawesi Barat.

Moeleong, L.J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gramedia.

________. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Palengkahu, dkk. 1974. Peta Bahasa Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Lembaga Bahasa Nasional.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sugono, Dendy. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Tiani, Riris.2010. “Korespondensi Fonemis Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa”. Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro.

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 353—362

Page 11: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

362 363

ALIH KODE BAHASA INDONESIA-BAHASA BUGIS DALAM CERAMAH AGAMA ISLAM

(Indonesian-Buginese Languages Code Switching in Islamic Preaching)

M. RidwanBalai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat

Jalan Sultan Alauddin Km 7/ Tala Salapang, MakassarTelepon (0411) 882401, Faksimile (0411) 882403

Pos-el:[email protected]: 22 Mei 2014; Direvisi: 8 Agustus 2014; Disetujui: 6 Oktober 2014

AbstractThe writing proposes language usage of Indonesian-Buginese language code switching and vice versa of Islamic preaching in Masjid Nurul Iman, Sinjai Borong District of Sinjai Regency. Method used is descriptive. The data obtained is sentence characterized with code switching of Islamic preaching conveyed in Masjid Nurul Iman, Sinjai Borong District of Sinjai Regency. Result of research shows that the preacher and the audience are mutual intelligible in using Buginese language. In addition, the preachers also sometimes speak in Indonesian language as welcoming preaching or prolog of formality form. The use of Indonesian-Buginese code switching and vice versa is a way to estalish good relations between Buginese speakers. Code switching is one aspect of interdependency language in multilingual society. In the code switching case of either two languages or more, it is marked by (1) each language still support its own function based on the context, (2) the function of each language is in accordance with the relevant situation of contextual change. They become the reason of language switching in preaching found in Masjid Nurul Iman. The switching of code is done by the preachers since they are difficult to find relevant and right words which are easier to understand by the audience.

Keywords: code switching, Indonesian language, Buginese language, Islamic preaching

AbstrakTulisan ini menyajikan wujud penggunaan bahasa berupa alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Bugis dan sebaliknya dalam ceramah Islam di Masjid Nurul Iman Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Data yang diperoleh berupa kalimat yang bercirikan alih kode pada ceramah agama yang disampaikan di Masjid Nurul Iman Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai.Hasil penelitian menunjukkan bahwa, antara penceramah dan jemaah sama-sama menguasai bahasa Bugis. Hasil lain menunjukkan bahwa, para penceramah juga sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka ceramah atau prolog sebagai bentuk keformalan. Penggunaan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis, dan sebaliknya biasanya digunakan oleh penceramah untuk menjalin keakraban sesama penutur bahasa Bugis. Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa di dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai dengan (1) tiap-tiap bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi setiap bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Hal tersebut merupakan landasan perubahan bahasa dalam ceramah yang dilakukan di Masjid Nurul Iman. Peralihan kode dilakukan oleh penceramah karena kesulitan mencari padanan kata yang relevan dan mudah dimengerti oleh pendengar.

Kata kunci: alih kode, bahasa Indonesia, bahasa Bugis, ceramah Islam

SAWERIGADING

Volume 20 No. 3. Desember 2014 Halaman 363—373

Page 12: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

364 365

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Dengan bahasalah, manusia dapat menyampaikan berbagai berita batin, pikiran, pengalaman, gagasan, dan harapan kepada orang lain. Dengan bahasa pula manusia dapat mewarisi dan mewariskan, menerima, dan menyampaikan pengalaman lahir batinnya.

Bukan hal yang baru lagi jika dikatakan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan.Tidak mungkin ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak mungkin pula ada bahasa tanpa masyarakat.Bahasa merupakan alat penghubung (alat komunikasi) anggota masyarakat.

Bahasa sebagai bunyi suara atau tanda yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi beragam artinya. Meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola yang sama, tetapi latar belakang sosial dan kebiasan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Bahasa dalam wujud ini dapat menyebabkan kedwibahasaan yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam satu tuturan.

Masyarakat yang multibahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu variasi bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam kajian sosiolinguistik, pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek terpenting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan. Lebih lanjut Sumarsono (2004:201) mengatakan ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yaitu alih kode (code switching), campur kode (mixing code) dan variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language). Selanjutnya Mackey dalam Chaer (1994:84) mengatakan penggunaan dua bahasa oleh seorang masyarakat tutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian disebut bilingualisme. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat tutur menjadi masyarakat yang bilingual.

Dalam situasi kedwibahasaan (bilingualis-

me), sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasanya. Hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan bahasa itu. Peristiwa pergantian bahasa dapat terjadi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah, berubahnya ragam santai menjadi ragam resmi, atau ragam resmi ke ragam santai. Kontak yang makin intensif antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah membawa perubahan dalam lingkup dan bentuk pemakaian kedua bahasa tersebut.Pemakaian bahasa Indonesia yang terus meningkat telah mendorong penutur bahasa daerah. Peristiwa ini memicu adanya alih kode dan campur kode.

Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Sinjai menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya mempergunakan bahasa Bugis dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dijumpai di rumah penduduk, di pasar, di masjid, dan tempat-tempat lain. Salah satu tempat ibadah di Kabupaten Sinjai adalah Masjid Nurul Iman yang terletak di Kecamatan Sinjai Borong.Masjid tersebut dipenuhi dengan aktivitas keagamaan.Salah satu aktivitas adalah kegiatan ceramah agama secara rutin. Ceramah Agama tersebut dalam media penyampaiannya menggunakan bahasa Bugis dan bahasa Indonesia secara bergantian atau biasa disebut dengan alih kode.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, penelitian tentang alih kode bahasa Indonesia ke bahasa daerah Bugis dalam ceramah agama di Masjid Nurul Iman Kecamatam Sinjai Borong Kabupaten Sinjai penting untuk dilakukan. Tujuan tulisan ini sebagai berikut:

1. mendeskripsikan bentuk alih kode bahasa Indonesia kebahasaan daerah Bugis di Masjid Nurul Iman Kecamatam Sinjai Borong Kabupaten Sinjai

2. mendeskripsikan hal-hal yang mendorong penceramah di Masjid Nurul Iman Kecamatam Sinjai Borong Kabupaten Sinjai beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah Bugis.

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 363—373

Page 13: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

364 365

KERANGKA TEORI

Istilah kedwibahasaan (bilingual) biasanya dipergunakan untuk kemampuan dan kebiasaan mempergunakan dua bahasa.Istilah kedwibahasaan itu sering juga disebut kegandabahasaan (multilingualism). Istilah kedwibahasaan itu dipakai untuk dua konsepsi yang berkaitan, tetapi beda yakni kemampuan mempergunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam pergaulan hidup. Untuk yang pertama digunakan istilah bilingualitas dan kedua adalah bilingualisme. Yang perlu dibahas dalam bilingualisme adalah (a) pola-pola penggunaan kedua bahasa yang bersangkutan, (b) seringnya dipergunakan setiap bahasa itu, dan (c) dalam lingkungan (domain) bahasa yang bagaimana bahasa –bahasa itu dipakai (Nababan,1993: 5). Istilah kedwibahasaan biasanya dipergunakan untuk kemampuan dan kebiasaan mempergunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain (Nababan,1993:5)

Menurut (Chaer dan Leoni,1995:3) kedwibahasaan berasal dari bahasa Inggris bilingualism yang secara harfiah dapat dipahami maksudnya, yakni berkenaan dengan dua bahasa atau dua kode bahasa. Selanjutnya, (Tarigan, 1989:3) mengemukakan batasan kedwibahasaan menurut beberapa faktor, yakni seseorang yang dwibahasaan adalah orang yang (1) dapat memakai dua bahasa secara bergantian; (2) dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang bermakna dalam bahasa kedua; (3) dapat menggunakan dua bahasa secara bergantian, tetapi titik tempat seseorang sesungguhnya menjadi dwibahasawan, memang sukar bahkan tidak mungkin ditentukan; (4) dapat berperan serta dan turut berpartisipasi dalam berkomunikasi lebih dari satu bahasa; (5) memilih paling sedikit satu keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis); (6) (seseorang dwibahasawan permulaan) dapat menggunakan pengetahuan bahasa kedua secara pasif dan sekelumit kompetensi untuk melakukan transaksi atau bisnis dalam bahasa kedua; (8) berbicara hanya (dalam) satu bahasa, tetapi menggunakan

varietas-varietas daftar kata atau register bahasa yang berbeda, dan aneka gaya bahasa tersebut.

Bahasa tidak bersifat statis melainkan dinamis yang disebabkan oleh kedinamisan masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat dikatakan dinamis karena setiap saat terdapat perubahan yang dari sikap dan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat tersebut. Sifat masyarakat yang dinamis menyebabkan bahasa pun mengalami perubahan terutama dalam penambahan kosakata dan juga aspek-aspek dari bahasa itu sendiri. Dengan kedinamisan tersebut, terjadi perubahan yang diakibatkan oleh adanya hubungan antarsesama penutur bahasa dan pemakai bahasa. Dengan adanya perubahan dalam bahasa ini, terjadi pula variasi bahasa baik dari segi ejaan, makna, maupun penggunaannya pada masyarakat.

Terjadinya perubahan dalam bahasa dapat disebabkan oleh adanya pertimbangan terhadap lawan bicara tersebut. Kata juga dapat mengalami perubahan dalam makna yang dapat disebabkan oleh adanya lingkungan yang berbeda. Perubahan-perubahan dalam bahasa, selain disebabkan oleh hal di atas juga karena penutur berkehendak untuk mengirimkan kode-kode dengan lebih jelas dalam pembicaraan yang dilakukan, yang dapat terjadi pada pembicaraan dan pada lawan bicara. Kode-kode tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak sehingga salah satu usaha untuk lebih menekankan pengertian kedua belah pihak adalah perubahan-perubahan di dalam bahasa. Dengan demikian terjadinya pengkodean adalah melalui satu proses yang terjadi baik pada pembicara untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa maksud pembicaraan dilakukan.

Menurut Kridalaksana (1993:87) bahwa kode adalah sistem tutur yang memiliki ciri khas yang timbul dengan adanya latar belakang dari penutur, relasi penutur maupun lawan bicara serta situasi di mana diadakan pembicaraan.Selanjutnya, Suwito (1983:67) mengemukakan bahwa kode adalah alat untuk berkomunikasi yang merupakan variasi dari bahasa. Sementara

M. Ridwan: Alih Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bugis...

Page 14: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

366 367

Pateda (1987:83) mengemukakan bahwa kode adalah suatu proses yang terjadi baik pada pembicara, maupun pada lawan bicara.

Poedja Soedarmo (1986) berpendapat bahwa, Kode adalah suatu sistem lambang tutur yang penerapan unsur biasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada.

Variasi bahasa lain yang dapat dijumpai dalam pergaulan masyarakat adalah peralihan kode yang digunakan untuk menyesuaikan diri penutur dengan perannya. Di samping penyesuaian peran yang sedang dihadapi oleh penutur, misalnya karena adanya perasaan kecewa, ketidakpuasan dan tanggapan terhadap sesuatu yang sedang dialami dan dilihat pada saat itu.

Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh (a) setiap bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi setiap bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.

Kridalaksana (1993:7) mengemukakan bahwa alih kode adalah penggunaan bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk penyesuaian bahasa dari penutur kepada lawan tuturnya Apabila tidak dimengerti sesuatu istilah yang dapat dipahami oleh lawan tutur. Alih kode dapat pula terjadi karena beralihnya persoalan dari satu persoalan kepersoalan yang lain yang dibicarakan oleh penutur dan lawan tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Pateda (1967:85) bahwa alih kode adalah peralihan pembicaraan dari masalah yang satu ke masalah yang lain. Faktor situasional juga memengaruhi peralihan kode, seperti yang dikemukakan oleh Rene Appel yaitu; siapa yang berbicara dan mendengar, pokok pembicaraannya, konteks verbal, bagaimana bahasa dihasilkan, dan lokasi pembicaraan (Pateda, 1987:86). Fenomena alih kode ini dapat melibatkan pengalihan atau pemakaian secara silih berganti dua kode bahasa atau variasi bahasa, oleh karena itu baik yang serumpun

maupun tidak, alih kode pada bahasa terjadi pada dwibahasaan.

Jika ditelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, harus dikembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik. Seperti yang dikemukakan oleh Fishman dalam (Chaer dan Leoni, 1995:143) yaitu : (a) siapa yang berbicara, (b) dengan bahasa apa (c) kepada siapa, (d) kapan, dan (e) dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebabkan antara lain : (a) pembicara atau penutur, (b) pendengar atau lawan tutur, (c) perubahan situasi dengan hadirnya orang Ketiga, (d) berubahnya dari formal ke nonformal atau sebaliknya, dan (e) berubahnya topik pembicaraannya.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif. Artinya, data dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif fenomena. Hal ini dilakukan dengan cara mengamati fenomena alamiah yang terjadi di tempat penelitian. Untuk memperoleh data secara langsung di lapangan, peneliti terlibat langsung sebagai instrument kunci (participant observer).

Data penelitian ini adalah tuturan penceramah yang mengandung alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Bugis pada saat menyampaikan ceramah agama di Masjid Nurul Iman di Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai. Sumber data penelitian ini adalah penceramah agama yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah Bugis.

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu cara perekaman, pencatatan, dan wawancara, sedangkan pada tataran analisis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN

Pada bagian ini diuraikan secara rinci pada penggunaan alih kode dalam ceramah agama.Uraian tersebut dibagi menjadi dua

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 363—373

Page 15: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

366 367

bagian, yaitu hasil penelitian yang berupa data hasil temuan dan pembahasan data. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.Data 1

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati oleh Allah swt. Insya Allah pada malam hari ini saya akan membawakan satu ceramah agama yaitu: Amar Ma’ruf Nahi Munkar iyanaritu massuruangngi decengenge nenniya mappisangkangngi jae. Nasaba idi sellengngememeng kewajibatta mapparentangngi riasengnge deceng nenniya mappisangkangngi riasengnge jaa (dosae). Na lebbi-lebbipi idi termasuk’e pemimpin….

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis untuk memudahkan jemaah memahami arti judul ceramah yang akan dibawakan oleh penceramah di masjid. Hal itu terlihat dari penggunaan kata iayanritu… dst.Data 2

Kaum muslimin dan muslimat sidang tarwih yang berbahagia. Kalau kita bicara masalah amar ma’ruf nahi munkar, maega senna ayakna Puang Alla Taala nenniya haddesenna Nabitta pannessai, pada-padanna naparentayakki Puang Alla Taala situlung-tulung ri decengnge padatoha iya pura nappanessae Puang Alla Taala ri lalenna Aqurang malebbie….

Pernyataan di atas pada data 2 menggambarkan bahwa penceramah menjelaskan tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berarti bahwa penceramah melakukan alih kode seperti pada kalimat di atas sebagai penjelasan tentang amal ma’ruf nahi mungkar yang tertuang dalam Al Quran dan hadis yang mengajurkan untuk tolong menolong dalam kebaikan. Di samping sebagai penjelas data di atas juga merupakan pernyataan untuk mempertegas pengetian amar ma’ruf nahi mungkar dalam ketentuan Allah swt...Data 3

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah. Nenniya napannessai paimeng puang Alla Taala rilalenna suratul Al Imran ayat: 104……

Data di atas menggambarkan penggunaan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis merupakan bentuk uraian untuk membuat suasana lebih akrab. Kalimat ‘kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah’ merupakan kalimat pembuka dan penghargaan dalam bentuk bahasa Indonesia, selanjutnya penceramah menjelaskannya dengan menggunakan bahasa Bugis. Di samping itu pula dalam kalimat bahasa Bugis yang merupakan kalimat kedua dalam data di atas menyatakan Nenniya napannessai paimeng puang Alla Taala rilalenna suratul Al Imran ayat: 104…yang berarti bahwa Allah swt.. memperjelas dalam surah Al Imran ayat 104 …. Alih kode tersebut dalam bahasa Bugis merupakan penjelasan yang mempertegas bagian pernyataan sebelumnya.Data 4

Kaum muslimin dan muslimat yang ber-bahagia. Sebenarnya menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya merupakan kunci yang harus dipegang oleh umat Islam bila ingin selamat dunia dan akhirat. Makkotoparo riappisangkananna riasengnge ja, yarega dosa temmaka rejjinna, nekiya musti ripapolewi nasaba sedditoi parenta pole ri puang Alla Taala ia mancajie kewajiban masse ri idi ummassellengnge.

Alih kode pada data 4 di atas merupakan bagian yang menyatakan contoh. Data di atas dapat bermakna bahwa seperti larangan yang dinamakan dosa sangatlah rumit, tetapi harus dilewati juga karena perintah Allah swt, yang merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam.Data 5

naiyya wedding mappajai gau mungkare’e nasaba limanna nayaritu tau maparentata nasaba alena sebagai penguasa.

Data di atas merupakan alih kode dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena kesukaran mencari padanan kata dalam bahasa Bugis tentang penguasa. Di samping itu kata penguasa bagi jemaah pada saat itu lebih mudah dimengerti bila dibandingkan dengan mempergunakan bahasa Bugis sebagai bahasa utama dalam pola data di atas. Hal ini dijelaskan

M. Ridwan: Alih Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bugis...

Page 16: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

368 369

oleh penceramah bahwa kata “penguasa” sebenarnya masyarakat lebih mengetahuinya dibandingkan dengan kata yang lain. Penguasa dapat bersinonim dengan kata pammarenta dalam bahasa Bugis, tetapi ada sesuatu makna yang ditekankan oleh penceramah.Data 6

….baik… untuk asalamaketta ri wanua lino nalebbi-lebbipaha matti ri wanuwa ahera. Insya Allah.

Demikian pula data 6, menunjukkan bahwa kata baik untuk dalam pola pembicaraan secara lisan mengindikasikan sebagai bentuk peralihan lawanan makna kalimat sebelumnya atau perbandingan kalimat. Dalam data 6 di atas tampak penggunaan bahasa Bugis yang bermakna keselamatan di dunia lebih-lebih keselamatan di akhirat kelak. Penjelasan kalimat bahasa Bugis tersebut lebih mudah dipahami oleh orang lain karena mayoritas jemaah masjid merupakan penutur bahasa Bugis dan merupakan bahasa Ibu bagi jemaah masjid tersebut. Data 7

Di dalam Islam ditetapkan bahwa mencari reski (nafkah) itu hukumnya wajib, narekko mabbicara masala wajikki de nawedding tennaripogau narekko de naripogau lolongekki tuntutan. …

Pengalihan bahasa atau alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis pada data 7 di atas mengisyaratkan kalau penceramah menggunakan bahasa Bugis pada maksud yang disampaikannya lebih mudah dimengerti oleh jemaah. Umumnya pengalihkodean itu dilakukan agar jemaah lebih mudah memahami maksud penceramah. Alih kode bahasa Bugis pada kalimat narekko mabbicara masala wajikki de nawedding de naripogau narekko de naripogau lolongekki tuntutan. …dapat berarti bahwa kalau berbicara masalah kewajiban, harus dikerjakan karena kalau tidak dikerjakan akan mendapat tuntutan. Dengan demikian, bila penceramah menggunakan bahasa Indonesia bila menjelaskan hal tersebut sesuai dengan arti dalam bahasa Indonesia itu, maka kemungkinan

besar jemaah masjid agak lamban dalam memahaminya. Data 8

Dalam arti kata berusahaki ri lalenna iaye lino nasaba iyewe lino onrong akkaresongeng padatoha iya narampe Puang Allah Taala rilalenna Surah Al-A’raf ayat 10:

Demikian pula data 8 di atas, merupakan rangkaian dari data 8 yang memberi pemahaman dari bahasa Indonesia kemudian menggunakan bahasa Bugis. Penjelasan di atas menggambarkan penceramah berusaha memberikan pemahaman kepada jemaah karena Allah swt.. telah menegaskan dalam alquran surah Al A’raf ayat 10 yang menyatakan bahwa dalam dunia ini, dunia hanya tempat berusaha. Oleh karena itu, pemahaman dalam bahasa Bugis yang diberikan oleh penceramah dalam konteks kalimat di atas lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia.Data 9

Hadirin dan Hadirat yang dirahmati oleh Allah swt...Iye lino onro-onrong sappai papidalle’na Puang Allah Taala engka riwereng dalle maega takkalupani….

Berdasarkan kalimat di atas dapat diketahui bahwa penceramah mengalihkan perhatian jemaah agar apa yang disampaikannya tidak monoton dengan mengungkapkan kalimat “hadirin dan Hadirat yang dirahmati oleh Allah swt..”. Kalimat seperti di atas biasanya disampaikan oleh penceramah untuk menyelah antara penjelasan. Hal dimaksudkan bahwa apa yang dituturkannya bersifat retoris dan jemaah lebih memusatkan perhatian terhadap apa yang disampaikan oleh penceramah. Data yang menggunakan bahasa Bugis tersebut dapat bermakna bahwa di dunia ini tempat mencari rezeki dari Allah swt.., ada yang diberi rezeki yang banyak, tetapi dia melupakannya dari mana rezeki itu berasal. Kalimat di atas merupakan pemberian contoh oleh penceramah agar ketika berusaha mencari rezeki lalu mendapatkannya, tidak boleh takabbur harus disyukuri dan dimanfaatkan di jalan Allah swt...

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 363—373

Page 17: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

368 369

Data 10Ketentuan-ketentuan agama (bahkan meng-halalkan segala macam cara) sehingga kelihatannya banyak hartanya tetapi tidak berberkah (iyaro riasengnge mabbarakka iyanaritu maega cedde’na)….

Data 10 di atas memberi gambaran bahwa penceramah berusaha memberikan penjelasan yang relevan dengan pokok pembicaraan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa data di atas bukan cerminan bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebelumnya kemudian diartikan dalam bahasa Bugis melainkan memberi contoh dan kemudian memberi pengertian dalam bahasa Bugis.Data 11

Kiat-kiat untuk sappai pappedallena Puang Allah Taala sarekko ammengngi narilolongeng dalle hallala napaccing enrengnge mabbarakka. Naiyamuro laleng-lalengna iyanaritu….

Berdasarkan data di atas, penceramah memulai dengan menggunakan bahasa Indonesia pada kata kiat-kiat untuk… kemudian melajutkan dengan menggunakan bahasa Bugis sappai pappedallena Puang Allah Taala sarekko ammengngi narilolongeng dalle hallala napaccing enrengnge mabbarakka. Naiyamuro laleng-lalengna iyanaritu…adalah pencarian padanan kata. Karena dalam kata kiat-kiat tidak ditemukan padanan kata secara siginfikan oleh penceramah dan di samping itu, kata itu lebih mudah dimengerti oleh jemaah. Kalimat di atas secara keseluruhan dapat dimaknai bahwa dalam usaha mencari rezeki dari Allah swt.. mudah-mudahan didapatkan harta yang halal dan bersih dan membawa berkah.Data 12

Samanna iyaro sempajangnge kegiatan rutinitas belaka, sekedar lepas kewajiban tanpa memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalam ibadah salat itu sendiri, napadahal parillau doang kaminang malebbi’e iyanaritu rilalenna sempajangnge, termasu’ni parillau doa pappesempo dalle.

Alih kode dan campur kode di atas dapat bermakna bahwa sepertinya kegiatan salat hanya kegiatan rutinitas belaka, sekadar menggugurkan kewajiban tanpa memperhatikan maksud dan tujuan salat. Padahal doa yang paling ampuh, yaitu dalam salat, termasuk doa memudahkan mendapatkan rezeki.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa data 12 di atas dapat diketahui bahwa alih kode dilakukan untuk memudahkan memberi pemahaman tentang arti salat yang sesungguhnya.Dengan memberi pemahaman dan penjelasan seperti itu, jemaah diharapkan dapat dengan mudah mencernah maksud dari penceramah.Data 13

Dengan usaha (nasibawaipi nasaba’ kareso)Makkedai Pauang Alla Taala rilallena surah Al-Jumuah ayat : 10….berpangku tangan, ongkang-ongkang kaki menunggu datangnya rezki. Iyaro dalle’e risappapa, riakkaresoappa iyanaro naengka adanna tau rilota makkeda: resopa temmangingi malomo naletei pammasenna dewatae. Jaji lino memeng napancajingekki Puang Alla Taala untuk akkareso….

Pengertian yang diberikan oleh penceramah kata dengan usaha dalam bahasa Indonesia kemudian diartikan dalam bahasa Bugis merupakan pencarian padanan kata. Hal mengindikasikan bahwa kata tersebut antara bahasa Indonesia dan Bugis pada hakikatnya mempunyai makna sama. Perlakuan tersebut hanya dimaksudkan agar jemaah lebih mudah mengerti bahwa doa tidak akan ada artinya dalam salat bila tidak disertai dengan usaha. Rezeki tidak hanya datang begitu saja, walau berdoa, tetapi tetap berpangku tangan dan ongkang-ongkang kaki. Kemudian penceramah mengambil pepatah Bugis untuk memudahkan penjelasan yang diberikannya seperti pepatah resopa temmangingi malomo naletei pammasenna dewatae.Data 14

Menyisihkan sebagian rezeki ..Makkedai Puang Alla Taala rilalenna surah At-Taubah ayat:103 …

M. Ridwan: Alih Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bugis...

Page 18: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

370 371

Data 15Dengan silahturahmi makkedai Pauang Alla Taala rilalenna surah ar-Rad ayat: 21

Data 16 Memperbanyak zikir dan doa makkedai Puang Alla Taala rilalenna surah Al-Bagara ayat 152:

Data di atas, merupakan penjelasan penyampaian karena mengutip penutur lain. Tuturan itu lebih mengarah kepada anjuran Allah swt... Hal tersebut dapat dilihat dari kata “makkedai Puang Alla Taala rilalenna” yang berarti bahwa Allah swt.. berfirman. Data 17

Naiyya dalle’e akan tetapi melalui perantara manusia, narimakkuannanaro parellui ri padecengi assumpungetta padatta rupa tau. Nauppamana-uppamana namadeceng hubungan silahturahmi napasagenaiyyakki pappidalle’na Puang Alla Taala, padatoha rimakkedadana nabitta saw. Ri lalenna hadese’na:

Data 17 di atas menjelaskan bahwa sebenarnya rezeki melalui perantara manusia. Oleh karena itu, perlu diperbaiki hubungan silaturahmi dengan orang lain. Kalau hubungan itu baik, maka dicukupkanlah rezeki dari Allah swt., seperti pada hadis Rasulullah Muhammad saw. Oleh karena itu, data di atas menjelaskan bahwa alih kode terjadi sebagai rangkaian penjelasan kepada jemaah untuk memberi pemahaman yang lebih jelas.Data 18

Jadi apa saja yang kita butuhkan minta kepada Allah, termasuk masalah rezeki, aja’ natomellau rionrong de’e nasipato marellau, pada padanna ribatue, riajue, rikubburu’e dan lain-lain. Nasaba iyyaewe anu purae rirampe nasolangiwi teppe’ta nanapatiwiki ridosa appadduangnge. Jadi doa merupakan kiat yang sangat menentukan untuk mencari rizki Allah swt...

Kesimpulan, untuk dapat memeroleh harta yang halal, baik dan beberkah, sebaiknya kita mengambil pedoman dari kiat-kiat yang telah dijelaskan di atas yaitu Wabillahi taufiq

wassa’adah. Data di atas merupakan rangkaian alih kode yang memberi penjelasan perbandingan bahwa jangan pernah meminta rezeki dari tempat yang tidak seharusnya seperti batu, ri ajue, dan di kuburan, karena hal tersebut dapat merusak rasa keimanan dan dapat menciptakan syirik atau menduakan Tuhan. Data 19

Hadirin hadirat Jemaah yang sama-sama Berbahagia pada malam ini, kita bersyukur karena kita sempat hadir di tempat tandra appoji lao rinabitta Muhammad saw.. Lappeni uleng maulid naikia naadkammopi, ini pendapat yang paling benar, Nasaba naingerangi ajajianna nabita detona parallu makedda uleng maulidpa, bahkan nerekko angka kesempatan setiap waktu wajib diadakan, nasaba nabitta surona puang Allah taala nautusui ri linoe sebagai akkacoereng pekkogi naakkacueri narekko dena wisseng .

Alih kode pada data 19 di atas, menunjukkan penjelasan untuk lebih meng-akrabkan antara penceramah dengan jemaah. Alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis tersebut dapat bermakna bahwa satu rangkaian makna antara kalimat dalam bentuk bahasa Indonesia dan bentuk bahasa Bugis yang tidak dapat dipisahkan karena saling terkait satu sama lain. Data 20

Hadirin dan hadirat yang sama-sama berbahagia, yanaro bawangnareko to maqbicara maqdurupang-Maqdurupang ondro iruntu puarae ondro mabicara angkato ondrong niarakka ladde tawe majatoni punnas dessa disseng maqbicara nasabaq angka to rilalengna atie….Artinya ; “Pada Hari ini saya sempurnakan agamamu, saya sempurnakan nikmatku terhadapmu maka sesungguhnya Islam adalah agama yang kami ridhai untukmu”.Riwwetunna turunggi ya ayaqe dan naangkalingai …

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa data di atas menunjukkan bahwa rangkaian tuturan di atas yang merupakan alih kode dari sebuah arti firman Allah swt...Ini memungkinkan

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 363—373

Page 19: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

370 371

untuk lebih memaknai hakikat ayat tersebut sebenarnya. Bila penceramah menggunakan bahasa Indonesia dengan data di atas, maka berbagai kemungkinan dapat terjadi misalnya penceramah keasyikan berbicara tetapi jemaah tidak dapat memahami apa yang dikemukakan oleh penceramah. Oleh karena itu, keseimbangan penggunaan bahasa oleh penceramah sangat memungkinkan jemaah untuk lebih mengerti apa yang disampaikannya. Data 21

Di Amerika, ampe-ampena taue di Jerman, dinegara-negara Eropa, baru-baru tahun yang lalu di pessui UU untuk diizinkan makkunrai kawin sibawa makkundrai,urane wedding kawing sibawa urane, apalagi narekko makkundrai sibawa urane, narekko maelo messu anaqna aganapesenggi anaqna tawe di Amerika di Barat, kondom bebas diperjualbelikan berarti wedding dibayangkan makkada maganaro ampe-ampena taue ko mero memeang kesenangan dunia napunnai manengngi melotoki mappakoro.Deqnotaparalluki makkada asetta koro.

Alih kode data 21 di atas, kata ampe-ampena taue lebih mudah dimengerti bila dibandingkan dengan kata perbuatan manusia. Hal tersebut yang menyebabkan pengalihan kode terjadi, pemberian contoh oleh penceramah sebagai bahan perbandingan untuk kehidupan umat Islam yang mulai terkontaminasi dengan kehidupan barat. Dengan demikian apa yang disampaikannya dalam bahasa Bugis lebih bermakna dibanding menggunakan bahasa Indonesia berdasarkan sisi jemaah.

Demikian pula dengan kalimat siapa namanya …, Agamanya Islam, tapi agama Islam nama KTPnya, tapi perbuatannya adalah di luar agama Islam, yena parallu diadakan Maulid, yangngarangngi ampe-ampena Nabitta, saleko ammangngi yala akkabara keng yalai teladang ,yalai contoh ,ilalengna attuangngeng linota untuk selamat ri aheraq, penceramah menekankan akan pentingnya Islam tidak hanya pada sisi pengakuan tetapi lewat pembuktian dengan jalan mempraktikan syariat Islam secara nyata dalam kehidupan umat Islam.

Wujud alih kode ada dua macam, yaitu alih kode berwujud antarkalimat dan alih kode yang berwujud intrakalimat. Terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian atau batasan kalimat.

Dalam konteks ceramah agama yang dibawakan di Masjid Nurul Iman Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai, umumnya penceramah menggunakan dwibahasa. Bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Bugis. Hal ini terlihat dari data hasil analisis peneliti.

Data yang diperoleh umumnya berupa penggunaan alih kode dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian dan pemahaman yang lebih mendalam tentang maksud ceramah yang disampaikan. Hal ini terbukti, karena penceramah menguasai bahasa Bugis juga menguasai bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa itulah yang membuat penceramah lebih leluasa menggunakan alih kode dalam ceramahnya.

Penggunaan alih kode dalam konteks ceramah agama di Masjid Nurul Iman Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai menurut hasil penelitian dan data yang diperoleh, yaitu antara penceramah dan jemaah keduanya menguasai bahasa Bugis. Jemaah yang menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-harinya dan bahasa tersebut merupakan bahasa Ibu. Di samping bahasa Bugis dalam ceramahnya menggunakan bahasa Indonesia karena pemilahan bahasa mana yang paling mudah dimengerti oleh jemaah itulah sebabnya menggunakan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia yang biasanya digunakan oleh penceramah dalam tuturannya sebagai pembuka ceramah atau prolog dilakukan sebagai bentuk keformalan karena menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya. Dalam kelanjutan ceramahnya penggunaan alih kode atau mencampurkan dengan bahasa Bugis sebagai salah satu bentuk untuk menjalin keakraban sesama penutur bahasa Bugis. Jadi, apabila alih kode terjadi antarbahasa daerah dalam satu daerah/bahasa nasional, antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam

M. Ridwan: Alih Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bugis...

Page 20: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

372 373

suatu dialek, alih kode seperti ini bersifat intern.Alih kode merupakan salah satu aspek

tentang saling ketergantungan bahasa di dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai (1) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Hal tersebut merupakan landasan perubahan bahasa dalam ceramah yang dilakukan di Masjid Nurul Iman. Peralihan kode dilakukan oleh penceramah dalam bahasa yang dipergunakan sukar mencari padanan kata yang relevan dan mudah dimengerti oleh jemaah.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan ditemukan bahwa ada kecenderungan penggunaan alih kode oleh penceramah karena penggunaan bahasanya dalam ceramah harus memakai kata-kata yang biasa ditemukan dalam pergaulan antarmasyarakat. Oleh karena itu, kata-kata yang dipergunakannya dimaksudkan agar jemaah dengan mudah memahaminya sebagai buah konteks dari pembicaraannya, yaitu mengerti apa yang ingin disampaikannya.

Dalam konteks ceramah, dampak positif yang ditimbukan terjadinya alih kode adalah penutur mampu menguasai bahasa secara bersamaan, sehingga penutur dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kebahasaan yang terjadi, misalnya apabila lawan tuturnya itu tidak menguasai salah satu bahasa tuturnya. Selain itu dampak negatif dapat pula diperoleh akibat penggunaan alih kode tersebut, yaitu penutur tidak dapat berbahasa secara profesional akibat kebiasaan beralih kode dalam konteks pembicaraan. Di samping itu, alih kode tidak dapat diterima dalam masyarakat pluralistik (heterogen) karena kondisi masyarakat tidak hanya berasal dari bahasa ibu yang sama tetapi dari semua golongan masyarakat seperti masyarakat perkotaan. Dampak lain yang dapat diperoleh adalah penutur enggan bergaul dengan lawan tutur yang lebih baik cara berbahasanya apatah lagi berasal dari daerah lain pula. Dampak

lain yang ditimbulkan dari alih kode saat berceramah adalah jemaah yang tidak berasal dari daerah tersebut tidak dapat menangkap dan mengetahui secara pasti apa yang disampaikan oleh penceramah.

PENUTUP

Penulis dapat menarik kesimpulan tentang penggunaan alih kode dalam ceramah agama di Masjid Nurul Iman Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai bahwa (1) alih kode terjadi karena mayoritas jemaah adalah masyarakat Bugis yang mempunyai bahasa Ibu adalah bahasa Bugis; (2) penggunaan alih kode memungkinkan penceramah untuk memudahkan berbahasa dan menyampaikan maksud konteks pembicaraan yang disampaikan; (3) penggunaan alih kode terjadi karena mencari kesepadanan yang lebih mudah dicerna oleh jemaah dan penggunaan alih kode itu terjadi apabila dalam konteks bahasa pertama yang digunakan tidak terdapat kata yang relevan dengan penggunaan bahasa yang dinginnkan oleh penceramah.

Adapun saran-saran yang penulis ajukan sesuai dengan hasil penelitian ini adalah (1) timbulnya alih kode merupakan hal yang umum terjadi, ini dilihat dari segi sosiolinguistik sehubungan dengan adanya kesalahan-kesalahan berbahasa baik formal maupun nonformal.Oleh karena itu, diharapkan agar penceramah mengurangi penggunaan alih kode tersebut karena dapat merusak bahasa Indonesia secara konteks baku yang dipergunakan dalam keformalan berbicara; (2) diharapkan kepada penceramah menggunakan alih kode yang seperlunya saja jika diperlukan untuk memberi pemahaman kepada pendengar.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.1995.Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Rineka Cipta, Jakarta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta

Kridalaksana Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 363—373

Page 21: KORESPONDENSI BUNYI BAHASA BUGIS DIALEK SOPPENG …

372 373

Nababan, P.W.J. 1993 Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Gramedia pustaka, Jakarta

Pateda Mansoer, 1987, Linguistik Suatu Pengantar. Angkasa, Bandung.

Poedjosoedarmo, Supomo. 1986. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: BalaiPenelitian Bahasa

Sumarsono dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta:Sabda.

Suwito,1983. Sosiolinguistik Teori dan Problem. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.

M. Ridwan: Alih Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bugis...