BAHAN AJAR (HANJAR) HUKUM LAUT INDONESIA

MARKAS BESAR

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

BAHAN AJAR (HANJAR)

HUKUM LAUT INDONESIA

untuk

PENDIDIKAN PEMBENTUKAN TAMTAMA POLAIR

untuk

PELATIHAN SISWA DIKTUKBA POLRI

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2020

MILIK DINAS MILIK DINAS

IDENTITAS BUKU


Penyusun:

Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A. 2020

Editor:

1. KOMBES Pol Drs.S.M. Handayani, M,Si. 2. AKBP Noffan Widyayoko, S.IK., M.A. 3. Kompol Capt. M. Fajar Romdhon, S. S.T., M.Mar. 4. AKP Selly Hermanto 5. IPTU Agung Imam Santoso, S.H., M.H. 6. IPDA Nano Sumarno 7. Penda Fitria Yulia Hapsari, A.Md.

Hanjar Pendidikan Polri Pendidikan Pembentukan Tamtama Polair Diterbitkan oleh: Bagian Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Pembentukan Biro Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun 2020

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi Bahan Ajar (Hanjar) Pendidikan Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri.


vii



DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................... i

Sambutan Kalemdiklat Polri ................................................................................ ii

Keputusan Kalemdiklat Polri ................................................................................ iv

Lembar Identitas .................................................................................................. vi

Daftar Isi .............................................................................................................. vii

Pendahuluan ........................................................................................................ 1

Standar Kompetensi ............................................................................................ 1

HANJAR 01 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM LAUT ................................2

Pengantar ................................................................................................2

Kompetensi Dasar ..............................................................................................2

Materi Pelajaran ................................................................................................2

Metode Pembelajaran ................................................................ 3

Alat/Media Bahan, dan Sumber Belajar ..............................................................3

Kegiatan Pembelajaran ................................................................ 4

Tagihan/Tugas ................................................................................................5

Lembar Kegiatan ................................................................................................5

Bahan Bacaan ................................................................................................5

1. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia ................ 5

2. Perjuangan Indonesia pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut III .................................................................... 8

3. Garis Pangkal/Dasar Nusantara (Archipelagic Base Line) . 9

4. Rezim Hukum Perairan dan Laut yang berada dibawah Yuridiksi Nasional suatu Negara Kepulauan seperti halnya Indonesia ........................................................................... 10


viii



Rangkuman ................................................................................................15

Latihan ................................................................................................16

HANJAR 2 KEPENTINGAN NASIONAL DALAM PERAIRAN ................................17

Pengantar ................................................................................................17






Tagihan/Tugas ................................................................................................19

Lembar Kegiatan ................................................................................................20

Bahan Bacaan ................................................................................................20

1. Kepentingan Nasional dalam Wilayah Perairan Negara (Perairan pedalaman, Perairan Nusantara dan Laut Wilayah) ............................................................................. 20

2. Kepentingan Nasional dalam Perairan Zona Tambahan ... 21

3. Kepentingan Nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ................................................................................. 22

4. Kepentingan Nasional dan Landas Kontinen ..................... 22

Rangkuman ................................................................................................23

Latihan ................................................................................................25

HANJAR 3 PERMASALAHAN WILAYAH PERAIRAN DENGAN

NEGARA TETANGGA ................................................................ 26

Pengantar ................................................................................................26





ix





Tagihan/Tugas ................................................................................................29

Lembar Kegiatan ................................................................................................30

Bahan Bacaan ................................................................................................30

1. Permasalahan Wilayah perairan dengan Negara Malaysia 30

2. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Vietnam .............................37

3. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Philipina ................................................................................................40

4. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Palau ................................43

5. Permasalahan wilayah dengan negara Australia ................................43

Rangkuman ................................................................................................45

Latihan ................................................................................................46


1



HANJAR


10 JP (450 Menit)

Pendahuluan

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang luas dan garis pantai yang sangat panjang sehingga dapat menimbulkan ancaman dan gangguan kriminalitas baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk landas kontinen, negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis pangkal dan perbatasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal.

Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pengguna laut di wilayah perairan Indonesia, khususnya di laut teritorial. Peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal niaga dan penangkap ikan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan di laut. Selain itu Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga.

Untuk itu diperlukan peraturan-peraturan yang berlaku mengenai hukum laut Indonesia khususnya di laut teritorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga. Sehingga perlunya pengawasan yang serius terhadap laut teritorial di wilayah perairan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut teritorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap laut teritorial berjalan optimal.

Melalui pendidikan pembentukan tamtama Polair ini diberikan materi sejarah dan perkembangan hukum laut, kepentingan nasional dalam perairan, dan permasalahan wilayah dengan negara tetangga. Dengan harapan agar peserta didik dapat memahami tentang laut teritorial sehingga dapat ikut menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kompetensi Dasar

Memahami hukum laut Indonesia.


2



HANJAR

01

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

HUKUM LAUT

2 JP (90 Menit)

Pengantar

Di dalam Hanjar ini membahas materi sejarah perkembangan hukum laut Indonesia, perjuangan bangsa Indonesia pada konferensi PBB tentang Hukum Laut III, penerapan 3 (tiga) garis pangkal pada archipelagic base line, rezim respo perairan dan laut yang berada di bawah yuridiksi nasional suatu respon kepulauan.

Tujuan diberikannya materi ini adalah agar peserta didik memahami sejarah dan perkembangan hukum laut Indonesia.

Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar:

Memahami sejarah dan perkembangan hukum laut Indonesia.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan sejarah perkembangan hukum laut indonesia;

2. Menjelaskan perjuangan bangsa indonesia pada konferensi PBB tentang Hukum Laut III;

3. Menjelaskan penerapan 3 (tiga) garis pangkal pada archipelagic base line;

4. Menjelaskan rezim respo perairan dan laut yang berada di bawah yuridiksi nasional suatu respon kepulauan.

Materi Pelajaran

Pokok bahasan:

sejarah hukum laut dan perkembangan hukum laut Indonesia.

Subpokok bahasan:

1. Sejarah perkembangan hukum laut Indonesia;

2. Perjuangan bangsa Indonesia pada konferensi PBB tentang


3



Hukum Laut III;

3. Penerapan 3 (tiga) garis pangkal pada archipelagic base line;

4. Rezim respo perairan dan laut yang berada di bawah yuridiksi nasional suatu respon kepulauan.

Metode Pembelajaran

1. Metode Ceramah

Metode ini digunakan menjelaskan sejarah hukum laut dan perkembangan hukum laut Indonesia.

2. Metode Brainstorming

Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/gagasan peserta didik terkait materi yang disampaikan.

3. Metode Tanya jawab

Metode ini digunakan untuk mengukur pemahaman peserta didik tentang materi yang telah disampaikan.

4. Metode Penugasan

Metode ini digunakan pendidik untuk memberikan tugas kepada peserta didik tentang materi yang telah disampaikan.

Alat/media, Bahan dan sumber belajar

1. Alat/media:

a. Komputer/Laptop;

b. LCD dan screen;

c. Flashdisk;

d. Whiteboard.

2. Bahan:

a. Alat tulis;

b. Kertas.

3. Sumber belajar:

a. United Nations Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS) Tahun 1982;

b. UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

c. UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB


4



tentang Hukum Laut);

d. Narzif, SH, MH. 2003. modul hukum laut Indonesia kusuma atmadja mochtar. 1978. hukum laut internasional. bina cipta. Bandung;

e. N.H.T. Siahan S.H. dan H. Suhendi. S.H. 1998. Hukum Laut Nasional. Djambatan;

f. P. Joko Subagyo. Hukum Laut Indonesia.

Kegiatan Pembelajaran

1. Tahap awal : 10 menit

Pendidik melaksanakan:

a. Membuka kelas dan memberikan salam;

b. Perkenalan;

c. Pendidik menyampaikan tujuan dan materi yang akan disampikan dalam proses pembelajaran.

2. Tahap inti : 70 menit

a. Pendidik menjelaskan materi sejarah hukum laut dan perkembangan hukum laut Indonesia;

b. Peserta didik memperhatikan, mencatat hal-hal yang penting, bertanya jika ada materi yang belum dimengerti/dipahami;

c. Peserta didik melaksanakan curah pendapat tentang materi yang disampaikan oleh pendidik;

d. Pendidik dan peserta didik melaksanakan tanya jawab tentang materi yang disampaikan;

e. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan.

3. Tahap akhir : 10 menit

a. Cek Penguatan materi

Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum.

b. Cek penguasaan materi

Pendidik mengecek penguasaan materi dengan bertanya secara lisan dan acak kepada peserta didik.

c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas

Pendidik menggali manfaat yang bisa di ambil dari materi yang disampaikan.

d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat resume.


5



Tagihan/Tugas

Peserta didik ditugaskan mengumpulkan hasil resume materi kepada pendidik.

Lembar Kegiatan

Pendidik menugaskan kepda peserta didik untuk meresume materi yang telah disampaikan.

Bahan Bacaan

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INDONESIA

1. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Wilayah suatu Negara selain kita kenal udara dan darat juga lautan. Masalah kelautan tidak dimiliki setiap Negara, hanya Negara-negara tertentu yang mempunyai wilayah lautan dimana daratannya berbatasan dengan laut.

Laut merupakan batas suatu Negara dengan Negara lain yang ditentukan melalui ekstradisi Bilateral atau Multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu Negara.

Dalam Perkembangan hukum Internasional, batas Wilayah suatu Negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap suatu Negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan berlarut-larut dan bias menimbulkan peperangan.

Wilayah Perairan Indonesia telah di mulai peraturannya sejak zaman penjajahan Belanda melalui Teritorial Zee En Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO)/Ordonansi lingkunan Maritim yang di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1939 yang


6



menyebutkan batas Laut Teritorial sejauh 3 Mil laut.

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, sebagian dari ketentuan-ketenuan TZMKO yang berhubungan dengan wilayah perairan tidak sesuai dengan kepentingan dan keselamatan Negara Republik Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, oleh sebab itu Indonesia menyatakan bahwa lebar Laut Teritorial Indonesia adalah 12 Mil Laut. Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah mengeluarkan pernyataan yang di kenal dengan Deklarasi Djuanda yang berbunyi:

“Bahwa segala Perairan disekitar diantara yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luar atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesiadan demikian pulamerupakan dari pada Perairan Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia”.

Dikeluarkan deklarasi ini dengan maksud menyatukan wilayah daratan yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada diantara pulau-pulau wilayah daratan. Pertimbangan lain yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah:

a. Bahwa bentuk geografis Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang perlu peraturan sendiri;

b. Bahwa penetapan batas-batas laut Teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolinial Belanda yang bermaktub TZMKO 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan Negara Republik Indonesia;

c. Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan Negara Republik Indonesia.

Dalam perkembangannya pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah penggganti undang-undang (perpu) supaya mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau mempunyai kedudukan yang sejajar dengan undang-undang, kemudian pada Tahun 1960 ditingkatkan dalam bentuk UU Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang secara tegas menyatakan Batas Wilayah Laut Indonesia selebar 12 Mil yang diukur dari pulau-pulau terluar wilayah Indonesia.


7



Perpu tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum Internasional sebagaimana ditetapkan dalam konvensi-konvensi Jenewa tentang Hukum Laut Tahun 1958.

Upaya yang dilakukan untuk membentuk ketentuan yang dapat diterapkan secara Internasional dalam penetuan batas wilayah laut dari masing-masing Negara pantai antara lain:

a. Pada Tahun 1936 telah diadakan konferensi Kodifikasi di Den Hag;

b. Pada Tahun 1939 dikeluarkan Ordonansi yang mengatur tentang batas laut Teritorial sejauh 3 Mil Laut;

c. Pada Tahun 1958 diadakan konferensi hukum laut I di Jenewa, belum mampu menghasilkan kesepakatan Internasional dalam jarak 12 Mil laut;

d. Pada Tahun 1960 diadakan Konferensi hukum laut II di Janewa, belum mampu menghasilkan kesepakatan;

e. Pada Tahun 1974 diadakan konferensi hukum laut di Caracas Venezuela yang menentukan jarak wilayah laut Teritorial sejauh 12 Mil laut;

f. Pada Tahun 1982 diadakan Konferensi laut III di Montego Bay, Jamaica telah ditandatangani oleh 119 Negara anggota PBB yang menyepakati suatu perjanjian baru yang mengatur tentang berbagai kegiatan dalam bentuk suatu perjanjian Internasional yang komprehensif yang dikenal dengan United Nations Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS).

Pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Sebagaimana pelaksanaan lebih lanjut dari ratifikasi ini pada Tahun 1996 pemerintah mencabut Perpu Nomor 4 Tahun 1960 dan menggantinya dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang telah disesuaikan dengan UNCLOS 1982.

UU Nomor 6 Tahun 1996 ini kemudian dilengkapai dengan PP Nomor 61 Tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik pangkal dari garis pangkal lurus kepulauan dilaut Natuna.


8



2. Perjuangan Indonesia pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut III

Untuk dapat menyatakan wilayah Indonesia yang secara geografis itu adalah terdiri dari laut-laut, pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh harus memenuhi minimal dua unsur keadaan yaitu:

a. Adanya dasar hukum atau jaminan hukum yang menyatakan bahwa kondisi alamiah wilayah Indonesia yang demikian itu adalah sebagai satu kesatuan wilayah;

b. Adanya usaha dan kegiatan yang nyata dalam pemanfaatan dan pengendalian wilayah tersebut sebagai satu kesatuan wilayah Negara.

Melalui perjuangan bangsa Indonesia dalam Konferensi Hukum Laut International telah berhasil dimasukkan dalam Konvensi Hukum Laut yang baru (Konvensi PBB tentang Hukum Laut


9



1982). ”Azas Nusantara” atau yang dalam Hukum Laut International dikenal dengan istilah “Archipelago Principle” sebagai Azas dari suatu Negara Kepulauan.

Azas Ketentuan hukum yang berkenaan dengan Negara kepulauan telah diatur dalam bab tersendiri dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yaitu Bab IV terdiri dari pasal 46 s.d 54.

3. Garis Pangkal/Dasar Nusantara (Archipelagic Base Line)

Sebelum membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan rezim hukum perairan diatas perlu terlebih dahulu dibicarakan tentang garis pangkal Nusantara (Archipelagic Base Line dan garis penutup/closing line).

“Archipelagic Base Line” adalah konvensi hukum yang menunjuk pada pengertian suatu garis atau titik-titik pada suatu garis dari mana diukur batas-batas terluar dari suatu lebar laut wilayah, Zona tambahan, ZEE dan Landas Kontinen dari pada suatu Negara kepulauan.

Secara teknis Archipelagic Base Line adalah gabungan penerapan atau alternatif penerapan 3 (tiga) garis pangkal yaitu:

a. Garis Pangkal Normal (Normal base Line)

Berupa garis (Coastline) yang terbentuk oleh laut dan pantai daratan yang sering juga disebut garis pantai pada saat air surut terendah.

b. Garis Pangkal Lurus

Konsepsi garis pangkal lurus sedemikian ini adalah suatu konsepsi hukum tentang garis pangkal lurus yang dikembangkan pertama oleh Negara pantai Norwegia dengan suatu “Norwegian Decree” Penerapan Garis pangkal lurus (Straight Base Line) ini untuk 2 (dua) keadaan yaitu:

1) Dalam hal ini di depan pantai terdapat pulau-pulau maka lebar Zona perikanan diukur dari suatu Garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau tersebut;

2) Dalam hal pantai berliku-liku secara tajam (tidak ada pulau di depannya) maka lebar Zona perikanan diukur dari suatu garis lurus;

3) Garis pangkal lurus kepulauan/Nusantara (Straight Archipelagic Base Line). Konsepsi garis pangkal lurus


10



kepulauan/Nusantara yang pertama kali dipraktekan oleh Negara Kepulauan Indonesia yaitu melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang kemudian diatur dalam Undang-undang Perairan Indonesia UU Nomor 4 Prp Tahun 1960.

4. Rezim Hukum Perairan dan Laut yang berada di bawah Yuridiksi Nasional suatu Negara Kepulauan seperti halnya Indonesia

Dari Konvensi PBB tentang Hukum laut 1982 maka setiap Negara Kepulauan seperti halnya Negara Nusantara Indonesia dapat menyatakan bagian tertentu dari Perairan dan laut yang berbatasan dengan Negara Kepulauan Indonesia yang meliputi:

a. Perairan Pedalaman (Internal Waters);

b. Perairan Nusantara (Archipelagic Waters);

c. Laut Wilayah (Teritorial Sea);

d. Zona Tambahan (Contiguos Zone);

e. Landas Kontinen (Continental Shelf);

f. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Ekonomic Zone);

g. Laut Lepas (High Seas);

h. Kawasan Dasar Laut Internasional.

HAK EXCLUSIVE INDONESIA

UNCLOS 82

0 Mil 12 Mil 24 Mil 200 Mil 350 Mil

Perairan

Pedalaman

Laut

Teritorial

Zona

Tambahan

ZEE

IndonesiaLaut Bebas

Landas

Kontinen


11



a. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Dalam Konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) tidak disebutkan secara terurai apa yang dimaksud dengan perairan pedalaman, namun dalam salah satu pasal di sebutkan bahwa muara-muara sungai, teluk-teluk dan perairan pelabuhan dapat dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Bila dikaitkan dengan ketentuan UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 Jo PP Nomor 8 Tahun 1962 dan TZMKO dengan istilah apa yang disebut Perairan darat (Inland waters) maka Perairan Pedalaman yang dimaksud meliputi: kuala sungai, muara terusan, anak laut, sungai-sungai, danau-danau, terusan-terusan, perairan antara gugusan pulau-pulau dan perairan yang berada pada sisi dalam garis air surut terendah.

Adapun status hukum dari perairan pedalaman tersebut sesuai dengan statusnya sebagai bagian integral wilayah Negara berada dibawah kedaulatan Negara tanpa adanya pengecualian-pengecualian oleh ketentuan hukum Internasional.

Dengan demikian Negara/Pemerintah berhak mengambil tindakan-tindakan pemanfaatan atas perairan pedalaman serta tindakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pedalaman untuk tujuan berbagai aspek kepentingan rakyat, bangsa dan Negara Indonesia serta berwenang membuat peraturan dan menegakkannya.

b. Perairan Nusantara (Archipelagic Waters)

Perairan nusantara (Archipelagic Waters) dalam suatu Negara kepulauan (Archipelagic States) menurut ketentuan konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 adalah seluruh perairan yang berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal/dasar Nusantara (Archipelagic Base Line) yaitu berupa garis-garis lurus nusantara (Base Line) dan atau garis dasar normal (Normal Base Line) bila dibandingkan dengan UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 maka disebutkan laut-laut pedalaman dan selat-selat yang yang berada disekitar kepulauan Indonesia adalah sama dengan perairan nusantara di atas. Seperti halnya perairan pedalaman maka perairan nusantara adalah juga bagian integral dari wilayah Negara. Oleh karenanya status hukum dari perairan nusantara juga tunduk di bawah kedaulatan Negara.

Dalam kaitan pemanfaatan perairan nusantara tersebut khusus dalam bidang pelayaran maka ada beberapa


12



kepentingan masyarakat internasional yang perlu diperhatikan yaitu baik menurut peraturan hukum nasional maupun ketentuan hukum internasional yang berlaku bahwa dalam perairan nusantara dikenal adanya hak lintas laut damai bahkan menurut konvensi Hukum Laut PBB 1982, dikenal adanya hak lintas alur laut nusantara termasuk rute penerbangan di atas alur laut nusantara tersebut.

c. Laut Wilayah (Teritorial Sea)

Laut wilayah suatu Negara Kepulauan seperti halnya Negara RI baik menurut Perundang–undangan Nasional Indonesia maupun menurut konvensi Hukum Laut PBB 1982, adalah perairan atau jalur laut tertentu yang terletak di sebelah luar dan berbatasan dengan wilayah daratan, Perairan nusantara dan atau perairan pedalaman dari Negara kepulauan tersebut yang lebarnya 12 Mil Laut diukur dari suatu garis–garis pangkal Nusantara. Status hukum laut wilayah berada di bawah kedaulatan Negara. Seperti halnya pada perairan nusantara maka di laut wilayah dikenal pula adanya lintas damai, lintas alur-alur nusantara dan hak-hak lain yang timbul dari perjanjian bilateral Malaysia-Indonesia sebagaimana disebutkan diatas.

d. Zona Tambahan (Contiguos Zone)

Zona tambahan adalah suatu jalur laut yang berbatasan dan berada diluar laut wilayah yang batas terluasnya sejauh 24 Mil laut di ukur dari garis pangkal nusantara.

Pada hakikatnya status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas tetapi dengan adanya perkembangan hukum dalam konvensi Hukum Laut PBB 1982 dimana dikenal Rezim hukum baru yaitu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang juga berada diluar dan berbatasan dengan laut wilayah maka dengan sendirinya pada zona tambahan berlaku status hukum ZEE.

Mengenai pengaturan Zona tambahan, Indonesia sampai dengan saat ini belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Dari konvensi PBB tentang hukum laut 1982 dapat diketahui bahwa negara pantai dapat menerapkan ketentuan-ketentuan hukum nasional yung berlaku pada wilayah negaranya di Zona tambahan guna melindungi beberapa kepentingan-kepentingan tertentu yaitu yang berkenaan


13



dengan:

1) Imigrasi

2) Fiskal

3) Kepabeanan

4) Sanitary

e. Landas kontinen (Continental Shelf)

Landas kontinen menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 1 Tahun 1973) ialah dasar laut dan tanah dibawahnya yang merupakan terusan/kelanjutan dari daratan pantai yang berada di luar dan berbatasan dengan laut sampai dengan kedalaman 200 meter atau sampai dimana Negara mampu untuk mengelola sumber daya alam yang terdapat didasar laut.

f. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Ekonomic Zone)

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu jalur laut tertentu yang berada di luar dan berbatasan dengan laut wilayah, yang batas terluasnya adalah sejauh 200 mil laut diukur dengan garis pangkal nusantara.

Dalam konvensi hukum laut tersebut diatas dapat diketahui bahwa status hukum dari ZEE adalah tunduk pada suatu rezim hukum khusus (Spesific Legal Regim) yang artinya pada kawasan yang dibuat ZEE tersebut tidak sepenuhnya berada di bawah kedaulatan satu Negara pantai tetapi tidak sepenuhnya rezim hukum bebas, jadi disamping Negara pantai yang bersangkutan mempunyai hak dan yudiriksi tertentu di ZEE (terhadap sumber kekayaan yang ada didalamnya) Negara lainpun mempunyai kebebasan–kebebasan tertentu di ZEE tersebut.

Adapun hak dan Yudiriksi Negara RI atas ZEE nya meliputi:

1) Hak kedaulatan untuk tujuan Explorasi dan eksploitasi.

2) Hak kedaulatan (Sovereign Right) untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi serta pembinaan/pengelolaan sumber daya buatan di ZEE;

3) Hak Eksklusif (Eksklusif Rigth) untuk membangun, mengusai;

4) Hak–hak lainnya yang disebutkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1983;


14



5) Berwenang mengadakan pengaturan dan penerbitan dalam rangka penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi dan konstruksi lainnya bila perlu dapat menetapkan suatu zona pengamanan di sekitar pulau-pulau buatan atau instalasi tersebut;

6) Berwenang mengadakan pengaturan dan penertiban dalam bidang kepabeanan, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi atau pulau-pulau buatan atau instalasi tersebut;

7) Berwenang mengadakan pengaturan dan penerbitan dalam memelihara kelestarian lingkungan laut (The Preservation Of Marine Environment);

8) Berwenang mengadakan pengaturan dan penertiban dalam kaitan penelitian ilmiah kelautan (Marine Scientifi Research);

9) Berwenang mengadakan peraturan dan pemeliharaan kelestarian sumber hayati termasuk didalamnya menetapkan prosedur dan syarat-syarat penangkapan ikan.

g. Laut Lepas (high Seas)

Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Teritorial, Perairan kepulauan dan perairan pendalaman.

Berbeda dengan Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang laut lepas yang menetapkan laut lepas dinilai dari batas terluar dari laut teritorial, konvensi ini menetapkan bahwa laut lepas tidak mencakup ZEE, Laut Teritorial, Perairan Kepulauan dan Perairan Pedalaman kecuali perbedaan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap Negara dengan mengindahkan hak Negara lain dalam melaksanakan kebebasan di laut lepas.

1) Kebebasan berlayar;

2) Kebebasan Penerbangan;

3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di dasar laut;

4) Kebebasan untuk menangkap ikan kecuali di ZEE;

5) Kebebasan untuk melakukan Riset Ilmiah.

h. Kawasan Dasar Laut Internasional.

Kawasan dasar laut Internasional adalah dasar laut/samudera yang terletak di luar landas kontinen dan


15



berada di bawah laut lepas.

Konvensi menetapkan bahwa kawasan dasar laut Internasional dan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan bersama umat manusia.

Tidak ada satu Negara pun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dari kawasan dasar laut internasional demikian pula tidak satu Negarapun atau badan hukum atau orang boleh melaksanakan pemilikan atas salah satu bagian dari kawasan tersebut dan pengelolaannya dilaksanakan oleh suatu badan Internasional yaitu Otorita Dasar Laut Internasional International Sea Bad Authority (ISBA). Khusus rezim laut lapas tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun termasuk kawasan dasar laut Internasional yang dimiliki oleh warisan bersama umat manusia.

Rangkuman

1. Perkembangan Hukum Laut Indonesia dan kaitannya dengan Hukum Internasional Dalam Perkembangan hukum Internasional, batas Wilayah suatu Negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap suatu Negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan berlarut-larut dan bias menimbulkan peperangan.

Pertimbangan lain yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah:

a. Bahwa bentuk geografis Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang perlu peraturan sendiri.

b. Bahwa penetapan batas-batas laut Teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolinial Belanda yang bermaktub TZMKO 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan Negara Republik Indonesia.

c. Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan Negara Republik Indonesia.


16



2. Pengertian wawasan nusantara

Sebagaimana dipahami bersama dari sejarah Indonesia bahwa sebelum penjajahan Belanda, Wilayah Indonesia telah dikenal dengan sebutan “Nusantara” dari istilah tersebut telah tersirat suatu pengertian bahwa Indonesia memandang atau menganggap wilayah tersebut di atas adalah satu kesatuan tanpa membedakan darat dan air/laut sebagai suatu ruang kehidupan bangsa Indonesia.

3. Usaha-usaha yang telah ditempuh Indonesia dalam rangka penyatuan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah

a. Melalui hubungan bilateral maupun regional dan telah berhasil diciptakan perjanjian perbatasan dengan berbagai Negara.

b. Melalui konferensi Hukum Laut III/PBB Konvensi PBB 1982 “Azas Nusantara” diatas sebagai Azas Negara Kepulauan

Latihan

1. Jelaskan sejarah perkembangan hukum laut indonesia!

2. Jelaskan perjuangan bangsa indonesia pada konferensi PBB tentang Hukum Laut III!

3. Jelaskan penerapan 3 (tiga) garis pangkal pada archipelagic base line!

4. Jelaskan rezim respo perairan dan laut yang berada di bawah yuridiksi nasional suatu respon kepulauan!


17



HANJAR

02

KEPENTINGAN NASIONAL DALAM

PERAIRAN

2 JP (90 Menit)

Pengantar

Di dalam Hanjar ini membahas tentang kepentingan nasional dalam wilayah perairan negara, kepentingan nasional dalam perairan zona tambahan, kepentingan nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), kepentingan nasional dalam landas kontinen.

Tujuan diberikannya materi ini adalah agar peserta didik memahami kepentingan nasional dalam perairan.

Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar:

Memahami kepentingan nasional dalam perairan.


1. Menjelaskan kepentingan nasional dalam wilayah perairan negara;

2. Menjelaskan kepentingan nasional dalam perairan zona tambahan;

3. Menjelaskan kepentingan nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);

4. Menjelaskan kepentingan nasional dalam landas kontinen.

Materi Pelajaran

Pokok bahasan:

Kepentingan nasional dalam perairan.

Subpokok bahasan:

1. Kepentingan nasional dalam wilayah perairan negara;

2. Kepentingan nasional dalam perairan zona tambahan;

3. Kepentingan nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);

4. Kepentingan nasional dalam landas kontinen.


18



Metode Pembelajaran

1. Metode Ceramah

Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi kepentingan nasional dalam perairan.


Metode ini digunakan untuk mengukur sejauh mana pemahaman peserta didik terkait materi yang telah disampaikan.

3. Metode Brainstorming (curah pendapat)

Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/gagasan peserta didik terkait materi yang akan disampaikan.

4. Metode Penugasan

Metode ini digunakan untuk memberikan tugas kepada peserta didik tentang materi yang telah diberikan.


1. Alat/media:

a. Whiteboard;

b. Komputer/Laptop;

c. LCD;

d. Screen;

e. DVD Player.

2. Bahan:

a. Kertas /Flipchart;

b. Alat tulis.

3. Sumber belajar:

a. UNCLOS Tahun 1982;


c. UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut);

d. Narzif,SH,MH. 2003. modul hukum laut Indonesia kusumaatmadja mochtar. 1978. hukum laut internasional. bina cipta. Bandung;


f. P. Joko Subagyo. Hukum Laut Indonesia.


19





Pendidik menyampaikan apersepsi dengan kegiatan:

a. Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk merefleksi materi sebelumnya;

b. Pendidik mengaitkan materi yang sudah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan;

c. Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran.


a. Pendidik menjelaskan materi tentang kepentingan nasional dalam perairan;




e. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan.









Tagihan/Tugas

Peserta didik mengumpulkan resume materi pelajaran kepada pendidik.


20



Lembar Kegiatan

Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk membuat resume materi yang disampaikan.

Bahan Bacaan

KEPENTINGAN NASIONAL DALAM PERIARAN

1. Kepentingan Nasional dalam Wilayah Perairan Negara (Perairan pedalaman, Perairan Nusantara dan Laut Wilayah)

a. Membina mengelola dan memanfaatkan Perairan Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia;

b. Mempertahankan keutuhan wilayah Perairan Indonesia sebagai bagian integral dari segala ancaman dan gangguan;

c. Memelihara keutuhan wilayah Perairan Negara dari tindakan- tindakan pelanggaran hukum;

d. Pengamanan Pelayaran yang meliputi:

1) Mencegah dan menindak kegiatan pelayaran yang dilakukan di luar alur-alur pelayaran yang telah ditentukan dalam suatu buku kepanduan bahari;

2) Mencegah dan menindak penggunaan bendera Negara yang bertentangan dengan syarat-syarat Bendera bagi kapal-kapal di laut;

3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa di laut (Safety of Life at Sea) dan keselamatan pelayaran (Safety of Navigation);

4) Memberi bantuan terhadap kegiatan SAR.

e. Pengamatan kabel-kabel dasar laut, pipa-pipa saluran dan sarana telekomunikasi di laut;

f. Pengamanan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan atau alat-alat lainnya dalam rangka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam/sumber daya buatan di laut atau kegiatan lainnya di laut;


21



g. Pencegahan dan penindakan atas perbuatan pencemaran lingkungan laut dan tindakan-tindakan yang dapat merusak kelestarian lingkungan laut;

h. Pencegahan dan penindakan kegiatan penelitian kelautan tanpa ijin yang sah dari pejabat pemerintah Indonesia yang berwenang;

i. Pencegahan dan penindakan kegiatan-kegiatan pengumpulan data yang dapat merugikan aspek-aspek pertahanan keamanan seperti pemotretan pantai, pengambilan data hydrografi dan lain sebagainya;

j. Pencegahan dan penindakan kegiatan perompakan di laut seperti perompakan di pantai, perompakan di sungai dan pembajakan di laut lepas;

k. Pencegahan dan penindakan kegiatan penyelundupan melalui laut;

l. Pencegahan dan penindakan kegiatan pengangkutan dan atau perdagangan budak belia dan wanita;

m. Pencegahan dan penindakan masuknya penyakit menular (sanitari) dan kejahatan-kejahatan yang menyangkut obat-obat Narkotika (Narkotic Drugs);

n. Pencegahan dan penindakan kegiatan pornografi tanpa ijin yang sah dari pejabat pemerintah Indonesia yang berwenang;

o. Pencegahan dan penindakan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan umum di laut;

p. Pencegahan dan penindakan perbuatan pidana tertentu yang menyangkut bidang pelayaran yang diatur dalam kitab Pidana Umum;

q. Penindakan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang Pidana Umum yang terjadi di laut;

r. Melindungi jiwa dan harta kekayaan warga negara Indonesia di laut.

2. Kepentingan Nasional dalam Perairan Zona Tambahan

a. Mencegah terjadinya pelanggaran atas peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pabean, Pajak, Imigrasi dan karantina;

b. Menindak atas perbuatan pelanggaran-pelanggaran peraturan di atas.


22



3. Kepentingan Nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

a. Membina mengelola dan memanfaatkan ZEE Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia;

b. Melindungi dan mengamankan sumber daya alam hayati maupun non hayati di Zona Ekonomi Eksklusif;

c. Melindungi dan mengamankan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan atau alat-alat lainnya dalam rangka pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif;

d. Melaksanakan pengawasan dan atau pemeriksaan terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang memperoleh izin penangkapan di Zona Ekonomi Eksklusif;

e. Mencegah dan menindak kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif yang dilakukan tanpa ijin yang sah dari pejabat pemerintah yang berwenang;

f. Melindungi dan mengamankan kabel-kabel dasar laut, pipa-pipa saluran dan peralatan telekomunikasi di Zona Ekonomi Eksklusif;

g. Mencegah dan menindak kegiatan-kegiatan penelitian ilmiah laut yang dilakukan tanpa ijin dari pejabat pemerintah Indonesia yang berwenang (Marine Sciebtific Research);

h. Mencegah dan menindak perbuatan-perbuatan yang dapat merusak pelestarian lingkungan laut (The Preservation of the marine Environment);

i. Melindungi jenis-jenis ikan tertentu di laut dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis ikan yang dilindungi tersebut;

j. Beberapa kepentingan lainnya yang ditentukan didalam baik dalam konvensi Hukum Laut PBB 1982 maupun dalam UU Nasional sebagai pelaksanaan dari pada hak kedaulatan maupun Yudiriksi lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif.

4. Kepentingan Nasional dan Landas Kontinen

a. Membina, mengelola dan memanfaatkan Landas Kontinen Indonesia untuk Kesejahteraan dan Kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia;

b. Melindungi dan mengamankan segala sumber daya alam yang terdapat di dasar laut dan lapisan tanah di dalamnya


23



yang meliputi barang tambang (Mineral) gas dan minyak bumi dan organisme-organisme hidup yang tergolong jenis Sedentair yaitu Organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik di atas maupun di bawah dasar laut tidak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya termasuk di dalamnya tiram-tiraman, lumut-lumutan, rumput laut, bunga karang mutiara dan udara;

c. Melindungi dan mengamankan pulau-pulau buatan instalasi-instalasi, kapal-kapal, dan alat-alat lainnya yang dalam rangka melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Landas Kontinen;

d. Mencegah dan menindak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen yang di lakukan tanpa ijin yang sah dari pemerintah Indonesia yang berwenang;

e. Mencegah dan menindak kegiatan Penelitian sumber daya alam di Landas kontinen tanpa ijin yang sah;

f. Melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan lainnya yang diatur dalam konvensi Hukum Laut maupun UU Nasional.

Rangkuman

1. Pengamanan pelayaran yang meliputi:

a. Mencegah dan menindak kegiatan pelayaran yang dilakukan di luar alur-alur pelayaran yang telah ditentukan dalam suatu buku kepanduan bahari;

b. Mencegah dan menindak penggunaan bendera Negara yang bertentangan dengan syarat-syarat Bendera bagi kapal-kapal di laut;

c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa di laut (Safety of Life at Sea) dan keselamatan pelayaran (Safety of Navigation);

d. Memberi bantuan terhadap kegiatan SAR.

2. Kepentingan Nasional dalam Perairan Zona Tambahan

a. Mencegah terjadinya pelanggaran atas peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pabean, Pajak, Imigrasi dan karantina;

b. Menindak atas perbuatan pelanggaran-pelanggaran


24



peraturan di atas.

3. Kepentingan Nasional dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

a. Membina mengelola dan memanfaatkan ZEE Indonesia;

b. Melindungi dan mengamankan sumber daya alam hayati maupun non hayati;

c. Melaksanakan pengawasan dan atau pemeriksaan terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan;

d. Mencegah dan menindak kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif;

e. Melindungi dan mengamankan kabel-kabel dasar laut, pipa-pipa saluran dan peralatan telekomunikasi;

f. Mencegah dan menindak kegiatan-kegiatan penelitian ilmiah laut yang dilakukan tanpa ijin;

g. Mencegah dan menindak perbuatan-perbuatan yang dapat merusak pelestarian lingkungan laut;

h. Melindungi jenis-jenis ikan tertentu di laut dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis ikan;

i. Beberapa kepentingan lainnya yang ditentukan didalam baik dalam konvensi Hukum Laut PBB 1982.

4. Kepentingan Nasional dan Landas Kontinen

a. Membina, mengelola dan memanfaatkan Landas Kontinen Indonesia;

b. Melindungi dan mengamankan segala sumber daya alam yang terdapat di dasar laut dan lapisan tanah di dalamnya;

c. Melindungi dan mengamankan pulau-pulau buatan instalasi-instalasi, kapal-kapal, dan alat-alat lainnya;

d. Mencegah dan menindak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam;

e. Mencegah dan menindak kegiatan Penelitian sumber daya alam di Landas kontinen tanpa ijin;

f. Melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan lainnya yang diatur dalam konvensi Hukum Laut maupun UU Nasional.


25



Latihan

1. Jelaskan kepentingan nasional dalam wilayah perairan negara!

2. Jelaskan kepentingan nasional dalam perairan zona tambahan!

3. Jelaskan kepentingan nasional dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE)!

4. Jelaskan kepentingan nasional dalam landas kontinen!


26



HANJAR

03

PERMASALAHAN WILAYAH PERAIRAN

DENGAN NEGARA TETANGGA

6 JP (270 menit)

Pengantar

Di dalam Hajar ini membahas materi tentang permasalahan wilayah perairan dengan negara Malaysia, Vietnam, Filiphina, Palau dan Australia.

Tujuan diberikannya materi ini adalah agar peserta didik memahami permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.

Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar:

Memahami permasalahan yang ditimbulkan karena permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.


1. Menjelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Malaysia;

2. Menjelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Vietnam;

3. Menjelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Filiphina;

4. Menjelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Palau;

5. Menjelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Australia.


27



Materi Pelajaran

Pokok bahasan:

Permasalahan yang ditimbulkan karena permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.

Subpokok bahasan:

1. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Malaysia;

2. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Vietnam;

3. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Filiphina;

4. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Palau;

5. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Australia.

Metode Pembelajaran

1. Metode Ceramah

Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi permasalahan yang ditimbulkan karena permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.


Metode ini digunakan untuk mengukur sejauh mana pemahaman peserta didik terkait materi yang telah disampaikan.

3. Metode Brainstorming (curah pendapat)

Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/gagasan peserta didik terkait materi yang akan disampaikan.

4. Metode diskusi

Metode ini digunakan untuk mendiskusikan materi permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.

5. Metode Penugasan

Metode ini digunakan untuk memberikan tugas kepada peserta didik tentang materi yang telah diberikan.


28




1. Alat/media:

a. Whiteboard;

b. Komputer/Laptop;

c. LCD;

d. Screen;

e. DVD Pleyer.

2. Bahan:

a. Kertas /Flipchart;

b. Alat tulis.

3. Sumber belajar:

a. UNCLOS Tahun 1982;


c. UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut);

d. Narzif,SH,MH. 2003. modul hukum laut Indonesia kusumaatmadja mochtar. 1978. hukum laut internasional. bina cipta. Bandung;


f. PULAU Joko Subagyo. Hukum Laut Indonesia.



Pendidik menyampaikan apersepsi dengan kegiatan:

a. Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk merefleksi materi sebelumnya;

b. Pendidik mengaitkan materi yang sudah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan;

c. Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran.


a. Pendidik menjelaskan materi tentang permasalahan yang


29



ditimbulkan karena permasalahan wilayah dengan negara tetangga;




e. Pendidik memerintahkan peserta didik untuk melaksanakan diskusi tentang permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga;

f. Peserta didik melaksanakan diskusi sesuai instruksi pendidik;

g. Pendidik mamfasilitasi jalannya diskusi;

h. Pendidik menyimpulkan hasil diskusi;

i. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan.









4. Tahap Ujian (tes sumatif) : 90 menit

Tagihan/Tugas

1. Peserta didik mengumpulkan resume materi pelajaran yang telah diberikan oleh pendidik.

2. Peserta didik mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok.


30



Lembar Kegiatan

1. Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk meresume materi pelajaran yang telah disampaikan.

2. Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk mendiskusikan materi permasalahan wilayah perairan dengan negara tetangga.

Bahan Bacaan

PERMASALAHAN WILAYAH PERAIRAN DENGAN NEGARA TETANGGA

1. Permasalahan Wilayah perairan dengan Negara Malaysia

Pada tanggal 21 Desember 1979, Pemerintah Malaysia telah menerbitkan secara resmi (Published by the Diractor of National Mapping) 2 sheet peta yang masing-masing menggambarkan semenanjung Malaysia dan serawak/sabah, lengkap dengan perbatasan territorial antara Malaysia dan Indonesia serta perbatasan landas kontinen antara Malaysia dan Indonesia.

Kedua sheet peta tersebut dikirimkan secara resmi kepada Kedutaan Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Masalah-masalah perbedaan pendapat yang timbul dari peta tersebut adalah:

a. Batas Laut Teritorial Malaysia di selat Malaka

Meskipun Malaysia bukanlah sebagai anggota Negara KePulau an dalam konvensi hukum laut 1982, yang tentunya tidak memperkenankan Malaysia untuk menarik garis dasar antara PULAU jarak dengan PULAU Perak yang jaraknya 123 mil.

Garis dasar ini telah dipergunakan sebagai dasar untuk menarik lebar laut territorial sebesar 12 mil ke arah luar yang mengakibatkan sebagai Zona Ekonomi Eksklusif. Indonesia di selat Malaka menjadi laut teritorial Malaysia.

b. Batas Laut Teritorial Malaysia di selat Singapura

Di selat Singapura antara Pulau Bintan dengan Johor Timur Malaysia yang jaraknya hanya kurang lebih 11 mil ,terdapat sebuah karang yang letaknya tepat ditengah selat pada pintu


31



masuk selat singapura dari arah timur.

Karang ini sejak dahulu telah di kembangkan sebagai sarana untuk menempatkan suar bagi keselamatan navigasi kapal-kapal yang akan keluar masuk selat singapura.

Sesuai dengan asal-usul karang tersebut, serta kemudian fungsinya secara historis maka tentunya Pulau karang yang kemudian di beri nama oleh inggris (?) Pulau Horsburgh tersebut mempunyai kedudukan khusus.

Pada Peta Malaysia sheet I, ternyata bahwa Pulau Horsburgh tersebut telah dipergunakan oleh pihak Malaysia untuk menentukan batas laut territorial Malaysia, sehingga batas laut territorial Malaysia hanya berjarak 3,3 mil saja dari Pulau Bintan.


32



c. Batas landas Kontinen Malaysia di laut Cina Selatan.

Perbatasan Landas Kontinen Indonesia di laut Cina selatan berhadapan (berbatasan) dengan landas kontinen “Pemilik Spratly” dan “Pemilik Amboyna Cay”.

Apabila Amboyna Cay adalah milik Malaysia, maka pihak Malaysia belum menyelesaikan dengan indonesia sebagian dari batas landas kontinennya yang berhubungan dengan Pulau Amboyna Cay, karena batas landas kontinen Indonesia Malaysia yang di tuangkan dalam perjanjian 27 Oktober 1969 sama sekali belum mempergunakan Pulau Amboyna Cay.

Peta Malaysia sheet II telah memuat batas landas kontinen yang belum di rundingkan tersebut.

Persoalan ternyata kemudian berkembang lebih jauh karena Vietnam juga menuntut Pulau Amboyna Cay, bahkan kemudian apabila benar (berita surat kabar), Malaysia telah


33



bersedia untuk berunding dengan Vietnam masalah perbatasannya dengan Amboyna Cay, hal ini nampaknya akan berpengaruh kepada Indonesia, karena sikap Indonesia dalam perundingan batas landas kontinen Indonesia - Vietnam yang berhubungan dengan Pulau Spratley dan Pulau Amboyna Cay.

d. Batas Laut Teritorial Malaysia di Pulau Sebatik

Batas laut Teritorial Indinesia di Pantai Timur Pulau Sebatik seharusnya ditetapkan sebagai berdasarkan perjanjian teritorial antara Belanda dan Inggris Tahun 1891.

Pada suatu usaha kedua Negara untuk melakukan demarkasi perbatasan antara kedua Negara di Kalimantan, telah di buat suatu Memorandum of Understanding yang di tanda tangani pada tanggal 26 Nopember 1973 di Jakarta.

Pada MOU tersebut telah di sepakati bahwa kedua Negara akan mempergunakan Traktat 1891 sebagai dasar, namun ternyata dalam peta sheet II, Malaysia telah menetapkan sendiri batas laut Teritorial sebelah timur Pulau Sebatik yang kecuali bertentangan dengan traktat 1891 juga merugikan Indonesia.

e. Batas Landas Kontinen Malaysia di Laut Sulawesi

Indonesia dan Malaysia telah mencoba menetapkan secara bilateral perbatasan landas kontinen ini pada bulan September 1969 di Kuala Lumpur, namun perundingan akhirnya di tunda untuk waktu yang akan di tetapkan kemudian, karena adanya beberapa komplikasi:

1) Sesuai dengan dokumen berupa Traktat 1891, peta-peta topograpi, peta ONC L-11 yang di susun Military Survey Inggris, Indonesia Menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Indonesia (Belakangan diketahui bahwa sebenarnya Pulau Ligitan tidak).

Pihak Malaysia menyatakan bahwa kedua Pulau itu adalah miliknya dan hanya dapat membuktikan bahwa ia memelihara mercusuar di Pulau Sipadan, dan argument ini di tolak oleh Indonesia dengan menyatakan bahwa pengelolaan atas mercusuar tidak membuktikan pemilikan Pulau .

2) Pada saat perundingan Philippina masih melakukan tuntutan atas sabah, dank arena masalah penetapan


34



batas landas kontinen tersebut melibatkan sabah,maka suasana perundingan menjadi berobah.

Akhirnya perundingan di tunda dengan pernyataan bersama bahwa masalah Pulau Sipadan dan Ligitan akan diselesaikan lebih lanjut melalui perundingan.

Namun ternyata berdasarkan peta sheet II, Malaysia telah menetapkan secara sepihak letak batas landas kontinen tersebut, dan sesuai letaknya sangat merugikan Indonesia.

f. Status Pulau Sipadan.

Seperti telah diuraikan diatas bahwa berdasarkan Traktat 1891, dokumen–dokumen tertulis, dan peta-peta yang disusun oleh lembaga-lembagapemerintahan yang sah, memberikan petunjuk yang kuat bahwa Pulau Sipadan adalah milik ex Pemerintah Hindia Belanda dan oleh karena itu pada saat ini menjadi bagian wilayah Indonesia.


35



Pulau ini luasnya sekitar 50.000 m2 dan terletak kurang lebih 43 mil sebelah timur Pulau Sebatik.

Pada Perundingan tanggal 19 September 1969 pihak Malaysia menyatakan bahwa sesuai Undang-undang Nomor 4 Prp, Tahun 1960 tentang perairan Indonesia, Pulau Sipadan adalah bukan milik Indonesia, sebaliknya Indonesia menyatakan bahwa semua wilayah ex kekuasaan Hindia Belanda adalah milik Indonesia, sedang Undang-undang tersebut adalah suatu produk yuridis dan politis yang membutuhkan kecepatan pembentukannya menghadapi situasi dalam negeri,sedang pihak Malaysia juga telah menerima Pulau Batu mandi di selat malaka dan Pulau Tokong Piramid di laut Cina Selatan yang terletak diluar Undang-undang tersebut.

Namun kemudian, meskipun ada pernyataan bahwa status Pulau Sipadan akan dibahas bersama dikemudian hari, ternyata melalui peta sheet II, Pulau Sipadan telah ditetapkan secara sepihak oleh Malaysia.

Masalah perbatasan Indonesia-Malaysia yang semuanya terangkum dalam pengumuman dalam bentuk peta resmi tersebut telah di tolak oleh Indonesia melalui suatu Nota protes yang di ajukan kepada Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, pada tanggal 8 Februari 1980.

Nota protes tersebut telah pula dibalas oleh pemerintah Malaysia, dengan menyatakan pengukuhan pendapatnya itu.

Majelis Hakim International Court of Justice (ICJ) yang terdiri atas 17 hakim dan dipimpin oleh Presidennya Gillbert Guillaurne di Den Haag pada Desember 2002 telah memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah milkik Malaysia. Alasannya karena Malaysia sudah terlebih dahulu melakukan penguasaan efektif terhadap kedua Pulau itu. Bahkan penggunaan kedua Pulau tersebut sebelum sengketa kedua Negara mulai mengemuka pada Tahun 1969.

Pemerintah Malaysia telah mengeluarkan ijin pada Tahun 1917 untuk mengatur pengumpulan telur penyu dan perlindungan bagi burung pada Tahun 1930 di kedua Pulau itu.

Pemerintah kolonial Inggris pada Tahun 1917 pernah menerbitkan Ordonansi Perlindungan Penyu ,berdasarkan Ordonansi tersebut,pada tanggal 2 Juni 1919 pemerintah


36



kolonial Inggris menetapkan Sipadan sebagai wilayah pengumpulan telur Penyu (turtle eggs). Sementara tempat perlindungan bagi burung (Cagar burung/birds sanctuaries) secara resmi disahkan melalui Official Gazette pemerintah kolonial Inggris pada tanggal 1 Februari 1933.

Kekalahan Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan- Ligitan disebabkan karena kelemahan dibidang pengarsipan.selama proses persidangan berlangsung, pihak Indonesia kekurangan bukti-bukti pendukung untuk memperkuat argumentasinya. Pihak Indonesia mendalilkan bahwa kepemilikannya atas Sipadan- Ligitan berdasarkan perjanjian yang telah di buat antara Belanda dengan Inggris pada Tahun 1891.Namun argumentasi sejarah tersebut tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim International Court of Justice. Mahkamah Internasional menganggap Sipadan-Ligitan berada diluar batas wilayah yang ditentukan dalam konvensi 1891 tersebut.

Ada tiga hal yang mengakibatkan Indonesia terhadap Malaysia dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yaitu:

1) Malaysia secara terus menerus berada di Pulau -Pulau tersebut (continuous presence);

2) Penguasaan efektif Pulau (effective occupation) termasuk administrasi;

3) Perlindungan serta pelestarian ekologis (maintenance and ecology reservation).

Setelah hasil akhir putusan International Court of Justice (ICJ) Nomor 102 tanggal 17 Desember 2002 tentang Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang menyerahkan kepemilikan kedua Pulau kepada Malaysia dengan bukti penguasaan dan pengendalian efektif (effectiities), maka Indonesia perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 untuk mengubah titik-titik dasar di Sipadan dan Ligitan, yaitu Titik Dasar (TD) 36C dan TD 36D di Pulau Ligitan dan TD 36A di Pulau Sipadan yang telah batal.

Titik-titik dasar baru adalah disebatik yaitu Karang unarang dan karang bandi digunakan untuk menggantikan TD di Sipadan-Ligitan.

Karena belum ada kesepakatan dengan Malaysia,masalh titik perbatasan baru ini masih menjadi persoalan yang baru yang


37



harus segera disepakati.

2. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Vietnam

Perundingan antara Indonesia dengan Vietnam mengenai batas landas kontinen sebenarnya telah dimulai sejak Tahun 1972, semenjak masih dibawah pemerintahan Vietnam Selatan, dan terakhir dilakukan pada Tahun 1975.

Perundingan landas kontinen tersebut kemudian diteruskan dengan pemerintahan baru, dan hingga kini perundingan dengan pemerintahan baru tersebut sudah berlangsung sebanyak 6 kali, meskipun belum terlihat adanya pendekatan yang prospektif.

Dasar–dasar perundingan yang dipergunakan adalah konvensi Geneva 1958, yang kemudian sesuai dengan perkembangan baru, baik menurut praktek Negara, maupun kaedah-kaedah hukum laut yang telah menjadi konsensus internasional, dan akhirnya dengan ketentuan konvensi hukum laut yang baru, dimana Vietnam


38



mengakui status Negara kePulau an.

Namun dalam mempergunakan dasar-dasar tersebut pihak Vietnam tidak konsisten, hal mana dapat terlihat dari perkembangan perundingan yang dapat dikatakan mengambang dan menunjukkan hasil yang maju mundur, karena tidak pernah mengajukan sesuatu yang kongrit, hal mana tidak pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman Indonesia menghadapi Negara-negara tetangga yang lain.

Yang menarik dari perundingan Indonesia-Vietnam itu adalah terjadinya beberapa kali peristiwa, dimana Vietnam mempergunakan dasar perundingan yang berasal dari kesepakatan Menteri luar Negeri Indonesia, tetapi ternyata Menlu tidak pernah menyatakan hal-hal tersebut, dari hal ini Nampak bahwa kejujuran dan objektivitas perundingan tidak ada.


39




40



3. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Philipina

Konstitusi Philippina memuat juga seluruh bagian wilayah Philipina yang tercantum dalam:

a. Traktat 10 Desember 1898 (Paris), khususnya pasal III yang dibuat antara Amerika dan Spanyol;

b. Traktat 7 November 1900 (Washington), antara Amerika dan Spanyol;

c. Traktat 2 Januari 1930, antara Amerika dan Inggris.

Berdasarkan traktat-traktat diatas, maka Pulau Palmas atau yang sekarang disebut oleh Indonesia sebagai Pulau Miangas, dengan demikian masih tercantum dalam konstitusi Philippina.

Pada Tahun 1961 Pemerintah Philippina mengeluarkan sebuah Undang-undang no.3046 tanggal 17 Juni 1961, tentang penarikan garis dasar laut territorial Philippina, tanpa menyebutkan batas


41



terluar laut territorial territorial Philippina, yang berarti bahwa batas terluar laut territorial adalah tetap berdasarkan traktat-traktat terdahulu yang juga disebutkan dalam undang-undang Tahun 1961 tersebut.

Jadi menurut ketentuan hukum Philippina, sampai Tahun 1961 itu pun Pulau Miangas masih terletak didalam laut territorial Philippina, meskipun dalam undang- undang 3046 tentang penarikan garis dasar tersebut, Pulau Miangas tidak di jadikan atau tidak dimasukan dalam penarikan garis dasar, dan ini juga terlihat daripeta resmi Philippina yang disusun oleh “Coast and Geodetic Survey” yang menggambarkan penarikan garis dasarlaut territorial Philippina.

Namun khusus menyangkut Pulau Miangas itu sendiri, Pada Tahun 1928 di Den Haag telah diputuskan oleh mahkamah Arbitrasi permanen, dengan wasit Prof. Mac Huberbahwa sengketa antara Amerika dengan Belanda tentang kekuasaan atas Pulau Miangas, pihak Belanda lah yang berhak atas Pulau tersebut.

Semula Amerika Mendasarkan bahwa Spanyol telah menguasai Pulau tersebut berdasarkan ”Discovery”, yang kemudian beralih ketangan Amerika karena Amerika menang perang dari Spanyol.

Perkara didalam mahkamah beralih keara, apakah sampai saat penyerahan kepada Amerika, Spanyol dapat membuktikan penguasaan Pulau tersebut secara efektif, hal ini tidak dapat dibuktikan, karena pihak Belanda ternyata dapat membuktikan administrasi efektif atas Pulau tersebut, karena Belanda telah ada di sana sejak Tahun 1677.

Kasus Palmas (Miangas) ini ternyata menjadi suatu “Leading Case” dalam hukum internasional tentang masalah cara untuk memperoleh kedaulatan territorial.

Keputusan mahkamah Arbitrasi tersebut terjadi pada Tahun 1928, yang berasal dari suatu sengketa yang terjadi pada Tahun 1906, yaitu setelah di buat traktat paris 1898.

Seharusnya konstitusi Philippina kecuali memuat traktat-traktat 1898,1900 dan 1930 juga memuat keputusan Mahkamah Arbitrasi Nomor XIX Tahun 1928, bahkan Undang-undang Philippina Nomor 3046 Tahun 1961 juga hanya memuat ke 3 traktat tersebut diatas.

Karena Palmas (Miangas) adalah wilayah kedaulatan Hindia Belanda pada waktu itu, maka tentunya Teritoriale Zea en


42



Maritieme Kringen Ordonansi 1939 berlaku di sana, dan tidak pernah disanggah oleh Amerika, sehingga dengan demikian PULAU Miangas selama ini telah melaksanakan kedaulatan territorialnya atas perairan Miangas, beserta hak-hak tradisional para nelayan .

Berdasarkan hal tersebut adalah mustahil bahwa perairan territorial Miangas berada di dalam laut territorial Philppina sesuai traktat 1898 tersebut.

Apabila Philippina hendak mengembangkan traktat 1898 bukan sebagai dasar tuntutan untuk memperoleh laut territorial (karena ia telah menganut konvensi hukum laut baru sebagai Negara kePulau an) tetapi untuk menuntut “Traditional Rights” atas sumber alam, maka hal ini pun kedudukannya lemah.


43



4. Permasalahan wilayah perairan dengan negara Palau

Diutara ke Pulau an Asia (Indonesia) yang terletak diatas kepala burung (Irian), terdapat beberapa Pulau dan karang yang berada di bawah kedaulatan Republik Palau (bekas daerah perwakilan Amerika) yang menyatakan kemerdekannya pada tanggal 30 Januari 1981. Pada upacara kemerdekaan tersebut wakil pemerintah Indonesia (Duta Besar RI dan Philippina) telah menghadiri upacara kemerdekaan Republik Palau tersebut.

Pemerintah Palau yang berkedudukan di Koror telah menerbitkan suatu peta rencana batas “Fisheries Zone” dengan Indonesia, yang nampaknya berdasarkan peta tersebut letak garis batas tersebut lebih mendekati wilayah Indonesia.

Jarak terdekat antara Indonesia dengan Palau adalah 115 mil. berdasarkan praktek Negara-negara dalam pembagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, maka ukuran Pulau yang sedemikian kecil, biasanya diberikan suatu bobot tersendiri, sehingga seharusnya letak perbatasan “Fisheries Zone” tersebut lebih cenderung untuk lebih mendekati Palau, dasar hukum international sedemikian sering disebut sebagai “Special Circumstance”. Namun mengingat bahwa Palau tidak memiliki hasil sumber alam lainnya, kecuali perikanan, maka negosiasi dengan Palau belum tentu memberikan harapan yang baik.

5. Permasalahan wilayah dengan negara Australia

Masalah perbatasan yang paling menonjol antara Indonesia dan Australia adalah persoalan “Timur Gap”, dinamakan demikian karena perjanjian batas landas kontinen yang dibuat pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai batas landas kontinen di laut Timor, meninggalkan sisa sepanjang kurang lebih 130 mil, tepat di sebelah selatan Timor Leste.

Berdasarkan konvensi hukum laut yang baru,sebenarnya keadaan lebih menguntungkan Indonesia, sehingga perbatasan yang masih tersisa 130 mil tersebut akan menggeser keselatan sampai bertemu dengan garis sama jarak (Equidistant Line) antara Pulau Timor dengan Pulau Australia.

Garis batas landas kontinen 9 OKtober 1972 di Timor Gap ini memang letaknya lebih dekat ke Pulau Timor (+ 100 mil ) dari pada ke Australia (+ 200 mil), karena seperti telah diuraikan didepan konvensi Geneva 1958 lebih menguntungkan Australia, karena secara morfologis landas kontinen Australia memang lebih luas, tetapi secara geologis ternyata kini telah dibuktikan oleh para


44



ahli bahwa Pulau Timor dan kontinen Australia terletak pada satu “Continental Plate”.

Berdasarkan penemuan baru itu dan juga konvensi hukum laut 1982, maka seharusnya perbatasan landas kontinen di Timor Gap harus menggeser ke selatan kurang lebih sejauh 50 mil lagi. Tetapi dalam perkembangan yang terakhir (Februari 1984) Australia tetap ingin menggunakan unsur-unsur historis (sejarah hukum) dari padaperkembangan hukum laut dari Geneva 1958 ke hukum laut 1982, dengan kata lain tidak mau menerima garis sama jarak yang diusulkan Indonesia.

Penemuan-penemuan sumber minyak dan gas pada beberapa sumur di “Timor Gap” oleh Australia (tanpa ijin Indonesia) nampaknya akan mempersulit keadaan.

Perbatasan Landas kontinen antara kedua Negara di sebelah barat Pulau Ashmore dan Cartier, secara teknis nampak akan lebih mudah bagi Indonesia, dan oleh karena itu kedua wilayah tersebut lebih baik di letakan didalam satu paket.

Masalah perbatasan landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Pulau Christmas yang letaknya tepat 200 mil selatan Pelabuhan ratu secara proporsional seharusnya lebih menggeser ke selatan, namun disinipun pihak Australia memberikan argumentasi yang tidak menarik.


45



Rangkuman

1. Permasalahan yang ditimbulkan dengan negara tetangga diwilayah perairan yaitu:

a. Batas Laut Teritorial Malaysia di selat Malaka

Meskipun Malaysia bukanlah sebagai anggota Negara KePulau an dalam konvensi hukum laut 1982, yang tentunya tidak memperkenankan Malaysia untuk menarik garis dasar antara PULAU jarak dengan PULAU Perak yang jaraknya 123 mil.

Garis dasar ini telah dipergunakan sebagai dasar untuk menarik lebar laut territorial sebesar 12 mil kea rah luar yang mengakibatkan sebagai zona Ekonomi Eksklusif. Indonesia di selat Malaka menjadi laut territorial Malaysia.

b. Batas Laut Teritorial Malaysia di selat Singapura

Di selat Singapura antara PULAU Bintan dengan Johor Timur Malaysia yang jaraknya hanya kurang lebih 11 mil ,terdapat sebuah karang yang letaknya tepat ditengah selat pada pintu masuk selat singapura dari arah timur.

c. Perundingan antara Indonesia dengan Vietnam mengenai batas landas kontinen sebenarnya telah dimulai sejak Tahun 1972,semenjak masih dibawah pemerintahan Vietnam Selatan, dan terakhir dilakukan pada Tahun 1975.

d. Konstitusi Philippina memuat juga seluruh bagian wilayah Philipina yang tercantum dalam:

a. Traktat 10 Desember 1898 (paris), khususnya pasal III yang dibuat antara Amerika dan Spanyol.

b. Traktat 7 November 1900 (Washington), antara Amerika dan Spanyol.

c. Traktat 2 Januari 1930, antara Amerika dan Inggris.

Berdasarkan traktat-traktat diatas, maka PULAU Palmas atau yang sekarang disebut oleh Indonesia sebagai PULAU Miangas, dengan demikian masih tercantum dalam konstitusi Philippina.

e. Pemerintah Palau yang berkedudukan di koror telah menerbitkan suatu peta rencana batas “Fisheries Zone” dengan Indonesia, yang nampaknya berdasarkan peta tersebut letak garis batas tersebut lebih mendekati wilayah Indonesia.

f. Masalah perbatasan yang paling menonjol antara Indonesia dan Australia adalah persoalan “Timur Gap”, dinamakan


46



demikian karena perjanjian batas landas kontinen yang dibuat pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai batas landas kontinen di laut Timor, meninggalkan sisa sepanjang kurang lebih 130 mil, tepat di sebelah selatan Timor Leste.

Latihan

1. Jelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Malaysia!

2. Jelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Vietnam!

3. Jelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Filiphina!

4. Jelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Palau!

5. Jelaskan permasalahan wilayah perairan dengan negara Australia!

Documents

BAHAN AJAR (HANJAR) HUKUM LAUT INDONESIA