Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Ginjal
1.1.1 Epidemiologi
Nephrolithiasis atau batu ginjal salah satu penyakit utama saluran kemih dan
sumber utama morbiditas di dunia. Di Indonesia menurut RISKESDA tahun 2013
batu ginjal merupakan penyakit yang paling sering (Fauzi dan Putra, 2016).
Kejadian pada pria lebih banyak dari pada wanita. Pembentukan batu ginjal salah
satu gangguan urologis yang menyakitkan terjadi pada 15% populasi global dan
tingkat kemunculan kembali sekitar 74-86% pada pria dan 45-64% pada wanita
(Kapoor, et al., 2017).
Faktor risiko yang berkontribusi untuk batu ginjal adalah obesitas, resistensi
insulin, penyakit yang berkaitan dengan gastrointestinal, hidup di iklim hangat, dan
pola diet obat obatan tertentu (Kapoor, et al., 2017).
1.1.2 Klasifikasi Batu Ginjal
1. Batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat
Batu kalsium adalah batu ginjal yang dominan sekitar 80% dari semua
batu saluran kemih dan kekambuhannya lebih besar daripada batu ginjal
yang lain. Proporsi batu kalsium meliputi batu CaOx 50%, CaP 5%, dan
campuran 45%. Konstituen utamanya adalah kalsium fosfat. Bentuk
kalsium oksalat dapat berupa CaOx, COM, COD, dan kombinasi. COM
5
adalah bentuk batu yang paling stabil secara termodinamik (Alelign dan
Petros, 2018).
Faktor yang berkontribusi pada pembentukan batu CaOx seperti
hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hiperoksaluria, hipositraturia,
hipomagnesuria, dan hipersistinuria. Kadar pH urin 5,0-6,5
mempromosiakan batu CaOx sedangkan pH lebih besar dari 7,5
mempromosikan batu CaP (Alelign dan Petros, 2018).
2. Batu struvite
Batu struvite disebut sebagai batu infeksi dan batu tripel fosfat,
persentasi keejadiannya 10-15%. Terjadi pada pasien dengan infeksi saluran
kemih kronis yang menghasilkan urease, yang paling umum adalah proteus
mirabilis dan patogen yang kurang umum termasuk klebsiella pneumoniae,
dll. Urease diperlukan untuk memisahkan atau memecah urea menjadi
amonia dan CO2, membuat urin lebih basa yang meningkatkan pH (biasanya
> 7). Fosfat kurang larut pada pH basa dan asam, sehingga fosfat mengendap
pada produk amonia yang tidak larut, menghasilkan formasi batu staghorn
besar (Alelign dan Petros, 2018).
3. Batu asam urat
Batu asam urat sekitar 3-10% dari semua jenis batu dan lebih sering
terjadi pada wanita. Penyebab batu asam urat yang paling umum adalah
idiopatik. Diet tinggi purin terutama yang mengandung diet protein hewani
seperti daging, menghasilkan hiperurikosuria, volume urin yang rendah, dan
6
pH urin yang rendah (pH <5.05) memperburuk pembentukan batu asam urat
(Alelign dan Petros, 2018).
4. Batu sistin
Batu ini akibat kelainan genetik dari pengangkutan asam amino dan
sistin. Kelainan autosom resesif disebabkan oleh kerusakan pada gen rBAT
pada kromodin yang mengakibatkan gangguan penyerapan tubular ginjal
dari sistin atau bocor sistin ke dalam urin. Hal tersebut mengakibatkan
kelebihan cistinuria pada ekskresi urin dan membentuk batu sistin (Alelign
dan Petros, 2018).
5. Batu yang dipicu oleh obat
Kejadiannya sekitar 1% dari semua jenis batu. Obat obatan seperti obat
guaifenesin, triamterene, atazanavir, dan sulfa menginduksi batu ini. Sebagai
contoh, orang yang menggunakan protease inhibitor indinavir sulphate.
Obat-obatan litogenik atau metabolitnya dapat disimpan untuk membentuk
nidus pada batu ginjal yang sudah ada. Di sisi lain, obat-obatan ini dapat
menginduksi pembentukan batu melalui aksi metabolismenya dengan
mengganggu metabolisme kalsium oksalat atau purin (Alelign dan Petros,
2018).
1.1.3 Patofisiologi
Pembentukan batu ginjal adalah proses biologis yang melibatkan perubahan
fisikokimia dan supersaturasi urin. Solusi jenuh mengacu pada larutan yang
mengandung lebih banyak bahan terlarut daripada bahan yang bisa dilarutkan oleh
pelarut, karena tidak dapat dilarutkan akibat jumlah yang berlebihan akan
7
membentuk endapan dalam urin yang mengarah pada nukleasi kemudian menjadi
kristal. Kristalisasi terjadi ketika konsentrasi dua ion sudah melebihi titik jenuh.
Transformasi cairan ke fase padat dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi tertentu dari
zat berlebih. Berikut urutan peristiwa yang memicu pembentukan batu termasuk
nukleasi, pertumbuhan, agregasi, dan retensi kristal didalam ginjal (Alelign dan
Petros, 2018).
1.Nukleasi kristal
Awal pembentukan batu ginjal adalah pembentukan nukleus (nidus)
dari urin super jenuh yang disimpan di dalam ginjal. Dalam cairan super
jenuh, atom, ion, atau molekul bebas mulai membentuk kelompok
mikroskopis yang mengendap (Alelign dan Petros, 2018).
1. Pertumbuhan kristal
Nidus tercapai, beberapa atom atau molekul dalam cairan super jenuh
mulai membentuk kluster. Energi bebas keseluruhan berkurang dengan
menambahkan komponen kristal baru ke permukaannya. Total energi bebas
cluster meningkat oleh energi permukaan, namun, hanya ketika cluster kecil.
Pertumbuhan kristal ditentukan oleh ukuran molekul dan bentuk molekul,
sifat fisik material, pH, dan cacat yang mungkin terbentuk dalam struktur
kristal. Pertumbuhan kristal adalah salah satu prasyarat untuk pembentukan
partikel. Matriks organik, terutama protein Tamm-Horsfall dan osteopontin
adalah promotor pembentukan batu CaOx (Alelign dan Petros, 2018).
2. Agregasi kristal
8
Agregasi kristal merupakan proses sejumlah kecil kristal keras dalam
larutan menempel bersama untuk membentuk batu yang lebih besar.
Pembentukan kristal setelah nukleasi akan menyebabkan peningkatan
produksi ROS dan menyebabkan kerusakan epitel ginjal (Liu, et al., 2018).
3. Interaksi kristal-sel
Penempelan kristal tumbuh dengan lapisan tubulus ginjal sel epitel
disebut sebagai retensi kristal atau interaksi sel kristal. Pada individu dengan
hiperoksaluria, sel-sel epitel tubulus ginjal terluka karena paparan
konsentrasi COM yang tajam. Interaksi sel kristal menghasilkan pergerakan
kristal dari sisi sel basolateral ke membran basemen (Alelign dan Petros,
2018).
Interaksi kristal COM dengan permukaan sel epitel ginjal bisa menjadi
peristiwa awal yang kritis pada nefrolitiasis. Peningkatan kekuatan retensi
antara kristal dan sel sel epitel tubulus ginjal yang cedera mempromosikan
kristalisasi CaOx. Kristal CaOx adalah racun bagi sel epitel ginjal yang
menghasilkan cedera dan kematian sel ginjal. Demikian pula, paparan
hiperkalsiuria menghasilkan cedera seluler dan peroksidasi lipid yang
diinduksi ROS yang merangsang deposisi kalsium oksalat. Sebagian besar
kristal yang melekat pada sel epitel diduga dicerna oleh makrofag atau
lisosom di dalam sel, kemudian dibuang lewat urin. Sel tubular ginjal yang
terluka melepaskan zat seperti fragmen protrombin ginjal-1 atau protein
anionik lainnya yang menginduksi aglomerasi kristal COM. Spesies oksigen
reaktif dianggap sebagai salah satu faktor yang terlibat dalam cedera sel
9
ginjal. Studi tentang interaksi sel kristal kultur jaringan menunjukkan bahwa
kristal COM cepat melekat pada mikrovili pada permukaan sel. Molekul
polianion hadir dalam cairan tubular atau urin seperti glikosaminoglikan,
glikoprotein, dan sitrat dapat melapisi kristal dan menghambat pengikatan
kristal COM ke membrane (Alelign dan Petros, 2018).
Berbagai peristiwa seluler dan ekstraseluler terlibat selama
pembentukan batu. Modulator menargetkan langkah-langkah dari jenuh
hingga retensi kristal dapat menjadi sarana potensial untuk memblokir
pembentukan batu. Demikian pula, penyumbatan molekul pengikat kristal
(seperti osteopontin, asam hialuronat, asam sialat, dan protein
kemoattractan-1 monosit) yang diekspresikan pada membran sel epitel
mungkin merupakan pendekatan alternatif untuk mencegah pembentukan
batu. Temuan eksperimental menunjukkan bahwa kalsifikasi batu dipicu
oleh spesies oksigen reaktif (ROS) dan pengembangan stres oksidatif
(Alelign dan Petros, 2018).
4. ROS pada nephrolithiasis CaOx
ROS dalam menanggapi kristal oksalat dan CaOx sebagian diproduksi
dengan keterlibatan NADPH oksidase melalui aktivasi RAS. Pengurangan
produksi angiotensin, dengan menghambat enzim pengonversi angiotensin
serta memblokir reseptor angiotensin, meningkatkan ekspresi renin,
mengurangi ekspresi OPN, deposisi kristal dan memperbaiki respon
inflamasi terkait. (Khan, 2014).
10
Mitokondria umumnya merupakan sumber superoksida dan H2O2 yang
paling umum di sebagian besar sel dan jaringan. Deposisi hiperoksaluria dan
kristal CaOx pada ginjal tikus menyebabkan kerusakan mitokondria.
Pengobatan dengan taurin yang telah terbukti mencegah cedera oksidatif
mitokondria, membalikkan perubahan mitokondria pada ginjal tikus
hiperoksalurik dan menurunkan pengendapan kristal. Probe selektif, substrat
dan inhibitor menunjukkan mitokondria sebagai tempat yang signifikan dari
produksi superoksida yang diinduksi kristal CaOx dan penipisan glutathione
pada sel LLC-PK1 dan MDCK. Paparan sel LLC-PK1 terhadap oksalat
secara signifikan meningkatkan ceramides seluler, namun, pretreatment
dengan prekursor glutathione N-acetylcysteine (NAC) menghalangi
peningkatan ini. Mitokondria terisolasi merespons paparan oksalat dengan
akumulasi ROS, lipid peroksida dan protein tiol teroksidasi. Sitrat juga
terlibat dalam mempertahankan pertahanan antioksidan endogen. Pemberian
sitrat eksogen ke sel LLC-PK1 dan MDCK memperkuat pertahanan ini dan
mengurangi cedera sel yang diakibatkan oleh paparan kristal Ox dan CaOx
yang meningkat. Kehadiran sitrat dalam media kultur dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan dalam peroksidase GSH dan penurunan
produksi H2O2 dan 8-IP, yang merupakan produk akhir dari penguraian lipid
(Khan, 2014).
Kerusakan mitokondria diduga disebabkan oleh pembukaan pori
transisi permeabilitas mitokondria (mPTP). Pembukaan mPTP tergantung
11
pada aktivasi cyclophilin D dalam matriks mitokondria oleh ROS yang
dihasilkan oleh NADPH oksidase (Khan, 2014).
5. Cedera sel dan apoptosis
Paparan pada tingkat tinggi oksalat atau kristal CaOx menginduksi
cedera seluler epitel, yang merupakan faktor predisposisi pembentukan batu
berikutnya. Penumpukan kristal CaOx di ginjal meningkatkan regulasi dan
sintesis makromolekul yang dapat meningkatkan inflamasi. Kristal dapat
endositosis oleh sel atau diangkut ke interstitium. Telah disarankan bahwa
sel-sel yang terluka mengembangkan nidus yang mempromosikan retensi
partikel pada permukaan papiler ginjal. Pada individu dengan hiperoksaluria
primer yang parah, sel tubular ginjal terluka dan kristal menjadi melekat
padanya. Penambahan kristal CaOx ke garis sel MDCK menunjukkan
peningkatan pelepasan enzim lisosom, prostaglandin E2, dan enzim sitosol.
Sebuah studi pada model hewan juga mengungkapkan bahwa pemberian
kristal CaOx konsentrasi tinggi atau ion oksalat tampaknya beracun yang
menyebabkan kerusakan sel tubular ginjal. Telah dikemukakan bahwa
oksalat meningkatkan ketersediaan radikal bebas dengan menghambat
enzim yang bertanggung jawab atas degradasi mereka. Sebagai contoh,
spesies oksigen reaktif dapat merusak membran mitokondria dan
mengurangi potensi transmembrannya. Peristiwa ini dikenal sebagai fitur
proses awal dalam jalur apoptosis (Alelign dan Petros, 2018).
6. Inhibitor dan promotor batu ginjal
12
Inhibitor adalah zat yang mengurangi inisiasi jenuh, nukleasi,
pertumbuhan kristal, laju agregasi, atau proses lain yang diperlukan untuk
pembentukan batu. Biasanya, urin mengandung bahan kimia yang mencegah
pembentukan kristal. Inhibitor dalam urin meliputi anion organik kecil
seperti sitrat, anion anorganik kecil seperti pirofosfat, kation logam
multivalen seperti magnesium, atau makromolekul seperti osteopontin,
glikosaminoglikan, glikoprotein, fragmen prothrombin kidney -1, dan
protein Tamm-Horsfall. Penghambat ini tampaknya tidak bekerja sama
untuk semua orang oleh karena itu, beberapa orang membentuk batu. Tetapi,
jika kristal yang terbentuk tetap kecil, biasanya ia bergerak melalui saluran
kemih dan keluar dari tubuh dengan percikan urin tanpa diketahui. Inhibitor
dapat bertindak baik secara langsung dengan berinteraksi dengan kristal atau
secara tidak langsung dengan mempengaruhi lingkungan kemih. Ketika
senyawa penghambat menyerap ke dalam permukaan kristal, ia menghambat
nukleasi, pertumbuhan kristal, agregasi, atau kepatuhan sel kristal.
Sebaliknya, promotor adalah zat yang memfasilitasi pembentukan batu
dengan berbagai mekanisme. Beberapa promotor termasuk lipid membran
sel (fosfolipid, kolesterol, dan glikolipid), peningkatan hormon kalsitriol
melalui stimulasi hormon paratiroid (Alelign dan Petros, 2018).
Di antara pembentuk batu berulang, ekskresi oksalat urin ditemukan
lebih tinggi, sedangkan ekskresi sitrat lebih rendah. Studi menunjukkan
bahwa oksalat dapat meningkatkan reabsorpsi klorida, natrium, dan air
dalam tubulus proksimal dan mengaktifkan beberapa jalur pensinyalan
13
dalam sel epitel ginjal. Secara umum, ketidakseimbangan antara inhibitor
batu kemih dan promotor telah disarankan sebagai penyebab pembentukan
batu. Daftar zat yang umumnya dianggap menghambat atau mendorong
proses pembentukan batu ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
(Alelign dan Petros, 2018)
Gambar 2.1 Zat inhibitor dan promotor batu ginjal
2.2 Kreatinin Darah
1.1.4 Pembentukan Kreatinin
Kreatinin dengan berat 113-Da (Dalton) merupakan hasil metabolisme dari
kreatin dan fosfokreatin. Kreatin di filtrasi di glomerulus dan direabsorbsi di
14
tubular. Kreatinin disintesis oleh otot skelet sehingga kadarnya dapat bergantung
pada massa otot dan berat badan (Alfonso, et al., 2016). Menurut Malole dan
Pramono (1989), kadar kreatinin normal pada tikus adalah 0,2-0,8 mg/ dl
(Madyastuti, et al., 2012).
Penyebab peningkatan kreatinin dalam darah disebabkan oleh banyak faktor
antaranya dehidrasi, kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat
toksik pada ginjal, penyakit ginjal, hipertensi tidak terkontrol, dll (Alfonso, et al.,
2016).
Kreatin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin, dan arginin. Kreatin dari
hepar akan menuju ke otot sebagai fosfokreatin yang irreversible maupun dalam
bentuk bebas. Kreatinin sebagian besar dibuat di dalam otot melalui proses
dehidrasi non enzimatik dan fosfokreatin melepaskan fosfat anorganik (Wyss dan
Daouk, 2000). Fosforil kreatin merupakan simpanan tenaga penting bagi sintesis
ATP. ATP yang dibentuk oleh glikolisis dan fosforilasi oksidatif bereaksi dengan
kreatin membentuk ADP dan fosfsokreatin yang mengandung ikatan fosfat energi
tinggi, lebih tinggi dari ATP. Fosfokreatin dapat saling memindahkan energi
dengan ATP, Bila ATP banyak dalam sel, sebagian besar energinya digunakan
untuk mensintesis fosfokreatin, sehingga terbentuk cadangan energi. Jika ATP
mulai habis, energi dalam fosfokreatin ditransfer kembali menjadi ATP. Jadi
hubungan antara fosfokreatin dengan ATP bersifat reversible (Guyton 1994 dan
Ganong 1995). Hasil kreatinin akan menuju ke ginjal bagian glomerulus untuk
difiltrasi dan direabsorbsi oleh tubulus menuju aliran darah, serta diekskresikan
bersama urin (Wyss dan Daouk, 2000). Pada hewan normal, hasil buangan kreatin
15
adalah kreatinin yang sangat bergantung pada filtrasi glomerulus (Guyton 1994 dan
Ganong 1995).
Peningkatan kreatinin dalam darah akan merangsang pelepasan nitrit oxide
pada endotel vaskuler. Hal ini dikenal dengan fenomena vasorelaksasi yang
menyebabkan gagal ginjal (Harun dan Nurani, 2017).
1.1.5 Kadar Kreatinin sebagai Parameter Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan produk limbah kimia dalam darah yang difiltrasi
seluruhnya oleh glomerolus dan di buang bersama urine (Defriana, et al., 2015).
Kreatinin merupakan produk sampingan dari kreatin yang merupakan pemasuk
energi untuk otot. Kreatinin dibuang dari darah melalui ginjal. Jika ginjal
mengalami masalah seperti gangguan filtrasi glomerulus, nekrosis tubulus akut,
glomerulonefritis (kerusakan pada glomerulus) menyebabkan fungsi ginjal tidak
maksimal dan menurun, hal ini akan menyebabkan peningkatan kadar kreatinin
dalam darah (Oktaviani, 2016).
Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi,
konsentrasinya relatif konstan atau stabil dalam plasma dari hari ke hari. Kadar
kreatinin serum relatif tidak terpengaruh terhadap makanan, umur, jenis kelamin,
senam ataupun diet. Kreatinin difiltrasi oleh ginjal, tidak direabsorbsi, dan
disekresikan oleh tubulus proksimal. Kreatinin merupakan indeks laju filtrasi
glomerolus yang lebih cermat dibandingkan ureum karena kecepatan produksinya
terutama pada fungsi massa otot yang sedikit sekali mengalami perubahan. Pada
kondisi normal, kreatinin dijumpai dalam urin dengan konsentrasi sedikit dan
relatif konstan. Sehingga dapat dijadikan indikator yang efektif untuk menentukan
16
kerusakan pada ginjal (Oktaviani, 2016).
2.3 Rosella Hibiscus Sabdariffa L
1.1.6 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantae
Infra Kingdom : Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermathophytina
Kelas : Magnoliopsida
Anak Kelas : Rosanae
Bangsa : Malvaves
Suku : Malvaceae
Genus : Hibiscus L
Spesies : Hibiscus sabdariffa L
(Riaza dan Choprab, 2018)
Gambar 2.2
investigations on the roselle plant has been summarised that provides ascientific basis for its use as functional food and to facilitate furtherinvestigations on the therapeutic uses of this plant.
2. Origin, distribution and morphology
Hibiscus sabdariffa, with an attractive flower, is widely grown inmany developing countries. More than 300 species are distributed intropical and subtropical regions around the world [9]. They are ori-ginally native from India, to Malaysia [10] where it is commonly cul-tivated and was carried at an early date to Africa. It is also cultivated inSudan, Egypt, Nigeria, Mexico, Saudi Arabia, Taiwan, West Indies andCentral America [11,12]. In India it is widely grown by the tribal in thevillages of Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, West Bengal, Assam,Meghalaya and Andhra Pradesh [13]. It is commonly known as rosellein English speaking regions, besides it is also known as Bissap in Se-negal, Jamaica in Mexico and Spain, Congo in France, Wonjo in theGambia, Zobo in Nigeria, Karkade in Egypt, Saudi Arabia and Sudan[14–17]. In the Indian subcontinent, it is known as Indian sorrel, mesta,lal ambari, patwa, amta and amti [18,13].
Hibiscus sabdariffa belongs to the family of Malvaceae. It is an an-nual or perennial herb or woody-based sub-shrub, growing to 2–2.5mtall. The leaves are deeply 3-5 palmately lobed and 8–15 cm long, ar-ranged alternately on the smooth, cylindrical red stems [19]. Theflowers are auxiliary or terminal and 8–10 cm in diameter, white to paleyellow with a dark red spot at the base of each petal, and have a stoutfleshy calyx at the base, 1–2 cm wide, enlarging to 3–3.5 cm, fleshy andbright red as the fruit matures (Figs. 1 and 2,). It takes about six monthsto mature. Roselle is cultivated at the beginning of the rainy seasonduring mid-April and harvested for the calyces of fruits, about 3 weekstill the onset of flowering [13,18,20].
3. Uses of Hibiscus sabdariffa
Traditionally roselle is cultivated for its stem, leaves, calyces andseeds as all parts have industrial, medicinal and other applications [21].
3.1. Traditional culinary usage
The young leaves and tender stems of roselle are eaten raw in asalad or cooked alone or with meat or fish, while Sudanese cook it withonion or groundnut, eat it as green or dry it [11]. In India, the womenfolk use the tender leaves and stem for making chutney during rainy
season, eaten as salad, used as vegetable and women folk dry it for useduring off-season [13]. Seeds are rich in protein and after oil extraction,they are boiled and eaten in soups and are also used as a substitute forcoffee in Africa [9]. The seeds are fermented to produce a meat sub-stitute condiment [22]. The Chinese use the seeds for oil extraction[23].
The calyces are either frozen or dried in sun /artificially for out ofseason supply, [17].The dried calyces of roselle are utilized worldwidein the production of drinks (herbal/ice tea), jams, jellies, sauces,chutneys, wines, preserves, and a source of natural food colourant dueto the presence of anthocyanins [11,24–26]. They are also used in fruitsalads and in the preparation of syrup. These sauces or syrups are addedto the puddings, cake frosting and in ice-cream. In Africa, they arefrequently cooked as a side-dish eaten with pulverized peanuts while inPakistan, their calyces have been recommended as a source of pectin forfruit-preserving industry [9]. In West Indies and tropical America, ro-selle is primarily used for cooling lemonade like beverages made fromthe calyces and is an important drink during Christmas [27]. Lo Shen isthe processed drink, used by the Chinese [28]. In the Indian state ofMadhya Pradesh, roselle calyces are sold in the local market as in-digenous vegetables and the majority of females prepare beveragesfrom the flowers of Hibiscus sabdariffa [13].
3.2. Traditional therapeutic usage
Various parts of the roselle plant have been used in traditionalmedicine to treat colds, toothaches, urinary tract infections and hang-overs. It is claimed to be a Thai traditional medicine for kidney andurinary bladder stones [29]. However in India, traditionally the tribalutilizes roselle for curing diseases and use as ethnic food. They are usedto relieve pain in urination and indigestion and the Mexicans, tradi-tionally use the infusions of the calyces and leaves for curing hy-pertension and various other diseases [2]. The powder of dried calyx orfresh flowers is used for curing flatulence in cow, goat, and sheep. Theextract of the calyces added with common salt is beneficial to curediarrhoea and dysentery of animals and human. It is also used to curewaist pain and other gynaecological disorders in post-delivery cases[13]. The Calyx infusion (Sudan Tea) is taken to relieve coughs andremedy for biliousness [14,15,30] and are also used to lower the bodytemperature [31]. The drinks are also used to treat liver disease, fever,hypercholesterolemia, hypertension, antispasmodic and antimicrobialagent [32–34].
4. Nutritional composition
The calyces of roselle are rich in carbohydrate, dietary fibre,Fig. 1. Roselle plant at flowering stage.
Fig. 2. Fresh roselle calyces.
G. Riaz, R. Chopra
17
Morfologi Rosella 1.1.7 Persebaran
Hibiscus sabdariffa memiliki lebih dari 300 spesies yang tersebar di daerah
tropis dan non tropis. Rosella juga dapat hidup pada daerah yang lembab dan hangat
seperti daerah tropis dan sub tropis. Habitat aslinya berasal dari Nigeria, lalu
berkembang diseluruh dunia terutama di daerah tropis. Tanaman ini banyak
dibudidayakan di Eropa (Riaza dan Choprab, 2018).
Di Indonesia dikenal dengan nama gamet walanda (sunda), kasturi roriha
(ternate), Mbrambos hijau (Jawa tengah), Asam rejang ( Muara Enim), kemudian
dikenal pula rosella, asam paya, asam susur, dan lain lainnya (Riaza dan Choprab,
2018).
1.1.8 Morfologi
Hibiscus sabdariffa merupakan tumbuhan semak yang berumur satu tahun.
Memiliki batang berwarna merah dan berbulu yang dapat tumbuh hingga mencapai
2,4 m. Daun berwarna hijau berseling 3-5 helai yang bersifat anisofili (polimorfik)
dengan panjang 7,5-12,5 cm. Daun daun dibagian cabang dan ujung batang terbagi
menjadi 3 toreh. Lebar toreh daun 2,5 cm, tepi daun beringgit. Pangkal daun tumpul
hingga meruncing, sedikit berambut. Warna tulang daun kemerahan dan tangkai
daunnya berwarna hijau hingga merah dengan panjang 0,3-12 cm. Bunga tunggal,
kuncup bunga tumbuh dari bagian ketiak daun, tangkai bunga berukuran 5-20 mm.
Kelopak bunga berlekatan, tidak gugur, tetap mendukung buah berbentuk lonceng.
Mahkota bunga berbentuk telur terbalik, berwarna kuning hingga kemerahan
dengan jumlah 5 petal. Benang sari berwarna merah dengan panjang mencapi
18
20mm. Kepala sari berwarna merah, panjang tangkai 1 mm dengan dibawah kolom
pendukung benang sari terdapat putik sejumlah 5 buah, berwarna merah. Buah
kapsul berbentuk bulat telur ukuran 13-22 mm × 11-20 mm, tiap buah berisi 30-40
biji. Biji berwarna coklat kemerahan dengan biji 3-5 mm × 2-4 mm (BPOM RI,
2010).
1.1.9 Kandungan
Genus Hibiscus yang cukup popular di Indonesia adalah rosella (Hibiscus
sabdariffa). Nilai kemanfaatan rosella sangat luas baik untuk pangan dan kesehatan
sehingga potensi diverifikasi cukup besar. Bagian tanaman rosella yang memiliki
kandungan fitokimia potensial seperti alkaloid, tannin, saponin, glycoside, fenol,
dan flavonoid meliputi daun, buah, biji, batang, dan akar.
1.Daun
Daun Hibiscus sabdariffa mengandung beberapa senyawa fitokimia
yang berfungsi sebagai anti oksidan dan anti bakteri. Senyawa anti oksidan
yang terdapat dalam daun rosella antara lain asam neo klorogenat, asam
klorogenat, asam kripto klorogenat, rutin, dan isoquercitrin. Kadar senyawa
bioaktifnya yang memiliki antioksidan dan antibakteri sebagai berikut 0,23
mg/g flavonoid, 0,125 mg/g fenolik, 0,13 mg/g saponin, 0,12 mg/g alkaloid,
dan 0,17 mg/g tanin. Disamping itu kandungan nutrisi daun rosela herbal
berupa 86.2% kadar air, 1,7–3,2% protein, 1,1% lemak, 10% serat, kalsium
0,18%, dan 54 mg/100 g asam askorba (Da-Costa-Rocha, et al., 2014).
2. Buah atau kelopak
Kandungan fitokimia buah rosella herbal adalah sebagai berikut: α-
19
terpinil asetat, pektin, anisaldehid, asam askorbat, kalsium oksalat, asam
kaprilik, asam sitrat, asam asetat, etanol, asam format, asam pelargonik,
asam propionate, isopropyl alkohol, methanol, benzyl alkohol, 3-metil-1-
butanol, benzaldehid dan mineral. Disamping itu kandungan nutrisi buah
rosella herbal adalah 9,2% kadar air, 1,145% protein, 2,61% lemak, 12%
serat, 12% kalsium, 273,2 mg fosfor, dan 6,7 mg asam askorbat (Nurnasari
dan Khulud, 2017).
Kandungan fitokimia kalik buah rosella merah terdiri dari alkaloid,
flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, triterpenoid, tanin, dan saponin
(Mardiah et al. 2015). Kelompok fitokimia tersebut memiliki senyawa
bioaktif sebagai aktivitas antioksidan dan antibakteri. Menurut Setyo-Budi
dan Purwati tahun 2014 kalik rosella mengandung vitamin C yang tinggi
yakni berkisar antara 188 - 2.033,52 mg/100 g kelopak kering (Nurnasari dan
Khulud, 2017).
3. Biji
Biji rosella memiliki kandungan sterol diantaranya β-sitosterol
(61,3%), kampasterol (16,5%), kolesterol (5,1%), dan ergosterol (3,2%)
(BPOM RI, 2010). Kandungan fenolik pada tanaman rosella paling banyak
ditemukan pada biji. Hal ini dikarenakan senyawa tersebut digunakan untuk
melindungi bunga dan biji dari serangan patogen tanaman (Nurnasari dan
Khulud, 2017).
4. Batang dan akar
Bagian batang dan akar tanaman rosella mengandung banyak senyawa
20
yang sangat bermanfaat sebagai senyawa bioaktif yang memiliki aktivitas
antibakteri dan antioksidan. Pada batang rosella rata rata mengandung
0,131 mg/g flavonoid, 0,165 mg/g saponin, 0,745 mg/g alkaloid, dan 0,881
tanin. Sedangkan pada bagian akar terdapat 0,750 mg/g flavonoid, 0,107
mg/g fenolik, 0,145 mg/g saponin, 0,854 mg/g alkaloid, dan 0,187 mg/g
tanin (Nurnasari dan Khulud, 2017).
1.1.10 Kandungan Bioaktif
Kandungan utama dalam tanaman Hibiscus sabdariffa l adalah asam
organik (hydroxycitric acid dan Hibiscus acid), anthocyanins, polisakarida,
dan flavonoid (Da-Costa-Rocha, et al., 2014).
1.1.11 Manfaat dan Kegunaan
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa polifenol dan anthocyanin dalam
kalus rosella memiliki efek biologis. Calyces kering disoroti sebagai sumber
potensial molekul bioaktif yang mengerahkan aktivitas antioksidan antiradikal
kuat, tindakan anti-inflamasi, antiobesitas, antihiperlipidemi, anti-hipertensi,
penghambatan agregasi trombosit darah, diuretik, anti-urolitiasis, antimikroba,
antikanker, hepatoprotektif, antitumor, sifat imunomodulator. Penjelasan lebih
lengkapnya sebagai berikut (Riaza dan Choprab, 2018).
1. Anti-inflamasi dan antidiabetes
Memiliki aktivitas sebagai ainti inflamasi dengan persentase
penghambatan radang sebesar 31,93%. Hal ini dikarenakan rosella
mempunyai senyawa polifenol sebanyak 0,01-0,5 mg/ml, berguna
menghambat enzim santin oksidase sampai 93%. Pada mencit dengan model
21
hiperlipoposakarida, Dosis 0,5 mg/ml dapat menghambat nitrat dan produksi
PGE2 dan aktivitas iNOS protein pada makrofag sampai 20% Dosis 10-40
mg/kg dapat menurunkan perubahan patologi hati (Nurnasari dan Khulud,
2017).
Menurut Mardiah et al tahun 2015 Diabetes mellitus merupakan
penyakit akibat gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang
diakibatkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau menurunnya sensitivitas
jaringan terhadap insulin. Hal ini menyebabkan kadar gula dalam darah
meningkat. Senyawa antosianin dalam rosella dapat menurunkan kadar
glukosa darah dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin dan
menghambat enzim α-glukosidase pada lumen intestinal. Sedangkan secara
in vitro, antosianin dapat menstimulasi pelepasan insulin (Nurnasari dan
Khulud, 2017).
2. Anti-hipertensi
Pemberian teh rosella terhadap penderita hipertensi mampu
menurunkan tekanan darah melalui penghambatan ACE, mekanisme
asetilkolin dan histamin, dan efek diuretik (Nurnasari dan Khulud, 2017).
3. Antioksidan
Efek antioksidan yang jelas terlihat pada ekstrak rosella dikarenakan
adanya efek inhibisi pada aktifitas xantin oksidase, aksi proteksi terhadap t-
BHP yang dikarenakan stres oksidatif, proteksi sel dari kerusakan yang
diakibatkan peroksidasi lemak, dan lain-lain (Da-Costa-Rocha, et al.,2014).
Rosella mengandung antosianin yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih
22
besar dibandingkan dengan alfa tokoferol (vitamin E), asam askorbat, dan
beta karoten. Pada dosis 1000µg antosianin mampu menghambat efek
radikal anion superoksida hingga 70–80%. Antosianin juga mampu
menghambat NF-kB yang meregulasi respon inflamasi sehingga dapat
menurunkan stres oksidatif (Spormann, et al., 2008). Kandungan antosianin
terbanyak terdapat pada kalik rosella (Nurnasari dan Khulud, 2017).
4. Diuretik, efek urikosurik, dan hiperurisemia
Kandungan utama yang dimiliki oleh Hibiscus sabdariffa yaitu
anthocyanin, asam flavonoid dan klorogenik memiliki efek diuretik hemat
kalium, dan natriuretik selain sebagai antioksidan (Harun dan Nurani,
2017). Ekstrak aquous rosella pada dosis (500-2500 mg / kg) memiliki efek
diuretik rosella dapat dimediasi oleh pelepasan oksida nitrit bergantung
endotelium (Riaza dan Choprab, 2018).
5. Anti bakteri dan anti fungal
Ekstrak rosella dapat digunakan sebagai anti bakteri karena adanya
kandungan senyawa gossypetin dan tannin yang berperan dalam
menurunkan proliferasi bakteri dengan cara menghambat aktivitas enzim
pada metabolisme bakteri aktivitas antifungal. Ekstrak rosella herbal efektif
menyebabkan jumlah penghambatan pertumbuhan miselium dan spora
jamur, contohnya Candida albicans (Nurnasari dan Khulud, 2017).
6. Anti-karsinogenik
Dalam sebuah penelitian yang dilaporkan oleh Chewonarin et al.
Karsinogen usus seperti AOM, PhIP, dan IQ menginduksi ACF, biomarker
23
pada karsinogenesis kolon. AOM dan PhIP yang diinduksi ACF berkurang
secara signifikan sebesar 17–25% dengan pemberian rosella. Hibiscus
sabdariffa memiliki anthocyanins yang dapat memodifikasi fungsi
mitokondria dan menstimulasi kematian sel oleh autofagi dan nekrosis pada
sel MCF-7, bukan kematian sel terprogram. Hal ini membuktikan jika
anthocyanin dari Hibiscus sabdariffa l memiliki efek anti kanker dan lebih
banyak penelitian in vivo diperlukan diarea ini untuk lebih mendukung efek
anti kanker dari ekstrak antosianin rosela (Alelign dan Petros, 2018).
7. Anti urolitik
Hydroxycitric acid merupakan kandungan terbanyak ekstrak rosella
yang terdapat molekul Polyanion yang dapat melapisi kristal dan
menghambat pengikatan kristal COM ke membran sel, serta efek inhibisi
pada fase Growth di pembentukan kristal Kalsium Oksalat (Alelign dan
Petros, 2018).
8. Hepatoprotektif
Efek ini didapatkan karena adanya aktifitas anti-oksidan yang kuat
dimana efek anti-oksidan ini mengurangi kerusakan sel yang terjadi dengan
cara menurunkan stres oksidatif yang ada dan mengatasi disfungsi
mitokondria dengan cara mengurangi pengeluaran Bax dan tBid dihepar
(Da-Costa-Rocha, et al., 2014).
1.1.12 Pengaruh Ekstrak Rosella dengan Endapan CaOx
Rosella mengandung antosianin yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih
besar dibandingkan dengan alfa tokoferol (vitamin E), asam askorbat, dan beta
24
karoten. Pada dosis 1000µg antosianin mampu menghambat efek radikal anion
superoksida hingga 70–80%. Antosianin juga mampu menghambat NF-kB yang
meregulasi respon inflamasi yang dapat menurunkan kadar ROS sehingga
tertekannya proses stres oksidatif yang terjadi pada batu ginjal CaOx (Spormann,
et al., 2008). Kandungan antosianin terbanyak terdapat pada kaliks rosella
(Nurnasari dan Khulud, 2017).
Rosella mengandungan asam sitrat memiliki pengaruh inhibisi pada endapan
kristal CaOx, aktivitas inhibisi pada fase Growth dan menghambat perlekatan
COM pada epitel tubulus ginjal yang akan menyebabkan cedera sel tubular ginjal.
Sitrat dapat meningkatkan pertahanan antioksidan endogen. Pemberian sitrat
eksogen memperkuat pertahanan ini dan mengurangi cedera sel yang diakibatkan
oleh paparan kristal Ox dan CaOx yang meningkat (Alelign dan Petros, 2018).
Rosella juga mengandung flavonoid memiliki efek diuretik melalui mekanisme
menghambat aktivitas ACE yang berperan dalam pembentukan angiotensin II
(Putra, et al., 2016).
2.4 Etilen Glikol
2.4.1 Identitas dan Definisi Etilen Glikol
Etilen glikol merupakan salah satu bahan pelarut penting di dunia industri dan
salah satu material atau bahan mentah dari berbagai proses. Dalam perindustrian
minyak dan gas MEG digunakan untuk mengurangi risiko terbentuknya gas hidrat
dan transportasi hidrokarbon. Adanya gas hidrat saat produksi dapat menimbulkan
masalah keamanan yang serius hal ini dikarenakan gas hidrat memblok saluran-
saluran pipa (Wang, et al., 2013).
25
Etilen glikol termasuk salah satu tipe alkohol yang beracun. Kegunaan utama
adalah sebagai antifreeze, misalnya digunakan pada sistem pendingin ruangan (air
conditioning system). Ciri ciri dari EG yaitu tidak memiliki odor, tidak berwarna,
dan memiliki rasa yang manis. Produk ini sering ditemukan pada perlengkapan
rumah tangga (Patočka, et al., 2010).
2.4.2 Pencemaran dan Efek Klinis Etilen Glikol
Menurut WHO pada tahun 2002 etilen glikol bebas akan mengalami
degradasi oleh reaksi radikal hidroksil di atmosfer. Etilen glikol jika terpapar pada
hewan dan manusia dapat menyebabkan masalah kesehatan. Menurut Tibbitts dan
Peterson, kandungan dalam etilen glikol seharusnya ditambahkan kedalam
golongan kontaminan (Niu, et al., 2015).
Etilen glikol jika tertelan dapat menyebabkan jejas dalam tubuh. Hal ini
disebabkan karena Etilen glikol produk metabolik yang terbentuk tersebut akan
berakhir menjadi asam oksalat, dimana target utama dari etilen glikol ini adalah
ginjal. Sehingga, paparan etilen glikol dalam jumlah besar dapat menginduksi
terjadinya kerusakan pada ginjal, sistem syaraf, paru-paru, dan jantung (Patočka, et
al., 2010).
2.4.3 Interaksi Etilen Glikol dengan Ginjal
Intoksikasi etilen glikol sering terjadi di seluruh dunia (Latus, et al., 2013).
Keracunan etilen glikol pada ginjal terjadi pada 24-72 jam setelah proses menelan.
Keracunan ini disebabkan langsung oleh efek sitotoksik dari asam glikolat. Asam
oksalat berikatan dengan kalsium untuk membentuk kristal kalsium oksalat dan
terdeposit pada organ yang dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ
26
tubuh termasuk otak, jantung, ginjal, dan paru-paru. Akumulasi kalsium oksalat
pada ginjal menyebabkan kerusakan ginjal yang mengakibatkan oliguria dan
anuria serta kegagalan ginjal akut (Brent 2001)
(Patocka, et al., 2010)
Gambar 2.3 Metabolisme Etilen Glikol
Etilen glikol dalam tubuh dimetabolisme menjadi glikoaldehid dengan
katalisator enzim alkohol dehidrogenase Glikoaldehid diubah menjadi asam
glikolat, kemudian asam glikolat dimetabolisme menjadi asam glioksalat dan
akhirnya menjadi asam oksalat (Patočka, et al., 2010).
Oxalate yang bereaksi dengan kalsium membentuk kristal kalsium oksalat,
disisi lain dapat menyebabkan hipokalsemi (Song, et al., 2017). Kristal kalsium
oksalat yang terkumpul pada ginjal akan menyebabkan jejas pada sel epitel ginjal
sehingga menginduksi produksi ROS (Liu ,et al., 2018). Selain itu, glycolate yang
terakumulasi juga menyebabkan asidosis metabolik dan keracunan (Song, et al.,
2017).
2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
factured from ethylene, via intermediate ethylene oxide,which reacts with water to produce ethylene glycol.
Toxicokinetics
Dermal exposure, through activities such as changingantifreeze, is the most likely route of exposure to ethyleneglycol, but dermal exposure is not likely to lead to toxic ef-fects. On the other hand, inhalation exposure is due to lowvolatility of ethylene glycol practically excepted. Only oralexposure, through accidental or intentional ingestion, islikely to lead to such effects, and then only if a sufficientamount is swallowed at one time. Ethylene glycol is rapidlyand completely absorbed upon ingestion from the gastroin-testinal tract and achieves peak concentration within 30 to60 minutes after oral ingestion. It has a half-life of 2.5 to 4.5hours and the half-life may be extended to as long as 17hours in the presence of therapeutic blood ethanol levels(100–200 mg/dL). Ethylene glycol has a volume of distri-bution (0.54–0.8 L/kg) similar to that of total body water.Ethylene glycol is filtered by the renal glomeruli and is pas-sively reabsorbed. Approximately 20 % of ethylene glycol isis eliminated by the kidneys, but the rate of excretion throughthis route is slow, with a half-life of 18 to 20 hours (3). How-ever, major part of ethylene glycol is metabolized by the liver(80 %) with a short half-life of 3 to 8 hours and its metabo-lites are actually dangerous (8).
Ethylene glycol is toxic also for numerous animals.Sometimes there are accidental poisoning of domestic ani-mals. Cats and dogs are relative sensitive, unlike mice, ratsor guinea pigs (18, 24).
Mechanism of Toxic Action
Ethylene glycol itself has a relatively low degree of toxi-city. Its major toxicities are a result of it being transformedto toxic metabolites. The metabolism of ethylene glycol isa multi-step process taking place primarily in the liver (Fig.1). Compound is metabolised via alcohol dehydrogenase toglycolaldehyde which is subsequently metabolised to glyco-late through interaction with aldehyde dehydrogenase. Thismetabolite is mainly responsible for the metabolic acidosisin ethylene glycol poisoning. Glycolate is metabolised byvarious pathways, including one to oxalate which rapidlyprecipitates with calcium in various tissues and in the urine.Indeed glycolate may be transformed also into the safer glu-tamate or α-ketoadipic acid metabolites. Ethylene glycoltoxicity is complex and not fully understood 26) At leastfour toxic metabolites are result of ethylene glycol biotrans-formation in human body: glycoaldehyde, glycolic acid,glyoxylic acid, and oxalic acid. These metabolites cause tis-sue destruction, primarily from calcium oxalate crystal de-position, and metabolic abnormalities, specifically a highanion-gap metabolic acidosis, lactic acidosis, and hypocal-cemia (10). Oxalic acid combines with calcium to form cal-cium oxalate crystals, which deposit in the kidneys. This
can result in hypocalcemia, hematuria, proteinuria, and cry-stalluria, increased creatinine and renal failure.
Calcium oxalate crystal formation is one of the toxic ef-fects of ethylene glycol poisoning. The shape of the urinarycrystals can be prismatic and resemble hippurate ratherthan the expected dipyramidal calcium oxalate dihydrate.X-ray crystallography positively identified them as calciumoxalate monohydrate (6).
Fig. 1: Major pathway for the metabolism of ethylene gly-col in the liver. The first step in this pathway is catalyzed byalcohol dehydrogenases.
Human Poisoning and Clinical Symptoms
Ethylene glycol is toxic, and its ingestion should be con-sidered a medical emergency (28). Ethylene glycol may beswallowed accidentally, or it may be taken deliberately ina suicide attempt or as a substitute for drinking alcohol (etha-nol) (16). Misuse of ethylene glycol as excuse of alcoholdrinks is relatively frequent in certain specific communi-ties. For example, in 2005, more than 6,000 exposures toethylene glycol were reported in the U.S., resulting in 41 fa-talities (15). This document only includes reported cases,therefore the actual number of ethylene glycol exposuresmay be greater. Drinking ethylene glycol is a medical emer-gency and poisoning by this substance requires antidotaltreatment (2).
The first symptom of ethylene glycol ingestion is similarto the feeling caused by drinking alcohol 11). Within a fewhours, more toxic effects become apparent. Symptoms mayinclude nausea, vomiting, convulsions, stupor, or even coma.Ethylene glycol toxicity should be suspected in anyone who
20
27
Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai hewan
percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang dimiliki oleh tikus
sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklusi
hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi, dan mudah dalami penanganan. Tikus putih (Rattus Norvegicus) memiliki
beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis, namun demikian galur
yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah Sparaque dawley. Adapun
taksonomi tikus menurut Besselseni (2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Sub-kelas : Theria
Ordo : Rodensia
Sub-ordo : Scuirognathi
Famili : Muridae
Sub Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus Norvegicus
(Besselsen, 2004)