38
196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital Natives Berkaitan dengan berkembangnya media baru di masyarakat, Prensky (2001) mengemukakan adanya perbedaan pola pikir dan proses pengolahan informasi antara generasi pelajar saat ini dengan generasi sebelumnya. Prensky menyebut generasi pelajar saat ini dengan digital natives, generasi yang lahir ketika teknologi digital muncul di masyarakat dan terbiasa dengan media baru (Cornu, 2011; Rusadi, 2014; Wang, Myers, & Sundaram, 2013). Adanya perbedaan pola pikir dan proses pengolahan informasi sebagaimana yang disebutkan Prensky tentu saja juga berimbas pada bagaimana digital natives mengonsumsi dan menyebarkan informasi digital, khususnya berkaitan dengan fenomena hoax. Maka dari itu pada sub bab ini, peneliti akan memaparkan diskusi hasil mengenai pola konsumsi dan pembagian informasi hoax oleh digital natives. Perlu digarisbawahi bahwa proses pembagian informasi hoax ini dilakukan oleh informan tanpa sebelumnya mereka mengetahui bahwa informasi yang mereka sebarkan adalah hoax. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa digital natives yang dianggap paling canggih dan lebih paham mengenai teknologi daripada generasi sebelumnya (Williams, Crittenden, Keo, & McCarty, 2012), juga rentan terhadap hoax yang masif menyebar di media sosial. Berikut ini merupakan pemaparan diskusi hasil mengenai proses konsumsi dan pembagian informasi hoax oleh informan sebagai digital natives.

BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

196

BAB V

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital Natives

Berkaitan dengan berkembangnya media baru di masyarakat, Prensky

(2001) mengemukakan adanya perbedaan pola pikir dan proses pengolahan

informasi antara generasi pelajar saat ini dengan generasi sebelumnya. Prensky

menyebut generasi pelajar saat ini dengan digital natives, generasi yang lahir ketika

teknologi digital muncul di masyarakat dan terbiasa dengan media baru (Cornu,

2011; Rusadi, 2014; Wang, Myers, & Sundaram, 2013). Adanya perbedaan pola

pikir dan proses pengolahan informasi sebagaimana yang disebutkan Prensky tentu

saja juga berimbas pada bagaimana digital natives mengonsumsi dan menyebarkan

informasi digital, khususnya berkaitan dengan fenomena hoax. Maka dari itu pada

sub bab ini, peneliti akan memaparkan diskusi hasil mengenai pola konsumsi dan

pembagian informasi hoax oleh digital natives. Perlu digarisbawahi bahwa proses

pembagian informasi hoax ini dilakukan oleh informan tanpa sebelumnya mereka

mengetahui bahwa informasi yang mereka sebarkan adalah hoax. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa digital natives yang dianggap paling canggih dan lebih paham

mengenai teknologi daripada generasi sebelumnya (Williams, Crittenden, Keo, &

McCarty, 2012), juga rentan terhadap hoax yang masif menyebar di media sosial.

Berikut ini merupakan pemaparan diskusi hasil mengenai proses konsumsi

dan pembagian informasi hoax oleh informan sebagai digital natives.

Page 2: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

197

5.1.1 Proses Konsumsi Informasi Hoax

Pada penelitian ini, informan menerima informasi melalui feed dan grup

media sosial. Darwis menerima screen shoot buletin Al Islam pada feed facebook

nya. Screen shoot tersebut diposting oleh fanspage Kata Kita yang diikuti oleh

Darwis. Sedangkan Fadzar menerima informasi melalui feed line nya. Informasi

tersebut merupakan postingan dari Darwis sekaligus teman Fadzar, baik di

kehidupan nyata maupun di media sosial. Dapat diketahui bahwa feed di media

sosial menjadi sumber informasi bagi user, karena feed merupakan fitur yang

menampilkan informasi terbaru dari orang-orang yang terhubung dengan akun

media sosial kita (Nations & Moreau, 2017).

Selain feed, grup dapat menjadi sumber informasi di media sosial. Pada

penelitian ini Fatin dan Niko menerima informasi hoax mereka pertama kali melalui

grup pertemanan di line. Fatin menerima informasi dari grup alumni SMA nya yang

berada di UB, sedangkan Niko menerima informasi dari grup Bidikmisi UB 2013.

Grup media sosial juga menjadi sumber informasi karena fitur ini memungkinkan

anggota dalam grup untuk berinteraksi atau bertukar informasi (Nations & Moreau,

2017).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ke-empat informan tidak mencari

informasi dengan sengaja, melainkan menerima informasi dengan mudahnya dari

berbagai fitur yang ada di media sosial. Hal ini sebagaimana penelitian dari Media

Insight Project (2015) yang mengemukakan bahwa sebagian digital natives

menerima informasi tanpa sengaja. Dapat dikatakan bahwa informan termasuk

dalam digital natives dengan tipe the unattached, yaitu mereka yang cenderung

membaca informasi ketika tertarik, namun tidak aktif mencari informasi. Walau

Page 3: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

198

begitu mereka tetap mengikuti kejadian apa saja yang terjadi di dunia

(AmericanPressInstitute, 2015).

Pentina & Tarafdar (2014) menjelaskan bahwa ketika user menerima terlalu

banyak informasi melalui berbagai format yang berlebihan, hal tersebut berpotensi

menciptakan banjir informasi (information overload). Banjir informasi ini

kemudian mengarahkan perilaku user dalam mengonsumsi informasi mengingat

kita tidak bisa memproses seluruh informasi yang kita akses (Himma, 2007).

Perhatian (attention) menjadi hal penting dalam mengonsumsi informasi, terutama

di tengah banjirnya informasi. Sebagaimana pendapat Thorngate:

“Information is supposed to be that which informs, but nothing can inform without

some attentional investment ... As a result, competition for our limited attention has

grown in direct proportion to the amount of information available. Because

information has been proliferating at such an enormous rate, we have reached the

point where attention is an extremely scarce resource ...” (Himma, 2007, h.267).

Pada penelitian ini, keempat informan memiliki berbagai pemicu/stimuli yang

menarik perhatiannya sehingga mengonsumsi informasi hoax tersebut. Hasil

penelitian Pentina & Tarafdar (2014) menunjukkan bahwa komponen seperti

channel, sumber, dan spesifik konten menjadi stimuli yang menarik user untuk

mengosumsi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti ditemukan bahwa pemicu

tersebut yaitu ramainya diskusi informasi berkaitan dengan informasi tersebut dan

bentuk visual atau gambar informasi tersebut.

Prof. Shannon Rauch26 (Dhani, 2016) menyebutkan adanya gejala orang

untuk ikut berbicara pada suatu topik di media sosial agar dianggap mengerti dan

tidak terlihat ketinggalan informasi. Hal ini biasanya menjadi kecenderungan bagi

26 Prof. Shannon Rauch merupakan asisten profesor psikologi di Benedictine University di Mesa.

Page 4: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

199

informasi trending topic (Dhani, 2016). Fatin dan Niko termasuk informan yang

mengonsumsi informasi karena ramainya diskusi di media sosial berkaitan dengan

informasi hoax yang diterima. Perhatian Fatin bermula dari banyaknya notifikasi

yang muncul pada line nya. Notifikasi tersebut muncul dari grup alumni SMA

Balaraja UB. Hal ini kemudian menarik perhatian Fatin untuk membuka grup

tersebut. Setelah membuka grup, Fatin membaca komentar dari anggota grup yang

lain. Komentar seperti “astaghfirulah” atau “ih kejam amat” membuat Fatin

semakin penasaran dengan informasi yang Ia terima. Kemudian Ia membuka

informasi hoax tersebut yang berupa gambar. Kemudian membaca tulisan pada foto

tersebut.

“Itu karena memang Aku orangnya sering bukain chat kan karena Aku gak suka

banyak notif. Makanya grup-grup, Aku gak merhatiin dia deket atau enggak juga sih.

Maksudku yaa notif yang terbanyak ada, itu baru Aku buka. Jadi kalau misalnya, kan

pasti notif yang terbanyak pasti itu paling atas gitu kan, ya itu Aku buka.” (Fatin,

komunikasi personal, 23 Oktober 2017).

Sama halnya dengan Fatin, Niko membaca informasi tersebut karena ramai

dibahas di grup-grup media sosialnya. Ia membuka chat yang paling atas dan paling

ramai yaitu grup chat dari grup Bidikmisi UB 2013. Kemudian Niko membaca

skimming27 komentar yang ada pada grup tersebut dan membaca informasi pokok;

seperti berita online yang membahas mengenai pembunuhan bayi oleh mahasiswi

UB di dalam kamar kos nya, informasi broadcast dengan sumber facebook

mengenai kronologi kejadian dan identitas pelaku secara lengkap serta informasi

berupa screen shoot percakapan antara Alif (teman PWA, mahasiswi FPIK UB

yang menjadi pelaku dalam kasus tersebut) dan seseorang yang tidak diketahui

27 Membaca skimming adalah membaca suatu teks untuk mencari ide utama atau gagasan pokok

suatu paragraf atau alinea atau suatu teks bacaan.

Page 5: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

200

identitasnya. Screen shoot yang ternyata adalah informasi hoax dikirim oleh S,

anggota grup Bidikmisi UB 2013 sekaligus mahasiswi FPIK.

“Itu ngirim BC-an, habis itu kan kita tanya ya, beneran a itu? Beneran a? Beneran?

Terus akhirnya ada yang ngirim dari berita-berita online kayak misale Malang Today

apa berita-berita online yang cepet gitu. Habis itu ada yang dari fakultas sana, dari

FPIK dia bilang. Itu hoax, itu hoax, buktinya itu tadi screen shoot an.” (Niko,

komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Perilaku kedua informan menunjukkan bahwa keduanya tidak ingin tertinggal

atas informasi yang ramai dibicarakan oleh orang lain. Dapat dikatakan pula bahwa

jenis informasi yang dikonsumsi oleh Fatin dan Niko adalah informasi viral karena

jenis informasi yang dikonsumsi menyebar secara cepat dalam suatu komunitas

melalui electronic word of mouth (Guerini, Strapparava, & O¨ zbal, 2011).

Visualisasi informasi juga menjadi pemicu pertama informan dalam

mengonsumsi informasi. Sebagaimana pendapat Prensky (2001), digital natives

cenderung lebih menyukai grafis daripada teks. Begitu hal nya dengan Fadzar dan

Darwis, keduanya tertarik pada gambar buletin Al Islam yang memuat gambar

wajah Anies Baswedan. Kemudian mereka mencerna tulisan yang ada pada tulisan

buletin tersebut. Hal ini menunjukkan kekuatan visual bagi digital natives. Menurut

Martin (2008) gambar visual selalu menjadi media yang kuat untuk

menginterpretasikan informai dan memaknai komunikasi.

Menurut Cabell, orang di media sosial seringkali tak lagi membaca konten,

melainkan hanya membaca judul yang dianggap benar (Dhani, 2016). Berbeda

dengan hasil penelitian ini, ke-empat informan membaca hingga habis tulisan yang

ada pada informasi tersebut. Hal tersebut dapat dipahami mengingat informasi hoax

yang mereka terima semua dalam bentuk gambar dengan adanya tulisan singkat

pada gambar tersebut. Ke-empat informan membaca hingga habis tulisan yang ada

Page 6: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

201

pada gambar tersebut untuk memahami konteks informasi. Sebagaimana penuturan

Fatin:

“Biar tahu isinya. Biasanya kan kalau kita baca beritanya, biar paham kok bisa

menarik gitu kan. Artis atau apa. Terus bahkan ada orang yang ini, gambarnya mana

biar semakin menarik beritanya, gimana ya kayak gitu kan kadang kepuasannya gak

dapet.” (Fatin, komunikasi personal, 23 Oktober 2017).

Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa nilai berita menjadi daya tarik

user dalam mengonsumsi informasi di media sosial. Sebagaimana Fatin membaca

informasi hoax yang dia terima karena informasi tersebut unik dan tidak pernah ada

sebelumnya. Keunikan atau hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya, memiliki

nilai berita keluarbiasaan (Mondry, 2008). Senada dengan hasil penelitian Rudat,

Buder & Hesse (dalam Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015) menunjukkan bahwa

konten dengan nilai berita yang tinggi seperti kontroversi, relevansi, atau

keluarbiasaan memiliki kecenderungan lebih sering dibagi.

Apabila Fatin tertarik untuk mengonsumsi informasi karena keunikannya,

pengalaman Niko menunjukkan bahwa kedekatan informasi dengan user menjadi

daya tarik untuk mengonsumsi informasi mengenai kasus PWA. Pada saat itu, kasus

PWA baru saja terjadi dan hangat dibicarakan oleh warganet28 di lingkungan

kampusnya. Kedekatan Niko dengan kasus, yaitu kesamaan latar belakang sebagai

mahasiswa Universitas Brawijaya, menjadikan informasi ini menarik pehatian.

Informasi yang hangat dibicarakan dan memiliki kedekatan dengan user juga

menjadi nilai berita yang menarik perhatian user untuk mengonsumsi suatu

informasi (Mondry, 2008).

28 Warganet merupakan akronim dari warga internet yang merujuk pada pengguna teknologi

internet (Diakses pada tanggal 20 November 2017 dari

http://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/19441601/warganet-dan-netizen-kini-sudah-masuk-

kbbi-v-daring).

Page 7: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

202

Berbeda dengan kedua informan sebelumnya. Fadzar dan Darwis tertarik

untuk mengonsumsi karena subjek yang diinformasikan (HTI). Selain itu konteks

politik Pilkada DKI yang ramai diperbincangkan juga menjadi pemicu untuk

mengonsumsi informasi ini. Hal ini senada dengan hasil penelitian Boczkowski dan

Mitchelsein yang menunjukkan bahwa konten informasi cenderung menyebar lebih

cepat karena adanya faktor eksternal seperti meningkatnya intensitas aktivitas

politik (Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan, peneliti

menemukan bahwa konsumsi dan pembagian informasi hoax tidak lepas dari

penilaian/interpretasi informan terhadap informasi yang diterima. Pada penelitian

ini, ke-empat informan tidak mempertimbangkan kebenaran informasi yang

diterima karena pengalaman (field of experience), pengetahuan yang dimiliki,

prasangka, dan kredibilitas sumber informasi.

Mulyana (2014, h.116) menyebutkan setidaknya terdapat dua sistem dasar

yang beroperasi dalam transaksi komunikasi, yaitu sistem internal dan sistem

eksternal. Termasuk di dalam sistem internal adalah pengalaman (field of

experience) (Mulyana, 2014). Pada penelitian ini, ketika mengonsumsi informasi

mengenai sayembara pernikahan, Fatin tidak mempertimbangkan kebenaran dan

melakukan kroscek ulang karena pengalaman yang pernah Ia alami. Sebelumnya

Fatin pernah mengonsumsi berita lokal seperti informasi tersebut. Kemudian Ia

mencari ulang melalui google namun informasi yang ditemukan simpang siur.

Tidak ada kesamaan informasi antar media. Fatin kemudian menilai bahwa

informasi sedemikian rupa, dengan level lokal cenderung simpang siur

Page 8: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

203

informasinya. Selain itu, Fatin juga mempertimbangkan “nilai” keunikan informasi

sebagai hal yang wajar di dunia nyata. Sehingga Ia cenderung percaya dan tidak

berusaha untuk menggali kebenaran informasi tersebut.

Metzger, Hartsell, & Flanagin (2015) menjelaskan bahwa kredibilitas

informasi dapat dievaluasi melalui medium, sumber, dan level pesan (seperti cerita

berita). Pada penelitian ini, Niko menilai kredibilitas informasi melalui sumber

informasi. Niko menilai kredibilitas informasi tinggi dari bukti screen shoot

percakapan Alif yang merupakan teman PWA. Di samping itu, sosok ‘S’ selaku

anggota dari grup Bidikmisi UB 2013 yang berlatar belakang sama dengan PWA

mengatakan bahwa bukti screen shoot tersebut merupakan bukti kuat yang

menginformasikan kebenaran kasus tersebut.

“Karena dari temannya. Meskipun di berita simpang siur bahwa Prive pelakunya yaa,

tapi muncul screen shoot-an itu dari temannya.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli

2017)

“Kan gak cuman screen shoot, tapi si ngirim (S, anggota Bidikmisi UB 2013) screen

shoot juga bikin statement lek screen shoot iku sebagai bukti kalau ya itu fakta waktu

itu.” (Niko, komunikasi personal, 28 Juli 2017)

Berbeda dengan kedua informan sebelumnya, Fadzar dan Darwis menilai

bahwa informasi tersebut benar adanya berdasarkan pengetahuan mereka

sebelumnya mengenai pergerakan HTI. Menurut Yates (2016), berita bohong

yang memainkan prasangka cenderung disukai. Dapat diketahui bahwa hoax

buletin Al Islam ini memainkan prasangkan Fadzar dan Darwis. Prasangka

tersebut berkaitan dengan adanya ketidakonsistenan HTI pada sistem khilafah

dengan turut serta mendukung Anies Baswedan pada Pilkada DKI.

Boczkowski dan Mitchelstein mengemukakan bahwa faktor eksternal turut

memengaruhi pembagian konten berita. Hasil penelitian mereka menemukan

Page 9: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

204

bahwa selama periode berlangsungnya aktivitas politik, konten informasi publik

cenderung lebih sering dibagi daripada non-informasi publik (seperti hiburan,

olahraga atau kriminal) (Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015). Pada penelitian

ini, ditemukan pula kuatnya faktor eksternal sebagai motif mengonsumsi dan

membagi informasi. Sebagaimana Fadzar dan Darwis yang mengonsumsi dan

menyebarkan informasi hoax mengenai buletin Al Islam, keduanya menjelaskan

bahwa ramainya Pilkada Gubernur DKI 2017 turut mendorong mereka untuk

mengonsumsi dan menyebarkan informasi hoax tersebut.

“Concern ke konten karena memang situasinya politik yang sangat panas di Jakarta.

Tapi bisa saja kalau gak ada Jakarta itu saya gak terlalu ini lah. Paling sekilas aja.

Karena memang faktor situasi menentukan kan dan HTI juga ambil bagian di situ.

Makanya saya waduh, kebetulan saya juga seneng ngikutin politik di Pilkada itu.

Makanya itu juga jadi faktor yang sangat menentukan.” (Darwis, komunikasi

personal, 24 Oktober 2017).

“Aku langsung percaya soalnya pilgub Jakarta kan lagi panas-panasnya. Kan kesel ya.

Karena orang HTI kan muslim juga. Dia buka jalan yang menurutnya bagus tapi

sebenernya enggak bagi yang lain. Makanya hoax yang kemaren itu menurutku bisa

saja dilakukan oleh orang-orang HTI.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personnal, 26 Juli

2017).

Berdasarkan interpretasi tersebut, ke-empat informan memercayai bahwa

informasi yang mereka terima benar adanya. Bahkan mereka tidak memikirkan

benar tidaknya informasi terlebih dahulu. Hal ini kemudian mengarahkan informan

pada proses berikutnya yaitu membagi informasi.

5.1.2 Proses Berbagi Informasi Hoax

Ke-empat informan membagi informasi karena berbagai alasan yaitu

bertujuan untuk menginformasikan, sebagai bahan pembicaraan orang lain, adanya

perasaan senang, maupun karena sisi emosional. Karakteristik dari digital natives

juga nampak menjadi hal yang memengaruhi bagaimana informan membagi

informasi hoax tanpa mengetahui bahwa informasi tersebut adalah hoax.

Page 10: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

205

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perasaan senang sebagai penyebar

pertama informasi. Senada dengan penjelasan Loh dan Kanai, kebiasaan baru

digital natives mengubah proses penghargaan yang ada yang berdasarkan pada

aktivitas di media sosial seperti jumlah likes pada facebook dan sebagainya. Adanya

perubahan penghargaan ini dikarenakan kebiasaan para digital natives yang tidak

bisa lepas dari internet (Loh & Kanai, 2015). Berdasarkan penuturan Fatin, saat ini

update informasi terbaru menjadi hal yang penting. Oleh karenanya Ia merasa

bangga ketika dapat menjadi penyebar informasi pertama.

“Iya ada perasaan kayak bangga diri, gua kayak influencer pertama yang pertama kali

ngasih. Pertama kali ngaruhin, pertama kali yang tau beritanya. Ada perasaan bangga

sendiri gitu lho karena beda sama baru pertama kali Aku nyebar sama ada yang bilang,

ealah itu berita lama. Aku langsung kayak percaya dirinya gimana gitu. Ternyata udah

ada yang tahu duluan padahal, apa gua yang gaptek gitu. Karena jama sekarang orang

gak update mah apaan sih. Jadinya kayak gitu kan keren.” (Fatin, komunikasi

personal, 23 Oktober 2017).

Sisi emosional juga turut memengaruhi proses membagi informasi

informan. Sebagaimana hasil penelitian Berger yang menemukan bahwa

munculnya sisi emosional meningkatkan tendensi user untuk membagi informasi

(Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015), baik dari segi kuantitas maupun kecepatan

(Stieglitz & Dang-Xuan, 2013). Pada penelitian ini, Fadzar merasa terkesan dengan

buletin Al Islam yang dia terima. Terdapat rasa kesal yang muncul setelah

menerima informasi hoax tersebut karena menurutnya informasi tersebut dapat

merugikan Anies, calon gubernur yang didukung oleh Fadzar.

“Habis itu malem Aku bener-bener udah kesel dalam artian, kalau gini caranya, kalau

pake isu ini gak menang Anies – Sandi. Susah.” (Fadzar Firdaus, komunikasi

personal, 22 Juni 2017).

Selain itu, informasi yang dia terima juga berkaitan dengan HTI. Sebelumnya

Fadzar telah memiliki penilaian-penilaian terhadap HTI dan penilaian tersebut

Page 11: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

206

berbentuk kritik atas sikap mereka dalam menyebarkan ideologi. Forgas (dalam

Stieglitz & Dang-Xuan, 2013) menyebutkan bahwa emosi muncul untuk

memengaruhi apa yang diperhatikan, apa yang dipelajari, apa yang diingat, dan

pada akhirnya segala jenis penilaian dan keputusan yang kita buat.

Hasil penelitian Kümpel, Karnowski, & Keyling (2015) menunjukkan

bahwa menginformasikan hal penting dan berpartisipasi aktif dalam aliran berita

menjadi motif sentral seseorang dalam membagi informasi. Hal ini senada dengan

pengalaman Niko. Ia membagi informasi karena ingin menginformasikan kepada

temannya informasi terbaru sebagai perkembangan dari kasus yang diikuti oleh

mereka. “Karena di grup-grup ku yang lain kan belum ngerti kalau misalkan Prive

sebagai pelakunya itu hoax.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Pada penelitian ini informasi hoax yang diterima dan dibagi oleh informan

tersebar luas dari user satu ke user yang lain. Hal ini dapat dilihat sebagaimana

pengalaman yang dimiliki oleh informan. Darwis menerima informasi dari

fanspage Kata Kita yang memosting informasi secara publik pada facebooknya,

kemudian Darwis membagi pada feed line nya yang kemudian dibagi ulang oleh

Fadzar pada feed line nya. Proses komunikasi ini menunjukkan mass-self

communication yang berpotensi meraih audiens secara luas (Castells, 2007;

Nechita, 2012). Jika dirunut lebih lanjut, informasi hoax berpotensi tersebar meluas

mengingat jumlah pengikut fanspage Kata Kita mencapai 662.235 (hingga

November 2017), kemudian informasi dibagi lagi secara publik pada platform yang

berbeda oleh Darwis sehingga teman line Darwis berpotensi terekspos informasi

ini, begitu pula dengan teman line Fadzar.

Page 12: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

207

Tidak menutup kemungkinan, informasi yang dibagi kepada grup-grup di

media sosial juga mampu meraih audiens yang luas karena informasi dibagi dari

satu ke banyak (one to many) seperti halnya media massa (Castells, 2007).

Pengalaman Fatin dan Niko menunjukkan adanya proses pendistribusian informasi

dari satu ke banyak. Fatin membagi informasi pada beberapa grup media sosial

yang Ia kenal dan merasa ‘klik’ di dalamnya. “Terus aku sebarin itu ke banyak grup

serius....” (Fatin, komunikasi personal, 06 Mei 2017). Begitu pula dengan Niko

yang menyebarkan informasi kepada tiga grup line nya. “Itu sudah menyebar ke

semua grup kemudian Aku men-share nya ke grup-grup ku yang juga pada waktu

itu kontroversial...” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Proses pendistribusian informasi hoax di media sosial dengan bentuk mass-

self communication sebagaimana pengalaman ke-empat informan, memudahkan

hoax tersebar luas dengan mudahnya. Pendistribusian antar platform yang berbeda,

seperti pengalaman Darwis dari facebook kemudian disebar pada line semakin

membuat hoax tersebar luas karena setiap platform media sosial memiliki

segmentasinya sendiri-sendiri. Sebagaimana menurut Kress (dalam Jenkins dkk,

2006, h. 47), “each medium has its own affordances, its own systems of

representation, its own strategies for producing and organizing knowledge.”

Castells (2007) mengemukakan bahwa tujuan komunikasi menentukan

bagaimana informasi dibagi secara umum (feed) atau khusus (personal chat, direct

message dan sebagainya) kepada komunikan. Pada penelitian ini, informan

membagi infomasi hoax melalui dua cara yaitu membagi pada feed dan grup media

sosial. Fadzar dan Darwis membagi informasi karena ingin melakukan diskusi

Page 13: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

208

sekaligus mengetahui pendapat orang lain berkaitan dengan topik hoax tersebut,

sehingga membagi melalui feed lebih relevan untuk mencapai tujuan tersebut.

“Kalau nyebar di grup-grup kayaknya enggak sih, cuman ngepost. Soalnya gini kalau

ngepost di line itu terukur gitu, siapa yang tertarik. Soalnya media sekarang kan, orang

paling gampang buka line ya.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).

“...Akhirnya saya posting di timeline ku siapa tau, ada yang nanggapi gitu kan. Kan

bisa diskusi dan sebagainya karena kan menarik juga.” (Darwis, komunikasi personal,

24 Oktober 2017).

Berbeda dengan kedua informan sebelumnya, Fatin dan Niko membagi

informasi hoax pada grup-grup di media sosialnya dengan tujuan yang berbeda dan

lebih spesifik. Fatin membagi informasi tersebut untuk menginformasikan,

membuka suatu obrolan atau diskusi melalui informasi tersebut, serta untuk

mencapai perasaan bangga sebagai orang pertama yang menyebarkan informasi.

Tujuan ini kemudian mengarahkan Fatin untuk membagi informasi pada grup-grup

media sosialnya. Secara khusus Fatin memilih grup-grup yang Ia kenal dan klik

karena pembahasan atas suatu informasi cenderung menyenangkan.

“Iya ada perasaan kayak bangga diri, gua kayak influencer pertama yang pertama kali

ngasih. Pertama kali ngaruhin, pertama kali yang tau beritanya. Ada perasaan bangga

sendiri gitu lho karena beda sama baru pertama kali Aku nyebar sama ada yang bilang,

ealah itu berita lama. Aku langsung kayak percaya dirinya gimana gitu. Ternyata udah

ada yang tahu duluan padahal, apa gua yang gaptek gitu. Karena jaman sekarang orang

gak update mah apaan sih. Jadinya kayak gitu kan keren.” (Fatin, komunikasi

personal, 23 Oktober 2017).

“Aku pilih yang Aku kenal. Kayak LKM, grup angkatan, ada sih yang kayak personal

group. Lebih ke temen yang orang-orangnya banyak aja.” (Fatin, komunikasi

personal, 13 September 2017)

(memilih grup yang dikenal karena) “Karna pasti bahasannya seru wkwk.” (Fatin,

komunikasi personal, 13 September 2017).

Apabila Fatin memiliki beberapa tujuan khusus, Niko cenderung membagi pada

grup nya karena ingin menginformasikan perkembangan kasus terbaru kepada

teman-teman dekatnya yang mengikuti kasus tersebut.

“Itu sudah menyebar ke semua grup kemudian Aku men-share nya ke grup-grup ku

yang juga pada waktu itu kontroversial. Bukan kontroversial ya, yang apa ya.

Page 14: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

209

Menyaksikan kejadian itu. Berharap semua jelas seperti itu. Ternyata yang benar

adalah berita di internet.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Proses membagi informasi sebagaimana yang dilakukan oleh ke-empat

informan menunjukkan peran informan sebagai prosumers yaitu konsumen

sekaligus produsen (Lin, Li, Deng, & Lee, 2013; Nechita, 2012). Karakteristik

multimodal yang ada pada mass-self communication, memungkinkan user untuk

memproduksi dan mendistribusikan pesan dalam berbagai bentuk (Castells, 2007).

Sebagaimana hasil penelitian ini, ke-empat informan merupakan prosumers. Ke-

empatnya termasuk multimodal karena dapat mendistribusikan informasi secara

gratis melalui media sosial. Mereka juga dapat mengubah atau menambah konten

dengan fasilitas yang ada pada media sosial. Seperti hal nya Fadzar, Darwis, atau

Niko. Ketiganya dapat dengan mudah menambahkan pendapat mereka terhadap

informasi hoax yang dibagi dengan fasilitas yang ada.

Proses membagi informasi hoax ini dapat pula dikatakan sebagai user-

generated content karena konten dapat dipublikasikan di internet, merefleksikan

kreativitas, dan dibuat oleh seseorang di luar praktisi atau pekerja profesional di

bidangnya (MacKinnon, 2012). Ke-empat informan mempublikasikan informasi

tersebut pada media sosial line dengan akses internet. Mereka merupakan pihak di

luar praktisi atau pekerja profesional berkaitan dengan topik informasi tersebut

mengingat saat ini mereka masih berstatus mahasiswa dan belum atau tidak sedang

terjun menjadi praktisi / pekerja profesional. Selain itu konten juga merefleksikan

kreativitas informan karena ketika membagi informasi hoax, Fadzar atau Darwis

turut serta mengungkapkan opini nya.

Page 15: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

210

5.1.3 Proses Mengetahui Kepastian Kebenaran Informasi Hoax

Ke-empat informan mengetahui kebenaran informasi melalui klarifikasi dari

user lain dan membaca sumber informasi lain yang dianggap lebih kredibel. Fadzar

dan Fatin mengetahui kebenaran informasi melalui klarifikasi dari penerima

informasinya. Keduanya memercayai klarifikasi informasi tersebut karena bukti

yang diberikan oleh teman nya berasal dari sumber yang terpercaya. Sebagaimana

menurut Metzger, Hartsell, & Flanagin (2015) kredibilitas dapat dilihat berdasarkan

sumber terpercaya seperti orang kemampuan sumber dalam mendiskusikan topik

informasi. Pada pengalaman Fadzar, kebenaran infomasi berupa screen shoot

klarifikasi dari akun twitter jubir HTI, yaitu Ustad Ismail Yuswanto. Fadzar lebih

memercayai klarifikasi ini daripada informasi hoax yang dia terima karena Ustad

Ismail Yuswanto merupakan pihak dari HTI sehingga memiliki tingkat kredibilitas

tinggi.

Sama halnya dengan Fadzar, baik Fatin maupun Niko memercayai kebenaran

klarifikasi berita karena adanya sumber terpercaya. Fatin yang menerima klarifikasi

dari temannya berupa link berita memercayai berita tersebut karena kesaksian

langsung dari pihak atau korban.

“Karena itu gini, karena anak-anak di grup angkatan Aku itu yaa kalau ngirim pasti

kayak ada sumbernya. Entah itu dari berita mana atau apa. Waktu itu kayak berita gitu

lho. Di berita itu, Aku buka jadi pihak keluarga juga ngerasa dirugikan banget sama

pihak yang bikin gituan. Padahal mereka gak kenapa-napa.” (Fatin, komunikasi

personal, 23 Oktober 2017)

Sedangkan Niko memercayai sumber dari media cetak karena adanya kutipan

wawancara dengan pihak Kapolres. Kutipan wawancara ini menurut Niko kredibel

karena kapolres merupakan pihak yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan

kasus ini (Metzger, Hartsell, & Flanagin, 2015).

Page 16: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

211

Selain sumber informasi, media juga dapat menentukan kredibilitas

informasi (Metzger, Hartsell, & Flanagin, 2015). Sebagaimana dengan pengalaman

Niko, Ia mengetahui kebenaran informasi ketika secara tidak sengaja membaca

koran Radar Malang. Di samping adanya kutipan Radar Malang, Niko lebih

memercayai media cetak ketimbang berita pada media online karena menurut

pengetahuannya, media cetak sekelas Radar Malang memiliki proses verifikasi

sebelum berita diterbitkan.

“...berbalik karena Aku juga sempat ngomong kalau berita-berita kayak di Radar

Malang itu, mereka untuk bisa naik cetak itu ada proses yang panjang. Misalkan kayak

masuk ke redaktur. Kan Aku dulu pernah ikut School Journalistrip, jadi itu macem

satu hari satu malem itu kita seolah-olah jadi wartawan. Aku juga ngelihat cara berita

itu dibuat. Kemudian berita itu naik didesain. Sebelum itu masuk ke redaktur dulu

kan. Di redaktur itu dicek, verifikasi dan sebagainya. Kemudian Aku jadi mikir. Lho

ini lho Radar Malang udah sampe ke situ, dan di sini muncul nama Prive yang

sebelumnya kita putuskan di grup kalau itu hoax. Bukan Prive. Kemudian muncul lagi

konspirasi, iki sopo sing bener? Tapi terus pas iku sudah gak hangat lagi beritanya.

Ya wes sekedar gitu aja. Terus semakin hari ternyata beneran Prive.” (Niko,

komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Apabila ketiga informan memercayai informasi klarifikasi tersebut, berbeda

dengan informan Darwis. Ketika Ia membaca klarifikasi Ustad Ismail Yuswanto di

twitter, Darwis tetap bersikukuh. Hal ini dikarenakan pandangannya yang kuat

bahwa HTI mampu melakukan hal seperti itu.

5. 2 Selective Exposure dalam Mengonsumsi dan Membagi Informasi

Hoax

Kehadiran media sosial sebagai salah satu komponen web 2.0, memudahkan

user untuk saling bertukar, bahkan menciptakan informasi (Darwish & Lakhtaria,

2011). Fitur-fitur yang ada di media sosial juga semakin memudahkan user untuk

saling bertukar informasi. Akibatnya arus informasi berjalan begitu cepat. Setiap

menit, bahkan setiap detik terdapat banyak informasi baru yang bisa dikonsumsi.

Fadzar menilai bahwa informasi di media sosial saat ini sudah tidak terkendali.

Page 17: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

212

Siapapun yang memiliki akses internet dapat dengan mudah mengonsumsi maupun

memproduksi informasi digital, terutama melalui media sosial. Berbeda sekali

ketika awal internet muncul, hanya beberapa pihak yang dapat memproduksi

informasi. “Sekarang itu Aku kira mungkin itu terjadi gak kepada beberapa pihak

tapi semua pihak yang berkaitan dengan internet,” (Fadzar Firdaus, komunikasi

personal, 26 Mei 2017).

Pada akhirnya, muncul lah banjir informasi yang ada di media sosial. Namun

user tidak serta merta harus mengonsumsi semua informasi tersebut. User dapat

dengan aktif memilih informasi mana yang ingin dikonsumsi. Sears dan Freedman

kemudian mengembangkan teori selective exposure yang menjelaskan perilaku

manusia dalam memilih informasi sesuai dengan preferensinya (Merakou, 2012).

Keempat informan cenderung memilih informasi sesuai dengan preferensi

masing-masing. Fadzar dan Darwis cenderung membaca informasi yang berkaitan

dengan politik dan agama. Fatin lebih menyukai informasi yang ringan seperti

dunia selebritis atau gaya hidup. Sedangkan Niko lebih menyukai informasi yang

sensasional. Walaupun keempatnya menyeleksi informasi sesuai preferensinya,

mereka tidak terhindarkan dari informasi hoax yang masif di media sosial.

Pada teori selective exposure dijelaskan bahwa orang cenderung mencari

informasi yang sesuai dengan pandangan praduga serta menghindari informasi yang

kontradiktif dengan kepercayaan sebelumnya (Bobok, 2016; Merakou, 2012;

Nyhan & Reifler, 2012). Ketika menerima informasi hoax mengenai buletin Al

Islam, baik Darwis maupun Fadzar menerima informasi tersebut dengan baik.

Keduanya memiliki pandangan yang sama terhadap konten buletin tersebut. Fadzar

Page 18: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

213

dan Darwis termasuk pihak yang kontra terhadap pergerakan HTI. Selama ini

Fadzar memandang bahwa HTI merupakan ormas yang keras terhadap akidah dan

pemikiran, salah satunya adalah sistem khilafah. Fadzar menilai bahwa selama ini

pergerakan HTI tidak cantik. Hal ini kemudian mendorong Fadzar untuk

menuliskan kritik ilmiah terhadap HTI melalui tugas akhirnya. Darwis tidak setuju

terhadap HTI karena pemikiran mereka terkait sistem khilafah dan mengafirkan

demokrasi atau pancasila. Darwis merupakan orang yang menjunjung tinggi

nasionalisme. Latar belakang NU yang dia miliki juga menambah perspektifnya

tentang Islam nusantara, hal yang berbeda dengan apa yang diusung HTI selama

ini. Pandangan ini lah yang membentuk sikap mereka ketika menerima informasi

hoax mengenai buletin HTI.

Adanya buletin tersebut semakin menguatkan pandangan mereka terhadap

pergerakan HTI sebagai ormas yang tidak konsisten. Hal ini senada dengan

penjelasan Merakou (2012) bahwa user memiliki kecenderungan untuk menerpa

diri dengan informasi yang sesuai dengan opini mereka. “One’s tendency for

exposure to like-minded opinions is reversely connected to the amount of

confidence he or she has in his or her original opinion,” (Merakou, 2012, h.10).

Dapat dikatakan bahwa telah terjadi konfirmasi bias ketika Fadzar dan Darwis

mengonsumsi informasi tersebut.

Nyhan & Reifler (2012) menjelaskan bahwa bias lebih mudah terjadi kepada

individu yang memiliki kecenderungan politik tertentu atau individu yang memiliki

keterkaitan kuat dengan isu yang diangkat. Darwis termasuk individu dengan

kecenderungan politik yang kuat. Ia terafiliasi dengan ormas NU. Menurut Darwis

Page 19: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

214

NU merupakan formulasi yang tepat untuk Indonesia karena dapat menyatukan

nasionalisme dengan keIslaman. Darwis juga menerapkan nilai yang ada pada NU

seperti mengambil jalan tengah dalam bersikap. Darwis juga cenderung sebagai

pribadi yang nasionalis. Hal ini berbeda sekali dengan HTI yang mengusung sistem

khilafah.

“...Mereka kan salah satunya saya tolak gitu karena saya tidak setuju. Mereka kan

menganggap Indonesia itu demokrasi atau pancasila itu bukan Islam atau kafir lah

istilahnya kayak gitu lah intinya. Tapi menurut saya kan enggak kan....” (Darwis,

komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Perbedaan pandangan inilah yang memunculkan konfirmasi bias ketika menerima

informasi hoax mengenai buletin Al Islam.

Tidak jauh berbeda dengan Darwis, Fadzar juga memiliki kecenderungan

pandangan yang kuat dan keterikatan dengan isu yang diangkat. Fadzar termasuk

orang yang kontra dengan cara-cara yang digunakan HTI dalam menyebarkan

pandangannya. Ia juga termasuk pendukung dari Anies-Sandi dalam Pilkada DKI

2017. Menurut pemikirannya saat itu, bentuk dukungan HTI terhadap Anies-Sandi

sebagaimana isi buletin Al Islam hoax akan membuat Anies-Sandi kalah.

“Aku percaya kalau HT akan melakukan hal itu. Jadi Aku bilang HT itu kadang

manuvernya gak diduga-duga tapi ngeselin. Kadang sebenernya dia ingin

memenangkan tapi secara politis itu akan merugikan apa yang didukung.” (Fadzar

Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).

Hal ini kemudian memunculkan konfirmasi bias.

Berdasarkan pengalaman Fadzar dan Darwis, ketika mereka menerima

informasi hoax buletin Al Islam, informasi ini telah memperkuat opini mereka

mengenai pergerakan HTI. Adanya penguatan ini kemudian memunculkan

perasaan positif. Sebagaimana penjelasan Garret (dalam Merakou, 2012, h.10), “

People experience positive feelings when presented with information that confirms

Page 20: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

215

their decisions.” Perasaan positif ini kemudian mengarahkan Fadzar dan Darwis

untuk membagi informasi sekaligus mengungkapkan opini mereka. Ketika

membagi informasi, keduanya juga menambahkan opini sehingga dapat

disimpulkan bahwa informasi ini menjadi penguat dari opini mereka. Senada

dengan penjelasan Festinger (dalam Bobok, 2016, h.7), “...while supporting views

increase individual’s confidence in preexisting attitudes and decisions.”

Selain konten informasi, sumber informasi juga memengaruhi keputusan

Darwis dalam membagi informasi. Merakou (2012) mengemukakan bahwa

individu dengan kecenderungan politik yang kuat cenderung lebih memilih sumber

informasi yang satu pandangan dengannya untuk menccapai keadaan emosi yang

disetujui. “Those with strong political predispositions are more likely to choose a

news outlet with like-minded information or avoid challenging news in order to

attain a desired effect and an agreeable emotional state” (Merakou, 2012, h.11).

Berkaitan dengan hoax buletin Al Islam, Darwis menerima informasi ini pertama

kali pada feed media sosialnya. Informasi ini diposting oleh fanspage Kata Kita.

Darwis menilai bahwa fanspage Kata Kita memiliki kesamaan pandangan

dengannya. Selain itu akun ini juga aktif menandingi informasi dari Islam garis

keras ataupun informasi yang menjelekkan pemerintah. Walau begitu akun ini juga

turut mengkritik pemerintah apabila ada kekurangan.

“....aktif itu. Setiap hari postingannya bisa puluhan. Tapi karena menurut saya itu satu

apa satu frame, satu pendirian, saya suka kayak gitu. Tapi ya saya yakin dia pasti

menghindari menyebarkan berita yang tidak benar juga.” (Darwis, komunikasi

personal, 10 Juli 2017).

“Akun FP yang aktif banget dan di sini, benar-benar isinya untuk mengcounter apa ya

informasi atau isu-isu yang dikeluarkan Islam-Islam agak garis keras gitu dalam hal

agama. Dalam hal politik ini juga mengcounter isu-isu yang menjelek-jelekkan

pemerintah gitu. Kadang kan pemerintah ya juga bagus. Tapi kalau misalkan

pemerintah kurang bagus kadang juga dikritik. Intinya baguslah akun ini untuk

Page 21: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

216

mengcounter informasi yang berkeliaran di sana.” (Darwis, komunikasi personal, 16

Agustus 2017).

Meijnders menyatakan bahwa sumber yang memiliki kesamaan opini dengan

individu dipandang lebih mirip dan lebih dipercaya (Merakou, 2012). Kepercayaan

ini kemudian mengarahkan Darwis kepada konfirmasi bias. Ia mudah percaya

terhadap informasi yang diposting oleh sumber ini.

Fadzar dan Darwis mengetahui bahwa informasi yang mereka bagi adalah

hoax melalui tweet klarifikasi juru bicara (jubir) HI, Ustad Ismail Yuswanto.

Sebelumnya Fadzar mengetahui tweet tersebut dari komentar temannya yang

membagi screen shoot tweet klarifikasi jubir HTI pada postingan Fadzar. Kemudian

Fadzar memeriksa langsung akun twitter dari Ustad Ismail Yuswanto dan ternyata

memang benar bahwa informasi tersebut telah diklarifikasi sebagai hoax. Darwis

juga mengetahui klarifikasi tersebut melalui twitter ketika dia sedang

mengaksesnya. Darwis menjelaskan bahwa Ia juga mengikuti akun-akun yang

berbeda pandangan dengannya.

“Karena jubirnya mengklarifikasi sekaligus menyertakan fotonya. Kalau nyertakan

fotonya kan langsung kelihatan, kalau twitter kan ada fotonya terus ini jubirnya

klarifikasi HTI tidak pernah membuat buletin seperti ini.” (Darwis, komunikasi

personal, 24 Oktober 2017)

“Jangankan HTI, semuanya yang mungkin kayak gini saya ikutin karena sebaagi

perbandingan informasi lah.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017).

Pengalaman Fadzar dan Darwis mematahkan pandangan bahwa orang dengan

kecenderungan politik maupun keterkaitan dengan isu yang kuat hanya menerpa

dirinya dengan informasi yang menguatkan pandangannya. Sikap memeriksa ulang

yang dilakukan oleh Fadzar ataupun mengikuti akun twitter yang berbeda

pandangan menunjukkan bahwa mereka juga menerpa dirinya dengan informasi

Page 22: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

217

yang kontradiktif. Bobok (2016) menjelaskan bahwa individu berpotensi mencari

informasi yang kontradiktif dengan pandangannya pada kondisi tertentu.

Berdasarkan pengalaman Fadzar maka ada kondisi tertentu sehingga Ia

menerpa dirinya dengan informasi yang kontradiktif. Fadzar memeriksa ulang tweet

Ustad Ismail Yuswanto untuk mengetahui kebenaran informasi yang dibagi oleh

Fadzar. Senada dengan apa yang disampaikan Zillman dan Bryant (dalam Merakou,

2012) bahwa orang menerpa diri dengan informasi yang kontradiktif karena

permintaan terhadap kebenaran dan ketidakberpihakan. Beberapa penelitian juga

membuktikan bahwa orang cenderung menerpa diri dengan pandangan yang

berkebalikan dengan pertimbangan kegunaan informasi (Bobok, 2016, h.13).

Setelah membaca tweet klarifikasi tersebut, Fadzar mengklarifikasi ulang pada feed

nya.

Setelah menerima tweet klarifikasi tersebut, terdapat perbedaan respon antara

Fadzar dengan Darwis. Fadzar cenderung meyakini bahwa apa yang baru saja Ia

sebarkan adalah hoax. Fadzar juga membuka pemikirannya bahwa buletin Al Islam

biasanya muncul pada hari Jum’at, namun informasi itu muncul pada hari Rabu,

sehingga kepastian bahwa informasi ini adalah hoax benar adanya. Walau begitu

Fadzar mengakui bahwa ketika menerima informasi ini pertama kali, Ia langsung

percaya.

“Jadi, iya juga yaa hahaha. Waktu Ust Ismail klarifikasi, oh iya ya. Terus Aku mikir,

ini buletin Al Islam muncul tiap jum’at. Ini hari Rabu keluar gak mungkin ya. Jadi

sepintas percaya, terus gue mikir iya kan Al Islam munculnya tiap jum’at ya, ini kok

hari Rabu ada. Tapi emang orang HTI bisa melakukan hal itu. Makanya Aku percaya.

“ (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).

Berbeda dengan Fadzar, Darwis tetap berpegang pada pandangannya bahwa

buletin tersebut merupakan strategi bepolitik HTI. Begitu pula dengan klarifikasi

Page 23: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

218

dari jubir HTI, menurut Darwis bisa saja klarifikasi tersebut tidak benar karena

berkaitan dengan politik.

“Menurut saya hoax atau enggak jelas kan. Ya meskipun jubirnya bilang

mengklarifikasi tapi kan bisa saja bohong kayak gitu kan. Karena ini politik kayak

gitu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

“Ya namanyaa .... ya gapapa untuk Aku. Tapi apa ya tidak bisa itu. Ya namanya orang

kontra kan, tidak selalu saya percaya gitu. Bisa saja dia gak ngakui gitu karena ini

masalah politik.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Sikap Darwis ini menunjukkan bahwa Ia menolak adanya koreksi informasi atas

informasi hoax tersebut. Menurut Nyhan & Reifler (2012) sikap mempertahankan

informasi yang berkebalikan tersebut membentuk beberapa sikap. Salah satunya

adalah attitude bolstering, yaitu membawa alasan bahwa keyakinan pertama

merupakan hal yang benar (Nyhan & Reifler, 2012). Hal ini sebagaimana dengan

sikap Darwis yang mempertahankan keyakinan pertamanya bahwa HTI mungkin

membuat buletin seperti itu dan tidak mengakui “kebohongannya” karena

merupakan strategi politik.

5.2.1 Filter Bubble dan Echo Chamber dalam Mengonsumsi Informasi Digital

Perkembangan media sosial yang pesat turut mengubah pola terpaan

informasi bagi user. Tidak hanya user yang turut serta menyeleksi informasi yang

dikonsumsi, namun sistem media juga berperan dalam hal itu. Algoritma baru pada

media sosial turut serta berperan dalam pendistribusian hoax yang semakin masif.

Algoritma ini menyaring informasi yang diterima user berdasarkan riwayat

aktivitas user (Prihadi, 2017), tidak lagi berbasis waktu. Yates (2016) berpendapat

bahwa algoritma yang menciptakan gelembung penyaring (filter bubble) ini

menjadi salah satu alasan hoax mudah dipercaya.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan, adanya gelembung

penyaring nampak pada pengalaman Darwis. Perlu diingat bahwa gelembung

Page 24: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

219

penyaring bekerja pada feed media sosial. Darwis menerima informasi hoax melalui

fanspage Kata Kita pada feed nya. Selama mengikuti fanspage tertentu, Darwis

tidak pernah mencari langsung fanspage tersebut. Fanspage yang dia ikuti berawal

dari like atau share temannya. Kemudian Darwis mencoba membaca, apabila

informasi yang ada pada fanspage tersebut bagus maka akan diikuti. Darwis

mengakui bahwa terdapat perubahan isi feed facebooknya setelah dia mengikuti

fanspage. Feed yang pada awalnya hanya berisi status temannya, berubah total

dengan isu nasional yang berbau agama maupun politik. Dapat diketahui bahwa

adanya perubahan isi feed tersebut, menunjukkan adanya penyaringan informasi

oleh algoritma facebook. Feed didasarkan pada minat dan riwayat aktivitas user

seperti riwayat klik, like, komentar, maupun pencarian (Berry, 2017).

Darwis menjelaskan bahwa Ia mengikuti berbagai akun (baik yang satu

pandangan dengannya maupun tidak). Walau mengikuti berbagai akun tersebut,

Darwis mengakui bahwa tetap ada kecenderungan tertentu. Ketika dia membaca

informasi dari akun yang bertentangan dengannya, Darwis sering merasa kesal

namun dia tetap tidak mengikuti tulisan tersebut. Biasanya setelah merasa kesal,

Darwis akan membuat tulisan tandingan.

“...Jadi kalau kayak FPI, saya juga mengikuti tapi ya cuma baca tok. Kesel ya kesel

tapi kalau saya ikuti itu ya goblok kan itu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli

2017).

“Tetep dibaca tapi biasanya dari itu saya akan menulis status. Tapi statusnya itu tidak

ditujukan langsung secara eksplisit ke mereka. Misalnya saya pernah nulis, itu satu-

satunya status saya yang viral yang fotonya Agnes itu. Itu viral itu, ya itu pertama kali.

Nulis status itu biasanya yang ngelike gak sampe 100 lah paling 50, tapi itu sampe

10ribu itu sampe akhirnya dihapus itu sama line. Mungkin ada yang report paling. Itu

pertama kali, padahal kan isinya itu kayak mencerahkan gitu bukan membuat orang

kafir karena membuka wawasan seperti itu. Itu suka saya share. Saya itu menyediakan

informasi yang buat orang itu wawasannya terbuka. Meskipun ya kadang susah.

Bukan malah saya menjelek-jelekkan atau memperlakukan buruk enggak. Karena

namanya kan ikut literasi.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

Page 25: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

220

Berkaitan dengan informasi hoax yang diterima Darwis. Informasi hoax

tersebut berasal dari fanspage Kata Kita di facebook. Menurut Darwis, fanspage

Kata Kita merupakan fanspage yang aktif memosting informasi. Informasi yang

diposting tidak hanya berasal dari admin Kata Kita namun juga berasal dari akun

pribadi orang lain. Darwis berpendapat, informasi dari akun pribadi yang direpost

oleh Kata Kita pasti merupakan informasi yang menurut fanspage tersebut bagus.

Darwis juga meyakini bahwa Kata Kita berusaha menghindari informasi yang tidak

benar. Fanspage Kata Kita merupakan fanspage yang memiliki kesamaan

pandangan dengan Darwis. Fanspage ini sama-sama menolak Islam garik keras,

mendukung pemerintah, dan mendukung Ahok.

“Akun FP yang aktif banget dan di sini, benar-benar isinya untuk mengcounter apa ya

informasi atau isu-isu yang dikeluarkan Islam-Islam agak garis keras gitu dalam hal agama.

Dalam hal politik ini juga mengcounter isu-isu yang menjelek-jelekkan pemerintah gitu.

Kadang kan pemerintah ya juga bagus. Tapi kalau misalkan pemerintah kurang bagus kadang

juga dikritik. Intinya baguslah akun ini untuk mengcounter informasi yang berkeliaran di

sana.” (Darwis, komunikasi personal, 16 Agustus 2017)

“Tapi ya saya yakin dia pasti menghindari menyebarkan berita yang tidak benar juga.”

(Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017)

“Tapi karena menurut saya itu satu apa satu frame, satu pendirian, saya suka kayak gitu.”

(Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017)

“Satu frame itu sama-sama pro Ahok.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017).

Berdasarkan penuturan Darwis, dapat terlihat adanya perasaan positif Darwis

terhadap Kata Kita. Dalam pandangan Darwis, Kata Kita menjadi sumber informasi

yang bagus karena sesuai dengan frame dan diyakini tidak menyebarkan berita

hoax. Berbeda dengan Darwis, menurut Fadzar Kata Kita merupakan akun dengan

informasi yang kurang terpercaya dan memojokkan kelompok tertentu.

“... Misalkan banyak kan ya akun-akun, sumber ada link. Ke seword lah, seword.com,

kata kita atau piyungan.com, itu Aku akan bodoh amat dengan itu. Ya kadang

menurutku informasi mereka itu enggak real, hoax juga. Aku udah nandain sih yang

hoax yang apa....” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).

Page 26: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

221

“...Pernah Aku baca seword.com dan Kata Kita, itu gini doang dan terlalu

memojokkan satu kelompok banget...” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli

2017).

Pandangan yang berbeda antara Darwis dan Fadzar mengenai Kata Kita

menunjukkan adanya perbedaan gelembung penyaring. Sebagaimana menurut

Pariser (dalam Bobok, 2016), individu berada sendirian pada gelembung

penyaringanya dan memungkinkan Ia menjauh dari orang lain. “Penyaringan”

tersebut membuat user terpisah dari informasi yang tidak selaras dengan riwayat

aktivitas (Sulaeman, 2017). Sama halnya dengan Fadzar dan Darwis yang memiliki

perbedaan riwayat aktivitas, sehingga memunculkan perbedaan pandangan pula

terhadap akun Kata Kita.

Perasaan positif Darwis terhadap Kata Kita membawanya kepada gelembung

penyaring. Menurut Berry (2017), gelembung penyaring akan membawa user

kepada ruang gema (echo chamber) yang mana user cenderung berinteraksi dengan

akun yang memiliki kesamaan ketertarikan dengannya. Terpaan yang kuat dari Kata

Kita kemudian menjadikan adanya penguatan keyakinan terhadap informasi yang

diterbitkan oleh fanspage tersebut (Bobok, 2016). Pada akhirnya user lebih mudah

tertipu terhadap rumor yang belum tentu kebenarannya (Menczer, 2016).

Berkaitan dengan informasi hoax yang diterima Darwis, interpretasi Darwis

atas hoax yang dia terima dan Kata Kita sebagai sumber informasi menunjukkan

adanya ruang gema yang mengarahkan Darwis pada bias informasi. Sebagaimana

menurut Sundar (2016), bias konfirmasi tersebut mengarahkan user pada informasi

yang meneguhkan keyakinannya. Selama ini Darwis memiliki perbedaan

pandangan dengan HTI. Ketika Darwis menerima informasi mengenai hoax buletin

Al Islam, terjadi peneguhan keyakinan atas pandangannya tersebut. Terlebih lagi

Page 27: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

222

informasi tersebut dikeluarkan oleh sumber yang memiliki ketertarikan sama (echo

chamber) dengan Darwis.

5.3 Literasi Informasi Hoax oleh Digital Natives di Media Sosial

Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada berbagai jenis informasi hoax.

Hoax yang diterima oleh informan merupakan informasi palsu yang dibuat seperti

nyata. Sebagaimana menurut Kumar, West, & Leskovec (2016), hoax merupakan

kebohongan yang dibuat seakan-akan suatu kebenaran. Informasi hoax mengenai

buletin Al Islam dan sayembara pernikahan telah diklarifikasi oleh pihak yang

bersangkutan bahwa informasi tersebut bohong. Sedangkan pada informasi hoax

mengenai screen shoot percakapan kasus PWA, Alif selaku subjek yang berada

pada percakapan tersebut mengakui bahwa Ia berbohong untuk menjaga nama baik

PWA sekaligus nama baik kampus.

Jika ditelisik, maka informasi yang diterima oleh informan memiliki ciri-ciri

hoax, salah satunya adalah tidak adanya tanggal kejadian atau tanggal yang realistis

(Anggraini, 2016). Sebagaimana informasi mengenai sayembara pernikahan, tidak

memiliki tanggal kejadian. Apabila memang subjek yang diberitakan melakukan

sayembara tentu akan ada batas waktu atau informasi yang jelas mengenai

diadakannya sayembara tersebut. Informasi mengenai buletin Al Islam juga

memiliki ciri-ciri hoax yaitu memiliki judul provokatif dengan mencatut salah satu

tokoh yang ramai dibicarakan saat itu (bnpt.go.id, 2017). Selain itu informasi

tersebut juga dapat memicu terjadinya kebencian karena mengandung unsur

fanatisme golongan tertentu (bnpt.go.id, 2017). Begitu pula dengan screen shoot

percakapan mengenai kasus PWA. Walaupun susah diidentifikasi, namun informasi

tersebut tidak memiliki kejelasan sumber berita (bnpt.go.id, 2017).

Page 28: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

223

Dilihat berdasarkan jenis hoax menurut Biantoro (2016) maka hoax mengenai

buletin Al Islam dan sayembara pernikahan dapat digolongkan sebagai hoax

pencemaran nama karena mencatut tokoh-tokoh atau subjek dengan konten

informasi negatif. Sedangkan hoax mengenai screen shoot percakapan kasus PWA

masih terkait dengan pencemaran nama karena adanya hoax tersebut bertujuan

untuk melindungi nama PWA sebagai pelaku.

Adanya hoax cukup mengganggu karena dapat menyesatkan (Rubin, Chen,

& Conroy, 2015) user. Sebagaimana ketika informan membagi informasi hoax

yang mereka terima, respon dari user lain ramai. Ada yang mencaci maki dan turut

tergiring opininya berdasarkan informasi tersebut. Seperti hal nya pengalaman

Fatin:

“Kaget kan. Terus ada yang mencaci maki. Ada yang menjudge eh masa sih gini-gini-

gini. Eh kadang terus ga mungkin lah. Jadi mereka itu kayak berspekulasi sendiri

kemungkinan-kemungkinan kenapa bisa begini.” (Fatin, komunikasi, personal, 06

Mei 2017).

Perilaku informan dalam membagi informasi yang ternyata adalah hoax

secara tidak langsung menunjukkan bahwa mereka kurang terliterasi. Seperti hal

nya menurut Opree (2017) individu yang terliterasi media adalah mereka yang

mampu menyeleksi informasi yang pantas dan mengontrol emosi atas suatu pesan.

Melalui pengalaman informan, dapat dilihat bahwa informan tidak mampu

menyeleksi informasi yang benar dengan memercayai dan bahkan membagi

infomasi hoax tersebut. Selain itu beberapa informan juga tidak mampu mengontrol

emosi atas informasi yang diterimanya sehingga Ia membagi informasi tersebut.

Secara lebih detail, peneliti akan menggambarkan bagaimana kemampuan literasi

media baru informan berdasarkan teori media baru oleh Jenkins dengan unit analisis

Page 29: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

224

yang telah peneliti saring sebelumya untuk menyesuaikan kebutuhan penelitian.

Kemampuan tersebut yaitu simulation, appropriation, collective intelligence,

judgment, dan negotiation.

Simulation merupakan kemampuan menginterpretasi dan mengonstruksi

model dinamis dari proses kehidupan nyata (Literat, 2014). Menurut Jenkins (2006)

simulasi berkaitan dengan pengalaman user dalam menghadapi lautan informasi,

menyeleksi informasi dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Pada penelitian ini,

informan terliterasi apabila Ia mampu menyeleksi dan menginterpretasi informasi

sesuai dengan hasil simulasi terhadap dunia nyata.

Ke-empat informan kurang memiliki kemampuan simulation sehingga

mereka mengonsumsi dan memercayai informasi hoax yang mereka terima.

Informan tidak berusaha untuk mengkritisi lebih dalam, apabila informasi tersebut

dibandingkan dengan konteks di dunia nyata. Bagi Fatin, Fadzar, dan Darwis;

informasi hoax yang mereka baca dapat terjadi di dunia nyata. Sebagaimana Fatin,

ketika Ia membaca informasi hoax yang diterima, Ia susah membedakan apakah

informasi tersebut hoax atau tidak. “Karena emang beda tipis antara hoax sama

kenyataan yang terjadi. Itu macem informasi yang gak pernah Aku denger

sebelumnya.“ (Fatin, komunikasi personal, 23 Oktober 2017).

Apabila Fatin menilai susah membedakan antara hoax dengan kenyataan.

Fadzar dan Darwis tidak melakukan simulasi secara mendalam karena terbawa oleh

prasangka yang dimiliki sebelumnya. Keduanya menganggap bahwa hal tersebut

dapat dilakukan oleh subjek yang diberitakan (HTI). Padahal jika ditelisik dan

dibandingkan dengan konteks dunia nyata, terdapat hal janggal seperti buletin yang

Page 30: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

225

muncul di media sosial pada hari Rabu, padahal tanggal buletin menunjukkan hari

Jum’at. Berkaitan dengan pengalaman Darwis, Ia melakukan simulasi terkait

bentuk buletin yang nampak seperti asli. Namun Ia tidak melakukan simulasi terkait

konteks konten informasi.

“Cuman itu emang salahku karena gini, karena emang menarik banget di awal. Dan

Aku percaya kalau HT akan melakukan hal itu.” (Fadzar Firdaus, komunikasi

personal, 22 Juni 2017)

“Jadi ketika saya nerima, lihat buletin itu, gatau saya langsung percaya aja. Kenapa,

karena memang selama ini kan jarang orang yang ngedit punya HTI ini. Kan jarang,

buletinnya terbentuk yang seperti ini. Biasanya langsung setelah Jum’at di masjid-

masjid. Setelah sholat jum’at biasanya ada kader-kader yang nyebarin. Ketika

mungkin, orang itu, kan itu bentuknya difoto. Berarti kan ini bentuknya kayaknya

asli...” (Darwis, komunikasi personal, 2017).

Kemampuan berikutnya adalah appropriation yaitu kemampuan memaknai

dan mencapur konten media yang meliputi kemampuan analisis di dalamnya

(Jenkins, 2006; Literat, 2014). Pada penelitian ini ke-empat informan membagi

ulang informasi tanpa mengedit informasi hoax tersebut terlebih dahulu. Namun

Fadzar dan Darwis menambahkan opini mereka ketika membagi informasi tersebut.

Hal ini menunjukkan adanya proses pemaknaan atas informasi yang dikonsumsi

hingga tercipta tindakan membagi ulang dengan menyertakan opini. Sebagaimana

menurut Jenkins dkk (2006) dalam proses pencampuran media, terdapat potensi

adanya makna laten. Pada proses membagi ulang informasi hoax dengan

menambahkan opini, baik Fadzar maupun Darwis memiliki ketertarikan yang besar

dengan topik tersebut dan sudah memiliki persepsi sebelumnya.

“Ya karena itu kan menarik menurut saya karena bertentangan dengan fakta yang

selama ini dikampanyekan oleh HTI. Kenapa saya menambahkan opini ya karena itu.

Ini kok HTI berpolitik, berdemokrasi lah istilahnya tapi katanya selama ini kok tidak.

Ini gimana. Itu kan opini saya seperti itu.” (Darwis, komunikasi personal, 11 Oktober

2017).

Page 31: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

226

“Kalau emang menarik buatku, pasti Aku akan selalu komentar. Entah itu menarik

dan Aku gak suka atau menarik karena Aku suka.” (Fadzar Firdaus, komunikasi

personal, 26 Mei 2017).

“Cuman emang kadang Aku suka terprovokasi. Dalam artian Aku sebel banget sama

berita terus dapet berita yang, e contoh kayak berita kemaren.... Aku waktu itu

kondisinya emang lagi, karena skripsiku bahasnya itu ya jadi Aku ini HTI ngapain sih

ngeluarin beginian jadinya blunder aja...., karena Aku lagi kesel banget ya karena dia

ada di ormas Islam tapi blunder....” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Mei

2017).

Apabila Fadzar dan Darwis menambahkan opini mereka, Fatin hanya

membagi ulang tanpa menambahkan apapun, Niko membagi informasi hoax

tersebut dengan menambahkan caption bahwa ada informasi terbaru. Niko

menambahkan caption tersebut karena hanya ingin menginformasikan kepada

orang lain mengenai perkembangan kasus PWA. Melalui pengalaman informan,

dapat diketahui bahwa pemaknaan user terhadap informasi turut serta memengaruhi

bagaimana konten media diproduksi ulang.

Menurut Anggraini (2016) kemampuan appropriation berkaitan pula dengan

legalitas dalam produksi informasi. Namun berkaitan dengan legalitas informasi

hanya Fadzar yang meminta izin terlebih dahulu untuk memosting ulang dan

mencantumkan sumber ketika memosting ulang. “Iya, Darwis ngepost itu. Aku

ambil terus minta izin, Aku post lagi tapi pake sumber dari Darwis.” (Fadzar

Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).

Kemampuan berikutnya adalah collective intelligence atau pengetahuan

komunitas. Pengetahuan komunitas pada penelitian ini dapat ditemukan pada saat

diskusi topik dalam grup media sosial atau bahkan melalui kolom komentar pada

postingan terbuka. Melalui pengalaman informan, dapat diketahui bahwa collective

intelligence menjadi kemampuan yang berguna untuk mengetahui kebenaran

informasi. Sebagaimana pengalaman Fatin dan Fadzar. Setelah mereka membagi

Page 32: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

227

informasi, muncul respon user lain atas konten informasi tersebut. Pada awalnya

user lain juga tidak mengetahui bahwa informasi yang dibagikan adalah hoax.

Namun kemudian muncul user lain yang memberikan klarifikasi bahwa informasi

yang dibagikan informan adalah hoax. Klarifikasi tersebut disertai dengan

informasi pendukung berupa link berita dan tweet klarifikasi pihak yang

bersangkutan.

Setelah muncul klarifikasi dari user lain. Fatin dan Fadzar berusaha mencerna

pengetahuan baru tersebut dan menerima klarifikasi informasi tersebut karena

dianggap cukup kredibel. Hal ini menunjukkan bahwa Fatin dan Fadzar

menggunakan kemampuan collective intelligence. Sebagaimana menurut Jenkins

(2006) user harus mengetahui bagaimana cara mengatasi permasalahannya sendiri,

namun mereka juga harus mengetahui bagaimana memperluas kapasitas intelektual

mereka dalam mengatasi masalah dengan tergabung dalam komunitas sosial. Fatin

dan Fadzar telah menunjukkan bahwa mereka memperluas kapasitas intelektual

mereka dengan menerima informasi dari user lain. Bahkan dalam pengalaman

Fadzar, setelah Ia mengonsumsi klarifikasi user tersebut, terjadi proses intelektual

yang membuatnya semakin yakin bahwa informasi yang dibagikannya memang

hoax. Ia menyadari bahwa terjadi ketidaksinkronan antara Al Islam yang diterbitkan

biasanya pada hari Jum’at, namun hoax tersebut muncul pada hari Rabu.

“Jadi, iya juga yaa hahaha. Waktu Ustad Ismail klarifikasi, oh iya ya. Terus Aku mikir,

ini buletin Al Islam muncul tiap jum’at. Ini hari Rabu keluar gak mungkin ya. Jadi

sepintas percaya, terus gue mikir iya kan Al Islam munculnya tiap jum’at ya, ini kok

hari Rabu ada.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).

Walau begitu Jenkins (2006) mengemukakan bahwa collective intelligence

sebagai cara untuk menyelesaikan masalah juga tidak lepas dari adanya error. Hal

Page 33: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

228

ini senada dengan pengalaman Niko. Ia memercayai screen shoot hoax yang dia

terima pada grup Bidikmisi UB 2013 karena pada saat itu, anggota lain juga

memercayai informasi hoax.

“Karena itu kayak sudah final gitu ya. Itu langsung kayak yo wes. Oalah ternyata itu

hoax. Itu bukan Prive tapi orang lain. Prive itu kan korban salah tangkap gitu kan.

Seolah-olah gitu kan ceritanya waktu itu.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017)

Oleh karenanya perlu bagi user untuk memiliki kemampuan judgment.

Literat (2014) menjelaskan bahwa judgment merupakan kemampuan untuk

mengevaluasi reliabilitas dan kredibilitas informasi dari berbagai sumber. Menurut

Jenkins (2006) perlu bagi user untuk memiliki pemikiran kritis dalam menilai

kualitas informasi yang dikonsumsi, terutama dalam ruang cyber (cyberspace) yang

memungkinkan siapapun untuk memproduksi informasi. Jenkins (2006)

berpendapat bahwa judgment tdak hanya kemampuan berpikir logis, namun juga

pemahaman terhadap bagaimana informasi diproduksi oleh institusi media atau

komunitas kultural.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti, ke-empat informan kurang kritis

ketika menerima informasi. Ketiga informan tidak mempertimbangkan kredibilitas

sumber informasi, sedangkan satu informan mempertimbangkan kredibilitas

sumber. Fadzar, Darwis, dan Fatin tidak mempertimbangkan kredibilitas sumber

informasi. Mereka bertiga cenderung berfokus pada konten informasi yang menarik

dan sesuai dengan preferensi mereka.

Pengalaman Fadzar dan Darwis menunjukkan bahwa keduanya

mendahulukan reaksi emosional daripada rasional. Berkaitan dengan reaksi

emosional, salah satu keterampilan literasi media menurut Baran (2008) adalah

kemampuan membedakan reaksi emosional dan rasional ketika merespons isi

Page 34: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

229

media. Reaksi emosional tersebut kemudian membuat mereka lengah dan tidak

mengkritisi informasi yang diterima. Sebagaimana Fadzar ketika menerima

informasi tersebut, Ia merasa kesal dan tidak berusaha untuk mengkritisi informasi

tersebut. Begitu hal nya dengan Darwis yang telah memiliki penilaian negatif

terhadap subjek informasi (HTI), sehingga adanya informassi hoax tersebut

semakin menguatkan penilaiannya.

“Awalnya Aku ketika dapet itu gak langsung tak klarifikasi juga, itu salahku sih.”

(Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).

“Karena aku gregetan sama isi postnya darwis, terprovokasi lah yak.” (Fadzar Firdaus,

komunikasi personal, 23 Oktober 2017).

“Jadi itu bukan informasi yang sifatnya sama seperti Jokowi keturunan PKI. Itu kan

baru informasi yang sifatnya bisa bahaya gitu. Kalau seperti itu, itu kayaknya sudah

jadi rahasia umum. Jadi benar atau tidak itu gak ada urusannya, karena sudah jadi

rahasia umum selama ini mereka seperti itu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli

2017).

Berbeda dengan ketiga informan lainnya, Niko masih mempertimbangkan

sumber informasi untuk menilai kredibilitas informasi. Pada saat itu berita yang

diterima Niko simpang siur, banyak yang mengatakan bahwa memang benar PWA

adalah pelakunya, termasuk berita yang diterbitkan oleh media online. Kemudian

muncul screen shoot hoax mengenai percakapan Alif (teman PWA) yang

mengatakan bahwa bukan PWA pelakunya. User yang mengirimkan screen shoot

tersebut pada grup Bidikmisi UB juga berlatar belakang sama dengan PWA, yaitu

satu fakultas, dan mengatakan bahwa screen shoot tersebut adalah bukti yang kuat

karena langsung dari teman PWA. Melalui hal ini dapat diketahui bahwa Niko telah

mengevaluasi informasi dari dua sumber yaitu berita screen shoot hoax dan berita

online. Pada akhirnya Ia lebih memercayai screen shoot hoax karena adanya

kedekatan antara sumber informasi hoax dengan PWA daripada berita online

karena konten informasi berita online sama dengan konten broadcast facebook dan

Page 35: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

230

pengetahuan bahwa banyak dari jurnalis saat ini yang tidak datang langsung ke

lokasi.

Walaupun Niko sudah mengevaluasi informasi dari dua sumber, Ia masih

belum mengkritisi lebih dalam perspektif dari sumber informasi ketika

memproduksi informasi tersebut. Sebagaimana menurut Jenkins (2006, h.45),

“Even when media content has been determined credible, it is vital for students to

also identify and analyze the perspective of the producer: who is presenting what

to whom, and why.” Pengalaman Niko menunjukkan bahwa Ia menyangsikan

informasi dari berita online karena konten berita yang dianggap kurang kredibel

dan pengetahuan mengenai jurnalis yang bisa membuat berita tanpa harus datang

ke lokasi. Hal ini menjadi suatu kewajaran banyaknya misinformasi pada dunia

online. Oleh karenanya Jenkins (2006) menuturkan perlunya skeptisme sehat

(healthy skepticism), yang mana user harus mampu menimbang klaim dari berbagai

sumber secara seimbang, termasuk di dalamnya klaim antar media gatekeeping

tradisional dengan pengetahuan masyarakat (grassroot).

Negotiation, kemampuan menjangkau berbagai komunitas, melihat dengan

tajam, dan menghormati berbagai perspektif (Literat, 2014). Pada media baru, arus

budaya dengan mudah mengalir dari satu komunitas ke komunitas lainnya yang

kemudian memunculkan konflik karena adanya perbedaan budaya. Sebagaimana

dalam media sosial, adanya media sosial memudahkan user untuk memelihara dan

membangun koneksi sosial dengan orang yang berbeda budaya (Dooley, Jones, &

Iverson, 2012). Perbedaan budaya dalam kemampuan negosiasi ini dapat dipahami

tidak hanya karena perbedaan suku, ras, atau agama namun juga perbedaan

Page 36: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

231

perspektif, pandangan, maupun norma sosial (Anggraini, 2016). Menguasai

kemampuan ini memudahkan user untuk mengenali konten media yang

mengonstruksi stereotip (ras, kelas, etnis, agama, dan sebagainya) (Jenkins dkk,

2006). Jenkins (2006) kemudian mendefinisikan dua keterampilan negosiasi yang

perlu dikuasai dalam literasi media baru yaitu bernegosiasi dalam perbedaan

perspektif dan bernegosiasi melalui berbagai komunitas.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti, dua informan yaitu Fadar dan Darwis

tidak melakukan negosiasi ketika mengonsumsi informasi hoax karena mereka

tidak mengenali konten yang mengonstruksi stereotip. Dalam hal ini, keduanya

tidak mengenali bahwa informasi hoax mengenai buletin Al Islam sedang

mengonstruksi stereotip HTI serta membingkai sosok Anies Baswedan sedemikian

rupa untuk kepentingan politik.

Setelah informasi hoax dibagikan oleh informan, muncul berbagai pendapat

oleh user lain. Pada awalnya user lain berkomentar tanpa mengetahui bahwa itu

adalah hoax. Kemudian ketika ada user yang mengirimkan klarifikasi informasi

pada pengalaman Fatin dan Fadzar, keduanya melakukan negosiasi dengan

menghormati klarifikasi tersebut dan kemudian mencerna informasi tersebut.

Setelah mereka yakin klarifikasi tersebut benar adanya, mereka mengirimkan

klarifikasi tersebut kepada user lain. Tindakan membagi klarifikasi merupakan

bentuk dari penghormatan terhadap adanya perbedaan perspektif. Hal ini

menunjukkan bahwa keduanya bernegosiasi dengan perbedaan perspektif yang ada.

Berbeda dengan Fatin dan Fadzar, Darwis tidak melakukan negosiasi ketika

mengetahui klarifikasi dari jubir HTI. Ketika mengetahui adanya klarifikasi, Ia

Page 37: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

232

tetaap teguh pada pandangannya dan tidak berusaha memberikan pandangan lain /

memberikan informasi mengenai klarifikasi tersebut kepada user lain.

“Ya namanyaa .... ya gapapa untuk Aku. Tapi apa ya tidak bisa itu. Ya namanya orang

kontra kan, tidak selalu saya percaya gitu. Bisa saja dia gak ngakui gitu karena ini

masalah politik.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).

“Biarin aja, ya udah gak ngurus. Karena mungkin bukan sutau persoalan yang sangat

penting. Cuman sesaat itu.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017)..

Berdasarkan deskripsi kemampuan literasi di atas, berikut merupakan tabel

yang menjelaskan secara ringkas bagaimana kemampuan literasi informasi hoax

informan berdasarkan pengalaman mereka ketika membagi informasi hoax:

Tabel 15 Kemampuan Literasi Informasi Hoax oleh Digital Natives

No Kemampuan Literasi Keterangan

1 Simulasi Informan tidak berusaha untuk mengonstruksi

informasi yang diterima dengan konteks dunia

nyata. Informan menganggap bahwa informasi yang

diterima bisa saja terjadi di dunia nyata dan menjadi

suatu kewajaran. Secara lebih detail dikarenakan:

- Susah membedakan hoax dengan realitas.

- Menganggap bahwa di dunia nyata banyak

hal unik, sehingga informasi demikian bisa

terjadi.

- Prasangka terhadap subjek informasi.

2 Appropriation Informan mampu membagi informasi yang diterima

bahkan memberikan informasi tambahan berupa

opini dan caption penjelas, namun informan kurang

memerhatikan unsur legalitas dengan tidak

menyantumkan sumber informasi ketika membagi

ulang informasi.

3 Collective

Intelligence

Informan menggunakan pengetahuan komunitas

dalam mengetahui kepastian kebenaran informasi

hoax yang mereka bagikan. Setelah menerima

pengetahuan komunitas, mereka mencerna lebih

dalam pengetahuan tersebut. Namun pengetahuan

komunitas juga menggiring informan untuk

memercayai hoax.

4 Judgment Informan kurang kritis ketika menerima informasi.

Informan kurang kritis dalam menimbang

kredibilitas sumber informasi serta bagaimana

sumber informasi tersebut memproduksi informasi.

Page 38: BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASANrepository.ub.ac.id/8688/6/6. BAB V.pdf · 2020. 10. 20. · 196 BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital

233

Informan lebih mendahulukan reaksi emosional

daripada rasional.

5 Negosiasi Informan tidak melakukan negosiasi ketika

menerima informasi hoax. Informan tidak kritis

dalam mengenali adanya stereotip golongan dan

framing tokoh yang berusaha dibangun oleh

pembuat informasi karena perspektif yang mereka

miliki sebelumnya.

Walau begitu beberapa informan mampu melakukan

negosiasi ketika menerima kepastian kebenaran

infomasi yang berbeda perspektif dengan informasi

sebelumnya. Kemampuan ini nampak dengan

perilaku informan membagi ulang klarifikasi

informasi hoax yang Ia terima.