Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
196
BAB V
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
5. 1 Pola Konsumsi dan Berbagi Informasi Hoax oleh Digital Natives
Berkaitan dengan berkembangnya media baru di masyarakat, Prensky
(2001) mengemukakan adanya perbedaan pola pikir dan proses pengolahan
informasi antara generasi pelajar saat ini dengan generasi sebelumnya. Prensky
menyebut generasi pelajar saat ini dengan digital natives, generasi yang lahir ketika
teknologi digital muncul di masyarakat dan terbiasa dengan media baru (Cornu,
2011; Rusadi, 2014; Wang, Myers, & Sundaram, 2013). Adanya perbedaan pola
pikir dan proses pengolahan informasi sebagaimana yang disebutkan Prensky tentu
saja juga berimbas pada bagaimana digital natives mengonsumsi dan menyebarkan
informasi digital, khususnya berkaitan dengan fenomena hoax. Maka dari itu pada
sub bab ini, peneliti akan memaparkan diskusi hasil mengenai pola konsumsi dan
pembagian informasi hoax oleh digital natives. Perlu digarisbawahi bahwa proses
pembagian informasi hoax ini dilakukan oleh informan tanpa sebelumnya mereka
mengetahui bahwa informasi yang mereka sebarkan adalah hoax. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa digital natives yang dianggap paling canggih dan lebih paham
mengenai teknologi daripada generasi sebelumnya (Williams, Crittenden, Keo, &
McCarty, 2012), juga rentan terhadap hoax yang masif menyebar di media sosial.
Berikut ini merupakan pemaparan diskusi hasil mengenai proses konsumsi
dan pembagian informasi hoax oleh informan sebagai digital natives.
197
5.1.1 Proses Konsumsi Informasi Hoax
Pada penelitian ini, informan menerima informasi melalui feed dan grup
media sosial. Darwis menerima screen shoot buletin Al Islam pada feed facebook
nya. Screen shoot tersebut diposting oleh fanspage Kata Kita yang diikuti oleh
Darwis. Sedangkan Fadzar menerima informasi melalui feed line nya. Informasi
tersebut merupakan postingan dari Darwis sekaligus teman Fadzar, baik di
kehidupan nyata maupun di media sosial. Dapat diketahui bahwa feed di media
sosial menjadi sumber informasi bagi user, karena feed merupakan fitur yang
menampilkan informasi terbaru dari orang-orang yang terhubung dengan akun
media sosial kita (Nations & Moreau, 2017).
Selain feed, grup dapat menjadi sumber informasi di media sosial. Pada
penelitian ini Fatin dan Niko menerima informasi hoax mereka pertama kali melalui
grup pertemanan di line. Fatin menerima informasi dari grup alumni SMA nya yang
berada di UB, sedangkan Niko menerima informasi dari grup Bidikmisi UB 2013.
Grup media sosial juga menjadi sumber informasi karena fitur ini memungkinkan
anggota dalam grup untuk berinteraksi atau bertukar informasi (Nations & Moreau,
2017).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ke-empat informan tidak mencari
informasi dengan sengaja, melainkan menerima informasi dengan mudahnya dari
berbagai fitur yang ada di media sosial. Hal ini sebagaimana penelitian dari Media
Insight Project (2015) yang mengemukakan bahwa sebagian digital natives
menerima informasi tanpa sengaja. Dapat dikatakan bahwa informan termasuk
dalam digital natives dengan tipe the unattached, yaitu mereka yang cenderung
membaca informasi ketika tertarik, namun tidak aktif mencari informasi. Walau
198
begitu mereka tetap mengikuti kejadian apa saja yang terjadi di dunia
(AmericanPressInstitute, 2015).
Pentina & Tarafdar (2014) menjelaskan bahwa ketika user menerima terlalu
banyak informasi melalui berbagai format yang berlebihan, hal tersebut berpotensi
menciptakan banjir informasi (information overload). Banjir informasi ini
kemudian mengarahkan perilaku user dalam mengonsumsi informasi mengingat
kita tidak bisa memproses seluruh informasi yang kita akses (Himma, 2007).
Perhatian (attention) menjadi hal penting dalam mengonsumsi informasi, terutama
di tengah banjirnya informasi. Sebagaimana pendapat Thorngate:
“Information is supposed to be that which informs, but nothing can inform without
some attentional investment ... As a result, competition for our limited attention has
grown in direct proportion to the amount of information available. Because
information has been proliferating at such an enormous rate, we have reached the
point where attention is an extremely scarce resource ...” (Himma, 2007, h.267).
Pada penelitian ini, keempat informan memiliki berbagai pemicu/stimuli yang
menarik perhatiannya sehingga mengonsumsi informasi hoax tersebut. Hasil
penelitian Pentina & Tarafdar (2014) menunjukkan bahwa komponen seperti
channel, sumber, dan spesifik konten menjadi stimuli yang menarik user untuk
mengosumsi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti ditemukan bahwa pemicu
tersebut yaitu ramainya diskusi informasi berkaitan dengan informasi tersebut dan
bentuk visual atau gambar informasi tersebut.
Prof. Shannon Rauch26 (Dhani, 2016) menyebutkan adanya gejala orang
untuk ikut berbicara pada suatu topik di media sosial agar dianggap mengerti dan
tidak terlihat ketinggalan informasi. Hal ini biasanya menjadi kecenderungan bagi
26 Prof. Shannon Rauch merupakan asisten profesor psikologi di Benedictine University di Mesa.
199
informasi trending topic (Dhani, 2016). Fatin dan Niko termasuk informan yang
mengonsumsi informasi karena ramainya diskusi di media sosial berkaitan dengan
informasi hoax yang diterima. Perhatian Fatin bermula dari banyaknya notifikasi
yang muncul pada line nya. Notifikasi tersebut muncul dari grup alumni SMA
Balaraja UB. Hal ini kemudian menarik perhatian Fatin untuk membuka grup
tersebut. Setelah membuka grup, Fatin membaca komentar dari anggota grup yang
lain. Komentar seperti “astaghfirulah” atau “ih kejam amat” membuat Fatin
semakin penasaran dengan informasi yang Ia terima. Kemudian Ia membuka
informasi hoax tersebut yang berupa gambar. Kemudian membaca tulisan pada foto
tersebut.
“Itu karena memang Aku orangnya sering bukain chat kan karena Aku gak suka
banyak notif. Makanya grup-grup, Aku gak merhatiin dia deket atau enggak juga sih.
Maksudku yaa notif yang terbanyak ada, itu baru Aku buka. Jadi kalau misalnya, kan
pasti notif yang terbanyak pasti itu paling atas gitu kan, ya itu Aku buka.” (Fatin,
komunikasi personal, 23 Oktober 2017).
Sama halnya dengan Fatin, Niko membaca informasi tersebut karena ramai
dibahas di grup-grup media sosialnya. Ia membuka chat yang paling atas dan paling
ramai yaitu grup chat dari grup Bidikmisi UB 2013. Kemudian Niko membaca
skimming27 komentar yang ada pada grup tersebut dan membaca informasi pokok;
seperti berita online yang membahas mengenai pembunuhan bayi oleh mahasiswi
UB di dalam kamar kos nya, informasi broadcast dengan sumber facebook
mengenai kronologi kejadian dan identitas pelaku secara lengkap serta informasi
berupa screen shoot percakapan antara Alif (teman PWA, mahasiswi FPIK UB
yang menjadi pelaku dalam kasus tersebut) dan seseorang yang tidak diketahui
27 Membaca skimming adalah membaca suatu teks untuk mencari ide utama atau gagasan pokok
suatu paragraf atau alinea atau suatu teks bacaan.
200
identitasnya. Screen shoot yang ternyata adalah informasi hoax dikirim oleh S,
anggota grup Bidikmisi UB 2013 sekaligus mahasiswi FPIK.
“Itu ngirim BC-an, habis itu kan kita tanya ya, beneran a itu? Beneran a? Beneran?
Terus akhirnya ada yang ngirim dari berita-berita online kayak misale Malang Today
apa berita-berita online yang cepet gitu. Habis itu ada yang dari fakultas sana, dari
FPIK dia bilang. Itu hoax, itu hoax, buktinya itu tadi screen shoot an.” (Niko,
komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Perilaku kedua informan menunjukkan bahwa keduanya tidak ingin tertinggal
atas informasi yang ramai dibicarakan oleh orang lain. Dapat dikatakan pula bahwa
jenis informasi yang dikonsumsi oleh Fatin dan Niko adalah informasi viral karena
jenis informasi yang dikonsumsi menyebar secara cepat dalam suatu komunitas
melalui electronic word of mouth (Guerini, Strapparava, & O¨ zbal, 2011).
Visualisasi informasi juga menjadi pemicu pertama informan dalam
mengonsumsi informasi. Sebagaimana pendapat Prensky (2001), digital natives
cenderung lebih menyukai grafis daripada teks. Begitu hal nya dengan Fadzar dan
Darwis, keduanya tertarik pada gambar buletin Al Islam yang memuat gambar
wajah Anies Baswedan. Kemudian mereka mencerna tulisan yang ada pada tulisan
buletin tersebut. Hal ini menunjukkan kekuatan visual bagi digital natives. Menurut
Martin (2008) gambar visual selalu menjadi media yang kuat untuk
menginterpretasikan informai dan memaknai komunikasi.
Menurut Cabell, orang di media sosial seringkali tak lagi membaca konten,
melainkan hanya membaca judul yang dianggap benar (Dhani, 2016). Berbeda
dengan hasil penelitian ini, ke-empat informan membaca hingga habis tulisan yang
ada pada informasi tersebut. Hal tersebut dapat dipahami mengingat informasi hoax
yang mereka terima semua dalam bentuk gambar dengan adanya tulisan singkat
pada gambar tersebut. Ke-empat informan membaca hingga habis tulisan yang ada
201
pada gambar tersebut untuk memahami konteks informasi. Sebagaimana penuturan
Fatin:
“Biar tahu isinya. Biasanya kan kalau kita baca beritanya, biar paham kok bisa
menarik gitu kan. Artis atau apa. Terus bahkan ada orang yang ini, gambarnya mana
biar semakin menarik beritanya, gimana ya kayak gitu kan kadang kepuasannya gak
dapet.” (Fatin, komunikasi personal, 23 Oktober 2017).
Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa nilai berita menjadi daya tarik
user dalam mengonsumsi informasi di media sosial. Sebagaimana Fatin membaca
informasi hoax yang dia terima karena informasi tersebut unik dan tidak pernah ada
sebelumnya. Keunikan atau hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya, memiliki
nilai berita keluarbiasaan (Mondry, 2008). Senada dengan hasil penelitian Rudat,
Buder & Hesse (dalam Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015) menunjukkan bahwa
konten dengan nilai berita yang tinggi seperti kontroversi, relevansi, atau
keluarbiasaan memiliki kecenderungan lebih sering dibagi.
Apabila Fatin tertarik untuk mengonsumsi informasi karena keunikannya,
pengalaman Niko menunjukkan bahwa kedekatan informasi dengan user menjadi
daya tarik untuk mengonsumsi informasi mengenai kasus PWA. Pada saat itu, kasus
PWA baru saja terjadi dan hangat dibicarakan oleh warganet28 di lingkungan
kampusnya. Kedekatan Niko dengan kasus, yaitu kesamaan latar belakang sebagai
mahasiswa Universitas Brawijaya, menjadikan informasi ini menarik pehatian.
Informasi yang hangat dibicarakan dan memiliki kedekatan dengan user juga
menjadi nilai berita yang menarik perhatian user untuk mengonsumsi suatu
informasi (Mondry, 2008).
28 Warganet merupakan akronim dari warga internet yang merujuk pada pengguna teknologi
internet (Diakses pada tanggal 20 November 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/19441601/warganet-dan-netizen-kini-sudah-masuk-
kbbi-v-daring).
202
Berbeda dengan kedua informan sebelumnya. Fadzar dan Darwis tertarik
untuk mengonsumsi karena subjek yang diinformasikan (HTI). Selain itu konteks
politik Pilkada DKI yang ramai diperbincangkan juga menjadi pemicu untuk
mengonsumsi informasi ini. Hal ini senada dengan hasil penelitian Boczkowski dan
Mitchelsein yang menunjukkan bahwa konten informasi cenderung menyebar lebih
cepat karena adanya faktor eksternal seperti meningkatnya intensitas aktivitas
politik (Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan, peneliti
menemukan bahwa konsumsi dan pembagian informasi hoax tidak lepas dari
penilaian/interpretasi informan terhadap informasi yang diterima. Pada penelitian
ini, ke-empat informan tidak mempertimbangkan kebenaran informasi yang
diterima karena pengalaman (field of experience), pengetahuan yang dimiliki,
prasangka, dan kredibilitas sumber informasi.
Mulyana (2014, h.116) menyebutkan setidaknya terdapat dua sistem dasar
yang beroperasi dalam transaksi komunikasi, yaitu sistem internal dan sistem
eksternal. Termasuk di dalam sistem internal adalah pengalaman (field of
experience) (Mulyana, 2014). Pada penelitian ini, ketika mengonsumsi informasi
mengenai sayembara pernikahan, Fatin tidak mempertimbangkan kebenaran dan
melakukan kroscek ulang karena pengalaman yang pernah Ia alami. Sebelumnya
Fatin pernah mengonsumsi berita lokal seperti informasi tersebut. Kemudian Ia
mencari ulang melalui google namun informasi yang ditemukan simpang siur.
Tidak ada kesamaan informasi antar media. Fatin kemudian menilai bahwa
informasi sedemikian rupa, dengan level lokal cenderung simpang siur
203
informasinya. Selain itu, Fatin juga mempertimbangkan “nilai” keunikan informasi
sebagai hal yang wajar di dunia nyata. Sehingga Ia cenderung percaya dan tidak
berusaha untuk menggali kebenaran informasi tersebut.
Metzger, Hartsell, & Flanagin (2015) menjelaskan bahwa kredibilitas
informasi dapat dievaluasi melalui medium, sumber, dan level pesan (seperti cerita
berita). Pada penelitian ini, Niko menilai kredibilitas informasi melalui sumber
informasi. Niko menilai kredibilitas informasi tinggi dari bukti screen shoot
percakapan Alif yang merupakan teman PWA. Di samping itu, sosok ‘S’ selaku
anggota dari grup Bidikmisi UB 2013 yang berlatar belakang sama dengan PWA
mengatakan bahwa bukti screen shoot tersebut merupakan bukti kuat yang
menginformasikan kebenaran kasus tersebut.
“Karena dari temannya. Meskipun di berita simpang siur bahwa Prive pelakunya yaa,
tapi muncul screen shoot-an itu dari temannya.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli
2017)
“Kan gak cuman screen shoot, tapi si ngirim (S, anggota Bidikmisi UB 2013) screen
shoot juga bikin statement lek screen shoot iku sebagai bukti kalau ya itu fakta waktu
itu.” (Niko, komunikasi personal, 28 Juli 2017)
Berbeda dengan kedua informan sebelumnya, Fadzar dan Darwis menilai
bahwa informasi tersebut benar adanya berdasarkan pengetahuan mereka
sebelumnya mengenai pergerakan HTI. Menurut Yates (2016), berita bohong
yang memainkan prasangka cenderung disukai. Dapat diketahui bahwa hoax
buletin Al Islam ini memainkan prasangkan Fadzar dan Darwis. Prasangka
tersebut berkaitan dengan adanya ketidakonsistenan HTI pada sistem khilafah
dengan turut serta mendukung Anies Baswedan pada Pilkada DKI.
Boczkowski dan Mitchelstein mengemukakan bahwa faktor eksternal turut
memengaruhi pembagian konten berita. Hasil penelitian mereka menemukan
204
bahwa selama periode berlangsungnya aktivitas politik, konten informasi publik
cenderung lebih sering dibagi daripada non-informasi publik (seperti hiburan,
olahraga atau kriminal) (Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015). Pada penelitian
ini, ditemukan pula kuatnya faktor eksternal sebagai motif mengonsumsi dan
membagi informasi. Sebagaimana Fadzar dan Darwis yang mengonsumsi dan
menyebarkan informasi hoax mengenai buletin Al Islam, keduanya menjelaskan
bahwa ramainya Pilkada Gubernur DKI 2017 turut mendorong mereka untuk
mengonsumsi dan menyebarkan informasi hoax tersebut.
“Concern ke konten karena memang situasinya politik yang sangat panas di Jakarta.
Tapi bisa saja kalau gak ada Jakarta itu saya gak terlalu ini lah. Paling sekilas aja.
Karena memang faktor situasi menentukan kan dan HTI juga ambil bagian di situ.
Makanya saya waduh, kebetulan saya juga seneng ngikutin politik di Pilkada itu.
Makanya itu juga jadi faktor yang sangat menentukan.” (Darwis, komunikasi
personal, 24 Oktober 2017).
“Aku langsung percaya soalnya pilgub Jakarta kan lagi panas-panasnya. Kan kesel ya.
Karena orang HTI kan muslim juga. Dia buka jalan yang menurutnya bagus tapi
sebenernya enggak bagi yang lain. Makanya hoax yang kemaren itu menurutku bisa
saja dilakukan oleh orang-orang HTI.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personnal, 26 Juli
2017).
Berdasarkan interpretasi tersebut, ke-empat informan memercayai bahwa
informasi yang mereka terima benar adanya. Bahkan mereka tidak memikirkan
benar tidaknya informasi terlebih dahulu. Hal ini kemudian mengarahkan informan
pada proses berikutnya yaitu membagi informasi.
5.1.2 Proses Berbagi Informasi Hoax
Ke-empat informan membagi informasi karena berbagai alasan yaitu
bertujuan untuk menginformasikan, sebagai bahan pembicaraan orang lain, adanya
perasaan senang, maupun karena sisi emosional. Karakteristik dari digital natives
juga nampak menjadi hal yang memengaruhi bagaimana informan membagi
informasi hoax tanpa mengetahui bahwa informasi tersebut adalah hoax.
205
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perasaan senang sebagai penyebar
pertama informasi. Senada dengan penjelasan Loh dan Kanai, kebiasaan baru
digital natives mengubah proses penghargaan yang ada yang berdasarkan pada
aktivitas di media sosial seperti jumlah likes pada facebook dan sebagainya. Adanya
perubahan penghargaan ini dikarenakan kebiasaan para digital natives yang tidak
bisa lepas dari internet (Loh & Kanai, 2015). Berdasarkan penuturan Fatin, saat ini
update informasi terbaru menjadi hal yang penting. Oleh karenanya Ia merasa
bangga ketika dapat menjadi penyebar informasi pertama.
“Iya ada perasaan kayak bangga diri, gua kayak influencer pertama yang pertama kali
ngasih. Pertama kali ngaruhin, pertama kali yang tau beritanya. Ada perasaan bangga
sendiri gitu lho karena beda sama baru pertama kali Aku nyebar sama ada yang bilang,
ealah itu berita lama. Aku langsung kayak percaya dirinya gimana gitu. Ternyata udah
ada yang tahu duluan padahal, apa gua yang gaptek gitu. Karena jama sekarang orang
gak update mah apaan sih. Jadinya kayak gitu kan keren.” (Fatin, komunikasi
personal, 23 Oktober 2017).
Sisi emosional juga turut memengaruhi proses membagi informasi
informan. Sebagaimana hasil penelitian Berger yang menemukan bahwa
munculnya sisi emosional meningkatkan tendensi user untuk membagi informasi
(Kümpel, Karnowski, & Keyling, 2015), baik dari segi kuantitas maupun kecepatan
(Stieglitz & Dang-Xuan, 2013). Pada penelitian ini, Fadzar merasa terkesan dengan
buletin Al Islam yang dia terima. Terdapat rasa kesal yang muncul setelah
menerima informasi hoax tersebut karena menurutnya informasi tersebut dapat
merugikan Anies, calon gubernur yang didukung oleh Fadzar.
“Habis itu malem Aku bener-bener udah kesel dalam artian, kalau gini caranya, kalau
pake isu ini gak menang Anies – Sandi. Susah.” (Fadzar Firdaus, komunikasi
personal, 22 Juni 2017).
Selain itu, informasi yang dia terima juga berkaitan dengan HTI. Sebelumnya
Fadzar telah memiliki penilaian-penilaian terhadap HTI dan penilaian tersebut
206
berbentuk kritik atas sikap mereka dalam menyebarkan ideologi. Forgas (dalam
Stieglitz & Dang-Xuan, 2013) menyebutkan bahwa emosi muncul untuk
memengaruhi apa yang diperhatikan, apa yang dipelajari, apa yang diingat, dan
pada akhirnya segala jenis penilaian dan keputusan yang kita buat.
Hasil penelitian Kümpel, Karnowski, & Keyling (2015) menunjukkan
bahwa menginformasikan hal penting dan berpartisipasi aktif dalam aliran berita
menjadi motif sentral seseorang dalam membagi informasi. Hal ini senada dengan
pengalaman Niko. Ia membagi informasi karena ingin menginformasikan kepada
temannya informasi terbaru sebagai perkembangan dari kasus yang diikuti oleh
mereka. “Karena di grup-grup ku yang lain kan belum ngerti kalau misalkan Prive
sebagai pelakunya itu hoax.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Pada penelitian ini informasi hoax yang diterima dan dibagi oleh informan
tersebar luas dari user satu ke user yang lain. Hal ini dapat dilihat sebagaimana
pengalaman yang dimiliki oleh informan. Darwis menerima informasi dari
fanspage Kata Kita yang memosting informasi secara publik pada facebooknya,
kemudian Darwis membagi pada feed line nya yang kemudian dibagi ulang oleh
Fadzar pada feed line nya. Proses komunikasi ini menunjukkan mass-self
communication yang berpotensi meraih audiens secara luas (Castells, 2007;
Nechita, 2012). Jika dirunut lebih lanjut, informasi hoax berpotensi tersebar meluas
mengingat jumlah pengikut fanspage Kata Kita mencapai 662.235 (hingga
November 2017), kemudian informasi dibagi lagi secara publik pada platform yang
berbeda oleh Darwis sehingga teman line Darwis berpotensi terekspos informasi
ini, begitu pula dengan teman line Fadzar.
207
Tidak menutup kemungkinan, informasi yang dibagi kepada grup-grup di
media sosial juga mampu meraih audiens yang luas karena informasi dibagi dari
satu ke banyak (one to many) seperti halnya media massa (Castells, 2007).
Pengalaman Fatin dan Niko menunjukkan adanya proses pendistribusian informasi
dari satu ke banyak. Fatin membagi informasi pada beberapa grup media sosial
yang Ia kenal dan merasa ‘klik’ di dalamnya. “Terus aku sebarin itu ke banyak grup
serius....” (Fatin, komunikasi personal, 06 Mei 2017). Begitu pula dengan Niko
yang menyebarkan informasi kepada tiga grup line nya. “Itu sudah menyebar ke
semua grup kemudian Aku men-share nya ke grup-grup ku yang juga pada waktu
itu kontroversial...” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Proses pendistribusian informasi hoax di media sosial dengan bentuk mass-
self communication sebagaimana pengalaman ke-empat informan, memudahkan
hoax tersebar luas dengan mudahnya. Pendistribusian antar platform yang berbeda,
seperti pengalaman Darwis dari facebook kemudian disebar pada line semakin
membuat hoax tersebar luas karena setiap platform media sosial memiliki
segmentasinya sendiri-sendiri. Sebagaimana menurut Kress (dalam Jenkins dkk,
2006, h. 47), “each medium has its own affordances, its own systems of
representation, its own strategies for producing and organizing knowledge.”
Castells (2007) mengemukakan bahwa tujuan komunikasi menentukan
bagaimana informasi dibagi secara umum (feed) atau khusus (personal chat, direct
message dan sebagainya) kepada komunikan. Pada penelitian ini, informan
membagi infomasi hoax melalui dua cara yaitu membagi pada feed dan grup media
sosial. Fadzar dan Darwis membagi informasi karena ingin melakukan diskusi
208
sekaligus mengetahui pendapat orang lain berkaitan dengan topik hoax tersebut,
sehingga membagi melalui feed lebih relevan untuk mencapai tujuan tersebut.
“Kalau nyebar di grup-grup kayaknya enggak sih, cuman ngepost. Soalnya gini kalau
ngepost di line itu terukur gitu, siapa yang tertarik. Soalnya media sekarang kan, orang
paling gampang buka line ya.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).
“...Akhirnya saya posting di timeline ku siapa tau, ada yang nanggapi gitu kan. Kan
bisa diskusi dan sebagainya karena kan menarik juga.” (Darwis, komunikasi personal,
24 Oktober 2017).
Berbeda dengan kedua informan sebelumnya, Fatin dan Niko membagi
informasi hoax pada grup-grup di media sosialnya dengan tujuan yang berbeda dan
lebih spesifik. Fatin membagi informasi tersebut untuk menginformasikan,
membuka suatu obrolan atau diskusi melalui informasi tersebut, serta untuk
mencapai perasaan bangga sebagai orang pertama yang menyebarkan informasi.
Tujuan ini kemudian mengarahkan Fatin untuk membagi informasi pada grup-grup
media sosialnya. Secara khusus Fatin memilih grup-grup yang Ia kenal dan klik
karena pembahasan atas suatu informasi cenderung menyenangkan.
“Iya ada perasaan kayak bangga diri, gua kayak influencer pertama yang pertama kali
ngasih. Pertama kali ngaruhin, pertama kali yang tau beritanya. Ada perasaan bangga
sendiri gitu lho karena beda sama baru pertama kali Aku nyebar sama ada yang bilang,
ealah itu berita lama. Aku langsung kayak percaya dirinya gimana gitu. Ternyata udah
ada yang tahu duluan padahal, apa gua yang gaptek gitu. Karena jaman sekarang orang
gak update mah apaan sih. Jadinya kayak gitu kan keren.” (Fatin, komunikasi
personal, 23 Oktober 2017).
“Aku pilih yang Aku kenal. Kayak LKM, grup angkatan, ada sih yang kayak personal
group. Lebih ke temen yang orang-orangnya banyak aja.” (Fatin, komunikasi
personal, 13 September 2017)
(memilih grup yang dikenal karena) “Karna pasti bahasannya seru wkwk.” (Fatin,
komunikasi personal, 13 September 2017).
Apabila Fatin memiliki beberapa tujuan khusus, Niko cenderung membagi pada
grup nya karena ingin menginformasikan perkembangan kasus terbaru kepada
teman-teman dekatnya yang mengikuti kasus tersebut.
“Itu sudah menyebar ke semua grup kemudian Aku men-share nya ke grup-grup ku
yang juga pada waktu itu kontroversial. Bukan kontroversial ya, yang apa ya.
209
Menyaksikan kejadian itu. Berharap semua jelas seperti itu. Ternyata yang benar
adalah berita di internet.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Proses membagi informasi sebagaimana yang dilakukan oleh ke-empat
informan menunjukkan peran informan sebagai prosumers yaitu konsumen
sekaligus produsen (Lin, Li, Deng, & Lee, 2013; Nechita, 2012). Karakteristik
multimodal yang ada pada mass-self communication, memungkinkan user untuk
memproduksi dan mendistribusikan pesan dalam berbagai bentuk (Castells, 2007).
Sebagaimana hasil penelitian ini, ke-empat informan merupakan prosumers. Ke-
empatnya termasuk multimodal karena dapat mendistribusikan informasi secara
gratis melalui media sosial. Mereka juga dapat mengubah atau menambah konten
dengan fasilitas yang ada pada media sosial. Seperti hal nya Fadzar, Darwis, atau
Niko. Ketiganya dapat dengan mudah menambahkan pendapat mereka terhadap
informasi hoax yang dibagi dengan fasilitas yang ada.
Proses membagi informasi hoax ini dapat pula dikatakan sebagai user-
generated content karena konten dapat dipublikasikan di internet, merefleksikan
kreativitas, dan dibuat oleh seseorang di luar praktisi atau pekerja profesional di
bidangnya (MacKinnon, 2012). Ke-empat informan mempublikasikan informasi
tersebut pada media sosial line dengan akses internet. Mereka merupakan pihak di
luar praktisi atau pekerja profesional berkaitan dengan topik informasi tersebut
mengingat saat ini mereka masih berstatus mahasiswa dan belum atau tidak sedang
terjun menjadi praktisi / pekerja profesional. Selain itu konten juga merefleksikan
kreativitas informan karena ketika membagi informasi hoax, Fadzar atau Darwis
turut serta mengungkapkan opini nya.
210
5.1.3 Proses Mengetahui Kepastian Kebenaran Informasi Hoax
Ke-empat informan mengetahui kebenaran informasi melalui klarifikasi dari
user lain dan membaca sumber informasi lain yang dianggap lebih kredibel. Fadzar
dan Fatin mengetahui kebenaran informasi melalui klarifikasi dari penerima
informasinya. Keduanya memercayai klarifikasi informasi tersebut karena bukti
yang diberikan oleh teman nya berasal dari sumber yang terpercaya. Sebagaimana
menurut Metzger, Hartsell, & Flanagin (2015) kredibilitas dapat dilihat berdasarkan
sumber terpercaya seperti orang kemampuan sumber dalam mendiskusikan topik
informasi. Pada pengalaman Fadzar, kebenaran infomasi berupa screen shoot
klarifikasi dari akun twitter jubir HTI, yaitu Ustad Ismail Yuswanto. Fadzar lebih
memercayai klarifikasi ini daripada informasi hoax yang dia terima karena Ustad
Ismail Yuswanto merupakan pihak dari HTI sehingga memiliki tingkat kredibilitas
tinggi.
Sama halnya dengan Fadzar, baik Fatin maupun Niko memercayai kebenaran
klarifikasi berita karena adanya sumber terpercaya. Fatin yang menerima klarifikasi
dari temannya berupa link berita memercayai berita tersebut karena kesaksian
langsung dari pihak atau korban.
“Karena itu gini, karena anak-anak di grup angkatan Aku itu yaa kalau ngirim pasti
kayak ada sumbernya. Entah itu dari berita mana atau apa. Waktu itu kayak berita gitu
lho. Di berita itu, Aku buka jadi pihak keluarga juga ngerasa dirugikan banget sama
pihak yang bikin gituan. Padahal mereka gak kenapa-napa.” (Fatin, komunikasi
personal, 23 Oktober 2017)
Sedangkan Niko memercayai sumber dari media cetak karena adanya kutipan
wawancara dengan pihak Kapolres. Kutipan wawancara ini menurut Niko kredibel
karena kapolres merupakan pihak yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan
kasus ini (Metzger, Hartsell, & Flanagin, 2015).
211
Selain sumber informasi, media juga dapat menentukan kredibilitas
informasi (Metzger, Hartsell, & Flanagin, 2015). Sebagaimana dengan pengalaman
Niko, Ia mengetahui kebenaran informasi ketika secara tidak sengaja membaca
koran Radar Malang. Di samping adanya kutipan Radar Malang, Niko lebih
memercayai media cetak ketimbang berita pada media online karena menurut
pengetahuannya, media cetak sekelas Radar Malang memiliki proses verifikasi
sebelum berita diterbitkan.
“...berbalik karena Aku juga sempat ngomong kalau berita-berita kayak di Radar
Malang itu, mereka untuk bisa naik cetak itu ada proses yang panjang. Misalkan kayak
masuk ke redaktur. Kan Aku dulu pernah ikut School Journalistrip, jadi itu macem
satu hari satu malem itu kita seolah-olah jadi wartawan. Aku juga ngelihat cara berita
itu dibuat. Kemudian berita itu naik didesain. Sebelum itu masuk ke redaktur dulu
kan. Di redaktur itu dicek, verifikasi dan sebagainya. Kemudian Aku jadi mikir. Lho
ini lho Radar Malang udah sampe ke situ, dan di sini muncul nama Prive yang
sebelumnya kita putuskan di grup kalau itu hoax. Bukan Prive. Kemudian muncul lagi
konspirasi, iki sopo sing bener? Tapi terus pas iku sudah gak hangat lagi beritanya.
Ya wes sekedar gitu aja. Terus semakin hari ternyata beneran Prive.” (Niko,
komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Apabila ketiga informan memercayai informasi klarifikasi tersebut, berbeda
dengan informan Darwis. Ketika Ia membaca klarifikasi Ustad Ismail Yuswanto di
twitter, Darwis tetap bersikukuh. Hal ini dikarenakan pandangannya yang kuat
bahwa HTI mampu melakukan hal seperti itu.
5. 2 Selective Exposure dalam Mengonsumsi dan Membagi Informasi
Hoax
Kehadiran media sosial sebagai salah satu komponen web 2.0, memudahkan
user untuk saling bertukar, bahkan menciptakan informasi (Darwish & Lakhtaria,
2011). Fitur-fitur yang ada di media sosial juga semakin memudahkan user untuk
saling bertukar informasi. Akibatnya arus informasi berjalan begitu cepat. Setiap
menit, bahkan setiap detik terdapat banyak informasi baru yang bisa dikonsumsi.
Fadzar menilai bahwa informasi di media sosial saat ini sudah tidak terkendali.
212
Siapapun yang memiliki akses internet dapat dengan mudah mengonsumsi maupun
memproduksi informasi digital, terutama melalui media sosial. Berbeda sekali
ketika awal internet muncul, hanya beberapa pihak yang dapat memproduksi
informasi. “Sekarang itu Aku kira mungkin itu terjadi gak kepada beberapa pihak
tapi semua pihak yang berkaitan dengan internet,” (Fadzar Firdaus, komunikasi
personal, 26 Mei 2017).
Pada akhirnya, muncul lah banjir informasi yang ada di media sosial. Namun
user tidak serta merta harus mengonsumsi semua informasi tersebut. User dapat
dengan aktif memilih informasi mana yang ingin dikonsumsi. Sears dan Freedman
kemudian mengembangkan teori selective exposure yang menjelaskan perilaku
manusia dalam memilih informasi sesuai dengan preferensinya (Merakou, 2012).
Keempat informan cenderung memilih informasi sesuai dengan preferensi
masing-masing. Fadzar dan Darwis cenderung membaca informasi yang berkaitan
dengan politik dan agama. Fatin lebih menyukai informasi yang ringan seperti
dunia selebritis atau gaya hidup. Sedangkan Niko lebih menyukai informasi yang
sensasional. Walaupun keempatnya menyeleksi informasi sesuai preferensinya,
mereka tidak terhindarkan dari informasi hoax yang masif di media sosial.
Pada teori selective exposure dijelaskan bahwa orang cenderung mencari
informasi yang sesuai dengan pandangan praduga serta menghindari informasi yang
kontradiktif dengan kepercayaan sebelumnya (Bobok, 2016; Merakou, 2012;
Nyhan & Reifler, 2012). Ketika menerima informasi hoax mengenai buletin Al
Islam, baik Darwis maupun Fadzar menerima informasi tersebut dengan baik.
Keduanya memiliki pandangan yang sama terhadap konten buletin tersebut. Fadzar
213
dan Darwis termasuk pihak yang kontra terhadap pergerakan HTI. Selama ini
Fadzar memandang bahwa HTI merupakan ormas yang keras terhadap akidah dan
pemikiran, salah satunya adalah sistem khilafah. Fadzar menilai bahwa selama ini
pergerakan HTI tidak cantik. Hal ini kemudian mendorong Fadzar untuk
menuliskan kritik ilmiah terhadap HTI melalui tugas akhirnya. Darwis tidak setuju
terhadap HTI karena pemikiran mereka terkait sistem khilafah dan mengafirkan
demokrasi atau pancasila. Darwis merupakan orang yang menjunjung tinggi
nasionalisme. Latar belakang NU yang dia miliki juga menambah perspektifnya
tentang Islam nusantara, hal yang berbeda dengan apa yang diusung HTI selama
ini. Pandangan ini lah yang membentuk sikap mereka ketika menerima informasi
hoax mengenai buletin HTI.
Adanya buletin tersebut semakin menguatkan pandangan mereka terhadap
pergerakan HTI sebagai ormas yang tidak konsisten. Hal ini senada dengan
penjelasan Merakou (2012) bahwa user memiliki kecenderungan untuk menerpa
diri dengan informasi yang sesuai dengan opini mereka. “One’s tendency for
exposure to like-minded opinions is reversely connected to the amount of
confidence he or she has in his or her original opinion,” (Merakou, 2012, h.10).
Dapat dikatakan bahwa telah terjadi konfirmasi bias ketika Fadzar dan Darwis
mengonsumsi informasi tersebut.
Nyhan & Reifler (2012) menjelaskan bahwa bias lebih mudah terjadi kepada
individu yang memiliki kecenderungan politik tertentu atau individu yang memiliki
keterkaitan kuat dengan isu yang diangkat. Darwis termasuk individu dengan
kecenderungan politik yang kuat. Ia terafiliasi dengan ormas NU. Menurut Darwis
214
NU merupakan formulasi yang tepat untuk Indonesia karena dapat menyatukan
nasionalisme dengan keIslaman. Darwis juga menerapkan nilai yang ada pada NU
seperti mengambil jalan tengah dalam bersikap. Darwis juga cenderung sebagai
pribadi yang nasionalis. Hal ini berbeda sekali dengan HTI yang mengusung sistem
khilafah.
“...Mereka kan salah satunya saya tolak gitu karena saya tidak setuju. Mereka kan
menganggap Indonesia itu demokrasi atau pancasila itu bukan Islam atau kafir lah
istilahnya kayak gitu lah intinya. Tapi menurut saya kan enggak kan....” (Darwis,
komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Perbedaan pandangan inilah yang memunculkan konfirmasi bias ketika menerima
informasi hoax mengenai buletin Al Islam.
Tidak jauh berbeda dengan Darwis, Fadzar juga memiliki kecenderungan
pandangan yang kuat dan keterikatan dengan isu yang diangkat. Fadzar termasuk
orang yang kontra dengan cara-cara yang digunakan HTI dalam menyebarkan
pandangannya. Ia juga termasuk pendukung dari Anies-Sandi dalam Pilkada DKI
2017. Menurut pemikirannya saat itu, bentuk dukungan HTI terhadap Anies-Sandi
sebagaimana isi buletin Al Islam hoax akan membuat Anies-Sandi kalah.
“Aku percaya kalau HT akan melakukan hal itu. Jadi Aku bilang HT itu kadang
manuvernya gak diduga-duga tapi ngeselin. Kadang sebenernya dia ingin
memenangkan tapi secara politis itu akan merugikan apa yang didukung.” (Fadzar
Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).
Hal ini kemudian memunculkan konfirmasi bias.
Berdasarkan pengalaman Fadzar dan Darwis, ketika mereka menerima
informasi hoax buletin Al Islam, informasi ini telah memperkuat opini mereka
mengenai pergerakan HTI. Adanya penguatan ini kemudian memunculkan
perasaan positif. Sebagaimana penjelasan Garret (dalam Merakou, 2012, h.10), “
People experience positive feelings when presented with information that confirms
215
their decisions.” Perasaan positif ini kemudian mengarahkan Fadzar dan Darwis
untuk membagi informasi sekaligus mengungkapkan opini mereka. Ketika
membagi informasi, keduanya juga menambahkan opini sehingga dapat
disimpulkan bahwa informasi ini menjadi penguat dari opini mereka. Senada
dengan penjelasan Festinger (dalam Bobok, 2016, h.7), “...while supporting views
increase individual’s confidence in preexisting attitudes and decisions.”
Selain konten informasi, sumber informasi juga memengaruhi keputusan
Darwis dalam membagi informasi. Merakou (2012) mengemukakan bahwa
individu dengan kecenderungan politik yang kuat cenderung lebih memilih sumber
informasi yang satu pandangan dengannya untuk menccapai keadaan emosi yang
disetujui. “Those with strong political predispositions are more likely to choose a
news outlet with like-minded information or avoid challenging news in order to
attain a desired effect and an agreeable emotional state” (Merakou, 2012, h.11).
Berkaitan dengan hoax buletin Al Islam, Darwis menerima informasi ini pertama
kali pada feed media sosialnya. Informasi ini diposting oleh fanspage Kata Kita.
Darwis menilai bahwa fanspage Kata Kita memiliki kesamaan pandangan
dengannya. Selain itu akun ini juga aktif menandingi informasi dari Islam garis
keras ataupun informasi yang menjelekkan pemerintah. Walau begitu akun ini juga
turut mengkritik pemerintah apabila ada kekurangan.
“....aktif itu. Setiap hari postingannya bisa puluhan. Tapi karena menurut saya itu satu
apa satu frame, satu pendirian, saya suka kayak gitu. Tapi ya saya yakin dia pasti
menghindari menyebarkan berita yang tidak benar juga.” (Darwis, komunikasi
personal, 10 Juli 2017).
“Akun FP yang aktif banget dan di sini, benar-benar isinya untuk mengcounter apa ya
informasi atau isu-isu yang dikeluarkan Islam-Islam agak garis keras gitu dalam hal
agama. Dalam hal politik ini juga mengcounter isu-isu yang menjelek-jelekkan
pemerintah gitu. Kadang kan pemerintah ya juga bagus. Tapi kalau misalkan
pemerintah kurang bagus kadang juga dikritik. Intinya baguslah akun ini untuk
216
mengcounter informasi yang berkeliaran di sana.” (Darwis, komunikasi personal, 16
Agustus 2017).
Meijnders menyatakan bahwa sumber yang memiliki kesamaan opini dengan
individu dipandang lebih mirip dan lebih dipercaya (Merakou, 2012). Kepercayaan
ini kemudian mengarahkan Darwis kepada konfirmasi bias. Ia mudah percaya
terhadap informasi yang diposting oleh sumber ini.
Fadzar dan Darwis mengetahui bahwa informasi yang mereka bagi adalah
hoax melalui tweet klarifikasi juru bicara (jubir) HI, Ustad Ismail Yuswanto.
Sebelumnya Fadzar mengetahui tweet tersebut dari komentar temannya yang
membagi screen shoot tweet klarifikasi jubir HTI pada postingan Fadzar. Kemudian
Fadzar memeriksa langsung akun twitter dari Ustad Ismail Yuswanto dan ternyata
memang benar bahwa informasi tersebut telah diklarifikasi sebagai hoax. Darwis
juga mengetahui klarifikasi tersebut melalui twitter ketika dia sedang
mengaksesnya. Darwis menjelaskan bahwa Ia juga mengikuti akun-akun yang
berbeda pandangan dengannya.
“Karena jubirnya mengklarifikasi sekaligus menyertakan fotonya. Kalau nyertakan
fotonya kan langsung kelihatan, kalau twitter kan ada fotonya terus ini jubirnya
klarifikasi HTI tidak pernah membuat buletin seperti ini.” (Darwis, komunikasi
personal, 24 Oktober 2017)
“Jangankan HTI, semuanya yang mungkin kayak gini saya ikutin karena sebaagi
perbandingan informasi lah.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017).
Pengalaman Fadzar dan Darwis mematahkan pandangan bahwa orang dengan
kecenderungan politik maupun keterkaitan dengan isu yang kuat hanya menerpa
dirinya dengan informasi yang menguatkan pandangannya. Sikap memeriksa ulang
yang dilakukan oleh Fadzar ataupun mengikuti akun twitter yang berbeda
pandangan menunjukkan bahwa mereka juga menerpa dirinya dengan informasi
217
yang kontradiktif. Bobok (2016) menjelaskan bahwa individu berpotensi mencari
informasi yang kontradiktif dengan pandangannya pada kondisi tertentu.
Berdasarkan pengalaman Fadzar maka ada kondisi tertentu sehingga Ia
menerpa dirinya dengan informasi yang kontradiktif. Fadzar memeriksa ulang tweet
Ustad Ismail Yuswanto untuk mengetahui kebenaran informasi yang dibagi oleh
Fadzar. Senada dengan apa yang disampaikan Zillman dan Bryant (dalam Merakou,
2012) bahwa orang menerpa diri dengan informasi yang kontradiktif karena
permintaan terhadap kebenaran dan ketidakberpihakan. Beberapa penelitian juga
membuktikan bahwa orang cenderung menerpa diri dengan pandangan yang
berkebalikan dengan pertimbangan kegunaan informasi (Bobok, 2016, h.13).
Setelah membaca tweet klarifikasi tersebut, Fadzar mengklarifikasi ulang pada feed
nya.
Setelah menerima tweet klarifikasi tersebut, terdapat perbedaan respon antara
Fadzar dengan Darwis. Fadzar cenderung meyakini bahwa apa yang baru saja Ia
sebarkan adalah hoax. Fadzar juga membuka pemikirannya bahwa buletin Al Islam
biasanya muncul pada hari Jum’at, namun informasi itu muncul pada hari Rabu,
sehingga kepastian bahwa informasi ini adalah hoax benar adanya. Walau begitu
Fadzar mengakui bahwa ketika menerima informasi ini pertama kali, Ia langsung
percaya.
“Jadi, iya juga yaa hahaha. Waktu Ust Ismail klarifikasi, oh iya ya. Terus Aku mikir,
ini buletin Al Islam muncul tiap jum’at. Ini hari Rabu keluar gak mungkin ya. Jadi
sepintas percaya, terus gue mikir iya kan Al Islam munculnya tiap jum’at ya, ini kok
hari Rabu ada. Tapi emang orang HTI bisa melakukan hal itu. Makanya Aku percaya.
“ (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).
Berbeda dengan Fadzar, Darwis tetap berpegang pada pandangannya bahwa
buletin tersebut merupakan strategi bepolitik HTI. Begitu pula dengan klarifikasi
218
dari jubir HTI, menurut Darwis bisa saja klarifikasi tersebut tidak benar karena
berkaitan dengan politik.
“Menurut saya hoax atau enggak jelas kan. Ya meskipun jubirnya bilang
mengklarifikasi tapi kan bisa saja bohong kayak gitu kan. Karena ini politik kayak
gitu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
“Ya namanyaa .... ya gapapa untuk Aku. Tapi apa ya tidak bisa itu. Ya namanya orang
kontra kan, tidak selalu saya percaya gitu. Bisa saja dia gak ngakui gitu karena ini
masalah politik.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
Sikap Darwis ini menunjukkan bahwa Ia menolak adanya koreksi informasi atas
informasi hoax tersebut. Menurut Nyhan & Reifler (2012) sikap mempertahankan
informasi yang berkebalikan tersebut membentuk beberapa sikap. Salah satunya
adalah attitude bolstering, yaitu membawa alasan bahwa keyakinan pertama
merupakan hal yang benar (Nyhan & Reifler, 2012). Hal ini sebagaimana dengan
sikap Darwis yang mempertahankan keyakinan pertamanya bahwa HTI mungkin
membuat buletin seperti itu dan tidak mengakui “kebohongannya” karena
merupakan strategi politik.
5.2.1 Filter Bubble dan Echo Chamber dalam Mengonsumsi Informasi Digital
Perkembangan media sosial yang pesat turut mengubah pola terpaan
informasi bagi user. Tidak hanya user yang turut serta menyeleksi informasi yang
dikonsumsi, namun sistem media juga berperan dalam hal itu. Algoritma baru pada
media sosial turut serta berperan dalam pendistribusian hoax yang semakin masif.
Algoritma ini menyaring informasi yang diterima user berdasarkan riwayat
aktivitas user (Prihadi, 2017), tidak lagi berbasis waktu. Yates (2016) berpendapat
bahwa algoritma yang menciptakan gelembung penyaring (filter bubble) ini
menjadi salah satu alasan hoax mudah dipercaya.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan, adanya gelembung
penyaring nampak pada pengalaman Darwis. Perlu diingat bahwa gelembung
219
penyaring bekerja pada feed media sosial. Darwis menerima informasi hoax melalui
fanspage Kata Kita pada feed nya. Selama mengikuti fanspage tertentu, Darwis
tidak pernah mencari langsung fanspage tersebut. Fanspage yang dia ikuti berawal
dari like atau share temannya. Kemudian Darwis mencoba membaca, apabila
informasi yang ada pada fanspage tersebut bagus maka akan diikuti. Darwis
mengakui bahwa terdapat perubahan isi feed facebooknya setelah dia mengikuti
fanspage. Feed yang pada awalnya hanya berisi status temannya, berubah total
dengan isu nasional yang berbau agama maupun politik. Dapat diketahui bahwa
adanya perubahan isi feed tersebut, menunjukkan adanya penyaringan informasi
oleh algoritma facebook. Feed didasarkan pada minat dan riwayat aktivitas user
seperti riwayat klik, like, komentar, maupun pencarian (Berry, 2017).
Darwis menjelaskan bahwa Ia mengikuti berbagai akun (baik yang satu
pandangan dengannya maupun tidak). Walau mengikuti berbagai akun tersebut,
Darwis mengakui bahwa tetap ada kecenderungan tertentu. Ketika dia membaca
informasi dari akun yang bertentangan dengannya, Darwis sering merasa kesal
namun dia tetap tidak mengikuti tulisan tersebut. Biasanya setelah merasa kesal,
Darwis akan membuat tulisan tandingan.
“...Jadi kalau kayak FPI, saya juga mengikuti tapi ya cuma baca tok. Kesel ya kesel
tapi kalau saya ikuti itu ya goblok kan itu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli
2017).
“Tetep dibaca tapi biasanya dari itu saya akan menulis status. Tapi statusnya itu tidak
ditujukan langsung secara eksplisit ke mereka. Misalnya saya pernah nulis, itu satu-
satunya status saya yang viral yang fotonya Agnes itu. Itu viral itu, ya itu pertama kali.
Nulis status itu biasanya yang ngelike gak sampe 100 lah paling 50, tapi itu sampe
10ribu itu sampe akhirnya dihapus itu sama line. Mungkin ada yang report paling. Itu
pertama kali, padahal kan isinya itu kayak mencerahkan gitu bukan membuat orang
kafir karena membuka wawasan seperti itu. Itu suka saya share. Saya itu menyediakan
informasi yang buat orang itu wawasannya terbuka. Meskipun ya kadang susah.
Bukan malah saya menjelek-jelekkan atau memperlakukan buruk enggak. Karena
namanya kan ikut literasi.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
220
Berkaitan dengan informasi hoax yang diterima Darwis. Informasi hoax
tersebut berasal dari fanspage Kata Kita di facebook. Menurut Darwis, fanspage
Kata Kita merupakan fanspage yang aktif memosting informasi. Informasi yang
diposting tidak hanya berasal dari admin Kata Kita namun juga berasal dari akun
pribadi orang lain. Darwis berpendapat, informasi dari akun pribadi yang direpost
oleh Kata Kita pasti merupakan informasi yang menurut fanspage tersebut bagus.
Darwis juga meyakini bahwa Kata Kita berusaha menghindari informasi yang tidak
benar. Fanspage Kata Kita merupakan fanspage yang memiliki kesamaan
pandangan dengan Darwis. Fanspage ini sama-sama menolak Islam garik keras,
mendukung pemerintah, dan mendukung Ahok.
“Akun FP yang aktif banget dan di sini, benar-benar isinya untuk mengcounter apa ya
informasi atau isu-isu yang dikeluarkan Islam-Islam agak garis keras gitu dalam hal agama.
Dalam hal politik ini juga mengcounter isu-isu yang menjelek-jelekkan pemerintah gitu.
Kadang kan pemerintah ya juga bagus. Tapi kalau misalkan pemerintah kurang bagus kadang
juga dikritik. Intinya baguslah akun ini untuk mengcounter informasi yang berkeliaran di
sana.” (Darwis, komunikasi personal, 16 Agustus 2017)
“Tapi ya saya yakin dia pasti menghindari menyebarkan berita yang tidak benar juga.”
(Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017)
“Tapi karena menurut saya itu satu apa satu frame, satu pendirian, saya suka kayak gitu.”
(Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017)
“Satu frame itu sama-sama pro Ahok.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017).
Berdasarkan penuturan Darwis, dapat terlihat adanya perasaan positif Darwis
terhadap Kata Kita. Dalam pandangan Darwis, Kata Kita menjadi sumber informasi
yang bagus karena sesuai dengan frame dan diyakini tidak menyebarkan berita
hoax. Berbeda dengan Darwis, menurut Fadzar Kata Kita merupakan akun dengan
informasi yang kurang terpercaya dan memojokkan kelompok tertentu.
“... Misalkan banyak kan ya akun-akun, sumber ada link. Ke seword lah, seword.com,
kata kita atau piyungan.com, itu Aku akan bodoh amat dengan itu. Ya kadang
menurutku informasi mereka itu enggak real, hoax juga. Aku udah nandain sih yang
hoax yang apa....” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).
221
“...Pernah Aku baca seword.com dan Kata Kita, itu gini doang dan terlalu
memojokkan satu kelompok banget...” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli
2017).
Pandangan yang berbeda antara Darwis dan Fadzar mengenai Kata Kita
menunjukkan adanya perbedaan gelembung penyaring. Sebagaimana menurut
Pariser (dalam Bobok, 2016), individu berada sendirian pada gelembung
penyaringanya dan memungkinkan Ia menjauh dari orang lain. “Penyaringan”
tersebut membuat user terpisah dari informasi yang tidak selaras dengan riwayat
aktivitas (Sulaeman, 2017). Sama halnya dengan Fadzar dan Darwis yang memiliki
perbedaan riwayat aktivitas, sehingga memunculkan perbedaan pandangan pula
terhadap akun Kata Kita.
Perasaan positif Darwis terhadap Kata Kita membawanya kepada gelembung
penyaring. Menurut Berry (2017), gelembung penyaring akan membawa user
kepada ruang gema (echo chamber) yang mana user cenderung berinteraksi dengan
akun yang memiliki kesamaan ketertarikan dengannya. Terpaan yang kuat dari Kata
Kita kemudian menjadikan adanya penguatan keyakinan terhadap informasi yang
diterbitkan oleh fanspage tersebut (Bobok, 2016). Pada akhirnya user lebih mudah
tertipu terhadap rumor yang belum tentu kebenarannya (Menczer, 2016).
Berkaitan dengan informasi hoax yang diterima Darwis, interpretasi Darwis
atas hoax yang dia terima dan Kata Kita sebagai sumber informasi menunjukkan
adanya ruang gema yang mengarahkan Darwis pada bias informasi. Sebagaimana
menurut Sundar (2016), bias konfirmasi tersebut mengarahkan user pada informasi
yang meneguhkan keyakinannya. Selama ini Darwis memiliki perbedaan
pandangan dengan HTI. Ketika Darwis menerima informasi mengenai hoax buletin
Al Islam, terjadi peneguhan keyakinan atas pandangannya tersebut. Terlebih lagi
222
informasi tersebut dikeluarkan oleh sumber yang memiliki ketertarikan sama (echo
chamber) dengan Darwis.
5.3 Literasi Informasi Hoax oleh Digital Natives di Media Sosial
Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada berbagai jenis informasi hoax.
Hoax yang diterima oleh informan merupakan informasi palsu yang dibuat seperti
nyata. Sebagaimana menurut Kumar, West, & Leskovec (2016), hoax merupakan
kebohongan yang dibuat seakan-akan suatu kebenaran. Informasi hoax mengenai
buletin Al Islam dan sayembara pernikahan telah diklarifikasi oleh pihak yang
bersangkutan bahwa informasi tersebut bohong. Sedangkan pada informasi hoax
mengenai screen shoot percakapan kasus PWA, Alif selaku subjek yang berada
pada percakapan tersebut mengakui bahwa Ia berbohong untuk menjaga nama baik
PWA sekaligus nama baik kampus.
Jika ditelisik, maka informasi yang diterima oleh informan memiliki ciri-ciri
hoax, salah satunya adalah tidak adanya tanggal kejadian atau tanggal yang realistis
(Anggraini, 2016). Sebagaimana informasi mengenai sayembara pernikahan, tidak
memiliki tanggal kejadian. Apabila memang subjek yang diberitakan melakukan
sayembara tentu akan ada batas waktu atau informasi yang jelas mengenai
diadakannya sayembara tersebut. Informasi mengenai buletin Al Islam juga
memiliki ciri-ciri hoax yaitu memiliki judul provokatif dengan mencatut salah satu
tokoh yang ramai dibicarakan saat itu (bnpt.go.id, 2017). Selain itu informasi
tersebut juga dapat memicu terjadinya kebencian karena mengandung unsur
fanatisme golongan tertentu (bnpt.go.id, 2017). Begitu pula dengan screen shoot
percakapan mengenai kasus PWA. Walaupun susah diidentifikasi, namun informasi
tersebut tidak memiliki kejelasan sumber berita (bnpt.go.id, 2017).
223
Dilihat berdasarkan jenis hoax menurut Biantoro (2016) maka hoax mengenai
buletin Al Islam dan sayembara pernikahan dapat digolongkan sebagai hoax
pencemaran nama karena mencatut tokoh-tokoh atau subjek dengan konten
informasi negatif. Sedangkan hoax mengenai screen shoot percakapan kasus PWA
masih terkait dengan pencemaran nama karena adanya hoax tersebut bertujuan
untuk melindungi nama PWA sebagai pelaku.
Adanya hoax cukup mengganggu karena dapat menyesatkan (Rubin, Chen,
& Conroy, 2015) user. Sebagaimana ketika informan membagi informasi hoax
yang mereka terima, respon dari user lain ramai. Ada yang mencaci maki dan turut
tergiring opininya berdasarkan informasi tersebut. Seperti hal nya pengalaman
Fatin:
“Kaget kan. Terus ada yang mencaci maki. Ada yang menjudge eh masa sih gini-gini-
gini. Eh kadang terus ga mungkin lah. Jadi mereka itu kayak berspekulasi sendiri
kemungkinan-kemungkinan kenapa bisa begini.” (Fatin, komunikasi, personal, 06
Mei 2017).
Perilaku informan dalam membagi informasi yang ternyata adalah hoax
secara tidak langsung menunjukkan bahwa mereka kurang terliterasi. Seperti hal
nya menurut Opree (2017) individu yang terliterasi media adalah mereka yang
mampu menyeleksi informasi yang pantas dan mengontrol emosi atas suatu pesan.
Melalui pengalaman informan, dapat dilihat bahwa informan tidak mampu
menyeleksi informasi yang benar dengan memercayai dan bahkan membagi
infomasi hoax tersebut. Selain itu beberapa informan juga tidak mampu mengontrol
emosi atas informasi yang diterimanya sehingga Ia membagi informasi tersebut.
Secara lebih detail, peneliti akan menggambarkan bagaimana kemampuan literasi
media baru informan berdasarkan teori media baru oleh Jenkins dengan unit analisis
224
yang telah peneliti saring sebelumya untuk menyesuaikan kebutuhan penelitian.
Kemampuan tersebut yaitu simulation, appropriation, collective intelligence,
judgment, dan negotiation.
Simulation merupakan kemampuan menginterpretasi dan mengonstruksi
model dinamis dari proses kehidupan nyata (Literat, 2014). Menurut Jenkins (2006)
simulasi berkaitan dengan pengalaman user dalam menghadapi lautan informasi,
menyeleksi informasi dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Pada penelitian ini,
informan terliterasi apabila Ia mampu menyeleksi dan menginterpretasi informasi
sesuai dengan hasil simulasi terhadap dunia nyata.
Ke-empat informan kurang memiliki kemampuan simulation sehingga
mereka mengonsumsi dan memercayai informasi hoax yang mereka terima.
Informan tidak berusaha untuk mengkritisi lebih dalam, apabila informasi tersebut
dibandingkan dengan konteks di dunia nyata. Bagi Fatin, Fadzar, dan Darwis;
informasi hoax yang mereka baca dapat terjadi di dunia nyata. Sebagaimana Fatin,
ketika Ia membaca informasi hoax yang diterima, Ia susah membedakan apakah
informasi tersebut hoax atau tidak. “Karena emang beda tipis antara hoax sama
kenyataan yang terjadi. Itu macem informasi yang gak pernah Aku denger
sebelumnya.“ (Fatin, komunikasi personal, 23 Oktober 2017).
Apabila Fatin menilai susah membedakan antara hoax dengan kenyataan.
Fadzar dan Darwis tidak melakukan simulasi secara mendalam karena terbawa oleh
prasangka yang dimiliki sebelumnya. Keduanya menganggap bahwa hal tersebut
dapat dilakukan oleh subjek yang diberitakan (HTI). Padahal jika ditelisik dan
dibandingkan dengan konteks dunia nyata, terdapat hal janggal seperti buletin yang
225
muncul di media sosial pada hari Rabu, padahal tanggal buletin menunjukkan hari
Jum’at. Berkaitan dengan pengalaman Darwis, Ia melakukan simulasi terkait
bentuk buletin yang nampak seperti asli. Namun Ia tidak melakukan simulasi terkait
konteks konten informasi.
“Cuman itu emang salahku karena gini, karena emang menarik banget di awal. Dan
Aku percaya kalau HT akan melakukan hal itu.” (Fadzar Firdaus, komunikasi
personal, 22 Juni 2017)
“Jadi ketika saya nerima, lihat buletin itu, gatau saya langsung percaya aja. Kenapa,
karena memang selama ini kan jarang orang yang ngedit punya HTI ini. Kan jarang,
buletinnya terbentuk yang seperti ini. Biasanya langsung setelah Jum’at di masjid-
masjid. Setelah sholat jum’at biasanya ada kader-kader yang nyebarin. Ketika
mungkin, orang itu, kan itu bentuknya difoto. Berarti kan ini bentuknya kayaknya
asli...” (Darwis, komunikasi personal, 2017).
Kemampuan berikutnya adalah appropriation yaitu kemampuan memaknai
dan mencapur konten media yang meliputi kemampuan analisis di dalamnya
(Jenkins, 2006; Literat, 2014). Pada penelitian ini ke-empat informan membagi
ulang informasi tanpa mengedit informasi hoax tersebut terlebih dahulu. Namun
Fadzar dan Darwis menambahkan opini mereka ketika membagi informasi tersebut.
Hal ini menunjukkan adanya proses pemaknaan atas informasi yang dikonsumsi
hingga tercipta tindakan membagi ulang dengan menyertakan opini. Sebagaimana
menurut Jenkins dkk (2006) dalam proses pencampuran media, terdapat potensi
adanya makna laten. Pada proses membagi ulang informasi hoax dengan
menambahkan opini, baik Fadzar maupun Darwis memiliki ketertarikan yang besar
dengan topik tersebut dan sudah memiliki persepsi sebelumnya.
“Ya karena itu kan menarik menurut saya karena bertentangan dengan fakta yang
selama ini dikampanyekan oleh HTI. Kenapa saya menambahkan opini ya karena itu.
Ini kok HTI berpolitik, berdemokrasi lah istilahnya tapi katanya selama ini kok tidak.
Ini gimana. Itu kan opini saya seperti itu.” (Darwis, komunikasi personal, 11 Oktober
2017).
226
“Kalau emang menarik buatku, pasti Aku akan selalu komentar. Entah itu menarik
dan Aku gak suka atau menarik karena Aku suka.” (Fadzar Firdaus, komunikasi
personal, 26 Mei 2017).
“Cuman emang kadang Aku suka terprovokasi. Dalam artian Aku sebel banget sama
berita terus dapet berita yang, e contoh kayak berita kemaren.... Aku waktu itu
kondisinya emang lagi, karena skripsiku bahasnya itu ya jadi Aku ini HTI ngapain sih
ngeluarin beginian jadinya blunder aja...., karena Aku lagi kesel banget ya karena dia
ada di ormas Islam tapi blunder....” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Mei
2017).
Apabila Fadzar dan Darwis menambahkan opini mereka, Fatin hanya
membagi ulang tanpa menambahkan apapun, Niko membagi informasi hoax
tersebut dengan menambahkan caption bahwa ada informasi terbaru. Niko
menambahkan caption tersebut karena hanya ingin menginformasikan kepada
orang lain mengenai perkembangan kasus PWA. Melalui pengalaman informan,
dapat diketahui bahwa pemaknaan user terhadap informasi turut serta memengaruhi
bagaimana konten media diproduksi ulang.
Menurut Anggraini (2016) kemampuan appropriation berkaitan pula dengan
legalitas dalam produksi informasi. Namun berkaitan dengan legalitas informasi
hanya Fadzar yang meminta izin terlebih dahulu untuk memosting ulang dan
mencantumkan sumber ketika memosting ulang. “Iya, Darwis ngepost itu. Aku
ambil terus minta izin, Aku post lagi tapi pake sumber dari Darwis.” (Fadzar
Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).
Kemampuan berikutnya adalah collective intelligence atau pengetahuan
komunitas. Pengetahuan komunitas pada penelitian ini dapat ditemukan pada saat
diskusi topik dalam grup media sosial atau bahkan melalui kolom komentar pada
postingan terbuka. Melalui pengalaman informan, dapat diketahui bahwa collective
intelligence menjadi kemampuan yang berguna untuk mengetahui kebenaran
informasi. Sebagaimana pengalaman Fatin dan Fadzar. Setelah mereka membagi
227
informasi, muncul respon user lain atas konten informasi tersebut. Pada awalnya
user lain juga tidak mengetahui bahwa informasi yang dibagikan adalah hoax.
Namun kemudian muncul user lain yang memberikan klarifikasi bahwa informasi
yang dibagikan informan adalah hoax. Klarifikasi tersebut disertai dengan
informasi pendukung berupa link berita dan tweet klarifikasi pihak yang
bersangkutan.
Setelah muncul klarifikasi dari user lain. Fatin dan Fadzar berusaha mencerna
pengetahuan baru tersebut dan menerima klarifikasi informasi tersebut karena
dianggap cukup kredibel. Hal ini menunjukkan bahwa Fatin dan Fadzar
menggunakan kemampuan collective intelligence. Sebagaimana menurut Jenkins
(2006) user harus mengetahui bagaimana cara mengatasi permasalahannya sendiri,
namun mereka juga harus mengetahui bagaimana memperluas kapasitas intelektual
mereka dalam mengatasi masalah dengan tergabung dalam komunitas sosial. Fatin
dan Fadzar telah menunjukkan bahwa mereka memperluas kapasitas intelektual
mereka dengan menerima informasi dari user lain. Bahkan dalam pengalaman
Fadzar, setelah Ia mengonsumsi klarifikasi user tersebut, terjadi proses intelektual
yang membuatnya semakin yakin bahwa informasi yang dibagikannya memang
hoax. Ia menyadari bahwa terjadi ketidaksinkronan antara Al Islam yang diterbitkan
biasanya pada hari Jum’at, namun hoax tersebut muncul pada hari Rabu.
“Jadi, iya juga yaa hahaha. Waktu Ustad Ismail klarifikasi, oh iya ya. Terus Aku mikir,
ini buletin Al Islam muncul tiap jum’at. Ini hari Rabu keluar gak mungkin ya. Jadi
sepintas percaya, terus gue mikir iya kan Al Islam munculnya tiap jum’at ya, ini kok
hari Rabu ada.” (Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 26 Juli 2017).
Walau begitu Jenkins (2006) mengemukakan bahwa collective intelligence
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah juga tidak lepas dari adanya error. Hal
228
ini senada dengan pengalaman Niko. Ia memercayai screen shoot hoax yang dia
terima pada grup Bidikmisi UB 2013 karena pada saat itu, anggota lain juga
memercayai informasi hoax.
“Karena itu kayak sudah final gitu ya. Itu langsung kayak yo wes. Oalah ternyata itu
hoax. Itu bukan Prive tapi orang lain. Prive itu kan korban salah tangkap gitu kan.
Seolah-olah gitu kan ceritanya waktu itu.” (Niko, komunikasi personal, 10 Juli 2017)
Oleh karenanya perlu bagi user untuk memiliki kemampuan judgment.
Literat (2014) menjelaskan bahwa judgment merupakan kemampuan untuk
mengevaluasi reliabilitas dan kredibilitas informasi dari berbagai sumber. Menurut
Jenkins (2006) perlu bagi user untuk memiliki pemikiran kritis dalam menilai
kualitas informasi yang dikonsumsi, terutama dalam ruang cyber (cyberspace) yang
memungkinkan siapapun untuk memproduksi informasi. Jenkins (2006)
berpendapat bahwa judgment tdak hanya kemampuan berpikir logis, namun juga
pemahaman terhadap bagaimana informasi diproduksi oleh institusi media atau
komunitas kultural.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti, ke-empat informan kurang kritis
ketika menerima informasi. Ketiga informan tidak mempertimbangkan kredibilitas
sumber informasi, sedangkan satu informan mempertimbangkan kredibilitas
sumber. Fadzar, Darwis, dan Fatin tidak mempertimbangkan kredibilitas sumber
informasi. Mereka bertiga cenderung berfokus pada konten informasi yang menarik
dan sesuai dengan preferensi mereka.
Pengalaman Fadzar dan Darwis menunjukkan bahwa keduanya
mendahulukan reaksi emosional daripada rasional. Berkaitan dengan reaksi
emosional, salah satu keterampilan literasi media menurut Baran (2008) adalah
kemampuan membedakan reaksi emosional dan rasional ketika merespons isi
229
media. Reaksi emosional tersebut kemudian membuat mereka lengah dan tidak
mengkritisi informasi yang diterima. Sebagaimana Fadzar ketika menerima
informasi tersebut, Ia merasa kesal dan tidak berusaha untuk mengkritisi informasi
tersebut. Begitu hal nya dengan Darwis yang telah memiliki penilaian negatif
terhadap subjek informasi (HTI), sehingga adanya informassi hoax tersebut
semakin menguatkan penilaiannya.
“Awalnya Aku ketika dapet itu gak langsung tak klarifikasi juga, itu salahku sih.”
(Fadzar Firdaus, komunikasi personal, 22 Juni 2017).
“Karena aku gregetan sama isi postnya darwis, terprovokasi lah yak.” (Fadzar Firdaus,
komunikasi personal, 23 Oktober 2017).
“Jadi itu bukan informasi yang sifatnya sama seperti Jokowi keturunan PKI. Itu kan
baru informasi yang sifatnya bisa bahaya gitu. Kalau seperti itu, itu kayaknya sudah
jadi rahasia umum. Jadi benar atau tidak itu gak ada urusannya, karena sudah jadi
rahasia umum selama ini mereka seperti itu.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli
2017).
Berbeda dengan ketiga informan lainnya, Niko masih mempertimbangkan
sumber informasi untuk menilai kredibilitas informasi. Pada saat itu berita yang
diterima Niko simpang siur, banyak yang mengatakan bahwa memang benar PWA
adalah pelakunya, termasuk berita yang diterbitkan oleh media online. Kemudian
muncul screen shoot hoax mengenai percakapan Alif (teman PWA) yang
mengatakan bahwa bukan PWA pelakunya. User yang mengirimkan screen shoot
tersebut pada grup Bidikmisi UB juga berlatar belakang sama dengan PWA, yaitu
satu fakultas, dan mengatakan bahwa screen shoot tersebut adalah bukti yang kuat
karena langsung dari teman PWA. Melalui hal ini dapat diketahui bahwa Niko telah
mengevaluasi informasi dari dua sumber yaitu berita screen shoot hoax dan berita
online. Pada akhirnya Ia lebih memercayai screen shoot hoax karena adanya
kedekatan antara sumber informasi hoax dengan PWA daripada berita online
karena konten informasi berita online sama dengan konten broadcast facebook dan
230
pengetahuan bahwa banyak dari jurnalis saat ini yang tidak datang langsung ke
lokasi.
Walaupun Niko sudah mengevaluasi informasi dari dua sumber, Ia masih
belum mengkritisi lebih dalam perspektif dari sumber informasi ketika
memproduksi informasi tersebut. Sebagaimana menurut Jenkins (2006, h.45),
“Even when media content has been determined credible, it is vital for students to
also identify and analyze the perspective of the producer: who is presenting what
to whom, and why.” Pengalaman Niko menunjukkan bahwa Ia menyangsikan
informasi dari berita online karena konten berita yang dianggap kurang kredibel
dan pengetahuan mengenai jurnalis yang bisa membuat berita tanpa harus datang
ke lokasi. Hal ini menjadi suatu kewajaran banyaknya misinformasi pada dunia
online. Oleh karenanya Jenkins (2006) menuturkan perlunya skeptisme sehat
(healthy skepticism), yang mana user harus mampu menimbang klaim dari berbagai
sumber secara seimbang, termasuk di dalamnya klaim antar media gatekeeping
tradisional dengan pengetahuan masyarakat (grassroot).
Negotiation, kemampuan menjangkau berbagai komunitas, melihat dengan
tajam, dan menghormati berbagai perspektif (Literat, 2014). Pada media baru, arus
budaya dengan mudah mengalir dari satu komunitas ke komunitas lainnya yang
kemudian memunculkan konflik karena adanya perbedaan budaya. Sebagaimana
dalam media sosial, adanya media sosial memudahkan user untuk memelihara dan
membangun koneksi sosial dengan orang yang berbeda budaya (Dooley, Jones, &
Iverson, 2012). Perbedaan budaya dalam kemampuan negosiasi ini dapat dipahami
tidak hanya karena perbedaan suku, ras, atau agama namun juga perbedaan
231
perspektif, pandangan, maupun norma sosial (Anggraini, 2016). Menguasai
kemampuan ini memudahkan user untuk mengenali konten media yang
mengonstruksi stereotip (ras, kelas, etnis, agama, dan sebagainya) (Jenkins dkk,
2006). Jenkins (2006) kemudian mendefinisikan dua keterampilan negosiasi yang
perlu dikuasai dalam literasi media baru yaitu bernegosiasi dalam perbedaan
perspektif dan bernegosiasi melalui berbagai komunitas.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti, dua informan yaitu Fadar dan Darwis
tidak melakukan negosiasi ketika mengonsumsi informasi hoax karena mereka
tidak mengenali konten yang mengonstruksi stereotip. Dalam hal ini, keduanya
tidak mengenali bahwa informasi hoax mengenai buletin Al Islam sedang
mengonstruksi stereotip HTI serta membingkai sosok Anies Baswedan sedemikian
rupa untuk kepentingan politik.
Setelah informasi hoax dibagikan oleh informan, muncul berbagai pendapat
oleh user lain. Pada awalnya user lain berkomentar tanpa mengetahui bahwa itu
adalah hoax. Kemudian ketika ada user yang mengirimkan klarifikasi informasi
pada pengalaman Fatin dan Fadzar, keduanya melakukan negosiasi dengan
menghormati klarifikasi tersebut dan kemudian mencerna informasi tersebut.
Setelah mereka yakin klarifikasi tersebut benar adanya, mereka mengirimkan
klarifikasi tersebut kepada user lain. Tindakan membagi klarifikasi merupakan
bentuk dari penghormatan terhadap adanya perbedaan perspektif. Hal ini
menunjukkan bahwa keduanya bernegosiasi dengan perbedaan perspektif yang ada.
Berbeda dengan Fatin dan Fadzar, Darwis tidak melakukan negosiasi ketika
mengetahui klarifikasi dari jubir HTI. Ketika mengetahui adanya klarifikasi, Ia
232
tetaap teguh pada pandangannya dan tidak berusaha memberikan pandangan lain /
memberikan informasi mengenai klarifikasi tersebut kepada user lain.
“Ya namanyaa .... ya gapapa untuk Aku. Tapi apa ya tidak bisa itu. Ya namanya orang
kontra kan, tidak selalu saya percaya gitu. Bisa saja dia gak ngakui gitu karena ini
masalah politik.” (Darwis, komunikasi personal, 10 Juli 2017).
“Biarin aja, ya udah gak ngurus. Karena mungkin bukan sutau persoalan yang sangat
penting. Cuman sesaat itu.” (Darwis, komunikasi personal, 24 Oktober 2017)..
Berdasarkan deskripsi kemampuan literasi di atas, berikut merupakan tabel
yang menjelaskan secara ringkas bagaimana kemampuan literasi informasi hoax
informan berdasarkan pengalaman mereka ketika membagi informasi hoax:
Tabel 15 Kemampuan Literasi Informasi Hoax oleh Digital Natives
No Kemampuan Literasi Keterangan
1 Simulasi Informan tidak berusaha untuk mengonstruksi
informasi yang diterima dengan konteks dunia
nyata. Informan menganggap bahwa informasi yang
diterima bisa saja terjadi di dunia nyata dan menjadi
suatu kewajaran. Secara lebih detail dikarenakan:
- Susah membedakan hoax dengan realitas.
- Menganggap bahwa di dunia nyata banyak
hal unik, sehingga informasi demikian bisa
terjadi.
- Prasangka terhadap subjek informasi.
2 Appropriation Informan mampu membagi informasi yang diterima
bahkan memberikan informasi tambahan berupa
opini dan caption penjelas, namun informan kurang
memerhatikan unsur legalitas dengan tidak
menyantumkan sumber informasi ketika membagi
ulang informasi.
3 Collective
Intelligence
Informan menggunakan pengetahuan komunitas
dalam mengetahui kepastian kebenaran informasi
hoax yang mereka bagikan. Setelah menerima
pengetahuan komunitas, mereka mencerna lebih
dalam pengetahuan tersebut. Namun pengetahuan
komunitas juga menggiring informan untuk
memercayai hoax.
4 Judgment Informan kurang kritis ketika menerima informasi.
Informan kurang kritis dalam menimbang
kredibilitas sumber informasi serta bagaimana
sumber informasi tersebut memproduksi informasi.
233
Informan lebih mendahulukan reaksi emosional
daripada rasional.
5 Negosiasi Informan tidak melakukan negosiasi ketika
menerima informasi hoax. Informan tidak kritis
dalam mengenali adanya stereotip golongan dan
framing tokoh yang berusaha dibangun oleh
pembuat informasi karena perspektif yang mereka
miliki sebelumnya.
Walau begitu beberapa informan mampu melakukan
negosiasi ketika menerima kepastian kebenaran
infomasi yang berbeda perspektif dengan informasi
sebelumnya. Kemampuan ini nampak dengan
perilaku informan membagi ulang klarifikasi
informasi hoax yang Ia terima.