11
BAB IX KETERKAITAN ASPEK 9.1 Linimasa Alih Fungsi Guna Lahan Dari pengamatan penulis mengenai perubahan berbagai aspek yang kami amati yaitu kebijakan, pertanian, permukiman, pertanian, pariwisata, perdagangan, dan kebencanaan kami membagi rentang waktu pengamatan menjadi tiga bagian, seperti berikut : 9.1.1 Fase Deregulasi Kabijakan Fase deregulasi merupakan fase di mana peraturan-peraturan yang dikeluarkan di Kawasan Bandung Utara tidak konsisten menjaga Kawasan Bandung Utara yang merupakan kawasan lindung. Fase ini berlangsung dari tahun awal pengamatan kami yaitu tahun 1982 sampai dengan tahun 1996. Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat melalui Surat Keputusan No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 dikeluarkan pada tanggal tanggal 5 November mengenai peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya bagian utara di wilayah Bandung Utara. Berdasarkan surat keputusan tersebut, peruntukan wilayah terbagi menjadi lahan hutan lindung, lahan untuk pertanian tanaman keras, dan peruntukan lahan untuk pertanian non tanaman keras. Sejak surat keputusan tersebut keluar,banyak pengembang yang mengajukan izin lokasi di Kawasan Bandung Utara. Surat Keputusan tersebut keluar didasarkan oleh perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung. Dengan menimbang kondisi yang terjadi akibat Surat Keputusan No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 dan Kawasan Bandung Utara yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pada tahun 1992, dikeluarkan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Bandung. Menurut RUTRD tesrsebut, terdapat tiga kecamatan yang merupakan kawasan lindung, yaitu Kecamatan Cisarua, Cimenyan, dan Lembang. Pada tahun 1993 tanggal 30 November, diterbitkan

BAB IX Parongcis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

parongpong cisarua

Citation preview

Page 1: BAB IX Parongcis

BAB IX

KETERKAITAN ASPEK

9.1 Linimasa Alih Fungsi Guna Lahan

Dari pengamatan penulis mengenai perubahan berbagai aspek yang kami amati yaitu kebijakan, pertanian, permukiman, pertanian, pariwisata, perdagangan, dan kebencanaan kami membagi rentang waktu pengamatan menjadi tiga bagian, seperti berikut :

9.1.1 Fase Deregulasi Kabijakan

Fase deregulasi merupakan fase di mana peraturan-peraturan yang dikeluarkan di Kawasan Bandung Utara tidak konsisten menjaga Kawasan Bandung Utara yang merupakan kawasan lindung. Fase ini berlangsung dari tahun awal pengamatan kami yaitu tahun 1982 sampai dengan tahun 1996.

Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat melalui Surat Keputusan No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 dikeluarkan pada tanggal tanggal 5 November mengenai peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya bagian utara di wilayah Bandung Utara. Berdasarkan surat keputusan tersebut, peruntukan wilayah terbagi menjadi lahan hutan lindung, lahan untuk pertanian tanaman keras, dan peruntukan lahan untuk pertanian non tanaman keras. Sejak surat keputusan tersebut keluar,banyak pengembang yang mengajukan izin lokasi di Kawasan Bandung Utara. Surat Keputusan tersebut keluar didasarkan oleh perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung.

Dengan menimbang kondisi yang terjadi akibat Surat Keputusan No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 dan Kawasan Bandung Utara yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pada tahun 1992, dikeluarkan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Bandung. Menurut RUTRD tesrsebut, terdapat tiga kecamatan yang merupakan kawasan lindung, yaitu Kecamatan Cisarua, Cimenyan, dan Lembang. Pada tahun 1993 tanggal 30 November, diterbitkan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 593.82/4535-Bapp/1993 yang bertujuan untuk mengendalikan penggunaan lahan di Kawasan Bandung Utara terutama pembangunan perumahan. Namun, kebijakan tersebut tidak bertahan lama. 5 bulan kemudian pemerintah mengeluarkan surat susulanNomor 593.82/1174-Bapp/1994 tanggal 19 April Tahun 1994 yang isinya memberi kesempatan bagi pengembang untuk mengajukan permohonan izin membangun dan pembebasan tanah di kawsan Bandung Utara, namun

Page 2: BAB IX Parongcis

persyaratan yang perlu dipenuhi lebih ketat lagi dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Berikut merupakan syarat-syarat yang perlu dipenuhi dalam permohonan izin dan pembebasan lahan:

1. Amdal; penelitian geologi semidetail dan detail, khususnya mengenai ketersediaan air, pembuangan air, tata air serta bahaya-bahaya geologi; pengkajian jumlah kapling dan jumlah penghuni yang memenuhi daya dukung lingkungan; pengkajian mengenai pengaruh terhadap sistem lalu lintas; pengkajian khusus mengenai penelaahan masalah sosial.

2. Penelitian yang dipersyaratkan yang akan dipertimbangkan dalam pengesahan Site Plan.

3. Kajian mengenai design bangunan yang sesuai dengan karakteristik lahan yang dimohon akan menjadi pertimbangan dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan.

Pada tahun 1993 luas total permukiman yang ada di Kecamatan Parongpong sebesar 10,3% dan 12 izin villa dikeluarkan di kecamatan parongpong sedangkan 65% dari luas Kecamatan Parongpong merupakan lahan pertanian.Hingga Desember Tahun 1994, terdapat 110 izin lokasi yang dikeluarkan, dan pembangunan semakin pesat.Kemudian diterbitkan surat Gubernur Jawa Barat Nomor 593.82/1174/Bappeda tanggal 19 April 1994, 29 pengembang diberikan izin lokasi untuk membangun perumahan di Kawasan Bandung Utara.

Pada tahun 1995, pemerintah mulai menata kembali pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara, hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 470-380 tanggal 7 Februari 1995 tentang penertiban di Kawasan Bandung Utara dan SK Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No 912.05/sk-1845- Bappeda/1995 tanggal 3 November 1995 tentang Tim Pengendali Pembangunan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.

9.1.2 Fase Stabilisasi Kebijakan

Fase stabilisasi kebijakan terjadi dari tahun 1996 hingga tahun 2005. Fase stabilisasi kebijakanmerupakan fase dimana kebijakan-kebijakan mengenai pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU) sudah mengalami kestabilan.Setelah mengalami fase deregulasi dimana kebijakan-kebijakan mengenai Kawasan Bandung Utara masih tidak stabil dan berubah-ubah akhirnya pada tahun 1996 kebijakan sudah memiliki sebuah dasar yang dapat dijadikan acuan untuk pembangunan di Kawasan Bandung Utara yaitu SK Gub KDH Tk. I Jawa Barat No. 912/ 333-Bappeda/ 1996 tgl 31 Januari 1996 tentang Penanganan Kegiatan Pembangunan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.SK Gubernur tahun 1996 ini menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan pembangunan di

Page 3: BAB IX Parongcis

Kawasan Bandung Utara. Kebijakan ini ditetapkan setelah pergantian beberapa kebijakan sebelumnya yang dinilai tidak tegas.SK Gub KDH Tk. I Jawa Barat No. 912/ 333-Bappeda/ 1996 tgl 31 Januari 1996 tentang Penanganan Kegiatan Pembangunan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara dinilai sudah cukup efektif dalam mengendalikan pembangunan di kawasan Bandung Utara. Ini terlihat dari tidak dikeluarkannya lagi izin lokasi untuk pembangunan perumahan di Kawasan Bandung Utara oleh Kantor Pertanahan Kotamadya/Kabupaten Bandung.

Kebijakan yang mendukung tidak diperbolehkan adanya pembangunan di Kawasan Bandung Utara adalah dengan dikeluarkannya SK Meneg Lingkungan Hidup No. Kep 35 tentang Persetujuan Amdal pada tahun 1998. Untuk pembangunan yang izinnya telah keluar pada tahun 1994, dengan adanya SK Meneg Lingkungan Hidup ini menyebabkan semua pembangunan yang ada di Kawasan Bandung Utara harus disertakan dengan instrumen AMDAL. Namun, pada tahun 2005 terdapat penambangan pasir di Desa Tugumukti yang menyalahi AMDAL dan tidak sesuai dengan SK Meneg Lingkungan Hidup tersebut. Hal itu dapat terjadi karena penambangan pasir yang ada di Desa Tugumukti ilegal. Izin yang yang ada untuk daerah penambangan pasir awalnya merupakan izin pertanian namun pada akhirnya dijadikan sebagai penambangan pasir.

Walaupun dalam fase stabilisasi kebijakan ini sudah tidak memperbolehkan adanya pembangunan di Kawasan Bandung Utara, namun pembangunan tetap terjadi seperti di Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cisarua. Hal tersebut dikarenakan pembangunan yang terjadi setelah tahun 1996 sudah memiliki izin sebelumnya. Sebagai contohnya, pada tahun 1982 terdapat Instruksi Gubernur nomor 640 yang memperbolehkan pembangunan di KBU. Dari instruksi gubernur tersebut dikeluarkanlah 110 izin lokasi pembangunan. Izin lainnya yang memperbolehkan pembangunan adalah Surat Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 593.82/ 1174-Bapp/ 1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Permohonan Ijin Lokasi dan Pembebasan Tanah di KBU.

Pada fase stabilisasi kebijakan, pembangunan tidak hanya terjadi pada permukiman tetapi terjadi juga pada pembangunan pariwisata. Pada pembangunan permukiman,dibagi dua menjadi permukiman lokal dan permukiman developer. Pembangunan permukiman lokal tidak berpengaruh pada kebijakan-kebijakan seperti yang disebutkan di atas tadi. Pada tahun 1999, 15.1% dari luas keseluruhan Kecamatan Parongpong merupakan permukiman lokal dan 10.85% dari luas keseluruhan Kecamatan Cisarua merupakan permukiman lokal.Pembangunan permukiman developer berdasarkan sampel yang digunakan dalam deliniasi wilayah studi terjadi pada tahun 1994 dimana terdapat kebijakan yang memperbolehkan pembangunan. Pada fase ini, permukiman developer yang mulai dibangun adalah Villa Istana Bunga yaitu pada tahun 1996. Walaupun Villa Istana Bunga dibangun pada tahun 1996 dimana pada tahun tersebut tidak memperbolehkan adanya

Page 4: BAB IX Parongcis

pembangunan di Kawasan Bandung Utara, namun izin pembangunan yang dimiliki Villa Istana Bunga sudah keluar sebelum kebijakan tahun 1996 tersebut dicanangkan.

Pembangunan tidak hanya terjadi pada permukiman tetapi terjadi juga pada pariwisata. Pembangunan pariwisata mulai terjadi pada fase stabilisasi kebijakan yaitu pada tahun 1996. Dari tahun 1996 pembangunan pariwisata terus terjadi. Hal mengenai pembangunan pariwisata memiliki karakteristik yang sama dengan pembangunan permukiman yaitu izin yang dimiliki pariwisata telah keluar sebelum tahun 1996. Selain itu, pembangunan pariwisata di Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cisarua dipengaruhi oleh mulai menurunnya daya tarik kawasan wisata puncak yang memiliki karakteristik daerah yang sama dengan Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cisarua. Kawasan wisata puncak memiliki masa keemasan pada tahun 1980 hingga tahun 1990an. Sedangkan setelah tahun 1990 kawasan wisata puncak mulai mengalami penurunan daya tarik karena mulai banyaknya pembangunan di daerah puncak serta bertambahnya kemacetan. Hal-hal tersebut menyebabkan mulai berkembangnya pariwisata di daerah sekitar puncak atau daerah yang memiliki karakteristik sama dengan kawasan wisata puncak. Berdasarkan data yang didapat, perkembangan wisata terjadi mulai tahun 1996. Bila dikorelasikan dengan perkembangan kawasan wisata puncak, berkembangnya pariwisata di Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cisarua merupakan dampak dari berkurangnya demand wisata terhadap kawasan wisata puncak.

9.1.3 Fase Implementasi Kebijakan

Fase Implementasi kebijakan merupakan fase dengan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan. Kegiatan implementasi ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Contohnya adalah dikeluarkannya PERDA Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008. Hal ini dilatarbelakangi oleh Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 181.1 /sk.1624/Bappeda/1982 mengenai peruntukkan lahan di wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara, dalam konsideren ‘Menimbang’ menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Jawa Barat nampaknya berkembang cukup pesat, sehingga diperlukan penanganan dan pengaturan yang lebih mantap. Terlebih, pembangunan permukiman yang telah ada di wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara ternyata banyak yang tidak sesuai dengan peruntukkan lahan.

Dari segi landasan kebijakan, PERDA tersebut didasari oleh fakta bahwa Kawasan Bandung Utara mempunyai fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan di Cekungan Bandung, kedua adalah Pembangunan di Kawasan Bandung Utara tidak sesuai

Page 5: BAB IX Parongcis

dengan kondisi fungsi hidrologis sehingga harus segera dikendalikan, agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Ketiga dalah Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Kawasan Bandung Utara bertanggungjawab mengendalikan pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam permasalahan ini Kawasan Bandung Utara sebagai kawasan yang mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kawasan di sekitarnya dinilai perlu untuk dilestarikan fungsinya, baik daya dukung maupun daya tampung.

Sebelumnya, di Jawa Barat telah diberlakukan Peraturan Daerah No.2 Tahun 2006 tentang Kawasan Lindung yang baik secara langsung maupun tidak langsung berbengaruh terhadap Kawasan Bandung Utara.Kondisi kawasan lindung Jawa Barat mengalami degradasi yang serius baik kualitas maupun kuantitasnya, penyusutan luas dan meningkatnya lahan kritis akibat tekanan pertumbuhan penduduk, alih fungsi lahan, konflik penguasaan pemanfaatan lahan serta berkurangnya rasa kepedulian dan kebersamaan.

Dalam peraturan daerah tersebut disebutkan hal-hal penting terkait perizinan, koordinasi dan pengendalian. Dalam memberikan izin pengembangan kawasan dan/atau pembangunan bangunan di Kawasan Bandung Utara, diwajibkan menerapkan rekayasa teknik dan/atau eko arsitektur dan/atau rekayasa vegetatif, untuk menghindari penurunan kapasitas penyerapan air ke dalam tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah.

Aspek pariwisata tetap mengalami pertambahan yang sama rata seperti pada fase stabilisasi. Tujuh tempat wisata didirikan pada fase implementasi ini yaitu Ciwangun Indah Camp, Natural Hills, Kampung Gajah, Taman Kupu-kupu, Jadul Village, dan penataan kembali Curug Layung dan Curug Cimahi. Pembangunan pariwisata ini seiring dengan pembangunan permukiman, seperti pada kasus Kampung Gajah dan Villa Istana Bunga yang dulunya merupakan pemukiman dan kemudian dikhususkan menjadi daerah pariwisata.

Page 6: BAB IX Parongcis

Kampung Daun

Cafe The Peak yang berada di sesar lembang

Curug Penganten

Kampung Stroberi

Katumiri Outdoor Activities

Ciwangun Indah Camp

Taman Kupu-kupu

Penataan kembali Curug Cimahi

Kampung Gajah

Penataan kembali Curug Layung

1996

1997 1999

2003

2006 2009 2011

2012

Jadul Village

2010

Natural Hills

20082007

200520001998

19951994

1993

1992

Pembukaan untuk umum Curug Cimahi

SK on 18 IPunclut 100% dilindungi

Instruksi Gubernur no 640 izin pembangunan KBU

-Surat Gubernur nomor 593.82 Pengendalian Lahan KBU-Pakto 9 deregulasi sektor riil izin investasi-terjadi pemangkasan birokrasi

UU no 26 Penataan Ruang

Pertanian 65% Parongpong

Taman Bunga Cihideung

Curug Tilu Leuwi Opat

Villa Istana Bunga

-Surat Gubernur No 593 (Permohonan izin & pembebasan lahan KBU-Surat Gubernur No 593 Pengendalian Penggunaan Lahan KBU

Permukiman 10,13% Parongpong

RUTRD Kab. Bandung

1978

SK Gub No.912.05 Tim Pengendali Pengembangan KBU Suran Meneg Agraria

Penertiban tanah KBU

SK Gub No. 912 Penanganan Kegiatan Pembangunan Wilayah Inti KBU

1982

1987

-12 ijin vila dan perumahan keluar di Prongpng (443 Ha)-Pembangunan Graha Puspa&Triniti

SK Gubernur No 660 Pengamanan Wilayah Inti KBU

SK Meneg Lingkungan Hidup No Kep.35 Persetujuan Amdal

Permukiman15,1% Parongpong10,85% Cisarua

Penambangan Pasir

Status Quo Kawasan Punclut SK Gub N0.912

-Permen No 26 RTRWN-Perda No 1 2008 Pemanfaatan Ruang KBU

Pergub No. 21 Petunjuk Pelaksanaan Perda

Pergub No. 58 menggantikan Pergub No. 21

Pertanian 31% Parongpong

RPJPN Kawasan Perdagangan

Permukiman54,65% Parongpong11,40% Cisarua

BAGAN LINIMASA ALIH FUNGSI GUNA LAHAN

Page 7: BAB IX Parongcis

9.2 Alur Keterkaitan

Lahan pertanian yang menjadi dominasi lahan di Kecamatan Cisarua dan Parongpong berubah menjadi lahan terbangun berupa kompleks permukiman dan lokasi pariwisata akibat potensinya yang berupa pemandangan serta udara yang sejuk menarik developer serta pengusaha untuk mengembangkan usahanya di sana. Pada kasus ini, lahan pertanian yang tidak dijual berubah menjadi permukiman lokal akibat demand penduduk yang makin meningkat meskipun tidak signifikan. Sementara itu, lahan pertanian sisanya terbagi menjadi lahan pertanian yang digarap oleh pemilik lahan, disewakan, maupun lahan pertanian yang digarap namun tidak memiliki status kepemilikan yang jelas. Perubahan dominasi guna lahan yang terjadi memberikan dampak tersendiri bagi petani yang menggarap lahan sewa karena status mereka yang tidak memiliki lahan membuat ketergantungan mereka pada tengkulak untuk memberikan modal bercocok tanam. Petani yang menggarap lahan dengan status kepemilikan tidak jelas juga mengalami krisis lahan karena lahan yang mereka garap bisa ditarik oleh pemiliknya tiba-tiba.

Lahan yang terbangun menjadi kompleks permukiman dan pariwisata menyebabkan meningkatnya koefisien wilayah terbangun di masing-masing desa kedua kecamatan tersebut. Lahan terbangun yang berupa permukiman dan pariwisata menyebabkan meningkatnya lapangan pekerjaan di kedua sektor tersebut sehingga terjadi pergeseran sektor pekerjaan di Kecamatan Cisarua dan Parongpong. Hal itu dibuktikan oleh data bahwa usia rata-rata petani di wilayah tersebut sekitar 46-55 tahun dan penduduk usia muda beralih ke pekerjaan sektor nonpertanian. Daya tarik lapangan pekerjaan baru tersebut menjadi faktor penarik bagi masyarakat luar kedua kecamatan tersebut untuk bermigrasi masuk dan meningkatkan populasi di wilayah tersebut. Hal itu menimbulkan proses siklus karena pertambahan populasi berarti meningkatkan demand akan tempat tinggal. Proses siklus yang berulang-ulang itu menyebabkan degradasi lahan berupa berkurangnya air tanah karena kebanyakan permukiman di sana menggunakan sumur dan mata air sebagai sumber air mereka. Pembabatan lahan hijau juga memicu longsor serta berkurangnya kesuburan tanah akibat erosi. Potensi bencana alam yang ada di kedua wilayah tersebut yaitu sesar lembang, kebakaran, serta angin puting beliung menambah kerentanan bencana yang mengancam siklus yang terjadi akibat peningkatan lahan terbangun akibat peningkatan pembangunan kompleks permukiman dan pariwisata tersebut.

Dari peningkatan jumlah lahan yang diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata bisa menarik jumlah pengunjung sehingga memicu sektor perdagangan di sekitar kawasan pariwisata walaupun sejauh data yang kita temukan, peningkatannya tidak begitu signifikan selama lima tahun terakhir. Sektor perdagangan juga meningkat seiring dibangunnya infrastruktur yang menunjang aksesibilitas. Beberapa wilayah yang dilewati jalan utama seperti Desa Jambudipa dan Desa Karyawangi memiliki sarana perdagangan yang menjadi pusat pemenuhan kebutuhan masyarakat Kecamatan Cisarua dan

Page 8: BAB IX Parongcis

Parongpong. Hal ini membuktikan bahwa ada korelasi antara kemudahan aksesibilitas dengan tendensi peningkatan sektor perdagangan di suatu wilayah. Sektor perdagangan sendiri juga meningkat seiring meningkatnya permukiman lokal walaupun pertumbuhan penduduk di kedua kecamatan tidak begitu signifikan. Hal tersebut memicu dibentuknya Rencana Pembangunan Jangka Panjang mengenai sarana perdagangan.

Pergeseran sosial sendiri terjadi akibat pertumbuhan kompleks permukiman. Keberadaan pendatang membuat penduduk lokal merasa kriminalitas semakin meningkat dan nilai-nilai adat berubah. Kesenjangan sosial juga terjadi antara permukiman lokal dan kompleks permukiman. Tidak ada interaksi sosial yang melibatkan penduduk kompleks permukiman dengan penduduk lokal. Penduduk lokal seperti sekedar 'dipekerjakan'.

Di Desa Tugumukti, terdapat pula sebuah penambangan pasir yang izinnya dipertanyakan. Salah satu responden menyatakan bahwa izin lahan tersebut tadinya adalah izin untuk lahan pertanian. Penambangan pasir itu terus meluas setiap waktunya, bahkan melewati batas izin tanah yang diajukan oleh pemiliknya. Penambangan pasir itu sangat berbahaya karena lokasinya berada di pinggir jalan utama sehingga jalan utama tersebut rentan untuk amblas karena bagian tebing-tebingnya terus digali dan diambil pasirnya.

Page 9: BAB IX Parongcis

BAGAN KETERKAITAN ASPEK