Upload
doannhu
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bab IV Hasil dan Pembahasan
IV.1 Kultur Tanaman Jarak dan Pengambilan Cairan Floem
Pada tahap uji pendahuluan penelitian, dilakukan kultur tanaman dengan
menggunakan metode aeroponik. Keunggulan kultur ini adalah terkontrolnya
kuantitas unsur hara yang diberikan kepada tanaman dan penyerapan unsur hara
tersebut lebih maksimal karena larutan nutrisi disemprotkan secara kontinyu ke
akar tanaman yang tergantung. Namun karena kebutuhan sampel yang relatif
besar (sekitar 40 - 50 pohon untuk sekali panen) sedangkan alat aeroponik yang
ada hanya cukup untuk 12 pohon, maka kemudian dilakukan kultur pot dengan
tanah. Tanah yang digunakan adalah tanah yang terkontrol kualitasnya sehingga
secara statistik dianggap tidak berbeda secara signifikan kandungan unsur hara
yang terkandung.
Untuk mendapatkan sampel cairan floem yang maksimal, pada tahap uji
pendahuluan, dilakukan berbagai variasi pengambilan sampel. Variasi yang
dilakukan adalah umur tanaman, waktu pengambilan, lama pengambilan, tempat
pengambilan, dan proses pengambilan cairan floem. Optimasi pengambilan
dilakukan hanya pada tanaman dengan kultur pot dengan tanah.
Pada Tabel IV. 1 dapat dilihat pengaruh umur tanaman terhadap volume sampel
yang diperoleh per tanaman. Tanaman dengan umur 5 hingga 6 pekan masih
relatif muda sehingga sulit untuk mendapatkan cairan floem dalam jumlah
banyak. Hal ini kemungkinan disebabkan kanal floem masih relatif muda
sehingga irisan pada kanal yang kurang hati-hati, dapat sampai menembus lapisan
xilem. Pada tanaman dengan umur 7 – 8 pekan mulai dapat teridentifikasi dengan
baik sehingga dapat diperoleh sampel dengan jumlah relatif lebih banyak.
Pada umur 9-10 pekan tidak ada pertambahan jumlah sampel yang signifikan
dibandingkan dengan pada umur 7-8 pekan. Dengan demikian umur panen
tanaman jarak yang optimal adalah 7-8 pekan.
55
Tabel IV. 1 Pengaruh umur tanaman terhadap volume cairan sampel yang dihasilkan.
Umur tanaman (pekan) Jumlah cairan floem/tanaman (µL)
5 42 ± 25
6 44 ± 22
7 64 ± 37
8 57 ± 33
9 53 ± 30
10 57 ± 25
Hal yang perlu dicermati adalah tingginya standar deviasi cairan yang dihasilkan
untuk setiap tanaman. Dalam beberapa kasus terkadang satu tanaman hanya
mengeluarkan sekali cairannya setelah itu laju eksudasi berkurang drastis, atau
dengan kata lain tidak ada lagi cairan yang keluar. Hal ini disebabkan karena
terbentuknya callose atau filamen protein yang menutup pori kanal floem yang
dikenal sebagai hipotesis ´ blocked pore ` (Milburn, 1970). Sehingga ada tanaman
yang hanya menghasilkan sekitar 20 µL cairan floem, namun ada juga yang dapat
sampai 100 µL per tanaman.
Pengambilan cairan floem dilakukan pada saat proses transpirasi berlangsung.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, waktu optimal pengambilan adalah
pukul 8 – pukul 12 siang hari. Lama pengambilan umumnya 2 jam untuk setiap
tanaman. Untuk menghindari kontaminasi dan perubahan komposisi cairan floem,
tanaman hanya digunakan hanya untuk sekali pengambilan.
Pengambilan cairan floem dilakukan di ruang pengambilan sampel dalam rumah
kaca. Pernah dilakukan pengambilan cairan floem dalam laboratorium higienis
dengan tujuan untuk meminimalisasi kemungkinan kontaminasi, namun cairan
floem yang tereksudasi sangat sedikit. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi
laboratorium higenis menimbulkan stress pada tanaman. Kemungkinan lain
56
adalah rendahnya laju transpirasi dalam laboratorium higenis sehingga aliran air
dalam floem menurun. Pomper dan Grusak (2004) telah melakukan penelitian
tentang total Ca dalam cairan xilem snap bean. Hasil penelitiannya menunjukkan
kandungan Ca dalam tanaman lebih tinggi jika pengambilan xilem dilakukan
dalam rumah kaca dibandingkan dalam ruang pertumbuhan (growth chamber).
Hal ini disebabkan laju transpirasi tanaman dalam ruang pertumbuhan lebih besar
dibandingkan dalam rumah kaca. Laju transpirasi yang tinggi menyebabkan
penyerapan air yang tinggi sehingga menurunkan kadar Ca dalam xilem.
Proses pengambilan cairan floem merupakan salah satu langkah yang penting,
karena diperlukan keahlian tertentu agar diperoleh sampel yang banyak. Selain
itu, diperlukan teknik khusus untuk menjaga sampel dari kontaminan dan
terjadinya perubahan komposisi misalnya akibat pengaruh suhu ruang. Beberapa
peneliti sebelumnya (Milburn, 1970; Wiersum, 1979) mengambil cairan floem
seperti teknik mengambil getah karet. Pipa kapiler dilekatkan pada irisan kanal
floem yang diletakkan secara horisontal. Sehingga adanya tegangan permukaan
cairan dalam kapiler dapat menarik cairan floem dari kanal floem menuju pipa
kapiler. Ujung lain pipa kapiler dimasukkan dalam bejana untuk menampung
cairan floem. Bejana tersebut terbuka dan pengambilan cairan floem berlangsung
pada suhu kamar selama beberapa jam. Teknik ini tidak dilakukan karena waktu
pengambilan selama 2 jam pada suhu 25-30 °C dapat menyebabkan perubahan
komposisi cairan floem dan rentan kontaminasi karena bejana penampungan
dalam posisi terbuka. Oleh karena itu, cairan floem dibiarkan alami tereksudasi
setelah pengirisan kanal floem, lalu diambil dengan menggunakan pipet mikro
Eppendorf 20 µL dan langsung dimasukkan dalam tabung polipropilen 1,5 mL
yang diletakkan pada permukaan atas termos berisi nitrogen cair. Dengan cara ini
cairan floem yang diperoleh langsung terbekukan pada suhu -80 °C. Sehingga
kemungkinan kontaminan dari udara luar dan perubahan komposisi dapat
diminimalkan. Konsekuensinya, waktu pengambilan sampel berlangsung lebih
lama karena setiap tetes cairan floem yang keluar langsung dibekukan.
57
IV.2 Optimasi Alat ICP-QMS
Selama periode Oktober 2002 sampai dengan Juli 2005 telah dilakukan analisis
pendeteksian selektif unsur Mg, Ca, Mn, Zn, Mo dan Cd dalam cairan ploem
maupun dalam fraksi SEC dan PNC PAGE dengan menggunakan ICP-QMS
sebanyak 113 kali. Setiap memulai suatu proses pendeteksian ICP-QMS diberi
nomor analisis sehingga total nomor analisis adalah 113. Setiap hari pendeteksian
dilakukan optimasi harian untuk mengecek kondisi alat, seperti yang telah
dipaparkan pada Tabel III.4 tentang kriteria standar kondisi operasional ICP-QMS
yang harus dipenuhi sebelum analisis sampel dilakukan. Jika kriteria tersebut
tidak terpenuhi maka dilakukan pengecekan alat dan optimasi lengkap.
Pengecekan alat meliputi kondisi pompa peristaltik, suhu pendingin, maupun
kebersihan skimmer cone dan cone sampel. Jika sampel banyak mengandung
senyawa organik, kedua cone akan cepat kotor karena endapan karbon pada cone.
Hal ini sangat nampak pada sampel dengan matriks buffer MES. Umumnya
setelah dua-tiga kali running sampel dengan matriks tersebut, kedua cone harus
dibersihkan.
Pada Gambar IV. 1 ditampilkan data hasil optimasi harian alat berdasarkan
sensitivitas Mg, Rh dan Pb dengan konsentrasi 10 µg/L. Secara umum,
sensitivitas alat terhadap Mg, Rh, dan Pb sangat baik terlihat dari jumlah cacah
perdetik (count per second, cps) yang jauh melebihi standar yang diharuskan
(Tabel III.3). Sebagai contoh 24Mg, 94 % sensitivitas berada pada level di atas
90.000 cps dan hanya sekitar 6 % yang berada pada ambang batas syarat 40.000
cps. Demikian juga dengan sensitivitas terhadap Rh dan Pb. Batas minimal cacah
perdetik untuk Rh dan Pb adalah 200.000 cps, sedangkan data yang diperoleh 85
% berada di atas 400.000 cps untuk Rh dan 83 % berada di atas 300.000 cps untuk
Pb. Sensitivitas alat terhadap Rh103 lebih tinggi dibandingkan terhadap 208Pb
karena 103Rh adalah isotop tunggal, sedangkan kelimpahan relatif isotop 208Pb
hanya 52,4 % dari total Pb.
Walaupun secara keseluruhan data optimasi memenuhi standar kondisi
operasional, namun ada kecenderungan setelah beberapa kali analisis sensitivitas
58
alat menurun. Hal ini dapat disebabkan semakin banyaknya endapan pada cone,
cairan pendingin pada sistem pendingin yang tidak berfungsi baik lagi sehingga
harus diganti, atau minyak pelumas pompa yang sudah menghitam karena
teroksidasi. Jika penurunan cukup signifikan atau tidak memenuhi standar maka
dilakukan optimasi lengkap setelah pengecekan alat. Kurva optimasi ini sangat
penting untuk melihat kondisi operasional alat, sehingga interpretasi data hasil
pengukuran dapat dilakukan dengan lebih baik.
Gambar IV. 1 Data hasil optimasi harian analisis ICP-QMS berdasarkan sensitivitas Mg, Rh, dan Pb
Gangguan elektronik yang terjadi selama pengukuran dapat diamati dengan
mengukur cacah gangguan latar (background noise, Bg) pada m/z 5, 220 dan 260
pada saat optimasi harian. Maksimum cacah Bg adalah 30 cps. Pada Gambar IV. 2
dapat dilihat grafik hubungan nomor analisis dan cacah Bg yang menunjukkan
semua pengukuran memenuhi kriteria kecil dari 30.
59
Gambar IV. 2 Data hasil optimasi harian analisis ICP-QMS berdasarkan jumlah cacah gangguan (Background noise, Bg) pada m/z 5, 220, dan 260 (Bg 5, Bg 220, dan Bg 260)
Pada awal percobaan hingga sampai percobaan ke 20, cacah Bg rata-rata di atas
sepuluh dan cenderung meningkat sampai 25. Indikasi ini menunjukkan
penampilan alat ICP-QMS cenderung menurun dengan meningkatnya cacah Bg,
sehingga diperlukan optimasi bulanan dan penggantian detektor maupun cone.
Selain itu, tingginya noise juga disebabkan oleh kondisi laboratorium yang kurang
kondusif. Pada saat awal analisis sampai analisis ke 20 pengukuran dilakukan
dalam laboratorium darurat karena laboratorium sedang direnovasi. Percobaan ke
21 dan selanjutnya dilakukan dalam laboratorium yang baru direnovasi dengan
menggunakan alat yang sama tetapi dengan detektor quadrupole dan cone yang
baru. Pada kondisi tersebut, gangguan elektronik dapat diperkecil yang ditandai
dengan cacah Bg stabil pada kisaran 3-5 cps. Grafik ini sangat membantu dalam
meninjau penampilan alat ICP-QMS berdasarkan gangguan elektronik yang
terjadi.
Analisis ICP-QMS adalah suatu analisis yang berdasarkan pengukuran m/z, yaitu
ion positif bermuatan satu. Dengan demikian, diharapkan semua atom terionisasi
60
membentuk ion M+. Namun kenyataannya, ada sebagian atom analit yang
terionisasi membentuk ion bermuatan positif lebih dari satu atau teroksidasi. Oleh
karena itu perlu diamati laju pembentukan oksida dan pembentukan ion positif
bermuatan dua dalam optimasi harian. Berdasarkan penelitian, unsur yang mudah
teroksidasi dalam analisis ICP-QMS adalah Ce, sehingga angka banding CeO dan
Ce dapat digunakan sebagai indikator laju pembentukan oksida analit. Demikian
juga halnya Barium, adalah unsur yang paling mudah terionisasi membentuk Ba2+,
sehingga digunakan sebagai indikator pembentukan ion positif dua.
Pada Gambar IV. 3 ditampilkan grafik hubungan nomor analisis dengan angka
banding laju pembentukan oksida dan ion positif dua. Secara garis besar optimasi
ini memenuhi kriteria standar analisis yaitu angka banding kecil dari 0,03 (3%).
Beberapa percobaan pada tahap akhir penelitian dilakukan dengan kondisi sedikit
di atas angka banding 0,03 untuk laju pembentukan oksida. Kondisi ini tidak
dimaksudkan untuk mengabaikan kriteria standar, namun dengan pertimbangan
laju pembentukan oksida analit yang diteliti jauh lebih rendah dibandingkan
dengan cerium sehingga angka banding CeO/Ce sedikit di atas 0,03 tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap analisis. Pertimbangan lain adalah pada
analisis tahap lanjut, jumlah analit dalam sampel semakin mengecil sehingga
tujuan optimasi harian lebih dititik beratkan pada perolehan cps Rh yang
maksimal yang merupakan indikator kepekaan alat terhadap analit.
Pada Gambar IV. 3 terlihat ada kecenderungan peningkatan laju pembentukan
oksida dan pembentukan ion positif dua setelah beberapa kali percobaan, yang
menunjukkan bahwa penampilan alat ICP-QMS menurun dan merupakan indikasi
untuk melakukan optimasi lengkap. Pada Lampiran F ditampilkan data hasil
optimasi Alat ICP-QMS.
61
Gambar IV. 3 Data hasil optimasi harian analisis ICP-QMS berdasarkan laju pembentukan ion positif 2 (Ba2+/Ba) dan pembentukan oksida (CeO/Ce)
IV.3 Validasi metode destruksi dan analisis total unsur dengan ICP-QMS.
Masalah utama yang harus diselesaikan dalam proses analisis adalah persiapan
sampel yang handal untuk menghindari hilangnya sampel dan kontaminasi. Oleh
karena itu dilakukan perhitungan persen perolehan kembali material rujukan
standar untuk mengetahui apakah metode destruksi dan metode analisis ICP-QMS
yang dikembangkan valid untuk sampel yang dianalisis (Koplik dkk., 1998;
Quevauviller, 2003). Validasi dilakukan dengan menggunakan material rujukan
standar daun tanaman poplar (poplar leaves) serta ranting dan daun tanaman
semak (bush twigs and leaves). Proses destruksi cairan floem dan material rujukan
standar dilakukan pada saat bersamaan dengan penambahan pereaksi yang sama.
Pada Tabel IV. 2 ditampilkan data hasil analisis material rujukan standar daun
tanaman poplar (poplar leaves) serta ranting dan daun tanaman semak (bush twigs
and leaves). Data tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan t-tes satu
sampel untuk mengetahui apakah data hasil analisis bersesuaian dengan nilai
tersertifikasi. Uji statistik ini dilakukan dengan program SPSS versi 11,5. Jenis uji
yang dilakukan adalah dua sisi dengan hipotesis H0 diterima jika rerata sampel
sama dengan µ0 sebaliknya H0 ditolak jika rerata sampel tidak sama dengan µ0.
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
0.040
0 20 40 60 80 100 120Nomor Analisis
Ba /Ba2+
CeO/Ce
Nila
i ban
ding
62
Dalam hal ini µ0 adalah nilai tersertifikasi masing-masing logam. Tingkat
signifikansi yang digunakan adalah 95 %.
Tabel IV. 2 Hasil analisis material rujukan (reference) standar*. Ranting tanaman semak
(bush twigs) Daun tanaman semak
(bush leaves) Daun tanaman poplar
(poplar leaves) Unsur
Hasil analisis
Nilai tersertifikasi
Hasil analisis
Nilai tersertifikasi
Hasil analisis
Nilai tersertifikasi
Mg 0,285 ± 0,014
0,287 ± 0,011
0,469 ± 0,060
0,48 ± 0,03 0,722 ± 0,062
0,65 ± 0,03
Ca 2,172 ± 0,136
2,22 ± 0,07
1,672 ± 0,116
1,68 ± 0,06 1,623 ± 0,435
1,81 ± 0,07
Mn 58,188 ± 4,151
58 ± 3 62,458 ± 5,248
61 ± 3 48,433 ± 4,352
45 ± 2
Zn 21,157 ± 1,325
20,6 ± 1,0 56,717 ± 4,634
55 ± 2 40,816 ± 8,520
37 ± 1
Mo 0,264 ± 0,049
0,26 ± 0,03 0,287 ± 0,057
0,28 ± 0,03 0,184 ± 0,035
0,18 ± 0,01
Cd 0,147 ± 0,020
0,14 ± 0,01 0,416 ± 0,010
(0,38) 0,361 ± 0,040
0,32 ± 0,05
*Satuan konsentrasi untuk Mg dan Ca dalam persen sedangkan unsur lain dalam µg/g. (n = 3; berat sampel = ± 100 mg)(Anonim, 1990).
Berdasarkan uji statistik t-tes satu sampel (Lampiran G) yang dilakukan ketahui
bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan signifikan konsentrasi logam hasil
analisis material rujukan standar dengan nilai tersertifikasi kecuali untuk analisis
Cd dalam daun tanaman semak (bush leaves). Nilai sertifikasi Cd dalam daun
tanaman semak (bush leaves) merupakan nilai semikuantitatif, dimana dalam
sertifikat hanya dituliskan (0,38) tanpa nilai standar deviasi (Tabel IV.2). Nilai
tersebut menunjukkan sulitnya untuk menentukan total Cd dalam daun tanaman
semak (bush leaves) secara eksak walaupun kisaran total Cd dalam daun tanaman
semak (bush leaves) lebih besar dibandingkan dalam daun tanaman poplar (poplar
leaves) dan ranting tanaman semak (bush twigs). Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa metoda destruksi dan analisis total unsur dengan metode ICP-
QMS yang dikembangkan dapat digunakan untuk analisis total unsur cairan floem
dalam tanaman jarak serta untuk analisis selektif unsur dalam fraksi SEC dan
QPNC PAGE.
63
Pada Tabel IV.3 tertera data hasil analisis total unsur dalam cairan floem tanaman
jarak. Secara umum dapat dilihat bahwa perbedaan media kultur tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap total Mg dan Zn, namun berpengaruh
terhadap Ca, Mn, Mo dan Cd. Kandungan Mn, Mo, dan Cd dalam cairan floem
lebih tinggi dengan media aeroponik sebaliknya kandungan Ca lebih rendah.
Fenomena ini sangat menarik, karena umumnya penyerapan larutan nutrisi dengan
media aeroponik lebih baik dibandingkan dengan media pot dan serapan logam
yang tinggi berbanding lurus dengan kandungan logam dalam floem. Fenomena
ini juga ditemukan oleh Grusak dkk (1996) dalam Pomper dan Grusak (2004)
yang menyatakan bahwa konsentrasi Ca dalam xilem kacang polong pada
tanaman yang dikulturkan dengan media hidroponik lebih rendah dibandingkan
pada tanaman yang ditumbuhkan pada lahan tanah.
Tabel IV. 3 Hasil analisis total unsur dalam cairan floem tanaman jarak*. Logam Aeroponik Pot
Mg 131,129 ± 15,782 114,953 ± 10,639Ca 50,136 ± 7,117 70,454 ± 6,244Mn 576,754 ± 70,781 394,989 ± 59,116Zn 6,396 ± 0,333 5,574 ± 0,458Mo 505,072 ± 21,737 65,719 ± 5,828Cd 3,735 ± 1,015 2,278 ± 0,226
*Satuan konsentrasi dalam mg/L untuk Ca, Mg, dan Zn dan µg/L untuk Mn, Mo, dan Cd. (n = 3; berat sampel = ± 300 - 500 mg)
IV.4 Pemisahan spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo dan Cd dengan SEC
Pemisahan tahap I cairan floem dilakukan dengan menggunakan metode SEC.
Ada dua kolom yang digunakan pada penelitian ini yaitu kolom sephadex G-50
SF dan kolom sephadex G-25 M. Pemisahan utama dilakukan dengan
menggunakan kolom sephadex G-50 SF sedangkan pemisahan preparatif dengan
tujuan pemisahan lebih lanjut digunakan kolom sephadex G-25 M. Kondisi
operasional pemisahan SEC telah ditampilkan pada Tabel III.6.
IV.4.1 Kalibrasi kolom sephadex G-50
Kolom sephadex G-50 SF dikalibrasi dengan menggunakan kit campuran standar
penanda berat molekul yang terdiri dari thyroglobulin (670 kDa), bovin globulin
64
(158 kDa), chicken ovalbumin (44 kDa), equine myoglobin (17,5 kDa), dan
vitamin B12 (1,35 kDa). Pada Gambar IV. 4 dapat dilihat profil serapan UV
campuran standar tersebut.
Pada Gambar IV. 4 terlihat protein A dan B terelusi pada volume mati,
sebagaimana diketahui bahwa range fraksinasi gel ini adalah 1,5 – 30 kDa untuk
protein globular dan 0,5 – 10 kDa untuk dekstran (Tabel III.6), sehingga semua
protein diatas 30 kDa akan terelusi pada volume mati. Keunggulan metode
pemisahan yang dikembangkan adalah kemampuan untuk memisahkan ovalbumin
(puncak C) yang berat molekulnya 44 kDa dari thyroglobulin dan bovin globulin.
Keunggulan tersebut menunjukkan metode pemisahan yang dikembangkan
mempunyai resolusi lebih tinggi dari kisaran teoritis berat molekul relatif pada
volume mati kolom sephadex G-50 SF. Oleh karena itu, puncak yang muncul
pada volume mati akan dinotasikan mempunyai berat molekul besar lebih dari 44
kDa dan bukan 30 kDa.
Gambar IV. 4 Profil elusi kalibrasi kolom sephadex G-50 SF (buffer MES). A (5 mg thyroglobulin, 670 kDa), B (5 mg bovin globulin, 158 kDa), C (5 mg chicken ovalbumin, 44 kDa), D (2,5 mg equine myoglobin, 17,5 kDa), dan E (0,5 mg vitamin B12, 1,35 kDa). Pendeteksian serapan UV pada 254 nm.
Myoglobin dan vitamin B12 mudah dideteksi ketika terelusi karena keduanya
berwarna. Myoglobin berwarna kuning sedangkan vitamin B12 berwarna pink.
65
Intensitas serapan vitamin B12 cukup besar relatif dibandingkan dengan protein
lainnya walaupun jumlahnya hanya 0,5 mg sedangkan protein lain beratnya 5 mg
kecuali myoglobin 2,5 mg.
Berdasarkan profil elusi tersebut, dibuat kurva kalibrasi berat molekul relatif
kolom sephadex G-50 (Lampiran H) dan diperoleh persamaan kalibrasi sebagai
berikut:
Kav = - 0,519 log MW + 2,4588
dimana Kav adalah koefisien partisi dan MW adalah berat molekul relatif dengan
nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,9998. Dengan menggunakan persamaan ini
berat molekul relatif spesi dapat ditentukan.
IV.4.2 Profil serapan UV cairan floem
Pada Gambar IV. 5 ditampilkan profil serapan UV cairan floem tanaman Jarak
menggunakan fasa gerak larutan MES dan NaCl. Resolusi pemisahan dengan fasa
gerak Tris-HCl kurang jelas sehingga tidak ditampilkan.
Gambar IV. 5 Profil serapan UV cairan floem tanaman Jarak pada kolom Sephadex G-50 SF. Pendeteksian UV pada panjang gelombang 254 nm. (a) sampel cairan floem sebanyak 0,5 mL difraksinasi menggunakan 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0 dan (b) sampel cairan floem sebanyak 1,0 mL difraksinasi menggunakan 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
66
Berdasarkan profil serapan UV yang muncul, dapat disimpulkan paling sedikit
ada 6 kelompok senyawa aktif UV berdasarkan perbedaan berat molekulnya
dalam cairan floem. Intensitas serapan UV kelompok A sangat lemah (0,1) relatif
dibandingkan intensitas serapan kelompok C. Telah dilakukan juga optimasi
metode dengan menurunkan kepekaan detektor dan memperkecil jumlah sampel
untuk menurunkan intensitas serapan kelompok C, namun serapan kelompok C
tetap lebih dari 1,0 sehingga puncaknya tidak muncul dan efeknya puncak serapan
kelompok A, E dan F tidak terdeteksi. Dalam hal ini metode pemisahan yang
optimal yang dipilih adalah jika kelompok A masih dapat terdeteksi dengan baik
(intensitas serapan UV maksimal 0,1).
Kelompok A terelusi pada volume mati baik menggunakan fasa gerak MES
maupun NaCl. Kelompok B dan C tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan
buffer MES, sedangkan pemisahan dengan fasa gerak NaCl kelompok B dapat
dipisahkan dengan baik namun kelompok C dan D tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian pemisahan dengan menggunakan kedua fasa gerak tersebut
saling komplementer.
Gambar IV. 6 Profil serapan UV cairan floem tanaman Jarak pada kolom Sephadex G-50 SF menggunakan buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian UV pada panjang gelombang 254 nm. (a) sampel cairan floem sebanyak 0,5 mL dan (b) fraksinasi lanjutan 2 mL fraksi 42 dari hasil pemisahan (a).
-0.1
0.1
0.3
0.5
0.7
0.9
0 100 200 300 400 500 600 700Volume elusi (mL)
Inte
nsita
s ser
apan
UV
(a) Phloem(b) Fr.42
A
E
DC
B
F
67
Kelompok B dan C dapat dipisahkan setelah isolasi lebih lanjut fraksi 42 pada
volume elusi 302,4 mL (Gambar IV. 6) menggunakan kolom dan fasa gerak yang
sama (MES). Adapun Kelompok E dapat terpisah dengan baik dengan
menggunakan fasa gerak NaCl namun tidak terpisah dengan baik dalam MES.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah larutan MES dan NaCl dapat digunakan
sebagai fasa gerak pada proses pemisahan cairan floem tanaman jarak.
IV.4.3 Profil Elusi karbon, sulfur dan fosfor
Gambaran profil elusi senyawa organik dalam cairan floem setelah pemisahan
dengan metode SEC dapat diinterpretasikan dari profil elusi atom karbon, fosfor
dan sulfur. Profil elusi nitrogen tidak dapat digunakan untuk maksud tersebut
karena fasa gerak mengandung NaN3 dan matriks larutan analit ICP-QMS dalam
larutan asam nitrat. Kelimpahan senyawa organik dalam cairan floem sangat besar
sehingga isotop yang digunakan isotop minor untuk menghindari penghitungan
cacah yang terlalu tinggi (over count). Fosfor adalah monoisotop, sehingga tidak
ada pilihan lain kecuali menggunakan isotop 31P. Jika terjadi over count, maka
pembacaan cacah tidak dapat dideteksi. Untuk menghindari hal tersebut maka
dwel ltime fosfor diturunkan (3-5 ms). Jumlah cps fosfor tertinggi yang masih
dapat dideteksi oleh alat adalah 657576 cps. Isotop karbon dan sulfur yang
digunakan adalah karbon 13 (persen kelimpahan 1,10%) dan sulfur 34 (persen
kelimpahan 4,21 %).
Pada Gambar IV. 7 ditampilkan profil elusi karbon dalam cairan floem setelah
pemisahan SEC pada kolom sephadex G-25 M. Untuk menghindari perbedaan
penghitungan cps akibat perbedaan viskositas analit maupun kondisi elektronik
alat pada saat analisis berlangsung, sebagai sumbu Y digunakan angka banding
cps unsur dibagi cps In.
Seperti yang terlihat pada Gambar IV. 7, ada dua spesi karbon dalam cairan
floem, yaitu spesi minor CB1 pada volume elusi 0,7 – 1,0 mL dengan kelimpahan
relatif 0,58 % dan spesi utama CB2 pada volume elusi 1,1 – 2,9 mL. Spesi CB2
merupakan akumulasi dari sebagian besar senyawaan karbon (99,42 %) dalam
68
cairan floem dimana konsentrasi karbon tertinggi terdeteksi pada fraksi 19
(volume elusi 1,9 mL). Jika dibandingkan dengan profil elusi protein (lihat Sub
Bab IV.4.5 dan Gambar IV.22), yaitu pada volume elusi 0,5 – 1,5 mL,
menunjukkan bahwa spesi minor karbon dan sebagian spesi utama karbon
berkorelasi positif dengan profil elusi protein. Persen cps karbon pada daerah elusi
polipeptida/protein sekitar 7,78 % dari seluruh cps karbon dalam cairan floem.
Penghitungan ini sangat berguna untuk melihat komposisi senyawa organik dalam
cairan floem. Berdasarkan profil tersebut juga terlihat bahwa spesi minor karbon
merupakan spesi dengan berat molekul relatif besar dan spesi utama karbon
adalah spesi dengan berat molekul kecil.
Gambar IV. 7 Profil distribusi karbon pada kolom sephadex G-25. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Krüger dkk. (2002) telah melakukan analisis sukrosa dalam cairan floem dalam
kecambah jarak yang berumur 7 hari. Sukrosa terelusi pada daerah molekul
rendah (kolom NAP-5, buffer MES pH 5,5) dengan profil yang mirip pada
Gambar IV.7. Jika persen kelimpahan spesi CB2 yang sebesar 99,42 % dikurangi
dengan persen kelimpahan karbon pada daerah elusi protein/polipeptida (7, 78 %)
maka secara perhitungan kelimpahan relatif senyawa karbon di luar daerah elusi
0
5
10
15
20
25
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0
Volume elusi (mL)
Cps
C/ c
ps In
C
CB1
CB2
69
protein/polipeptida adalah sebesar 91,64 %. Hasil ini bersesuaian dengan
kandungan sukrosa dalam cairan floem (lebih besar dari 90 %) yang kemukakan
oleh Pate (1975 dalam Salisbury dan Ross 1995). Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar spesi CB2 kemungkinan sukrosa dan karbohidrat lainnya yang
terdapat dalam cairan floem tanaman jarak.
Sukrosa merupakan fotosintat terpenting dalam cairan floem. Penelitian tentang
sukrosa dalam cairan floem tanaman jarak telah banyak dilakukan baik
menggunakan kecambah (Kallarackal dkk., 1989; Verscht dkk., 1998; Kalusche
dkk., 1999; Geigenberger dkk., 1993; Krüger dkk., 2002) maupun tanaman jarak
dewasa (Vreugdenhil dan Koot-Gronsveld, 1989; Jongebloed dkk., 2004). Dalam
beberapa penelitian tersebut dibahas tentang proses transport, pemuatan dan
pembongkaran (loading and unloading) sukrosa floem, dan metabolismenya.
Namun sebagian besar menggunakan kecambah tanaman jarak sebagai obyek
penelitian dan penambahan/adisi karbohidrat tertentu untuk memudahkan proses
pengamatan (Geigenberger dkk., 1993) atau penggunaan bahan radioaktif
(Kalusche dkk., 1999). Pemodelan proses transport dengan menggunakan
kecambah memudahkan untuk mempelajari proses transport sukrosa pada
batasan-batasan tertentu. Adapun penelitian yang dilakukan menggunakan cairan
floem yang diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan alami tanpa bahan
radioaktif dan analisis pemisahan dan pendeteksian tanpa penambahan aditif
karbohidrat sehingga orisinalitas cairan floem dari tanaman dewasa dapat
dipertahankan.
Forfor terelusi pada volume elusi 0,8 – 3,0 mL dan dinyatakan sebagai spesi PB1,
PB2, PB3 dan PB4 yang saling tumpang tindih (Gambar IV. 8). Puncak spesi PB1
sulit ditentukan posisinya yang berada pada kaki spesi PB2 sedangkan puncak
spesi PB2, PB3 dan PB4 berturut-turut pada volume elusi 1,7; 2,0; dan 2,2 mL.
Fraksi fosfor (Spesi PB1 dan sebagian spesi PB2) pada daerah elusi
polipeptida/protein sebesar 14,97 % dari total fosfor.
70
Gambar IV. 8 Profil distribusi fosfor pada kolom sephadex G-25. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Keberhasilan penelitian ini adalah dapat mendiferensiasikan fosfor dalam cairan
floem menjadi empat spesi fosfor yang tidak dapat dapat dipisahkan oleh Van
Goor dan Wiersma (1976). Van Goor dan Wiersma (1976) telah melakukan
fraksinasi spesi fosfor dalam cairan floem jarak menggunakan kolom sephadex G-
10, G-15 dan G-25. Dalam penelitian tersebut digunakan radioisotop 32P dan
pendeteksian selektif fosfor dilakukan dengan pencacah radiasi ß (philips liquid
scintillation counter PW 4510). Hasil penelitian menunjukkan cuma ada satu
spesi fosfor dengan menggunakan ketiga kolom tersebut. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pendeteksian selektif fosfor dengan ICP-QMS yang
dilakukan telah berhasil mendeteksi dengan baik keberadaan keempat spesi fosfor
tersebut.
Profil elusi sulfur (Gambar IV. 9) agak unik dibandingkan profil elusi karbon dan
fosfor yang dapat diinterpretasikan dengan mudah. Dengan mempertimbangkan
terbentuknya bahu pada profil sulfur, terdeteksi minimal 7 puncak sulfur pada
daerah elusi 0,5 – 2,5 mL. Ada 4 spesi pada daerah elusi polipeptida/protein dan 3
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0
Volume elusi (mL)
Cps
C/ c
ps In
P
PB1
PB4PB3PB2
71
spesi pada daerah berat molekul rendah. Spesi utama terletak pada daerah berat
molekul rendah. Persen sulfur pada daerah elusi polipeptida/protein adalah 23,65
% dari total sulfur.
Gambar IV. 9 Profil distribusi sulfur pada kolom sephadex G-25. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Fraksi SEC dari kolom Sephadex G-25 M yaitu fraksi 5-15; yang berkorelasi
positif dengan daerah elusi polipeptida/protein, dikumpulkan lalu dipisahkan lebih
lanjut menggunakan kolom sephadex G-50 SF untuk melihat profil fraksi
polipeptida/protein cairan floem pada kolom sephadex G-50 SF dan mendapatkan
hasil pemisahan spesi dengan resolusi yang lebih baik. Pada Gambar IV. 10 dapat
dilihat profil elusi karbon pada kolom sephadex G50 SF. Dari gambar tersebut
terlihat dengan jelas dua spesi karbon yaitu CA1 dan CA2. Spesi CA1 terelusi pada
volume mati (persen kelimpahan spesi CA1 7,78 %) dan spesi CA2 pada daerah
elusi serapan maksimum UV cairan floem. Hal ini tidak berarti tidak ada spesi
karbon pada daerah volume elusi 110 - 260 mL. Namun karena intensitasnya yang
sangat kecil dan berada di bawah batas kuantifikasi sehingga tidak terdeteksi.
0,0
1,5
3,0
4,5
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0
Volume elusi (mL)
Cps
C/ c
ps In
S
SB4
SB1SB2
SB3
SB5
SB6
SB7
72
Gambar IV. 10 Profil distribusi karbon pada kolom sephadex G-50 setelah bidimensional pemisahan. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 400 µL akumulasi fraksi 5-15 SEC Sephadex G25 M; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Spesi fosfor dari sampel fraksi 5-15 kolom sephadex G25 juga dapat dibuktikan
setelah bidimensional pemisahan dengan kolom sephadex G50 SF (Gambar IV.
11). Terdeteksi ada 4 spesi fosfor, yaitu PA1, PA2, PA3, dan PA4. Spesi-spesi
tersebut berturut-turut terdeteksi pada volume mati, volume elusi 216, 280, 302
mL. Profil elusi spesi PA1, PA3, dan PA4 berkorelasi positif dengan profil serapan
aktif UV cairan floem.
Jika pada kolom sephadex G25, terdeteksi 7 spesi sulfur, maka pada kolom
sephadex G50 terdeteksi lebih banyak lagi yaitu 11 spesi sulfur (Gambar IV. 12).
Hal ini menunjukkan metode SEC pada kolom sephadex G50 SF mempunyai
resolusi yang lebih tinggi sehingga mampu memisahkan spesi sulfur dengan lebih
baik. Jika spesi karbon dan fosfor umumnya terdeteksi pada daerah serapan aktif
UV cairan floem saja, maka spesi sulfur tersebar mulai dari volume mati hingga
volume elusi 350 mL. Spesi SA1 pada volume mati kemungkinan bagian dari
protein dengan berat molekul besar dari 44kDa.
0
3
6
9
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Volume elusi (mL)
cps C
/cps
In
C 13
CA1
CA2
73
Gambar IV. 11 Profil distribusi fosfor pada kolom sephadex G-50 setelah bidimensional pemisahan. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 400 µL akumulasi fraksi 5-15 SEC Sephadex G25 M; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Insert: Profil PA1.
.
Gambar IV. 12 Profil distribusi sulfur pada kolom sephadex G-50 setelah bidimensional pemisahan. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 400 µL akumulasi fraksi 5-15 SEC Sephadex G25 M; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Volume elusi (mL)
cps P
/cps
In
P 31
PA2
PA4PA3
PA1
-0,001
0,001
0,003
0,005
50 100 150 200
Volume elusi (mL)
cps P
/cps
In
P 31
PA1
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Volume elusi (mL)
cps P
/cps
In
P 31
PA2
PA4PA3
PA1
-0,001
0,001
0,003
0,005
50 100 150 200
Volume elusi (mL)
cps P
/cps
In
P 31
PA1
0,0
0,3
0,6
0,9
1,2
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Volume elusi (mL)
cps S
/cps
In
S 34
SA1 SA5
SA6SA4SA3
SA2
SA8
SA7
SA9
SA10
SA11
74
IV.4.4 Profil Elusi dan distribusi berat molekul spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo,
dan Cd pada kolom sephadex G-50 SF
Cairan floem yang telah melalui kolom sephadex G-50 SF difraksinasi menjadi 95
fraksi kemudian dideteksi selektif unsur menggunakan ICP-QMS. Sebelumnya,
setiap fraksi dibagi dua, satu bagian untuk pendeteksian selektif unsur dan bagian
lainnya untuk pemisahan lebih lanjut. Data mentah hasil pendeteksian selektif
unsur direduksi dengan nilai batas kuantifikasi untuk masing-masing unsur. Hasil
reduksi data mentah yang bernilai negatif dianggap nol. Hasil pengolahan data
tersebut diplotkan dengan nomor fraksi atau volume elusi setiap fraksi sehingga
diperoleh profil elusi spesi setelah pemisahan. Pengolahan data pemisahan SEC
dapat dilihat pada Lampiran J.
Pada Gambar IV. 13 ditampilkan profil elusi spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo dan Cd
dengan menggunakan larutan MES sebagai fasa gerak yang dibandingkan dengan
profil elusi serapan UV cairan floem. Untuk memudahkan interpretasi awal data
hasil penelitian, sebagai sumbu y digunakan satuan konsentrasi ternormalisasi
dengan fraksi yang mengandung konsentrasi tertinggi. Hal ini dilakukan karena
rentang konsentrasi untuk setiap unsur berbeda mulai dari rentang konsentrasi
pg/mL sampai µg/mL.
Secara umum pada Gambar IV. 13 terlihat bahwa sebagian besar spesi yang
dideteksi berkorelasi positif dengan serapan UV cairan floem. Spesi pertama Mg,
Ca, Zn, Mo, Mn dan Cd terdeteksi pada daerah volume mati dengan kelimpahan
relatif yang sangat kecil dibandingkan spesi lainnya kecuali Cd. Spesi utama
umumnya terdeteksi pada daerah di bawah 1 kDa, yaitu pada daerah serapan UV
maksimum. Hanya spesi MgA2, ZnA2, Cd A2, dan CdA3 yang tidak bersesuain
dengan serapan UV cairan floem.
75
Gambar IV. 13 Profil elusi spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo, dan Cd serta serapan UV 0,5 mL cairan floem tanaman jarak pada kolom Sephadex G-50 SF menggunakan buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Deteksi UV pada panjang gelombang 254 nm dan deteksi selektif unsur menggunakan ICP-QMS. Daerah yang diarsir adalah daerah serapan UV. (A) spesi Mg, Ca, dan serapan UV, (B) spesi Mn dan Zn, dan (C) spesi Mo dan Cd.
76
Pada Gambar IV. 14 ditampilkan perbandingan profil elusi spesi Mg cairan floem
tanaman jarak yang dikulturkan secara aeroponik dan pot setelah fraksinasi
menggunakan metode SEC. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan pada profil elusi spesi Mg dan kisaran
konsentrasinya untuk masing-masing spesi dengan menggunakan kedua kultur.
Kenyataan ini semakin menunjukkan bahwa tidak ada batasan kandungan
Magnesium dalam tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).
0
500
1000
1500
2000
2500
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
50 100 150 200Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi/
frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
MgA1
MgA2
MgA3
MgA1
0
500
1000
1500
2000
2500
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
50 100 150 200Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi/
frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
MgA1
MgA2
MgA3
MgA1
Gambar IV. 14 Profil distribusi spesi Mg pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Tiga spesi Mg terdeteksi, yaitu spesi MgA1 yang terdeteksi pada volume mati;
spesi MgA2, yang merupakan spesi utama dengan berat molekul relatif 1780 Da;
dan spesi MgA3 di bawah 1350 Da. Penentuan berat molekul spesi MgA1 dan MgA3
yang lebih eksak tidak dapat dilakukan karena berada di luar rentang kurva
kalibrasi kolom sephadex G-50 SF. Pendeteksian selektif unsur dengan
menggunakan ICP-QMS dengan batas kuantifikasi 1,198 µg/L telah berhasil
dengan baik mendeteksi spesi MgA1 (insert pada Gambar IV. 14) dengan
kelimpahan relatif hanya 0,01 – 0,08 %. Spesi MgA1 kemungkinan berasosiasi
77
dengan makromolekul karena mempunyai berat molekul relatif di atas 44 kDa.
Makromolekul tersebut kemungkinan enzim yang diperlukan dalam proses
fotosintesis, respirasi, dan pembentukan DNA maupun RNA (Salisbury dan Ross,
1995).
Tabel IV. 4 Distribusi Spesi Mg dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.)*.
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif (Da) Aeroponik Pot
MgA1 > 44.000 0,08 0,01 ± 0,01 MgA2 1780 ± 250 98,21 97,28 ± 2,52 MgA3 < 1350 1,71 2,71 ± 2,53
*Pemisahan dilakukan dengan menggunakan SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Pada Tabel IV. 5 dan Gambar IV. 15 dapat dilihat profil distribusi spesi Ca dalam
cairan floem tanaman Jarak menggunakan kolom sephadex G-50 SF, dimana
ditemukan 3 spesi Ca berdasarkan perbedaan berat molekulnya. Seperti halnya
spesi MgA1 dan MgA3, ketiga spesi Ca berada di luar rentang kurva kalibrasi berat
molekul relatif kolom sephadex G-50 SF, sehingga tidak bisa ditentukan dengan
dengan eksak berat molekulnya. Spesi CaA1 ditemukan pada daerah berat molekul
tinggi (> 44.000 Da) sedangkan kedua spesi Ca lainnya pada daerah berat molekul
rendah (< 1350 Da).
Tabel IV. 5 Distribusi Spesi Ca dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.)*.
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif
(Da) Aeroponik Pot
CaA1 > 44.000 1,95 2,12 ± 1,72
Ca A2 < 1350 74,75 79,76 ± 2,04
Ca A3 < 1350 23,30 18,12 ± 0,32
*Pemisahan dilakukan dengan menggunakan SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
78
Gambar IV. 15 Profil distribusi spesi Ca pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Profil elusi Ca cairan floem jarak yang ditumbuhkan dengan media aeroponik dan
pot relatif sama, namun distribusi spesi Ca signifikan berbeda. Spesi CaA1 (lihat
insert pada Gambar IV. 16), seperti halnya spesi Mg A1, terdeteksi pada volume
mati dengan kelimpahan relatif sekitar 1,95 – 3,33%. Kelimpahan relatif spesi
CaA1 dan CaA2 menggunakan media tanam aeroponik lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan media pot.
Pada Gambar IV. 15 terlihat juga perbedaan total kandungan Ca yang signifikan.
Fenomena menarik ini menunjukkan adanya perbedaan penyerapan Ca dan
pendistribusian Ca dalam cairan floem tanaman jarak berdasarkan perbedaan
media kulturnya. Adapun total kandungan Ca spesi CaA3 berkisar antara 6 – 8
mg/L dan tidak berbeda secara signifikan dengan menggunakan kedua media
tersebut.
0
200
400
600
800
1000
1200
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
0
10
20
30
40
50
50 100 150 200Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
CaA1
CaA2
CaA3
CaA1
0
200
400
600
800
1000
1200
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
0
10
20
30
40
50
50 100 150 200Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
CaA1
CaA2
CaA3
CaA1
79
Pada tahap awal penelitian, jumlah sampel cairan floem yang difraksinasi adalah
500 µL berdasarkan pertimbangan sulitnya memperoleh cairan floem dalam
jumlah besar dan tujuan utama untuk melihat profil distribusi unsur yang diteliti
secara keseluruhan. Berdasarkan hasil fraksinasi tersebut, sebagian kecil unsur
obyek penelitian ditemukan pada daerah volume mati, yaitu pada daerah fraksi
12-17, kecuali Mn. Pengamatan lebih intens dilakukan pada data mentah hasil
pendeteksian selektif Mn, yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
konsentrasi Mn mulai pada fraksi 12 yang puncaknya pada fraksi 14 yang
kemudian menurun sampai fraksi 17. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya
Mn pada daerah tersebut, yang merupakan daerah terdapatnya makromolekul
dengan massa molekul relatif besar dari 44 kDa. Sebagaimana diketahui bahwa
Mn dibutuhkan dalam proses fotosintesis dimana atom Mn berperan pada pusat
katalitik oksidasi air dalam sistem fotosintesis II dan dibutuhkan sebagai kofaktor
untuk beberapa enzim seperti enzim Mn-superoksida dismutase (MnSOD)
(Pittman, 2005). Dengan demikian, tidak ditemukannya Mn pada daerah void
volume kolom, kemungkinan karena sedikitnya jumlah sampel yang diaplikasikan
dan konsentrasi Mn yang sangat rendah (sekitar 0,150 µg/L) yang berada di
bawah batas kuantifikasi Mn sebesar 0,169 µg/L untuk percobaan dengan
menggunakan media tanam aeroponik dan 0,174 µg/L untuk percobaan dengan
menggunakan media tanam pot. Oleh karena itu, dilakukan percobaan dengan
jumlah sampel yang lebih besar yaitu 1,5 mL dengan tujuan untuk membuktikan
keberadaan Mn pada volume mati kolom dan untuk isolasi lebih lanjut beberapa
spesi lainnya.
Percobaan dengan aplikasi sampel 1,5 mL telah berhasil menunjukkan adanya
sebagian kecil Mn (kelimpahan relatif 0,4%) pada daerah volume mati.
Keberhasilan pembuktian ini dicapai pertama karena aplikasi sampel yang lebih
besar akan meningkatkan konsentrasi Mn dalam setiap fraksi. Sebagai contoh,
data mentah konsentrasi Mn dalam fraksi 14 adalah 0,132 – 0,168 µg/L untuk
aplikasi sampel 0,5 mL dan 0,232 µg/L untuk aplikasi sampel 1,5 mL.
Keberhasilan kedua dicapai dengan menurunkan batas kuantifikasi Mn menjadi
0,097 µg/L. Batas kuantifikasi Mn dapat diturunkan setelah melakukan
80
pembersihan kedua cone, torch, dan optimasi lengkap ICP-QMS, dan pengaturan
kondisi operasional ICP-QMS dengan prioritas analisis selektif Mn. Aplikasi
jumlah sampel yang berbeda pada percobaan ini masih dapat ditolerir karena tidak
mempengaruhi profil elusi spesi Mn. Hal ini terbukti dengan terdeteksinya puncak
MnA2 dan MnA3 pada fraksi yang sama untuk kedua percobaaan. Distribusi spesi
Mn dalam cairan floem tanaman jarak setelah fraksinasi menggunakan kolom
Sephadex G-50 SF dapat dilihat pada Tabel IV. 6 dan Gambar IV. 16.
Tabel IV. 6 Distribusi Spesi Mn dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.)*.
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif
(Da) Aeroponik Pot
MnA1 > 44.000 - 0,16 ± 0,23
MnA2 < 1350 80,42 73,72 ± 0,04
MnA3 < 1350 19,58 26,12 ± 0,19 *Pemisahan dilakukan dengan menggunakan SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Seperti yang tertera dalam Tabel IV. 6 , ada tiga spesi Mn yang terdeteksi dalam
cairan floem tanaman jarak. Spesi MnA1 terdeteksi pada volume mati dengan
kelimpahan relatif 0,02 – 0,16 %, spesi MnA2 yang merupakan spesi utama
dengan kelimpahan relatif 73 – 80 % dan berat molekul relatif kecil dari 1350 Da.
Terakhir spesi MnA3 juga mempunyai berat molekul dibawah 1350 Da dan
kelimpahan relatif 19 – 27%. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian
Van Goor dan Wiersma (1976). Keunggulan penelitian yang dilakukan adalah
kemampuan mendeteksi keberadaan spesi MnA1 yang tidak terdeteksi oleh Van
Goor dan Wiersma.
Berbeda dengan spesi CaA2 yang ditemukan dalam jumlah lebih besar dalam
cairan floem tanaman jarak pada media pot, spesi MnA2 justru terdapat lebih
banyak dalam cairan floem tanaman jarak pada media aeroponik. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan sifat spesi CaA2 dan spesi MnA2 yang
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan mekanisme penyerapan unsur tersebut
81
dan perbedaan sifat Ca yang immobil (Hanger, 1979; Reddy, 2001) dan Mn yang
mobil dalam floem. Selain ketiga spesi tersebut, ada sebagian Mn yang
terdistribusi sebagai ekor (tailing) pada volume elusi 350 mL sampai 500 mL,
yang kemungkinan adalah ion Mn2+.
Gambar IV. 16 Profil distribusi spesi Mn pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Insert: percobaan dengan aplikasi sampel 1,5 mL dengan media tanam pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Pengambilan keputusan untuk menginterpretasi data dan pengelompokkan
sekumpulan titik yang membentuk puncak sebagai suatu spesi tersendiri
merupakan suatu hal yang tidak mudah. Spesi ZnA1 dapat dengan mudah
dikelompokkan sebagai suatu spesi Zn, berdasarkan pengamatan spesi unsur lain
yang juga teramati pada volume mati dan keberadaannya yang relatif signifikan
yaitu sekitar 5 – 12% (Gambar IV. 17). Demikian juga dengan spesi ZnA3 sebagai
spesi utama yang terdeteksi pada volume elusi 288 mL dengan kelimpahan relatif
80 – 88% (Tabel IV. 7), sangat mudah untuk dikelompokkan sebagai suatu spesi
0
2
4
6
8
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
MnA1
MnA2
MnA3
0.0
0.1
0.2
50 100 150Volume elusi(mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L) MnA1
0
2
4
6
8
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
MnA1
MnA2
MnA3
0.0
0.1
0.2
50 100 150Volume elusi(mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L) MnA1
82
Zn. Namun tidak demikian untuk spesi ZnA2 yang bentuknya mirip fronting
puncak spesi ZnA3. Setelah pengamatan lebih teliti dari beberapa data hasil
percobaan, teramati adanya penurunan konsentrasi Zn dalam fraksi 37/38 sebelum
kemudian naik kembali membentuk kelompok spesi ZnA3. Berdasarkan hal
tersebut dikelompokkan puncak yang terbentuk pada fraksi 32 sampai 36/37
sebagai spesi ZnA2.
Tabel IV. 7 Distribusi Spesi Zn dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.)*.
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif (Da)
Aeroponik Pot
ZnA1 > 44.000 6,82 8,20 ± 5,09
ZnA2 2057 ± 300 12,64 7,98 ± 2,85
ZnA3 1350 ± 200 80,54 83,82 ± 7,94 *Pemisahan dilakukan dengan menggunakan SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Gambar IV. 17 Profil distribusi spesi Zn pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
0
40
80
120
160
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
ZnA1 ZnA2
ZnA3
83
Tidak ada pengaruh media tanam terhadap laju elusi spesi ZnA1 namun menggeser
puncak spesi ZnA2 dan ZnA3 satu fraksi pada media tanam pot. Puncak spesi ZnA2
teramati pada fraksi 36 pada media tanam aeroponik sedangkan pada media tanam
pot pada fraksi 37 dan puncak spesi ZnA3 terdeteksi pada fraksi 39 untuk media
tanam aeroponik dan pada fraksi 40 untuk media tanam pot. Perbedaan posisi
puncak sebesar satu fraksi masih dapat diterima dan telah diperhitungkan dalam
rentang berat molekul relatif spesi sebagai standar deviasi perhitungan berat
molekul relatif.
ZnA1 ditemukan kurang lebih dua kali lebih banyak dalam cairan floem tanaman
jarak dengan media pot dibandingkan dengan media aeroponik baik jumlah total
Zn maupun persen kelimpahan relatifnya. Sebaliknya jumlah total Zn untuk spesi
ZnA2 pada media pot lebih kecil dibandingkan pada media aeroponik. Adapun
untuk spesi ZnA3 tidak ditemukan pengaruh perbedaan media tanam yang
signifikan terhadap jumlah total Zn dalam spesi tersebut.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan metode fraksinasi SEC dan pendeteksian
selektif unsur ICP-QMS yang diterapkan telah berhasil mendeteksi spesi Zn
dalam cairan floem tanaman jarak dengan baik dan persen perolehan kembali
(recovery) yang tinggi dengan menggunakan sampel cairan floem dari tanaman
jarak yang berbeda dan kultur tanam yang berbeda serta waktu analisis yang
berbeda.
Pada Tabel IV. 8 dan Gambar IV. 18 dapat dilihat profil distribusi spesi Mo dalam
cairan floem tanaman Jarak menggunakan kolom sephadex G-50 SF. Ada dua
spesi Mo yang dapat dideteksi dengan mudah, yaitu spesi MoA1 yang terdeteksi
pada volume mati dan puncak spesi MoA2 yang terdeteksi pada volume elusi 316
mL. Seperti halnya spesi pertama unsur lainnya, spesi MoA1 merupakan spesi
minor dan spesi MoA2 adalah spesi utama dengan kelimpahan relatif 93 -98%.
84
Tabel IV. 8 Distribusi Spesi Mo dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.)*.
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif
(Da) Aeroponik Pot
MoA1 > 44.000 1,97 5,87 ± 0,84
MoA2 < 1350 98,03 94,13 ± 0,84 *Pemisahan dilakukan dengan menggunakan SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Perbedaan media tanam tidak berpengaruh terhadap profil elusi spesi Mo namun
berbeda nyata terhadap jumlah total Mo dalam setiap spesi. Spesi MoA1 terdapat
kurang lebih lima kali lebih besar dan spesi MoA2 sepuluh kali lebih besar dalam
cairan floem tanaman jarak dengan media aeroponik dibandingkan dengan media
pot. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap penyerapan
Mo dengan media aeroponik dan media pot. Dengan media aeroponik Mo terserap
lebih banyak oleh pembuluh akar tanaman jarak yang konsekuensinya
meningkatkan jumlah kandungan Mo dalam cairan floem.
Kelimpahan relatif spesi MoA1 pada media aeroponik hanya sekitar 2% jika
dibandingkan dengan media pot yang dapat mencapai sampai 7% relatif terhadap
spesi MoA2. Hasil penelitian ini menunjukkan kemungkinan pembentukan spesi
MoA1 yang merupakan makromolekul lebih lambat dibandingkan dengan sintesis
spesi MoA2 yang berat molekul relatifnya di bawah 1 kDa.
Pada Gambar IV. 19 dan Tabel IV. 9 dapat dilihat profil elusi spesi Cd dalam
cairan floem tanaman jarak. Minimal ada 5 spesi Cd dalam sampel tersebut, yaitu
CdA1, CdA2, CdA3, CdA4, dan CdA5 dengan berat molekul masing-masing besar dari
44 kDa, 15560 ± 2000 Da, 2057 ± 300 Da, dan dua spesi terakhir dibawah 1350
Da. Secara keseluruhan terlihat bahwa konsentrasi spesi Cd dalam cairan floem
tanaman jarak yang ditumbuhkan dengan menggunakan media aeroponik lebih
tinggi dibandingkan dengan menggunakan media pot seperti halnya pada spesi
Mo.
85
Gambar IV. 18 Profil distribusi spesi Mo pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Gambar IV. 19 Profil distribusi spesi Cd pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; kultur tanaman (a) aeroponik dan (b) pot. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
CdA1CdA5
CdA4
CdA3
CdA2
0
2
4
6
8
10
12
14
0 100 200 300 400 500 600 700
Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) aeroponik(b) pot
MoA1
MoA2
86
Tabel IV. 9 Distribusi Spesi Cd dalam cairan floem tanaman Jarak (Ricinus communis L.).
Kelimpahan relatif (%) Spesi Berat molekul relatif
(Da) Aeroponik Pot
CdA1 > 44.000 10,37 7,13 ± 3,00 CdA2 15560 ± 2000 25,58 15,42 ± 2,87 CdA3 2377 ± 300 41,67 62,78 ± 1,11 CdA4 < 1350 8,51 13,95 ± 0,22 CdA5 < 1350 13,86 2,55 ± 1,57
*Pemisahan dilakukan dengan menggunakan metode SEC pada kolom Sephadex G-50 SF, buffer 20 mM MES/ 1mM NaN3 pH 8,0. Pendeteksian selektif unsur dilakukan menggunakan ICP-QMS.
Kemungkinan ada korelasi positif yang kuat antara Cd dan sulfur dalam cairan
floem yang terbukti karena kemiripan profil elusinya. Terutama untuk spesi CdA1
yang terdeteksi juga pada volume mati seperti spesi SA1, CdA2 yang berkorelasi
dengan spesi SA4, spesi CdA3 dengan spesi SA8 dan spesi CdA4 dengan spesi SA9.
hanya spesi CdA5 yang tidak berkorelasi positif dengan profil elusi sulfur.
Kemungkinan CdA5 adalah Cd dalam bentuk ionik. Grill dkk. (1985 dalam
Günther dan Kastenholz, 2005) menyatakan ada sebagian kecil spesi Cd yang
berikatan dengan protein dengan berat molekul besar dari 30 kDa. Telah
ditemukan juga protein yang mengikat Cd dengan berat molekul relatif sekitar
3100 Da dan adanya kandungan sistein sebesar 40 % dari akar jagung (Rauser,
1984 dalam Günther dan Kastenholz, 2005). Informasi ini semakin mendukung
hasil penelitian ini dan adanya kemungkinan interaksi Cd dengan sulfur pada
spesi Cd dalam cairan floem tanaman jarak.
IV.4.5 Penentuan protein dalam cairan floem dan fraksi SEC
Tujuan utama penentuan protein dalam cairan floem dan fraksi SEC adalah untuk
melihat profil elusi protein dalam cairan floem setelah melewati kolom SEC.
Konsentrasi protein ditentukan dengan metode Bradford. Standar protein yang
digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi adalah albumin serum sapi (BSA,
bovine serum albumin). Pengukuran konsentrasi protein dalam fraksi dilakukan
87
sesegera mungkin setelah proses fraksinasi untuk menghindari terjadinya
kerusakan protein dan digunakan larutan standar protein segar setiap saat
pengukuran. Pada Gambar IV. 20 dapat dilihat salah satu kurva kalibrasi larutan
standar yang digunakan untuk penentuan konsentrasi protein dalam cairan floem
dan fraksi SEC.
Gambar IV. 20 Salah satu kurva kalibrasi yang digunakan untuk penentuan konsentrasi protein dalam cairan floem dan fraksi SEC berdasarkan metode Bradford.
Konsentrasi protein dalam cairan floem yang telah terdistribusi dalam fraksi SEC
setelah melewati kolom sephadex G-50 terlalu rendah sehingga tidak dapat
ditampilkan profil elusinya. Hal ini disebabkan karena kandungan protein dalam
cairan floem tanaman jarak hanya sekitar 125 ± 20 µg/mL dan tingginya faktor
pengenceran sampel selama melewati kolom dan pada saat penentuan konsentrasi
protein menyebabkan konsentrasi protein dalam fraksi tidak terdeteksi.
Salah satu aspek penting dalam proses spesiasi adalah mempertahankan spesi
dalam bentuk aslinya dan mencegah terjadinya transformasi spesi maupun
hilangnya spesi selama proses spesiasi. Salah satu proses pengujian yang
dilakukan adalah pengujian kemungkinan teradsorpsi/transformasi spesi yang
berasosiasi dengan protein. Oleh karena itu, larutan standar protein thyroglobulin
y = 0.0269 x + 0.0076R2 = 0.9935
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Konsentrasi protein (µg/mL)
Abs
orba
nsi p
ada
595
nm
88
(670 kDa) dilewatkan melalui kolom dan ditentukan konsentrasinya dalam setiap
fraksi. Pada Gambar IV. 21 ditampilkan profil elusi protein standar setelah
melewati kolom sephadex G-50. Sebagai hasil eksperimen, thyroglobulin terelusi
pada volume mati dengan persen perolehan kembali 95,89 %. Hal ini
menunjukkan kemungkinan adsorpsi protein oleh kolom sangat kecil.
Gambar IV. 21 Profil distribusi protein thyroglobulin pada kolom sephadex G-50. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 1000 µL thyroglobulin 2,18 mg/mL; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0; Pendeteksian protein berdasarkan metode Bradford. Jumlah total protein yang terdeteksi 290,329 µg/mL dengan persen perolehan kembali 95,89%.
IV.4.6 Profil Elusi spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo, dan Cd setelah melalui kolom
sephadex G-25 M
Untuk melihat kesesuaian profil elusi protein dan spesi logam yang dianalisis,
digunakan kolom yang lebih kecil yaitu sephadex G-25. Keuntungan penggunaan
kolom ini adalah fraksinasi dapat berlangsung lebih cepat (kurang lebih satu jam)
sehingga analisis protein dapat dilakukan pada hari yang sama. Keuntungan lain
0
40
80
120
160
200
0 100 200 300 400 500Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
pro
tein
(µg/
ml)
89
adalah penggunaan kolom yang kecil hanya memerlukan sampel cairan floem
relatif lebih sedikit dan faktor pengenceran sampel yang tidak terlalu besar. Profil
elusi protein dalam cairan floem setelah melewati kolom sephadex G-25
ditampilkan pada Gambar IV. 22.
Gambar IV. 22 Profil distribusi protein cairan floem pada kolom sephadex G-25. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0; Pendeteksian protein berdasarkan metode Bradford. Jumlah total protein yang terdeteksi 144,536 µg/mL. Persen perolehan kembali protein 87,64%.
Pada Gambar IV. 22 terlihat bahwa protein terelusi sebagai satu puncak pada
volume elusi 0,5 – 1,5 mL. Persen perolehan kembali protein tersebut setelah
melalui kolom sephadex G-25 M sebesar 87,64 % dengan jumlah total protein
sebesar 144,536 µg/mL. Untuk melihat korelasi profil elusi protein dan profil
elusi unsur setelah melewati kolom, pada Gambar berikutnya daerah elusi protein
yaitu pada volume elusi 0,5 – 1,5 mL akan diarsir. Profil protein yang sama juga
telah dikemukakan oleh Krüger dkk. (2002). Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan profil protein cairan floem kecambah dan tanaman dewasa jarak.
-5
15
35
55
75
95
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
pro
tein
(µg/
mL)
90
Pada Gambar IV. 23 terlihat bahwa secara keseluruhan hanya terdapat dua puncak
yaitu spesi utama MgB2 dan spesi MgB3. Spesi MgB1 tidak dapat dipisahkan dari
spesi MgB2 mengingat kecilnya kelimpahan relatif spesi tersebut. Jika
dibandingkan puncak pertama spesi Mg sebelum dan sesudah destruksi, terlihat
puncak tersebut mulai muncul pada volume elusi 0,9 mL sebelum destruksi dan
1,2 mL setelah destruksi. Pada kolom kecil seperti sephadex G-25 yang
digunakan, perbedaan volume elusi dalam satuan 0,1 mL dapat menunjukkan
rentang berat molekul yang sangat besar, terutama pada volume elusi 0,5 – 1,5
mL.
Gambar IV. 23 Profil distribusi Mg pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. MgB1 kemungkinan spesi Mg yang berasosiasi dengan protein yang terdestruksi setelah uji proteinase. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Penghitungan total konsentrasi dan kelimpahan relatif spesi Mg pada daerah
serapan 0,9-1,2 mL pada pemisahan sebelum destruksi menunjukkan
kemungkinan terdapatnya spesi MgB1 yang kemudian terdestruksi setelah uji
0
40
80
120
160
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (m
g/L)
(a) Mg sebelum destruksi
(b) Mg setelah destruksi
MgB1
MgB3
MgB2
91
proteinase. Hasil penelitian ini bersesuain dan menguatkan penemuan spesi Mg
dalam cairan floem yang dipisahkan dengan menggunakan kolom sephadex G-50
dimana ditemukan juga 3 spesi Mg dengan profil sebaran kelimpahan yang tidak
berbeda jauh. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa spesi MgB1,
MgB2, dan MgB3 yang terdeteksi dengan menggunakan kolom sephadex G-25
bersesuaian dengan berturut-turut spesi MgA1, MgA2, dan MgA3 yang ditemukan
setelah pemisahan dengan kolom sephadex G-50.
Pada Gambar IV. 24 ditampilkan profil distribusi Ca pada kolom sephadex G-25.
Terdeteksi hanya dua spesi Ca, yang diberi notasi sebagai spesi CaB1 da CaB2.
Spesi CaB1 terdeteksi pada daerah arsiran, yang menunjukkan adanya
kemungkinan spesi CaB1 berasosiasi dengan polipeptida /protein yang mana spesi
ini terdestruksi setelah uji proteinase. Kemungkinan pengikatan kalsium oleh
protein telah banyak dibahas. Kalmodulin merupakan salah satu protein kecil
yang mengikat Ca. Pengikatan tersebut mengubah bentuk kalmodulin sedemikian
rupa sehingga kemudian Kalmodulin dapat mengaktifkan beberapa enzim
(Salisbury dan Ross, 1995; Zhang dan Lu, 2003).
Adapun spesi CaB2 kemungkinan akumulasi dari spesi CaA2 dan CaA3 berdasarkan
perhitungan kelimpahan relatifnya. Interpretasi ini juga didukung berdasarkan
data berat molekul relatif spesi CaA2 dan CaA3 (kurang dari 1350 Da) yang tidak
dapat dipisahkan dengan menggunakan kolom sephadex G-25.
Pada Gambar IV. 25 ditampilkan profil elusi Mn pada kolom sephadex G-25 M.
Terdeteksi secara nyata dua spesi Mn yaitu MnB1 dan MnB2, dimana sebagian
spesi MnB1 terdestruksi setelah uji proteinase K. Profil elusi Mn berupa tailing
setelah destruksi yang pada akhir elusi menunjukkan dengan kuat profil elusi ion
Mn2+ sebagai hasil destruksi sebagian spesi MnB1. Jika diperhatikan tingginya
kelimpahan relatif spesi MnB1 yang dapat mencapai 16%, diperkirakan MnB1
merupakan akumulasi spesi MnA1 dan sebagian spesi MnA2. Seperti halnya Ca,
92
Spesi MnB2 kemungkinan merupakan akumulasi dari sebagian spesi MnA2 dan
MnA3.
Gambar IV. 24 Profil distribusi Ca pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. CaB1 kemungkinan spesi Ca yang berasosiasi dengan protein yang terdestruksi setelah uji proteinase. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
Van Goor dan Wiersma (1976) telah meneliti bentuk kimiawi Mn dan Zn dalam
cairan floem tanaman jarak yang berusia 2 bulan. Penelitian ini menggunakan
isotop 54Mn dan 65Zn yang dicampurkan ke dalam larutan nutrisi. Pemisahan
dilakukan pada kolom sephadex G-10, G15 dan G-25 menggunakan buffer Tris-
HCl pH 8,2. Isotop 54Mn dan 65Zn dalam fraksi dideteksi menggunakan pencacah
gamma. Hasil penelitiannya menunjukkan Mn muncul dalam dua bentuk, yaitu
sebagai kation Mn dan senyawaan organik dengan berat molekul 1-5 kDa.
Informasi ini mendukung hasil penelitian yang diperoleh, dimana terdeteksi dua
spesi Mn dengan profil elusi yang mirip.
0
10
20
30
40
50
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (m
g/L) (a) Ca sebelum destruksi
(b) Ca setelah destruksi
CaB1
CaB2
93
Gambar IV. 25 Profil distribusi Mn pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Sebagian spesi MnB1 kemungkinan spesi Mn yang berasosiasi dengan protein yang terdestruksi setelah uji proteinase. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0;
Krüger dkk.(2002) telah melakukan pemisahan spesi Zn dalam cairan floem
kecambah jarak menggunakan kolom NAP-5 dan fasa gerak MES (volume elusi
0,5 mL). Dalam penelitian tersebut Zn terdeteksi sebagai satu spesi pada fraksi
dengan berat molekul rendah. Profil elusi Zn tersebut bersesuaian dengan profil
elusi sukrosa dalam cairan floem kecambah jarak.
Pada penelitian ini (Gambar IV. 26) terdeteksi 3 spesi Zn yaitu ZnB1, ZnB2 dan
ZnB3 dengan kelimpahan relatif berturut-turut 4-5 %, 9-11%, dan 83-86%.
Pendeteksian ketiga spesi Zn ini menunjukkan bahwa metode yang dikembangkan
telah berhasil memisahkan dan mendiferensiasikan spesi Zn yang dideteksi oleh
Krüger dkk menjadi 3 spesi yang berbeda berdasarkan berat molekulnya.
0
100
200
300
400
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (m
g/L)
(a) Mn sebelum destruksi
(b) Mn setelah destruksi
MnB2
MnB1
94
Gambar IV. 26 Profil distribusi Zn pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0;
Pada pemisahan sebelumnya dengan menggunakan kolom sephadex G-50 SF juga
ditemukan tiga spesi Zn dengan kelimpahan yang relatif sama. Hal ini
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa spesi ZnB1 merupakan ZnA1, ZnB2 serta
ZnB3 identik dengan ZnA2 dan ZnA3. Walaupun spesi ZnB1 dan ZnB2 berada pada
daerah arsiran elusi protein, tidak teramati perbedaan profil elusi sebelum dan
sesudah destruksi. Hal ini menunjukkan bahwa spesi ZnB1 dan ZnB2 tidak
berasosiasi dengan polipeptida atau protein. Hipotesa ini mendukung pernyataan
Krüger dkk (2002), dimana sebagian kecil fraksi Zn kemungkinan berasosiasi
dengan ligan yang lebih besar dibanding sukrosa. Van Goor dan Wiersma (1976)
juga mendeteksi Zn sebagai satu spesi yang kemungkinan berasosiasi dengan
senyawaan organik. Menurut Van Goor dan Wiersma spesi tersebut bermuatan
negatif.
Gambar IV. 27 memperlihatkan profil elusi Mo pada kolom sephadex G-25 M.
Terdeteksi dua spesi Mo yaitu MoB1 dan MoB2. berdasarkan kelimpahan
relatifnya, kemungkinan spesi MoB1 merupakan akumulasi dari spesi MoA1 dan
0
1000
2000
3000
4000
5000
0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) Zn sebelum destruksi
(b) Zn setelah destruksi
ZnB2
ZnB1
ZnB3
95
sebagian spesi MoA2, sedangkan spesi MoB2 merupakan sebagian lain dari spesi
MoA2.
Gambar IV. 27 Profil distribusi Mo pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. MoB1 kemungkinan spesi Mg yang berasosiasi dengan protein yang terdestruksi setelah uji proteinase. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0;
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spesi MoA2 kemungkinan terdiri dari
beberapa spesi Mo yang berbeda dengan berat molekul kecil dari 1000 Da. Spesi
ini kemungkinan ada yang berikatan dengan polipeptida/protein seperti yang
ditunjukkan pada Gambar IV. 27, dimana spesi tersebut terdestruksi setelah uji
proteinase dan ada yang tidak berasosiasi dengan polipeptida/protein. Profil
tailing pada akhir elusi setelah destruksi dengan proteinase K, menunjukkan
meningkatnya jumlah Mo dalam bentuk kation, memperkuat dugaan bahwa Mo
dalam spesi MoB1 terdestruksi menjadi Mo ionik.
Profil elusi Cd pada kolom sephadex G-25 M sebelum destruksi dengan
proteinase K hanya menampilkan satu puncak lebar pada volume elusi 0,8 – 2,2
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) Mo sebelum destruksi
(b) Mo setelah destruksi
MoB2
MoB1
96
mL yang diberi notasi CdB1 dengan konsentrasi maksimum pada volume elusi 1,2
mL (Gambar IV. 28). Jika dibandingkan dengan pemisahan yang dilakukan pada
kolom sephadex G-50, ada kemungkinan bahwa spesi CdB1 merupakan akumulasi
dari semua spesi yang terdeteksi pada kolom G-50 SF. Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa hanya muncul satu puncak Cd setelah pemisahan dengan kolom
Sephadex G-25 M sedangkan pemisahan dengan kolom sephadex G-50 SF ada
lima spesi yang terdeteksi. Setelah mengamati dengan seksama profil elusi
kelimpahan relatif yang kemudian divisualisasikan pada Gambar IV. 29 terlihat
dengan jelas bahwa sebaran Cd membentuk suatu puncak yang bersesuaian
dengan puncak CdB1.
Gambar IV. 28 Profil distribusi Cd pada kolom sephadex G-25 sebelum dan sesudah destruksi dengan proteinase. Daerah yang diarsir pada volume elusi 0,5-1,5 mL merupakan daerah elusi protein dalam cairan floem. Sebagian spesi CdB1 kemungkinan spesi Cd yang berasosiasi dengan protein yang terdestruksi setelah uji proteinase. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 100 µL floem aeroponik; fasa gerak: 20 mM NaCl/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0Volume elusi (mL)
Kon
sent
rasi
/frak
si (µ
g/L)
(a) Cd sebelum destruksi
(b) Cd setelah destruksi
CdB1
97
Gambar IV. 29 Profil distribusi kelimpahan Cd pada kolom sephadex G-50.
Profil elusi spesi CdB1 berkorelasi positif dengan profil elusi protein dalam cairan
floem. Setelah uji proteinase K, terlihat bahwa spesi CdB1 tereduksi yang
menunjukkan bahwa sebagian spesi CdB1 yang berada pada daerah arsiran
kemungkinan berasosiasi dengan protein. Hal ini diperkuat dengan terbentuknya
ekor (tailing) pada akhir elusi yang menunjukkan meningkatnya jumlah kation Cd
setelah destruksi dibandingkan sebelum destruksi.
IV.5 Pemisahan spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo dan Cd dalam cairan floem
dengan QPNC PAGE
Spesi Mg, Ca, Mn, Zn, Mo dan Cd dalam cairan floem dipisahkan juga dengan
menggunakan metode QPNC PAGE. Metode ini diadopsi dari Kastenholz (2004;
2006; 2007). Dalam percobaan ini fasa gerak yang digunakan adalah MES
sedangkan Kastenholz menggunakan buffer Tris-HCl. Hasil pemisahan spesi-
spesi tersebut dapat dilihat pada Gambar IV. 30. Gambar tersebut terdiri atas tiga
kurva , pada bagian A ditampilkan profil elusi spesi Mg; pada bagian B dapat
dilihat profil elusi Ca dan Zn serta pada bagian C profil elusi Mn, Mo, dan Cd.
Pembagian ini berdasarkan rentang konsentrasi spesi agar hasil penelitian tersebut
dapat dianalisis dengan optimal.
0
10
20
30
40
50
60
70
CdA1 CdA2 CdA3 CdA4 CdA5spesi Cd
Kel
impa
han
rela
tif (
%)
a) aeroponikb) pot
98
Gambar IV. 30 Profil elusi spesi Mg (A), Ca dan Zn (B) dan Mn, Mo, dan Cd setelah pemisahan PNC PAGE. Kondisi fraksinasi: jumlah sampel: 500 µL floem aeroponik; buffer: 20 mM MES/ 1 mM NaN3 pH 8,0.
99
Berdasarkan Gambar IV. 30, spesi yang berhasil dipisahkan dengan sangat baik
adalah spesi Mo dan spesi Mn. Spesi Mo terdeteksi sebagai satu puncak Mo pada
daerah elusi 35 sampai 80 mL sedangkan spesi Mn sebagai satu puncak lebar pada
daerah elusi 90-170 mL. Spesi Mo ini kemudian akan dipisahkan lebih lanjut
dengan menggunakan metode SEC.
Ada kemiripan Profil elusi Mg dan Ca, dimana garis dasar (base line) profil
bergradasi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dimulai pada fraksi tiga
sampai pada fraksi 37-38. Secara visual terdeteksi 5 puncak Mg, 3 diantaranya
berupa puncak lebar dan 3 puncak Ca. Dua puncak pertama dan puncak terakhir
spesi Ca dan Mg terelusi pada fraksi yang berdekatan.
Berbeda dengan spesi logam lainnya, Zn terdeteksi pada daerah elusi 65-145 mL
berupa 1 puncak yang lebar dengan fronting dan tailing yang panjang. Sedangkan
pada pemisahan spesi Cd dengan metode QPNC PAGE, tidak ada informasi yang
berarti yang dapat diperoleh. Hal ini disebabkan karena garis dasar elusi
bergradasi seperti pada Mg dan Ca dan konsentrasi fraksi yang sangat rendah.
Muktiono (2006) juga telah memisahkan spesi Cd dari Arabidopsis taliana
dengan menggunakan metode yang sama namun buffer yang berbeda. Spesi Cd
tersebut terdeteksi pada fraksi 22-30 dengan garis dasar pada konsentrasi sekitar
0,20 µg/L. Sedangkan pada penelitian ini konsentrasi Cd dalam fraksi yang
tertinggi hanyalah 0,07 µg/L. Perolehan kembali (persen recovery) Cd setelah
dipisahkan sebesar 277 % menunjukkan sistem QPNC PAGE yang diterapkan
tidak cocok untuk spesi Cd dalam cairan floem karena konsentrasinya yang sangat
rendah, walaupun telah berhasil digunakan oleh Kastenholz (2004; 2006) untuk
penentuan spesi Cd dalam sayuran dan Muktiono (2006) untuk penentuan spesi
Cd dalam Arabidopsis taliana.
Kesulitan penerapan teknik QPNC PAGE dalam mendapatkan resolusi pemisahan
yang baik dan stabil juga telah dilaporkan oleh Chery (2003). Kesulitan menjaga
kestabilan spesi agar tidak mengalami transformasi selama proses pemisahan
merupakan masalah primer dalam mengaplikasikan QPNC PAGE. Hal yang sama
100
juga dialami selama penelitian ini, terutama untuk mendeteksi spesi Mg, Ca, dan
Zn. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa spesi Mg, Ca, dan
Zn tidak stabil di bawah kondisi pemisahan yang diterapkan dan kenyataan ini
juga menunjukkan bahwa spesi Mo dan Mn yang dapat dideteksi dengan metode
ini merupakan spesi dari kelompok yang berbeda dengan spesi Mg, Ca, dan Zn.
Beberapa literatur menyatakan bahwa Mo dalam tanaman ditemukan dalam dua
bentuk dasar yaitu sebagai bagian dari atom pusat berinti banyak dari nitrogenase
dan sebagai atom pusat monointi pada sisi aktif beberapa enzim yang berperan
dalam reaksi oksidasi dan reduksi (Hille, 1996; Mendel, 1997; Mendel dan
Hansch, 2002; Guse dkk., 2003; Sauer dan Frebort, 2003; Kaiser dkk., 2005).
IV.6 Pemisahan bidimensional spesi Mo
Molibden sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu unsur hara bagi tanaman
(Hille, 1996; Mendel, 1997; Mendel dan Hansch, 2002; Guse dkk., 2003; Sauer
dan Frebort, 2003; Kaiser dkk., 2005). Molibden turut berperan dalam beberapa
reaksi enzimatik. Beberapa enzim yang mengandung Mo dalam tanaman yang
telah diidentifikasi antara lain nitrat reduktase (NR), xantin dehidrogenase
(XDH), aldehid oksidase (ALO), dan sulfit oksidase (SO). Enzim-enzim ini
mengkatalisis reaksi transformasi karbon, nitrogen dan sulfur (Mendel 1997;
Mendel dan Hansch, 2002; Sauer dan Frebort, 2003). Ion Molibden sendiri secara
katalitik tidak aktif dalam sistem biologis namun Mo yang terkomplekskan oleh
ligan spesifik dapat merupakan kofaktor yang esensial. Kofaktor Mo dikenal
dengan singkatan Moco (Mo co-factor) (Hille, 1996; Mendel, 1997; Rajagopalan,
1988; Mendel dan Hansch, 2002; Guse dkk., 2003; Sauer dan Frebort, 2003;
Kaiser dkk., 2005).
Berdasarkan hasil pemisahan tahap I dengan menggunakan metode SEC dan PNC
PAGE, maka spesi MoA2 dipilih untuk dipisahkan lebih lanjut. Fraksi PNC PAGE
yang mengandung konsentrasi Mo tertinggi diisolasi lebih lanjut dengan
menggunakan metode SEC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesi tersebut
terelusi pada daerah elusi dimana spesi MoA2 dalam cairan floem terelusi (Gambar
101
IV. 31). Penemuan ini sangat menggembirakan karena hal ini menunjukkan spesi
MoA2 adalah spesi yang stabil dan dapat dipisahkan dengan menggunakan metode
SEC dan PNC PAGE yang telah dikembangkan.
Gambar IV. 31 Profil elusi spesi Mo (a) dalam cairan floem dan (b) fraksi PNC PAGE yang mengandung spesi Mo dengan konsentrasi tertinggi serta profil elusi UV (c).
Pembuktian keberadaan dan kestabilan spesi dilakukan dengan membalik strategi
penelitian, yaitu fraksi SEC yang mengandung spesi Mo dengan konsentrasi
tertinggi diisolasi lebih lanjut dengan menggunakan metode PNC PAGE. Hasil
pendeteksian selektif Mo dari fraksi PNC PAGE tersebut juga membuktikan
bahwa spesi MoA2 juga terdeteksi pada volume elusi spesi Mo dari sampel cairan
floem tanaman jarak (Gambar IV. 32). Dengan demikian, spesi MoA2 adalah spesi
Mo dalam cairan floem tanaman jarak yang stabil dan dapat diisolasi dengan
menggunakan kedua metode SEC dan PNC PAGE yang dikembangkan.
102
Gambar IV. 32 Profil elusi spesi Mo setelah pemisahan dengan PNC PAGE. (a) spesi Mo dalam cairan floem dan (b) dalam fraksi SEC yang mengandung spesi Mo dengan konsentrasi tertinggi.
IV.7 Analisis ESI MS spesi MoA2
Pendeteksian suatu spesi dapat dilakukan dengan menggunakan ICP MS untuk
pendeteksian selektif unsur dan ESI MS untuk pendeteksian selektif molekular.
Kedua metode ini menggunakan sumber ionisasi untuk spektrometri massa.
Metode ESI MS menggunakan sumber ionisasi yang lebih lemah, sehingga
dihasilkan ion molekular. Analisis massa ion molekular memungkinkan untuk
menentukan senyawa spesi. Kelemahan ESI MS dibandingkan ICP MS adalah
rendahnya sensitivitas, sehingga spesi yang dapat terdeteksi dengan ICP MS
belum tentu dapat dideteksi dengan ESI MS. Oleh karena itu spesi yang dapat
dianalisis dengan ESI MS adalah spesi yang mempunyai kelimpahan tinggi
dengan konsentrasi yang besar (Chassaigne, 2003).
Spesi MoA2 dianalisis lebih lanjut menggunakan metode ESI MS untuk
mengungkapkan informasi molekular spesi tersebut. Strategi pelaksanaan
penelitian adalah fraksi SEC yang mengandung konsentrasi maksimum spesi
MoA2 dimurnikan dari matriksnya dengan menggunakan ZIP-18, kemudian hasil
103
pemurnian diencerkan sebelum analisis dengan ESI MS. Gambar IV. 33
menyajikan spektrum ESI MS fraksi SEC tersebut. Keunggulan metode ini
pendeteksian m/z spesi sampai pada orde 0,1 amu.
Gambar IV. 33 Spektrum ESI MS fraksi SEC kolom sephadex G-50 SF yang mengandung konsentrasi tertinggi spesi MoA2 (fraksi 44).
Berdasarkan Gambar IV.33, terlihat bahwa massa ion yang terdeteksi mulai dari
60,4 – 993,8 amu. Perhitungan teoritis berat molekul relatif fraksi 44 adalah
dibawah 1350 Da berdasarkan kurva kalibrasi standar protein pada kolom
sephadex G-50 SF. Hal ini menunjukkan kesuaian hasil penelitian dengan
spektrum ESI MS, yang menunjukkan massa ion tertinggi yang terdeteksi adalah
993,8. Munculnya puncak massa ion kecil seperti 60,4; 123,3; 149,6 menunjukkan
bahwa spesi mengalami fragmentasi selama proses persiapan analit untuk analisis
ESI MS.
Pola suatu spesi dalam spektrum ESI MS dapat dikenali berdasarkan kelimpahan
relatif isotopnya. Vonderheide (2002) dapat mengkarakterisasi spesi Se dalam
kacang-kacangan Brazil dengan menggunakan metode HPLC-ICP MS dan ESI
MS berdasarkan pola kelimpahan relatif isotop Se. Encinar dkk (2003) juga telah
mendeteksi senyawa selen dalam protein ragi dengan menggunakan MALDI MS
104
dan ESI MS dan Montes-Bayon (2005) juga telah mempelajari studi spesiasi Se
dalam Brassica juncea dengan menggunakan ICP MS dan ESI MS. Namun
metode ini sulit dilakukan dalam menginterpretasi spesi Mo berdasarkan spektrum
ESI MS yang ada karena adanya pengaruh matriks yang besar. Sebagaimana
diketahui bahwa spesi MoA2 berada pada daerah serapan UV maksimal cairan
floem dalam tanaman jarak. Analisis C, P dan S dalam fraksi SEC menggunakan
ICP MS menunjukkan lebih dari 90% senyawaan organik dalam cairan floem
berada pada daerah tersebut.
IV.8 Pemisahan spesi CaB2 dengan metode CE
Eksplorasi lebih dalam terhadap spesi Ca merupakan suatu hal utama karena Ca
salah satu unsur hara pokok bagi tanaman. Kandungan Ca dalam tanaman sekitar
0,1 – 2,0 % berat kering tanaman. Peranan Ca dalam tanaman sangat besar,
terutama dalam pembentukan kayu, seperti pada manusia dan hewan pada
pembentukan tulang (McLaughlin dan Wimmer, 1999). Kalsium juga merupakan
bagian yang penting dalam signalling molecule yang terstimulasi oleh sinar
merah, gravitasi, sentuhan, kejutan dingin atau hormon tertentu (White, 2001;
2004; Scrase-Field dan Knight, 2003; White and Broadley, 2003; Reddy, 2001;
Kordyum, 2003; Sathyanarayanan dan Poovaiah, 2004) dan sensor (McCormack
dan Braam 2003; Nayyar, 2003).
Sabnis dan McEuen (1986) telah mempelajari kemungkinan pengikatan Ca oleh
protein floem Cucurbita maxima, Cucumis melo, Cucumis sativus, Cucurbita
pepo. Dalam penelitian tersebut, protein dari cairan floem diinkubasi dengan 10
µL larutan 45CaCl2 10 mM lalu difraksinasi dalam kolom sephadex G-100.
sebagai hasil penelitian sebagian kecil fraksi spesi Ca terdeteksi pada void volume
(>100 kDa) yang berkorelasi positif dengan protein. Total Ca dalam floem 1 mM
(40 mg/L). Menurut Sabnis dan McEuen, tingginya total Ca kemungkinan
disebabkan oleh pelepasan tekanan turgor selama proses pengirisan.
Konsekuensinya air dan ion-ion dari sekitar apoplastik dan simplastik mengalir ke
tabung tapis. Sekitar dua pertiga total Ca terkomplekskan dengan ligan berberat
105
molekul rendah. Itoh dan Kang (1993) juga telah menyelidiki kemungkinan
keberadaan kristal kalsium oksalat dalam dinding sel floem sekunder taxodiaceae.
Spesi Ca dalam cairan floem dapat dipisahkan dengan baik dengan menggunakan
metode SEC namun kurang berhasil dengan metode QPNC PAGE. Oleh karen itu
dicoba strategi pemisahan bidimensional lain yaitu menggunakan LC-MS/MS
untuk spesi CaA2 sebagai spesi utama Ca dalam cairan floem. Hasil yang
diharapkan adalah informasi tentang struktur molekul spesi Ca tersebut. Penelitian
ini merupakan penelitian bersama dengan kelompok spesiasi Intitut ZCH di Pusat
penelitian Jülich, Jerman. Namun penelitian bersama ini kurang berhasil karena
beberapa hal, yaitu: (i) optimasi metode yang kurang optimal (terbatas oleh
waktu), (ii) batas deteksi yang masih tinggi setelah pemisahan tahap kedua, (iii)
proses prekonsentrasi kemungkinan menyebabkan terjadinya transformasi spesi
sehingga tidak terdeteksi, dan (iv) adanya kontaminasi selama proses pemisahan-
pendeteksian.
Berdasarkan pengalaman tersebut di atas, strategi pemisahan berikutnya adalah
menggunakan elektroforesis kapiler dan spesi Ca yang akan dipisahkan adalah
spesi CaB2 yang mempunyai kelimpahan relatif dan kandungan Ca yang tinggi.
Sehingga tidak diperlukan proses prekonsentrasi. Pemilihan metoda CE untuk
spesi CaB2 antara lain: (i) berat molekul spesi yang rendah ( di bawah 1350 Da)
sangat sesuai untuk analisis CE, (ii) kemungkinan spesi aktif UV sehingga bisa
dideteksi dengan detektor UV tanpa proses derivatisasi, (iii) analisis CE hanya
memerlukan sampel dengan jumlah kecil (nanoliter), (iv) proses analisis cepat
(dalam waktu kurang dari 15 menit), serta (v) optimasi metoda dengan berbagai
variasi buffer, baik konsentrasi, komposisi dan pH, serta tegangan yang
diaplikasikan dapat dilakukan dengan mudah sehingga dapat diperoleh hasil
pemisahan yang sangat baik. Selain itu, Metode CE merupakan salah satu metode
yang sangat berkembang saat ini karena kemampuannya memisahkan mulai dari
biomolekul besar hingga ionik anorganik kecil, baik itu sebagai molekul netral,
bermuatan positif maupun negatif. Jika dibandingkan dengan kromatografi cair,
metode ini adalah metode yang lebih sederhana dan teknik pemisahan yang cepat
106
serta membutuhkan sampel dan pereaksi dalam jumlah yang sangat sedikit
(nanoliter) serta biaya operasional yang relatif murah untuk penggantian kolom
kapiler (Cornelis, dkk., 2003; Michalke, 2003a; Caruso, dkk., 2003).
Optimasi metode CE merupakan langkah awal yang penting dalam analisis
spesiasi menggunakan CE. Optimasi kondisi pemisahan meliputi variasi
penyangga, konsentrasi penyangga, pH penyangga, dan besarnya tegangan yang
diaplikasikan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi transformasi
spesi selama proses pemisahan dan mendapatkan hasil pemisahan yang baik
(Wang dkk., 2003).
Kondisi pemisahan sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada tahap awal pemisahan
dilakukan pada suhu ruang. Sebagai hasil penelitian, spesi tidak sabil dan kedapat-
ulangan hasil pemisahan kurang baik. Hal ini menunjukkan adanya transformasi
spesi. Aplikasi tegangan tinggi (15-30 kVolt) juga menyumbangkan panas yang
besar sehingga semakin mempengaruhi kestabilan spesi. Oleh karena itu kolom
kapiler didinginkan dengan menggunakan termostat. Idealnya, pemisahan
dilakukan pada suhu 4 °C seperti pemisahan SEC dan QPNC PAGE. Namun suhu
minimum yang dapat diaplikasi hanyalah 15 °C. Hal ini disebabkan aplikasi
tegangan tinggi menimbulkan panas yang cukup tinggi dan termostat yang
digunakan tidak mampu menurunkan suhu lebih rendah dari 15 °C. Walaupun
demikian, kondisi operasional pada suhu 15 °C telah menghasilkan pemisahan
yang sangat baik dengan kedapat-ulangan yang tinggi.
Salah satu teknik yang dikembangkan pada penelitian ini adalah penyuntikan
sampel. Pada penyusunan program analisis CE, sebagai sampel, pertama
disuntikkan fraksi SEC kemudian langsung diikuti penyuntikan BGE sebelum
aplikasi tegangan (Tabel III.8). Hal ini dilakukan untuk mencegah kembalinya
sampel pada saat pemberian tegangan. Teknik ini terbukti memberikan hasil
analisis yang baik yaitu kedapat-ulangan yang tinggi dan garis dasar yang datar.
107
Tahap selanjutnya dalam optimasi metode CE adalah seleksi penyangga yang
digunakan. Untuk mendapatkan pemisahan dengan resolusi yang baik serta
sensitivitas deteksi yang tinggi, mobilitas BGE yang digunakan haruslah sedekat
mungkin dengan mobilitas spesi yang akan dipisahkan. Pada uji pendahuluan
telah dicoba berbagai penyangga, yaitu: Tris-HCl, asam borat, dan garam fosfat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar spesi terdeteksi sebagai
senyawa anionik. Pada aplikasi tegangan positif, detektor terletak pada sisi
katoda, sehingga yang terelusi paling awal adalah senyawa kationik, senyawa
netral dan terakhir senyawa anionik. Pengamatan elektroferogram CE
menunjukkan bahwa spesi yang terelusi pada waktu migrasi yang lama
mempunyai kedapat-ulangan rendah. Oleh karena itu sistem campuran penyangga
yang digunakan mengandung surfaktan kation sebagai pemodifikasi EOF (Chen
dkk., 2001). Fungsi surfaktan dalam hal ini adalah sebagai pembalik arah alir
EOF, sehingga dengan mengaplikasikan tegangan negatif, spesi anionik akan ikut
bermigrasi dengan EOF menuju detektor pada ujung kutub anoda. Dengan
demikian pemisahan dapat berlangsung dengan lebih cepat dan baik. Surfaktan
kationik yang digunakan adalah CTAB. Gambar IV.34 menyajikan
elektroferogram spesi Ca menggunakan 2 penyangga yang berbeda.
Berdasarkan Gambar IV.34 terlihat spesi Ca dapat terpisah dengan baik dengan
menggunakan campuran penyangga Na2HPO4/NaH2PO4/CTAB. Hal ini
ditunjukkan dengan garis dasar yang rata dan puncak-puncak yang muncul dapat
teridentifikasi dengan baik jika dibandingkan dengan pemisahan dalam campuran
penyangga asam borat, walaupun dalam asam borat spesi terelusi lebih cepat dan
pemisahan telah usai dalam lima menit. Oleh karena itu campuran penyangga
Na2HPO4/NaH2PO4/CTAB dipilih sebagai elektrolit latar (BGE) untuk pemisahan
spesi LMM Ca dalam cairan floem.
Konsentrasi BGE dalam pemisahan metode CE mempengaruhi resolusi,
sensitivitas, gangguan garis dasar dan waktu migrasi spesi. Oleh karena itu
optimasi konsentrasi campuran penyangga merupakan tahap selanjutnya dalam
optimasi metode CE. Variasi konsentrasi campuran penyangga telah disajikan
108
dalam Tabel. III.8. Seperti yang ditampilkan dalam Gambar IV.35, terdeteksi
minimal ada 13 puncak dalam sampel.
Gambar IV. 34 Elektroferogram low molecular mass (LMM) spesi Ca dalam cairan floem Ricinus communis,L. pada pH 8.0 menggunakan BGE (a) 10 mM Na2HPO4/ 10 mM NaH2PO4/1.0 mM CTAB dan (b) 20 mM H3BO3/ 1.0 mM CTAB.
Secara umum terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi penyangga laju migrasi
spesi semakin lambat. Hal ini karena peningkatan konsentrasi penyangga
meningkatkan kekuatan ion dalam elektrolit yang menyebabkan penurunan EOF.
Pada konsentrasi fosfat 10 mM, pemisahan hanya berlangsung 8,2 menit
sedangkan pada konsentrasi fosfat 15 mM, 10,2 menit. Contoh lain, waktu migrasi
Puncak 13 adalah 7,6 menit pada C1 yang bergeser menjadi 9,4 menit pada C4.
Peningkatan konsentrasi fosfat hanya berpengaruh nyata pada resolusi puncak 11
dan 12. Pada konsentrasi fosfat 15 mM, resolusi Puncak 11-12 lebih baik sehingga
Puncak 11 dapat dipisahkan dari Puncak 12 (Gambar IV.35. C3 dan C4).
Sayangnya intensitas Puncak 6 melemah pada konsentrasi fosfat 15 mM.
109
Gambar IV. 35 Pengaruh variasi konsentrasi BGE I (Na2HPO4/NaH2PO4/CTAB) pada pH 8,0. C1: 10/10/0.5, C2: 10/10/1.0, C3: 15/15/0.5, dan C4: 15/15/1.0
Konsentrasi surfaktan mempengaruhi profil puncak 7 dan 8 (Gambar IV. 35).
Pada konsentrasi fosfat 10 mM, peningkatan konsentrasi CTAB sebesar 0,5 mM
mempengaruhi profil puncak 7 dan 8, yaitu dari bentuk puncak ber-tailing
menjadi puncak ber-fronting. Sedangkan pada konsentrasi fosfat 15 mM, puncak
7 dan 8 dapat terpisah dengan baik, peningkatan konsentrasi CTAB malah
memperkecil resolusi. Ini menunjukkan kemungkinan terbentuknya misel pada
konsentrasi CTAB 1,0 mM. Dengan demikian konsentrasi optimal CTAB untuk
membalik arah EOF adalah 0,5 mM. Berdasarkan pertimbangan waktu migrasi,
intensitas puncak, sensitivitas dan kedapat-ulangan semua puncak, komposisi C1,
yaitu 10 mM Na2HPO4/ 10 mM NaH2PO4/ 0,5 mM CTAB ditetapkan sebagai
konsentrasi optimal campuran penyangga yang digunakan untuk pemisahan spesi
LMM Ca dalam cairan floem tanaman jarak.
Dalam elektroforesis kapiler, spesi ionik dipisahkan berdasarkan muatan dan
ukurannya. Kekuatan keasaman (pH) elektrolit latar mempengaruhi pemisahan
spesi. Pemisahan sebaiknya dilakukan pada pH fisiologi cairan floem, yaitu pada
110
pH 8,0 untuk mempertahankan kestabilan spesi. Oleh karena itu, rentang pH
larutan elektrolit yang dicoba adalah dari 7,5 – 9,0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap puncak yang muncul memberikan
respon yang berbeda terhadap variasi pH tersebut (Gambar IV. 36). Sebagai
contoh, pada pH 7,5 dan 8,6, peak 7 dan 8 dapat dipisahkan dengan baik
walaupun waktu migrasi spesi meningkat dan kedapatulangan (reproducibility)
waktu migrasi puncak 11/12 dan 13 tidak optimal. Pemisahan pada pH 8,0 secara
keseluruhan memperlihatkan resolusi yang baik sedangkan pada kondisi basa (pH
9,0), terjadi gangguan pada puncak 11 dan 12, yang menunjukkan spesi tersebut
tidak stabil pada pH 9,0. Berdasarkan pertimbangan waktu migrasi dan
kedapatulangan waktu migrasi puncak, maka pH 8,0 merupakan pH optimal untuk
pemisahan spesi LMM Ca dalam cairan floem. Hal ini menunjukkan bahwa
pemisahan spesi Ca selayaknya dilakukan pada kondisi keasaman fisiologi cairan
floem yaitu pH 8,0.
Gambar IV. 36 Pengaruh pH pada pemisahan LMM Ca. Kondisi pemisahan sesuai tabel 3. Konsentrasi BGE 10 mM Na2HPO4/ 10 mM NaH2PO4/ 0.5 mM CTAB.